PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN
CITRA PRATIWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Citra Pratiwi NIM I34120062
ABSTRAK CITRA PRATIWI. Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO. Kearifan lokal, nilai, norma, dan aturan-aturan masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan mempunyai relasi yang kuat dengan kelestarian hutan di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan, pertama, menganalisis sejauh mana kearifan lokal masyarakat Kampung Naga berperan terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan. Kedua, menganalisis strategi nafkah komunitas Kampung Naga. Penelitian menggunakan penelitian kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, proses ajar kearifan lokal di Kampung Naga, berlangsung melalui dua saluran. Saluran pertama melalui ruang keluarga atau rumah tangga. Saluran kedua berlangsung melalui ruang kampung. Dalam ruang keluarga/rumah tangga berlangsung proses ajar tentang perilaku sehari-hari, cara berpakaian, cara memasak, hingga cara budidaya padi. Pemimpin adat, sesepuh, dan ustadz tidak banyak berperan di ruang ini. Di dalam ruang kampung berlangsung proses ajar tentang upacara adat, cara pemanfaatan hutan, cara budidaya di kawasan hutan, hingga pembangunan rumah. Mereka yang berperan besar dalam proses ajar ini adalah pemimpin adat, sesepuh, menyusul terakhir adalah warga komunitas Kampung Naga. Hasil yang kedua, dengan berbagai luas penguasaan lahan, sektor pertanian (on farm) masih memberikan sumbangan terbesar terhadap pendapatan total rumah tangga (>65 persen). Mata pencaharian warga umumnya merupakan perpaduan dari usaha tani (on farm), usaha anyaman bambu (off farm), dan jasa secara terbatas (pedagang, atau buruh). Kata kunci: pengelolaan hutan, kearifan lokal, strategi nafkah
ABSTRACT CITRA PRATIWI. Local Wisdom and Forest Management of Kampung Naga Customary Community. Supervised by Soeryo Adiwibowo. Local wisdom, values, norms and rules of customary community living nearby forest mostly has tied relations with forest ecosystem. The objective of the study is, first, to analyse the role of local wisdom of the Kampung Naga community to forest use and protection. Second, to analyse the livelihood strategy of the Kampung Naga community. A mixed of quantitative and quantitative approach is applied. The results show that, first, the wisdom for forest management are transferred and passing from generations to generations through family unit and local community. Daily behaviour and attitude, fashion manner, cooking, domestic activities, and paddy rice field culture are transmitted through member of the family or household. The adat leaders, the elders, and the local ulama are not involve in these matters. Meanwhile, community rituals, forest usage and its taboo, cultivation at forest area, as well as housing construction are transmitted through community sphere in particular adat leaders, the elders, and the local ulama. The second result, with regards to livelihood strategy, on-farm activities are the biggest contributor to the household income (65 percent) followed by off-farm and non-farm activities. Keywords: Forest management, local wisdom, livelihood strategy
PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN
CITRA PRATIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Skripsi berjudul “Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada: 1. Dr. Ir Soeryo Adiwibowo, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Boyke Suhendra (alm) dan Ibu Tuti Supriati, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. 3. Indra Pratama, Yuri, dan Alhkalifi Attallah Pratama yang senantiasa memberikan dukungan serta keceriannya. 4. Masyarakat Kampung Naga yang telah menerima dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk keramahan dan keterbukaannya selama penulis melakukan penelitian. 5. Nurzalina Fatimah Azzahra, Rini Yuliawati, Nevi Arifiyanti, dan Farah Siti Zakiyah yang selalu menjadi tempat curahan hati penulis. 6. Sahabat sahabat seperantauan Azkiyyatus Syariifah, Alia Nisfi Jayanti, Widya Amaliah, Sri Agustin Maulani, Egi Nurridwan, Dijako R Julistianto, Yosafat M Manalu, Muhammad Syukur, Vanya Annisaningrum, Rizky Anggraini, Mona Elsahawi, Ninda Rahayu, Parti Mardiani, Rima Aulia Rahmah yang senantiasa menjadi tempat diskusi, semangat, dan keceriannya selama proses penulisan. 7. Teman-teman SKPM 49 yang selalu memberikan semangat dan dukungannya. 8. Teman-teman satu dosen pembimbing Nadya dan Esa yang bersama-sama berjuang dan saling mendukung untuk mendapatkan gelar S.kpm. 9. Teman-teman yayasan Sanggar Juara, Anggota Kosan Alquds, Himalaya IPB, dan INDEX 2015 yang senantiasa selalu memberikan semangat, dan doa. 10. Saepul Mubarok dan Fadli Alamsyah yang telah memberikan semangat dan setia menemani selama proses penulisan. Bogor, Agustus 2016 Citra Pratiwi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Strategi Nafkah Kearifan Lokal Proses Ajar Melalui Tatanan Adat Kepemimpinan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pemilihan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEHIDUPAN KOMUNITAS KAMPUNG NAGA Sejarah Komunitas Kampung Naga Tata Ruang Kampung Naga Tingkat Pendidikan Komunitas Kampung Naga Mata Pencaharian dan Penguasaan Lahan STRATEGI NAFKAH KOMUNITAS KAMPUNG NAGA PROSES AJAR DAN KEPEMIMPINAN Proses Ajar Pada Komunitas Kampung Naga Proses Ajar Peran Orang tua Ustadz Pemimpin Adat Sesepuh Lingkungan sosial (Tetangga) Kepemimpinan KEARIFAN LOKAL DAN KELESTARIAN HUTAN Nilai-Nilai yang Mendasari Kearifan Lokal Kearifan Lokal dalam Penataan Ruang Kampung dan Perumahan Kearifan Lokal dalam Perlindungan Hutan KESIMPULAN DAN SARAN
vi vi vi 1 14 3 4 5 7 7 12 13 16 16 18 19 21 21 21 21 22 23 24 29 31 31 32 34 37 41 49 49 52 52 52 52 52 52 52 53 57 57 59 61 75
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
75 76 77 83 101
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Uji statistik realibilitas Jenis dan metode pengumpulan data Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga pertama responden Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga kedua responden Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga ketiga responden Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga keempat responden Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga kelima responden Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas lahan yang dikuasai di dalam kawasan Kampung Naga Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas penguasaan lahan di luar kawasan kampung naga Jenis dan vegetasi pada hutan alami Kampung Naga yang dimanfaatkan komunitas Kampung Naga. Jumlah dan jenis strategi nafkah rumah tangga responden menurut kategori kombinasi strategi nafkah On Farm, Off Farm, dan Non Farm Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas lahan yang dikuasai di dalam dan di luar kawasan Kampung Naga Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor On Farm Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor Off Farm Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor Non Farm Jumlah dan persentase responden menurut kategori pendapatan dari berbagai sektor nafkah Data jumlah pendapatan rumah tangga responden dari berbagai kontribusi sektor pendapatan menurut luas penguasaan lahan Jumlah dan persentase responden menurut peranan proses ajar di kalangan komunitas Kampung Naga (%). Jumlah dan persentase persepsi responden mengenai pemimpin adat menurut kategori tipe kepemimpinan Status pemegang hak kepemilikan Aturan hukum norma adat di hutan garapan kawasan Kampung Naga. Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan kayu untuk bahan bangunan Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada bahan kayu bangunan Tabulasi silang antara sumber perolehan kayu bangunan pada tren perubahan 10 tahun terakhir pada kayu bangunan Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan bambu
22 23 35 35 36 36 36 38 39 40 43 44 45 45 46 46 47 52 55 64 66 67 68 68 69
26 27 28 29 30 31 32
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan bambu Tabulasi silang antara sumber perolehan bahan bambu dengan tren perubahan 10 terakhir pada keberadaan bambu Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan hortikultur Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur Tabulasi silang sumber perolehan tanaman hortikultur dengan tren perubahan 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan ikan Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan ikan
69 70 71 71 71 72 72
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kerangka pemikiran pengaruh kearifan lokal terhadap pengelolaan hutan Pembagian tatanan ruang kampung Alat tradisional lesung Lahan sawah garapan komunitas Kampung Naga di dalam kawasan Peranan proses ajar melalui tatanan adat Struktur pemerintahan informal di Kampung Naga Karakteristik kepemimpinan adat dikalangan komunitas Kampung Naga (%) (A). Rumah adat komunitas Kampung Naga, (B). Lorong rumah adat Kampung Naga Sketsa pembagian zona/kawasan Kampung Naga
19 33 38 39 53 54 55 60 61
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Denah Peta Lokasi Penelitian 83 Nama responden komunitas Kampung Naga, Rt 01 Rw 01 Desa Neglasari Kabupaen Tasikmalaya 84 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 85 Kuisioner 87 Panduan wawancara mendalam 96 Hasil Uji Statistik 97 Hasil uji validitas dan realibilitas 98 Dokumentasi Penelitian 100
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dijaga kelestariannya yang diperuntukkan sebagai penyeimbang alam dan paru-paru bumi. Pada ekosistem hutan terdapat bermacam keanekaragaman hayati dan non hayati, baik flora maupun fauna. Hutan merupakan kawasan yang sangat potensial terutama untuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Pada pengelolaan sumber daya hutan, terdapat beberapa stakeholder yang terlibat, yaitu masyarakat, swasta dan negara. Masyarakat desa sekitar hutan tidak dapat dipisahkan secara langsung karena merupakan bagian dari ekosistem hutan. Hutan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat sekitar atau juga disebut masyarakat lokal tersebut akan tetap berusaha menjaga dan mengelola hutan tersebut meskipun akan ada sebagian orang yang tidak peduli akan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka. Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu, sehingga memperoleh upah yang lumayan. Selain itu bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber sumber dasar yang terdapat di hutan seperti kayu bakar, dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan (Karisma 2010). Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam mengelola maupun memanfaatkan hasil hutan. Mereka menggunakan norma adat maupun budaya mereka dalam mengelola hutan. Budaya tersebut telah secara turun temurun digunakan dan dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dalam menjaga lingkungan yang disebut dengan kearifan lokal. Menurut Nababan (2003) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem di sekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alam secara lokal. Pada masyarakat tradisonal apabila terjadi pelanggaran terhadap adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu menghantuinya. Keraf (2002) dalam Arafah et al. (2011) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sedangkan menurut UU No 32 Tahun 2009 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, dan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Kampung Naga merupakan salah satu wilayah tempat berdiamnya komunitas adat. Wilayah yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu bagian dari Suku Sunda yang memiliki tradisi tangible dan intangible
2 yang masih dipelihara. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur komunitas Kampung Naga. Secara sosial budaya Kampung Naga merupakan desa adat yang masih terjaga kelestariannya. Kampung Naga masih mempertahankan adat istiadatnya ketika masyarakat yang lain telah berubah seiring perkembangan zaman. Komunitas Kampung Naga dapat terbuka dengan masyarakat lainnya tetapi mereka tetap berpegang teguh pada ajarannya. Komunitas Kampung Naga sangat mematuhi pemimpin adat yang berperan untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan melestarikan budaya papagon hirup sebagai pedoman hidup yakni wasiat seperti adanya hutan larangan dan kawasan makam, amanat tentang pola hidup yang sederhana, larangan pada perbuatan, saat upacara, dan akibat pelanggaran terhadap tradisi seperti perasaan bersalah, telah menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga lingkungan hidup terlestarikan. Salah satu tata cara yang terkait dengan kearifan hutan dan lingkungan adalah cara mereka dalam mengelola dan memanfaatkan lahan (hutan, air, dan tanah) dan segala kandungan yang terdapat di permukaan bumi. Tata cara pengelolaan ini didasarkan pada sistem pengetahuan lokal orang Naga itu sendiri yaitu berdasarkan adat-istiadat dan budaya lokal yang mereka miliki (Ningrum 2012). Di Kampung Naga terdapat hutan adat yang disebut sebagai leuweung larangan yang tidak boleh ditebang maupun didatangi oleh masyarakat dalam maupun luar Kampung Naga itu sendiri, kecuali pada hari-hari tertentu untuk melaksanakan prosesi ritual (Hidayat 2015). Bentuk pengelolaan hutan (leuweung) itu sebagai upaya untuk menjaga hutan tetap lestari. Oleh karena itu segala sesuatu yang dirasakan tidak mendukung akan cara dan gaya mereka dalam memanfaatkan lingkungan dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Komunitas adat Naga masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, dan sanksi dalam mengelola hutan mereka. Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan (Magdalena 2013). Masyarakat tradisional di Indonesia sering dijadikan sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan, karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan (Yamani 2011). Pada perkembangan terakhir ini pemerintah telah gagal mengelola hutan secara partisipatif karena tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra kerja. Sehingga pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar hutan dengan dalih pembangunan dan penyelamatan aset-aset negara, pemerintah hanya lebih mempercayakan pengelolaan hutan oleh perusahaan besar seperti PT.Perhutani dan perusahaan-perusahaan besar lainnya pasca-diundangkannya UU Pokok Kehutanan, Penanaman Modal Dalam Negeri, dan Penanaman Modal Asing. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan seperti perambahan, illegal loging, pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak
3 lestari adalah kegiatan yang tidak mendukung kelestarian hutan (Soendjoto, Kurnain 2010). Selain itu, pada penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan tentang perlindungan hutan belum berhasil secara maksimal melindungi hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia. Salah satunya adalah lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang diterapkan oleh masyarakat lokal yang telah turun-temurun. (Yamani 2011). Pada putusan 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan termasuk Hutan Negara, namun hingga saat ini masih belum terlihat jelas kongkritnya, banyak hutan adat di Indonesia masih dibawah perusahaan-perusahaan dengan kontrak HPH nya yang menyebabkan masyarakat adat menjadi korbannya. Banyak terjadi konflik antara masyarakat adat dengan para perusahaan dalam perebutan pengelolaan sumber daya hutan. Diera globalisasi saat ini, telah banyak ditemui berbagai krisis ekologi yang muncul akibat terganggunya keseimbangan alam. Tanpa kita sadari berbagai tindakan dan sikap kita telah merusak ekologi, penggunaan teknologi yang tidak tepat guna atau berlebihan salah satu contoh yang dapat mengganggu keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai krisis ekologi lainnya. Oleh sebab itu perlu pengembangan dan pelestarian kearifan lokal yang berkembang di masyarakat lokal. Berdasarkan hal tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk menganalisis lebih mendalam mengenai pengaruh kearifan lokal masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan.
Perumusan Masalah Mayoritas masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat asli mempunyai tradisi turun-temurun dalam mengelola hutannya, seperti contoh, pengelolaan sumber daya hutan menjadi tanggung jawab masyarakat setempat dan praktek pengelolaannya dilakukan melalui upaya kerjasama dengan anggota masyarakat. Mereka berhasil membangun sejumlah aturan, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis dalam menjamin kelangsungan pengelolaan hutan secara lestari. Sistem pengelolaan tersebut biasanya berdasarkan tata cara/gaya hidup tradisional, dilakukan sepanjang tahun, atas dasar kebersamaan dan mempunyai sanksi keagamaan/ritual. Masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan umumnya memandang hutan sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh pendahulu/nenek moyang mereka yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut yang dihubungkan dengan nama tempat, mitos dan cerita rakyat. Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi kebutuhan ekonominya seperti bahan baku hasil hutan dan tempat bekerja, kebutuhan ekologi seperti tempat penyimpanan air dan mencegah banjir, dan kebutuhan sosial budaya seperti adanya tempat-tempat keramat, pemakaman para leluhur, dan tempat ibadah. Hutan memberikan manfaat sekaligus ancaman bagi dunia khususnya masyarakat di daerah sekitar hutan. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai caracara tersendiri untuk mengelola hutan agar hutan tetap lestari, di pihak lain
4 sebagian masyarakat belum menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan mereka di masa depan, maka tak jarang eksploitasi sumber daya hutan terus terjadi. Salah satu cara menyelamatkan hutan tersebut adalah dengan mengkaji kembali kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat yang berada di sekitar hutan. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut. Kearifan lokal yang akan terus bertahan hingga saat ini akan tergantung oleh proses pengajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi, hal ini akan berpengaruh pada teguhnya norma dan aturan hukum adat dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, jika hal ini luntur karena proses modernisasi saat ini maka kelestarian sumber daya alam termasuk hutan akan terancam karena tidak adanya proses penjagaan. Maka peran pemimpin adat dalam menjaga kehidupan masyarakatnya dan menjaga kelestarian norma dan hukum adatnya sangatlah diperlukan. Hal ini dapat dikaji, sehingga dapat dirumuskan pertanyaan bagaimana kearifan lokal dan proses ajar dalam menjaga dan mengelola hutan? Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama sejak nenek moyang mereka masih ada, karena hutan telah memberikan manfaat baik manfaat ekomoni, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu sehingga memperoleh upah yang lumayan. Mata pencaharian utama masyakarat sekitar hutan mayoritas adalah bertani dengan memanfaatkan dan mengelola lahan hutan yang ada disekitarnya. Selain bertani, masyarakat sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan didasarkan pada aturan/hukum/norma adat yang berlaku dan turun-temurun. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan dan mengelola hutan tidak merusak ekosistem hutan sehingga pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan menjadikan hutan tetap lestari. Maka hal ini dapat dikaji, dan dirumuskan pertanyaan bagaimana strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas Kampung Naga? . Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian maka tujuan pada penelitian ini adalah: 1. Mengkaji dan menganalisis kearifan lokal di kalangan komunitas Kampung Naga dalam menjaga dan mengelola hutan. 2. Menganalisis strategi nafkah yang dilakukan oleh Komunitas Kampung Naga.
5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihal yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kepada: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dalam memahami kearifan lokal dan pengaruhnya terhadap pengelolaan hutan, dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya. 2. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu saran kebijakan dalam menghentikan atau memberi batasan pengelolaan hutan kepada pihak swasta dan mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pentingnya melestarikan kearifan lokal dan pengelolaan hutan secara lestari
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Konsep Hutan dan Hutan Adat Hutan dalam konsepsi hukum lokal merupakan suatu tempat yang banyak ditumbuhi aneka-ragam pepohonan besar berumur ratusan tahun, dengan kepadatan dan kelembaban tinggi, dan tempat hidup berbagai jenis binatang liar dan buas, bahkan tempat makhluk halus (Yamani 2011). Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Hutan adat menurut Nababan (2003) merupakan kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan komunitas adat. Masyarakat hutan adat memandang manusia bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan adat adalah hutan negara yag berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan pada putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa “...hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu huan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara.” Pada kasus masyarakat adat Kajang, pengelolaan hutan adat terbagi menjadi tiga bagian yaitu, hutan keramat, hutan perbatasan, dan hutan rakyat. Hutan keramat merupakan hutan larangan dimana hanya para pemangku adat saja yang boleh masuk dan hanya untuk keperluan upacara adat, sedangkan hutan perbatasan merupakan jalan masuk menuju hutan, pada hutan perbatasan pun dilarang mengambil kayu ataupun sebagainya, dan masyarakat memanfaatkan dan mengelola hutan pada hutan rakyat yang belum dibebani oleh hak milik (Dasir 2011). Manfaat dan Pentingnya Hutan Bagi Kehidupan Masyarakat Sekitar Hutan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam mengaplikasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan sebagai sumber lahan atau cadangan di masa depan, selain itu hutan pun menjadi sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan budaya (Salosa et al. 2014). Menurut Senoaji (2004), hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energienergi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Hutan merupakan suatu sumber daya alam tinggi yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, nilai ekonomi yang tinggi tersebut terdapat pada bagian yang sangat vital dari pabrik hutan, yaitu pohon-pohon sebagai pabrik kayu. Hal ini didukung oleh pendapat (Yamani 2011) bahwa hutan pun mempunyai 3 fungsi yaitu: fungsi ekonomi sebagai sumber kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, kedua fungsi ekologi yaitu sebagai cadangan
8 air, dan terakhir adalah fungsi sosial budaya yaitu hutan menyediakan kebutuhan upacara adat, tempat sara melakukan pertemuan rahasia untuk membicarakan berbagai hal tentang kondisi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Baduy menurut (Senoaji 2010) dalam masyarakat Baduy mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci yang menjadi pusat bumi. Tanah Baduy dilarang rusak, gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak. Menurut Karten (1986) dalam (Arafah et al. 2011) pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dilakukan dengan tiga alasan yaitu : 1. Local variety: masyarakat lokal punya karakteristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi harus ditanggapi secara tepat dan cepat. 2. Local resources: sumber daya berada ditengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan. 3. Local accountability: masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumber daya akan memiliki komitmen dan tanggung jawab penuh untuk mengelola sumber daya secara bijaksana sesuai prinsip kearifan lokal. Prinsip Pengelolaan Hutan Terdapat tiga prinsip utama yang dilakukan dalam penelitian Cifor menurut Ritchie et al. (2001) yaitu: 1. Kesejahteraan masyarakat terjamin, yang menyangkut masalah utama adalah menyangkut kemampuan masyarakat tersebut untuk mengelola dan mengatur fungsi ganda yaitu penggunaan dan manfaat hutan secara kolektif, sehingga manfaatnya dapat terbagi rata untuk perorangan, rumah tangga maupun kelompok, yang pada akhirnya sumber daya hutan dapat menghasilkan kegunaan dan manfaat untuk masa depan. Dengan asumsi : Lembaga/organisasi masyarakat dan partisipasi, hal ini untuk mengatur penawaran dan permintaan sumber daya hutan masyarakat termasuk pembagian hak dan kewajiban, kerjasama, dan perlindungan hutan. Mekanisme pengelolaan lokal (norma, peraturan, undang-undang, dll). Manajemen konflik Kewenangan untuk mengelola (status kepemilikan) Strategi nafkah masyarakat 2. Kesehatan hutan terjamin, prinsip ini memberikan gambaran bahwa seluruh lanskap ada dalam kondisi baik sebagai hasil dari sistem pengelolaan yang dilakukan. Prinsip yang sangat luas ini ditujukan agar secara umum cukup untuk memperoleh berbagai cara pandang/pola pikir masyarakat yang berbeda terhadap sumber daya yang mereka miliki. Dengan asumsi: Perencanaan (zonasi dan kawasan lindung) Pengelolaan fungsi ekosistem Intervensi produktif 1 (pertanian dan agroforesty) Intervensi produktif 2 (HHBK berupa tumbuhan) Intervensi produktif 3 (HHBK berupa satwa) Intervensi produktif 4 (kayu)
9 Kesehatan hutan 1(keanekaragaman hayati) Kesehatan hutan 2(struktur dan regenrasi) Keanekaragaman lanskap (fragmentasi dan mozaik) 3. Lingkungan eksternal mendukung pengelolaan hutan masyarakat lokal, bahwa dalam upaya pengelolaan secara lestari, masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah. Dengan asumsi: Hubungan dengan pihak ketiga Kebijakan dan kerangka hukum Ekonomi Pendidikan dan informasi. Ancaman Terhadap Hutan Saat ini keberadaan hutan menjadi terancam yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi lahan pemukiman dan erosi lahan pertanian (Salosa, et al. 2014). Selain itu menurut Senoaji (2010), pembangunan pun seringkali menimbulkan dampak negatif karena tidak disertainya tanggung jawab untuk melakukan perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan reklamasi hutan akibatnya hutan menjadi gundul, bencana, gagal panen, serta kehilangan mata pencaharian penduduk asli hutan. Peraturan perundang-undangan pun tidak menjamin kelestarian terhadap hutan. Menurut Lubis (2005) Pada hukum UU No 5/1974 tentang pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa mengubah secara mendasar struktur kelembagaan wilayah. Meskipun hak-hak asal usul tanah ualayat diakui dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA. Pada kenyataannya hanya dikebiri sehingga tidak bisa sebagai tempat berlindung bagi komunitas-komunitas lokal dalam mengatur hak ulayat. Selain itu pula diberlakukannya HPH yang berdampak pada kemampuan warga komunitas lokal untuk menanam investasi di wilayah-wilayah periferal sudah tentu kala dengan investor pengusaha HPH maupun perkebunan. Hal ini ditunjukan pada kasus hutan di Bali bahwa hutan yang dikelola oleh pemerintah justru mengalami gangguan dan perambahan yang terus menerus, akibatnya hutan di Bali mengalami kebakaran, penebangan liar dan pembirikan, kasus yang menarik di Bali ketika masyarakat melakukan penghijauan malah ditembak dengan senjata (Wijana 2013). Selain itu kasus pada kawasan TNBBS Bengkulu yang mengalami perambahan terus menerus dan tidak efektifnya sistem perlindungan hutan dibawah hukum. Kalau saja warga sekitar hutan dilibatkan dalam pemeliharaan hutan, merekalah yang bergerak cepat dan melaporkan setiap perbuatan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya. Akan tetapi karena sistem hukum perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat sekitar hutan. Maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasus perambahan hutan (Yamani 2011) . Salah satu penyebab degradasi sumber daya hutan Indonesia menurut Achmaliadi et al. (2010) adalah adanya praktik pembalakan liar. Pembalakan liar mencakup pelanggaran hukum yang berakibat pada eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan dan mengarah kepada penggundulan dan perusakan hutan. Pelanggaran-pelanggaran ini bisa terjadi pada setiap tahapan produksi kayu, seperti pada penebangan kayu, pengangkutan bahan mentah, pengolahan dan perdagangan, bahkan melibatkan cara-cara yang tidak sah untuk mendapatkan akses ke dalam hutan, melanggar administratif keuangan seperti menghindari
10 pembayaran pajak dan pencucian uang. Pelanggaran dapat juga terjadi karena kebanyakan wilayah-wilayah administratif dari lahan hutan negara dan kebanyakan dari unit-unit produksi resmi yang beroperasi di dalamnya tidak dipisah dari keterlibatan dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sangat diperlukan. Pembalakan liar (illegal logging) dilakukan oleh perusahaanperusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon ditebang secara illegal untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian selanjutnya. Kegiatan Illegal logging di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu 1. Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Pada konteks demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (illegal logging). Ketimpangan antara pesediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktik illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi. 2. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konservasi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yang ditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging. 3. Lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illega logging. Selama ini, praktik illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, dimana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu, sedangkan untuk para makelar kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Disamping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktik illegal logging. 4. Tumpang tundih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pengusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi disisi lain, sejak diberlakukannya otonomi daerah, maka setiap daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ni menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam
11 konteks inilah terjadi tumpang tindih kebijakan penmerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, disisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan unuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya termasuk hutan guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal. Permasalahan-permasalahan hutan yang berdampak pada gagalnya perlindungan hutan disebabkan karena lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang selama berabad-abad dipraktikkan oleh komunitas adat sebagai bagian dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). Pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan yang dimaksud ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumber daya, pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkeadilan. Menurut Senoaji (2004), pemanfaatan lingkungan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Sebaliknya akan timbul bencana alam jika dimanfaatkan dengan sembarangan. Masyarakat Baduy yakin jika pemanfaatan alam dan hutannya masih tetap berpegang teguh pada aturan adat dan pikukuh karuhun tidak akan terjadi bencana alam. Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengelola hutan menurut Ritchie, McDougall, Haggith, de Oliveira (2001): 1. Perubahan situasi politik dan ekonomi di tempat mereka beroperasi. 2. Meningkatnya permintaan sumber daya hutan dari pelaku di luar masyarakat. 3. Menyebarnya pendidikan dan informasi global, termasuk melalui media populer. 4. Bertambahnya populasi di dalam masyarakat. Hal ini akan berdampak pada: 1. Terciptanya permintaan/kesempatan pasar yang baru 2. Terciptanya kompetisi sumber daya hutan tempat masyarakat bergantung 3. Diabaikannya sistem kepercayaan tradisional yang mendukung sistem nilai dan membimbing sistem pengelolaan mereka. 4. Meningkatnya harapan dan aspirasi Jika hal ini terus dibiarkan maka penggunaan hutan yang tidak lestari, yang menyebabkan timbulnya degradasi hutan dan deforestasi.
12 Strategi Nafkah Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka untuk peningkatan hidup (Chamber et al. dalam Dharmawan 2001). Ellis (2000) menyebutkan bahwa livelihood mencakup cash berupa uang dan in kind (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi gender dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2007) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, stuktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007). Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status Menurut Crow (1984) dalam Widodo (2011) Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas, dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intesifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximizaion. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsitensi rumah tangga petani. Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu: 1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan terhadap berbagai macam resiko dengan membangun hubungan (jaringan sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung),
13 membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara. 2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama). 3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk memperbaiki kehancuran. Ellis (2002) mengemukakan tiga klasifikasi sumber nafkah yakni: 1. Sektor farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang berasal dari tanah pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah maupun diakses melalui sewa menyewa atau bagi hasil. Strategi on farm merujuk pada nafkah yang berasal dari pertanian dalam arti luas. 2. Sektor off farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan di luar pertanian, yang dapat berarti penghasilan yang diperoleh berasal dari upah tenaga kerja, sistem bagi hasil, kontrak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain, namun masih dalam lingkup sektor pertanian. 3. Sektor non farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan dari usaha pribadi, dan sebagainya. Kearifan Lokal Konsep pengetahuan lokal dan kearifan lokal Terdapat perbedaan antara pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Seseorang dikatakan memliki pengetahuan lokal karena mengalami sehingga dia belajar dan akhirnya memiliki pemahaman tentang femomena alam secara tradisional, yang dikenal sebagai pengetahuan tradisional (Sillitoe 2012) dalam (Salosa, et al. 2014). Pengetahuan mengacu pada suatu hasil belajar, alasan-alasan dan persepsi atau suatu interpretasi logis seseorang atau sekelompok orang yang digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kejadian di masa yang akan datang. Rahmawati et al. (2008) mengatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Pengetahuan lokal juga dapat diartikan sebagai pengetahuan instrumental yang terbentuk secara emic-historis sebagai hasil adaptasi panjang sekelompok manusia dengan lingkungan biofisiknya (Purcell 1998). Aspek-aspek kebudayaan yang fungsinya diarahkan untuk kelansungan hidup suatu kelompok masyarakat dalam jangka panjang dapat dipandang sebagai pengetahuan lokal. Sedangkan kearifan lokal (Arafah et al. 2011) berkaitan dengan cara hidup yang memanfaatkan dua sumber daya yaitu perladangan dan perairan laut. Kearifan yang tumbuh dan hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang tumbuh dari langit melainkan hal kreasi budaya dari komunitas yang lahir sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang eksis pada masa itu (Lubis 2005). Menurut Berkes (1999) dalam (Retnowati 2014) kearifan lokal sama halnya dengan tradisional ecological knowledge yang
14 merupakan sekumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang berkembang dengan proses adaptif dan turun-temurun oleh transmisi budaya, tentang hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan satu sama lain dan dengan lingkungan mereka. Kearifan lokal sering berkaitan dengan kearifan ekologi yang merupakan pedoman manusia agar arif dan berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik dan supranatural. Hal ini didukung oleh (Nababan 1995) dalam (Senoaji 2004) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dan ekosistem disekitarnya yang memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alm secara lokal Dalam kearifan ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Wijana 2013). Kearifan lokal dan kearifan lingkungan pun dapat didefiniskan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Pokok-pokok isi kearifan lokal menurut (Wijana 2013) mencakup 1) konsep lokal, 2) cerita rakyat yang sering berhubungan dengan mitos, 3) ritual keagaman 4) kepercayaan lokal, 5) berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik. Menurut Mulyani (2014) terdapat berbagai hal yang melandasi pentingnya masyarakat adat dalam mengelola hutan yaitu: 1) mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk mengelola hutan dengan baik, karena anggapan mereka terhadap hutan adalah hal yang positif, 2) mereka mempunyai pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan. 3) mereka mempunyai hukum adat yang menuntun mereka dalam berprilaku, 4) mereka mempunyai kelembagaan adat, dan 5) sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas diantara komunitas masyarakat adat. Pengetahuan lokal terhadap sumber daya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan. Hal ini dibuktikan pada masyarakat Baduy menurut Senoaji (2004) bahwa kehidupan sosial ekonomi dan budaya Baduy telah mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sekitar sejak beratus-ratus tahun yang lalu secara turun temurun. Hubungan timbal balik antara sistem sosial masyarakat Baduy dengan lingkungan biofisik telah menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam yang ada. Terdapat empat bentuk kearifan lokal dalam masyarakat lokal terkait pemanfaatan sumber daya hutan menurut Sarjono (2004) yaitu pertama, kepecayaan dan/atau pantangan seperti, manusia berkaitan erat dari unsur (tumbuhan, binatang, faktor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan, keberhasilan penanaman (misalnya padi, rotan) berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan ataupun bulan, dan pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlampau rendah. Kedua, etika dan aturan seperti, Menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanamannya kembali, tidak melakukan perladangan pada lahan yang sama secara terus-menerus (biasanya hanya satu hingga dua kali panen), Tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, dan Mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi ladang.
15 Ketiga, teknik dan teknologi seperti, Membuat „sekat bakar‟ dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun/tanaman petani lainnya, menentukan kesuburan tanah, menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), kegelapan warna tanah diameter pohon dan kehijauan warna tumbuhannya, membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna dan lain-lain. Keempat, praktek dan tradisi pengelolaan seperti, menetapakan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama (komunal), melakukan „koleksi‟ berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman (konservasi ek-situ), dan mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman/hasil hutan yang berharga. Menurut Nababan (2003) prinsip-prinsip kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain, 1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagiam dari alam itu sendiri yang harus di jaga keseimbangan,2) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat ekslutif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar, 3) sistem pengetahuan dan sturktur pengaturan pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, 4) sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas, 5) mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, dan Norma Aturan Adat Menurut Mulyani (2014) Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal usul leluhur (secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idelogi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya sendiri, sedangkan menurut (Ningrum 2010) masyarakat tradisional merupakan orang-orang atau suku bangsa yang sudah hidup sesuai dengan tradisi yang tidak terputus-putus, tradisi adalah tali pengikat yang kuat dalam membangun tata tertib masyarakat. Adat sendiri merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang terhimpun dalam adat istiadat (Salosa, et al. 2014). Masyarakat hukum adat merupakan kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapanuntuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidupberdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Mulyani 2014). Pandangan dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat,
16 dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (Nababan 2003). Hukum, aturan dan norma yang ada disetiap masyarakat berbeda-beda, pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, et al. 2014) konsep “igya ser hanjob” merupakan konsep kemandirian masyarakat untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan untuk menjadi sumber pangan, bahan bangunan, obatobatan dan lain-lain. Menurut (Senoaji 2010) pada masyarakat Baduy berpedoman pada rukun Baduy: ngukuh, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngersakeun sasaka pusaka harus di taati oleh masyarakat Baduy. Aturan adat telah mengatur hubungan mereka dengan alam sehingga manusia dan alamnya hidup berdampingan dan berkesinambungan. Pelanggaran terhadap hukum adat tersebut akan dikenakan hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukum bekerja, hingga diasingkan bahkan dikeluarkan dari komunitas. Pada masyarakat desa Tiga Wasa mereka percaya bahwa hutan itu adalah “duwe” yaitu hutan milik dan atau pemberian Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa) sehingga wajib dilestarikan dan dijaga. Hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaraan upacara agama. Tradisi lainnya adalah pelakasanaan dan pemanfaatan hutan sebagai keperluan masyarakat setempat disepakati secara bersama sehingga menjadikan kehidupan mereka lebih nyaman hidup berdampingan dengan isi hutan tersebut (Wijana 2013). Sama seperti kasus sebelumnya pada masyarakat adat Kajang menurut Dasir (2011) mereka berpegang teguh pada pasang ri kajang yang merupakan sistem nilai budaya Ammatoa sebagai petuah-petuah yang menganjurkan agar tidak merusak hutan, karena memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan. Mereka percaya jika hutan rusak maka kehidupan pun akan rusak. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi cambuk, pembakaran linggis jika berbohong, dan sarang lebah jika pelaku melarikan diri. Proses Ajar Melalui Tatanan Adat Proses ajar ini sangat penting untuk keberlanjutan alam, karena proses ajar ini berpengaruh pada sikap dan perilaku dari setiap generasi ke generasi. Melihat bagaimana mereka mengajarkan suatu aturan dan norma adat mereka sehingga hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang dan nanti. Proses ajar yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut Senoaji (2010) buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dengan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang selalu disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh para orang tua kepada anaknya. Proses ajar juga bisa berlangsung melalui pelibatan anggota rumah tangga --anak-anak dan pemuda-- dalam budidaya pertanian, dan kegiatan gotong-royong desa, selain itu pula bisa dilakukan dari tarian, nyayian atau petuah-petuah dari setiap orang tua (Adiwibowo 2015, pers comm). Kepemimpinan Suatu hal yang sangat penting dalam organisasi atau kepompok adalah jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, pemimpin diperlukan untuk mengarahkan suatu organisasi maupun kelompok ke tujuan bersama.
17 Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan yang bersifat memberi pengaruh kepada individu untuk keinginan mencapai tujuan. Tidak semua orang dapat disebut memiliki jiwa kepemimpinan, karena jiwa kepemimpinan yang ada di dalam diri seseorang ada ketika orang tersebut memiliki karakteristik tertentu dari suatu kegiatan (Santoso 2010), hal ini didukung oleh pendapat Stoner et all (1996) dalam Bangun (2008), mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas-tugas dari para anggota kelompoknya. Konsep kepimpinan menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) terdapat tiga tipe kepemimpinan umat manusia yaitu, tradisional, regional-regal, dan kharismatik. Tipologi Weber ini dilihat berdasarkan bentuk-bentuk aksi sosial dan dengan hubungan-hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai masyarakat tertentu. Kepemimpinan tradisional menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) adalah orde sosial yang bersandar kepada kebiasaan-kebiasaan kuno dengan mana status dan hak-hak pemimpin juga sangat di tentukan oleh adat kebiasaan. Kepemimpinan tradisional juga memerlukan unsur-unsur kesetiaan pribadi yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya. Karaterisktik pemimpin tradisional yaitu, pemimpin masih memegang teguh adat istiadat setempat, pemimpin tidak menambahkan atau mengurangi aturan dan norma adat yang berlaku, pemimpin bertugas untuk melestarikan adat istiadat nya, dan biasanya pemimpin dipilih berdasarkan aturan adat. Berbeda dengan tipe rasional-legal dimana semua peraturan tertulis dengan jelas dan diundangkan dengan jelas, maka batas wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main seperti kepatuhan dan kesetiaan tidak ditunjukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal. Karakteristik pemimpin rasional-legal yaitu, menjalankan tugas masing-masing sesuai jabatannya, terdapat hirarki jabatan yang jelas, fungsi-fungsi jabatan di tentukan dengan tegas, para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, para pejabat biasanya memilki gaji dan ada jenjang kedudukan, dan pejabat tunduk pada sistem yang disiplin. Sedangkan pemimpin kharsmatik adalah seorang pemimpin atau raja yang mempunyai sifat keramat yaitu mempunyai kemampuan yang luar biasa yang bisa menarik hati orang lain. Karakteristik pemimpin kharismatik yaitu, adanya seseorang yang memiliki bakat luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transdental dan supranatural, dan adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Pada masyarakat Minangkabau bentuk kepemimpinan tradisional dapat dilihat dalam institusi-institusi adat yang ada. Berbeda dengan di Jawa, di Minangkabau pemimpin tertinggi tidak terletak di tangan raja melainkan di tangan penghulu, sekalipun di daerah Minangkabau pernah terdapat suatu kerajaan di masa lalu. Kepemimpinan tradisional ini adalah berdasarkan stelsel martilinial menurut tingkatan nya masing-masing. Pada umumnya pemimpin rumah tangga disebut tungganai, pemimpin kaum disebut mamak kaum, pemimpin suku disebut penghulu.(Fatimah 2011)
18 Pada masyarakat adat pula kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokalnya. Konsep kepemimpinan mempengaruhi hukum/norma/aturan adat dan mempengaruhi juga proses ajar yang berlangsung dikalangan masyarakat.Pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, et al. 2014) kawasan hutan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat harus sesuai izin kepala suku. Kepala suku ini berperan penting dalam mengatur tata kelola hutan, agar masyarakat tidak sembarangan dalam memanfaatkan hutan. Dalam masyarakat Baduy pun (Senoaji 2010) kepemimpinan ketua adat menjadi penting dengan istilah lainnya yaitu “Puun” Puun sebagai pemimin tertinggi adat Baduy adalah keturunan Batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan. Aturan dan tata cara pelaksanaan sunda wiwitan ini di pimpin oleh Puun sebagai ketua adat amasyarakat Baduy. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu sudah di tentukan oleh karuhun dengan maksud menyelamatkan bumi.
Kerangka Pemikiran Masyarakat adat sekitar hutan umumnya menggantungkan hidupnya pada hutan, karena hutan memberikan manfaat bagi masyarakat baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Masyarakat sekitar hutan umumnya bermata pencaharian sebagai petani dengan memanfaatkan hutan melalui cara membuka lahan hutan, ataupun mengambil hasil hutan. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan dibatasi sesuai aturan/hukum/norma adat secara turun-temurun, sehingga tidak merusak ekosistem hutan. Proses beradaptasi dengan hutan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola hutan. Seringkali pengetahuan mereka tentang hutan yang berada dilingkungannya dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan sekitarnya. Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dibatasi oleh adanya aturan/hukum/norma adat yang berlaku. Pada setiap hutan adat memiliki aturan, hukum, norma yang berbeda-beda disetiap masyarakat yang berbeda. Aturan, hukum norma adat yang berlaku di masyarakat inilah yang membatasi sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hubungan manusia dengan alam saling berkesinambungan. Kearifan lokal masyarakat untuk melestarikan hutan ditumbuhkan secara efektif melalui proses ajar yang dilakukan secara turun temurun dengan berbagai teknik pengajaran, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jika proses ajat tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan hutan untuk masa depan. Kepemimpinan menjadi faktor utama terhadap keberlangsungan proses ajar yang diturunkan secara turun temurun, dan atruan/hukum/norma adat yang berlaku. Pemimpin adat mempunyai wewenang dan kekuasaan dalam mengontrol masyarakatnya, sehingga pemimpin adat pula yang seharusnya menjaga dan melestarikan tata aturan dan kelola hukum adat.
19 Kesejahteraan Masyarakat - Status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat. - Strategi nafkah.
Kondisi Hutan
- Zonasi kawasan hutan. - Pemanfaatan dan perlindungan hutan. - Degradasi hutan
Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh kearifan lokal terhadap pengelolaan hutan Keterangan: : Berpengaruh Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut: 1. Diduga hutan adat di Kampung Naga berada dalam kondisi lestari karena didukung aturan/hukum/norma adat kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik, zonasi kawasan yang terpeliahara, dan tidak terjadi degradasi hutan 2. Diduga aturan, hukum, dan norma adat tentang pengelolaan hutan di Kampung Naga masih terpelihara dengan baik karena proses ajar kepada generasi muda masih berlangsung dengan baik dan kepemimpinan adat yang mendukung. 3. Diduga hutan adat di Kampung Naga berada dalam kondisi lestari karena strategi nafkah yang mendukung dan kejelasan status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat. 4. Diduga strategi nafkah dan status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat masih berlangsung dengan baik karena kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
20
21
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif diperlukan untuk pengambilan data berupa angka yang diperoleh melalui kuisioner. Unit analisis penelitian adalah individu. Penelitian juga bersifat eksplanatori karena menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun 2006). Data kualitatif digunakan untuk pengambilan data yang bersifat deskriptif yakni berupa gejala-gejala sosial yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen kependudukan, dan literatur lain yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan kondisi yang ada di lapang. Penelitian deskriptif digunakan untuk memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori. Selain itu, penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa/Kelurahan Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang masih terdapat banyak suku adat yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Satu-satunya suku adat di daerah Tasikmalaya yang sampai saat ini ada yaitu Kampung Naga. Selain itu, kondisi sosial-budaya Kampung Naga menjadi hal yang menarik untuk dipelajari karena dari dulu sampai sekarang komunitas Kampung Naga masih mempertahankan adat istiadat nenek moyangnya. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur komunitas Kampung Naga. Penelitian dilaksanakan dalam waktu 6 bulan, dengan pertimbangan kegiatan meliputi penyusunan proposal skripsi, uji petik, kolokium, pengambilan dan pengolahan data lapang, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. (Lampiran) Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah semua anggota komunitas Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga komunitas Kampung Naga. Berdasarkan populasi tersebut dibentuk kerangka sampling, kemudian ditentukan sampel penelitian sebanyak 36 rumah tangga menggunakan teknik simple random
22 sampling. Teknik simple random sampling merupakan probability sampling dimana setiap satuan elementer dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun 2006). Teknik simple random sampling dipilih karena populasi penelitian homogen dari segi tempat tinggal yaitu bertempat tinggal di daerah Kampung Naga yang memiliki aturan/hukum/norma adat yang sama dan bermata pencaharian sebagai bertani. Jumlah rumah tangga sebanyak 36 rumah tangga dipilih karena populasi homogen sehingga tidak memerlukan jumlah rumah tangga yang besar karena sudah terwakili. Selain itu, jumlah minimal responden pada uji statistik adalah 30 responden, dan 6 rumah tangga untuk mengatasi error data. Sementara itu, pemilihan terhadap informan akan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. Informan kunci yang dipilih adalah Ketua Adat Kampung Naga, dan sesepuh Kampung Naga. Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari responden dan informan. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner kepada responden. Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan tujuan penelitian. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran kuisioner yang telah dijawab oleh responden. Kuisioner merupakan salah satu instrumen dalam mengumpulkan data primer. Oleh karena itu, penting untuk menguji realibilitas dari suatu kuisioner. Uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun 2006). Dari uji realibilitas tersebut maka diperoleh alpha sebagai berikut: Tabel 1 Uji statistik realibilitas Cronbach's Alpha
N of Items 0.859
24
Terdapat aturan dalam menentukan nilai dari realibilitas. Jika nilai alpha (α) menunjukkan angka < 0,5 maka realibilitas rendah. Nilai 0,5 < α < 0,7 maka realibilitas moderat. Jika nilai 0,7 < α < 0,9 maka realibilitas tinggi, sedangkan jika nilai α > 0,9 maka realibilitas sempurna. Berdasarkan tabel uji statistik realibilitas yang menunjukkan nilai alpha sebesar 0.859, maka dapat disimpulkan bahwa kuisioner yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data primer memiliki realibilitas tinggi.
23 Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data Metode No
1.
2. 3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Kebutuhan Data Status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat Strategi nafkah Zonasi kawasan hutan Pemanfaatan dan perlindungan hutan Degradasi hutan Kepemimpinan adat Aturan/ hukum/ norma adat tentang perlindungan dan pemanfaatan hutan Proses ajar melalui tatanan adat Karakteristik kearifan lokal Kampung Naga
Survei (sumber data)
Pengamatan (sumber data)
Wawancara mendalam (sumber data)
√
√
√
√
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
√
√
√
√
√
-
-
√
√
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan analisis, yaitu data kuantitatif dan daa kualitatif. Pembuatan tabel frekuensi dan tabulasi silang dibuat untuk melihat data awal repsonden dari masing-masing variabel menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007. Tabel frekuensi dibuat agar distribusi jawaban dari responden dalam satu pertanyaan lebih mudah diamati (Effendi Tukiran 2014). Kemudian SPSS. for windows 21.0 digunakan dalam uji statistik Uji Regresi Linier Sederhana untuk mengolah data selanjutnya. Uji Regresi merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui seberapa
24 berpengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengolahan data dilakukan dengan pengkodean jawaban kuisioner, setelah itu dimasukkan ke SPSS. for windows 21.0 untuk mempermudah pengolahan data. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verivikasi data. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan dan penyederhanaan data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Reduksi data ini bertujuan untuk menggolongkan data dan membuang data yang tidak perlu. Kemudian proses penyajian data dilakukan dengan menyusun informasi yang dapat menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dimengerti untuk disajikan dalam laporan. Verifikasi data merupakan proses penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Selain dilakukan test validity dan realibility, hasil wawancara mendalam juga digunakan sebagai masukan untuk menyempurnakan pertanyaan dalam kuisioner. Hasil wawancara dari kuisioner juga dapat digunakan untuk merumuskan panduan pertanyaan mendalam dengan informan. Pandangan subyektif-kualitatif informan kemudian dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif responden, sehingga didapatkan informasi dengan analisis dan interpretasi yang lebih rinci dan mendalam. Definisi Operasional A.
Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara ilmiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Kearifan lokal pada penelitian ini dapat diukur dari kepemimpinan adat, proses ajar, dan teguhnya hukum/aturan/norma adat yang berlaku di masyarakat. 1. Karakteristik Kepemimpinan Konsep kepimpinan menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) terdapat tiga tipe kepemimpinan umat manusia yaitu, tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Tipologi Weber ini dilihat berdasarkan bentuk-bentuk aksi sosial dan dengan hubungan-hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai masyarakat tertentu. a. Tradisional merupakan kekuasaan yang berasal dari kepercayaan secara tradisional, kebiasaan-kebiasaan kuno dengan mana status dan hak-hak pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan. Indikator dalam mengukur kepemimpinan tradisional adalah: i. Pemimpin masih memegang teguh adat istiadat setempat. ii. Pemimpin tidak menambahkan atau mengurangi aturan dan norma adat yang berlaku. iii. Pemimpin bertugas untuk melestarikan adat istiadat nya. iv. Pemimpin dipilih berdasarkan aturan adat. b. Kepemimpinan rasional-legal ditandai dengan peraturan tertulis dengan jelas dan diundangkan secara tegas, maka batas wewenang para pejabat ditentukam oleh aturan aturan main, seperti kepatuhan dan kesetiaan tidak
25 ditunjukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal. Indikator dalam mengukur kepemimpinan rasional-legal adalah: i. Menjalankan tugas masing-masing sesuai jabatannya. ii. Terdapat hirarki jabatan yang jelas. iii. Fungsi-fungsi jabatan di tentukan dengan tegas. iv. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional. v. Para pejabat biasanya memilki gaji dan ada jenjang kedudukan. vi. Pejabat tunduk pada sistem yang disiplin. c. Kepemimpinan kharismatik merupakan kekuasaan yang didapatkan dari kemampuan seseorang untuk berinteraksi atau menarik hati orang lain. Menurut Weber kepemimpinan kharismatik terjadi saat terdapat krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuat solusi untuk krisis itu. Indikator dalam mengukur kepemimpinan kharismatik adalah: i. Adanya seseorang yang memiliki bakat luar biasa. ii. Adanya krisis sosial. iii. Adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut. iv. Adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transdental dan supranatural.. v. Adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. 2.
Proses Ajar Proses ajar melalui tatanan adat merupakan suatu hal yang penting bagi keutuhan kearifan lokal dimana kearifan lokal masih dipegang erat oleh anggota komunitasnya yang diturunkan dari setiap generasi ke generasi selanjutnya. Proses ajar ini bisa melalui lisan atau arahan dan melalui praktek langsung. Proses ajar dapat diukur dari setiap generasi yang masih memegang erat kebiasaan dan perilaku kearifan lokalnya. Indikator dalam mengukur proses ajar adalah: a. Orang tua berperan dalam memberikan arahan dan contoh praktek langsung kepada anak-anak mengenai perilaku kehidupan sehari-hari sesuai adat istiadat b. Ustadz mempunyai peran dalam mengarahkan kepada anak-anak mengenai melalui pengajian mengenai hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. c. Orang tua adat mempunyai peran mengawasi dan memberi arahan kepada anggota komunitas. d. Pemimpin adat mempunyai peran mengawasi dan memberi arahan serta petunjuk norma-norma adat kepada komunitasnya. e. Pemimpin adat tidak luput menjadi sosok yang dicontoh oleh masyarakatnya.
26 3.
Aturan/hukum/norma adat tentang pengelolaan hutan Aturan/hukum/norma adat merupakan seperangkat instrumen pengelolaan yang sesuai untuk mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya hutan oleh anggota masyarakat baik berupa instrumen formal maupun informal. Indikator yang digunakan dalam mengukur aturan/hukum/norma adat tentang pengelolaan hutan adalah: i. Masyarakat menerapkan aturan/hukum/norma dalam kehidupan seharihari. ii. Aturan/hukum/norma adat menjadi pedoman masyarakat adat dalam berkehidupan. iii. Masyarakat menghormati peraturan-peraturan yang menjamin kelestarian fungsi hutan. B.
Kelestarian pengelolaan hutan Masyarakat adat mempunyai tradisi turun temurun dalam mengelola hutannya, seperti contohnya, pengelolaan sumberdaya hutan menjadi tanggung jawab masyarakat setempat dan praktek pengelolaannya dilakukan melalaui upaya kerjasam atau bersama-sama dengan anggota masyarakat. Mereka berhasil membangun sejumlah kebijakan, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis yang dapat dituangkan ke dalam satu tulisan untuk menjamin kelansungan pengelolaan hutan. Menurut Ritchie, McDougall, Haggith, de Oliveira (2001) terdapat tiga kriteria dan indikator dalam kelestarianpengelolaan hutan yaitu kesejahteraan masyarakat terjamin, kesehatan hutan terjamin, dan lingkungan eksternal yang mendukung. a. Kesejahteraan masyarakat terjamin menyangkut kemampuan masyarakat tersebut untuk mengelola dan mengatur fungsi ganda yaitu penggunaan dan manfaat hutan secara kolektif. Indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat adalah: i. Luas kepemilikan lahan adalah ukuran lahan garapan yang dimiliki atau dikuasai oleh responden di dalam dan di luar kawasan kampung, dihitung dalam satuan m2, diklasifikasikan berdasarkan temuan di lapang dengan ukuran yang paling sempit hingga paling luas sebagai berikut: a. Memiliki luas lahan < 6000 m2 b. Memiliki luas lahan 6000 m2 – 9500 m2 c. Memiliki luas lahan 9500 m2 – 18000 m2 ii. Variasi strategi nafkah dalam penelitian ini adalah jumlah jenis atau variasi sumber nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga. Berdasarkan data lapang, tingkat variasi strategi nafkah dapat dikategorikan sebagai berikut a. Responden memiliki 6 sumber nafkah b. Responden memiliki 5 sumber nafkah c. Responden memiliki 4 sumber nafkah d. Responden memiliki 3 sumber nafkah e. Responden memiliki 2 sumber nafkah iii. Tingkat pendapatan adalah pendapatan bersih yang didapatkan oleh rumah tangga selama satu bulan. Pendapatan rumah tangga dilihat dari
27
c.
pendapatan dari sektor On Farm, Non Farm, Off Farm, dan secara keseluruhan. Berdasarkan data lapang, pendapatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Pendapatan secara keseluruhan 1. Memiliki pendapatan < 10.000.000 selama satu bulan 2. Memiliki pendapatan 10.000.000 – 12.000.000 selama satubulan 3. Memiliki pendapatan 12.000.000 – 15.000.000 selama satubulan 4. Memiliki pendapatan < 20.000.000 selama satu bulan b. Pendapatan dari sektor on farm 1. Memiliki pendapatan < 6.000.000 selama satu bulan 2. Memiliki pendapatan 6.000.000– 8.000.000 selama satu bulan 3. Memiliki pendapatan 8.000.000 – 10.000.000 selama satu bulan 4. Memiliki pendapatan < 15.000.000 c. Pendapatan dari sektor off farm 1. Memiliki pendapatan 1.100.000 selama satu bulan 2. Memiliki pendapatan 2.200.000 selama satu bulan d. Pendapatan dari sektor non farm 1. Memiliki pendapatan < 1.000.000 selama satu bulan 2. Memiliki pendapatan 1.000.000 – 3.000.000 selama satu bulan 3. Memiliki pendapatan 3.000.000 – 5.000.000 selama satu bulan 4. Memiliki pendapatan < 7.000.000 selama satu bulan b. Kesehatan hutan terjamin memberikan gambaran bahwa seluruh lanskap ada dalam kondisi yang baik sebagai hasil dari sistem pengelolaan yang ditetapkan. Masyarakat mengelola ekologi lanskap secara keseluruhan seperti hutan titipan, hutan tutupan, hutan garapan. Hal ini di deskripsikan melalui pendekatan kualitataif dan untuk keperluan analisis kuatitatif data yang diperoleh akan di transformasikan menjadi ukuran ordinal. Indikator yang digunakan dalam mengukur kesehatan hutan terjamin adalah: i. Zonasi kawasan (hutan titipan, hutan tutupan, hutan garapan). ii. Terdapat daerah yang dihormati dan dilindungi karena nilai budayanya yang tinggi. iii. Hutan dimanfaatkan sesuai dengan aturan, hukum, norma adat iv. Batas hutan dengan seluruh desa disekitarnya dikenali dan dihormati oleh semua pihak. v. Tidak ada degradasi hutan. Lingkungan eksternal mendukung pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal merupakan upaya pengelolaan secara lestari, masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah kabupaten. Hal ini dideskripsikan melalui pendekatan kualitatif. Indikator yang digunakan dalam mengukur lingkungan eksternal yang mendukung pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal adalah: i. Status dan fungsi kawasan hutan menurut peraturan resmi
28
29
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Secara geografis Kampung Naga atau Kampung Adat Naga merupakan wilayah adat yang secara administratif terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Permukiman Kampung Naga secara geografis terletak pada 7°21'49"LS, 107°59'40"BT. Jarak dari Tasikmalaya menuju Kampung Naga sekitar 30 km, sedangkan dari arah Kabupaten Garut sekitar 26 km. Luas areal pemukiman sekitar 1,5 Ha dengan 113 bangunan, 113 KK, dan 328 jiwa. Secara fisik, batas Kampung Naga ini meliputi: Utara : Kampung Nangtang, Kecamatan Cigalontang Barat : Hutan Keramat, Lahan kebun Timur : Sungai Ciwulan, Hutan Larangan, Kebun Babakan Selatan : Bukit dan Jl. Raya Tasikmalaya-Garut Secara umum Kampung Naga dikelilingi oleh ruang terbuka hijau seperti hutan yang luas (radius > 200 m dari areal pemukiman) yang berada di lereng lembah dan memiliki sumber air dari resapan Sungai Ciwulan yang terdapat di Barat dan di Timur kawasan. Memasuki pemukiman pusat Kampung Naga, komunitas harus menuruni anak tangga yang jumlahnya 420 buah. Oleh karena itu, anggota komunitas tidak membawa kendaraan ke dalam kampung. Jarak antara Kampung Naga dengan akses kendaraan terdekat adalah sekitar 500 meter. Kampung Naga terletak di Desa Neglasari dengan topografi dominan perbukitan dan pegunungan. Desa Neglasari sendiri memiliki luas 305 ha yang terdiri dari 121,05 ha lahan topografi datar dan 183.95 ha lahan dengan topografi perbukitan dan pegunungan. Kampung Naga berada di suatu lembah berketinggian rata-rata 500 meter di atas permukaan laut. Jenis tanah di wilayah ini adalah tanah latosol (lempung berpasir kemerahan) yang berasal dari erupsi Gunung Galunggung. Kondisi kampung yang berada pada lereng curam (dari Barat ke Timur) membuat penduduk Kampung Naga merekayasa lahan pemukiman dengan membentuk terassering untuk di bangun rumah (El Shabir 2014). Sebagian besar wilayah Kampung Naga digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Mata pencaharian utama komunitas Kampung Naga adalah bertani sistem sawah irigasi dari air pegunungan. Area di sekitar pemukiman Kampung Naga masih cukup alami yang berupa sawah yang ditanami tanpa menggunakan bahan kimia, dan hutan yang selalu dilindungi dengan kearifan lokal, sehingga keragaman vegetasi masih tinggi, dan hal tersebut dapat menjadi potensi keanekaragaman hayati yang perlu dipertahankan. Komunitas Kampung Naga juga sudah menerapkan sistem tanam kembali apabila ada tanaman yang diambil untuk digunakan sebagai material bangunan, sehingga kearifan lokal dan sistem ekologis dapat berjalan. Bagi kalangan aktivitas agraria, seperti KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), Kampung Naga adalah masyarakat adat yang mempunyai hak atas tanah adat atau ulayat. Berangkat dari argumen bahwa selama ini hak masyarakat adat terhadap tanah adatnya terhampas oleh sistem politik dan hukum nasional yang bersifat unifikatif, dilakukanlah proyek inventarisasi batas-batas tanah adat. Pada tahun 2002, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS)
30 dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melakukan pemetaan wilayah adat Kampung Naga. Hasilnya penelitian itu menyimpulkan bahwa wilayah tanah adat Naga meliputi tiga kecamatan di dua kabupaten, yaitu Salawu dan Cigalontang di Tasikmalaya dan Cilawu di Garut dengan luas lahan diperkirakan sekitar 16.000 Ha. Meski demikian, menurut ketua adat (Kuncen) Kampung Naga, apa yang disebut tanah adat sejatinya lebih bersifat kultural daripada legal. Oleh karena itu, hasil pemetaan YP2AS dan KPA dimaknai oleh mereka hanya sebagai catatan yang pararel dengan pandangan kultural mereka. Mereka sama sekali tidak mempunyai pemikiran dan apalagi agenda untuk merebut ulang tanah adat tersebut. Pada kenyataannya, tanah seluas 16.000 Ha itu kini sebagian besar berupa lahan perkebunan milik Perhutani. Bagi pengurus Kampung Naga, hal yang paling penting dari wacana tentang tanah adat Kampung Naga adalah adanya kesadaran baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan (Mudzakir 2012). Kawasan budaya Kampung Naga (wisata khas budaya Kampung Adat Naga) ditetapkan sebagai kawasan pariwisata berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya menjadikan kawasan ini sebagai salah satu andalan kepariwisataan daerah Kabupaten Tasikmalaya. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memiliki beberapa batasan pengembangan di kawasan Kampung Naga khususnya menyangkut pengembangan prasarana dan sarana serta infrastruktur penunjang kepariwisataan di Kampung Naga (Disparbud 2010).
31
KEHIDUPAN KOMUNITAS KAMPUNG NAGA Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas area pemukiman 1.5 ha. Terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Bandung melalui jalur Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Tasikmalaya. Kampung Naga merupakan salah satu Desa Adat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung Naga mempertahankan adat istiadatnya ketika masyarakat disekitarnya telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Daya tarik objek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan mereka yang masih erat memegang adat istiadatnya tetapi dapat terbuka dengan masyarakat modern sesuai ketentuan norma/hukum yang berlaku di adat. Komunitas Kampung Naga berjumlah 113 KK, 328 jiwa yang terdiri dari 164 laki-laki dan 162 perempuan (Data RT 2014). Jumlah bangunan terdiri dari 113 bangunan rumah penduduk, dengan bentuk rumah sama, yakni beratap ijuk atau rumbia, dinding terbuat dari serat-serat rotan yang disusun sedemikian rupa menyerupai tikar besar atau terbuat dari bilik bambu, di atas daun pintu terdapat sejenis anyaman yang disebut tanda angin. Bangunan tidak boleh memakai cat kecuali kapur putih, Selain bangunan rumah tempat tinggal, terdapat pula bangunan khas yang lain, yakni Bale Patemon (gedung pertemuan), leuit (lumbung padi), dan masigit (masjid) dan Bumi Ageung. Sejarah Komunitas Kampung Naga Komunitas Kampung Naga termasuk ketua adat atau kuncen tidak mengetahui secara pasti dari mana nenek moyangnya berasal dan mengapa kampung mereka disebut Kampung Naga. Mereka berpendapat bahwa leluhur mereka berasal dari Kampung Naga. Menurut Kuncen Kampung Naga yaitu Bapak Elin, sejarah atau riwayat tentang Kampung Naga ditulis dalam lembaran tembaga. Namun pada tahun 1965, sejarah atau riwayat Kampung Naga yang ditulis dalam lembaran tembaga turut terbakar saat gerombolan DI-TII membakar Kampung Naga. Namun, ada sebuah versi menurut Disparbud (2010) yang menceritakan sejarah/asal usul Kampung Naga yaitu, pada masa kewalian Seikh Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh komunitas Kampung Naga disebut sembah dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediaannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi komunitas Kampung Naga “Sa Naga” yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh komunitas Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunnya.
32 Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti. Bahkan tidak seorang pun anggota komunitas Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka wariskan secara turun temurun, nenek moyang komunitas Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan tilem (raib) tanpa meninggalkan jasad. Pada ditempat itulah komunitas Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan komunitas Kampung Naga. Selanjutnya bila mereka hendak mengirim doa atau menyampaikan harapan dan keinginannya yaitu pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang dilaksanakan pada malam Jumat. Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa, komunitas Kampung Naga berasal dari kerajaan Mataram. Konon pada tahun 1630 ketika Sultan Agung menyerang Batavia, sekelompok pasukan Mataram dibawah pimpinan Singaparana mengalami kekalahan, pasukan tersebut tidak kembali ke Mataram dan tidak pula menyerahkan diri dari VOC, melainkan bersembunyi di sebuah hutan perbukitan di dekat sunga Ciwulan. Hal tersebut dilakukan agar menutupi identitasnya dengan cara mengubah nama dan dialek mereka dengan Sunda, sejak itu, penduduk tidak diperbolehkan menyebut nama Singaparana dan menyebut Kampung mereka dengan Kampung Naga. Eyang Singaparana yang merupakan karuhun mereka berasal dari Timur yang dipercayai dari Mataram. Ia bertugas sebagai utusan raja untuk menyebarkan agama Islam ke Tanah Pasundan. Pada perjalanan, ia sampai di suatu daerah yang merupakan daerah cekungan, di tempat tinggal itu ia mendirikan sebuah bangunan sebagai tempat tinggalnya, hingga kini dikenal dengan bumi ageung, yang menjadi bangunan pertama komunitas Kampung Naga. Menurut kepercayaan komunitas Kampung Naga dengan menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga dan sesuatu yang tidak dilakukan leluhur dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh komunitas Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti menimbulkan malapetaka. Komunitas Kampung Naga menyebut keturunan mereka dengan sebutan Sa-Naga. Sebagian dari mereka berdomisili di Kampung Naga, dan sebagian lagi tinggal di luar Kampung Naga. Mereka akan berkumpul kembali di Kampung Naga bila ada upacara-upacara adat atau hal-hal yang berkaitan dengan acara kekerabatan. Tata Ruang Kampung Naga Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan kondisi tanah yang bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah. Dikalangan masyarakat Sunda dikenal atas kesatuan tiga yang disebut Tri Tangtu. Asas ini mendasari berbagai aspek peri kehidupan masyarakat Sunda baik yang bersifat fisik maupun sosial, termasuk hubungan kekuasaan. Terdapat pembagian kosmologi Sunda yang terdri atas tiga bagian dunia, yaitu Dunia Atas, Dunia Tengah dan Dunia Bawah. Dunia atas bersifat perempuan (kebijaksanaan
33 dan penuh pertimbangan), dunia bawah bersifat laki-laki (tanggung jawab dan pemenuhan kebutuhan) dan dunia tengah bersifat campuran (persetuan fungsi yang bisa dila kukan bersama) (Harun et al 2011). Berdasarkan Soeganda (1982) dalam El shabir (2014), pada aplikasinya terhadap penggunaan lahan, berimplikasi terhadap pembagian tatanan kampung, yaitu Kawasan Suci, Kawasan Bersih, dan Kawasan Kotor. 1. Kawasan Suci, adalah suatu kawasan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang. Kawasan itu harus dijaga kesucian dan kelestariannya dari pengaruh-pengaruh luar dan diawasi secara bersama. Secara konkrit kawasan ini berupa makam leluhur yang terletak di bukit hutan keramat, sebelah Barat areal pemukiman. Selain itu juga terdapat hutan serapan yang berisi beragam tumbuhan yang berperan terhadap iklim mikro Kampung Naga. 2. Kawasan Bersih, merupakan kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung baik dari sampah rumah tangga maupun kotoran hewan, seperti kambing, sapi atau kerbau, terutama anjing. Kawasanini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, mesjid, leuit, dan balai pertemuan. 3. Kawasan Kotor, adalah kawasan yang peruntukkannya sebagai kawasan kelengkapan hidup lainnya yang tidak perlu dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan tanahnya lebih rendah dari kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan, di dalam kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak saung lisung, kolam, dan tempat pembuangan sampah sementara.
Gambar 2 Pembagian tatanan ruang kampung Sumber : El Shabir, 2014 Beberapa kekhasan Kampung Naga yaitu, komunitas Kampung Naga memiliki gaya hidup tradisional dan sederhana. Hal tersebut sangat baik secara ekologis. Kampung Naga menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Kayu bakar yang digunakan berasal dari kebun milik komunitasnya sendiri. Sistem pencahayaan di Kampung Naga masih menggunakan lampu
34 minyak dan tidak menggunkan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Komunitas Kampung Naga dengan sengaja menolak pemasangan listrik dari PLN, karena mereka khawatir dengan kejadian dimasa lampau pada saat seluruh kawasan pemukiman Kampung Naga hangus terbakar. Penggunaan lampu minyak juga dapat menimbulkan bencana kebakaran dan minyak tanah yang digunakan juga merupakan sumber daya fosil yang tidak terbarukan. Namun, hal itu menjadikan komunitas Kampung Naga lebih bijaksana dan hati-hati dalam penggunaan lampu minyak. Keterbatasan pengadaan listrik juga menjadikan komunitas Kampung Naga tidak banyak menggunakan barang-barang elektronik. Namun, ada beberapa anggota komunitas yang menggunakan aku dan panel surya sebagai sumber energi untuk kebutuhan energi barang elektronik. Jumlah rumah yang ada di Kampung Naga tidak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan kondisi tanah kini dengan seratus tigabelas bangunan rumah yang ada tidak mungkin lagi komunitas Kampung Naga menambah bangunan rumah. Oleh karena itu, apabila jumlah keluarga bertambah dan tidak mungkin lagi tinggal dalam satu rumah, maka keluarga tersebut harus mendirikan rumah dan tinggal diluar Kampung Naga. Setiap satu rumah hanya boleh diisi oleh satu kepala keluarga saja, kecuali terdapat keluarga yang baru menikah dan belum mempunyai tempat tinggal tetap diperbolehkan untuk tetap tinggal bersama dalam satu rumah. Pembahasan mengenai tata ruang Kampung Naga akan dibahas lebih rinci pada bagian bab Kearifan lokal dalam penataan ruang kampung dan pemukiman. Tingkat Pendidikan Komunitas Kampung Naga Komunitas Kampung Naga terbuka pada pendidikan formal, nonformal, maupun informal, mereka sangat menjunjung tinggi masalah pendidikan. Para orang tua yang ada di Kampung Naga mayoritas hanya sampai Sekolah Dasar, hanya beberapa dari mereka lanjut hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tetapi bukan berarti mereka membatasi kehidupan adat dengan pendidikan formal, hanya saja masalah ekonomi, akses dari rumah tinggal mereka ke tempat sekolah sangat jauh dan sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Saat ini sudah banyak dari komunitas Kampung Naga yang sudah berpendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kuncen Kampung Naga pun sekolah hingga Perguruan Tinggi. Menurut hasil penelitian mayoritas responden menyekolahkan anak-anak mereka tidak hanya di pendidikan formal, tetapi pendidikan nonformal seperti les bahasa, dan les mata pelajaran, dan didukung dengan pendidikan informal seperti mengaji setiap setelah magrib. Berdasarkan hasil penelitian, responden menyebutkan maksimal jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga sebanyak lima anggota keluarga. Anggota keluarga pertama yaitu sebagai responden (suami/istri), dari hasil tersebut 72,2% diantara mereka berpendidikan tidak/tamat Sekolah Dasar/Sederajat. Hal ini dikarenakan kendala sekolah pada waktu dulu sudah berbeda dengan sekarang, mulai dari hal ekonomi, akses, hingga tidak ada dukungan dan motivasi untuk sekolah. Meskipun demikian, sekitar 25% meneruskan hingga Sekolah Menengah Pertama/Sederajat (SMP/Sederajat), responden yang meneruskan hingga tahap SMP/Sederajat mayoritas masih berumur muda sekitar 30 tahun – 40 tahun, sedangkan yang meneruskan hingga tahap Sekolah Menengah Atas/Sederajat (SMA/Sederajat) hanya 2,8%, responden
35 tersebut sudah berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi, sehingga dukungan untuk bersekolah sangat tinggi (Tabel 3). Tabel 3 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga pertama responden Status/Ijazah tertinggi anggota keluarga pertama Tidak/ tamat SD SMP/sederajat SMA/sederajat Total
Jumlah
Persentase (%)
26 9 1 36
72,2 25 2,8 100
Anggota keluarga kedua, yaitu suami/istri tidak jauh berbeda dengan anggota keluarga pertama, sekitar 86,1% adalah lulusan Sekolah Dasar/Sederajat, bahkan diantara mereka ada yang tidak meneruskan hingga lulus Sekolah Dasar/Sederajat, dari 36 responden 8,3% diantaranya meneruskan hingga Sekolah Menengah Pertama/Sederajat (SMP/Sederajat), dan 5,6% nya meneruskan hingga Sekolah Menengah Atas/Sederajat (SMA/Sederajat), mayoritas yang meneruskan SMP/Sederajat hingga SMA/Sederajat adalah laki-laki, tetapi bukan berarti permasalahan gender bahwa perempuan dilarang sekolah tinggi, hanya diantara mereka perempuan lebih memilih untuk menikah dibandingkan untuk meneruskan sekolah (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga kedua responden Status/Ijazah tertinggi anggota keluarga kedua Tidak/ tamat SD SMP/sederajat SMA/sederajat Total
Jumlah
Persentase (%)
31 3 2 36
86,1 8,3 5,6 100
Anggota keluarga ketiga yaitu anak pertama, meskipun mayoritas orang tua mereka hanya lulusan Sekolah Dasar/Sederajat, mereka tetap menyekolahkan anaknya minimal hingga lulus sampai Sekolah Menengah Atas/Sedejarat, menurut salah satu responden mengatakan “pendidikan teh penting pisan, meskipun urang teu mampu asalkan sakola keur budak mah kudu, ameh tiasa ngawangun kahirupan anu leuwih alus, tina paripolah na sangkan tina kahirupan anu jembar”. Pendidikan itu sangatlah penting, meskipun kita adalah orang yang tidak mampu tetapi masalah pendidikan untuk anak itu perlu, supaya bisa membangun kehidupan yang lebih bagus, baik dari tata kelakuan maupun kehidupan yang lebih sejahtera. Hasil penelitian dari 36 responden 27,8% mayoritas berstatus lulusan Sekolah Dasar/Sederajat dan diantara mereka masih ada yang belum lulus SD, hal
36 ini melihat anak mereka masih berumur 7 tahun – 13 tahun, tetapi ada beberapa responden yang lebih memilih untuk membantu orang tua dan tidak melanjutkan sekolah. Sekitar 38,9% meneruskan hingga Sekolah Menengah Pertama/Sederajat, akses dari tempat tinggal ke sekolah SMP tidak terlalu jauh, sehingga memudahkan mereka untuk pergi bersekolah, dan 33,3% responden meneruskan hingga lulus Sekolah Menengah Atas/Sedejarat (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga ketiga responden Status/Ijazah tertinggi anggota keluarga ketiga Belum/ tamat SD SMP/sederajat SMA/sederajat Total
Jumlah
Persentase (%)
10 14 12 36
27,8 38,9 33,3 100
Anggota keluarga keempat, yaitu anak kedua. Menurut hasil penelitian hanya 15 rumah tangga responden saja dari 36 rumah tangga responden yang memiliki anggota keluarga hingga 4 anggota keluarga. Terdapat 47% responden adalah lulusan SD/sederajat, dan 53% responden adalah lulusan/belum tamat SMP/Sederajat (Tabel 6). Tabel 6 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga keempat responden Status/Ijazah tertinggi anggota keluarga keempat Tidak/belum tamat SD/Sederajat SMP/sederajat Total
Jumlah
Persentase (%)
7 8 15
47 53 100,0
Responden yang memiliki hingga 5 anggota keluarga hanya berjumlah 3 rumah tangga dari 36 rumah tangga baik sebagai anak maupun sebagai kakak. Anggota keluarga ke lima tersebut selurunya berstatus Sekolah Dasar. (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga kelima responden Status/Ijazah tertinggi anggota keluarga kelima Tidak/belum tamat SD/Sederajat Total
Jumlah
Persentase (%)
3 3
100,0 100,0
37 Mata Pencaharian dan Penguasaan Lahan Mata pencaharian pokok komunitas Kampung Naga adalah bertani. Bertani merupakan pemenuhan kebutuhan yang dilakukan secara turun temurun. Setiap warga mempunyai ladang untuk bertani yang diwariskan secara turuntemurun yang berada di hutan kawasan Kampung Naga yaitu yang terletak pada hutan garapan, sehingga memungkinkan mereka untuk tidak bisa menambah ataupun mengurangi lahan yang mereka punya kecuali mereka jual karena disebabkan oleh beberapa faktor kebutuhan. Mereka menjual lahan garapan tersebut yang paling utama adalah menawarkan kepada komunitas Kampung Naga tersebut terlebih dahulu. Mereka tidak mempunyai patokan harga jika menjual lahan, hanya saja sesuai dengan kesepakatan yang telah diputuskan. Hasil pertanian mereka dari dalam kawasan Kampung Naga biasanya tidak untuk mereka jual, hanya untuk konsumsi pribadi, tetapi merekapun terbuka kepada para wisatawan yang ingin membeli beras khas Kampung Naga dan dijual dengan harga Rp 20.000,00/kg. Beras yang digunakan untuk konsumsi pribadi biasanya mereka tumbuk secara tradisional menggunakan lesung dan hal itulah yang membuat harga beras lebih mahal dari biasanya. Selain itu vegatasi padi yang ditanam adalah varietas asli Kampung Naga yang disebut dengan Pare Ageung karena bulir padi berukuran agak besar. Komunitas Kampung Naga menentukan masa turun ke sawah berdasarkan musim. Periode penanaman padi yang dilakukan di Kampung Naga adalah dua kali dalam setahun. Setiap periode tanam hingga panen dilakukan 4-5 bulan. Pada bulan kosong atau tidak ada kegiatan tanam padi, dilakukan pemeliharaan keseburan tanah untuk periode tanam selanjutnya, sehingga kesuburan lahan pertanian di Kampung Naga selalu terjaga. Selama setahun, mereka membaginya menjadi 12 yaitu, kasa, karo, katiga, kapat, kalima, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasadasa, desta, sada. Untuk mengetahui saat yang tepat untuk memulai kegiatan bertani, komunitas Kampung Naga menggunakan ilmu berbintangan. Jika bintang waluku sudah terlihat di langit selatan, maka kegiatan bertani sudah dapat dimulai. Bintang waluku menandakan bahwa musim hujan sudah tiba. Waktu yang diberlakukan oleh komunitas Kampung Naga dalam bercocok tanam berkaitan erat dengan pemeliharaan padi agar tidak terserang hama penyakit (Suryani dan Charliyan 2013). Ritual tanam padi tersebut dapat menjadi potensi untuk meningkatkan nilai-nilai kebudayaan di dalam komunitas Kampung Naga. Komunitas Kampung Naga juga tidak menggunakan kimia dan pestisida, sehingga pertaniannya cukup organik. Peralatan yang mereka gunakan masih menggunakan peralatan tradisional, seperti menggunakan cangkul yang digunakan untuk membersihkan tanah dari rumput maupun meratakan tanah, sabit yang merupakan alat serbaguna untuk memotong rumput, membersihkan ladang, dan menuai padi, gebotan yang digunakan dalam proses panen sawah yang berfungsi untuk melepas biji padi dari tangkainya, dan sebagainya. Pupuk yang mereka gunakan pun mayoritas adalah pupuk organik yang dicampur dengan pupuk urea. Pola tanam di Kampung Naga juga menggunakan pola tanam serentak, sehingga meminimalisir serangan hama dan penggunaan pestisida. Kondisi lahan yang berundak-undakdan ketersediaan mata air, membuat pengairan sawah-sawah di kampung tidak memiliki masalah.
38 Dalam hal ketersediaan makanan, para leluhur Kampung Naga sudah menggunakan sistem lumbung pagi atau disebut leuit oleh masyarakatnya untuk persediaan makanan selama masa paceklik. Setiap anggota komunitas yang mempunyai sawah wajib memberikan sebagian hasil panennya untuk disimpan di leuit. selain itu pada saat salah satu anggota komunitas yang mengalami kesulitan dalam hal ketersediaan makanan, maka persediaan makanan di leuit bisa diberikan kepada anggota komunitas yang membutuhkan tersebut.
Gambar 3 Alat tradisional lesung Sumber : Dokumentasi Pribadi Menurut hasil penelitian, dari 36 responden semua rumah tangga responden memliki lahan untuk digarap, dan beberapa rumah tangga responden hanya memiliki satu persil, sedangkan yang rumah tangga responden lain memiliki dua persil. Biasanya mereka menggunakan lahan persil satu sebagai tanaman padi, dan persil dua sebagai tanaman sayuran, yaitu berupa jagung, singkong, kangkung, bayam, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan lahan yang diwariskan secara turun temurun. Jumlah rata-rata keseluruhan lahan yang mereka miliki sekitar 3200 m2 atau sekitar 230 bata dalam hitungan lokal. Berdasarkan keseluruhan responden maksimal memiliki luas lahan hingga setengah hektar, dan luas lahan minimal dari keseluruhan responden adalah 1400 m2. Terdapat 27,8% rumah tangga responden memiliki lahan sempit, rumah tangga responden yang memiliki luas lahan tersebut hanya memiliki lahan satu persil saja, sedangkan 44,4% responden memiliki luas lahan sedang, rumah tangga responden yang memiliki luas lahan sedang mayoritas mempunyai lahan dua persil, dan sekitar 27,8% rumah tangga responden memiliki lahan luas untuk digarap (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas lahan yang dikuasai di dalam kawasan Kampung Naga Kategori luas lahan yang di kuasai rumah tangga responden di dalam kawasan kampung (m2) 1000 < x < 2700 2700 ≤ x < 3700 3700 ≤ x < 5500 Total
Jumlah
Persentase (%)
10 16 10 36
27,8 44,4 27,8 100
39
Gambar 4 Lahan sawah garapan komunitas Kampung Naga di dalam kawasan Sumber :Dokumentasi Pribadi Lahan yang mereka miliki tidak hanya berada dalam kawasan Kampung Naga saja, tetapi di luar kawasan Kampung pun mereka mempunyai lahan atau ladang untuk bertani, berkebun maupun mempunyai rumah di luar kampung. Rumah di luar kampung, mereka gunakan jika ada keperluan saja, untuk tempat tinggal sehari-hari yaitu menetap di dalam kampung. Hanya terdapat dua rumah tangga responden dari 36 rumah tangga responden yang tidak mempunyai lahan atau ladang di luar kawasan kampung. Luas lahan yang mereka miliki di luar kampung lebih luas dibandingkan di dalam kampung, karena di luar kampung tidak ada batasan untuk menguasai lahan. Luas lahan rata rata di luar kawasan kampung dari keseluruhan responden sekitar setengah hektar atau sekitar 4.650 m2. Penguasaan lahan maksimal yang dimiliki seluruh responden hingga satu hektar lebih atau sekitar 12.100 m2. Sistem penguasaannya berbeda-beda yaitu milik pribadi, sewa, dan gadai. Jika sistem sewa, pembagian hasilnya mayoritas 40:60 atau sesuai dengan kesepakatan awal. Sama halnya penggunaan lahan di dalam kampung dan di luar kampung, mereka menggunakan lahan di luar kampung sebagai bertani dan berkebun. Persil satu mereka gunakan untuk bertani, dan persil dua biasanya mereka gunakan untuk menanam sengon sebagai investasi jangka panjang, tetapi hanya sekitar 14 rumah tangga responden dari 36 rumah tangga responden yang memiliki tanaman kayu sengon. Hasil dari pertanian dari luar kampung mereka jual untuk kehidupan sehari-hari. Harga jual beras di luar kawasan kampung sesuai dengan harga pasar yaitu sebesar Rp 12.000,00/kg (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas penguasaan lahan di luar kawasan kampung naga Kategori luas lahan yang di kuasai rumah tangga responden di luar kawasan kampung Jumlah Persentase (%) 2 (m ) <2800 19 52,8 2800 ≤ x < 6500 4 11 6500 ≤ x < 9000 5 14 9000 ≤ x < 13000 8 22.2 Total 36 100
40
Vegetasi pada area dengan kemiringan lahan yang curam merupakan vegetasi pohon tinggi yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam warga. Vegetasi di lahan hutan alami ini biasanya dimanfaatkan untuk material bangunan di Kampung Naga, selain itu terdapat vegetasi bambu untuk digunakan bangunan rumah, jamban, dan kerajinan tangan (Tabel 10). Tabel 10 Jenis dan vegetasi pada hutan alami Kampung Naga yang dimanfaatkan komunitas Kampung Naga. No
Nama lokal
Nama latin
Famili
1
Sembung
Bleumea balsamifira
Asteraceae
2
Durian
Durio zibethinus
Bombaceae
3
Bangban
Donax canniformis
Cannaceae
4
Banen
Cryteronia paniculata
Crypteroniceae
Jatropha curcas Gigantochloa apus Gigantochloa verticillata Paraseriantes falcataria Toona sureni Ficus glabela Eugenia polyantha Calamus orratus Arenga pinnata Gleichemia linearis Achasma walanga
Euphorbiaceae Graminae Graminae Fabaceae Meliaceae Moraceae Mytaceae Palmae Palmae Shizaceae Zingiberaceae
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kosta Bambu Apus Bambu Gombang Sengon Suren Kiara Salam Rotan Aren Paku Aram Tepus Sumber : Widiyanti 2014
Selain bertani, masyarakat juga memiliki keterampilan untuk berdagang keluar kawasan kampung maupun di dalam kawasan kampung dan membuat kerajinan tangan berupa pernak-pernik untuk cinderamata, pengrajin anyaman snack maupun pengrajin anyaman kotak makanan. Kegiatan semacam ini didukung oleh pariwisata yang berkembang di Kabupaten Tasikmalaya. Masayarakat Kampung Naga memanfaatkan para pengunjung yang datang ke Kampung Naga untuk menjual hasil kerajianannya. Kondisi ini berpengaruh pada startegi nafkah mereka dalam mencari penghasilan selain dari hasil bertani. Menjadi buruh perusahaan dan kuli bangunan pun banyak yang mereka tekuni. Sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pegawai koperasi, menjadi tour guide untuk parawisatawan yang ingin berkunjung ke Kampung Naga. Syarat untuk menjadi tour guide tidak ada batasan umur hanya orang yang mengerti, memahami, dan bisa menjelaskan situasi dan kondisi yang di Kampung Naga.
41
STRATEGI NAFKAH KOMUNITAS KAMPUNG NAGA Komunitas Kampung Naga merupakan komunitas yang berada di lembah dan lahan yang subur, sekeliling area pemukiman Kampung Naga adalah hutan. Komunitas Kampung Naga umumnya menggantungkan hidupnya pada hutan, karena hutan memberikan manfaat bagi komunitas Kampung Naga baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Proses beradaptasi dengan hutan, komunitas Kampung Naga memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola hutan. Seringkali pengetahuan mereka tentang hutan yang berada di lingkungannya dijadikan sebagai pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan sekitarnya. Komunitas Kampung Naga umumnya bermata pencaharian sebagai petani sawah irigasi dengan memanfaatkan hutan melalui cara membuka lahan hutan. Lahan hutan yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas Kampung Naga adalah hutan garapan yang letaknya di sebelah barat pemukiman. Selain bertani, komunitas Kampung Naga memanfaatkan bambu sebagai bahan utama untuk membuat kerajinan. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan dibatasi sesuai aturan/hukum/norma adat secara turun-temurun, sehingga tidak merusak ekosistem hutan. Lahan garapan yang berada di kawasan hutan Kampung Naga mempunyai keterbatasan garap, hal ini disebabkan komunitas Kampung Naga dilarang membuka lahan di hutan larangan, hutan keramat, dan hutan serapan. Sehingga komunitas Kampung Naga mencari alternatif lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, stuktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007). Menurut Crow (1984) dalam Widodo (2011) Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas, dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intesifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximizaion. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsitensi rumah tangga petani. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain yaitu, melalukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah, memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan, dan melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya (Camer 1984) dalam (Widodo 2011).
42 Jenis-jenis Strategi Nafkah Ellis (2002) mengemukakan tiga klasifikasi sumber nafkah yakni: 1 Sektor farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang berasal dari tanah pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah maupun diakses melalui sewa menyewa atau bagi hasil. Strategi on farm merujuk pada nafkah yang berasal dari pertanian dalam arti luas. 2 Sektor off farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan di luar pertanian, yang dapat berarti penghasilan yang diperoleh berasal dari upah tenaga kerja, sistem bagi hasil, kontrak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain, namun masih dalam lingkup sektor pertanian. 3 Sektor non farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan dari usaha pribadi, dan sebagainya. Klasifikasi sumber nafkah yang terdapat di komunitas Kampung Naga yaitu: 1. Sektor farm income : jasa buruh pertanian 2. Sektor off farm : kerajinan anyaman dari bambu 3. Sektor non farm : jasa buruh perusahaan, jasa kuli bangunan, tempat koperasi, dan perdagangan non pertanian. Komunitas Kampung Naga, mempunyai berbagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mulai dari sebagai jasa buruh pertanian hingga berdagang keluar kampung. mayoritas diantara mereka meskipun mempunyai lahan sendiri untuk berladang, mereka tetap menjadi buruh tani maupun buruh pembersih rumput di lahan milik pihak lain hal ini mereka lakukan selain menambah penghasilan yaitu saling tolong menolong antar sesama warga. Apabila panen tiba, hasil yang mereka peroleh pun mereka bagikan kepada tetangga khususnya kepada tetangga yang sangat membutuhkan. Selain dari pertanian, komunitas Kampung Naga membuat berbagai anyaman dari bambu, baik berupa anyaman hiasan, tas, gantungan, kotak, maupun anyaman snack. Membuat anyaman biasanya mereka lakukan baik perseorangan (keluarga) ataupun berkelompok. Anyaman kerajinan hasil dari perseorangan berbentuk hiasan, gantungan, tas, gelang, ataupun sesuai dengan pesanan pembeli. Hasil dari perseorangan langsung dijual didepan rumah mereka dengan memanfaatkan para wisatawan yang sedang berkunjung ke Kampung Naga. Anyaman kerajinan hasil dari perseorangan biasanya berbentuk hiasan, gantungan, tas, gelang, ataupun sesuai dengan pesanan pembeli. Sedangkan apabila berkelompok anyaman yang dibuat adalah anyaman kotak dan snack, setelah itu dikumpulkan kepada pengumpul untuk diolah menjadi barang yang lebih bagus Tidak jarang dari komunitas Kampung Naga memilih untuk bekerja di luar kampung, seperti menjadi buruh perusahaan, kuli bangunan, dan pedagang. Mayoritas yang bekerja keluar kampung adalah laki-laki baik suami maupun anak pertama. Komunitas Kampung Naga berdagang hingga ke daerah Tasikmalaya. Jenis yang didagangkan biasanya pakaian, sepatu, maupun makanan. Menurut hasil penelitian, rumah tangga responden yang memiliki 6 sumber nafkah dari 36 responden hanya 2,8%, responden yang memiliki 5 sumber nafkah sebesar 27,8%, sedangkan responden yang memiliki 4 sumber nafkah sebanyak 38,9%, dan responden yang memiliki 16,6%, serta responden yang memiliki 2 sumber nafkah sekitar 5,5%, dua sumber nafkah responden ini adalah sebagai petani dan pengrajin anyaman (Tabel 11).
43 Tabel 11 Jumlah dan jenis strategi nafkah rumah tangga responden menurut kategori kombinasi strategi nafkah On Farm, Off Farm, dan Non Farm Jumlah Strategi Nafkah 6 Sumber Nafkah
Jumlah
1
1
3
5 Sumber Nafkah
1
4
1
7
4
4 Sumber Nafkah
2
4
1
2 3 Sumber Nafkah
3 1
Kombinasi Startegi Nafkah On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm: Kuli Bangunan, pedagang, buruh perusahaan On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : pedagang, buruh perusahaan On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm : Pengrajin anyaman Non Farm : pedagang, kuli bangunan On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm :Pengrajin anyaman Non Farm : buruh perusahaan, kuli bangunan On Farm : Petani Off Farm : Pengrajin anyaman Non Farm : pekerja koperasi, buruh perusahaan, pedagang On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : pekerja koperasi, pedagang On Farm : Petani, jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : kuli bangunan On Farm : Petani, Jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : pedagang On Farm : Petani Off Farm : Pengrajin anyaman Non Farm : pegawai koperasi, kuli bangunan On Farm : Petani Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : pedagang, buruh perusahaan On Farm : petani Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : kuli bangunan, pedagang On Farm : petani, jasa buruh Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : On Farm : petani Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : pedagang On Farm : petani Off Farm : pengrajin anyaman
44
2 Sumber Nafkah
2
Non Farm : buruh perusahaan On Farm : petani Off Farm : pengrajin anyaman Non Farm : -
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa mayoritas responden dari Kampung Naga memiliki 4 sumber nafkah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga yang bekerja di dalam satu rumah tangga. Penguasaan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga komunitas Kampung Naga tidak hanya berada di dalam kawasan kampung, mayoritas komunitas Kampung Naga memiliki penguasaan lahan di luar kampung, penguasaan lahan di dalam kampug sesuai dengan nenek moyang atau secara turun temurun sehingga status kepemilikan nya adalah hak milik, sedangkan penguasaan lahan yang berada di luar kampung mayoritas adalah lahan milik dan lahan sewa. Sistem sewa yang digunakan bisa berupa bagi hasil, perbandingan 60 : 40 maupun sesuai dengan kesepakatan. Hasil penelitian didapatkan data rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di dalam dan di luar kampung sekitar 7.800 m2 dengan minimal penguasaan lahan responden 3.000 m2 dan maksimal penguasaan responden sekitar 17.000 m2. Tidak seluruh responden mempunyai lahan untuk dikuasai, hanya beberapa yang mempunyai penguasaan lahan di luar kampung. Terdapat 47,2 % penguasaan lahan responden termasuk kategori sempit, penguasaan lahan responden pada kategori sedang sekitar 16,7 %, dan sekitar 36,1% penguasaan lahan responden termasuk pada kategori luas (Tabel 12). Tabel 12 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas lahan yang dikuasai di dalam dan di luar kawasan Kampung Naga Kategori luas lahan yang di kuasai rumah tangga responden di dalam dan di luar kawasan kampung (m2) 3000 < x < 6000 6000 ≤ x < 9500
Jumlah
Persentase (%)
17 6
47,2 16,7
9500 ≤ x < 18000
13
36,1
Total
36
100
Hasil pendapatan komunitas Kampung Naga, berbanding lurus dengan luas lahan yang dikuasai. Semakin luas lahan yang dikuasai, maka semakin tinggi tingkat pendapatannya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan kepada 36 responden, terlihat sebanyak 14 responden mempunyai tingkat pendapatan antara Rp 8.000.000 hingga Rp 10.000.000 dikarenakan pendapatan on farm tidak hanya diperoleh dari jumlah hasil pendapatan luas penguasaan lahan di dalam tetapi dari luar kawasan kampung dan jasa buruh pertanian. Rata-rata pendapatan responden dari hasil on farm sebesar Rp 7.800.000. Maksimum pendapatan on farm responden sebesar Rp 14.500.000, dan minimum pendapatan on farm responden sebesar Rp 3.100.000 (Tabel 13).
45 Tabel 13 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor On Farm Kategori pendapatan rumah tangga responden pada sektor on farm (x Rp 1000/ Jumlah Persentase (%) RMT/ bulan) 3.000 < x < 6.000 11 30,5 6.000 ≤ x < 8.000 6 16,7 8.000 ≤ x < 10.000 14 38,9 < 15.000 5 13,9 Total 36 100 Komunitas Kampung Naga, memanfaatkan bambu untuk membuat kerajinan, bambu diperoleh dari kebun sendiri ataupun membeli dari pihak lain. Hasil penelitian menyebutkan bahwa semua responden memiliki usaha sebagai pengrajin anyaman, baik perseorangan maupun kelompok. Pendapatan yang dihasilkan tergantung dari jumlah pesanan yang diterima. Komunitas Kampung Naga mampu membuat anyaman berbentuk wadah kecil sebanyak 50 pcs dalam waktu sehari dan untuk satu barang dijual dengan harga Rp 700. Selain itu, mereka juga membuat anyaman berbentuk kotak yang dalam sehari dapat menghasilkan sebanyak 20 kotak dan dijual dengan harga Rp 2000. Rata-rata pendapatan yang dihasilkan perbulan sebesar Rp 1.100.000 per orang. Namun, terdapat sebesar 16,7% responden di dalam satu rumah tangga yang memiliki dua orang pengrajin anyaman yang berbeda sehingga dalam satu rumah tangga tersebut mampu memiliki pendapatan sebesar Rp 2.200.000 (Tabel 14). Tabel 14 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor Off Farm Kategori pendapatan rumah tangga Jumlah Persentase (%) responden pada sektor off farm Rp 1.100.000 30 83,3 Rp 2.200.000
6
16,7
Total
36
100
Komunitas Kampung Naga, selain bekerja di dalam kampung, sebagian besar dari mereka bekerja ke luar kampung untuk menambah penghasilan. Pekerjaaan yang dilakukan bermacam-macam. Hasil peneltian menyebutkan pekerjaan komunitas Kampung Naga di luar pertanian sebagai kuli bangunan, buruh perusahaan, berdagang, dan pegawai koperasi kampung. Pekerjaan kuli bangunan di beri upah sebesar Rp 50.000 sekali kerja, rata-rata dalam satu minggu terdapat 4 hari kerja, sehingga pendapatan perbulan rata-rata Rp 800.000. Sedangkan buruh perusahaan diberi upah rata-rata Rp 2.500.000 perbulan. Untuk pedagang, upah yang dihasilkan tidak tetap. Terkadang dalam sehari pedagang tidak mendapatkan hasil yang banyak dan rata-rata hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 2.000.000 perbulan. Sama halnya dengan pedagang, komunitas Kampung Naga yang bekerja sebagai pegawai koperasi kampung memiliki pendapatan yang tidak tetap tergantung dari jumlah wisatawan yang berkunjung. Pegawai koperasi tersebut bisa dalam bentuk guide, pengurus
46 administrasi, maupun kesekretariatan. Wisatawan yang akan berkunjung ke Kampung Naga harus mengurus tentang surat izin dan administrasi, setelah itu mereka didampingi oleh tour guide. Hasil yang didapatkan dari wisatawan tersebut, sebagian masuk ke dalam kas koperasi, sehingga rata-rata pendapatan yang dihasilkan sebesar Rp 1.150.000 perbulan. Hasil pendapatan sektor non farm merupakan jumlah dari rata-rata pendapatan perbulan di luar sektor pertanian. Menurut hasil penelitian, sekitar 11 % responden tidak mempunyai pekerjaan di sektor non farm hal ini dipengaruhi oleh faktor usia, dan faktor pendapatan dari hasil pertanian yang dirasa sudah mencukupi. Hasil rata-rata pendapatan responden dari hasil non farm adalah sebesar Rp 2.500.000. pendapatan minimal responden dari hasil non farm sebesar Rp 800.000 dan pendapatan maksimal responden dari hasil non farm sebesar Rp 6.800.000, terdapat 27,8% responden yang mempunyai pendapatan dibawah Rp 1.000.000, sedangkan pendapatan diantara Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 sebesar 44,4% responden, dan pendapatan diantara Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000 yakni 16,7%, serta pendapatan responden dari hasil non farm di atas Rp 5.000.000 adalah 11,1% responden (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori pendapatan di sektor Non Farm Kategori pendapatan rumah tangga responden pada sektor non farm (x Rp Jumlah Persentase (%) 1000/RMT/bulan) <1.000 10 27,8 1.000 ≤ x <3.000 16 44,4 3.000 ≤ x <5.000 6 16,7 < 7.000 4 11,1 Total 36 100 Kesejahteraan komunitas Kampung Naga dapat diukur salah satunya oleh tingkat pendapatan rumah tangga responden. Pendapatan keseluruhan responden diukur dari jumlah pendapatan dari sektor on farm, sektor off farm, dan sektor non farm. Hasil pendapatan rata-rata responden perbulan cukup tinggi sebesar Rp 11.500.000. Pendapatan minimal responden sebesar Rp 5.300.000 dan pendapatan maksimal responden Rp 19.800.000 (Tabel 16). Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut kategori pendapatan dari berbagai sektor nafkah Kategori pendapatan dari berbagai sector (xRp1000/RMT/bulan) 5.000< x <10.000 10.000≤ x < 12.000 12.000 ≤ x <15.000 <20.000 Total
Jumlah
Persentase (%)
13 8 11 4 36
36,1 22,2 30,6 11,1 100
47 Hasil penelitian pada tabel 17 menunjukkan bahwa, pertama, di setiap kategori penguasaan lahan, pendapatan dari sektor pertanian onfarm memberikan kontribusi terbesar dibanding sektor off farm dan non farm. Kedua, semakin luas lahan yang dikuasai pendapatan yang dihasilkan dari sektor pertanian on farm secara absolute semakin tinggi. Ketiga, semakin luas lahan yang dikuasai pendapatan dari sektor off farm secara absolute semakin meningkat. Keempat, dari sektor pendapatan non farm, kecuali penguasaan lahan antara 6000 – 9500 m2 pendapatan semakin rendah seiring dengan peningkatan penguasaan lahan. Kondisi ini terjadi karena pada golongan luas tanah 6000-9500 m2 jumlah anggota rumah tangga yang bekerja rata-rata mencapai 4 orang. Sementara pada golongan luas lahan 9500 m2– 18000 m2 rata-rata mencapai 3 orang, dan pada golongan luas lahan 3000 m2 - 6000 m2 rata-rata mencapai 3 orang. Kelima, hasil pendapatan dari sektor off farm masih dibawah rata-rata umr Indonesia sebesar Rp 1.500.000. Hal ini dikarenakan pendapatan pada sektor off farm hanya diperoleh dari hasil kerajinan anyaman saja dengan rata rata pendapatan sebesar Rp 1.100.000 per orang. Tabel 17 Data jumlah pendapatan rumah tangga responden dari berbagai kontribusi sektor pendapatan menurut luas penguasaan lahan Kategori Luas Penguasaan Lahan (m2)
N
3000 < x< 6000
17
6000 ≤ x< 9500
6
9500 ≤ x< 18000
13
Total
Kontribusi dari Sektor Pendapatan (Rp/Rumah Tangga/Bulan) On Farm
Off Farm
Non Farm
6.378.000 (64%) 7.900.000 (74%) 9.600.600 (70%)
1.230.000 (12%) 1.283.000 (12%) 1.353.000 (10%)
2.423.000 (24%) 1.450.000 (14%) 2.927.000 (20%)
Total pendapatan (Rp/Rumah Tangga/Bulan) 10.031.000 (100%) 10.633.000 (100%) 13.880.600 (100%)
36
Menurut Uji Statistik Regresi Linear, pengaruh luas penguasaan lahan terhadap tingkat pendapatan komunitas Kampung Naga memperoleh nilai signifikasi sebesar 0,003. Alpha yang digunakan dalam uji statistik ini adalah sebesar 1%.. Hal ini menunjukkan bahwa luas penguasaan lahan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan komunitas Kampung Naga.
48
49
PROSES AJAR DAN KEPEMIMPINAN Proses Ajar Pada Komunitas Kampung Naga Di kalangan komunitas Kampung Naga proses ajar terkait perlindungan hutan disampaikan secara lisan, maupun praktek secara langsung, melalui transfer informasi yang dilakukan oleh ketua adat kepada anggota komunitas, orang tua kepada anak, sesepuh adat kepada anggota komunitas, ustadz kepada anak-anak, dan lingkungan sosial. Orang tua mengajarkan aturan/hukum/norma adat melalui suri tauladan yang baik kepada anaknya. Orang tua memberikan contoh kelakuan yang sesuai dengan aturan/hukum/norma adat yang berlaku. Seperti contohnya, mengajak mandi di sungai, mengajarkan tidak pernah memasuki hutan larangan, mengajak untuk tanam padi, cara berpakaian, dan orang tua mengajak anaknya dalam berbagai hal mulai dari hal kecil hingga hal yang besar berdasarkan aturan/hukum/norma yang berlaku. Hal tersebut dilakukan agar saat anak tumbuh dewasa sudah mengetahui hal-hal yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Selain dengan praktik, orang tua pun mengajarkan anak dengan lisan yang disambungkan dengan mitos-mitos dan cerita rakyat, seperti ungkapan pamali ulah wawanian asup ka leuweng anu di dekeut walungan bisi teu bisa kaluar deui (Tidak boleh berani-berani masuk ke hutan yang di dekat sungai), ulah sembarangan asup ka leuweung karamat pamali (Jangan suka sembarangan masuk ke hutan keramat), kade ulah sok arameng ka tempat nu pageran pamali (Awas, jangan main ke tempat tempat yang dipakai pembatas pagar), menceritakan berbagai mitos Kampung Naga agar anak merasa takut dan tidak berani untuk melanggar aturan/hukum/norma. Hanya dengan kata pamali komunitas Kampung Naga tidak ada yang berani melanggar. Meskipun tidak ada sanksi tertulis yang berlaku untuk pelanggar, sanksi tersebut akan dirasakan oleh pelanggar yang mereka percaya bahwa sanksi tersebut berasal dari nenek moyang mereka. Semua komunitas Kampung Naga beragama Islam, sehingga aturan/hukum/norma yang berlaku di Kampung Naga tidak jauh dengan aturan/hukum/norma agama Islam. Peran ustadz di Kampung Naga mempunyai peran untuk mengajarkan mengaji kepada anak-anak pada setiap selesai magrib, selain mengaji ustadz memberikan tausiah singkat hingga mengjelang waktu isha. Tausiah yang diberikan berupa cerita-cerita Nabi dan Rasul yang menjadi panutan berprilaku, selain itu cerita mengenai alam dan seisinya yang diciptakan Allah untuk dijaga dan dilindungi untuk kemaslahatan umat. Sesepuh di Kampung Naga dalam hal proses ajar mempunyai peran tersendiri dalam pengawasan langsung kepada kegiatan di dalam komunitas baik sehari-hari maupun kegiatan adat. Setiap perilaku yang menyimpang dari aturan adat ditegur secara langsung oleh sesepuh adat. Selain itu, proses ajar terjadi melalui pembicaraan sehari-hari atau diskusi kecil bersama anggota komunitas. Kuncen sebagai ketua adat mengatur dan mengawasi kegiatan sehari-hari anggota komunitas Kampung Naga, kuncen sangat terbuka terhadap anggota komunitas yang ingin berdiskusi dengannya, selain berdiskusi kuncen memberikan petuah-petuah mengenai batasan pemanfaatan hutan. Proses ajar yang dilakukan kuncen agar aturan/hukum/norma adat tidak pudar, dengan tidak
50 melarang anak-anak mengikuti proses ritual adat, anak-anak dibebaskan bahkan dianjurkan untuk mengikuti berbagai kegiatan-kegaiatan adat. Salah satunya adalah upacara hajat sasih yang merupakan syukuran hari-hari besar islam yang dirayakan setiap enam kali dalam setahun, pada perayaan hajat sasih ini dilakukan pada pagi hari, semua laki-laki mengenakan pakaian adat, dan berkumpul di bumi ageung setelah itu mereka berdoa dan bersama sama pergi ziarah ke makam para leluhur yang ada di hutan keramat. Pada pelaksanaan upacara hajat sasih anakanak tidak dilarang untuk mengikuti acara tersebut, dan dianjurkan untuk melihat prosesi hajat sasih. Upacara hajat sasih dilaksanakan enam kali dalam setahun, atau masingmasing satu kali dalam enam bulan yang diagungkan dalam agama Islam. Upacara ini merupakan upacara penghormatan terhadap arwah nenek moyang, yang dilaksanakan dalam satu hari tanpa menghentikan jalannya upacara apabila turun hujan, karena hujan dianggap karunia. Setiap bulan pelaksanaan disediakan masing-masing tiga tanggal untuk menjaga kemungkinan tanggal yang telah ditentukan bertepatan dengan upacara lainnya, terutama upacara nyepi. Upacara dimulai pada pukul 09.00-16.00 dipimpin oleh kuncen, lebe dan tetua kampung. Dimulai dengan pembacaan doa bersama, serta bebersih dan ziarah ke makam keramat sebagai inti upacara yang hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja. Seluruh peserta upacara mengenakan jubah berwarna putih dari kain belacu atau kaci, sarung pelekat, ikat kepala dari batik (totopong), dan ikat pinggang (beubeulit) dari kain berwarna putih pula.Pakaian upacara ini tidak dipadu dengan perhiasan apapun ataupun alas kaki. Kedua selain upacara hajat sasih yaitu upacara Nyepi. Upacara nyepi jatuh pada setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Penghormatan komunitas Kampung Naga terhad ap upacara ini sangat tinggi dan dapat menggeser pelaksanaan upacara lainnya. Sebutan upacara nyepi bagi komunitas Kampung Naga tidak mencerminkan suasana sunyi senyap dan berhenti dari segala kegiatan sehari-hari serta dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat, anak-anak, tua dan muda. Jika dilihat dari inti kegiatan, sebenarnya upacara ini mungkin lebih tepat disebut berpantang, pantang dalam artian benar-benar menghindari perbincangan mengenai adat istiadat serta asal usul komunitas Kampung Naga, baik antar sesama anggota masyarakat maupun pengunjung atau tamu asing lainnya. Ketiga adalah Upacara Panen. Upacara panen merupakan upacara perorangan, artinya jika sebuah keluarga akan memanen hasil sawahnya, maka keluarga tersebut melakukan upacara panen guna menetapkan kapan hari pemanenan bisa dilaksanakan. Pencarian hari panen dilakukan di rumah keluarga yang akan memanen hasil sawahnya, dibawah pimpinan candoli, atau lebih sering oleh kuncen Kampung Naga dibantu oleh lebe dan tetua kampung. Ditentukan melalui rangkaian penghitungan yang disebut palintangan. Setelah pihak keluarga mendapatkan hari baiknya, maka acara panen di sawah dilaksanakan, dan kemudian ditutup dengan upacara syukuran kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Pada hari panen keluarga yang akan memanen harus menyiapkan syarat-syarat antara lain, sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung (pupuhunan), empos, nasi tumpeng, dan sesajen pelengkap lainnya. Syarat-syarat ini di gunakan dalam prosesi pengambilan ibu padi. Padi bagi Komunitas Kampung Naga tidak hanya menjadi bahan makan pokok, melainkan memiliki nilai spiritual sebagai penghormatan dan ungkapan
51 terima kasih terhadap Dewi Sri. Padi diperlakukan dengan bijaksana mulai dari penanaman, pemeliharaan, panen sampai pasca panen dan mengkonsumsinya. Bertani, tidak hanya sebagai mata pencaharian melainkan tradisi yang terus dilestarikan. Bibit padi menggunakan jenis padi lokal dengan masa tanam enam bulan (pare gede), tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida, dan hasil panen disimpan di lumbung padi kampung. Kegiatan bertani diawali dan diakhiri dengan upacara. Keempat adalah Upacara Lingkaran Hidup. Upacara Lingkaran hidup (lifecycle) Dalam masyarakat kita, setiap anak yang akan memasuki satu tahapan baru dalam kehidupannya umumnya melewati pranata sosial atau dalam sebutan lain upacara adat. Demikian pula dengan komunitas Kampung Naga. Ada dua upacara adat yang bertautan tahapan kehidupan yang hingga kini masih ditaati dan dijalankan dari generasi ke generasi yaitu Upacara Gusaran dan Upacara pernikahan. Upacara Gusaran atau khitanan pada komunitas Kampung Naga dilakukan secara massal, artinya setiap anak laki-laki Sa Naga akan disunat dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu pada bulan Rayagung. Prosesi upacara terdiri dari tiga inti rangkaian kegiatan, yaitu gusaran, lekasan, dan wawarian. Namun demikian, jika dicermati, sebenarnya ada sejumlah upacara yang dirangkai menjadi pendahulu upacara gusaran itu sendiri. Rangkaian upacara tersebut (lekasan) melebur dalam upacara gusaransecara keseluruhan dan tidak kalah penting serta menarik untuk disimak, yaitu mendapatkan pasangan, bebersih, pemberian wejangan, diarak keliling kampung, ngala beas, pemotongan rambut, berebut sawer, khitanan dan wawarian. Upacara Perkawinan, secara umum tradisi perkawinan komunitas Kampung Naga sama dengan tradisi perkawinan menurut adat Sunda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih dilengkapi dengan tradisi perkawinan Kampung Naga. Sebelum akad nikah, calon pasangan pengantin terlebih dahulu harus memenuhi beberapa persyaratan administrasi. Akad nikah dilakukan melalui ijab-kabul yang disebut dirapalan. Karena komunitas Kampung Naga beragama Islam, perkawinan dilakukan di depan penghulu dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat oleh petugas pencatat nikah (PPN). Penyelenggaraan upacara perkawinan di Kampung Naga terkesan sederhana. Selain karena pertimbangan ekonomi, lahan tempat penyelenggaraan juga terbatas sehingga undangan hanya berkisar pada keluarga mempelai. Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, persiapan berupa tahapan yang tidak boleh dilewatkan menurut adat adalah, yaitu menentukanhari baik, melakukan upacara seserahan, melakukan upacara ngeuyeuk seureuh dan, upacara perkawinan. Selain dari orang tua, sesepuh adat, ustadz bahkan kuncen, proses ajar di kalangan komunitas Kampung Naga secara tidak langsung dari kehidupan lingkungan sosialnya yang mengajarkan tentang pola hidup sederhana, saling tolong-menolong apabila melihat tetangga yang membutuhkan, dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini ditunjukkan pada kasus salah satu wanita paruh baya anggota komunitas Kampung Naga yang hidup sendiri, dan tidak bisa melihat, anggota komunitas Kampung Naga lainnya membantu dengan menyiapkan makanannya hingga saling bergantian untuk menemani wanita tersebut.
52 Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan orang tua sangat penting dalam memelihara proses ajar yang diturunkan oleh para leluhur agar kearifan lokal yang telah turun-temurun tidak luntur oleh jaman, sebesar 29 % peran orang tua dibutuhkan untuk memelihara aturan/hukum/norma adat, karena proses ajar yang dilakukan oleh orang tua langsung kepada anak dan setiap harinya selalu berinteraksi dengan anak. Peran pemimpin adat dan sesepuh adat pun mempunyai peran penting sekitar 23 % dan 22 % meskipun tidak selalu mengawasi anggota komunitas tetapi pemimpin adat dan sesepuh adat mempunyai cara-cara tersendiri dalam menerapkan proses ajar kepada komunitasnya (Tabel 18). Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut peranan proses ajar di kalangan komunitas Kampung Naga (%). Peran Orang tua (%)
Ustadz (%)
Pemimpin Adat (%)
Sesepuh (%)
Lingkungan sosial (Tetangga) (%)
Total (%)
Belajar tentang perilaku sehari-hari sesuai yang diajarkan oleh para leluhur
47,1
5,9
16,2
13,2
17,6
100
Belajar tentang cara berpakaian sehari-hari sesuai kehidupan Kampung Naga
45,6
7,6
21,5
15,2
10,1
100
36,9
10,7
9,5
23,8
19,0
100
59,0
0
9,8
8,2
23,0
100
24,1
2,6
31,0
27,6
14,7
100
20,6
4,7
29,9
27,1
17,8
100
24,4
6,7
27,7
26,1
15,1
100
24,7
7,2
28,9
23,7
15,5
100
22,3
32,1
18,8
15,2
11,6
100
19,0
8,8
24,1
21,9
26,3
100
24,7
11,6
24,7
24,7
14,4
100
29
10
23
22
17
100
Proses Ajar
Belajar untuk bertanam padi Belajar tentang membuat nasi Belajar dan mengikuti upacaraupacara adat Belajar mengenai batasan pemanfaatan hutan Belajar tentang cara bertanam di hutan Belajar tentang cara mengelola hutan Belajar tentang halhal agama Belajar tentang cara membangun rumah Belajar tentang pamali Persentase (%)
53
35
30
29 23
25 20
22 17
15 10
10
5 0
ora ng tua
usta dz
pemimpin sesepuh teta ngga a da t pera na n proses a ja r mela lui ta ta nan a dat (%)
Gambar 5 Peranan proses ajar melalui tatanan adat
Kepemimpinan Kampung Naga sebagai salah satu Kampung Adat yang ada di Jawa Barat memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang dipilih atas dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari pemerintah. Kepemimpinan formal di Kampung Naga dipegang oleh ketua RW atau ketua RT yang langsung berhubungan dengan sistem pemeritahan. Kampung Naga termasuk kedalam RT 01, dan RW 01. Sedangkan kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang ditentukan menurut ketentuan adat. Pemimpin adat adalah seseorang yang biasa yang disebut kuncen, sebagai orang yang dituakan, perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh komunitas kampung adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjukpetunjuk khusus dalam kehidupan adat-istiadat Kampung Naga. Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat kongkrit sebagai orang yang mengambil keputusan, memberi nasehat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia mengendalikan perilaku komunitas Kampung Naga. Kepatuhan anggota komunitas kepada kuncen karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal-usul Kampung Naga dan tradisi pada harihari tertentu. Peran kuncen dalam melestarikan hutan pun ditunjukkan pada kepatuhannya terhadap norma adat yang diturunkan oleh nenek moyang dalam menjaga hutan. Ketaatan dalam mengawasi komunitas Kampung Naga maupun pengunjung yang akan memasuki hutan tersebut. Sehingga, sampai saat ini tidak ada pembukaan hutan pada hutan larangan dan hutan keramat. Adanya berbagai pantangan terhadap hutan tersebut membuat komunitas Kampung Naga maupun pengunjung tidak ada yang berani memasuki hutan tersebut. Kuncen dibantu oleh punduh dan lebe. Lebe bertugas sebagai pelaksana teknik upacara perkawinan, kematian, dan membantu tugas kuncen jika
54 berhalangan. Sedangkan punduh bertindak sebagai pembantu kuncen dalam urusan hubungan dengan kemasyarakatan, termasuk tugasnya adalah hubungan dengan pemerintah dan menerima tamu dari luar Kampung. Peran punduh pun menjaga tempat-tempat yang dikeramatkan seperti bumi ageung, dan hutan keramat.
Gambar 6 Struktur pemerintahan informal di Kampung Naga Pemilihan kuncen berdasarkan garis keturunan dan harus laki-laki atau yang disebut dengan patrilinear, begitupun lebe dan punduh. Masa jabatan kuncen tidak ditentukkan oleh berapa tahun, tetapi semampunya dan bisa sampai seumur hidup. Masyarakat adat kampung Naga sangat tunduk kepada pemimpin adatnya, tidak ada yang berani membantah perintah kuncen. Semua pengambilan keputusan harus disertai dengan izin kuncen. Selain gaya kepemimpinannya tradisional yang masih tetap berpegang teguh kepada leluhur, kuncen pun mempunyai gaya kharismatik sehingga pada saat bertemu dan berkomunikasi dengan kuncen disertai dengan rasa hormat kepadanya. Kuncen mempunyai sifat yang tegas dan tidak bisa dibantah yang membuat dia berkharisma. Dalam pelaksanaan kehidupan sehari-harinya kedua bentuk sistem kepemimpinan di Kampung Naga dapat bekerja sama mengatur keharmonisan hidup komunitas Kampung Naga khususnya dan masyarakat Desa Neglasari umumnya. Pemilihan Lebe dan Punduh pun sesuai dengan garis keturunan laki-laki, saat ini tidak ada yang menjabat sebagai lebe karena lebe sebelumnya sudah memasuki usia tua dan tidak mampu lagi untuk menjalankan tugasnya. Sehingga, peran lebe saat ini dirangkap oleh kuncen. Hasil penelitian pada tabel 12 menunjukkan bahwa, pertama, pemimpin adat dikalangan komunitas Kampung Naga mempunyai karakteristik kepemimpinan tradisional hal ini dikarenakan pemimpin adat dikalangan komunitas Kampung Naga masih erat memegang aturan/hukum/norma yang diturunkan secara turun-menurun, dan bertugas untuk melestarikan adat istadat hingga saat ini, kedua, karakteristik kepemimpinan tradisional ini selalu diikuti oleh pemimpin yang memiliki karakteristik karismatik, hal ini terlihat pada kuncen sebanyak 53% responden beranggapan bahwa kuncen memiliki karakteristik kepemimpinan tradisional, 44 % responden beranggapan bahwa kuncen memiliki karakteristik kepemimpinan karismatik, dan hanya 3 % responden beranggapan bahwa kuncen mempunyai karakteristik kepemimpinan rasional-legal, ketiga, sebanyak 72 % responden beranggapan kepemimpinan punduh mempunyai karakteristik tradisional. Menurut data hasil penelitian tersebut, pemimpin dikalangan komunitas Kampung Naga masih menjaga erat aturan/hukum/norma yang berlaku di adat, sehingga berdampak pada hutan yang berada di kawasan Kampung Naga masih
55 terjaga lestari karena kearifan lokal yang masih dipelihara dengan baik hingga saat ini. Tabel 19 Jumlah dan persentase persepsi responden mengenai pemimpin adat menurut kategori tipe kepemimpinan Tipe Kepemimpinan Tradisional Kharismatik Rasional-legal Total
Kuncen
%
19 16 1 36
53 44 3 100
80
Pemimpin Adat Lebe % 18 14 4 36
50 39 11 100
Punduh
%
26 8 2 36
72 22 6 100
72
70 60 50
53
50 44
39
40 30
22
20
11
10
3
6
0 tradisional
kharismatik kuncen
lebe
rasional legal
punduh
Gambar 7 Karakteristik kepemimpinan adat dikalangan komunitas Kampung Naga (%)
56
57
KEARIFAN LOKAL DAN KELESTARIAN HUTAN Nilai-Nilai yang Mendasari Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah tertentu (Wietoler 2007) dalam (Baharudin 2010). Kearifan lokal komunitas Kampung Naga dalam melindungi dan memanfaatkan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sumber daya hutan. Kearifan lokal ini muncul dari pengalaman atau kebiasaan hidup yang ditekuni secara turun-temurun pada wilayah yang dikuasai. Keraf (2002) dalam Lubis (2005) menyatakan kearifan tradisional merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia didalam kehidupan dalam komunitas ekologi. Jadi, kearifan lokal, bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagamana relasi yang baik, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana reaksi diantara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Nilai-nilai yang mendasari kearifan lokal dengan cara berpikir dan berperilaku terefleksikan di dalam tatanan hidup bermasyarakat, pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan alam yang terus dipertahankan hingga lingkungan hidup memberikan daya dukung berkelanjutan bagi komunitas Kampung Naga. komunitas Kampung Naga memiliki pola hidup sederhana, kebersamaan, pola pemukiman dan rumah, tata ruang, dan menghargai dewi sri (padi). Komunitas Kampung Naga adalah komunitas dengan pola hidup sederhana yang mandiri, bersahaja, taat adat istiadat, hidup rukun, berfikir arif, dan berperilaku bijaksana. Alam dipandang sebagai bagian dari kehidupan dan diperlakukan sebagai mahluk hidup yang memiliki ketergantungan satu sama lain sehingga hidup berdampingan dengan lingkungannya. Cara berfikir dan berperilaku berpedoman pada nilai-nilai kearifan lokal yang telah melembaga secara tradisional (FPIPS 2012) Pola hidup sederhana tercermin dalam ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter, dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae (tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal tidak kuat, tidak gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis sebagai landasan berperilaku. Hidup sederhana tidak menjadikan mereka hidup miskin, melainkan menunjukkan kemandirian dengan mengelola sumber daya alam sesuai kebutuhan dan budaya yang tersedia di lingkungannya. Komunitas Kampung Naga memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Kearifan lokal
58 pada komunitas Kampung Naga merupakan eksistensi keberdayaan dalam mendayagunakan potensi alam berbasis nilai-nilai sosial budaya. Kearifan lokal terefleksikan dalam wujud perilaku pada berbagai bidang kehidupan, baik dalam tatanan hidup bermasyarakat maupun berinteraksi dengan lingkungan alam. Bagi komunitas Kampung Naga, kearifan lokal berfungsi sebagai pedoman dan pengontrol perilaku hingga memiliki jaminan daya hidup yang berkelanjutan dalam lingkungan alam yang lestari dan lingkungan sosial yang harmonis (FPIPS 2012). Hakikat hidup adalah suatu amanat bahwa manusia hidup memiliki ikatan dengan alam sebagai sumber kehidupannya, sehingga amanat tersebut tetap dipertahankan karena telah berfungsi mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial. Mereka tidak fatalistik, melainkan menyadari adanya nasib, takdir, dan kekurangan serta keterbatasan, baik yang dimiliki manusia maupun lingkungan. Hidup sederhana dan damai adalah adanya keharmonisan dalam lingkungan sosial dan lingkungan alam. Ketaatan melaksanakan amanat tersebut menunjukkan keteraturan hidup bermasyarakat yang merefleksikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan yang bersahaja, mengutamakan kedamaian, dan kebersamaan. Menurut kepercayaan komunitas Kampung Naga dengan menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran leluhur Kampung Naga dan sesuatu yang tidak dilakukan leluhur dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh komunitas Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti menimbulkan malapetaka yang akan dirasakan oleh pelanggar. Tabu/pantangan atau pamali bagi komunitas Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktifitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, hingga pengelolaan hutan. Tradisi berpantang yang ditaati oleh komunitas Kampung Naga telah begitu melekat dalam kehidupan mereka, tanpa mereka ketahui siapa yang telah memperkenalkan atau memberlakukan tradisi tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa pantangan/tabu telah dijalankan oleh orang tua mereka sejak beberapa generasi. Oleh karena itu tidak ada diantara mereka yang berani melanggar pantangan-pantangan tersebut, kendatipun mereka belum mengetahui akibat dari pelanggaran tradisi tersebut. Ada sebuah pepatah yang dijadikan pegangan oleh komunitas Kampung Naga yaitu: amanat, wasiat, larangan, akibat. Artinya jika wasiat dan amanat yang telah diberikan leluhur dilanggar,maka akan membawa akibat bagi diri sendiri maupun keluarga dan lingkungan sosial. Pedoman inilah yang ditaati oleh komunitas Kampung Naga, sehingga mereka sangat patuh terhadap pantanganpantangan yang diberikan kepada mereka, sedangkan mereka tidak megetahui latarbelakang mengapa hal tersbut menjadi ditabukan (DEPDIKBUD 1995). Kearifan lokal yang ditelaah dalam studi ini difokuskan dalam dua hal yang pertama, penataan ruang kampung dan perumahan, dan kedua adalah mengenai perlindungan dan pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan pemetaan
59 ruang kampung dan perlindungan pengelolaan hutan saling berkaitan satu sama lain dalam hal menjaga dan melestarikan alam. Kearifan Lokal dalam Penataan Ruang Kampung dan Perumahan Pola umum lanskap Kampung Naga adalah area pemukiman pada bagian tengah kampung dan lahan budidaya berada di sekeliling area pemukiman. Letak bangunan rumah berkelompok tanpa ada pagar pembatas antar-rumah, sehingga bangunan rumah di Kampung Naga tidak memiliki pekarangan. Vegetasi yang ditanam di lahan kosong di sekitar rumah menjadi milik bersama. Di dalam area pemukiman juga terdapat masjid, balai pertemuan, dan bumi ageung. Bumi ageung adalah bangunan yang berisi benda-benda pusaka di Kampung Naga, dan tidak sembarangan orang yang dapat memasuki bumi ageung. Kuncen Kampung Naga pun hanya memasuki bumi ageung tersebut hanya setiap akan diadakan upacara hajat sasih (Widianti NT 2014). Arsitektur dan bagian-bagian rumah di Kampung Naga yakni jenis dan bentuk rumah, bentuk atap, bentuk dinding, bagian-bagian rumah serta letak dan arah rumah masih mempertahankan gaya arsitektur tradisional. Rumah yang dalam bahasa sunda adalah bumi, sehingga rumah seperti juga halnya dengan bumi sebagai wadah yang harus selalu menyesuaikan diri jangan sampai menentang kodrat alam semesta. Rumah bagi komunitas tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan memiliki fungsi sosial, dan fungsi spiritual. Pemilihan tempat, proses pembangunan, arah dan bentuk serta material yang digunakan mencerminkan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Bangunan rumah adalah jenis rumah panggung tradisional berukuran 8x5 meter yang memanjang arah Barat-Timur. Rumah terdiri atas lima ruangan yaitu: ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, ruang goah, dan dapur. Material bahan bangunan terdiri atas: batu (tatapakan), kayu/bambu (tiang, dinding, dan lantai), ijuk dan daun tepus (atap) serta tidak menggunakan bahan yang berasal dari metal (misalnya paku). Rumah-rumah tradisional Kampung Naga harus memanjang kearah Timur Barat, menghadap ke sebelah Utara atau ke sebelah Selatan sedangkan pintu rumah harus menghadap kearah Utara atau Selatan, hal ini dikarenakan setiap rumah harus saling berhadapan dan berbelakangan tujuannya agar setiap rumah tangga harus saling memperhatikan satu sama lain. Pada bangunan adat sunda, biasanya rumah berbentuk panggung atau kolong bangunan dengan ketinggian 40-60 cm. Rumah Kampung Naga memiliki 40-50 cm. Kolong biasanya untuk tempat menyimpan kayu bakar atau sebagai kandang ayam. Rumah panggung dimaksudkan agar dasar bangunan tidak kontak langsung dengan tanah, sehingga material bangunan yang terbuat dari kayu tidak cepat lapuk akibat kontak langsung dengan tanah (El Shabir 2014). Atap atau suhunan rumah Sunda pada umumnya berbentuk jolopong (lurus). Atap bangunan rumah Kampung Naga berbentuk jolopong. Lantai dan dinding rumah Kampung Naga juga terbuat dari anyaman bambu, yaitu anyaman palupuh, bilik, dan, sasag. Anyaman palupuh digunakan untuk lantai, anyaman bilik dan sasag digunakan untuk dinding bangunan, dan anyaman sasag digunakan untuk dinding dan pintu dapur.
60 Atap rumah di Kampung Naga harus dari daun nipah, ijuk, atau alangalang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok walaupun mampu membuat rumah tembok. Selain itu, peralatan rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan seperti kursi, meja, maupun tempat tidur, kecuali dengan tempat tidur alas Pola pemukiman mengikuti garis kontur (ngais pasir), jumlah bangunan tetap yang diperuntukan bagi rumah warga, mesjid, bumi ageung, dan ruang pameran berbagai hasil karya warga. Bangunan rumah didirikan secara berundak dengan membuat teraserring menggunakan batu kali tanpa semen, mengisi ruang hidup yang berupa lereng untuk menjaga terjadinya longsor. Pola pemukiman dan rumah dibangun mengikuti tata aturan dan diawali dan diakhiri dengan upacara selamatan, sehingga memberikan ketenangan bagi penghuninya. Dari rumah semua datangnya pancaran rasa, karsa, dan karya. Karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dianggap sakral atau suci. Hal ini tercermin dengan jelas di dalam pola pembagian ruangan dalam rumah dan kesatuannya dengan lingkungan alam (Suhanihardja dan Sariyun 1991) dalam (FPIPS 2012)
(A) (B) Gambar 8 (A). Rumah adat komunitas Kampung Naga, (B). Lorong rumah adat Kampung Naga Sumber : Dokumentasi Pribadi
61
Gambar 9 Sketsa pembagian zona/kawasan Kampung Naga Sumber : Universitas Islam Bandung Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Tahun 2001
Kearifan Lokal dalam Perlindungan Hutan Indonesia masih memiliki hutan yang lebat pada tahun 1950. Sekitar 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju kehilangan hutan dari tahun ke tahun semakin meningkat. (Achmaliadi et al. 2010) Data kementrian Kehutanan Indonesia mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta ha per tahun. Menurun dari data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta ha per tahun. Meskipun demikian lembaga pemerhati lingkungan Greennomics menyebutkan tak ada data yang pasti soal kerusakan hutan di Indonesia. Menurut menteri kehutanan Zulkifli Hassan kondisi hutan di Indonesia kritis, karena puluhan tahun menjadi andalan untuk pendapatan bagi negara. Dari 130 juta hanya 43 juta yang termasuk dalam kategori hutan perawan (Lestari 2010). Achmaliadi et al. (2010) menyebutkan hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri. Sedangkan menurut kementerian kehutanan degradasi hutan karena perambahan kawasan hutan tanpa izin menjadi kebun kelapa sawit, menjadi pertanian dan menjadi pertambangan gelap, yang kedua karena penebangan liar, dan kebakaran hutan terkait dengan budaya lokal.
62 Hal ini bertolak belakang dengan hutan yang ada di Kawasan Kampung Naga. Meskipun hutan Kampung Naga tidak ditemukan data mengenai kejelasan status kawasan dan luas hutan, hutan yang berada di Kampung Naga bisa menjadi salah satu contoh bentuk pelestarian dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mengacu pada UU No 18 Tahun 2013 dan UU No 41 Tahun 1999, hutan yang berada di Kawasan Kampung Naga merupakan hutan negara yang kewenangannya sudah di ambil alih oleh provinsi Jawa Barat. Menurut sudut pandang komunitas Kampung Naga bahwa hutan yang berada di kawasan Kampung Naga adalah hutan lindung. Hutan tersebut mempunyai fungsi pokok, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencehah intruisi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan yang berada di kawasan Kampung Naga merupakan hutan yang pengelolaannya berbasis masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini merupakan pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengelolanya. Kriteria dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adalah sumber daya alam yang luasnya dalam batas kemampuan masyarakat, sumber daya alam menjadi tumpuan hidup secara turun temurun, dan mempunyai pengetahuan lokal maupun kearifan lokal dalam pengelolaannya. Pengelolaan sumber daya hutan Kampung Naga dengan berbasiskan masyarakat mempunyai manfaat sebagai keseimbangan ekonomi, sosial dan ekologi, jaminan mata pencaharian, kesamaan akses terhadap sumber daya, dan berorientasi pada keberlanjutan. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam sturktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berprilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam (Santoso 2009) Komunitas Kampung Naga memiliki pola pikir dan perilaku sebagai hasil penyesuaian dan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Kerukunan setiap anggota komunitas tidak hanya berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, melainkan dipersatukan oleh kesamaan leluhur dan kesatuan ruang hidup. Nilai-nilai kearifan lokal pada komunitas Kampung Naga menjadi pedoman hidup yang terwujudkan dalam perilaku warganya terhadap lingkungan, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam sebagai ekspresi hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial, dan mahluk yang merupakan bagian dari alam semesta. (FPIPS 2012) Pandangan Komunitas Kampung Naga Terhadap Hutan Hutan bagi komunitas Kampung Naga bukan hanya merupakan sumberdaya ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan mereka. Bagi komunitas Kampung Naga menganggap hutan sebagai titipan dari karuhun atau leluhur yang harus dijaga apabila masih menginginkan kehidupannya terus berkelanjutan. Melindungi hutan dengan cara tersendiri yang dilakukan oleh masyarakat adat merupakan suatu etika yang harus dilaksanakan dan sebagai bagian dari norma adat yang mereka miliki, dengan demikian, kearifan lokal sebagai usaha untuk menjaga dan melindungi hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai bentuk dari kepedulian terhadap lingkungan.
63 Kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan keseharian mereka menyebabkan komunitas Kampung Naga melihat hutan bukan sebagai objek eksplorasi untuk memenuhi kebutuhan. Prilaku alam terhadap kehidupan mereka disadari sebagai konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka terhadap hutan dan lingkungan. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal Komunitas Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan
Kampung
Naga
dalam
Aksi komunitas Kampung Naga terhadap pelestarian hutan sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun tanpa ada kebijakan dari pemerintah. Misalnya komunitas Kampung Naga menentukan suatu kawasan hutan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-sama. Kearifan lokal seperti itu telah terbukti dapat menyelamatkan suatu kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan (pamali). Hal ini sesuai dengan pernyataan Pattinama (2009) kearifan lokal akan menjamin keberhasilan karena didalamnya mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam mengelola hutan yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah Pembagian zonasi kawasan hutan Kampung Naga. Hutan naga terbagi menjadi empat kawasan yaitu hutan larangan, hutan keramat, hutan serapan dan hutan garapan. Zonasi kawasan ini sudah lama ada sejak nenek moyang mereka masih ada, tidak ada yang mengetahui kapan zonasi kawasan hutan tersebut ditetapkan. Berikut diutarakan kearifan lokal komunitas Kampung Naga dalam pengelolaan hutan menurut zonasi dari sudut pandang komunitas Kampung Naga Hutan larangan merupakan kawasan hutan yang dijaga ketat kelestariannya. Hutan larangan ini berada di sebrang sungai Ciwulan. Tidak ada yang mengetahui pasti luasan hutan tersebut, karena semua orang bahkan kuncen pun tidak berani memasuki hutan larangan. Komunitas Kampung Naga percaya terdapat mitos atau cerita rakyat mengenai hutan larangan. Mereka pun percaya bahwa setiap orang yang memasuki hutan larangan tersebut tidak akan kembali lagi, meskipun hal tersebut belum ada buktinya. Sehingga hal inilah yang membuat komunitas Kampung Naga dan wisatawan yang berkunjung merasa takut untuk mendekati hutan larangan tersebut. Manfaat dari adanya hutan larangan ini adalah hutan dan ekosistem seisinya masih terjaga dan terpelihara dengan baik. Dari hasil observasi lapang dan wawancara responden, hutan larangan yang berada di kawasan hutan Kampung Naga masih lestari. Tidak ada tanda-tanda mengenai kerusakan hutan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih lebatnya pohon-pohon yang berada pada hutan larangan, dan bahkan ranting yang jatuh dari hutan larangan pun tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Merujuk pada kerangka konsep kepemilikan (property rights) yang dikembangkan oleh Ostrom dan Schalager (1996) yaitu, 1) Hak akses yaitu hak untuk memasuki dan menikmati manfaat, 2) Hak pemanfaatan merupakan hak untuk mendapatkan produk dari sumber daya alam, 3) Hak pengelolaan merupakan hak untuk menyusun aturan operasional, 4) Hak ekslusif merupakan hak untuk menentukan siapa yang memiliki akses yang tepat dan bagaimana
64 aturannya, 5) Hak pengalihan merupakan hak untuk menjual atau menyewakan seluruh atau sebagian dari sumber daya yang dimiliki ( lihat tabel 20). Tabel 20 Status pemegang hak akses (Ostrom dan Schlager, 1996) Authorized Authorized Hak Akses Owner Proprietor Claimant User Entrant x x x x X Akses fisik x x x x Pemanfaatan x x x Pengelolaan x x Ekslusif x Pengalihan Hutan larangan tergolong sebagai hutan yang tertutup untuk diakses sehingga kerangka teori Ostrom dan Schlager dapat dikatakan belum mewadahi fenomena hutan larangan di Kampung Naga. Hutan keramat, hutan keramat merupakan hutan yang dipercaya awal mulanya asal usul Kampung Naga, di dalam hutan keramat ini terdapat makam para leluhur Kampung Naga yaitu Sembah Dalem Singaparana sehingga hutan tersebut dikeramatkan. Fungsi dari hutan keramat sama halnya dengan hutan larangan yaitu pelestarian. Perbedaan hutan keramat dan hutan larangan yaitu pada akses masuk hutan. Pada waktu-waktu tertentu seperti penyelenggaraan upacara adat saja yang bisa memasuki hutan keramat, seperti berziarah ke makam para leluhur. Aturan yang bisa memasuki hutan keramat tersebut adalah komunitas asli keturunan Kampung Naga, dan berjenis kelamin laki-laki. Sama juga halnya dengan hutan larangan tidak ada kegiatan pemanfaatan pada hutan keramat. Di samping pantangan memasuki hutan larangan dan hutan keramat, juga pantangan menebang pepohonan yang ada di dalam hutan larangan maupun hutan keramat. Pantangan-pantangan ini bukan hanya berlaku bagi orang-orang Kampung Naga, melainkan berlaku bagi semua orang yang datang ke Kampung Naga tersebut. Bila ada orang luar yang tidak tahu dan memasuki hutan tersebut maka akan segera dipanggil kembali dan diberi tahu. Komunitas Kampung Naga senantiasa mengawasi hutan tersebut agar tidak ada yang memasukinya. Selain itu jika ada bayi yang lahir harus menanam satu pohon, menggunakan sistem tebang pilih, jika menebang pohon harus memikirnya gantinya dari pohon yang ditebang untuk ditanam, dan sebagainya. Pantangan ini dipatuhi secara taat oleh masyarakat Kampung Naga. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang berani untuk melanggar. Komunitas Kampung Naga tidak mengetahui asal usul dan alasan pantangan menebang kayu di dalam hutan keramat dan hutan larangan. Akan tetapi, kini mereka mulai menyadari manfaat dari adanya pantangan tersebut. Hal ini dikemukakan oleh kuncen yang mengatakan bahwa bagaimana jadinya dengan Kampung Naga seandainya orang-orang diperbolehkan menebang kayu didalam hutan. Sebagaimana diketahui bahwa seandainya pepohonan di dalam hutan tersebut ditebangi hingga habis maka pastilah setiap musim hujan, Kampung Naga akan terendam banjir, akan tetapi mereka tidak mau menjelaskannya. Hingga saat ini komunitas Kampung Naga tidak pernah mengalami banjir.
65 Hak akses pada hutan keramat, komunitas Kampung Naga hanya sebagai authorized entrant hanya bisa mengakses tidak bisa memanfaatkan maupun mengelola, dan yang bisa mengakses ke hutan keramat hanya orang-orang tertentu dan waktu-waktu tertentu. Sedangkan masyarakat di luar Kampung Naga sama sekali tidak bisa mengakses hutan keramat tersebut. Hutan serapan, terdapat beberapa responden yang tidak menyadari hutan serapan, karena letaknya yang cukup jauh dari pemukiman. Hutan serapan ini merupakan wilayah hutan yang ditanami jenis-jenis pepohonan yang dapat menyerap air, seperti pinus, mahoni dan bambu. Pepohonan membantu menciptakan iklim mikro bagi lahan pertanian, menjaga kelestarian air dan kesuburan tanah sehingga membantu menciptakan proses produksi pertanian yang berkelanjutan. Selain itu wilayah serapan air yang masih dilindungi mampu menjaga masyarakat dan tanah dari bencana kekeringan sehingga mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Menurut pendapat kuncen, di Kampung Naga tidak pernah terjadi bencana kekeringan maupun banjir, meskipun posisi Kampung Naga terletak di sebuah lembah, di bawah jalan raya, dan dekat dengan sungai. Gagal panen pun tidak pernah dirasakan oleh komunitas Kampung Naga. Hutan serapan ini merupakan kolaborasi dengan PT Perhutani, komunitas Kampung Naga dengan masyarakat lainnya sering mengadakan kerjasama penanaman pohon. Hak akses komunitas Kampung Naga terhadap hutan serapan menurut sudut pandang komunitas Kampung Naga (defacto) tergolong sebagai claimant yang mempunyai hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan serapan. Di sisi lain, juridisnya (dejure) bahwa hutan tersebut merupakan hutan produksi yang di dalamnya terdapat hutan lindung yang dikelola oleh Perhutani dan berkolaborasi dengan komunitas Kampung Naga. PT Perhutani tergolong sebagai proprietor yang mempunyai hak ekslusif dalam pengelolaan hutan. Hutan garapan, merupakan hutan tempat dimana komunitas Kampung Naga memanfaatkan dan mengelola hutan. Komunitas Kampung Naga merupakan masyarakat agraris yang hidupnya mengandalkan pertanian, sehingga mata pencaharian utama komunitas Kampung Naga adalah bertani melalui pembukaan lahan hutan garapan. Lahan garapan yang berada di Kampung Naga merupakan kepemilikan pribadi, dan diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga pemanfaatan dan pengelolaan lahan terbatas. Meskipun lahan yang mereka garap adalah lahan pribadi, mereka tetap memanfaatkan dan mengelola hutan tersebut sesuai dengan aturan/hukum/norma adat yang berlaku. Hak akses komunitas Kampung Naga pada hutan garapan di kawasan hutan Kampung Naga yaitu tergolong sebagai owner yang mempunyai hak pengalihan yaitu hak untuk bisa menjual atau menyewa seluruh atau sebagian lahan yang dimiliki tetapi sesuai dengan aturan hukum norma yang berlaku, dan tidak boleh di jual atau di sewakan kepada masyarakat selain komunitas Kampung Naga.
66 Tabel 21 Aturan hukum norma adat di hutan garapan kawasan Kampung Naga. No 1
2
3
4 5 6
Aturan Hukum Norma Adat di Hutan Garapan Kawasan Kampung Naga Lahan yang di garap merupakan lahan pribadi secara turun temurun dan tidak boleh dipindah tangankan kepada masyarakat selain komunitas Kampung Naga Luas lahan garapan yang di garap tidak boleh sampai habis harus ada tegakan pohon. Sistem bercocok tanam harus sesuai dengan aturan hukum norma adat yang berlaku sesuai dengan perhitungan bintang. Bercocok tanam diharapkan menggunakan bahan bahan organik. Melakukan ritual upacara tanam, menabur benih, dan panen. Terdapat tanggal-tanggal tertentu dalam penanaman hortikultur.
7
Berlakunya aturan sistem tebang pilih dalam menebang pohon.
8
Mengambil, memanfaatkan, menebang harus sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan. Melakukan penanaman kembali jika menebang pohon. Satu bayi yang lahir = satu pohon yang ditanam.
9 10
Manfaat Mempertahankan aturan,hukum, norma adat agar tidak pudar.
Penyerapan air.
Pemeliharaan padi tidak terserang hama.
Pemeliharaan kesuburan tanah dan tanaman. Penghormatan kepada Tuhan dan para leluhur. Tanam serempak, mempertahankan budaya guyub, memperlakukan ekosistem dengan bijaksana, dan membangun kepekaan sosial saling berbagi dan tolong menolong. Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan, perlindungan terhadap hama dan penyakit, serta perlindungan terhadap bahaya kebakaran dan menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil. Membatasi penebangan pohon yang berlebihan. Penghijauan Simpanan masa depan anak.
Tata ruang Kampung Naga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang ditunjukkan dengan adanya pembagian wilayah. Tata ruang terbagi ke dalam tiga wilayah adat, yakni: (1) wilayah terlarang, yaitu kawasan makam (pasarean) dan hutan naga yang tidak boleh dijamah oleh siapapun; (2) wilayah produktif, yakni kawasan pertanian sawah; dan (3) wilayah inti (legana sa naga), yakni kawasan pemukiman dan wahana berlangsungnya aktivitas kemasyarakatan. Wilayah
67 terlarang berada di bagian atas pemukiman sehingga menjadi daerah hutan lindung dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Wilayah produktif berada di gerbang memasuki kampung naga (wilayah inti). Ketiga wilayah tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya dan sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Prinsip pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat berdasarkan etika lingkungan yang berkelanjutan bahwa lingkungan sebagai sumber daya memiliki keterbatasan. Komunitas Kampung Naga memanfaatkan berbagai hasi hutan, baik sebagai bahan bangunan, maupun keperluan sehari-hari. Seperti kayu, rotan, bambu, tanaman obat, buah dan hewan (ikan). Aturan, hukum, dan norma pengambilan kayu di masyarakat Kampung Naga, kayu yang akan ditebang merupakan kayu hasil tebang pilih, tidak boleh sembarangan dalam hal penebangan kayu meskipun di lahan milik pribadi, dan setiap kayu yang ditebang harus digantikan kembali pada perbandingan 1 : 10. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 44,4% responden memperoleh bahan baku kayu bangunan dengan cara membeli ke pasar ataupun took bangunan, karena mayoritas responden tidak memiliki lahan garapan untuk kayu, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu harus membeli kepada pihak lain. Bagi responden yang memiliki lahan garapan untuk kayu lebih mudah untuk memperoleh kayu, selain untuk keperluan sehari-hari menjadi investasi jangka panjang untuk dijual (Tabel 22). Menurut 55 % responden yang memiliki lahan garapan kayu di dalam kawasan maupun di luar kawasan tren perubahan perolehan bahan baku kayu bangunan selama 10 tahun terakhir di Kampung Naga tidak mengalami perubahan karena kayu yang diambil merupakan hasil tanam komunitas Kampung Naga. Kemudian 35 % responden yang lain berpendapat bahwa kayu semakin sulit diperoleh, hal ini dikarenakan lahan garapan untuk kayu menjadi lebih sempit dari sebelumnya (Tabel 23). Tabel 22 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan kayu untuk bahan bangunan Sumber perolehan kayu untuk bahan bangunan Dari kebun garapan pribadi dalam kawasan hutan Kampung Naga Dari kebun garapan pribadi di luar kawasan hutan Kampung Naga Membeli Total
Jumlah
Persentase (%)
7
19,4
13
36,1
16 36
44,4 100
68 Tabel 23 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada bahan kayu bangunan Tren perubahan selama 10 tahun terakhir Jumlah Persentase (%) pada bahan kayu bangunan Semakin sulit memperoleh kayu bangunan 7 35 Tidak ada perubahan 11 55 Semakin mudah memperoleh kayu 2 10 bangunan Total 20 100 Tabel 24 Tabulasi silang antara sumber perolehan kayu bangunan pada tren perubahan 10 tahun terakhir pada kayu bangunan Sumber Perolehan Kayu Dari kebun didalam kawasan hutan kampung Dari kebun diluar kawasan kampung Total
Tren perubahan 10 tahun terakhir pada bahan kayu bangunan Tidak ada Semakin Semakin sulit perubahan Mudah N N N 0 6 1 (0%) (86%) (14%)
Total
%
7
35
7 (54%)
5 (38%)
1 (8%)
13
65
7
11
2
20
100
Tabel 24 menunjukkan, pertama, komunitas Kampung Naga mengambil dan memanfaatkan kayu sebanyak 65 % berasal dari luar kawasan Kampung Naga, karena lahan garapan yang berada di dalam kawasan hutan Kampung Naga mempunyai luas lahan yang terbatas, kedua, kayu bangunan yang berada di luar kawasan hutan semakin sulit diperoleh, hal ini disebabkan oleh semakin sempitnya lahan yang berada di dalam kawasan kampung bagi responden yang memiliki luas lahan sempit. Selain itu banyak nya persaingan dengan swasta yang menyebabkan lahan garapan yang berada di luar kampung semakin sempit, ketiga sebanyak 86 % responden yang mengambil kayu yang berada di dalam kawasan hutan merasa tidak mengalami perubahan selama 10 tahun terakhir, hutan yang berada di kawasan Kampung Naga mempunyai aturan, hukum, dan norma adat sehingga ketersediaan kayu di dalam kawasan hutan masih ada hingga saat ini. Komunitas Kampung Naga selain memanfaatkan kayu, komunitas Kampung Naga pun memanfaatkan bambu. Bambu bagi komunitas Kampung Naga mempunyai nilai penting. Bambu digunakan oleh anggota komunitas sebagai bahan bangunan dan sebagai bahan untuk membuat kerajinan. Mereka mempunyai pengetahuan khusus untuk mengolah bahan baku anyaman tersebut. Jenis bambu yang diambil adalah jenis bambu awi tali, karena jenis ini memiliki kelenturan dan liat sehingga mudah dibilah-bilah dan diraut sekecil mungkin. Bambu yang baik untuk anyaman tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Sedangkan penentuan waktu untuk penebangan bambu yang paling tepat adalah
69 sekitar pukul sebelas. Hal ini disebabkan pada saat itu kadar kandungan airnya tidak terlampau tinggi dan tidak terlampau rendah. Jika kadar kandungan airnya terlampau tinggi maka bambu akan mudah lapuk, sedangkan jika terlampau muda maka kelenturannya akan mudah patah. Pertimbangan lainnya, jika menebang terlalu pagi banyak hambatan, misalnya menembus hutan bambu dihambat embun, sedangkan pada sore hari hambatannya adalah bulu-bulu bambu mudah beterbangan dn bila kena badan akan terasa gatal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden sebesar 50% sumber perolehan bambu berasal dari lahan hutan garapan yang tumbuh liar dan sekitar 33 % responden mengambil bambu dari lahan garapan di luar kawasan hutan kampung (Tabel 25). Menurut 44 % responden merasa semakin mudah bambu untuk diperoleh dalam 10 tahun terakhir, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan di kawasan Kampung Naga mendukung bambu untuk tumbuh subur (Tabel 26). Tabel 25 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan bambu Sumber perolehan bambu Jumlah Persentase (%) Dari kebun garapan pribadi dalam kawasan 6 17 hutan Kampung Naga Dari kebun garapan pribadi di luar kawasan 12 33 hutan Kampung Naga Mengambil bambu yang tumbuh liar di luar 18 50 kawasan hutan Total 36 100 Tabel 26 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan bambu Tren perubahan selama 10 tahun terakhir Jumlah Persentase (%) pada keberadaan bambu Semakin sulit memperoleh bambu 2 6 Tidak ada perubahan 18 50 Semakin mudah memperoleh bambu 16 44 Total 36 100
70 Tabel 27 Tabulasi silang antara sumber perolehan bahan bambu dengan tren perubahan 10 terakhir pada keberadaan bambu Sumber Perolehan Bambu Dari kebun didalam kawasan hutan kampung Dari kebun diluar kawasan kampung Mengambil bambu yang tumbuh liar Total
Tren 10 Perubahan Tahun Terakhir Pada Keberadaan Bambu Semakin Tidak ada Semakin sulit perubahan Mudah N N N
Total
0 (0%)
4 (67%)
2 (33%)
6 (100%)
2 (11%)
5 (42%)
5 (42%)
12 (100%)
0 (0%)
9 (50%)
9 (50%)
18 (100%)
2
18
16
36 (100%)
Menurut Tabel 26, menunjukkan bahwa, sebanyak 50 % responden mengambil bambu dari bambu yang tumbuh liar di hutan garapan kawasan Kampung Naga, bambu tumbuh subur di tanah kawasan kampung, sehingga memungkinkan selama 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan dan tidak bahkan lebih mudah untuk diambil, karena komunitas Kampung Naga meskipun bambu tersebut tumbu liar mereka tetap menggunakan norma-norma dan aturan adat dalam mengambil dan memanfaatkan bambu, selain mengambil bambu liar, responden pun banyak yang menanam bambu baik di hutan garapan kawasan kampung, maupun di luar kawasan kampung. Salah satu cara pemanfaatan hutan oleh komunitas Kampung Naga dengan cara menanam buah dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Hasil penelitian menunjukkan 38,9% responden rumah tangga Kampung Naga menanam hortikultur di dalam hutan kawasan kampung yang berada di hutan garapan milik pribadi. Selain di dalam kawasan hutan, 19,4 % responden menanam hortikultur di pinggiran Sungai Ciwulan yang letaknya tidak jauh didekat pemukiman warga (Tabel 28). Menurut hasil penelitian sekitar 61 % dari rumah tangga responden yang menanam tanaman hortikultur merasa tidak mengalami perubahan dalam menanam hortikultur karena mereka hingga saat ini masih bisa dan sering menanam hortikultur, bahkan sekitar 39 % responden lainnya mengatakan semakin mudah untuk bertanam, hal ini dikarenakan lahan untuk menanam tanaman hortikultur tidak membutuhkan lahan yang luas, dan kesuburan tanah yang mendukung, selain itu pula sudah banyak benih dan bibit beranekaragam yang praktis, sehingga semakin mudah untuk menanam. (Tabel 29).
71 Tabel 28 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan hortikultur Sumber perolehan tanaman hortikultur Jumlah Persentase (%) Dari kebun garapan pribadi dalam kawasan 18 38,9 hutan Kampung Naga Dari kebun garapan pribadi di luar kawasan 6 16,7 hutan Kampung Naga Pinggiran sungai 4 25 Membeli 7 19,4 Total 36 100 Tabel 29 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur Tren perubahan selama 10 tahun terakhir Jumlah Persentase (%) pada tanaman hortikultur Semakin sulit memperoleh tanaman 0 0 hortikultur Tidak ada perubahan 17 61 Semakin mudah memperoleh tanaman 11 39 hortikultur Total 28 100 Tabel 30 Tabulasi silang sumber perolehan tanaman hortikultur dengan tren perubahan 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur Sumber Perolehan Tanaman Hortikultur Dari kebun didalam kawasan hutan kampung Dari kebun diluar kawasan kampung
Tren Perubahan 10 Tahun Terakhir Pada Hortikultur Tidak ada Semakin Semakin sulit perubahan Mudah N N N 0 9 9 (0%) (50%) (50%)
0 (0%)
4 (67%)
2 (33%)
0 (0%) 0
3 (75%) 17
1 (25%) 11
Total
18 (100%)
6 (100%)
4 (100%) 36 Total (100%) Menurut Tabel 30 menunjukkan bahwa, sebanyak 50 % responden menanam tanaman hortikultur yang berada di hutan garapan di dalam kawasan kampung. Tanaman yang di tanam berada di sekeliling kebun dan atau berada di pinggiran sawah. Tanaman yang di tanam beraneka macam, baik sayuran dan buah-buahan. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari responden, sehingga responden tidak perlu membeli bahan-bahan sayuran maupun buahbuahan. Pinggiran sungai
72 Komunitas Kampung Naga mempunyai hobi salah satunya adalah memancing di Sungai Ciwulan, hasil tangkapan ikan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selain dari hasil pancingan, kebutuhan ikan diperoleh dengan cara mengambil dari kolam pribadi ataupun membeli dari pihak lain yang mempunyai kolam ikan di kawasan kampung. Terdapat beberapa aturan,hukum, norma memancing di sungai, yaitu harus menggunakan pancingan tradisional, alat pancing yang digunakan adalah jarring angkat, mata pancing, jala, dan bubu. Tidak boleh menangkap ikan yang kecil, dan tidak boleh menggunakan bahan bahan kimia seperti untuk meracuni ikan. Menurut hasil penelitian tidak terdapat responden yang memliki kolam ikan pribadi, akan tetapi berdasarkan observasi di lapangan terdapat beberapa anggota komunitas di luar responden yang memiliki kolam pribadi. Sekitar 67% responden mengambil ikan dengan cara memancing di sungai dan 33% responden memilih untuk membeli ikan dibandingkan memancing (Tabel 31). Selama 10 tahun terakhir, 50 % responden merasa tidak mengalami perubahan dalam pemanfaatan ikan, hal ini dikarenakan Daerah Aliran Sungai masih terjaga dengan baik (Tabel 32). Tabel 31 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber perolehan ikan Sumber perolehan ikan Jumlah Persentase (%) Membeli dari pihak lain 12 33 Memancing di sungai 24 67 Total 36 100 Tabel 32 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan ikan Tren perubahan selama 10 tahun terakhir Jumlah Persentase (%) pada ikan Semakin sulit memperoleh ikan 3 12,5 Tidak ada perubahan 12 50 Semakin mudah memperoleh ikan 9 37,5 Total 24 100 Sumber air yang digunakan komunitas Kampung Naga berasal dari saluran air buatan dari mata air, yang disebut Saluran Garunggang dan ada yang langsung diairi dari sungai Ciwulan. Air ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari anggota komunitas seperti air minum, cuci dan mandi. Saluran Garunggang dibuat oleh masyarakat Desa Neglasari secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih desanya. Air yang berasal dari pengairan Sungai Ciwulan biasanya digunakan untuk keperluan irigasi sawah dan kolam-kolam ikan. Adanya tanaman-tanaman berupa pepohonan tinggi di sekitar sumber saluran air membuat kelestarian sumber air tersebut tetap terjaga. Komunitas Kampung Naga dahulu banyak yang memanfaatkan rotan sebagai peralatan rumah tangga, mengambil rotan di hutan garapan di dalam kawasan kampung, tetapi saat ini sudah berkurang, rotan sudah jarang dimanfaatkan oleh komunitas Kampung Naga, menurut hasil wawancara dengan informan, rotan sudah jarang ditemukan di hutan garapan di dalam kawasan kampung, hal ini karena sudah jarang orang dan bahkan hampir tidak ada yang
73 menanam rotan, kebutuhan akan rotan pun menjadi semakin berkurang, jika ada yang membutuhkan rotan, komunitas Kampung Naga lebih memilih untuk membeli rotan. Berdasarkan data hasil penelitian dan obeservasi lapang menunjukkan, bahwa, pertama, persentase semakin sulitnya mengambil dan memanfaatkan hasil hutan selalu lebih kecil, kedua mayoritas responden merasa tidak ada perubahan selama 10 tahun terakhir ini dalam mengambil dan memanfaatkan hutan hal ini menunjukkan selama 10 tahun terakhir komunitas Kampung Naga hingga saat ini masih menjaga dan melestarikan hutannya, ketiga mayoritas responden yang mengatakan semakin mudah diperoleh disebabkan karena mereka mempunyai lahan yang cukup luas untuk ditanami berbagai macam tanaman, selain mempunyai lahan yang cukup luas bahwa tanah yang berada di Kampung Naga merupakan tanah subur sehingga mudah untuk bertanam. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh komunitas Kampung Naga selama 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan hal ini dikarenakan hutan berada di kawasan Kampung Naga masih terjaga dengan baik, dan komunitas Kampung Naga masih menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam memanfaatkan dan mengelola hutan.
74
75
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah : Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan di kawasan Kampung Naga penting dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam dalam mengelola hutan. Komunitas Kampung Naga dengan kearifan lokalnya secara kuat memegang teguh tradisi yang diperoleh dari nenek moyang, hal ini terlihat dalam melakukan strategi nafkah yang masih menerapkan nilainilai kearifan lokal. Komunitas Kampung Naga mempunyai mata pencaharian sebagai petani, khususnya petani sawah irigasi, selain bertani, mereka memanfaatkan bambu sebagai bahan baku kerajinan. Kedua hal ini telah dilakukan turun temuurn, sehingga komunitas Kampung Naga mengetahui batasan-batasan dalam memanfaatkan dan mengelola hutan. Sehingga hutan yang berada di Kawasan Kampung Naga masih terjaga lestari. Kearifan lokal komunitas Kampung Naga tidak akan pernah eksis hingga saat ini apabila tidak adanya proses ajar yang dilakukan oleh orang tua, sesepuh, ketua adat, ustadz maupun lingkungan sosial (tetangga) yang mengajarkan pola hidup tradisional dan sederhana, dimana hal tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan ekologis. Pola hidup sederhana tercermin dalam ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter, dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu wae (tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki harta kekayaan, tidak kebal, tidak kuat, tidak gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis sebagai landasan berperilaku. Peran orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam melestarikan dan memelihara nilai-nilai kearifan lokal khususnya dalam pengelolaan hutan. Proses ajar yang dilakukan hingga saat ini tidak lepas dari peran pemimpin adat. Pemimpin adat mempunyai wewenang, dan kekuasaan dalam mengatur dan mengawasi setiap anggota komunitasnya. Pemimpin adat hingga saat ini masih menjalankan salah satu tugasnya yaitu menjaga dan melestarikan aturan/hukum/norma yang telah diturunkan secara turun temurun. Kearifan lokal dalam melindungi dan memanfaatkan hutan tercermin dalam zonasi kawasan yang masih terpelihara dan pantangan-pantangan lainnya dalam pengelolaan hutan. Zonasi kawasan hutan tersebut adalah hutan larangan, hutan keramat, hutan serapan, dan hutan garapan. Zonasi kawasan hutan tersebut menjadikan hutan masih terjaga lestari hingga saat ini karena komunitas Kampung Naga mengetahui batasan-batasan dalam pengelolaan hutan sehingga mencegah tidak terjadinya degradasi hutan.
76 Saran Adapun saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Anggota Komunitas diharapkan dapat menjaga dan melestarikan hutan yang ada di Kampung Naga tersebut berdasarkan acuan leluhur yang telah dimiliki agar tidak hilang dan luntur bersamaan dengan perkembangan global di masa mendatang. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai lokal untuk pengelolaan sumber daya alam dan reinterpretasi nilai-nilai agama. 2. Kearifan lokal yang dimiliki komunitas adat Kampung Naga sangat penting peranannya dalam menjaga dan mengelola hutan, sehingga kearifan lokal tersebut perlu dipertahankan dan dikembangkan oleh masyarakat melalui kegaiatan sosialisasi kepada kelompok masyarakat lainnya mengenai pentingnya memelihara dan menjaga lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan LSM untuk sosialisasi kepada masyarakat lainnya di luar komunitas Kampung Naga mengenai perlindungan hutan. Selain itu dapat dilakukan melalui pada saat pengunjung yang datang ke Kampung Naga tidak hanya dijelaskan mengenai riwayat Kampung Naga tetapi juga tentang kearifan-kearifan lokalnya dalam menjaga lingkungan. 3. Pemerintah hendaknya ikut menjaga budaya dan kearifan ekologi yang ada di Kampung Naga dengan memberikan kontribusi materiil maupun inmateriil agar keberlangsungan hidup hutan tetap terjaga. Bantuan materiil seperti dana untuk koperasi dalam hal lembaga koperasi dan penjagaan barang-barang warisan. Sedangkan bantuan inmateriil berupa dukungan dan partisipasi pemerintah dalam menjaga hutan dan adanya kebijakan penguatan kepemilikan masyarakat adat atas hak-hak atas tanah.
77
DAFTAR PUSTAKA Achmaliadi R, I.G Adi M, Hardiono YM, Hariadi K, Malley CH, Mampioper DA, EG Togu M, Nababan A, et all. 2010. Keadaan Hutan Indonesia. [Internet]. [Dikutip 4 Juni 2016]. Dapat diunduh dari: www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_full_id.pdf [FPIPS]. Fakultas Perguruan Ilmu Pendidikan Sosial. 2012. Penggalian Nilai Kearifan Lokal Kampung Naga di Tasikmalaya di ekspose FPIPS di Negeri Jiran. [Internet]. [Dikutip 15 Juni 2016]. Dapat diunduh dari: http://fpips.upi.edu/berita-574-penggalian-nilai-kearifan-lokal-dikampung-naga-tasikmalaya-di-ekspose--fpips-di-negara-jiran-.html Arafah N. Darusman D. Suhartijo D. Sundawati L. 2011. Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi). [Internet]. [Dikutip 29 September 2015]. Ilmu Kehutanan. Vol. 5. No.1. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/article/view/580 Baharudin W. 2010. Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal, Degradasi Lingkungan. [Internet]. [Dikutip 4 Juni 2016]. Dapat diunduh dari: http://www.esaunggul.ac.id/epaper/kearifan-lokal-pengetahuan-lokal-dandegradasi-lingkungan/ Bangun W. 2008. Intisari Manajemen. Bandung [ID]: PT Refika Aditama, anggota IKAPI. Dasir M. 2011. Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang. [Internet]. [dikutip 3 Oktober 2015]. Hutan dan Masyarakat. Vol.3. No.2. Dapat diunduh dari: http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/view/111/102 Dharmawan, AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socieconomic Changes in Rural Indonesia. [Disertasi]. Germany: the GeorgAugust University of Gottingen. Dharmawan, AH. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No.02 Agustus 2007 [DISPARBUD]. Dinas Parawisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya. 2010. Gambaran Umum Masyarakat Adat Kampung Naga. Tasikmalaya [ID]: Dinas Parawisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya [DEPDIKBUD]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga dalam Mengelola Lingkungan Hidup (Studi tentang pantangan dan larangan). [Internet]. [Dikutip 29 Juli 2016]. Dapat diunduh pada: https://books.google.co.id/books?id=FkntCgAAQBAJ&pg=PA55&dq=ka mpung+naga&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=kampung%20na ga&f=false Effendi S, Tukiran 2014. Metode Penelitian Survei. Jakarta(ID): LP3ES Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Newyork (US): Oxford University Press.
78 El Shabir FH. 2014. Kajian Konsep Arsitektur Hijau Kampung Naga Jawa Barat [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Fatimah S. 2011. Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang. [internet]. [dikutip 4 Februari 2016]. Tingkap. Vol.7. No1. Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=25123&val=1549 Harun IB, Rusnandar N, Salim SA, Triastuti I. 2011. Arsitektur Rumah dan Pemukiman Tradisional di Jawa Barat. Bandung (ID): Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Hidayat SY. 2015. Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan. [Thesis]. Yogyakarta(ID): Universitas Gajah Mada. [Internet]. [Dikutip 14 Januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=vie w&typ=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Kampung%20Naga& self=1&op=review Karisma BM. 2010. Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dan Tata Kelolanya. [Skripsi].Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. [Internet]. [dikutip 5 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63478 Kustanti A, Nugroho B, Nurrochmat DR, Okimoto Y. 2014. Evolusi Hak Kepemilikan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Lampung. [Internet]. [dikutip 16 Agustus 2016]. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. Vol.1, No.3. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jkebijakan/article/viewFile/10291/7995 Lestari S. 2010. Memotret Hutan di Indonesia. [Internet]. [Dikutip 4 Juni 2016]. Dapat diunduh dari: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hutanind o.shtml Lubis ZB. 2005. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Tapanuli Selatan. [Internet]. [dikutip 22 september 2015]. Antropologi Indonesia. Vol.29. No.3. Dapat diunduh dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3544/2815 Magdalena. 2013. Peran Hukum Adat Dalam Pengelolaan Dan Perlindungan Hutan Di Desa Sesaot, Nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang, Kalimantan Timur. [Internet]. [dikutip 21 Oktober 2015]. Sosial Ekonomi. Vol.10 No.2. Dapat diunduh dari: http://fordamof.org/files/Jurnal_Sosek_vol_10-2-2013-4.Magdalena.pdf Mudzakkir A. 2012. Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan. [Internet]. [Dikutip 3 Mei 2016]. Dapat diunduh dari: https://www.academia.edu/2397391/Antara_Masyarakat_Adat_dan_Umat _Masyarakat_Kampung_Naga_dalam_Perubahan Mulyadi M. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Kehutanan. [Internet]. [dikutip 29 September 2015]. Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol.10 No.4. Dapat diunduh dari: http://ejournal.fordamof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/1 70
79 Nababan A. 2003. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat. [Internet]. [Dikutip 28 Juni 2016]. Dapat diunduh dari: http://www.ulayat.or.id/artikel/pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasismasyarakat-adat/ Ningrum E. 2012. Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. [Internet]. [dikutip 7 Oktober 2015]. Sosial dan Perlindungan. Vol.28. No. 1. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/338/36 Ostrom E, Schlager E. 1996. The Formation of Property Rights. [Internet]. [Dikutip 17 Agustus 2016]. Dapat diunduh dari: https://www.thecommonsjournal.org/articles/10.18352/ijc.252/galley/196/ download Pattinama MJ. 2009. Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau-Pulau Buru Maluku dan Surade Jawa Barat.[Internet]. [Dikutip 31 Juli 2016]. Makara Sosial dan Humaniora. Vol 13, No 1. Dapat diunduh dari: http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/e98e701d3488e758e71344d4c 5a109bd7770dbd0.pdf Salosa ST, Awang SA, SuryantoP, Purwanto H. 2014. Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak. [Internet]. [Dikutip 14 September 2015]. Manusia dan Lingkungan Vol.21 No.3. Dapat diunduh dari: http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/396/300 Santoso S. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung [ID]: PT Refika Aditama. Santoso I.2006. Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan. [Internet]. [Dikutip 31 Juli 2016]. Wawasan. Vol 11 No. 5. Dapat diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16006/1/was-feb2006%20(2).pdf Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogjakarta [ID]: Debut Press Senoaji G. 2010. Dinamika Sosial Dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungan. [Internet]. [Dikutip 19 September 2015]. Bumi dan Lestari. Vol.10 No.2. Dapat diunduh dari: http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/134/117 Senoaji G. 2004. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh masyarakat Baduy di Banten Selatan. [Internet]. [dikutip 28 September 2015]. Manusia dan Lingkungan. Vol.11. No.3. Dapat diunduh dari: http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/viewFile/361/283 Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Soendjoto MA, Kurnain A. 2010. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif Kesejahteraan dan Keberlanjutan. Banjarmasin; Universitas Lambung Mangkurat Press. Xiv, 148 hal. Suryani E, Charliyan A. 2013. Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung: Dzulmariaz Print. Rahmawati R, Subair, Idris, Gentini. Ekowati D, Setiawan U. 2008. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio-Ekologis. [Internet]. [Dikutip 29 Juli 2016]. Sodality: Jurnal
80 Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol. 2 No. 2. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5886/4551 Retnowati A, Anatasari E, Marfai MA, Dittmann A. 2014. Environmental Ethics in Local Knowledge Responding to Climate Change: An Understanding of Seasonal Traditional Calendar “PranotoMongso” and Its Phenology in Karst Area of Gunung Kidul, Yogyakarta Indonesia. [Internet]. [Dikutip 29 Juli 2016]. Environmental Science. Vol.20 (785-794). Dapat diunduh dari: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1878029614000966 Ritchie B, McDougall C, Haggith M, de Oliveira. 2001. Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang di Kelola oleh Masyarakat. Titiek Setyawati, penerjemah; E. Linda Yuliani,editor. [Internet]. [Dikutip 20 Januari 2016]. Jakarta (ID): Center For Internasional Forestry Research. Terjemahan dari Human Manage Forest. Dapat di unduh dari: http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/CMF_INA.pdf?q=ole h [UU] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup [Internet]. [Dikutip 3 Januari 2016]. Dapat diunduh dari: http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/UU_32_Tahun_2009_(PP LH).pdf. [UU] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan [Internet]. [Dikutip 9 Mei 2016]. Dapat diunduh dari: http://peraturan.go.id/uu/nomor-41-tahun-1999.html [UU] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan. [Internet]. [Dikutip 9 Mei 2016]. Dapat diunduh dari: www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2013_18.pdf Putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012 [Internet]. [Dikutip 23 Februari 2016]. Dapat diunduh dari: http://www.unorcid.org/upload/doc_lib/20130527133325_putusan_sidang_35% 20PUU%202012-Kehutanan-telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf
Widiyanti NT. 2014. Studi Potensi Kampung Nagasebagai eccovillage. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Widodo S. 2011. Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir.[Internet]. [Dikutip 10 Mei 2016]. Sosial Humaniora Vol 15 No.1. Dapat diunduh dari: journal.ui.ac.id/humanities/article/view/890/849 Wijana N. 2013. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. [Internet]. [Dikutip 28 September 2015]. Monograph. Seminar Nasional FMIPA Undiksha III. Dapat diunduh dari: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/view/2710 Yamani M. 2011. Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal Di Enam Komunitas-Komunitas Adat Daerah Bengkulu. [Internet]. [Dikutip 16 September 2015]. Hukum. Vol. 18. No. 2. Dapat diunduh dari: http://undana.ac.id/jsmallfibtop/JURNAL/HUKUM/HUKUM%202011/1 0%20M.%20Yamani.pdf
81
LAMPIRAN
82
83
LAMPIRAN Lampiran 1 Denah Peta Lokasi Penelitian
84 Lampiran 2 Nama responden komunitas Kampung Naga, Rt 01 Rw 01 Desa Neglasari Kabupaen Tasikmalaya No 1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Ddh Oty Ijm Uyt Nan Mnr Wr Krmn Osh Ccu Kml Dmdn Etn Rni Nia Jk Ajt Ash Srtn Etn Kryn Ilt Edh Ach Ooy Ijh Yyn Ikh Idh Hn Rhyt Tum Nnh Ml In
Umur 39 48 53 57 46 45 48 48 57 33 37 30 37 35 25 50 40 52 45 45 41 67 47 49 43 40 57 60 47 34 50 42 46 33 35
85 Lampiran 3 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji kelayakan skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Feb Mar 3 4 1 2 3
Apr 1 1 1 3
Mei 4 1 2 3
Juni 4 1 2 3
Juli 4 1 2 3 4
Agust 1 2
87 Lampiran 4 Kuisioner KUISIONER
Nomor Responden Hari, Tanggal Survei Tanggal Entri Data Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan Peneliti bernama Citra Pratiwi, merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang melakukan penelitian mengenai pengaruh kearifan lokal masyarakat adat kampung naga terhadap pengelolaan hutan. Penelitian ini merupakan syarat bagi kelulusan studi peneliti di jenjang Sarjana (S1). Peneliti berharap Bapak/Ibu/Saudara/i menjawab kuisioner ini dengan lengkap dan jujur. Apapun bentuk jawaban yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan akan menjadi data yang berharga bagi kelancaran penelitian ini. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiaannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima kasih atas perhatian, bantuan, dan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam menjawab kuisioner ini. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Umur 3. Jenis Kelamin 4. Lama Menetap 5. Pendidikan Terakhir
Pembagian Zonasi Kawasan Hutan
: : : : :
Tahun Tahun
Fungsi Zonasi
88
I. KETERANGAN DEMOGRAFI ANGGOTA RUMAHTANGGA No ID ART
Nama Anggota Rumah Tangga
(1) 01 02
(2)
Hubungan [NAMA] dgn Kepala RMT (3)
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan (4)
Umur [NAMA] (Tahun) (5)
Pendidikan anggota RMT Status Sekolah (6)
Ijazah Tertinggi (7)
Lokasi Sekolah (8)
03 04 05 06 07 08 09 10 Kode Kolom (3) 1. Kepala RMT 2. Istri/Suami 3. Anak Ke-1 4. Anak Ke-2 5. Anak Ke-3
Kode Kolom (6)dan Kolom (7) 6. Anak Ke-4 7. Lainnya 8. Lainnya 9. Lainnya 10. Lainnya
1. 2. 3. 4. 5.
Tidak/belum tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat D1/D2
6. Tamat Akademi/D3 7. Tamat D4/S1 8. Tamat S2/S3
Kode Kolom (8) 1. Dalam wilayah desa 2. Luar Desa (masih dalam Kecamatan) 3. Luar Kecamatan (masih sekabupaten) 4.Luar Kabupaten (masih dalam Provinsi) 5. Luar Provinsi
89 II. STRATEGI NAFKAH≥ UMUR 10 TAHUN No (ID)
JANUARI 2015-DESEMBER 2015 JENIS PEKERJAAN
Pendapatan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pekerjaan utama: Pekerjaan lain 1: ....
Pekerjaan
lain
Pekerjaan
lain
2: 3: Jumlah pendapatan Pekerjaan utama: Pekerjaan lain 1:
....
Pekerjaan lain 2: Pekerjaan lain 3: Jumlah Pendapatan
....
Pekerjaan utama:
89
90
90
Pekerjaan lain 1: Pekerjaan lain 2: Pekerjaan lain 3: Jumlah pendapatan Pekerjaan utama: Pekerjaan lain 1: ....
Pekerjaan lain 2: Pekerjaan lain 3: Jumlah pendapatan Pekerjaan utama: Pekerjaan lain 1:
.....
Pekerjaan lain 2: Pekerjaan lain3:
91
III. JENIS USAHA SAMPINGAN DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN KAMPUNG NAGA No ID Anggota Rumah Tangga yang Bekerja
URAIAN (1) a.
Jenis pekerjaan
b.
Upah per hari kerja (x 1000 Rp)
┗━━━┛
┗━━━┛
┗━━━┛
┗━━━┛
┗━━━┛
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
91
92
92
IV. PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH --DI DALAM& DI LUAR KAWASAN HUTAN ADAT KAMPUNG NAGA Kawasan Hutan ADAT KAMPUNG NAGA
Tanah Desa KAMPUNG NAGA
Tanah di Luar Kawasan Kampung Naga
Persil
Luas Tanah (m2)
Lokasi
Jenis Penggunaan Tanah
Luas Tanah (m2)
Status Tanah
Jenis Penggunaan Tanah
Luas Tanah (m2)
Status Tanah
Jenis Penggunaan Tanah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
a. 1
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
b. 2
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
c. 3
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
1/2/3/4
Total Tanah (a + b + c) Catatan: Kolom 3: 1=hutan keramat, 2=hutan larangan , 3=hutan serapan, 4=hutan garapan Kolom 4,7,10: 1= pertanian lahan sawah irigasi, 2=pertanian tadah hujan, 3=pertanian lahan kering, 4=rumah dan pekarangan Kolom 6,9: 1=milik, 2=sewa, 3=sakap, 4=gadai
93
VII. Pemanfaatan, Perlindungan dan Degradasi Hutan Jenis Sumberdaya Lokasi Perubahan dalam yang diakses (2) 10 tahun terakhir (1) (3) Kayu 1/2/3/4/5 1/2/3 Buah 1/2/3/4/5 1/2/3 Rotan 1/2/3/4/5 1/2/3 Tanaman obat 1/2/3/4/5 1/2/3 Air bersih 1/2/3/4/5 1/2/3 Ikan 1/2/3/4/5 1/2/3 Kode kolom 2: 1: dari kebun/ladang pekarangan 2: dari hutan...... 3: dari kebun yang terletak dihutan..... 4: dari pinggiran sungai 5. lainnya, sebutkan...
Kode kolom 3: 1: Tidak ada perubahan 2: Semakin sulit diperoleh 3: semakin mudah diperoleh karena berlimpah
Jika ada yang menjawab terjadi degradasi hutan (kolom 3, No 2) 1. Apa penyebab semaikin sulit nya sumberdaya tersebut diakses?
2. Sejauh ini apa tindakan/sanksi yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut?
3. Dalam bentuk apakah sanksi tersebut?
4. Kapan sanksi tersebut diberikan dan kepada siapa?
94
Proses Ajar Peran Belajar tentang perilaku sehari-hari sesuai yang diajarkan oleh para leluhur Belajar tentang cara berpakaian sehari-hari sesuai kehidupan Kampung Naga Belajar untuk bertanam padi Belajar tentang membuat nasi Belajar dan mengikuti upacara-upacara adat Belajar mengenai batasan pemanfaatan hutan Belajar tentang cara bertanam di hutan Belajar tentang cara mengelola hutan Belajar tentang hal-hal agama Belajar tentang cara membangun rumah Belajar tentang pamali
Orang tua
Ustadz
Ketua adat
Sesepuh
Lingkungan sosial
95 IX. KEPEMIMPINAN 1. Menurut anda, apa peran kuncen, lebe, punduh? Kuncen....... Lebe........... Punduh....... Siapa yang paling banyak mengambil keputusan? 2. Bagaimana cara pemilihan kuncen, lebe, punduh? (musyawarah bersama/ turun temurun/ sesuai prosedur) 3. Berapa masa kekuasaan tetua adat? (4 tahun, seumur hidup) 4. Bagaimana syarat menjadi tetua adat?
5. Apakah tetua adat terbuka terhadap budaya luar?
6. Bagaimana bentuk kepatuhan tetua terhadap adat istiadat?
7. Bagaimana pandangan anda terhadap tetua adat?
8. Apakah tetua adat sangat berperan dalam mengelola sumberdaya hutan?
96
Lampiran 5 Panduan wawancara mendalam 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK INFORMAN Hal-hal apasajakah yang berkaitan dengan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan yang diajarkan oleh para leluhur? Bagaimana cara mengajarkan kearifan lokal tersebut kepada setiap generasi? Dalam bentuk apa kearifan lokal tersebut diajarkan? Bagaimana peran pemimpin adat dalam mengajarkan dan menerapkan aturan hukum norma adat? Bagaimana aturan/hukum/norma adat dibentuk? Apakah budaya luar berpengaruh terhadap aturan/hukum/norma adat? Apasaja aturan aturan norma adat yang terkait dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan? Apa tindakan yang dilakukan apabila ada yang melanggar hukum/aturan/norma adat? Apakah aturan/hukum/norma adat juga berlaku bagi warga di luar kawasan adat? Siapa yang berhak mengatur dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan? Apakah seluruh hutan boleh dimanfaatkan? Bagaimana pembatasan hutan yang boleh dimanfaatkan dan tidak boleh dimanfaatkan? Berapakah luas lahan hutan yang bisa dimanfaatkan? Siapa saja kah yang dapat memanfaatkan lahan hutan? Untuk apasaja kah pemanfaatan hutan tersebut? Bagaimana cara pemimpin adat dalam melindungi hutan? Apakah pernah terjadi konflik tentang pemanfaatan lahan? Apakah pernah terjadi pembalakan liar di kawasan hutan adat Kampung Naga? Apakah terjadi perubahan dari masa ke masa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan? Apakah pemimpin adat di Kampung Naga mempunyai gaji tetap sebagai pemimpin adat?
97 Lampiran 6 Hasil Uji Statistik Jumlah luas lahan keseluruhan Model Summary Model
R
1
,485
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,235
,212
,708
a. Predictors: (Constant), jumlah luas lahan keseluruhan
Pengaruh luas lahan terhadap tingkat pendapatan a
ANOVA Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
5,240
1
5,240
Residual
17,066
34
,502
Total
22,306
35
F
Sig.
10,439
,003
b
a. Dependent Variable: pendapatan total b. Predictors: (Constant), jumlah luas lahan keseluruhan
Jumlah total pendapatan Coefficients Model
a
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B (Constant)
Std. Error
1,066
,273
,421
,130
Beta 3,904
,000
3,231
,003
1 jumlah luas lahan keseluruhan a. Dependent Variable: pendapatan total
,485
98 Lampiran 7 Hasil uji validitas dan realibilitas Item-Total Statistics
luas lahan di dalam persil 1
pendapatan persil 1 di dalam
pengeluaran_1
pendapatan_1
luas lahan di dalam persil 2
pendapatan persil 2
pengeluaran_2
pendapatan_2 jumlah luas lahan didalam kawasan Jumlah pendapatan didalam kawasan kampung luas lahan di luar persil 1
pendapatan di luar persil 1
pengeluaran_1a
pendapatan_1a
luas lahan di luar persil 2
pendapatan di luar persil 2
pengeluaran_2a
pendapatan_2a
Scale Mean if
Scale Variance
Corrected Item-
Cronbach's
Item Deleted
if Item Deleted
Total
Alpha if Item
Correlation
Deleted
49340930,56 2370269983366
,511
,861
,462
,853
,507
,859
,469
,854
,520
,861
,573
,853
,600
,860
,566
,854
,625
,861
,607
,846
,461
,861
,258
,861
,348
,859
,343
,857
,548
,861
,437
,855
,504
,853
,481
,852
04,800 45726443,61 2212360695632 34,660 47246804,72 2349704407658 53,700 47822749,17 2230561525209 33,060 49342126,39 2370272615965 43,200 48503915,83 2244780069532 18,750 49208998,06 2352936709766 38,440 48638016,94 2261214645936 49,880 49339946,67 2370171053506 73,750 44253429,72 2037527121205 68,030 49341010,28 2370145008599 96,530 47091054,72 2225050185391 39,400 48127332,50 2337005224833 61,620 48458888,06 2199586315167 58,440 49340563,06 2369795229677 29,800 47823110,28 2072993732222 82,250 48699499,17 2233568826025 04,470 48466721,39 2189634768338 06,060
99
jumlah luas lahan di luar
49338463,06 2369568683661
kawasan
,706
,861
,854
,861
,974
,824
,635
,845
,918
,828
,838
,836
29,800
jumlah luas lahan
49335299,44 2369368186817
keseluruhan
24,800 42492818,61 1681903054732
pendapatan hasil tani
34,720 47582499,17 2015622393047
pendapatan keseluruhan
90,220 41548651,94 1700104805470
pendapatan on farm
44,250 37822263,06 1632239356113
pendapatan total
30,000
Reliability Statistics Cronbach's
N of Items
Alpha ,859
24
100 Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian
101 RIWAYAT HIDUP Citra Pratiwi dilahirkan di Tasikmalaya tanggal 16 Januari 1994. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Boyke Suhendra dan Tuti Supriati.Penulis memuali pendidikannya di TK Pertiwi Tasikmalaya pada tahun 1999-2000.Selanjutnya, penulis menemouh tingkat sekolah dasar di SDN Citapen 1 Tasikmalaya pada tahun 2000-2006. Penulis menempuh tingkat sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Tasikmalaya dari tahun 2006-2009, pada saat di bangku SMP penulis mengikuti kegiatan paskibra. Pada tingkat sekolah menengah atas, penulis melanjutkan di SMAS Al-muttaqin Fulldayschool dari tahun 2009-2012.Penulis melanjutkan ke jenjang S1 di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, selain aktif belajar, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi.Pada Tingkat Persiapan Bersama, penulis aktif di organisasi mahasiswa daerah Tasikmalaya dengan mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan seperti openhouse omda, sosialisasi ke sekolah-sekolah, canvasing IPB dsb.Pada tingkat kedua penulis aktif di organisasi Rumah Harapan IPB dan yayasan Sanggar Juara sampai sekarang. Selain itu, penulis pun mengikuti kegiatan kepanitiaan seperti Indonesian Ecology Expo yang diselenggarakan oleh BEM FEMA.