185
VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BENDUNGAN 6.1. Umum Perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede dapat dievaluasi status keberlanjutannya dan diperbaiki agar dapat mencapai status keberlanjutan yang diingin dicapai. Penentuan jumlah dimensi yang digunakan dalam analisa sangat tergantung pada kondisi subjek penelitian. Peningkatan status keberlanjutan dapat ditempuh melalui serangkaian perbaikan kondisi eksisting, terutama pada atribut atau sektor kunci yang memiliki nilai yang tinggi sebagai atribut pengungkit. Kondisi yang menjadi model untuk kondisi eksisting dalam analisis ini adalah kondisi terkini di DAS Waduk Jatigede dengan laju sedimentasi 5,94 mm/tahun dan perubahan alokasi debit inflow akibat dibangunnya Bendung Leuwigoong di hulu Bendungan Jatigede. Sedangkan kondisi yang menjadi model untuk kondisi yang memenuhi aspek keberlanjutan adalah kondisi dengan perubahan laju sedimentasi secara bertahap selama umur layanan dan perubahan alokasi debit inflow. Analisis status keberlanjutan menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin (multi disciplinary rapid appraisal), yaitu Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak Rapfish, Kavanagh (2001). Data yang digunakan untuk analisis adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data-data yang berkaitan dengan komposisi sedimen, laju sedimentasi, debit inflow, data hujan, data pembebasan tanah, kebijakan dan permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan bendungan. Sumber data primer terdiri atas : observasi lapangan, kuesioner dan wawancara/diskusi dengan para pakar serta diambil dari hasil analisis bab sebelumnya. Data sekunder data jenis tanah, data tutupan lahan dan data topografi, berupa dokumen dari berbagai instansi. Acuan penilaian indeks keberlanjutan menurut Rapfish adalah (i) jika indeks bernilai ≤ 25 termasuk dalam kategori buruk, (ii) 25 < nilai indeks ≤ 50 termasuk dalam kategori kurang, (iii) 50 < nilai indeks ≤ 75 termasuk dalam kategori cukup dan (iv) 75 < nilai indeks ≤ 100 termasuk dalam kategori baik. Penelitian keberlanjutan pembangunan Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, dilakukan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu : (1) dimensi ekonomi; (2) dimensi kelembagaan; (3) dimensi lingkungan; dan (4) dimensi
185
186
sosial budaya; (5) dimensi teknis, dengan atribut dan nilai scoring hasil pendapat pakar dan data sekunder seperti pada lampiran hasil penelitian. Nilai keberlanjutan
pada masing-masing
dimensi
diuraikan
dalam
penjelasan
selanjutnya.
6.2
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) biaya operasi dan pemeliharaan; (2) dampak finansial banjir; (3) biaya pembangunan bendungan; (4) nilai manfaat ekonomi; (5) luas lahan irigasi yang terairi; (6) suplai air baku; (7) produksi listrik per tahun; (8) biaya pengadaan tanah. Hasil
analisis
MDS
dengan
Rap-Jatigede
menunjukkan
indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi pada perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede sebesar 41,31 dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 91. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapat atribut yang bernilai rendah, yaitu kenaikan biaya pembangunan,
Gambar 91. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Sumber : Hasil penelitian kemungkinan kenaikan biaya operasi dan pemeliharaan jika kualitas DAS menurun, kenaikan biaya pengadaan tanah dan biaya sosial lainnya, nilai manfaat ekonomi yang dapat terganggu akibat kenaikan biaya pembangunan dan menurunnya kualitas DAS serta produksi listrik yang hanya menguntungkan untuk beban puncak. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu : tercapainya nilai manfaat ekonomi yang direncanakan (6.11 %), biaya pembangunan yang terkendali dari rencana
187
awal (5.43 %) dan tercapainya luas lahan irigasi yang diairi sesuai rencana (4.61 %). Berdasarkan pendapat pakar dan praktisi serta hasil analisis leverage, maka dapat diketahui betapa pentingnya pencapaian nilai manfaat ekonomi yang direncanakan yaitu pencapaian fungsi-fungsi bendungan dengan menangani pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terintegrasi untuk memaduserasikan antara berbagai kebijakan yang cukup banyak berperan dan mengatur pengelolaan DAS dalam pencapaian fungsi bendungan. Demikian juga biaya pembangunan harus diupayakan agar tidak naik dari rencana awal yang telah menjadi dasar perhitungan nilai manfaat ekonomi seperti Benefit Cost Ratio. Luas lahan irigasi yang terairi yang direncanakan dari fungsi Bendungan Jatigede adalah 90.000 ha, jika suplai air tidak mencukupi ataupun luasan jaringan irigasi berkurang akibat alih fungsi lahan, fungsi irigasi sebagai fungsi utama akan terganggu. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 92.
Gambar 92. Atribut pengungkit dimensi ekonomi Sumber : Hasil penelitian 6.3. Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) kualitas air; (2) penatagunaan hutan; (3) konservasi sumber air; (4) pengendalian laju sedimentasi; (5) alih fungsi lahan; (6) ketersediaan air; (7) pengembangan dan penatagunaan tutupan lahan; dan (8) penghematan air. Hasil analisis MDS dengan menggunakan Rap-Jatigede menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan pada kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede sebesar 33.71. Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kawasan perencanaan
188
pembangunan Bendungan Jatigede memiliki status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 93. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung dimensi lingkungan yang diamati, hampir semua atribut termasuk kategori tidak baik, yang berkategori baik adalah kualitas air, ini pun dalam batasbatas kualitas air baku. Laju sedimentasi sesuai rencana awal sebesar 5,32 mm/tahun termasuk kategori kritis, demikian halnya dengan rasio perbandingan Qmaks dan Qmin > 251, termasuk kategori kritis karena di atas 50. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan yaitu : pengendalian laju sedimentasi (5.98 %), ketersediaan air (5.22 %) dan penghematan air (5.19 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 94.
Gambar 93. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan Sumber : Hasil penelitian
Gambar 94. Atribut pengungkit dimensi lingkungan Sumber : Hasil penelitian
189
6.4. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan pada dimensi sosial budaya terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan; (2) tingkat kesadaran masyarakat menjaga sumber air; (3) pelaksanaan pengadaan tanah; (4) pelaksanaan relokasi permukiman; (5) pelaksanaan pemindahan situs budaya; (6) taraf hidup masyarakat; (7) klaim konflik tanah; dan (8) budaya hemat air. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya di kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, sebesar 32.43 dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 95. Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan semua atribut pendukung dimensi sosial budaya yang diamati berkategori kurang baik yaitu : tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan, pelaksanaan pengadaan tanah, pelaksanaan relokasi permukiman, pelaksanaan pemindahan situs budaya, taraf hidup masyarakat dan budaya hemat air.
Gambar 95. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya Sumber : Hasil penelitian Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu : pelaksanaan pengadaan tanah (5.63 %), pelaksanaan relokasi permukiman (5.40 %) dan klaim konflik tanah (5.18 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 96.
190
Gambar 96. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya Sumber : Hasil penelitian Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan persyaratan penting bagi terciptanya iklim pembangunan bendungan yang kondusif. Kondisi pelaksanaan pengadaan tanah budaya
yang
menjadi pertimbangan utama tercapainya kondisi sosial
kondusif
dalam
pelaksanaan
pembangunan
Penanganan yang kurang baik terhadap ketiga atribut yaitu
bendungan. pelaksanaan
pengadaan tanah, pelaksanaan relokasi permukiman dan penanganan klaim konflik tanah dapat menjadi pemicu terlambatnya penyelesaian pembangunan bendungan bahkan bisa menggagalkannya.
6.5.
Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang digunakan untuk menganalisis dimensi kelembagaan adalah:
(1) tumpang tindih tanggungjawab; (2) koordinasi kelembagaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (3) komitmen dukungan antar instansi terkait; (4) kesepakatan tentang program dan anggaran; (5) efektivitas lembaga/instansi dalam menjalankan tugasnya; (6) kejelasan pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan; (7) hubungan kerja antar instansi; dan (8) jumlah instansi yang terlibat. Hasil nilai MDS dengan menggunakan Rap-Jatigede menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan pada kawasan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede adalah 41,57. Berdasarkan klasifikasi status keberlanjutan, angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan untuk pembangunan Bendungan Jatigede menunjukkan status kurang berkelanjutan (Gambar 97).
191
Gambar 97. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan Sumber : Hasil penelitian Status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima atribut yang bernilai rendah, yaitu : koordinasi kelembagaan, komitmen dukungan antar instansi, kesepakatan program dan anggaran instansi terkait, efektivitas lembaga/instansi terkait dalam menjalankan tugas dan kejelasan pembagian tugas/kewenangan. Sedangkan atribut yang memperoleh nilai sedang ada tiga, yaitu tumpang tindih tanggung jawab, hubungan kerja antar instansi dan jumlah instansi yang terlibat. Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan yaitu : kesepakatan program dan anggaran instansi terkait (6.84 %), kejelasan pembagian tugas pokok dan fungsi serta kewenangan antar instansi terkait (5.68 %) dan komitmen dukungan antar instansi terkait (5.17 %). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 98.
Gambar 98. Atribut pengungkit dimensi kelembagaan Sumber : Hasil penelitian
192
6.6. Status Keberlanjutan Dimensi Teknis Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan pada dimensi teknis terdiri dari delapan atribut, yaitu : (1) kondisi jaringan irigasi; (2) tersedianya varietas padi hemat air; (3) tersedianya perencanaan keseimbangan air; (4) program peningkatan kualitas sumber daya air; (5) tersedianya teknologi konservasi lahan; (6) tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi; (7) tersedianya perencanaan pengendalian konflik; dan (8) tersedianya pola operasi waduk. Adapun
nilai
indeks
keberlanjutan
dimensi
teknis
di
kawasan
perencanaan pembangunan Bendungnan Jatigede, Kabupaten Sumedang, sebesar 41,50 dengan status kurang berkelanjutan, sebagaimana tertera pada Gambar 99 status kurang berkelanjutan tersebut disebabkan beberapa atribut pendukung dimensi teknis yang diamati
berkategori kurang baik yaitu :
ketersediaan perencanaan pengendalian konflik, ketersediaan perencanaan pengendalian sedimentasi dan ketersediaan perencanaan keseimbangan air. Beberapa atribut berkategori sedang yaitu kondisi jaringan irigasi dan tersedianya program peningkatan kualitas sumber daya air. Atribut yang berkategori baik adalah ketersediaan varietas padi hemat air, ketersediaan teknologi konservasi lahan dan ketersediaan pola operasi waduk.
Gambar 99. Analisis Rap-Jatigede Indeks keberlanjutan dimensi teknis Sumber : Hasil penelitian Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknis, yaitu : ketersediaan perencanaan
193
pengendalian konflik (10.16 %), ketersediaan perencanaan pengendalian sedimentasi (7.95 %) dan ketersediaan perencanaan keseimbangan air (7.10%). Hasil analisis leverage dapat dilihat di Gambar 100.
Gambar 100. Atribut pengungkit dimensi teknis (Sumber : Hasil penelitian) Kondisi perencanaan perencanaan
teknis
merupakan
pembangunan pengendalian
persyaratan
bendungan
konflik,
penting
yang
pengendalian
bagi
kondusif. laju
terciptanya Ketersediaan
sedimentasi
dan
pengelolaan keseimbangan air menjadi pertimbangan utama tersedianya perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan.
6.7. Analisis Multi Dimensi Status Keberlanjutan Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan suatu kondisi. Semakin besar nilai perubahan akibat hilangnya suatu atribut tertentu, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai keberlanjutan. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai indeks keberlanjutan, digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini, (i) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut, (ii) pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, (iii) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, (iv) kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data) dan (v) tingginya
194
nilai stress hasil analisis Rap-Jatigede (nilai stress diterima jika < 25 %). Analisis data dengan menggunakan Rap-Jatigede menyangkut aspek keberlanjutan dari dimensi ekonomi, lingkungan, sosial budaya, teknis dan kelembagaan. Secara umum metode analisis Rap-Jatigede akan dimulai dengan mereview
atribut-atribut
dan
mendefinisikan
perencanaan
pembangunan
Bendungan Jatigede melalui kajian pustaka serta pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Jatigede. Setelah mendapatkan hasil skor, setiap atribut dianalisis dengan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari perencanaan pembangunan bendungan terhadap ordinat Good and Bad. Dalam MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lainnya. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Analisis multi dimensi terhadap status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede yang berkelanjutan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 38.87 yang berarti status perencanan pembangunan Bendungan Jatigede adalah kurang berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi teknis sebesar 41,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 41,31 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 32.43 dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi kelembagaan sebesar 41,57 dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi lingkungan sebesar 33,71 dengan status kurang berkelanjutan (Tabel 43). Tabel 43. Nilai indeks keberlanjutan – skenario pesimis Nilai No Dimensi Keberlanjutan Indeks Indikator 1 Teknis 41.50 Kurang berkelanjutan 2 3 4 5
Sosial Budaya Lingkungan Kelembagaan Ekonomi
32.43 33.71 41.57 41.31 Nilai Total
38.87
Kurang berkelanjutan Kurang berkelanjutan Kurang berkelanjutan Kurang berkelanjutan Kurang berkelanjutan
195
Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi teknis, kelembagaan, lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting. Gambar diagram layanglayang hasil analisis keberlanjutan skenario pesimis disajikan Gambar 101. Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-Jatigede (Multy Dimensional Scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini relatif kecil (dibawah 2.5 poin) dan proses analisis data yang dilakukan secara berulangulang stabil serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan monte carlo seperti pada Tabel 44.
Gambar 101. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan – skenario pesimis Sumber : Hasil penelitian Tabel 44. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-Jatigede Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Dimensi Keberlanjutan Perbedaan MDS Monte Carlo Teknis 41.5 42.07 0.43 Ekonomi 41.31 41.81 0.50 Kelembagaan 41.57 42.16 0.59 Sosial Budaya 32.43 34.12 1.69 Lingkungan 33.71 34.63 0.92 Sumber : Hasil penelitian
196
Hasil analisis Rap Jatigede menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 % sampai 14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0.91 dan 0.95. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0.25 (25 %) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1.0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 45. Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis leverage masing-masing dimensi sebanyak 15 atribut. Atribut-atribut tersebut perlu diperbaiki dengan tujuan untuk meningkatkan status keberlanjutan perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede. Perbaikan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai atau status keberlanjutan, sedangkan untuk atribut yang menimbulkan permasalahan bagi keberlanjutan suatu dimensi, maka dapat diupayakan semaksimal mungkin dengan cara memperbaiki kinerja atribut tersebut. Tabel 45. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi (R2) Parameter
Stress 2
R
Dimensi A
B
C
D
E
0.1322
0.1370
0.1371
0.1390
0.1378
0.93
0.92
0.92
0.95
0.93
Keterangan : A = DimensiTeknis, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Kelembagaan, D = Dimensi Sosial Budaya dan E = Dimensi Lingkungan Sumber : Hasil penelitian
6.8. Strategi Perbaikan Status Keberlanjutan Pemilihan sektor kunci dari berbagai dimensi yang ada dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu : (i) mengambil atribut yang mempunyai nilai paling tinggi dari atribut-atribut yang ada dalam dimensi yang ditinjau, (ii) mengambil atributatribut yang mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai rata-rata atribut dalam dimensi yang ditinjau, (iii) mengambil tiga atribut dengan nilai tertinggi dalam dimensi yang ditinjau. Dalam penelitian ini ditempuh cara ke-iii namun dengan mempertimbangkan dengan nilai minimal 5 % yang harus dicapai oleh masing-
197
masing atribut, jika kurang dari nilai ini, akan dikeluarkan dari sektor kunci. Dari hasil analisis leverage, dengan cara tersebut diambil empat belas atribut yang menjadi sektor kunci dari lima dimensi yang ada. Pengambilan tiga atribut yang menjadi sektor kunci dimaksudkan agar kebijakan pemberdayaan sektor kunci akan lebih mengangkat indeks keberlanjutan dibandingkan jika hanya satu sektor kunci dan terlalu melebar jika menempuh cara (ii). Berbagai kebijakan dapat dikembangkan dari berbagai atribut yang menjadi sektor kunci dari berbagai dimensi yang ada. Tabel
46 memuat atribut yang
menjadi sektor kunci sesuai tingkat pengaruhnya terhadap masing-masing dimensi. Tabel 47 menyajikan uraian rekomendasi kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan status keberlanjutan. Implementasi pada perencanaan pembangunan
Bendungan
Jatigede
dapat
meningkatkan
pencapaian
keberlanjutan yang diharapkan. Tabel 46. Dimensi dan Sektor Kunci No
Dimensi/Aspek
1
Teknis
2
Sosial Budaya
3
Lingkungan
4
Kelembagaan
5
Ekonomi
Sektor Kunci Tersedianya perencanaan pengendalian konflik Tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi Tersedianya perencanaan keseimbangan air Pelaksanaan pengadaan tanah Pelaksanaan relokasi permukiman Penanganan klaim masalah tanah Pengendalian sedimentasi Ketersediaan air Penghematan pemakaian air Kesepakatan program dan anggaran instansi terkait Kejelasan pembagian tugas pokok dan fungsi instansi terkait Komitmen dukungan antar instansi terhadap tujuan pembangunan Nilai manfaat Biaya pembangunan
Sumber : Hasil penelitian
Nilai 10.16 7.95 7.10 5.63 5.40 5.18 5.98 5.22 5.19 6.84 5.68 5.17 6.11 5.43
198
Tabel 47. Rekomendasi kebijakan untuk pencapaian status berkelanjutan No
Dimensi/Aspek
1
Teknis
2
Sosial Budaya
3
Lingkungan
4
Kelembagaan
5
Ekonomi
Rekomendasi Kebijakan Memastikan tahapan detail pengendalian konflik yang mungkin muncul, masuk dalam produk perencanaan. Pembuatan SOP untuk mengantisipasi konflik dalam pelaksanaan pembangunan. Memastikan laju sedimentasi yang terjadi selama umur layanan sesuai rencana untuk mencapai daya dukung optimal tampungan waduk selama umur layanan. Memastikan bahwa ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air untuk fungsi-fungsi yang direncanakan selama umur layanan waduk. Melaksanakan pengadaan tanah dengan lebih melibatkan instansi yang terkait, legislatif dan masyarakat untuk mendukung penciptaan kondisi yang lebih kondusif termasuk penyempurnaan peraturan yang ada. Melaksanakan pengadaan tanah dalam satu Ijin Penetapan Lokasi selama tiga tahun. Segera melaksanakan relokasi permukiman dengan program, pembagian tugas yang jelas dan anggaran yang terintegrasi. Melakukan klarifikasi terhadap klaim dan melibatkan aparat hukum untuk proses verifikasi legalitas dokumen. Melakukan perbaikan tutupan lahan, metode pengolahan dan implementasi tindakan konservasi. Memelihara sumber air dan kualitas DAS Mengendalikan pemanfaatan dan pengambilan air agar dapat memenuhi fungsi sesuai alokasi air yang ada. Para pemimpin instansi segera menyepakati program dan anggaran untuk menyelesaikan program dalam rentang waktu yang ada. Kejelasan pembagian peran dlm pembangunan bendungan sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masingmasing. Penyusunan tanggungjawab pencapaian target masing-masing instansi serta evaluasi dalam rapat pimpinan instansi. Memastikan langkah untuk pencapaian manfaat bendungan yang direncanakan selama umur layanan. Mencapai persyaratan finansial (IRR,BCR) yang direncanakan. Menekan kemungkinan penambahan biaya yang mungkin terjadi selama pelaksanaan dan operasi-pemeliharaan.
Sumber : Hasil penelitian Pelaksanaan rekomendasi kebijakan harus diterapkan dalam mencapai status berkelanjutan sebagaimana pada Tabel 45 akan meningkatkan status yang ada sebelumnya dari status kurang berkelanjutan menjadi cukup berkelanjutan pada perencanaan pembangunan Bendungan Jatigede. Hal ini ditunjukkan perubahan nilai indeks dari masing-masing dimensi sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 48 dan Tabel 49.
199
Tabel 48. Peningkatan indeks keberlanjutan dari skenario pesimis menjadi skenario optimis SIMULASI NILAI AWAL REKOMENDASI KEBIJAKAN SEKTOR KUNCI No DIMENSI MENJADI Tersedianya perencanaan pengendalian konflik 0 dan max=1 1 1. Memastikan tahapan detail penanganan masalah sosial yang Tersedianya perencanaan pengendalian sedimentasi 0 dan max=1 1 mungkin muncul masuk dalam produk perencanaan pembangunan Tersedianya perencanaan keseimbangan air 1 dan max=2 1 2. Memastikan laju sedimentasi yang terjadi selama umur layanan 1 TEKNIS sesuai rencana dan persyaratan kondisi DAS yang harus dipenuhi 3. Memastikan bahwa ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air untuk fungsi-fungsi yang direncanakan. Pelaksanaan pengadaan tanah 0 dan max=2 1 1. Melaksanakan pengadaan tanah dengan lebih melibatkan instansi Pelaksanaan relokasi permukiman 0 dan max=2 1 - instansi, legislatif dan masyarakat yg mendukung penciptaan Klaim konflik tanah 0 dan max=2 2 kondisi yang lebih kondusif. SOSIAL 2 2. Segera melaksanakan relokasi permukiman dengan program, pemBUDAYA bagian tugas yg jelas dan anggaran yang terintegrasi. 3. Melakukan klarifikasi terhadap klaim dan melibatkan aparat hukum untuk proses verifikasi legalitas dokumen. Pengendalian sedimentasi 0 dan max=2 2 1. Melakukan perbaikan tutupan lahan, metode pengolahan dan Ketersediaan air 1 dan max=2 2 implementasi tindakan konservasi. 3 LINGKUNGAN Penghematan pemakaian air 0 dan max=2 2 2. Memelihara sumber air dan kualitas DAS 3. Mengendalikan pemanfaatan dan pengambilan air agar dapat memenuhi fungsi sesuai alokasi air yang ada. Kesepakatan program dan anggaran instansi terkait 0 dan max=1 1 1. Para pemimpin instansi segera menyepakati program dan anggaran Kejelasan pembagian tugas, pokok dan fungsi instansi terkait 1 dan max=2 2 untuk menyelesaikan program dalam rentang waktu yang ada. Komitmen dukungan antar instansi terhadap tujuan pembangunan 0 dan max=1 1 2. Kejelasan pembagian peran dalam pembangunan bendungan sesuai 4 KELEMBAGAAN tugas pokok dan fungsi serta kewenangan masing-masing instansi. 3. Penyusunan tanggungjawab pencapaian target masing-masing instansi serta evaluasi dalam rapat pimpinan instansi. Nilai manfaat 1 dan max=2 1 1. Memastikan langkah untuk pencapaian manfaat bendungan yang 5 EKONOMI Biaya pembangunan 0 dan max=1 1 direncanakan. 2. Menekan kemungkinan penambahan biaya yang mungkin terjadi.
INDEKS AWAL 41,50
INDEKS AKHIR 55,64
14,14
0,1368
92,23
32,43
68,61
36,18
0,1369
92,00
33,71
54,44
20,73
0,1362
92,00
41,57
53,65
12,08
0,1373
92,28
41,31
52,14
10,83
0,1359
94,23
NAIK
Stress
199
R-Sq
200
Tabel 49. Analisis Rap-Jatigede (Skenario Optimis) No
Dimensi/Aspek 1 2 3 4 5
Teknis Sosial Budaya Lingkungan Kelembagaan Ekonomi
Nilai Indeks 55,64 68,61 54,44 53,65 52,14
Indikator Cukup berkelanjutan Cukup berkelanjutan Cukup berkelanjutan Cukup berkelanjutan Cukup berkelanjutan
Sumber : Hasil penelitian Nilai total status berkelanjutannya adalah 56,05 yang berarti berstatus cukup berkelanjutan. Gambar 102 menunjukkan diagram layang-layang Rap-Jatigede skenario optimis dengan nilai-nilai dimensi sesuai Tabel 49.
Gambar 102. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan - skenario optimis Sumber : Hasil penelitian Hasil perhitungan nilai MDS dan Monte Carlo dari masing-masing dimensi serta nilai stress dan R2 dari masing-masing dimensi ditampilkan dalam Tabel 50.
Tabel 50. Perhitungan MDS,Montecarlo, stress dan R2 No 1 2 3 4 5
Dimensi Teknis Ekonomi Kelembagaan Sosial Budaya Lingkungan
MDS 41,5 41,31 41,57 32,43 33,71
Monte Carlo 42,07 41,81 42,16 34,12 34,63
Stress 0,1322 0,1370 0,1371 0,1390 0,1378
R-sq 0,93 0,92 0,92 0,95 0,93
Sumber : Hasil penelitian
200
201
6.9. Implementasi Rekomendasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan Rekomendasi
kebijakan
dalam
meningkatkan
indeks
keberlanjutan
perencanaan pembangunan bendungan, untuk kasus Bendungan Jatigede terdapat empat belas rekomendasi kebijakan berdasar empat belas sektor kunci yang
mempunyai
peran
besar
sebagai
atribut
pengungkit
nilai
indeks
keberlanjutan. Empat belas rekomendasi kebijakan untuk kasus Bendungan Jatigede, sebagian bersifat lokal, antara lain: (i) pelaksanaan relokasi permukiman dan klaim masalah tanah dalam dimensi sosial budaya karena dalam peraturan pengadaan tanah yang terakhir opsi ganti rugi tanah lebih dikedepankan dan klaim masalah tanah di Jatigede disebabkan karena proses pengadaan tanah yang lama dan manajemen basis data yang belum sempurna, (ii) dalam dimensi kelembagaan,
kejelasan
pembagian
tugas
pokok,
fungsi
(tupoksi)
dan
kewenangan dalam dimensi kelembagaan yang tidak berjalan baik lebih disebabkan karena kondisi politik regional dan nasional yang masih berkembang sejak bergulirnya reformasi yang menyebabkan instansi pemerintah cenderung kurang tegas dan kurang berani menjalankan tupoksi dan kewenangannya, (iii) masih dalam dimensi kelembagaan, komitmen dukungan antar instansi dalam pencapaian tujuan pembangunan, hal ini juga bersifat regional dan nasional, dipengaruhi oleh kondisi politik sejak reformasi politik nasional. Dengan pertimbangan menghilangkan atribut kunci yang bersifat lokal, maka terdapat sepuluh atribut kunci atau sektor kunci yang dapat digunakan lebih umum untuk perencanaan pembangunan bendungan lain, yaitu (i) tersedianya perencanaan
pengendalian
konflik
yang
mungkin
muncul,
perencanaan
pengendalian sedimentasi dan perencanaan keseimbangan air, dalam dimensi teknis (ii) pelaksanaan pengadaan tanah antara lain meliputi pengaturan kebijakan pengadaaan tanah, dalam dimensi sosial budaya (iii) pengendalian sedimentasi, pengelolaan ketersediaan dan penghematan air, dalam dimensi lingkungan, dan (iv) kesepakatan program dan anggaran biaya pembangunan bendungan di antara institusi yang terlibat, dalam dimensi kelembagaan dan (v) nilai manfaat serta biaya pembangunan bendungan, dalam dimensi ekonomi. Sepuluh sektor kunci dan rekomendasi kebijakannya disajikan dalam Tabel 44 dan 45 yang diberi warna abu-abu. Rekomendasi kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan merupakan rekomendasi kebijakan yang harus dilaksanakan agar pelaksanaan pembangunan bendungan tidak menemui konflik di lapangan dan
202
pencapaian fungsi optimal bendungan dapat dicapai secara berkelanjutan. Strategi dalam pencapaian keberlanjutan dalam berbagai dimensi telah disampaikan sebelumnya, intinya adalah menjamin pencapaian fungsi optimal bendungan selama umur layanan bendungan dan menjamin kelancaran pelaksanaan pembangunan dengan mengendalikan konflik yang mungkin muncul. Berikut adalah implementasi dari rekomendasi kebijakan dalam bentuk tahapan kegiatan yang harus dilaksanakan, dimulai dari ide pembangunan sampai pengoperasian dan pemeliharaan bendungan (Gambar 103). 1. Ide pembangunan bisa muncul jauh sebelum pelaksanan pembangunan bendungan. Ide pembangunan Bendungan Jatigede muncul pada tahun 1963 oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Mashudi. 2. Studi kelayakan dan LARAP. Studi kelayakan sudah biasa dilakukan untuk mengkaji kelayakan teknis dan ekonomi dari suatu rencana pembangunan sehingga pembangunan bendungan dilanjutkan jika kelayakan ekonomi dan teknis berada di atas ambang minimal. IRR harus di atas bunga bank yang berlaku dan BCR harus di atas 1,2 . Seiring dengan era kebebasan dalam politik, masalah pengadaan tanah makin menjadi masalah yang menyita perhatian, tidak saja dapat meningkatkan biaya tetapi juga dapat menghambat pembangunan. Untuk itu, studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Plan) atau studi Rencana Pembebasan Lahan dan Relokasi Permukiman merupakan kajian sosial budaya yang menjadi hal penting untuk dapat melancarkan proses pelaksanaan pembangunan. Program pengadaan tanah, penyiapan peta kawasan hutan dan peta lahan pengganti/kompensasi serta Standard Operating Procedures jika konflik muncul, harus disiapkan dalam LARAP. 3. PKM (Pertemuan Konsultasi Masyarakat) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PKM merupakan pertemuan untuk dialog menyampaikan rencana pemerintah dan menggali pendapat dari masyarakat pemangku kepentingan baik yang tinggal di daerah rencana genangan waduk, tapak bendungan, maupun masyarakat pengguna air. Sedangkan Amdal merupakan kajian
lingkungan
terhadap
suatu
rencana
pembangunan
dengan
memperhatikan rona lingkungan awal serta perubahannya sebagai dampak pembangunan. RKL dan RPL bendungan yaitu kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan disusun seakurat mungkin untuk menjadi acuan lingkungan dalam pelaksanaan konstruksi bendungan. 4. Evaluasi Keberlanjutan Perencanaan adalah proses untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hasil-hasil Studi Kelayakan, LARAP, PKM dan Amdal.
203
Studi Kelayakan, LARAP, PKM dan Amdal, merupakan perwujudan dari tiga pilar keberlanjutan yaitu ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Evaluasi ini seharusnya
dilakukan
oleh
Bappenas
dan
Kementerian
Koordinator
Perekonomian dan Keuangan dengan masukan dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai pemrakarsa pembangunan. Hasil evaluasi jika layak perencanaan dapat diteruskan ke tahapan SIDED, jika tidak layak, perlu dikaji lagi kemungkinan untuk memperbaiki kelayakan keberlanjutannya, jika layak diperbaiki dilakukan review atau revisi terhadap Studi Kelayakan, LARAP dan Amdal, namun jika tidak layak diperbaiki maka rencana pembangunan tersebut dihentikan sampai disini. Apa yang disampaikan pada bagian 2.6 harus menjadi pertimbangan, bahwa pembangunan bendungan harus meningkatkan
outcome
bagi
bangsa,
orang
terkena
dampak,
serta
pemrakarsa pebangunan, dan dapat mengubah konflik menuju konsensus sesuai tujuh prioritas dari Teori Scudder. 5. SIDED (Survey, Investigation and Detailed Engineering Design) atau pekerjaan Survei, Investigasi dan Desain Rencana Detail, merupakan istilah yang hampir sama dengan SID (Survey, Investigation and Design), tetapi pengaruhnya di lapangan berbeda. SIDED lebih mendalam dan menekan sekecil mungkin terjadinya perubahan desain akibat kondisi terbaru di lapangan, sedangkan SID memang lebih besar memberi kemungkinan perubahan oleh konsultan supervisi di lapangan atau bahkan cenderung menyisakan desain tertentu dilaksanakan pada masa konstruksi. Akibatnya antara desain detail dan pelaksanaan konstruksi seperti kejar-kejaran. 6. Sertifikasi Persetujuan Desain dari Menteri Pekerjaan Umum adalah persetujuan formal dari Menteri PU terhadap rencana detail konstruksi bendungan dan bangunan pelengkapnya. Jika Sertifikat Persetujuan Desain sudah didapatkan, maka sampai tahapan ini secara teknis pembangunan bendungan sudah dilaksanakan. 7. Nota Kesepahaman tentang pembagian tugas, program dan anggaran pihakpihak terkait, walaupun secara teknis sudah siap dilaksanakan, pembangunan suatu bendungan pasti melibatkan berbagai Instansi dalam Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten khususnya dalam proses pengadaan tanah dan penanganan masalah sosial. Nota kesepahaman diperlukan agar terdapat distribusi tugas, program dan anggaran yang jelas dan ini menjadi dokumen pendukung dalam proses penyusunan RKAKL untuk penerbitan DIPA. 8. Pengadaan tanah di daerah tapak bendungan, bangunan pelengkap, lokasi
204
bahan timbunan, jalan masuk dan jalan kerja. Pengadaan tanah di lokasi ini merupakan
prasyarat
untuk
memulai
pekerjaan
fisik
pembangunan
bendungan. 9. Tender konstruksi dan konsultan supervisi serta pengadaan tanah di genangan. Walaupun tender dan pengadaan tanah adalah kegiatan yang berbeda, namun kegiatan ini dapat dilaksanakan secara berbarengan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa pengadaan tanah sebaiknya dilaksanakan dalam waktu tiga tahun, dalam satu Ijin Penetapan Lokasi dan memuat pelarangan membangun pada daerah yang ditetapkan. 10. Pelaksanaan pembangunan bendungan dimulai dengan pembuatan jalan masuk dan jalan kerja, terowongan pengelak dan penyiapan lokasi bahan timbunan bendungan. 11. Penyelesaian proses pengadaan tanah, harus dilakukan paling lambat enam bulan sebelum penggenangan waduk, ini termasuk penebangan pohon di kawasan hutan di daerah genangan. Pengadaan tanah harus berjalan kontinyu, tidak terputus, dan akan lebih baik jika menggunakan sistim anggaran multiyears. 12. Sertifikasi Pelaksanaan Pembangunan Bendungan dari Menteri PU, yang mensahkan kesiapan konstruksi untuk proses penggenangan waduk. Jika belum siap, penggenangan harus ditunda. 13. Penggenangan waduk dan proses pemantauan keamanan bendungan. 14. Sertifikasi Operasi untuk memulai tahapan pemanfaatan fungsi bendungan. Jika terdapat masalah dalam proses penggenangan waduk, operasi bendungan harus dihentikan. 15. Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan bendungan selama umur layanan bendungan. Biaya operasi dan pemeliharaan seharusnya telah diperhitungkan dalam perhitungan finansial BCR maupun IRR. Implementasi rekomendasi kebijakan merupakan tahapan yang panjang dan harus
dilewati
dengan
baik,
tidak
saja
untuk
kelancaran
pelaksanaan
pembangunan dan pencapaian daya dukung optimal tampungan serta fungsi optimal bendungan, tetapi juga keamanan tubuh bendungan.
205
206
Gambar 103. Bagan alir implementasi rekomendasi kebijakan
207
6.10. Keterbatasan Hasil Penelitian Perencanaan pengendalian sedimentasi dan pengelolaan keseimbangan air merupakan perencanaan teknis lingkungan yang bersifat eksak, artinya dapat diukur secara kuantitatif.
Jika perencanaan kedua aspek tersebut dilakukan
secara akurat maka perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan akan dapat dicapai dengan indikasi tercapainya daya dukung optimal tampungan dan fungsi optimal bendungan selama umur layanan bendungan. Hal ini dapat diukur dan dimonitor secara kuantitatif melalui pengukuran laju sedimentasi, pengukuran volume tampungan dan sedimen, pengukuran debit inflow dan outflow. Jika nilainya sesuai perencanaan, berarti kualitas DAS dan keseimbangan air
sesuai
batasan
perencanaan.
Sedangkan
pengadaan
tanah
untuk
pembangunan bendungan bersifat non eksak, artinya tidak diukur secara kuantitatif, tetapi berdasarkan besaran-besaran dalam implementasi pengadaan tanah dapat diukur penilaian kualitatif. Sekalipun program dan rencana pengadaan tanah sudah sesuai perencanaan, jika dalam implementasi pengadaan tanah tidak memiliki ketegasan, konsistensi, koordinasi dan kedisiplinan, bukan tidak mungkin rencana pengadaan tidak tercapai. Pengadaan tanah pada pembangunan Bendungan Jatigede, khususnya pengadaan tanah milik penduduk, sebenarnya telah didukung dengan kebijakan pengadaan tanah mulai dari PP, Kepres/Perpres, Permen, Peraturan Kepala BPN dan peraturan lainnya. Seharusnya dengan dukungan kebijakan tersebut tidak ditemui masalah dalam pengadaan tanah. Kenyataannya, terdapat masalah dalam relokasi permukiman pada tanah, masalah rumah tumbuh dan klaim tanah. Hal ini terjadi karena pemerintah kurang memiliki ketegasan, konsistensi, koordinasi dan kedisiplinan pada program yang harus dijalankan, serta masalah eksternal terkait anggaran pembiayaan padahal luas tanah yang harus dibebaskan besar (± 4.946 ha). Akibatnya proses pengadaan tanah lama sekali baru dapat dituntaskan (lebih 30 tahun), sehingga bermunculan masalah di atas. Reformasi politik tahun 1998, membawa pengaruh terhadap pengadaan tanah, positifnya musyawarah harga berjalan lebih demokratis sehingga proses penentuan harga bisa mendekati keinginan masyarakat. Pengaruh negatifnya, pemerintah kurang memiliki ketegasan dalam menegakkan kebijakan/peraturan, kurang konsisten dan disiplin terhadap program yang ada serta koordinasi yang lemah antar instansi pemerintah yang terlibat. Program pengadaan tanah yang baik akan menjadi kurang bermakna jika tidak diimplementasikan dengan ketegasan, konsistensi, kedisiplinan dan koordinasi yang baik.