VII. KAJIAN KELEMBAGAAN JPKM 7.1. Perkembangan Kelembagaan JPKM Kelembagaan merupakan salah satu faktor penggerak yang merupakan syarat kecukupan di samping Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam dan teknologi untuk mencapai keragaan pembangunan yang dikehendaki. Dalam ha1 pencapaian tujuan peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya peningkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
pembiayaan
kesehatan
dikembangkan bentuk kelembagaan Tripartied yang melibatkan masyarakat, PPK dan pihak ketiga berdasarkan UU No. 23 Th. 1992 tentang Kesehatan pasal 66 ayat 1,2,3 dan 4. Menurut Pakpahan dalam Sukmadinata (1995) kontribusi
utama
kelembagaan
dalam
proses
pembangunan
adalah
mengkoordinasikan para pemilik input dalam transformasi input menjadi output dan pada saat bersamaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada para pemilik input baik yang bersifat perorangan, organisasi, pemerintah atau yang lain. Perkembangan kelembagaan JPKM di Kabupaten Lombok Barat dimulai pada tahun 1996 dengan dibentuknya Tim Pembina JPKM berdasarkan SK Bupati
No. 2404 tahun 1996. Dimana pembentukan dilakukan oleh karena
adanya uji coba JPKM dengan dana dari Bank Dunia (Health Project IV) sebesar Rp. 5 juta per-kabupaten. Selanjutnya, dibentuk Badan Penyelenggara (Bapel) yang merupakan salah satu divisi dari
BUMD Patut Patuh Patju. Dipilihnya
BUMD ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu : a. Sesuai dengan Perrnenkes No.571/MenkeslPerNll/93 pasal32,35,36 dan 51 bahwa Bapel JPKM harus berbentuk Badan Hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
b. Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah dimana BUMD berada dibawah Bupati dan digunakan untuk kepentingan masyarakat setempat
c. Mengingat sifat JPKM yang tidak murni profit oriented, karena tujuan utamanya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Dalam perkembangannya, setelah masa uji coba habis dan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dilakukan maka secara epidemiologis dan ekonomis dianggap layak untuk tetap meneruskan dan mengembangkan JPKM. Dalam ha1 ini, komitmen Pimpinan Daerah Kabupaten Lombok Barat khususnya Pimpinan instansi Kesehatan sangat berperan. Komitmen ini diwujudkan dengan dibentuknya struktur organisasi kedinasan dimana salah satu bagiannya adalah Sub Dinas JPKM sementara di Kabupaten lain di Indonesia, JPKM dalam struklur kedinasan ada di tingkat seksi. Selanjutnya, terhitung rnulai bulan Nopember tahun 1999 dilaksanakan JPKM dengan ditetapkannya para pelaku utama dari kelembagaan JPKM di Kabupaten Lombok Barat yaitu BUMD Patut Patuh Patju sebagai Badan Penyelenggara (Bapel), Puskesmas-Pustu-Polindes sebagai kesatuan sarana pelayanan kesehatan masyarakat di suatu wilayah Kecamatan dikontrak menjadi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) serta masyarakat di wilayah kerja Puskesmas tersebut dapat menjadi Peserta. Dimana dalam kelembagaan JPKM, ketiga partisipan diikat oleh satu tujuan bersama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui keragaan yang diharapkan yaitu terjaminnya pernerataan pelayanan kesehatan masyarakat, rneningkatnya kualitas pelayanan sehingga benar-benar efisien dan efektii serta pengendalian biaya agar pelayanan kesehatan dapat lebih terjangkau bagi setiap orang.
Gambaran para pelaku utama kelembagaan JPKM :
1. Badan Penyelengggara (Bapel) JPKM yang merupakan salah satu divisi dari BUMD Patut Patuh Patju dengan tenaga tetap 6 (enam) orang terdiri dari Kepala Unit/Divisi dan 5 (lima) orang staf yang terbagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu Urusan Pelayanan Kesehatan, Urusan Keuangan, Urusan Pemasaran dan Urusan Umum.
2. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas sebagai satu kesatuan dengan Pustu dan Polindes yang ada di wilayah kerjanya dimana seluruh Puskesmas yang ada di Kab.Lombok Barat (19 Puskesmas) dikontrak untuk menjadi PPK.
3. Peserta yaitu rnasyarakat luas yang ada di wilayah kerja Puskesmas. Keanggotaan JPKM bersifat terbuka untuk seluruh masyarakat baik secara perorangan maupun berkelompok. 7.2. Hubungan Antar Pelaku Hubungan antar pelaku utama dalam kelembagaan JPKM diatur dalam suatu kontrak. Dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) maka dibutuhkan suatu kontrak untuk menjamin apa-apa yang harus disepakati bersama yang ditandatangani sebagai jaminan (guarantee). (Anwar,2001). Kontrak dapat dilakukan secara formal dan informal. Kontrak formal biasanya tertulis dan menghasilkan dokumen sedangkan kontrak informal biasanya tidak tertulis namun semua persyaratan harus tetap dipenuhi dan disepakati. Kontrak mengatur hak dan kewajiban masing-masing partisipan, batas kewenangan dalam penggunaan sumber daya yaitu hanya pada PPK atau peserta yang saling terikat kontrak , jenis transaksi dan struktur insenti yang bedaku untuk masingmasing partisipan.
Kelembagaan JPKM sebagai salah satu bentuk kelembagaan asuransi yang memungkinkan terjadinya pertukaran resiko (sistem Risk Profit Sharing) juga dapat menumbuhkan rasa memiliki dan perasaan terlibat dari masyarakat dalam memutuskan kualitas pelayanan kesehatan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena berdasarkan pada batas yuridiksi bahwa premi yang dibayarkan akan kembali ke PPK di wilayahnya
(Kecamatan
tersebut) sehingga peningkatan jumlah peserta atau premi akan meningkatkan kualitas pelayanan Puskesmas setempat yang dapat berbeda dengan kualitas pelayanan di PuskesmasIPPK lain. Sebagai suatu pesan pemasaran, pemahaman ini cukup strategis untuk memotivasi peserta dalam berpartisipasi. Dalam ha1 pemanfaatan pelayanan kesehatan, kelembagaan JPKM memberi atau membangun trust (kepercayaan) antar pelaku khususnya dalam bentuk hubungan Principal - Agent antara Pemberi Pelayanan KesehatanIPPK dengan Pesertdpasien, dimana pasien (principal) percaya akan ketepatan pelayanan yang diperoleh dan Tenaga medis1Dokter (agent) tidak dapat terlalu mempengaruhi pasien karena paket pelayanan sudah ditentukanldisepakatijenis dan kualitasnya (sudah distandarisasi) sehingga moral hazard dapat ditekan dan biaya menjadi lebih efisien. Kontrak dapat terjadi antara Bapel dengan PPK, Bapel dengan Pesertd Kelompok peserta dan antara Peserta dengan PPK. Pada prakteknya di lapangan, kontrak formalltertulis dilakukan antara Bapel dengan seluruh PPK atau Puskesmas yang ada di Kabupaten Lombok Barat. Akan tetapi kontrak tertulis antara Bapel dengan Peserta hanya dibuat dengan sistem perwakilan yaitu antara Bapel dengan 1-2 orang peserta wakil dari desa atau wakil dari kelompok atau pondok pesantren. Sedangkan untuk kontrak tertulis antara Peserta dengan PPK tidak dibuat. Hal ini walaupun sebenamya dapat dibenarkan sebagai bentuk kontrak informal
akan tetapi karena sedikiinya
jumlah peserta yang menandatangani kontrak dan kurangnya sosialisasi khususnya tentang Bapel menyebabkan sebagian besar peserta tidak mengenal Bapel. Dari 112 responden atau KK yang memilih sistem pembayaran pra-upaya (JPKM), sebagian besar atau 9lorang (81%) tidak tahu atau tidak mengenal Bapel dan 10 orang (9%) merasa pernah mendengar tentang Bapel pada waktu sosialisasi di Kantor KecamatanIDesa. Demikian pula tentang hak dan kewajiban sebagai peserta JPKM, sebagian besar atau 71 orang (63%) tidak mengetahuinya dalam arti ketika ditanya tidak dapat menjawab seperti tampak pada Gambar 16 dan 17 di bawah ini.
PERNAH DENGAR 9%
TAHU 10%
I
TAHU
I
TDK TAHU 81%
Gambar 16. Pengetahuan KK JPKM tentang Bapel (112 sampel)
I
I
Gambar 17. Pengetahuan KK JPKM tentang Hak & Kewajiban (112 sampel)
Responden yang tahu tentang hak dan kewajiban sebagai anggota JPKM hanya menjawab bahwa haknya adalah mendapat pelayanan kesehatan dan kewajibannya membayar premi.Keterbatasan pengetahuan tentang hak dan kewajiban ini ternyata seringkali rnenjadi penyebab konflik antara peserta dengan PPK, dimana ha1 ini dapat dilihat dari catatan konflik atau masalah yang ada di Bapel. Dan sejumlah konflik yang tercatat sebagian besar adalah masalah yang mempertanyakan tentang hak peserta seperti rnisalnya untuk pelayanan KB khususnya untuk pelayanan suntik KB dimana sebenarnya yang ditanggung dalam paket Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD-JPKM) hanya jasa pelayanan
(obat suntik tidak ditanggung) sementara peserta menganggap semua ditanggung. Kondisi ketidaktahuan ini didukung juga oleh kenyataan bahwa para peserta secara geografis cukup menyebar dan tidak adanya forum komunikasi atau pertemuan antar pelaku JPKM serta adanya petugas kolektor yang juga merupakan petugas Puskesmas. Walaupun di satu pihak terdapat alasan-alasan yang rasional dengan dipilihnya petugas Puskesmas sebagai kolektor, tetapi ha1 ini mengurangi keterikatan peserta dengan Bapel. Kondisi di atas, termasuk ketiadaan atau keterbatasan kontrak formal/tertulis antar pelaku JPKM ini juga menyebabkan kesan bahwa kelembagaan JPKM bukan merupakan suatu lembaga yang triparfied tetapi lebih bersifat biparfied antara Puskesmas dengan Peserta sebagaimana halnya pelayanan kesehatan yang biasa tanpa kelembagaar~JPKM . Dalam teori ekonomi informasi, informasi terselubung (hidden information) dapat terjadi ketika Bapel (sebagai perusahaan asuransi) menghadapi calon Peserta JPKM, dimana terdapat informasi yang asimetrik yaitu Bapel tidak mengetahui resiko kesehatan sebenarnya dari calon peserta dan yang tahu hanya dirinya sendiri (calon peserta tersebut). Untuk mengatasi masalah informasi asimetrik yang mengarah pada terjadinya informasi terselubung dan pilihan yang tidak diinginkan (adverse selection) ini dilakukan beberapa strategi sebagai berikut : a. Penggabungan asuransi (risks pooling) yaitu pengelolaan bersama-sama dengan negaralpemerintah b. Penggunaan sistem Risk Ptofit Sharing dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan
c. Melakukan
metode
penyebaran
mengutamakan peserta berkelompok
resiko
(risk
distribution)
dengan
d. Mengupayakan harga paket pelayanan yang ditawarkan berada di bawah biaya sarana pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah tersebut Disamping itu, 'tindakan terselubung' (hidden action) dari peserta dapat muncul pada kelembagaan JPKM karena tidak adanya pembatasan jumlah kunjungan selama masa kontrak. Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya tindakan terselubung atau kerusakan moral
(moral hazard) ini dilakukan
pemberian insentif seperti penghargaan bagi peserta yang tidak pernah berobat ke PPK selama masa kontrak ( 1 tahun). Walaupun demikian di lapangan bentuk struktur insentii ini masih perlu diperjelas lagi pelaksanaan dan perwujudannya sehingga dapat lebih menarik bagi peserta untuk tidak memunculkan hidden
action. Pada kelembagaan JPKM yang bersifat tripartied, sarana pelayanan kesehatan sebagai PPK yang dikontrak juga turut berperan dalam mengurangi munculnya moral hazard ini baik yang kemungkinan muncul dari peserta maupun PPK sendiri. Karena dengan adanya sistem kapitasi (pembayaran per-kapita) dan bagi hasil maka akan mendorong PPK untuk memberikan pelayanan yang efisien dan efektif untuk menghindari kerugian. Selain itu, dengan dilakukannya strukturisasi pelayanan yang lebih mengarah kepada upaya preventif dan promotif, dimana peserta dapat juga merasakan manfaat JPKM (membayar premi) untuk tetap hidup sehat maka kemungkinan munculnya moral hazard dapat dikurangi. Strukturisasi pelayanan ini juga memberikan insenti bagi PPK karena relatif lebih murah dan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar di masa yang akan datang.
7.3. Kepesertaan JPKM Dan Peningkatan Produktivitas Pengembangan kepesertaan dalam JPKM mengandung pengertian tentang kegiatanlupaya yang berkesinambungan untuk meningkatkan jumlah
peserta dan mempertahankan keikutsertaannya. Dengan adanya sistem kontrak maka setiap saat terdapat peserta baru maupun peserta habis masa kontrak, sehingga terjadi fluktuasi jumlah peserta JPKM setiap bulannya. Perkembangan kepesertaan JPKM di Kab.Lombok Barat setiap bulannya atau rata-rata pertribulan dapat dilihat pada grafik di bawah ini : 7000 6000
5
5000
2
4000
E
p
E -
*.-a .mZ m.
3000
----a --a--
2000
a-
1000
-
- -*
I T
0 Jan
-
Peb Mar Apr
Me1 Jun
Jul Ags Sep
Okt Nop Des
2000 1155 1184 1250 1282 1466 1617 1645 1744 1987 2687 2665 2276
ua - - 2001 1620 2375 2488 2869 3676 4267 4718 5187 5743 5743 5038 5182
-2002
5502 5169 5455 5729 5364 5148 4883
Gambar 18. Time Series (Per-Bulan) Peserta Aktii JPKM
6000
+
5000
%
4000
u
g 3000 m
g
2000 1000 0 T&\nt
x&\nz l f i d n 3 xfio\n,4 T&\nt Thn 2000
T&\n2 T f i D \ d T&\nh lfio\nt Thn 2M1
Thn Z
hil2,\
W
Gambar 19. Time Series (Per-Tribulan) Peserta Aktii JPKM
Dari Gambar 18 dan 19 di atas, walaupun tampak adanya trend peningkatan jumlah peserta namun masih relati kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yaitu hanya berkisar sekitar 0,1% penduduk, sehingga belum menampakkan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat maupun peningkatan kualitas dan produktivitas SDM. Akan tetapi, bila dikaji dari beberapa kaidah yang dikembangkan dalam kelembagaan JPKM dapat dilihat keterkaitan atau dampak terhadap produktivitas jika JPKM terus dikembangkan. Salah satu orientasi utama dalam pelaksanaan JPKM adalah melakukan upaya preventif dan promotii yang bertujuan agar peserta tidak jatuh saki atau tetap sehat sehingga dengan berkembangnya kepesertaan JPKM berarti semakin banyak orang yang 'dijaga/dijaminJ kesehatannya. Hal ini bukan hanya terdorong oleh karena tujuan utama JPKM adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tetapi juga untuk keberlanjutan dan keuntungan (di masa depan) bagi kelembagaan JPKM sendiri. Dengan demikian bagi para peserta akan tercipta kondisi berkurangnya waktu saki, yang berarti bertambahnya waktu sehat untuk produktii atau meningkatnya produktivitas. Cesario, Simon dan Kinne (1980) yang melakukan penelitian tentang pengaruh program kesehatan terhadap produktivitas, menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat akan mempengaruhi GNP (Produk Domestik Bruto) melalui 2 (dua) cara yaitu melalui pertumbuhan ekonomi dan melalui bidang pendidikan. Pertumbuhan ekonomi terjadi karena perbaikan derajat kesehatan masyarakat dapat menurunkan tingkat kesakian (morbiditas) dan kematian
(mortalitas) khususnya bagi penduduk usia kerja, sehingga akan meningkatkan partisipasi bagi yang belum bekerja dan meningkatkan hari kerja bagi yang sedang melakukan kegiatan kerja. Selain itu, perbaikan kesehatan pada tenaga kerja akan meningkatkan efisiensi kerja melalui peningkatan kemampuan
individualnya. Pengaruh melalui bidang pendidikan terjadi karena penurunan morbiditas dan mortalitas khususnya pada penduduk usia muda meningkatkan
kehadiran dan
hasil (performance)
di
akan
lembaga-lembaga
pendidikan. (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994). Kelembagaan JPKM dengan kepesertaannya yang bersifat terbuka dimana seluruh masyarakat tanpa batasan usia, profesilpekerjaan bahkan tingkat resiko dapat menjadi anggota akan dapat mencakup semua golongan penduduk terrnasuk penduduk usia muda dan usia produktif. Hal ini dapat dilihat pada struktur umur dan komposisi kepesertaan (kelompok-kelompok peserta) JPKM di Kabupaten Lombok Barat (untuk bulan Juli 2002lsaat penelitian) seperti pada data-data di bawah ini. Tabel 29. Distribusi Umur Peserta JPKM
No
Gol. Umur (thn) <1
Jumbh fag)
I
Jumlah I
I
0,33
1
I
4.883 I
Persentase (%)
l6
I
I
I i
I
/
I
100 I
Sumber : Bapel JPKM Kab.Lombok Barat, 2002 Dari Tabel 29 di atas, tampak bahwa peserta terbanyak adalah peserta yang merupakan kelompok usia produktii (usia kerja) yaitu pada golongan umur 20
- 44 tahun sebanyak 2.216
orang atau 45,38% dari peserta. Untuk peserta
usia muda (15 - 19 tahun) yang dianggap sebagai calon tenaga kerja menempati urutan kedua yaitu sebanyak 931 orang atau 19,07% dari peserta, sehingga bila kedua golongan umur ini dijumlahkan maka total peserta yang berusia muda dan produktii adalah sebesar 64,45% atau 3.147 orang. Sedangkan untuk peserta
usia sekolah (5 - 14 tahun) menempati urutan ketiga yaitu sebanyak 776 orang atau 15,89% dari peserta. Selanjutnya,
bila
dilihat
dari
kelompok-kelompok
peserta
yang
sebenarnya memang dianjurkan dan menjadi prioritas JPKM karena dapat mengurangi munculnya adverse selection serta memudahkan pelaksanaan kegiatan - kegiatan upaya promoti dan preventif diperoleh gambaran sebagai berikut : Pond.Pesa&n
16%
63%
2%
Gambar 20. Gambaran Kelompok-kelompok Peserta JPKM Dari Gambar 20 di atas, tampak bahwa prosentase peserta yang berkelompok adalah 37% atau 1.805 orang dari 4.883 peserta, dimana kelompok peserta ini terdiri dari 2 (dua) kelompok pekerja yang berkaitan erat dengan produktivitas yaitu KUD dan perusahaan serta 2 (dua) kelompok pendidikan yaitu murid sekolah dan pondok pesantren. 7.4. Mekanisme Kerja Kelembagaan JPKM
Secara operasional, kegiatan utama dari kelembagaan JPKM pada dasarnya adalah kegiatan pemasaran atau mencari peserta baik secara berkelompok maupun perorangan. Secara teori fungsi pemasaran seharusnya dilakukan oleh Bapel, akan tetapi di lapangan karena keterbatasan tenaga Bapel dan tidak adanya cabang Bapel di Kecamatan sehingga pelaksanaan fungsi ini
tidak optimal. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan pemasaran terutama untuk
merekrut peserta di lapangan lebih banyak dilakukan oleh Kolektor. Walaupun kolektor ini dikontrak oleh Bapel akan tetapi karena mereka staf Puskesmas sehingga lebih mengesankan sebagai perpanjangan tangan Puskesmas daripada Bapel. Pentingnya peranan kolektor ini tampak pada skema mekanisme kerja JPKM di bawah ini . Mekanisme kerja kelembagaan JPKM dapat digambarkan sebagai berikut 6b
Gambar 21. Mekanisme kerja JPKM Keterangan gambar : 1. Sosialisasi 1Rekrutmen 2. Memberikan formulir pendaftaran 3. Penyerahanlpengambilanformulir yang telah diisi 4. Memeriksa isian formulir pendaftaran 5. Mengirim formulir pendaftaran ke Bapel 6. a. Pernbayaranlpemungutan Premi : b. Proseslpengolahan data di Bapel 7. a. Penyerahan premi ke Bapel b. Penandatanganan kontrak antara Bapel dengan Peserta c. Penandatanganan kontrak antara Bapel dengan Kolektor d. Penandatanganan kontrak antara Bapel dengan PPK 8. a. Bapel membayar kapitasi kepada PPK b. PPK memberi pelayanan kepada Peserta Pada tahap awal, sosialisasi dilakukan secara bersama oleh PPK dan Bapel untuk tokoh masyarakat formal maupun non-formal, tokoh agama dan kelompok potensial di kantor Camat, Kantor Desa, Perusahaan atau di Pondok Pesantren. Selanjutnya sosialisasi dan negosiasi kepada masyarakat secara
perorangan lebih banyak dilakukan langsung oleh kolektor. Dari garnbar di atas, satu ha1 yang tarnpak menonjol dan perlu digarisbawahi adalah pentingnya peran Kolektor yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kelernbagaan JPKM bahkan seakan-akan rnenjadi salah satu pelaku utarna. Hal ini oleh karena kolektor bukan merupakan bagian atau staf Bapel akan tetapi individu lain yang dikontrak yang sebagian besar adalah staf Puskesmas. Beberapa pertirnbangan dipilihnya staf Puskesrnas rnenjadi Kolektor adalah sebagai berikut : a. Staf Puskesmas dianggap lebih tahu dan rnenguasai tentang kesehatan sehingga dianggap lebih rnarnpu untuk rnengkornunikasikannya kepada rnasyarakat b. Staf Puskesrnas terutama petugas lapangan dianggap lebih rnengenal situasi dan kondisi wilayah kerjanya terrnasuk rnasyarakatnya c. Staf Puskesmas dapat lebih dipercaya dalarn rnengelola uanglpremi dari
peserta d. Adanya keterikatan mereka (staf Puskesrnas) terhadap UU no.23 th 1992 tentang Kesehatan khususnya kewajiban untuk turut serta rnelaksanakan pengembangan JPKM Hubungan antara Bapel dengan kolektor rnerupakan suatu bentuk hubungan principal-agent dimana kolektor sebagai agent lebih rnengetahui kemarnpuan dirinya dalam merekrut peserta serta kondisi wilayah kerjanya termasuk pangsa pasar yang ada di wilayahnya, dimana tingkat pendapatan principal tergantung kepada besarnya tingkat hasil dari agent. Struktur insentif
yang diberikan berbentuk sejumlah prosentase tetap dari premi setiap peserta yang berhasil direkrut (10% dari prernilorglbln). Kejelasan struktur insentif ini sebenarnya
dapat mendorong kolektor untuk lebih
aktif akan tetapi setiap
individu (kolektor) merniliki kapasitas rnaksirnal dalarn rnengelola sejurnlah
peserta pada luas wilayah kerjanya (kecamatan). Selain merekrut peserta baru kolektor juga harus melakukan negosiasi ulang bagi peserta yang habis masa kontraknya sehingga beban kerjanya menjadi bersifat kumulatif disamping tugas utama sebagai staf Puskesmas. Kondisi ini memaksa Bapel untuk mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan khususnya dalam rangka pengembangan 1 peningkatan peserta di wilayah-wilayah yang telah memiliki peserta aktif cukup banyak. Saat ini di tingkat kecamatan atau PPK umumnya hanya terdapat 1 (satu) orang petugas Puskesmas yang dikontrak sebagai Kolektor. Seringkali seorang Kolektor memiliki perpanjangan tangan di desa-desa yang sebagian besar adalah kader posyandu sehingga insentif yang diterima harus dibagi dimana dengan kecilnya premi saat ini maka struktur insentif tersebut menjadi kurang menarik sedangkan untuk memperoleh insentif dalam jumlah yang signifikan maka diperlukan jumlah peserta yang besar.
7.5. Transaksi Dalam Kelembagaan JPKM lnterdependensi antar pelaku secara institusional terhadap sesuatu, kondisi atau situasi adalah dengan menggunakan transaksi sebagai aktivitas ekonomi. Menurut Kotler dalam Sukmadinata (1995), transaksi adalah merupakan unit dasar dari pertukaran yaitu perdagangan nilai-nilai diantara dua pihak seperti transaksi komersil, transaksi pekerjaan dan transaksi untuk kepentingan umum. Dalam konteks interdependensi, transaksi terjadi pada proses produksi atau aliran barang dan jasa antar pelaku. Pada kelembagaan JPKM terjadi pertukaran nilai uang dengan jasa pelayanan kesehatan dengan transaksi terpenting berupa Premi dan Kapitasi. Premi merupakan transaksi antara peserta dengan Bapel, dimana peserta membayar sejumlah uang setiap bulannya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Besar premi saat ini adalah Rp. 1.OOO/kapita/bln. Pada tahun 1999 2000, premi dibayarkan bulanan atau ditagih oleh kolektor, tetapi setelah dievaluasi ternyata cara ini tidak efisien oleh karena banyaknya peserta yang menunggak pembayaran padahal kontraldkartu sudah dibuat berlaku 1 (satu) tahun dan bagi kolektor menagih 1 mendatangi setiap bulannya akan terjadi pemborosan biaya, energi dan waktu. Untuk itu sejak tahun 2001, premi dibayarkan langsung di muka untuk setahun yaitu
sebesar Rp. 12.000,-
Sedangkan Kapitasi (pembayaran dengan perhitungan per-kapita) merupakan transaksi antara Bapel dengan PPK, dimana Bapel mernbayarkan sejumlah uang kepada PPK untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada sejumlah peserta dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan penggunaan atau peruntukan premi
per-kapita yang
dibayarkan
peserta
kepada
Bapel
berdasarkan jumlah Premilkapitalbulan saat ini adalah sebagai berikut :
JASA SARANA (20%)
KAPITASI (80%) Rp. 504,-
\ Kuratif (40%) Rp.161,28
YANKES (70%) RD. 630.Rp. 88,20 WITHHOLD (20%) Rp. 126,RISK SHAR (30%) Rp. 37,80
Gambar 22. Skema Perhitungan Premi Perkapita ( Bapel JPKM Kab.Lombok Barat, 1999 )
Sesuai dengan isi kontrak antara Bapel dengan PPK, sistem atau metode penerapan Risk Profit Sharing yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. PPK akan menerima pembayaran kapitasi perbulan sebesar = (premi
-
kolektor) X 70% X 80% X Jumlah peserta yang terdaftar di PPK
yang bersangkutan yaitu sebesar RP. 504/org, tetapi karena retribusi dibayarkan oleh Bapel maka hanya diterima Rp. 403,201org
2. Apabila penggunaan dana kapitasi lebih kecil atau sama dengan loo%, maka PPK akan menerima Profit Sharing sebesar 70% X dana Withhold semua peserta terdaftar di PPK tersebut yaitu sebesar Rp. 88,201org dan dana Risk Sharing dibagi dua antara BAPEL dan PPK
3. Profit Sharing akan dibayarkan setiap 6 (enam) bulan sekali 4. Apabila penggunaan dana atau pengeluaran PPK > 100% maka akan ditutupi dari Risk Sharing sebesar 30% X dana Withhold semua peserta terdaftar di PPK tersebut yaitu sebesar Rp. 37,801org.
5. Bila Risk Sharing belum mencukupi ditambah dengan dana Loss Cover dan Asuransi yang diambil dari sebagian dana Bapel (30% dari Premi-Kolektor = Rp. 270,-) dimana besarnya dana ini 1,5 kali dari dana Withhold yaitu sebesar Rp. 189lorg Dari Gambar 21 di atas, dapat juga dilihat bahwa 20% premilkaplbln digunakan sebagai biaya jasa dan sarana yang oleh Bapel diserahkan ke Pemda melalui Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai biaya retribusi. Besarnya retribusi ini yaitu Rp. 100,80/oranglbln ternyata lebih besar dari retribusi perkapita yang dibayarkan ASKES ke Pemda Kabupaten walaupun bila dihitung rata-rata premi ASKES lebih besar dari premi JPKM perkapita perbulannya. Hal ini menjadi salah satu sebab tingginya komitmen atau dukungan Pemda terhadap pelaksanaan dan pengembangan JPKM.
Saat ini dengan jumlah peserta yang masih sedikit, maka kapitasi yang diterima PPK relatif kecil. Penerimaan kapitasi bulan Agustus 2002 adalah :
Puskesmas
Kapitasi dierima (Kp.000,-)
Gambar 23. Grafik Penerimaan Kapitasi PPK Dari Gambar 23 di atas, 7 PPK dari 19 PPK di Kab.Lombok Barat (36,8% PPK) hanya
menerima
pembayaran kapitasi dari Bapel sekitar Rp. 50.000/bulan
dan kapitasi tertinggi yaitu Rp. 302.378lbln diterima oleh PPK Puskesmas Kediri.
7.6. Analisis Keuangan 7.6.1. Analisa Pangsa Pasar Perhitungan pangsa pasar JPKM dilakukan berdasarkan perkiraan dan data-data dari instansi Kesehatan dan instansi lain yang terkait seperti Bappeda, BKKBN dan ASKES. Hasil dari perhitungan tersebut adalah sebagai berikut :
- Perkiraan jumlah Keluarga Miskin (Gakin)
: 40% penduduk
- Perkiraan Keluarga Kaya yang tidak berobat ke Puskesmas: - Perkiraan jumlah Peserta ASKES, Dana Sehat, Jamsostek
- Perkiraan Pangsa Pasar JPKM
2%penduduk
: 7% penduduk : 51% penduduk
Perhitungan tersebut dibuat berdasarkan beberapa pertimbangan berikut : a. Untuk Keluarga Miskin akan mendapat bantuan JPS-BK (Jaminan Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan) atau
pengobatan gratis di
Puskesmas,
Pustu,Polindes dan RS sehingga bukan merupakan pangsa pasar JPKM
b. Karena PPK yang ditawarkan pada tahap awal ini adalah Puskesmas sehingga tidak menarik untuk keluarga kaya yang memang tidak memiliki orientasi berobat ke Puskesmas Perhitungan pangsa pasar tersebut ternyata tidak sesuai dengan kondisi di lapangan oleh karena jumlah Keluarga Miskin atau mereka yang memiliki kartu berobat gratis mencapai 70% penduduk (di desa-desa lokasi penelitian jumlah Gakin berkisar antara 70-80% KK) sehingga pangsa pasar JPKM relatif hanya sebesar 20% penduduk. Kondisi ini mempersulit kolektor dalam memasarkan JPKM karena di samping memperkecil pangsa pasar, pada saat pemasaranlnegosiasi kolektor yang juga dikenal sebagai petugas Puskesmas seringkali justru dihadapkan dengan permasalahan atau keluhan masyarakat tentang ketidakpuasan mereka terhadap pemberianlpembagian kartu JPS yang dianggap tidak tepat sasaran yaitu mengapa mereka tidak mendapat JPS sementara keadaan mereka lebih miskin dibandingkan beberapa orang yang menerima JPS. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Program JPS-BK ( Dep.Kes.RI, 1999 ) pemberian Kartu JPS 1 pengobatan gratis oleh Puskesmas didasarkan
pada daftar Keluarga Miskin yang disusun oleh Tim Desa yang terdiri dari pamong desa, PLKB, petugas Puskesmas dan unsur masyarakat seperti Tomanoga, TP.PKK dan LSM, sehingga Puskesmas sebenarnya bukan penentu utama. Dalam buku tersebut juga diberikan kriteria keluarga miskin yaitu keluarga tidak bisa makan 2 kali sehari, tidak mampu mengobatkan anggota keluarga ke pelayanan kesehatan, KK terkena PHK massal dan terdapat anak yang drop-out sekolah karena alasan ekonomi. Bila ditelaah, kriteria tersebut memang dapat dikatakan bersifat tidak pasti atau relatif sehingga memungkinkan timbulnya penafsiran yang diwarnai oleh adanya konflik kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat.
Pada saat penelitian, dijumpai adanya peserta JPKM yang hampir selesai masa kontraknya tetapi tidak akan memperbaharuinya oleh karena mereka telah mendapat kartu JPS-BK. Hal ini terjadi karena pada saat awal menjadi peserta JPKM mereka memang tidak termasuk daftar Gakin tetapi pada saat validasi data Gakin untuk periode berikutnya mereka terdaftar sebagai Gakin dan berhak mendapat kartu JPS. Kondisi ini merupakan salah satu kendala
bagi
pengembangan JPKM di lapangan.
7.6.2. Analisa Realisasi Keuangan Analisa keuangan kelembagaan JPKM khususnya yang dilakukan oleh Bapel pada pokoknya
adalah analisa mengenai
perolehan Premi sebagai
pendapatan utama bagi pengelolaan JPKM. Pada Tabel 30 di bawah ini dapat dilihat realisasi premi yang diperoleh tiap tahunnya dibandingkan dengan target yang diharapkan. Tabel 30. Pencapaian Target Perolehan Premi Pertahun Dari Peserta JPKM Kabupaten Lombok Barat tahun 1999,2000 dan 2001
Ket. * = Baru mulai bulan No~ember1999 ") = Jumlah peserta baru yang masuk dalam setahun b, = Jumlah peserta aktif terendah dalam setahun ") = Jumlah peserta aktif terbanyak dalam setahun Dari Tabel 30 di atas tampak bahwa dalam waktu 3 (tiga) tahun (1999,2000,2001) walaupun terjadi trend peningkatan jumlah peserta dan perolehan premi secara signifikan akan tetapi belum mencapai target. Hal ini berakibat kepada rendahnya dana kapitasi yang diterima PPK (Gambar 22) dan tidak tercapainya rencana biaya operasional Bapel (Lampiran 8). Kondisi ini
dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat seperti Pernerintah Daerah Kabupaten, Dinas Kesehatan Masyarakat, Bapel maupun oleh Puskesmas sebagai PPK, oleh karena adanya kesepakatan dan komitrnen bersama untuk mengembangkan JPKM yang pada tahap awal nlasih bersifat subsidi. Untuk operasional Bapel sebagai bagian dari BUMD sarnpai saat ini masih mendapat subsidi dari Pemda Kabupaten sehingga dapat menanggulangi biaya-biaya operasionalnya di sarnping rnelakukan penghematan-penghematan. Bentuk efisiensi yang dilakukan Bapel misalnya dengan membeli mesin laminating sehingga dapat rnenekan biaya pevbuatan kartu peserta.Tidak dibuatnya kontrak perindividu untuk seluruh peserta juga merupakan suatu bentuk penghematan karena adanya peserta yang rnasih Balita dan beberapa peserta dalam satu keluarga, walaupun di lapangan minimnya jumlah kontrak ini menirnbulkan beberapa rnasalah. Untuk operasional Puskesrnas sebagai PPK, pengembangan JPKM masih dipandang sebagai bagian dari kewajiban Puskesmas sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan rnasyarakat milik Pemerintah yang harus melaksanakan UU No 2311992 tentang Kesehatan dimana pengembangan JPKM rnerupakan salah satu ketentuan di dalarnnya, sehingga pelayanan kepada peserta JPKM sebagian besar rnasih rnenggunakan fasilitas Pemerintah seperti obat-obatan, peralatan rnedis dan laboratorium terrnasuk penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau petugas pemberi pelayanannya yang sebenarnya digaji tetap oleh Pernerintah. Sedangkan prosentase dana kapitasi untuk jasa medis hanya bersifat insentif yang jumlahnya relatif kecil (Gambar 21) dimana dana tersebut dibagi untuk semua petugas Puskesmas yang terlibat daiam pelaksanaan JPKM.
Sampai saat ini, pelaksanaan JPKM memang masih belum murni bersifat
profit orinted tetapi lebih pada pengenalan bentuk kelembagaan JPKM dan sistem pembayaran pra-upaya. Demikian pula dengan penetapan premi sebesar Rp. 1.0001kap/bln, sebenarnya merupakan besaran premi bersubsidi yang jauh lebih kecil dari biaya kesehatan riillkapita. Analisis biaya kesehatan riillkapita untuk pasien rawat jalan Puskesmas di kab. Lornbok Barat dilakukan pada 3 (tiga) Puskesmas dari 19 Puskesmas yang ada di Kab.Lombok Barat dengan menggunakan data kunjungan tahun 2000 dimana ketiga Puskesmas tersebut secara geografis mewakili wilayah Kab.Lombok Barat bagian Utara, Selatan dan Tengah yaitu Pusk.Bayan, Pusk.Sekotong dan Pusk.Sedau tampak pada Tabel 31 di bawah ini. Tabel 31. Analisis Biaya Kesehatan Riil Perkapita Untuk Pasien Rawat Jalan Puskesmas di Kab.Lombok Barat tahun 2000
Sub total cost 2 2.784.400 2.775.000 2.775.000 Total Cost ( Stc 1+2) 154.232.762 115.691.154 149.160.153 Jumlah Kunjungan 8.500 6.340 8.126 Unit cost riil perkapita I 18.145 1 18.248 1 18.356 ] Sumber : Subdin JPKM Dinas Kes. Masyarakat Kab.Lombok Barat, 2002
I
Dari hasil analisis pada 3 (tiga) Puskesmas tersebut ternyata biaya kesehatan yang sesungguhnya (unit cost nil) yang seharusnya dibayar oleh
setiap pengunjung atau pasien adalah sebesar Rp. 18.500lkunjungan (pernbulatan). Selanjutnya, bila dianalisa dari Total Pendapatan atau Total Revenue Puskesrnas dapat diketahui besarnya subsidi Pernerintah dengan tarif Puskesrnas saat ini yaitu sebesar Rp.1.5001kunjungan. Besarnya subsidi untuk masing-masing Puskesrnas adalah sebagai berikut : Tabel 32. Perhitungan Besar Subsidi Untuk Pernbiayaan Kesehatan di Tingkat Puskesrnas Di Kab.Lornbok Barat Tahun 2000
N' n "
Uraian
Pusk.Sekotong
Pusk.Bayan
Pusk,Sedau
I
19.079.000 12.750.000 1 9.092.650 149.160.153 115.691.154 154.232.762 1 14,77 8,26 3 Cost Recovery Rate (Oh) -7,86 85,23 91,74 92,14 4 Besar Subsidi (%) Sumber : Subdin JPKM Dinas Kes.Masyarakat Kab.Lornbok Barat, 2002 1
Total Revenue (Rp)
2 -
Total . - .- Cost - - - . lRol
Dari Tabel 32 di atas, rnaka rata-rata tingkat pengernbalian biaya (Cost Recovery Rate) Puskesrnas yang berasal dari dana rnasyarakat (pasien) hanya sebesar 9,76% sehingga rata-rata besar subsidi adalah 90,24%, dirnana subsidi berarti diberikan kepada seluruh pasien rawat jalan Puskesrnas baik pasien urnum maupun ASKES. Mulai bulan September 2002 diberlakukan tarif baru untuk pasien rawat jalan Puskesrnas yaitu Rp. 3.500lkunjungan dimana tarif ini berada diantara VVTP dan ATP untuk kesehatan dari rnasyarakat Kab.Lombok Barat berdasarkan hasil SUSENAS 1999 yaitu antara Rp. 3.267,5/org/bln dan Rp. 5.748lorglbln. Bila rnenggunakan tarif baru ini, rnaka besarnya subsidi Pernerintah adalah : Tabel 33. Besar Subsidi Untuk Pernbiayaan Kesehatan Bila Dilakukan Rasionalisasi Tarif Puskesmas N 0
Uraian
Pusk.Bayan
Pusk.Sekotong
Pusk,Sedau
1 Jumlah kunjungan (kunj) 6.340 8.500 8.126 2 Tarif Pusk.lkunj (Rp) 3.500 3.500 3.500 3 Total Revenue (Rp) 29.750.000 28.441 .OOO 22.190.000 4 - - ~ o t Z c o s(Rp) t 154.232.762 115.691.154 149.160.153 3 Tingkat pengembalian (%) 19,28 19,18 19,07 4 Besar Subsidi (%) 80,72 80,82 80,93 Sumber : Subdin JPKM Dinas Kes. Masyarakat Kab.Lombok Barat, 2002
119
Dari Tabel 33 di atas, maka rata-rata tingkat pengembalian biaya (Cost Recovery Rate) Puskesmas yang berasal dari dana masyarakat (pasien) menjadi sebesar 19,18% yang berarti terjadi kenaikan sekitar 10% sehingga rata-rata besar subsidi turun menjadi 80,82% atau turun 10% Besar subsidi pertahun untuk setiap peserta JPKM dapat dihitung dari jumlah biaya perkapita perbulan yang dibayarkan Bapel ke PuskesrnaslPPK (dijumlahkan dalam setahun) dibagi dengan jumlah peserta yang berobat dalam setahun dibandingkan dengan unit cost real. Analisa ini dapat dilakukan untuk masing-masing PuskesmaslPPK walaupun jumlah peserta JPKM saat ini relatif masih kecil (sekitar O , l O h penduduk) dan kunjungan peserta JPKM
ke
Puskesmas relatif rendah. Dari data kunjungan peserta JPKM Kabupaten Lombok Barat untuk tahun 2001 dan 2002, rata-rata kunjungan peserta JPKM ke Puskesmas tiap bulannya hanya 5,6% dari total peserta aktif pada bulan yang bersangkutan atau peserta yang membayar premi pada bulan tersebut. Sebagai gambaran, dapat dilihat hasil perhitungan pada Puskesmas Kediri dengan menggunakan data jumlah dan kunjungan peserta aktif selama setahun pada thn 2001, dimana rata-rata kunjungan peserta JPKM tiap bulannya lebih besar hampir dua kali lipat rata-rata Kabupaten (10,3% peserta aktif). Tabel 34. Perhitungan Besar Subsidi Untuk Peserta JPKM Puskesmas Kediri Tahun 2001
1 Kapitasi yang diterima dalam setahun (Rp)* 6.204.479 2 Kunjungan peserta JPKM dalam setahun (kunj) 1.089 3 Dana yang diterima per-kunjungan peserta (112) (Rp) 5.698 4 Unit cost riil ldari tabel 31) (RDI 18.500 - -.. 5 Besar Subsidi per-peserta (Rp) 12.802 6 Prosentase subsidi per-peserta (%) 69,2 _ Ket. * = jumlah peserta aktif tiap bln x (kapitasi + pro.sharing = Rp. 592,2) Dari Tabel 34 di atas, tampak bahwa besar subsidi untuk peserta JPKM adalah 69,2% dengan jumlah kunjungan rata-rata 10,3% dari peserta aktif tiap
bulannya. Bila diproyeksikan untuk tingkat Kabupaten dengan rata-rata kunjungan 5,6% maka prosentase subsidi akan menjadi lebih kecil yaitu 42,996 atau hanya setengah dari subsidi yang diberikan kepada pasien umum dan ASKES. Hasil ini menunjukkan bahwa kelembagaan JPKM ternyata cukup efektif untuk menggali dana masyarakat bagi pembiayaan kesehatan. Selanjutnya, dengan adanya langkah-langkah rasionalisasi tarif Puskesmas, kenaikan premi bulanan, diversifikasi paket pelayanan dan PPK serta didukung upaya preventif yang akan mengurangi kunjungan peserta JPKM ke Puskesmas, maka diharapkan tingkat subsidi akan semakin berkurang.
7.7. Rancangan Pengembangan Usaha 7.7.1. Pengembangan Paket Pelayanan Saat ini, Paket pelayanan yang ditawarkan hanya 1 (satu) macam yaitu Paket Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) yang telah distandarisasi terdiri dari : a. Pelayanan Pencegahan : Imunisasi, Pelayanan KB, Pelayanan KIA dan Gizi b. Pelayanan Pengobatan : Pemeriksaan Diagnostik, Pemeriksaan Lab.Dasar,
Obat dan Tindakan medis sederhana c. Pelayanan Rawat lnap
: Pemeriksaan DoMer, Rawat inap 5 (lima) hari, Persalinan Normal dan Makan
d. Pelayanan Gawat Darurat Paket PKD tersebut mencakup semua jsnis pelayanan dan fasilitas yang sama yang akan diperoleh dengan tarif kunjungan puskesmas Rp. 1.500Ikunj. serta disesuaikan dengan kondisi epidemiologis wilayah setempat, hasil studi kelayakan mengenai jenis pelayanan yang banyak diminta (demand) dan kemampuan serta fasilitas yang dimiliki oleh PPK, dimana pada tahap awal ini yang dikontrak sebagai PPK adalah Puskesmas. Selanjutnya, produk saat ini
yaitu Paket PKD dengan PPK Puskesmas akan dikembangkan baik untuk alternatif jenis paket pelayanan maupun pilihan PPK. Untuk paket pelayanan akan ditawarkan Paket pelayanan kesehatan lanjutan yang merupakan PKD ditambah dengan pelayanan rujukan sampai dengan tingkat Rumah Sakit Kabupaten (RSUD). Paket pelayanan kesehatan lanjutan ini masih dipersiapkan oleh karena Rumah Sakit Kabupaten Lombok Barat sendiri masih baru mulai operasional pada bulan Agustus 2002 ini, sehingga kemungkinan perhitungan pasti dan penawarannya baru dapat dilakukan pada tahun 2003. Dengan adanya paket kesehatan lanjutan ini berarti RSUD Kab.Lombok Barat akan dikontrak sebagai PPK. Pengembangan paket ini akan tetap mengikuti mekanisme rujukan yang sudah ada dimana peserta tetap akan mengikat kontrak dengan Puskesmas di wilayahnya sebagai PPK dan pemeriksaan awal tetap dilakukan di Puskesmas, jadi peserta tidak dapat langsung ke RS kecuali pada kondisi-kondisi tertentu atau keadaan gawat darurat. Sedangkan untuk pengembangan alternatif PPK adalah Dokter praktek swasta dimana untuk tahap pertama ini diprioritaskan untuk peserta yang berkelompok (kelompok tertentu) dengan Dokter tertentu (seorang dokter) yang adalpraktek diwilayahl lingkungan tersebut. Pada saat penelitian (Agustus 2002) sedang dilakukan negosiasi atau perundingan pihak-pihak terkait untuk pelaksanaan JPKM dilingkungan Pelabuhan Penyeberangan Laut Lembar (antara P.Lombok dengan P.Bali) seperti unsur Dinas Kesehatan, Bapel, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), Dokter yang akan dikontrak dan Serikat Pekerja Pelabuhan. Dari hasil perhitungan sementara besarnya premi yang ditawarkan adalah Rp. 13.000/kap/bln dengan jumlah peserta 680 orang yang merupakan karyawanlpekerja dilingkungan pelabuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa pangsa pasar yang potensial bagi pengembangan JPKM adalah peserta-peserta yang berbentuk kelompok sehingga pada tahap awal pelaksanaan telah dilakukan identifikasi dan inventarisasi kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Kab. Lombok Barat atau di wilayah masing-masing Puskesmas. Sampai dengan saat ini kelompokkelompok peserta yang tercakup dalam JPKM antara lain adalah Yayasan atau Pondok-pondok Pesantren, perusahaan seperti PT.PERTANI dan kelompok pengrajin gerabah dengan jumlah yang cukup besar. Pada bulan Juli 2002 jumlah peserta yang berkelompok adalah 1.805 orang dari 4.883 peserta atau sebesar 37%. Selama ini karena PPK yang dikontrak seluruhnya adalah Puskesnias maka potensi dari kelompok-kelompok masyarakat ini belum tergali secara maksimal. Seperti misalnya untuk kelompok pengrajin yang biasanya tergabung atau menjadi karyawan pada sebuah Art Shop yang cukup besar, ternyata walaupun mereka menjadi peserta JPKM tetapi sering juga berobat ke Dokter praktek swasta dengan tarif berkisar antara Rp. 10.000 - Rp. 15.000/kunjungan karena sebenarnya pemilik Art shop masih bersedia menanggung biaya tersebut. Sedangkan diperusahaan yang ikut JPKM adalah para buruh karena kalangan menengah ke atasnya memiliki orientasi berobat ke Dokter praktek swasta. Hal di atas tampak juga pada saat penelitian, dimana di lapangan seringkali dijumpai keluarga yang tampak agak mampu atau mampu tetapi memiliki orientasi berobat ke Dokter praktek swasta dilingkungannya yang sebenarnya merupakan Dokter Puskesmas. Begitu pula pada saat wawancara dengan kelompok pengrajin peserta JPKM terungkap kondisi seperti di atas. Sehingga seharusnya Dokter praktek swasta ini dapat menjadi alternatif pilihan sebagai PPK bagi peserta.
7.7.2. Peningkatan Premi (Harga) Saat ini besarnya harga produk atau premi adalah Rp. l.OOO/kapita/bulan dengan cara pembayaran melalui kolektor di wilayah masing-masing. Penetapan besarnya premi bersubsidi ini juga mempertimbangkan tarif Puskesmas (Rp. 1.500/kunjungan), dimana diupayakan premi lebih rendah dari tarif tersebut. Hal ini untuk menarik minat mereka yang tidak beresiko tinggi atau relatif jarang mengunjungi Puskesmas sehingga besar premi tetap lebih murah walaupun biasanya mereka hanya berobat ke Puskesmas 1 (satu) kali perbulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya kesediaan membayar (WTP) untuk menaikkan premi dari 112 peserta JPKM (responden),
108 orang (96,4%)
memilih kenaikan antara Rp. 0-Rp. 2.500 yang berarti prerni yang bersedia mereka bayarkan adalah antara Rp. 1.000-Rp. 3.000/kap/bln dengan salah satu alasan adalah bahwa premi tersebut masih di bawah atau sama dengan tarif Puskesmas yang baru (Rp. 3.500lkunjungan). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengembangan JPKM dipengaruhi oleh adanya Rasionalisasi tarif Puskesmas sehingga Dinas Kesehatan khususnya Subdin JPKM terlibat aktif dalarn persiapan maupun sosialisasi kenaikan tarif. Tarif pelayanan kesehatan masyarakst khususnya di Puskesmas merupakan salah satu tarif yang paling jarang disesuaikan sehingga prosentase subsidi Pemerintah terutama untuk pasien rawat jalan Puskesmas relatif tetap bahkan cenderung meningkat. Di Propinsi Nusa Tenggara Barat, penyesuaian tarif Puskesmas yang terakhir dilakukan pada tahun 1995 dan akan dilakukan lagi pada tahun 2002 ini. Untuk Kab. Lombok Barat kenaikan tarif Puskesmas akan
diberlakukan
mulai
bulan
September
tahun
2002
yaitu
dari
Rp. 1.500/kunjungan menjadi Rp. 3.500/kunjungan. ,
Selanjutnya, setelah kenaikan tarif Puskesmas baru akan diiakukan
kenaikan premi per-bulan untuk Paket PKD dengan PPK Puskesmas disertai
upaya peningkatan kualitas pelayanannya seperti misalnya peningkatan kualitas dan kuantitas penyuluhan bagi peserta JPKM dan
kunjungan rumah atau
kunjungan ke kelompok peserta. Jika premi dinaikkan menjadi Rp. 2.500lkaplbln dengan jumlah anggota saat ini 4.883 orang maka akan diperoleh tambahan dana sebesar Rp. 1.500 X 4.883 = Rp. 7.324.500 setiap bulannya. Jumlah ini lebih besar dari surplus konsumen per-bulan hasil penelitian akan tetapi mengingat range pendapatan (potensi) peserta JPKM cukup besar sehingga agak sulit untuk menghitung besar premi yang optimal. Pemutakhiran atau validasi data keluarga miskin yang dilakukan pada bulan September 2002 merupakan salah satu cara untuk melakukan segmentasi pasar (berdasarkan kemampuan) di samping pengembanganldiversifikasi paket pelayanan sehingga mempermudah penentuan dan penawaran harga paket JPKM. Validasi data Gakin diharapkan dapat memisahkan mereka yang benarbenar tidak mampu untuk menerima subsidi murni sehingga pemberian subsidi menjadi lebih tepat sasaran. 7.7.3. Pengembangan Bapel Untuk melaksanakan semua rencana rancangan pengembangan JPKM maka
Bapel JPKM akan melakukan pengembangan Organisasi untuk
memperpendek rentang kendali. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :
1. Melakukan penambahan staf yang nantinya diberi tanggung jawab untuk mendampingi kolektor yang ada. Langkah ini dzpat dilakukan secara bertahap misalnya pada tahap pertama dilakukan penambahan sejumlah staf dimana seorang staf dapat membawahi 2-3 Kecamatan sampai akhirnya setiap orang staf membawahi 1 (satu) kecamatan.
2. Melakukan pembukaan cabang-cabang baru di tingkat kecamatan. Langkah inipun dapat dilakukan secara bertahap dimana pada tahap awal akan dibuka cabang-cabang di kecamatan-kecamatan dengan jumlah peserta yang besar atau memiliki potensi pengembangan yang cukup tinggi sampai pada akhirnya terdapat cabang Bapel di setiap kecamatan. Kedua cara tersebut memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Saat ini sedang dilakukan pengkajian terhadap skenario pengembangan Bapel untuk mencari alternatif langkah pengembangan yang paling efisien dan efektif termasuk kemungkinan untuk menggabungkan kedua cara tersebut berdasarkan situasi,
kondisi dan
potensi wilayah
setempat atau
kecamatan yang
bersangkutan sehingga akan terdapat cara pengembangan Bapel yang berbeda untuk kecamatan yang berbeda. Beberapa ha1 yang perlu diperhitungkan dalam rangka pembiayaan langkah pengembangan ini adalah sebagai berikut : a. Penyediaan Sarana transportasi roda dua untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas staf dalam menjangkau pelosok-pelosok desa b. Meminimalkan investasi dalam pembukaan cabang misalnya dengan membuka cabang seperti Pustu dimana hanya terdapat seorang petugas yang selalu siap melayani (bertempat tinggal di tempat itu) c. Bapel sebagai principal harus mencari bentuk struktur insentif yang tepat sehingga dapat memotivasi staf sebagai agent untuk mengembangkan JPKM misalnya disamping gaji tetap diberikan komisi berupa prosentase dari premi. Tetapi sistem ini berarti akan menambah biaya transaksi yang harus ditanggung oleh peserta sehingga perlu diperhitungkan jumlah dan pengaturannya dengan kolektor yang sudah ada saat ini. d. Perlu dibuat batasan tugas dan wewenang staf agar tidak terjadi tumpang tindih atau menimbulkan kerancuan dengan tugas kolektor
Dari hasil pengamatan dan wawancara baik dengan pihak Bapel maupun Dinas Kesehatan Masyarakat Kabupaten, rancangan pengembangan JPKM relatif masih belum pasti atau dapat berubah disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi di lapangan. Dari hasil penelitian tampak bahwa untuk kecamatan dengan jumlah peserta yang besar dan potensi pengembangan yang cukup tinggi, Kolektor seringkali mengalami kendala dalam ha1 negosiasi ulang pembaharuan kontrak atau masalah terjadinya rentang waktu yang cukup lama antara saat calon peserta mendaftar dengan waktu penerimaan kartu JPKM. Kondisi ini disebabkan pada saat yang bersamaan, kolektor juga harus tetap mencari peserta baru yang kemungkinan besar berada dilokasi yang berbeda dengan peserta lama atau calon peserta yang telah mendaftar. Pada dasarnya, seorang kolektor harus mengunjungi
peserta JPKM
sebanyak 3 (tiga) kali yaitu pada saat mendaftar, mernberikan kartu peserta JPKM dan negosiasi ulang. Ditambah tugas mengantarkan premi,forrnulir serta mengambil kartu JPKM ke kantor Bapel dengan tetap melaksanakan tugas sebagai staf Puskesmas. Mengingat adanya keterbatasan Ikapasitas maksimal dari seseorang dimana penambahan insentif tidak lagi dapat meningkatkan outputnya maka beban tugas ini seharusnya dikurangi. Langkah-langkah pengembangan di atas- yaitu penambahan tenaga dengan pembagian tugas dan struktur insentif yang jelas disertai dengan pelaksanaan rencana rancangan pengembangan lainnya (diversifikasi paket dan kenaikan premi) bila ditelaah kemungkinan akan lebih efisien dan efektif untuk pengembangan dan keberlanjutan jumlah peserta JPKM. 7.7.4. Pengelolaan Dana JPS-BK Dengan Sistern JPKM
Saat ini sedang dilakukan upaya-upaya baik berupa pertemuanpertemuan, negosiasi dan penyusunan konsep-konsep yang memungkinkan
dikelolanya dana JPS-BK dengan menggunakan sistem JPKM, dimana dana JPS-BK tersebut akan dihitung atau dikelola sebagai premi dari Keluarga Miskin (Gakin). Di tingkat Kabupaten, rencana sistem pengelolaan ini sudah mendapat dukungan baik dari Pemda maupun DPRD sedangkan di tingkat Propinsi masih dikaji beberapa ha1 yang berkaitan dengan rencana sistem pengelolaan tersebut. Permasalahan utama yang dihadapi adalah bahwa Dana JPS-BK untuk Puskesmas ini merupakan dana pinjaman dari ADB (Asian Development Bank) dimana peruntukan dan prosedur pengelolaannya terikat perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Asian Development Bank (ADB) yaitu Loan Social Protection Sector Development Program (SPSDP) No. 1622-23-IN0 tgl. 14 Juli 1999. Sehingga perubahan sistem pengelolaan atau cara penyaluran walaupun
hanya di tingkat Puskesmas akan memerlukan jalur birokrasi yang panjang dan melibatkan banyak pihak atau lintas Departemen di tingkat Nasional seperti Dep.Keuangan untuk perubahan bentuk pertanggungjawabannya,Bappenas dan DPRIMPR. Disamping itu, sampai dengan saat ini usulan perubahan sistem pengelolaan ini hanya dari Kabupaten Lombok Barat. Dari hasil wawancara dan pengamatan selama penelitian, tampak adanya sudut pandang yang agak berbeda antara pengambil kebijakan khususnya Dinas Kesehatan di tingkat Kabupaten dengan Propinsi. Di tingkat Kabupaten, baik pihak eksekutif (Dinas Kesehatan Masyarakat) maupun legislatif beranggapan bahwa perubahan sistem pengelolaan ini dimungkinkan karena tidak merubah peruntukan dana bagi Gakin serta tidak merubah bentuk pertanggungjawaban sampai ke tingkat Puskesmas. Sedangkan di tingkat Propinsi di samping akan melibatkan banyak pihak dianggap perlu mengantisipasi pengalaman tahun sebelumnya dimana pemeriksaan penyaluran dana JPS-BK sampai kepada bukti tanda terima yang ditandatangani oleh pasien yang mendapat bantuan.
Dalam buku Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Program JPSBK dikatakan bahwa dana JPS-BK disalurkan dari Proyek Peningkatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pusat ke Puskesmas melalui Bank atau Kantor Pos terdekat. Dana ini disimpan dalam tabungan khusus atas nama Kepala Puskesmas dan untuk pertanggungjawabannya Puskesmas harus membuat Buku Catatan Keuangan yang berisi catatan pencairan dan penggunaan
dana serta bukti pengeluaran. Catatan ini setiap saat dapat
diperiksa oleh pemeriksa intern dan ekstern termasuk Tim ADB atau LSM yang ditunjuk. Dari pedoman diatas tampak bahwa petunjuk ini memang memungkinkan timbulnya persepsi yang berbeda oleh karena ketidakjelasan batasan bukti pengeluaran yang dimasksud dan batas pemeriksaan oleh Tim pemeriksa. Pada kenyataannya, selama ini di Puskesmas
selain dilakukan pencatatan
(pembukuan) pencairan dan penggunaan dana JPS-BK sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program JPS-BK ( Dep.Kes.RI, 1999) dilakukan juga inventarisasi bukti penerimaan bantuan yang ditandatangani oleh pasien. Bila ditelaah, sebenarnya terdapat beberapa keuntungan bila sistem pengelolaan JPKM JPS-BK ini dapat terlaksana yaitu : a. Penentuan atau daftar Gakin akan lebih pasti dan tetap karena namanamanya akan terdaftar di Bapel maupun PPK dan mereka diberikan kartu JPKM secara perorangan (individual).
b. Akan ada lebih banyak pihak yang terlibat untuk mengawasi
dan
berkepentingan terhadap terseleksinya Gakin dengan benar sehingga dapat mendorong tercapainya pemberian subsidi yang tepat sasaran
c. Dapat lebih
memasyarakatkan sistem
pembayaran pra-upaya dan
membantu masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu dalam mengantisipasi kondisi bila tidak ada lagi dana JPS-BK d. Dapat mengurangi timbulnya moral hazard dalam hubungan Principal-Agent antara Puskesmas dengan Pasien. Akan tetapi selain adanya keuntungan tersebut, banyak ha1 yang masih periu dikaji dan dipersiapkan dengan matang agar tidak menimbulkan masalah atau gejolak di masyarakat antara lain adalah :
1. Dengan sistem JPKM jalur penyaluran menjadi lebih panjang sehingga memungkinkan timbulnya biaya transaksi yang lebih besar seperti misalnya biaya administrasi untuk Bapel dan biaya retribusi yang selama ini tidak ada.
2. Dalam buku Petunjuk Teknis Program JPS-BK dikatakan bahwa dana JPSBK tidak boleh digunakan untuk honorarium tenaga dan jasa pelayanan kesehatan oleh petugas dan penggantian biaya retribusi. Dengan larangan ini, maka sistem JPKM JPS-BK dapat menjadi tidak menarik bagi PPWPuskesmas maupun Pemda Kabupaten
3. Sulit menentukan atau membuat paket pelayanan kesehatan yang akan ditawarkan baik mengenai jenis pelayanan maupun harga atau besarnya premi, oleh karena subsidi JPS-BK
yang diberikan untuk setiap pasien
selama ini tidak dibatasi jumlahnya. Bantuan yang diberikan mencakup seluruh biaya yang dibutuhkan pasien termasuk biaya transportasi untuk merujuk ke RS dan pemulangannya serta biaya untuk membeli obat-obatan yang dibutuhkan yang tidak tersedia di Puskesmas. 7.8. Analisis Game Theory
Untuk mengetahui kelembagaan atau sistem pengelolaan dana subsidi yang mengarah kepada pemanfaatan secara optimal dan tepat sasaran
digunakan model game theory yang dapat rnernberikan suatu kejelasan analitik tentang proses perubahan institusi, terutarna rnelalui pendekatan teori evolusi dan permainan yang berulang-ulang (repeated game) yang saling berkornplemen sehingga dicapai suatu kondisi keseirnbangan yaitu Nash equilibrium dirnana institusi dibangun secara sosial pada keadaan dirnana para peserta (agents) yang terlibat tidak rnernpunyai insentif untuk menyirnpang (keluar) dari keseirnbangan tersebut selarna pihak lainnya tidak rnelakukannya. (Anwar,2002) Pengelolaan subsidi kesehatan saat ini adalah sistern JPS-BK dengan pola subsidi rnurni yaitu seluruh biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh rnasyarakat rniskin ditanggung oleh Pemerintah. Ferrnasalahan timbul ketika biaya subsidi ini diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan rawat jalan Puskesrnas di daerah Kabupaten Lornbok Barat. Dirnana sebenarnya di daerah ini telah dikernbangkan kelembagaan JPKM dengan PPK Puskesmas yang rnenawarkan produklpaket pelayanan berupa paket Pelayanan Kesehatan Dasar yang sarna dengan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan Puskesmas. Sebenarnya, secara konseptual kedua kebijakan Pernerintah tersebut (JPS-BK dan JPKM) merniliki prioritas sasaran yang berbeda yaitu JPS-BK untuk Keluarga Miskin (Gakin) dan JPKM lebih diarahkan untuk masyarakat di luar Gakin. Akan tetapi oleh karena beberapa kondisi yang terjadi dalarn pelaksanaannya seperti besarnya premi JPKM yang relatif terjangkau oleh sernua lapisan rnasyarakat, tidak tegasnya batasan Gakin dan adanya validasi data setiap 6 (enam) bulan dimana daftar Gakin dapat berubah-ubah, serta adanya kesarnaan paket PKD JPKM dengan pelayanan untuk Gakin di Puskesrnas rnenyebabkan pemberlakuan 2
(dua) kebijakan ini dapat
menirnbulkan turnpang tindih sasaran di lapangan. Kondisi ini, bila berkepanjangan dapat rnenjadi kendala atau penghambat bagi pengernbangan JPKM sernentara di lain pihak keberlanjutan JPS-BK masih
belum pasti. Untuk mengatasi konflik ini, dilakukan interaksi dan dialog yang berulang-ulang dengan berbagai pihak dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebenarnya konflik ini dapat dikatakan sudah ada sejak awal pelaksanaan JPKM pada tahun 199912000 dimana pada saat itu program JPS-BK juga mulai dilaksanakan. Selanjutnya, semakin lama konflik ini menjadi semakin menonjol dan memuncak pada saat habisnya masa kontrak peserta JPKM (dimulai setahun setelah pelaksanaan JPKMlhabisnya masa kontrak tahun pertama). Interaksi, dialog dan bargaining dilakukan dalam berbagai bentuk pertemuan seperti pada forum konsultasi dengan pihak legislatif di tingkat Kabupaten, diskusi baik secara formal maupun non-formal dengan pihak Propinsi dan Pusat yang dilakukan secara Tim oleh Dinas Kesehatan Masyarakat Kabupaten dan BAPEL JPKM
maupun sendiri-sendiri. Pada tiap tahapan
pertemuan dilakukan evaluasi dan perbaikan konsep-konsep pengelolaan yang memungkinkan. Dari hasil interaksi yang berulang-ulang, telah diperoleh kesepakatan
dengan
pihak
legislatif
Kabupaten yang
memungkinkan
pengelolaan subsidi kesehatan rnenggunakan sistem JPKM. Sedangkan untuk tingkat Pusat, saat ini tampak bahwa kebijakan subsidi kesehatan bagi keluarga miskin (Gakin ) pasca JPS-BK (yang akan berakhir tahun 2003) lebih mengarah kepada bentuk pengelolaan dengan sistem asuransi sosial kesehatan seperti halnya kelembagaan JPKM. Lokakarya para peneliti dan pakar pada tanggal 19-20 Nopember 2002 di Jakarta tentang Alternatif Kebijakan Pasca JPS-BK yang diselenggarakan oleh Dewan Riset Nasional dan Departemen Kesehatan mengkaji salah satu bentuk kebijakan pengelolaan subsidi kesehatan yang akan dikembangkan yaitu penerapan sistem asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk Indonesia dengan premi penduduk miskin ditanggung negara. Bentuk pengelolaan subsidi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini dilaksanakan
dengan pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Daerah sambil menggali sumber dana dari masyarakat mampu untuk membantu Gakin baik langsung maupun dikoordinasikan pemerintah. Untuk itu, sesuai amanat sidang tahunan MPR 2002, JPKM harus terus dikembangkan dan bila SJSN telah tersusun maka JPKM akan dilebur kedalamnya. Menurut Menteri Kesehatan RI diperkirakan SJSN telah dapat diberlakukan pada akhir tahun 2003. (Siswono, 2002) Sedangkan untuk Kabupaten Lombok Barat, sebagai hasil proses interaksi dan bargaining yang berulang-ulang adalah dengan dijadikannya Kabupaten Lombok Barat sebagai salah satu Kabupaten uji coba (dari 40 Kabupaten se-Indonesia) pengelolaan subsidi Gakin dengan sistem JPKM untuk tahun 2003 ini dan mendapat bantuan dana dari Pusat dengan cakupan sasaran sebesar 0,5% penduduk. Dengan menggunakan peralatan game theory, maka model sederhana dalam menganalisis persoalan pengelolaan subsidi kesehatan sebagaimana hasil yang dicapai diatas dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah (Kabupaten) menghadapi dua pilihan sistem
pengelolaan dana subsidi untuk biaya pelayanan kesehatan masyarakat miskin di wilayahnya yaitu sistem JPS-BK atau JPKM. 2. Pemerintah Propinsi, dalam model ini dianggap sebagai Pemerintah
Pusat juga dihadapkan pada dua pilihan sistem pengelolaan subsidi untuk biaya pelayanan kesehatan masyarakat miskin yaitu sistem JPS-BK atau JPKM. Berdasarkan data-data yang ada, maka disusun asumsi-asumsi yang akan digunakan dalam proses interaksi dan bargaining yaitu sebagai berikut : Bentuk subsidi dihitung sebagai kerugian ( - dan retribusi sebagai keuntungan (+)
+
Pada sistem JPS-BK seluruh biaya kunjungan Gakin (KK dan anggota keluarganya) ke Puskesmas ditanggung 1di subsidi oleh Pemerintah
+
Proporsi pembiayaan kesehatan (subsidi) : ditanggung Pusat = 75% dan Kabupaten = 25%, berdasarkan hasil analisis biaya kesehatan baik untuk tingkat Propinsi NTB maupun Kabupaten Lombok Barat Selanjutnya proses interaksi dan bargaining yang dilakukan rnelalui
pilihan strategi yang diambil oleh masing-masing pihak dapat digambarkan sebagai berikut :
-
Pada kondisi awal, Pemerintah Pusat menerapkan pola JPS-BK sesuai dengan perjanjian dan aturan yang telah dibuatldisepakati dengan pihak ADB tanpa menghiraukan keberadaan kelernbagaan JPKM didaerah . Dari data anggaran kesehatan Propinsi NTB maupun Kab.Lombok Barat diketahui proporsi pembiayaan kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Kabupaten adalah 75% dan 25%. Dengan pola JPS-BK maka subsidi yang ditanggung Pusat untuk setiap orang rniskin per-kunjungan adalah 75% dari biaya nil pelayanan rawat jalan Puskesmas yaitu 75% x Rp. 18.500=Rp.13.875,sementara Kabupaten rnenanggung 25% x Rp. 18.500 = Rp. 4.625,-
-
Akan tetapi sebenarnya Kabupaten rnerasa rugi dengan pola JPS-BK ini, oleh karena mereka telah melaksanakan sistern JPKM. Dirnana dari data kunjungan peserta JPKM, subsidi per-orglkunj menjadi lebih kecil dan memberi keuntungan untuk Kabupaten sebesar Rp. 100,-Iorglkunj (jika peserta JPKM berkunjung lxlbln) sehingga subsidi yang dikeluarkan Kabupaten hanya sebesar Rp. 1.883lorglkunj. Karena berkurangnya subsidi yang dikeluarkan oleh Kabupaten maka subsidi yang harus ditanggung Pusat bertambah Rp. 2.741,675 (Rp. 4.625
-
- Rp. 1.883) menjadi Rp. 16.616
Selanjutnya, karena hasil perhitungars rnenunjukkan bahwa dengan memilih sistem JPKM , Pemerintah Pusat juga akan memperoleh keuntungan karena
subsidi yang ditanggung per-oranglkunj. menjadi jauh lebih kecil yaitu dari Rp. 13.875lorglkunj menjadi Rp. 5.952lorglkunj. Pada kondisi ini, jika Kabupaten bertahan dengan sistem JPS-BK maka Kabupaten harus menanggung tambahan subsidi karena berkurangnya subsidi Pusat yaitu sebesar Rp. 7.922,625 sehingga subsidi yang dikeluarkan Kabupaten rnenjadi Rp. 12,547,625
-
Setelah melalui proses yang panjang, melalui interaksi dan dialog yang intensif
serta
didasarkan
pada
asumsi
rasionalitas
(rationality)
rnaka sistern pengelolaan dengan bentuk kelembagaan JPKM merupakan pilihan yang optimal bagi kedua belah pihak. Dimana besar subsidi yang ditanggung oleh Pusat maupun Kabupaten menjadi minimal dan dapat rnemasyarakatkan sistem pembayaran pra-upaya sebagai antisipasi bila tidak ada lagi dana subsidi Matriks pay-off (pahala) yang terjadi dari empat kemungkinan interaksi tersebut dapat diringkas seperti pada Tabel 35 ( Perhitungan nilai-nilai pahala dan asumsi yang digunakan dalam matriks dapat dilihat pada Lampiran 9). Tabel 35. Matriks Pay-off "Permainan" antara Pusat dan Kabupaten Dalam Pengelolaan Dana Subsidi Kesehatan
Kabupaten
PIHAK
JPS
..---*--,
JPKM
K - 4.625 -1.984,125+100,80 = - 1.883,325 JPS P - 13.875 -13.875+(-2.741,675)=-16.616 Pusat JPKM K -4.6253-7.922,625)=-12547,625 -1.984,I25+100,80 = - 1.883,325 P - 5952,375 - 5.952,375 Sumber: Kantor Wilayah Kesehatan Prop.NTB,2000; Dinas Kes Masyarakat Kab. Lombok Barat, 2001; Bapel JPKM Kab.Lombok Barat,1999 (diolah)
I
1
1
1
Berdasarkan Tabel 35 di atas, setelah diolah dengan software ABQM ternyata kondisi keseimbangan yang menghasilkan Nash equilibrium terjadi pada kotak kanan bawah yaitu pada saat kedua belah pihak baik Pemerintah Kabupaten maupun Pusat memilih sistem JPKM (strategi 2). Seperti halnya pada permainan
Dilema
Narapidana
(Prisonecs
Dilemma
Game)
kondisi
keseimbangan ini juga merupakan Keseimbangan Strategi Dominan (Dominant Strategy Equilibrium) dimana setiap pemain (Pemerintah Kabupaten dan Pusat) memiliki strategi dominan dan sama-sama memainkannya. Kondisi keseimbangan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : secara rasional, Kabupaten akan berpikir bahwa 2 (dua) ha1 dapat terjadi, dimana Pusat dapat rnemilih sistem JPS-BK atau JPKM. Andaikan Pusat memilih JPS-BK maka Kabupaten harus mengeluarkan subsidi sebesar Rp. 4.625,- jika memilih JPS-BK, tetapi hanya mengeluarkan Rp. 1383,325,- jika rnemilih JPKM, sehingga Kabupaten terdorong untuk memilih JPKM. Sebaliknya, jika Pusat memilih JPKM dan Kabupaten JPS-BK, maka Kabupaten harus mengeluarkan Rp. 12.547,625,- tetapi jika Kabupaten juga memilih JPKM hanya mengeluarkan Rp. 1.883,325,- Sehingga untuk kedua kondisi ini, pilihan sebaiknya adalah JPKM yang merupakan strategi dominan (dominant strategy). Tetapi, Pusat akan berpikir dengan cara yang sama, sehingga keduanya akan memilih JPKM.