REALITAS PENDIDIKAN ANAK PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (Studi Kasus pada Komunitas Adat Terpencil di Desa Balate Kecmatan Paguyaman Kabupaten Boalemo) Oleh 1 Laila B Launga, Rauf Hatu*,Sainudin Latare** Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Email :
ABSTRAK Launga, Laila B. 2015. “Realitas Pendidikan Anak pada Komunitas Adat Terpencil” di Desa Balate Balate Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo. Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Di atas Bimbingan Dr. H. Rauf Hatu.,M.Si selaku pembimbing I, dan Sainudin Latare, S.Pd., M.Si. selaku pembimbing II. tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui Bagaimana Realitas Pendidikan Anak pada Komunitas Adat Terpencil, di Desa Balate Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo. Dengan menggunakan penelitian kualitatif untuk mendekatkan peneliti terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada pendidikan anak di Komunitas Adat Terpencil. Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara dan dokumentasi. Analisis yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Pandangan masyarakat terpencil di Desa Balate akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah, hal ini terlihat dari masih banyaknya yang tidak menempuh pendidikan dan putus sekolah. (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pendidikan masyarakat terpencil di Desa Balate Kecamatan Paguyaman yaitu (a) Kurangnya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pendidikan, (b) Faktor ekonomi,(c) Faktor lingkungan, (d) Faktor jarak antara rumah dan sekolah. Kata Kunci : Pendidikan, Komunitas Adat Terpencil ( KAT ).
1
Laila B Launga, 281411006, Rauf Hatu,Sainudin Latare,Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
PENDAHULUAN Desa Balate adalah salah satu desa yang berada di kecamatan paguyaman kabupaten boalemo. Desa Balate yang mana keberadaannya sangat jauh dari jln trans yang sangat sulit di tempuh oleh kenderaan seperti motor maupun mobil. Jalan penghubung ke desa balate tidak rata, jalannya rusak, di sisi kanan jurang di sisi kiri pegunungan. Desa tersebut terdapat ± 5 kilo dari jalan trans sulawesi. Desa Balate belum ada penerangan di tiap rumah, alat penerangan dan masih menggunakan lampu pijar. Dari hasil observasi di lapangan bahwa masyarakat terpencil yang ada di Desa Balate banyak yang tidak menempuh pendidikan, selanjutnya ada lagi yang menempuh pendidikan tetapi hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD) kemudian tidak melanjutkan lagi ke tingkat atas. Pendidikan anak di desa Balate tergolong rendah, dapat di katakan bahwa kondisi pendidikan anak di Balate masih memprrihatinkan. Di tandai dengan besarnya jumlah penduduk yang tidak sekolah, tidak tamat SD serta hanya tamat SD. Ini berarti bahwa sebagian penduduk tidak mengenyam pendidikan pada jenjang sekolah dasar (SD). Realita sekarang Sebagian besar masyarakat terpencil di desa Balate yang usia wajib sekolah tetapi tidak bersekolah. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih kurang, orang tua anak lebih fokus untuk bekerja dan mencari uang, hal ini bedampak dengan kurangnya motivasi terhadap anak untuk menempuh pendidikan. Dalam menyekolahkan anak belum menjadi suatu prioritas utama bagi masyarakat Balate Cara pandang inilah yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku masyarakat setempat dalam mengambil keputusan berkaitan dengan penting atau tidak pentingnya pendidikan. Kondisi anak di desa balate ini sungguh memprihatinkan. di desa Balate, masih banyak anak-anak yang belum memperoleh pendidikan dan ada juga yang sudah memperoleh pendidikan dasar (SD), tetapi mereka kesulitan melanjutkan ke sekolah lanjutan. setiap orang tua hanya berpikiran bahwa anak-anak bisa pintar menulis dan membaca dan bisa membantubantu di kebun itu sudah lebih dari cukup. Kendala lain yang mereka hadapi ialah tidak adanya fasilitas dan sarana yang memadai serta tidak adanya dana yang cukup untuk melanjutkan sekolah. Umumnya, di daerah-daerah terpencil hanya terdapat Sekolah Dasar dan beberapa sudah terdapat sekolah menengah pertama. Sedangkan, sekolah lanjutan tingkat atas (setara SMA) biasanya ada di jln trans. Hal ini tentu semakin membuat masyarakat daerah terpencil malas untuk sekolah. Untuk itu, mereka lebih memilih untuk bekerja di ladang, berkebun, beternak,buruh yang dapat menghasilkan uang. Atas dasar uraian diatas penulis dalam penulisan ini mengambil judul “Realitas Pendidikan Anak pada Komunitas Adat Terpencil” (studi kasus pada Komunitas Adat Terpencil di Desa Balate Kecamatan Paguyaman).
Kajian Pustaka Konstruksi Sosial Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmanmelalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise inthe Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melaluitindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerussuatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai darigagasangagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertiankonstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yangsecara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabiladitelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008:13). Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika antara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. 5 Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik
alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Pendidikan dalam Perspektif Sosiologis Pengertian Pendidikan dalam Perspektif sosiologis Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan manusia dalam kelompok dan struktur sosialnya. Sosiologi mempelajari hubungan manusia dan kelompoknya dan keterkaitan susunan unit-unit masyarakat di suatu wilayah. Kadir, dkk. (2012) menjelaskan ciri-ciri sosiologi sebagai berikut: 1) Empiris, yaitu sosiologi diciptakan dari kenyataan yang terjadi di lapangan. 2) teoretis, yaitu peningkatan fase penciptaan yang menjadi bagian dari budaya yang bisa disimpan dan dapat diwariskan kepada generasi muda. 3) Komulatif, sebagai akibat dari penciptaan terus menerus yag menjadi konseuensi dari terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori-teori itu berkomulasi mengarah kepada teori yang lebih baik. 4) Nonetis, yaitu teori itu menceritakan yang sebenarnya terjadi di masyarakat beserta inividu-inividu di dalamnya. Dalam perspektif sosiologis, pendidikan adalah sebagai suatu gejala sosial. Pendidikan adalah setiap sistem budaya atau intruksi intelektual yang formal atau semiformal. Analisis sosiologi dalam pendidikan meliputi proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada tingkat nasional. Pendidikan dalan perspektif sosiologi dapat menghasilkan sebuah gambaran objektif tentang hubungan sosial yang menyusun pendidikan. Segala bentuk gagasan dan pengetahuan sosiologis untuk membedah tubuh pendidikan menjadi perlu untuk di bahas agar proses-proses pengajaran sesuai dengan kebutuhan bangsa. Komunitas Adat Terpencil (KAT) KAT merupakan sebuah kelompok sosial budaya yang secara geografis bertempat tinggal di daerah terpencil, terisolir dan sulit dijangkau. Kondisi demikian mengakibatkan terbatasnya akses terhadap dunia luar. Kedudukan ini menjadi salah satu faktor terbatasnya aksebilitas pelayanan sosial dasar, sehingga
mereka tertinggal perkembangannya dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencil serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik (Keppres Nomor 111 Tahun 1999). Sebagaimana komunitas lainnya, KAT juga mengalami berbagai masalah sosial dan bahkan lebih bervariasi dan lebih kompleks dilihat dari berbagai sudut pandang warga KAT pada umumnya bertempat tinggal jauh di pedalaman di tengah hutan belantara, di dataran tinggi atau pegunungan, di rawarawa, di pesisir pantai, di pulau-pulau terpencil, dan di daerah perbatasan dengan Negara tetangga. Secara geografis maupun sosial budaya habitat KAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, masih berkelana, menetap sementara, dan menetap. Dalam mempertahankan hidupnya, warga KAT umumnya mengandalkan sumber dan potensi alam dengan menggunakan penerapan teknologi sangat sederhana. Derasnya arus informasi yang disertai dengan kemajuan teknologi, secara lambat laun, kehidupan KAT juga makin tertinggal, bahkan terdesak hingga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. METODE PENELITIAN Metode penelitian kualitatif Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya suatu penelitian, terutama untuk mengumpulkan data. Sebab data yang diperoleh dalam suatu penelitian merupakan gambaran dari obyek penelitian. Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong dalam tizar (2009) yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lexy Moleong: 1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan dengan kenyataan ganda 2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. 3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubunganhubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Desa Balate Jaya Sebelumnya Desa BALATE JAYA adalah sebuah Dusun (Balate) yang dihuni oleh masyarakat yang terdiri dari dua suku yaitu Suku Gorontalo, Suku Bugis Makassar. Kedua suku ini berkembang pesat sehingga penduduk hari demi hari dan tahun demi tahun makin bertambah pesat. Dengan kepadatan penduduk berjumlah 936 jiwa yang terdata oleh pemerintah Desa Balate Jaya. Dengan Luas Wilayah pemukiman yang terhitung dengan Total 189,5 Ha. Maka harapan serta kebutuhan masyarakat untuk mempercepat pemeratan pembangunan yang ada di masyarakat terbentuklah sebuah Desa yang dengan diberi nama yaitu Desa Balate Jaya. Nama Desa Balate Jaya diambil dari satu sungai yang yang mengalir tepat pada batas Desa BALATE JAYA. Dan Limbatihu, Bukit Karya. Pada zaman dulu tahun seribu sembilan tiga puluhan dipinggir sungain itu ada pertemuan orang-orang tua dan pada zaman itu orang tua yang dari WONGGAHU, SARIPI dan LIMBATIHU. LO Tombango dalam bahasa Indonesia Adalah mengadakan musyawarah wilayah kekuatan mereka masingmasing, dimana sungai sebagai pagar adu kekuatan ( dalam bahasa Gorontalonya adalah Bala) dan apabila ada yang melewati sungai atau menyebrang itu artinya melanggar kesepakatan yang sudah disepakati dan ini akan mati. Dalam Bahasa Gorontalonya adalah Mate. Ini sesuai sumpah dan janji mereka bahwa dengn adanya sungai ini akan jadi batas wilayah sekaligus menjadi Sungai Balate Nama DESA Desa (Balate Jaya) dari sungai ini. Dan zaman dahulu kala bahwa sungai sebagai tempat peristirahatan orang-orang dalam perjalanan jauh ( Limbatihu. Bubaa, Lito, dan dari Wonggahu Saripi ). Disi mereka beristirahat (Sungai) sejenak sambil tidur dalam bahasa gorontalonya Potibalatapo/Balato, dan pinggir sungai ini ada sebuah gubuk/pondok yang jadi tempat persinggahan donggo motilatopo ngepee‟ (Istirahat) . Dan kalimat ini juga mendukung sungai ( Balato) yang menjadi Imbuhan Balate. Sehingga petua-petua dulu menamakan balate sampai menjadi terpepuler Balate dan akhir men jadi Balate Jaya. 4.1.2 Kondisi geografis Lokasi Penelitian Desa Balate merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Paguyaman dan terdapat 4 dusun yaitu Dusun Sakulati, Dusun Bukit Harapan, Dusun Limu, dan Dusun Balate. Desa Balate jaya terletak di permukaan air laut sekitar 9 Km2dengan luas Wilayah 1.400 Ha. Dengan perbatasan Desa sebagai berikut :
��Sebelah utara berbatasan dengan Desa Hulawa ��Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bukit Karya ��Sebelah barat berbatasan dengan Desa Saripi ��Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tenilo Faktor geografi yang di maksud antara lain mencakup aspek keadaan alam dan sumber daya alam (SDA) sehingga dapat berpengaruh besar terhadap pembangunan pendidikan. Pengaruh ini dapat bersifat menunjang dan dapat pula bersifat menghambat. Tersedianya SDA merupakan faktor yang menunjang pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Keadaan geografi yang tidak menguntungkan antara lain keadaan pemukiman penduduk yang berpencar-pencar dan terpencil merupakan kendala dalam upaya meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan. 4.1.3 Kondisi Demografi Berdasarkan undang-undang, pendidikan diperuntukan bagi seluruh masyarakat indonesia dan salah satu tujuannya adalah meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan penduduk secara maksimal. Dengan demikian, penduduk baik perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat merupakan sasaran kegiatan pembangunan pendidikan. Oleh karena itu, aspek-aspek kependudukan, dinamika penduduk dan masalah yang ditemui dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi pendidikan. Dengan demikian, aspek kependudukan perlu dipertimbangkan dalam pengembangan pendidikan. 4.1.3.1 Keadaan Penduduk Data penduduk di Desa Balate Jaya adalah 935 jiwa. Data jumlah penduduk desa Balate dalam kurung waktu satu tahun terakhir ini dapat di lihat dari tabel ini. Tabel 1. Data Penduduk Desa Balate NO
Penduduk
Jumlah
Keterangan
1
Laki - laki
477 Orang
-
2
Perempuan
458 Orang
-
Total 935 Orang
-
3
Kepala Keluarga
243 KK
-
4
Kepadatan Penduduk
0 per Km
-
Sumber Kantor Desa Balate Jaya (2015) Berdasarkan data kepedudukan desa Balate penyebarannya di masing – masing dusun, terlihat ada dua dusun yang penduduknya masih sangat minim, dengan perbandingan tersebut sangat dimungkinkan komunitas adat terpencil (KAT) yang sebelumnya tinggal dan hidup di atas gunung, dapat diarahkan untuk hidup menetap di bawah. Keadaan ini juga memberi peluang untuk proses pengembangan desa kedepannya agar lebih cepat maju dan berkembang untuk
memberi konstribusi pembangunan, dengan bertambahnya jumlah penduduk, karena jumlah penduduk itu ikut menjadi penentu sebagai modal pembangunan maupun pengambilan kebijakan pemerintah serta program-program berkelanjutan. 4.1.3.2 Data Penduduk Menurut Umur Dari data Penduduk menurut Umur di Desa Balate Jaya adalah 935. Data ini di lihat dari umur 11 bulan sampai 80 Tahun. Penduduk Desa Balate Jaya dalam kurung waktu satu tahun terakhir ini dapat di lihat dari tabel ini yaitu: Tabel 2. Data Penduduk Menurut Umur USIA
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
0-11 Bulan
13 Orang
13 Orang
1-10 Tahun
101 Orang
98 Orang
11-20 Tahun
127 Orang
99 Orang
21-30 Tahun
74 Orang
69 Orang
31-40 Tahun
60 Orang
63 Orang
41-50 Tahun
52 Orang
57 Orang
51-60 Tahun
31 Orang
29 Orang
61-70 Tahun
16 Orang
9 Orang
71-80 Tahun
3 Orang
5 Orang
Total
477 Orang
458 Orang
Sunber Kantor Desa Balate Jaya ( 2015 ) Dengan klasifikasi rincian pendudukan menurut umur, menjadi dasar bagi pemerintah desa untuk mengetahui tingkat populasi, produktifitas kerja yang tentunya berhubungan dengan angkatan kerja ( usia kerja ) atau non angkatan kerja atau lapangan kerja termaksud usia bayi, remaja, usia kawin, dan manula. Yang kesemuanya menjadi dasar informasi keseluruhan data jumlah penduduk yang mendiami Desa Balate Jaya. Berdasarkan data penduduk di atas bahwa penyebaran etnis di masing-masing dusun semakin meluas karena etnis di Desa Balate Jaya, tahun demi tahun semakin meningkat di lihat dari etnis Bugis bahwa etnis Bugis sudah banyak di Desa Balate itu disebabkan karena banyaknya tanah untuk pembangunan sehingga banyak etnis dari luar dan menetap di Desa Balate Jaya ini. Adapun tahun-tahun Kemarin Etnis Bugis yang memegang atau Menjadi Kepala desa Balate Jaya. 4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.2.1 Realitas Pendidikan Anak pada Komunitas Adat Terpencil Di desa Balate, masih banyak masyarakat yang belum memperoleh pendidikan dan ada juga yang sudah memperoleh pendidikan dasar (SD), tetapi mereka kesulitan melanjutkan ke sekolah lanjutan. Seperti yang di katakan oleh informan sebagai berikut :
“Hasil Wawancara dengan siswi SMP yang bernama Siska Hantua murid kelas 3 SMP tanggal 10 april 2015 ( saya suka ba lanjut skolah SMA, tapi skolah SMA nanti di jalan basar kasana baru dorang ti mama dengan ti papa tidak mau bakase lanjut dorang bilang tidak ada doy m’kase lanjut, dorang bilang so boleh itu, lagi apa yang mo cari. Yang penting ngana so skolah sampe SMP)”. Maksud dari Siska Hantua ini selaku murid kelas 3 SMP mengatakan bahwa saya suka melanjutkan sekolah ke tingkat SMA, tapi sekolah SMA berada di jalan trans dan orang tua saya tidak mau melanjutkan saya karena tidak ada biaya untuk melanjutkan, kata mereka sudah cukup pada tingkat SMP, apalagi yang dicari. Yang penting saya sudah sekolah sampe SMP. ( wawancara 10 april 2015 informan Siska Hantua ). Salah satu kelemahan sistem pendidikan di Indonesia belum dirumuskan pola, sistem dan mekanisme pendanaan pendidikan yang memadai. Seperti melihat realitas yang ada di lapangan dan juga sesuai hasil wawancara dari beberapa infoman tersebut masih banyak anak yang tidak menempuh pendidikan ataupun yang menempuh pendidikan tetapi tidak melanjutkan. Realitas keadaan anak di muka peta dunia ini masih belum menggembirakan. Nasib mereka belum seindah ungkapan verbal yang kerap kali memposisikan anak bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. 4.2.1.1 Eksternalisasi eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Realita sekarang Sebagian besar masyarakat terpencil di desa Balate yang usia wajib sekolah tetapi tidak bersekolah. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih kurang, orang tua anak lebih fokus untuk bekerja dan mencari uang, hal ini bedampak dengan kurangnya motivasi terhadap anak untuk menempuh pendidikan. Berikut ini dapat di sampaikan beberapa argument, pendapat, komentar, bahkan kritikan saran dari tokoh masyarakat maupun rakyat biasa di masyarakat KAT yang terangkum dalam wawancara. “hasil wawancara dengan Bapak Hamzah Harun pada tanggal 09 april pukul 09.00 di Kantor Desa Balate Jaya ( Di Desa Balate dari Tahun 2013 ada dua paud yang ada dan Alhamullilah dua PAUD ini berjalan dengan bagus dengan adanya paud ini anak-anak paud sudah mampu duduk di bangku kelas 1 yang ada di Balate, dan Alhamdullilah untuk 2013/2014 Allhamdullilah siswa dari SMP Negeri 7 yang ada di Desa
Balate Jaya Alhamdullilah mereka sebagian besar sudah berada di sekolah lanjutan atas atau SMA. Kalau Balate sih saya pikir masih banyak yang tidak sekolah karena terbenturnya di jarak antara sekolah dengan rumah, dan juga salah satu faktor pendukung bagi kami yang ada di desa balate jaya ini dan kami sudah suarakan di Dinas bahwa ini sangat berpengaruh sekali masalah jalan atau akses jalan, jalan yang sekarang yang tidak besahabat. Saya sendiri selaku Kepala Desa apalagi sudah bebicara masalah pendidikan desa kami ini merupakan desa terpencil dan mudah-mudahan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, Propinsi Pusat dan Kabupaten)”. Maksud Bapak Hamzah Harun selaku Kepala Desa Balate Jaya yaitu bahwa di Desa Balate dari Tahun 2013 ada dua Paud yang ada dan alhamdullilah dua paud ini berjalan dengan Lancar dengan adanya paud ini anak-anak paud sudah mampu duduk di Bangku kelas satu yang ada di Balate, dan alhamdullilah untuk 2013/2014 siswa dari SMP Negeri 07 yang ada di Desa Balate Jaya mereka sebagian besar sudah berada di Sekolah Lanjutan Atas atau SMA. Jika Balate di pikir, masih banyak yang tidak sekolah karena terbenturnya di jarak antara sekolah dengan rumah, dan juga salah satu faktor pendukung bagi kami yang ada di Desa Balate Jaya ini dan kami sudah suarakan di Dinas bahwa ini sangat berpengaruh sekali masalah jalan atau akses jalan, jalan yang sekarang yang tidak mendukung. Saya selaku Kepala Desa apalagi sudah berbicara masalah pendidikan Desa kami ini merupakan Desa Terpencil dan Mudah-mudahan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, Provinsi Pusat dan Kabupaten.( wawancara tanggal 09-April-2015 informan Hamzah Harun ). Anak merupakan bagian dari masyarakat yang kedudukannya sebagai calon generasi penerus perjuangan pendahulunya. Untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang kuat dan maju, pendidikan anak menjadi penting sebagai fondasi awal dalam pembentukan generasi yang bekualitas dan daya saing tinggi. Secara mendasar hendaknya diimplementasikan dengan memberikan dasar-dasar pendidikan dengan menyekolahkan anak dengan usia dini dan memberikan nilainilai etika kepada anak, yang hal ini sangat bermanfaat bagi pertumbuhan mentalitas anak. 4.2.1.2 Objektivasi objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. “ Hasil Wawancara dengan salah satu murid kelas enam SDN 19 yang bernama Piyan Mohune tanggal 09-04-2015 jam 09.00 ( mengatakan
bahwa tida samua torang ini mo kase lanjut skolah, ada yang somo berenti ada olo yang mo kase lajut di SMP tapi kalo saya tida mo kase lanjut soalnya saya pe rumah jawo skali baru tida ada uang jajan Cuma ba bawa aer minum, kadang tida mo dapa pigi di skolah soalnya mo ba bantu orang tua bakarja kobong )”. Maksud dari Piyan Mohune selaku murid SDN 19 yang ada di desa Balate Kecamatan Paguyaman mengatakan bahwa tidak semua kita ini melanjutkan sekolah, ada yang akan berhenti ada juga melanjutkan di SMP tapi saya tidak melanjutkan karena rumah saya jauh dari sekolah dan juga tidak ada uang jajan hanya bawa air minum, kadang tidak akan pergi ke sekolah karena membantu orang tua bekerja di kebun. ( wawancara 0904-2015 informan Piyan Mohune ). Dari hasil Penelitian di lapangan bahwa masyarakat terpencil yang ada di Desa Balate banyak yang tidak menempuh pendidikan, selanjutnya ada lagi yang menempuh pendidikan tetapi hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD) kemudian tidak melanjutkan lagi ke tingkat atas. Pendidikan anak di desa Balate tergolong rendah, dapat di katakan bahwa kondisi pendidikan anak di Balate masih memprrihatinkan. Di tandai dengan besarnya jumlah penduduk yang tidak sekolah, tidak tamat SD serta hanya tamat SD. Ini berarti bahwa sebagian penduduk tidak mengenyam pendidikan pada jenjang sekolah dasar (SD). 4.2.1.3 Internalisasi Internalisasi adalah Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. “ hasil wawancara dengan bapak Samin Mohune pada Tanggal 09 April 2015 jam 13.00 ( saya punya ini kalo ba kase skolah anak cuma sampe SD,yang penting so tau babaca, batulis dengan ba hitung uang baru itu somo bakarja kobong ato ba ambe gaji pa orang supaya mo dapa doy. Kalo m’kase lanjut sapa yang ba bantu di kobong. Torang ini cuman harihari di kobong jarang skali m’turun di bawah, tidak ada doy mo bili-bili akan, di sini torang mo makan samua yang torang jaga tanam dari pada mo bili tidak ada doy, apalagi kalo somo kase skolah anak)”. Maksud dari Bapak Samin Mohune selaku masyarakat Balate yang anaknya sekolah hanya sampai SD mengatakan bahwa saya ini menyekolahkan anak hanya sampai SD, yang peting sudah tau membaca,
menulis dan menghitung uang, setelah itu mereka akan bekerja kebun atau mengambil gaji kepada orang lain agar mendapatkan uang. Jika dilanjutkan, siapa yang akan membantu bekerja di kebun, kita ini setiap hari di kebun jarang sekali kita turun ke bawah, tidak mempunyai uang untuk dibelanjakan, di sini kita makan semua yang kita tanam daripada harus beli dan tidak ada uang. Apalagi jika menyekolahkan anak.( wawancara 02-April 2015 informan Samin Mohune ). pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak – anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti kita lihat sekarang banyak anak yang tidak memiliki pendidikan. 4.2.2 Pandangan Masyarakat di desa Balate akan Pentingnya Pendidikan Pandangan atau tanggapan masyarakat terpencil di Desa Balate Kecamatan Paguyaman terhadap pentingnya pendidikan itu sendiri masih kurang, itu terlihat dari kepeduliannya untuk menyekolahkan anak belum menjadi suatu prioritas utama. Cara pandang inilah yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku masyarakat setempat dalam mengambil keputusan berkaitan dengan penting atau tidak pentingnya pendidikan. Seperti yang di katakan oleh Informan sebagai berikut : “Lain lagi di katakan Bapak Antena Yonu pada Tanggal 01 April 2015 Jam 10.00 ( saya ini tidak ada waktu bakase skolah anak, saya juga tidak ada uang mo kase skolah anak, torang p’anak cuman torang kase balajar bapajeko,batanam daripada mo skolah. Tidak ada depe guna olo ba skolah tetap dorang cuman jadi macam torang ba karja kobong)”. Maksud dari Bapak Antena Yonu salah satu masyarakat Balate yang anaknya tidak sekolah bahwa saya ini tidak ada waktu untuk menyekolahkan Anak, saya juga tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anak, anak kami hanya diajarkan membajak dan menanam daripada harus sekolah, tidak berguna juga untuk sekolah yang akhirnya tetap seperti kita yang bekerja kebun. ( wawancara 01 April 2015 Informan Bapak Antena Yonu). Umumnya, di daerah-daerah terpencil hanya terdapat Sekolah Dasar dan beberapa sudah terdapat sekolah menengah pertama tetapi masih satu atap. Sedangkan, sekolah lanjutan tingkat atas (setara SMA) biasanya ada di jalan trans dan sangat sulit keluar masuk apalagi pada musim hujan jalan tidak bisa dilewati. Hal ini tentu semakin membuat masyarakat daerah terpencil malas untuk menyekolahkan anak. Untuk itu, mereka lebih banyak memanggil anaknya berkebun daripada harus sekolah. 4.2.3 Faktor – Faktor rendahnya Pendidikan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya pendidikan di desa Balate jaya. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain: 4.2.3.1Faktor kesadaran akan pentingnya pendidikan Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang sangat rendah mengakibatkan banyaknya anak tidak sempat mengenyam pendidikan, cara berfikir masyarakat terpencil di desa balate yang lebih memprioritaskan untuk bekerja demi menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak terlalu memperhatikan pendidikan anak. Selain itu, didukung oleh anak-anak juga yang acuh terhadap yang namanya pendidikan.
“Hasil wawancara dengan bapak Bahtiar Potute pada tanggal 10-April 2015 jam 15.00 ( saya ini mana-mana, mo skolah saya pe anak atau tidak saya tidak pusing banyak karja yang m’bikin. Anak-anak mo skolah atau tidak itu terserah dorang torang tidak ba paksa, saya pe anak-anak ini so baku iko dengan anak –anak tidak skolah jadi dia jarang skali mo skolah karna so baku iko dengan taman-taman yang so ba minum. So lala kita ba kase inga pa dia. Jadi terserah pa dia. Anak sekarang so tidak boleh mo atur banyak depe baku banta, ini saja kita depe orang tua dia so baku banta akan. Apalagi kalo so orang lain).” Maksud dari Bapak Bahtiar Potute selaku masyarakat Desa Balate yang anaknya Acuh terhadap Pendidikan dia mengatakan bahwa saya ini terserah, anak saya sekolah atau tidak saya tidak perduli sebab banyak pekerjaan yang saya kerjakan. Anak – anak sekolah itu terserah mereka, kita tidak akan memaksakan. Anak saya ini sudah bergaul dengan anak anak yang tidak berpendidikan sehingga dia ikut-ikutan dan jarang sekali masuk sekolah karena sudah mengikuti jejak teman- temannya yang tidak memiliki pendidikan jadi kebiasaan mereka mabuk-mabukan. Saya sendiri saja sudah capek mengingatkan, jadi terserah dia saja. Anak sekarang sudah susah diatur bisanya hanya membanta. Apalagi jika orang lain yang menegurnya. ( Wawancara 10 April 2015 Informan Bahtiar Potute ). Kurangnya motivasi dari orang tua yang memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan terhadap anak menjadikan pendidikan tidak terlalu dipandang penting oleh anak. (masih kurang). Seperti gambar di atas bahwa untuk sekolah saja anak harus di beri hadiah dari orang tua maupun guru agar dia bisa sekolah dengan baik. Jika tidak anak sendiri tidak mau bersekolah, sehingga orang tua pun tak mau memberikan motivasi kepada anaknya sendiri. 4.2.3.2Faktor Ekonomi Faktor ekonomi masyarakat juga menjadi salah satu faktor penyebab anak putus sekolah. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar adalah petani, yang pada umumnya merupakan petani kebun. Hasil panen mereka berupa jagung, dan cacao. Pendapatan masyarakat petani pada umunya setiap panen tergantung pada
hasil panennya. Pendapatan yang diperoleh terkadang tidak sebanding dengan yang dikeluarkan selama pengolahan maupun perawatan, pemupukan sampai panen. “Hasil Wawancara dengan Ibu Anico Tomayahu pada Tanggal 12-042015 jam 12.00 ( torang mo makan saja susah apalagi mo kase skola anak, suami saya ba kobong depe penghasilan tida cukup mo kase skola anak, torang m’makan hari-hari saja susah. Torang b’panen kamari cuman m’abis di utang itu pupuk, milu, atau apa. Cuman ada utang kalo m’bili langsung mo dapa dari mana uang )”. Maksud dari Ibu Anico Tomayahu selaku masyarakat Desa Balate mengatakan bahwa Untuk kita makan saja susah apalagi untuk menyekolahkan anak, suami saya berkebun pengahasilannya tidak cukup untuk menyekolahkan anak, kita makan sehari-hari saja susah. Jika panen kita uang hanya membayar utang, beli pupuk, jagung dan obat rumput. Itupun yang lain hanya utang apabila di beli langsung uang kita tidak akan cukup. ( Wawancara tanggal 12-04-2015, Informan Anico Tomayahu ). Dengan pendapatan yang demikian tentunya sangat mempengaruhi kehidupan keluarga apalagi bagi yang memilki jumlah anggota keluarga (anak) yang banyak, maka secara langsung kebutuhan ekonomi keluarga akan cukup besar pula. Penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Pada kondisi ini orang tua harus memilih jalan untuk memberhentikan anknya sekolah dan menyuruhnya membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. 4.2.3.3Faktor Lingkungan Lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi anak putus sekolah. Keadaan lingkungan yang cukup parah dikarenakan banyaknya anak putus sekolah yang secara kebetulan usia mereka rata-rata hampir sama sehingga sangat mudah saling terpengaruhi perkembangan seorang anak, karena mereka disibukkan oleh hal-halyang tidak bermanfaant. “Hasil wawancara dengan Bapak Jefrin Maliki pada tanggal 13-04-2015 jam 15.00 ( saya pe anak yang masih SD so baku iko dengan taman-taman yang tidak skolah, dorang baku kumpul cuman barmain PS ( Playstasion ) di rumah lo orang. so tidak ba skolah karna so ketagihan bamain PS ( Playstasion )apalagi depe taman-taman so tidak skolah depe karja cuman barmain. Jadi saya pe anak so baku iko. Apalagi kalau so abis barmain dorang somo ba kumpul botol bekas orang ba minum akan, baru mo jual, samua yang dorang mo karja supaya mo dapa uang dorang mo barmain akan PS. Samua cara dorang mo beken supaya mo dapa uang banyak)”.
Maksud dari Bapak Jefrin Maliki selaku masyarakat dari Desa Balate dan juga Ayah dari anak yang Tidak sekolah mengatakan bahwa anak saya yang masih sekolah SD sudah ikut-ikutan dengan teman-temannya yang tidak sekolah, mereka berkumpul hanya untuk bermain PS ( Playstasion ) di rumahnya warga. Sudah tidak bersekolah karena sudah ketagihan bermain-PS ( Playstasion ) apalagi pengaruh teman-teman yang tidak sekolah, yang hanya kerjanya bermain. Jadi, anak saya ikut-ikutan, apalagi jika sudah tak bermain mereka akan pergi mencari barang yang akan dijual seperti botol bekas minuman alkohol, setelah itu akan dijual. Semua yang dapat menghasilkan uang akan dikerjakan demi mendapatkan uang untuk bermain PS semua cara akan dilakukan mereka. ( Wawancara pada tanggal 13-04-2015, informan Jefrin Maliki ). Dengan adanya pergaulan anak yang masih sekolah dengan orang yang tidak sekolah lagi, maka akan mendorong pribadi anak untuk tidak sekolah lagi baik untuk mencari uang maupun untuk aktivitas lainnya. Lingkungan pergaulan yang juga mempengaruhi anak untuk tidak melanjutkan sekolah salah satunya adalah anak yang sering bergaul dengan anak-anak yang tidak sekolah yang pikirannya bagaimana cara mendapatkan uang, hal ini akan mempengaruhi perilaku anak untuk ikut dalam dunia kerja. 4.2.3.4Faktor Jarak antara Rumah dan Sekolah Faktor lain yang mempengaruhi anak putus sekolah adalah jarak antara rumah dan sekolah. Jarak yang begitu jauh dan keadaan jalan yang tidak memungkinkan membuat anak tidak ingin bersekolah atau melanjutkan sekolahnya, “Hasil wawancara dengan Bapak Ine Saba pada tanggal 14-04-2015 jam 16.00( faktor anak saya tida skolah atau malas skola karna jarak skolah dengan rumah jawo skali tidak ada motor mo nae akan dorang cuman ba jalan kaki, kadang berenti kalo so lala mo pigi pagi nanti jam barapa bagitu mo sampe dan so mulai balajar, apalagi kalo so musim ujan jalan so tidak gaga mo ba jalan akan karna so ba pece)”. Maksud dari bapak Ine Saba Selaku masyarakat Desa Balate mengatakan bahwa penyebab anak saya tidak sekolah atau malas bersekolah karena jarak antara sekolah dengan rumah sangat jauh sekali apalagi tidak ada kenderaan sama sekali, mereka hanya bisa jalan kaki, kadang jika mereka capek, mereka akan berhenti dan akan sampai di sekolah sudah mulai mata pelajaran pertama. Apalagi jika musim hujan jalan tidak bisa di lalui karena jalan sudah tidak bisa dilewati. ( informasi pada tanggal 14-042015, Informan Saba Selaku ). Sarana pendidikan yang ada di desa balate masih sangat terbatas yaitu hanya satu buah Sekolah Dasar (SD), dan satu buah Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) yang masih satu atap, itupun jaraknya cukup jauh dari rumah rumah masyarakat. Selanjutnya, untuk Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang memang belum ada di desa balate. 4.2.4Komunitas Adat Terpencil di Desa Balate Masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) identik dengan keterisoliran, dan keterisoliran salah satu penyebab masyarakat dalam kemiskinan. Akibat dari keterisoliranmasyarakat jauh dari fasilitas pelayanan pemerintah, baik dari sudut ekonomi , pendidikan,kesehatan dan pembangunan infrastruktur serta interaksi sosial.Masalah kemiskinan ini dikatakan sebagai suatu problema karena masalah kemiskinanmenuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi danmenyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebutsebagai upaya mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan,karena masalah kemiskinan perlu di dasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itusendiri dan adanya pengakuan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dasarmasyarakat miskin, yaitu hak sosial, ekonomi, dan politik. “Hasil wawancara dengan Bapak Siko pada tanggal 14-04-2015 jam 18.00( torang perumah cuman bagini, ini rumah ada beken tapi depe bahan-bahan tidak bili, Cuma torang gunakan kayu yang di kobong, baru bagimana torang pe cara ba beken rumah, yang penting torang bisa mo tidor akan )”. Maksud dari bapak Siko Selaku masyarakat Desa Balate mengatakan bahwa. Rumah kita hanya begini, rumah ini di buat tetapi bahan-bahannya tidak di beli hanya menfaatkan kayu yang di kebun kita, tinggal bagaimana cara kita membuat rumah, yang penting kita bisa tidur. ( informasi pada tanggal 14-04-2015, Informan Siko). Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu dari 22 jenis masalahkesejahteraan sosial yang menjadi sasaran garapan departemen sosial melalui programpemberdayaan sosial. Kriteria yang digunakan adalah hidup terpencil, hidupnya masih terikatpada sumber daya alam sekitar, habitatnya terasing dan terbelakang, dengan kriteria tersebutdapat dipastikan mereka termasuk keluarga fakir miskin serta memiliki tempat tinggal yangtidak layak huni dan juga adanya perempuan rawan sosial-ekonomi. KAT di Desa Balate Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo adalah masyarakatnya sebelumnya, tinggal di atas Gunung dan tinggal di sebuah Gubuk yang mereka tempati, ini layaknya seperti rumah yang semua aktifitas mulai dari melahirkan, membesarkan anak, makan, tidur, memasak, menikah dan proses produksipun dilakukan. PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Realitas Pendidikan sekarang Sebagian besar masyarakat terpencil di desa Balate yang usia wajib sekolah tetapi tidak bersekolah. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih kurang, orang tua anak lebih fokus untuk bekerja dan mencari uang, hal ini bedampak dengan kurangnya motivasi terhadap anak untuk menempuh pendidikan. Pandangan masyarakat terpencil di desa balate terhadap pendidikan belum sepenuhnya baik, itu terlihat dari tingkat kepeduliannya terhadap pendidikan anak yang masih kurang. Masih banyaknya terdapat anak-anak yang tidak menempuh pendidikan. Pola pikir masyarakat di desa balate yang menjadikan pendidikan bukan sebagai prioritas, masyarakat desa balate yang lebih menjadikan bekerja untuk menghasilkan uang adalah yang paling penting. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terpencil di desa balate karena di latar belakangi oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan itu masih kurang, serta ketidakmampuan ekonomi keluarga, akibat pendidikan yang dirasakan sangat mahal. Disamping itu, faktor lain yang menyebabkan anak-anak tidak menempuh pendidikan adalah faktor lingkungan, dan jarak antara rumah ke sekolah. Saran Beberapa saran yang akan penulis kemukakan sehubungan dengan hasil penelitian dan pembahasan sebagai berikut: Diharapkan kepada orang tua khusunya di desa balate yang mempunyai anak usia sekolah agar selalu diberikan pemahaman akan pentingnya suatu pendidikan. Motivasi dari orang tua sangat diperlukan untuk merubah cara berfikir anak, bagi orang tua yang mempunyai anak diusia sekolah agar selalu diberikan motivasi baik berupa dorongan moril dan materil agar bisa menempuh pendidikan bahkan sampai perguruan tinggi. Bapak dan Ibu khususnya masyarakat desa balate sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap anaknya, kiranya perlu berusaha lebih giat untuk meningkatkan pendapatanya masing-masing, agar dapat membiayai pendidikan anak-anaknya karena pendidikan sangat penting untuk kehidupan mereka ke depan. Diharapkan kepada pemerintah baik di kecamatan, kabupaten bahkan pemerintah pusat, kiranya perlu memperhatikan secara seksama tentang keadaan kehidupan masyarakat ekonomi menengah kebawah, khususnya dalam menetapkan kebijakan yang tidak menyusahkan masyarakat banyak, disamping itu pemerintah perlu juga memperhatikan keaadaan sarana dan prasarana di desa Balate kecamatan paguyaman seperti keadaan jalan yang rusak parah dan menjadikan akses menuju balate sangat susah di tempuh.
Daftar Pustaka Buku M.Fadly, Muhammad, implementasi kebijakan pemberdayaan komunitas adat terpencil di kecamatan bua ponrang kabupaten luwu makasar. Skripsi Tahun 2012. Departemen Sosial RI, Direktorat Jendera Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan komunitas Adat Terpencil Tahun I, II, dan III. 2009. Penguatan Pendamping Sosial Komunitas Adat Terpencil. Yesmil Anwar, 2013 Sosiologi untuk Universitas (Bandung : PT Refika Aditama,) Batubara, Muhyi, 2014 Sosiologi Pendidikan. Cet.I.(Jakarta; Ciputat Press,) H. Abdullah Idi, 2013 Sosiologi pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Riduwan, 2013 Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian (Cet.5. Bandung: Alfabeta ) Sugiyono 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung: Alfabeta. Anwar dan Ahmad, Arsyad, 2009 Pendidikan Anak Dini Usia, Bandung: Alfabeta, Gunawan, Ary H. 2000 Sosiologi Pendidikan. Cet.I. Jakarta: Renikacipta. Jurnal Peter L. Berger (2008), konstruksi sosial (social construction), Kajian Pustaka, Jurnal. Departemen Sosial RI, Direktorat Jendera Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. jurnalkomunitas Adat Terpencil Tahun I, II, dan III. 2009. Penguatan Pendamping Sosial Komunitas Adat Terpencil. jurnal Muhammad Isnaini, Konsep Pendidikan Anak Dalam Perspektif Para Ahli Pendidikan Islam Dalam Barat ( Analisis Komparasi) jurnal Effendi, Djohan “Pluralisme Realitas Sosial dan Hubungan Antaragama” dalam Mursyid Ali (Editor), Pluralitas Realitas Sosial dan Hubungan Antaragama. Jakarta: Balitbang Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2000 jurnal. Pendidikan, Kurikulum Dan Masyarakat : Satu Integrasi Akhmal Annas Hasmori, Hussin Sarju, Ismail Sabri Norihan Rohana Hamzah & Muhammad Sukri Saud² journal of
Edupres, Volume 1 September 2011, Jurnal Perempuan, “ Perempuan dan anak di Wilayah Tertinggal”, Mei 2008. Hayanto, Pendidikan Karakter Menurut KI Hadjar Dewantara, Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY, Jurnal Skripsi M.Fadly, Muhammad, implementasi kebijakanpemberdayaan komunitas adat terpencil di kecamatan bua ponrang kabupaten luwu makasar. Skripsi Tahun 2012. Muh Imran, Pendidikan Masyarakat Terpencil di usun Tompu Desa Loru Kecamatan Sigi Biromaru ( E-Jurnal GEO FKIP UNTAD,2014) skripsi. Sri Wahyuni, Muhammad yusuf, Perempuan Miskin dalam Keterrisolasinya studi Perempuan Komunitas Adat Terpencil Suku Laut ( Universitas maritim, 2012)