AKSES DAN KESEMPATAN PENDIDIKAN ANAK DI DAERAH TERPENCIL (Pendekatan Fenomenologi di Masyarakat Kampong Bali dan Paya Kerbo Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat) Sukiati1 Abstrak This research is to explore the children accessibility for education in Kampong Bali dan Paya Kerbo in Kecamatan Selesai Langkat; to find out the factors of hindurance of the children accessibility for education, and to explore the hope of children towards their future education. This study is using phenomenological approach. By using this, data is collected by interview and using snowball sampling, and analyzed. It is generally found that the children education in Kampong Bali and Paya Kerbo is hindered for distance and economic factors. Specifically, children are lack of motivation and information. Education accessibility for people especially children is not only formal school but also informal and non formal school. In fact, education could be from school and from non formal environment. Another hindurance factors for children to have education accessibility in Kampong Bali and Paya Kerbo is transportation to access the school, for the school is far and the bad roads. Term Kunci: Akses Pendidikan, Kesempatan Pendidikan
A. Pendahuluan Akses dan kesempatan pendidikan adalah salah satu hal yang masih menjadi problem besar bagi pemerataan pendidikan masyarakat Indonesia khususnya bagi anak-anak usia sekolah. Tampak ada kesenjangan di bidang pendidikan. Di satu sisi tedapat pendidikan yang sangat berkualitas dan fasilitasnya sangat lengkap namun mahal, di lain sisi terdapat sekolah swasta di daerah terpencil yang membebaskan siswanya dari biaya apapun namun dengan fasilitas seadanya. Kesenjangan ini kemudian ditambah lagi dengan faktor-faktor lain misalnya faktor lingkungan, faktor orang tua dan faktor budaya - yang tidak mendukung akses anak untuk mendapatkan pendidikan. Akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia secara umum juga dipengaruhi oleh jarak tempuh untuk bersekolah, khususnya bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil. Sekolah umumnya dibangun di kota-kota dan di pusat keramaian sehingga banyak anak-anak yang tinggal di daerah terpencil harus menempuh jarak yang jauh untuk bersekolah. Paya Kerbo Kecamatan Selesai dan Kampong Bali terletak lebih kurang 20 km dari kecamatan - memiliki geografi yang berbukit dan beberapa dusunnya dipisahkan oleh Sungai 1 Sukiati adalah staf pengajar di Fakultas Syariah UIN Sumatera Utara. Mengasuh mata kuliah ‘Metodologi Penelitian, Sukiati telah banyak terlibat dalam berbagai jenis penelitian baik dilaksanakan secara individu, maupun kelompok, baik dana mandiri maupun dari kompetisi. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Syari’ah IAINSU (sebelum menjadi UIN SU), S2 di Islamic Studies Mcill University Montreal Canada, dan S3 atau Program Doctor di IAIN SU dalam bidang Hukum Islam.
Wampu – dapat dikategorikan sebagai desa terpencil. Lokasi menuju ke desa ini harus menyeberangi sungai Wampu dengan menggunakan ‘géték’, sebuah alat penyeberangan sungai yang ditarik dengan tali baja, dan menapaki bukit-bukit. Daerah ini hijau dengan perkebunan sawit dan perkebunan karet. Perkebunan-perkebunan adalah milik PTP Batu Mandi, PT. Gergas dan milik pengusaha dari luar daerah. Penduduk secara umum menjadi buruh di perkebunan tersebut dan hanya sedikit penduduk yang memiliki lahan sendiri yang tidak begitu luas. Sulitnya Medan menuju ke lokasi menjadikan daerah ini kurang tersentuh modernitas dan pembangunan termasuk pembangunan gedung-gedung pendidikan. Pada umumnya, pembangunan gedung-gedung Sekolah terdapat di Kota kecamatan atau di desa-desa dekat dengan Kecamatan. Jadi bagi mereka yang akan bersekolah ke kota kecamatan harus pergi pagi-pagi sekali dan menyeberang sungai karena jauhnya letak sekolah dari daerah mereka. Bagi mereka yang memiliki kendaraan (kereta/Honda) sendiri tentu saja lebih mudah dan lebih memungkinkan mereka melanjutkan sekolah ke Kota kecamatan, namun bagi mereka yang tidak memiliki biaya sekolah dan kendaraan sendiri tentu saja sekolah akan terasa sangat sulit dan sangat mahal. Sekarang ini telah tersedia transportasi umum dari kendaraan pribadi yang menjadi angkutan umum, berangkat dua kali seminggu ke kota kecamatan dengan ongkos Rp. 10.000 – 25.000 sekali jalan. Jelas, hal ini tentu saja belum mengatasi persoalan rendahnya akses pendidikan anak di wilayah tersebut. Rendahnya akses dan kesempatan pendidikan anak di sini tampak dari data yang menunjukkan Paya Kerbo dan Kampong Bali memiliki banyak jumlah anak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah. Berdasarkan data statistik desa-desa tahun 2009 jumlah total penduduk lebih kurang 2476 jiwa (usia 0-59) dengan jumlah usia sekolah 1.007 ternyata sejumlah 706 tidak bersekolah, anak putus sekolah (drop out) dan anak tidak melanjutkan sekolah. Dari data ini tampak bahwa jumlah anak yang tidak bersekolah dan tidak melanjutkan sekolah justru paling besar. Gedung sekolah sendiri bukan tidak tersedia sama sekali. Dapat dicatat bahwa di Paya Kerbo dan Kampong Bali terdapat satu sekolah SD dan satu SLTP, tidak ada TK dan tidak ada SLTA. Paling tidak untuk memenuhi program wajib Belajar (Wajar) 9 tahun telah tersedia sarana dan prasarananya, namun hal ini belum menjadi jawaban bagi persoalan pendidikan anak – paling tidak untuk Wajar 9 tahun - di Kampong Bali dan Paya Kerbo Kecamatan Selesai, Langkat. SLTP sendiri – yang baru berdiri dua tahun belakangan – diakses masyarakat namun masih dalam persentase yang kecil. Tampak bahwa rendahnya akses pendidikan anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fasilitas gedung semata, namun ada juga faktor budaya, lingkungan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Anak-anak yang menjelang besar sambil berSekolah Dasar membantu orang tuanya menggembala ternak – bagi yang punya – atau ‘ndérés’ pohon karet di perkebunan. Setelah tamat SD atau belum tamat namun dianggap dapat bekerja mandiri mereka bekerja untuk mendapat penghasilan sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka dan sekaligus mengurangi beban orang tua. Belum lagi persoalan kualitas pendidikan yang ada dipengaruhi oleh kualitas guru dan fasilitas pembelajaran. Lokasi yang terpencil dan sulit dijangkau menyebabkan guru-guru
yang berasal dari luar daerah juga sering mengundurkan diri, sementara sumber daya guru dari daerah setempat belum tersedia, kalaupun ada yang sudah berhasil menjadi guru, mereka lebih memilih mengabdi di luar daerahnya. Fasilitas sekolah yang apa adanya juga menambah problem bagi pendidikan anak di daerah ini. Kenyataan di atas menjadi satu hal yang menarik dan penting diteliti. Menariknya keadaan di atas untuk diteliti adalah bahwa pada masa modern seperti dewasa ini keadaan pendidikan di Indonesia masih saja berwajah lama, sehingga penting diketahui apa yang menjadi permasalahan mendasar dalam problem pendidikan anak di Indonesia khususnya di daerah terpencil. Keadaan ini juga sangat penting diteliti untuk menemukan faktor-faktor penyebab permasalahan pendidikan berupa rendahnya akses dan kesempatan pendidikan di daerah tersebut dan faktor-faktor lain yang bersifat lebih mengakar. Apalagi, daerah ini adalah sebagian kecil dari potret daerah terpencil yang terdapat banyak di Indonesia, sehingga hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi satu alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi persoalan pendidikan anak di negeri ini, paling tidak temuan penelitian ini akan memberikan signifikansi bagi pihak-pihak terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan pengalaman anak dalam mengakses pendidikan di Kampong Bali dan Paya Kerbo. Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui akses pendidikan anak di Kampong Bali dan Paya Kerbo 2. Untuk mengetahui faktor penghalang bagi anak untuk mendapatkan akses ke dunia pendidikan di Kampong Bali dan Paya Kerbo. 3. Untuk mengetahui harapan anak dan orang tua terhadap dunia pendidikan di Kampong Bali dan Paya Kerbo. B. Kajian Teori Akses menurut kamus adalah jalan masuk, mengakses berarti membuat jalan masuk atau memungkinkan masuk dan terlibat pada sesuatu. Akses dalam istilah komputer dapat diartikan sebagai pencapaian berkas di komputer untuk penulisan atau pencapaian data. 2 Sedangkan kesempatan adalah ketersediaan peluang, keluasan, ataupun waktu untuk terlibat pada sesuatu.3 Untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan setiap daerah memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, generasi yang mempunyai tingkat pendidikan yang memadai serta kemampuan yang cukup untuk menunjang proses pembangunan di daerah. Demi tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas tersebut diperlukan upaya-upaya untuk mempermudah akses pendidikan. Terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan yang terjadi di suatu daerah tidak hanya berhubungan dengan pelaku pendidikan semata-mata. Kesenjangan itu juga merupakan cerminan dari ketidak-terpenuhinya aksesibilitas fisik dan non fisik. Artinya, kesenjangan kualitas pendidikan juga dengan sendirinya bermakna kesenjangan terhadap akses pendidikan.
2 3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 22. Ibid., hal. 1030.
Accessibility pendidikan masih merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Pemenuhan akses fisik berupa ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan yang memadai mutlak dilakukan di saat kita berupaya untuk pemerataan mutu pendidikan. Disamping itu pemenuhan akses non fisik yang menunjang pembangunan pendidikan tidak kalah pentingnya, seperti upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi guru. Paradoks, jika sebuah sekolah kecil di desa terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai, dan gedung sekolah yang tidak layak untuk dilaksanakan proses belajar mengajar serta guru yang tidak pernah di upgrade, dituntut untuk meningkatkan mutu sejajar dengan daerah lainnya yang lebih maju. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.4 Pada rumusan ini terkandung empat hal yang perlu digaris bawahi dan mendapat penjelasan lebih lanjut. Dengan “usaha sadar” dimaksudkan, bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan rencana yang matang, mantap, jelas, lengkap, menyeluruh, berdasarkan pemikiran rasionalobjektif. Pendidikan tidak diselenggarakan secara tak sengaja, atau bersifat insidental dan tanpa rancangan. Di Indonesia dikenal tiga jenis pendidikan yaitu: a. Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. b. Pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. c. Pendidikan nonformal yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. 1. Pendidikan Anak di Daerah Terpencil Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.5 Daerah terpencil masih memiliki banyak potensi sosial budaya pada satu sisi tetapi masih kurang mendapat perhatian isu modern khususnya dalam persoalan ekonomi dan pendidikan. Daerah-daerah terpencil di negara berkembang seperti Indonesia sering kali mengalami ketertinggalan akses dan kesempatan dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Akses dan kesempatan pendidikan di desa terpencil ini semakin kompleks ketika dilihat dari 4 5
UU R.I. No. 2 Tahun 1989, Bab I, Pasal 1. PP. No.57 Tahun 2005.
berbagai pendekatan. Adanya unsur budaya yang mempengaruhi pola pikir masyarakat, adanya pengaruh modernitas yang serba tanggung serta isu laki-laki perempuan - dari pendekatan gender - menjadikan persoalan akses pendidikan di desa terpencil semakin membutuhkan banyak perhatian. Pengaruh modernitas juga mempengaruhi pandangan orang tua tentang tingkat pendidikan anak baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Ada kecenderungan bahwa orang tua mendahulukan anak laki-laki dari pada anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Salah satu alasannya adalah karena letaknya sangat jauh dari rumah ke lokasi sekolah mereka.6 Persoalan-persoalan di daerah terpencil perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dalam merumuskan perencanaan pendidikan. Paling tidak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sistem pendidikan perlunya kerjasama pemerintah dengan masyarakat, pendidik dan warga belajar.7 Dengan kerjasama ini maka akses pendidikan anak di suatu daerah dapat dipikirkan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pendidikan yang dirancang secara bersama dengan masyarakat juga memungkinkan suatu sistem pendidikan yang tidak hanya berbasis kepada lembaga atau institusi sekolah tetapi juga memungkinkan suatu rancangan pendidikan yang berbasis masyarakat. 8 Dengan demikian ketersediaan akan akses pendidikan lebih banyak dan kesempatan terhadap pendidikan anak di daerah atau desa-desa terpencil semakin terbuka luas. ‘Education for All atau Pendidikan untuk semua’ telah digerakkan lebih kurang sejak 30 tahun yang lalu. Sejak itu telah dirasakan pentingnya kebutuhan untuk melakukan tindakan bersama dalam upaya memperbaiki pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif. Namun Pendidikan di Indonesia masih belum dapat dinikmati oleh semua, khususnya dalam pendidikan program lanjut. Program wajib belajar 9 tahun juga sudah dilaksanakan sejak 1994. Tercatat bahwa secara Nasional Akses pendidikan Sekolah dasar dari usia anak 7-12 tahun sangat baik dan hampir mencapai keseluruhan. Sampai tahun 2000/2001 di seluruh Indonesia prosentase anak yang masuk SD mencapai 94,04% dan hanya 5.96% belum terlayani oleh pendidikan SD ini. Namun untuk mencapai program wajib belajar 9 tahun yaitu kelompok usia 13-15 tahun baru mencapai 45,10 %. Hal ini belum lagi dilihat persoalan kesenjangan pendidikan antar pedesaan dan perkotaan. Maka akses dan kesempatan terhadap pendidikan bermutu semakin tampak perbedaannya.9 Persoalan pendidikan sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan yang lain seperti persoalan sosial, persoalan lingkungan dan persoalan ekonomi. Amich Alhumami mengungkapkan terdapat hubungan yang kuat antara pendidikan dan pembangunan ekonomi. 10 Pendidikan sebagai medium bagi proses transmisi teknologi dianggap sebagai 6 Alex Inkeles and Donal B. Holsinger, Education and Individual Modernity in Developing Countries (Leiden: E.J. Brill, 1974), hal. 85. 7 Roger A. Kaufman, Educational System Planning (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1974), hal. 30. 8 W. Fred Totten and Frank J. Manley, The Community School: Basic, Concepts, Function and Organization (Michigan: Alied education Council, 1969), hal. 82-89. 9 Riswan Lapagu, “Pendidikan Untuk Semua: Sejarah, Kondisi Pendidikan Setelah Jomtien dan Dakar, dan Tindakan yang Perlu Dilakukan,” dalam Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 3, Nomor 4, Oktober-Desember 2005, hal. 13-14. 10 Harian Kompas, 6 Agustus 2004.
pendorong pembangunan ekonomi. Dengan demikian pendidikan dapat memperbaiki tingkat ekonomi sebuah masyarakat. Sebagaimana halnya yang terjadi pada China dan India yang telah berhasil meningkatkan pembangunan ekonominya dengan memprioritaskan pendidikan dalam pembangunan nasionalnya.11 2. Kajian Terdahulu Beberapa penelitian yang relevan yang pernah dilakukan antara lain: 1. Fathur Rozi, “Minat Orang Tua Terhadap Kelanjutan Pendidikan Formal Anaknya (Studi di Desa Dungkek Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep)”, Skripsi, JIPTUMMPP, 2010. 2. Wasit, “Mutu Pendidikan Anak di Daerah Terpencil,” Laporan Penelitian. Dinas Pendidikan Jawa Tengah, 2009. 3. Budi Kustoro, “Pendidikan di Daerah Terpencil: Studi Kasus Pada Masyarakat Transparani, di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung,” Laporan Penelitian. Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, Balitbang, Jakarta, 1989. C. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi fenomenologi. Pendekatan fenomenologi ini dianggap sesuai dengan penelitian ini karena beberapa alasan.12 Pertama, studi fenomenologi menggambarkan ‘the meaning of lived experience’ (makna dari pengalaman hidup) dari subjek yang diteliti tentang konsep atau fenomena yang sedang diteliti, dalam hal ini adalah fenomena pendidikan. Kedua, pendekatan ini juga mencari perbedaan makna dari kesadaran subjek penelitian yang dalam penelitian ini akan melihat perbedaan makna pendidikan di antara anak-anak usia sekolah di sana. Ketiga, pendekatan ini mencari makna pengalaman subjek yang benar-benar dialami. Keempat, pendekatan ini akan menganalisis pengalaman-pengalaman yang berbeda dari subjek penelitian berdasarkan memori, image dan makna subjek penelitian itu sendiri. Lebih lanjut, menurut Dister fenomenologi berasal dari doktrin filsafat yang kemudian menjadi metode filsafat, dan berkembang pula menjadi metode ilmu sosial khususnya dalam bidang psikologi, psikiatri, dan psikopatologi. Makna mendasar dari fenomenologi adalah untuk memahami sesuatu berdasarkan gejala yang “nampak” apa adanya dalam pengalaman setiap orang. 13 Pengalaman itu adalah empiris. Makna yang diambil dari fenomenologi pengalaman tersebut dapat diuraikan dalam kebenaran empiris, yang dapat dikemukakan melalui indra manusia, ketajaman fikir, ketajaman akal budi dan kebenaran transedental.14 Dengan menggunakan pendekatan ini, penelitian ini akan mencari pengalaman individu - bukan pengalaman masyarakat – sebagai sentral untuk memperoleh data deskripsi yang komprehensif bagaimana makna pendidikan bagi anak-anak yang menjadi subjek penelitian. 11
China berhasil mengurangi angka kemiskinan dari 64% tahun 1971 menjadi 17% tahun 2001. India telah mengurangi angkakemiskinan dari 42% menjadi 35% dalam masa 10 tahun. Lihat Kompas, 24 November 2005, hal. 7. 12 Justifikasi ini berterimakasih kepada Merrie Sell, http://www.msu.edu/user/sellmerr/reviewing_five_approaches_to_res. htm. 13 Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi (Jogjakarta: Kanisius, 2001), hal. 25 - 6. 14 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 29.
2. Situs Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampong Bali Desa Paya Tusam Kecamatan Sei Wampu dan Paya Kerbo Desa Perhiasan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat. Kampong Bali adalah komunitas masyarakat Bali yang tinggal di Langkat. Desa Perhiasan adalah bagian dari Kecamatan Selesai yang terdiri dari 13 desa; Bekulap, Kuta Parit, Kuala Air Hitam, Lau Mulgap, Mancang, Nambiki, Padang Brahrang, Padang Cermin, Pekan Selesai, Perhiasan, Sei Limbat, Selayang, Tanjung Merahe. Pilihan terhadap Kampong Bali dan Paya Kerbo Desa Perhiasan didasarkan pada alasan bahwa daerah ini adalah wilayah terpencil di Kecamatan Selesai yang dapat dikatakan kurang mendapat perhatian, terutama persoalan pendidikan. 3. Subjek dan Informan Penelitian Subjek penelitian ini adalah peserta didik yaitu anak-anak usia sekolah. Kemudian data juga akan diperoleh dari informan yaitu masyarakat yang terdiri dari perangkat desa, orang tua, tokoh masyarakat. Data akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik snowball sampling dan purpossive. Teknik Snowball Sampling yaitu memperoleh data tentang akses pendidikan anak pada masyarakat Kampong Bali dan Paya Kerbo. Sample berangkat dari satu orang informan ke informan lainnya. Pencarian informasi berhenti pada informan lanjutan ketika data yang didapat sudah jenuh, walaupun bervariasi dan beragam namun sudah tidak ada data baru lagi yang diperoleh. Sample purposive yaitu sample dipilih secara sengaja untuk mendapatkan data yang dapat mewakili data atau informasi penelitian. 4. Sumber Data Secara umum sumber data primer dalam penelitian kualitatif adalah masyarakat yang menjadi subjek penelitian khususnya anak usia sekolah baik yang tidak sekolah, putus sekolah, yang pernah atau yang masih sekolah. Data skunder merujuk kepada informan yang menambah data bagi subjek dan bahan-bahan pustaka seperti buku, artikel, dan materimateri lain yang mendukung data-data primer. 5. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Data akan dikumpulkan dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi non-partisipan dimaksudkan agar prilaku yang dialami anak dapat dilihat dari luar. Observasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang pemaknaan pendidikan bagi anak-anak dengan melihat prilaku mereka di lapangan. Interview atau wawancara yang akan digunakan adalah ‘wawancara semi-terstruktur’. Wawancara jenis ini dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh data secara alami dari sumber data tanpa dibuat-buat atau direkayasa. Wawancara ini akan dilakukan terhadap anakanak sebagai subjek penelitian; orang tua, tokoh masyarakat, guru dan kepala sekolah sebagai informan. Pengumpulan data akan dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama: Deskripsi fenomena kepentingan oleh peneliti pada tahap ini akan eksplorasi literatur akan dilakukan untuk mengetahui studi dan penelitian terdahulu mengenai akses pendidikan anak di daerah terpencil dan untuk membatasi dan menggambarkan fenomena ini yang berkaitan dengan literatur. Sebagaimana halnya dalam penelitian atau studi fenomenologi, fokus penelitian dilakukan pada pencarian pengalaman hidup para subjek penelitian. Tujuan studi
fenomenologi ini adalah untuk menambah pemahaman dan deskripsi peneliti terhadap pengalaman pendidikan anak. Tahap kedua: Pengumpulan fenomena deskripsi yang dikemukakan oleh subjek penelitian, dengan menggunakan purposive sampling, 20 anak Kampong Bali dan Paya Kerbo antara umur 12 dan 24 tahun (yang tidak sekolah, masih sekolah, putus sekolah dan pernah sekolah), akan dijadikan subjek penelitian. Pada waktu wawancara, subjek penelitian yang diwawancarai bervariasi antara anak yang masih aktif sekolah dan anak yang sudah tidak aktif sekolah atau putus sekolah. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan perspektif yang luas dan pengetahuan yang kaya tentang pengalaman sekolah anak. Para subjek diwawancarai untuk mendapatkan kejelasan yang lebih mendalam tentang fenomena akses pendidikan anak. 1. Pertanyaan pembuka yang akan ditanyakan. “ceritakan tentang pengalaman sekolahmu.” Ahli fenomenologi mengatakan bahwa pertanyaan penelitian fenomenolgi yang baik adalah “memunculkan kenangan terhadap peristiwa atau kejadian yang pernah dialami oleh responden, bukan yang dia fikirkan. Pertanyaan umum tersebut ditanyakan untuk memancing cerita, perasaan, dan kenangan responden. 2. Topik wawancara untuk wawancara semi terstruktur disusun. Topik ini (lihat tabel 1) dipersiapkan untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang akan disampaikan. Topik dan pertanyaan ini (lihat tabel 2) pada dasarnya untuk menjadi panduan dan bahan ingatan bagi peneliti ketika wawancara. Kadang-kadang responden menjawab beberapa topik sekaligus. Cara ini diharapkan merefleksikan tujuan studi fenomenologi, untuk memahami lebih mendalam, persepi dan pengalaman anak. Pertanyaan yang diajukan bersifat tematis. Pertanyaan mungkin berubah-ubah ketika disampaikan dalam wawancara, namun temanya sama. Peneliti membuat pertanyaan silang. Hal ini dilakukan karena dua alasan; untuk membuat lebih yakin akan pemahaman peneliti terhadap apa yang dikatakan adalah makna yang dimaksud responden dan untuk mengecek aspek-aspek cerita atau kenangan yang disampaikan agar lebih jelas. Penelitian ini berkaitan dengan pengalaman pribadi dan persepsi yang subjektif dan tidak dimaksudkan untuk mencari ketidakbenaran atau terlalu membesarbesarkan keadaan. Cross-checking dilakukan juga untuk menghindari kekakuan hasil wawancara dan untuk mendapatkan kejelasan pengalaman yang disampaikan anak atau responden. 3. Fokus terhadap cerita responden secara individual. Dalam setiap wawancara, percakapan dimaksudkan untuk menarik cerita pribadi dari setiap individu dan makna setiap responden. 4. Penggunaan model wawancara terbuka untuk mendapatkan makna dari dimensi responden itu sendiri. Peneliti dalam studi fenomenologi harus membantu responden menggambarkan pengalamannya tanpa harus menguasai diskusi dalam wawancara. Tahap ketiga: membaca dan menganalisis semua hasil wawancara untuk mendapatkan fenomena Analisis data melibatkan pembacaan yang dalam dan berulang-ulang terhadap semua data (transkrip dan catatan lapangan). Prosedur analisis seperti yang digambarkan sebagai di bawah ini.
6. Strategi Penjaminan Kualitas Data Kriteria evaluasi validitas, reliabilitas, generabilitas dan objektifitas pada penelitian kuantitatif tidak dapat diaplikasikan untuk penelitian fenomelogi. Oleh karena itu, kriteria penjaminan keabsahan data adalah kredibilitas, tingkat kepercayaan dan etika penelitian. a. Kredibilitas Sebuah penelitian dianggap memiliki kredibilitas ketika mampu menghadirkan deskripsi yang dapat dipercaya dan ketika pembaca atau peneliti lain dapat mengenali berdasarkan pengalamannya. Kredibilitas penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara. Catatan dibuat dalam journal peneliti dan kolom analisis memberikan refleksi yang detail untuk mendapatkan data yang cukup tentang pengalaman anak itu sendiri. Dalam fenomenologi membuat data responden dalam kurung adalah sarana untuk menjamin peneliti menghadirkan deskripsi yang terpercaya tentang pengalaman responden. Setiap usaha dilakukan untuk tetap menggunakan kata responden dan deskripsi mereka sepanjang analisis tanpa mengganti makna atau maksud dari cerita yang ditulis. Kredibiltas studi ini terletak pada penyajian pengalaman yang terpercaya. Pengecekan data yang dilakukan dengan responden untuk memverifikasi transkrip adalah bertujuan untuk menggambarkan pengalaman mereka secara tegas, dan menggambarkan secara akurat kesimpulan dan unsur esensial dari pengalaman responden. Transkrip, catatan lapangan dan reduksi data diberikan ke kolega untuk diriview dan ke supervisor untuk konfirmasi kredibiltas lebih lanjut. b. Tingkat Kepercayaan Salah satu cara yang dapat ditunjukkan sebagai bentuk ketingkatpercayaan data adalah proses penelitian harus jelas sehingga para peneliti lain dapat memahami metode dan proses peneliti dan penelitian yang dilakukannya. Selanjutnya, catatan penelitian disimpan sepanjang tahapan generasi, pengumpulan dan analisis data (prosedur rekaman, refleksi, dan analisis tema yang muncul). Hal ini menjadi penting ketika memadatkan informasi dan mengembangkan model teoritisnya. Selain dari langkah-langkah metodologis dalam bagian ini juga jurnal penelitian akan ditulis selama wawancara berlangsung dan proses analisis, dan melibatkan beberapa aspeks; catatan ketika mengumpulkan data, etika penelitian dan analisis data, dan pandangan-pandangan tentang topik. 7. Analisis Data Pendekatan analisis data yang digunakan adalah dalam penelitian ini mengikuti pendekatan yang digunakan oleh Giorgi (1985) yang mencakup 7 langkah yang khusus. 1. Membaca seluruh deskripsi pengalaman untuk mendapatkan makna secara keseluruhan. 2. Membaca kembali deskripsi data 3. Mengidentifikasi transisi masing-masing unit pengalaman 4. Mengklarifikasi dan mengelaborasi makna dengan cara menghubungkan bagianbagian satu sama lain secara keseluruhan. 5. Merefleksikan unsur-unsur pokok ke dalam bahasa responden secara konkrit. 6. Mentranformasi bahasa konkrit ke dalam bahasa atau konsep ilmu pengetahuan.
7. Mengintegrasikan dan mensintesis pandangan ke dalam deskripsi yang terstruktur dari makna pengalaman. D. Temuan Penelitian 1. Gambaran Lokasi Penelitian Gambaran kedua lokasi penelitian. Lokasi Kampong Bali dan Paya Kerbo merupakan dua lokasi yang berbeda desa namun kedua lokasi ini berdekatan dengan iklim budaya dan tradisi yang berbeda. Kedua komunitas atau masyarakat di dua desa ini hidup rukun sekalipun mereka di dalamnya hidup tiga agama yang dianut masyarakat; Islam, Kristen dan Hindu. Sekalipun wilayah desanya jauh dan medan menuju ke lokasi cukup berat namun jalanjalan di sana cukup lebar dan dapat dilalui mobil atau truk. Sarana jalan terbuka lebar itu karena adanya pertanian atau perkebunan kelapa sawit yang dibuka secara besar-besaran baik oleh penduduk setempat maupun oleh PT-PT bergandengan dengan perkebunan masyarakat. 2. Akses Pendidikan Anak Di Kampong Bali Dan Paya Kerbo 1) Makna Pendidikan Anak Bagi Orang Tua Kampung Bali Anak-anak Kampong Bali pulang pergi sekolah (Commuting atau pulang hari) sekalipun sekolah mereka jauh di desa lain atau di kota kecamatan Selesai atau di Kotamadya Binjai. Selama sekolah itu dapat ditempuh dengan pulang pergi, mereka lebih memilih tidak kost. Tapi kalau sekolahnya tidak bisa ditempuh pulang dan pergi anak-anak kampong Bali yang sekolah lanjut di kota akan kos atau mengontrak rumah, seperti anak pak Nyoman Dangin yang waktu itu sekolah di desa Selayang, desa seberang sungai Wampu yang jauh. Waktu itu kondisi jalan jelek sekali. Penyeberangan dan kenderaan angkutan hanya sehari sekali. Anaknya pulang seminggu sekali. Sekarang anaknya sudah tamat SMA. Sekalipun tidak kuliah tapi sekolahnya ini membuat bangga keluarganya. Karena kalau pulang kampong ke Pulau Bali mereka selalu ditanya apakah anakmu sekolah. Pak Putu Dana mengatakan bahwa sekalipun dia tidak sekolah yang penting anaknya sekolah. Dia dulu sekolah cuma sampai tamat SD, maka dia berprinsip kalau bias anaknya semuanya paling tidak tamat SMA. Menurutnya rata-rata orang Bali di sini punya pemikiran demikian baik dari pengetua adat dan agama sampai warga. Mereka memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya sekolah bagi anak-anak mereka. Zaman sudah berubah dan terus berputaroleh karena itu, manusia harus mengikuti perubahan zaman. Begitu juga soal pendidikan kalau tidak mengikuti kemajuan pendidikan mungkin akan digilas oleh zaman. Pak Putu Dana menambahkan bahwa kalau masalah harta adalah masalah nomor dua, yang penting mendidik anak dan menjalankan ibadah itu yang penting. Berdasarkan ajaran Hindu yang dianutnya harta juga penting, hanyasaja menurut Pak Putu harta adalah kotoran bumi belaka sedangkan manusia lahir dalam keadaan telanjang tidak ada apa-apa dan mati dalam keadaan telanjang. Harta tidak akan dibawa namun memang harta itu penting untuk melangsungkan kehidupan dan keturunan. Oleh karena itu persoalan harta dipentingkan adalah persoalan yang wajar.
Anak-anak kampung Bali Sekolah Dasar di kampung saja karena sudah tersedia sekolah dasar (SD) di kampung Bali. Setelah tamat anak pak Putu sekolah SMP di luar kampung yaitu di seberang sungai Wampu. Kalau anaknya yang laki-laki waktu itu SMP jauh di kotamdaya sehingga terpaksa dikoskan, tapi anaknya yang perempuan sudah sekolah SMP terdekat tidak lagi menyeberang sungai. Untuk sekolah SMA juga sudah ada di dekat sini walaupun menyeberang sungai tapi lebih dekat dijangkau, yaitu di Subetung Kecamatan Bahorok. Walaupun sebenarnya ini masih jauh tapi lebih dekat dibandingkan dengan sekolah yang ada di kecamatan Selesai atau Stabat. Dengan kondisi sekolah yang jauh tentu biaya lebih banyak namun hal itu tetap diperjuangkan pak Putu. Baginya kursus atau mengajari anak bekerja sebagai sarana pembelajaran bukanlah pendidikan. Dia berprinsip lain, baginya pendidikan adalah sekolah formal apalagi katanya zaman sudah demikian pesat kemajuannya kalau anak tidak dibekali pendidikan maka hal itu menjadikan anaknya tertinggal. Anak pak Putu tiga orang, satu laki-laki dan 2 orang perempuan. Ia seorang duda. Istri sudah meninggal lima tahun yang lau. Anak Pak Putu yang pertama kuliah, yang kedua sudah tamat SMA dan yang ketiga duduk di kelas I SMA. Dia bertekad agar anaknya ketiga-tiganya kuliah. Walaupun katanya dia hanya baru bisa berencana. Manusia bisa berencana tapi akhirnya mungkin juga menyimpang dari rencana. Ia tidak membedakan anak perempuan dan naknya yang laki-laki dari dunia pendidikan. Tapi setelah mereka masing-masing menikah baru terdapat perbedaan. Orang Balimenganut system patrilineal, yaitu garis keturunan keluarga diwariskan kepada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan tidak menerima hak warisan apapun karena anak perempuan telah dibawa oleh suaminya dan sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut pak Dana orang Bali dan Hindu menjadikan anak laki-laki sebagai pewaris. Oleh karena itu, pendidikan perempuan harus diutamakan dalam arti bahwa karena perempuan tidak bisa membekali apapun hanya bias dibekali ilmu. Pendidikan itu yang menjadi bekalnya, oleh karena itu anak perempuan juga harus disekolahkan tinggi sampai tamat. Pak Putu tidak membeda-bedakan anaknya baik dia anak laki-kali dan anak perempuan, bila perlu disamakan semua, jika tamat SMA semuanya harus tamat SMA. Kalau satu kuliah yang lain juga kuliah, namun masalahnyakadang anak sendiri yang tidak mau kuliah. Perasaan banggamenyelimuti hati Pak Putu ketika dia menyadari dia mampu menyekolahkan anaknya. Ia teringat masa mudanya di tahun 1974. Ia mearasa tidak puas karena hanya sekolah hanya sampai SD. Keadaan tahun 1974 dengan keadaan sekarang ini sangat berbeda. Sewaktu tahun 1974 jalan-jalan masih jalan setapak tapi sekarang mobil bahkan truk sudah bisa lewat. Kebanggaan pak Putu dengan keberhasilan anaknya menyelesaikan sekolah belum menimbulkan perasaan puas kecuali dia sudah mendapatkan pekerjaan baru ia benar-benar bangga. Sekalipun soal pekerjaan tergantung anak. Pak Putu ingin anaknya bekerja di bidang agama misalnya menjadi Pandidita atau yang lainnya yang berhubungan dengan agama. Supaya ada yang duduk di tempat ini dan menjadi orang tertinggi, maksudnya bukan tertinggi
di pemerintahan tapi tertinggi keagamaan, karena agama sangat penting. Itu untuk anak saya yang laki-laki. Namun anak perempuan, anak kedua, pak Putu yang sudah tamat SMA sekarang sudah mengajr di PAUD. Sekalipun ia memang bukan sekolah SMA yang resmi di sekolah-sekolah, melainkan mengambil sekolah SMA Paket di Stabat, jauh di Stabat tapi saya dorong agar mau sekolah. Masa dia sekolah ibunya meninggal dunia jadi dia tidak sempat sekolah. Selain sekolahnya jauh dia juga sibuk mengurusi rumah dan kami. Dia menggantikan ibunya. Mengenai cita-cita sang anak, pak Putu member piliha, tidak memaksakan. Setiap orang punya naluri dan karma. Oleh karena itu setiap orang tidak perlu berkecil hati. Karma itu adalah hasil kerja manusia dulu dan sekarang karma itu dinikmati. Karma itu sama dengan kerja, bekerja mendapatkan hasil. Menurut pak Putu apapun yang ada dan terjadi pada setiap orangmerupakan hasil kerja manusia sebelum reingkarnasinya. Setelah reingkarnasi manusia tinggal menikmati. Selain sekolah mereka juga ambil kursus terutama main bola. Itu sana di Selesai, semua anak-anak sini ke sana, setengah hari sore mereka ke sana. Setengah sore banyak mamakmamak mengantarkan anaknya ke Selesai (Kota kecamatan, menyeberangi sungai Wampu) sana, lapangan Selesai itu dek sekolahnya, makanya aku bilang kalau masyarakat Bali sini kalau untuk sekolah baik sekolah apapun memang jitu orangnya. (tambahan informan) Menurut pak Men, informan dari suku Jawa, orang kampung Bali berfikiran maju dan mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anak dan membiayai keluarga. Walaupun rumah tidak sebagus rumah orang Jawa atau Karo yang di sini tapi kebun mereka luas-luas dan banyak. Mereka berkebun sawit dan karet. Mereka punya ekonomi yang cukup, sehingga untuk membeli kendaraan dan menyekolahkan anak tidak perlu lagi berhutang. Orang Bali di sini menambah lahan mereka dari waktu ke waktu. Mereka sudah punya lahan setelah berhasil mereka membeli lahan lagi. Mereka juga membeli lading di Pekanbaru, untuk menanam sawit. Penghasilan mereka mantap, tambah pak Men. Sekalipun mereka berpenampilan sederhana dan merasa bukan orang yang cukup, tapi sekarang ini kalau anakanak mereka pergi sekolah mereka berkendaraan yang cukupmahal seperti Mega Pro, Ninja dan lain-lain. Ketut Sunati, 50 thn, mempunyai anak 2 orang. Anak yang laki-laki, si sulung, sudah SMA dan anak yang perempuan, si bungsu sekolah SMP. Si sulung sekolahnya jauh, di SMA Belutung Kecamatan Bahorok. Ketut Sunant mempunyai pemikiran menyekolahkan anaknnya biar maju. Menyekolahkan anak baginya adalah sesuatu yang menimbulkan rasa susah tapi senang. Susahnya dirasakan ketika memikirkan biaya sekolah sedangkan dia merasa senang karena anak-anak bias sekolah. Ketut punya kebun karet untuk membiayai anak-anaknya dan keluarga. Semua itu dilakukan untuk anak-anaknya agar cita-cita anaknya tercapai. Dia sendiri tidak memaksakan cita-cita anak-anaknya mau jadi apa. Anaknya yang laki-laki bercita-cita jadi presiden. Kalau ada biaya si sulung akan dikuliahkan. Tapi kalau kenyataanya ketut tidka dapat menguliahkan anak, bagi dia ga apa-apa. Semua itu biaya sekolah tergantung orang tuanya. Tapi sekarang sudah ada SMP walaupun ga di kampong sini tapi lebih dekat dibandingkan dulu. Rata-rata anak-anak di sini sekolah sampai SMP dan SMA. Tapi rata-rata anak Bali di daerah ini sekolah. Sudah ada yang kuliah empat orang dan ada yang D3 1 orang. Persoalan yang paling berat adalah persoalan hubungan jalan
(tranportasi) kalau jalan bagus orang-orang tua akan menyekolahkan anaknya dengan lebih mudah. Padahal secara ekonomi sebenarnya mampu. Tapi karena jalannya, ketut sendiri mengaku kalau sudah hujan mau malas keluar rumah. 2). Pendidikan Anak Kampong Bali Anak-anak di Kampung Bali lebih memiliki semnagta dan motivasi dalam memaknai pendidikan bagi diri mereka sendiri. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh pengaruh keluarga, budaya dan lingkungannya. Dewa Ayu Sumiati kemudian dipanngil Sumi, sekalipun mengakami kehidupan yang pahit karena ditinggal ibunya sejak Remaja, kemudian dia harus membantu ayahnya mengurus rumah tangga dan adiknya, tetap saja memiliki senngat untuk mengejar pendidikan dan cita-citanya. “Dewa Ayu Sumiati, 20 tahun. Setelah tamat SMA saya mengajar PAUD yang di dekat SD di kampong ini. Muridnya ada 19 orang. Saya tamat SMA tahun 2008. Saya rencana mau kuliah di Stabat mau ambil jurusan PAUD. Karena saya ngajar PAUD maka saya ngambiL jurusan PAUD. Kuliahnya seminggu sekali. Katanya nanti wisudanya di Jakarta. Saya senang sekali bisa masuk kuliah ini. Saya dulu sekolah SMA nya Paket. Karena SMA jauh sekali dan waktu itu ibu sudah meninggal dunia, jadi ga ada yang urus rumah dan adek. Waktu sekolah Paket juga di Stabat. Sekolah jauh tapi saya senang. Saya juga senang bisa jadi guru Paud karena kalau lagi suntuk gitukan bisa main-main sama anak-anak.” Begitu juga dengan adik Sumi, Sukma juga punya cita-cita yang kebih jelas dan meyakinkan dirinya sendiri. Ia tidak terpengaruh dengan lingkungan dan alam yang kurang mendukung kehidupan mereka, yang mereka sebut sebagai hutan. Sukma ingin menjadi Sekretaris. “Dewa Ayu Sukmawati. 16 tahun. SMK kelas 1 di Subertung kecamatan Bahorok. saya sekolah ke sana naik kereta. Saya naek kereta sendiri. Capek sekali dan sedih karena jalannya jelek, batu-batu. Kalau pas musim hujan jalan jadi becek. Tapi sampai sekolah hilang rasa capeknya karena jumpa sama teman-teman, bisa gabung ma teman-teman, cerita-cerita. Sekolah kami tidak begitu bagus, mungkin karena sekolah di desa ya bu...saya ambil jurusan BM, itu...Bimbingan manajemen. Kami belajar komputer kalau pas praktek aja. Saya nanti kalau sudah selesai pengen kuliah tapi tergantung sama bapak kalau ada dananya. Soalnya saya cita-citanya pengen jadi sekretaris. Saya pribadi pengen sekali kuliah nanti saya ambil jurusan perkantoran. Saya kelas 3 SD sebenarnya tinggal di Bali. Di sana ikut uwak. Tapi saya balek ke sini sekalipun di Bali itu enak, indah pemandangannnya tetapi saya rasa ga enak tinggal jauh dari orang tua. Lebih enak sama orang tua dari pada sama uwak. Kasih sayang orang tua kan langsung beda dengan kasih sayang uwak. Kadang saya lihat teman-teman Sukma yang ga sekolah. Suka sedih melihat teman yang ga sekolah. Kalau aku sekolah bisa gabung-gabung ma kawan-kawan sekolah sementara ga sekolah dia masih kecil sudah kerja. Kadang terpikir kenapa dia ga sekolah dan kenapa dia putus di jalan. Rasanya pingin bantu tapi karena Sukma belum bisa. Tapi sebenarnya, memang ada yang ga mampu untuk sekolah tapi ada juga yang ga niat sekolah gitu.” Anak-anak mereka juga menikmati kehidupan sekolahnya. Pendidikan mereka jadikan sebagai pengalaman yang menyenagkan dan menggembirkan. Anak-anak sekalipun pada satu
sisi menganggap sekolah sebagai suatu keharusan dari orang tuanya, mereka paling tidak memiliki imajinasi ingin menjadi sesuatu yang meeka inginkan. “Made Rianti. 12 tahun. Saya anak kedua. Saya sekolah di SMP negeri 5 di Kampong Karo. Saya pergi sekolah naik kereta sama kawan. Pagi-pagi sekali saya udah bangun, jam setengah 6 terus mandi setelah itu berangkat sekolah jam setengah tujuh pagi. Biasanya sebelum pergi saya bantu memi dulu menyapu. Saya senang bisa sekolah. Walaupun sekolah penuh perjuangan. Saya sekolahnya kan jauh, naik kereta jalannya becek. Nah pas yang yang gini saya suka sedih. Kami sering jatuh-jatuh. Saya kalau pergi sekolah pakai celana panjang sama jaket, nanti pas sampai sekolah baru ganti. Jadi kalau pas jatuh baju sekolah ga kotor. Ganti bajunya di kantin luar sekolah. Numpang sama ibu yang punya kantin, di kamar mandinya. Sekolah susah gini, nanti kalau besar mau jadi perawat.” Yudis, teman kecilnya punya cita-cita ingin menjadi dokter. “Made Prandika Yudistira, saya 11 tahun, saya sekolah kelas 5 SD di SD Negeri Kampong Bali. Saya jalan kaki pergi ke sekolah karena dekat. Di sekolah senang banyak teman, gurunya baik-baik. Ada juga guru yang jahat. Dimarahi karena ribut di kelas. Di sekolah belajarnya suka hati. Bebas. Sepupu saya ini namanyaWayan Anggita. Dia kelas 1 di SD Stongkit. Kalau pergi sekolah dia diantar sama ayah. Saya suka sekolah karena bisa belajar, banyak yang diajari bu guru. Selain belajar juga ada main-main. Aku mau terus sekolah ga mau kalau disuruh berhenti. Soalnya aku pengen jadi dokter. Dokter anak-anak biar bisa bantu anak-anak yang sakit. Dewa Gede sebagai anak Pandita punya cita-cita yang sejalan dengan tugas dan tanggung jawab ayahnya sebagi Pandita. Sekalipun pada dasarnya ayahnya tidak memaksakan kehendaknya, namun Dewa Gede memahami fungsi individunya sebagai ornag yang berkasta Brahmana maka ia menempatkan dirinya sebgai orang yang bertugas melanjutkan tugas dan mengemabn amanha Brahmana. “Dewa Gede, 26 tahun. Saya kuliah di Medan tapi tidak kos. Saya kuliah di STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) di sebelah Dharma Agung dekat kampong keleng. Saya pulang hari, masuk jam 6 sore pulang jam 10 atau jam 11 malam. Setelah selesai kuliah saya langsung pulang ke rumah tapi kalau hujan saya nginap di rumah temen. Siang hari sebelum pergi kuliah saya bantu pathe ke ladang. Kasian pathe ga ada yang bantu. Memang ada pekerja tapi kan tidak seluruhnya harus dikerjakan oleh pekerja. Harus ada yang mengawasi pekerjaan mereka. Saya melanjutkan tugas ayah nanti sebagai Pandita, oleh karena itu saya mengambil jurusan agama Hindu.” Dari data di atas tampak bahwa makna pendidikan bagi anak-anak kampong Bali lebih menginternasilasi dan menjadi bagian hidup mereka. Mereka memiliki visi dan misi dalam menjalankan aktifitas dna mendukung kegiatan sekolah mereka. Tentu saja hal ini tidak muncul dnegan sendirinya. Hal ini tentu saja mendapat dukungan dari orang tua dan pengajaran mereka di dalam keluarga. Tentang makna individu, keluarga dan lingkungan yang mereka peroleh dari ajaran orang tua mereka melalui ajaran agamanya. Tentu saja yang terpenting adalah karena mereka mengamalkan ajaran agama mereka.
3). Faktor Pendukung Dan Penghalang Pendidikan Anak Orang Bali memiliki konsep tentang pentingnya pengetahuan. Pak Dewa Pandidita (tokoh adat dan agama) di kampong Bali mengatakan bahwa Saraswati itu juga mempengaruhi pemikiran orang Bali tentang pentingnya ilmu opengetahuan. Oleh karena itu orang Bali yang taat biasanya akan menghargai ilmu dan pendidikan. Saraswati adalah hari besar umat Hidnu yaitu hari untuk memperingati turunnya ilmu pengetahuan. Saraswati dilambangkan perempuan karena perempuan adalah perlambang kecantikan. Semua manusia memilih yang cantik. Siapapun orangnya pasti memilih yang cantik. Kecantikan ini dihubungkan dengan ilmu pengetahuan, seni dan ganitri. Oleh karena itu saraswati disimbolkan sebagai seorang putri yang sangat cantik. Jadi ilmu itu kita angkat sebagai orang yang sangat cantik. Orang yang cantik harus dicari karena semua orang mau yang cantik. Ini mengandung filosofi yang tinggi, tentang pentingnya ilmu oengetahuan dan pendidikan. Seni juga harus dicari makanya orang Bali itu banyak yang berseni. Saraswati bawa kecapi. Menurut Pak Dewa, orang Bali itu semangat-semangat. Memand ada yang membuat mereka semangat. Sebagai orang yang beragama kan harus juga berilmu. Kalau mau ibadah maka perlu mengenal huruf-huruf. Untuk mengenal huruf-huruf maka orang harus sekolah. Kalau kita melaksanakan ibadah kalau kita tidak sekolah maka tidak mengenal huruf-huruf. Jadi kalau tidak sekolah otomatis menjadi awam tentang pelajaran, khusunya dalam hal ini pelajaranm agama. “Begitulah cara kami, tambah pak Dewa. Namun semangat itu tidak bisa dihubungkan dengan kasta-kasta atau catur warna. Kasta atau catur warna hanya pengelompokkan tugas dalam kehidupan bermasyarakat. Secara pribadi seorang manusia tidak bisa punya empat warna. Empat warna ini kan sudah terbagi. Kalau seorang menjadi kasta petani maka ia jadi petani maka dia harus benar-benar jadi petani untuk mensuply makanan. Di situ ada semangat maju. Dan di kelompok Weisa gitu juga, seorang pedagang bisa menyalurkan semua produk. Seorang Weisa yang tugasnya seorang pedagang, kalau dia tidak ada dasar tidak mungkin dia mampu jadi pedagang. Misalnya seorang Brahmana kalau dia tidak tamat sekolah, dia tidak mampu menyerap ilmu kesucian. Begitu juga kasta kesatria, kalau dia tidak berpendidikan pasti dia tidak diterima oleh pemerintah untuk jadi panglima perang atau penjaga keamanan. Kasta-kasta ini memberi pengertian tersendiri dalam kehidupan masyarakat Bali bahwa setiap kasta atau kelompok yang diembannya harus dilaksanakan dengan baik. Untuk melaksanakan amanah itu maka setiap orang harus punya pendidikan dan ilmu atau pengetahuan tentang dasar-dasar bagi pelaksanaan tugas kelompoknya. Oleh karena itu mereka berjuang dengan mengemban amanah kastanya atau menurut pak Dewa, ‘warnanya’. Selain pengaruh ajaran agama menurut Pak Dewa semangat orang Bali di Langkat juga dipengaruhi oleh unsur ‘merantau’ sehingga mereka memiliki prinsip untuk menyelesaikan tantangan, “aku harus berhasil.” Karena mereka sudah keluar dari Bali, kalau pulang ke Bali yang ditanyakan keluarga di Bali apakah anak sekolah atau tidak. Hal itu yang sering ditanyakan. Ini membuat pak Dewa berputar otak untuk menyrkolahkan anak. Menurtnya ini buan persoalan gensi tetapi juga memang itu yang dituntut keluarganya. Dan itu sesuai dengan simbol Saraswati. Sara artinya ilmu, swati artinya kesucian, semua manusia itu menuntut ilmu.
Saraswati itu sebagai di atas ilmu pengetahuan. Lambangnya orang perempuan membawa kitab, ganitri, sama satu lagi tasbih yang berarti agama, musik, ilmu sama seni. Tasbih berarti agama. Ganitri berarti alat musik. Kitab berarti ilmu. Angsa berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Coba kalau dicontohkan, angsa itu kalau makan di tempat lumpur, lumpurnya tidak dimakan tapi sarinya yang dia makan. Itu simbolnya. Sebenarnya itulah pedoman yang paling utama. Saraswati adalah saktinya dewa Brahmana melalui fikiran dan Brahmana mempunyai kesaktian yaitu satu Saraswati. Dia menempati fikiran, kalau tanpa sekolah fikiran menjadi blank (kosong). 4). Harapan Terhadap Pendidikan Pak Putu Dana menyampaikan harapan agar pendidikan anak di Kampung Bali lebih maju hendaknya jalan-jalan di perbaiki jadi kalau musim hujan jalan tidak becek dan licin. Beliau merasa kasihan pada anak-anak sekolah kalau sudah musim hujan. Jalanan becek, penuh lumpur dan licin. Anak-anak sekolah yang pergi sekolah pakai sepeda motor sering terjatuh, baju mereka kotor dan kecapekan, karena sekolah mereka cukup jauh. Pak Sumandro menginginkan didirikan sekolah setingkat SMP dan SMA di kampung Bali. Sekalipun ada di kampung Karo namun menurutnya sekolah itu cukup jauh di tempuh, padahal desa-desa yang berdekatan dengan kampung Bali juga banyak anak usia sekolah dan membutuhkan sekolah. Banyak dari mereka yang tidak bersekolah karena secara jarak sangat jauh akhirnya tidak sekolah. Sebagian mereka karena alas an ekonomi dan sebagian anak tidak termotivasi karena lelah emenmouh lokasi sekolah yang jauh. Berbeda ibu Nyoman Sekar yang anaknya punya cita-cita menjadi pemain Bola dan setiap seminggu dua kali latihan di lapangan kota kecamatan menginginkan hendaknya ada sekolah Bola di kampung Bali. Jadi tidak jauh-jauh harus ke kota kecamatan. Bu Nyoman merasa kasihan dengan anaknya yang masih kecil, masih SD harus jauh-jauh ke kecamatan, apalagi kalau sudah musim hujan. b. Akses Pendidikan Di Paya Kerbo 1). Pendidikan Anak Bagi Orang Tua Paya Kerbo Orang Jawa merupakan komunitas terbesar di Paya Kerbo. Selain orang Jawa, tentu saja sebagai mayoritas, Paya Kerbo juga dihuni oleh orang Melayu dan orang karo sebagai minoritas. Menurut Pak Men bahwa dibandingkan dengan orang Bali kelompok masyarakat ini kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Anak-anak Bali ratarata sekolah. Pak Men, sebenarnya merasa menyesal tidak menyekolahkan anak-anaknya. Namun dia merasa tidak mampu karena dia sendiri buruh upahan dan tidak memiliki lahan. Dulu sebelum pindah ke wilayah ini Pak Men mnegaku hanya bermodal nekat. Seandainya ia punya biaya untuk menyekolahkan anaknya ia berharap naka0anaknya tidak mengalami nasib seperti dirinya. Paling tidak anak-anaknya harus lebih baik dari dirinya. Untuk menebus rasa menyesalnya Pak Men yang belakangan ini punya keahlian menukang atau tukang, membekali anak-anaknya yang laki-laki menjadi tukang. Dia berpendapat bahwa sekolah yang paling enak adalah sekolah tukang. Menjadi tukang selain mendapat pengalam kerja, ilmu menukang sekaligus mendapat gaji. Gaji yang diperoleh
‘kenek tukang’ katanya mencapai 40 ribu rupiah per hari. Jadi tambah lama tambah pandai dan sekolahnya dibayar, yang penting kita jangan takut capek dan jangan malas. Imam, 26 tahun, salah satu anak Pak Men, tidak sekolah hanya ikut orang tuanya nukang. Ayahnya Pak Men menjelaskan bahwa walaupun Imam tinggalnya di hutan begini tapi pekerjaannya sudah cukup rapi. Jadi walaupun Imam tidak sekolah tetapi kalau mau diatur dan dididik masih banyak jalan untuk ditempuh agar menjadi maju. Sebenarnya selain bertukang orang bisa sambil belajar sambil bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan seperti bengkel, petani dan pedagang. Menurut Pak Men, pekerjaan yang paling mulia nomor satu adalah petani yang paling nomor satu di dunia ini, kedua pedagang, ketiga pegawai, pegawai ini nomor yang paling belakang! Pekerjaan pegawai katanya tanpa modal dan gaji dibatasi dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali yang diperintahkan atasannya. Sekolah tentu saja diperlukan, tapi Pak Men tidak mampu katanya. Tapi tetap saja nanti ujungnya cari kerja. Memang kalau ada ijazah cari kerjanya lebih bergensi. Kalau dia mampu tentu sudah dia sekolahkan. Jadi mereka memandang bahwa kesuksesan hidup tidak harus melalui pendidikan, mereka memandang bahwa sukses itu adalah sesuatu yang membuat mereka tidak susah mencari makan, mencari sarana kehidupan atau memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka seperti membangun rumah, membeli mobil, membeli prabotprabot rumah dan selalu ada uang. Itulah yang disebut dengan sukses. Oleh karena itu bagi mereka yang tidak bisa sekolah atau menyekolahkan anaknya tidak menjadi suatu permasalahan besar, karena kesuksesan atau keberhasilan hidup bisa dicapai dengan jalan yang lain seperti bekerja sambil belajar, seperti bekerja menjadi tukang misalnya, membuat mereka belajar sesuatu sehingga mereka pada akhirnya bisa menjadi tukang dan menerima borongan, atau mereka bekerja di kebun dan dari uang kebun itu mereka bagi hasil dan dari bagi hasil itu mereka bisa membeli kebun yang lebih luas dan begitu seterusnya. 2). Pendidikan Anak Paya Kerbo Berbeda dengan pendidikan anak di kampung Bali, makna pendidikan bagi anak-anak di Paya Kerbo lebih bervariasi. Beragam motivasi ini juga mungkin dipengaruhi oleh faktor sosial, heterogenitas suku dan budaya. Di sisi lain hal ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya. Joko berusia 15 tahun. Joko sekolah di SMP Negeri 5 yang terletak di Kampung Karo. Ia duduk di kelas tiga. Di keluarganya, Joko adalah anak kedua dari enam bersaudara. Joko bersaudara enam orang; tiga laki-laki dan tiga perempuan. Bagi Joko sekolah adalah keharusan. Kawan-kawannya sekolah diapun sekolah. Joko pergi ke sekolah berboncengan dengan temannya Faisal. Itu baru-baru aja, waktu Faisal udah punya kereta sendiri. Sebelumnya saya diantar kadang numpang-numpang sama kawan. Cita-citanya mau jadi apa ya….jadi orang berguna aja. Faisal usia 12 tahun. Ia juga sekolah di SMP Negeri Selesai. Faisal duduk di kelas satu. Faisal anak tunggal. Orang tuanya membelikan sepeda motor khusus untuk dia sekolah. Faisal punya cita-cita mau jadi pemain bola. Dan dai tidak tahu mengapa dia pengen menjadi pemain bola. Saya seminggu sekali latihannya di kecamatan Selesai (lewat kantor kecamatan)...memang jauh tapi saya suka kan ada kereta terus jalan ke sana sama kawan-
kawan...kalau pemain bola kan ga perlu sekolah sebenarnya apalagi cuma tingkat kampong, tapi kalau mau jadi timnas ya sekolah ya.....saya gembira bisa sekolah. Pal memiliki cita-cita mau jadi Pengusaha. Cita-cita Pal dipengaruhi oleh lingkungan dan alam tempat tinggalnya yang banyak pepohonan dan kayu. Harga kayu di kampunya mahal, sehingga Pal ingin menjadi pengusaha kayu. Orang tua Pal hanya membiarkan citacita anaknya. Mereka tidak melarang dan tidak mengiyakan. “Palgunadi panggilannya Pal. Saya sekolah SMP Negeri 5 kelas dua. Kalau pergi sekolah diantar naek kereta oleh kakak kadang sama bapak. Bapak bilang Pal harus sekolah, biar jadi orang yang sukses. Nanti kalau besar mau jadi pengusaha. Pengusaha kayu. Kan…di sini banyak kayu. Kalau pengusaha kan banyak uangnya.” Shinta, SMA kelas 2. Saya sekolah di Bahorok. Jauh memang. Saya naek kereta sama kawan. Kalau capek gantian. Sedihnya kalau hujan jadi becek. Jalannya jadi licin dan kotor. Kadang-kadang kami terlambat. Tapi sampai sekolah kawan-kawan dan guru sudah maklum aja. Karena jauhnya sekolah saya kadang-kadang merasa capek di jalan. Tapi mamak sering marah. Ya…saya…pergi sekolah juga. Kalau nanti udah tamat, saya ga tau mau kuliah apa enggak. Soalnya yang ini aja udah capek. Cita-citanya cari kerja lah, apa aja. Di antara mereka ada juga yang sama seklai tidak termotivasi untuk sekolah baginya pendidikan tidak memiliki makna sama sekali kecuali hanya untuk mencari teman dan bersenang-senang. Ketika ia menghadapi masalah ia tidak berminat sama sekali untuk bersekolah. HENDRIK, ketika ditanya umurnya ga ingat. Tetapi setelah ditanya tahun lahirnya ia menyebutnya tahun 1992. Pernah sekolah sampai kelas 1 SD, tidak sekolah lagi. Sekarang lagi mengambil sekolah Paket A, tapi tidak tamat-tamat. “Saya sebenarnya tidak mau bersekolah lagi….sekarang saya sekolah Paket A. dari Paya kerbo sekolahnya jauh, kalau sekolah naik kereta, tapi tidak ada kawan jadi tidak melanjutkan sekolah Paket A lagi. Kalau ga ada kawan ngapain sekolah. Sewaktu sekolah merasa senang karena banyak kawan, sekarang ga sekolah. Agak menyesal karena sudah tidak banyak kawan juga. Tapi saya dulu berhenti sekolah juga karena dari kampong ga ada kawan ke sekolah. Orang tua saya sebenarnya marah, tapi mau gimana lagi saya yang ga mau sekolah. Akhirnya sekarang mereka ga marah lagi..saya juga ga punya cita-cita...ga kebayang juga saya mau jadi apa. Nanti kalau udah besar dan dewasa saya mau bekerja cari uang paling itu yang saya pikirkan...saya ga tau mau kerja di mana dan kerja apa. Nanti kan ada...saya ga tau juga kenapa saya ga punya cita-cita, dan saya ga terlalu menyesal karena berhenti sekolah…. Sebaliknya Ria memiliki motivasi sekolah yang sangat tinggi dan memiliki cita-cita namun banyak halangan dan kendala dalam keluarganya, sehingga ia tidak dapat melanjutkan pendidikan karena berbagai alasan. Ria, umur 17 tahun. Ia mengungkapkan: “Aku dulu sekolah SMP, SMP yang di Sidodadi di desa Patok 18. SMP itu cabang dari SMP Negeri 1 Bahorok. Ria tamat 2 tahun yang lalu. Sekarang Ria ga sekolah lagi. Sekarang ini ini Ria pun ga pingin sekolah lagi, tapi kalau dulu pengen kali sekolah tapi bapak sakit, biasanya orang kalau tamat sekolahkan senang tapi kalau aku ga. Sewaktu tamat sekolah aku nangis aja karena aku ga bisa nyambung, padahal dulu aku dah niat banget mau nyambung sekolah. Tapi karena bapak sakit akhirnya ga ada biaya sekolah untuk melanjutkan.
Tapi kalau sekarang dah ga niat lagi, hatinya dah mau kerja-kerja gitu. Aku dah pernah ngambil SMA paket tapi udah ga mau lagi cuma satu hari aja. Tapi sekarang ga lagi. Soalnya yang satu hari itu ga belajar gitu, gurunya asyik cerita aja jadinya males mau sekolah. gurunya cerita-cerita aja jadinya males, ngapain. Sebenarnya cita-cita Ria mau jadi guru. Jadi guru apa saja. Ria pingin jadi guru lihatnya seneng bisa ngajarin orang, yang ga bisa jadi bisa. Waktu sekolah (SMP) di Sidodadi jauh sekali. Jalan kaki….ria pergi ke sekolahya kira setengah jam dan lewati kuburan. Perginya jalan kaki ga pernah diantar dulu bapak kan gak punya kereta. Pokoknya mau hujan atau gerimis ya tetap pergi ke sekolah juga walaupun becek, gitupun ntar kalau sudah sampe sekolah kadang gurunya gak datang kadang masuk kelas cuma cerita doank jadi kayaknya kecewa banget iya. Perginya jalan sama temen tapi lebih sering sendirian, karena kawan-kawan diantar. Pulangnya gitu juga, kadang jam 1 pulang jalan bareng kawan kadang-kadang sendirian pergi pulang. Jalannya nyeberangi sungai kalau banjir ya kebanjiran menyeberangi sungai yang banjir. Aku pernah lewatin titi, jatuh, aku ya udah basahlah, tapi ya tetap pergi aja kesekolah. Kalau teringat itu bawaannya mau nangis aja, kayaknya keinginan sudah kuat tapi ga terwujud. Waktu itu sakitnya bapak lama. Jadi kayak mana, bapakpun ga bisa ngapainngapain. Dulu aku waktu masih sekolah sambil kerja. Kalau pagi nyuci pakaian orang, pagi aja kerjanya. Siap nyuci, pergi sekolah cepat-cepat. Ria sekarang ini merasa sedih kalau melihat teman-temannya pergi sekolah, kadang terlintas di hati pengen sekolah. Tapi sering juga ia berkeinginan untuk mencari pekerjaan saja biar punya uang untuk memenuhi kebutuhan Ria sendiri, beli bedak dan baju. Ini HP Ria ini….Ria beli sendiri. Uangnya dari kerja menderes di Rambung orang. Dari data di atas kita melihat bahwa anak-anak memiliki makna yang berbeda dalam memandang pendidikan bagi dirinya. Apa yang mereka rasakan, alami dan cita-citakan bergantung oleh berbagai hal dan faktor dari luar dirinya. Anak-anak yang tidak memiliki motivasi untuk sekolah dapat dikatakan bahwa sebelumnya ia telah memperoleh pandangan tentang makna pendidikan yang tidak mendukung motivasinya. Sedangkan bagi anak-anak yang telah memiliki motivasi yang tinggi akhirnya hanya gigit jari tidak bisa melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi orang tuanya yang tidak mendukung. Ditambah lagi lokasi sekolah yang cukup jauh. 2. Faktor Pendukung dan Penghalang Akses Pendidikan Anak di Paya Kerbo Akses pendidikan anak di daerah terpencil secara umum sangat dipengaruhi oleh faktor jarak, faktor informasi, ekonomi dan peluang. Jumlah anak usia sekolah tidak ada data. Tetapi menurut pak Misdi anak-anak di sini rata-rata sekolah sampai tingkat SD. Untuk tingkat SMP sudah mulai berkurang. Artinya tidak semua masuk SMP. Di Paya Kerbo tidak ada sekolah tetapi di desa sebelah yaitu di desa Batu Mandi ada SD. SMP di Paya Tusam atau di Selayang yang harus menyebarangi Sungai Wampu. Atau ada juga SMP ada di Kampung Karo, stongkit atau Paya Tusam, dan SMA di Stongkit. Anak-anak Paya Kerbo sekolah ke Paya Tusam. SD, SMP bahkan sekolah PAUD, semua ke Paya Tusam. Kalau banjir anakanak tidak sekolah dan ketinggalan pelajaran. Apalagi kalau banjirnya sampai berhari-hari. Selain banjir jalan-jalan pun jadi lodong (lembek dan becek).
Mereka secara umum bermata pencaharian sebagai petani. Dahulu, mereka bertanam palawija dan bersawah. Namun sekrang sawah dan ladang mereka ditanami sawit. Sekalipun lahan mereka tidak luas, mereka cenderung lebih sejahtera. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi rumah mereka yang lebih permanen, dan masing-masing keluarga memiliki kendaraan sepeda motor. Namun perhatian mereka terhadap pendidikan anak-anak mereka, tidak setinggi peningkatan ekonomi mereka. Anak-anak mereka secara umum sudah dapat mengakses sekolah pada tingkat Pendidikan Dasar namun anak-anak mereka kurang termotivasi sekolah lebih lanjut. Apalagi apabila sudah memasuki usia perkawinan, banyak dari orang tua yang menghendaki anaknya cepat mendapat pasangan hidup dan menikah. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi pendidikan di kalangan masyarakat Paya Kerbo sangat kurang. Pak Misdi mengatakan bahwa terputusnya masyarkat dengan kemajuan dari dunia luar membuat masyarakat tidak termotivasi dnegan pendidikan. Mereka kurang pengalaman dan informasi. Pak Suparno mengatakan bahwa salah satu kendala pendidikan di sini adalah tidak tersedianya fasilitas sekolah yang memadai di dekat wilayah mereka. Kalaupun ada harus menyeberang sungai Wampu. Mana jalan-jalan dan sarana transportasi belum lancar. Hampir sama dengan masyarakat kampong Bali, hal yang diharapkan masyarakat Paya Kerbo adalah persoalan sarana jalan dan transportasi. Pak Misdi juga menekankan hal ini. Selain persoalan transportasi, Pak Misdi menginginkan adanya tempat-tempat kursus seperti perbengkelan atau kerajinan tangan. Misalnya mengelola bamabu atau lainnya, karena di daerah ini banyak terdapat bambu. E. Pembahasan 1. Peranan Pendidikan Dalam Masyarakat Masyarakat memegang peranan penting dalam pendidikan dari berbagai faktor. Faktorfaktor tersebut antara lain yaitu faktor ekonomi, budaya, sosial. Dari kasus kampong Bali dan Paya keebo kita melihat bahwa faktor ekonomi dan budaya telah mendorong pendidikan anak di Kampung Bali sedangkan di Paya Kerbo kedua faktor ini juga telah menurunkan motivasi pendidikan masyarakatnhya. Hal ini sejalan dengan peranan-peranan oreang tua dalam lembaga-lembaga pendidikan dijalankan bersama pemerintah untuk mencapai tujmuan pendidikan masyarakat. Pada dasarnya peranan masyarakat dalam memajukan pendidikan juga dipengaruhi oleh pendidikan masyarakat tersebut. Dengan kata lain bahwa masyarakat yang kurang beependidikan juga kurang motivasi dan perhatian terhadap pendidikan. Hal ini tampak seperti mata rantai yang terus berhubungan. Oleh karena itu mata rantai ini harus diputuskan dan dirangkai dengan mata rantai baru, yang dapat memberikan motib=vasi pendidikan satu sama lain, sehingga akan memberikan pencerahan kepada masyarakat dan tujuan-tujuan pendidikan termasuk tujuan sosial pendidikan akan tercapai. Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat terdapat bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
Wuradji menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial.15 Jeane H. Ballantine menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial.16 Meta Spencer dan Alec Inkeles menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.17 Dari tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain. 1) Fungsi Sosialisasi. Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anakanak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilanketerampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis. Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini sebelumnya, 15 16
Wuradji, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: P2LPTK, 1988), hal. 31-42. Jeanne H. Ballantine, the Sociology of Education: A Systematic Analysis (England: Sage Publications, 1983), hal. 5-
7. 17
Meta Spencer dan Alex Inkeles, Sosiology (1982), hal. 4.
mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction). Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anakanak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut di antaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-masa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional. Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicitacitakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu. Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif. Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus berjalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (museum of virture). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan
hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan. Sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus. Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswasiswa. 2) Fungsi kontrol sosial Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa pendidikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial.18 Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku. Sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah. 3) Fungsi pelestarian budaya masyarakat. Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya. Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, 18
Jeane H. Bellatine, the Sociology of Education: A Systematic Analysis, hal. 8.
sekolah di Sumatera Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional. Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya. 4) Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja. Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu. Proses seleksi ini terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk pada jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu, untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu. Sebagai contoh untuk dapat masuk pada suatu sekolah menengah tertentu harus menyerahkan nilai EBTA Murni (NEM). Nilai NEM yang masuk dipilih nilai NEM yang tinggi dari nilai tertentu sampai nilai yang terendah. Jika bukan nilai yang menjadi persyaratan yang ketat tetapi biaya sekolah yang tak terjangkau untuk masuk sekolah tertentu. Oleh karena itu anak yang nilainya rendah dan ekonominya lemah tidak kebagian sekolah yang mutunya tinggi. Demikian pula untuk memangku jabatan pada pekerjaan tertentu, mereka yang diharuskan mengikuti seleksi dengan berbagai cara yang tujuannya untuk memperoleh tenaga kerja yang cakap dan terampil sesuai dengan jabatan yang akan dipangkunya. Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja mempunyai dua hal. Pertama sekolah digunakan untuk menyiapkan tenaga kera profesional dalam bidang spesialisasi tertentu. Untuk memenuhi ini berbagai bidang studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil dan berkemampuan yang tinggi dalam bidangnya. Kedua dapat digunakan untuk memotivasi para pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadap kanier dan pekerjaan yang dipangkunya. Sekolah mengajarkan bagaimanan menjadi seorang yang akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa tanggung jawab akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat dan martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya. Sekolah mempunyai fungsi pengajaran, latihan dan pendidikan. Fungsi pengajaran untuk menyiapkan tenaga yang cakap dalam bidang keahlian yang ditekuninya. Fungsi latihan untuk mendapatkan tenaga yang terampil sesuai dengan bidangnya, sedang fungsi pendidikan untuk menyiapkan seorang pribadi yang baik untuk menjadi seorang pekerja sesuai dengan bidangnya. Jadi fungsi pendidikan ini merupakan pengembangan pribadi sosial. 5) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial. Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau
modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan. Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi. Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya. Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffussion). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan. Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya. Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-
lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif. 6) Fungsi Sekolah dalam Masyarakat Di muka telah dibicarakan tentang adanya tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal disebut juga sekolah. Oleh karena itu sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai partner masyarakat dan (2) sebagai penghasil tenaga kerja. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya. Tujuan pendidikan bukan hanya membentuk intelektual saja namun juga membentuk akhlak dan moral yang baik. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Dalam prakteknya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Menurut Amir19, nilai-nilai yang terdapat dalam wayang, oleh sejarahnya yang teramat panjang, merangkum nilai-nilai yang berasal dari system etika purba, Hinduisme/Budhisme, Islam, aliran-aliran kepercayaan/kebathinan dan lain-lain. Ajaran wayang purwa banyak mempengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat penggemarnya (Jawa). Seorang pemerhati wayang di Yogyakarta, Tjipto Haribowo memandang kesenian wayang kulit dapat dipakai sebagai sebuah media pembelajaran hidup mulai dari sensitivitas, sensibilitas, etika, demokratisasi, atau bahkan pembelajaran bagaimana hidup dalam suasana pluralism.20 Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa maupun sebagai dasar negara/ideologi negara adalah sebuah kesadaran; artinya kita meyakini nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan penuh kesadaran. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa eksistensi kita sebagai bangsa dan negara yang sangat beragam ini adalah sebuah potensi, jika dikelola dengan baik dengan meng-implementasikan nilai-nilai Pancasila di berbagai bidang: kesenian, ilmu
19 20
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang (Jakarta: Sinar Harapan, 1997) Aris Rahman, http://www.madina-sk.com.
pengetahuan, teknologi, pendidikan, hukum, sejarah, ekonomi, industri dan sebagainya maka niscaya akan membuat kita menjadi sebuah bangsa dan negara yang besar.21 F. Penutup Secara umum pendidikan anak-anak di Kampong Bali dan Paya Kerbo terkendala oleh karena faktor jarak dan faktor ekonomi. Secara khusus, pendidikan anak kurang mendapat motivasi dan informasi. Akses pendidikan bagi sebagian masyarakat bukanlah sekedar sekolah formal saja tetapi juga informal dan non formal. Pendidikan tidak hanya diperoleh dari sekolah tetapi juga diperoleh dnegan cara bekerja dan membantu orang tua. Faktor penghalang bagi anak untuk mendapatkan akses ke dunia pendidikan di Kampong Bali dan Paya Kerbo secara umum dari aspek sarana jalan dan transportasi. Hal ini disebabkan jarak sekolah mereka yang jauh sementara jalan-jalan dan transportasi belum lancar. Berkaitan dengan kondisi sarana jalan dan transportasi yang sulit, masyarakat mengharapkan adanya perbaikan sarana jalan dan transportasi. Sementara beberapa tokoh meninginkan adanga gedung sekolah SMP di dua wilayah ini dan kursus-kursus yang dapat mejadi bekal anak-anak di masa depan mereka. Melihat hal di atas maka Perlu adanya sosialisasi tentang Peningkatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Sosialisasi pendidikan dianggap penting dalam hal ini diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang perlunya pendidikan bagi anak-anak. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat dan pemahaman bahwa pendidikan adalah bukan sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat fisik dan material saja seperti kebutuhan sandang dan pangan semata. Namun pendidikan juga memenuhi kebutuhan yang bersifat rohani, keterampilan hidup, pemaknaan hidup, mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya. Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Hasil penelitian ini hendaknya menjadi penelitian terdahulu bagi mereka yang memiliki minat dan perhatian akses pendidikan anak di desa terpencil. Data-dat dalam penelitian ini belum final oleh karena itu hendak penelitianini menjadi sumber awal bagi penelitian lebih lanjut.
21
Nurul Arifin, Pancasila Antara Harapan dan Kenyataan (2008)
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. Nilai-nilai Etis dalam Wayang (Jakarta: Sinar Harapan, 1997) Aris Rahman, http://www.madina-sk.com. Ballantine, Jeanne H. The Sociology of Education: A Systematic Analysis. England: Sage Publications, 1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Dister, Nico Syukur. Pengalaman dan Motivasi. Jogjakarta: Kanisius, 2001. Inkeles, Alex and Donal B. Holsinger. Education and Individual Modernity in Developing Countries. Leiden: E.J. Brill, 1974. Kaufman, Roger A. Educational System Planning. New Jersey: Prentice Hall Inc., 1974. Kompas, 24 November 2005, hal. 7. Kompas, 6 Agustus 2004. Lapagu, Riswan. “Pendidikan Untuk Semua: Sejarah, Kondisi Pendidikan Setelah Jomtien dan Dakar, dan Tindakan yang Perlu Dilakukan.” dalam Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. Vol. 3, Nomor 4, Ontober-Desember 2005. Merrie Sell, http://www.msu.edu/user/sellmerr/reviewing_five_approaches_to_res. htm. Miles, M.B. and A.M. Huberman. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. Canada: Sage Publications, Thousand Oaks, 1994. PP. No.57 Tahun 2005. Totten, W. Fred and Frank J. Manley. The Community School: Basic, Concepts, Function and Organization. Michigan: Alied education Council, 1969. UU R.I. No. 2 Tahun 1989, Bab I, Pasal I. Wawancara dengan Dewa Putu Dana, ketua adat dan agama atau Pandidita Kampong Bali Langkat dari di rumahnya Jumat tanggal 21 Oktober 2011, jam 14.00 – 15.30 WIB. Wawancara dengan Pak Men. Penduduk Paya Kerbo Langkat, di rumahnya tanggal 20 Oktober 2011. Wawancara dengan Pak Misdi kepala Dusun Paya Kerbo Langkat di rumahnya Jumat tanggal 21 Oktober 2011, jam 20.00 – 22.30 WIB. Wawancara dengan Pak Nyoman Sumandro, kepala Dusun Kampung Bali Langkat di rumahnya Jumat tanggal 21 Oktober 2011, jam 16-30 – 17.30 WIB. Wuradji. Sosiologi Pendidikan.Jakarta: P2LPTK, 1988.