VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN KOMUNITAS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU 6.1. Perubahan Kelembagaan yang Terjadi Dalam Komunitas 6.1.1. Kelembagaan Pangan Dalam sejarah komunitas kampung adat Cireundeu kelembagaan pangan mempunyai peran penting dan mewarnai perjalanan komunitas sampai ke bentuk yang sekarang. Dimulai dengan perjalanan spiritual seorang leluhur komunitas, Aki Haji Ali kurang lebih pada tahun 1918 yang melahirkan sebuah gagasan, seperti dituturkan kembali oleh seorang tokoh muda ( Bpk Yn, 30) sebagai berikut : Nyaah ka anak incu sesepuh kapungkur ngayakeun tarekah, anjeunna gaduh sawangan hiji mangsa lahan keur tani bakal ngurangan, kabutuhan hirup bakal walurat, manusa bakal nambahan. Anjeunna ngemutkeun deui tarekah sabari cumarios ka para putra; keun bae barudak, teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal boga sangu, teu nyangu asal tuang, teu tuang asal kuat. Sayang kepada anak cucu sesepuh dahulu berusaha, beliau memiliki pandangan suatu saat lahan untuk pertanian akan berkurang, pemenuhan kebutuhan hidup akan sulit, manusia akan bertambah. Beliau mengingatkan kembali kepada anak-anaknya; tidak apa-apa anak-anak, tidak punya sawah asal punya padi, tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal punya nasi, tidak masak nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Ti wangkit harita masyarakat nyobian, melalui proses nu teu gampang dugi ka genep taun, digagas tahun 1918 ku Aki Haji Ali, dugi ka tiasa ngalih kana Rasi tahun 1924. Sejak saat itu masyarakat mencoba, melalui proses yang tidak mudah sampai enam tahun , digagas tahun 1918 oleh Aki Haji Ali, sampai bisa berpindah ke rasi pada tahun 1924. Untuk sampai ke rasi ada ritual yang harus dilalui : ”Dewi sri, pohaci, kersa nyai, roh anu linggih dina daun pucuk buah beuti, sato darat sato cai. Sacara kabaheulaan roh teh hirup aya dina daun, sato; sadayana gaduh roh. Disuhungkeun ka gusti sikang sawiji-wiji, pami mah ridona kakiatan tina sangu beas ngalih kana ronggogodongan (daun pucuk buah beuti, sagala rupi anu hirup). “Dewi sri, Pohaci, kersa nyai, roh yang tinggal di daun, di pucuk pohon, di buah-buahan dan di umbi-umbian, hewan darat, hewan air (semuanya memiliki roh, meminta kepada Gusti sikang sawiji-wiji seandainya berkenan, kekuatan dari nasi beras berpindah kepada ronggogodongan (tanaman lain selain padi, semua mahluk yang hidup).
60
Selama beberapa dekade anggota komunitas tetap setia pada rasi, tetapi tradisi ini tidak berlanjut secara turun temurun. Generasi yang lahir berikutnya tidak seluruhnya makan rasi, tetapi mengkonsumsi beras. Terutama terjadi dalam keluarga anggota komunitas yang menikah dengan orang di luar komunitas, seperti yang di ungkapkan oleh ( Ibu Nng, 62) Teu janten masalah neng, ema nyangu dibentenkeun kanggo abah nyangu rasi kanggo ema sareng barudak nyangu beas da ari rencangna mah sami wae. Tidak jadi masalah neng, ema menanak nasi dibedakan, untuk abah menanak rasi, untuk ema dan anak-anak menanak beras, karena kalau lauknya sama saja (untuk abah dan anggota keluarga lain).
Menurut Yana, ide/gagasan untuk tidak makan nasi bermula dari keinginan Aki Haji Ali, Anjeunna hoyong merdeka lahir batin, dimaknai pada saat sekarang sebagai bentuk kemerdekaan yang tidak terikat pada beras. Ketika terjadi gejolak bahan pangan dan harga beras meningkat, maka komunitas Cireundeu tidak terpengaruh oleh masalah tersebut. Dalam ide dan gagasan mengenai pangan ini, terdapat etika kemandirian dan etika pembebasan yang menjadi semangat dan ingin diwujudkan dalam kehidupan komunitas dengan memproduksi dan memberi makan komunitas “dari dalam” sistem komunitas sendiri. Dewi Sri, Pohaci atau Kersa Nyai adalah nama lain dari beras yang diberikan oleh komunitas di masa lalu sebagai bentuk penghormatan terhadap beras, seperti yang diungkapkan oleh Bpk Yn: “Keun bae barudak teu gaduh beas oge tapi Kersa Nyai kedah dipusti-pusti” ( tidak masalah tidak punya beras tapi kersa nyai harus tetap dihormati). Wujud penghormatan diaplikasikan dalam bentuk setiap rumah menyimpan padi dalam gentong, apabila padi tersebut telah kosong dan hampa maka diganti dengan yang baru, demikian terus berlanjut sampai sekarang. Sebelum bencana TPA Leuwigajah, sebagian besar anggota komunitas turun temurun memiliki sawah dan bertanam padi, setelah sawah yang mereka miliki tertimbun sampah dan kemudian melalui proses yang panjang maka sawah tersebut kemudian dibeli oleh Pemerintah Daerah, sehingga komunitas tidak memiliki sawah lagi.
61
Menyimpan padi dalam gentong merupakan wujud kelembagaan “food security” dalam komunitas, padi sebagai bahan pangan harus selalu ada di dalam rumah tetapi fungsi kelembagaan ini telah bergeser menjadi sekadar simbol. Di masa lalu padi yang dihasilkan dijual dan sebagian kecil disisihkan di dalam gentong, tetapi pada saat sekarang warga komunitas membeli padi untuk mengisi gentongnya. Sistim pengadaan pangan yang dulu bersifat self sufficiency sekarang menjadi dependency terhadap pasar, etika kemandirian perlahan bergeser menjadi pragmatis, padi bisa didapat dengan mudah di pasar tanpa harus bersusah payah menanam padi. Sehingga pada akhirnya lembaga “gentong” dari sawah sendiri berubah menjadi gentong eks pasar. Implikasi lebih jauh tidak sekadar pergeseran fungsi kelembagaan food security tetapi meningkatkan “ kecintaan “ orang kepada uang secara berlebihan. Orang membutuhkan uang lebih banyak untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Lapangan kerja di seputar komunitas masih terbatas dalam bidang pertanian dan peternakan yang tidak terlalu luas. Maka ketika orang tidak bisa mendapatkan
uang secara kontan, kerawanan sosial menjadi masalah yang
muncul kemudian. Wujud ketidak berlanjutan dalam hal pangan bisa diketahui dengan masuknya komunitas Cireundeu di RT 02, 03 dan RT 05 dalam daftar penerima program bantuan beras untuk masyarakat miskin.
6.1.2. Kelembagaan Adat Kelembagaan masyarakat adat sebagai suatu entitas sosial memiliki aturan dan norma hukum yang mengikat seluruh komunitas di dalamnya. Menurut Tony (2003) kelembagaan sosial merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan mengarah pada seperangkat norma dan nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu tatanan dalam berperilaku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Kelembagaan adat di komunitas kampung adat Cireundeu adalah kelembagaan yang terbentuk karena sistem keorganisasian adat, sebagai bentuk adaptasi atas perkembangan komunitas. Lembaga adat ini bernama sesepuh. Sepuh dalam bahasa Sunda
berarti orang yang secara biologis berusia
tua,
62
sedangkan dalam arti yang lebih luas sesepuh bermakna orang yang dianggap mumpuni dan biasanya digunakan terhadap orang yang selain tua secara biologis tetapi juga berwawasan luas, menjadi tempat orang bertanya.
Dalam
kapasitasnya, sesepuh mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan bagi kepentingan komunitas. dalam komunitas kampung adat Cireundeu, sesepuh merupakan trium virat yang terdiri dari Sesepuh yang bertugas memimpin komunitas, ais pangampih yang berfungsi sebagai pelindung, serta paniten yang bertugas untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi komunitas serta anggotanya, terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan pihak diluar komunitas. Sesepuh bisa disebut sebagai lembaga adat karena dalam perkembangan komunitas kampung adat Cireundeu sesepuh dengan sengaja dibentuk serta memiliki struktur organisasi kepemimpinan sebagai antisipasi atas kebutuhan komunitas yang semakin berkembang. Komunitas kampung adat Cireundeu memiliki ruang pertemuan
yang
disebut bale, menurut istilah fonologisnya bale berarti balai atau ruang tempat pertemuan. Seperti pada umumnya masyarakat Sunda pada zaman dahulu, setiap rumah memiliki bale- bale dan dipergunakan untuk berkumpul serta berbincang dengan keluarga. Namun karena keterbatasan lahan, dalam perkembangan berikutnya tidak semua rumah memiliki bale, Kemudian bale dibangun khusus untuk tempat berkumpul warga komunitas kampung adat Cireundeu dan bale menjadi sebuah kelembagaan serta menjadi tempat untuk membahas masalah yang berkaitan dengan kehidupan warga sehari-hari, kegiatan yang berkaitan dengan masalah ritual dan melaksanakan adat istiadat/tradisi setempat.
63
6.2. Perubahan Cara Pandang atau Moral Values dalam Komunitas Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses
sosialisasi.
Moral
adalah
nilai
ke-absolutan
dalam
kehidupan
bermasyarakat secara utuh. Dalam filosofi hidup komunitas Kampung Adat Cireundeu moral menempati posisi yang tinggi, merupakan ide yang menjadi landasan hidup dan terdapat dalam semua gerak langkah kehidupan anggota komunitas. Seiring berjalannya waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling komunitas maka nilai-nilai moral mengalami pergeseran. Seperti dalam urusan pangan di mana terdapat moral etika kemandirian dan etika pembebasan di dalamnya, serta ingin diwujudkan dalam kehidupan komunitas dengan memproduksi dan memberi makan komunitas “dari dalam” sistem komunitas sendiri. Sekarang komunitas lebih fleksibel dan toleran terhadap pilihan sumber pangan anggota komunitas dan bagaimana cara mendapatkannya apakah dengan membeli atau hasil dari lahan sendiri, sehingga sekarang tidak seluruh anggota komunitas mengkonsumsi singkong sebagai bahan pangan utama. Tetapi di sisi lain komunitas adat Cireundeu tidak bisa menerima konsekuensi pilihan anggotanya, pada pihak luar tetap ditampilkan komunitas yang utuh yang hanya mengkonsumsi singkong serta dideklarasikan sebagai keunikan mereka dan menjadi pembeda dari komunitas lainnya; dengan demikian moral kejujuran dan keluguan dalam komunitas telah mengalami dekadensi.
64
Tabel 9 Perubahan Struktur Sosial dan Sistem Nilai Budaya di Kampung Adat Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat, 2008 Item
Keunggulan Nilai-Nilai di Masa Lalu Solidaritas Sosial Penerimaan, Keadilan Pengendalian Sosial • Kepatuhan kepada pemimpin adat • Kejujuran Derajat Tingkat Tidak beragam kesejahteraan Sosial Integrasi Sosial Tidak ada konflik Kemandirian Keseimbangan antara Pangan produksi dengan konsumsi tinggi
Keadaan Sekarang Eksklusivisme, Tidak Adil • Pembangkangan • Berbohong Disparitas kaya-miskin Ada potensi konflik • Tidak semua anggota komunitas menggunakan rasi sebagai bahan pangan utama • Mendapat bantuan Raskin
Sumber : data primer (diolah), 2008
6.2.1
Perubahan dalam Sistem Ekonomi Tonny dan Dharmawan mengemukakan, dalam konteks pembangunan
ekonomi yang lebih spesifik berorientasi kepada perubahan dari paradigma “pembangunan yang berpusat kepada produksi” ke paradigma “pembangunan yang berpusat pada rakyat” (People-Centered Development) maka ideologi kebijakan pembangunan dan pengembangan kelembagaan di tingkat nasional, lokal dan komunitas merujuk kepada implementasi prinsip-prinsip desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, keswadayaan lokal dan prinsip sustainability. Dalam sistem ekonomi, pada saat sekarang Komunitas Adat Cireundeu tidak lagi mampu menjalankan seluruh dimensi kearifan lokal yang mereka miliki dalam membangun komunitasnya. Sumber-sumber lokal yang terbatas baik sumber fisik maupun SDM tidak termanfaatkan secara optimal. Komunitas tidak bisa menangkal hama tanaman singkong yang menyerang dan menurunkan produksi singkong sampai ke titik terendah, padahal singkong adalah bagian hidup dari komunitas, maka selayaknya dengan keterampilan lokal yang dimiliki
65
mereka mampu menggenggam singkong. Di sisi lain komunitas tidak dapat memanfaatkan teknologi “modern’ untuk mengolah singkong yang diperkenalkan oleh pemerintah, penyebabnya antara lain karena produksi hasil kebun tidak sesuai dengan kapasitas alat pengolah yang lebih besar dari hasil singkong ditanam. Sistem ekonomi/pertumbuhan ekonomi dalam komunitas mengalami stagnasi, mereka hanya mampu berproduksi untuk mencukupi kebutuhan sendiri bahkan sistem yang ada tidak mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sehingga sebagian anggota bekerja di luar komunitas pada lapangan kerja modern di sektor industri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
6.2.2. Perubahan dalam Hubungan Sosial Dalam hal kehidupan sehari-hari lembaga adat selain berhubungan baik dengan semua warga, juga menjalin hubungan baik dengan pihak luar, baik pemerintah maupun komunitas lain. Adapun pola hubungan lembaga masyarakat adat dengan pihak luar dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4 Pola Hubungan Komunitas Adat Cireundeu Dengan Pihak Luar Dinas Sosial Provinsi
Dinas Perindagkop Kota Cimahi Komunitas
Komunitas Masyarakat Lain
: Hubungan vertikal : Hubungan Vertikal : : Hubungan Horizontal
Sumber : Data Primer (diolah), 2008
Lembaga Masyarakat Adat
Kelurahan Leuwigajah
66
Lembaga masyarakat adat sebagai satu-satunya lembaga informal yang ada dalam komunitas terbentuk secara turun temurun sejak dahulu. Secara horizontal lembaga masyarakat adat berhubungan dengan warga komunitas kampung adat Cireundeu dalam hal menangani persengketaan maupun masalah adat istiadat dan ritual keagamaan lainnya. Hubungan horizontal lembaga masyarakat adat dengan komunitas luar/warga lain biasanya terkait dengan proses pembelajaran budaya luar komunitas adat, juga masalah-masalah yang berkenaan dengan aturan, hak, dan kewajiban masing-masing pihak yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Hubungan/jejaring lembaga masyarakat adat terjadi dengan Dinas Perindagkop Kota Cimahi, Kelurahan Leuwigajah, Organisasi Sosial, Perguruan Tinggi dan Kelurahan Leuwigajah. Hubungan dengan Kelurahan Leuwigajah berkaitan dengan masalah administratif di mana kampung adat Cireundeu merupakan wilayah administratif
Kelurahan Leuwigajah. Jejaring vertikal
dengan Kelurahan Leuwigajah, Dinas Perindagkop dan Pemkot Cimahi berkaitan dengan tugas Pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat khususnya pada komunitas adat, dimana secara vertikal jejaring tersebut bersifat top-down. Dalam kelembagaan komunitas adat kampung Cireundeu, pola hubungan didasarkan pada adat istiadat dan tradisi. Pola hubungan tersebut secara vertikal mengatur peran dan fungsi sesepuh sebagai pengambil keputusan, memberikan pertimbangan kepada anggota komunitas khususnya untuk kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan di dalam komunitas. Sementara pola hubungan secara vertikal antara kelembagaan masyarakat adat dengan pemerintah daerah baik di tingkat kelurahan maupun tingkat kecamatan lebih bersifat administratif dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan di daerah. Adapun pola hubungan vertikal dengan Pemerintah Daerah Kota Cimahi maupun Provinsi Jawa Barat masih bersifat top-down, khususnya dalam pelaksanaan program pemberdayaan.
67
6.2.3. Perubahan dalam Solidaritas Sosial Nilai kesetiakawanan dalam suatu masyarakat muncul dari rasa senasib sepenanggungan, nilai ini akan semakin kokoh apabila dalam kelompok masyarakat dimaksud memiliki banyak persamaan. Dalam komunitas kampung adat Cireundeu persamaan tersebut dibangun dari mulai cara hidup, ritual keagamaan serta jenis konsumsi; dimana semua faktor ini menjadi pembeda dari kelompok masyarakat lainnya serta mengeratkan dan menumbuhkan pemahaman bahwa mereka satu kesatuan serta berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Dalam perjalanannya ternyata faktor pembeda ini menyebabkan ekslusivitas dalam komunitas, bahwa mereka merasa lebih baik dari kelompok masyarakat lainnya. Akibatnya toleransi dan rasa kebersamaan terhadap komunitas lain menjadi kurang, seperti yang dikatakan oleh salah seorang warga, AE ketika ditanya bagaimana bila ada warga diluar komunitas yang sakit dan membutuhkan bantuan atau warga yang melaksanakan hajatan maka jawabannya adalah bahwa yang bersangkutan akan menyumbang lebih banyak untuk warga komunitasnya sendiri.
6.2.4. Integrasi Sosial Syamsuddin dalam Amal dan Armawi (1996) mengemukakan bahwa dalam konteks Indonesia, istilah integrasi nasional merujuk pada integrasi atau keterpaduan dalam segala aspek kehidupan bangsa yang secara umum meliputi sosial, budaya, politik dan ekonomi. Lebih lanjut disampaikan, sebagai suatu proses integrasi menekankan pada persatuan persepsi dan perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Di bagian lain Syamsuddin mengatakan, di dalam masyarakat ditemukan integrasi dalam dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Dalam vertikal, integrasi nasional bertujuan mengintegrasikan persepsi dan perilaku elit dan massa, yaitu dengan menghilangkan atau mengurangi kesenjangan-kesenjangan antara kelompok yang berpengaruh dengan kelompok yang dipengaruhinya. Sementara di dalam dimensi horizontal, integrasi nasional berkaitan dengan kadar integrasi antara kelompok-kelompok masyarakat, pada dimensi ini proses integrasi diarahkan pada upaya untuk menjembatani perbedaan yang dilahirkan oleh faktor-faktor teritorial (termasuk kultural) dengan jalan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan.
68
Komunitas adat Cireundeu berada dalam situasi marginalisasi peran budaya lokal dalam menunjang kehidupan masyarakat. Sehingga terjadi disfungsi nilai-nilai budaya lokal. Seperti yang disampaikan oleh Adimiharja (2008,108) bahwa meskipun di kalangan sebagian masyarakat nilai-nilai budaya itu terus dipraktekkan, tetapi etos budaya lokal tersebut ditengah-tengah masyarakat pendukungnya semakin lama semakin sirna. Lebih lanjut Adimiharja mengatakan bahwa intervensi dan penetrasi yang bersifat struktural baik secara nasional maupun global menyebabkan masyarakat lokal menjadi kehilangan landasan moral dan etika dalam mempertahankan identitas diri. Kemudian terjadi apa yang disebut disintegrasi sosial dengan berbagai bentuk perilaku kekerasannya. Integrasi sosial yang pada awalnya merupakan bagian dari nilai lokal sebuah komunitas, berubah menjadi sesuatu yang langka termasuk dalam komunitas kampung adat Cireundeu. Pengaruh budaya modern yang cenderung individualis serta faktor kesulitan hidup menjadi salah satu penyebab mengapa tanggung jawab sosial warga komunitas cenderung memudar. Ketika ada wacana pembukaan kembali TPA Leuwigajah, sebagian besar warga komunitas memberikan respon beragam, tetapi pada intinya sama mereka menginginkan kompensasi yang bersifat pemenuhan keinginan individual, tanpa memperdulikan kepentingan besar dibalik pembukaan TPA tersebut. Seperti dikatakan oleh salah seorang Sesepuh Bpk. E (70) sebagai berikut : “kuduna mah pamarentah teh nanya kumaha bapa ka anak, cik maneh the hayang naon”.
(Seharusnya pemerintah bertanya
seperti bapak ke anaknya, coba kamu itu menginginkan apa).
6.2.5. Kepemimpinan Lokal Pemimpin lokal dalam komunitas adat Cireundeu disebut sebagai sesepuh. Seseorang menjadi sesepuh terjadi dengan sendirinya; tidak berdasar keturunan, tidak diangkat, tidak dipilih apalagi melalui ritual tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Wd, 47thn. “Seleksi alam, teu aya nu diangkat, teu aya nu diturunkeun. Janten sesepuh karena pengabdian”. Contona, Pa Emen sangat peduli, respon terhadap masarakat di dieu, janten pas sesepuh ngantunkeun otomatis Pa Emen janten sesepuh najan teu aya basa Pa Emen diangkat” (Seleksi alam, tidak ada yang diangkat dan tidak ada yang diturunkan, jadi sesepuh karena pengabdian, contohnya Pak Emen sangat peduli, merespon (kebutuhan) masyarakat sehingga ketika sesepuh meninggal maka otomatis
69 Pak Emen menjadi sesepuh walau tidak secara lisan (diucapkan) Pak Emen diangkat)
Orang yang menjadi sesepuh adalah orang yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan serta peduli pada lingkungan sekitarnya. Biasanya orang tersebut “dituakan” dan menjadi tempat bertanya warga komunitas lainnya. Seorang sesepuh Cireundeu biasanya memiliki profil seperti pada umumnya seorang pemimpin, memiliki kemampuan “tawar-menawar” dengan pihak lain, dan bisa tampil mewakili komunitas. Dalam prosesnya terdapat prinsip demokratis dan keputusan kolektif dari anggota komunitas yang menentukan seseorang menjadi ketua adat atau tidak. Proses regenerasi sesepuh juga terjadi secara alamiah, ketika seorang sesepuh sudah berusia lanjut maka sesepuh tersebut mundur dengan sendirinya.
“kantenan pun aki tos nyerenkeun, mangga kanu aranom; upami emergensi nembe ka sesepuh lami, dina hartos pandangan”. (Yn, 30thn). (Apalagi kakek saya sudah menyerahkan(kepemimpinan) kepada yang lebih muda, kecuali bila ada situasi darurat maka bisa kembali(bertanya) kepada sesepuh lama untuk meminta pendapat)
Pada saat sekarang ada yang berubah dalam kelembagaan pemimpin lokal di komunitas kampung adat Cireundeu, pada masa empat
tahun terakhir
kelembagaan sesepuh dibentuk dengan menggunakan model struktur organisasi beserta penjelasan tupoksi masing-masing sesepuh. Di ungkapkan oleh Bpk YN (30); “Anjuran ti sesepuh kedah dibentuk sapertos kepengurusan kanggo pangayom: sesepuh, ais pangampih sareng paniten”. Saran dari sesepuh, harus dibentuk keorganisasian untuk mengayomi, melindungi dan memperhatikan kepentingan komunitas.
Kelembagaan ini dibentuk sebagai respon terhadap dunia di luar komunitas termasuk masalah dan tantangan yang muncul menyertai interaksi komunitas dengan warga masyarakat lainnya. Karena itu kelembagaan sesepuh memiliki fungsi proteksi bagi warga komunitas juga sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. Lebih lanjut YN mengatakan tujuan formalisasi kelembagaan adalah sebagai berikut :
70 “kanggo nanggap pihak ketiga boh sae boh awon,
kumaha saena kedah
ditanggapi”. Untuk menanggapi pihak ketiga (perihal) baik atau buruk. Bagaimana seharusnya, harus ditanggapi.
6.2.6. Resolusi Konflik Konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat atau suatu komunitas biasanya dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi, konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. Dalam komunitas kampung adat Cireundeu belum pernah terjadi konflik frontal, walau demikian potensi konflik selalu ada seiring dengan dinamika perubahan yang terus terjadi. Potensi konflik yang muncul biasanya berkaitan dengan faktor ekonomi, seperti kecemburuan sekelompok warga komunitas
71
karena merasa tidak dilibatkan dalam kelompok penerima bantuan dari pemerintah. Sejauh ini tidak terlihat upaya-upaya dari para pihak terkait untuk mengatasi konflik. Mereka terkesan lebih memilih untuk diam dan (untuk) menghindari konflik terbuka, atau memilih untuk membuat semacam kelompok baru untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi yang tidak tertampung di kelompok lama.
6.2.7. Pandangan Terhadap Pembangunan Menurut Hadad (1980) dalam Fredian Tonny dan Arya H. Dharmawan (2007) istilah “pembangunan” pada intinya tidaklah berbeda dengan istilah “perubahan”. Kedua istilah tersebut masing-masing memiliki sisi positif dan negatif, tergantung kepada apa dan siapa yang akan dirubah dan bagaimana perubahan itu dilakukan. Komunitas kampung adat Cireundeu mempunyai persepsi yang positif terhadap pembangunan. Mereka menganggap pembangunan adalah sesuatu yang penting, baik untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tetapi komunitas berpendapat bahwa pembangunan tersebut harus dilaksanakan oleh pemerintah karena pembangunan merupakan kewajiban dari pemerintah. Karena pandangan seperti itu maka komunitas kurang atau bahkan tidak memiliki inisiatif untuk pengembangan komunitasnya. Pandangan dan sikap pasif dalam pembangunan juga disebabkan oleh rasa inferior dari sebagian besar anggota komunitas terutama dari anggota komunitas yang hidup di luar wilayah kampung adat Cireundeu. Seperti yang diungkapkan oleh Bpk Yn (30) bahwa mereka minder karena berbeda dan (terutama) karena tidak memeluk agama seperti yang dianut orang lain pada umumnya. Walau demikian partisipasi komunitas dalam pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sangat positif, semangat gotong royong sebagai bentuk kearifan lokal masa lalu masih hidup dalam komunitas kampung adat Cireundeu.
6.2.8. Pengagungan Terhadap Materi-Kebendaan Materi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bahan, benda, segala sesuatu yang tampak. Sedangkan materialis adalah pengikut paham atau
72
ajaran atau juga orang yang mementingkan kebendaan. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme, ( 29 mei 2009) Menurut definisi tersebut mementingkan kebendaan atau pengagungan terhadap kebendaan bisa diartikan bahwa benda atau materi mempunyai posisi yang sangat penting dalam hidup manusia penganut paham tersebut. Persinggungan dengan budaya lain, sedikit banyak sudah membawa anggota Komunitas ke dalam persinggungan dengan budaya
kebendaan atau
hedonisme. Orang yang memiliki harta kekayaan dianggap mempunyai posisi yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat. AE (65 Tahun) bercerita sebagai berikut : “Loba anu datang kadieu, timana-mana. Jiga kamari datang aya gegeden nu datang kadieu make pangawal mobilna oge Kijang Innova terus pancakaki jeung abah apekteh geningan anjeunna masih rerehan ti dieu”. Banyak yang datang kesini dari mana-mana, Seperti kemarin ada pejabat yang datang kesini dengan dikawal, kendaraannya juga Kijang Innova. Setelah ditelusuri ternyata beliau masih satu garis keturunan dengan anggota Kampung ini”
Dalam pembicaraan tersebut tersirat bagaimana bangganya AE dikunjungi oleh seorang pejabat yang menggunakan kendaraan bermotor merk tertentu yang dianggapnya sebagai simbol prestise. AE adalah seorang tokoh komunitas maka sikap tersebut bisa dikatakan representasi dari komunitasnya.
6.2.9. Peran Agama Konsep agama dalam masyarakat Indonesia menurut Atkinson J Monnig (dalam Dove, 1985) bahwa berdasarkan sejarahnya pada masa lalu agama telah diasosiasikan
dengan
budaya
tinggi,
pendidikan,
kekuasaan,
dan
internasionalisme. Agama juga memiliki posisi sentral di antara nilai-nilai budaya Indonesia. Lebih jauh Atkinson mengatakan bahwa pada prinsipnya di Indonesia toleransi terhadap minoritas agama baik sekali, tetapi hal ini hanya berlaku bagi sistem-sistem kepercayaan yang telah diakui sebagai agama modern, yang berarti tidak termasuk agama-agama tradisional. Pemeluk agama modern disebut orang yang beragama sedangkan penganut kepercayaan tradisional dinamakan orang
73
yang belum beragama. Ungkapan “belum beragama” mengandung implikasi yang kurang baik dan menekankan mutlak perlunya peralihan kepercayaan. Secara pribadi pemeluk agama modern menghormati pemeluk agama modern lainnya untuk tetap berpegang pada agamanya masing-masing, tetapi hak untuk tetap berpegang pada kepercayaan tradisionalnya tidak diberikan kepada “orang yang belum beragama”. Sampai periode dua tahun yang lalu Komunitas Kampung Adat Cireundeu masih merasakan intoleransi terhadap kepercayaan yang mereka anut. Dalam Sistim Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) Pemerintah Daerah tidak terdapat pilihan/ruang untuk agama Sunda Wiwitan atau agama Madrais yang mereka anut. Keluaran dari sistem tersebut adalah pilihan dari salah satu agama besar yang diakui pemerintah sebagai agama yang pada akhirnya harus tercantum dalam Kartu Identitas mereka (KTP). Agama yang tercantum dalam KTP tersebut juga bukan pilihan mereka, tetapi pilihan dari petugas pemerintahan dengan pertimbangan yang subyektif. Dalam Komunitas Kampung Adat Cireundeu agama mempunyai peran penting karena agama merupakan pegangan hidup, seperti yang dikemukakan oleh Bpk.Yn (30) tahun. Agama hartosna ageman, cekelan. Prinsip sesepuh di dieu, mangga agama timana wae, agama mana wae mangga pelajari, kenali margi agama pituduh laku rahayu, namung kedah emut urang teh saha, kedah terang asal usul kahirupan . Aya pertanyaan : saha kuring, timana kuring, kudu kumaha kuring, rek kamana kuring, kuring mulang rek kamana. Sadayana patarosan eta tiasa dijawab ku hiji, intina kuring the manusa jeung hiji bangsa, bangsa Sunda. Sanajan agama datang timana-mana tapi tetep kuring mah urang Sunda, Bangsa Indonesia.
Komunitas mempersilakan warganya untuk mempelajari agama apapun dan dari manapun karena agama merupakan petunjuk hidup, tetapi ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh warga komunitas bahwa mereka harus paham jati diri dan eksistensi komunitas. Komunitas Adat Cireundeu adalah “bangsa sunda” jadi agama yang dianut juga harus merupakan agama yang merepresentasikan budaya Sunda, yaitu agama Sunda Wiwitan atau biasa disebut juga Agama Madrais. Fungsi agama dalam komunitas bisa terlihat dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan perkawinan, kematian, pertanian, dan ritual lainnya.
74
6.2.10. Partisipasi dalam Pembangunan Menurut Tonny dan Dharmawan (2007) pembangunan, kebijakan pembangunan, dan pengembangan kelembagaan pembangunan perlu diarahkan oleh suatu paradigma baru yang berakar kepada ide-ide, nilai-nilai, teknik-teknik sosial dan teknologi lokal. Logika yang dominan dan perlu dikembangkan dari paradigma baru tersebut adalah logika ekologi manusia yang seimbang dengan sumber daya utama berupa sumber daya informasi dan prakarsa kreatif dan memberi peran kepada masyarakat bukan sebagai subyek, tetapi lebih dari itu sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Lebih lanjut Tonny dan Dharmawan mengemukakan, dalam konteks pembangunan ekonomi yang lebih spesifik berorientasi kepada perubahan dari paradigma “pembangunan yang berpusat kepada produksi” ke paradigma “pembangunan yang berpusat pada rakyat” (People-Centered Development) maka ideologi kebijakan pembangunan dan pengembangan kelembagaan di tingkat merujuk
kepada
implementasi
nasional, lokal dan komunitas
prinsip-prinsip
desentralisasi,
partisipasi,
pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, keswadayaan lokal dan prinsip sustainability. Pembangunan yang dilaksanakan dalam komunitas adat Cireundeu belum sepenuhnya berpusat pada rakyat dalam implementasi program pembangunan yang telah dibuat, prinsip-prinsip tersebut diatas telah terabaikan. Pemerintah daerah terkesan lebih mengedepankan komunitas adat Cireundeu sebagai barang dagangan atau tontonan tanpa pernah mencoba lebih lanjut untuk memperkuat komunitas dari dalam agar komunitas menjadi sustainable. Wacana Pemerintah untuk menjadikan Cireundeu sebagai kampung wisata menunjukkan bahwa komunitas adat Cireundeu sebagai pelengkap pertumbuhan ekonomi Kota Cimahi. Dalam hal lain, keterampilan lokal yang dimiliki tidak ditingkatkan lebih dalam lagi. Komunitas diperkenalkan kepada teknologi pengolahan singkong yang modern tetapi teknologi tersebut tidak disinergikan dengan teknologi lokal yang dimiliki, sehingga partisipasi anggota komunitas tidak tergali dan pada akhirnya teknologi tersebut menjadi tidak bermanfaat. Hal lain nya teknologi pengolahan tersebut memiliki kapasitas besar sedangkan jumlah singkong yang dihasilkan
75
masih bisa diolah secara manual artinya produksi yang ada tidak sepadan dengan kapasitas mesin pengolah tersebut. Dalam euphoria masyarakat modern komunitas kampung adat Cireundeu masih memperlihatkan keunikannya, warga komunitas menunjukkan partisipasi yang tinggi dalam pembangunan. Ketika program padat karya perbaikan lingkungan (PKPL) dilaksanakan, hampir seluruh unsur komunitas kampung adat Cireundeu dengan sukarela bekerja memperbaiki jalan lingkungan sepanjang lebih dari tiga kilometer dan melebihi target yang telah ditentukan. Warga komunitas bekerja tanpa mendapat upah sama sekali padahal di RW-RW lain di seluruh Kota Cimahi, program dilaksanakan dengan memberikan upah pada masyarakat yang ikut serta sesuai dengan tujuan program PKPL sebagai katup pengaman dari krisis. Nilai kearifan lokal yang ada dalam komunitas adat Cireundeu seperti semangat gotong royong yang masih tinggi menjadi kunci sukses program PKPL.