53
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Responden Karakteristik petani dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah tenaga kerja petani yang tersedia dalam keluarga, dan luas lahan pertanian. Sistem pertanian pada SIMANTRI 116 merupakan usahatani terintegrasi dengan pola tanam: tanaman jeruk, tanaman kubis, tanaman pisang dan ternak sapi Bali. SIMANTRI 116 dikelola oleh Gapoktan Budi Luhur yang merupakan gabungan dari enam kelompok tani yang ada di Desa Katung, beranggotakan 139 orang. Paket program SIMANTRI 116 diberikan bantuan oleh Pemda Bali pada Bulan Juli 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara 20 ekor induk sapi dengan ratarata berat badan 350 kg atau setara dengan nilai Rp 4.000.000,00 per ekor, sampai dengan penelitian ini dilaksanakan seluruh induk sapi telah beranak satu kali pada tahun 2012, saat ini induk sapi tersebut sedang bunting untuk anakan berikutnya. Hasil penelitian yang diperoleh dari 23 responden diketahui karakteristik petani sampel, khususnya yang meliputi umur responden, tingkat pendidikan responden, jumlah anggota keluarga, dan luas lahan garapan.
53
54
6.1.1 Umur responden Umur petani menunjukkan kondisi produktif atau tidaknya tenaga kerja yang terdapat di suatu dareah. Tenaga kerja produktif berada pada umur 25 hingga 40 tahun, sedangkan jika kurang atau lebih dari umur tersebut akan tergolong sebagai tenaga kerja kurang produktif tetapi masih termasuk dalam usia kerja. Penelitian yang dilakukan pada SIMANTRI 116, Gapoktan Budi Luhur dapat diketahui bahwa jumlah responden terdiri atas 23 orang. Umur petani bervariasi dan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Dalam batas-batas tertentu, semakin bertambah umur seseorang maka tenaga kerja semakin produktif, dan akan menurun pada umur tertentu. Umur responden yang bergabung dengan SIMANTRI 116 dapat dilihat pada Tabel 6.1 Tabel 6.1 Distribusi Umur Petani SIMANTRI 116 No 1 2 3
Kelompok umur (tahun)
30-40 41-50 >51 Total Sumber: diolah dari data primer
Jumlah (orang ) 12 7 4 23
(%) 52,17 30,43 17,39 100
Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 6.1 dapat diketahui bahwa petani yang bergabung dalam SIMANTRI 116 berjumlah 23 orang seluruhnya berada pada usia kerja. Petani yang terlibat dalam usahatani terintegrasi SIMANTRI 116, mempunyai usia yang berbeda-beda terdapat 12 orang berada pada usia 30 sampai dengan 40 tahun atau sebesar 52,17% terdapat tujuh orang berada
55
pada usia antara 41sampai dengan 50 tahun atau sebesar 30,43% dan terdapat empat orang berusia lebih dari 51 tahun atau sebesar 17,39%. Hal ini menunjukan bahwa petani berada pada usia produktif lebih mendominasi dibandingkan petani yang non produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa petani yang berada pada umur produktif lebih progresif terhadap inovasi baru sehingga cenderung lebih berani mengambil keputusan berusahatani. Di samping itu, masih besar potensi tenaga kerja yang dimiliki oleh petani tersebut dalam mengelola usahataninya, selanjutnya harapan untuk memperoleh pendapatan usahatani juga semakin besar.
6.1.2 Pendidikan responden Pendidikan formal menunjukan lamanya petani mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Pendidikan sangat penting bagi setiap orang, baik dalam kehidupan petani sehari-harinya maupun dalam hubungannya dengan kemampuan petani menerima teknologi baru dan informasi pertanian. Dalam penerapannya petani menjadi lebih terbuka terhadap adanya kemajuan teknologi yang bisa membantu kemudahan di bidang pelaksanaan teknis usahataninya. Tingkat pendidikan petani dapat dilihat pada Tabel 6.2. Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengelolaan usahatani hasil penelitian menunjukan bahwa responden mayoritas pernah mengenyam pendidikan menengah atas atau pendidikan responden tergolong tinggi. Tingkat pendidikan formal petani berkisar antara 12 sampai dengan 15 tahun, Dengan demikian, dapat diketahui bahwa wawasan pengetahuan petani, cara berpikir dan bertindak dalam rangka pengelolaan usahataninya tergolong tinggi.
56
Berdasarkan tingkat pendidikan, petani responden lebih banyak terkonsentrasi pada kelompok tamat SD yaitu sebanyak delapan orang (34,78 %), responden yang yamat SMP sebanyak tiga orang (13,04%), responden yang tamat SMA sembilan orang (39,13%) dan sisanya tamat perguruan tinggi ada diploma maupoun sarjana masing-masing satu orang (4,335%). Tabel 6.2 Tingkat Pendidikan Petani SIMANTRI 116 No 1 2 3 4 5 6
Pendidikan
SD SMP SMA D1 D3 S1 JUMLAH Sumber: diolah dari data primer
Jumlah (orang) 8 3 9 1 1 1 23
% 34,78 13,04 39,13 4,35 4,35 4,35 100,00
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden mayoritas SMA, dilihat dari pendidikan sudut pandang pendidikan formal petani di Desa Katung termasuk dalam katagori berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan petani responden tergolong tinggi, sehingga dengan bekal pengetahuan yang tinggi petani dapat menciptakan manajemen yang baik terhadap usahatani yang dikelolanya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pendidikan mencerminkan wawasan pengetahuan petani, sehingga cara berpikir dan bertindak dalam rangka pengelolaan usahataninya tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan responden, maka semakin tinggi kemampuannya dalam mengelola
57
usahatani dan semakin tinggi kemungkinan keberhasilan petani dalam menjalankan usahatani terintegrasi.
6.1.3 Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dikaitkan dengan jumlah penggunaan (sumbangan) tenaga kerja terhadap kegiatan produksi usahatani. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dapat digunakan dalam kegiatan produksi usahatani sehingga produktivitas akan lebih tinggi, dan demikian juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga juga akan berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga atau tingkat konsumsi rumah tangga. Jumlah anggota keluarga yaitu jumlah orang yang terdapat pada setiap keluarga petani, yang berusia produktif maupun pada usia non produktif. Banyaknya anggota keluarga non produktif
juga merupakan suatu faktor yang dapat
mempengaruhi beban keluarga. Jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 6.3 di bawah ini. Tabel 6.3 Jumlah Anggota Keluarga Petani No 1 2 3
Jumlah Anggota Keluarga
< 3 3–5 > 5 JUMLAH Sumber: diolah dari data primer
Jumlah (orang) 1 19 3 23
% 4,35 82,61 13,04 100,00
58
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden mempunyai anggota rata-rata empat orang dalam satu kepala keluarga. Jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga atau tingkat konsumsi rumah tangga. Sebagian besar responden atau sebanyak 19 rumah tangga (82,61%) tergolong ke dalam kelompok dengan anggota keluarga antara tiga hingga lima orang, dan sebanyak tiga rumah tangga (13,04% ) yang beranggotakan lebih dari lima orang. Dari keseluruhan, responden memiliki anggota keluarga tiga sampai lima orang, satu rumah tangga dengan anggota kurang dari tiga anggota keluarga. Rata-rata rumah tangga responden jumlah anggota keluarganya empat orang Jumlah tenaga kerja keluarga (TK) yang dapat dihasilkan dari jumlah anggota keluarga
petani merupakan stok tenaga kerja tersebut per bulan dengan asumsi
terdapat 22 hari kerja dengan tingkat upah pertanian sebesar Rp 40.000/hari tenaga kerja pria dan Rp 30.000/hari tenaga kerja perempuan. Rata-rata luas lahan garapan adalah 0,368 ha dan semuanya merupakan lahan kering untuk usahatani campuran antara tanaman jeruk, tanaman kubis, rumput gajah, pisang dan ternak sapi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga produktif, maka semakin banyak stok tenaga kerja dalam keluarga yang dapat dicurahkan pada produktifitas usahatani terintegrasi tersebut.
6.1.4 Luas lahan garapan usaha tani Simantri 116 Lahan merupakan salah satu input yang sangat penting dalam kegiatan usahatani. Lahan adalah tempat kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani.
59
Umumnya petani yang mempunyai luas lahan di bawah 0,50 ha sering disebut petani gurem (Soekartawi, 2010). Semua petani responden merupakan petani pemilik karena petani responden menggarap lahan tanpa mengeluarkan biaya sewa lahan. Sementara luas lahan garapan berpengaruh positif terhadap produktivitas usahatani dimana usahatani dengan luas lahan yang lebih besar akan memiliki produktivitas yangrelatif lebih tinggi daripada usahatani dengan luas lahan yang lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian luas lahan garapan petani responden bervariasi mulai dari petani yang memiliki luas lahan garapan 30 are hingga hingga petani yang mempunyai luas garapan satu hektar. Luas lahan garapan petani diperoleh rata-rata sebesar 1,06 hektar untuk kegiatan usahatani yaitu usahatani jeruk siem, usahatani kubis, pisang serta tanaman lainnya. Lahan seluas 10 are digunakan sebagai kandang koloni ternak sapi status milik sendiri. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebanya 30,43% atau sebanyak tujuh orang responden mempunyai lahan yang luasnya lebih dari 1,5 ha. Terdapat 52,17% atau sebanyak 12 orang responden yang mempunyai lahan sedang dengan luas antara 0,6 sampai 1,1 ha. Terdapat 17,39% atau empat orang responden yang mempunyai lahan sempit dengan luas lahan dibawah 0,5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kepemilikan petani cukup luas yang mempengaruhi hasil produksi pertanian. Semakin luas lahan yang dimiliki maka, semakin besar potensi hasil yang diperoleh, serta biaya usahatani yang dikeluarkan semakin besar. Luas kepemilikan lahan reponden dapat dilihat pada Tabel 6.3.
60
Tabel 6.3 Luas Kepemilikan Lahan Anggota SIMANTRI 116
No
Jumlah %
Katagori (Ha) Orang
1 Luas ( 1,5 > ) 2 Sedang ( 0,6-1,1 ) 3 Sempit (< 0,5 ) Jumlah Sumber: diolah dari data primer
7 12 4 23
30,43 52,17 17,39 100
6.2 Pola Integrasi Sapi Tanaman Hortikultura dan Ternak Sapi
Sistem pertanian terintegrasi menjadi salah satu cara mengelola pertanian yang efektif di Desa Katung, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Petani memanfaatkan seluruh komponen usaha tani agar saling mendukung antara pemanfaatan
hasil limbah dengan produksi yang diinginkan. Pola integrasi
diharapkan mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik,
meningkatkan pendapatan petani-
peternak. Berdasarkan hasil penelitian menujukkan bahwa sistem integrasi pertanian di Desa Katung, Kecamatan Kintanani Kabupaten Bangli telah berjalan dengan baik. Hal ini dapat diketahui bahwa adanya pengurangan penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jeruk siem. Pola integrasi tanaman jeruk, Pisang, kubis dengan ternak
61
sapi telah memberikan manfaat bagi petani terutama dalam beberapa hal sebagai berikut 1. Mengatasi masalah ketersediaan pakan pada musim tertentu, misalnya ternak sapi bisa diberikan pakan dari limbah batang pisang pada musim kemarau sebagai bahan pakan yang mengandung banyak air. Limbah jeruk dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dalam hal ini limbah buah jeruk yang jatuh akibat tiupan angin, maupun gulma yang dibersihkan dari sekitaran tanaman jeruk tersebut. 2. Dapat menghemat tenaga kerja untuk menyediakan pakan (rumput), sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara. 3.Usaha ternak dengan memanfaatkan limbah mampu menghemat biaya produksi jeruk terutama biaya pemupukan yang dapat diperoleh dari kotoran yang telah di olah. 4. Produksi jeruk siem telah meningkat dari sebelumnya sehingga pendapatan jeruk juga mengalami peningkatan. Sumber daya peternakan, khususnya ternak sapi merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna
meningkatkan
dinamika
ekonomi.
Beberapa
pertimbangan
perlunya
mengembangkan usaha ternak sapi di Desa Katung Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli antara lain. 1.Budi daya sapi tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2. Usaha ternak sapi memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes, 3.Produk sapi memiliki nilai tinggi terhadap perubahan pendapatan petani,
62
4.Dapat membuka lapangan pekerjaan bagi setiap petani tanpa memerlukan pendidikan Memanfaatkan sisa sayuran dapat dijadikan makanan ternak dengan cara ini peternak tidak perlu mencari rumput untuk yang menghabiskan waktu di jalan agar waktu yang ada dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lain serta memanfaatkan kotoran sebagai pupuk bagi tanaman holtikultura. Pengembangan ternak sapi yang dipelihara dengan tanaman hortikultura tidak membutuhkan sumberdaya lahan baru dan sumberdaya alam yang ada, limbah tanaman hortikultura dapat dijadikan pakan ternak yang setiap dipanen sehingga kebutuhan pakan ternak setiap hari dapat tersedia. Petani dapat memanfaatkan lahan kosong lebih optimal guna meningkatkan manfaat ekonomi. Sumberdaya input usaha ternak melimpah seperti hijauan antar tanaman (dari hasil pengamatan yaitu berupa rumput dan leguminosa) dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai pakan ternak tanpa mengganggu produktivitas sedangkan potensi limbah tanaman hortikultura dengan teknologi sederhana dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran hijauan pakan ternak sapi. Lahan sela tanaman hortikultura yang kosong masih bisa dimanfaatkan untuk budidaya rumput gajah atau yang lainnya. Limbah ternak berupa feses dijadikan pupuk kompos,urin juga ada yang menjadikan pupuk cair yang dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Produktivitas tanaman hortikultura yang mendukung pengembangan ternak sapi meningkatkan produktivitas dan mutu hasil komoditas hortikultura. Limbah ternak sudah dijadikan pupuk organik ,kotoran sapi serta urin telah dijadikan pupuk
63
untuk tanaman. Peningkatan produktivitas tanaman hortikultura dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan maupun tenaga kerja, serta menekan biaya pemupukan. Kompos dapat diperoleh dengan cara mudah dan murah dari kotoran sapi. Ternak sapi berperan sebagai mesin pengolah limbah atau pabrik penghasil bahan organik, dimana ternak sapi berpotensi menghasilkan kompos yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan kesuburan tanah. Selanjutnya ketergantungan usaha tani terhadap pupuk anorganik (komersial) yang semakin mahal dan langka dapat dikurangi karena pupuk organik (kompos) dapat digunakan sebagai pupuk tambahan dan potensial meningkatkan penerimaan tanaman holtikultura. Adanya kotoran sapi dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi di samping menjaga kelestarian bahan organik tanah. Setiap ekor sapi dewasa atau satu satuan ternak menghasilkan kotoran 8 –10 kg/hari (basah) yang dapat diolah sebagai pupuk organik sekitar 2 –3 kg/hari, sehingga dalam satu tahun diperkirakan mampu menghasilkan hampir 0,5 ton pupuk organik per ekor sapi. Selain diperoleh produksi utama berupa daging, juga diperoleh limbah berupa kotoran padat dan cair untuk pupuk organik dan biogas. Pupuk kandang selanjutnya digunakan untuk budidaya pertanian organik dan penanaman rumput-rumputan sebagai pakan ternak, sehingga terjadi siklus hara secara berkelanjutan. Simantri 116 Desa Katung, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli
sudah menjadikan kotoran
sapi untuk biogas sehingga untuk memasak rumahtangga sudah terpanuhi. Sehingga dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga. Pola pertanian terintegrasi antara pemeliharaan 23 ekor ternak sapi dan
hortikultura 20.53 ha telah mampu
64
meningkatkan pendapatan petani serta dapat memanfaatkan lahan kosong menjadi produktif.
6.3 Pendapatan Usahatani Penghitungan pendapatan usahatani dapat dilakukan dengan menghitung penerimaan dikurangi dengan biaya usahatani. Tidak ada jaminan bahwa diantara cara yang dianjurkan itu akan dihasilkan perencanaan yang optimum, yaitu memberikan pendapatan kotor tertinggi. Semuanya tergantung dari pendapat dan kebijaksanaan perencana dalam menggunanakan cara mana yang akan dipakai dengan syarat bahwa cara yang dipilih adalah cara yang baik dan benar (Soekartawi, 1986). Berdasarkan hasil penelitian pada Simantri 116 menunjukkan kegiatan usahatani, besarnya keuntungan kotor tiap kegiatan, kebutuhan terhadap sumberdaya oleh setiap kegiatan usahatani jeruk siam, kubis, pisang dan ternak sapi.
6.3.1 Pendapatan usahatani jeruk Siam Pendapatan usahatani jeruk diperoleh dari selisih penerimaan dikurangi biaya yang dikeluaran untuk produksi jeruk. Pendapatan responden diperoleh dari panen tanaman jeruk selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian pada Simantri 116 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan dengan rata-rata luas lahan 1.06 ha. Tabel 6.5 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk tanaman jeruk pada tahun 2012 untuk dua siklus produksi rata-rata 1,06 ha. Dari 23 petani sampel, diperoleh rata-rata pendapatan sebesar Rp 64.955.152 per tahun musim panen jeruk, rata-rata penerimaan sebesar
Rp
65
83.782.609,00 yang diperoleh dari penjualan jeruk selama satu tahun hasil panen. Rata-rata biaya produksi variabel
sebesar Rp 18.827.457,00. Biaya produksi
usahatani jeruk terdiri atas biaya penyiangan, penyemprotan, pemupukan dengan penggunaan tenaga kerja manusia. Biaya panen dilakukan bermacam–macam ada petani yang panen sendiri, ada sistem panen yang diserahkan pada pembeli dimana penjualan hasil jeruk dilakukan di pohon dengan harga yang lebih rendah bila dibandingkan dengan panen sendiri. Penjualan jeruk di pohon dilakukan karena lahan yang dimiliki cukup luas sehingga memerlukan waktu panen yang lama maupun tenaga yang banyak dan menghindari buah busuk apabila waktu panen yang terlambat. Menurut Soekartawi (1993), rendahnya tingkat pendapatan petani akan menyebabkan rendahnya investasi dan pemupukan modal. Dari dua puluh tiga petani responden diketahui bahwa pendapatan tertinggi sebesar Rp 224.000.000,00 dan pendapatan terendah diperoleh sebesar Rp 15.200.000,00. Pendapatan petani yang relatif berbeda disebabkan oleh perbedaan kepemilikan luas lahan garapan, besar kecilnya biaya yang dapat dialokasikan untuk kegiatan usahatani, harga pasar yang diterima pada saat panen, sehingga berdampak kepada pendapatan petani dan tingkat kesejahtraan rumah tangga petani. Pendapatan petani Simantri 116 pada komoditas jeruk tergolong sangat besar mencapai rata-rata pendapatan per kapita tiap bulan sebesar Rp 5.412.929,00. Dengan perolehan pendapatan yang besar maka petani akan termotivasi dan berusaha mengembangkan teknologi pemeliharaan yang tepat dalam upaya budidaya tanaman jeruk. Hal menunjukkan bahwa petani pada Simantri 116 sangat konsisten dan
66
menerapkan setiap program Simantri dalam hal menciptakan pupuk organik yang bagus agar dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan kesuburan tanaman. Selain itu petani juga terus mengembangan cara- cara efektif dalam menanggulangi hama dan penyakit melalui pemanfaatan biourine serta mengurangi penggunakan zat kimia hingga mencapai pada tahap berproduksi tanpa penggunaan zat-zat kimia. Tabel 6.5 Pendapatan SIMANTRI 116 Usahatani Jeruk Keprok Siem Jumlah Katagori No (Rp/Ha) Orang 1 Tinggi > Rp 65.000.000 8 2 Sedang Rp 50.000.000- Rp 65.000.000 7 3 Rendah < Rp 50.000.000 8 Jumlah 23 Sumber : diolah dari data primer
% 34,78 30,43 34,78 100
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat delapan orang responden memperoleh pendapatan di atas Rp 65.000.000 per tahun atau sebesar 34,78%. Responden yang memperoleh pendapatan sedang
yaitu berkisar Rp
50.000.000- Rp 65.000.000 sebanyak tujuh orang atau sebesar 30,43%. Responden dengan pendapatan rendah dibawah Rp 50.000.000 terdapat delapan orang atau sebesar 34,78%. Tinggi rendahnya pendapatan petani berpengaruh terhadap kesejahteraan anggota keluarga responden. Semakin tinggi pendapatan menujukkan semakin tinggi tingkat kemakmuran anggota keluarganya maka semakin sejahtera kehidupannya sehingga kualitas hidupnya pun semakin tinggi. Semakin rendah pendapatan responden cenderung semakin rendah kualitas hidup karena pendapatan lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota keluarganya.
67
6.3.2 Pendapatan usahatani pisang Iklim di Indonesia dikatagorikan cocok untuk pertumbuhan tanaman pisang, tetapi tidak semua jenis pisang dapat tumbuh subur di seluruh wilayah karena Indonesia terdiri dari dataran rendah, rawa-rawa dan banyak terdapat dataran tinggi Hal ini turut menentukan sentra tanaman pisang, terutama pisang raja (Soekartawi, 1986). Pisang dapat tumbuh dengan baik pada tempat yang berbeda. Tetapi secara umum tanaman pisang raja dapat tumbuh dan berbuah dengan baik pada dataran tinggi hingga 1000m dpl. Dengan curah hujan yang cukup tinggi (Soekartawi, 1986). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa komoditas pisang yang banyak ditanam di daerah penelitian adalah jenis pisang raja. Pisang merupakan salah satu komoditi yang dihasilkan oleh petani di Desa Katung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pisang merupakan komoditas dengan permintaan yang tinggi karena pisang merupakan salah satu sarana upacara bagi umat Hindu, sehingga setiap orang pasti menanam pisang. Pisang dapat digunakan mulai dari batang, daun, buah hingga bunga. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari responden Desa Katung bahwa budidaya pisang di Desa Katung bukan budidaya utama, melainkan tanaman yang dibudidayakan sebagai tanaman sela. Tanaman pisang bisa panen lebih awal dibandingkan tanaman jeruk. Budidaya
pisang dilakukan masih dengan
cara tradisional
dengan
perbanyakan vegetatif yaitu dengan memisahkan anakan dari induknya. Bibit yang dipisahkan bila anakan sudah berupa bibit rebung atau anakan bibit yang telah
68
mempunyai satu atau dua helai daun yang telah mekar. Pisang biasanya dipisahkan dari rumpun pohon induk yang produktif, berkualitas dan sehat. Pemeliharaan komoditas pisang diharapkan dapat menambah penjualan tunai dan bisa dikonsumsi sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi dari tanaman pisang sebesar Rp 750.000,00. Penerimaan diperoleh dari penjualan buah pisang dengan harga yang diterima sesuai harga pasar yang berlaku saat transaksi. Pendapatan terendah yang diperoleh petani hanya sebesar Rp 75.000,00. Tinggi rendahnya pendapatan petani dari hasil komoditas pisang tergantung dari jumlah pisang yang dijual. Selama ini pisang yang dijual hanya pisang yang dianggap berlebih, karena petani lebih banyak menggunakan hasil pisang sebagai sarana upacara dan konsumsi rumah tangga. Biaya pemeliharaan pisang tidak begitu besar, dan tidak membutuhkan pemeliharaan yang detail sehingga biaya yang dikeluarkan cukup rendah. Biasanya petani hanya membutuhkan tenaga waktu nenanam selanjutnya hanya menunggu pisang tersebut berbuah. Pisang tidak memerlukan penyemprotan, pemupukan yang berkala seperti tanaman jeruk atau kubis. Panen pisang hanya satu kali sehingga tidak memerlukan tenaga dan biaya yang besar. Di Desa Katung sering terjadi bahwa pembeli datang sendiri ke lahan petani untuk mengambil pisang yang akan dibeli, hal ini dapat menurunkan biaya operasional usahatani pisang Pada Tabel 6.6 dapat dilihat penerimaan tanaman pisang. Petani pada Simantri 116 mempunyai pisang rata-rata 26 rumpun tiap responden dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 276.978, 00 yang diperoleh dari penerimaan rata-rata sebesar Rp 319.000, 00 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp
69
43.000,00. Kepemilikan jumlah rumpun pisang berbeda-beda tiap responden, ada yang mempunyai cuma 10 rumpun tetapi ada juga pentani yang mempunyai pisang yang cukup banyak sekitar 50an rumpun. Kepemilikan jumlah rumpun pisang yang di sebabkan karena luas lahan yang dimiliki petani berbeda, dan berbeda pula perencanaan lahan tiap petani sehingga banyaknya komoditas yang dimiliki petani juga berbeda. Pendapatan usahatani pisang dapat dilihat pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Pendapatan Usaha Tani Pisang Jumlah No 1 2 3
Katagori (Rp/Ha) > Rp 300,000 Rp 200,000- Rp 300,000 < Rp 200,000 Jumlah Sumber: diolah dari data primer Tinggi Sedang Rendah
Orang 10 5 8 23
% 43,48 21,74 34,78 100
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa 10 orang responden atau sebesar 43, 48% memperoleh pendapatan di atas Rp 300.000. Responden yang memperoleh pendapatan sedang berkisar Rp 200.000-300.000 terdiri dari lima orang atau 21,74 %. Sisanya terdapat delapan orang atau sekitar 34,78% memperoleh pendapatan rendah yaitu kurang dari Rp 200.000. Besar kecilnya pendapatan pisang tergantung dari jumlah rumpun pisang yang dimiliki oleh petani. Semakin banyak rumpun pisang dimiliki maka potensi penghasilan juga semakin tinggi namun banyaknya pohon pisang dapat menurunkan produksi jeruk siam. Menanam pisang bukanlah suatu yang sulit, tetapi jika terlalu banyak pisang juga mempengaruhi jumlah sinar matahari yang diperoleh oleh tanaman pokok yaitu jeruk siam. Persaingan mendapatkan sinar akan mempengaruhi proses asimilasi
70
tanaman jeruk Hal itu juga yang menjadi pertimbangan petani dalam menentukan jumlah tanaman pisang yang ditanam. Sehingga pisang hanya ditanam pada lahan sela di sekitar tanaman jeruk agar tidak menggangu pertumbuhan tanaman jeruk.
6.3.3 Pendapatan usahatani kubis Kol atau kubis merupakan tanaman sayur famili Cruciferae berupa tumbuhan berbatang lunak. Batas kubis kadang-kadang bercabang dan panjang mencapai satu meter , berwarna daun hijau biru, yang sering membentuk roset. Daun besar, panjang mencapai 50cm tebal dan berdaging (Pracaya, 1981). Kubis dimaksud disini adalah kubis yang dapat berbentuk telur / bulat. Kubis dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Tanah ideal yaitu tanah liat berpasir yang cukup bahan organis. Memerlukan cukup air tetapi tidak berlebihan. Tumbuh baik pada tanah dengan pH 5,5-6,5 (Pracaya, 1981). Temparatur pertumbuhan kubis paling banyak di daerah dengan hawa dingin, sehingga kubis banyak ditanam di daerah dataran tinggi. Kubis dapat digunakan sebagai bahan pangan untuk keperluan masakan seperti sup, sayur lodeh, pecel, lotek dan lain-lain atau dimakan langsung (lalapan) bersama menu lain. Manfaat lain dapat dibuat produk makanan instan seperti mie, makanan ringan dan makanan cepat saji lainnya. Tanaman kubis dapat hidup pada suhu udara 10-240 C dengan suhu optimum 170 C. Untuk waktu singkat, kebanyakan varietas kubis tahan dingin (minus 6-10oC), tetapi untuk waktu lama, kubis akan rusak kecuali kubis berdaun kecil. Kebutuhan benih per hektar tergantung varietas dan jarak tanam, umumnya dibutuhkan 300 gram/ha (Pracaya, 1981).
71
Berdasarkan hasil penelitian pada Simantri 116 dapat diketahui bahwa pemeliharaan tanaman kubis diawali dengan pesemaian, biji kubis disemai kemudian setelah cukup besar dapat dipindah ke lapangan. Petani pada simantri 116 melakukan penanaman setelah mempersiapkan lahan yang tepat seperti pencangkulan tanah, penentuan jarak tanam, pemberian pupuk kompos, baru ditanami kubis. Kubis ditanam pada jarak yang bervariasi ada yang 3040 cm, ada juga yang 40-60cm tergantung kesukaan petani. Perawatan tanaman kubis sangat mudah, petani biasanya menyiram tanaman kubis cukup di sore hari jika musim kemarau, jika kubis telah berumur 10 sampai 14 hari maka dilakukan pemupukan. Pemupukan kedua dilakukan pada umur empat minggu dengan menebar pupuk di sekitar pohon kubis. Jika ada gulma maka tanaman disiangi serta tanah di sekitar kubis digemburkan. Penjarangan dilakukan saat pemindahan bibit ke lahan, yaitu saat bibit berumur enam minggu atau telah berdaun 5-6 helai (semaian biji) atau berumur 28 hari (semaian stek). Bila bibit disemai pada bumbung maka penjarangan tidak dilakukan. Sedangkan penyulaman hampir tidak dilakukan karena umur tanaman yang pendek (2-3 bulan). Untuk pencegahan penyakit, penyemprotan dilakukan sebelum hama menyerang tanaman atau secara rutin 1-2 minggu sekali dengan dosis ringan saat ini dilakukan dengan biourine yang dihasilkan ternak sapi yang telah diolah. Untuk penanggulangan, penyemprotan dilakukan sedini mungkin dengan dosis tepat, agar hama dapat segera ditanggulangi.
72
Panen kubis dilakukan dengan pemetikan. Pemetikan yang kurang baik akan menimbulkan kerusakan mekanis yang menyebabkan krop kubis terinfeksi patogen sehingga mudah pembusukan. Pemeliharaan kubis dilakukan dengan tujuan mendapatkan tambahan penjualan tunai sampai jeruk panen di bulan berikutnya. Panen kubis akan membawa angin segar pada petani yang membudidayakan kubis karena dapat menambah penghasilan di waktu tertentu. Hasil penelitian pada Simantri 116 dapat diketahui bahwa tidak semua petani menanam kubis. Hal ini disebabkan karen beberapa petani berpedapat bahwa kubis memerlukan perawatan yang ekstra. Kubis rentan dengan penyakit dan memerlukan tenaga kerja yang teratur dalam penyiraman apalagi di musim kemarau. Karena itulah tidak semua petani pada Simantri 116 mau menanam kubis meskipun ada jaminan mendapatkan pendapatan tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya tanaman kubis memberikan pendapatan yang cukup besar. Penerimaan kubis diperoleh dari hasil penjualan kubis dengan harga rata-rata Rp 1.000-2.000/kg. Petani juga ada yang menjual hasil panen kubis dalam keranjang dengan harga per kg sesuai harga kesepakatan antara petani dengan pembeli. Rata-rata penerimaan kubis sebesar Rp 1.478.260,00, biaya rata-rata usaha tani kubis sebesar Rp 378.686,00. Biaya pemeliharaan kubis dari pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan hingga waktu panen. Biaya yang dikeluarkan petani dihitung berdasarkan biaya variabel, karena penanaman kubis lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga petani.
Rata- rata pendapatan kubis diperoleh sebesar Rp 1.099.573,00 yang
73
diperoleh dari penggunaan lahan sebesar 68 are dari total luas lahan 24 Ha. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan luas lahan dapat memberikan hasil yang berbeda, tetapi jika dikerjakan dengan cara yang tepat akan memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Petani di Simantri 116 menanam kubis untuk pemanfaatan lahan sela dan memanfaatkan waktu yang senggang setelah panen jeruk pada bulan Januari hingga Februari. Tinggi rendahnya pendapatan petani dari komoditas kubis dapat dilihat pada Tabel 6.7. Tabel 6.7 Pendapatan Petani dalam Usahatani kubis
No 1 2 3
Katagori (Rp/Ha) > Rp 3000,000 Rp 1000.000- Rp 3000.000 < Rp 1000.000 Jumlah Sumber : Diolah dari data primer. Tinggi Sedang Rendah
Jumlah Orang 3 3 17 23
% 13,04 13,04 73,91 100
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hanya tiga responden yang mempunyai pendapatan tinggi lebih dari Rp 300.000 atau sebesar 13,04%. Responden memperoleh pendapatan sedang sebanyak tiga orang atau sebesar 13,04 %. Sisanya sebesar 73,91% atau 17 presponden memperoleh pendapatan di bawah Rp 1000.000. Tinggi rendahnya pendapatan responden dari komoditas kubis karena responden hanya membududayakan kubis tidak sepanjang tahun. Kubis hanya sebagai tanaman sela yang ditanam maksimal dua kali dalam setahun sambil menunggu panen jeruk siam. Budidaya kubis yang memerlukan cara perawatan dan pemeliharan tanaman jeruk.
yang sangat teratur dapat mengurani tumbuhnya gulma disekitar
74
6.3.4 Pendapatan usahatani ternak sapi Bali Selain usahatani jeruk, pisang dan kubis petani juga memelihara ternak sapi secara berkelompok. Melalui program Simantri ini petani mengetahui proses pembuatan pupuk kompos dari kotoran sapi serta mengolah sesuai petunjuk teknis dari program Simantri tersebut. Pembuatan pupuk kompos merupakan salah satu upaya dalam memanfaatkan kotoran ternak sapi. Selanjutnya telah mampu mengurangi penggunaan pupuk kimia. Saat ini Simantri 116 menjadi salah satu Gapoktan mandiri yang berhasil memperoleh hasil dari sistem pertanian terintegrasi antara tanaman dan ternak. Petani pada Simantri 116 telah mampu membuat pupuk sendiri dalam kelompok, dan memanfaatkan siklus tanaman dan ternak dalam pertanian sebagai bentuk sinergi dalam usahatani. Petani telah mendapat pendapatan yang lebih tinggi dari sebelumnya terutama pada produksi jeruk, peningkatan hasil jeruk. Sebelum menggunakan pupuk kompos dari kotoran sapi petani menggnakan kotoran ayam yang diperoleh dari peternakan ayam di sekitar maupun di kabupaten lain seperti Kabupaten Tabanan, Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Pada SIMANTRI 116
petani juga telah memperoleh pendapatan melalui
penjualan ternak sapi. Melalui pemeliharaan sapi ini petani melakukan secara berkelompok, segala kegiatan yang berhubungan dengan ternak sapi dilakukan bersama- sama. Dalam usaha ternak sapi terdapat satu unit kandang koloni dengan kapasitas 23 ekor beserta bibit sapi Bali sebanyak 23 ekor, unit gudang pakan, unit gudang kompos, unit biogas dan unit biourine. Usaha ternak sapi ini dilakukan petani, pada saat sebelum maupun setelah melaksanakan kegiatan di tegalan.
75
Ternak sapi yang dimiliki kelompok dari program Simantri berjumlah 20 ekor, sedangkan tiga ekor lagi adalah sapi milik petani yang bergabung dalam kelompok tersebut tetapi tidak mendapat bagian sapi, sehingga tiga orang petani tersebut memelihara ternaknya sendiri dengan harapan dapat memperoleh manfaat dalam kegiatan kelompok diluar kepemilikan ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian pada penggunaan lahan untuk kandang koloni dengan luas lahan 0,1 ha. Ternak sapi yang dimiliki berjumlah 23 ekor, diperoleh rata-rata pendapatan ternak sapi Bali adalah sebesar Rp 9.015.489,00 per tahun dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp 15.217.391,00. Dalam data tersebut pengunaan rata-rata biaya variabel dalam ternak sapi adalah sebesar Rp 6.201.902,00. Biaya produksi usaha ternak sapi
meliputi biaya pakan, IB (Inseminasi
Buatan), vaksin, dan bakalan dengan penggunaan tenaga kerja manusia. Penjualan ternak SIMANTRI dilakukan ketika ternak tersebut dalam keadaan mandul dan digantikan dengan ternak yang baru, sehingga mampu berproduksi dan menghasilkan limbah ternak. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa besarnya pendapatan yang diperoleh petani berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh penjualan pedet diperoleh dengan harga berbeda tiap orang tergantung harga pasar dan kesepakatan antara pembeli dan penjual. Pendapatan petani dari usahatani ternak sapi merupakan hasil kombinasi dari penerimaan penjualan pedet, penjualan pupuk kompos, penjualan urine dikurang biaya produksi.
76
Berdasarkan hasil yang diperoleh tiap tahun khususnya dari usaha ternak sapi belum menunjukkan angka yang tinggi. Tetapi hasil yang diperoleh petani menjadi meningkat dengan pola sistem pertanian terintegrasi antara jeruk, pisang dan kubis. Tabel 6.8 Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Bali No 1 2 3
Katagori (Rp/Ha) Tinggi > Rp 10.000.000 Sedang Rp 5.000.000-10.000.000 Rendah < Rp 5.000.000 Jumlah Sumber : Diolah dari data primer
Jumlah Orang % 0 0,00 23 100,00 0 0,00 23 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani ternak sapi menunjukkan usaha yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Pendapatan responden menunjukkan 100% sedang berkisar Rp 5.000.000 hingga Rp 10.000.000. Pendapatan ternak sapi jenis pembibitan hanya satu kali dalam setahun tiap ekor sapi. Tetapi pendapatan lain seperti pengolahan pupuk dan biourine diperoleh setiap hari. Usaha tani ternak sapi memberikan keuntungan jika dikelola secara koloni.
6.3.5
Penggunaan lahan dan perolehan pendapatan Pada kegiatan usahatani campuran terdapat pendapatan per unit sumberdaya
terhadap penggunaan lahan berdasarkan pola tanam dan rotasi tanam (Soekartawi 1986). Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh bahwa luas lahan pada Simantri 116 seluruhnya sebanyak 24,3 Ha. Luas lahan tersebut ditanami jeruk seluas 20,3 Ha,
77
lahan ditanami pisang seluas tiga hektar, luas lahan untuk tanaman kubis sebanyak 68 are dan lahan yang digunakan sebagai ternak sapi sebanyak 10 are. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84 % lahan ditanami jeruk karena di daerah ini petani mayoritas menanam jeruk sebagai tanaman unggulan, selanjutnya lahan pisang hanya 12,35 % hal ini menunjukkan bahwa petani menanam pisang sebagai tanaman sela yang dapat dipanen sewaktu-waktu, lahan sebanyak 2,8% merupakan lahan kubis karena petani yang menanam kubis hanya sebagian kecil saja dan memanfaatkan lahan sela sebagai pendapatan tambahan. Sisanya 0,41% digunakan sebagai kandang koloni ternak sapi. Tabel 6.9 Pendapatan Kotor per Unit Produksi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Pada Simantri 116.
Komoditas Jeruk Siam Pisang Kubis Ternak Sapi JUMLAH Sumber : Diolah dari data primer
Pendapatan/Ha (Rp)
Prosentase (%)
64.955.152 84,49 % 276.978 12,35 % 1.099.573 2,80 % 9.015.489 0,41 % 75.347.192 100%
Pada tabel 6.9 dapat ditunjukan bahwa lahan seluas 24,3 Ha yang digunakan untuk tanaman campuran. Komoditas yang ditanam jeruk siam, pisang., kubis, ternak sapi. Tanaman jeruk lebih diperioritaskan dan lebih cenderung dipilih dari pada tanaman pisang, dan kubis karena menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi per hektarnya dan memerlukan sumberdaya sama atau lebih sedikit. Dengan demikian tanaman jeruk siam mendominasi dibandingkan tanaman pisang dan kubis.
78
6.4 Analisis Anggaran Usahatani yang Beresiko Analisis keputusan beresiko dilakukan karena terbatasnya penguasaan terhadap iklim, pasar, harga dan lingkungan institusi tempat mereka berusahatani, petani senantiasa dihadapkan pada masalah ketidakpastian terhadap besarnya pendapatan usahatani yang diperoleh. Pada petani yang mempunyai luas lahan garapan kecil, faktor ketidakpastian merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh karenanya berperan besar dalam proses pengambilan keputusan (Soekartawi, 1986) Analisis ini merupakan bentuk analisis anggaran parametrik dengan memperhatikan faktor yang tidak dapat diramal secara pasti sebelumnya misalnya produksi, harga produk pertanian untuk petani berkelompok ( Soekartawi, 1986). Analisis anggaran usahatani yang berisiko ini dapat di rumuskan : G = y (p) –U –V Keterangan : G = Keuntungan kotor per tahun (Rp/th) y = produksi /ha (ton/ha) p = harga produk ( Rp/ton) U = biaya sarana produksi (Rp/ton) V = biaya lain-lain yang digunakan dalam proses produksi (max 10% dari biaya total) Berdasarkan hasil analisis anggran beresiko dapat diperoleh besarnya resiko tiap usahatani sebagai berikut. 1. Hasil analisis anggran berisiko produksi jeruk siem (ton/ha) G
= 419.000 (Rp 4000)-Rp 18.827.457- Rp1.882.745 = Rp 1.676.000.000- Rp 16.994.712 = Rp 1.659.055.288 / ton.
79
2. Hasil analisis anggran berisiko produksi pisang G
= 14.705 (Rp 500)- Rp 43.348- Rp 4335 = Rp 7.352.500- Rp 39.013 = Rp 7.313.487
Hasil analisis anggran berisiko produksi kubis G
= 1000 (Rp 3500) – Rp 378686,96 – Rp 3.786 = Rp 3.500.000- Rp 374.900,96 = Rp 3.125.099,04.
4. Hasil analisis anggaran beresiko produksi sapi = (23(Rp 4.417.391)) - Rp142.643.750- Rp 1.426.437 = - Rp 39.617.320 Besarnya keuntungan kotor berdasarkan analisis anggran berisiko pada seluruh komoditi yang dikelola pada Simantri 116 dapat dilihat pada Tabel 6.10 Tabel 6.11 Hasil analisis anggran usahatani yang berisiko
Komoditas G (jeruk) G (pisang) G ( kubis) G ( Sapi) Jumlah
Produksi x harga (Y.P) (Rp) 1.676.000.000 7.352.500 3.500.000 101.599.993 1.788.452.493
Biaya Sarana Produksi dan Lain-lain (u+v) (Rp) 16.944.711 39.013 374.901 141217313 158.575.938
Pendapatan Beresiko (Rp)
Rata- Rata Pendapatan Beresiko (Rp)
1.659.055.288 7.313.487 3.125.099 -39.617.320 1.629.876.554
72.132.838,61 317.977,696 135.873,87 -1.722.492,17 70.864.198
80
Sering terjadi bahwa variabel produksi (y) maupun harga (p) merupakan variabel yang tidak dapat dipastikan atau diramalkan sebelumnya, dan distribusi peluang subyektif dan dua variabel tersebut harus di evaluasi terlebih dahulu. Analisis anggaran yang memasukkan faktor resiko, sangat berhubungan dengan distribusi tersebut. Untuk itu diperlukan pendugaan terhadap biaya sarana produksi (u) dan biaya lain-lain (v) untuk memperoleh kemungkinan dari keuntungan kotor per tahun, (Soekartawi 1986). Dalam penelitian ini dapat dihitung langsung informasi yang diperoleh dari distribusi produkasi (y) dan harga (p), melalui analisis anggaran resiko petani dapat mengevaluasi pengaruh faktor ketidakpastian atau resiko terhadap keuntungan kotor usahatani per hektar untuk tanaman jeruk, pisang dan kubis. Pengeluaran usahatani per hektar bervariasi tergantung harga produk dan besar kecil produksi yang diinginkan. Dengan demikian harga produk dan besar kecilnya produksi merupakan variabel yang tidak dapat diduga sebelumnya. Besarnya pendapatan beresiko berbeda-beda tiap komoditas. Komoditas jeruk, pisang dan kubis menunjukan bahwa resiko yang dialami petani menunjukkan hasil positif hal ini berarti bahwa pendapatan riil petani masih lebih besar dari pada resiko yang timbul. Meskipun terjadi resiko terhadap usahatani jeruk, pisang maupun kubis tidak menimbulkan kerugian besar bagi petani, atau dengan kata lain petani masih bisa hidup layak. Usahatani ternak sapi menunjukkan nilai negatif hal ini berarti bahwa resiko yang dialami petani sangat besar. Jika ssatu ekor ternak sapi mengalami kemtian akibat faktor ketidak pastian maka seluruh penghasilan salah satu responden dari usaha ternak sapi akan hilang.
81
Hasil penelitian disajikan dalam Tabel 6.12 diketahui bahwa antara produksi dan harga tidak ada korelasi yang nyata, atau dengan kata lain antara distribusi produksi dan harga menyebar secara bebas. Tabel 6.12 Pendapatan usahatani Simantri 116
Komoditas
Luas lahan (Ha)
Pendapatan (Rp)
Produksi per tahun
(Ton/20,53ha) (Biji) (Ekor) 64.955.152 419 276.978 14.705 1.099.573 10
Jeruk Siam 20,53 Pisang 3,00 Kubis 0,68 Ternak Sapi 0,10 9.015.489 JUMLAH 24,3 75.347.192 Sumber : diolah dari data primer
644
14705
23 23
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh perbandingan pendapatan responden yaitu antara pendapatan riil dengan pendapatan anggaran berisiko sebesar 11 % untuk prosuksi jeruk siem, 15% selisih pendapatan produksi pisang, 88 % selisih pendapatan kubis, dan pendapatan sapi mempunyai selisih yang sangat besar mencapai 119% antar pendapatan riil dengan pendapatan beresiko. Hal ini menunjukkan bahwa setiap komoditas usahatani yang dikembangkan petani mempunyai resiko yang berbeda. Resiko timbul karena keterbatasan petani mengatasi ketidakpastian kondisi alam seperti curah hujan, pertumbuhan vegetatif tanaman, waktu terjadi serangan hama atau penyakit, dan harga pada waktu panen. Kombinasi antara peristiwa tersebut merupakan unsur ketidakpastian dalam sebuah pengambilan keputusan. Selisih pendapatan dapat dilihat pada Tabel 6.13.
82
Tabel 6.13 Selisih pendapatan riil dengan anggaran resiko
Komoditas
Jeruk Siam Pisang Kubis Ternak Sapi
Rata –Rata Rata- Rata Pendapatan Pendapatan Riil / tahun Beresiko ( Rp) (Rp) 64.955.152 72.132.838,61 276.978 317.977,696 1.099.573 135.873,87 9.015.489 -1.722.492,17
Selisih pendapatan Resiko riil dengan pendapatan pendapatan (%) beresiko -7.177.687 11 -41.000 15 963.699 88 10.737.981 119
Berdasarkan hasil analisis faktor beresiko dapat diketahui bahwa pendapatan riil berbeda dengan pendapatan beresiko yang diperoleh petani, hal ini mengindikasikan bahwa
seorang petani yang menghindari resiko akan memilih
tanaman yang akan menghasilkan keuntungan kotor yang kecil tetapi berisiko rendah, sebaliknya tanaman yang akan menghasilkan keuntungan kotor yang besar tetapi berisiko tinggi. Menurut Siregar dalam Soekartawi (1993), risiko dalam pertanian mencakup kemungkinan kerugian dan keuntungan dimana tingkat risiko tersebut ditentukan sebelum suatu tindakan diambil berdasarkan ekspektasi atau perkiraan petani sebagai pengambil keputusan. Hasil penelitian menujukkan sikap petani terhadap risiko. Pengambilan keputusan dapat digunakan untuk menduga apakah sikap petani mengambil risiko tersebut lebih kecil atau kurang besar. Membandingkan pengambilan keputusan terhadap penentuan besarnya uang yang diduga hilang sebagai akibat dari kerugian yang diderita, maka dapat diterangkan apakah-petani itu menghindar risiko, atau
83
mengambil risiko. Petani mempunyai nilai resiko atau kerugian yang berbeda tiap komoditas. Sikap petani terhadap resiko menanam jeruk yaitu adalah petani
yang lebih
menghindar dari faktor risiko dari pada mengalami kerugian yang ditunjukkan oleh nilai resiko sebesar 11 %, artinya bahwa petani terhindar dari risiko karena mempunyai nilai kerugian hanya sebesar Rp 7. 229.861 dari pendapatan yang diterimanya. Petani menanam pisang
kedua termasuk petani yang memang sengaja
mengambil risiko karena petani sangat membutuhkan pisang ditunjukkan oleh nilai resiko sebesar 15% sehingga kerugian yang hanya sebesar 41.000. Komoditas kubis yang ditanam petani memberikan nilai resiko sebesar 88% hal ini menunjukkan bahwa petani bisa mengalami resiko yang sebesar dari nilai uang yang diduga hilang karena tindakan yang berisiko yang diambil. Petani yang mengusahakan ternak sapi mengalami resiko yang sangat besar, dengan kata lain petani tidak mendapatkan uang karena ia mengambil keputusan yang Sebaliknya sikap petani memutuskan
berisiko.
memelihara sapi karena petani merasa
beruntung mendapat manfaat yang sangat besar dari komoditas jeruk siem yang telah dikelola dengan menggunakan limbah sapi sehingga mendapat pendapatan yang diharapkan, maka la cenderung memilih keputusan yang tidak berisiko yang diduga dapat menghasilkan lebih besar dari komoditas yang ditanam.
84
85
DAFTAR PUSTAKA Arief, Arifin. 1990. Hortikultura. Andy Offset. Yogyakarta. Bali dalam angka.2008-2012. Badan pusat statistik provinsi Bali. Budiasa, I Wayan. 2011. Pertanian Berkelanjutan: Teori dan Pemodelan. Udayana University Press, Denpasar. Cahyono, Bambang. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis. D), Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Gunawan dan M. Soejono. 1992. Analisi Ekonomi Suplementasi Konsentrat. Penebar Swadaya. Jakarta. Guntoro. 2002. Membudi dayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hermanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Jaya, U. 1976. Sapi Potong Menjanjikan Keuntungan. Cetakan ketiga. Penebar Swadaya. Jakarta. Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk bisnis dan ekonomi. Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis. PT. Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga. Milles dan Huberman. (1992) Analisis Data Kualitatif (tentang metode-metode baru), Jakarta: UI-Press. Moleong, J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya. Nasution. (2003). Metode Research. Penelitian Ilmiah. Thesis. Bandung, Jemmars. Rangkuti. 1976. Pengaruh Pengebirian dan Pemberian Pertumbuhan Sapi. Buletin LPP No. 15. Bogor.
Konsentrat
pada
86
Riduwan, 2004. Metode &Teknik Menyusun Tesis.Alfabeta. Bandung. Riduwan. (2006). Dasar-dasar Statistika. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sariubang, M. 1992. Sistem Penggemukan Sapi. Balai Penelitian Ternak. Grati. Siregar, S.S. 1996. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. Siregar,S. B. Dan Tambing. 1995. Analisis Penggemukan Sapi Potong di Desa Gebang. Kabupaten Wonogiri. Jawa Tengah. Pusat Pengembangan Penelitian. Bogor. Soekartawi, 1995. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasinya. CV Rajawali Jakarta. Soekartawi , A. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia. Sugeng, B. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Sugiyono. 2008 Metode Penelitian pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Sutarminingsih, L. 2004. Yogyakarta.
Peluang
Usaha
Penggemukan
Sapi.
Kanisius.
Tjakrawiralaksana, A.1986. Ilmu Usahatani. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tawaf R. 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Makalah Seminar. Jakarta: CIDES. Wiyono, DB. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.