VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
6.1. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya yang dimiliki dapat berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap. Potensi sumberdaya yang dimiliki rumahtangga nelayan meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dan Pemilik (Juragan), jumlah dan identitas anggota keluarga nelayan menurut alat tangkap dan wilayah domisili. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Potensi Rumahtangga Nelayan Menurut Usaha Penangkapan Ikan dan Wilayah Domisili di Perairan Kabupaten Morowali, Tahun 2003
No. 1. 2. 3. 4.
5.
Potensi sumberdaya rumahtangga nelayan Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Formal Non Formal Pengalaman sebagai : ABK (tahun) Juragan (tahun) Jumlah anggota rumahtangga (orang) Istri : Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Anak : Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Lain : Umur (tahun) Pendidikan (tahun) Angkatan kerja RT (orang)
Usaha penangkapan ikan menurut wilayah domisili Jaring Pancing Bagan Purse seine Insang
Bubu Pesisir
Pulau
Pesisir
Pulau
Pesisir
Pulau
Pesisir
Pulau
Pesisir
Pulau
-
46.7
39.5
37.8
-
46.9
43.4
43.2
-
48.3
-
7.7 -
11.4 0.5
10.5 -
-
5.9 -
10.6 -
8.7 -
-
8.0 -
-
26.7 15.4
17.5 6.6
19.5 11.8
-
34.4 17.8
20.8 7.4
22.4 11.8
-
26.0 14.0
-
-
6 1 39.7 6.5 4 12.6 6 1 61.7 1
5 1 37.4 8.8 3 12 8 1 55 1.2
5 1 35.3 6.8 3 10.5 4.5 1 61 -
-
5 1 42.9 4.6 4 12.9 4.9 1 57 -
4 1 40.8 8.0 3 13.0 9.2 -
5 1 41.2 7.0 2 14.8 8.5 1 49 1
-
5 1 47.3 6 3 20.0 11.7 1 53.0 0.4
-
3
3
3
-
3
3
3
-
4
-
Tabel 11 menunjukkan bahwa umur tertua kepala rumahtangga nelayan di wilayah pesisir yakni 43.4 tahun (Bagan) dan termuda 39.5 tahun (Pancing), sedangkan umur tertua kepala rumahtangga nelayan di wilayah pulau yakni 48.3 tahun (Purse seine) dan termuda 37.8 tahun (Pancing). Menurut anggota keluarga,
74 umur tertua dari istri nelayan yakni 47.3 tahun (Purse seine) di wilayah pulau, sedangkan umur termuda dari istri nelayan yakni 35.3 tahun (Pancing) di wilayah pulau. Rata-rata umur anak-anak nelayan tertua yakni 20 tahun (Purse seine) di wilayah pulau, sedangkan umur termuda dari anak nelayan yakni 10.5 tahun (Pancing) di wilayah pulau. Anggota keluarga lain yang berumur tua yakni 61.7 tahun (Pancing) dan yang termuda yakni 49 tahun (Bagan). Pendidikan formal tertinggi yang ditempuh kepala rumahtangga nelayan yakni 11.4 tahun (setingkat SLTA) untuk nelayan yang mengoperasikan alat tangkap Pancing di wilayah pesisir dan lama pendidikan terendah yang ditempuh nelayan yakni 5.9 tahun (tidak tamat SD) untuk nelayan yang mengoperasikan alat tangkap Jaring Insang di wilayah pulau. Tingkat pendidikan istri tertinggi yakni 8.8 tahun atau setara SMP (Pancing) di wilayah pesisir dan terendah 4.6 tahun atau tidak tamat SD (Jaring Insang) di wilayah pulau. Anak-anak nelayan di wilayah penelitian sebagian telah menempuh pendidikan sampai pada tingkat perguruan tinggi. Namun secara umum, pendidikan tertinggi yang ditempuh baru pada tingkat SLTA (11.7 tahun) dan terendah pada tingkat SD (4.5 tahun) di wilayah pulau. Pendidikan non formal dianggap perlu untuk dilakukan nelayan guna meningkatkan keterampilan dan kemampuan meningkatkan hasil tangkapan ikan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa, hanya satu nelayan contoh yang telah mengikuti pendidikan non formal selama enam bulan melalui metode magang pada perusahaan perikanan. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dan keterampilan nelayan umumnya diperoleh secara turun-temurun melalui pengalaman dari pendahulu mereka, sehingga metode penangkapan ikan relatif tidak mengalami perubahan. Rata-rata jumlah anggota tanggungan keluarga kepala rumahtangga nelayan yakni 6 orang ( Bubu) di wilayah pulau dan terendah 4 orang (Bagan) di wilayah
75 pesisir.
Masing-masing 5 orang tanggungan keluarga (Pancing) di pesisir dan
pulau, Jaring Insang (pulau), Bagan (pulau) dan Purse seine (pulau). Diantara anggota keluarga nelayan tersebut, yang tergolong sebagai angkatan kerja berjumlah 4 orang (Purse seine) dan masing-masing 3 orang pada unit usaha Bubu, Pancing, Jaring Insang dan Bagan.
Angkatan kerja pria di dalam rumahtangga
yang tidak melanjutkan pendidikannya, secara otomatis langsung membantu kepala rumahtangga dalam kegiatan melaut.
Dengan demikian pengalaman bekerja
sebagai nelayan umumnya cukup lama yakni 34.4 tahun untuk mengoperasikan unit alat tangkap Jaring Insang (wilayah pulau) terutama oleh suku Bajo, sedangkan pengalaman terendah sebagai nelayan yakni 17.5 tahun untuk unit usaha Pancing (wilayah pesisir). 6.2. Kelembagaan Perikanan Tangkap Kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Sanim, 2002). Komponen kelembagaan dalam penelitian ini dibagi atas nelayan sebagai anggota masyarakat, teknologi dan informasi perikanan, pemasaran, kelompok nelayan, permodalan dan aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Morowali. Nelayan sebagai mahluk sosial, juga memegang tanggungjawab dalam menjaga keutuhan sistim interaksi yang harmoni dalam masyarakat dan memberikan pegangan dalam kontrol sosial. Penelitian ini membuktikan bahwa baik di wilayah pulau maupun pesisir, mekanisme interaksi sosial berlangsung secara bersama-sama, dimana selain berupaya meningkatkan kesejahteraan melalui pengelolaan usaha perikanan, beberapa nelayan juga memiliki peran dan kedudukan
76 dalam masyarakat sebagai aparat (pengatur) di desanya. Peran ini diharapkan dapat menjadi motivasi dan inisiatif pola pemikiran dan perilaku bagi pelaku perikanan guna mencapai tujuan kelembagaan (Gillin and Gillin, 1986 dalam Sanim, 2002). Kelembagaan pemasaran di daerah penelitian merupakan salah satu aspek yang sangat krusial dalam menghambat pencapaian tujuan mensejahterakan masyarakat nelayan. Lembaga pemasaran yang berperan dalam alur distribusi input ouput perikanan terdiri atas pengumpul dan tengkulak, sedangkan koperasi nelayan belum tersedia. Pengumpul hasil tangkapan nelayan umumnya pedagang lokal dan perusahaan perikanan yang berasal dari luar Kabupaten Morowali, dengan sistem transaksi jual beli pada saat hasil tangkapan diperoleh. Tengkulak selain berperan dalam penyediaan input
produksi perikanan, juga berperan menampung hasil
perikanan dengan sistim transaksi sebelum maupun sesudah hasil tangkapan diperoleh. Kelebihan hasil tangkapan pada saat musim puncak terutama di wilayah pulau menyebabkan sebagian hasil tangkapan diolah dalam bentuk penggaraman (ikan asin) dan pengasapan, hasil olahan umumnya dijual langsung ke pasar kecamatan. Pada musim paceklik, nelayan di wilayah pesisir umumnya mengalokasikan waktu kerja untuk pekerjaan usahatani (tanaman pangan dan perkebunan)
sehingga tenggang waktu
melaut dapat termanfaatkan dan
menghasilkan pendapatan. Aspek organisasi dari kelembagaan perikanan yang menjadi wadah interaksi antar sesama nelayan adalah kelompok nelayan. Keberadaan kelompok nelayan berkisar antara 0.5-2 tahun yakni saat pembentukan kabupaten dan karena adanya program pengembangan perikanan. Kelompok nelayan dibentuk berdasarkan unit usaha penangkapan dengan jumlah anggota kelompok berkisar antara 10-30 orang.
77 Berdasarkan aspek kelembagaan permodalan, sumber modal (investasi dan operasional) berasal dari tengkulak, perusahaan perikanan dan modal sendiri (tabungan) dengan kisaran modal antara Rp 4.12 juta-Rp 75.00 juta (dihitung dalam bentuk uang tunai dan input produksi). Unit usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal terbesar yakni usaha Purse seine dan jumlah modal usaha terendah pada unit usaha Bubu. Status penggunaan modal usaha, antara 83.33%93.2% modal sendiri dan 6.8%-16.67% modal pinjaman. Mekanisme pengembalian modal pinjaman, baik yang berasal dari tengkulak maupun perusahaan perikanan yakni 2-15% hasil penjualan bersih diberikan pada pemodal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hubungan transaksi antara nelayan dengan lembaga pemasaran menyangkut dua hal, yakni interaksi dalam penjualan hasil tangkapan dan pengembalian modal pinjaman dari nelayan ke pemodal. 6.3. Kepemilikan Usaha Penangkapan Ikan Kepemilikan usaha perikanan oleh nelayan dianalogkan dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumahtangga pertanian.
Usaha perikanan yang
dimiliki menyangkut semua asset yang digunakan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, seperti : kepemilikan alat tangkap, kapal penangkap ikan, mesin pendorong, alat penunjang dan personil armada penangkapan. Aspek kepemilikan usaha penangkapan selanjutnya secara rinci disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah alat tangkap yang terbanyak digunakan setiap trip adalah Bubu (20 unit). Rata-rata jumlah Pancing dan Jaring Insang yang dioperasikan masing-masing 5 unit (pesisir) dan 3 unit (pulau), sedangkan untuk pengusahaan Bagan dan Purse seine masing-masing satu unit. Jumlah alat Pancing umumnya disesuaikan dengan jumlah personil melaut,
78 sementara kepemilikan Jaring Insang disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap. Lama kepemilikan alat tangkap tergantung pada umur ekonomis dan daya beli nelayan terhadap alat tangkap yang baru. Umur ekonomis alat tangkap yang paling rendah yakni alat tangkap Bubu (6 dan 12 bulan) dan tertinggi Pancing (5 tahun) yang dioperasikan nelayan di pulau. Sedangkan umur alat tangkap di daerah pesisir berkisar antara 3-4 tahun, atau dengan kata lain rata-rata umur alat tangkap yang dimiliki nelayan hampir mencapai umur ekonomis tertinggi yakni 5 tahun (Subani dan Barus, 1989). Tabel 12. Kepemilikan Usaha Penangkapan Ikan Rumahtangga Nelayan Menurut Wilayah Domisili di Kabupaten Morowali, Tahun 2003
No. 1.
2.
Rata-rata kepemilikan usaha penangkapan ikan Alat tangkap Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Armada Kapal Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Armada Kapal Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Mesin Pendorong Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Alat Penunjang Rumpon Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Lampu Pentromax Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Kompresor Jumlah (unit) Umur alat (tahun) Personil Kapal (orng) Juragan Anak Buah Kapal
3.
4.
5.
Usaha penangkapan ikan menurut wilayah domisili Jaring Bubu Pancing Bagan Purse seine Insang (1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
-
2 0.5
5 4
3 6
-
3 5
1 3
1 4
-
1 3
-
1 3
1 3
1 2
-
1 4
1 3
1 2
-
-
-
-
2 3
-
-
-
1 3
1 3
-
1 3
-
1 3
1 4
1 4
-
1 3
1 3
2 4
-
2 4
-
-
1 4
-
-
-
-
-
-
1 1
-
-
4 3
-
-
2 3
5 4
4 5
-
-
-
1 1
-
-
-
1 1
-
-
-
-
-
1 -
1 3
1 2
-
1 1
1 2
1 3
-
1 5
Keterangan : (1) = wilayah pesisir dan (2) = wilayah pulau
Kepemilikan kapal penangkap ikan dibagi menurut ukurannya, yakni kapal dengan ukuran
memiliki 2 unit kapal, kecuali pada unit usaha Bubu hanya satu unit kapal dengan
79 ukuran
Umur kapal berkisar antara 2-4 tahun (pulau) dan 3 tahun (pesisir)
untuk kapal yang berukuran
, sedangkan umur kapal yang berukuran
> 1 GT
mencapai 3 tahun baik nelayan di pesisir maupun pulau. Setiap unit kapal memiliki 1-2 unit mesin pendorong dengan umur pakai 3–4 tahun. Alat penunjang operasi penangkapan ikan pada setiap unit usaha terdiri atas 3 jenis yakni : (1) rumpon digunakan sebagai alat bantu pada alat tangkap Pancing dan Purse seine, (2) lampu Pentromax digunakan sebagai alat bantu pada Bagan dan Pancing, dan (3) alat Kompresor digunakan sebagai alat bantu pada Bubu dan Jaring Insang. Jumlah alat penunjang dan lama pakai alat yang dimiliki rata-rata 1 unit rumpon dengan rata-rata umur 1 tahun, 2–4 unit pentromax dengan kisaran umur 3-5 tahun dan 1 unit Kompresor yang telah dipakai selama 1 tahun. Jumlah personil melaut dalam satu unit usaha penangkapan ikan bervariasi antara 1-6 orang. Jumlah personil terbanyak yakni pada usaha Purse seine (6 orang) dan terkecil pada unit usaha Bubu (1 orang). Pembagian kerja selama operasional melaut hanya berlaku pada unit usaha penangkapan Pancing, Bagan dan Purse seine, sedangkan pada unit usaha Bubu dan Jaring insang tidak dilakukan (personil hanya satu orang). Juragan (nakhoda kapal) juga bertindak sebagai pemilik kapal dibantu Anak Buah Kapal (ABK). Perbedaan jumlah personil pada setiap unit usaha penangkapan sangat tergantung pada banyaknya alat tangkap dan tingkat kesulitan pengoperasian alat tangkap. Makin banyak jumlah, luasan dan sulit alat dioperasikan, makin banyak pula jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Hal ini terjadi pada alat tangkap Pancing, Bagan dan Purse seine. Jumlah ABK pada unit usaha Bagan di wilayah pulau lebih besar dibanding di wilayah pesisir. Hal ini terkait dengan ketersediaan jumlah tenaga kerja di pulau lebih besar dibanding di wilayah pesisir.
80 6.4. Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap Usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan manusia. Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Untuk lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap oleh Nelayan Menurut Wilayah Domisili di Perairan Kabupaten Morowali, Tahun 2003
No.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
Usaha penangkapan ikan menurut wilayah domisili Jaring Bubu Pancing Bagan Purse seine Insang (1)
1. 2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. 9.
Jumlah jam per trip Jumlah hari per trip Jumlah trip per bulan Musim Puncak (Oktb.-April) Musim Paceklik (Mei-Sept.) Jumlah trip per tahun Jarak lokasi penangkapan ikan (mil) Pesisir dan pulau Teluk Tolo Kedalaman Laut maximum (m) Total hasil tangkapan per tahun (kg) Musim Puncak Musim Paceklik Total hasil tangkapan (kg/thn) Jenis ikan tangkapan
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
-
7 1
33 3
40 3
-
9 1
12 1
12 1
-
12 1
-
14
6
7
-
16
15
16
-
12
-
5
2
12
-
8
6
8
-
6
-
128
52
140
-
152
135
140
-
102
-
3 -
10
2 10
-
4 -
2 -
5 -
-
5 -
-
8
500
500
-
5
100
130
-
125
-
8 323 756
20 751
17 729
6 670 598
36 138
3 229
4 051
-
39 984
4 441
-
31 254
6 135
- 9 079 Kerapu, Kakap dan Baronang
4 128
22 170
Tuna
- 7 267 34 483 40 189 - 44 112 Tuna, Kerapu, Kakap Teri, Layang dan Layang dan Kerapu, dan Baronang Kembung Kembung Kakap
Keterangan : (1) = wilayah pesisir dan (2) = wilayah pulau
Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah jam kerja melaut pada setiap trip melaut berkisar antara 7–40 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0–3.5 hari. Trip penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan hari melaut.
81 Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim yakni musim puncak dan paceklik.
Musim puncak (surplus ikan) umumnya
berlangsung selama 7 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha Jaring Insang yakni 16 trip per bulan (di pulau) dan trip terendah dilakukan oleh unit usaha Pancing yakni 6 trip per bulan (di pesisir) dan 7 trip (di pulau). Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung selama lima bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara 2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Pancing dan Bubu masing-masing 2 trip (di pesisir) dan 5 trip (di pulau) per bulan. Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja melaut.
Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama
menyebabkan jumlah trip per bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya. Keanekaragaman potensi sumberdaya hayati laut di pesisir dan kepulauan Kabupaten Morowali memberikan kekhasan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya. Kondisi ini berpengaruh pada banyaknya pilihan (opportunity) unit usaha yang akan dikelola oleh nelayan termasuk penggunaan jenis alat tangkap yang sifatnya heterogen dan keanekaragaman jenis ikan tangkapan.
Pada kondisi wilayah
perairan dengan kedalaman laut dan jangkauan yang berbeda pun memberikan variasi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya. Tabel 13 juga menunjukkan bahwa pada kedalaman di bawah 10 meter dengan jarak maksimum 4 mil, jenis alat tangkap dominan yang digunakan adalah Bubu dan Jaring Insang, sedangkan kedalaman laut di atas 10 meter dengan jarak wilayah operasi penangkapan ikan
82 maksimum 10 mil, jenis alat tangkap dominan yang digunakan adalah Pancing, Bagan dan Purse seine. Perbedaan kedalaman wilayah perairan, jarak dan jenis alat tangkap memberikan pengaruh pada keragaman jenis ikan yang diperoleh nelayan. Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau sama dengan 10 meter adalah kelompok ikan Demersal dan ikan Karang, sedangkan pada kedalaman lebih dari 10 meter, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok Pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan Demersal dan Karang. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap Purse seine dan Bagan yakni 44 112 kg dan 40 189 kg per tahun untuk jenis ikan Pelagis Kecil,
sedangkan
jumlah
tangkapan
terendah
diperoleh
nelayan
yang
mengoperasikan alat tangkap Jaring Insang yakni 7 267 kg per tahun untuk ikan Karang dan Demersal. Jumlah tangkapan ikan oleh nelayan di wilayah pulau lebih besar dibanding nelayan di wilayah pesisir. Tinggi rendahnya hasil tangkapan ikan, selain dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh jumlah trip melaut. Trip melaut dipengaruhi oleh harga ikan, hari kerja melaut, input produksi, sarana penangkapan, ketersediaan tenaga kerja melaut dan sarana penunjang lain. Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas
83 dan mobilitas melaut secara intensif. Pada musim paceklik misalnya, tenaga kerja melaut (terutama di wilayah pulau) umumnya memilih bekerja di daerah lain ataupun negara lain seperti Kepulauan Maluku, Jayapura, Tanjung Pinang dan Malaysia (sebagai TKI). Prasarana penunjang kegiatan melaut seperti pangkalan Bahan Bakar Minyak dan pabrik es balok saat ini belum tersedia.
Hal ini
merupakan salah satu kendala yang dihadapi nelayan di Kabupaten Morowali terutama di sentra produksi ikan seperti di Kecamatan Bungku Selatan, Menui Kepulauan dan Bungku Tengah. Pengadaan kedua jenis input umumnya diperoleh dari Propinsi Sulawesi Tenggara (kota Kendari), sehingga biaya melaut meningkat. 6.5. Pendapatan Bersih Nelayan Dilihat dari sisi produsen, penerimaan berarti jumlah penghasilan yang diperoleh dari menjual barang hasil produksinya atau dengan kata lain menghargakan produksi dengan suatu harga pasar tertentu. Balas jasa yang harus dibayarkan dari faktor-faktor produksi yang dipakai merupakan biaya operasional melaut. Selisih antara penerimaan dengan biaya operasional melaut merupakan keuntungan (surplus) yang diterima produsen dalam proses produksinya (Gunawan dan Lanang, 1994). Keuntungan yang diterima nelayan dalam perhitungan ini adalah pendapatan bersih yang diperoleh setiap tahun per unit usaha penangkapan ikan. Pendapatan bersih per unit usaha penangkapan di perairan Kabupaten Morowali disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah pendapatan bersih terbesar diperoleh nelayan dalam usaha perikanan tangkap Pancing, sedangkan jumlah pendapatan bersih terkecil diperoleh nelayan yang mengusahakan alat tangkap Bubu. Umumnya pendapatan bersih yang diperoleh nelayan di wilayah pulau dari usaha
84 penangkapan ikan lebih besar dibanding pendapatan bersih nelayan melaut di wilayah pesisir. Perbedaan besarnya pendapatan bersih yang diperoleh nelayan dipengaruhi oleh harga ikan, jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan dan ketersediaan tenaga kerja yang digunakan. Tabel 14. Pendapatan Bersih Nelayan Menurut Usaha Penangkapan Ikan dan Wilayah Domisili di Perairan Kabupaten Morowali, Tahun 2003 (juta) No. 1. 2.
3.
Usaha penangkapan ikan menurut wilayah domisili Jaring Bagan Purse seine Bubu Pancing Insang
Uraian Penerimaan (Rp/tahun) Biaya melaut (Rp/tahun) Biaya variabel Bagi hasil Biaya Tetap Pendapatan bersih (Rp)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
-
40.9
143.4
189.5
-
49.2
54.3
60.7
-
78.5
-
8.5
81.7
137.6
-
15.2
17.9
19.6
-
29.1
-
6.5 1.9
56.5 8.7 15.9
109.7 7.9 19.9
-
13.3 1.9
9.8 3.7 4.4
10.8 3.9 4.8
-
21.1 3.6 4.4
-
32.4
62.2
51.9
-
33.9
36.4
41.1
-
49.4
Keterangan : (1) = wilayah pesisir dan (2) = wilayah pulau
Jenis ikan tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap Pancing tergolong jenis ikan yang memiliki bobot dan ukuran yang relatif besar dengan harga jual yang tinggi (komoditi ekspor), seperti ikan Cakalang/Tuna, Kerapu dan Kakap. Masuknya investor domestik dalam usaha di sektor perikanan terutama berasal dari propinsi Sulawesi Tenggara merupakan suatu keuntungan bagi nelayan dalam menunjang usaha penangkapan ikan. Hasil tangkapan yang dijual umumnya dalam bentuk ikan hidup dan basah. Keunggulan kedua bentuk produk tersebut dapat dijual dengan harga yang relatif mahal (ikan Kerapu dan Tuna).
Rendahnya
keuntungan yang diperoleh nelayan di wilayah pesisir, oleh karena jenis ikan tangkapan terfokus pada ikan Tuna, sedangkan nelayan di wilayah pulau melakukan penganekaragaman hasil tangkapan seperti Tuna, Kerapu dan Kakap.