8
KESIMPULAN DAN REFLEKSI
8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism, Islam modernisme, dan sekularisme. Setiap fase para elite pada kedua etnis ini melakukan interaksi dengan pengikutnya menggunakan instrumen yang berbeda-beda, berdasarkan karakter dan fase yang sedang berlangsung. Pada fase tradisional misalnya elite cenderung menggunakan instrumen simbol budaya untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya. Fase feudalisme, merupakan fase dimana elite etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlomba-lomba memasuki rasionalitas ekonomi, tanah dijadikan alat untuk mereproduksi kekuasaan. Fase Islam moderenisme adalah fase para elite melakukan perlawanan terhadap budaya dan tradisi, simbol budaya dinegasikan, semakin menguatnya kesadaran moralitas dan intelektualitas. Sedangkan fase sekularisme adalah fase kemunculan tradisi pragmatism dan transaksional. Para elite larut dengan utilities (nilai guna), efisiensi, rasionalitas dan materialisme. Pada fase ini elite menggunakan kuasa, uang dan hibridisasi budaya politik dalam upayanya meraih, mereproduksi dan memperluas kekuasaan. Jika diabstraksikan ke dalam perspektif Comte dan Weber serta temuan Gibson, fase transformasi kekuasaan elite politik etnis Bugis dan Makassar yang ditemukan dalam studi ini memiliki kemiripan dengan teori tiga tahapan Comte (1838), perspektif rasionalitasnya Weber dan temuan Gibson (2005;2007) tentang transformasi kekuasaan di Sulsel. Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai; tahap teologis, adalah periode feudalisme, tahap metafisis merupakan periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat modern dan industri. Teori ini mirip dengan yang dikemukakan oleh Gibson (2005;2007) bahwa pada etnis Bugis dan Makassar terjadi tiga tahapan atau fase transformasi kekuasaan; yakni fase; tradisional, Islam dan modern.
301
Bila dianalisis menggunakan teori tindakan rasionalitas nilainya Weber, maka fase kekuasaan tradisional menurut Gibson & fase teologis menurut Comte, sama dengan fase supranatural menurut Weber. Dan fase feudalisme menurut studi ini sejajar dengan fase positifistik (materialistik) menurut Comte, dan Weber menyebutnya sebagai fase rasionalitas ekonomi. Sedangkan fase Islam modern dan fase sekularisme menurut studi ini merupakan transformasi disejajarkan dengan perkembangan
yang dapat
menuju dinegasikannya kapitalisme
internasional dan didewakannya scientism. Pola interaksi antara elite etnis Bugis (Bone), dan elite etnis Makassar (Gowa) dengan massanya, diperoleh kencenderungan yang berbeda. Proses pembentukan elite di Bone didominasi oleh kelompok aristokrat (bangsawan kelas tinggi), terjadi hirarki sosial politik yang sangat teratur dan disiplin. Sangat sulit bagi kalangan masyarakat biasa bisa memasuki panggung politik kekuasaan di Kabupaten Bone. Dalam konteks ini, proses pembentukan elite di Bone bisa disebut sangat ‖tertutup‖ dan sentralistik. Ini dibuktikan dengan homogennya para elite yang bermain pada panggung kekuasaan pada aras mezo, yaitu mereka yang hanya memiliki kaitan dengan darah kebangsawanan. Mereka berhasil memelihara posisi mereka sebagai aristokrat, yang seakan-akan hanya mereka yang berhak atas struktur kekuasaan. Karakternya yang tertutup menyebabkan terjadinya perlawanan atau semacam pemberontakan dari kelompok masyarakat seperti yang terjadi di Desa Benteng Tellue. Dengan cara itu, keluarga PG yang memimpin perlawanan terhadap proses pembentukan elite di Kabupaten Bone bisa menembus panggung kekuasaan. Sedangkan proses pembentukan elite dan interaksi elite dengan massa di Kabupaten Gowa berlangsung lebih terbuka, setiap orang memiliki kesempatan yang relatif sama untuk menciptakan dirinya sebagai elite atau memasuki panggung kekuasaan. Peranan aristokrat dan bangsawan terus mengalami penurunan fungsi sosial dan politik, mereka gagal memelihara posisi aristokrasinya. Hal ini dapat dilihat pada semakin tergerusnya aktor-aktor bangsawan yang mengisi panggung kekuasaan di Gowa. Dengan proses pembentukan elite yang relatif terbuka dan desentralitatif, elite-elite yang berada pada struktur kekuasaan di Gowa menjadi sangat heterogen dan ditemukan aktor
302
yang plural, baik dari segi etnisitas, agama, latar belakang (keturunan) dan organisasi sosial dan politik. Di Gowa, tidak terjadi ‖pemberontakan‖ dari kalangan bawah sebagaimana yang terjadi di Desa Benteng Tellue Bone, sebagai bentuk perlawanan atas ketidakpuasan massa atas sempitnya ruang kekuasaan untuk masyarakat biasa. Dalam
hal
perluasan
area
kekuasaan,
elite-elite
Bone
tidak
memperlihatkan kecenderungan memperluas wilayah kekuasaan sebagaimana yang dilakukan oleh elite Gowa (terutama pada fase tradisional hingga fase islam modern). Elite Bone cenderung memperkuat kekuasaan politik pada wilayahnya sendiri, atau paling jauh pada etnisnya sendiri. Perilaku ini dapat difahami karena jumlah mereka dominan di Sulsel. Sebaliknya elite Gowa berupaya melakukan perluasan wilayah kekuasaan dengan melintasi batas wilayah, etnis dan agama,
melalui wacana kesatuan (unity) Sulsel.
Kecenderungan ini terutama terjadi pada aras lokal makro (provinsi). 8.1.2 Pola Elite Bugis dan Makassar Membagi Kekuasaan Ruang kekuasaan bagi elite Bugis Bone maupun Makassar Gowa memiliki arti penting bagi eksistensi dan martabat pribadi, harga diri keluarga dan etnisnya. Karena itu, mulai dari fase tradisional hingga kini, ruang kekuasaan selalu melekat dengan individu penguasa, keluarga, client dan etnisnya. Mereka sulit memisahkan ruang kekuasaan sebagai ruang publik dengan kepentingan individu yang berada pada ruang private. Karena itu, posisi-posisi strategis dalam ruang kekuasaan yang dikendalikannya selalu diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengan sang penguasa. Jika posisi-posisi strategis itu diberikan kepada elite lain yang berbeda latar belakang dan etnis dengan elite yang sedang berkuasa, maka pilihan itu bagian dari strategi menjaga keseimbangan kekuasaan politik antar etnis yang berkompetisi. Strategi menjaga keseimbangan ini menjadi karakter utama rejim pada fase sekularisme. Pembagian kekuasaan pada aras mikro (desa), mezzo (kabupaten) dan makro (provinsi) bagi elite Bone masih tertumpu pada faktor kedekatan emosional (politik kekerabatan), hubungan darah dan etnisitas. Sedangkan di Kabupaten Gowa pembagian kekuasaan sudah mulai tersebar, kecuali pada aras mikro. Akan
303
tetapi penyebaran kekuasaan itu tidak semata-mata atas pertimbangan rasionalitas atau sistem pemerintahan yang baku. Pilihan terhadap elite-elite dari etnis lain untuk mengisi ruang kekuasaan pada aras makro dan mezzo, masih terkait dengan kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, elite Gowa yang dimulai oleh SYL (Gubernur Sulsel
2008-2013) dalam proses pembagian
kekuasaan, selain pendekatan emosional dan primordial, ia mulai menggunakan konsep hibridisasi budaya politik (budaya politik yang sesungguhnya sudah lama dianut oleh elite-elite Bone untuk praktek politik pada aras makro). 8.1.3 Penggunaan Simbol Budaya, Kuasa, Uang dan Budaya Sosiologi Politik Lainnya Simbol budaya adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar. Puncak penggunaan simbol budaya sebagai alat legitimasi kekuasaan para elite dimulai pada fase kekuasaan tradisional dengan konsep tomanurung dan kalompoang. Penggunaan simbol budaya tomanurung dan kalompoang sebagai alat untuk melegitimasi kedudukan para elite keturunan bangsawan di Kabupaten Bone masih berlangsung hingga kini, mulai dari aras terkecil (Desa) hingga aras lokal (provinsi). Sementara itu, penggunaan simbol budaya sebagai alat untuk pembentukan elite di Kabupaten Gowa
mengalami krisis kepercayaan dari
pengikutnya. Tomanurung dan kalompoang secara sistematis digeser posisinya oleh keyakinan masyarakat rasional yang lebih percaya pada tingkat pendidikan, ekonomi, pengalaman dan wacana. Rasionalitas masyarakat Gowa terhadap simbol budaya sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya yang relatif terbuka, ditambah dengan gagalnya aristokrat Gowa mewacanakan pentingnya konsep tomanurung. Uang dan kuasa memiliki peranan yang berbeda-beda dalam proses pembentukan elite, memperkokoh kekuasaan dan memperluas wilayah pengaruh pada etnis Bugis dan Makassar. Pada aras mikro di Desa Benteng Tellue Bone, peranan uang dan kuasa sangat menentukan, ketimbang simbol budaya. Tetapi tidak terjadi pada Desa Ancu di kabupaten yang sama. Desa Ancu justru didominasi oleh pengaruh simbol budaya dan kuasa, dibandingkan 304
dengan peranan uang. Sementara pada dua desa di Kabupaten Gowa, permainan simbol budaya dan uang memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan faktor kuasa. Pada level mezzo (Kabupaten), di Bone simbol budaya dan kuasa menjadi kekuatan yang paling berpengaruh dalam membentuk elite, meraih dan mereproduksi kekuasaan. Sedangkan pada level yang sama di Kabupaten Gowa, faktor uang yang disusul kuasa lebih berpengaruh dibandingkan dengan simbol budaya. Simbol budaya dan uang menentukan eksistensi elite etnis Bone untuk menguasai panggung kekuasaan pada aras makro (provinsi). Sedangkan elite Gowa cenderung menggunakan kuasa dan uang untuk memperluas wilayah kekuasaan dan pengaruhnya. Keunggulan elite-elite etnis Bugis Bone menembus panggung kekuasaan yang lebih tinggi (provinsi dan Sulsel) dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya sosiologi politik yang melekat (embeddednes) seperti; prinsip-prinsip politik yang longgar, karakter kompromistik yang tinggi, kemampuan adaptif dengan budaya luar, kemampuan memadukan uang, usaha, dan kuasa dalam satu paket politik. Kemampuan ini kemudian ditransformasikan menjadi budaya politik baru, yang disebut sebagai budaya politik hybrid. Padahal secara internal pada aras mezzo, proses pembentukan elite di Bone berlangsung sangat ―tertutup‖. Sebaliknya proses pembentukan elite yang sangat ―terbuka‖ yang berlangsung di Gowa (pada level mezzo) justru belum berhasil mengantar eliteelitnya pada panggung kekuasaan makro (provinsi dan Sulsel). Kegagalan ini dipengaruhi oleh budaya politik mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip politik, tidak pandai menformulasikan uang, kuasa, usaha dan budaya dalam satu paket politik, dan sulit beradaptasi dengan budaya-budaya politik luar. Elite etnis Bugis Bone dalam proses pembentukannya sangat ―tertutup‖ (hanya dikuasai oleh kalangan aristokrasi) pada aras mezo (kabupaten), tapi sangat terbuka dan felksibel pada aras makro (propinsi dan Sulsel). Sebaliknya, proses pembentukan elite Gowa berlangsung sangat ―terbuka‖ dan fleksibel pada aras mezo, tetapi sangat sulit menerima sistem politik luar dan sulit beradaptasi pada level makro.
305
8.2 Refleksi Perkembangan Budaya Politik Pada Etnis Bugis dan Makassar 8.2.1 Meredupkan Politik Identitas Menguatnya politik identitas dapat di counter dengan
mengembangkan
hibridisasi budaya politik dan memperlakukan arena kekuasaan sebagai ruang yang tidak membatasi hak-hak sipil masyarakat. Untuk menghindari terjadinya proses pembentukan elite dan pengisian panggung kekuasaan dengan cara yang tidak lazim, seperti yang terjadi pada komunitas Desa Benteng Tellue di Kabupaten Bone, maka perlu memperlakukan arena kekuasaan sebagai ruang yang tidak membatasi hak-hak semua pihak. Pada situasi seperti ini, semua komponen masyarakat perlu secara sadar untuk mensosialisasikan bahwa panggung kekuasaan dapat diisi oleh semua lapisan masyarakat yang memiliki kompetensi, kapabilitas dan kapasitas. Bersamaan dengan itu, semua pihak hendaknya tidak mengeksplorasi diferensiasi sosial berdasarkan kasta dan lapisan sosial. Syarat penerimaan (acceptability) sosial terhadap seseorang untuk mengisi ruang kekuasaan bukan berdasarkan latar belakang keturunan dan susunan sosial masa lalu. Kampanye politik yang mengarah pada ekplorasi etnisitas, suku dan agama patut dipertimbangkan untuk terus dikurangi, hingga ditiadakan, dan digantikan dengan pendekatan budaya politik hybrid. Budaya politik hybrid diharapkan mampu membuka ruang politik bagi semua, tanpa mempertimbangkan aspek mayoritas dan minoritas, dan dijadikan sebagai model pendekatan dalam politik masyarakat plural. 8.2.2 Pembagian Kekuasaan dan Kualitas Kekuasaan Distribusi kekuasaan berdasarkan etnis, geopolitik dan agama dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan politik, terutama pada wilayah politik plural seperti di Sulsel. Akan tetapi tradisi menjaga keseimbangan politik (antar wilayah, etnis dan agama) dengan cara pembagian kekuasaan, yang sering dilakukan oleh para elite di Sulsel, menjadikan mutu kekuasaan mengalami penurunan. Politik balas budi (terutama yang terjadi pada era sekularisme melalui pilkada) juga ikut memperburuk 306
kualitas
kepemimpinan.
Karena
itu,
untuk
memastikan
berlangsungnya sistem yang objektif dalam pembagian kekuasaan, para pemimpin atau pemerintah dapat menggunakan sistem atau standar yang terbuka dan melibatkan individu atau institusi independen untuk membantu memberikan rekomendasi atau pandangan rasional yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan pemerintah. 8.2.3 Meningkatkan Kualitas Demokrasi dengan Budaya Politik Hybrid Kualitas demokrasi ditentukan oleh seberapa besar publik ikut mengontrol kekuasaan. Itu sebabnya, tradisi kekuasaan ―tertutup‖ akan menjadi pemicu lahirnya politik kekerasan. Pengalaman politik elite di desa Benteng Tellue (desa kasus studi) untuk meraih posisi elite pada level yang lebih tinggi mezzo dan makro, cenderung diwarnai dengan intrik kekerasan, karena berhadapan dengan kekuasaan tertutup , menjadi bahan refleksi yang menarik bagi pihak-pihak yang memiliki minat untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Penggunaan simbol budaya, kuasa, dan uang dalam proses pembentukan elite politik dan ekonomi di Sulsel, akan sangat membahayakan pertumbuhan demokrasi. Padahal, demokrasi dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang sama kepada warga negara untuk bermain pada panggung publik. Untuk menghindari penggunaan simbol budaya, kuasa dan uang yang berlebihan, proses demokrasi harus dijalankan dengan sistem yang jelas dan pengawalan yang ketat oleh kelompok-kelompok masyarakat. Sistem berkaitan dengan aturan hukum yang harus ditegakkan dan pengawalan yang ketat berhubungan dengan terjaminnya hukum diberlakukan dengan pasti dan adil. Agar kualitas demokrasi terus membaik, elite dan calon pemimpin hendaknya mempromosikan diri mereka dengan rencana politik rasional, visi dan misi yang bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat memiliki hak pengujian dan kontrak politik atas visi dan misi yang diajukan oleh calon pemimpin publik. Selain, itu untuk menyelamatkan keberadaan provinsi Sulsel yang dihuni oleh beragam etnis dan ras, maka para elitnya harus berorentasi pada hibridisasi budaya sosiologi politik. Dan untuk tetap menjaga eksistensi keragaman etnisitas, maka para elite pada aras mezzo harus terus mempromosikan budaya sosiologi politik koeksistensi.
307