Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
RESILIENSI PENGAJAR MUDA DI SEKOLAH DAERAH TERPENCIL: SEBUAH STUDI KASUS Ratih Arruum Listiyandini dan Titi Sahidah Fitriana Fakultas Psikologi Universitas YARSI
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Guru merupakan sosok yang berperan penting dalam rangka turut mencerdaskan anak bangsa. Melalui guru, seseorang bukan hanya belajar mengenai ilmu pengetahuan tetapi juga karakter dan cara hidup. Sayangnya, di Indonesia, pentingnya peran guru ini belum diimbangi dengan pemerataan jumlah pengajar yang berkualitas, terutama pada sekolah yang ada di daerah terpencil. Dilatarbelakangi oleh semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara lebih merata, muncul gerakan yang mendorong para pemuda lulusan perguruan tinggi untuk mengabdi sebagai guru di daerah-daerah terpencil. Para guru ini disebut sebagai pengajar muda. Penelitian studi kasus melalui wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran dinamika antara faktor internal resilliensi, faktor protekstif eksternal, dan faktor resiko pada seorang pengajar muda di daerah terpencil. Melalui studi kasus yang dilakukan, ditemukan bahwa faktor resiko yang dialami subjek meliputi tantangan geografis dan sosiologis di area penempatan. Namun demikian, ditemukan adanya berbagai faktor protektif internal yang bisa menyebabkan subjek mampu bertahan dan beradaptasi dengan baik, diantaranya fleksibilitas kognitif, regulasi emosi dan kendali impuls, keyakinan diri dan optimisme, serta empati. Sebagai penelitian awal, hasil dari penelitian diharapkan bisa menjadi acuan untuk menyusun program pengembangan dan persiapan bagi para pengajar muda sebelum turun menjadi guru di sekolah daerah terpencil. Kata Kunci: resiliensi, guru, daerah terpencil
PENDAHULUAN Pendidikan adalah kunci pembangunan suatu bangsa. Melalui pendidikan, anak-anak bangsa akan ditempa pola fikirnya menjadi lebih berkualitas sehingga suatu hari ia dapat menjadi agen perubahan yang memajukan perekonomian bangsa. Pentingnya pendidikan yang berkualitas disadari pula oleh Pemerintah Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pasal yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1). Bahkan Pemerintah juga wajib menganggarkan 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional (pasal 31 ayat 4). Peraturan yang terdapat di dalam UUD 1945 ini menegaskan urgensi penyelenggaraan pendidikan bagi Pemerintah Indonesia. Namun sayangnya, kondisi pendidikan di Indonesia bagaikan peribahasa ‘jauh panggang dari api’. Peraturan Pemerintah yang menjamin penyelenggaraan pendidikan berkualitas tidak 1
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
terlihat implementasinya di lapangan. Pendidikan yang berkualitas (dan terus ditingkatkan kualitasnya) hanya terjadi di pusat-pusat kota di Indonesia. Sementara itu, masih banyak daerah tertinggal di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas dan sumber daya pendidikan yang memadai. Seperti yang peneliti kutip dari http://berita.upi.edu/, beberapa permasalahan penyelenggaraan pendidikan di daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T) antara lain; persediaan dan distribusi tenaga pendidik yang tidak seimbang, insentif rendah, guru-guru yang kurang kompeten, ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang ditempuh, serta penerapan kurikulum di sekolah belum sesuai dengan mekanisme dan proses yang standar. Secara umum dapat disimpulkan bahwa permasalahan pendidikan di daerah terpencil sangat terkait dengan ketersediaan guru yang berkualitas dan penerapan kurikulum yang standar. Ketersediaan guru yang berkualitas dapat dikatakan sebagai faktor yang paling penting dalam upaya mengubah kondisi pendidikan di Indonesia. Melalui tangan guru, maka pengetahuan dan pendidikan karakter anak bangsa dapat berubah menjadi lebih baik. Melalui tangan guru pula, sebuah kurikulum pembelajaran yang berkualitas dapat tersampaikan kepada anak didik. Konsep berfikir inipulalah yang mendasari pendirian gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan Indonesia Mengajar memiliki misi untuk meningkatkan pemerataan pendidikan di Indonesia dengan menyediakan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan. Pada saat yang sama, gerakan penempatan para guru di daerah terpencil ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran kepemimpinan bagi anak muda di Indonesia agar memiliki kompetensi kelas dunia dengan pemahaman akan realita lapangan. Misi yang dibawa oleh Indonesia Mengajar ini bukanlah misi yang ringan. Para pengajar muda akan ditempatkan di daerah terpencil di Indonesia. Kondisi demografis, karakter masyarakat dan sarana prasarana di daerah penempatan sangat jauh berbeda dengan kondisi asal dari para pengajar muda. Karena hal inilah, Indonesia Mengajar mengadakan seleksi yang amat ketat dan pembekalan yang amat memadai bagi para calon pengajar muda. Indonesia Mengajar berharap dengan seleksi dan pembekalan maka para pengajar muda mampu bertahan dan membawa perubahan di daerah penempatan. Bertahan di sebuah daerah dengan situasi yang amat berbeda tentu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh para pengajar muda. Apabila sudah terjun ke daerah penempatan, maka para pengajar muda ini ‘dipaksa’ untuk bertahan selama satu tahun. Mereka ditempatkan dalam kondisi penuh stres akibat hadirnya berbagai masalah baru di 2
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
sekitar mereka. Hal ini tentu menjadi resiko tersendiri bagi pengajar muda. Di sisi lain, para pengajar muda dituntut untuk menggunakan segala aset yang mereka miliki untuk beradaptasi, mengatasi masalah dan menciptakan perubahan. Tidak hanya kepada anak didik tetapi juga masyarakat sekitar. Interaksi antara resiko dan aset ini disebut dengan resiliensi. Apabila didefinisikan, resiliensi adalah kemampuan untuk gigih, mengatasi masalah dan beradaptasi dengan baik ketika berhadapan dengan situasi yang tidak seharusnya (Reivich dan Shatte, 2002). Apabila seseorang memiliki resiliensi yang tinggi maka ia akan memanfaatkan segala aset yang ada untuk mengatasi resiko sehingga ia mampu mengatasi masalah dan beradaptasi dengan baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa resiliensi adalah faktor yang berperan penting agar seseorang dapat bertahan pada situasi sulit. Berdasarkan latarbelakang tersebut, peneliti menduga bahwa para pengajar muda yang telah berhasil bertahan dalam masa pengabdiannya selama satu tahun di daerah terpencil tentu memiliki resiliensi diri yang tinggi. Mereka mampu mengatasi resiko yang hadir di lingkungan dengan memaksimalkan fungsi dari aset diri dan memanfaatkan aset lingkungan yang terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui lebih dalam mengenai dinamika resiliensi pengajar muda di sekolah daerah terpencil. Penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada individu, khususnya mengenai pengajar di sekolah daerah terpencil dan mengetahui faktor-faktor protektif internal yang dibutuhkan dalam diri individu yang memutuskan bekerja di daerah terpencil. Bagi pihak yang berkepentingan, hasil dari penelitian diharapkan bisa menjadi acuan untuk menyusun program pengembangan dan persiapan bagi para pengajar sebelum turun menjadi guru di sekolah daerah terpencil.
Resiliensi Dalam penelitian ini, definisi resiliensi yang akan digunakan adalah dari Reivich dan Shatte (2002) yaitu “ability to cope well with adversity and persevere and adapt when things go awry”. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik berbagai tantangan yang muncul, gigih, dan beradaptasi ketika berhadapan dengan situasi yang tidak seharusnya. Resiliensi melibatkan interaksi antara risiko dan aset. Individu, keluarga, lingkungan dan seting sosial mengandung risiko dan aset. Individu hanya dapat disebut resilien ketika mereka berada dalam situasi berisiko. Faktor risiko adalah segala bentuk tindakan, tingkah 3
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
laku dan karakteristik yang dapat mengurangi resiliensi. Faktor risiko dapat memperbesar peluang kemungkinan tingkah laku maladaptif, gangguan kesehatan dan mengurangi kesejahteraan psikologis akibat kesulitan dalam hidup (Clay & Silberberg, 2004). Aset, atau biasa juga disebut dengan faktor protektif, adalah segala bentuk tindakan, tingkah laku dan karakteristik yang mendukung perkembangan resiliensi seseorang (Clay & Silberberg, 2004). Faktor protektif bersifat internal dan eksternal (Grotberg ,1997).
Faktor Protektif Internal dan Eksternal Menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat 7 faktor protektif internal yang dapat meningkatkan resiliensi yang dimiliki oleh seseorang. Ketujuh faktor tersebut adalah ; 1. Regulasi emosi yaitu kemampuan untuk tetap tenang ketika berada di bawah tekanan. Orang-orang yang resilien dapat mengendalikan emosi mereka, terutama saat berhadapan dengan tantangan dan dinamika masalah sehingga dapat tetap fokus kepada tujuan. 2. Kontrol impuls adalah kemampuan untuk mengendalikan perilaku ketika berada di bawah tekanan. Kontrol impuls sangat terkait dengan kemampuan untuk meregulasi emosi pada seseorang. 3. Fleksibilitas kognitif (Analisis sebab-akibat) adalah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah secara komprehensif dan akurat. Hal ini dapat menghindari terjadinya kesalahan secara berulang dan menunjukkan seberapa jauh seseorang mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. 4. Efikasi diri adalah perasaan mampu dan menguasai kondisi di sekitar. 5. Realistic optimism adalah rasa yakin bahwa sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik dan ada harapan di masa depan serta rasa mampu untuk mengendalikan hidup. 6. Empati adalah kemampuan untuk memahami isyarat orang lain yang menggambarkan kondisi psikologis dan emosional mereka. 7. Reaching out adalah kemampuan untuk mencari tantangan, kesempatan dan hubungan baru atau memaksimalkan semua kemampuan diri untuk mencapai kepuasan, sukses dan resiliensi yang dimiliki. Sementara itu, faktor protektif eksternal meliputi keluarga yang mendukung dan kondisi lingkungan yang melibatkan partisipasi individu (Reivich dan Shatte, 2002).
4
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif melalui studi kasus. Sebagai salah satu metode penelitian ilmu sosial, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pertanyaan penelitian berhubungan dengan “bagaimana (how)” atau “mengapa (why)”, bila peneliti memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa, dan bila fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer dalam kehidupan nyata (Yin, 2009). Menurut Poerwandari (2007), pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari berbagai kasus khusus tersebut. Poerwandari (2007) menyatakan bahwa kasus merupakan fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Dalam studi kasus, sumber data bisa berasal dari dokumentasi, arsip, wawancara, observasi, atau bukti fisik lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti memilih studi kasus sebagai metode atas dasar ketertarikan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana gambaran resiliensi pada pengajar muda saat berada di daerah terpencil. Penelitian dilakukan melalui wawancara terstruktur pada satu orang untuk memahami fenomena berdasarkan teori resiliensi yang sudah ada. Melalui studi kasus, diharapkan keunikan pengalaman subjek sebagai pengajar di daerah terpencil mampu tergali lebih dalam.
Partisipan Subjek penelitan dalam studi kasus ini adalah seorang perempuan bernama Bunga (bukan nama sebenarnya). Tahun 2011, ia pergi ke sebuah desa terpencil di Maluku sebagai pengajar muda. Bunga merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dan saat ini berusia 25 tahun. Setelah kembali ke kota dari tugas mengajarnya pada tahun 2012, ia bekerja sebagai guru anak berkebutuhan khusus di sebuah sekolah swasta. Berikut gambaran subjek penelitian: Identitas
Keterangan
Nama
Bunga
Jenis Kelamin
Perempuan 5
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Usia
25 tahun
Daerah Penempatan
Maluku
Suku
Jawa
Bunga merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dan bersuku bangsa Jawa/ Ayahnya adalah seorang pengambil kebijakan di sebuah perusahaan ternama dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Di rumah, Bunga hidup berkecukupan dengan disediakannya fasilitas mobil dan supir untuk antar jemput serta rumah yang memiliki asisten rumah tangga. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam bidang ilmu perilaku di sebuah universitas negeri ternama. Sepanjang kuliah, Bunga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di kampus dan menyalurkan hobinya, yaitu menari, dengan membentuk kelompok peminatan tari di kampus.
HASIL PENELITIAN Wawancara dilakukan untuk menggali mengenai latar belakang keberangkatan Bunga sebagai pengajar di daerah terpencil, tantangan dan pengalaman Bunga selama menjadi pengajar, dan penghayatan pribadi yang didapatkan pasca kepulangan.
Dari hasil wawancara, peneliti kemudian melakukan analisa tematik berdasarkan teori yang ada. Berikut adalah pemaparan mengenai hasil peneilitian:
Obervasi Umum Bunga adalah seorang perempuan berjilbab yang saat ini berusia 25 tahun. Dengan tinggi badan sekitar 155 cm dan berat badan sekitar 65 kg, postur badannya terlihat gemuk. Sepanjang wawancara, kontak matanya terjaga. Secara umum, ekspresi emosinya sesuai dengan hal yang diceritakan selama wawancara. Sebagai contoh, ia seringkali melontarkan senyum dan tertawa ketika menceritakan pengalamannya mengajar dan berinteraksi dengan anak-anak. Namun terkadang, mata Bunga juga tampak berkaca-kaca saat menceritakan beberapa peristiwa, khususnya mengenai pengalaman spiritualnya sebelum mengenakan jilbab, kebaikan para warga di tempatnya mengajar, dan perjuangan para siswanya di tengah keterbatasan yang ada. Bunga tampil komunikatif. Intonasi suaranya bervariasi dan ia juga mengungkapkan detal-detail pengalamannya dengan runtut dan tegas. 6
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Latar Belakang Menjadi Pengajar di Daerah Terpencil Setelah lulus dari program sarjana, Bunga ingin mencari pekerjaan yang bisa menambah pengalaman baru sekaligus berkaitan dengan anak-anak. Bunga memiliki keinginan untuk mencari nilai lebih dalam kehidupannya, yaitu tantangan yang berbeda dengan rutinitas sehari-harinya. Ia ingin merasakan adanya perbedaan dan variasi pengalaman dalam pekerjaannya. Selain adanya keinginan untuk mencari tantangan baru, Bunga juga menyatakan bahwa ia sangat menyukai anak-anak. Oleh karena itu, kegiatan mengajar anak-anak merupakan suatu hal yang menarik baginya. Bunga menyatakan bahwa ia mendengar adanya program mengajar di sekolah daerah terpencil yang digagas oleh Indonesia Mengajar dari kampus tempatnya belajar. Setelah mencari tahu lebih banyak, ia merasa bahwa program mengajar di sekolah terpencil yang ditawarkan yayasan tersebut sebagai program yang terpercaya. Ia membaca buku dan kisah para pengajar muda yang sebelumnya telah bekerja di daerah terpencil dan tertarik untuk merasakan hal yang dialami oleh pengajar muda angkatan sebelumnya.
Persiapan Sebelum Keberangkatan Bunga melalui beberapa tahapan proses seleksi sebelum akhirnya diterima menjadi calon pengajar. Setelah ia terpilih, Bunga bergabung dengan program pelatihan bagi Pengajar Muda yang diselenggarakan oleh pihak pengelola. Pelatihan dilakukan selama dua bulan dalam kondisi karantina. Pembekalan yang diberikan menurut Bunga sangat bermanfaat. Beberapa diantaranya adalah menonton video motivasi dari pendiri yayasan, kurikulum sekolah dasar, serta pembekalan tentang metode mengajar yang kreatif. Menurut Bunga, ia belajar banyak selama pelatihan berlangsung. Bunga merasa mendapatkan ilmu baru mengenai kurikulum yang diajarkan sekolah dan semakin memahami bahwa menjadi guru yang sejati bukanlah hal mudah. Menurutnya, guru yang sejati adalah guru yang memang benar-benar bisa menginspirasi sepanjang hidup. Dari materi yang diberikan, Bunga semakin sadar dan menghargai guru-gurunya. Tim pengajar muda sendiri sering diingatkan bahwa cita-cita dasar mereka adalah untuk mengajar dengan kerendahan hati. Mereka tidak pernah tahu sejauh mana bisa sampai tahap ‘mendidik’ dan yang mereka bisa lakukan hanyalah berusaha yang terbaik.
7
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Gambaran Daerah Penempatan Bunga ditempatkan di salah satu desa terpencil di Maluku bernama W. Desa ini adalah desa yang terletak di pesisir laut. Di desa ini, tidak ada sinyal telfon selular dan listrik hanya dapat dihasilkan melalui generator (jenset) yang berbahan bakar minyak tanah. Untuk menempuh desa ini, dibutuhkan waktu beberapa jam dari Ambon dan harus melalui perjalanan menyeberangi laut yang keadaannya sangat tergantung dengan cuaca. Secara demografis, masyarakat di sana berpenghasilan sebagai petani rumput laut dan pengering kelapa. Pendapatan mereka antara 5-20 juta per bulan karena harga komoditi yang dijual relatif berharga tinggi. Seperti halnya penduduk pesisir lainnya, makanan utama mereka adalah ikan. Seluruh penduduk beragama Kristen dan mereka sangat menghargai pemuka agama di sana. Masyarakat di sana juga memiliki tradisi pela gandong atau gotong royong, sering mengadakan pesta, dan sangat suka menari. Para penduduk menghargai pendatang dan memperlakukan tamu dengan baik.
Pengalaman dan Tantangan Selama Menjadi Pengajar di Sekolah Terpencil Awal Kedatangan Selama tinggal dan bekerja jauh dari daerah asalnya, Bunga mengalami beberapa tantangan. Hal ini bermula dari kedatangan hingga saat berada di daerah untuk mengajar. Beberapa hari di awal, Bunga merasa bahwa ia merasa kesepian. Ia mengaku sebagai seorang yang senang bergaul dengan orang lain. Namun dengan kondisi belum mengerti bahasa dan budaya di desa, Bunga merasa tidak ada orang yang bisa diajaknya berdiskusi ataupun berbagi. Tidak ingin larut dalam rasa sepi, Bunga akhirnya memutuskan bahwa ia perlu bertemu dengan teman-temannya sesama pengajar muda yang ada di area Maluku untuk memberikan semangat. Setelah ia kembali dari teman-temannya, Bunga pun merasa lebih bersemangat. Ia kemudian mengajak seorang anak anggota keluarga untuk berkeliling desa. Dari sana, Bunga pun mulai mengenal penduduk desa.
Perbedaan Nilai dan Budaya Setelah beberapa saat mengenal penduduk desa, Bunga menemukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Ia menemukan bahwa kekerasan atau bullying ternyata menjadi sebuah tradisi yang lumrah bagi penduduk desanya. Berbeda dengan apa yang ia pelajari dan yakini, penduduk desanya beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk mendidik anak agar 8
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
menurut adalah melalui kekerasan. Hal ini dilakukan orangtua terhadap anaknya maupun guru terhadap siswanya. Pada awalnya, Bunga berusaha menyampaikan ketidaknyamanannya secara lisan kepada orang di sekitarnya. Namun komentar mereka adalah “Ibu itu guru orang jawa, kalau kami mana bisa…”. Cara penyampaian lisan yang dilakukan Bunga ternyata tidak berhasil. Ia tetap melihat kekerasan terus menerus terjadi di depannya. Pada awalnya, ia merasa putus asa karena tidak bisa mengubah lingkungan sesuai dengan apa yang diharapkannya. Ia juga sering menangis seorang diri saat melihat para siswanya mendapat kekerasan dari guru yang lain. Namun, setelah ia berpikir dan melakukan refleksi lebih dalam, Bunga menemukan bahwa tidak semua hal bisa ia ubah, termasuk budaya kekerasan di desanya itu. Ia kemudian memutuskan untuk menerima itu sebagai bagian dari perbedaan nilai. Namun di sisi lain, ia juga mulai berpikir bahwa hal yang paling kecil yang bisa ia lakukan hanyalah memberi pengetahuan lebih banyak mengenai dampak kekerasan dengan tetap menjaga integritas yang dimilikinya di depan siswa-siswanya. Untuk memberi kesadaran dan pengetahuan, Bunga akhirnya menemukan ide, yaitu membawa dan meletakkan majalah mengenai edukasi anti kekerasan di meja rapat para guru. Beberapa guru mulai tertarik untuk membaca dan kemudian bertanya lebih lanjut kepada Bunga. Meskipun hal ini tidak mengubah perilaku para guru, namun para guru mulai memahami sudut pandang Bunga mengenai kekerasan dan menerima cara Bunga untuk mendidik siswanya. Selain itu, untuk menjaga integritas yang dimilikinya, setiap kekerasan muncul, Bunga berusaha tidak melihat dan menunjukkan keberadaannya di lokasi. Ia sendiri tetap konsisten untuk tidak menerapkan metode kekerasan kepada para siswanya. Lebih lanjut, Bunga juga merasakan adanya tantangan berkaitan dengan lingkungan sosial. Bunga mengemukakan bahwa penduduk di desanya, tidak satu pun yang beragama Islam. Oleh karena itu, ketika Bunga memutuskan untuk menggunakan jilbab, ada banyak orang yang berpikir negatif bahwa Bunga akan menyebarkan paham keislamannya kepada penduduk. Bunga berusaha untuk tidak menganggap hal ini sebagai ancaman dan dia tetap menjalin hubungan baik dengan masyarakat. Hingga suatu ketika penduduk akan mengadakan tradisi pesta rakyat, Bunga kemudian mengajarkan mereka gerakan-gerakan menari yang dikuasainya. Dari sana, penduduk desa kemudian menjadi lebih terbuka dab merasa senang dengan mengatakan bahwa Bunga ternyata meskipun keturunan jawa namun “Ambon sekali karena pandai menari..” . Melalui kejadian itu, para penduduk tidak pernah mengungkit mengenai agama dan asal suku Bunga yang berbeda.
9
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Siswa dan Pembelajaran Kisah lain yang berhubungan dengan budaya kekerasan di sekolah juga terjadi pada siswanya. Pada saat itu, Bunga mengaku bahwa dirinya harus mengajar beberapa kelas sekaligus karena para guru yang lain sedang pergi ke kota. Saat ia mengajar di satu kelas, tiba-tiba ada seorang siswanya dari kelas lain melaporkan bahwa seorang siswa bernama X, yang terkenal sering membuat ulah, melukai temannya bernama Y hingga mengalami cedera kepala. Pada awalnya ia tidak percaya, namun karena siswa tersebut terus meyakinkannya, maka Bunga segera mengunjungi lokasi kejadian. Bunga pada saat itu merasa sangat kaget saat melihat bahwa kepala Y ternyata terluka cukup parah hingga mengeluarkan darah. X sendiri, sebagai pelaku, berdiri di pojok ruangan dengan gemetar, wajah pucat dan kepala tertunduk. Hal yang dipikirkan Bunga saat itu adalah ia harus segera mencari pertolongan pertama terlebih dahulu bagi Y yang terluka. Berbeda dengan apa yang ia pikirkan, para siswa lainnya justru langsung berkerumun dan berkata “Mari kita laporkan X ke papanya, biar X kena pukul papanya”. Mendengar hal itu, Bunga langsung menghalangi jalan keluar menuju gerbang dan mengingatkan dengan tegas para siswanya bahwa ia tidak ingin satu pun siswanya ke luar kelas sebelum ia kembali. Bunga berpikir bahwa apabila X sampai dilaporkan oleh para siswanya, maka nilai anti kekerasan yang sudah ditanamkannya kepada para siswa menjadi luntur. Setelah menenangkan dirinya, Bunga kemudian segera membawa Y ke rumah terdekat dari sekolah dan mengambil peralatan untuk pertolongan pertama ke rumahnya. Setelah Y diberi pertolongan pertama, Bunga kembali ke sekolah dan kemudian melakukan pengarahan kepada para siswanya. Ia menyampaikan pertanyaan kepada siswanya , “Apa gunanya kalian melaporkan X ke rumahnya?”. Mereka berkata bahwa agar X terkena hukuman dari ayahnya dan tidak mengulang lagi perbuatannya. Dari sana, Bunga kemudian memberikan pertanyaan lain kepada siswanya, “Lalu, bagaimana dengan Y? Apakah kalian tidak lihat bahwa dia luka? Sebaiknya, kalau ada teman yang terluka.lebih penting untuk menolongnya terlebih dahulu”. Setelah itu, Bunga kemudian memberikan pengarahan kepada para siswanya bahwa ia sendiri yang akan memulangkan X dan memberi penjelasan kepada orangtua X. Setelah para siswanya tenang, pembelajaran hari itu diselesaikan. Bunga kemudian langsung menemani X menemui orangtuanya. Pada waktu itu, Bunga hanya bertemu dengan ibu X. Setelah memberi penjelasan, Bunga menyampaikan bahwa ia berharap bahwa ibunya tidak perlu melaporkan hal itu kepada ayahnya. Bunga khawatir bahwa ayah X akan 10
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
memberikan hukuman kekerasan apabila mengetahui hal itu. Bunga juga berhasil meyakinkan ibu X bahwa ia sendiri sebagai guru yang akan
bertanggungjawab dan
memberikan konsekuensi pada X. Keesokan harinya, X diberikan konsekuensi olehnya untuk membantu Y menyelesaikan piket selama beberapa minggu. Menurutnya, pengalaman itu menjadi hal yang sangat berkesan karena semenjak peristiwa pertengkaran X dan Y, X justru mulai menunjukkan minat untuk belajar. X mulai mengurangi ulahnya dan sangat senang untuk mendatangi Bunga untuk menanyakan banyak hal. Di akhir semester, X bahkan bisa termasuk menjadi siswa dengan nilai tertinggi di kelas. Melihat hasil yang dicapainya, para guru di sana bertanya-tanya bagaimana cara Bunga melakukannya. Bunga pun kemudian mengemukakan bahwa itu semua terjadi karena pendidikan dengan menekankan kasih sayang yang ia terapkan. Dari sana, para guru pun semakin sadar bahwa untuk mendidik anak menjadi cerdas, kekerasan terkadang tidak berguna dan justru kasih sayang yang bisa membantu menumbuhkan kecerdasan dan semangat belajar siswa. Selain berkaitan dengan budaya kekerasan yang ada di sekolah dan lingkungan desanya, Bunga juga mengalami tantangan terkait dengan keterbatasan fasilitas di daerahnya. Sebagai contoh, suatu saat desanya tidak bisa mendapatkan minyak tanah dari luar pulau karena faktor cuaca. Hal ini mengakibatkan generator listrik tidak bisa berfungsi dan dampaknya adalah tidak ada listrik pada malam hari. Padahal, Bunga biasanya selalu membuka kelas belajar malam bagi para siswanya sebagai bimbingan tambahan. Pada awalnya, Bunga merasa bingung. Namun tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu bahwa meskipun di dalam ruangan tampak gelap, di luar justru terang karena cahaya bulan. Bunga pun mendapat ide untuk mengajak para siswanya belajar diterangi cahaya bulan. Suatu hal yang membuatnya tersentuh dan juga menjadi bagian dari hidayah spiritualnya adalah pada saat salah seorang siswanya berkata sambil menatap bulan, “Tuhan, terima kasih. Walau tak ada listrik, Engkau sudah menyalakan lampu dari atas sana”. Dari pengalaman itu, Bunga merasa bahwa ia semakin yakin akan keagungan Sang Pencipta. Pengalaman lainnya adalah berkaitan dengan ketidaktersediaan mesin cetak di sekolahnya. Di desa, para siswanya tidak mendapatkan akses lembar kerja siswa dari kota dan hal ini mengharuskan para guru untuk menyusunnya sendiri. Pada awalnya, Bunga bingung bagaimana caranya untuk memberikan lembar kerja siswa dalam jumlah banyak dengan tidak tersedianya komputer dan mesin cetak. Bunga kemudian mendapatkan ide untuk menggunakan ‘kertas bon hitam’ yang bisa menduplikat tulisan pada kertas di atasnya. 11
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Menurutnya, hal ini sedikit membantunya untuk tidak perlu menulisa satu demi satu lembar kerja siswanya. Setelah beberapa bulan menggunakan ‘kertas bon hitam’ itu, Bunga kemudian berinisiatif mengusulkan kepada para guru lainnya untuk mulai menabung dari kas sekolah membeli laptop dan mesin cetak. Hal ini disambut oleh para guru yang selama ini tidak terpikirkan hal tersebut dan di semester berikutnya, sekolah sudah memiliki laptop dan mesin cetak sebagai pendukung kegiatan belajar.
PEMBAHASAN Faktor Internal Resiliensi Berdasarkan hasil analisa tematik yang dilakukan, cara Bunga untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul sebelum keberangkatan, selama di lokasi penempatan, dan saat kembali ke daerah asal menunjukkan bahwa Bunga termasuk orang yang memiliki faktor protektif internal resiliensi. Berikut pemamparannya:
Regulasi emosi dan Kendali Impuls Pengalaman di awal kedatangan ini menunjukkan bahwa Bunga sangat memahami emosi di dalam dirinya dan mampu menyalurkan emosi yang dimiliki dengan cara yang tepat. Suatu hal yang menunjukkan bahwa ia memiliki regulasi emosi yang baik contohnya adalah pada saat pertama kali datang dan saat Bunga mengalami banyak tantangan dari aspek budaya dan pembelajaran. Saat pertama kali datang, Bunga tampak sangat menyadari bahwa ia merasa kesepian dan membutuhkan dukungan dari orang-orang yang dikenalnya. Saat menghadapi masalah dengan siswanya yang bertengkar, tampak pula bahwa tidak terpancing kondisi emosi sesaat. Ia berusaha menenangkan diri dan mencari jalan keluar yang rasional terhadap peristiwa yang terjadi.
Fleksibilitas Kognitif Secara kapasitas fungsi berpikir, tampak bahwa Bunga memiliki fleksibilitas berpikir yang memadai. Hal ini khususnya tampak dari cara Bunga menghadapi berbagai tantangan terkait keterbatasan fasilitas belajar di desa tempatnya mengajar. Ketika tidak ada penerangan karena generator yang tidak bisa berfungsi, Bunga kemudian bisa menemukan ide untuk menggunakan bulan sebagai sumber penerangan. Saat belum memiliki mesin cetak, Bunga
12
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
pun juga mendapat ide untuk menggunakan kertas kopi bon demi melakukan efisiensi tenaganya untuk menuliskan lembar kerja bagi siswa.
Efikasi Diri dan Optimisme yang Realistis Bunga tampak memiliki keyakinan mengenai masa depan yang lebih baik dan kemampuannya sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan. Hal ini terwujud dalam tindakan Bunga yang tetap berusaha mencari cara untuk memberikan kesadaran kepada para guru lainnya mengenai dampak buruk kekerasan bagi anak. Walaupun pada awalnya Bunga menginginkan adanya perubahan total mengenai hilangnya budaya kekerasan, Bunga pada akhirnya memiliki keyakinan yang lebih realistis bahwa membuat masyarakat sekitar sadar dan tahu mengenai efek buruk kekerasan serta pada akhirnya menerima cara Bunga yang anti-kekerasan sudah menjadi hal yang baik. Ia juga tidak menyerah saat ada tantangan terkait dengan budaya dan nilai agama yang berbeda dari masyarakat. Bunga justru tetap menjalin hubungan baik dengan masyarakat setempat karena didasari keyakinan bahwa masyarakat akan bisa menerimanya.
Empati Empati yang ada pada diri Bunga juga tampak menonjol. Hal ini terlihat dari bagaimana ia memahami perasaan dan kebutuhan siswanya saat situasi konflik terjadi. Saat ada siswanya yang terkenal sering berulah melakukan tindakan melukai temannya, Bunga memahami dari raut wajah dan sikap siswanya bahwa ‘si pelaku’ ini juga dalam kondisi takut dan merasa bersalah. Dengan empati yang dimilikinya, Bunga tidak langsung memarahi dan menghukum. Ia justru berfokus kepada penanganan pertama ‘si korban’ terlebih dahulu dan kemudian mencari strategi untuk memberi konsekuensi yang tepat bagi siswanya. Bunga justru menunjukkan kepada siswa tersebut bahwa ia menghargai dan melindungi harga diri ‘si pelaku’ di depan orangtua siswa. Dari empati tersebut, justru Bunga berhasil mengubah sikap siswa yang awalnya terkenal suka berulah itu menjadi siswa yang suka belajar dan mampu meraih hasil baik di akhir semester.
Reaching Out Pada Bunga, reaching out sudah tampak terjadi sebelum keberangkatan. Dalam hal ini, motivasi Bunga untuk mencari tantangan dan nilai baru dalam kehidupan dengan menjadi pengajar muda, merupakan bentuk dari karakter reaching out yang dimilikinya. 13
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Faktor Eksternal Resiliensi Selain adanya faktor protektif internal, tampak pula bahwa ketahanan Bunga selama berada di daerah terpencil juga didukung oleh adanya faktor protektif eksternal. Dalam hal ini, tampak bahwa keluarga yang menjadi tempat Bunga bernaung selama di daerah memegang peranan penting dengan mendukung dan memberikan berbagai pelayanan pada Bunga layaknya keluarga sendiri. Selain itu, komunitas pengajar muda sendiri yang bertugas di Maluku juga menjadi sumber penguat bagi diri Bunga ketika merasa jenuh atau kesepian. Dengan berinteraksi bersama komunitas yang saling mendukung ini, Bunga mendapatkan semangatnya kembali untuk mengajar dengan profesional.
Dinamika Faktor Protektif dan Resiko Apabila melihat kehidupan Bunga di daerah terpencil, tampak bahwa Bunga mengalami berbagai faktor resiko yang sebenarnya bisa mengganggu kesehatan mental Bunga apabila ia tidak mengimbanginya dengan resiliensi. Selain tantangan geografis, Bunga mengalami tantangan yang terkait dengan nilai budaya dan agama. Bunga juga mengalami berbagai tantangan dalam hal karakter siswa dan keterbatasan fasilitas. Namun berbagai faktor resiko tersebut tampaknya mampu dilalui dengan munculnya faktor protektif internal dalam diri Bunga dan juga didukung dengan adanya faktor protektif eksternal. Hal ini membuat Bunga mampu bertahan dengan baik selama ditugaskan mengajar di daerah terpencil.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan studi kasus yang dilakukan, tampak bahwa menjadi pengajar muda merupakan di daerah terpencil memiliki tantangan sendiri. Resiko yang dialami bukan hanya tantangan geografis, namun juga sosiologis. Namun, dibekali dengan faktor protektif eksternal, yaitu keluarga dan lingkungan serta faktor protektif internal dalam diri subjek, yaitu regulasi emosi dan kendali impuls, fleksibilitas kognitif, efikasi diri dan optimisme, empati, dan reaching out, maka subjek bisa menjadi pengajar muda yang resilien.
14
Temu Ilmiah Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) 2013
Saran Praktis •
Melalui penelitian ini ditemukan bahwa resiliensi berperan penting bagi para pegajar di daerah terpencil. Oleh karena itu, perlu adanya strategi dalam pengembangan resiliensi bagi para pengajar di daerah terpencil agar kinerja menjadi lebih optimal.
•
Proses seleksi melibatkan adanya penilaian mengenai karakter resilien pada individu dan seberapa jauh calon pengajar memahami dirinya.
•
Faktor protektif eksternal, khususnya komunitas yang mendukung pengajar di daerah terpencil bisa diperkuat karena ternyata juga berperan dalam resiliensi pengajar.
Saran Metodologis •
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Oleh karena itu, untuk berikutnya perlu juga dilakukan studi kasus komparatif (lebih dari satu kasus dengan karakteristik yang berbeda) untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.
•
Observasi partisipatoris secara langsung bila memungkinkan juga bisa dilakukan untuk menambah akurasi data.
DAFTAR PUSTAKA Clay, V. & Silberberg, S. (2004). Resilience Identification Resource. Faculty of Health University of Newcastle. Grotberg, E. H. (1997). The International Resilience Project. diunduh dari ResilienceNet Virtual Library http://resilnet.uiuc.edu/ pada tanggal 18 Mei 2011 Poerwandari,E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. LPSP3: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Reivich, K. & Shatte, A.(2002). The Resilience Factors. New York: Broadway Books. Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). The Development and Evaluation of The Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement. Springer Publication. Yin, R.K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. New York: Sage Publication.
15