Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens) increase buckling resistance. J R Soc Interface.
V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Pembahasan Umum Pemanfaatan bambu berdasarkan pola Lebih dari 1000 spesies bambu yang tersebar di dunia memiliki sifat fisik dan mekanik yang berbeda (Liese 1997). Perbedaan di antara spesies tanaman bambu tersebut terkait dengan perbedaan dalam sifat anatomi dan kimia (Lwin et al 2007 ).
Dengan demikian studi pada sifat anatomi, fisik dan mekanik harus
dibawa ke arah penjaminan mutu bambu. Karena itu diperlukan informasi yang menyeluruh dari sifat-sifat yang dimiliki bambu tersebut (Liese 1997).
Pola
ikatan pembuluh sebagai variabel sifat anatomi mempunyai karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola ikatan pembuluh (disingkat pola) berperan dalam sifat mekanik sebagai faktor yang mempengaruhi kekuatan. Pola ikatan pembuluh juga mempunyai peran penting karena bersama-sama dengan jenis bambu berpengaruh pada beberapa sifat kimia bambu yang menjadi dasar dalam pemanfaatan bambu secara luas.
Bambu pada pola ikatan pembuluh 1 Dalam penelitian sifat anatomi bambu khususnya dalam penentuan kerapatan ikatan pembuluh ternyata salah satunya dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola. Pola 1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dibandingkan dengan pola-pola yang ada. Kerapatan ikatan pembuluh umumnya terkait dengan nilai BJ. Hal ini berarti bahwa pola 1 berpeluang mempunyai nilai BJ yang tinggi. Hasil pengukuran nilai BJ bambu Arundinaria hundsii adalah 0.8 sedangkan nilai BJ bambu Arundinaria javonica adalah 0.6. Bambu dengan nilai BJ yang relatif tinggi dapat digunakan untuk pemanfaatan struktural
dan
termasuk ke dalam kelas kuat II jika dilihat dari sisi BJ saja (Lampiran 12).
Diameter dan tebal batang bambu A. hundsii pada bagian pangkal berturut-turut adalah 1.6 cm dan 0.6 cm, sedangkan diameter dan tebal batang bambu A. javonica pada bagian pangkal berturut-turut adalah 2 cm dan 0.6 cm. Ditinjau dari segi fisik, baik bambu A. hundsii maupun A. javonica memiliki kekurangan jika digunakan sebagai bahan konstruksi secara langsung. Dengan demikian untuk memanfaatkan kedua jenis bambu ini memerlukan dukungan teknologi khususnya dengan memanfaatkan teknologi laminasi bambu (Puslitbang Pemukiman 2009) sehingga dapat menghasilkan balok dengan kekuatan tinggi.
Alternatif lain
pemanfaatan bambu dengan diameter kecil adalah dengan memproses lebih lanjut sebagai bahan papan partikel bambu (Renjie et al. 2003). Penggunaan bambu pola 1 secara langsung adalah sebagai asesori elemen bangunan (Surjokusumo 1997) ataupun sebagai tanaman hias. Penggunaan bambu pola 1 sebagai asesori elemen bangunan didukung juga oleh potensi keawetannya karena termasuk kelompok bambu dengan kandungan ekstraktif yang tinggi dibandingkan pola lain. Kandungan pati yang rendah pada pola 1 akan memberikan ketahanan terhadap serangan serangga penggerek. Ditinjau dari sisi panjang serat, walaupun panjang serat yang dimiliki pola 1 paling rendah dibandingkan dengan pola-pola lain namun masih termasuk ke dalam kelompok kelas I apabila digunakan sebagai bahan baku serat/pulp dan kertas (acuan persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas pada Lampiran 13 dan hasil penetapan berdasarkan acuan pada Lampiran 14). Demikian pula potensi kandungan alfa selulosa yang relatif paling tinggi (49.1%) dibandingkan pola lain mengindikasikan bahwa pola 1 mempunyai kandungan serat yang paling tinggi. Namun kandungan ligninnya yang tinggi sehingga meningkatkan kebutuhan bahan kimia pemasak tinggi pula.
Bambu pada pola ikatan pembuluh 2 Pola 2 yang dimiliki oleh bambu Cephalostachyum pergracile dan Melocanna baccifera memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berada setingkat lebih rendah dibandingkan kerapatan ikatan pembuluh pola 1. Sama halnya seperti pola 2, bambu dengan pola 1 pun berpotensi memiliki nilai BJ yang tinggi. Bambu yang tergolong pola 2 yaitu bambu Melocanna baccifera dan Cephalostachyum pergracile masing-masing memiliki nilai BJ 0.7 dan 0.6
(termasuk kelas kuat II apabila dilihat dari sisi BJ-nya).
Hasil pengukuran
terhadap diameter batang M. baccifera bagian pangkal adalah 3.4 cm dan tebal dinding batangnya adalah 0.7 cm. Diameter batang bambu C. pergracile adalah 4.7 cm sedangkan tebal dinding batangnya adalah 1.4 cm. Seperti halnya bambu A. hundsii dan A. javonica, bambu M. baccifera dan bambu C. pergracile pun tidak dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan konstruksi, tapi dapat diaplikasikan dalam bentuk bambu lamina dan bambu lapis.
Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Nuriyatin (2000) yang mengumpulkan informasi tentang jenis-jenis bambu serta kegunaannya, di antaranya menyatakan bahwa bambu C. pergracile umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, sedangkan bambu M. baccifera umumnya digunakan sebagai bahan bangunan, anyaman, kerajinan, dan bahan baku pulp dan kertas (Dransfield dan Widjaja 1995). Hal yang harus diperhatikan untuk bambu berpola 2 adalah kandungan ekstraktifnya lebih rendah dibandingkan pola lain. Kandungan abu yang tinggi juga dimiliki oleh bambu ini. Diduga kadar silika yang tinggi ada pada bambu C. pergracile sehingga harus diwaspadai
pada
pisau/gergaji.
saat
proses
pemotongan
karena
akan
menumpulkan
Namun bambu C. pergracile memiliki kadar pati yang rendah
yang berarti relatif lebih tahan terhadap serangan serangga penggerek. Penggunaan bambu M. baccifera sebagai bahan kerajinan (Nuriyatin 2000) menghasilkan produk ramah lingkungan dan sangat diminati masyarakat dunia (Anonim 2011). Bambu C.pergracile dan M.baccifera juga dapat digunakan sebagai bahan baku serat termasuk bahan baku pulp dan kertas. Panjang serabut bambu pada pola 2 termasuk ke dalam kelas I karena mempunyai panjang serat lebih dari 2000 mikron (Lampiran 14). Nilai alfa selulosanya pun mendukung karena mempunyai nilai yang relatif tinggi (46.7%) sehingga berpotensi untuk dijadikan bahan baku pulp.
Kandungan lignin yang dimiliki pola 2 berada diantara pola-pola lain
sehingga bahan kimia yang dibutuhkan diduga berada di antara tersebut.
Bambu pada pola ikatan pembuluh 3
pola-pola
Nilai kerapatan ikatan pembuluh untuk pola 3 berada pada posisi paling rendah dibandingkan pola-pola lain. Bambu-bambu yang memiliki pola 3 adalah Dendrocalamus strictus, D. giganteus, D. asper bagian tengah dan ujung, serta Gigantochloa apus bagian ujung. Ditinjau dari BJ, nilai BJ keseluruhan bambu yang diteliti adalah 0.6 namun khusus bambu-bambu untuk keperluan konstruksi struktural, nilai BJ-nya adalah 0.8. D. asper, dan Gigantochloa apus secara tampilan fisik sesuai untuk penggunaan struktural. Berdasarkan hasil pengujian, salah satu variabel yang dilibatkan dalam standar kekuatan kayu adalah MOR yang dipengaruhi pola ikatan pembuluh. Posisi pola 3 dalam perannya sebagai bahan dasar konstruksi termasuk ke dalam kelas kuat II (Lampiran 12). Bambu D. giganteus juga dapat dimanfaatkan sebagai
elemen non
struktural, bahan baku pulp dan kertas, kerajinan dan lain-lain. Bambu G. apus bagian ujung juga dapat digunakan sebagai bahan angklung. Dalam penelitian Nuriyatin (2000) dikemukakan bahwa diantara 5 jenis bambu yang diujikan ternyata bambu G. atroviolacea memiliki kualitas suara terbaik. Diduga hal ini terjadi selain karena nilai persentase serabut yang berdinding tebal cukup tinggi (BJ-nya adalah 0.7) juga kondisi serabut tersebar secara merata pada penampang lintang batang bambu.
Bambu G. apus berada pada posisi ke-2 sebagai bahan
angklung setelah bambu G. atroviolacea. Seperti halnya pola-pola lain, bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 3pun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku serat/pulp dan kertas (Lampiran 14). Hal ini didukung ukuran serabut yang panjang sehingga termasuk ke dalam kualitas I jika digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Pola 3 yang berasal dari bambu D. asper memiliki sifat kimia yang khas karena memiliki kandungan ekstraktif serta kadar pati yang paling tinggi dibanding pola lain. Keadaan yang berbeda dimiliki oleh bambu D. giganteus yang mempunyai kandungan ekstraktif dan pati yang rendah.
Bambu pada pola ikatan pembuluh 4 Bambu-bambu yang memiliki pola 4 adalah adalah D. asper bagian pangkal dan G. apus bagian pangkal dan tengah.
Bambu-bambu tersebut memiliki
diameter batang yang besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika
digunakan sebagai bahan baku struktural. Ditinjau dari sisi BJ-pun memiliki nilai yang cukup tinggi pula yaitu 0.6. Dengan nilai BJ yang tinggi diharapkan dimensi lebih stabil berdasarkan sifat mekanis serta mengacu kepada standar kayu sebagai bahan baku konstruksi maka bambu-bambu yang memiliki pola 4 dapat dikelompokan ke dalam kelas kuat III (Lampiran 14). Hasil penelitian Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa
bambu D. asper
mempunyai kegunaan sebagai bahan konstruksi, kerajinan, mebel, dan lain-lain. Sebagai bahan mebel, bambu D. asper memenuhi beberapa persyaratan termasuk karena kekokohannya (Ridwanti 2000). Hal ini sesuai apabila dikaitkan dengan persyaratan fisik mekanik kayu untuk mebel yang menuntut kekuatan dan keawetan bahan baku minimum kelas III (SNI 1989).
Bambu G. apus selain
dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi juga digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Hasil penelitian Bachtiar (2008) pada bambu G. apus menyatakan bahwa bambu ini dapat digunakan sebagai komponen konstruksi rangka batang ruang. Bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 4 juga memiliki peluang yang baik sebagai bahah pulp dan kertas (Lampiran 14). Hal ini didukung dengan nilai serabut yang terpanjang dibandingkan pola-pola lain sehingga nilai daya tenun pun sangat baik (kelas I). Tapi di antara pola yang ada, kadar alfa selulosa pada pola 4 paling rendah sehingga dapat berpengaruh pada kekuatan serat.
Bambu
yang termasuk ke dalam pola 4 juga mempunyai kandungan ekstraktif yang tidak terlalu tinggi, kadar abu paling rendah, dan kadar pati yang tinggi sehingga harus diperhitungkan apabila persyaratan penggunannya memerlukan sifat keawetan tinggi.
Pola dalam Pemanfaatan Bambu Pengamatan terhadap keseluruhan hasil penelitian memberikan gambaran pemanfaatan bambu dalam penggunaan tertentu dengan memanfaatkan pola yang dimiliki oleh setiap jenis bambu.
Dalam penggunaan bambu sebagai bahan
konstruksi, pola menunjukkan hubungan yang cukup erat terutama terhadap nilai MOR . Penelitian ini
merupakan langkah awal dalam memanfaatkan bambu
secara optimum. Langkah ke depan diharapkan adanya pengembangan standar
penggunaan bambu sebagai bahan dasar konstruksi dengan melibatkan pola ikatan pembuluh. Penggunaan bambu sebagai bahan berserat (pulp dan kertas) telah lama dilakukan industri di berbagai negara. Penelitian terhadap bambu sebagai bahan serat dilakukan banyak peneliti yang menunjukkan prospek bambu.
Hasil
penelitian yang diperoleh dengan menguji melalui morfologi serat dan turunannya adalah bahwa bambu dengan pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 memberikan hasil yang sama, yaitu setiap pola menghasilkan daya tenun kelas I sementara untuk nilai lainnya termasuk kelas III. Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku pulp dan kertas terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri tertentu yaitu memiliki fleksibilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain sementara ciri pada pola ikatan pembuluh 4 adalah mempunyai panjang serabut dan daya tenun yang paling tinggi. Hasil penelaahan terhadap penggunaan bambu sebagai bahan kerajinan terlihat bahwa seluruh bambu yang tergabung dalam pola 4 dapat digunakan sebagai bahan kerajinan, demikian pula sebagian bambu yang tergabung dalam pola 2 (Cephalostachyum pergracile). Secara fisik, selama ini bambu-bambu yang dipergunakan sebagai bahan kerajinan berukuran besar baik diameter maupun ketebalan dinding batangnya. Dalam aplikasi penggunaan,
ciri-ciri yang dimiliki
setiap pola akan
memberikan kontribusi ketahanan terhadap serangan penggerek,
tingkat
kandungan serat dan kelancaran dalam proses pemesinan. Khusus bambu yang tergolong pola 1 selain memiliki kandungan serat tertinggi, ketahanan terhadap serangan penggerek juga tinggi. Sementara pada pola 2, diindikasikan bambu memiliki
ketahanan terhadap serangan penggerek tinggi, juga diduga
mengandung silika tinggi yang berpengaruh pada proses pemesinan. Bambu pada pola 3 mempunyai kandungan serat sedang dengan ketahanan terhadap serangan rayap beragam. Salah satu ciri yang dimiliki oleh bambu yang tergolong pola 4 adalah selain mempunyai kandungan serat paling rendah juga ketahanan terhadap penggereknya pun paling rendah.
Gambaran umum yang dapat dibaca dari keberadaan pola ikatan pembuluh bambu terkait dengan penggunaannya dapat dilihat pada Gambar 63.
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
•Konstruksi •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas
•Konstruksi •Kerajinan •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas
•Konstruksi •Meubel •Kerajianan •Alat musik •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas
•Konstruksi •Meubel •Kerajinan •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas
Gambar 63. Pemanfaatan bambu berdasarkan pola
Simpulan umum
Pola ikatan pembuluh bambu (pola) adalah variabel sifat anatomi selain dapat digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukkan karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu.
Pola tersebut memiliki fungsi dan
keterkaitan dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu. Pola ikatan pembuluh muncul pada berbagai jenis bambu baik dalam bentuk pola tunggal atau bentuk pola kombinasi antara dua pola. Pola pada bagian pangkal batang terdiri dari pola tunggal sedangkan pola kombinasi terbentuk pada bagian tengah dan ujung batang bambu.
Perbedaan pola berkaitan dengan
kerapatan ikatan pembuluh, panjang serabut dan persentase kandungan serabut. Pengujian sifat fisik dan mekanik bambu menunjukkan bahwa pola berpengaruh pada nilai MOR kecuali pada BJ, MOE, keteguhan tekan sejajar
serat, dan keteguhan tarik sejajar serat. Meskipun demikian pola tersebut cukup kuat dalam menduga kekuatan bambu sehingga dapat dipakai dalam arah pemanfaatan untuk bahan konstruksi, bahan bangunan, mebel dan sebagainya. Demikian pula pola dapat mengarahkan pemanfaatan
untuk keperluan non
struktural seperti kerajinan, asesori bahan bangunan, anyaman dan lain-lain. Pengujian terhadap sifat kimia terbukti adanya hubungan erat antara jenis bambu dan pola dengan kadar ekstraktif, kadar abu, kadar pati, dan lignin kecuali dengan selulosa. Hal ini dapat menjadi dasar hubungan erat antara jenis dan pola dengan sifat kimia yang menjadi dasar pemanfaatan bambu seperti untuk bahan baku pulp dan kertas, dan papan serat. Berdasarkan kajian hubungan antara pola dengan sifat-sifat dasar
dan
kaitannya dengan parameter pemanfaatan bambu, dapat disimpulkan bahwa pola tersebut dapat dipakai sebagai penduga kemungkinan pemanfaatan bambu dalam praktek. Selain itu penerapan di lapangan lebih mudah dan praktis. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pembuatan matriks pemanfaatan dan parameter yang dipersyaratkan
untuk
tujuan
pemakaian
tertentu
dengan
memasukan
penggolongan jenis bambu berdasar pola ikatan pembuluh. Mengingat banyaknya jenis bambu, maka perlu dilakukan inventarisasi bambu-bambu yang tumbuh di Indonesia sekaligus menetapkan pola ikatan pembuluhnya. Selanjutnya untuk mempertegas peranan ikatan pembuluh dalam pendugaan penggunaannya, sebaiknya penelitian dikembangkan pula untuk bambu-bambu lainnya. Tahap selahjutnya diharapkan aplikasi pemanfaatan pola dapat dijadikan acuan dalam penentuan pemanfaatan bambu dengan dilibatkan secara langsung dalam klasifikasi kelas penggunaan bambu.