BAB VII KESIMPULAN DAN PENUTUP 7.1 Kesimpulan Model terpilih yang telah disampaikan pada Bab VI pada hakikatnya merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan penelitian dan peleburan dari asumsi pemodelan. Pertanyaan penelitian dan asumsi pemodelan di dalam penelitian ini memiliki keterkaitan yang erat. Asumsi pemodelan merupakan batasan atau pun pondasi yang dibangun diatasnya jawaban atas pertanyaan penelitian. Oleh karena itulah, baik pertanyaan penelitian maupun asumsi pemodelan dirumuskan dalam bentuk utama dan turunan. Bentuk jawaban dari pertanyaan utama dan peleburan asumsi utama terwujud dalam bentuk model yang bisa digambarkan sebagai berikut:
Gambar 54: Model Terpilih Sumber: Analisis (2013) Penjebaran dan penjelasan pertanyaan utama dan asumsi utama tersebut terdapat di dalam empat pertanyaan turunan dan tiga asumsi turunan. Untuk menjawab pertanyaan turunan pertama, yaitu pertanyaan mengenai tahapantahapan yang harus dilalui pada model pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan perencanaan kolaboratif, asumsi yang melandasinya adalah asumsi utama, yaitu asumsi bahwa tahapan pengkajian risiko bencana berorientasi pada pencapaian konsensus dengan cara kolaborasi. Bentuk jawaban 179
dari pertanyaan dan peleburan dari asumsi tersebut terwujud ke dalam 17 tahapan yang diperlihatkan pada gambar di atas. 17 tahapan tersebut terdiri dari 11 tahapan yang telah ada pada model eksisting dan enam tahapan yang ditambah dalam rangka memenuhi asumsi utama tersebut. Untuk menjawab pertanyaan turunan kedua, yaitu pertanyaan mengenai substansi apa saja yang harus dibahas pada setiap tahapan, asumsi yang melandasinya adalah asumsi turunan pertama, yaitu asumsi bahwa harus diwujudkannya kolaborasi sumber pengetahuan di dalam model yang diusulkan. Bentuk
jawaban
dari
pertanyaan dan peleburan dari
asumsi
tersebut
mengharuskan adanya perpaduan antara pengetahuan sains dan pengetahuan lokal dan juga perpaduan antara subjektifitas dan objektifitas di dalam substansi yang dibahas secara keseluruhan di dalam model terpilih. Rincian mengenai substansi mana saja yang merupakan bentuk dari pengetahuan sains-objektifitas dan pengetahuan lokal-subjektifitas telah jelas tersampaikan di dalam penjelasan Model Terpilih yang disampaikan pada Bab VI. Adapun untuk menjawab pertanyaan turunan ketiga, yaitu pertanyaan mengenai metode yang digunakan dalam pembahasan setiap tahapan, asumsi yang mendasarinya adalah asumsi turunan kedua, yaitu asumsi bahwa harus diwujudkannya kolaborasi dalam hal metode yang digunakan. Bentuk jawaban dari pertanyaan dan peleburan dari asumsi tersebut mengharuskan adanya perpaduan antara metode saintifik dan metode community based, serta metode kuantitatif dan kualitatif. Di dalam model terpilih pada penelitian ini, berbagai metode yang digunakan dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu metode saintifik, metode community based, dan metode kolaboratif. Metode saintifik adalah metode yang bercirikan digunakannya standar ilmiah tertentu di dalam penerapannya dan cendrung menggunakan metode kuantitatif. Metode Community based adalah metode yang bercirikan digunakannya subjektifitas masyarakat dan cendrung menggunakan metode kualitatif. Sedangkan metode kolaboratif, adalah metode yang memadukan keduanya. Gambar 52 dan Gambar 53 yang telah di sampaikan pada bab sebelumnya menjelaskan persebaran penggunaan ketiga metode di dalam dua varian model terpilih. Selain itu pula, masing-masing 180
metode memiliki beberapa opsi perangkat yang bisa digunakan untuk dipraktekkan. Pilihan perangkat untuk masing-masing metode juga telah di sampaikan melalui Tabel 39 pada bab sebelumnya. Adapun untuk menjawab pertanyaan turunan keempat, yaitu pertanyaan mengenai aktor siapa saja yang perlu dilibatkan dalam setiap tahapannya, asumsi yang mendasarinya adalah asumsi turunan ketiga, yaitu asumsi bahwa harus diwujudkankannya kolaborasi dalam hal aktor yang terlibat yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait. Bentuk jawaban dari pertanyaan dan peleburan dari asumsi tersebut sejalan dengan penjelasan jawaban pertanyaan turunan ketiga pada paragraf sebelumnya karena penjelasan mengenai aktor terlibat bergantung pada metode yang digunakan. Jika metode yang digunakan adalah metode saintifik, maka aktor yang terlibat adalah pakar. Jika metode yang digunakan adalah metode Community based maka aktor yang terlibat adalah masyarakat. Sedangkan jika metode yang digunakan adalah metode kolaboratif maka aktor yang terlibat adalah seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk pakar, masyarakat, dan seluruh anggota FPRB. Persebaran aktor yang terlibat pada seluruh tahapan-tahapan di dalam model terpilih juga telah dijelaskan pada Gambar 52 dan Gambar 53. Dengan terjawabnya seluruh pertanyaan penelitian tersebut, dan dengan terleburnya seluruh asumsi pemodelan ke dalam Model Terpilih, diharapkan perceived risk yang ada pada benak masyarakat dan objective risk yang merupakan hasil kajian pakar bisa terkolaborasikan menjadi acceptable risk yang sesungguhnya dan tidak terdapat gap antara hasil kajian risiko dengan apa yang ada di lapangan. Selain itu, dengan seluruh tahapan, metode, substansi, dan aktor yang telah dirumuskan di dalam Model Terpilih, diharapkan berbagai kritik yang telah disampaikan terhadap model eksisting bisa teratasi dan berbagai kekurangannya bisa tertutupi.
181
7.2 Implikasi Kebijakan Sebagaimana di dalam sub-bab 2.2 di dalam tesis ini, pengkajian risiko bencana merupakan salah satu tahapan dari banyak tahapan di dalam penanggulangan bencana. Seluruh tahapan tersebut diatur di dalam Undangundang (UU) No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan dirinci di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Sebagai rincian lebih lanjut yang lebih teknis, diterbitkanlah Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Pengkajian risiko bencana sendiri di atur di dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dari apa yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya mengenai model terpilih maka bisa disimpulkan bahwa peran masyarakat di dalam proses pengkajian risiko menjadi syarat utama agar kolaborasi bisa terwujud. Oleh karena itulah peran masyarakat dalam bentuk hak dan kewajiban di dalam proses pengkajian risiko bencana perlu diatur di dalam peraturan terkait, baik di dalam undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan kepala BNPB. Jika ditinjau di dalam UU No. 24 Tahun 2007, hak dan kewajiban masyarakat di dalam penyelenggaraan secara umum telah diatur secara garis besar di dalam Pasal 26 hingga Pasal 28. Di dalam pasal 26 ayat 1 butir d dan e disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk: 1. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial. 2. Berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
terhadap
kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya. Begitu pula halnya di dalam PP No. 21 Tahun 2008. Di dalam pasal 8 ayat 3 disebutkan bahwa di dalam menyusun rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana harus menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari Pemerintah, non pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha yang 182
dikoordinasikan oleh BNPB. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kebijakan mengenai pelibatan masyarakat di dalam pengkajian risiko bencana sudah diatur di dalam UU dan PP terkait. Apabila ditinjau di dalam Perka BNPB No. 4 Tahun 2008 dan Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 yang merupakan perincian lebih lanjut dari UU No. 24 Tahun 2007 dan PP No. 21 Tahun 2008, kebijakan yang mengatur pelibatan masyarakat dalam bentuk pengaturan hak dan kewajiban belum ditemui. Oleh karena itu, sebagai implikasi apabila model terpilih dari penelitian ini akan diaplikasikan, kedua Perka yang merupakan payung kebijakan bagi proses pengkajian risiko bencana tersebut perlu direvisi dengan mengatur hal-hal umum hingga teknis dari hak dan kewajiban masyarakat di dalam proses pengkajian risiko bencana.
7.3 Prasyarat Penerapan dan Analisis Sensitivitas Model Terpilih Setidaknya terdapat empat prasyarat yang penulis sarankan apabila Model Terpilih akan diterapkan di lapangan. Berikut disampaikan keempat prasayarat tersebut sekaligus dengan analisis sensitivitas dari Model Terpilih. Analisis sensitivitas yang dimaksud merupakan analisis kualitatif mengenai konsekuensi yang didapat apabila keempat prasyarat tersebut tidak terpenuhi. 1. Dibutuhkan seorang fasilitator yang memiliki kemampuan memfasilitasi pertemuan antara pakar dan masyarakat, antara objektivitas dan subjektivitas, dan antara metode saintifik dan metode community based, dan berbagai keahlian lainnya sebagaimana telah disampaikan pada tahapan-tahapan terkait. Fasilitator tersebut minimal terdapat satu orang untuk setiap level pelaksanaan terkecil dari tahapan pengkajian risiko bencana, yaitu level dusun. Keberadaan fasilitator tersebut merupakan prasyarat mutlak dari Model Terpilih dalam rangka memenuhi berbagai konsekuensi penerapan pendekatan kolaboratif. Dengan demikian, apabila tidak terdapat fasilitator sebagaimana yang dipersyaratkan maka terlebih dahulu perlu diadakan pelatihan fasilitator. Belajar dari kasus Kota Yogyakarta, terdapat dua peluang pihak yang bisa dijadikan sebagai 183
fasilitator, yaitu LSM yang bergerak dalam bidang kebencanaan dan warga asli dari daerah yang terpapar bencana yang telah mendapatkan pelatihan. 2. Perangkat Community Based Vulnerability Assessment (CBVA) harus dilaksanakan pada level pemerintahan yang berstatus Non-PNS, seperti untuk kasus Yogyakarta pada level dusun. Hal tersebut agar CBVA bisa terlaksana dengan baik tanpa adanya gangguan proses birokrasi. Berdasarkan pengalaman penerapan perangkat CBVA di lapangan, apabila CBVA dilaksanakan pada level desa/kelurahan yang berstatus PNS, proses birokrasi yang harus dilalui akan menghambat teknis pelaksanaannya. Hal tersebut pada gilirannya akan berdampak pada dua hal, yaitu waktu pelaksanaan yang lebih lama dan adanya peluang intervensi terhadap subjektifitas/local knowledge masyarakat yang diharapkan bisa terkristalisasi secara murni melalui pelaksanaan CBVA. 3. Terdapatnya kemauan (willingness) pada masyarakat untuk terlibat di dalam proses penilaian risiko, baik kemauan itu telah ada secara sendirinya atau pun dengan dorongan. Apabila prasyarat kemauan tersebut tidak ada dan tidak bisa didorong, akan menyebabkan tidak akuratnya hasil CBVA dan pada gilirannya mengakibatkan perceived risk yang didapatkan juga tidak akurat. 4. Perangkat CBVA yang dirumuskan dan diberi arahan di dalam Model Terpilih sangat bersifat tentantif dan sangat membuka peluang untuk mengalami penyesuaian ketika penerapan di lapangan. Apabila perangkat tersebut tidak dirancang tentatif maka akan menyulitkan penerapannya pada berbagai masyarakat yang memiliki karakter yang berbeda-beda.
7.4 Peluang Praktik Model Terpilih Dikarenakan penelitian yang dirancang sejak awal hanya bertujuan untuk merumuskan model konsepsual-simbolik, maka model terpilih yang diusulkan pada penelitian ini belum aplikatif. Berikut beberapa hal yang perlu dirumuskan untuk melengkapi model terpilih agar bisa diaplikasikan: 184
1. Perincian kelas indeks. Di seluruh tahapan yang melakukan penilaian atau pun perhitungan pada model terpilih hanya dirumuskan indikator penilaian atau perhitungannya. Seluruh indikator tersebut perlu dirinci menjadi kelas indeks, sehingga bisa ditentukan untuk masing-masing indikator apakah bernilai rendah, sedang, atau tinggi. 2. Perincian persentase rerata. Pada tahapan IV, V, XIV, XV, dan XVII dari model terpilih telah disebutkan bahwa dilakukan pengrata-rataan, namun tidak disebutkan persentase dari masing-masing faktor/indikator yang akan dirata-ratakan tersebut. Persentase rerata perlu dirumuskan lebih lanjut karena tidak semua faktor/indikator memiliki nilai yang sama kuat. 3. Perincian perangkat menjadi petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan. Hal tersebut dalam rangka memperjelas hal-hal teknis seperti penggunaan software dan berbagai media lainnya. Apabila perincian tersebut telah dirumuskan maka diharapkan model terpilih yang merupakan model konsepsual bisa menjadi aplikatif dan bisa dipraktikkan.
7.5 Hambatan Penelitian Berikut beberapa hambatan yang didapat di dalam proses penelitian: 1. Tidak adanya metode analisis sensitivitas untuk model kualitatif. Padahal metode analisis sensitivitas sangat dibutuhkan untuk menguji akurasi dari deskripsi, prediksi, atau pun optimisasi dari sebuah model. 2. Model yang dirancang untuk diusulkan adalah model yang bertitik tolak dari Model Eksisting. Model Eksisting merupakan model yang telah rinci dan aplikatif yang telah diatur di dalam Perka BNPB No.03 Tahun 2012. Sedangkan dalam proses pemodelan yang dilakukan, telah ditetapkan batasan-batasan yang kerinciannya tidak sama dengan model eksisting. Hal tersebut di dalam beberapa bagian menyebabkan adanya inkonsistensi kerincian pembahasan. 185
3. Indikator-indikator yang digunakan untuk perhitungan indeks ancaman di dalam Model Terpilih sama persis dengan apa yang ada di Model Eksisting. Sejatinya, indikator-indikator tersebut juga perlu untuk dikritisi lebih lanjut. Namun tiga alasan berikut menjadi penyebab indikatorindikator tersebut tidak bisa dikritisi: a.
Referensi yang ada hanya bisa dipahami kalangan terbatas (pakar terkait) saja.
b.
Pakar terkait yang diharapkan bisa mengkiritisi indikator-indikator tersebut pada dua kali FGD berhalangan hadir.
c.
Seandainya pakar yang diundang bisa hadir, dua kali FGD tidak cukup untuk mengkritisi indikator untuk 13 jenis ancaman yang ada.
7.6 Saran Penelitian Lanjutan Secara garis besar ada tiga topik penelitian yang bisa dijadikan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini: 1. Penelitian untuk melengkapi dan mendetailkan Model Terpilih, diantara bentuknya adalah penelitian untuk menurunkan dari berbagai indikator yang telah dirumuskan di dalam penilaian kerentanan dan kapasitas menjadi kelas indeks. Selain itu bisa pula dalam rangka mendetailkan perangkat yang ada sampai menjadi petunjuk pelaksanaan atau pun petunjuk teknis. 2. Penelitian untuk pengujian lebih lanjut dari Model Terpilih. Pengujian lebih lanjut bisa dilakukan dalam bentuk simulasi. Simulasi belum dilakukan pada penelitian ini karena alasan keterbatasan waktu dan sumberdaya. Selain itu pengujian bisa pula dilakukan dengan metode analisis sensitivitas yang telah dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan model yang merupakan model kualitatif. 3. Penelitian penerapan pendekatan kolaborasi pada berbagai tahapan lainnya di dalam manajemen risiko bencana. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa penilaian risiko bencana hanya merupakan salah satu dari banyak tahapan di dalam manajemen risiko bencana. 186