226
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1.
Peran petani sebagai fasilitator Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) di Propinsi Jawa Barat didahului dengan keberhasilan menjalankan
“model
aktor
rasional”nya,
yaitu
sebagai
produsen,
manajer/pemimpin, dan wirausaha dibidang pertanian. Namun, keberhasilan berperan sebagai produsen, sebagian petani fasilitator belum sepenuhnya menerapkan praktek-praktek budidaya hortikultura yang mengarah pada fungsi pelestarian lingkungan hidup, karena para petani di sekitarnya belum bersedia meninggalkan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi. 2.
Peran petani sebagai fasilitator atau sebagai “model pembelajaran” merupakan peran komplementer progresif bukan substitusi dari “model aktor rasional”nya
tersebut
untuk
berpartisipasi
aktif
pada
penyuluhan
pembangunan, baik dalam menyukseskan program/kegiatan pertanian dalam pendekatan “petani-belajar-kepada-petani” maupun memberikan pembekalan agribisnis kepada generasi muda (pelajar/mahasiswa) dan pelaku non petani lainnya(ibu-ibu PKK, calon purnabhakti perusahaan swasta). Untuk menjalankan perannya sebagai fasilitator dan organisasi P4S yang efektif, petani berupaya untuk memadukan “model aktor rasional” dan “model pembelajaran”nya yaitu melalui pertukaran sumberdaya dan dukungan sosial. Pertukaran sumberdaya pada level mikro dilakukan di antara petani fasilitator (pengalaman, kesiapan, penguasaan kompetensi, status, dan kepercayaan diri) dengan penyandang dana pelatihan dan petani
227
pembelajar sebagai klien-nya (dana dan kepuasan); pada level makro bersama Pemerintah memiliki posisi dan peran yang sejajar sebagai agen pembaharu dibidang penyuluhan dan pengembangan sumberdaya manusia pertanian (UU No. 16/2006). Pada prosesnya, petani fasilitator melakukan transaksi timbal balik dengan Pemerintah yang dibuktikan dengan menukarkan pengalaman (produsen, manajer/pemimpin, wirausaha), kesiapan dan kepercayaan dirinyauntuk memperolehkompetensi, status sebagai fasilitator P4S, bantuan finansial (melengkapi sarana/prasarana pembelajaran dan pelatihan) dan penghargaan sebagai petani fasilitator berprestasi.Transaksi negosiasi dilakukan petani fasilitator - petani pembelajar dengan memberikan pengalamannya sebagai “model aktor pembelajaran rasional” untuk menerima kepuasan petani pembelajar baik ketika belajar di P4S, maupun dalam menerima hasil pembelajaran berupa kenaikan produksi pertaniannya. Transaksi negosiasi dilakukan petani fasilitatior P4S terhadap pihak swasta, koperasi, sekolah/universitas atau kalangan umum dengan memberikan pengalaman, kesiapan, penguasaan kompetensi, status, dan kepercayaan diri dan
menerima
dana
penyelenggaraan
pelatihan
serta
kepuasan
pembelajar/klien terutama bagi pembelajar non petani.Transaksi negosiasi juga dilakukan petani fasilitator P4S dengan memberikan uang kepada sesama petani dan anggota masyarakat sekitar P4S untuk menerima penyediaan lahan usahatani dan bahan-bahan untuk praktek, pemondokan, dan kuliner bagi pembelajar. Dukungan sosial diperoleh petani fasilitator dari Penyuluh Pertanian PNS dan THL TB-PPsetempat, berupa pemberian materi
228
pelatihan, bahan-bahan informasi (leaflet, koran, dsb.), saran tentang penyelenggaraan pelatihan/magang; serta dari anggota keluarga, tetangga, dan sesama petani berupa tenaga/pikiran dalam kegiatan administrasi pelatihan, membuat/mengirimkan email atau teknologi informasi terkait kegiatan pelatihan, menyiapkan lokasi praktek usahatani, membuat masakan/penganan dan kamar pemondokan bagi pembelajar. 3.
Dari 97 P4S di Jawa Barat yang dijadikan sampel penelitian, terdapat 69,07% P4S efektif dikelola petani fasilitator dengan kategori Tinggi; 30,93% lainnya Sedang. Pengetahuan, sikap mental, dan ketrampilan petani fasilitator secara
simultan berpengaruh secara signifikan (p<0,05) terhadap efektivitas P4S. Namun secara parsial, pengetahuan petani fasilitator tidak signifikan berpengaruh terhadap efektivitas P4S. Tidak signifikannya pengaruh pengetahuan tersebut terhadap efektivitas P4S karena petani fasilitator belum menguasai prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, materi, metode, dan audio visual aids (AVA) pembelajaran termasuk tidak dilakukannya refleksi harian guna mencapai “discovery learning” dan transformasi pengetahuan bagi petani pembelajar tentang “apa” dan “mengapa” inovasi pertanian dapat/tidaknya diterapkan di masing-masing usahataninya. Penguasaan kluster ketrampilan petani fasilitator yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengetahuan dan sikapnya membuktikan bahwa proses pembelajaran di P4S lebih ditekankan pada praktek dibandingkan teori. Petani fasilitator berkeyakinan bahwa ketrampilan sebanyak mungkin penting dikuasai para petani pembelajar untuk segera diterapkan pada usahataninya masingmasing.
229
Kontribusi pengetahuan, sikap mental, dan ketrampilan petani fasilitator terhadap efektivitas P4S berturut-turut adalah: 7,5%; 16,9%; dan 25,1%. Kontribusi ketiga kluster kompetensi peran petani sebagai fasilitator terhadap P4S secara simultan adalah 32%; 68% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.Terdapat perbedaan signifikan pengaruh ketiga kluster kompetensi yang dimiliki petani fasilitator terhadap efektivitas P4S pada kelas berbeda (Kelas Madya/Utama dan Pemula). 4.
Sebanyak 76,29% petani fasilitator memiliki empati dalam kategori sedang dan 23,71% tinggi. Empati memiliki kedudukan sebagai prediktor disaat memoderasi hubungan satu jenis kompetensi petani fasilitator dan efektivitas P4S dan menjadi Homologizer Moderator di saat memoderasi hubungan beberapa jenis kompetensi secara simultan dan efektivitas P4S. Petani fasilitator yang memiliki empati di atas rata-rata lebih memperkuat hubungan tiga kluster kompetensinya (pengetahuan, sikap mental, ketrampilan) secara simultan dan efektivitas P4S dibandingkan dengan petani fasilitator yang memiliki empati di bawah rata-rata. Terdapat perbedaan signifikan pengaruh empati petani fasilitator terhadap efektivitas P4S pada kelas berbeda (Kelas Madya/Utama dan Pemula).
5.
Empati petani fasilitator tidak berperan sebagai pure moderator atau quasi moderator karena secara kuantitatif terdapat nilai interaksi yang rendah dan bahkan ada yang negatif diantara kluster kompetensi dan empati petani fasilitator untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap efektivitas
230
P4S; dan secara kualitatif diduga kuat karena ketidakmampuan petani fasilitator memadukan “model aktor rasional” dan “model pembelajaran”nya. Empati petani fasilitator sebagian mengarah pada spiritual altruistik dan altrusitik rasional untuk memperkuat efektivitas P4S; dan sebagian petani fasilitator memiliki empati negatif karena faktor kelelahan, kejenuhan, ketidakpuasan atau kekecewaan yang menghambat efektivitas P4S. 6.
Keterbatasan dari penelitian ini, adalah bahwa penelitian ini bukanlah sebuah penelitian eksperimen yang menggunakan variabel kontrol produksi usahatani petani non pembelajar untuk membandingkan produksi pertanian petani pembelajar (purnawidya) pasca mengikuti pelatihan di P4S.Faktor norma dan spiritual belum dieksplorasi secara kuantitatif untuk membentuk struktur penyusun empati selain memahami perspektif orang lain, merasa kasihan dan peduli, dan semangat memberi dan berbagi.
7.2 Saran 7.2.1 Implikasi Konsep dan Teori Beberapa implikasi konsep dan teori dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Empati petani fasilitator berperan sebagai moderator homologizer hubungan kluster kompetensi petani fasilitator dan efektivitas organisasi P4S karena terdapat komponen lain pembentuk struktur empati yang mengarah pada perilaku prososial yang altruistik, yaitu spiritual. Masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, terutama pada Sila Pertama, “spiritual” diusulkan menjadi satu komponen pembentuk empati petani fasilitator P4S di Jawa Barat
231
bersama-sama dengan memahami perspektif petani lain, merasa kasihan dan peduli, serta semangat memberi/berbagi dengan sesama petani. 2. Dengan mempertimbangkan makna tahapan perilaku peran petani (produsen, manajer/pemimpin, wirausaha) dan tahapan tiga
kluster kompetensi
(pengetahuan, sikap mental, ketrampilan) fasilitator diusulkan “model aktor pembelajaran rasional” sebagai penggabungan “model aktor rasional” dan “model pembelajaran” sebagaimana yang dikemukakan Ritzer dan Smart (2014). Peran Petani
Pengetahuan
Level Pada Kluster Kompetensi Sikap mental Ketrampilan
Fasilitator Wirausaha
Menciptakan
Mengkarakterisasi
Manajer/pemimpin
Mengevaluasi
Mengorganisasikan Menilai
Mengadaptasi
Menerapkan Mempraktekkan Produsen Memahami Merespon Meniru Mengingat Menerima Mengobservasi Gambar 1. “Model aktor pembelajaran rasional” petani fasilitator P4S Terdapat dua implikasi penting dari model di atas. Pertama, kriteria petani untuk berhasil menjadi fasilitator didahului keberhasilan memainkan perannya sebagai “model aktor rasional” yaitu sebagai produsen, manajer/pemimpin, dan wirausaha. Dengan kata lain, keberhasilan petani sebagai fasilitator atau “model aktor pembelajaran rasional” merupakan agregat keberhasilan sebagai “model aktor rasional” dan “model pembelajaran”. Blatner (2006), mengungkapkan, bahwa, “kesulitan (berperan sebagai fasilitator) akan muncul ketika kompetensi sub-sub peran lain (sebagai produsen, manajer/pemimpin, dan wirausaha) tidak ada!” Kedua, masing-masing peran menuntut
232
penguasaan level tertentu pada kluster kompetensinya. Makin tinggi peran yang dimainkan petani (mulai produsen, manajer/pemimpin, wirausaha, hingga fasilitator) makin tinggi pula tuntutan penguasaan level perilaku pada masing-masing kluster kompetensi (pengetahuan, sikap mental, ketrampilan). Dengan kata lain, bahwa “peran puncak” seorang petani yang perlu dijalankan petani setelah berperan sebagai produsen, manajer/pemimpin, dan wirausaha adalah sebagai fasilitator (Soedijanto, 2003) perlu dibekali kecakapan dan kemampuannya hingga tahap tertinggi untuk masing-masing kluster kompetensi,
yaitu
tahap
“Menciptakan”
untuk
pengetahuan;
tahap
“Mengkarakterisasi” untuk sikap mental; dan tahap “Mengadaptasi” untuk ketrampilan. 7.2.2 Implikasi Kebijakan 1. Mengingat terdapat perbedaan mendasar pengertian “instruktur” dan “fasilitator” menurut FAO (2001), maka pedoman maupun petunjuk teknis terkait dengan P4S untuk tidak mempersamakan kedua istilah tersebut, 2. Penguasaan konsep dan Prinsip Proses Belajar-Mengajar adalah sesuatu yang mutlak yang harus dilakukan oleh fasilitator untuk mencapai efektivitas pelatihan (Soedijanto, 2007); dan mengingat secara parsial, kompetensi pengetahuan tidak berpengaruh signifikan terhadap efektivitas P4S sehingga masih diperlukan pelatihan (bagi petani fasilitator pada P4S Pemula) dan workshop (bagi petani fasilitator pada P4S Madya/Utama) untuk mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, materi, metode, dan audio visual aids (AVA) pembelajaran.
233
3. Mengingat kluster kompetensi peran petani fasilitator petani fasilitator sebagian besar berada dalam kategori Sedang, diperlukan bimbingan lanjutan oleh Widyaiwara Pertanian yang didasarkan atas hasil evaluasi penguasaan materi pada Pelatihan Bagi Fasilitator P4S dan Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang sudah disusun oleh petani fasilitator purnawidya. 4. Masih ditekankan pentingnya pendampingan oleh Penyuluh Pertanian PNS/THL saat dilakukan pembelajaran “petani-belajar-kepada-petani” pada P4S terutama dalam memproses pengalaman petani pembelajar (tahapan processing dalam experiential learning cycle), memandu kegiatan refleksi, dan mengevaluasi hasil berlatih petani pembelajar pada usahataninya masingmasing pasca berlatih di P4S. 5. Masih ditekankan pentingnya bimbingan Widyaiswara Pertanian bagi petani fasilitator/pengelola P4S secara terencana, periodik dan berkesinambungan dengan mempertimbangkan kondisi P4S saat ini menurut Zona “Hubungan Empati Petani Fasilitator – Efektivitas P4S” sehingga dapat mencapai Zona I (empati tinggi dan efektivitas tinggi). 6. Mengingat sebagian besar petani fasilitator P4S di Jawa Barat memiliki empati dalam kategori sedang, diperlukan pelatihan khusus tentang peningkatan dan pengembangan empati dengan berbagai metode pembelajaran orang dewasa termasuk metode bermain peran (role playing) atau kegiatan outbond bagi petani fasilitator P4S; jika perlu dilakukan bersama petugas pertanian Kota/Kabupatennya masing-masing.
234
7. Dengan jumlah penyuluh pertanian PNS/THL dan frekuensi pembinaan dan pendampingan P4S yang masih rendah, diperlukan koordinasi melalui workshop antar Unit Pelaksana Teknis/UPT Pusat dan Badan Koordinasi Penyuluhan yang berada di Daerah, menyangkut: pembiayaan untuk pelatihan; kelengkapan sarana/prasarana; dokumentasi hasil kediklatan di P4S; serta pendayagunaan petani fasilitatornya sehingga P4S dan kompetensi petani fasilitator dapat lebih efektif dan efisien. Ini terutama diperuntukkan bagi P4SP4S yang masih berada dalam Kelas Pemula hingga Madya. 8. Kurikulum
pelatihan
Pemerintah/Swasta
bagi
fasilitator
hendaknya
P4S
menyesuaikan
di
Balai-balai dengan
Pelatihan
peran
aktual
petanidengan mempertimbangkan “Model aktor pembelajaran rasional” (Gambar 18) sertakebutuhan ideal petani untuk menghadapi era globalisasi. Seleksi yang jelas tentang kualifikasi calon peserta dan klasifikasi P4S sebaiknya menjadi prioritas utama dari calon peserta yang akan mengikuti pelatihan. 9. Keberadaan dan bukti kinerja yang dilakukan P4S serta empati petani pengelola/fasilitatornya dapat mendorong kelembagaan tersebut menjadi sebuah organisasi pembelajaran yang empatik, yaitu dengan menggabungkan dua konsep utama, yaitu: organisasi pembelajaran (Sadler, 1994; Scott, 2011; Beck, 1989; Johnson dan Johnson, 2000) dan organisasi empatik (Lei dan Greer, 2003). Satu indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur efektivitas P4S adalah kepuasan kerja petani fasilitator sebagai fasilitator. Banyak teori dan hasil penelitian yang mengungkapkan pentingnya
235
kepuasan kerja sebagai aspek atau faktor untuk mencapai sebuah organisasi yang efektif (misalnya: Keller, 1983; Umstot, 1988; Kinicki dan Kreitner, 2004; Luthans, 2005; Newstrom, 2007; Muchlas, 2008); Robbins dan Judge, 2008; Schermerhorn, dkk., 2008; dan Naaj dkk., 2012). Dari hasil pembuktian hipotesis secara signifikan dalam penelitian ini, kepuasan kerja dapat ditambahkan sebagai unsur dalam aspek budaya klan (Klan culture) guna membentuk organisasi yang empatik sebagaimana yang dikemukakan Lei dan Greer (2003, hal.151) (Tabel 10). Konsep untuk mewujudkan P4S sebagai organisasi pembelajaran yang empatif secara mendasar juga diupayakan untuk mempertahankan akar budaya masyarakat petani yang kolektivistik guna meningkatkan produktivitas pertanian baik secara kuantitatif maupun kualitatif termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. 10. Mengadaptasi
Goleman
dan
Boyatzis
(1995),
empati
yang
perlu
dikembangkan petani fasilitator P4S disamping kecerdasan spiritual selayaknya
mengarah
pula
pada
kecerdasan
emosional
(emotional
intelligence) atau sebagai penjabaran atruistik rasional, sebagai dasar untuk membangun model kombinasi kesadaran-diri (mengenali secara akurat perasaan, minat, nilai, dan kekuatan, percaya diri, pengendalian diri, transparansi, kemampuan beradaptasi, dorongan berprestasi, dan inisiatif) dan kesadaran sosialnya (memahami perspektif dan berempati dengan orang lain; mengenal
dan
menghargai
persamaan/perbedaan
individu/kelompok,
mengenal dan menggunakan keluarga/sekolah/masyarakat sebagai sumberdaya, kesadaran berorganisasi, dan berorientasi pelayanan)dan bermuara pada
236
relationship management (kepemimpinan inspiratif, pengembangan orang lain, berpengaruh, katalis perubahan, manajemen konflik, membangun ikatanikatan, dan jejaring kerja dan kolaborasi). Konsep ini dapat dipertimbangkan untuk melengkapi Kurikulum Pelatihan Manajemen P4S dan/atau Pelatihan Kepemimpinan Bagi Pengelola/Fasilitator P4S.