VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Eksternalitas Negatif yang Timbul dari Pencemaran Sungai Musi Akibat Kegiatan Industri Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan yang jatuh diatasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara kelaut. Sungai memiliki peran yang sangat penting bagi mahluk hidup, selain sebagai sumber utama air minum, juga sebagai jalur transportasi air dan bahkan menjadi sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat. Perkembangan industri di Sumatera Selatan dewasa ini cukup pesat. Peningkatan jumlah industri ini diikuti oleh penambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya (B3) dan masuk ke Sungai Musi. Perubahan lingkungan dalam hal ini pencemaran air sungai akibat kegiatan industri sangat dirasakan sebagian masyarakat yang masih memanfaatkan air Sungai Musi secara langsung. Hasil penelitian terhadap 70 responden dari wilayah hulu dan hilir menunjukkan bahwa seluruh responden (100 %) merasakan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan industri. Bentuk perubahan yang dirasakan bervariasi, pada Gambar 14 ditunjukkan persentase dari eksternalitas negatif pencemaran Sungai Musi akibat kegiatan industri. Sebanyak 56 responden (80%) menyatakan bahwa perubahan lingkungan yang dirasakan berupa perubahan kualitas dan kuantitas air. Pencemaran udara merupakan eksternalitas yang juga dirasakan responden yang tempat tinggalnya dekat dengan pabrik maupun industri. Sebanyak 14 persen responden menyatakan bahwa kualitas udara di sekitar tempat tinggal mereka
56
tidak bersih karena setiap kali pabrik membuang limbah cair maupun gas maka akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Sebesar enam persen responden menyatakan bahwa perubahan lingkungan yang dirasakan yaitu kehilangan keanekaragaman hayati. Mereka menyatakan seringkali menemukan ikan dan udang mati dan mengambang ke permukaan sungai, diduga penyebabnya adalah kualitas air Sungai Musi yang telah melampaui baku mutu yang mengakibatkan biota air tidak dapat bertahan hidup dalam air sungai tersebut.
Gambar 14. Eksternalitas Negatif dari Pencemaran Sungai Musi Akibat Kegiatan Industri. Beberapa responden merasa kesulitan untuk memperoleh air bersih. Sebagian kecil responden memang telah memperoleh air bersih dari penggunaan Instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PAM), namun sebagian besar responden lainnya hanya memanfaatkan air Sungai Musi yang biasanya diendapkan satu malam dan diberi tawas (penjernih air) agar keesokan harinya air yang ditampung tersebut sudah jernih dan dapat dikonsumsi. Selain itu untuk memperoleh air bersih responden biasanya membeli air dari tetangga yang telah menggunakan air PAM, membeli air galon dan menampung air hujan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 54 persen responden menyatakan bahwa untuk memperoleh
57
air bersih di daerah tempat tinggal mereka cukup sulit karena kuantitas air kurang, dan kualitas air buruk (kotor, berbau dan memiliki rasa). Sebanyak 29 persen responden menyatakan bahwa kuantitas dan kualitas air bersih disekitar tempat tinggal mereka cukup baik, hal ini karena perusahaan membangun tempat penampungan air bersih bagi masyarakat yang berada di dekat industri. Sebesar 11 persen responden menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk memperoleh air bersih/kuantitas air kurang tetapi kualitas air baik (tidak kotor, tidak berbau dan tidak memiliki rasa) dan sebesar enam persen responden menyatakan bahwa kuantitas air baik namun kualitas air buruk. Adapun persentase dampak perubahan kuantitas dan kualitas air yang dirasakan responden dapat dilihat pada Gambar 15
Gambar 15. Persentase Dampak Perubahan Kuantitas dan Kualitas Air yang Dirasakan Rumahtangga 6.2 Analisis Kesediaan Menerima Responden Terhadap Dana Kompensasi Akibat Pencemaran Sungai Musi Dalam skenario bentuk kompensasi yang ditawarkan dari industri sebagai ganti rugi atas dampak pencemaran
yang ditimbulkan yaitu perbaikan
Infrastruktur (Jalan, Jembatan, Listrik.dll), pembangunan klinik kesehatan, penyediaan alat penyaring air bersih dan pemberian dana Kompensasi. Sebanyak 60 responden (86 %) bersedia menerima dana kompensasi dan 10 responden (14
58
%) tidak bersedia menerima dana kompensasi. Persentase kesediaan menerima dana kompensasi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Persentase Kesediaan Rumahtangga dalam Menerima Dana Kompensasi Alokasi dana kompensasi yang diharapkan oleh responden akan dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Sebanyak 40 responden (57%) menyatakan akan mengalokasikan dana kompensasi yang diterima untuk biaya kesehatan. Sebanyak 25 responden (22 %) menyatakan akan memanfaatkan dana kompensasi untuk biaya tambahan untuk membeli air bersih yang biasanya di peroleh dari tetangga yang menggunakan PAM dan dari pembelian air galon. Sebanyak 10 responden (14 %) menyatakan akan menggunakan dana kompensasi untuk biaya tambahan pembelian alat penyaring air atau pemasangan air ledeng, sedangkan tujuh persen responden akan mengalokasikan untuk biaya lainnya seperti tambahan biaya hidup, biaya
pendidikan anak, dan tambahan modal
usaha. Sebaran rencana alokasi penggunaan dana kompensasi oleh responden apabila program tersebut memang terlaksana dapat dilihat pada Gambar 17.
59
Gambar 17. Rencana Alokasi Penggunaan Dana Kompensasi oleh Rumahtangga Sebanyak 10 orang responden yang tidak bersedia untuk menerima dana kompensasi (14 %) menyatakan bahwa mereka tidak memilih dana kompensasi sebagai ganti rugi karena mereka tidak yakin bahwa perusahaan akan pernah memberikan dana kompensasi tersebut karena sebelumnya masyarakat sudah sangat sering melakukan demo tuntutan ganti rugi atas pencemaran, namun tidak dikabulkan oleh perusahaan. Responden mengharapkan bentuk kompensasi berupa perbaikan Infrastruktur (Jalan, Jembatan, Listrik.dll), pembangunan klinik kesehatan dan penyediaan alat penyaring air bersih. Sebanyak 60 persen responden menginginkan perusahaan menyediakan alat penyaring air bersih bagi setiap rumah tangga sebagai bentuk kompensasi atas pencemaran yang dirasakan. Sebanyak 30 persen responden menginginkan pembangunan klinik kesehatan di daerah tempat tinggalnya karena mereka merasakan kesehatan terganggu akibat konsumsi air sungai yang telah tercemar industri, dan hanya 10 persen responden saja yang menginginkan kompensasi berupa perbaikan infrastruktur. Sebaran keinginan bentuk kompensasi responden disajikan pada Gambar 18.
60
Gambar 18. Sebaran Keinginan Bentuk Kompensasi Rumahtangga Selain Dana Berdasarkan analisis regresi logistik diperoleh nilai peluang potensial dan aktual dari jumlah responden yang bersedia dan tidak bersedia menerima dana kompensasi. Kondisi potensial ditunjukkan dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual ditunjukkan dengan nilai observasi (observation). Tabel 6 menunjukkan nilai observasi dan harapan terhadap peluang kesediaan responden. Tabel 6. Nilai Observasi dan Harapan Terhadap Peluang Kesediaan Rumahtangga Observasi
Kesediaan
Tidak Bersedia
Tidak Bersedia Bersedia Total
Frekuensi (orang) 5
Persentase (%) 0,5
Harapan Kesediaan Bersedia Frekuensi (orang) 5
3 0,05 57 8 0,11 62 Nilai Keseluruhan Terkoreksi
Total
Koreksi (persen)
Persentase (%) 0,5
10
50,0
0,95 0,89
60 70
95,0 88,6
Sumber : Data Primer Diolah, 2012
Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai observasi dan harapan terhadap peluang kesediaan responden dalam menerima dana kompensasi akibat eksternalitas negatif secara keseluruhan. Terdapat perbedaan antara nilai keseluruhan terkoreksi sebesar 88,6 persen dan diduga terdapat dua responden yang menjawab dengan ragu-ragu dalam menentukan pilihan. Hasil hosmer and lemeshow test
61
menunjukkan bahwa nilai p 0,992 lebih besar dari alpha 0,2, yang berarti bahwa data empiris cocok dengan model (Lampiran 6). Model yang dihasilkan yaitu : Li = 21,246 + 0,001 BPAB + 0,001 BKSH Tabel 7. Hasil Logit Kesediaan Rumahtangga Menerima dana kompensasi pencemaran Sungai Musi Step 1
a
B
S.E.
Constant Usia Dburuh(1)
21.246 -.040 -1.045
Dnlyn (1) Dwrsta (1)
df
Sig.
Exp(B)
2.268E4 .000 .053 .566 2.645 .156
1 1 1
.999 .452 .693
1.687E9 .961 .352
-19.091
2.268E4 .000
1
.999
.000
1.086
2.415
.202
1
.653
2.962
.413
3
.938
PDK
Wald
PDK (1) PDK (2) PDK (3) PDPT
21.112
1.051E4 .000
1
.998
1.475E9
1.160
1.829
.403
1
.526
3.190
.833
1.866
.199
1
.655
2.300
.000
.000
.845
1
.358
1.000
JTG LT JTT KWA
-.250 -.017 .001
.364 .050 .001
.471 .111 1.072
1 1 1
.493 .739 .300
.779 .983 1.001
2.147
3
.542
KWA(1) KWA (2) KWA(3)
-.671 -1.505 -3.403
1.949 1.897 2.721
.118 .629 1.563
1 1 1
.511 .222 .033
BPAB
.001
.000
2.628
1
.731 .428 .211 .105*
BKSH
.001
.000
1.997
1
.158**
1.000
Hosmer and Lemeshow Test
99,2 %
Sumber
: Data Primer Diolah, 2012
Keterangan
:
* **
1.000
nyata pada taraf α = 15% nyata pada taraf α = 20%
Berdasarkan Tabel 7 diketahui variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap model pada alpha 15% dan 20%, yaitu variabel biaya pengeluaran air bersih dan biaya kesehatan. Variabel biaya pengeluaran air bersih memiliki nilai P-value 0,105 yang artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap model pada taraf α = 0,15 (15%).
62
Koefisien variabel ini bertanda positif (+) berarti
semakin tinggi biaya
pengeluaran air bersih responden, maka peluang kesediaan menerima dana kompensasi akibat eksternalitas negatif yang timbul semakin besar. Nilai Exp(B) variabel ini bernilai 1,000 artinya peluang kesediaan menerima responden dengan biaya pengeluaran air bersih yang lebih tinggi, satu kali lebih besar daripada responden dengan biaya pengeluaran air bersih yang lebih rendah. Variabel biaya kesehatan memiliki nilai P-value 0,158 yang artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap model pada taraf α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini bertanda positif (+) berarti semakin tinggi biaya kesehatan responden, maka peluang kesediaan menerima dana kompensasi akibat eksternalitas negatif yang timbul juga semakin besar. Nilai Exp (B) variabel ini bernilai 1,000 artinya peluang kesediaan menerima responden dengan biaya kesehatan yang lebih tinggi, satu kali lebih besar daripada responden dengan biaya kesehatan yang lebih rendah. 6.3. Analisis Willingness to Accept (WTA)
Responden Terhadap dana
Kompensasi Akibat Eksternalitas Negatif Pencemaran Sungai Musi Analisis Willingness to Accept (WTA) dari masyarakat yang merasakan eksternalitas negatif dari pencemaran Sungai Musi akibat kegiatan industri di Kota Palembang dilakukan dengan cara menanyakan kepada 70 orang responden mengenai kesediaan mereka untuk menerima dana kompensasi. Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis WTA tersebut. Hasil pelaksanaan langkah kerja pada metode CVM adalah sebagai berikut :
63
1. Membangun Pasar Hipotetis Seluruh responden diberikan skenario bahwa industri di sekitar Sungai Musi akan memberlakukan kebijakan baru yaitu pemberian dana kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak pencemaran. Kompensasi tersebut sebagai ganti rugi atas penurunan kualitas air Sungai Musi karena kegiatan industri yang menghasilkan limbah dan zat buangan yang dilepas ke sungai. Dana kompensasi ini mencerminkan besarnya nilai kerugian yang dirasakan dan kesediaan menerima penurunan kualitas lingkungan. 2. Memperoleh Nilai WTA Survei dilakukan dengan wawancara langsung, dan responden ditanya nilai minimum WTA dengan metode kartu pembayaran (Payment Card). Responden menginginkan nilai yang bervariasi mulai dari Rp.150.000,00 hingga Rp.250.000,00. Starting point nilai WTA ditentukan berdasarkan biaya kesehatan. 3. Menghitung Dugaan Nilai Rata-rata WTA Dugaan nilai rataan WTA (estimating mean WTA) responden dihitung berdasarkan distribusi WTA responden. Perhitungan WTA rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 8. Dugaan nilai rataan WTA rumahtangga dari perhitungan adalah sebesar Rp. 210.333,3 per bulan per rumahtangga. Nilai tersebut mencerminkan besarnya kerugian setiap individu yang terkena eksternalitas atas pencemaran Sungai Musi akibat kegiatan industri.
64
Tabel 8. Distribusi WTA Rumahtangga di Sungai Musi Responden No Nilai WTA Frekuensi Frekuensi (Rp/bulan/RT) (Orang) Relatif (%) 1 150000 5 0,08 2 165000 7 0,12 3 180000 6 0,10 4 195000 5 0,08 5 210000 8 0,13 6 225000 10 0,17 7 240000 2 0,03 8 250000 17 0,28 60 1,00 Total
Mean WTA (Rp) 12500 19250 18000 16250 28000 37500 8000 70833,3 210333,3
Sumber : Data Primer Diolah, 2012
4. Menduga Kurva Penawaran ( Bid Curve ) Berdasarkan nilai WTA responden terhadap dana kompensasi yang diinginkan sebagai ganti rugi atas pencemaran Sungai Musi akan dibentuk kurva WTA. Kurva ini menggambarkan hubungan antara tingkat WTA yang diinginkan (dalam Rp/bulan/RT) dengan jumlah responden yang bersedia menerima pada tingkat WTA tersebut (orang). Diperoleh kurva tawaran WTA yang dapat dilihat pada Gambar 19. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai WTA yang ditawarkan, maka akan semakin banyak responden yang bersedia menerima dana kompensasi.
Sumber : Data Primer Diolah, 2012
Gambar 19. Dugaan Kurva Tawaran WTA Rumahtangga
65
5. Menentukan Total WTA (Agregating Data) Hasil perhitungan distribusi besaran WTA dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA responden adalah sebesar Rp.13.325.000,00 per bulan. Nilai total WTA masyarakat diduga sebesar Rp.17.804.293.178,00 per bulan, yang diperoleh dari hasil perkalian jumlah rumahtangga di tiga kecamatan yang menjadi lokasi penelitian dengan rata-rata WTA rumahtangga. Nilai tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh industri dalam pengambilan keputusan pada penyelesaian eksternalitas negatif di sepanjang Sungai Musi yang diduga akan ditanggung oleh kurang lebih 24 industri yang berada di pinggiran Sungai Musi. Tabel 9. Total WTA Rumahtangga Responden No
Nilai WTA (Rp/bulan/RT)
1 2 3 4 5 6 7 8 Total
150000 165000 180000 195000 210000 225000 240000 250000
Frekuensi (Orang) 5 7 6 5 8 10 2 17 60
Persentase (%) 0,08 0,12 0,1 0,08 0,13 0,17 0,03 0,28 1,00
Jumlah WTA (Rp) 750000 1155000 1080000 1680000 1680000 2250000 480000 4250000 13 325 000
Sumber : Data Primer Diolah, 2012
6. Evaluasi Pelaksanaan CVM Hasil analisis regresi berganda yang dilakukan diperoleh nilai R-adjusted square sebesar 30,6% (Tabel 10). Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam
Hanley dan Spash (1993) penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 hingga 15%. Hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenaran dan keandalannya (reliable).
66
6.4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTA Responden Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTA dilakukan dengan teknik regresi berganda. Fungsi Willingness to Accept (WTA) masyarakat yang terkena eksternalitas
negatif dari pencemaran Sungai Musi akibat kegiatan industri
diamati dengan memasukkan variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable) yang diduga berpengaruh. Hasil analisis nilai WTA responden dapat dilihat pada (Tabel 10). Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai R-adjusted square sebesar 30,6%, nilai tersebut relatif baik yang berarti bahwa keragaman WTA responden sebesar 30,6% dapat dijelaskan oleh model, sisanya 69,4% dijelaskan oleh variabel diluar model. Nilai F hitung sebesar 3,535 dengan nilai P-value uji F sebesar 0,001 (Lampiran 7) menunjukkan variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata pada taraf nyata α 15 persen. Model regresi linear berganda harus memenuhi asumsi, dimana tidak ada masalah multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan uji asumsi normalitas. Hasil uji tersebut adalah disajikan sebagai berikut : 1. Uji Multikolinearitas Pengujian terhadap multicollinearity didasarkan pada nilai VIF pada model. Apabila Varian Inflation Factor (VIF) < 10 maka tidak ada masalah multikolinear. Nilai VIF pada Tabel 10 terlihat bahwa masing-masing variabel bebas memiliki nilai yang kurang dari sepuluh. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi pelanggaran multikolinearitas.
67
2. Uji Autokorelasi Pengujian terhadap autokorelasi
didasarkan dengan menggunakan uji
Durbin-Watson (Tabel 10). Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai statistik DW 2,360. Nilai tersebut berada diantara 1,55 dan 2,46 maka dari nilai DW tersebut menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus,2004). 3. Uji Heteroskedastisitas Dari grafik scatterplots Gambar 20 terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola apapun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.
Sumber : Data Primer Diolah, 2012
Gambar 20. Scatterplot pada WTA Responden 4. Uji Asumsi Normalitas Pengujian dengan SPSS berdasarkan pada uji Kolmogorov–Smirnov. Pada Tabel 10 diperoleh taraf signifikansi 0,292 dengan demikian, data residual berdistribusi normal pada taraf signifikansi 0,15 (α 15%). Dapat disimpulkan bahwa Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha. Hal ini menunjukkan bahwa
68
distribusi data dinyatakan memenuhi asumsi normalitas atau galat menyebar normal. Asumsi-asumsi analisis regresi terpenuhi, hal ini berarti bahwa model tersebut layak untuk digunakan. Model yang dihasilkan dalam analisis ini adalah : WTA
=
324411,152 – 1781,506 US – 90044,732 Dwrsta – 26520,738 PDK - 0,037 PDPT + 18,870 JTT + 0,617 BPAB + 0,343 BKSH + εi
Tabel 10. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda Terhadap Besarnya Nilai WTA Rumahtangga Variabel
B
Std. Error
T
Sig.
Tolerance
VIF
(Constant)
324411.152
75056.569
4.322
.000
US
-1781.506
823.717
-2.163
.035**
.634
1.578
Dburuh
-61761.639
49228.749
-1.255
.215
.109
9.197
Dnlyn
10540.179
59719.441
.176
.861
.441
2.267
Dwrsta
-90044.732
47881.483
-1.881
.065***
.113
8.874
PDK
-26520.738
12179.768
-2.177
.034**
.498
2.008
PDPT
-.037
.014
-2.636
.011**
.534
1.872
JTG
876.330
5320.255
.165
.870
.703
1.423
LT
-220.044
665.351
-.331
.742
.614
1.628
JTT
18.870
12.225
1.544
.128****
.665
1.504
KWA
-2801.378
8146.757
-.344
.732
.560
1.785
BPAB
.617
.216
2.858
.006*
.614
1.629
BKSH
.343
.104
3.288
.002*
.734
1.362
a. Dependent Variable: DanaKompensasi R- square R- square adj. Durbin-Watson Asymp. Sig. (2-tailed)
42,7 % 30,6 % 2,366 0,292
Sumber
: Data Primer Diolah, 2012
Keterangan
:
* nyata pada taraf α = 1% ** nyata pada taraf α = 5% *** nyata pada taraf α = 10% ****nyata pada taraf α = 15%
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap model pada alpha 5%, 10%, dan 15% yaitu usia, dummy
69
wiraswasta, tingkat pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal, biaya tambahan pengeluaran air bersih, dan biaya kesehatan. Variabel usia memiliki nilai P-value 0,035 yang artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap model pada taraf α = 0,05 (5%). Koefisien variabel ini bertanda negatif (-) dengan nilai 1781,506. Hal ini menggambarkan bahwa jika usia responden meningkat satu satuan (tahun), maka diduga besarnya rata-rata nilai WTA responden akan menurun sebesar 1781,506 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, dikarenakan responden dengan usia yang semakin tua memilih nilai kompensasi dengan pertimbangan terlebih dahulu dan dipengaruhi oleh tekanan akan kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga bersedia memilih nilai yang rendah daripada tidak menerima kompensasi sama sekali. Variabel dummy wiraswasta memiliki nilai P-value 0,065. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,10 (10%). Koefisien variabel ini bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 90044,732. Tanda negatif (-) menunjukkan bahwa responden yang bekerja sebagai wiraswasta menginginkan nilai WTA yang lebih rendah. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, diduga karena responden wiraswasta yang kebanyakan berdagang dan berjualan makanan tidak merasa pembeli semakin berkurang karena pencemaran tersebut. Responden berpendapat bahwa dana kompensasi merupakan dana imbangan yang akan mereka terima jika mereka tidak dapat bekerja karena eksternalitas negatif yang timbul dari pencemaran Sungai Musi. Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai P-value 0,034. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,05 (5%). Koefisien variabel ini
70
adalah bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 26520,738. Tanda negatif menunjukkan bahwa jika tingkat pendidikan meningkat sebesar satu satuan (tingkatan pendidikan), maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar 26520,738 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap besarnya nilai WTA responden. Hal ini dikarenakan responden dengan pendidikan yang semakin tinggi cenderung mempertimbangkan dan mengkalkulasi terlebih dahulu nilai WTA yang diharapkan, sehingga nilai yang diinginkan tidak asal pilih atau sembarangan. Sementara responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah biasanya dengan spontanitas memilih nilai WTA yang tinggi. Variabel pendapatan memiliki nilai P-value 0,011. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,05 (5%). Koefisien variabel ini adalah bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 0,037. Tanda negatif menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendapatan yang tinggi menginginkan nilai WTA yang lebih rendah. Jika tingkat pendapatan meningkat sebesar satu satuan (Rp)
maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar 0,037 satuan
(rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana tingkat pendapatan berpengaruh negatif terhadap besarnya nilai WTA responden. Hal ini dikarenakan responden dengan tingkat pendapatan yang tinggi akan merasa semakin berkecukupan untuk mengatasi dampak pencemaran sehingga nilai WTA yang diinginkan rendah. Variabel jarak tempat tinggal memiliki nilai P-value 0,128. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,15 (15%). Koefisien variabel ini adalah bertanda positif (+) yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak tempat
71
tinggal dari industri, maka besarnya nilai WTA yang diharapkan responden akan semakin tinggi. Nilai koefisien sebesar 18,870 yang artinya bahwa jika jarak tempat tinggal meningkat sebesar satu satuan (meter), maka diduga rata-rata nilai WTA akan meningkat sebesar 18,870 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana jarak tempat tinggal yang semakin dekat dengan sumber pencemaran diduga akan membuat nilai WTA yang diinginkan akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan pencemaran industri terjadi di sepanjang Sungai Musi, sehingga responden dengan jarak tempat tinggal yang jauh juga turut merasakan dampak dari pencemaran industri, karena sifat air sungai yang mengalir. Hal ini juga disebabkan oleh adanya bantuan sembako setiap tahunnya dari industri bagi warga disekitarnya, sehingga responden dengan jarak tempat tinggal yang dekat dengan industri terkadang merasa cukup dengan bantuan tersebut, sehingga nilai WTA yang diinginkannya rendah. Variabel biaya pengeluaran air bersih memiliki nilai nilai P-value 0,006. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,01 (1%). Koefisien variabel ini adalah bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 0,617 yang menunjukkan bahwa semakin besar biaya pengeluaran air bersih, maka besarnya nilai WTA yang diharapkan responden akan semakin tinggi. Peningkatan satu satuan biaya tambahan pengeluaran untuk memperoleh air bersih (Rp), maka diduga akan meningkatkan rata-rata WTA sebesar 0,617 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel biaya kesehatan memiliki nilai nilai P-value 0,002. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,01 (1%). Koefisien variabel ini adalah bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 0,343 yang menunjukkan bahwa
72
semakin besar biaya kesehatan, maka besarnya nilai WTA yang diharapkan responden akan semakin tinggi. Peningkatan satu satuan biaya kesehatan (Rp), maka diduga akan meningkatkan rata-rata WTA sebesar 0,343 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel pekerjaan buruh memiliki nilai P-value 0,215. Variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap model pada taraf nyata α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini adalah bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 61761,639. Tanda negatif (-) menunjukkan bahwa responden yang bekerja sebagai buruh menginginkan nilai WTA yang lebih rendah.
Hal ini tidak sesuai dengan
hipotesis awal. Responden berpendapat bahwa dana kompensasi merupakan dana imbangan yang akan mereka terima jika mereka tidak dapat bekerja karena eksternalitas negatif yang timbul dari pencemaran Sungai Musi. Apabila responden bekerja sebagai buruh, maka diduga besarnya rata-rata nilai WTA responden akan menurun sebesar 61761,639 (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Variabel pekerjaan nelayan memiliki nilai P-value 0,861. Variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap model pada taraf nyata α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini adalah bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 10540,179. Tanda positif (+) menunjukkan bahwa responden yang bekerja sebagai nelayan menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Apabila responden bekerja sebagai nelayan, maka diduga besarnya rata-rata nilai WTA responden akan meningkat sebesar 10540,179 (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini disebabkan karena pekerjaan nelayan yang berkaitan langsung dengan air Sungai Musi, pencemaran mengakibatkan hasil tangkapan
73
nelayan menurun. Oleh karena itu mereka menginginkan nilai WTA yang tinggi sebagai biaya imbangan atas penurunan hasil tangkapan mereka. Variabel jumlah tanggungan memiliki nilai P-value 0,870 yang artinya variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap model pada taraf α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini bertanda positif (+) dengan nilai 876,330. Hal ini menggambarkan bahwa jika jumlah tanggungan meningkat satu satuan (orang), maka diduga besarnya rata-rata nilai WTA responden akan meningkat sebesar 876,330 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Berdasarkan hasil wawancara langsung, responden dengan jumlah tanggungan yang tinggi memiliki kebutuhan yang tinggi pula sehingga mereka mengharapkan nilai kompensasi yang tinggi. Variabel lama tinggal memiliki nilai P-value 0,742. Variabel tersebut tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini adalah bertanda negatif (-) yang menunjukkan bahwa semakin lama tinggal di pinggiran Sungai Musi, maka besarnya nilai WTA yang diharapkan responden akan semakin rendah. Nilai koefisien sebesar 220,044 yang artinya bahwa jika lama tinggal meningkat sebesar satu satuan (tahun), maka diduga rata-rata nilai WTA akan menurun sebesar 220,044 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal. Hal ini dikarenakan responden yang tinggal sudah cukup lama di pinggiran Sungai Musi telah terbiasa dengan kondisi air yang tercemar dan telah terbiasa dengan udara yang tidak nyaman dari limbah industri. Variabel kualitas dan kuantitas air memiliki nilai P-value 0,732 yang artinya variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap model pada taraf α = 0,2 (20%). Koefisien variabel ini bertanda negatif (-) dengan nilai 2801,378. Hal ini
74
menggambarkan bahwa jika kualitas dan kuantitas air semakin baik, maka diduga besarnya rata-rata nilai WTA responden akan menurun sebesar 2801,378 satuan (rupiah) dengan asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel buruh, nelayan, jumlah tanggungan, lama tinggal, kualitas dan kuantitas air tidak berpengaruh nyata dalam model ini. Nilai P-value masingmasing variabel (Tabel 10) lebih besar dari taraf α = 0,2 (20%). Variabel-variabel tersebut hanya menyebabkan perubahan kecil dibandingkan dengan variabel yang berpengaruh signifikan. Hal ini terjadi karena nilai dalam model kurang beragam.
75