Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
KAJIAN INOVASI KELEMBAGAAN PERBIBITAN ITIK TEGAL UNGGUL MODEL INTI PLASMA DIAN MAHARSO YUWONO, SUBIHARTA dan A. HERMAWAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo PO. Box 101, Ungaran
ABSTRAK Kondisi di lapangan saat ini menunjukkan hasil agribisnis masih belum seperti yang diharapkan. Hal ini dikarenakan minimnya dukungan teknologi dan merupakan prasyarat mutlak dalam pengembangan agribisnis. Selain itu, teknologi pendukung masih terfokus pada teknologi budidaya, dan belum banyak menyentuh aspek sosial (kelembagaan). Sebagai contoh, komoditas yang telah dikaji dan menunjukkan keunggulan ternyata tidak berkembang karena belum siapnya kelembagaan perbibitan. Agar hasil inovasi teknologi tersebut dapat di akses dalam pengembangannya secara luas oleh pengguna oleh peternak, diperlukan pendekatan kelembagaan. Dalam rangka mendapatkan alternatif kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul, model kelembagaan yang diinovasikan dibuat berdasarkan peta hubungan spasial antar daerah dalam satu kawasan pengembangan serta merupakan sistem yang menyeluruh dalam kegiatan usaha yang berbasis perbibitan itik Tegal unggul, dimana subsistem yang ada didalamnya saling terkait. Kajian dilaksanakan pada Mei-Desember 2005, dengan basis kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul (usaha inti) di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kantor Peternakan Brebes, Desa Limbangan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Pada tahap awal pengembangan kelembagaan perbibitan itik menunjukkan adanya permasalahan pada peternak plasma, yakni adanya kematian ternak yang cukup tinggi dan fertilitas telur tetas belum optimal. Terdapat kasus penukaran setoran telur tetas dengan telur selain produksi itik Tegal unggul. Sedangkan kendala yang dihadapi pada penetasan di Pemalang adalah meningkatnya ongkos angkut hingga mencapai 83%. Untuk ke depan perlu dipertimbangkan agar ternak yang diserahkan peternak plasma sudah melewati masa kritis, yakni lepas pemanasan. Tindakan yang perlu segera dilakukan adalah penataan sex ratio pada peternak plasma, yakni jumlah betina yang akan digunakan untuk perbibitan jumlahnya disesuaikan dengan sisa pejantan, sehingga dicapai sex ratio 1 : 10. Untuk menjaga kualitas itik Tegal unggul yang dipasarkan, perlu pengawasan yang ketat terhadap telur tetas setoran. Kata kunci: Kelembagaan, perbibitan itik
PENDAHULUAN Pembangunan perunggasan mempunyai peluang besar untuk mendorong tumbuhnya ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan unggas lokal, yang diusahakan petani di pedesaan. Unggas lokal, seperti halnya itik, dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan, karena produknya mempunyai pangsa pasar tertentu dan cukup menguntungkan sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2004). Meskipun demikian, dalam pengembangan agribisnis itik seringkali dihadapkan pada kendala sulitnya mendapatkan bibit dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Hal ini dikarenakan minimnya
176
kelembagaan perbibitan dan belum terorganisir secara optimal. Seperti halnya itik Tegal yang banyak dibudidayakan secara intensif oleh peternak di pantura Jawa Tengah, khususnya di Brebes dan Tegal, masih belum ditunjang usaha perbibitan yang memadai, sehingga kemampuan produksinya menunjukkan penurunan. Di samping itu pemenuhan kebutuhan bibit sebagian besar masih dipasok dari provinsi lain (SUBIHARTA dan PRASETYO, 1999; SUBIHARTA et. al., 2001). Inovasi teknologi terbukti mampu memperluas batas kemungkinan produksi (SAMUELSON dan NORDHAUS, 1992; FROYEN, 1995). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah telah melakukan upaya peningkatan kualitas itik Tegal inovasi teknologi seleksi sederhana. Itik Tegal unggul generasi 4 hasil
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
seleksi, kemampuan produksi telur yang lebih tinggi dibanding itik yang dipelihara di tingkat petani, yakni 263 vs 190 butir/ekor/tahun (SARENGAT, 1999; SUBIHARTA et. al., 2002). Apabila itik Tegal unggul dapat di akses oleh peternak, maka akan mendorong meningkatkan efisiensi dan daya saing agribisnis itik Tegal. Sehubungan hal itu, mulai 2005, Pemerintah Kabupaten Brebes mengembangkan perbibitan itik Tegal unggul yang berbasis di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kantor Peternakan Brebes, Desa Limbangan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Inovasi teknologi perlu diintegrasikan dengan inovasi kelembagaan (HAYAMI dan RUTTAN, 1971). Pendekatan ini didasarkan pada hipotesis, bahwa penerapan secara bersama-sama antara inovasi teknologi dan kelembagaan pada pembangunan akan meningkatkan perekonomian. Kelembagaan merupakan segala suatu aturan yang mengikat dan menentukan tata cara kerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya dan hak dari masing-masing pelaku usaha (HAYAMI dan KIKUCHI dalam FARID, 1994), sedangkan DAVIS dan NEWSTROOM (1985) menyatakan bahwa inovasi kelembagaan diperlukan agar mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis dalam rangka mengatur alokasi sumberdaya bibit agar mencapai keragaan yang dikehendaki. Pengembangan agribisnis perbibitan itik Tegal unggul potensial untuk dikembangkan, mengingat telah tersedianya simpul-simpul agribisnis, namun masih berjalan secara parsial. Inovasi kelembagaan pada perbibitan itik Tegal unggul perlu menekankan pada organisasi dan aturan main dalam usaha dalam perspektif agribisnis diantara para pelaku, yakni peternak, sumber teknologi, dan pendamping/fasilitator lainnya. Sehubungan dengan hal itu, telah dilakukan kajian introduksi inovasi kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul.
METODE PENGKAJIAN Lokasi yang dijadikan basis pengembangan perbibitan itik Tegal unggul adalah di Kabupaten Brebes. Pertimbangan adalah, Pemerintah Kabupaten Brebes pada 2005 mengembangkan perbibitan itik Tegal unggul yang berbasis di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kantor Peternakan Brebes, Desa Limbangan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Pada tahap awal dilakukan studi untuk mendapatkan informasi tentang kondisi dasar bagi perumusan konsep pengembangan kawasan agribisnis, meliputi kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang perbibitan itik Tegal unggul. Metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi adalah survei dengan pendekatan rapid rural appraisal (RRA) dan case study. Survei dilakukan pada kelompok ternak “Mutiara Biru”, “Sumber Pangan”, dan “Maju Jaya” di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dan kelompok penetas di Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan kondisi dasar tersebut dirumuskan langkah/tahapan pengembangan kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul dan peran masing-masing pelaku agribisnis, yaitu peternak, penetas, dan kelembagaan penunjang. Rumusan tersebut ditentukan secara bersama-sama. Untuk itu, difasilitasi berbagai pertemuan, meliputi sosialisasi kegiatan, sinkronisasi kegiatan, dan pembahasan rencana kerja. Inovasi kelembagaan usaha menekankan pada organisasi dan aturan main dalam usaha dalam perspektif agribisnis model inti-plasma (Skema 1). Rancang bangun agribisnis perbibitan itik Tegal unggul dibuat berdasarkan peta hubungan spasial antar daerah dalam satu kawasan pengembangan serta merupakan sistem yang menyeluruh dalam kegiatan usaha, dimana subsistem yang ada didalamnya saling terkait. Selama kegiatan berlangsung, dilakukan pengamatan untuk mengetahui keragaan kinerja kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul yang diintroduksikan.
177
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Penetasan
Sarana/prasarana pendukung Pakan Obat-obatan Permodalan
Usaha Inti Seleksi Distribusi telur tetas, DOD
Pemasaran
Peternak penghasil telur tetas
Peternak penghasil telur konsumsi Skema 1. Konsep kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul model inti-plasma
Penjelasan dari Skema 1 adalah sebagai berikut: a. Usaha inti berperan melakukan seleksi secara berkelanjutan dan mendistribusikan telur tetas dan DOD dari produksi itik terseleksi maupun dari peternak penghasil telur tetas. Koordinasi ini perlu dilakukan sebagai kontrol kualitas telur tetas maupun DOD. b. Subsistem sarana/prasarana memberikan dukungan faktor produksi bagi subsistem lainnya. Pada subsistem ini perlu dukungan teknologi agar dihasilkan pakan yang sesuai untuk menghasilkan telur tetas. Selama ini penyebab rendahnya permintaan telur tetas dari pemeliharaan dalam kandang adalah kualitas telur yang tidak memenuhi persyaratan sebagai telur tetas. Dukungan teknologi kesehatan ternak diperlukan terutama pada
178
subsistem pembesaran, yang selama ini mortalitasnya tinggi. Dukungan permodalan diperlukan agar peternak tidak terjebak pada monopoli pedagang telur, sehingga posisi tawar peternak meningkat. c. Subsistem penetasan berperan menetaskan telur yang dihasilkan subsistem inti maupun subsistem penghasil telur tetas. Mengingat pada kelompok ternak belum ada usaha penetasan, untuk sementara kelompok penetas di Kabupaten Pemalang difungsikan sebagai pelaku subsistem ini. d. Subsistem penghasil telur tetas berperan membudidayakan itik Tegal unggul dewasa yang dihasilkan usaha inti. Produk yang dihasilkan subsistem ini adalah telur tetas.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
e. Itik niaga yang dihasilkan dari proses seleksi dipergunakan sebagai bibit yang berkualitas pada subsistem penghasil telur konsumsi. f. Subsistem pemasaran berperan dalam memasarkan DOD maupun telur konsumsi. Konsolidasi dalam pemasaran diharapkan meningkatkan posisi tawar peternak. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum usaha itik di lokasi kegiatan Usaha ternak itik Tegal di Kabupaten Brebes menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, ditandai dengan tumbuhnya sentra-sentra pemeliharaan. Hal ini menunjukkan bahwa peternakan itik dari sisi ekonomi menjanjikan. Sistem pemeliharaan itik phase produksi yang diterapkan peternak pada “Mutiara Biru”, “Sumber Pangan”, dan “Maju Jaya” di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes umumnya adalah sistem intensif, dimana ternak sepanjang hari dipelihara dalam kandang (terkurung). Beberapa faktor yang mendorong pergeseran sistem pemeliharaan dari penggembalaan ke arah intensif adalah adanya penggunaan pestisida pada padi sawah semakin meningkat, umur panen padi yang semakin pendek, dan pengaturan irigasi pada usahatani padi (SETIOKO, 1998). Pada kondisi pemeliharaan secara intensif, waktu yang dicurahkan untuk mengelola usaha berkisar 8-10 jam/hari, untuk kegiatan perawatan ternak dan pengadaan ikan pirik di tempat pelelangan ikan (TPI). Beberapa peternak pada saat musim panen, (Maret, April, Juni, dan Juli) menerapkan sistem angonan (boro), dengan wilayah angonan Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan Cirebon, Karawang, Indramayu, dan Cikampek. Konsekuensi dari pemeliharaan itik secara intensif adalah peternak dituntut untuk menyediakan pakan yang memadai agar itik mampu berproduksi secara baik. YUWONO et al. (2005) melaporkan bahwa pangsa biaya pakan mencapai 72,71% dari total biaya pada pemeliharaan itik secara intensif. Ikan pirik, yang merupakan sumber protein utama ditunjang oleh keberadaan 8 Tempat
Pelelangan Ikan, yakni TPI Sowajajar, Pulomas, Kluwut, Pengaradan, Krakahan, Kaligangsa, Kaliwlingi, Prapag Kidul. Harga ikan pirik berfluktuasi sepanjang tahun, dipengaruhi oleh peristiwa alam maupun budaya/keagamaan, dimana pada saat angin barat, lebaran, dan sedekah laut, saat nelayan jarang melaut, harga ikan pirik mahal (YUWONO et al., 2005). Sehingga tidak mengherankan kandungan nutrisi pakan bervariasi sepanjang tahun (SUBIHARTA et al., 1996). Keterbatasan modal dalam usahatani merupakan permasalahan yang umum di hadapi petani dan pedagang telur. Sulitnya prosedur peminjaman selama ini menjadi alasan utama petani tidak menggunakan kredit dari lembaga keuangan (RACHMAWATI, 1997). Harga pakan yang berfluktuasi menyebabkan produktivitas itik berfluktuasi pula, sehingga peternak sangat membutuhkan tambahan modal. Pada saat tersebut pedagang berperan sebagai lembaga permodalan yang mudah diakses peternak. Secara formal pinjaman tersebut tanpa bunga, namun terdapat kesepakatan bahwa peternak yang meminjam berkewajiban menjual telur kepada pedagang yang memberikan pinjaman, dengan harga telur lebih Rp. 25 – Rp. 50/butir lebih rendah harga normal. Analisis ekonomi selisih harga tersebut lebih tinggi dibanding tingkat bunga bank. Peternak anggota KTT “Mutiara Biru”, “Sumber Pangan”, dan “Maju Jaya” tidak ada yang mengusahakan penetasan, sehingga pemenuhan kebutuhan bibit untuk menambah populasi atau mengganti ternak yang diafkir (replacement stock) sebagian besar masih dipasok dari Cirebon. Pada kelompok “Mutiara Biru” dan “Sumber Pangan” sebagian besar peternak (85%) membeli bibit siap telur (bayah), dengan alasan sulitnya mendapatkan tenaga untuk mengangon DOD, sedangkan pada kelompok “Maju Jaya” 75% peternak membeli bibit pada phase anak (DOD), dengan alasan akan diperoleh kualitas ternak yang lebih bagus bila dibanding kalau membeli bayah. Kelompok penetas di Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang mempunyai anggota 9 orang, jumlah mesin yang dimiliki 110 buah dengan total kapasitas 72.600 butir. Dalam pengadaan bahan baku, penetas cenderung
179
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
memilih telur dari itik yang dipelihara dengan sistem angonan dibanding itik yang dikandangkan. Alasannya telur yang dihasilkan mempunyai ukuran dan ketebalan kulit yang lebih baik, dan berdasarkan pengalaman mempunyai daya tetas yang relatif tinggi. Kondisi ini dapat dipahami, karena umumnya peternak mengangon pada musim panen, memiliki berbagai sumber pakan yang berkualitas tersedia di sawah. Terhadap telur tetas yang dihasilkan dari itik yang dikandangkan, daya tetasnya lebih rendah karena pejantannya mendapatkan kualitas pakan yang rendah, sehingga tidak mendukung telur tetas yang berkualitas. Penetas pada dasarnya bersedia menggunakan telur tetas yang dihasilkan dari itik yang dikandangkan dalam porsi yang lebih banyak, dengan catatan kualitas ransum ditingkatkan, mengingat rendahnya fertilitas (60%) dan daya tetas berkisar antara 60-70% dari telur yang fertil atau 24-28% dari total telur yang ditetaskan. Kinerja kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul Pada Juni 2005 BPTP Jawa Tengah memfasilitasi pertemuan antara Kantor Peternakan Kabupaten Brebes (usaha inti), dengan peternak plasma penghasil telur tetas,
untuk membahas kesepakatan usaha inti dengan peternak plasma. Dicapai kesepakatan bahwa peternak plasma memperoleh DOD itik Tegal unggul betina dan jantan, dan peternak berkewajiban menyetorkan telur tetas. Pola pengembalian pinjaman DOD adalah setiap ekor DOD betina yang diterima, peternak wajib mengembalikan 6 butir telur tetas yaitu telur yang telah diteropong menunjukkan tanda-tanda dibuahi, sedangkan untuk ternak jantan mengembalikan 2 butir. Jangka waktu pengembalian pinjaman paling lambat 6 bulan setelah produksi telur layak untuk ditetaskan. Apabila peternak telah memenuhi kewajibannya, telur tetas akan dibeli oleh usaha inti dengan harga Rp. 50,- di atas harga telur konsumsi pada saat yang sama. Itik Tegal dikembangkan oleh 8 orang peternak anggota kelompok ternak ”Sumber Pangan”, Kecamatan Brebes. Peternak menerima bantuan berupa itik umur 1 hari (DOD) dari usaha inti dengan jumlah bervariasi antar peternak, adapun jumlah itik yang diperbantukan untuk masing-masing peternak disesuaikan dengan permintaan dan kemampuan memelihara peternak. Jumlah itik yang dikembangkan 5.914 ekor atau rata-rata 739 ekor/peternak (Tabel 1). Sampai dengan Desember 2005 jumlah pengembalian telur tetas telah mencapai rata-rata 63,06%.
Tabel 1. Jumlah DOD yang diterima peternak plasma dan jumlah telur tetas yang harus diangsur No.
Nama peternak plasma
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rahmat Didit A. Saroni Dikin Narto Purwanto Waha Suhari Jumlah Rata-rata
DOD yang diterima Jantan Betina 100 1.022 100 1.091 165 1.128 26 200 100 511 75 587 56 516 25 212 647 5.267 80,88 658,38
Dalam dinamikanya, itik Tegal unggul yang dikembangkan peternak mengalami pengurangan populasi yang disebabkan kematian sebanyak 3.537 ekor (59,81%)
180
Telur tetas yang harus diangsur (butir) 6.432 6.846 7.263 1.278 3.366 3.747 3.264 1.347 33.543 4.192,88
Yang sudah diangsur Butir % 5.085 79,06 5.400 78,88 7.008 96,49 1.742 136,31 1.612 47,89 932 24,87 709 21,72 260 19,30 22.748 2.843,50 63,06
(Grafik 1). Sebagian besar kematian itik terjadi pada phase anak, yakni 2.877 ekor atau 81,34% dari jumlah kematian. Jumlah kematian bervariasi antar peternak, dan diduga karena
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
kemampuan pemeliharaan yang bervariasi. Untuk itu, dalam menentukan peternak plasma perlu mempertimbangkan kemampuan calon peternak yang akan menerima bantuan, diantaranya melalui informasi dari pengurus kelompok. Peternak plasma menginginkan agar bantuan ternak berikutnya sebaiknya berupa itik bayah (siap produksi), karena resiko kematian lebih kecil dibanding jika peternak menerima DOD (meri). Mengingat modal yang dimiliki usaha inti masih belum mencukupi
untuk memproduksi itik bayah, maka dicapai kesepakatan antara usaha inti dengan peternak plasma, bahwa peternak plasma menerima itik umur 2 minggu, yakni setelah DOD tidak membutuhkan pemanasan. Dalam dinamikanya, pengambilan setoran telur tidak berjalan lancar, hal ini dikarenakan petugas lebih dahulu menyelesaikanpekerjaan di inti, dan pada waktu pengambilan, peternak plasma tidak berada di kandang (istirahat). Disarankan agar ada petugas yang khusus menangani pengambilan setoran telur tetas.
Jumlah ternak (ekor)
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
jantan betina
saat diterima
sept '05
okt '05
647 5.267
107 2.770
90 2.577 Bulan jantan
nop '05
des '05
79
75 2.302
2.330
betina
Grafik 1. Perkembangan populasi itik Tegal unggul di tingkat peternak plasma Tabel 2. Produksi telur harian di tingkat peternak plasma agribisnis itik Tegal unggul, Nopember 2005 Non itik Tegal unggul
Itik Tegal unggul
No.
Peternak
1.
Rahmat
2.
Didit A.
850
425
50,00
250
117
46,80
3.
Saroni
500
200
40,00
450
250
55,56
4.
Dikin
300
115
38,33
200
30
15,00
5.
Narto
-
-
-
400
200
50,00
Jumlah ternak Produksi telur (ekor) (butir) 325 112
6.
Purwanto
7.
Waha
8.
Suhari Jumlah Rata-rata
429,17
Produksi telur (%) 34,46
Jumlah Produksi telur Produksi telur ternak (ekor) (butir) (%) 500 250 50,00
-
-
-
280
180
64,29
400
265
66,25
250
253
101,20
200
110
55,00
-
-
-
2.575
1.227
-
2.330
1.280
-
204,50
47,34
332,86
182,86
54,69
181
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Terdapat kasus penukaran setoran telur tetas dengan telur selain produksi itik Tegal unggul. Hal ini diindikasikan dengan adanya hasil tetasan yang mengarah pada turunan itik Alabio dan itik Magelang (itik kalung). Agar kelembagaan agribisnis itik Tegal unggul mampu memenuhi permintaan pasar dengan kuantitas dan kualitas yang baik, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Diantaranya harus ada kelembagaan yang melakukan kontrol secara ketat pada plasma. Meskipun peternak plasma mengembangkan itik Tegal unggul, namun tetap diperbolehkan mempertahankan itik yang selama ini mereka pelihara (eksisting). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produktivitas itik Tegal unggul lebih tinggi dibanding itik milik peternak, yakni 54,69% vs 47,34% (Tabel 2). Telur tetas setoran peternak fertilitasnya rendah (sekitar 60%). Hal ini dikarenakan adanya kematian ternak jantan, sehingga imbangan jantan betina (sex ratio) kurang memenuhi syarat untuk usaha perbibitan (penghasil telur tetas). Untuk itu perlu dilakukan penataan, dimana jumlah betina
yang akan digunakan untuk perbibitan jumlahnya disesuaikan dengan sisa pejantan, sehingga dicapai sex ratio 1 : 10. Produksi telur yang dihasilkan peternak plasma mulai ditetaskan bulan Agustus 2005 pada penetas plasma di Kabupaten Pemalang, fertilitasnya berkisar 60-70%, sedangkan daya tetas berkisar 24-28% dari jumlah telur yang ditetaskan. Penetasan dilakukan oleh usaha inti, karena keterbatasan jumlah mesin, hanya mampu menetaskan telur tetas yang diproduksi usaha inti. Penetasan pada inti hanya mampu untuk menetaskan telur tetas hasil produksi sendiri. Sementara telur yang diproduksi plasma akan dilakukan antara bulan Januari – Februari 2006, yakni pada saat mesin tetas otomatis bantuan Dirjen Bina Produksi sudah dapat dioperasikan. Penampilan penetasan pada usaha inti sebagaimana tercantum pada Tabel 3. Selama Agustus – Nopember 2005 usaha inti telah menjual 3.927 ekor itik Tegal unggul (Tabel 4). Kendala pada aspek penetasan menyebabkan belum terpenuhinya permintaan konsumen terhadap itik Tegal unggul (Tabel 5).
Tabel 3. Penetasan telur pada usaha inti agribisnis itik Tegal unggul Tanggal menetaskan
Jumlah telur (butir)
30/9/2005 5/10/2005 11/10/2005 17/10/2005 22/10/2005 Jumlah Rata-rata
240 234 651 215 443 1783 356,60
Infertil Butir % 22 9,17 43 18,38 97 14,90 14 6,51 20 4,51 196 39,20 10,69
Fertil Butir % 218 90,83 191 81,62 554 85,10 201 93,49 423 95,49 1587 317,40 89,31
Ekor 112 100 315 121 176 824 164,80
Menetas % dari total % dari fertil 46,67 51,38 42,74 52,36 48,39 56,86 56,28 60,20 39,73 41,61 46,76 52,48
Tabel 4. Penjualan DOD oleh usaha inti agribisnis itik Tegal unggul No.
Bulan
1 2 3 4 5 6
Agustus September Oktober Nopember Nopember Nopember Jumlah
182
Jumlah penjualan (ekor) Umur (hari) 7 1 1 1 1 1 -
Jantan
Betina
75 10 10 32 10 2 139
750 1.000 1.000 968 93 116 3.927
Nama pembeli
Instansi
Farid Amrih Sukadi Mukson Mukson -
Dirjen Bina Produksi Peternakan Peternak Pekalongan Peternak Pemalang Universitas Diponegoro Peternak Brebes Peternak Brebes -
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
Tabel 5. Pesanan yang belum dapat terpenuhi oleh usaha inti agribisnis itik Tegal unggul Jumlah penjualan (ekor)
No.
Bulan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Juli Juli Juli Juli September September September Desember Desember Desember Jumlah
Umur (hari)
Jantan
Betina
DOD DOD bayah bayah DOD DOD DOD DOD DOD DOD -
200 30 50 50 10 10 100 50 10 20 530
2.000 1.000 1.000 1.000 2.000 500 8.500 500 500 1.000 18.000
Dari berbagai kajian menunjukkan adanya indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri perunggasan (SAPTANA et al., 2002), sebagai contoh PT. Anwar Sierad yang bergerak dalam bidang pembibitan, pakan ternak, budidaya, dan pengolahan ayam beku. Sampai dengan akhir kegiatan, kelembagaan perbibitan itik tegal unggul yang diinovasikan masih belum mampu menerapkan integrasi secara vertikal. Integrasi vertikal didefinisikan sebagai penguasaan atas seluruh atau sebagian besar jaringan agribisnis dari industri hulu hingga industri hilir, di mana keseluruhan unit perusahaan berada dalam satu managemen pengambilan keputusan (SARAGIH, 1998). KESIMPULAN Sistem pemeliharaan itik phase produksi di Kabupaten Brebes saat ini mengarah pada pemeliharaan secara intensif, dimana ternak sepanjang hari dipelihara dalam kandang (terkurung). Meskipun demikian, masih belum ditunjang usaha perbibitan yang memadai. Itik Tegal unggul yang didistribusikan kepada peternak plasma mengalami kematian cukup tinggi, yakni 59,81, 81,34% diantaranya terjadi pada phase anak. Terdapat kasus penukaran setoran telur tetas dengan telur selain produksi itik Tegal unggul. Pada tahap awal, kelembagaan perbibitan itik Tegal unggul yang diinovasikan masih belum berjalan optimal karena menunjukkan adanya integrasi secara vertikal dan horisontal.
Nama pembeli
Instansi
Sriyanto Ibnu Gatot Ali A. Wartoyo Purwanto Ning Amrih -
Pemda Bengkulu Peternak Klaten Peternak Kab. Semarang Peternak Kab. Semarang Peternak Brebes Peternak Brebes Peternak Brebes Universitas Diponegoro Peternak Brebes Peternak Pekalongan -
SARAN Proses produksi itik Tegal unggul mengandalkan teknologi seleksi secara berkelanjutan masih diperlukan pendampingan teknologi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Untuk mencegah tingginya kematian DOD pada peternak plasma, untuk ke depan perlu dipertimbangkan agar DOD yang diterima peternak setelah melewati masa kritis. Agar kelembagaan agribisnis itik Tegal unggul mampu memenuhi permintaan pasar dengan kuantitas dan kualitas yang baik, maka kelembagaan yang ada seharusnya melakukan kontrol secara ketat pada usaha plasma penghasil telur tetas. DAFTAR PUSTAKA BADAN LITBANG PERTANIAN. 2004. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Litbang Pertanian. DAVIS, K. dan J. H. NEWSTROOM. 1985. Human Behaviour at Work: Organization Behaviour, 7th Edition. Mc Graw-Hill International. FROYEN, R.T. 1995. Macroeconomics, Theory & Policies. Prentice-Hall Inc. Toronto. HAYAMI, Y. dan V. W. RUTTAN. 1971. Agricultural Development: an International Perspective. John Hopkins University Press. Baltimore and London. HAYAMI, Y. dan M. KIKUCHI. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi
183
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing
terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Terjemahan D. Noer. Yayasan Obor. Jakarta. RACHMAWATI, R. W. 1997. Peranan Lembaga Perkreditan Pedesaan dalam Memenuhi Kredit Usahatani (Suatu Kasus Perkreditan Usahatani di Desa Pinggir Sari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung). Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. SAMUELSON, P. A., dan W. D. NORDHAUS. 1992. Microeconomics. McGraw-Hill, Inc. SAPTANA, ROSMIJATI SAYUTI dan KHAIRINA M. Noekman. 2002. Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Forum Agro Ekonomi. PSE. Bogor. SARAGIH, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor. SARENGAT, W. 1990. Produksi Telur Beberapa Itik Lokal pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding Temu Tugas Sub Sektor Peternakan Pembangunan Usaha Ternak Itik di Jawa Tengah, Sub Balitnak Klepu. SETIOKO, A. 1998. Prospek dan Kendala Peternakan Itik Gembala di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
SUBIHARTA, D.M. YUWONO, WARTININGSIH MURYANTO and A.P. SINURAT. 1996. The Effect of Feed Quality Improvement on he Performance and form Efficiency on Tegal Duck in Intensive Rearing System. The 2nd Poultry Science Symphosium of The World’s Poultry Science Association (WPS) Indonesia Branch. Universitas Diponegoro and The University of Queensland. SUBIHARTA dan T. PRASETYO. 1999. Potensi, Peluang, dan Kendala Usaha Perbibitan Itik melalui Pola Kemitraan di Jawa Tengah (Suatu Kasus). Prosiding Lokakarya Kemitraan Pertanian dan Ekspose Teknologi Mutakhir Hasil Penelitian Perkebunan. Kerjasama BPTP Ungaran dengan Sekretariat DPP Pusat Penelitian Perkebunan dan Asosiasi Penelitian Perkebunan. Semarang. SUBIHARTA, D. M. YUWONO, D. PRAMONO, S. PRAWIRODIGDO, dan HARTONO. 2001. Permasalahan dan Pola Perbibitan Itik Tegal (Kasus di Kabupaten Brebes). Prosiding Saresehan Pengembangan Peternakan Itik di Jawa Tengah. SUBIHARTA, L. H. PRASETYO, Y. C. RAHARDJO, D. PRAMONO, B. BUDIHARTO, HARTONO, dan I. MUSAWATI. 2002. Perbibitan Itik Tegal Hasil Seleksi. Laporan Tahunan. BPTP Jawa Tengah. YUWONO, D.M., SARJANA, SULARNO, dan HARTONO. 2005. Dinamika Kinerja Usaha Itik Tegal di Kabupaten Brebes. Makalah disampaikan pada Seminar Unggas Lokal di Fakultas Peternakan – Universitas Diponegoro. Semarang.
184