83
V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1
Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) Kondisi keberlanjutan pada DAS Citarum dikaji dengan menggunakan
analisis MDS, berdasarkan penentuan indeks keberlanjutan pada enam dimensi yaitu dimensi kebijakan, teknis, sosial dan budaya, lingkungan, kelembagaan dan ekonomi dengan nilai scoring atribut hasil pendapat pakar berdasarkan kondisi eksisting lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan Rapid Appraisal for Citarum (Rap-Citarum). Berdasarkan hasil analisis atas kuesioner dari responden yang terdiri dari 16 instansi/pakar diperoleh data sebagaimana pada lampiran 3. 5.1.1
Status Keberlanjutan Dimensi Kebijakan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi kebijakan terdiri atas delapan atribut, yaitu: (1) kebijakan dan komitmen nasional tentang peraturan sumber daya air; (2) kualitas peraturan pada pembentukan instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum; (3) kesamaan persepsi dalam pengelolaan DAS Citarum; (4) sosialisasi peraturan perundangan tentang DAS Citarum ke masyarakat; (5) tersedianya pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan DAS Citarum; (6) konsistensi RTRW dengan rencana pengelolaan DAS Citarum; (7) harmonisasi antar peraturan; (8) penyusunan kebijakan memperhatikan aspirasi semua pihak. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi kebijakan Rap-Citarum sebesar 37,17 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 20. ANALISIS RAP CITARUM DIMENSI KEBIJAKAN 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
References 20
0
Anchors
37.17
BAD
0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KEBIJAKAN RAPCITARUM
Gambar 20 Indeks keberlanjutan dimensi kebijakan
84
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kebijakan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan yaitu: sosialisasi peraturan (6,67), kesamaan persepsi (6,26) dan konsistensi RTRW dengan pengelolaan (6,17). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 21. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI KEBIJAKAN RAP-CITARUM
1.12
Memperhatikan aspirasi semua pihak
3.83
Harmonisasi antar peraturan
Attribute Atribut
Konsistensi RTRW dengan pengelolaan
5.17
Ketersediaan Pedoman Teknis Operasional
4.28 5.67
Sosialisasi Peraturan
5.26
Kesamaan Persepsi
2.80
Kualitas Peraturan
1.59
Peraturan Sumberdaya Air 0
1
2
3
4
5
6
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 21 Peran atribut dimensi kebijakan Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 37,53; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 37,17; terdapat perbedaan sebesar 0,36. Perbedaan itu sangat kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Faktor kunci pada dimensi kebijakan ini adalah sosialisasi peraturan dan kesamaan persepsi. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tentang pengelolaan SDA, khususnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 dan turunannya belum sepenuhnya dipahami oleh stakeholders ditingkat lapangan baik oleh pembuat kebijakan maupun pelaksana operasional. Kondisi ini merupakan akar utama permasalahan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pada kelembagaan serta kebijakan operasional, yang perlu mendapat perhatian secara khusus. 5.1.2
Status Keberlanjutan Dimensi Teknis Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi teknis terdiri atas
delapan, yaitu: (1) ketersediaan air di DAS Citarum; (2) memadainya infrastruktur untuk pengelolaan DAS Citarum yang efisien; (3) tersedianya pedoman
85
operasional pengelolaan DAS dan jaringan distribusi; (4) kondisi jaringan distribusi air baku dan irigasi; (5) teknologi sumber daya air yang digunakan di DAS Citarum; (6) mekanisme pengoperasian tiga waduk utama; (7) tersedianya pola dan rencana DAS Citarum; (8) tersedianya sistem telemetri untuk forecasting banjir. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis Rap-Citarum sebesar 64,90 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 22. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI TEKNIS 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
References 20
0
Anchors
64.90
BAD
0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40
DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM
Gambar 22 Indeks keberlanjutan dimensi teknis. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, dilakukan analisis
leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, yaitu: tersedianya pedoman operasional (4,57), mekanisme pengoperasian 3 waduk (4,41) dan infrastruktur yang memadai (3,81). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 23. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI TEKNIS RAP-CITARUM Tersedianya sistem telemetri utk forecasting banjir
3.64
Tersedianya pola dan rencana WS Citarum
Atribut Attribute
Mekanisme pengoperasian utama
3.74
3 waduk
4.41 3.47
Teknologi sumber daya air
1.61
Kondisi jaringan distribusi
4.57
Tersedianya pedoman operasional
3.81
Infrastruktur yg memadai
0.53
Ketersediaan air 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 23 Peran masing-masing atribut dimensi teknis
86
Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 63,45; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 64,90; terdapat perbedaan sebesar 1,45. Meskipun memiliki status berkelanjutan, pada dimensi teknis terungkap indikasi kuat perlunya pedoman operasional dalam pengelolaan SDA dan mendesaknya penanganan operasi kaskade tiga waduk yang selama tidak sinkron dan berdampak pada kerugian masyarakat. Hal ini menunjukan sangat pentingnya koordinasi atau pengaturan khusus atas operasi kaskade tiga waduk secara terpadu, sekaligus tersedianya Standard Operation Procedure (SOP). 5.1.3
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut memberikan pengaruh terhadap dimensi sosial budaya terdiri atas
delapan, yaitu: (1) dampak sosial pada masyarakat akibat banjir; (2) tingkat kesehatan masyarakat di sekitar DAS Citarum akibat menggunakan air yang tercemar; (3) tingkat kemiskinan di kawasan hulu sehingga merambah hutan; (4) konflik sosial budaya; (5) tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan; (6) lapangan pekerjaan yang tersedia pada kegiatan sekitar DAS Citarum; (7) budaya hemat air; (8) kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Rap-Citarum sebesar 50,97 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 24. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI SOSIAL BUDAYA 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
50.97
BAD
0 0
References
GOOD 20
40
60
80
100
120
Anchors
-20
-40 DOWN -60
-80 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI SOSIAL BUDAYA RAPCITARUM
Gambar 24 Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya
87
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan (6,69); tingkat kemiskinan (6,29) dan konflik sosial budaya (1,66). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 25. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI SOSIAL BUDAYA RAPCITARUM Kesadaran masyarakat menjaga kebersihan sungai
0.82 0.17
Budaya hemat air
0.68
Attribute
Lapangan pekerjaan Tingkat pemahaman masyarakat thd peraturan
5.69 1.66
Konflik sosial budaya
5.29
Tingkat kemiskinan
0.52
Tingkat kesehatan masyarakat
0.18
Dampak sosial akibat banjir 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 25 Peran masing-masing atribut dimensi sosial budaya Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 50,36; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 50,97; terdapat perbedaan sebesar 0,61. Faktor kunci yang dominan pada dimensi sosial budaya adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan dan tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan perubahan paradigma pada pengelolaan SDA, yang menjadi jiwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, masyarakat dituntut memahami peraturan agar dapat melaksanakan perannya. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan operasional. Disamping itu, terungkap pentingnya pengelolaan SDA dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5.1.4
Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi lingkungan terdiri
atas delapan, yaitu: (1) ratio Qmax/Qmin di hulu sungai Citarum akibat
88
penggundulan hutan; (2) turunnya muka air tanah di Bandung Selatan akibat over pumping; (3) alih fungsi lahan pertanian/lahan basah; (4) frekuensi dan lamanya banjir; (5) pencemaran di waduk Saguling akibat kotornya inflow dan limbah jeramba jaring apung; (6) kualitas air sungai (BOD, COD, sampah dan sebagainya); (7) kekeringan di kawasan irigasi Jatiluhur; (8) Prosentase hutan di DAS Citarum. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan RapCitarum sebesar 7,52 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 26. ANALISIS RAP-CITARUM DIMENSI LINGKUNGAN 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
References Anchors
BAD
0 0
20 7.52
GOOD 40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI LINGKUNGAN RAPCITARUM
Gambar 26 Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap dimensi lingkungan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan, yaitu: kekeringan di kawasan irigasi Jatiluhur (7,70); frekuensi dan lamanya banjir (1,96) dan turunnya muka air tanah (1,68). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 27.
89
ANALISIS LEVERAGE DIMENSI LINGKUNGAN RAP-CITARUM
0.37
Pe rse ntase hutan di DAS Citarum Ke ke ringan di kawasan irigasi Jatiluhur
7.70 0.75
Attribute
Atribut
Kualitas air sungai
1.23
Pe nce maran di waduk Saguling
1.96
Fre kue nsi dan lamanya banjir
1.55
Alih fungsi lahan pe rtanian
Turunnya muka air tanah
1.68
Ratio Qmax/Q min
1.63 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 27 Peran masing-masing atribut dimensi lingkungan Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 9,87; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 7,52; terdapat perbedaan sebesar 2,35. Perbedaan itu sangat kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi lingkungan, faktor kunci yang paling berpengaruh adalah terjadinya kekeringan pada daerah irigasi Jatiluhur, kemudian disusul oleh kondisi banjir. Hal ini terkait erat dengan optimalnya pengoperasian tiga waduk. Seharusnya dengan kapasitas yang demikian besar (sekitar 3 milyar meter kubik secara keseluruhan) kondisi kekeringan dan banjir untuk kawasan hilir dapat dikendalikan secara baik. 5.1.5
Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi kelembagaan terdiri
atas delapan, yaitu: (1) koordinasi/frekuensi dilakukan kerjasama antar instansi/lembaga; (2) jumlah institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum; (3) keefektifan lembaga/institusi; (4) tumpang tindih tanggung jawab dan kewenangan antar instansi; (5) hubungan kerja antar instansi; (6) master plan yang disepakati sebagai acuan pengelolaan DAS Citarum; (7) pola operasi yang disepakati dalam pengelolaan DAS Citarum; (8) sosialisasi kelembagaan di masyarakat dan dunia usaha.
90
Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Rap-Citarum sebesar 48,20 dengan status tidak berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 28. ANALISIS KEBERLANJUTAN DIMENSI KELEMBAGAAN RAP-CITARUM 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20
48.20 BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI KELEMBAGAAN RAP-CITARUM
Gambar 28 Indeks Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Guna melihat atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu : hubungan kerjasama antar instansi (11,82), kesepakatan tentang master plan (8,09) dan tumpang tindih tanggung jawab (8,26). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 29. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI KELEMBAGAAN RAPCITARUM Sosialisasi Kelembagaan
2.58
Pola Operasi yg disepakati
4.25
Attribute
Kesepakatan ttg Master Plan
8.09
Hubungan Kerja antar instansi
11.82
Tumpang tindih tanggung jawab
6.25
Keefektifan lembaga/institusi
0.52
Jumlah Institusi yang terlbat
0.47
Koordinasi Kerjasama Antar Lembaga
2.41 0
2
4
6
8
10
12
14
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29 Peran Masing-Masing Atribut Dimensi Kelembagaan
91
Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 48,31; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 48,20; terdapat perbedaan sebesar 0,11. Perbedaan itu cukup kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi kelembagaan ini, hubungan kerja antar instansi dinilai merupakan faktor kunci. Hal ini sangat relevan dengan kondisi dilapangan dimana masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri untuk menjalankan kebijakan dan kepentingan sektornya masing-masing. Demikian juga masterplan mendesak untuk segera dibuat sebagai rujukan bersama terhadap arah pelaksanaan kebijakan masing-masing instansi kedepan. 5.1.6
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang memberikan pengaruh terhadap dimensi ekonomi terdiri atas
delapan, yaitu: (1) tingkat kesejahteraan/upah masyarakat di sekitar DAS Citarum; (2) nilai manfaat ekonomi di sekitar DAS Citarum; (3) cost recovery untuk dana operasi; (4) kesesuaian harga air dengan nilai keekonomian pada air baku untuk industri dan PDAM; (5) dampak finansial dan ekonomi akibat terjadinya banjir; (6) biaya water treatment untuk PDAM akibat tercemarnya air; (7) biaya operasi pompa air tanah akibat tidak adanya pasokan air permukaan kawasan industri di dawrah Bandung Selatan; (8) jumlah produksi padi sebagai akibat dari efisiensinya operasional air irigasi. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Rap-Citarum sebesar 27,96 dengan status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 30. ANALISIS DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM 80
60
Other Distingishing Features
UP 40
20 References
27.96
Anchors
BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 INDEKS KEBERLANJUTAN DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM
Gambar 30 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi
92
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu : cost recovery (6,69), nilai manfaat ekonomi (5,83) dan tingkat kesejahteraan/upah minimum (4,72). Hasil analisis leverage dapat dilihat seperti Gambar 31. ANALISIS LEVERAGE DIMENSI EKONOMI RAP-CITARUM
4.14 4.61
LA
4.52
T
R E
E
R A
S I
JU M O P
R
4.08
E
A
T
Y
A N
S IA
W A
IA
A
B
F
N
A K
5.83
IA
P
R E
E
4.72 1
2
3
4
5
6
7
8
E
R A
A
0
K
E S
E
JA
H T
N IL A
IM
A
N F
A
A T
K
C O
E S
S T
E
S U
D A
A
M
6.69
H A
IN
Y IA B
Atribut Attribute
H
P R P OD O L M UK C R A K N P S T /U ON OV GA BA A M IP N P E E A O A A R M IR JIR NT IR AD H Y I I
0.72
Root Mean Square Cha nge in Ordina tion w he n Selected Attribute Removed (on Sustaina bility scale 0 to 100)
Gambar 31 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi Sementara itu apabila dilihat dari analisis monte carlo, maka diperoleh nilai indeks keberlanjutannya sebesar 28,87; yang apabila dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Citarum sebesar 27,96; terdapat perbedaan sebesar 0,91. Perbedaan itu relatif kecil sehingga dapat dinyatakan hasil analisis Rap-Citarum valid dan akurat. Pada dimensi ekonomi ini tampaknya faktor cost recovery dianggap paling penting. Hal ini terutama terkait dengan perlunya pengelolaan SDA dilaksanakan dengan sistem kelembagaan yang kuat secara finansial, sehingga dapat menjamin terlaksananya pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Faktor penting lainnya adalah nilai manfaat ekonomi, artinya pengelolaan SDA Citarum memiliki pengaruh yang cukup kuat pada kondisi perekonomian. Secara keseluruhan hasil analisis diatas menunjukan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kebijakan sebesar 37,17 dengan status tidak berkelanjutan. Dimensi teknis sebesar 64,90 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 50,97 dengan status berkelanjutan, dimensi lingkungan
93
sebesar 7,52 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi kelembagaan sebesar 48,20 dengan status tidak berkelanjutan dan dimensi ekonomi sebesar 27,96 dengan status tidak berkelanjutan. Data hasil analisis nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum No
Dimensi/Aspek
Nilai
RAP-CITARUM
Indeks
INDIKATOR
1
KEBIJAKAN
37,17
TIDAK BERKELANJUTAN
2
TEKNIS
64,90
BERKELANJUTAN
3
SOSIAL BUDAYA
50,97
BERKELANJUTAN
4
LINGKUNGAN
7,52
TIDAK BERKELANJUTAN
5
KELEMBAGAAN
4,20
TIDAK BERKELANJUTAN
6
EKONOMI
27,96
TIDAK BERKELANJUTAN
Dengan gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa hampir semua dimensi kecuali dimensi teknis dan sosial budaya menunjukan status tidak berlanjut. Dimensi lingkungan memiliki nilai yang paling rendah (7,52%). Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat meningkat mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi kebijakan, teknis, lingkungan, kelembagaan dan ekonomi. Adapun gambar diagram layang-layang (kite diagram) hasil analisis Rap-Citarum seperti pada Gambar 32. DIA GRA M LA Y A NG-LA Y A NG A NA LISIS RA P-CITA RUM KEBIJA KA N
100 80 60 EKONOMI
T EKNIS
37.17 40
27.96
64.9
20 0
7.52 48.2
50.97
KELEMBA GA A N
SOSIA L BUDA Y A
LINGKUNGA N
Gambar 32 Diagram layang-layang (kite diagram) Rap-Citarum Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan Rap-Citarum pada taraf kepercayaan 95%, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-Citarum (Multi
94
Dimensional Scaling = MDS). Ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian scoring setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 15. Tabel 15 Komparasi dengan Hasil Analisis Monte Carlo Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo
Dimensi Keberlanjutan
Perbedaan
KEBIJAKAN
37,17
37,53
0,36
TEKNIS
64,90
63,45
1,45
SOSIAL BUDAYA
50,97
50,36
0,61
LINGKUNGAN
7,52
9,87
2,35
KELEMBAGAAN
48,20
48,31
0,11
EKONOMI
27,96
28,87
0,91
Hasil analisis Rap-Citarum menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan untuk pengelolaan DAS Citarum, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai stress hanya berkisar antara 13 sampai 14,5% dan nilai koefisien determinasi (R 2) berkisar antara 0,92 dan 0,93. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R 2) mendekati 1,0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 16. Tabel 16 Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis Rap-Citarum Parameter Stress 2
R
Keterangan :
Dimensi Keberlanjutan A
B
C
D
E
F
0,1359
0,1430
0,1352
0,1344
0,1399
0,1361
0,93
0,92
0,92
0,92
0,91
0,93
A= dimensi kebijakan; B = dimensi teknis, C = dimensi sosial budaya, D = dimensi lingkungan, E = dimensi kelembagaan dan F = dimensi ekonomi
5.2 Analisis Data Sekunder Analisis data sekunder dilakukan atas kondisi kekritisan DAS, kondisi kulitas air serta kajian operasi kaskade tiga waduk. Hasil analisis ini merupakan cross-check terhadap hasil MDS, khususnya pada dimensi lingkungan dan dimensi kelembagaan.
95
5.2.1
Analisa Karakteristik DAS Perubahan karakteristik aliran yang terindikasi dari debit maksimun pada
saat musim hujan dan debit minimun pada musim kemarau merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kekritisan kondisi DAS. Perubahan tersebut dapat dilihat dari data perubahan pola debit rata-rata harian pada pos AWLR yang DASnya mengalami kerusakan berat. Dari pengamatan pola aliran pada pos AWLR Nanjung yang dianggap mewakili zona hulu DAS Citarum, terlihat bahwa dari tahun ke tahun terlihat adanya perubahan karakteristik aliran yang sangat berarti. Hal ini ditunjukan dari cepatnya fluktuasi naik dan turunnya hidrograf aliran serta rapatnya hidrograf aliran tersebut. Pada awal tahun 1990 fluktuasi hidrograf terlihat masih menunjukan bahwa DAS masih dapat menahan atau menyimpan air, sedangkan pada akhir tahun 1999 DAS sudah tidak dapat menyimpan air seperti pada tahun 1990 tersebut. Disamping itu terdeteksi pula bahwa periode kering lebih panjang, hal ini ditunjukan dengan menurunnya dan semakin panjangnya base flow. Penggundulan hutan telah berakibat pada peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum karena hujan pada DAS tersebut dominan menjadi aliran permukaan sehingga aliran dasar akan menurun. Perubahan besarnya ratio antara debit maksimum dan minimum harian pertahun untuk pos Nanjung dapat dilihat pada Gambar 33. Debit Harian Citarum-Nanjung 1994-1998 500
Debit (m3/det)
400
300
200
100
Okt
Nov
Des
Okt
Nov
Sep Sep
Des
Jul
Aug Aug
Mei
Jul
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Jul
Aug
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Des
1997
1996
Bulan
1995
1994
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Jul
Sep
Aug
Mei
Apr
Jun
Mar
Feb
Jan
0
1998
Debit Harian Citarum-Nanjung 1999-2003 500
300
200
100
1999
2000
Bulan
Gambar 33 Pola aliran pada pos AWLR Nanjung
Mei
Apr
Jun
Mar
Jan
2002
Feb
Des
Okt
Nov
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Nov
Okt
2001
Des
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Aug
Jul
Mei
Apr
Jun
Jan
Mar
Feb
Okt
Nov
Des
Sep
Aug
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
0 Jan
Debit (m3/det)
400
2003
96
Indikator lain dalam perubahan karakteristik aliran adalah perbandingan nilai debit maksimum dan minimum (Qmak/Qmin). Perubahan tersebut terlihat dari meningkatnya grafik rasio (Qmak/Qmin) pada tahun-tahun yang lebih akhir (lihat Gambar 34). Meningkatnya debit karena hujan yang turun sebagian besar berubah menjadi aliran permukaan sehingga menambah debit sungai, sedangkan menurunnya debit minimum karena menurunnya baseflow pada sungai.
Pos Nanjung
No. 1.
Pos Stasiun AWLR Citarum-Nanjung
Rasio Qmax/Qmin 1994-2001 2001-2005 23,9
127,9
Gambar 34 Hasil analisis indeks rasio kekritisan tahun 2001 – 2005 Selanjutnya, analisis Indeks Muatan Sedimen (IMS) dapat mengungkapkan trend dari laju muatan sedimen, yang juga erat korelasinya dengan tingkat kekritisan DAS. Data dari tahun 1976 – 1982, 1991-1997 dan 2005-2006, digunakan untuk analisis muatan sedimen, dimana hasilnya dapat dilihat pada Gambar 35 dan Tabel 14. Tabel 14 Perhitungan indeks muatan sedimen pada pos Nanjung Tahun
Konsentrasi (mg/L)
Q rata-rata (m3/detik)
IMS
05-06
341,19
791,42
5957,50
91-97
240,9
824,88
4384,17
76-82
233,77
736,54
3798,79
97
INDEKS MUATAN SEDIMEN (IMS) 7000 6000
IMS
5000 4000 3000 2000 1000 0 0
1
2
76-82
3
91-97
4
'05-06
PERIODA
Gambar 35 Indeks muatan sedimen di pos Nanjung Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap indikator kekritisan DAS di pos Nanjung dari perioda 1980 hingga 2010 dapat diperoleh gambaran bahwa:
Kekritisan yang ditinjau dari hubungan Qmax dan Qmin dapat menggambarkan kekritisan suatu DAS. Pada pos Nanjung rasio Qmax/Qmin menunjukkan peningkatan baik dari pengamatan hidrograf maupun data debit aliran dari 23,9 menjadi 127,9.
Indikator
dari
indeks
muatan
sedimen
yang
dianalisis
dengan
menggunakan data dari beberapa perioda menggambarkan bahwa pada pos Nanjung terjadi peningkatan muatan sedimen, hal ini juga terbukti dengan perubahan hubungan antara debit Sedimen dan debit air. 5.2.2
Kekritisan Kualitas Air Berdasarkan hasil pengujian dan analisis kualitas air yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, dapat diperoleh gambaran umum tren kualitas air untuk parameter BOD dan COD Sungai Citarum dari tahun 1990-2000-2010 sebagaimana tersaji pada Gambar 36.
98
(a )
BOD (mg/L)
80
2010 2000 1990
70 60 50 40 30 20 10 0
Hulu
Tengah
Hilir
(b )
COD (mg/L)
200
2010 2000 1990
150 100 50 0
Hulu
a a n k t G in g ar ay pa ru olo ul un IN a g al Sa ra an j ij e hk a UL is a j C u D N G g M e A y an S W Da
Tengah
Hilir
TA RA I C
r ug h a ur a C al W
TI JA
R HU LU
ra pu g n u nj Ta
Gambar 36 Profil kualitas air sungai Citarum Berdasarkan data dari hasil analisis trenkualitas air dapatdijelaskan sebagai berikut: 1.
BOD; merupakan indikator pencemaran organik yang diamati sejak tahun 1990 dan meningkat sangat drastis di zona hulu dan hilir pada tahun 2000 dan kemudian meningkat sedikit pada tahun 2010. Sedangkan pada zona tengah yang merupakan kaskade tiga waduk dengan volume tampungan yang sangat besar pada tahun 1990 menjadikan kadar BOD turun sampai memenuhi kelas 1 dari PP Nomor 82 Tahun 2001 layak sebagai sumber air baku minum, kemudian sejalan dengan zona hulu dan hilirnya kadar BOD meningkat drastis pada tahun 2000 yang kemudian meningkat lagi sedikit seperti pada Gambar 36.
2.
COD; merupakan indikator parameter organik secara kimia sehingga tren kondisi kualitas airnya sangat mirip dengan parameter BOD. Profil COD ini seperti terlihat padan Gambar 36. Bahan pencemar yang masuk kedalam badan air sungai dapat menyebabkan
perubahan pada kehidupan organisma perairan termasuk benthos, plankton, maupun bakteri koli tinja dan streptokokus. Kualitas air dapat mempengaruhi organisma perairan tersebut, sehingga parameter organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan kualitas air. Untuk aspek kekritisan kualitas air lainnya yaitu bio akumulasi logam berat pada tubuh/daging ikan dan parameter indikator lain yaitu dikenal dengan Indeks
99
Diversitas. Hasil uji yang dilaksanakan di zona hulu Sungai Citarum pada tahun 2004 untuk indeks bioakumulasi logam pada tubuh/daging ikan dan indeks diversitas dapat dilihat seperti pada Gambar 37.
KJA, Wd. Saguling Nanjung
WADUK SAGULING
Curug Jompong
S.Citepus S.Cikapundung
S.Citarum, Kp.Pameuntasan
S.Cikeruh
S.Ciganitri S.Ciwidey, Kp.Pameuntasan
S.Dano, Kp.Dano Ds.Kopo-Soreang
S.Cisangkuy, Dayeuhkolot
S.Citarik
IPAL-D, Bojongsoang
S.Ciwidey
Bio akumulasi logam pada ikan
Indek Diversitas S.Cisangkuy
Tidak tercemar
S.Cirasea
Majalaya
Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Gambar 37 Indeks bio akumulasi pada ikan dan indeks diversitas DAS Citarum (tahun 2004) Dari Gambar 36 tersebut dapat dikatakan bahwa indikator hidrobiologi dengan Indeks Diversitas di anak-sungai Cirasea, Citepus dan Cimahi telah tercemar berat. Sedangkan untuk lokasi-lokasi anak-sungai Citarik, Ciganitri, Cisangkuy dan Ciwidey masih tercemar ringan. Sementara indeks bioakumulasi logam pada tubuh ikan pada DAS Citarum Hulu pada tahun 2004 ini dapat dikatakan tidak tercemar. 5.2.3 Kajian Operasi KaskadeTiga Waduk Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur adalah tiga waduk kaskade yang terletak di sungai Citarum dari hulu ke hilir. Dihilir dari ketiga waduk adalah daerah Karawang yang merupakan daerah pertanian dan menjadi lumbung padi. Kejadian ekstrim basah pada akhir bulan Maret 2010 dan ekstrim kering pada awal tahun 2011 sangat mempengaruhi produksi pertanian, bahkan seringkali memicu bencana. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas operasi ketiga waduk
100
dilakukan evaluasi dengan simulasi pola pengoperasian waduk yang dilakukan oleh masing-masing pengelola. Waduk Saguling dan Cirata yang terletak di hulu waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Indonesia Power dan PJB sedangkan waduk Jatiluhur dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Dalam perjalanannya banyak terjadi kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan atau menjaga keseimbangan. Banyak faktor teknis dan non teknis yang mempengaruhi pola operasi dari ketiga waduk. Faktor teknis yang sangat penting adalah prinsip pola operasi yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua, kesulitan dalam memperkirakan besarnya inflow dan debit aliran lokal dalam sistem jaringan sungai Citarum dan kebijakan dalam pola operasi waduk. Gambar 38 berikut ini adalah diagram sistem dari ke tiga waduk dimana inflow ke masing-masing waduk sangat dipengaruhi oleh fungsi waduk, kebijakan pengeluaran air dari waduk dihulunya dan debit lokal antara waduk-waduk tersebut.
N
Lokal Cirata (A =1778 km2)
Lc
Nanjung (A = 1718 km2)
Saguling (A = 2283 km2)
S
Cirata (A =4061km2)
Cikao
C
Lj
J
Jatiluhur (A = 4601 km2)
Cr
Walahar
Lokal Jatiluhur (A =540 km2)
Curug
W
Cibeet
LAUT
Gambar 38 Skema jaringan sistem hidrologis di DAS Citarum
101
Waduk Saguling dan Cirata merupakan waduk yang difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik dengan prinsip mempertahankan muka air waduk senantiasa tinggi. Sedangkan waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna, berfungsi untuk pembangkit listrik, pasokan pemenuhan kebutuhan air baku serta pengendalian banjir. Dalam pengoperasian sering mengalami konflik, karena disatu sisi ingin mempertahankan muka air tinggi untuk mendapatkan energi listrik, namun hal ini menjadi tidak tepat untuk pengendalian banjir. Kurangnya koordinasi dalam pengoperasian tiga waduk oleh masing-masing operator telah berakibat kejadian banjir di segmen Citarum Hilir pada bulan Januari - April 2010 dan kekurangan pasokan air di bulan Januari – April 2011. Pada awal tahun 2010, terjadi hujan lebat yang terus menerus diseluruh DAS dan meningkat pada akhir Maret 2010 sehingga muka air di waduk terus mengalami peningkatan mendekati muka air banjir. Dalam kondisi demikian maka kebijakan dan koordinasi antara para pengelola waduk dalam menentukan pengeluaran outflow sangat menentukan dampaknya terhadap bencana banjir. Sesungguhnya telah ada batasan dalam mengatur outflow oleh masing-masing operator sebagaimana pada Tabel 18 dan Tabel 19 dibawah ini. Tabel 18 Kondisi batas operasi waduk Waduk
Saguling
Cirata
Juanda
Fungsi
(PLTA)
(PLTA)
Multipurpose
Elevasi mercu pelimpah
+ 643,00
+ 220,00
+ 107,00
Elevasi MAB
+ 645,00
+ 223,00
+ 111,00
Elevasi minimum
+ 625,80
+ 206,50
+ 87,50
Elevasi minimum power generation
+ 623,00
+ 205,00
+ 75,00
Elevasi bottom gate
+ 623,00
+ 180,00
+ 45,00
Sharing tampungan
21%
29%
50%
102
Tabel 19 Batasan pada SOP operasi waduk Constraint
Normal
Kering
Basah
Tidak ada batasan
Tidak ada batasan
≥ kebutuhan (Jan-Jun)
≥ kebutuhan
3
outflow Djuanda
≤210 m /s
outflow Djuanda
≥ kebutuhan
≥ 90% demand (Jul-Dec) Elevasi Saguling
≤ 641,0 m
≥ 625,8 m
≤ 645,0 m
Tidak ada batasan
≥ 206,5 m
Tidak ada batasan
% volume di Saguling
21%
21%
21%
% volume di Cirata
29%
29%
29%
% volume di Djuanda
50%
50%
50%
Elevasi Cirata
Pada perioda Maret 2010, terlihat bahwa hidrograf debit yang teramati di Nanjung, hulu waduk Saguling (Gambar 39), menunjukkan beberapa kali terjadi debit puncak diatas 450 m3/detik sehingga, selama periode bulan Maret ini merupakan perioda ekstrim basah. 500 450
Debit Aliran (m3/detik)
400 350 300 250 200 150 100 50
03/28/10
03/23/10
03/18/10
03/13/10
03/08/10
03/03/10
02/26/10
02/21/10
02/16/10
02/11/10
02/06/10
02/01/10
01/27/10
01/22/10
01/17/10
01/12/10
01/07/10
01/02/10
12/28/09
0
WAKTU
Gambar 39 Kondisi debit air yang masuk ke waduk Saguling Dengan tingginya inflow masuk ke waduk Jatiluhur akibat pengeluaran dari Saguling dan Cirata, telah menyebabkan meningkatnya elevasi muka air di waduk Jatiluhur melewati spillway. Sebenarnya, waduk Saguling dapat memanfaatkan tampungan banjirnya pada elevasi (+ 643 m dpl s/d + 645 m dpl) dan demikian pula waduk Cirata pada elevasi (+ 220 m dpl s/d + 223 m dpl) sehingga tidak perlu mengeluarkan debit yang cukup besar kehilir untuk memberi kesempatan pada waduk Jatiluhur menurunkan muka airnya. Namun karena kepentingan pembangkitan listik oleh PLN, maka debit yang seharusnya ditahan kenyataanya terus dilepas ke waduk Jatiluhur. Untuk mengetahui sejauh mana kondisi muka air
103
diketiga waduk bila Saguling dan Cirata memanfaatkan tampungan banjirnya (flood pool storage) dilakukan simulasi dan skenario dibawah ini. Skenario Operasi Waduk pada Saat Banjir Polaoperasi ketiga waduk disimulasikan dengan skenario dan asumsi sebagai berikut: a. Inflow yang masuk ke waduk untuk kondisi banjir diasumsikan sama dengan hidrograf banjir tanggal 19 Maret sampai dengan 25 Maret 2010. b. Simulasi dilakukan dengan mempertahankan elevasi muka air di waduk Saguling sekitar + 643 m dpl hingga + 644 m dpl. c. Simulasi di waduk Cirata dicoba dengan variasi tinggi muka air dari + 220 m dpl hingga + 223 m dpl. d. Simulasi di Waduk Jatiluhur dengan variasi tinggi muka air dari + 107 m dpl hingga + 108 m dpl. Pengaturan outflow Jatiluhur bervariasi mulai dari 200 m3/detik sampai dengan 500 m3/detik, sehingga tinggi muka air (TMA) mencapai level tertentu e. Adanya hujan lebat yang akan berakibat banjir di Karawang. Skenario pengoperasian waduk dibuat untuk mengurangi debit keluar dari Jatiluhur tetapi masih aman bagi bendungan itu sendiri. Hasil simulasi menunjukkan bahwa: a. Simulasi tanpa upaya menahan air di Waduk Saguling dan Cirata akan membahayakan waduk Jatiluhur karena elevasi maksimumnya + 109,25 m dpl atau 0,75 m di bawah elevasi spilway Ubrug meskipun dari waduk Jatiluhur telah dikeluarkan debit 500 m3/detik (tanpa memperhatikan banjir di hilir) b. Jika saguling tetap dipertahankan (+ 643 m dpl) dan waduk Cirata menahan Elevasi waduk hingga + 223 m dpl (memanfaatkan tampungan banjirnya) dengan pengeluaran debit 200 m 3/detik, maka TMA di Jatiluhur mencapai elevasi tertinggi +107,98 m dpl. Hal ini tidak membahayakan bendungan, karena masih ada sisa tinggi 2,02 m dari elevasi Ubrug. c. Simulasi coba dilakukan dengan memanfaatkan tampungan banjir Waduk Saguling terlihat bahwa elevasi maksimum di waduk Saguling mencapai +
104
644,37 m dpl, di Cirata + 221,36 m dpl dan bila di Jatiluhur mengeluarkan debit 400 m3/detik, maka TMA maksimum di Juanda +108,34 m dpl. d. Simulasi coba dilakukan juga dengan memanfaatkan tampungan banjir diwaduk Cirata, TMA di Cirata akan mencapai elevasi + 222,44 m dpl, sehingga waduk Jatiluhur cukup mengeluarkan debit 200 m 3/detik sehingga TMA maksimum di Jatiluhur hanya mencapai + 108,70 m dpl yang berarti masih berjarak 1,3 m dari spillway Ubrug. Hal ini dapat menurunkan beban banjir di hilir waduk Jatiluhur. Hasil simulasi untuk berbagai skenario yang dilakukan untuk berbagai pola pengeluaran (outflow) dari ketiga waduk dapat dilihat pada Gambar 40 s/d Gambar 42 ini adalah kondisi inflow, outflow dan fluktuasi muka air di ketiga waduk pada saat kondisi muka air banjir dimana kondisi muka air di ketiga waduk sangat berfluktuasi untuk suatu periode waktu yang relatif singkat . Operasi Waduk Saguling pd Bulan Maret 700
644,50
600 644,00
643,50
400 300
643,00
T.M.A (m)
Q (m3/s)
500
200 642,50 100
4
3
2
1
31
30
29
28
27
642,00
26
0
Ta ngga l Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 40 TMA maksimum di waduk Saguling dengan menahan TMA + 644 m dpl Operasi Waduk Cirata pd Bulan Maret 800
223,00 222,50
700
222,00 600 221,00
400
220,50 220,00
300
T.M.A (mm)
Q (m3/s)
221,50 500
219,50 200 219,00 100
218,50
4
3
2
1
31
30
29
28
27
218,00
26
0
Tanggal Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 41 TMA maksimum di waduk Cirata dengan menahan TMA + 222 m dpl
105
Operasi Waduk Jatiluhur pd Bulan Maret 1.000
109,00
900 108,50
800
108,00
600 500
107,50
400
T.M.A (m)
Q (m3/s)
700
107,00
300 200
106,50
100
5
4
3
2
1
30
29
28
27
106,00
26
0
Ta ngga l Inflow
Outflow
T.M.A
MAN
Gambar 42 TMA maksimum di waduk Jatiluhur dengan outflow debit 200 m3/detik
Kondisi ketiga waduk yang sangat berfluktuasi seperti ini sulit dapat dihindari jika tidak tersedia kerjasama dan koordinasi diantara para operator serta keinginan bersama mengamankan kepentingan masyarakat. Untuk mengurangi kegagalan karena kesalahan dalam pengoperasian maka sistem informasi tepat waktu dan terintegrasi antara ketiga waduk serta informasi kondisi muka air dimasing-masing waduk secara tepat waktu perlu disiapkan. Perencanaan Jaringan telemetri pada DAS di Citarum hulu dan di waduk Cirata serta di hilir waduk Jatiluhur sangat diperlukan untuk menunjang optimalisasi pola operasi waduk. Skenario Kekurangan Pasokan Air Periode Januari – April 2011 Sesuai dengan standard operation procedure (SOP) yang ada, telah disepakati pola operasi dan perencanaan cadangan air yang dilakukan secara berkala tiap tahun oleh para operator tiga waduk (PT. Indonesia Power, PT. Pembangkit Jawa Bali, dan Perum Jasa Tirta II). Pada tahun 2011 telah disepakati pola operasi ketiga bendungan mulai dari bulan Januari sampai Desember. Namun, kondisi inflow yang terjadi pada ketiga waduk berbeda dengan inflow prediksi maka fluktuasi muka air waduk tidak sesuai dengan yang diharapkan. Operator ketiga waduk perlu melakukan kaji ulang pola pengeluaran outflownya untuk bulan Februari, Maret dan April. Dengan perubahan pola outflow ini terlihat fluktuasi muka air waduk Saguling dan Cirata kembali ke elevasi sesuai pola operasi. Namun pada waduk Jatiluhur pola outflow tetap melebihi dari inflow yang masuk ke waduk sehingga muka air waduk jatiluhur tetap mengalami penurunan dan belum kembali ke elevasi pola operasi rencana. Kekurangan pasokan air yang
106
terjadi di ketiga bendungan yang ada merupakan pelajaran yang cukup baik dalam upaya perbaikan sistem pengelolaan pada masa-masa yang akan datang. Selain evaluasi karena kurangnya curah hujan yang terjadi yang berakibat pada kurangnya inflow ke waduk, dilakukan juga evaluasi terhadap sistem pengaturan air di masing-masing bendungan, mulai bulan Januari sampai April 2011. Dari analisis yang telah dilakukan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pada bulan Januari waduk Saguling dan Cirata mengeluarkan air lebih besar dari rencana pengeluaran, sementara air yang masuk lebih kecil dari prediksi inflow. Besarnya debit yang dikeluarkan oleh waduk Cirata membuat air yang masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih besar dari debit rencana, sehingga waduk Jatiluhur juga harus mengeluarkan debit yang lebih besar untuk menjaga sistem operasi sesuai rencana. Akibat dari pengeluaran debit yang melebihi debit rencana di waduk Saguling dan Cirata, maka elevasi muka air pada kedua waduk tersebut pada akhir bulan Januari mengalami kekurangan air yang cukup besar. 2. Mulai bulan Februari sampai April, dua waduk di hulu melakukan penahanan air dengan memperkecil debit air yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekurangan air akibat pemakaian pada bulan Januari. Dengan pola pengeluaran tersebut waduk Saguling dan Cirata berhasil menambah cadangan air mendekati pola operasi perencanaan awal, namun akibat penahanan tersebut, debit yang masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih kecil sementara pengeluaran air Jatiluhur tetap besar sesuai kebutuhan hilir. Maka sampai dengan bulan April elevasi muka air pada waduk Jatiluhur masih belum dapat kembali ke pola operasi rencana. Kajian ini dapat dilihat pada Gambar 43, Gambar 44 dan Gambar 45.
107
Gambar 43 Pola operasi waduk Saguling tahun 2011
Gambar 44 Pola operasi waduk Cirata tahun 2011
Gambar 45 Pola operasi waduk Jatiluhur tahun 2011
108
5.2.4
Kajian Water Balance
Analisis kebutuhan air (water demand) dan ketersediaan air (water availability) beserta proyeksinya sampai tahun 2025 dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, serta asumsi pertumbuhan yang konstan pada periode yang sudah berjalan (past trend). Proyeksi Kebutuhan Air Pengguna terbesar air baku pada DAS Citarum dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu i) irigasi dan ii) domestik, perkotaan dan industri (DPI). Kebutuhan air untuk irigasi dihitung berdasarkan luas area dan kebutuhan air tanaman (crop water requirement) yang berlaku. Selanjutnya past trend dihitung berdasarkan data 1995 – 2010 yang mana luas daerah irigasi telah mengalami penurunan karena alih fungsi dengan laju bervariasi antara 0,36% sampai 1% per tahun. Pasokan air baku untuk DPI pada saat ini tercatat sebesar 26,6 m 3/detik. Sebagian besar dialirkan melalui saluran Tarum Barat sebesar 22 m3/detik, untuk mensuplai wilayah DKI Jakarta sebesar 16,3 m 3/detik dan sisanya ke wilayah Bekasi dan sekitarnya (Non-DKI). Selanjutnya proyeksi kebutuhan air baku untuk DPI dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan penduduk, baik DKI maupun Non-DKI, serta proyeksi pertumbuhan kawasan industri. Proyeksi kebutuhan air sampai tahun 2025 baik untuk irigasi maupun DPI secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 46. Tabel 20 Proyeksi kebutuhan air
Irigasi
2010
2015
2020
2025
Sal. Tarum Barat
52.628 ha
50.048 ha
47.595 ha
4.563 ha
Sal. Tarum Timur
90.230 ha
88.085 ha
85.990 ha
83.945 ha
Sal. Tarum Utara
85.945 ha
8.441 ha
82.900 ha
81.420 ha
Jumlah
228.803 ha
222.543 ha
216.485 ha
210.628 ha
4.290
4.188
4.082
3.973
Kebutuhan Air Irigasi (Jt m3 /th) DKI Jakarta (m3 /detik) DPI
16.31
26.31
31.31
31.31
3
9.35
15.18
21.94
29.77
3
25.66
41.49
53.25
61.08
883
1.444
1.864
2.135
5.173
5.632
5.946
6.108
Non DKI (m /detik) Jumlah
(m /detik) 3 (Jt m /th)
Jumlah Total Kebutuhan Air
Sumber: M edernization of Jatiluhur Irrigation System, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, 2010
kebutuhan air (Jt m3/th)
109
7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
1.864
1.444
883
2.135 DPI
4.290
4.188
4.082
3.973
2010
2015
2020
2025
IRR
Gambar 46 Proyeksi Kebutuhan air Proyeksi Ketersediaan Air Sumber air pada DAS Citarum adalah S. Citarum yang dikendalikan (regulated flow) dengan kaskade tiga waduk Saguling – Cirata – Jatiluhur serta beberapa sungai lain pada DAS yang bersifat unregulated, yaitu S. Bekasi, S. Cikarang, S. Cibeet, S. Cilamaya, S. Cijengkol, S. Ciasem, S. Cigadung, dan S. Cipunagara. Regulated flow rata-rata dari waduk Jatiluhur mengalami penurunan dari 194,9 m3/detik (periode tahun 1967 – 1986) menjadi 169,4 m3/detik (periode tahun 1993 – 2008) atau setara dengan 5.344 Jt m3/th. Ketersediaan air dari unregulated flow (sungai lain) dihitung menggunakan debit andalan dengan 80% dependability. Berdasarkan data debit pada periode tahun 1973 – 2009, debit ratarata dan debit andalan unregulated flow dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah. Tabel 21 Debit unregulated flow (sungai lain) debit rata-rata Jt m3 /th
debit andalan Jt m3 /th
Bekasi
893
505
Cikarang
409
238
Cibeet
917
409
Cilamaya
650
329
Cijengkol
421
227
Ciasem
334
234
Cigadung
305
185
1730
1031
5.659
3.158
Sungai
Cipunagara Jumlah
Berdasarkan data yang tercatat pada periode 1920 – 2008 pada regulated flow (S. Citarum) terjadi penurunan debit rata-rata 0,1% per tahun, sedangkan pada sungai lain (unregulated flow) terjadi penurunan debit rata-rata 0,7% per tahun selama 1973 – 2004. Selanjutnya proyeksi ketersediaan air pada S. Citarum (regulated) dan sungai lainnya (unregulated) dapat dilihat pada Tabel 22.
110
Tabel 22
3
Ketersediaan Air (Jt m /th) 2010
2015
2020
2025
Sungai Citarum (regulated, rata-rata)
5.344
5.317
5.291
5.264
Sungai Lain
3.158
3.049
2.944
2.842
8.502
8.366
8.235
8.106
(unregulated, debit andalan 80% )
Total Debit rata-rata Sumber: Data debit sungai, Pusat Litbang Sumber Daya Air.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proyeksi kebutuhan air untuk irigasi mengalami penurunan sedangkan DPI mengalami peningkatan. Kebutuhan air secara keseluruhan meningkat dari 5.173 Jt m 3/th pada 2010 menjadi 6.108 Jt m3/th pada 2025. Dilain pihak, proyeksi ketersediaan air baik pada S. Citarum (regulated flow) maupun sungai lainya mengalami penurunan, yang secara keseluruhan menurun dari 8.502 Jt m3tahun pada 2010 menjadi 8.106 Jt m3tahun pada 2025. Namun demikian sumber air yang ada masih mampu memenuhi kebutuhan air sampai dengan tahun 2025 bilamana didukung oleh prasarana yang memadai sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Proyeksi Ketersediaan - kebutuhan air Tahun 2010
Ketersediaan air Waduk Sungai lain Total Jatiluhur 5.344 3.158 8.502
Kebutuhan air Irigasi
DPI
Total
Sisa
4.290
883
5.173
3.329
2015
5.317
3.049
8.366
4.188
1.444
5.632
2.734
2020
5.291
2.944
8.235
4.082
1.864
5.946
2.289
2025
5.264
2.842
8.106
3.973
2.135
6.108
1.998
Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan pengembangan industri di DAS Citarum yang demikian pesat seperti terlihat tren sisa air (kolom 8 Tabel 23) yang terus menurun, maka diperlukan peningkatan productivity dan intervensi teknologi. Berbagai upaya tersebut diantaranya menurunkan konsumsi air yang dapat dilakukan melalui sosialisasi hemat air penggunaan irigasi hemat air serta perbaikan kebocoran pada sistim distribusi jaringan air minum. Disamping itu, upaya konservasi air perlu dilakukan antara lain pembangunan program impouding, reboisasi daerah hulu serta penggalakan sumur resapan ataupun biopori atau bahkan memberlakukan sistem zero waste management.