Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 1
ADAPTABILITAS MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA SEBAGAI KAMPUNG WISATA BUDAYA Oleh: Giva Tri Putri
[email protected]
Guntari,
10401241001,
Universitas
Negeri
Yogyakarta,
THE ADAPTABILITY OF THE ADAT PEOPLE OF KAMPUNG NAGA AS THE TOURIST CULTURE VILLAGE By: Giva Tri Putri
[email protected]
Guntari,
10401241001,
Yogyakarta
State
University,
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan upaya masyarakat Kampung Naga dalam menjaga lingkungan biologis, fisik dan sosial dengan menggunakan norma adat serta mendeskripsikan alasan masyarakat Kampung Naga dapat mempertahankan keberadaannya sebagai kampung adat ditengah kondisinya sebagai kampung wisata budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini ditentukan secara purposif. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, subjek penelitian ini berjumlah lima orang yaitu Kuncén, Punduh, seorang Guide, serta dua orang masyarakat yang terlibat langsung dalam melestarikan lingkungan. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber. Analisis data secara induktif dilakukan dengan langkah reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelestarian lingkungan oleh masyarakat Kampung Naga dengan menggunakan norma adat meliputi: a) pelestarian lingkungan fisik, dengan cara ngadidik atau mendidik, nganggerkeun bangunan imah atau konsistensi bangunan rumah, serta nyaring kabudayaan atau menyaring kebudayaan b) pelestarian lingkungan biologis dengan cara ngadidik atau mendidik, pengadaan tempat sampah, gotong royong guide, ngajaga leuweung atau menjaga hutan serta tanam tebang dan c) pelestatian lingkungan social yaitu dengan cara nyaring kabudayaan atau menyaring kebudayaan, mempertahankan budaya gotong royong, mempertahankan keramahtamahan, serta pengumpulan hasil pertanian. Alasan masyarakat Kampung Naga dapat mempertahankan keberadaannya sebagai kampung adat di tengah kondisinya sebagai kampung wisata budaya adalah adanya amanat-wasiat-akibat yang diturunkan dari leluhur, serta filosofi hirup jeung alam atau hidup bersama alam yang memperlihatkan adanya simbiosis mutualisme antara manusia dan alam. Kata kunci: pelestarian lingkungan, masyarakat Kampung Naga, norma adat, masyarakat adat
Abstract This research aims to: 1) describe the efforts of the people of Kampung Naga in the preservation of the biological, physical, and social environment by using the adat norms; 2) describe the reason of the Kampung Naga people who could maintain its existence as a Kampung Adat amidst its condition as the cultural tourist village. This research was descriptive research with the qualitative approach. The subject of this research was determined purposively. Based on the pre-defined criteria, the research subjects were five members: Kuncén, Punduh, a guide, and two people who were directly involved in preserving the environment. The data in this research were
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 2
obtained by doing observation, interview, and documentation. The data validation was done by triangulation. The inductive data analysis carried out by doing the three steps; data reduction, data presentation and conclusion. The results of this research showed that the preservation of the environment by Kampung Naga people by using the adat norms were: a) the preservation of the physical environment was done by ngadidik or educating, nganggeurkeun bangunan imah or building houses consistently, and nyaring kabudayaan or filtering cultures, b) the preservation of the biological environment was done by ngadidik or educating, supplying trash cans, applying gotong royong guide, ngajaga leuweung or protecting forests and tanam tebang and c) the preservation of the social environment was done by nyaring kabudayaan or filtering cultures, maintaining the culture of gotong royong, maintaining hospitality, and collecting agricultural products. The reason of the Kampung Naga people who could preserve its existence as kampung adat amidst its condition as the cultural tourist village was the existence of amanat-wasiat-akibat that was derived from the ancestors and the philosophy of hirup jeung alam or living with the nature which shows the mutual symbiosis between human and nature. Key words: preservation of the environment, Kampung Naga people, adat norms, adat people PENDAHULUAN Lingkungan merupakan komponen penting dalam kehidupan. Lingkungan terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial menjadi kompenen penting dalam sebuah kehidupan. Lingkungan fisik yang terdiri dari benda mati. Lingkungan biologis terdiri dari segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berupa organisme hidup selain manusia itu sendiri. Sementara lingkungan sosial adalah lingkungan yang terdiri dari manusia- manusia yang ada disekitarnya (Fuad, 1996:12). Banyak sekali permasalahan lingkungan yang dapat ditemui di Indonesia, baik permasalahan lingkungan biologis, fisik maupun sosial. Padahal, ketiga lingkungan itu merupakan tiga komponen penting untuk membentuk sebuah kehidupan. Permasalahan lingkungan biologis misalnya lahan hutan Indonesia berkurang 1,1 Ha setiap tahunnya. Khusus untuk Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan kabupaten terluas kelima di Jawa Barat mengalami kondisi kritis. Salah satu kampung adat di Kabupaten Tasikmalaya yaitu Kampung Naga, dengan segala ekslusifitas-nya dapat tetap menjaga lingkungan biologis dengan adanya leuweung piaraaan dan leuweung larangan. Kampung adat ini tetap terlihat asri dan sejuk, di tengah hiruk pikuk himpitan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya serta Garut. Tahun 2005, Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya mengeluarkan Perda No.2/2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, yang di dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 33 menjadikan Kampung Naga sebagai daerah wisata budaya. Pariwisata yang menurut masyarakat Kampung Naga sebuah tontonan dikhawatirkan tidak dapat menjadi tuntunan untuk masyarakat sekitar. Masyarakat Kampung Naga juga khawatir dengan kondisinya sebagai kampung
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 3
wisata budaya dapat mengancam kelestarian biologis, fisik serta sosial masyarakat Kampung Naga. Selain itu, tidak ada sanksi tegas yang diberikan kepada pengunjung atau tamu oleh perangkat adat. Tetapi, sampai saat ini, masyarakat adat Kampung Naga dapat dengan kokoh mempertahankan amanat atau pesan yang diberikan oleh para karuhun (leluhur). Mereka tetap terikat dengan amanat karuhun karena mereka merupakan masyarakat adat yang berarti masyarakat yang berbentuk komunal atau berkelompok, masyarakat yang menjalani kehidupan secara bersamasama dalam segala bidang kehidupan (Soepomo, 1977:54). Masyarakat adat memiliki hukum adat yaitu hukum yang tanpa tertulis atau dikodifikasi tetapi tetap hidup dalam hati dan kehidupan masyarakat adat untuk menjaga lingkungan serta kehidupan (Soekanto, 2011:15), begitupun dengan masyarakat Kampung Naga, mereka tidak memiliki aturan tertulis untuk mengatur kehidupan. Meskipun banyak larangan, tetapi mereka tidak mengenal banyak poin-poin larangan, tetapi yang mereka kenal hanya kata “pamali”. Pertambahan jumlah wisatawan atau tamu setiap bulannya menjadikan masyarakat adat ini harus sedikit merubah apa yang telah di-amanat-kan oleh para leluhurnya salah satunya dalam lingkungan fisik, misalnya adalah penambahan tepas pada bangunan rumah. Lingkungan biologis tetap mereka pertahankan dengan melarang siapapun, termasuk tamu serta masyarakat adat untuk masuk ke dalam leuweung larangan, sementara untuk masyarakat adat yang masuk ke dalam leuweung piaraan harus memenuhi beberapa kriteria. Konsistensi mereka dalam menjaga amanat karuhun merupakan kesuksesan dalam pelembagaan hokum. Pelembagaan yang dimaksud adalah hokum yang tetap melembaga (diketahui, dipahami, dihayati serta diaplikasikan)di dalam masyarakat dengan berbagai perubahan kondisi zaman yang terus bergerak (Taneko, 1987:13). Berbagai latar belakang yang diungkapkan diatas, dari mulai permasalah serta keunikan masyarakat adat Kampung Naga dalam menjaga kelestarian lingkungannya, baik berupa lingkungan biologis, fisik serta sosial maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat adat Kampung Naga serta hal-hal yang melatar belakangi konsistensi mereka terhadap amanat karuhun untuk mempertahankan lingkungan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metodologi penelitian kualitatif. Penelitian ini telah dilakukan di Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini sudah dilaksanakan pada bulan November 2014. Untuk menentukan subjek penelitian,
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 4
maka penentuan subjek penelitian atau informan dilakukan secara purposive. Berdasarkan beberapa kriteria, maka subjek penelitian pada penelitian ini adalah Kuncén, Punduh, Guide serta dua orang yang terlibat langsung dalam menjaga kelestarian ligkungan. Data penelitian berupa data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara serta dokumentasi. Instrumen penelitian ini adalah peneliti. Peneliti dikatakan sebagai instrumen karena peneliti harus memahami tempat penelitian dan tata cara penulisan penelitian. Analisis data yang digunakan dalm penelitian ini mengikuti proses analisis dari pendapat Sugiyono (2013:338), yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam menentukan keabsahan data atau validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Adapun teknik triangulasi yang digunakan dalam pengujian keabsahan data ini adalah triangulasi dengan sumber. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Upaya Masyarakat Adat Kampung Naga dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan dengan Menggunakan Norma Adat Upaya masyarakat adat Kampung Naga dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah meliputi upaya pelestarian lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial. Upaya pelstarian lingkungan fisik tersebut meliputi ngadidik (mendidik). Pendidikan utama dan pertama adalah pendidikan yang dilakukan didalam lingkungan keluarga dan masyarakat Kampung Naga. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan yang diberikan secara langsung oleh orangtua kepada anak-anakanya, baik secara langsung atau pemberian teladan. Upaya yang kedua adalah nganggerkeun bangunan imah (konsistensi bangunan rumah dan tanah). Bangunan rumah yang dimiliki oleh Kampung Naga, tetap saja dari masa ke masa, itu sebagai kunci untuk mempertahankan adat yang sudah diturunkan oleh nenek moyang sejak jaman dahulu. Meskipun ada beberapa perubahan, misal pada tepas, yang dimaksud dengan tepas ini adalah ruangan untuk menerima tamu, tetapi mereka masih memeiliki bentuk banguan rumah asli tersebut yang dinamai “tatarajuan” yang ada disekitar pemukiman warga. Upaya yang terakhir dalam pelestarian lingkungan fisik adalah nyaring kabudayaan (menyaring kebudayaan). Nyaring atau mem-filter kebudayaan dari luar merupakan pilah-pilih yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada setiap fenomena-fenomena yang muncul sesuai dengan perkembangan jaman. Sudah menjadi keniscayaan ketika jaman berputar dan terus berkembang, begitupun dengan keadaan disekitar lingkungan masyarakat Naga, tetapi untuk penjagaan lingkungan fisik yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga itu sendiri diantaranya adalah yang pertama tetap menolak masuk listrik
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 5
ke dalam lingkungan pemukiman Kampung Naga, serta penolakan pembuatan jalan aspal menuju wilayah pemukiman Kampung Naga, selain dikawatirkan dapat menjadikan kesenjangan sosial, dengan kepemilikan mobil dan juga motor, dikhawatirkan pembuatan jalan ini menjadi salahsatu penyebab kerusakan kelestarian lingkungan, begitupun dengan masuknya listrik menjadi yang menjadikan kepemilikan alat elektronik sebagai pembeda. Pelestarian lingkungan biologis yang dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga meliputi ngadidik (mendidik). Pendidikan untuk melestarikan lingkungan biologis adalah dengan mengajarkan anak untuk senantiasa belajar pada alam dan bersama alam. Upaya yang kedua adalah ngayakeun wadah runtah (pengadaan tempat sampah). Tempat sampah merupakan sarana untuk mengendalikan, pencemaran lingkungan. Hal ini dapat terlihat dari kebersihan lingkungan masyarakat Kampung Naga. Tempat sampah umum dengan ukuran sekitar 3x1,5m yang dibuat disekitar perkampungan ada sebanyak kurang lebih 4 buah, diantaranya terdapat di pinggir sungai, sawah dan dibawah leuweung piaraan. Upaya yang ketiga adalah gotong royong guide. Guide atau pemandu ini berasal dari Sanaga, yaitu setiap keturunan Naga, baik yang di wilayah 1,5 Ha ataupun diluar. Gotong royong yang dilakukan setiap hari Jumat oleh guide atau pemandu wisata, dimulai dari pagi sampai menjelang waktu persiapan sholat Jumat. Upaya yang keempat adalah ngajaga leuweung (penjagaan hutan). Hutan di area Kampung Naga menjadi daya tarik tersendiri untuk para pengunjung, terutama dengan adanya aturan-aturan dari jenis hutan yang ada. Ada dua jenis hutan di Kampung Naga yang dijadikan sebagai hutan keramat. Hutan yang dikeramatkan tersebut terdiri menjadi dua bagian, yaitu leuweung larangan atau hutan larangan dan leuweung piaraan atau hutan peliharaan. Upaya terakhir dari masyarakat adat kampung Naga dalam menjaga kelestarian lingkungan biologis adalah tanam tebang. Ini merupakan sesuatu yang unik dari masyarakat Kampung Naga. Sistem tanam-tebang ini sudah turun-temurun dilakukan. Menurut Aki Maun selaku Punduh Adat menyebutkan bahwa sistem tanam tebang ini adalah semua masyarakat adat Naga dapat menenbang pohon di sekitar dengan syarat sudah pernah menananm pohon sebelumnya jauh-jauh hari. Selain dua upaya diatas, masih ada satu upaya yang dilakukan, yaitu upaya melestarikan sisi lingkungan sosial. Pelestarian lingkungan sosial tersebut dilakukan dengan nyaring kabudayaan (menyaring kebudayaan). Nyaring atau mem-filter kebudayaan yang dimaksud berakar dari tidak dapat masuknya listrik ke dalam area Kampung Naga. Selain menjaga kekhasan Kampung Naga yang tanpa listrik, ternyata penolakan listrik ini menjadi salah satu upaya yang untuk
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 6
mengendalikan kebudayaan asing yang masuk. Terutama dalam hal berpakaian, tutur bahasa dan kesopanan. Selain nyaring kabudayaan, mereka berupaya mertahankeun budaya sabilulungan (mempertahankan budaya gotong royong). Upaya untuk mempertahankan nilai-nilai yang diturunkan secara turun temurun, masyarakat adat Kampung selalu mempertahankan budaya gotong royong. Gotong royong yang dilakukan bukan hanya untuk kepentingan umum saja seperti halnya dibeberapa desa yang dianggap sudah modern, tetapi gotong royong ini dilakukan juga untuk kepentingan perorangan atau keluarga. Hal ini dapat terlihat dengan ikut bekerja sama dalam membangun rumah, mengurus sawah dan menjemur serta menggeugeus padi. Upaya yang ketiga adalah mempertahankan keramah-tamahan. Keramahtamahan yang disuguhkan oleh masyarakat Kampung Naga dapat terasa dari mulai ruang koperasi yang ada diatas Kampung Naga. Disambut dengan beberapa guide yang bergantian melaksanakan piket, juga beberapa ibu-ibu penjaga warung. Selama perjalanan melewati tangga berundak dapat ditemui beberapa warung dan rumah, semua orang yang bertemu dijalan atau beridam diri dipinggir jalan tentu akan menyapa. Masyarakat Kampung Naga tidak ingin menyebut setiap orang asing yang masuk kedalam lingkungan Kampung Naga sebagai wisatawan, mereka menyebut setiap orang asing yang masuk dengan kata “tamu”, karena tamu memiliki makna filosofis sendiri. Seorang tamu harus dimuliakan ada atau tidak adanya biaya pada tamu tersebut, selain itu seorang tamu pastilah seseorang yang memiliki etika, mereka paham saatnya kapan bertamu, kapan harus pulang, kapan menemui dan bagaiman seharusnya bersikap. Upaya lainnya adalah pembatasan waktu kunjungan. Pembatasan waktu untuk para tamu diberlakukan oleh masyarakat adat Naga. Waktu yang diberlakukan adalah sebagaimana halnya seorang pribumi atau tuan rumah menerima tamu. Tidak terlalu pagi, juga tidak terlalu larut. Begitu halnya dengan penginapan. Mereka menolak pembangunan penginapan karena ini salah satu cara mereka untuk menyaring kebudayaan. Tamu yang akan menginap di Kampung Naga tidak boleh lebih dari satu malam, itupun dengan prosedur yang berbeda dengan cara kita menginap di perkampungan biasa. Upaya terakhir dalam pelestarian lingkungan sosial adalah pengumpulan hasil pertanian. Pengumpulan hasil pertanian ini dilakukan secara sukarela oleh setiap masyarakat Kampung Naga. Tidak ada besaran yang ditentukan untuk pengumpulan hasil tani ini. Hasil pertanian yang dimaksud disini adalah padi. Pengumpulan padi ini berguna untuk olahan pada saat mengadakan ritual adat yang dilakukan oleh Kampung Naga atau untuk membantu warga kurang mampu yang ada di dalam pemukiman Kampung Naga. Keberadaan warga yang kurang mampu ini sangat jarang ditemui.
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 7
Alasan Masyarakat Kampung Naga dapat Mempertahankan Keberadaannya sebagai Kampung Adat di tengah Kondisinya sebagai Kampung Wisata Budaya. Falsafah yang dimiliki oleh Kampung Adat ini sangat dipegang teguh oleh masyarakatnya, terutama dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Meskipun dalam perkembangannya, ada beberapa yang mulai bergeser sedikit demi sedikit. Dalam mempertahankan adat tersebut, masyarakat Kampung Naga memiliki falsafah hidup, yaitu dengan adanya amanat-wasiat-akibat dan filosofi hirup jeung alam atau hidup bersama alam. Amanat-Wasiat-Akibat Amanat-wasiat-akibat memilki maksud, setiap amanah yang tidak diwasiatkan dan dilakukan akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi pelanggar tersebut, karena meraka meyakini, “labuh ku laku, cilaka ku lampah” atau yang artinya jatuh karena tingkah, celaka karena laku. Jadi, pernyataan diatas mengandung sebab-akibat. Akibat yang didapatkan oleh si pelanggar disebabkan karena perilakunya. Untuk pemberlakuan sanksi, meskipun mereka atau masyarakat Kampung Naga tersebut tidak memiliki sanksi yang tegas terhdap pelanggar ketentuan-ketentuan yang telah diturunkan oleh sesepuh, tetapi mereka meyakini sanksi yang juga diturunkan oleh sespuh itu terjadi karena perbuatan pribada, maka sanksi tersebut akan diterima langsung oleh si pelanggar, baik secara langsung, lewat alam atau lewat ketentuan lain juga perhitungan diakhirat. Hirup Jeung Alam (Hidup Bersama Alam) Alasan mereka melakukan penjagaan terhadap alamnya adalah karena mereka memiliki keterikatan dengan alam. Masyarakat Kampung Naga menyadari bahwa alam adalah sahabat dari manusia, karena mereka melakukan simbiosis mutualisme. Manusia memiliki kebutuhan sandang, pangan, papan. Kebutuhan tersebut porsi terbanyaknya dapat dipenuhi oleh alam, karenanya untuk bias hidup maka manusia harus bias mengolah alam dengan baik. Mengolah alam bukan perkara yang mudah, manusia harus memiliki prinsip pengelolaan alam yang baik. Mereka menyadari bahwa kehidupan ini bukan hidup “di alam” melainkan hidup “bersama alam”, mereka memahami bahwa alam bukanlah objek, tetapi subjek karena sama-sama mendiami bumi. Alam ada bukan untuk dimanfaatkan saja, atau bahkan sampai di eksploitasi, tetapi alam ingin berbagi kehidupan dengan manusia. Manusia ingin mendapatkan penghidupan dari alam, pun sama halnya dengan alam, mereka membutuhkan manusia untuk kehidupan, maka disinilah terjadi simbiosis
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 8
mutualisme. Merawat dan melestarikan merupakan cara mudah untuk melakukan persahabatan dengan alam. Mereka mengenal filosofi alam jeung lingkungan lain ruksakeun tapi rawateun jeung rumateun. Mereka meyakini bahwa tidak ada yang namanya “bencana alam”, tetapi yang ada hanyalah “bencana akhlak”. Setiap bencana yang terjadi adalah akibat dari setiap akhlak atau sikap yang dilakukan oleh manusia sebagai bentuk teguran Allah Swt melalui alam. Maksud “alam jeung lingkungan lain ruksakeun tapi rawateun” yang dalam bahasa Indonesia adalah “Alam dan lingkungan bukan untuk dirusak tetapi untuk dirawat” berarti, setiap sumber daya alam yang ada bukan untuk dirusak dengan cara ditebang secara bebas tetapi untuk dimanfaatkan serta dilestarikan, karena mereka meyakini masih ada banyak generasi-generasi penerus yang harus menikmati kekayaan alam yang ditinggalkan oleh leluhurnya. Pendidikan pertama yang mereka berikan kepada anak-anaknya adalah pendidikan bersama alam, menyatu dengan alam, sehingga menimbulkan kecintaan pada alam. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dipenghujung tulisan ini, dapat disingkat bahwa pelestarian lingkungan oleh masyarakat Kampung Naga dengan menggunakan norma adat meliputi pelestarian fisik, biologis dan sosial. Pelestarian lingkungan fisik, dengan cara ngadidik atau mendidik, nganggerkeun bangunan imah atau konsistensi bangunan rumah, serta nyaring kabudayaan atau menyaring kebudayaan . Pelestarian lingkungan biologis dengan cara ngadidik atau mendidik, pengadaan tempat sampah, gotong royong guide, ngajaga leuweung atau menjaga hutan serta tanam tebang. Pelestatian lingkungan social yaitu dengan cara nyaring kabudayaan atau menyaring kebudayaan, mempertahankan budaya gotong royong, mempertahankan keramahtamahan, serta pengumpulan hasil pertanian. Alasan masyarakat Kampung Naga dapat mempertahankan keberadaannya sebagai kampung adat di tengah kondisinya sebagai kampung wisata budaya adalah adanya amanat-wasiatakibat yang diturunkan dari leluhur, serta filosofi hirup jeung alam atau hidup bersama alam yang memperlihatkan adanya simbiosis mutualisme antara manusia dan alam. Saran Sesuai dengan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
Adaptabilitas Masyarakat Adat…(Giva Tri Putri Guntari) 9
Saran untuk masyarakat Kampung Naga 1. Hendaknya perangkat adat bersama-sama dengan pemandu tamu atau guide untuk membuat peraturan, setiap orang yang bukan masyarakat Kampung Naga wajib melakukan pelaporan di ruang koperasi untuk mempermudah pemberian informasi tentang peraturan-peraturan adat yang dimiliki oleh Kampung Naga serta pemberian peringatan pentingnya penjagaan lingkungan. 2. Kuncén hendaknya selalu ada dan mengawasi setiap hari untuk memastikan pola tingkah laku masyarakat serta tamu atau pengunjung selalu ada dalam koridor yang tetap atau sesuai dengan tata aturan adat masyarakat Kampung Naga. Hal ini untuk selalu berjaga-jaga akan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat serta tamu atau pengunjung Kampung Naga. 3. Perangkat adat hendaknya memperkuat lagi komunikasi dengan pengurus pemerintahan untuk mengadakan komunikasi dengan kampung tetangga guna menjaga lingkungan kebersihan Sungai Ciwulan secara bersama. DAFTAR PUSTAKA (1) Fuad, Amsyari. (1989). Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Ghalia Indonesia (2) Suryani, Elis & Charliyan, Anton. (2013). Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung: Dzulmariaz Print (3) Soekanto, Soerjono. (2011). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. (4) Soepomo. (1987). Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Penerbitan-Universitas. (5) Taneko, Soleman B. (1987). Hukum Adat: Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang. Bandung: Eresco Bandung. (6) Wiranata ,I Gede A.B.. (2003). Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa. Departemen Pendidikan Nasional