VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar yang mengatur populasi O. furnacalis adalah faktor biotik yaitu musuh alami (predator dan parasitoid). Faktor abiotik yaitu iklim (curah hujan, suhu, kelembaban) dan kandungan C-organik, N-total dan C/N Ratio yang ada dalam tanah dan tanaman tidak memberikan kontribusi terhadap kepadatan kelompok telur dan larva O. furnacalis. Hal bisa jadi karena ada faktor yang tidak teramati seperti kejadian hujan yang jatuh pada malam hari. Di Gorontalo, ditemukan ada dua jenis penggerek batang jagung, yaitu jenis O. furnacalis dan Sesamia inferens.
Jenis yang sering ditemukan dan
konsisten ada pada setiap musim tanam adalah jenis penggerek O. furnacalis. Hama penggerek batang jagung O. furnacalis mulai mendatangi tanaman jagung hibrida Bisi-2 dan bertelur pada umur 17 hari setelah tanam (hst). Hal ini terbukti dari penemuan pertama kali satu kelompok telur O. furnacalis. Litsinger et al. (2007) melaporkan bahwa di Filipina (Mindanao Selatan), penggerek batang jagung O. furnacalis mulai melakukan oviposisi pada tanaman jagung yang berumur 21 hst. Subiadi (2012) juga melaporkan bahwa oviposisi O. furnacalis pada tanaman jagung hibrida Pioner 21 dimulai pada saat tanaman jagung berumur 34 hst. Puncak oviposisi O. furnacalis pada tanaman jagung hibrida Bisi-2 di Desa Manawa terjadi pada umur 30 dan 44 hst dengan rata-rata kepadatan 0,22 114
dan 0,09 kelompok telur/tanaman. Hal ini secara tidak langsung dapat disebabkan karena adanya
kandungan N-Total yang ada pada tanaman jagung sebagai
sumber nutrisi bagi larva. Kandungan N sebagai penyusun asam amino merupakan faktor yang mempengaruhi penerimaan inang oleh imago betina untuk oviposisi (Zhang et al., 2011). Selain itu metabolit sekunder yang dikeluarkan oleh tanaman jagung menjadi faktor yang mempengaruhi interaksi hama dan tanaman terutama penerimaan tanaman sebagai tempat untuk oviposisi. Aluja et al. (2011) dan Showler et al. (2011) menyatakan bahwa oviposisi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, tanaman untuk tempat meletakkan telur dan tersedianya nutrisi yang berkualitas baik. Pada pengamatan 37 hst rata-rata kepadatan kelompok telur O. furnacalis di desa Manawa turun menjadi 0,03 kelompok telur/tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjuk bahwa oviposisi biasanya hanya berlangsung selama satu minggu dengan puncak oviposisi terjadi pada umur empat sampai lima hari ( Nonci, 2004; Surtikanti, 2006; Pabbage et al., 2007; Hussein & Ibrahim, 1992; dan Nafus & Schreiner, 1991 cit. Subiadi, 2012). Selain itu karena tingginya jumlah tanaman jagung yang terserang penggerek, maka banyak terbentuk serbuk kotoran larva O. furnacalis yang mengandung bau yang bersifat menolak oviposisi, sehingga ketika imago betina terbang di sekitar tanaman jagung yang ada serangan dan mencium bau tersebut tidak jadi melakukan opivosisi. Imago betina akan memilih tanaman jagung lain yang tidak terserang (sehat) yang dapat dideteksi oleh imago betina (Li & Ishikawa, 2004; Arimura et al., 2005; Guerenstein & Hildebrand, 2008). Hal ini
115
mengakibatkan jumlah kelompok telur yang diletakkan pada tanaman jagung menjadi berkurang.
Aluja et al. (2011) menyatakan bahwa oviposisi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, tanaman untuk tempat meletakkan telur dan tersedianya nutrisi yang berkualitas baik. Pada pengamatan 44 dan 51 hst, jumlah kelompok telur baru meningkat lagi masing-masing dengan rata-rata 0,09 dan 0,06 kelompok telur/tanaman, hal ini diduga imago generasi pertama ada yang berhasil hidup dan beroviposisi. Waktu yang dibutuhkan dari telur sampai imago dan siap oviposisi sekitar 21-28 hari. Hussein & Ibrahim (1992) dan Nonci (2004) menyatakan bahwa siklus hidup O. furnacalis dari telur sampai imago sekitar 27-38 hari. Imago betina O. furnacalis tidak meletakkan kelompok telur pada tanaman jagung di minggu pertama dan minggu terakhir menjelang panen, bisa jadi pada minggu pertama kandungan dimboa pada tanaman jagung muda cukup tinggi sehingga dapat meracuni serangga dan dapat mengganggu aktifitas makan larva O. furnacalis (Yan et al., 1999; Kojima et al., 2010), sedangkan pada minggu terakhir kandungan nutrisi pada daun/pucuk dan batang pada tanaman jagung tua sudah berkurang, karena sudah disimpan pada bunga dan biji. Kondisi ini menyebabkan imago betina O. furnacalis tidak akan meletakkan telur pada tanaman tersebut, akibatnya jumlah kelompok telur menjadi berkurang (Litsinger et al., 2007). Kepadatan kelompok telur O. furnacalis, jika dikorelasikan dengan faktor abiotik (iklim) yaitu curah hujan, suhu, dan kelembaban nilai korelasinya cukup. Curah hujan berkorelasi negatif (-0,376), artinya jika terjadi peningkatan jumlah
116
curah hujan, terutama pada malam hari akan mengganggu penerbangan imago untuk melakukan oviposisi, sehingga jumlah kelompok telur yang diletakkan oleh imago betina O. furnacalis akan berkurang. Nonci (2004) menyatakan bahwa imago betina O. furnacalis melakukan oviposisi pada malam hari, Budiman (2014) melaporkan bahwa oviposisi dimulai pada jam 18.00 sampai dengan 06.00 WIB. Pada penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis, curah hujan dengan intensitas tinggi akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap oviposisi (Ciancio et al., 2007). Korelasi antara larva dewasa (instar ke 4 dan ke 5) O. furnacalis dengan iklim (curah hujan, suhu, dan kelembaban), adalah negatif dengan nilai korelasi rendah sampai cukup. Korelasi ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan jumlah curah hujan, dan kelembaban maka akan meningkatkan mortalitas pada larva instar awal. Diduga curah hujan telah menjatuhkan larva instar awal ke atas permukaan tanah, sehingga larva menjadi kelaparan dan mati atau dimangsa predator. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah larva yang berhasil hidup sampai imago. Selain itu bisa jadi karena adanya migrasi larva dari tanaman satu ke tanaman jagung lain didekatnya, sehingga peluang untuk dimangsa oleh predator cukup besar. Pemencaran yang terjadi pada penggerek batang jagung O. furnacalis adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, yaitu dengan mencari sumber pakan yakni tanaman jagung. Pemencaran pada larva biasanya hanya pada tanaman di sekitar kelompok telur diletakkan, karena larva yang baru menetas mobilitasnya rendah dan terbatas pada areal tertentu (Trisyono, 1989).
117
Pemencaran pada larva O. furnacalis dari tanaman jagung satu ke tanaman jagung lain di dekatnya dapat dibantu oleh benang sutra yang dihasilkannya (Litsinger et al., 2007). Hyde et al., 1999 cit. Yanni et al. (2010) melaporkan larva Ostrinia nubilalis yang baru menetas biasanya akan memakan daun selama 2-3 hari setelah itu akan berpindah ke bagian tanaman lain seperti batang. Camarao (1976) cit. Litsinger et al. (2007) melaporkan bahwa pada pertumbuhan awal tanaman jagung banyak ditemukan larva muda (instar ke 1, ke 2, dan ke 3) yang mati, hal ini dapat disebabkan karena tanaman muda tidak dapat melindungi larva dari terpaan hujan. Bonhof dan Overholt (2001), juga menyatakan bahwa hujan dapat menjatuhkan larva instar awal yang berada di daun dan pucuk, ke atas permukaan tanah sehingga larva mengalami kelaparan, kekeringan dan dipredasi. Selanjutnya analisis korelasi antara kepadatan kelompok telur dan larva dengan kandungan (C-Organik, N-Total dan C/N Ratio) tanah dan tanaman jagung, diperoleh bahwa kepadatan kelompok telur dan larva O. furnacalis berkorelasi positif dengan N-Total pada tanah. Tersedianya N-Total yang cukup dalam tanah merupakan unsur yang sangat diperlukan oleh tanaman dalam mendukung pertumbuhan organ vegetatif.
Putra (2011) menyatakan bahwa
tanaman jagung yang dipupuk dengan N dalam jumlah yang besar
akan
menyebabkan tanaman menjadi subur sehingga lebh disukai oleh serangga herbivora. Ketersediaan N-Total dalam tanaman yang sehat tidak ada gejala serangan O. furnacalis berkorelasi positif dengan keberadaan kelompok telur. Ada indikasi
118
bahwa imago betina lebih memilih tanaman jagung yang sehat tidak ada gejala serangan untuk tempat meletakkan kelompok telur, daripada tanaman jagung yang rusak terserang O. furnacalis. Guerenstein & Hildebrand (2008) dan Huang et al. (2009) melaporkan bahwa imago betina O. furnacalis akan memilih tanaman sehat untuk tempat meletakkan telur daripada tanaman jagung yang rusak, hal ini karena tanaman jagung yang rusak menunjukkan gejala serangan akan mengeluarkan senyawa kimia farnesene yang bersifat menolak imago, tetapi menarik bagi larva
O. furnacalis. Keberadaan larva pada tanaman jagung yang
rusak, menunjukkan ada korelasi yang kuat dengan C-Organik, N-Total dan C/N Ratio.
Holopainen, 2004 cit. Huang et al. (2009) melaporkan bahwa ada
fenomena biologis terhadap tanggapan serangga pada senyawa kimia volatil yang dikeluarkan tanaman inang, ternyata senyawa kimia tersebut memiliki fungsi yang berbeda tergantung pada tahap kehidupan serangga, apakah stadia larva atau imago. Pada uji faktor mortalitas pada kelompok telur muda (umur 1 hari) dan tua (umur 2 hari), pada penelitian ini ditemukan bahwa faktor mortalitas tersebut adalah musuh alami (predator dan parastoid). Faktor mortalitas kunci pada telur muda umur 1 hari adalah parasitoid, sedangkan pada telur tua umur 2 hari adalah predator. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan tidak signifikan, artinya jumlah telur per kelompok tidak mempengaruhi tingkat parasitasi dan predasi. Hal ini bisa disebabkan karena parasitoid dan predator tidak menemukan kelompok telur yang dipaparkan di lapangan.
119
Tetapi ada indikasi parasitoid lebih menyukai telur muda umur 1 hari daripada telur tua umur 2 hari walaupun tidak melalui uji preferensi, karena telur yang muda umur 1 hari kualitasnya lebih baik daripada telur tua umur 2 hari (Godfray, 1994) seperti parasitoid Trichogramma bactrae-bactrae parasitoid telur pada Etiella sp., tingkat parasitasinya lebih tinggi pada telur yang berumur 1 hari daripada telur yang berumur 2 hari (Djuwarso et al., 1997 cit. Marwoto, 2010). Selanjutnya predator yang dapat mempredasi telur O. furnacalis di lapangan contohnya Chrysopa spp.,
Coccinella septempunctata L., dan larva Syrphid
dengan tingkat predasi sekitar 5-10% (Kuhar et al., 2002). Uji mortalitas pada larva muda (instar ke 1, ke 2, dan ke 3) dan larva tua (instar ke 4 dan ke 5) didapat bahwa mortalitas tertinggi terjadi pada larva muda dengan rata-rata 73,33%, sedangkan pada larva tua hanya 33,33%. Tingginya angka mortalitas pada larva muda, diduga karena ukuran tubuh larva yang kecil, lunak dan mudah stres karena kekeringan. Selain itu jika terjadi hujan akan menyebabkan larva tenggelam dalam genangan air atau jatuh ke permukaan tanah sehingga menyebabkan mortalitas pada larva (Litsinger et al., 2007). Dari hasil pengamatan terhadap kontribusi faktor abiotik
dan biotik,
terhadap pengaturan populasi O. furnacalis di Desa Manawa Kecamatan Patilanggio Kabupaten Pohuwato, didapatkan bahwa faktor mortalitas biotik yang lebih berperan sebagai faktor yang mengatur populasi penggerek batang jagung O. furnacalis.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
uji mortalitas pada
kelompok telur dan larva O. furnacalis di Desa Hulawa Kabupaten Gorontalo. Hal ini adalah
untuk melihat seberapa besar mortalitas yang terjadi pada
120
kelompok telur muda dan tua, serta larva muda dan tua karena faktor biotik. Untuk itu dilakukan analisis tabel kehidupan. Analisis tabel kehidupan dilakukan untuk melihat deskripsi secara komprehensif terhadap kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi, musuh alami dan faktor mortalitas spesifik pada O. furnacalis (Chi & Yang, 2003). Dari tabel kehidupan akan diketahui interaksi yang terjadi antara musuh alami dengan mangsa dan inang, sehingga akan memudahkan dalam pengelolaan ekosistem dan pengendalian hama ( Bailey et al., 2011; Davis, et al., 2011). Hasil penelitian ditemukan bahwa faktor mortalitas pada telur adalah parasitoid, sedangkan pada larva instar ke 1-5 adalah predator. Faktor mortalitas pada kelompok telur dan larva adalah parasitoid dan predator sebesar 88,3%, yang terdiri atas parasitasi telur (16,0%), predasi telur (9,1%) dan predasi larva instar satu sampai lima sebesar 63,2%. Faktor mortalitas kunci karena predator (k5) pada instar 1 sebesar (50,4%) dengan nilai 0,6774. Parasitoid dan predator merupakan faktor tergantung kepadatan yang peranannya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi kepadatan populasi hama
penggerek batang jagung O. furnacalis
(Mahrub, 1999). Parasitoid telur yang ditemukan memarasit kelompok telur O. furnacalis di Gorontalo adalah parasitoid telur Trichogramma papilionis Nagarkatti. Persentase parasitasinya pada sepuluh kelompok telur sekitar 16,0%, sedangkan kemampuan parasitasi pada satu kelompok telur dapat mencapai 100%.. Sulaiman et al. (2004) melaporkan bahwa parasitoid ini memainkan peran yang
121
penting dalam mengurangi kerusakan pada tanaman jagung di Malaysia akibat penggerek O. furnacalis dengan tingkat parasitasi 50-72%. Selain parasitoid telur, di Gorontalo juga ditemukan parasitoid larva instar terakhir dan pupa, yaitu ordo Diptera famili Tachinidae dengan tingkat parasitasi sebesar 50-53,3%. Swibawa dan Susilo (2001) melaporkan bahwa semut sekitar 65% mendominasi jumlah serangga yang ditemukan pada tanaman jagung, sedangkan Carabidae jumlah populasinya sedikit. Untuk mempertahankan keberadaan musuh alami lokal dan serangga berguna lainnya, dianjurkan penggunaan insektisida kimia sintetik perlu dihindari, sehingga individu-individu yang rentan tidak menjadi hilang berganti dengan individu yang secara genetik lebih tahan terhadap pestisida (Witjaksono, 2004). Faktor biotik merupakan faktor yang mengatur populasi O. furnacalis di Gorontalo. Hal ini menyebabkan populasi penggerek batang jagung tetap terkontrol dan populasinya tetap rendah.
Hal ini dapat dilihat pada tabel
kehidupan, yaitu dari 10 kelompok telur yang berumur seragam dengan jumlah 462 telur, menetas 313 larva yang hidup sampai instar 1 sejumlah 295 larva, dan yang hidup sampai dewasa adalah 3 imago dengan perbandingan 1 jantan dan 2 betina, jadi hanya sekitar 0,7% tingkat kelangsungan hidup O. furnacalis. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup (lx) pada setiap stadium seiring dengan bertambahnya umur stadia (Khosravi & Sendi, 2010). Fenomena ini menggambarkan bahwa dengan jumlah populasi yang sedikit akan berdampak pada luas serangan yang rendah dan terlihat dari luas serangan O.
122
furnacalis di Gorontalo termasuk kategori serangan ringan (Anonim,2012b; 2013).
6.2 Kesimpulan Umum 1. Faktor abiotik yaitu iklim (curah hujan, suhu, kelembaban) dan nutrisi tanah (C/N Ratio) di Desa Manawa Kecamatan Patilanggio Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan kelompok telur dan larva O. furnacalis. 2.
Mortalitas telur muda O. furnacalis karena faktor biotik (parasitoid dan predator) di Desa Hulawa Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo lebih tinggi (57,04%) dibandingkan pada telur tua (37,12%). Tingkat parasitasi pada telur muda mencapai 38,35% dan predasi 18,69%, sedangkan pada telur tua tingkat parasitasinya hanya 7,01% tetapi predasinya mencapai 30,11%. Mortalitas pada larva muda O . furnacalis karena faktor biotik (predator) lebih tinggi (73,33%) dibandingkan pada larva tua (33,33%).
3.
Berdasarkan tabel kehidupan Ostrinia furnacalis di Desa Hulawa, faktor biotik (parasitoid dan predator) menyebabkan mortalitas yang sangat tinggi (88,3%). Telur yang berhasil menetas menjadi larva mengalami predasi yang sangat tinggi (63,2%), karena besarnya faktor biotik dalam menyebabkan mortalitas O. furnacalis maka populasi O. furnacalis tetap terkendali.
123