VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Karawang Timur Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan di Kecamatan
Karawang Timur terjadi hampir setiap tahun terutama pada lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan tersebut menjadi industri, pemukiman, maupun sarana dan prasarana seperti restoran, bengkel, dan lain-lain. Secara umum peruntukkan lahan di Kecamatan Karawang Timur adalah sawah, tegalan, pekarangan, bangunan, kolam, dan lain-lain. Sebagian besar lahan yang ada di wilayah ini merupakan lahan sawah yaitu sebesar 58,60 persen dari luas wilayah. Laju alih fungsi lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini. Luas Lahan Sawah
1860 1840 1820 1800 1780
Lahan Sawah
1760 1740 1720 1700 1680 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011
Gambar 7. Laju Luasan Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006 – 2011 Gambar 7 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Laju alih fungsi lahan sawah selama enam tahun terakhir 2006-2011 sejak terbentuknya Kecamatan Karawang Timur mengalami penurunan sebesar 0,47 persen. Adanya penambahan jumlah lahan sawah pada tahun 2009 menyebabkan peningkatan drastis terhadap luas lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Berdasarkan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang pertambahan luas lahan sawah disebabkan 59
karena adanya perubahan lahan dari lahan kering ke lahan sawah seluas 3.387 hektar di Kabupaten Karawang yang dilakukan pada beberapa kecamatan salah satunya Kecamatan Karawang Timur. Pertambahan luas lahan sawah oleh Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang dilakukan untuk mempertahankan kondisi Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional. Alih fungsi lahan paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 254,60 hektar. Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah lahan sawah irigasi teknis. Penurunan luasan lahan sawah menunjukkan bahwa terjadinya pembangunan di sektor non-pertanian yang dilakukan pada lahan sawah produktif. Sebagian besar lahan yang dialifungsikan dijadikan sebagai pemukiman atau perumahan. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No 5 Tahun 1974 bahwa lokasi pembangunan kompleks perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur dan mengutamakan tanah yang kurang produktif. Penambahan luas lahan sawah yang dilakukan pada tahun 2009 tidak mampu dipertahankan oleh pemerintah daerah. Hal ini terbukti dari penurunan yang sangat drastis luas lahan sawah sebesar 5,57 persen pada tahun 2011 (Gambar 9) dibandingkan tahun sebelumnya. Adanya Undang-Undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang sepertinya belum diaplikasikan sepenuhnya. Dalam
undang-undang
tersebut
menyebutkan
bahwa
seharusnya
dalam
penyusunan RTRW mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian 60
atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan yang mengalami perubahan penggunaan merupakan lahan sawah. Dalam mengimplementasikan peraturan dan kebijakan sepertinya pemerintah masih mengalami banyak kendala. Pemerintah daerah menghadapi kendala dimana disatu sisi perlu memacu pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan penduduk namun juga perlu mempertahankan lahan sawah. Inilah yang menjadi masalah di Kecamatan Karawang Timur dimana wilayah ini diperuntukan sebagai wilayah pemukiman perkotaan, tetapi penggunaan lahan dilakukan di lahan sawah. Dalam proses alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur seringkali menyebabkan tumpang tindih kepentingan antara aktor-aktor terkait, yaitu petani, pemerintah, dan pihak swasta atau pembeli. Pemerintah sebagai pemberi izin, memberikan izin terhadap pembangunan yang disesuaikan dengan tata ruang wilayah. Petani sebagai pemilik lahan seringkali merasa sebagai pihak yang selalu dirugikan akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan pihak swasta selalu menjadi pihak yang diuntungkan. Adanya bujukan dari berbagai pihak terutama makelar (calo) yang memaksa petani untuk menjual lahannya seperti harga lahan serta masih dapatnya petani menggarap lahan yang dimiliki selama lahan tersebut belum mengalami pembangunan menjadi pendorong penjualan lahan oleh petani. Adanya keterpaksaan inilah yang pada akhirnya merugikan petani. Petani menjadi kehilangan mata pencaharian. Saat ini sebagian besar lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur dimiliki oleh pihak swasta dan orang-orang di luar kecamatan ataupun kabupaten. Wibowo (1996) dalam Irawan (2005) mengungkapkan bahwa pelaku pembelian 61
tanah biasanya bukan penduduk setempat sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yaitu lahan yang dimiliki oleh orang-orang di luar kecamatan atau kabupaten yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Saat ini, hanya 14,29 persen lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur yang dimiliki oleh petani5. Sisa lahan sawah banyak dimiliki oleh pihak-pihak swasta dan perseorangan diluar Kabupaten Karawang. Akan tetapi masih terdapat banyak lahan yang belum mengalami pembangunan. Lahan-lahan yang belum mengalami pembangunan tetap dibiarkan untuk digarap oleh petani dengan syarat bagi hasil. Sistem bagi hasil yang banyak diterapkan oleh sebagian besar petani di Kecamatan Karawang Timur adalah 1/3 dari hasil diberikan oleh pemilik dan sisanya (2/3) dimiliki petani. Namun, saat lahan tersebut akan dibangun petani harus mencari lahan baru. Inilah yang banyak merugikan petani akibat adanya alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur. Meskipun ada aturan bahwa adanya larangan penggunaan lahan sawah untuk pembangunan non-pertanian. Namun, pembangunan terutama perumahan atau pemukiman baik di lahan sawah ataupun lahan darat di Kecamatan Karawang Timur tetap terjadi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang RTRW bahwa kawasan ini memang dijadikan sebagai kawasan permukiman perkotaan dan industri. Selain itu, Kecamatan Karawang Timur memiliki akses jalan yang lebih mudah dan wilayah ini memang merupakan pusat Kabupaten Karawang. Luas pemukiman yang terbangun di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada Tabel 10.
5 Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Kecamatan Karawang Timur
62
Tabel 10. Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, Pekarangan) di Kecamatan Karawang timur Tahun 2006-2011 Tahun
Luas Lahan Pemukiman(Bangunan, Pekarangan)
2006 646 2007 1073 2008 873 2009 227 2010 227 2011 322 Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2011(diolah) Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan luas lahan sawah pada tahun 2009 menyebabkan penurunan luas lahan pemukiman yang sangat drastis dengan laju 74,00 persen. Kemudian penurunan luas lahan yang terjadi pada tahun 2011 di wilayah ini disebabkan karena adanya peningkatan luas lahan pemukiman sebesar 41,85 persen. Adanya pembangunan jalan karawang bypass dengan tujuan untuk memudahkan jalur transportasi juga menjadi salah satu pemicu banyak investor yang tertarik berinvestasi di bidang property atau perumahan di Kecamatan Karawang Timur. Sampai tahun 2011, jumlah perusahaan yang membangun perumahan di Kecamatan Karawang Timur terus bertambah. Namun, jumlah perusahaan pembangun perumahan yang membangun diatas lahan sawah mencapai 29 perusahaan yang tersebar di 4 desa dan 4 kelurahan. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (2012), total luas perumahan yang dibangun diatas lahan sawah luasnya mencapai 235,54
hektar . Jumlah perusahaan
pembangun perumahan di setiap desa dan kelurahan di Kecamatan Karawang timur dapat dilihat pada Tabel 11.
63
Tabel 11. Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011 Desa/ kelurahan
Jumlah Perusahaan
Luas Perumahan (Ha) 8,50 124,94 12,00 25,38 3,78 57,82 232,42
Margasari 1 Kondangjaya 12 Warungbambu 1 Karang wetan 5 Adiarsa timur 1 Palumbonsari 9 Jumlah 29 Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2012 (diolah)
Pembangunan pemukiman di wilayah ini dipicu oleh jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahun. Tahun 2006 jumlah penduduk Kecamatan Karawang Timur mencapai 90.485 jiwa dan mengalami peningkatan sebesar 27.516 jiwa sehingga pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 118.001 jiwa. Tren pertumbuhan penduduk di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada gambar 8 berikut ini. Jumlah Penduduk (Jiwa)
140000 120000 100000 80000
Jumlah Penduduk
60000 40000 20000 0 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik 2011 Gambar 8. Tren Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Karawang Timur Tahun 2006-2010 Rata- rata peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebesar 103.293 jiwa dengn laju 5,76 persen setiap tahun. Peningkatan ini terjadi seiring dengan adanya kelahiran serta banyak penduduk pendatang yang tinggal di
64
wilayah ini. Letak wilayah yang strategis juga mendorong terjadinya pertambahan jumlah penduduk di wilayah ini. Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur terjadi tidak hanya disebabkan oleh pembangunan pemukiman atau perumahan namun juga disebabkan karena adanya pembangunan jalan, rumah sakit, gudang dan lain-lain. Pembangunan jalan karawang bypass yang baru diresmikan 17 Agustus 2009 dimana jalan ini menghubungkan Desa Warung Bambu dan Kelurahan Tanjung Pura juga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Lahan seluas 36,0304 hektar yang digunakan untuk pembangunan jalan, sebagian besar lahan yang digunakan adalah lahan sawah yang berada di Kecamatan Karawang Barat dan Karawang Timur. Tujuan pembangunan ini sebenarnya untuk meningkatkan prasarana transportasi yang memadai dan layak di Pulau Jawa khususnya Pantai Utara Pulau Jawa6. Selain pembangunan jalan, lahan pertanian khususnya lahan sawah juga dialihfungsikan menjadi rumah sakit umum di Kelurahan Palumbonsari. Lahan pertanian yang mengalami alih fungsi adalah lahan sawah seluas 1,70 hektar. Gudang Penyimpanan dan sumur eksploitasi yang berada di Desa Tegal Sawah dan Kelurahan Margasari juga dibangun diatas lahan sawah. Luas lahan sawah yang terbangun seluas 6,21 hektar (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2012). Adanya perubahan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan sawah. Selain itu, hal ini 6 www.ibrd-srip.com/...karawang/TRACER%20Krwng%20Bypas.pdf. “Laporan Survai Kaji Ulang Sosial Rencana Pembangunan Jalan Karawang By Pass”. Diakses pada 9 April 2012 pukul 19.45
65
juga menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan lahan dan penurunan luas lahan sawah yang dimiliki oleh petani. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap hasil produksi dan pendapatan yang dimiliki oleh petani. Dalam jangka panjang, hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan. 6.2.
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah Alih fungsi lahan pertanian terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Alih
fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur tidak hanya disebabkan oleh faktor mikro yang berasal dari petani sendiri namun faktor makro yang berasal dari tingkat wilayah juga turut mempengaruhinya. Kabupaten Karawang sebagai tingkat wilayah turut mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Kabupaten Karawang yang mengarahkan penataan ruangnya untuk menjadikan pertanian dan industri sebagai basis perekonomiannya ingin mensinergikan keduanya sehingga alih fungsi lahan pertanian tidak terjadi. Namun dalam kenyataannya hal tersebut justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah. Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Karawang pada tahun 2001 – 2010 dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karawang adalah laju pertambahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang wilayah. Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah digunakan analisis regresi linear berganda. Data yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data time series tahun 2001 – 2010. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi 66
lahan pertanian ke non-pertanian (Industri, permukiman, dan sarana prasarana lainnya) dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah Variabel Intersep Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah Industri Produktivitas Lahan Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah Total Kebijakan Pemerintah R-squared Adj-R-squared
Koefisien -141524,521 113,619 -13,226 88,008
t-statistik -4,404 0,315 -2,794 0,054
Probabilitas 0,012 0,769 0,049*) 0,959
2701,764 1762,822 86,6% 69,8%
4,841 1,762 F-Statistik Prob (F-stat)
0,008*) 0,153 5,155 0,069 1,603
Durbin-Watson
VIF 1,328 5,992 4,184 2,169 2,059
Sumber: Data Sekunder (diolah) Keterangan: *) nyata pada taraf 10 % Hasil estimasi memperlihatkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Berdasarkan Tabel 12 diperoleh koefisien determinasi (RSquared) sebesar 86,60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel dependen yang dimasukkan ke dalam model dapat diterangkan oleh variabel independen mencapai 86,60 persen dan sisanya 13,40 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adj-R-squared yang diperoleh bernilai 69,8 persen. Nilai peluang uji F statistik yang diperoleh sebesar 0,069 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, yaitu 10 persen memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Guna melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependennya dapat dilihat dari uji-T setiap variabel independennya. Berdasarkan Tabel 12 variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah, yaitu jumlah 67
industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas lahan total berpengaruh nyata pada taraf
α= 10 persen. Sedangkan variabel kebijakan pemerintah, laju
pertumbuhan penduduk, dan produktivitas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah. Dalam membuktikan tidak terjadi multikolinearitas dalam model maka digunakan nilai VIF dengan kriteria apabila nilai VIF yang dihasilkan dibawah 10 maka dapat disimpulkan bahwa didalam model tidak mengalami multikolinearitas yang serius. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa laju pertumbahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah dan kebijakan pemerintah masing-masing diperoleh nilai VIF dibawah 10. Dalam menguji tidak terjadinya autokorelasi digunakan uji statistik Durbin-Watson. Berdasarkan hasil pengolahan diperoleh nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1,603 yang menunjukkan bahwa tidak terjadinya autokorelasi. Nilai tersebut berada pada kisaran 0 sampai 4, dan nilai tersebut mendekati 2. Artinya, tidak terjadi autokorelasi ordo kesatu. Pemeriksaan asumsi sisaan menyebar normal dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z. Output SPSS 20 dengan melihat Asymp. Sig (2-tailed) menunjukkan nilai 0,716. Nilai tersebut berada diatas 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa galat menyebar normal. Berdasarkan hasil penelitian model tidak mengalami heteroskedastisitas dimana dari grafik scatterplots (Lampiran 8) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola apapun. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah, sebagai berikut: Y = -141524,521 + 113,619 X1 – 13,226 X2 + 88,008 X3 + 2701,764 X4 + 1762,822 X5 + ε .. (6.1) 68
Berdasarkan hasil estimasi koefisien laju pertumbuhan jumlah penduduk berpengaruh positif (+) namun tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan pertanian dimana nilai probabilitas 0,769 > taraf nyata 10 persen. Hal ini logis dimana adanya peningkatan laju pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Luas lahan yang tetap sedangkan kebutuhan lahan meningkat sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan terutama lahan pertanian. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya di Kabupaten Karawang. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk penyediaan pemukiman, sarana dan prasarana. Meningkatnya permintaan lahan tersebut secara otomatis akan meningkatkan permintaan lahan pertanian sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian. Letak Kabupaten Karawang yang strategis mampu menarik pertambahan jumlah penduduk. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akan meningkatakan alokasi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk seperti perumahan serta sarana dan prasarana untuk menunjang kehidupan penduduk. Pada awalnya, pembangunan menggunakan lahan non-pertanian seperti lahanlahan tandus, lahan kering, dll, namun seiring permintaan lahan yang terus meningkat terjadilah pergeseran penggunaan lahan ke pertanian khususnya lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah ini pada akhirnya menjadi sulit dihindari karena semakin langkanya lahan non-pertanian yang layak untuk dialihfungsikan menjadi perumahan. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dikembangkan unitunit perumahan yang mayoritas menggunakan lahan sawah. Berkembangnya 69
kebutuhan perumahan, sejak tahun 2001-2010 sudah ada 317,10 hektar lahan sawah yang dibangun menjadi perumahan di Kabupaten Karawang. Tabel 13. Luas Perubahan Lahan Sawah Menjadi Perumahan Tahun 20012010 No
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Luas Lahan Perumahan (Ha) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (diolah)
10,00 30,00 38,00 45,00 67,00 22,00 0,00 37,00 15,00 53,10 317,10
Berdasarkan Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan peruntukan lahan yang awalnya berupa sawah menjadi perumahan. Peningkatan kebutuhan lahan terutama untuk perumahan terus mengalami peningkatan sehingga terjadi pergeseran ke lahan sawah dalam pembangunannya. Perubahan luas lahan setiap tahun sebesar 31,71 hektar dengan laju 32,13 persen per tahun. Pembangunan perumahan yang cukup pesat terjadi di beberapa kecamatam, diantaranya Kecamatan Karawang Timur, Karawang Barat, dan Teluk Jambe Timur. Variabel jumlah industi berpengaruh negatif (-) dan signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah nilai probabilitas 0,015 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan 10 persen (0,029 < 0,10). Hal ini berarti adanya peningkatan jumlah industri terutama industri besar dimana membutuhkan luas lahan lebih besar menyebabkan sedikit penurunan luas lahan sawah. Variabel jumlah industri 70
tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana pada hipotesis awal disebutkan bahwa jumlah industri berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah atau semakin meningkat jumlah industri maka semakin meningkat pula penurunan luas lahan pertanian. Adanya sedikit penurunan luas lahan sawah terhadap peningkatan jumlah industri terutama industri besar mengindikasikan bahwa pembangunan industri tidak hanya dilakukan pada lahan sawah. Pembangunan industri yang ada di Kabupaten Karawang banyak juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang bahwa lahan lahan non-sawah yang digunakan untuk pembangunan industri, yaitu berupa lahan tegalan dan kebun campuran sehingga jumlah industri besar tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan luas lahan sawah. Lahan tegalan dan kebun campuran yang banyak digunakan sebagai industri berada di daerah Kecamatan Pangkalan, Ciampel, dan Klari. Hal ini memang didasarkan bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan kawasan industri yang tertulis dalam Peraturan daerah No 19 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Laju perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 12000
Luas lahan
10000 8000 Luas lahan tegalan dan kebun campuran
6000 4000
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
0
2000
2000
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah) Gambar 9. Tren Perubahan Luas Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Tahun 2000-2010 71
Berdasarkan Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa tren perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran terus mengalami penurunan. Namun, terjadi peningkatan luas lahan pada tahun 2005 dan 2009. Laju rata-rata perubahan luas lahan tegalan dan kebun campuran sebesar 0,52 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan industri tidak hanya menggunakan lahan sawah tetapi juga dilakukan pada lahan-lahan non-sawah, seperti lahan tegalan dan kebun campuran. Produktivitas lahan sawah berpengaruh positif terhadap penurunan lahan sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas 0,959 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 10 persen (0,959>0,10). Semakin tinggi produktivitas lahan sawah maka menunjukkan penurunan lahan sawah yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang justru terjadi pada lahan yang memiliki produktivitas tinggi. Dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah yang banyak mengalami pembangunan terutama perumahan atau pemukiman
berada di Kecamatan
Karawang Barat dan Kecamatan Karawang Timur. Kedua kecamatan tersebut memiliki produktivitas yang tinggi sebesar 7,131 Ton/hektar dan 6,720 Ton/hektar. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa banyak lahan yang memiliki produktivitas yang tinggi berada di jalan utama. Hal ini menyebabkan lahan memiliki opportunity cost yang tinggi. Para pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan yang dimiliki karena walaupun lahan yang mereka punya memiliki produktivitas yang tinggi namun hasil penjualan lahan masih lebih tinggi daripada hasil produksi padi yang mereka peroleh.
72
Koefisien parameter proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah. Nilai probabilitas yang diperoleh dari hasil estimasi sebesar 0,008 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan 10 persen yang berarti variabel ini berpengaruh nyata. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin luas lahan sawah maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah. Semakin luas lahan sawah dapat diartikan bahwa luas lahan non-sawah semakin sempit. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan lahan sawah untuk pembangunan diberbagai sektor yang membutuhkan lahan yang cukup luas seperti sektor industri, perumahan, dan jasa. Kabupaten Karawang yang terkenal sebagai lumbung padi nasional menjadikan wilayah ini sebagian besar merupakan lahan sawah. Hal tersebut mendorong wilayah Kabupaten Karawang untuk terus mempertahankan lahan sawah. Namun, kebutuhan lahan di Kabupaten Karawang untuk pembangunan baik industri, perumahan, dan sarana prasarana juga semakin meningkat. Proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah yang semakin tinggi dan kebutuhan lahan untuk pembangunan semakin tinggi mendorong terjadinya penurunan luas lahan sawah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering (ladang, padang rumput, tegalan, hutan, perkebunan, rawa, tambak, kolam, dan lainnya) yang jumlahnya lebih sedikit. Pada tahun 2010, proporsi luas lahan sawah sebesar 53,79 persen lebih besar dari setengah luas wilayah, namun terjadi penurunan luas lahan sawah yang cukup tinggi, yaitu sebesar 3.218 hektar. Peubah dummy terhadap kebijakan pemerintah berpengaruh positif terhadap besaran luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan tidak berpengaruh nyata. Nilai probabilitas 0,153 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5 73
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai andil yang cukup besar akan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Karawang. Adanya kebijakan pemerintah mengenai rencana tata ruang wilayah tahun 1999 dan 2004 berpengaruh terhadap meningkatnya alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait (BAPPEDA) menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan dalam pengalokasian penggunaan lahan dalam RTRW tahun 1999 dan RTRW tahun 2004. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Karawang. 6.3
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Petani Sebanyak tiga puluh responden dalam penelitian ini adalah petani yang
sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap dan telah mengalihfungsikan lahannya ke non-pertanian. Sebelumnya, petani pemilik penggarap tersebut bergantung hidup sepenuhnya pada sektor pertanian. Mereka menganggap bahwa bertani merupakan mata pencaharian pokok. Adanya alih fungsi lahan yang terjadi akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Pola alih fungsi lahan yang terjadi di tingkat petani menurut luas lahan bahwa seluruh petani responden mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya secara keseluruhan. Besaran lahan sawah yang mengalami alih fungsi dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini. Tabel 14 . Luas Lahan yang Mengalami Alih Fungsi Luas Lahan (Ha) 0,1 – 0,5 > 0,5 Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Persentase (%) 56,67 43,33 100,00 74
Hal ini mengindikasikan adanya perubahan besar terhadap suatu kawasan dimana sebelumnya kawasan ini merupakan persawahan menjadi kawasan terbangun. Seharusnya ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah akan adanya dampak negatif yang akan timbul. Pola alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan penurunan luas lahan sawah secara besar-besaran yang berdampak pada penurunan luas kepemilikan lahan. Nantinya, hal ini akan mengurangi ketersediaan lahan yang akan mempengaruhi mata pencaharian petani dimana lahan merupakan sumber utama mata pencaharian petani. Lebih lanjut lagi, keadaan ini akan mempengaruhi kesempatan kerja di sektor pertanian dimana akan terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Furi (2007) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Petani pemilik yang telah menjual seluruh lahannya banyak yang berubah menjadi petani penggarap ataupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan karena mereka kurang memanfaatkan hasil penjualan lahannya. Selain itu kurangnya keterampilan yang mereka peroleh karena pendidikan mereka yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk beralih profesi ke sektor lain. Penerimaan dari hasil penjualan lahan yang mereka peroleh cukup bervariasi. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan luas lahan yang dijual dan harga lahan. Luas lahan sawah yang beralih fungsi rata-rata 0,737 hektar atau 7.370 m2 setiap petani. Tahun penjualan lahan yang dilakukan oleh petani berbeda-beda. Penjualan lahan tersebut terjadi sejak tahun 1997-2011. 75
Harga lahan yang diterima petani juga berbeda-beda tergantung letak lahan yang dijual. Harga lahan rata-rata yang diterima oleh petani berdasakan hasil penelitian di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur mulai dari Rp 25.000,00 per m2 pada tahun 2001 hingga Rp 90.000,00 per m2 pada tahun 2010. Jika harga lahan di wilayah ini dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor dimana kedudukan Kabupaten Bogor hampir sama dengan Kabupaten Karawang sebagai penyangga DKI Jakarta maka diperoleh adanya perbedaan. Berdasarkan hasil penelitian Astuti (2011) bahwa harga rata-rata lahan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor mulai dari Rp 82.000,00 per m2 pada tahun 2001 hingga Rp 270.000,00 per m2 pada tahun 2010. Tingkat harga yang lebih rendah menjadi pendorong bagi para pembeli yang sebagian besar berasal dari luar wilayah untuk membeli lahan di Kecamatan Karawang Timur khususnya Desa Kondangjaya. Lahan-lahan yang memiliki lokasi dekat dengan jalan raya maka akan memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang letaknya jauh dari jalan raya. Keadaan ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Von Thunen dimana lokasi merupakan faktor yang menentukan sewa lahan. Penggunaan hasil penjualan lahan yang diterima petani berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena memang penerimaan yang diperoleh juga berbeda-beda. Bagi petani (responden) yang memiliki lahan cukup luas, hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk membeli lahan sawah di wilayah lain yang memiliki harga lahan lebih murah. Namun, bagi petani yang tidak memiliki lahan luas, hasil penjualan lahan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau keperluan lainnya. Penggunaan hasil penjualan lahan yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini. 76
Tabel 15 . Penggunaan Hasil Pengalihfungsian Lahan oleh Petani Penggunaan Membeli sawah baru Memperbaiki Rumah Membeli Alat Transportasi dan modal usaha Lainnya Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Responden (%) 33,33 20,00 20,00 26,67 100,00
Berdasarkan Tabel 15 diatas sebesar 33,33 persen petani responden menggunakan hasil penjualan lahannya untuk membeli sawah. Pembelian lahan sawah banyak dilakukan di wilayah Desa Bengle, Desa Pasir Jengkol dengan harga
yang
lebih
murah.
Sebanyak
20,00
persen
petani
responden
menggunakannya untuk memperbaiki rumah dan 20,00 persen digunakan untuk membeli alat transportasi dan modal usaha. Pembelian kendaraan berupa motor, mobil, dan angkutan dapat digunakan sebagai sumber mata pencaharian baru dari hasil penjualan lahan. Sisanya, sebanyak 26,67 persen petani menggunakan hasil penjualan lahan untuk membiayai biaya sekolah anak, biaya naik haji, membeli rumah, biaya pernikahan anak dan keperluan lainnya. 6.3.2 Proses Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya berupa lahan sawah. Hal ini terjadi pada kisaran waktu 1997–2011. Sebagian besar lahan yang dialihfungsikan dijadikan sebagai perumahan. Hanya 6,67 persen dari tiga puluh responden yang alih fungsi lahan untuk jasa berupa klinik, bank, kontrakan dan lain-lain. Alih fungsi lahan sawah yang dilakukan petani responden pada dasarnya dapat terjadi secara sukarela ataupun secara terpaksa. Alih fungsi lahan sawah secara sukarela adalah proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh petani atas 77
dasar keinginan dari petani tanpa ada pengaruh dari orang lain. Sedangkan secara terpaksaan adalah proses alih fungsi lahan karena adanya paksaan pihak lain atau pengaruh dari kondisi wilayah. Tabel 16 . Proses Alih Fungsi Lahan Oleh Petani Responden di Kecamatan Karawang Timur Proses Secara Sukarela Secara Paksaan Jumlah Sumber: Data Primer (diolah)
Responden 13 17 30
Persentase (%) 43,33 56,67 100,00
Berdasarkan Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh sebagian besar petani karena terpaksa. Sebenarnya, petani tidak ingin menjual lahannya karena pertanian merupakan sumber mata pencaharian pokok.
Namun, akibat adanya bujukan dari makelar (calo) agar
petani mau menjual lahannya sehingga petani terbujuk dan mau menjual lahannya. Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan perumahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak adanya bargaining position yang dimiliki petani sehingga petanilah yang menjadi sasaran bagi berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu, lahan sawah yang mereka miliki berdekatan dengan pembangunan perumahan. Dengan adanya pembangunan perumahan di sekitar lahan pertanian menyebabkan terhalangnya saluran irigasi. Terhalangnya saluran irigasi ini mengakibatkan tidak adanya aliran air ke lahan pertanian tersebut. Hal ini mengakibatkan lahan menjadi tidak produktif lagi yang pada akhirnya akan merugikan petani.. Selain itu, ada juga petani yang proses alih fungsi lahan pertaniannya secara sukarela. Hal ini diseabkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan petani yang membutuhkan biaya tinggi. Sebesar 43,33 persen responden melakukan alih 78
fungsi lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya hidup sehari-hari, biaya sekolah, biaya pernikahan, biaya berobat, biaya naik haji, modal usaha, dan sebagainya. 6.3.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani Alih fungsi lahan yang terjadi dipedesaan tidak hanya dipengaruhi oleh
tingkat wilayah namun juga dipengaruhi oleh keputusan petani sendiri. Hal ini disebabkan karena lahan yang mengalami alih fungsi dimiliki oleh petani sehingga petani sendirilah yang menjual lahannya. Keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat usia, lama pendidikan, luas lahan, produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani. Dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan digunakan metode analisis regresi logistik dengan memasukkan variabel independent ke dalam variabel dependent. Adapun variabelvariabel independent yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahannya adalah usia, lama pendidikan, luas lahan, produktivitas, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani. Variabel dependent yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Bagi responden yang melakukan alih fungsi lahan pertanian diberi nilai 1 (Y=1) dan bagi reponden yang tidak melakukan alih fungsi lahan diberi nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan Metode Enter disajikan pada Tabel 17.
79
Tabel 17 . Hasil Estimasi Model Regresi Logistik Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengalih fungsikan Lahan Pertanian Variabel Constant Tingkat Usia (X1) Lama Pendidikan (X2) Luas Lahan (X3) Proporsi Pendapatan Sektor Pertanian (X4) Tanggungan Keluarga (X5) Pengalaman Bertani (X6) Produktivitas (X7)
Koefisien 1863,533 0,117 - 0,749 - 1.262
Sig 0.989 0,136 0,100 0,014
Exp (β) 1.124 0,473 0,283
Keterangan (-) Berpengaruh nyata ** Berpengaruh nyata ** Berpengaruh nyata *
- 18.518 - 0,151 -0,102 -1.613
0,989 0,743 0,130 0,158
0,000 0,860 0,903 0,199
Berpengaruh tidak nyata Berpengaruh tidak nyata Berpengaruh nyata** Berpengaruh tidak nyata
Sumber : Data Primer (olahan) Keterangan : * nyata pada taraf 5% ** nyata pada taraf 15% Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan metode enter diperoleh nilai -2 Log likelihood sebesar 21.730, Cox &Snell R Square sebesar 0,441, dan Nagelkerke R Square sebesar 0,653. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar dari nilai Cox&Snell R Square menunjukkan kemampuan ketujuh variabel bebas dalam menjelaskan varians alih fungsi lahan sebesar 65,3 persen dan terdapat 34,7 persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel dependen. Kemudian dalam pengujian goodness of fit (uji akurasi model) dilakukan dengan memperhatikan nilai sebaran chi-square . Nilai chi-square yang diperoleh dari Hosmer and Lemeshow Test sebesar 0,413 dimana nilai Sig tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan α=15 persen. Selanjutnya nilai Overall Percentage yang diperoleh sebesar 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dihasilkan baik. Model yang diperoleh dari hasil analisis regresi logistik adalah sebagai berikut: Y = 1863.533 + 0.117 X1 – 0.749 X2 – 1262 X3 – 0.102 X6 + ε …...……….(6.2) Berdasarkan model yang diperoleh dapat terlihat bahwa dari tujuh variabel independent yang diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk
alih 80
fungsi lahan sawah di daerah penelitian ternyata hanya empat variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah di tingkat pertani adalah usia, luas lahan yang dimiliki, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Signifika atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig < α (taraf nyata yang digunakan). Variabel usia memiliki nilai Sig sebesar 0,136. Hal ini berarti bahwa tingkat usia berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah pada taraf (α) 15 persen. Koefisien hasil output diperoleh bertanda positif (+) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 1,124 berarti bahwa untuk petani yang usianya lebih tua akan meningkatkan peluang untuk alih fungsi lahan sebesar 1,124 lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengalihfunsikan lahan . Semakin tinggi tingkat usia maka semakin tinggi tingkat alih fungsi lahan. Ini terjadi disebabkan karena semakin tinggi tingkat usia seseorang maka kondisi fisik akan semakin lemah. Mereka sudah tidak kuat lagi bekerja di sektor pertanian yang membutuhkan tenaga yang kuat. Kondisi ini membatasi kemampuan responden untuk menghasilkan sesuatu sehingga akan cenderung mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya. Apalagi dengan melihat kondisi saat ini dimana anak-anak mereka yang tidak lagi mengikuti jejak orang tua mereka untuk bekerja di sektor pertanian. Dengan mengalihfungsikan lahan, mereka dapat bekerja di sektor lain yang tidak membutuhkan tenaga lebih. Variabel luas lahan memiliki nilai Sig sebesar 0,014 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat petani pada taraf nyata (α) 5 persen. Nilai koefisien bertanda (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,283 menunjukkan peluang terjadinya alih fungsi 81
lahan akan semakin kecil. Semakin luas kepemilikan lahan maka peluang petani untuk mengalihfunsikan lahannya lebih kecil 0,283 kali dibandingkan petani yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam tingkat luas pemilikan lahan, petani yang memiliki lahan cukup luas cenderung untuk tetap mempertahankan lahannya sehingga peluang terjadinya alih fungsi lahan kecil. Sedangkan bagi petani yang memiliki lahan kecil cenderung untuk menjual lahannya. Hal ini diduga disebabkan karena luas lahan sangat berhubungan dengan penerimaan. Petani yang memiliki lahan lebih luas memiliki perolehan hasil produksi lebih besar sehingga penerimaan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan petani yang memiliki luas lahan lebih sempit. Hasil panen dari pengolahan lahan yang lebih sempit tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan petani sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi penerimaan yang diperoleh dalam mencukupi kehidupan sehari-hari. Saat ini, biaya usaha tani rata-rata sebesar Rp 5.500.000,00 per hektar dengan harga jual beras rata-rata Rp 3.300,00 – Rp 4.000,00 per kg. Jika hasil produksi yang dihasilkan besar, penerimaan yang diperoleh bisa menguntungkan petani. Namun, jika lahan sawah dilanda puso biaya usaha tani yang dikeluarkan akan semakin besar akan tetapi hasil yang diperoleh rendah. Variabel lama pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,100 menunjukkan bahwa variabel proporsi pendapatan sektor pertanian berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan pada taraf (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio 0,473 menunjukkan peluang responden mengalihfungsikan lahan semakin kecil. Semakin lama pendidikan yang ditempuh, maka peluang petani untuk mengalihfungsikan lahan lebih kecil 0,473 82
kali dibandingkan petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang. Semakin lama pendidikan yang ditempuh menunjukkan tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Terjadinya penurunan alih fungsi lahan disebabkan karena semakin tinggi pendidikan yang diperoleh maka semakin bijaksana dalam mengambil keputusan dalam mengalihfungsikan lahan yang dimiliki. Bagi seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki rasionalitas berpikir yang tinggi dalam melakukan suatu tindakan sehingga mereka akan berpikir berkali-kali dalam mengambil sebuah keputusan. Petani tentunya akan lebih memilih untuk tidak melakukan alih fungsi lahan karena mereka belum tentu berhasil dalam melakukan pekerjaan yang belum dikuasai. Pada hakekatnya, sebenarnya alih fungsi lahan sangat berhubungan dengan penghasilan yang diterima petani. Variabel independen lain yang berpengaruh terhadap terjadinya alih fungsi lahan di tingkat petani adalah pengalaman bertani. Variabel pengalaman bertani memiliki nilai Sig sebesar 0,130 menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh nyata pada taraf nyata (α) 15 persen. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dan nilai Exp (β) atau odds ratio sebesar 0,903 menunjukkan peluang responden mengalihfungsikan lahan semakin menurun. Petani yang memiliki pengalaman bertani cukup lama memiliki peluang mengalihfungsikan lahan lebih rendah 0,903 kali dibandingkan petani yang tidak mengalihfungsikan lahan. Hal ini mengindikasikan petani yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam bertani akan cenderung mempertahankan lahan yang dimilikinya. Bagi petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama cenderung memiliki keahlian yang tinggi di sektor pertanian sedangkan di luar sektor pertanian keahlian yang dimiliki 83
cukup minim. Hal ini menyebabkan mereka akan memilih untuk mempertahankan lahan dibandingkan harus menjual lahanya dan bekerja disektor lain selain pertanian. 6.4
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Petani Sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan bagi masyarakat
Indonesia. Sekitar 70 persen masyarakat Indonesia bergantung hidup pada sektor pertanian.
Lahan merupakan faktor produksi utama dalam pertanian dimana
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian bagi para petani. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah ke non-pertanian secara langsung akan berdampak pada penurunan luasan lahan. Selain itu, adanya alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya perubahan manfaat yang diperoleh dari adanya penggunaan lain. Hal ini mengakibatkan hilangnya hasil produksi yang berbanding lurus dengan luas lahan yang dialihfungsikan. Alih fungsi lahan ini juga akan berdampak langsung pada pendapatan usaha tani, lapangan pekerjaan, dan kesempatan kerja yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang dari kegiatan usahatani. Pendapatan usaha tani menjadi berkurang ataupun hilang, lapangan pekerjaan serta kesempatan bekerja di sektor pertanian menjadi berkurang. Selain itu, hal ini akan mendorong terjadinya perpindahan kesempatan kerja petani dari sektor pertanian ke nonpertanian. Produksi hasil pertanian yang hilang sebagai dampak langsung dari alih fungsi lahan tergantung dari luas lahan yang telah mengalami alih fungsi, produktivitas lahan, dan pola tanam yang dilakukan. Saat ini, Kecamatan Karawang Timur terus berupaya melakukan peningkatan produksi hasil pertanian 84
khususnya padi sawah dengan sisa lahan yang ada akibat alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahun. Berbagai cara terus dilakukan seperti pengembangaan metode SRI (System of Rice Intensification), program SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu), Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), Pengelolaan lahan dan air, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan produksi, dan produktivitas dan pemberian benih. Pengembangan program-program
tersebut
dilakukan
oleh
Dinas
Pertanian,
Kehutanan,
Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang dibantu para penyuluh Kecamatan karawang Timur untuk disampaikan kepada para petani. Seluruh petani di wilayah ini tetap mempertahankan komoditas padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena lahan sawah yang ada di wilayah ini memang cocok untuk produksi padi. Pola tanam yang dilakukan petani dengan dua kali tanam dalam setahun dan satu kali penanaman palawija. Namun, penanaman palawija ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para petani khusunya Desa Kondangjaya. Hal ini disebabkan karena adanya hama seperti kambing sehingga mereka hanya menanam padi. Dampak lain yang terjadi akibat alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya adalah terjadinya pergeseran mata pencaharian utama yang dilakukan petani. Sebagian besar petani responden yang melakukan alih fungsi lahan, sebelumnya merupakan petani pemilik penggarap. Namun, akibat alih fungsi lahan pertanian terjadi pergeseran mata pencaharian utama. Sebagian besar dari mereka tetap bertahan pada sektor pertanian. Akan tetapi, sebagian lagi beralih mata pencaharian di luar sektor pertanian. Perubahan mata pencaharian sebagai sumber pendapatan utama dapat dilihat pada Tabel 18. 85
Tabel 18. Sumber Pendapatan Utama Petani Setelah Melakukan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Persen) Sumber Pendapatan Petani pemilik penggarap Penggarap Buruh Tani Buruh Pabrik Buruh Bangunan Pengangkutan Pedagang Lainnya Jumlah Sumber: Data Primer (Diolah)
Responden (Persen) 13,33 36,67 6,67 3,33 6,67 3,33 6,67 23,33 100,00
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa sebesar 56,67 persen petani
tetap bertahan pada sektor pertanian sebagai sumber pengahasilan utama. Walaupun tidak semuanya merupakan petani pemilik penggarap, hanya 13,33 persen yang masih menjadi pemilik dan sisanya 36,67 persen dan 6,67 persen menjadi petani penggarap dan buruh tani. Selain itu, sebagian dari petani responden juga bermatapencaharian diluar sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Pekerjaan diluar sektor pertanian yang dilakukan petani responden berdasarkan hasil wawancara adalah bekerja sebagai buruh pabrik, bangunan, pengangkut, pedagang, dan lainnya. Kejadian-kejadian
tersebut
menunjukkan
gejala
akan
terjadinya
transformasi kegiatan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan mata pencaharian utama dari petani. Namun, akibat keterbatasan keterampilan yang dimiliki serta pendidikan yang rendah, hanya pekerjaan dengan upah rendah yang bisa mereka peroleh. Perubahan mata pencaharian utama yang terjadi, secara otomatis akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada 86
dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahan dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19. Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan Rata-rata pendapatan Responden Sebelum Alih Fungsi Setelah Alih Fungsi Perubahan
Usaha Tani Rupiah
Non Usaha Tani %
Rupiah
%
Rata-Rata Pendapatan Total Rupiah
%
1.205.520,09 84,81
215.933,94 15,19
1.421.514,03 100,00
532.251,85 40,95
767.444,40 59,04
1.299.796,30 100,00
-673.268,24
551.510,46
-121.71773
Sumber: Data Primer (diolah) Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan total responden (dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih fungsi lahan. Penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari non-usahatani. Namun, berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test terhadap pendapatan petani sebelum dan setelah alih fungsi lahan diperoleh thitung 0,438 dengan Sig 0,632 > taraf nyata (α) 5 persen yang menunjukkan lain bahwa bahwa pendapatan sebelum dan sesudah alih fungsi lahan adalah sama. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terjadinya alih fungsi lahan tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani. Hal ini 87
disebabkan karena perubahan mata pencaharian akibat adanya alih fungsi lahan tidak merubah pendapatan petani. Keterampilan rendah dan pendidikan rendah yang dimiliki oleh petani menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan. Petani hanya memperoleh upah yang rendah atau sama saja dengan pekerjaan sebelumnya dari pekerjaan di luar sektor pertanian. Tabel 19 menuliskan bahwa pendapatan baik yang diperoleh dari usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 84,81 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 15,19 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 40,95 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 59,04 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari yang berstrukur agraris ke non agraris dimana pendapatan diluar usaha tani mengalami peningkatan setelah alih fungsi lahan. Penurunan kontribusi sektor pertanian menunjukkan beda nyata karena berdasarkan hasil uji beda rata-rata dengan uji T-test diperoleh t-hitung sebesar 3,676 dengan signifikansi sebesar 0,001 dimana 0,001< taraf nyata yang digunakan 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh sektor pertanian atau pendapatan usaha tani. Adanya alih fungsi lahan di wilayah penelitian menyebabkan penurunan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani sebesar Rp 673.268,24.
88
6.5
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan Alih fungsi lahan pertanian sebagai dampak adanya pembangunan suatu
wilayah tidak hanya mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian tetapi juga berdampak pada lingkungan. Lahan pertanian seharusnya dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dimana berfungsi sebagai daerah resapan air, mengurangi pencemaran udara, pengendali banjir, dan lain-lain. Namun, setelah terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non-pertanian menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini paling besar dirasakan oleh masyarakat sekitar. Masyarakatlah akan dirugi dengan adanya pembangunan di wilayah mereka. Dalam proses pembangunan, banyak pembangun khususnya di Kecamatan Karawang Timur yang membangun tidak sesuai dengan ketentuan awal. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kecamatan Karawang Timur dimana salah satu tugasnya mengawasi pembangunan mengatakan bahwa banyak pembangun yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditulis dalam surat perizinan pembangunan dimana mereka melebihi dari ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuknya adalah pembangunan saluran air. Dalam pembangunan saluran air sebenarnya sudah ada ketentuan yang berlaku, kemudian mereka mempersempit luas saluran air. Hal ini mungkin kurang berpengaruh terhadap lingkungan untuk saat ini, namun dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang lebih luas. Desa Kondangjaya saat ini terus mengalami pembangunan. Pembangunan yang paling banyak dilakukan adalah perumahan dan pemukiman penduduk. Adanya pembangunan yang terjadi dapat memberikan dampak negatif terutama 89
terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di wilayah penelitian menujukkan bahwa sebagian besar responden tidak begitu merasakan dampak negatif terhadap lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian saat ini. Para responden masih belum merasakan dampak yang besar dari adanya pembangunan. Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan perubahan penggunaan lahan akibat pembangunan, namun sisa lahan khususnya lahan sawah masih cukup banyak untuk saat ini sehingga fungsi lahan sawah masih berfungsi dengan baik. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap lingkungan yang dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya saat ini diantaranya: sampah, kondisi udara, ketersediaan air, dan banjir. 6.5.1
Dampak Terhadap Sampah Terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya menunjukkan
adanya pembangunan yang dilakukan. Sampah merupakan salah satu dampak dari adanya
pembangunan.
Adanya
pembangunan
menunjukkan
terjadinya
peningkatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat secara langsung akan mempengaruhi jumlah limbah rumah tangga yang dihasilkan khususnya limbah padat (sampah). Jumlah sampah yang dihasilkan akan meningkat. Peningkatan jumlah sampah ini akan mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 10. Kondisi Sampah di Desa Kondangjaya 90
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana yang terlihat pada Gambar 10 bahwa kondisi sampah dirasa tidak mengganggu terhadap kondisi lingkungan di Desa Kondangjaya. Sebanyak 90,00% responden tidak merasa terganggu dengan sampah. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar dari mereka kurang memperhatikan kondisi lingkungan mereka. Berdasarkan hasil observasi di lapangan masih terlihat banyak sampah yang berserakan di pinggir jalan ataupun di sekitar halaman rumah. Jika hal ini terus dibiarkan, lama kelamaan hal ini akan mengganggu kondisi lingkungan sekitar. Akan tetapi, masih ada beberapa masyarakat yang masih peduli terhadap lingkungan dimana mereka membuang sampah pada tempat sampah dan melakukan pengelolaan sampah sehingga sampak tidak mengganggu kondisi setempat. Sebesar 10,00% responden mengatakan bahwa mereka merasa terganggu dengan adanya sampah. 6.4.2.2 Dampak Terhadap Kondisi Udara Udara merupakan salah satu indikator lingkungan yang sangat berpengaruh saat terjadinya pembangunan. Pembangunan menyebabkan wilayah tersebut menjadi ramai. Mobilitas kendaraan bermotor tinggi sehingga asap yang dihasilkan juga mempengaruhi udara. Limbah gas yang dihasilkan dari bangunanbangunan yang melakukan kegiatan didalamnya turut mempengaruhi kondisi udara. Kondisi udara yang dirasakan responden dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 11. Kondisi Udara di Desa Kondangjaya 91
Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagimana terlihat pada Gambar 11 bahwa perubahan kondisi udara tidak dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya. Sebanyak 90,00 persen responden mengatakan bahwa kondisi udara tidak tercemar. Hal tersebut disebabkan karena perubahan penggunaan lahan di wilayah penelitian sebagian besar digunakan untuk perumahan. Perumahan biasanya menghasilkan limbah gas hasil pembakaran dari kegiatan rumah tangga yang tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi udara. Berbeda halnya jika peruntukan lahan untuk industri, limbah gas hasil kegiatan industri mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dibuang ke udara akan berpengaruh terhadap kondisi udara. Udara akan tercemar gas-gas berbahaya. Sebanyak 10,00 persen responden menjawab bahwa kondisi udara di Desa Kondangjaya tercemar. Indikator pencemaran udara ini dilihat dari kondisi udara yang bercampur debu, asap kendaran dan lain-lain sehingga dirasa masyarakat cukup mengganggu. Hal tersebut disebabkan karena tempat tinggal ataupun tempat kerja responden yang dekat dengan jalan utama desa dimana mobilitas kendaraan bermotor sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap kondisi udara. 6.4.2.3 Dampak Terhadap Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Akibat adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian khusunya lahan sawah ke lahan non-pertanian menyebabkan ketersediaan air di dalam tanah semakin berkurang. Selain itu, adanya pembangunan juga menunjukkan jumlah penduduk yang meningkat sehingga konsumsi air akan meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat akan sulit dalam memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 92
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 12. Perolehan Air Bagi Responden di Desa Kondangjaya Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 12 menunjukkan bahwa sebanyak 82,5 persen petani tidak merasakan adanya kesulitan dalam memperoleh air. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya lahan-lahan sawah khususnya yang mampu menyerap air sehingga kondisi air didalam tanah masih dapat memenuhi kebutuhan hidup. Hanya 17,50 persen petani merasakan kesulitan dalam memperoleh air terutama pada musim kemarau. Tingkat sulit dan mudahnya perolehan air terlihat dari kuantitas air yang diperoleh. Seluruh responden memperoleh air dengan menggunakan sumur pompa dimana sumber air berasal dari air tanah. Terjadinya kesulitan air yang dirasakan oleh masyarakat disebabkan karena akibat pembangunan seperti perumahan. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan air untuk memenuhi kehidupan sehari-hari meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadi persaingan dalam memperoleh air semakin tinggi sehingga sebagian kecil responden merasa kesulitan dalam memperoleh air tanah. Air yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Kondangjaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih memiliki kualitas yang baik. Hal ini ditunjukkan dari respon masyarakat terhadap kualitas air yang digunakan pada Gambar 13. 93
Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 13. Kualitas Air di Desa Kondangjaya Berdasarkan Gambar 13 diatas menunjukkan bahwa seluruh responden mengatakan bahwa kualitas air di wilayah penelitian dalam keadaan baik. Kualitas air yang baik ini merujuk pada kondisi air yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan pertanian terhadap kualitas air di dalam tanah tidak begitu dirasakan masyarakat Desa Kondangjaya. Air tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, namun air juga dibutuhkan sektor pertanian untuk irigasi. Akibat adanya pembangunan di sektor non-pertanian mempengaruhi kualitas dan kondisi air irigasi. Kondisi air irigasi terhalang oleh bangunan sehingga lahan pertanian kekurangan air. Selain itu, akibat adanya pembangunan seperti perumahan, limbah cair yang dikeluarkan akan bercampur dengan air irigasi sehingga air tercemar. Hal inilah yang mendorong banyak petani pada saat itu menjual lahannya untuk dialihfungsikan. Namun, menurut beberapa responden yang diwawancarai, bagi lahan pertanian yang tetap bertahan terhadap kondisi tersebut akan menurunkan hasil produksinya sehingga merugikan petani.
94
6.4.2.4 Dampak Terhadap Banjir Alih
fungsi
lahan
pertanian
menyebabkan
terjadinya
perubahan
peruntukan lahan pertanian ke non-pertanian. Saat ini bangunan-bangunan semakin bertambah menyebabkan daerah-daerah resapan air semakin berkurang. Salah satu akibatnya dapat memicu terjadinya banjir. Dampak akibat alih fungsi lahan terhadap terjadinya banjir di Desa Kondangjaya dapat dilihat pada Gambar 14.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 14. Kejadian Banjir di Desa Kondangjaya Namun, hasil penelitian menyebutkan lain sebagaimana tertlihat pada Gambar 14 bahwa terjadinya degradasi lingkungan berupa banjir tidak dialami oleh masyarakat Desa Kondangjaya. Hanya 5,00 persen
responden yang
mengatakan bahwa banjir terjadi dengan frekuensi jarang. Banjir yang terjadi tersebut bukan banjir besar hanya saja saat terjadi hujan yang cukup lebat menyebabkan genangan air yang cukup banyak. Akibat genangan air yang cukup banyak, surutnya air pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal inilah yang disebut oleh sebagian kecil responden sebagai banjir. Sebagian besar (95 persen) responden yang mengatakan bahwa tidak pernah terjadi banjir di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya wilayah yang menjadi daerah resapan air. Lahan sawah yang masih 95
dapat terbilang cukup banyak sebesar 100 hektar atau 33 persen dari luas wilayah. Selain itu, walaupun pembangunan terus-menerus dilakukan namun tetap masih memperhatikan kondisi lingkungan untuk saat ini. Saluran air juga masih cukup terjaga kebersihannya saat ini sehingga air masih dapat mengalir dan tidak tersumbat. Akan tetapi, jika pembangunan dilakukan secara terus-menerus dimana sampai saat ini ada sekitar dua perumahan yang masih dalam proses pembangunan dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan maka banjir kemungkinan dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi karena dampak lingkungan berupa banjir dapat dirasakan dalam jangka panjang.
96