VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Deskripsi Profil Industri Tahu Profil industri yang dikaji dalam penelitian ini adalah industri tahu yang
berada di Desa Kalisari. Deskripsi profil industri tahu dalam penelitian ini meliputi aspek proses industri tahu, jenis limbah yang dihasilkan dari produksi tahu, pengolahan limbah padat dan cair tahu, teknologi pengolahan yang diterapkan, serta dampak dari limbah tahu. 6.1.1 Deskripsi Proses Produksi Tahu Industri tahu yang dikelola pada umumnya merupakan industri skala rumah tangga. Cara pembuatan tahu pada masing-masing rumah tangga sedikit memiliki perbedaan, namun secara garis besar sama yaitu terdiri dari tahapan pembuatan susu kedelai dan proses koagulasi sampai terbentuknya tahu (Sarwono dan Saragih, 2003). Secara umum proses produksi tahu pada prinsipnya adalah mengekstrak protein kedelai dengan air dan menggumpalkannya dengan asam atau garamgaram tertentu. Penggumpal yang biasanya digunakan oleh para produsen tahu adalah whey dari proses sebelumnya yang sudah asam. Penggumpal ini digunakan karena selain mudah dan murah juga menghasilkan tekstur tahu yang sesuai dengan keinginan konsumen (Indrasti dan Fauzi, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tahapan-tahapan dari proses produksi tahu yaitu tahap pencucian dan perendaman kedelai, penggilingan, pemasakan, ekstraksi susu kedelai, penggumpalan, pengendapan, pencetakan, serta pengepresan. Tahap pencucian dan perendaman kedelai dimaksudkan agar kotorankotoran yang ada pada kedelai hilang, seperti batu, kerikil, maupun pasir. Tahap
penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai dimaksudkan untuk memperkecil ukuran partikel, sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan mempermudah ekstraksi susu kedelai. Tahap pemasakan bubur kedelai yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh ekstrak protein yang optimum. Ekstraksi sendiri dilakukan melalui tahapan penyaringan bubur kedelai sehingga diperoleh susu kedelai dan dari penyaringan akan tersisa ampas tahu. Susu kedelai yang telah diperoleh selanjutnya diendapkan dengan menambahkan koagulan untuk mendapatkan protein susu. Selanjutnya gumpalan yang terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam cetakan yang dilapisi oleh kain blancu berwarna putih kemudian dipress hingga terbentuk tahu cetak (Indrasti dan Fauzi, 2009). Secara ringkas, proses pembuatan tahu dapat dilihat pada diagram alir berkut ini.
57
Kedelai 40 kg
Perendaman (3-6 jam, 120 liter ) Penirisan
Air Panas (50700C,40 liter)
Penggilingan Bubur Kedelai
Air (80 liter) Pemasakan (100OC, 30 menit) Penyaringan Air 440 liter
Ampas tahu
Ekstrak susu kedelai Penggumpalan Pemisahan bagian cairan
Koagulan 0,8 kg Curd Whey Pencetakan dan pengepresan
Pengirisan
Tahu (2340 potong)*
(*) : Tahu potong ukuran 5 x 5 cm Sumber : Data Sekunder, diolah (2011)
Gambar 17. Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu 6.1.2. Identifikasi Jenis Limbah Tahu Jenis limbah tahu yang berhasil diamati dari para pengrajin tahu di Desa Kalisari terdiri dari dua jenis, yaitu limbah padat dan limbah cair1. Limbah padat 1
Hasil wawancara dengan pengrajin tahu, Bapak Rislam, di Desa Kalisari tanggal 10 Februari 2011
58
berupa ampas tahu yang diperoleh dari proses penyaringan bubur kedelai, sedangkan limbah cair tahu diperoleh dari proses pencucian, perendaman, pemasakan, dan penyaringan. Limbah cair yang berasal dari proses pencucian dan perendaman ini mengandung komponen organik yang apabila dibiarkan akan menyebabkan air menjadi hitam dan berbau busuk. Limbah cair yang dihasilkan dari proses pemasakan berupa air yang tercecer saat pengadukan, sedangkan limbah cair yang berasal dari proses penyaringan biasa disebut dengan whey. Whey merupakan cairan basi yang apabila dibiarkan akan menimbulkan pencemaran lingkungan apabila whey tersebut dibuang ke sungai (Indrasti dan Fauzi, 2009). Secara ringkas, komposisi limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu per 40 kg kedelai dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Komposisi Limbah yang Dihasilkan dari Proses Produksi Tahu Tahapan
Limbah Cair
Limbah Padat
Pencucian
400 liter
-
Perendaman
40 liter
-
Sanitasi
800 liter
56 kg
Total
1240 liter
56 kg
Sumber: Data Sekunder, diolah (2011)
6.1.3. Pengolahan Limbah Cair Tahu Pengolahan limbah cair tahu di Desa Kalisari dilakukan melalui pengolahan limbah cair menjadi biogas. Terdapat empat unit biogas yang ada di Desa Kalisari, dengan kapasitas daya tampung limbah cair masing sebanyak 20 m3, 5 m3, dan dua unit dengan masing-masing kapasitas daya tampung limbah sebesar 3500 liter. Untuk biogas dengan kapasitas 20 m3 mampu menampung limbah cair yang berasal dari lima belas pengrajin tahu, biogas dengan kapasitas 5 m3 mampu menampung limbah cair yang berasal dari tujuh pengrajin tahu, dan
59
dua unit lainnya masing-masing mampu menampung limbah cair yang berasal dari dua pengrajin tahu2. Teknologi dalam pengolahan limbah cair dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu sistem pengolahan aerobik untuk limbah cair yang memiliki kadar COD kurang dari 8000 ppm dan sistem pengolahan anaerobik untuk limbah cair yang memiliki kadar COD lebih dari 8000 ppm, oleh karena limbah cair tahu memilki kadar COD lebih dari 8000 ppm maka pengolahannya menggunakan sistem anaerobik (Kemenristek, 2009). Pengolahan anaerobik adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengonversi bahan organik dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen) menjadi metana, karbon dioksida, sel mikroba, dan senyawa organik lainnya Awalnya proses anaerobik digunakan untuk mengolah limbah peternakan, tetapi saat ini juga banyak diterapkan untuk mengolah limbah cair dengan konsentrasi bahan organik tinggi. Berikut tahapan proses yang terjadi dalam pengolahan limbah cair secara anaerobik.
2
Hasil wawancara dengan Kepala Desa Kalisari, Bapak H. Wibowo, di Desa Kalisari tanggal 7 Februari 2011
60
. Sumber: Kemenristek (2009)
Gambar 18. Proses Pengolahan Limbah Anaerob Terdapat dua jenis reaktor dalam pengolahan limbah cair, yaitu Totallymix Reaktor (untuk limbah slury), total solid antara 8 – 12% digunakan untuk limbah yang berbentuk solid seperti kotoran ternak dan Fixed Bed Reaktor atau Reaktor Unggun Tetap (untuk limbah cair), total solid kurang dari 8% yang dapat digunakan untuk limbah yang berbentuk cair. Biogas yang digunakan di Desa Kalisari merupakan jenis Fixed Bed Reaktor karena limbah yang diolah merupakan limbah cair. Terdapat beberapa keunggulan dari pengolahan limbah cair yang menggunakan teknologi Fixed Bed Reaktor diantaranya dalam prosesnya menghasilkan energi yang berbentuk biogas, menghasilkan sedikit lumpur, proses lebih stabil, tidak memerlukan lahan yang besar, serta biaya perawatan dan operasional yang murah. (Kemenristek, 2009).
61
6.1.4. Pengolahan Limbah Padat Tahu Limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi tahu di Desa Kalisari berupa ampas tahu. Ampas tahu yang dihasilkan dari proses produksi tahu ini secara umum sebanding dengan jumlah kedelai yang digunakan, misalkan apabila proses produksi tahu menggunakan 10 kg kedelai maka ampas tahu yang dihasilkan juga sebanyak 10 kg. Hal ini disebabkan karena ampas tahu yang ada mengandung air. Dalam prakteknya berat ampas tahu bergantung pada jumlah air yang dikandungnya, semakin banyak air yang dikeluarkan, maka semakin ringan pula ampas tahu yang dihasilkan3. Limbah tahu yang dihasilkan apabila dibiarkan saja akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan jelas dapat mencemari lingkungan. Pengolahan ampas tahu yang sudah dilakukan oleh pengrajin tahu di Desa Kalisari yaitu dengan mengolahnya menjadi pakan ternak dan keripik ampas tahu. Pakan ternak yang dihasilkan diperoleh dari proses pengeringan, sedangkan keripik ampas tahu yang dihasilan diperoleh dari proses perebusan, pemberian bumbu, dan pengeringan. Pengolahan limbah padat menjadi ampas tahu sudah dilakukan oleh seluruh responden karena relatif mudah dilakukan serta dapat menghasilkan tambahan penerimaan4. 6.1.5. Dampak Limbah Tahu Industri tahu menghasilkan produk sampingan berupa limbah cair dan limbah padat.
Limbah yang dihasilkan oleh industri tahu dapat memberikan
dampak yang buruk bagi lingkungan lingkungan dan kesehatan. Limbah padat 3
Hasil wawancara dengan pengrajin tahu, Bapak Rislam, di Desa Kalisari tanggal 10 Februari 2011 4 Hasil wawancara denagn pengrajin tahu, Bapak Junedi, di Desa Kalisari tanggal 10 Februari 2011
62
yang dihasilkan dari industri tahu adalah ampas tahu yang sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh pengrajin tahu sebagai pakan ternak maupun sebagai bahan baku bagi industri lain. Apabila ampas tahu ini tidak dimanfaatkan oleh pengrajin tahu dan langsung dibuang ke lingkungan tanpa melakukan pengolahan dapat memberikan dampak buruk bagi lingkungan seperti bau busuk yang dihasilkan oleh kandungan bahan organik yang terdapat dalam ampas tahu (Fauzi dan Indrasti, 2009). Sebagian besar pengrajin tahu masih belum melakukan pengolahan terhadap limbah cair yang mereka hasilkan. Alasan biaya yang mahal, dan teknologi yang sulit diterapkan menjadi hambatan utama para pengrajin tahu untuk melakukan pengolahan terhadap limbah cair yang mereka hasilkan. Akibatnya sebagian besar para pengrajin tahu membuang limbah cair hasil proses produksi tahu ke sungai atau ke badan air lainnya secara langsung tanpa proses pengolahan. Limbah cair yang dihasilkan mengandung banyak zat organik yang dapat dijadikan sebagai tempat berkembangnya mikroba yang akan mencemari lingkungan sekitar. Senyawa organik apabila berada pada konsenterasi tinggi akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan perairan. Kandungan fosfor, nitrogen, dan sulfur serta unsur hara lainnya akan mempercepat pertumbuhan tumbuhan air. Kondisi demikian lambat laun akan menyebabkan kematian biota perairan (Sandriati, 2010; Alaert dan Santika, 1984). Limbah cair mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut serta akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati
yang
akan
menimbulkan
gangguan
terhadap
kesehatan
karena
menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang akan merugikan baik pada produk tahu maupun
63
pada tubuh manusia. Apabila dibiarkan, air limbah akan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan akan menimbulkan bau busuk yang akan mengakibatkan sakit pada pernafasan. Apabila air limbah ini dialirkan ke sungai dan kemudian air sungai itu dikonsumsi oleh masyarakat makan akan menimbulkan gangguan kesehatan seperti gatal, diare, kolera, radang usus, dan penyakit lainnya (Kaswinarni, 2007). 6.2.
Estimasi Biaya Produksi Sebelum dan Setelah Internalisasi Biaya Eksternal Komponen biaya produksi pada industri pembuatan tahu di Desa Kalisari
terdiri dari biaya input tetap dan biaya input variabel. Biaya input tetap meliputi biaya faktor produksi dan peralatan yang medukung proses produksi pembuatan tahu seperti widig, raga, saringan, penggilingan, kain blancu, dan cetakan. Rincian komponen biaya tetap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komponen Biaya Tetap IKM Tahu/bulan Komponen Biaya Tetap
Biaya tetap per skala produksi (Rp) 20 kg
25 kg
30 kg
35 kg
40 kg
Widig
3 125
4 062
4 166
5 546
6 230
Raga
13 888
18 055
18 518
24 652
27 690
Ember
3 750
4 875
5 000
6 656
7 476
138
180
185
246
276
Penggilingan
20 000
26 000
26 667
35 500
39 875
Cetakan
2 000
2 600
2 667
3 550
3 987
total biaya tetap
47 902
55 773
57 203
76 152
85 537
Saringan
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Tabel 5. Lanjutan Komponen Biaya Tetap IKM Tahu/bulan Komponen Biaya Tetap
Biaya tetap per skala produksi Rp) 50 kg
60 kg
70 kg
80 kg
150 kg
Widig
7 812
9 375
10 937
12 500
23 437
Raga
34 722
41 667
48 610
55 555
104 166
Ember
9 375
11 250
13 125
15 000
28 125
347
416
485
555
1 041
Saringan
64
Penggilingan
50 000
60 000
70 000
80 000
150 000
Cetakan
5 000
6 000
7 000
8 000
15 000
107 256
128 707
150 159
171 610
321 769
total biaya tetap
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Berdasarkan data di atas, biaya tetap dihitung berdasarkan skala produksi yaitu jumlah bahan baku berupa kedelai yang digunakan. Jumlah pengrajin tahu untuk skala produksi 20, 25, 30, 35, 40, 50, 60, 70, 80, dan 150 kg berturut-turut adalah sebanyak 4, 2, 3, 2, 8, 3, 1, 1, 1, dan 1 orang. Komponen biaya variabel industri tahu meliputi biaya penggunaan kedelai, solar/jasa penggilingan, air, listrik, kunyit, garam, plastik, transportasi, karyawan, kayu bakar, elpiji, dan minyak goreng. Berikut rincian komponen biaya variabel berdasarkan skala produksi tahu. Tabel 6. Komponen Biaya Variabel IKM Tahu/bulan Komponen Biaya Variabel
Biaya variabel per skala produksi (Rp) 20 kg
25 kg
30 kg
35 kg
40 kg
3 990 000
5 226 000
5 925 000
6 868 500
7 831 500
Solar/Jasa Penggilingan
270 000
312 000
340 000
396 000
295 312
Air
13 750
8 000
16 667
30 000
23 000
Listrik
42 500
22 500
40 000
47 500
53 143
Kunyit
78 750
67 500
75 000
90 000
84 375
Garam
75 000
60 000
75 000
120 000
133 125
Plastik
187 500
217 500
260 000
390 000
375 000
Transportasi
453 750
525 000
420 000
375 000
543 750
Karyawan
562 500
0
320 000
675 000
885 000
Kayu Bakar
678 750
875 000
885 714
780 000
957 375
Elpiji
0
105 000
0
0
221 250
Minyak Goreng
0
315 000
425 000
0
1 275 937
6 352 500
7 733 500
8 782 380
9 772 000
22 540 033
Kedelai
total variabel
biaya
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
65
Tabel 7. Lanjutan Komponen Biaya Variabel IKM Tahu/bulan Komponen Biaya Variabel
Biaya variabel per skala produksi (Rp) 50 kg
60 kg
70 kg
80 kg
150 kg
9 825 000
11 880 000
13 650 000
15 600 000
29 250 000
Solar/Jasa Penggilingan
212 500
10 000
450 000
150 000
300 000
Air
40 000
15 000
25.000
40 000
60 000
Listrik
71 667
30 000
75 000
60 000
24 000
Kunyit
75 000
90 000
180 000
180 000
180 000
Garam
155 000
240 000
180 000
120 000
240 000
Plastik
420 000
1 500 000
330 000
600 000
900 000
Transportasi
700 000
600 000
540 000
1 200 000
1 050 000
Karyawan
850 000
900 000
1 020 000
2 250 000
3 600 000
1 571 428
1 000 000
900 000
1 800 000
1 200 000
80 000
0
0
0
1 080 000
Minyak Goreng
1 270 000
1 620 000
0
1 650 000
3 630 000
total biaya variabel
15 270 595
17 885 000
17 350 000
23 650 000
41 514 000
Kedelai
Kayu Bakar Elpiji
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Total biaya produksi pada industri tahu dihitung denga menjumlahkan biaya tetap dengan biaya variabel. Rincian total biaya produksi IKM tahu berdasarkan skala produksi tertentu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8. Biaya Produksi Total IKM Tahu Berdasarkan Skala Produksi/bulan Skala Produksi (kg)
Biaya tetap (Rp)
Biaya variabel (Rp)
Biaya total (Rp)
20
42 902
6 352 500
6 395 402
25
55 773
7 733 500
7 789 273
30
57 203
8 782 380
8 839 583
35
76 152
9 772 000
9 848 152
40
85 537
22 540 033
22 625 570
50
107 256
15 270 595
15 377 851
60
128 707
17 885 000
18 013 707
70
150 159
17 350 000
17 500 159
80
171 610
23 650 000
23 821 610
150
321 769
41 514 000
41 835 769
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
66
6.2.1. Estimasi Biaya Produksi Sebelum Internalisasi Biaya Eksternal Biaya produksi sebelum internalisasi terdiri dari biaya tetap, biaya variabel, dan biaya total. Penerimaan didapat dari hasil penjualan tahu apabila tahu terjual habis dalam satu hari selama satu bulan, sedangakan keuntungan diperoleh dari pengurangan antara biaya total dengan penerimaan. Tabel 9. Biaya Produksi Sebelum Internalisasi Biaya Eksternal/bulan Skala Produksi (kg)
Jumlah Pengrajin (orang)
Biaya Tetap (Rp)
Biaya variabel (Rp)
Biaya Total (Rp)
Penerimaan (Rp)
Keuntungan (Rp)
20
4
42 902
6 352 500
6 395 402
8 662 600
2 267 097
25
2
55 773
7 733 500
7 789 273
9 918 750
2 129 477
30
3
57 203
8 782 380
8 839 583
10 955 000
2 115 416
35
2
76 152
9 772 000
9 848 152
12 975 000
3 126 848
40
8
85 537
22 540 033
22 625 570
28 564 444
3 303 194
50
3
107 256
15 270 595
15 377 851
19 200 000
3 822 148
60
1
128 707
17 885 000
18 013 707
23 250 000
5 236 292
70
1
150 159
17 350 000
17 500 159
20 025 000
2 524 841
80
1
171 610
23 650 000
23 821 610
30 600 000
6 778 390
150
1
321 769
41 514 000
41 835 769
57 450 000
15 614 231
Sumber: Data Primer diolah (2011) 6.2.2. Estimasi Biaya Produksi Setelah Internalisasi Biaya Eksternal Perbedaan komponen biaya produksi pembuatan tahu setelah internalisasi biaya eksternal terletak pada komponen biaya tetap, yaitu penambahan biaya internal (perawatan biogas) sebesar Rp 15 000/bulan dan Rp 20 000/bulan serta biaya penbangunan biogas yang sudah merupakan biaya penyusutan selama 20 tahun. Biaya perawatan biogas ini didapat dari hasil musyawarah para partisipan dan pemanfaat biogas di dua RT yaitu RT 05/02 dan RT 06/02. Berikut rincian biaya pembangunan biogas dapat dilihat pada Tabel 10.
67
Tabel 10. Rincian Biaya Pembangunan Biogas No
Komponen Biaya
Harga (Rp)
1.
Survey lokasi dan perjalanan
90 000 000
2.
Sosialisasi, modifikasi lantai, kompor gas 30 unit, pelatihan dan penerapan, study social
75 000 000
3.
Pengolahan limbah kapasitas 20 m3 dan 5 m3
350 000 000
4.
Start up dan pemeliharaan
30 000 000
5.
Tenaga Ahli
100 000 000 Total
700 000 000
Sumber: Kemenristek (2011)
Biaya pembangunan biogas sebenarnya sudah ditanggung seluruhnya oleh pemerintah, namun di dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pengrajin tahu turut menanggung biaya pembangunan biogas. Berikut tabel komponen biaya tetap setelah internalisasi biaya eksternal. Tabel 11. Komponen Biaya Tetap Setelah Internalisasi Biaya Eksternal/Bulan Skala Produksi (Kg)
Jumlah Pengrajin (orang)
Biaya Tetap Sebelum Internalisasi (Rp)
Biaya Perawatan IPAL (Rp)
Biaya Pembangunan IPAL (Rp)
Biaya Tetap Setelah Internalisasi (Rp)
20
4
42 902
15 000
112 179
170 081
25
2
55 773
17 500
112 179
185 452
30
3
57 203
16 667
112 179
186 049
35
2
76 152
17 500
112 179
205 831
40
8
85 537
15 000
112 179
212 716
50
3
107 256
16 667
112 179
236 102
60
1
128 707
15 000
112 179
255 886
70
1
150 159
15 000
112 179
277 338
80
1
171 610
15 000
112 179
298 789
150 1 321 769 Sumber: Data Primer, diolah (2011)
20 000
112 179
453 948
Komponen biaya tetap setelah internalisasi biaya eksternal terdiri dari biaya perawatan IPAL dan biaya pembangunan IPAL. Kedua jenis biaya ini dibayarkan rutin oleh para pengrajin tahu setiap bulannya kepada pengelola IPAL
68
di Desa Kalisari. Berikut tabel komponen biaya produksi setelah internalisasi biaya eksternal. Tabel 12. Biaya Produksi Setelah Internalisasi Biaya Eksternal Skala Produksi (kg) 20
Jumlah Pengrajin (orang) 4
Biaya Tetap (Rp)
Biaya variabel (Rp)
170 081
6 352 500
6 522 581
8 662 600
2 140 019
25
2
185 452
7 733 500
7 918 952
9 918 750
1 999 798
30
3
186 049
8 782 380
8 968 429
10 955 000
1 986 571
35
2
205 831
9 772 000
9 977 831
12 975 000
2 997 169
40
8
212 716
22 540 033
22 752 749
28 564 444
5 811 695
50
3
236 102
15 270 595
15 506 697
19 200 000
3 693 303
60
1
255 886
17 885 000
18 140 886
23 250 000
5 109 114
70
1
277 338
17 350 000
17 627 338
20 025 000
2 397 662
80
1
298 789
23 650 000
23 948 789
30 600 000
6 651 211
150
1
453 948
41 514 000
41 96 7948
57 450 000
15 482 052
Biaya Total (Rp)
Penerimaan (Rp)
Keuntungan (Rp)
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
6.2.3. Analisis Perbandingan Biaya Produksi Sebelum dan Sesudah Internalisasi Biaya Eksternal Jumlah pengrajin tahu yang sudah melakukan internalisasi biaya eksternal hanya 26 UKM dari total pengrajin yang berjumlah 312 UKM, hal ini disebabkan karena jumlah IPAL yang masih dua unit sehingga kapasitas limbah yang diolah masih sangat minim. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi minimnya jumlah biogas yang ada di Desa Kalisari diantaranya kerena keterbatasan lahan, gaya gravitasi bumi yang mempengaruhi penyaluran limbah cair dan biogas, serta lokasi yang strategis dimana letak biogas dikelilingi oleh banyak pengrajin tahu sehingga penyaluran limbah cair untuk diolah serta biogas yang dihasilkan untuk dimanfaatkan dapat menggunakan biaya perpipaan seminimal mungkin. Perbandingan biaya produksi sebelum dan sesudah internalisasi biaya eksternal dapat dilihat pada perubahan komponen biaya tetap. Perbandingan biaya
69
produksi sebelum dan sesudah internalisasi biaya eksternal dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perbandingan Biaya Produksi Sebelum dan Sesudah Internalisasi Biaya Eksternal. Skala Usaha (Kg)
Jumlah Pengrajin (orang)
Biaya Total Setelah Internalisasi (Rp)
Penerimaan (Rp)
Selisih Biaya (Rp)
Persentasi Kenaikan Biaya (%)
4
Biaya Total Sebelum Internalisasi (Rp) 6 395 402
20
6 522 581
8 662 600
227 179
1,99
25
2
7 789 273
7 918 952
9 918 750
129 679
1,66
30
3
8 839 583
8 968 429
10 955 000
128 846
1,46
35
2
9 848 152
9 977 831
12 975 000
129 679
1,32
40
8
22 625 570
22 752 749
28 564 444
127 179
0,56
50
3
15 377 851
15 506 697
19 200 000
128 846
0,84
60
1
18 013 707
18 140 886
23 250 000
127 179
0,71
70
1
17 500 159
17 627 338
20 025 000
127 179
0,73
80
1
23 821 610
23 948 789
30 600 000
127 179
0,53
150
1
41 835 769
41 96 7948
57 450 000
132 179
0,32
128 512
1,01
Rata-Rata
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Berdasarkan Tabel 7, biaya total sebelum internalisasi biaya eksternal didapat dari penjumlahan antara biaya tetap rata-rata sebelum internalisasi dengan biaya variabel rata-rata. Biaya variabel rata-rata sebelum dan sesudah internalisasi memiliki besaran yang sama, karena biaya perawatan biogas diinternalisasikan ke dalam struktur biaya tetap. Rata-rata penerimaan untuk setiap skala usaha sebelum dan sesudah internalisasi memiliki nilai yang sama, hal ini disebabkan karena kenaikan biaya produksi sebelum dan sesudah internalisasi relatif kecil, rata-rata sebesar 1,01%, sehingga tidak mempengaruhi harga penjualan tahu yang mempengaruhi penerimaan. Berdasarkan
teori
internalisasi
biaya
eksternal,
pihak
yang
menginternalisasikan biaya eksternal ke dalam struktur biaya produksi akan mengalami penurunan jumlah outpun dan peningkatan harga jual dari output,
70
namun pada kasus pengrajin tahu di Desa Kalisari, internalisasi biaya yang dilakukan tidak mempengaruhi jumlah dan harga output yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena biaya internal yang ditanggung pengusaha tahu hanya merupakan iuran untuk operasional biogas saja dan perawatan biogas di Desa Kalisari masih tergolong murah, sedangkan biaya investasi biogas keseluruhan ditanggung oleh pemerintah. 6.3.
Estimasi Biaya Eksternal Pencemaran Limbah Tahu dan Nilai Ekonomi manfaat Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu
6.3.1. Estimasi Biaya Eksternal Biaya eksternal meningkat ketika seseorang atau suatu grup tidak menanggung seluruh biaya akibat segala tindakannya, dengan demikian sebagian biaya tersebut ditanggung oleh pihak lain atau masyarakat luas (Zohrabian dan Philipson, 2010). Jenis biaya ini disebut biaya eksternal karena meskipun produsen atau konsumen tidak bertanggung jawab atas tindakannya secara finansial, namun biaya tersebut nyata bagi anggota masyarakat lainnya (Sabour, 2006). Berdasarkan hasil pengamatan di Desa Kalisari, biaya eksternal akibat pembuangan limbah cair tahu diantaranya biaya kesehatan, biaya kerugian akibat penurunan produktivitas pertanian, dan biaya untuk perbaikan kesuburan lahan dengan cara penambahan jenis pupuk tertentu yaitu pupuk dolomit. 6.3.1.1. Biaya Kesehatan Data mengenai biaya kesehatan didapat dari hasil wawancara dengan bidan desa dan data sekunder yang ada di Polides. Menurut hasil wawancara dengan dokter di desa setempat, jumlah kunjungan penduduk desa ke polides sekitar empat kali dalam setahun per orang dengan biaya pengobatan sebesar Rp
71
7 000 (tujuh ribu rupiah) per orang. Rata-rata jumlah penduduk yang bertempat tinggal di sekitar sungai tempat pembuangan limbah cair tahu adalah 94 KK, dengan asumsi masing-masing KK memiliki anggota keluarga sebanyak empat orang5. Berdasarkan data di atas dapat diestimasi total biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat yaitu sebesar Rp 10 528 000 (sepuluh juta lima ratus dua puluh delapan ribu rupiah) per tahun. Total biaya ini merupakan biaya yang ditanggung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar sungai akibat dampak buruk yang diterima akibat pembuangan limbah cair ke sungai secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu. 6.3.1.2. Kehilangan Pendapatan Dampak lain yang ditimbulkan dari pembuangan limbah cair tahu ke sungai secara langsung adalah penurunan produktivitas pertanian. Biaya eksternal yang ditanggung yaitu biaya kehilangan pendapatan akibat penurunan produktivitas yang ditanggung oleh petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua gapoktan Desa Kalisari, luas lahan pertanian yang dialiri sungai yang tercemar oleh limbah cair tahu sebesar 37,052 ha dengan penjualan gabah kering sawah sebesar Rp 250 000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per kwintal. Jumlah panen dalam setahun sebanyak dua kali yaitu di musim kemarau sekitar bulan April sampai September dan di musim hujan sekitar bulan Oktober sampai Maret. Akan tetapi terjadi penurunan produktivitas pada musim kemarau karena tingkat keasaman tanah yang dialiri air sungai yang mengandung limbah cair tahu meningkat, penurunan produktivitas akibat hal ini rata-rata mencapai 20%. 5
Hasil wawancara dengan aparat desa, Bapak Warno, di Kantor Desa Kalisari tanggal 15 Februari 2011
72
Berdasarkan data di atas maka dapat diestimasi penerimaan total sebelum lahan pertanian tercemar oleh limbah cair tahu yang terkandung dalam air sungai yang mengaliri lahan mereka yaitu sebesar Rp 1 157 875 000 (satu milyar seratus lima puluh tujuh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) per tahun, sedangkan penerimaan total setelah terjadi penurunan produktivitas sebesar 20% yaitu sebesar Rp 1 055 982 000 (satu milyar lima puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh dua ribu rupiah) per tahun. Selisih penerimaan sebelum dan sesudah lahan pertanian tercemar limbah cair adalah Rp 101 893 000 (seratus satu juta delapan ratus sembilan puluh tiga rupiah) per tahun. Berikut tabel perhitungan perubahan penerimaan petani akibat penurunan produktivitas. Tabel 14. Perubahan penerimaan petani akibat penurunan produktivitas Penerimaan (Rp)
Luas lahan (ha)
Sebelum pencemaran
Setelah pencemaran
Selisih penerimaan (Rp)
11,395
356 093 750
324 757 500
31 336 250
4,501
140 656 250
128 278 500
12 377 750
9,231
288 468 750
263 083 500
25 385 250
6,297
196 781 250
179 464 500
17 316 750
5,628
175 875 000
160 398 000
15 477 000
Total
1 157 875 000
1 055 982 000
101 893 000
Sumber: Data Sekunder, 2011 (diolah)
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa kehilangan pendapatan petani (loss of earnings) akibat penurunan produktivitas adalah sebesar Rp 129 766 000 (seratus dua puluh sembilan juta tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah) per tahun. Biaya ini yang kemudian menjadi biaya eksternal bagi para pengrajin tahu yang ditanggung oleh petani. 6.3.1.3. Biaya Perbaikan Kualitas Lahan Pencemaran air sungai oleh limbah cair tahu juga berdampak pada kualitas kesuburan lahan. Lahan yang tercemar oleh limbah cair tahu akan 73
mengalami penurunan pH atau keasaman karena limbah cair tahu memiliki pH yang rendah. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian pada lahan persawahan. Lahan persawahan di desa Kalisari yang mengalami penurunan kualitas kesuburan akibat pencemaran limbah seluas 37,052 ha. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesuburan lahan adalah dengan pemupukan menggunakan jenis pupuk dolomit. Pupuk ini banyak digunakan di tanah yang memiliki pH masam karena kandungan nitrogen yang berlebihan. Dosis pemakaian pupuk ini adalah 2 ton/ha dan harga pupuk/kg adalah Rp 750 (tujuh ratus lima puluh rupiah). Perhitungan biaya perbaikan lahan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Biaya Perbaikan Kesuburan Lahan Luas lahan (ha)
Kebutuhan dolomit (kg)
Biaya perbaikan (Rp)
11,395
22 790
17 092 500
4,501
9 002
6 751 500
9,231
18 462
13 846 500
6,297
12 594
9 445 500
5,628
11 256
8 442 000
Total
74 104
55 578 000
Sumber: Data Sekunder, 2011 (diolah)
Berdasarkan perhitungan di atas maka biaya perbaikan kualitas kesuburan lahan yang ditanggung petani akibat pencemaran limbah cair tahu adalah sebesar Rp 55 578 000 (lima puluh lima juta lima ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah). Biaya ini merupakan biaya eksternal akibat pencemaran sungai oleh limbah cair tahu yang ditanggung oleh petani.
74
6.3.1.4. Estimasi Total Biaya Eksternal Akibat Dampak Pencemaran Limbah Tahu Berdasarkan estimasi setiap komponen dari biaya eksternal yang timbul akibat pencemaran limbah tahu, maka dapat diestimasi total biaya eksternal yang dapat diuraikan pada tabel berikut. Tabel 16. Total Biaya Eksternal Akibat Dampak Pencemaran Limbah Tahu No
Komponen Biaya Eksternal
Jumlah Biaya Eksternal ( Rp)
1
Biaya kesehatan
10 528 000
2
Kehilangan pendapatan
101 893 000
3
Biaya perbaikan kualitas lahan
55 578 000
Total
167 999 000
Sumber: Data Primer, 2011 (diolah)
Biaya eksternal total yang diperoleh dari biaya kesehatan, kehilangan pendapatan, dan biaya perbaikan kualitas lahan adalah sebesar Rp 195 872 000 (seratus sembilan puluh lima juta delapan ratus tujuh puluh dua ribu rupiah) per tahun. Biaya ini adalah biaya total yang ditanggung oleh pihak ketiga akibat dampak pencemaran limbah tahu. 6.3.2. Estimasi Nilai Ekonomi Manfaat Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu Nilai ekonomi manfaat ekonomi manfaat internalisasi biaya eksternal yang dapat diamati meliputi nilai penghematan bahan bakar seperti elpiji dan kayu bakar akibat adanya energi alternatif yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair tahu yaitu biogas, penerimaan tambahan dari penjualan keripik ampas tahu dari hasil pengolahan limbah padat tahu, penerimaan tambahan dari penjualan ampas tahu untuk digunakan sebagai pakan ternak, dan penerimaan tambahan dari penjualan cacing yang hidup di selokan tempat pembuangan limbah cair untuk pakan lele dumbo.
75
6.3.2.1. Nilai Penghematan Bahan Bakar Pengolahan limbah cair tahu yang dilakukan di Desa Kalisari menggunakan teknologi pengolahan limbah anaerob yang menghasilakan biogas. Biogas yang dihasilkan ini digunakan oleh masyarakat sebagai enegi alternatif pengganti elpiji dan kayu bakar. Berdasarkan data yang diperoleh, setelah masyarakat menggunakan biogas untuk keperluan rumah tangga, penghematan bahan bakar dapat mencapai 100 persen dan rata-rata penggunaan elpiji 3 kg sebelum menggunakan biogas adalah tiga sampai empat tabung per bulan untuk setiap rumah tangga. Biogas yang sebanyak empat unit ini dapat mengaliri 30 rumah tangga pengrajin tahu. Estimasi total penghematan elpiji setelah menggunakan biogas sebesar Rp 2 678 000 (dua juta enam ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) per bulan atau sebesar Rp 32 136 000 (tiga puluh dua juta seratus tiga puluh enam ribu rupiah) per tahun. Rata-rata penghematan biogas per rumah tangga sebesar Rp 89 266 (delapan puluh sembilan ribu dua ratus enam puluh enam ribu rupiah) per bulan atau Rp 1 071 200 (satu juta tujuh puluh satu ribu dua ratus rupiah) per tahun. 6.3.2.2. Nilai Penerimaan Penjualan Ampas Tahu untuk Pakan Ternak Ampas tahu yang dihasilkan oleh limbah padat tahu dapat digunakan sebagai pakan ternak. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pengrajin tahu, mereka semua menjual ampas tahu ke pasar atau ke peternak secara langsung untuk dijadikan pakan ternak sapi atau babi seharga Rp 250 (dua ratus lima puluh rupiah) per kg. Ampas tahu yang dihasilkan jumlahnya bervariasi tergantung dari jumlah kedelai yang digunakan dan kadar air yang dikandung oleh tahu. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin tahu di Kalisari,
76
perbandingan ampas tahu yang dihasilkan dengan jumlah kedelai yang digunakan adala 1:1, artinya apabila jumlah kedelai yang digunakan sebanyak 10 kg maka jumlah ampas tahu yang dihasilkan adalah sebesar 10 kg pula. Skala usaha industri tahu di Desa Kalisari cukup variatif sehingga ampas tahu yang dihasilkan juga bervariatif. Hal ini menyebabkan penerimaan dari ampas tahu di setiap skala usaha juga berbeda. Hasil estimasi perhitungan penerimaan dari penjualan ampas tahu untuk pakan ternak dari 60 responden yaitu sebesar Rp 26 900 000 (dua puluh enam juta sembilan ratus ribu rupiah) per bulan atau Rp 322 800 000 (tiga ratus dua puluh dua juta delapan ratus ribu rupiah) per tahun. 6.3.2.3. Nilai Penjualan Keripik Ampas Tahu Ampas tahu yang dihasilkan selain sebagai pakan ternak juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan keripik ampas tahu. Terdapat tiga orang pengrajin keripik ampas tahu di Desa Kalisari, dua di antaranya merupakan pengrajin tahu dan satu orang hanya berprofesi sebagai pengrajin keripik ampas tahu saja. Jumlah ampas tahu yang digunakan oleh masing-masing pengrajin adalah sama yaitu 25 kg. Berikut tabel perhitungan penerimaan dari penjualan keripik ampas tahu oleh tiga orang pengrajin di Desa Kalisari Tabel 17. Nilai Penjualan Keripik Ampas Tahu Pengusaha
Biaya total (Rp)
Jumlah output (kg/bungkus)
Harga jual/jumlah output (Rp)
Penerimaan (Rp)
Keuntungan (Rp)
1
287 166
30
15 000
450 000
162 833
2
340 500
30
15 000
450 000
109 499
3
286 000
200
2 000
400 000
114 000
Total
913 667
32 000
1 300 000
386 332
Sumber: Data Primer diolah (2011)
77
Berdasarkan tabel di atas, total keuntungan yang diestimasi dari tiga orang pengrajin keripik tahu adalah sebesar Rp 386 332 (tiga ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus tiga puluh dua rupiah) per hari atau Rp 11 589 981 (sebelas juta lima ratus delapan puluh sembilah ribu sembilan ratus delapan puluh satu rupiah) per bulan atau Rp 139 079 772 (seratus tiga puluh sembilan juta tujuh puluh sembilan ribu tujuh ratus tujuh puluh dua rupiah) per tahun. Nilai ini merupakan nilai tambahan penerimaan bagi para pengrajin keripik ampas tahu. 6.3.2.4. Nilai Penerimaan Tambahan dari Penjualan Cacing Pengolahan limbah cair tahu dapat mengurangi aktivitas pembuangan limbah cair tahu ke sungai atau selokan secara langsung. Berdasarkan pengamatan di lapangan, setelah melakukan pengolahan limbah cair tahu, tingkat kekeruhan air sungai dan selokan menjadi berkurang, sehingga organisme di sungai dan badan air lainnya dapat tumbuh dengan baik. Salah satu organisme yang dapat tumbuh baik di selokan dan sungai tempat pembuangan limbah cair setelah pengolahan adalah jenis cacing rambut atau Tubifex sp., cacing tubifex banyak hidup diperairan tawar yang yang airnya jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bahan-bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan. Cacing ini akan membenamkan kepalanya masuk kedalam lumpur untuk mencari makan. Sementara ujung ekornya akan disemburkan diatas permukaan dasar untuk bernafas. Perairan yang banyak dihuni cacing ini sepintas tampak seperti koloni rumput merah yang melambai-lambai6.
6
Agriefishery. 2009. Biologi Cacing Rambut (Tubifex sp.). http:// BIOLOGI CACING RAMBUT (Tubifex sp.) « Zona_ik@n. Diakses tanggal 14 Maret 2011
78
Manfaat dari cacing rambut ini adalah dapat digunakan sebagai pakan lele dumbo. Menurut kepala Desa Kalisari dalam satu hari terdapat 30 orang yang mengambil cacing rambut untuk dijual sebagai pakan lele dumbo. Dalam satu hari setiap orang rata-rata mengumpulkan tiga gelas cacing rambut dengan harga per gelas Rp 7 000 (tujuh ribu rupiah). Berdasarkan data di atas dapat diestimasi penerimaan dari penjualan cacing rambut untuk pakan lele dumbo yaitu sebesar Rp 630 000 (enam ratu tiga puluh ribu rupiah) per hari atau Rp 18 900 000 (delapan belas juta sembilan ratus ribu rupiah) per bulan atau Rp 226 800 000 (dua ratus dua puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah) per tahun. 6.3.2.5. Estimasi Total Nilai Ekonomi Manfaat Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu Berdasarkan estimasi setiap komponen dari nilai ekonomi manfaat internalisasi biaya eksternal, maka dapat diestimasi total nilai manfaat ekonomi yang diuraikan pada tabel berikut. Tabel 18. Total Nilai Ekonomi Manfaat Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu No
Komponen Manfaat
Jumlah Nilai Ekonomi (Rp)
1
Penghematan bahan bakar
32 136 000
2
Penerimaan penjualan ampas tahu untuk pakan ternak
322 800 000
3
Penerimaan penjualan keripik ampas tahu
139 079 772
4
Penerimaan penjualan cacing rambut untuk pakan lele dumbo
226 800 000
Total
720 815 772
Sumber: Data Primer, 2011 (diolah)
Total manfaat ekonomi yang didapat dari setiap manfaat seperti penghematan bahan bakar, penerimaan penjualan ampas tahu untuk pakan ternak sapi dan babi, penerimaan penjualan keripik ampas tahu, dan penerimaan
79
penjualan cacing rambut untuk pakan lele dumbo adalah sebesar Rp 720 815 772 (tujuh ratus dua puluh juta delapan ratus lima belas ribu tujuh ratus tujuh puluh dua rupiah) per tahun 6.3.3. Total Nilai Ekonomi Internalisasi Biaya Eksternal IKM Tahu Komponen total nilai ekonomi pada IKM tahu berdasarkan pengamatan meliputi komponen biaya, yaitu biaya eksternal dan komponen manfaat, yaitu manfaat ekonomi dari internalisasi biaya eksternal. Komponen biaya eksternal meliputi biaya kesehatan, biaya perubahan pendapatan akibat perubahan produktivitas pertanian, dan biaya perbaikan lahan. Komponen manfaat berupa nilai penghematan bahan bakar seperti elpiji dan kayu bakar akibat adanya energi alternatif yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair tahu yaitu biogas, penerimaan tambahan dari penjualan keripik ampas tahu dari hasil pengolahan limbah padat tahu, penerimaan tambahan dari penjualan ampas tahu untuk digunakan sebagai pakan ternak, dan penerimaan tambahan dari penjualan cacing yang hidup di selokan tempat pembuangan limbah cair untuk pakan lele dumbo. Total biaya eksternal yang diestimasi sebesar Rp 167 999 000 (seratus enam puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan ribu rupiah). Total manfaat ekonomi internalisasi biaya eksternal yang diestimasi sebesar Rp 720 815 772 (tujuh ratus dua puluh juta delapan ratus lima belas ribu tujuh ratus tujuh puluh dua rupiah). Total nilai ekonomi adalah penjumlahan dari total biaya eksternal dan total manfaat ekonomi yaitu sebesar Rp 888 814 772 (delapan ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus empat belas ribu tujuh ratus tujuh puluh dua rupiah) per tahun.
80
6.4.
Estimasi Nilai Kebersediaan Responden Untuk Membayar (Willingness to Pay) Terhadap Pengolahan Limbah Cair Tahu menjadi Biogas
6.4.1. Willingness to Pay (WTP) Responden Terhadap Pengolahan Limbah Cair Tahu Menjadi Biogas Pendekatan CVM dalam penelitian ini disunakan untuk mengestimasi nilai WTP responden terhadap pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas. Hasil pelaksanaan metode CVM adalah sebagai berikut: 1.
Membuat Pasar Hipotetik Pembuangan limbah cair tahu ke sungai secara langsung tanpa melalui
pengolahan menyebabkan pencemaran air sungai diantaranya air menjadi bau, keruh, dan menyebabkan gangguan kesehatan seperti gatal-gatal dan diare bagi masyarakat yang mengonsumsinya. Pengrajin tahu yang menjadi responden yaitu pengrajin yang tinggal di RT 03/02 dan RT 04/02 karena mereka sampai saat ini masih belum melakukan pengolahan limbah cair tahu dan karena di sekitar RT tersebut direncanakan akan dibangun sistem pengolahan limbah cair menjadi biogas. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 orang responden, mereka semua bersedia untuk melakukan pembayaran terhadap iuran perawatan biogas dan menginginkan adanya pembangunan sistem pengolahan limbah cair menjadi biogas seperti yang sudah dilakukan di dua RT lain yaitu RT 05/02 dan RT 06/02 karena alasan dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan dapat menghasilkan manfaat yaitu penghematan bahan bakar yang cukup signifikan seperti elpiji, kayu bakar, dan minyak tanah. Walaupun program pembangunan biogas yang direncanakan keseluruhan biaya investasi ditanggung oleh pemerintah namuni diperlukan partisipasi dari masyarakat dalam perawatan biogas. Hal ini
81
dimaksudkan agar IPAL yang sudah ada dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk itu maka pasar hipotetik yang dibangun adalah sebagai berikut: Pasar Hipotetik Pemerintah berencana untuk membangun suatu sistem pengelolaan limbah yaitu sistem pengelolaan limbah menjadi biogas. Bahan baku biogas ini adalah limbah cair tahu yang dihasilkan dari proses produksi tahu. Pembangunan sistem biogas sangat bermanfaat untuk lingkungan karena dapat mengurangi jumlah limbah cair yang dibuang ke sungai serta dapat menghasilkan bahan bakar aternatif berupa gas yang dihasilkan dari pengolahan limbah tersebut. Gas tersebut dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti elpiji dan dapat menghemat penggunaan kayu bakar dalam proses produksi. Oleh karena itu pemerintah sangat membutuhkan partisipasi dari masyarakat sekitar untuk pembangunan sistem pengolahan limbah menggunakan sistem biogas ini
Skenario Pertanyaan Apabila pemerintah akan melakukan pembangunan sistem pengelolaan limbah cair menjadi biogas, apakah Bapak/Ibu bersedia untuk berpartisipasi dalam pembangunannya? Selanjutnya dari pertanyaan tersebut didapat bahwa keseluruhan responden yang diwawancara yaitu sebesar 30 orang, bersedia untuk melakukan pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas. Langkah selanjutnya adalah mendapatkan besaran nilai awal WTP untuk melakukan penawaran terhadap responden. 2.
Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Dalam memperkirakan nilai awalan WTP terlebih dahulu dilakukan survey
terhadap besarnya iuran biogas pada pengrajin yang sudah melakukan pembayaran iuran perawatan IPAL di RT 05/02 dan RT 06/02 yaitu sebesar Rp 15 000 (lima belas ribu rupiah) per bulan. Kemudian setelah nilai WTP pertama
82
didapat, ditawarkan nilai yang lebih besar dari nilai yang diberikan sebelumnya. Nilai WTP didapat setelah proses tawar menawar selesai. 3.
Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP Nilai rataan WTP didapat sebesar Rp 20 833,33 atau Rp 20 833 (dua puluh
ribu delapan ratus tiga puluh tiga rupiah) per pengrajin per bulan. Jika dihitung per tahun maka rataan WTP sebesar Rp 250 000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per pengrajin per tahun. Besaran rataan WTP tersebut menggambarkan kebersediaan responden dalam membayar iuran untuk perawatan sistem pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas. Rata-rata pendapatan pengrajin yang belum melakukan pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas di RT 03/02 dan RT 04/02 adalah sebesar Rp 1 438 929 (satu juta empat ratus tiga puluh delapan ribu sembilan ratus dua puluh sembilan rupiah) per bulan. Sehingga iuran WTP per bulan adalah sekitar 1,4 % dari pendapatan pengrajin per bulan. Dengan kata lain nilai rataan WTP masih dikatakan rasional. Dugaan nilai rataan responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP responden yang dapat dilihat pada tabel 19 dibawah ini: Tabel 19. Distribusi Rataan WTP Responden Desa Kalisari WTP (Rp)
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Jumlah (Rp)
15 000
9
0,30
4 500
20 000
8
0,27
5 333,33
25 000
12
0,40
10 000
30 000
1
0,03
1 000
Total
30
1
20 833,33
Sumber: Data primer, diolah (2011)
4.
Menjumlahkan Data Nilai total WTP (TWTP) dihitung berdasarkan data distribusi WTP
responden. Perhitungan nilai TWTP dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.
83
Tabel 20. Distribusi Total WTP Responden Desa Kalisari WTP (Rp)
Frekuensi
Frekuensi Relatif
Populasi
Jumlah Total (Rp)
15 000
9
0,30
93,6
1 404 000
20 000
8
0,27
83,2
1 664 000
25 000
12
0,40
124,8
3 120 000
30 000
1
0,03
10,4
312 000
Total
30
1
312
6 500 000
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Total WTP menggambarkan total dari populasi pengrajin tahu yang belum mengolah limbah cair di Desa Kalisari yaitu sebesar Rp 6 500 000 (enam juta lima ratus ribu rupiah) per bulan atau Rp 78 000 000 (tujuh puluh delapan juta rupiah) per tahun. Total WTP ini jika dibandingkan dengan biaya investasi pembangunan sistem pengolahan limbah menjadi biogas tidak akan mencukupi, namun jika untuk menutupi biaya operasional dan perawatan biogas masih cukup untuk setahun, karena biaya perawatan biogas selama ini hanya biaya untuk pembayaran listrik per bulan sebesar Rp 23 000 (dua puluh tiga ribu rupiah) per bulan dan upah pengelola sebesar Rp 75 000 (tujuh puluh lima ribu rupiah) per bulan, sehingga biaya perawatan biogas yang rutin dikeluarkan setiap bulan adalah Rp 98 000 (sembilan puluh delapan ribu rupiah) per bulan. Sehingga total WTP untuk menutupi biaya perawatan biogas dengan asumsi biaya investasi pembangunan biogas seluruhnya ditanggung oleh pemerintah masih mencukupi.
84