L A P O R A N K E G I A T A N
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA:
Kajian Kelembagaan Pemerintah Pusat Oleh: Gutomo Bayu Aji1 , Irina Rafliana2 , Rae Sita Pratiwi3 , Dwi Yulianto4 , Fauzi Rahmat Saleh5
Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi, COMPRESS – Community Preparedness, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 3 UPT Pulau Pari, COMPRESS – Community Preparedness, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 4 COMPRESS – Community Preparedness, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 5 Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi 2013, Universitas Indonesia 1 2
ABSTRAK Serangkaian kejadian bencana alam besar yang melanda Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah meningkatkan kesadaran, pemahaman dan respon pemerintah serta masyarakat terhadap ancaman kejadian serupa. DPR RI telah menetapkan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti oleh pemerintah dengan penetapan peraturan pemerintah serta pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pengurangan Risiko Bencana (PRB) telah memberikan suatu dimensi baru dalam paradigma pembangunan berkelanjutan. Dengan menggunakan metode kualitatif, kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengarusutamaan PRB dalam pembangunan. Hasil kajian menunjukkan bahwa PRB belum menjadi tema pengarusutamaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Di dalam dokumen RPJMN itu, PRB termasuk ke dalam prioritas nasional atau PN9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Fungsi dan peran pengarusutamaan dengan prioritas nasional berbeda pada internalisasi, prioritas, program, anggaran, dan koordinasi lintas sektor. Pada prioritas nasional tidak ada internasilisasi nilai dari suatu paradigma yang diprioritaskan. Prioritas nasional (PN9) memberi penekanan pada kinerja lintas sektor di bawah koordinasi BNPB. Salah satu kendali BNPB dalam mengelola kinerja lintas sektoral adalah memberikan rekomendasi anggaran tiap sektor yang terkait dengan penanggulangan bencana melalui Kementerian Keuangan pada saat kejadian bencana. Pengarusutamaan PRB dipandang oleh kalangan birokrat pemerintah pusat tidak perlu berada pada posisi paradigmatik tersendiri setara dengan pengarusutamaan yang sudah ada, yaitu pembangunan berkelanjutan, tata kelola pemerintah yang baik, dan kesetaraan gender. Dalam hal ini, pengarusutamaan PRB dipandang dapat melengkapi paradigma yang sudah ada, yaitu pembangunan berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan perlu ditinjau ulang dengan memperhatikan PRB sebagai salah satu komponen penting. Dengan pengarusutamaan PRB melalui pembangunan berkelanjutan diharapakan berbagai kelemahan dalam pendekatan stand alone dapat diatasi.
Kata kunci: Pengarusutamaan, pengurangan risiko bencana, pembangunan berkelanjutan, prioritas nasional.
IV
KATA PENGANTAR Sebagai negara yang memiliki catatan kejadian bencana yang sangat panjang serta risiko bencana yang masih mengancam stabilitas kehidupan serta pembangunan di hampir seluruh wilayah Indonesia pada saat ini dan masa datang, pembahasan tentang upaya pengurangan risiko bencana menjadi arus utama kebijakan di Indonesia menjadi sangat relevan. Dari evolusi gerakan pengurangan risiko bencana di Indonesia, terutama evolusi riset terkait kebencanaan, pada saat ini kami, tim peneliti, tidak lagi membahas kebencanaan di tingkat teknis melainkan pada tataran strategis. Upaya pengurangan risiko bencana kami anggap dapat diwujudkan dengan dampak yang meluas pada tataran arus utama terutama berkaitan dengan persepsi investasi dalam pembangunan Indonesia. Namun, apa arus utama itu? Begitu banyak klaim, persepsi, dan konsep pengarusutamaan dan juga konsep yang begitu beragam dari penanggulangan bencana, pengelolaan bencana, pengurangan risiko bencana serta bencana itu sendiri. Salah satu tujuan kajian ini ialah memetakan klaim dan persepsi tersebut dan meletakkannya pada analisis yang lebih sistematis. Analisis sistematis ini yang dibutuhkan untuk memperbaiki serta mendorong kebijakan yang berpihak pada pembangunan keberlanjutan dan pengurangan risiko bencana menjadi salah satu komponen pentingnya. Hingga saat ini Pemerintah Indonesia masih perlu mematangkan konsep pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana, dan berbagai pihak mengakui arti pentingnya. Kajian ini memaparkan analisis, temuan, dan rekomendasi. Lebih jauh lagi, kajian ini juga menyarankan peletakan PRB dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dengan pendefinisian ulang konsepsi pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Hal ini kami anggap strategis karena dapat PRB kemudian dapat “terselamatkan” dari negosiasi politik yang selama ini terjadi dengan diletakkannya pada program Pemerintah melalui Prioritas Nasional. Kajian ini sendiri adalah bagian dari kegiatan terkait Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana dimana LIPI menafsirkan tanggungjawab serta kapasitasnya dalam menterjemahkan konsepsi PRB dalam bentuk riset aksi serta pendidikan publik. Kami mengucapkan terima kasih kepada informan dari kementerian dan lembaga terkait, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Bantul, serta partisipasi berbagai pihak hingga kajian ini dapat dirampungkan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI sebagai penanggung jawab seluruh kegiatan kebencanaan di LIPI karena kajian ini menjadi salah satu bagian kegiatannya. Kajian ini tidak dapat rampung tanpa kerja sama erat dari seluruh anggota tim PPK LIPI, P2O LIPI, COMPRESS LIPI, UPT Pulau Pari LIPI, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UI, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kritik dan saran berbagai pihak akan sangat penting dalam menyempurnakan kajian ini.
Jakarta, Desember 2013 Tim Kajian PU PRB
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
V
VI
PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu dari negara yang memiliki ancaman bencana tertinggi di dunia. Laporan global Annual Disaster Statistical Review memasukkan Indonesia ke dalam sepuluh negara yang paling banyak melaporkan kejadian bencana dari tahun 2007 hingga 20126 . Bencana itu berdampak besar terhadap proses kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan jumlah penduduk miskin, dan mempertinggi nilai kerugian. Sementara itu, pembiayaan pembangunan memiliki keterbatasan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, dampak bencana memberikan pengaruh jangka panjang dan lebih sulit pulih ketimbang kemampuan negara-negara maju, yang bahkan dapat menarik nilai ekonomi pasca kejadian bencana dengan upaya-upaya rekonstruksinya. Meskipun Rencana Pendapatan dan Anggaran Belanja Negara (RAPBN) tahun 2014 akan menekan lebih besar lagi belanja menggunakan dana dari dalam negeri7 ketergantungan Indonesia pada bantuan luar masih dapat dikatakan tinggi. Ketergantungan akan tetap berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam jangka panjang, ketika pertumbuhan penduduk dan kerentanan aset meningkat, peluang atas kejadian-kejadian bencana patut diperhitungkan dengan lebih serius dan diterjemahkan dalam kebijakan yang lebih strategis. Pada belanja negara yang cenderung bergantung pada sumber daya dalam negeri, pilihan kebijakan akan lebih memerlukan prioritisasi dengan adanya keterbatasan sumber daya tersebut. Urgensinya pertimbangan pengelolaan bencana dalam perencanaan pembangunan adalah karena kejadian bencana dapat membalikkan kondisi serta capaian-capaian pembangunan suatu negara8. Kejadian bencana tsunami di Aceh, misalnya, diperkirakan mengakibatkan bukan hanya korban jiwa sebanyak 165.708 jiwa, tetapi juga kerugian ekonomi sebesar lebih dari 48 triliun rupiah9 , atau hampir sama dengan 3% dari total pendapatan negara tahun 2014. Nilai ini juga setara dengan 21,25 kali APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 200410 , atau jika menggunakan seluruh kekuatan dana dari pendapatan daerah, maka diperlukan sekitar lebih dari 20 tahun untuk memulihkan kerugian ekonomi dari satu kejadian bencana pada tahun 2004 tersebut. Paradigma yang sedang dikampanyekan di tingkat global adalah bahwa tidak hanya diperlukan investasi dalam mengantisipasi atau meredam kejut setiap kejadian bencana untuk melindungi jiwa dan penghidupan, tetapi antisipasi serupa juga akan menyelamatkan investasi yang telah ditanam (saving money)11 , yaitu pengeluaran/investasi pembangunan. Pilihan-pilihan dalam Mengelola Risiko Bencana Mitchell, et.al (2013) memaparkan pentingnya memasukkan kebencanaan dalam kerangka kerja yang kemudian akan memungkinkan adanya kepastian politis serta kepentingan dalam penyelenggaraan pengelolaan bencana. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa penetapan prioritas pembangunan tidak mudah karena adanya tarik-menarik kepentingan atas prioritas tertentu lainnya. Pilihannya menjadi terbatas. Apakah memasukkan prioritas kebencanaan dalam program yang berdiri sendiri (stand alone) atau masuk (embedded) dalam pengarusutamaan bersama dengan program-program pembangunan lain. Hal ini telah dibahas di tingkat regional dan global dengan mempertimbangkan bahwa agenda global pengurangan risiko bencana yang dirumuskan dalam Hyogo Framework of Action ( Post-2015 HFA consultation process) harus koheren pula dengan agenda pembangunan pasca 2015 (Post-2015 Development Agenda). Guha-Sapir D, Hoyois Ph., Below, R., Annual Disaster Statistical Review 2012: The Numbers and Trends. Brussels: CRED, 2013 Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 8 Mitchell, T., Jones, L., Lovell, e., comba, E. (2013) (eds) Disaster Risk Managament and Their Role in Post-2015 Development Goal: Potential Targets and Indicators. London: Overseas Development Institute 9 Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana 6 7
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
1
Beberapa pertanyaan kunci diidentifikasi12 untuk mengkaji ketercapaian upaya PRB, yang kiranya dapat membantu analisis lebih lanjut terkait kebijakan PRB di Indonesia. Apakah PRB dimaknai sama oleh seluruh pelaku dan pemangku kepentingan? Apakah makna tersebut dikomunikasikan di antara pemangku kepentingan dengan efektif? Apakah secara politis PRB diterima? Apakah ada cukup motivasi? Dalam tataran lebih operasional, tujuan PRB dapat diterjemahkan dalam target capaian dengan pilihan. Misalnya, apakah target capaian PRB diprioritaskan bagi masyarakat miskin, atau penegakan hak asasi manusia? Kemudian, apakah target yang ditetapkan terlalu ambisius atau tidak? Target tersebut apakah mudah dipahami dan diimplementasikan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga membantu dalam menentukan pilihan kebijakan. Setidaknya, Mitchell menyiapkan indikator-indikator yang dapat menjadi rujukan untuk dapat memilah pilihan kebijakan ke dalam tiga kategori atau skenario. Kategori pertama, adalah kebijakan stand alone, dengan target mengurangi potensi korban jiwa dan kerugian ekonomi. Misalnya, target pada tahun 2030 kerugian ekonomi akibat kejadian bencana dapat dikurangi hingga 20%, setengah dari penduduk terekspos ancaman bencana terselamatkan dan tidak ada warga negara yang memasuki kategori di bawah garis kemiskinan akibat bencana. Untuk itu, sebagai ilustrasi, rumah sakit/fasilitas kesehatan dan sekolah dibangun di daerah aman bencana atau dibangun atas konstruksi tahan bencana. Kategori kedua adalah kebijakan dengan target yang lebih luas, yaitu mencapai kelentingan/resilience. Kategori ini kemudian dapat memasukkan capaian-capaian lain, misalnya 50% peningkatan akses penduduk miskin terhadap makanan pokok, 50% penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan, selain dari 50% penurunan potensi kehilangan jiwa dari penduduk yang terekspos ancaman bencana pada tahun 2030. Kategori ketiga adalah kebijakan pengintegrasian tujuan-tujuan pengurangan risiko bencana ke dalam tujuan-tujuan lain, misalnya pada pengentasan kemiskinan. Indikator yang dapat digunakan diilustrasikan seperti berkurangnya penduduk miskin sebanyak 10 juta jiwa pada tahun 2030 (tujuan pengentasan kemiskinan) dan berkurangnya 50% potensi korban jiwa kelompok rentan, yaitu siswa sekolah akibat pembangunan gedung sekolah aman dan tahan bencana yang dibangun setelah tahun 2015 (tujuan pendidikan). Kategori atau skenario yang ketiga ini berbeda-beda penerapannya di masing-masing negara, dengan penekanan atau fokus tertentu, misalnya pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, atau pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Penelusuran Investasi PRB di Tingkat Nasional Bappenas telah menyelenggarakan Penelitian Penelusuran Investasi PRB di Tingkat Nasional yang cukup menarik dan penting pula menjadi materi analisis selanjutnya13. Penelitian yang menggunakan angket yang disebarkan ke kementerian/lembaga itu menelusuri rencana investasi tahun 2010 dan 2011. Penelitian yang dilakukan Bappenas ini mengambil arti PRB sebagai kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. PRB adalah makna eksplisit dan penelitian ini secara spesifik menemukan penginternalisasian makna oleh kementerian/lembaga termasuk dalam penganggaran. Ditemukan bahwa PRB dimaknai sama dengan PB (Penanggulangan Bencana), karena ketidakpahaman atau tidak dilakukannya internalisasi pemahaman PRB di masing-masing kementerian/lembaga dengan efektif. 10 Data dari BPK RI) menyebutkan bahwa realisasi APBD Provinsi NAD Tahun Anggaran 2004 adalah sebesar 2.257 triliun Rupiah. Sumber: http://www.bpk.go.id/doc/ikhtisar/2005ii/APBD/Bab02-Prov.NAD.pdf 11 Ibid, hal. viii 12 Ibid 13 Bappenas: Penelusuran Investasi Pemerintah Pusat untuk PRB (Anonim, tahun tidak diketahui).
2
Penelitian ini juga meninjau bagaimana implementasi kebijakan PRB serta kecenderungannya pada stand alone atau embedded. Penelitian ini melihat bahwa investasi PRB lebih cenderung bersifat berdiri sendiri, hanya beberapa saja KEMENTERIAN/LEMBAGA yang mengalokasikan dananya khusus atau eksplisit kebencanaan yang nilainya mencapai sekitar 1 triliun rupiah pada tahun 2010. Jumlah ini cukup jauh dari rancangan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) dimana kebencanaan secara stand alone di berbagai kementerian/lembaga mencapai sekitar 12 triliun rupiah. Namun angka tersebut dapat menjadi lebih besar jika digabungkan dengan program-program kementerian/lembaga yang sifatnya ‘embedded’. Kementerian/ lembaga yang tidak mengalokasikan anggarannya mengaku bahwa PRB tidak masuk dalam rencana strategisnya, seperti Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Temuan penting lain adalah bahwa DPR RI keberatan atas penganggaran kebencanaan di kementerian/lembaga lain karena menganggap sudah ada BNPB yang berperan di dalam bidang kebencanaan dan alokasi anggaran sudah diletakkan pada lembaga ini. Sedangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) yang sudah disusun dengan klaim bahwa rencana ini akan diimplementasikan oleh kementerian/ lembaga justru tidak dilaksanakan oleh sebagian besar kementerian/lembaga. Alasannya di antaranya ialah rencana di dalam RAN tidak dianggap prioritas, atau dokumen RAN tidak dimiliki oleh pejabat berwenang di kementerian/lembaga. Kalaupun ada perwakilan yang mengikuti proses penyusunan RAN, kesepakatan dalam proses tersebut tidak ditindaklanjuti atau staf tersebut dimutasi.
Kerangka Konsep Pengarusutamaan PRB di Indonesia Dari Disaster Risk Reduction Terminology yang dikeluarkan oleh Badan PBB yaitu United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction (UNISDR), kerangka konsep pengarusutamaan PRB dapat mengacu pada beberapa terminologi penting, yaitu Pengelolaan Risiko Bencana, Pengurangan Risiko Bencana dan Ketangguhan. Pengelolaan Risiko Bencana (Disaster Risk Management) adalah proses sistematik menggunakan tata aturan administrative yang melibatkan keterampilan organisasi, dan operasional, serta kapasitas untuk menerapkan strategi, dan kebijakan untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana untuk menghindar, mengurangi, atau membalikkan dampak dari potensi bencana. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan adalah melalui tindakan-tindakan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Pengurangan Risiko Bencana adalah konsep dan praktik pengurangan risiko melalui upaya sistematik dengan menganalisis dan mengelola penyebab bencana, termasuk mengurangi keterpaparan terhadap ancaman bencana, mengurangi kerentanan penduduk dan infrastruktur, melakukan pengelolaan yang arif terhadap tanah dan lingkungan, serta meningkatkan kesiapsiagaan. Terminologi ini juga diambil dari Hyogo Framework of Action 2005-2015: Membangun Negara dan Masyarakat Tangguh/Resilience Terhadap Bencana. Resiliensi atau ketangguhan atau kelentingan, adalah kemampuan dari sistem, masyarakat atau publik yang terekspos ancaman bencana untuk menghindar, meredam, atau mengakomodasi untuk kemudian pulih dari efek-efek ancaman secara efektif dan efisien, termasuk dengan menjaga dan memulihkan struktur-struktur dan fungsi penting masyarakat. Ketangguhan dititikberatkan pada aspek ekonomi serta sosial suatu daerah/wilayah. Pengurangan risiko bencana dibangun dari konsepsi pengelolaan risiko, penguatan kapasitas, dan pengendalian kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya tertentu. Kapasitas dalam makna sempit adalah kemampuan masyarakat dalam mengelola risikonya. Sedangkan dalam arti luas,
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
3
kapasitas diartikan kemampuan kolektif seluruh pihak yang berkepentingan dalam pembangunan Indonesia, dalam mengurangi atau menekan risiko serta dampak atas kejadian bencana. Pengurangan risiko bencana dalam agenda pembangunan Indonesia berarti kemampuan dari segenap aktor dan penerima manfaat pembangunan dalam mengelola risiko bencana dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kemandirian, kesetaraan, dan pemberdayaan.
Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan Konsep pengarusutamaan PRB berikut diadaptasi dari konsep pengarusutamaan gender, yang memberikan penekanan pengarusutamaan sebagai prinsip, hasil, tujuan, akses, dan manfaat. Konsep dasar dari Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah memperhatikan 4 aspek pembangunan, yaitu akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat14. Selain itu, konsep PUG juga mempertimbangkan prinsip, hasil, serta tujuan dari pengarusutamaan gender. Merujuk pada analisis kajian dan problematika penganggaran yang bersifat stand alone pada kementerian dan lembaga, sistem penganggaran dari PUG juga berpeluang untuk diadaptasi dalam konteks PRB. Berdasarkan beberapa sumber di atas, usulan atau rekomendasi konsep Pengarusutamaan PRB serta konsep Anggaran PU PRB dapat ditemukan sebagai berikut, dan dapat dibahas lebih lanjut pada forum yang lebih luas.
Pengarusutamaan PRB dalam pembangunan adalah suatu pendekatan untuk memastikan bahwa seluruh upaya pengurangan risiko bencana terkait erat dengan seluruh program pembangunan, baik perencanaan, implementasi dan evaluasinya di seluruh sektor. Pengarusutamaan PRB sebagai prinsip mendorong pengurangan risiko bencana sebagai hasil intervensi usaha pembangunan. Pengarusutamaan PRB sebagai tujuan adalah seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses dan manfaat dari penguasaan sumber daya pembangunan; termasuk manfaat atas pengelolaan risiko bencana dengan optimal. Pengurangan risiko bencana bukanlah tujuan utama, melainkan pendorong ketercapaian tujuantujuan pembangunan Indonesia jangka menengah, pendek dan panjang. Oleh karenanya, upaya pengurangan risiko bencana tidak dapat dilihat sebagai upaya berdiri sendiri (stand alone) tetapi menjadi bagian dari isu lintas sektor yang menjadi landasan pentingnya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam program-program pembangunan.
Anggaran PU PRB Pengarusutamaan PRB adalah suatu strategi untuk memastikan bahwa anggaran pemerintah/ belanja yang akan dipakai dalam program pembangunan Indonesia memberikan kontribusi besar pada upaya pengurangan risiko bencana. Anggaran Pengarusutamaan PRB sebagai proses, anggaran dimana isu pengurangan risiko bencana diintegrasikan dalam program pembangunan (melalui analisis risiko sektoral) dan menguraikannya dalam anggaran.
14 Sumber konsep: presentasi Dr. Yulfita Raharjo: Konsep Gender, PUG dan ARG di LIPI, tanggal 4 April 2013, dan buku Sjamsiah Achmad: Matahari dari Sengkang-Wajo – Jejak Langkah 80 Tahun Kehidupan untuk Kebijakan Publik yang Adil, Setara dan Tulus; hal. 191 mengenai Upaya-upaya Bappenas dalam PUG dan Konsep Dasar PUG dan Pembangunan, Kompas Gramedia 2013 15 Peraturan Presiden Republik Indonesia mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014: Buku II – Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan, Bab I-Kebijakan Pengarusutamaan dan Lintas Bidang
4
Makna Pengarusutamaan dalam Pembangunan Berkelanjutan Pada dasarnya, pencapaian tujuan pembangunan di segala bidang bukan upaya yang berdiri sendiri dari para pelaku pembangunan, yaitu instrumen pemerintah di bawah pengelolaan Kementerian dan Lembaga. Setiap bidang perlu terpadu, saling mendukung dan memperkuat. Hal ini menjadi penting karena pembiayaan pembangunan terbatas, namun tetap harus efektif. RPJMN 2010 – 2014 menetapkan prinsip pengarusutamaan untuk menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan15 yang mensyaratkan sinkronisasi dalam mencapai sasaran pembangunan. Dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014, Dokumen Buku II RPJMN menjabarkan lebih detail mengenai kebijakan Pengarusutamaan dalam pembangunan nasional. Ada tiga tema sentral kebijakan pengarusutamaan yang dinaungi oleh Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010. Tema sentral tersebut adalah: (1) pembangunan berkelanjutan, (2) tata kelola pemerintahan yang baik, dan (3) kesetaraan gender. Dalam pelaksanaannya, kebijakan pengarusutamaan harus memenuhi tiga kriteria utama, yaitu: 1. pengarusutamaan bukanlah kegiatan yang terpisah dari pembangunan sektoral; 2. pengarusutamaan tidak mengimplikasikan adanya tambahan dana investasi yang signifikan; 3. pengarusutamaan dilakukan pada semua sektor yang terkait, tetapi diprioritaskan pada sektor penting yang terkait langsung dengan isu-isu pengarusutamaan. Selain dari kebijakan pengarusutamaan, RPJMN juga menaungi kebijakan Prioritas Nasional dimana presiden dan wakil presiden terpilih menjabarkan visi misinya dalam perencanaan pembangunan Indonesia melalui prioritas-prioritas tersebut16. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan didesain pada tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Ketiga pilar tersebut sangat berkait erat dengan upaya pengurangan risiko bencana karena kejadian bencana secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi perekonomian negara, berdampak terhadap kehidupan sosial termasuk tatanan budaya masyarakat dan juga terhadap kerusakan lingkungan hidup. Sebaliknya, penguatan sumber daya ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dapat menjadi modal utama dalam mengurangi risiko bencana. Bappenas melakukan evaluasi pada kinerja pembangunannya17. Salah satunya disebut “Evaluasi Kinerja Paruh Waktu” yang dilakukan pada tahun 2012. Evaluasi ini dilakukan dengan menganalisis kesenjangan capaian yang telah didapat dari tahun 2010 hingga 2014, terhadap capaian-capaian yang diharapkan terwujud pada tahun 2014. Pada laporan ini, Bappenas tidak melakukan evaluasi secara khusus pada capaian-capaian pengarusutamaan, tapi fokus pada evaluasi capaian program-program Prioritas Nasional sebagai penjabaran dari visi dan misi presiden terpilih. Resume evaluasi capaian program Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana akan dibahas pada bab-bab berikutnya.
Makna PRB dalam UU, RENAS, dan PN9 Bab ini secara khusus mengulas landasan berpikir dari pengurangan risiko bencana (PRB) dan pengarusutamaan berdasarkan regulasi dan dokumen negara yang berlaku, yaitu Undang-
16 Penjelasan tentang Prioritas Nasional akan dijabarkan lebih lanjut pada bab berikutnya, yaitu Makna PRB, khususnya pada bagian Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana 17 Buku Evaluasi Kinerja Paruh Waktu 2010-2014, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
5
Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014, serta Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Pemaknaan PRB di antara masing-masing regulasi dan dokumen negara, terutama dokumen perencanaan pembangunan, masih belum konsisten. Perbedaan pemahaman atas pemaknaan nomenklatur atau terminologi ini dengan sendirinya berdampak pula terhadap pemaknaan dan implmentasinya oleh pihak-pihak pemangku kepentingan, termasuk pemaknaan PRB dalam konteks ‘pengintegrasian’ atau ‘pemaduan’ atau ‘pengarusutamaan’ dalam pembangunan. Dampaknya di tingkat daerah juga dibahas dalam bab Pembelajaran: Kasus Mentawai 2012 – 2013. Sebelum tahun 2007, penggunaan terminologi pengarusutamaan belum banyak digunakan dalam khasanah kebencanaan. Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007, tidak ada satupun terminologi pengarusutamaan. Istilah yang digunakan yang paling mendekati pengarusutamaan adalah pemaduan. Dalam RENAS PB 2010 – 2014, terminologi pengarusutamaan sudah digunakan, tanpa ada penjelasan tentang maknanya. Sementara itu, PRB sudah ada dalam nomenklatur Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007. Uraian berikut akan memberikan penjelasan lebih lanjut.
Undang-undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 Regulasi terkait kebencanaan menjadi semakin kuat dengan hadirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007. Rumusan Undang-Undang ini dilakukan atas desakan masyarakat sipil serta dukungan dari DPR RI sehingga pada tanggal 26 April 2007, undang-undang ini dapat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono. Terminologi pengurangan risiko bencana disebutkan dalam undang-undang ini, namun tidak dalam penjelasan istilahnya. Demikian juga dengan pemaduan yang disebutkan dalam undang-undang ini sebanyak empat kali. Istilah pemaduan dicantumkan pada Pasal 6 dan 8 terkait tanggung jawab dan wewenang pemerintah. Kemudian, pada Pasal 35 terkait Tahap Pra Bencana. Pada Pasal 39, masih dalam kaitannya dengan Tahap Pra Bencana, disebutkan secara khusus bahwa “Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsurunsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam dokumen undang-undang ini masih sangat kuat menggunakan pendekatan stand-alone sebagaimana dinyatakan pada pasal 2: “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Tidak mudah bagi pelaku pembangunan untuk memaknai kepentingan lain atau kepentingan luas dari pembangunan dengan mengacu pada pasal ini, misalnya untuk kepentingan pengentasan kemiskinan atau pendidikan, sebagaimana lazimnya implementasi paradigma pengarusutamaan. Lebih lanjut terkait penganggaran, disebutkan pada pasal 6 huruf e bahwa “pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai’, dan huruf f “pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai”. Undang-undang ini mencerminkan penekanan semata-mata pada kebijakan stand alone serta kecenderungan paradigma respons/tanggap darurat, dan tidak mendorong peluangpeluang lain melalui pengarusutamaan dimana tidak diperlukan penambahan dana signifikan untuk pengurangan risiko bencana karena terintegrasi dalam Rencana Strategis Kementerian, Lembaga serta Pemerintah Daerah.
6
RENCANA NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA 2010 – 2014 Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (RENAS PB) adalah dokumen yang dibuat sebagai rencana kerja lintas sektor yang berlaku selama lima tahun sebagai bagian dari penjabaran program 100 hari presiden dan wakil presiden terpilih. Dalam RENAS ini disebutkan diintegrasikan dalam RPJMN dan terpadukan dalam program-program pembangunan dalam dokumen RPJMN tersebut. Dokumen RENAS ini selanjutnya menjadi arahan dalam pengarusutamaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan bencana. Pemaknaan atas terminologi Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana tidak dicantumkan, baik dalam dokumen inti maupun dalam lampiran daftar istilah pada dokumen ini. Terminologi pengarusutamaan disebutkan sebanyak tiga kali dalam dokumen ini, namun tidak ada penjelasan dalam dokumen inti maupun dalam lampiran daftar istilah, mengenai arti pengarusutamaan. Kaidah pelaksanaan RENAS diatur pada halaman 6 dalam dokumen ini, yaitu bahwa “untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014, BNPB dan Bappenas berkewajiban untuk melakukan pemantauan terhadap penjabaran RENAS PB 2010 – 2014 ke dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, termasuk implementasi dari Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)”. Adapun dua tujuan pokok dari RENAS 2010 – 2014 adalah untuk (1) identifikasi daerah berisiko tinggi untuk menyusun pilihan tindakan yang perlu perhatian utama, dan (2) memberikan acuan kepada eKmenterian dan lembaga pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. RENAS PB 2010 – 2014 dianggap belum mengakomodasi kajian risiko bencana dengan pedoman baku sebagai landasan perencanaan penanggulangan bencana meskipun telah melibatkan tim teknis dan pakar untuk pengkajian ancaman, kerentanan, dan penilaian risiko bencana tertentu. Anggaran dan Pendanaan juga menjadi salah satu bagian pokok dari dokumen ini. Namun demikian, anggaran dilandaskan pada daftar program yang berimplikasi pada kebutuhan anggaran, yaitu sejumlah 64 triliun rupiah selama implementasi program lima tahun (2010 – 2014). Sumber pendanaan diasumsikan dari APBN, APB, dunia usaha, dan lembaga donor. Pemaknaan anggaran sesungguhnya sejalan dengan paradigma pengarusutamaan. Anggaran untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana bukan dana tambahan (on top) terhadap anggaran Rencana Strategis Kementerian dan Lembaga, tetapi terintegrasi ke dalam anggaran yang terkait dengan kepentingan penanggulangan bencana, terutama yang bersifat spesifik instansi. Sementara itu, program penanggulangan bencana yang bersifat umum dianggarkan di dalam BNPB.
Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana Masuknya kebencanaan dalam RPJMN 2010 – 2014 diklaim berbagai pihak, termasuk BNPB, sebagai bukti bahwa Indonesia telah melakukan pemaduan dalam perencanaan pembangunan18. RPJMN adalah penjabaran visi dan misi presiden terpilih pada kurun pembangunan tahun 2010 – 2014. Dalam dokumen RPJMN ini, kebencanaan telah ditempatkan menjadi salah satu dari 11 Prioritas Nasional yang menjadi kebijakan pembangunan di Indonesia, yaitu Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Dalam pokok prioritas ini, nomenklatur yang digunakan dalam penamaan prioritas yaitu Pengelolaan Bencana. Terminologi ini tidak merujuk
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
7
pada atau tidak konsisten dengan Undang-Undang No.24/2007 (Pengurangan Risiko Bencana, dan Pemaduan Pengurangan Risiko Bencana dengan Program Pembangunan) maupun terminologi internasional The United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR)19. Kebijakan dari PN 9 ini sebagaimana dilaporkan dalam Evaluasi Paruh Waktu Bappenas, dimaksudkan untuk mewujudkan kestabilan lingkungan. Secara eksplisit kebijakan PN 9: Lingkungan Hidup dan Kebencanaan diarahkan pada (a) antisipasi dampak dan pengendalian laju perubahan iklim, (b) upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, (c) pengembangan sistem peringatan dini, dan (d) penanggulangan bencana. Dalam kebijakan itu disebutkan bahwa penguasaan dan pengelolaan risiko bencana dilakukan guna mengantisipasi perubahan iklim. Sementara itu indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja pembangunan, khususnya untuk Prioritas Nasional 9 ini terutama yang dapat dianggap terkait dengan pengelolaan bencana adalah: (1) Penurunan jumlah hotspot di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi berkurang 20% per tahun dari rerata 2005-2009, (2) rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, (3) kesinambungan sistem analisa data di bidang gempa bumi dan tsunami, (4) persentase tingkat kemampuan pelayanan data dan informasi meteorologi publik dan cuaca ekstrim, (5) persentase pengguna informasi perubahan iklim dan kualitas udara, (6) terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (provinsi/ kabuaten atau kota, dan (7) terbentuknya satuan reaksi cepat Penanggulangan Bencana (SRCPB). Dapat disimpulkan sementara bahwa indikator kinerja pengelolaan bencana atau pengelolaan risiko bencana yang dilaporkan sebagai kinerja pemerintah dibawah pimpinan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dititikberatkan pada sistem peringatan dini, pengelolaan daerah aliran sungai, pemenuhan kebutuhan logistik pascabencana, serta pembentukan tim reaksi cepat. Indikator-indikator ini dapat dianggap terlampau teknis jika dianggap sebagai implementasi program-program pembangunan berparadigma PRB. Penilaian kinerja pembangunan, khususnya Prioritas Nasional 9 ini, juga tidak konsisten dengan laporan pelaksanaan PRB BNPB atau National Assessment Report 2013. Simpulan lain berdasarkan indikator penilaian kinerja pembangunan yang ditetapkan ialah pelaksanaan program terkait pengurangan risiko bencana berada dalam pilihan program stand alone. BNPB dan BMKG menjadi sektor yang mengalokasikan anggaran terkait pengelolaan bencana secara berdiri sendiri, dan tertuang secara eskplisit dalam penganggaran, perencanaan program, hingga pada pelaporannya kepada Bappenas.
Internalisasi PRB dalam Kementerian/Lembaga Bappenas Kementerian PPN/Bappenas memiliki mandat mengkoordinasi program di setiap kementerian demi tujuan pembangunan nasional sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Peran dan tugas Kementerian PPN/Bappenas di atas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2007 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Berdasarkan undang-Undang 18 Laporan BNBP berupa National Assessment Report on DRR 2013, halaman 16 menyebutkan “Indonesian national commitment for disaster management that focused on disaster risk reduction has been institutionalized into regulations and budgeting. The country has made disaster management an integral part of its national development priorities. The success in internalizing disaster management into national development planning has to be appreciated and sustained for the subsequent development planning cycles…” 19 Latar belakang historis mengenai proses masuknya kebencanaan ke dalam salah satu prioritas nasional akan dibahas di bab-bab berikutnya, terutama pada bagian Internalisasi PRB dalam Kementerian/Lembaga khususnya Bappenas.
8
tersebut dapat disimpulkan bahwa Bappenas dalam mandat untuk melakukan perencanaan dan pembangunan nasional juga memiliki wewenang dalam merancang pembangunan yang sensitif dengan masalah bencana, dengan mamanfaatkan fungsi koordinasi yang dimiliki oleh Bappenas. Bappenas menentukan kebijakan dan program dalam rencana pembangunan nasional, baik jangka panjang (RPJPN), menengah (RPJMN) maupun tahunan (RKP). Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat tahunan, disusun berikut perkiraan anggarannya dan urusannya dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Selain tugas perencanaan tersebut, Kementerian PPN/ Bappenas juga berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan penanganan permasalahan yang mendesak dan berskala besar, seperti penanganan pascabencana alam dan perubahan iklim (climate change). Kegiatan kebencanaan pada Bappenas diletakkan pada Kedeputian Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal. Tanggapan informan dari Bappenas mengenai tindakan memasukkan Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam perencanaan pembangunan adalah “diperlukan produk-produk kebijakan yang dikeluarkan Bappenas yang harus betulbetul bisa memberikan arahan yang harus diikuti oleh kementrian/Lembaga”. Kebencanaan sendiri dianggap masih menjadi diprioritas dan relevan dengan isu pembangunan karena memberikan pengalaman dan pemahaman pentingnya mempertimbangkan pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam perencanaan pembangunan. Tafsir pengarusutamaan menurut Bappenas, memang bukan untuk menambah pagu anggaran di kementerian/lembaga, tetapi masuk dalam program perencanaan masing-masing terkait dengan implementasi perencanaan pembangunan. Isu-isu PRB tidak hanya sebatas pada pengurangan risiko bencana, tetapi juga menyinggung masalah gender, pendidikan, dan lain-lainnya. Bagi informan, semua itu berhubungan dengan pola pikir masyarakat. RENAS PB 2010 – 2014 seharusnya menjadi tonggak atau kunci mainstreaming atau pengarusutamaan. Evaluasi capaian juga dianggap perlu dilakukan, termasuk pandangan dari kementrian dan kelembagaan. Temuan lapangan yang sementara ini didokumentasikan oleh LIPI terkait dengan peluang dalam mendorong isu pengarusutamaan PRB dalam perencanaan pembangunan khususnya di Kabupaten Mentawai dianggap salah satu masukan yang penting. Selain itu, dirasakan pula masih ada ketidaksesuaian RPJMN dengan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana. Waktu dan proses perancangannya tidak berjalan beriringan atau berurutan dan bersinambung. Semestinya dokumen RENAS sudah disiapkan sebelumnya sehingga menjadi masukan bagi RPJMN. Hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Bappenas. Konsep pengarusutamaan itu sendiri masih simpang-siur dipahami, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat perencanaan pembangunan di daerah. Bappenas merasa berperan untuk menyelaraskan program dengan kementrian dan lembaga, sementara peran Kementerian Dalam Negeri adalah membangun keselarasan program dengan daerah melalui BPBD. Sempat pula dilontarkan bahwa pada saat ini kebencanaan sudah digandengkan dengan Prioritas Nasional 9 tentang lingkungan hidup. Bahkan, informan berpendapat bahwa sudah cukup masalah kebencanaan bisa masuk dalam Prioritas Nasional tanpa perlu menggunakan pendekatan pengarusutamaan. Bappenas kemudian menyampaikan latar sejarah dari pencantuman Program Prioritas Nasional, khususnya Prioritas Nasional (PN 9) terkait Lingkungan Hidup dan Kebencanaan yang merupakan bagian dari implementasi RPJMN. Sebagai upaya untuk memastikan kebencanaan masuk ke dalam prioritas pembangunan 2010 – 2014, Bappenas mengakui melakukan advokasi hingga ke tim sukses calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam Pemilu 2009. Hingga kabinet baru terbentuk dari hasil pemilihan presiden dan pakil presiden tahun 2009, kebencanaan rupanya tetap tidak masuk ke dalam prioritas pembangunan. Peristiwa gempa
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
9
bumi Sumatera Barat pada tahun 2009 rupanya menjadi momentum bagi Bappenas untuk sekali lagi mendesakkan kepentingan prioritas kebencanaan dalam program pemerintah dalam lima tahun berjalan. Kepada BNPB dan kepala negara yang berkunjung ke Padang untuk memantau kondisi bencana, Bappenas sekali lagi mengingatkan pentingnya memasukkan kebencanaan dalam program prioritas pemerintah. Sumber dari Bappenas mengungkapkan, “Bappenas mendapatkan tanggapan Program Prioritas Nasional Pemerintah 2010 – 2014 setelah kejadian gempa tahun 2009, dan kebencanaan kemudian dimasukkan ke dalam salah satu program prioritasnya, yaitu disandingkan atau ditempelkan pada program Prioritas Nasional untuk isu Lingkungan Hidup,”. Bappenas mengaku melakukan peran advokasi di tahun 2009 dengan pada para calon kepala negara untuk memastikan kebencanaan masuk dalam program pembangunan dalam RPJMN berikutnya, namun proses advokasi tersebut gagal. Tidak satupun calon presiden memasukkan bencana dalam prioritasnya. Ketika terjadi gempa bumi 2009, Program Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup muncul dengan nomenklatur tambahan yaitu “Pengelolaan Bencana”19. Pengelolaan Bencana seolah-olah menjadi nomenklatur yang ‘ditempel’ agar mempunyai posisi dalam program prioritas. Bappenas mengaku tidak dilibatkan oleh executing agency kebencanaan, yaitu BNPB, dalam penyusunan Master Plan Tsunami tahun 2012-2013 yang seyogyanya menjadi bagian tidak terlepas dari RENAS PB 2015-2020.
BNPB Sejak masa berdirinya pada tahun 2008, BNPB telah melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Selanjutnya, ketiga upaya tadi disebut tahapan penanggulangan bencana. Hal ini sejalan dengan amanat yang diberikan kepada lembaga tersebut dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008, yaitu pembentukan BNPB. Posisi BNPB semakin diperkuat dengan penjabaran mengenai tupoksi BNPB yaitu melalui Undang Undang Nomor 24 tahun 2007. Dalam undangundang itu disebutkan bahwa tugas pokok Badan Nasional Penanggulangan Bencana adalah: (1). memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara; (2). menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan; (3). menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat; (4). melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; (5). menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
20 Istilah ‘Pengelolaan Bencana’ yang digunakan dalam PN9 itu sendiri menunjukkan ketidak fahaman konteks kini pengelolaan kebencanaan. Pengelolaan bencana bermakna upaya atau aktivitas pada saat atau sesudah kejadian bencana. Ini adalah paradigma lama dari manajemen bencana. Undang-undang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 tidak menggunakan terminologi pengelolaan bencana, melainkan ‘Penanggulangan Bencana’ atau ‘Pengurangan Risiko Bencana’.
10
(6). mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (7). melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan (8). menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Dalam menjalankan tugas pokoknya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana memiliki fungsi: (1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan (2) pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Selain tugas pokok, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mejalankan fungsi (1). koordinasi penanggulangan bencana; (2) komando penanggulangan bencana; dan (3) pelaksana penanggulangan bencana. ketiga fungsi tersebut dijabarkan kedalam kegiatan strategis dalam penanggulangan bencana. Koordinasi penanggulangan bencana dilaksanakan melalui dengan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah, lembaga usaha, lembaga internasional dan/atau pihak lain yang dipandang perlu pada tahap prabencana dan pascabencana. Pelaksanaan koordinasi tersebut salah satunya adalah penetapan kebijakan yang selaras dengan perencanaan pembangunan nasional. Kata koordinasi menjadi kata kunci dalam upaya PU PRB. Namun koordinasi merupakan salah satu peran yang bahkan BNPB sendiri masih menganggap belum optimal dilakukan. Dalam kondisi tanggap darurat, BNPB menjalankan fungsi komando dalam rangka penanganan kedaruratan di wilayah yang terkena bencana melalui pengerahan sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik dari BNPB dan instansi terkait, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta langkah-langkah lain yang diperlukan dalam rangka penanganan darurat bencana. Fungsi yang terakhir adalah peran pelaksana, terkait dengan kondisi pascabencana yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah, dengan memperhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana, kebijakan pembangunan nasional, serta selaras dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan. BNPB memiliki anggaran sendiri dalam menangani masalah kebencanaan, baik dalam perumusan kebijakan penanggulangan bencana maupun pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara menyeluruh21. Karena BNPB merupakan lembaga yanng menangani masalah kebencanaan, dalam perencanaan kegiatannya, masing-masing kementerian dan lembaga perlu berdiskusi dengan BNPB, Bappenas, dan kementrian Keuangan. Hal ini dianggap sebagai bentuk pengarusutamaan PRB. Namun dalam implementasi, pemantauan dan evaluasi, informan menyatakan bahwa BNPB tidak melakukan secara efektif sehingga perencanaan dan pelaksanaan tidak dapat dilacak efektivitasnya. Informan dari Bappenas juga menyatakan bahwa Bappenas tidak terlibat dalam pemantauan dan evaluasi, termasuk bagaimana programprogram terkait diimplementasikan setelah anggaran disahkan oleh DPR RI. Tim kajian juga menemukan kesulitan untuk melacak kepada Kementerian Keuangan tentang pemantauan dan evaluasi efektivitas program sesuai dengan perencanaan awalnya. Bebagai staf serta pejabat BNPB memiliki persepsi berbeda-beda mengenai PRB. Misalnya, salah satu pejabat memaknai bahwa PRB terkait dengan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan 21 Pembentukan BNPB dan tugas pokok BNPB berdasarkan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 melalui peraturan Presiden nomor 8 tahun 2008.
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
11
Bencana (RAN PRB). RAN PRB ini adalah pedoman dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah untuk Penanggulangan Bencana (RAD). Diakui bahwa konsep ini bagus, namun implementasinya masih mengalami berbagai kendala. BNPB juga tidak memiliki informasi tentang cara kementerian dan lembaga mengimplementasikan RAN yang digagas BNPB dan Bappenas ini. Kebijakan stand alone serta perspektif minimnya anggaran dalam mengatasi masalah kebencanaan ketimbang pengarusutamaan cukup kuat direfleksikan dalam pernyataan publik Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kebijakan tersebut tercermin misalnya pada kutipan wawancara Bisnis Indonesia kepada Kepala BNPB. “selama ini Pemerintah Daerah dan legislative masih minim perhatiannya terhadap bencana, terlihat dari terbatasnya dana penanggulangan bencana di anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kondisi ini, lanjutnya, menjadi tantang berat karena untuk beberapa tahun ke depan ancaman bencana menunjukkan trend peningkatan. Secara nasional, rata-rata setahun terdapat Rp12,5 triliun anggaran yang tersebar di 37 kementerian dan lembaga untuk penanggulangan bencana, sedangkan di BNPB hanya Rp1,34 triliun per tahunnnya. Di sisi lain, kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di seluruh Indonesia memerlukan biaya sekitar Rp30 triliun, sedangkan dana ketersediaan dana cadangan penanggulangan bencana hanya Rp 4 triliun. Rata-rata anggaran di BPBD [badan penanggulangan bencana daerah] provinsi hanya 0,38% dari APBD setempat, bahkan di APBD kabupaten/kota kurang dari 0,1% dari jumlah APBD. “Setiap tahun permasalahan penanggulangan bencana hampir sama, ini yang selalu kami cari, padahal tata kelolanya sudah terbagi dari provinsi hingga RT dan RW.”22 Dalam salah satu kesempatan wawancara dan diskusi, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB mengatakan bahwa dalam forum-forum global, telah digaungkan slogan Invest Today, for Saving Tomorrow, namun menurutnya hanya menjadi sekadar leader statement. HFA (Hyogo Framework of Action) juga banyak didiskusikan bahwa hasilnya (implementasi PRB) tidak seperti yang diharapkan. Menurutnya, makna PU PRB perlu didiskusikan. Ia mengatakan bahwa sematamata memasukkan muatan-muatan PRB dalam berbagai program kementerian lembaga tidak dapat menjawab permasalahan, karena pekerjaan kebencanaan membutuhkan peran lembaga dengan sumber daya (serta dana) yang intensif. Namun BNPB juga tidak mengelah bahwa dibutuhkan kontribusi ilmiah untuk melihat bagaimana letak penekanan embedded sebagai cerminan PU PRB. Diperlukan juga proses transisi atau yang disebutnya dengan bridging process untuk menyempurnakan kerangka pemikiran terkait pengarusutamaan. Baginya, memasukkan isu mainstreaming dalam pertimbangan PRB adalah menarik, terutama memasuki fase post HFA 2015. Namun, diperlukan pula identifikasi “..cara-cara yang pas dengan Indonesia.”
Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan adalah lembaga keuangan nasional yang memiliki kewenangan untuk berkoordinasi langsung dengan seluruh kementerian dan lembaga secara nasional untuk merencanakan penganggaran lembaga. Direktorat Jenderal Anggaran yang merupakan bagian Kemenkeu berkoordinasi langsung dengan seluruh kementerian dan lembaga dalam perencanaan anggaran. Hal ini tertuang dalam tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Anggaran. Penyelenggaraan fungsi Direktorat Jenderal Keuangan adalah dalam aspek perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar prosedur di 22 BENCANA ALAM: Waduh, Jumlah Anggaran Penanggulangan Bencana di Daerah Kurang dari 0,1% Selasa, 5 Februari 2013 11:57 WIB | R Fitriana/JIBI/Bisnis Indonesia
12
bidang penganggaran, pemberian bimbingan teknis terkait penganggaran, serta pelaksanaan administrasi dari Direktorat Jenderal Anggaran. Dalam upaya pengarusutamaan, khususnya pengarusutamaan gender, Kemenkeu adalah salah satu dari lembaga driver nasional menetapkan kebijakan penganggaran dalam pengarusutamaan gender. Di bawah Instruksi Presiden No. 10 Tahun Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, serta Bappenas memberikan dampingan teknis substansi dan penganggaran kepada kementerian dan lembaga dengan memastikan bahwa Rencana Kerja kementerian dan lembaga telah melalui analisis substansi gender (GAP – Gender Analysis Pathway) untuk kemudian melewati proses penganggaran yang disebut ARG (Penganggaran Responsif Gender) dan GBS (Gender Budget Statement). GBS adalah dokumen yang berisi kegiatan yang telah dibahas secara substansi oleh kementerian dan lembaga bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang kemudian diserahkan ke Dirjen Anggaran di Kementerian Keuangan. Laporan tahunannya kemudian diserahkan kepada Bappenas. Dari perannya ini dapat disimpulkan pentingnya peranan Kemenkeu dalam upaya pengarusutamaan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Kemenkeu tidak membahas secara khusus substansi dari program pembangunan, namun kehadirannya menjadi penting untuk mendampingi Kementerian dan Lembaga dalam merumuskan penganggaran yang sensitif terhadap upaya pengurangan risiko bencana. Sayangnya, hingga saat ini panduan dalam memberikan dampingan tersebut belum ada. Berbeda dengan proses yang sebelumnya dilewati oleh upaya pengarusutamaan gender di Indonesia, upaya pengurangan risiko bencana lebih banyak merupakan gerakan kolektif berbagai pihak sehingga lahirlah Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007. Undang-Undang ini memungkinkan peran lebih besar seluruh kementerian dan lembaga dalam kebencanaan, terutama yang bersifat pengurangan risiko. Kebencanaan pun masuk dalam Prioritas Nasional 9 di dalam RPJMN 2010 – 2014. Namun, tidak ditemukan panduan yang cukup jelas bagi kementerian dan lembaga dalam menerjemahkan program prioritas ini ke dalam program kerja masing-masing, apalagi panduan penganggarannya. Dalam wawancara dengan pejabat Kementerian Keuangan, disampaikan bahwa tantangan pengarusutamaan PRB dianggap relatif lebih mudah ketimbang yang dihadapi oleh upaya pengarusutamaan gender. Informan mengaku bahwa LIPI berperan dalam memperkenalkan konsepsi ini kepada jajaran Dirjen Anggaran pada Kemenkeu sebagai bagian dari upaya mengadvokasi pengarusutamaan gender di Indonesia. Konsepsi keseteraan gender yang cukup abstrak dan dipengaruhi konstruksi budaya dan beragam persepsi tidak serta-merta diterima oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap perencanaan pembangunan. Desakan BPK serta advokasi yang dilakukan secara intensif terus dilakukan hingga kemudian Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri mengenai ARG pada tahun 2011 yaitu PMK No. 93/PMK.02/2011. Sementara itu, untuk konteks kebencanaan dalam pembangunan cukup mudah diterima secara logis oleh berbagai pihak. Informan yang ditemui merasa yakin bahwa pengarusutamaan PRB dengan melibatkan fungsi penganggaran serta peran Kementerian Keuangan dalam hal ini sangat mungkin dilakukan. Meskipun demikian, konsepsi PRB pada semua pihak perlu terbentuk dengan baik. Melalui informan yang diwawancara, lembaga ini melihat bahwa selain peran BNPB, peran Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri sangat penting dalam memikirkan konsep dan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PU PRB).
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
13
Kementerian Dalam Negeri Mengacu kepada Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara, dinyatakan bahwa Kementrian Dalam Negeri merupakan salah satu unsur perangkat pemerintah yang membidangi sebagian urusan pemerintahan, yaitu urusan dalam negeri guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945. Fungsi Kemendagri adalah mendorong keberfungsian pemerintah daerah di bawah pimpinan Gubernur dan Bupati, dengan dukungan alokasi dekonsentrasi, yang sudah dilengkapi pula dengan instrument koordinasi lintas sektor di tingkat daerah. Kemendagri berperan dalam menyediakan pedoman termasuk pedoman penggunaan dana tak terduga yang saat ini menjadi strategi anggaran penanggulangan bencana di tingkat daerah. Kemendagri memiliki wewenang pada fungsi koordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah terkait penataan susunan birokrasi dan hubungannya dengan pembangunan infrastruktur yang ada di daerah-daerah. Kemendagri juga memiliki wewenang untuk melakukan koordinasi di tingkat daerah, termasuk daerah yang tertinggal yang rawan bencana. Kemendagri juga duduk sebagai anggota tim pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana, namun belum pernah ada mekanisme reguler untuk koordinasi sebagaimana diinstruksikan dalam Peraturan Presiden No. 8 tahun 2008 untuk mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Tafsir Prioritas Nasional bagi Kemendagri adalah tidak lain alokasi rutin yang diprogramkan untuk kegiatan yang terkait kebencanaan pada Ditjen PUM. Dalam kata lain, kegiatan yang dialokasikan oleh Kemendagri untuk kebencanaan dianggap bagian dari program pendukung prioritas nasional. Rencana strategis (Renstra) Kemendagri memuat lima Prioritas Pembangunan Nasional yang merupakan bagian penugasan kepada Kementerian Dalam Negeri, yakni: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, (2) Penanggulangan Kemiskinan, (3) Infrastruktur, (4) Iklim Investasi dan Iklim Usaha, serta (5) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pascakonflik. PN 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan bencana tidak masuk dalam prioritas formal Kemendagri. Namun, sejalan dengan penetapan 5 (lima) prioritas pembangunan tersebut, terdapat pula prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan sebagai tindak lanjut Kontrak Kinerja Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB-II) dengan Presiden Republik Indonesia. Keseluruhan prioritas pembangunan dimaksud, secara lebih lanjut dijabarkan dalam dokumen Renstra Kementerian Dalam Negeri 2010 – 2014 yang memuat rencana program dan kegiatan serta indikasi alokasi pendanaannya sampai lima tahun kedepan. Isu kebencanaan dianggap dapat diakomodasi dalam perencanaannya. Namun Kemendagri sendiri sudah memiliki posisi struktural untuk penanggulangan bencana, dibawah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum. Kebencanaan tidak secara resmi masuk dalam prioritas dalam Renstra Kemendagri, namun pada kenyataannya Kemendagri memiliki peran sangat substantif dalam penguatan kapasitas kelembagaan daerah (Bappeda dan BPBD) secara vertikal sesuai dengan wewenang, tugas, dan fungsinya. Anggaran untuk peningkatan kapasitas penguatan kelembagaan nilainya 3 miliar rupiah, lebih kecil dibandingkan pembangunan sarana prasaran penanganan bencana. Untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah dalam lingkup pengurangan risiko bencana, dana 3 milyar dianggap masih kurang. Kegiatan terkait dengan kebencanaan di dalam Kemendagri diletakkan pada program Penyelenggaraan Pemerintahan Umum. Kemendagri mengklaim bahwa PUM (Penyelenggaraan Pemerintah Umum) telah memperhatikan aspek kebencanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, bahkan sebelum tsunami di Aceh tahun 2004. Pada saat fungsi pemerintahan
14
terganggu parah akibat bencana tsunami Aceh tersebut, Kemendagri kemudian mendapatkan mandat untuk membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, untuk bekerja secara khusus dalam pemulihan bencana di kedua wilayah tersebut selama kurang lebih lima tahun. Fungsi-fungsi pengelolaan bencana dianggap telah dilakukan bukan hanya pada Direktorat Pemerintahan Umum (PUM), melainkan juga pada direktorat lain, seperti Bangda (Pembangunan Daerah) serta Kesatuan Bangsa dan Politik. Kemendagri mengklaim bahwa internal kementerian ini sudah melakukan praktik “pengarusutamaan”, dalam arti tidak hanya Direktorat PUM saja yang mengalokasikan program serta anggaran terkait kebencanaan, namun juga direktorat lain yang jika dinilai jumlah investasi yang dikeluarkan, akan jauh lebih besar dari alokasi anggaran PUM sendiri yang secara eksplisit mencantumkan nomenklatur kebencanaan. Kemendagri tampak melakukan pengarusutamaan di dalam internal Kementerian, namun tidak dalam konteks pengarusutamaan dalam perencanaan pembangunan. Peran BNPB dan Kemendagri yang beririsan dalam kerap menimbulkan kesan adanya dualisme koordinasi di tingkat daerah, dan munculnya kesan ini dirasakan juga oleh Kemendagri. BNPB dengan alokasi anggaran substantif atau cukup besar dapat melakukan langsung upayaupaya PRB di tingkat daerah dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Di satu pihak ahl ini dianggap menjadi percepatan implementasi program, karena Pemerintah Daerah kerap dianggap “belum memiliki kapasitas”. Namun demikian, Kemendagri berharap peran pemerintah daerahlah yang mestinya memiliki kepemimpinan atas kepentingan terhadap PRB sesuai dengan itikad desentralisasi. Oleh karena itu, Kemendagri cenderung pada implementasi program dan kegiatan yang bersifat pembinaan serta bantuan infrastruktur bagi pemerintah daerah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Informan dari Kemendagri mengungkapkan bahwa pemerintah daerah harus mampu memunculkan logika investasi termasuk dalam penganggaran untuk dapat menjalankan fungsi penanggulangan bencana. Bagi informan, BNPB cenderung memupuk ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi. Belum lagi muncul wacana vertikalisasi badan penanggulangan di daerah antara BNPB dan BPBD sehingga wacana re-sentralisasi mencuat. Terkait dengan pengarusutamaan, Kemendagri membuka peluang untuk memasukkan konsepsi pengarusutamaan dalam regulasi dan pedoman Kemendagri jika dirasakan mendesak, atau menjadi pilihan strategi jangka pendek, sejalan dengan mematangkan posisi pengarusutamaan bencana dalam perencanaan pembangunan dalam jangka menengah dan panjang. Namun perlu konsepsi pengarusutamaan yang didefinisikan dahulu secara jelas, termasuk panduan dan indikator-indikatornya23.
Pembelajaran: Kasus Mentawai 2012-2013 Studi kasus untuk Pengarusutamaan PRB di tingkat daerah sudah dilakukan oleh LIPI di Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan dukungan AIFDR/AusAID pada tahun 2012-2013. Dampingan teknis selama dua minggu di ibu kota Kabupaten Tuapeijat yang tujuannya mengkaji respons pemerintah daerah (Bappeda, BPBD dan SKPD terkait) terhadap konsepsi pengarusutamaan PRB dalam pembangunan di daerah. Proses pemantauan di Kabupaten Kepulauan Mentawai dilakukan enam bulan setelah kegiatan dampingan teknis, dengan melakukan wawancara mendalam kepada dua belas dinas teknis, baik yang terlibat maupun tidak terlibat sebelumnya dalam dampingan teknis tahun 2012. Dinas tersebut di antaranya adalah
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
15
Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Radio Sasaraina (Humas Pemda). Sedangkan Dinas yang sebelumnya tidak terlibat, namun diwawancara adalah BPMPKB, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Pendidikan. Keseluruh dinas ini diundang dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) di hari berikutnya untuk melakukan cross-check terhadap temuan saat wawancara mendalam. Informasi yang didapat di antaranya terkait dengan ada tidaknya pengaruh dampingan teknis terhadap Rencana Kerja 2013 yang sedang dilaksanakan atau 2014 yang sedang disusun. Pertanyaan teknis digali melalui FGD, diantaranya untuk melihat kembali pandangan masing-masing dinas terhadap kepentingannya terkait PRB, interaksi sinkronisasi, baik dalam konteks PRB maupun topik lain, dan umpan balik terhadap proses dampingan teknis secara umum. Hasilnya menunjukkan bahwa muatan kebencanaan diserap seadanya dalam program-program kerja dinas terkait. Belum ditemukan adanya inisiatif yang cemerlang dari BPBD untuk memberikan tagihan-tagihan PRB kepada dinas lain. Intervensi dari LIPI khususnya, yang diterima oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam kebijakankebijakan internal kedua lembaga ini, padahal BPBD dan Bappeda Kabupaten Mentawai terlibat dalam sebagian besar kegiatan dengan LIPI tersebut. Tidak ditunjukkan bagaimana BPBD dan Bappeda mendorong dinas terkait lain di daerah untuk menyepakati pentingnya PRB di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Rekomendasi yang sudah dihasilkan di pengujung dampingan teknis, pada kenyataannya tidak ditindaklanjuti, baik oleh unsur pimpinan, maupun staf yang hadir sebagai peserta, di hampir semua dinas yang diwawancarai. Hanya peserta dari Dinas Sosial yang telah menyampaikan hasil dampingan teknis termasuk rekomendasi kepada pimpinan. Mamun tidak diketahui apakah kemudian pimpinannya membawa rekomendasi tersebut dalam rapat koordinasi atau forum SKPD dan apakah rekomendasi tersebut diakomodir dalam rencana kerja dinas. Lebih lanjut, ditemukan dalam FGD bahwa tradisi pengembangan program rencana kerja dinas, bukanlah proses yang betul-betul kreatif, melainkan sekadar meneruskan program yang sudah ada di tahun sebelumnya. Pemerintah Daerah, BPBD, Bappeda, dan dinas terkait menyatakan menginginkan tagihan PRB masuk dalam rencana dan rencana strategis dinas, serta menjadi kebijakan daerah. Namun, hal itu tidak diikuti dengan proses terpimpin maupun proses kreatif sebagai tindak lanjut dari kehendak tersebut karena terkalahkan dengan kepentingan atau prioritas lain. Hal itu juga terjadi karena tradisi dan budaya koordinasi kelembagaan yang dirasa sulit diubah. Tentu saja, “ego sektoral” senantiasa menjadi kambing hitamnya. Beberapa informasi yang dikemukakan pada saat wawancara mendalam menunjukkan masih besarnya kesenjangan persepsi risiko. Misalnya, Dinas Kehutanan merasa menjadi instansi yang terpinggirkan dari topik PRB dan mengaku pemahaman PRB masih sangat minim. Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Desti Seminora. Tidak ada kesempatan bagi dinas lain untuk memahami kerja sama lintas bidang, sektor, atau dinas. Mekanisme penyerahan Rencana Kerja Dinas adalah langsung kepada Bappeda tanpa proses presentasi atau forum yang membantu dinas lain mengakses dan mengetahui rencana kerja instansi. Kasubid Program BPMPKB bahkan menyatakan tidak merasa memiliki hak untuk mengintegrasikan isu PRB dalam rencana kerjanya. Pekerjaan “tumpang tindih” dengan program kerja dinas lain dikhawatirkan justru membuat usulan kerja dicoret atau tidak disetujui oleh tim anggaran pemerintah daerah. Peluang dan proses sinkronisasi memang justru ada di TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Keuanganlah yang mengidentifikasi kesamaan dan melakukan proses negosiasi atau “saringan” program kerja yang bersinggungan lintas dinas. Prosesnya tentu tidak berjalan Wawancara dilakukan dengan Kasubdit Identifikasi Potensi Bencana, Direktorat Jenderal Pemerintah Umum –
23
Pencegahan dan Penanggulangan bencana, Kementerian Dalam Negeri, tanggal 4 November 2013, 14.26WIB
16
mulus. Politik anggaran juga tidak terhindarkan. Dituliskan dalam berita koran lokal Mentawai yaitu Puailiggoubat, pada saat melakukan revisi anggaran akibat defisit RAPBD Mentawai tahun 2013 misalnya, pemotongan anggaran oleh TAPD dilakukan dengan proses terburu-buru dan mengorbankan prioritas belanja publik24. Mentawai menjadi satu contoh kasus yang dapat menggambarkan berbagai permasalahan terkait implikasi kebijakan yang mengedepankan konsepsi PRB stand alone.
Pembelajaran: Kasus Bantul 2013 Kasus lain yang dapat menjadi masukan dalam analisis kebijakan di tingkat daerah, ialah kasus yang ditemukan di Kabupaten Bantul. Dalam kegiatan kebencanaan yang dilakukan LIPI tahun 2013, Bantul menjadi salah satu lokasi yang dipilih untuk mendapatkan intervensi dalam bentuk workshop untuk membahas dilakukannya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana. Serupa dengan Mentawai, Bantul juga mengalami kejadian bencana gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR yang terjadi pada 27 Mei 2006. Kejadian ini mengakibatkan Kabupaten Bantul mengalami kehilangan aset yang dinilai sebesar + 2,7 triliun rupiah. Kejadian ini dapat dikatakan telah menjadi titik balik perubahan kebijakan dalam pengelolaan bencana di Kabupaten Bantul. Dalam pembukaan workshop Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana (LIPI – Pemerintah Kabupaten Bantul) yang diselenggarakan pada tanggal 25 September 2013, Sekretaris Daerah Bantul menyampaikan sejumlah perubahan kebijakan paska kejadian 2006, diantaranya kebijakan yang terkait PRB. Disebutkan bahwa misi RPJP kabupaten Bantul (2006 – 2025) menitikberatkan pada Pengurangan Risiko Bencana dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin berlandaskan pada ketaqwaan. Selain itu dalam pernyataan Misi Pemerintahan Kabupaten Bantul dinyatakan pula perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko bencana dengan memperhatikan penataan ruang dan pelestarian lingkungan. Secara politis Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul juga menempatkan kebencanaan dalam Prioritas Daerah 10: Lingkungan Hidup dan Kebencanaan. Diketahui melalui proses interaksi tim LIPI dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul bahwa dalam implementasinya, muatan PRB dalam perencanaan pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) hanya sebatas mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang bersinggungan dengan fase tanggap darurat. Pengurangan Risiko Bencana ditafsirkan hanya pada penanganan kedaruratan saja sehingga dapat dipahami urusan bencana hanya ditangani oleh dinas-dinas yang memiliki peran dan kepentingan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya pada fase tanggap darurat. Contohnya dalam diskusi hari pertama workshop dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, Dinas ini mempersepsikan perannya dalam PRB hanya pada pemulihan perekonomian kecil dan menengah pascabencana. Dinas ini belum memahami bahwa konsep PRB tidak hanya pada penangaan pascabencana dan peluang-peluang yang dapat dilakukan dinas ini dalam mereduksi risiko di Kabupaten Bantul. Peluang yang dapat diidentifikasi oleh tim LIPI adalah bahwa di setiap Renja (Rencana Kerja) SKPD ada mata kegiatan berbentuk pemberdayaan masyarakat, yang kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kegiatan, seperti sosialisasi, penyuluhan, pembinaan, pengembangan SDM, dan pelatihan keterampilan. Tampaknya SKPD belum menyadari bahwa peluang muatan PRB dapat masuk dalam kegiatan-kegiatan tersebut sehingga fase sebelum terjadi bencana dapat terisi dengan menumpangi kegiatan-kegiatan baik yang bersifat sosialisasi, pemberdayaan, maupun kegiatan lain. Tim kemudian menyimpulkan bahwa konsepsi PRB menjadi tantangan sekaligus tagihan yang perlu diisi oleh BPBD. Peran BPBD menjadi penting untuk mendorong Puailiggoubat.com, ‘APBD Mentawai 2013 Defisit Rp. 214 Milyar’, 31 Januari 2013
24
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
17
implementasi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana yang dikelola oleh SKPD dalam Renja masing-masing. Tentu tidak terlepas bahwa dalam pelaksanaannya dibutuhkan materi atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam implementasi PU PRB yang berkaitan dengan masing-masing tugas pokok dan fungsi dinas. Kemampuan BPBD menerjemahkan PRB ke dalam banyak kepentingan dalam memenuhi kebutuhan para penyelenggara pembangunan, menjadi tantangan besar bagi BPDB Kabupaten Bantul.
Praktik Baik: Pengarustumaan Gender dalam Pembangunan Konsepsi gender di Indonesia berkembang sebagai paradigma dan menjadi isu dalam gerakan sosial yang luas. Konsep gender ini kemudian diterima oleh pemerintah Indonesia sebagai isu yang penting dengan terbitnya Inpres (Instruksi Presiden) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Meskipun demikian, konsepsi gender masih belum dipahami dengan baik dan menjadi salah satu alasan sulitnya capaian dari pengarusutamaan gender terjadi seperti yang diharapkan25. Pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan di kawal pada setiap lembaga dan kementrian dengan Kesepakatan Kerja sama (MoU) setiap kementrian dan lembaga dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). KPPPA menyiapkan instrumen Gender Analysis Pathway (GAP) untuk menganalisis muatan atau tagihan kesetaraan gender dalam setiap mata anggaran yang diajukan melalui Kementerian Keuangan. Anggaran yang dianggap sudah melalui verifikasi GAP dapat dikatakan sudah mewujud menjadi Anggaran Responsif Gender (ARG). ARG ini dianggap mekanisme paling instrumental dan mengandung kepastian lebih baik untuk dapat mendesakkan pengarusutamaan gender tanpa harus memaksakan adanya tambahan anggaran baru di atas (on top) dari anggaran yang sudah dialokasikan di setiap Kementrian dan Keuangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebenarnya telah membangun sebuah sistem yang digunakan untuk memastikan terimplementasikannya pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam setiap kegiatan pembangunan. Kementerian ini menggunakan strategi politik anggaran dengan melibatkan kementerian keuangan dalam menjaga implementasi PUG ke dalam program pembangunan nasional. Wujud dari kebijakan politik anggaran ini adalah diterbitkannya Permenkeu yang mengatur Anggaran Berbasis Gender. Implementasi pengarusutamaan sebuah isu ke dalam program pembangunan nasional dianggap lebih pasti dengan dikawal secara tripartit yaitu melibatkan kementerian/lembaga, BAPPENAS, dan Kementerian Keuangan pada level nasional, dan SKPD, BAPPEDA dan TAPD pada level daerah. Kementerian/lembaga yang ditetapkan pemerintah mengawal pengarusutamaan isu itu serta institusi yang terkait di daerah yang membuat daftar tagihan muatan pengarusutamaannya, BAPPENAS dan BAPPEDA menjaga sinkronisasi program, dan kementerian keuangan memastikan masuknya tagihan-tagihan itu ke dalam kegiatan pembangunan melalui politik anggaran. Evaluasi PUG ini dilakukan oleh 18 kementerian, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih di Indonesia. Dari Analisis Gender dalam Pembangunan yang dilakukan Bappenas tahun 2007, atau 7 tahun setelah Inpres diterbitkan, ditemukan bahwa implementasi dari PUG ini tidak optimal oleh kementerian dan lembaga. Maka, dalam rangka mempercepat implementasi PUG, integrasi tidak hanya dilakukan pada perencanaan, namun juga pada penganggaran. Uji coba ARG (Anggaran Responsif Gender) ini dilakukan pada RPJMN 2010 – 2014.
Kertas Kebijakan 1: Pengarusutamaan Gender, 2012
25
18
PENUTUP Simpulan Paradigma pengurangan risiko bencana belum mendapatkan internalisasi yang memadai dari kementerian dan lembaga. Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 menggunakan istilah Penanggulangan Bencana, sementara paradigma Pengurangan Risiko Bencana atau manajemen risiko mencuat di tingkat nasional dan daerah setelah undangundang ini lahir. Sebagai implikasinya, kebijakan terkait kebencanaan yang berwawasan “penanggulangan bencana” memperhatikan empat aspek yang mencerminkan siklus bencana; yaitu pencegahan dan mitigasi seta kesiapsiagaan (prabencana), tanggap darurat (saat bencana), rehabilitasi dan rekonstruksi (pascabencana). Keempat aspek ini dijabarkan dalam jabatan struktural pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Baik pada BNPB maupun kementerian dan lembaga lain, paradigma pengurangan risiko bencana masih beragam. Kajian yang dilakukan oleh Bappenas menunjukkan bahwa hanya beberapa kementerian lembaga mengalokasikan investasi untuk PRB, dan hampir seluruhnya bersifat program Stand Alone.26 Kebijakan Penanggulangan Bencana pada umumnya bersifat stand alone yang kemudian mendapatkan berbagai umpan balik. Pada umumnya, terkait konstelasi kelembagaan di Indonesia serta regulasi yang memayungi, kebijakan stand alone ini mensyarakatkan alokasi anggaran pasti secara khusus dalam jumlah memadai. Kebijakan stand alone juga menimbulkan dampak teralienasinya lembaga yang dianggap kurang atau tidak sensitif PRB dan seolaholah pelaku kebencanaan hanyalah BNPB atau BPBD saja. Lembaga lain pun kemudian tidak mengalokasikan program dan penganggaran akibat tidak terinternalisasinya lembaga tersebut terhadap PRB. PRB kemudian berpotensi dianggap bukan bagian integral dari pembangunan dimana seluruh sektor memiliki kepentingan dari berbagai sudut pandang.
Saran: Mempertimbangkan PRB dalam Pembangunan Berkelanjutan Salah satu tema pengarusutamaan dalam perencanaan pembangunan nasional adalah pembangunan berkelanjutan. Konsepsi ini merujuk pada Agenda 21 yang bertujuan untuk mengintegrasikan pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu paket kebijakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (KLH, 1997). Indonesia telah meratifikasi kesepakatan tersebut bersama-sama dengan 179 negara lain dan menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai arus utama pembangunan nasional. Di dalam Agenda 21 Indonesia, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan, diuraikan empat bagian utama, (1) pelayanan masyarakat, (2) pengelolaan limbah, (3) pengelolaan sumber daya tanah, dan (4) pengelolaan sumber daya alam. Walaupun di dalam kesepakatannya telah jelas disebutkan bahwa pembangunan lingkungan, ekonomi, serta sosial harus dilihat sebagai kesatuan sosial yang tidak terpisahkan, kaerna keterbatasan pengertian pembangunan lingkungan di dalam Agenda 21 tersebut belum dimasukkan aspek pengelolaan bencana. Aspek pengelolaan bencana muncul dalam kurun waktu lebih dari sepuluh tahun kemudian di dalam visi politik presiden yang dimuat dalam RPJMN 2009-2014 dalam PN9: Pengelolaan Lingkungan dan Bencana Alam. Kemunculan aspek pengelolaan bencana tersebut belum diletakkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, namun lebih merupakan respons politik presiden atas serangkaian kejadian bencana yang terjadi di dalam negeri terutama sesudah tsunami yang melanda pesisir barat Sumatera tahun 2004 serta gempa bumi Sumatera
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
19
Barat tahun 2009. BNPB menyebut PN9 ini sebagai usaha pemaduan penanggulangan bencana antarsektor terkait, dan bukan dalam pengertian pengarusutamaan, melainkan koordinasi lintas sektoral. Sejauh ini pengelolaan bencana melalui paradigma PRB dianggap penting, namun tidak diterima sebagai arus utama dalam perencanaan pembangunan. Konsepsi stand alone lebih diterima di dalam pemerintahan dengan dibentuknya BNPB di satu sisi dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di sisi lain. Pelembagaan PRB dalam konsepsi stand alone telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan bencana namun telah menimbulkan persoalan lain dalam koordinasi di satu sisi dan pengarusutamannya di dalam perencanaan pembangunan di sisi lain. Walaupun BNPB merupakan superbody dalam penanggulangan bencana, namun pada kenyataannya tidak akan mampu mengatasi kerusakan dan kerugian yang menimpa hampir semua sektor dalam kehidupan manusia. Berbagai kelemahan dalam konsepsi stand alone ini telah melahirkan gagasan baru yang menempatkan PRB dalam pusaran arus utama pembangunan berkelanjutan. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi pentingnya penempatan PRB dalam pusaran arus utama tersebut, yaitu (1) besarnya ancaman bencana di hampir seluruh kawasan Indonesia yang terjadi secara berulang dan menimbulkan kerusakan serta kerugian yang sangat besar, termasuk korban jiwa, yang apabila tidak dikurangi risikonya akan mengancam perencanaan pembangunan; (2) PRB dapat menjadi investasi dalam pembangunan apabila diterapkan dengan benar sehingga mengurangi dampak kejadian bencana baik berupa kerusakan, kerugian maupun korban jiwa yang secara keseluruhan menimbulkan konsekuensi dalam anggaran pembangunan. Di sisi lain, munculnya paradigm baru PRB dalam pembangunan ini telah melahirkan suatu pandangan perlunya ditinjau ulang konsepsi pembangunan berkelanjutan apabila konsepsi itu dimaknai sebatas yang diuraikan di dalam Agenda 21 di atas. Konsepsi ini seharusnya memasukkan dimensi PRB sebagai sebuah komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, ia menjadi satu kesatuan dalam konsepsi baru, yaitu pembangunan lingkungan dan pengelolaan bencana, ekonomi, serta sosial harus dilihat sebagai kesatuan sosial yang tidak terpisahkan. Dengan memasukkan dimensi PRB dalam arus utama pembangunan berkelanjutan maka kelemahan yang ditimbulkan dari konsepsi stand alone di atas dapat dikurangi. Masalah internalisasi PRB dalam pembangunan, perencanaan, anggaran, koordinasi, dan sebagainya akan tercakup melalui pendekatan baru pengarusutamaan PRB. Dalam hal ini batasan pengarustumaan adalah mempertimbangkan PRB dengan cara memasukkan dimensi PRB dalam pembangunan berkelanjutan. Melalui strategi ini dapat dicapai dua hal, yaitu (1) meninjau ulang konsepsi pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dimensi PRB; dan (2) memasukkan dimensi PRB dalam perencanaan pembangunan melalui pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Bappenas: Penelusuran Investasi Pemerintah Pusat untuk PRB (Tahun tidak diketahui).
26
20
Daftar Pustaka Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Penyusunan Rencana Nasional 2010-2014. Jakarta. Peraturan Presiden Republik Indonesia mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 Tim penulis Bappenas. 2013. Buku Evaluasi Kinerja Paruh Waktu 2010-2014. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas: Penelusuran Investasi Pemerintah Pusat untuk PRB (Tahun tidak diketahui). Laporan BNBP. 2013. National Assessment Report on DRR. Kertas Kebijakan Instruksi Presiden No 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Anonim, Kronologis Penerapan Pengarusutamaan Gender dalam Berbagai Bidang
Pembangunan di Indonesia (1998-2012)
Achmad, Sjamsiah. 2013. Matahari dari Sengkang Wajo-Jejak Langkah 80 tahun Kehidupan Untuk Kebijakan Publik yang Adil dan Setara dan Tulus. Kompas Gramedia. Guha-Sapir D, Hoyois Phd, Below, R. 2013. Annual Disaster Statistical Review 2012: The Numbers and Trends. Brussels: CRED.
Mitchell, Tom., Jones, Lindsey., Lovell, Ema., Comba, Eva., (2013) (eds) Disaster Risk
Managament and Their Role in Post 2015 Development Goal: Potential Targets and Indicators. London: Overseas Development Institute.
Rafliana, I., Yulianto, E., et.al, Kehendak Menyelamatkan untuk Menyelamatkan Jiwa
dan Mengurangi Risiko Bencana: Studi Kasus Dampingan Teknis Kajian Risiko dan Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam Perencanaan Pembangunan, LIPI-AIFDR 2012
Raharjo, Dr. Yulfita. 2013. Presentasi Konsep Gender, PUG dan ARG bertempat di LIPI pada tanggal 4 April 2013.
Sumber dari website Data dari BPK RI menyebutkan bahwa realisasi APBD Provinsi NAD Tahun Anggaran 2004 adalah sebesar 2.257 Trilyun Rupiah. http://www.bpk.go.id/doc/ikhtisar/2005ii/APBD/Bab02-Prov.NAD. pdf. BENCANA ALAM: Waduh, Jumlah Anggaran Penanggulangan Bencana di Daerah Kurang dari 0,1%. Selasa, 5 Februari 2013 11:57 WIB | R Fitriana/JIBI/Bisnis Indonesia Diunduh dari Puailiggoubat.com. ‘APBD Mentawai 2013 Defisit Rp. 214 Milyar’. Tanggal 31 Januari 2013. http://www.bpk.go.id/doc/ikhtisar/2005ii/APBD/Bab02-Prov.NAD.pdf
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH PUSAT
21
22