VII. Kesimpulan dan Refleksi 7.1 Kesimpulan Aktivisme Islam di kampus telah melewati banyak episode sejarah. Mulai dari era ‘pemasungan’ aktivisme politik mahasiswa bertajuk ‘NKK-BKK’, ‘zaman peralihan’ Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, hingga era reformasi saat ini. Dari narasi aktivisme Islam di dua kampus yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa aktivisme Islam tidak pernah berjalan secara linear. Aktivisme Islam di kampus justru bergerak dalam lintasan yang dinamis dan dialektik, aktivisme Islam di kampus berdinamika seiring dengan perubahan-perubahan sosial, kultural, dan politik dalam masyarakat Indonesia. Di era otoritarianisme Suharto, aktivisme Islam di kampus menampilkan gerakan dakwah Islam yang ‘kultural’ dan ‘spiritual’ sementara sebagian yang lain dilakukan secara sembunyisembunyi dan bergerak di bawah tanah (under-ground). Manifestasi dari gerakan ini dapat dilihat dari perkembangan Jamaah Shalahuddin di UGM pada tahun 1970an sampai dengan tahun 1980an akhir, dan pergerakan gerakan Tarbiyah dalam lingkaran-lingkaran kajian Islam di UI yang seringkali dilabeli ‘Organisasi Tanpa Bentuk’ (OTB). Perubahan-perubahan sikap negara terhadap Islam yang mulai ditunjukkan pada awal tahun 1990an mengakibatkan perubahan strategi aktivisme Islam. Tidak terkecuali aktivisme Islam di kampus, ‘Era akomodasi’ negara ini direspon oleh gerakan-gerakan Islam di kampus dengan mulai menampilkan dirinya secara lebih terbuka ke publik, mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosialnya, dan mengambil format gerakan yang lebih formal. Baik di UGM maupun di UI, era awal tahun 1990an ditandai dengan menjamurnnya pembentukan LDK-LDK di tingkat fakultas, di UGM lebih jauh lagi di akhir tahun 1990an diterapkan Asistensi Agama Islam yang berdampak secara sistemik terhadap Islamisasi kampus secara lebih luas. Periode ini juga ditandai dengan semakin menguatnya gerakan Islamis-Tarbiyah dalam dinamika aktivisme kampus. Aktivis-aktivis Tarbiyah mulai menunjukan pengaruh
yang signifikan. Di UI, kader-kader Tarbiyah mulai terjun menjadi pemimpin-pemimpin mahasiswa di LDK dan Senat Mahasiswa, sementara itu di UGM aktivis-aktivis Tarbiyah semakin mendominasi Jamaah Shalahuddin. Aktivisme mahasiswa Islam pasca-Suharto semakin semarak dan dinamis. Berkat kebebasan dan kesempatan politik yang terbuka sejakera reformasi, gerakan-gerakan mahasiswa yang semasa Orde Baru bergerak di bawah tanah (underground) kini menyeruak tampil ke publik. Di antara yang paling fenomenal dan mencuri banyak perhatian adalah gerakan-gerakan mahasiswa berhaluan Islamisme di kampus, mereka adalah gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia dan Salafi. Gerakan-gerakan Islamis ini berkembang pesat di kampus-kampus utama di Indonesia. Motor utama gerakan Islamis di kampus adalah gerakan Tarbiyah. Studi ini menemukan bahwa gerakan Tarbiyah mampu mendominasi aktivisme mahasiswa Islam di kampus UGM dan UI. Gerakan Tarbiyah mendominasi politik kampus, diskursus Islam yang berkembang, dan komunitas-komunitas moral yang ada. Gerakan Tarbiyah menguasai lembaga-lembaga politik mahasiswa (BEM/DPM), lembaga kerohanian Islam (LDK), kelompok studi, dan dalam beberapa derajat birokrasi kampus di UI. Sedangkan gerakan Islamis lainnya, seperti HTI nampaknya memiliki kans yang besar untuk terus memperkuat gerakannya di kampus. Militansi dan orientasi politisnya yang sangat kuat merupakan modal HTI dalam merekrut mahasiswa/I Muslim ke dalam lingkaran aktivismenya, bukan tidak mungkin di masa mendatang HTI menjadi‘contender’ serius bagi dominasi Tarbiyah di kampus. Sementara itu gerakan Salafi sejauh ini masih terkonsentrasi pada aktivisme berorientasi kesalehan individu dan relatif jarang berinteraksi dengan isu-isu publik mahasiswa di kampus. Studi ini mengetengahkan setidaknya memaparkan tiga cara bagaimana gerakan Tarbiyah mampu mendominasi aktivisme mahasiswa di UGM dan UI pasca-reformasi. Ketiga cara tersebut yakni, Pertama, memobilisasi mahasiswa melalui organ politik kampus
Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah mendominasi aktivisme politik kampus berkat tingginya kapasitas mobilisasi organ-organ politik mahasiswa mereka. Organ-organ politik mahasiswa Tarbiyah ini terbentuk di penghujung tahun 1990an ketika kesempatan politik terbuka, Partai Bunderan di UGM dan SALAM di UI adalah dua di antaranya.Kedua, menggunakan dua struktur gerakan dalam pengorganisasian mahasiswa. Struktur gerakan Tarbiyah terdiri atas ‘struktur formal’ dan ‘struktur informal’. ‘Struktur formal’ berupa lembaga mahasiswaseperti LDK dan KAMMI yang ditampilkan secara terbuka, sedangkan ‘struktur informal’ berupa Tanzhim/Majelis Syuro yang dirahasiakan (Syirriah). Dengan dua struktur ini gerakan Tarbiyah mampu mempengaruhi lembaga-lembaga formal mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus secara efektif.Ketiga, melakukan proses perkaderan berjenjang yang sistematis, tertutup dan berkelanjutan sehingga menciptakan soliditas dan kolektivitas gerakan Tarbiyah yang tinggi.Perkaderan Jamaah Tarbiyah menganut sistem berjenjang mulai dari tahap pengenalan, pembinaan dan pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan, aktivisaktivis Tarbiyah di kampus dikelompokkan secara tertutup menjadi tiga ranah, yakni ranah politik (Siyasi), dakwah (Da’awi) dan akademik (Ilmi). Tiga ranah ini merefleksikan orientasi aktivisme, minat dan bakat kader, visi pasca-kampus dan kebutuhan-kebutuhan organisasi. Pola perkaderan ini berhasil menciptakan kolektivitas dan kontinuitas aktivisme gerakan yang padu. Ketiga cara ini menjadi kunci keberhasilan gerakan Tarbiyah dalam mendominasi aktivisme mahasiswa di UGM dan UI. Studi ini juga mengungkap kunci keberhasilan gerakan Tarbiyah dalam mereproduksi dominasinya di kampus. Studi ini berargumen bahwa reproduksi dominasi gerakan Tarbiyah di kampus tidak dapat dilepaskan dari efektivitas pola rekruitmenyang dilakukannya.Pola rekruitmen mahasiswa ke dalam lingkaran aktivisme gerakan Tarbiyah dilakukan melalui dua jalur transmisi utama, yakni ‘jalur individual’ dan ‘jalur organisasional’. Jalur transmisi organisasional dilakukan melalui LDK dan KAMMI dengan mengadakan perekrutan terbuka
setiap tahun ajaran baru, LDK dan KAMMI menggunakan ‘Daurah’ sebagai model perekrutan dan perkaderan anggota-anggota barunya. Sedangkan jalur transmisi individual berjalan melaluikontak dengan aktivis-aktivis Tarbiyah pada momen-momen insidental di kampus, dua momen insidental di kampus paling berpengaruh bagi transmisi gerakan Tarbiyah adalah masa orientasi mahasiswa baru dan asistensi agama Islam. Dua jalur transmisi di atas bermuara pada pembentukan halaqah-halaqah intensif (liqo) yang diselenggarakan setiap pekan sekali, di dalam liqo inilah proses pembentukan dan pembinaan aktivis Tarbiyah berlangsung. Mahasiswa yang telah mengikuti liqo semakin terintegrasi dalam jejaring dan lingkaran aktivisme Tarbiyah di kampus. Pola tersebut berulang setiap tahun ajaran baru sehingga menciptakan lingkaran reproduksi gerakan Tarbiyah di kampus. Gerakan Tarbiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan sosial yang paling sukses dalam memikat para mahasiswa/I Muslim di dua kampus terbesar di Indonesia. Kesuksesan gerakan Tarbiyah dalam merekrut mahasiswa/I Muslim dalam lingkaran aktivismenya dapat dijelaskan dengan dua hal. Pertama, proses framingintensif yang dilakukan oleh agen-agen sosial Islamis yang kredibel dan efektif dalammenarik para mahasiswa/I Muslim.Kedua, insentif-insentif selektifyang merawat kontinuitas aktivisme merekadalam jangka panjang. Pada awalnya para mahasiswa/I baru terpikat oleh proses sosialisasi nilai-nilai, cara hidup, dan pandangan gerakan Tarbiyah melalui kontak-kontak dengan aktivis dan lingkungan sosial Islamis, namun proses framing tidaklah cukup untuk ‘mengikat’ keberlanjutan aktivisme mereka dalam jangka panjang. Insentif-insentif selektiflah yang merawat kontinuitas aktivisme mereka dalam jangka waktu yang panjang. Insentif selektif yang ditawarkan gerakan Tarbiyah berupa ‘insentif psikologis-emosional’ seperti kenyamanan kultural, kehangatan persaudaraan dan bantuan yang bisa diandalkan dari lingkaran komunitasnya, maupun ‘insentif material’ seperti seperangkat jejaring sosial yang mampu mendukung karir-
karir aktivis mahasiswa pasca-kampus, kesempatan beasiswa, lapangan-lapangan pekerjaan, hingga karir politik yang cemerlang di masa depan. Sebagai sebuah gerakan Islamis, gerakan Tarbiyah tidaklah tunggal dan tetap. Studi ini menolak asumsi homogen dan statis pada gerakan Tarbiyah di kampus. Fragmentasi menjadi sebuah keniscayaan dalam aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus. Fragmentasi ini dapat berupa fragmentasi diskursus dan fragmentasi organisasi yang dilatarbelakangi kontestasi politik. KAMMI, yang selama ini sering dipersepsikan sebagai underbouw PKS, dalam lima tahun terakhir dalambatas-batas tertentu justru memerankan dirinya sebagai ‘anak nakal’ bagi kepentingan-kepentingan PKS di kampus. Di UI, pergerakan KAMMI tidak didukungoleh Tanzhim Tarbiyah sehingga tidak pernah besar gerakannya, sedangkan di UGM, KAMMI tampil sebagai konsolidator politik gerakan Tarbiyah namun seringkali para aktivis-aktivisnya bersebrangan dengan garis kebijakan Tarbiyah di kampus. Tidak hanya di level fragmentasi organisasi, aktivis-aktivis KAMMI juga muncul dengan diskursus baru bertajuk ‘KAMMI Kultural’ yang banyak melakukan auto-kritik terhadap struktur dominan gerakan Tarbiyah di kampus. Faktor-faktor seperti dinamika internal organisasi, konflik antar-patronase alumni, perbedaan strategi gerakan, hingga perebutan akses-akses sumber daya organisasi menjelaskan bagaimana di suatu kampus KAMMI dapat berkembang pesat sementara di kampus lain justru kehadirannya tidak diharapkan oleh gerakan Tarbiyah itu sendiri. Selain faktor-faktor di atas, fragmentasi di antara aktivis-aktivis di kampus juga disebabkan oleh ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan olehdualisme struktur gerakan Tarbiyah. Dualisme struktur gerakan Tarbiyah antara ‘struktur formal’ berupa lembaga-lembaga publik (Wajihah Amal Am) seperti LDK, KAMMI dan organisasi formal lainnya dengan ‘struktur informal’ berupa Tanzhim atau Majelis Syuroyang dirahasiakan di kampus menyebabkan keteganganketegangan yang kerapkali bertransformasi menjadi konflik terbuka. Logika organisasi publik
dalam lembaga-lembaga formal seringkali bertabrakan dengan logika musyawarah terbatas (Syuro) dalam lembaga-lembaga informal gerakan Tarbiyah yang diyakininya bersumber dari ajaran-ajaran Islam.Dualisme ini berkaitan erat pula dengan perubahan otoritas dalam gerakan Tarbiyah, otoritas tunggal Tanzhim perlahan-lahan mulai tereduksi berkat lembagalembaga mediator seperti KAMMI dan lembaga sayap Tarbiyah lainnya. Aktivisme kampus merupakanjalur perkaderan penting bagi gerakan Tarbiyah di Indonesia. Kampus menjadi tempat reproduksi kader-kader muda Tarbiyah yang dipersiapkan mengisi sektor-sektor strategis pasca-kampus. Aktivisme Tarbiyah terus berlanjut meski para mahasiswa/I telah menyelesaikan studinya di kampus. Trajektori aktivis Tarbiyah pascakampus menunjukan kontinuitas aktivisme dan perluasaan jejaring sosial Islamisnya. Tiga varian aktivis Tarbiyah (Da’awi, Siyasi, Ilmi)) kampus tidak hanya merefleksikan orientasi dan kompetensi para kader semata, namun juga menjadi jalur trajektori pasca-kampus yang ditentukan oleh otoritas Tarbiyah atas pertimbangan kebutuhan organisasi dan peluangpeluang yang tersedia. Output kader-kader Tarbiyah dari tiga varian inididorong untukbermobilisasi di ranah publik, ranah privat dan ranah sektor ketiga serta mengisi jejaring sosial Tarbiyah yang merentang luas mulai dari yayasan pendidikan, lembaga dakwah, lembaga filantropi, lembaga humanitarian, lembaga kesehatan hingga asosiasiasosiasi profesional. Bagaimanapun juga gerakan Tarbiyah tidak dapat dilepaskan dari institusi politik PKS. Bagi gerakan Tarbiyah partai adalah jamaah dan jamaah adalah partai (Al Hizb Huwal Jamaah Wal Jamaah Hiyal Hizb). Logika ini juga berlaku dalam proses perkaderan Tarbiyah di kampus. Kampus merupakan unit bagian dari skema perkaderan gerakan Tarbiyah yang terintegrasi ke dalam struktur PKS. Perkaderan yang dilakukan di kampus tidak semata-mata bertujuan untuk menyiapkan kader-kader profesional yang ‘berdiaspora’ di berbagai bidang, namun lebih jauh lagi bertujuan untuk membentuk basis-basis politik elektoral PKS.
Mobilisasi aktivis Tarbiyah pasca-kampus ke berbagai sektor dilakukan dalam konteks instensifikasi dan ekstensifikasi kerja-kerja pembentukan basis politik PKS. Akivis-aktivis Tarbiyah yang ‘berdiaspora’ ke berbagai sektor ini terikat dengan institusi partai dalam derajat komitmen yang berbeda-beda. Partai menjadi muara(reservoir) dimana seluruh proses perkaderan dan jejaring Tarbiyah bertemu dan dikonsolidasikan. 6.2 Refleksi Pada bagian ini penulis menyajikan refleksi terhadap studi yang telah dilakukan. Refleksi ini terdiri atas refleksi akademik dan refleksi personal. Pada refleksi akademik, studi ini memberikan kontribusi pada dua level adademik, yakni level teoritik dan level empirik. Pada level teoritik studi ini memperkaya kajian-kajian gerakan sosial dengan pendekatan integrasi gerakan sosial. Sedangkan pada level empirik studi ini berkontribusidalam memperkaya kajian-kajian akademik pada lintasan area studi gerakan mahasiswa dan gerakan Islam di Indonesia. Penulis mendiskusikan kontribusi pada dua level akademik di bawah ini, dan menutupnya dengan refleksi personal. 7.2.1 Pendekatan Integratif Gerakan Sosial : Kontribusi dan Limitasi Teoritik Studi ini menggunakan pendekatan integratif gerakan sosial dalam memahami aktivisme Islam di kampus. Pendekatan integratif berusaha mensintesakan tiga pendekatan utama dalam gerakan sosial, yakni pendekatan struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya organisasi dan pembingkaian makna (Mc Adam, Mc Carthy dan Zald,1996). Studi ini memperkaya kajian aktivisme Islam di Indonesia dengan perspektif integratif gerakan sosial. Sebagaimana diungkapkan Burhanuddin (2012:18) selama ini studi dengan pendekatan toeri gerakan sosial lebih banyak dilakukan oleh para sarjanauntuk membahas gerakan-gerakan Islam di negara Timur Tengah seperti Mesir dan Turki(Munson, 2001, Wickham, 2002, Wicktorowich Ed, 2004, Yafuz, 2004), namun masih minim yang membahas gerakan Islam di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya.
Dengan menggunakan pendekatan yang integratif, studi ini mampu memahami aktivisme Islam di kampus secararelatif lebih komprehensif. Pendekatan kesempatan politik digunakan dalam studi ini untuk menganalisis kelahiran ICMI, introduksi kebijakan SMPT di awal tahun 1990an dan konteks demokratisasi politik tahun 1998 sebagai faktor-faktor pendorong bangkitnya gerakan Islamis-Tarbiyah di kampus. Sementara dengan analisa mobilisasi
sumber
daya,
studi
ini
memetakan
bentuk-bentuk
organisasi
formal
(KAMMI,LDK) dan organisasi informal (Tanzhim/Majelis Syuro) yang berperan dalam aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus. Sedangkan dengan pendekatan pembingkaian makna (framing) studi ini mengidentifikasi doktrin-doktrin gerakan Tarbiyah yang berperan dalam memobilisasi aktivis-aktivisnya di kampus seperti ajaran ‘Al Wala-Wal Bara’ dan ‘Al Hizb Huwal Jamaah Wal Jamaah Hiyal Hizb’. Pada satu sisi, studi dengan pendekatan instrumentalis ini memiliki keunggulan dalam memahami secara mendalam bentuk-bentuk organisasi, jejaring dan mobilisasi suatu gerakan sosial. Dalamanalisanya tentangmobilisasi gerakan Islamis di kampus, studi ini menguatkan studi-studi sebelumnya yang menekankan pentingnya memahami bentuk-bentuk organisasi dan strategi gerakan dalam memobilisasi dukungan (Munson, 2001, Mc Carthy dan Zald, 2003, Diani, 2010). Studi dengan perspektif strukturalis ini juga dengan baik menjelaskan relasi aktivisme Tarbiyah di kampus dengan grand design PKS dalam konteks yang lebih luas, seperti ditandai dengan analisis orbit-orbit gerakan dan pola perkaderan Tarbiyah di Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, studi dengan logika instrumentalis juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Pendekatan instrumentalis yang digunakan dalam studi ini gagal memahami transformasi identitas dalam aktivisme Islam di kampus, analisanya yang memandang gerakan sosial sebagai aktor rasional an-sichyang syarat dengan logika untungrugi (cost and benefit) menyebabkan pengabaian pada dimensi-dimensi emosional dan identitas aktor gerakan. Studi ini juga tidak cukup mampu mengelaborasi praktik-praktik
keseharian (every day life) dan aspek budaya dalam aktivisme kaum mudaIslam kampus. Secara umum, studi dengan pendekatan instrumentalis ini mengabaikan dimensi budaya, kehidupan sehari-hari (every day lifes), formasi identitas dan kebiasaan-kebiasaan sebagaimana telah dikritik oleh banyak sarjana (Tugal, 2009) 7.2.2 Dinamik Tarbiyah Muda : Kontribusi Empirik Studi ini memberi kontribusi akademik dalam perlintasan studi gerakan mahasiswa dan studi tentang gerakan Islam di Indonesia dengan empat cara. Pertama, dengan fokus pada aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus, studi ini menghadirkan narasi berbeda gerakan Tarbiyah yang datang dari perspektif aktivis-aktivis mudanya di kampus. Kedua, dengan memunculkan tiga varian aktivis Tarbiyah di kampus yakni Siyasi, Ilmi dan Da’awi.Ketiga, dengan mengamati trajektori aktivis Tarbiyah pasca-kampus. Keempat, dengan menarasikan bentuk-bentuk aktivisme berbiaya/berisiko rendah (low cost/risk activism) dan aktivisme berbiaya/berisiko tinggi (high risk activism) dalam aktivisme Tarbiyah di kampus. Studi ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus pasca-Suharto. Berlawanan dengan mayoritas studi yang memotret gerakan Tarbiyah dari perspektif elit dan pimpinan gerakan/partai (Damanik, 2002, Mahmudi, 2006, Hilmy, 2010, Muhtadi, 2012), studi ini menghadirkan narasi berbeda yang datang dari aktivis-aktivis muda Tarbiyah yang terlibat di berbagai gerakan mahasiswa di kampus. Narasi dari aktivis-aktivis mudaTarbiyah ini menyajikan kontestasi, resistensi dan negosiasi dalam arena pergulatan aktivisme kampus yang tidak terpotret dalam studi-studi di atas.Studi ini juga mengkritik studi yang memandang gerakan dakwah kampus melulu sebagai ‘sejarah’dan ‘masa lalu’ PKS yang cenderung statis dan monolitik (Michi, 2003, Endang dan Riza, 2005, Permata, 2008, Rahmat, 2008, Sumakyoto, 2009), studi ini justru memperlihatkandinamisme dan fragmentasi dalam aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus yang sama sekali berbeda dengan gerakan dakwah kampus pada tahun 1980an.
Kontribusi kedua studi ini adalah memunculkan tiga varian aktivis Tarbiyah kampus di Indonesia. Dengan melacak pada sistem perkaderan gerakan Tarbiyah dan orientasi aktivisme di kampus, studi ini mengangkat tiga varian aktivis Tarbiyah kampus yakni varian politik (Siyasi), dakwah (Da’awi) dan akademik/profesional (Ilmi/Faniy). Tiga varian ini merefleksikan orientasi perkaderan, kompetensi dan minat, visi pasca-kampus serta kesempatan-kesempatan yang tersedia bagi organisasi. Tiga varian ini saling terkoneksi dengan jejaring Tarbiyah yang lebih luas, varian politik terhubung dengan saluran-saluran politik PKS, varian dakwah terlembaga dengan organisasi-organisasi dakwah dan jejaring NGO yang berafiliasi Tarbiyah, sedangkan varian akademik membangun relasinya dengan asosiasi-asosiasi profesional dan jejaring akademisi-teknokrat yang berafiliasi pada gerakan Tarbiyah. Tiga varian aktivis Tarbiyah tidak hanya berlaku di UGM dan UI saja, melainkan berlaku pada gerakan Tarbiyah di berbagai kampus di Indonesia. Tiga varian ini luput dari pengamatan para sarjana ketika mengamati gerakan Tarbiyah di Indonesia. Kontribusi empirik ketiga studi ini dilakukan dengan jalan mengamati dinamika trajektori beberapa aktivis Tarbiyah pasca-kampus. Studi ini melansir tiga faktor utama yang mempengaruhi dinamika trajektori aktivis Tarbiyah pasca-kampus, yakni jejaring sosial, performa kepemimpinan dalam aktivisme kampus dan kompetensi praktis. Dengan analisa trajektori, studi ini juga menguji tesis ‘limitasi’ dalam gerakan mahasiswa Islamyang berargumen bahwa aktivisme terhenti ketikaaktivis telah meninggalkan kampus (Karim, 2006:50-51). Dalam studi ini tesis limitasi aktivisme mahasiswa Islam tidak terbukti. Studi inimemperlihatkan kontinuitas aktivisme meski para aktivis telah menyelesaikan studinya dari kampus. Trajektori aktivis Tarbiyah pasca-kampus menunjukan kontinuitas aktivisme, integrasi yang semakin tinggi dalam jejaring aktivis dan keberlanjutan aktivisme dalam jangka waktu panjang. Konsep ‘Aktivis Dakwah Kampus Permanen’ (ADKP) sebagaimana telah dijelaskan di BAB IIImisalkan, menunjukan betapa kontinuitas dalam aktivisme
Tarbiyah adalah sesuatu yang sangat penting, aktivisme Tarbiyah tidak akan berhenti hanya karena studinya telah selesai dari kampus. Terakhir, studi ini memberi kontribusi dengan mendifferensiasi bentuk-bentuk aktivisme gerakan Tarbiyah di kampus. Studi ini berargumen bahwa bentuk-bentuk aktivisme berbiaya/berisiko rendah (low cost/risk activism) cenderung digerakkan oleh proses pembingkaian makna, sedangkan bentuk-bentuk aktivisme berbiaya/berisiko tinggi (high cost/risk activism) didorong oleh ketersediaan biografi aktivisme sebelumnya dan insentifinsentif selektif. Dalam konteks ini, studi ini mengonfirmasitemuan Kikue Hamayostu (2011) yang menyatakan keberhasilan PKS dalam menarik pemuda Muslim ke dalam lingkaran aktivismenya disebabkan oleh sistem meritokrasi perkaderan dan insentif-insentif politik. Lebih jauh menurut Hamayotsu (2011:235) ada tiga mekanisme organisasi PKS yang membedakannya dengan organisasi sosial-politik lainnya. Tiga hal tersebut adalah sistem rekruitmen dan promosi berbasis meritokrasi yang adil, prioritas kepentingan kolektif atas kepentingan individu, dan regenerasi yang teratur serta suksesi kepemimpinan yang smooth di semua level organisasi. Studi ini mengafirmasi tiga temuan Hamayotsu di atas. Keunggulan gerakan Tarbiyah dalam mengefektifkan saluran-saluran rekruitmennya, tingginya kemampuan dalam membangun kolektivitas dan regenerasi kepemimpinan yang tenang benar-benar terbukti dalam aktivisme kampus. Hal ini kontras dengan apa yang terjadi dalam organisasi-organisasi mahasiswa Islam ‘konvensional’ seperti HMI, PMII dan IMM. Banyak pihak meyakini bahwa organisasi mahasiswa Islam konvensional ini sangat kental dengan nuansa patronase alumni, lemah dalam membangun kolektivitas dan sangat rentan terhadap konflik-konflik internal terutama di level kepengurusan nasional58. Namun fenomena dalam lima tahun terakhir menarik untuk
)8AH?
@8A74C4G GBA9?<> 4?< @HA6H? 7< BE:4AFGE4O F8C8EG< !&" )&"" 74A "&& 4><54G GE4AF8C8@<@C
dicermati. Pengamatan terhadap dinamika organisasi gerakan Tarbiyah di dua kampus dan KAMMI di level nasional, menunjukkan gejala-gejala yang mengarah pada degradasi meritokrasi sistem perkaderan dan semakin tingginya eskalasi konflik internal dalam tubuh gerakan Tarbiyah. Beberapa kasus ‘perpecahan’ internal dalam proses penentuan kandidat Ketua BEM baik di UI maupun UGM menunjukan eskalasi konflik kepentingan yang semakin tinggi dan meningkatnya ketegangan-ketegangan internal dalam organisasi, sedangkan kasus pemecatan Ketua PP KAMMI Rahman Toha pada tahun 2009 oleh MPP KAMMI dan terbentuknya Presidium KAMMI Nasional (KAMNAS) akibat ekses Muktamar KAMMI 2013 lalu telah menciderai sistem meritokrasi perkaderan dan semangat kolektivitas yang telah lama dibangun dalam organ-organ gerakan Tarbiyah. Catatan khusus agaknya perlu ditambahkan untuk menyempurnakan tesis Hamayotsu tentang insentif-insentif material yang di tawarkan gerakan Tarbiyah (PKS). Insentif selektif yang ditawarkan oleh gerakan Tarbiyah tidaklah melulu insentif politik seperti jaringan birokrasi, posisi-posisi di legislatif dan eksekutif yang melimpah sebagaimana dijelaskan oleh Hamayotsu (2011:239-240), melainkan juga insentif-insentif sosial yang lebih luas seperti insentif kesempatan kerja di berbagai jejaring sosial gerakan Tarbiyah, jejaring NGO di bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, pelayanan sosial, dan asosiasi profesional, kesempatan beasiswa di luar negeri, jejaring akademik di berbagai perguruan tinggi nasional dan jejaring sosial lainnya yang tersebar di sektor publik. Pada sisi yang lain,studi ini berlawanan dengan studi Carrie Wickham (2012) tentang gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang menyatakan bahwa insentif selektif menjadi ‘faktor penarik’ para pemuda Muslim untuk bergabung ke dalam lingkaran aktivisme, dan proses framing yang ‘merawat’ aktivisme mereka dalam jangka panjang. Studi ini
?8I8? A4FBAG8FG4F< CB? L4A: >8E4F 74A @8?<54G>4A =4E
berargumen sebaliknya, dalam konteks gerakan Tarbiyah di Indonesia, proses sosialisasi nilai-nilai dan framing lebih dominan dalam memikat para mahasiswa/I Muslim ke dalam lingkaran aktivis Tarbiyah, para mahasiswa/I Muslim direkrut melalui lingkunganlingkungan sosial Islamis seperti kerohanian Islam, asistensi agama Islam dan organisasiorganisasi mahasiswa Tarbiyah yang memudahkan proses sosialisasi dan framing nilai-nilai. Sedangkan insentif-insentif selektif baik material maupun psikologis-lah yang ‘mengikat’ para lulusan muda kader Tarbiyah untuk terus terlibat dalam aktivisme Tarbiyah dalam jangka panjang. Studi ini juga tidak menemukan dimensi ‘transvaluasi nilai-nilai’ yang disebut Wickham (2012:531-532) sebagai penataan kembali prioritas-prioritas nilai yang menjadi panduan perilaku individu.
Dalam bahasa Wickham gerakan Islamis di Mesir berhasil
mengubah ‘para lulusan muda dengan masa depan suram’ menjadi ‘perjuang-pejuang reformasi Islam’. Di Indonesia, kondisi gerakan Tarbiyah berbeda sama sekali. Aktivisaktivis muda Tarbiyah yang penulis temui hampir tidak ada satupun yang merasa bahwa masa depan sebegitu suram, membayangkan menjadi pengangguran, frustrasi atas keadaan, atau memandang rendah terhadap ilmu pengetahuan ‘sekular. Mereka justru sangat antusias terhadap berbagai ilmu pengetahuan ‘sekular’ dan tertantang untuk menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Aktivis-aktivis muda Tarbiyah juga sangat optimistikdalam melihat peran mereka di masa mendatang, mereka berambisi menjadi kaum teknokrat yang handal, profesional yang disegani, politisi ulung, dan ‘pemimpin-pemimpin masa depan’ Indonesia. Konteks sistem sosial-politik Mesir dan Indonesia berpengaruh besar dalam menjelaskan hal ini. Kondisi perekonomian yang buruk, sistem politik yang tertutup dan buruknya birokrasi pemerintahan membuat gerakan-gerakan Islamis di Mesir tidak dapat bermobilisasi dengan bebas, sehingga kekuatan framing dan transvaluasi nilai menjadi sangat besar dalam ‘mengikat’ para pemuda ke dalam gerakan Islamis. Di Indonesia, kondisinya berbeda. Sistem
politik yang demokratis menyediakan saluran-saluran politik yang terbuka dan dapat diakses oleh kalangan Islamis, mereka bebas bermobilisasi baik di ranah negara, masyakat sipil maupun sektor privat. 7.2.3 Refleksi Personal Studi ini tidak hanya memotret realitas eksternal di luar penulis, melainkan juga sebuah refleksi pengalaman-pengalaman personal yang pernah penulis alami. Penulis pernah (masih?) berinteraksi secara intens dengan lingkungan dan komunitas sosial aktivisme gerakan Tarbiyah sejak duduk di bangku SMAmaupun selama masa perkuliahan. Bagi penulis gerakan Tarbiyah adalah sekumpulan anak-anak muda yang cerdasdan terdidik, relijius serta memiliki militansi yang tinggi. Kader-kader mudanya di kampus memperlihatkan sosok organisatoris yang handal, mahasiswa yang berprestasi, dan anak muda yang saleh. Mereka menjadikan agama sebagai rujukan bagi setiap tindakantindakannya. Meminjam istilah Profesor Anas Saidi (2014) anak-anak muda Tarbiyah menjalankan prinsip ‘agama sebagai tindakan’, prinsip ‘agama sebagai tindakan’ semestinya berimplikasi pada integritas moral dan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demografi dan karakter sosial anggota yang demikian, gerakan Tarbiyah sejatinya menjanjikan sumber daya manusia berintegritas dan profesionalyang mampu berperan di banyak sektor strategis bangsa. Namun sayangnya potensi besar kader-kader muda ini lebih banyak tersedot dalam kubangan politik praktis. Beberapa aktivis Tarbiyah kampus yang intens berkomunikasi dengan penulis mengungkapkan kegelisahan mereka tentang kondisi Hizb (PKS) yang dinilainya telah menghegemoni Jamaah, bagi mereka partai seharusnya menjadi bagian dari jamaah bukan sebaliknya. Partai adalah sesuatu yang profan dan dapat berubah (Mutaghayyirat), sedangkan jamaah adalah sesuatu yang sakral dan tetap (Tsawabit). Mereka juga menilai gerakan Tarbiyah belum mampu melakukan penyebaran kader-kadernya ke
berbagai institusi sosial di luar jejaring lingkaran mereka, ambisi terbesar mereka adalah menjadikan gerakan Tarbiyah seperti HMI pada tahun 1970an yang mampu melakukan proliferasi kader-kadernya ke berbagai institusi strategis di Indonesia. Keresahan kader-kader muda Tarbiyah bukanlah tanpa alasan. Sejak bertransformasi menjadi partai politik seluruh kerja-kerja Jamaah Tarbiyah dilakukan untuk mendukung agenda-agenda partai. Kerja-kerja politik elektoral yang membutuhkan mobilisasi masa besar dan sumber daya yang tidak sedikit membuat kader-kader muda Tarbiyah berpikir ulang tentang peranan masa depan mereka. Alih-alih mendorong dan memperluas peran-peran sosial kader-kader muda Tarbiyah yang lebih luas di masa depan, kerja-kerja partai justru mengharuskan mereka terlibat dalam mobilisasi politik yang melelahkan dan monoloyalitas yang mengungkung. Dalam perspektif kader-kader ‘kritis’, gerakan Tarbiyah semestinya mulai bergerak untuk ‘melampaui politik elektoral’. Kerja-kerja politik memang penting, namun tidak seluruh energi seharusnya dihabiskan ke arah sana. Proliferasi kader-kader ke berbagai institusi strategis semestinya tidak dilakukan semata-mata dalam konteks memperluas basis elektoral politik semata, melainkan juga sebagai kesempatan berdakwah dan berkontribusi dalam konteks kebangsaan yang lebih luas. Model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1980an yang membentuk banyak asosiasi-asosiasi profesional seperti asosiasi dokter, jurnalis, hakim, pengacara dan profesional lainnya harusnya dapat menjadi pembelajaran bagi PKS. Sementara itu beberapa sikap tidak konstruktif aktivis-aktivis Tarbiyah semestinya harus mulai ditanggalkan. Sikap-sikap tidak kontrsuktif ini seringkali muncul berupa sikap dan propaganda anti-Yahudi, anti-Barat/Kristen, dan berkembang luasnya teori konspirasi di antara para kader-kadernya. Sikap-sikap demikian muncul diduga kuat karena perkaderan dengan sistem stelsel rahasia yang sangat tertutup, sehingga meminjam istilah Robert Putnam yang dikutip Van Bruinessen (2013:352-353) gerakan Tarbiyah mungkin surplus ‘modal
sosial yang mengikat’ namun agaknya masih minim ‘modal sosial yang menjembatani’59. Modal sosial yang menjembatani ini perlu ditumbuhkan agar aktivis-aktivis Tarbiyah semakin konfiden menatap masa depan dan bersikap terbuka dengan pihak-pihak lain tanpa kecurigaan. Selain menghadapi ‘problem internal’ organisasi yang terlampau ‘politicalminded’, gerakan Tarbiyah PKS juga diuji dengan persoalan serius yang banyak dihadapi partai politik lainnya. Badai yang menimpa PKS keterlibatan Luthfi Hassan dalam kasus korupsi Kementerian Pertanian mengguratkan persoalan serius. Banyak pihak kecewa dan kehilangan simpati pada PKS setelah kasus ini. Meski di kalangan kader nampaknya tidak banyak pengaruh yang terjadi,kasus ini menjadi pertaruhan PKS di masa mendatang. Masa depan PKS pasca-LHI sangat bergantung pada kemampuan organisasi untuk memberi hukuman dan disiplin pada pihak-pihak yang telah melanggar hukum dan menggadai partai demi keuntungan-keuntungan pragmatis (Fealy, 2014). Pada sisi yang lain, angkatan muda Islam yang berhimpundalam organisasi-organisasi ‘konvensional’ seperti HMI, PMII dan IMM nampaknya harus bekerja keras jika ingin mempertahankan perannya sebagai produsen elit dan intelegensia dari kampus. Problemproblem internal seperti mandeknya perkaderan, lemahnya kolektivitas dan kegagalan merumuskan agenda baru membuat gerakan-gerakan ‘ekstra’ ini semakin tersingkir dari dinamika kampus dan sulit merekrut para mahasiswa/I Muslim yang berbakat. Gerakangerakan ‘konvensional’ ini tidak menawarkan ‘kesalehan individu’ dan kenyamanan kultural bagi mahasiswa Muslim,juga tidak memiliki prospek menjanjikan bagi jalur kepemimpinan di organisasi intra kampus dan hanya sedikit sekali ‘agen-agen sosial’ gerakan yang kredibel
EHHAL4 74<1.3, 143* L4A: @8@54:< @B74? FBF<4? @8A=47< 7H4 58AGH> *79&2& @B74? FBF<4? L4A: @8A:<>4G G8E7<E< 4G4F <>4G4A <>4G4A FBF<4? 4AG4E 4A::BG4 F8:@8A @4FL4E4>4G L4A: F4@4 @4A FH5 >8?B@CB> 4:4@4 8GA8?4F 4G4H <78B?B:< &B74? FBF<4? @8A:<>4G @4@CH @8A4G>4A FB?<74EH4G 54:< 4A::BGG4 >8?B@CB>AL4 A4@HA =H:4 @8A4G>4A E4F4 >8G<74>C8E64L44A C474 >8?B@CB> ?44A @B74? FBF<4? @8A=8@54G4A< 474?4; <>4G4A <>4G4A FBF<4? 4AG4EFH5 >8?B@CB>74?4@@4FL4E4>4G &B74?FBF<4?4A@4FL4E4>4GF854:4<F85H4; >8F4GH4A
dan efektif untuk menarik para mahasiswa/I Muslim ke dalam lingkaran aktivismenya. Satusatunya jalan untuk bisa kembali ke dalam dinamika kampus adalah merumuskan agenda baru yang lebih responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan mahasiswa sembari terus membangun sindikasi-sindikasi intelektual-profesional yang terkoneksi dengan kampus. Aktivisme mahasiswa pasca-reformasi lebih banyak diwarnai oleh kelompokkelompok Islamis. Di dalam kampus yang semakin ‘hijau’, aktivis-aktivis Islamis mendominasi
lembaga
kemahasiswaan
dan
berusaha
mendesakkan
agenda-agenda
Islamismenya di ruang publik kampus. Beberapa pihak resah dengan fenomena aktual yang terjadi dalam aktivisme kampus, isu politisasi dan primordialisme dalam gerakan mahasiswa selalu mengemuka dalam diskusi-diskusi di kalangan civitas academica. Usaha-usaha mendesakkan agenda Islamisme kerapkali ditanggapi secara apriori oleh pihak-pihak lain. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan proyekperjuangan politik Islamisme, sebagaimana setiap orang berhak memperjuangkan aspirasi politiknya masing-masing. Usaha-usaha mendesakkan agenda-agenda Islamisme ke dalam kampus merupakan proyek perjuangan politik yang sah sepanjang dilakukan dengan mengikuti rule of game, nalar publik dan menggunakan cara-cara yang demokratis. Hanya saja, dalam arena yang terlanjur dominatif sulit mewujudkan dinamika dan kontestasi yang sehat. Dalam konteks inilah peran otoritas kampus menjadi penting. Otoritas kampus seharusnya mendorong sistem yang memastikan kesetaraan ruang dan kesempatan bagi berbagai aktor-aktor gerakan mahasiswa di kampus. Pluralisme kampus harus dijaga dengan memastikan tersedianya kesempatan-kesempatan dan ruang yang sama bagi berbagai aktor gerakan mahasiswa, kampus berkewajiban menyediakan ‘arena yang setara’ bagi kontestasi berbagai aktor gerakan mahasiswa. Dengan begitu besar harapan dinamisme aktivisme mahasiswa dapat terjaga.