PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT
TRI SINTYA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015
Tri Sintya NIM I34110078
ABSTRAK TRI SINTYA. Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat. Dibawah bimbingan SOFYAN SJAF. Keberadaan komunitas adat di Indonesia mengalami perubahan dalam aspek sosial dan politik. Awalnya aspek sosial komunitas adat masih berorientasi pada kepentingan bersama kini mulai berubah signifikan dengan azaz individu dan degradasi nilai. Pada dimensi politik keberadaan masyarakat adat juga terkait dengan keberadaan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta yang terakhir khusus membahas pengaturan Desa Adat yaitu UU No. 6 Tahun 2014. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi tata pemerintahan komunitas adat lebih diakui secara sah dan formal. Untuk itu penelitian ini betujuan menganalisis sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik. Penelitian dilakukan di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dengan metode kuantitaif serta dukungan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum eksistensi sosial politik adat di desa penelitian masih tinggi. Selain itu terdapat hubungan yang cukup kuat antara tingkat kesiapan sosial politik dan penguatan desa adat. Dengan demikian analisis ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan implementasi kebijakan serta mampu mengkaji kesiapan sosial politik komunitas adat. Kata Kunci: Desa Adat, komunitas adat, politik, sosial
ABSTRACT TRI SINTYA. Social and Political Reinforcement of Indigenous People. Under guidance of SOFYAN SJAF. The existence of indigenous peoples in Indonesia have changes includes various aspects such as social and political. At first, the social aspect is still strongly oriented on common interests turned significant into individual orientation and degradation value. The political dimension of the indigenous community associated with village governance. This is related to the presence of UU No.5 in 1979, UU No.22 in 1999, UU No.32 in 2004 and the last one devoted to traditional village setting is UU No.6 in 2014. Legislation is an opportunity for the public governance to be legally recognized customary and formal. The purpose of this research is to to analyze how the social and politic readiness of village to transform become indigenous village in social and politic aspect. This research is conduct in Balla Tumuka Village, District of Balla, Sub-Province of Mamasa, Province of West Sulawesi with quantitative and qualitative methode. The results of this study
indicate that in general the existence of indigenous sociopolitical are still high and there are high correlation between the level of social and political readiness and strengthening indigenous villages. Keywords: Indigenous peoples, political, social, traditional village
PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT
TRI SINTYA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi
: Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat
Nama
: Tri Sintya
NIM
: I34110078
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Ujian:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dengan segala hal terbaik dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat”. Selain itu penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada pihak yang terlibat, sebagai berikut: 1. Bapak Dr. Sofyan Sjaf yang telah membimbing, mendukung dan memberikan inspirasi yang luar biasa dalam penyusunan skripsi. 2. Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa dan masyarakat Desa Balla Tumuka yang telah memberikan kontribusi terbaik selama proses penelitian serta terima kasih kepada Risma Junita dan Danang Pramudita selaku partner dalam penelitian yang senantiasa berbagi pembelajaran dan pengalaman. 3. Ibunda Rosiah dan Ayahanda Supardi serta keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai tahapan ini. 4. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa Bidik Misi sebagai penunjang perkuliahan serta Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu proses kelancaran. 5. Terima kasih kepada Eka Syaeful Bahri, keluarga Bapak Sudarna, dan keluarga Bapak Heru Arif Riyadi yang telah memberikan segala bentuk kontribusinya kepada penulis selama proses perkuliahan. 6. Rekan-rekan satu bimbingan, serta KPM angkatan 48 yang telah memberikan kebersamaan dan kesan mendalam selama menjalani pembelajaran di Departemen SKPM. 7. Rekan-rekan BEM FEMA Kabinet Trilogi, rekan-rekan majalah komunitas 2012-2013, rekan-rekan Forsia 1435 H dan teman-teman mentoring yang telah memberikan pengalaman dan segala bentuk dukungannya. 8. Praktikan Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan yang telah berbagi ilmu dan memberikan pembelajaran berarti kepada penulis serta teman-teman Kos Assakinah yang telah menjadi teman seperjuangan dalam menjalani keseharian. 9. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan doa kepada penulis selama ini. Penulis berharap kajian mengenai Penguatan Sosial Politik Masyarakat Adat mampu memberikan manfaat dan sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2015
Tri Sintya
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Sampling Teknik Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Desa Balla Tumuka Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Sejarah Desa dan Adat KESIAPAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT DESA BALLA TUMUKA Tingkat Kesiapan Sosial Komunitas Ikhtisar Kesiapan Sosial Komunitas Kesiapan Politik Komunitas Penguatan Desa Adat HUBUNGAN TINGKAT KESIAPAN SOSIAL POLITIK DAN PENGUATAN DESA ADAT Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Tingkat Kesiapan Politik Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Penguatan Desa Adat Hubungan Tingkat Kesiapan Politik dan Penguatan Desa Adat Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial Politik dan Penguatan Desa Adat PRASYARAT TRANSFORMASI KE DESA ADAT SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
VIII IX IX 1 1 2 3 3 5 5 14 16 17 21 21 21 21 22 23 25 25 28 32 35 35 43 47 61 63 63 65 67 69 71 75 75 76 77 79 88
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23
Tabel 24
Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat Uji statistik reliabilitas Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut golongan umur di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut jenis kelamin di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Luas lahan kering di Desa Balla Tumuka tahun 2013 Jumlah dan persentase sebaran umur responden penelitian Jumlah warga masing-masing dusun menurut tingkat pendidikan di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat partisipasi komunitas adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan komunitas adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase tingkat ketaatan terhadap norma Jumlah dan persentase tingkat kepedulian terhadap sesama Jumlah dan persentase tingkat keterlibatan komunitas dalam aktivitas organisasi sosial/adat Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial pada masing-masing indikator Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial Jumlah dan persentase bentuk struktur adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase proses dan aktor adat dalam pengambilan keputusan Jumlah dan persentase tipe kepemimpinan adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase bentuk pengelolaan sumber daya adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase bentuk perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik pada masing-masing indikator Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik Jumlah dan persentase responden menurut kategori penguatan desa adat Jumlah dan persentase menurut tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik komunitas adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik komunitas
Halaman 8 22 26 26 27 28 29 36 37 38 40 41 44 45 47 50 52 56 57 59 60 61 63
64
Tabel 25
Tabel 26 Tabel 27
Tabel 28 Tabel 29 Tabel 30
Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan sosial dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan penguatan desa adat Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan politik dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan politik dan penguatan desa adat Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial politik dan penguatan desa adat Analisis kualifikasi persyaratan desa adat
65
66 67
68 69 72
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
Halaman Kerangka pemikiran 16 Bagan mekanisme pengambilan sampel 22 Hasil pentahapan keluarga pra sejahtera Desa Balla 30 Tumuka tahun 2013 Gambar 4 Alur sejarah Desa Balla Tumuka 32 Gambar 5 Jumlah persentase kelompok tani Desa Balla Tumuka 34 Tahun 2014 Gambar 6 Jumlah pengurus kelembagaan pada masing-masing 42 dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Gambar 7 Jumlah organisasi kemasyarakatan pada masing-masing 43 dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Gambar 8 Stratifikasi sosial komunitas Desa Balla Tumuka 49 Gambar 9 Jejaring kolaborasi antar aktor di Desa Balla Tumuka 50 Gambar 10 Perangkat Desa Balla Tumuka 53 Gambar 11 Susunan perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka 58
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Komparasi substansi undang-undang Jadwal penelitian skripsi Peta lokasi penelitian Daftar responden Dokumentasi
Halaman 79 83 84 85 87
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sebagai bagian dari kesatuan wilayah pemerintahan Republik Indonesia, desa menjadi subjek penting yang turut berkontribusi atas proses pembangunan. Menurut data sensus penduduk dari Badan Pusat Statisik tahun 2010 terdapat sebanyak 119 321 070 jiwa (50.21 persen) penduduk yang tinggal di pedesaaan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih bertahan di wilayah-wilayah tersebut. Fakta demikian menuntut adanya upaya pemerataan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat desa yang seringkali terlupakan dinamika struktural. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan desa diperlukan melalui sinergi berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat lokal. Pada perkembangannya, berbagai regulasi yang mengatur eksistensi desa turut menjadi bagian tak terpisahkan. Beberapa regulasi yang berisi tentang pemerintahan desa diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 20141. Secara umum keempat undangundang tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah posisi masyarakat yang awalnya hanya sebagai objek penerima berubah menjadi subjek pembangunan yang dilibatkan dalam kebijakan otonomi daerah. Pada UU No.5 Tahun 1979 pemerintahan desa diatur secara terpusat. Seluruh bentuk sistem lokal berganti sesuai apa yang diperintahkan, misalnya nama-nama kesatuan wilayah terkecil disebut sebagai desa. Padahal sebelum itu banyak aturan lokal masyarakat yang menyebut kesatuan wilayah mereka dengan nama-nama yang khas seperti dusun, nagari, gampong ataupun banjar. Pasca berlalunya masa Orde Baru peraturan tersebut berubah dengan paradigma yang lebih demokratis. UU No.22 Tahun 1999 mulai menghargai realitas keragamaan dan hak asal-usul desa, menerapkan asas desentralisasi, serta memberikan penghargaan terhadap berkembangnya masyarakat desa. Namun demikian, undang-undang ini tidak serta merta memperbaiki kondisi yang ada karena terdapat tantangan baru dalam mengubah hasil konstruksi sistem sentralistik sebelumnya, bahkan UU No.32 Tahun 2004 yang muncul sebagai pembaharuan dan menjunjung tinggi asas pluralisme pun masih menyisakan kesangsian mengenai keberhasilan aturan tersebut dalam menjamin kemandirian dan otonomi desa sepenuhnya. Dari keempat regulasi yang saling menyempurnakan aturan pemerintahan desa, semakin disadari urgensi pengaturan dan perlindungan mengenai masyarakat yang hidup berdasarkan nilai-nilai dan hukum adat. Menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999, tertera dalam Surat Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga dalam Bappenas 1
Selanjutnya ditulis dengan UU No.5 Tahun 1979, dst.
2
2012). Selanjutnya dalam UU No.32 Tahun 2004 telah mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (Pasal 203 dan pasal 216), namun otoritas adat dengan sistem tata pemerintahan asli sulit beradaptasi dan menyelaraskan dengan keberadaan sistem tata pemerintahan formal dalam konsep desa. Alhasil, dalam merespon peluang desentralisasi atau otonomi lokalitas (desa) yang ditawarkan oleh negara melalui platform UU No.32 Tahun 2004 otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan otoritas formal (pemerintahan desa) yang legitimate menurut hukum positif kenegaraan (Dharmawan et al. 2006). Selain itu, menurut berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa realitas semacam ini seringkali menimbulkan dualistik kepemimpinan di pedesaan atau adanya tumpang tindih antara pemimpin formal dan informal. Salah satu bentuk persoalan antara pemerintahan desa formal dengan sistem adat yang masih mengakar di pedesaan Indonesia menjadi stimulus adanya regulasi baru. Regulasi tersebut kemudian diupayakan dan berhasil terrealisasi dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa Adat. Undang-undang ini mengatur pemerintahan Desa Adat sesuai dengan susunan asli atau dibentuk baru berdasarkan prakarsa masyarakat adat. Selain itu peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum dan norma adat istiadat yang berlaku. Persoalannya kemudian apakah setiap desa yang memiliki nilai-nilai kelembagaan lokal mampu untuk menjalankannya sesuai dengan UU No.6 Tahun 2014 mengingat terdapat perbedaan yang khas antar masing-masing desa. Terlebih lagi bekas pengaruh konstruksi sentralistik yang telah melunturkan nilai-nilai masyarakat pedesaan juga menjadi kendala yang berarti. Selain itu mempertimbangkan aspek yang begitu kompleks, menimbulkan persoalan akan sejauhmana kebijakan undangundang tersebut bisa diterima dan dilaksanakan serta bagaimana upaya penataan dan penguatan sistem Desa Adat dapat tercapai untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian menarik untuk dianalisis dan dikaji lebih lanjut bagaimana dinamika komunitas adat yang terkait dengan kesiapan dan penguatan aspek sosial politik pada komunitas adat Desa Balla Tumuka Kecamatan Balla Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat.
Perumusan Masalah Intervensi regulasi yang mendorong perubahan bentuk pemerintahan desa di Indonesia telah berlangsung demikian lama bahkan hinga saat ini. Kasus terdahulu lebih menggambarkan bagaimana unit pemerintahan lokal dibentuk menjadi tata pemerintahan desa formal hingga kembali dicanangkan program otonomi daerah. Kebijakan ini nyatanya masih bias terhadap kepentingan komunitas lokal sehingga dibentuklah kebijakan baru dalam UU No.6 Tahun 2014 yang memiliki aturan khusus pemerintahan Desa Adat. Dengan demikian atas dasar realitas tersebut, yang menjadi fokus penelitian ini adalah sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik komunitas adat di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat? Dalam dinamika komunitas adat terdapat bentuk kearifan lokal baik berupa nilai, adat istiadat ataupun norma yang memang menjadi dasar kehidupan mereka. Faktor tersebut yang menjadi salah satu ciri khas yang membedakan mereka dari masyarakat biasa di desa-desa lain. Bentuk kearifan lokal mereka
3
yang berusaha diwariskan hingga saat ini nyatanya disadari atau tidak telah mengalami perubahan. Perubahan ini juga menstimulus bagaimana mereka mempertahankan eksistensi dari waktu kewaktu melalui upaya penguatan yang berkesinambungan. Oleh karena itu perlu dipertanyakan sejauhmana hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat? Berdasarkan analisis yang mempertanyakan kesiapan aspek sosial dan politik komunitas adat maka dapat diidentifikasi bahwa faktor sosial terdiri dari tingkat partisipasi dalam jaringan organisasi sosial/adat, tingkat kepercayaan antar sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian terhadap sesama, serta intensitas keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial (adat). Selain itu aspek politik dapat digolongkan dalam beberapa indikator pengamatan yaitu bentuk struktur adat, proses dan aktor pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk alokasi/penguasaan sumber daya, dan perangkat hukum adat. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan seperti sejauhmana hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas adat? serta faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik desa adat? Berbagai aspek kesiapan sosial politik dalam komunitas nyatanya akan saling terkait dengan hal lainnya seperti bentuk penguatan berupa kearifan lokal adat yang mendukung kelestarian tradisi, nilai ataupun norma. Apabila proses penguatan itu berlangsung efektif untuk mencapai tujuan eksistensi adat mengatasi perubahan, maka dapat meningkatkan nilai kesiapan komunitas itu sendiri. Oleh karena itu menarik untuk melihat dan mempertanyakan sejauhmana hubungan faktor kesiapan sosial politik dengan indikator penguatan desa adat?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian umum pada penelitian ini yaitu untuk menganalisis sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik komunitas adat. Adapun tujuan yang lebih spesifik adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis sejauh mana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik. 2. Menganalisis hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat. 3. Menganalisis hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas adat serta menganalisis faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik komunitas adat. 4. Menganalisis hubungan kesiapan dengan indikator penguatan sosial politik komunitas adat.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai dinamika komunitas adat saat ini yang
4
2.
3.
berkaitan langsung dengan pemerintahan desa secara lokal menurut UU No.6 Tahun 2014. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai komunitas adat dimasa mendatang sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi kebijakan. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai kesiapan sosial politik masyarakat adat yang menjadi subjek pembangunan khususnya dalam regulasi tata pemerintahan desa adat di Indonesia. Dengan demikian pemerintah diharapkan mampu menelaah lebih lanjut prospek serta apa saja yang perlu direvitalisasi untuk mengefektifkan kebijakan Desa Adat. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran kritis tentang keberadaan komunitas adat sebagai komponen penting bangsa Indonesia yang juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak juga kebijakan yang relevan dengan hajat hidup serta kepentingan mereka.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Definisi dan Konsep Komunitas Adat Secara sosiologis, konteks masyarakat adat yang menggunakan pendekatan studi kasus lebih tepat disebut sebagai komunitas adat. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa istilah masyarakat dan komunitas cenderung berbeda. Masyarakat merupakan kesatuan individu yang lebih mencirikan adanya perbedaan karakteristik dengan cakupan cukup luas, sedangkan komunitas merupakan kesatuan individu yang terikat oleh faktor geografis dan geneologis. Selain itu komunitas juga cenderung lebih memiliki kasamaan karakteristik dan lebih homogen. Dengan demikian, istilah masyarakat adat pun dapat diartikan sebagai kumpulan-kumpulan komunitas adat yang ada di wilayah Indonesia sedangkan komunitas adat yaitu menjelaskan kesatuan adat dalam satu wilayah sebagai objek pembahasan yang cenderung lebih homogen. Untuk itu dalam penelitian ini lebih relevan disebut sebagai komunitas adat karena menitikberatkan pada fokus penelitian pada komunitas adat di Desa Ball Tumuka. Namun berkaitan dengan pustaka rujukan, maka digunakan pula referensi umum yang menjelaskan masyarakat adat dari berbagai sudut pandang. Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini melihat bahwa masyarakat adat merupakan salah satu keragamaan dan kearifan lokal yang patut dihargai serta dipelihara dengan bentuk pembangunan yang sesuai. Sayangnya pemahaman mengenai dinamika masyarakat adat belum benar-benar terinternalisasi dalam pembangunan tersebut. Terbukti masih banyaknya permasalahan terkait masyarakat adat nusantara. Untuk itu salah satu lembaga yang disebut sebagai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), banyak melakukan gerakan sosial yang membela hak dan kepentingan masyarakat adat yang seringkali tergusur dinamika struktural. Secara lebih rinci Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres I tahun 1999, mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah geografis tertentu, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, memiliki nilai-nilai sosial budaya yang khas, dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat (Moniaga dalam Bappenas 2012). Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN ini secara langsung mendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik sebagai berikut: (1) Sekelompok orang dengan identitas budaya yang sama. (2) Sekelompok orang yang saling berbagi sistem pengetahuan. Ciri khas ini terkait erat dengan sistem pengetahuan yang bagikan (sharing knowledge) yang bermuara pada kesamaan dalam sosialisasi dan internalisasi kebudayaan. (3) Sekelompok orang yang tinggal di wilayah yang sama.
6
(4) Sekelompok orang yang memiliki sistem hukum yang khas dan tata kepengurusan kehidupan bersama. Tidak hanya pada skala nasional, dunia internasional pun mengakui keberadaan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan adanya konvensi ILO mengenai masyarakat adat. Menurut konvensi ILO 169 Tahun 1989 seperti dikutip Bappenas (2012), masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut dengan hukum dan peraturan khusus. Berdasarkan pemaparan mengenai definisi masyarakat adat dapat dilihat bahwa masyarakat adat merupakan bentuk kesatuan yang patut diakui oleh suatu negara dengan salah satu aspek penting yang menjadi bagian kehidupan adat seperti sistem nilai lokal dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Terkait konsep kebudayaan lokal sendiri menurut Horton dan Hunt (1999) kebudayaan adalah seperangkat peraturan, tata cara, gagasan dan nilai dari pengalaman yang mendukung memenuhi kebutuhan. Selain kebudayaan terdapat pula kelembagaan yang turut mengatur kehidupan masyarakat adat. Horton dan Hunt (1999) juga mendefinisikan sistem lembaga sebagai sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu suatu lembaga mencakup (1) seperangkat pola perilaku yang telah distandarisasi dengan baik, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung (3) sebentuk tradisi, ritual acara, simbol, pakaian, dan perlengkapan lain. Serangkaian konsep mengenai tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan adat selaras dengan unsur-unsur perasaan komunitas yang menjadi gambaran kohesivitas dan eksistensi mereka. Menurut R.M MacIever and Charles seperti dikutip Soekanto (2002) mengungkapkan unsur-unsur perasaan komuniti (community sentiment) antara lain: (a) Seperasaan: unsur seperasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dengan kelompok tersebut. Kepentingan individu diselaraskan dengan kepentingan kelompok. (b) Sepenanggungan: setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok dijalankan sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri. (c) Saling memerlukan: individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitinya yang meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis. Berbagai ciri tersebut menjadi penanda bahwa kehidupan dan kebudayaan lokal masyarakat masih eksis dalam proses pembangunan di Indonesia. Namun demikian eksistensi tersebut tidak serta merta mengalami keberlanjutan. Nyatanya, dari beragam hasil penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan berupa tata kelakuan, nilai, bahkan aspek sosial, ekonomi, dan politik masyarakat adat telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi catatan analisis bagaimana dinamika masyarakat adat terkait kelembagaan, kohesivitas, sistem nilai dan norma mereka terintegrasi di keseharian mereka hingga saat ini. Dengan demikian secara tidak langsung unsur-
7
unsur kekhasan komunitas adat tersebutlah yang mampu membedakan secara nyata bagaimana masyarakat adat dengan masyarakat biasa baik di perkotaan maupun perdesaan. Komparasi Komunitas Adat dan Tata Pemerintahan Desa Keberadaan komunitas adat dapat dikatakan mengalami perubahan dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dari segi sosial dan budaya perubahan dirasakan dalam proses interaksi, nilai, wujud budaya, adat istiadat dan eksistensi modal sosial. Aspek ekonomi mengalami perubahan ketika prinsip matrealis sudah mengubah sistem ekonomi kekeluargaan, sedangkan aspek politik dapat terlihat jelas dalam dinamika pemerintahan wilayah pedesaan dan regulasi terkait. Ditinjau dari sisi dinamika politik komunitas adat, berbagai penelitian menyebutkan sering terjadinya dualisme kepemimpinan adat dengan kepemimpinan pemerintah desa formal. Hal ini distimulus oleh adanya perubahan regulasi nasional. Kepemimpinan adat yang awalnya hampir mempengaruhi seluruh segi kehidupan komunitasnya kian mengalami penurunan secara fungsional. Kepemimpinan yang berlandaskan kharismatik serta asal usul genealogis pemimpin ini pada akhirnya mengalami pemisahan peranan dan wewenang. Peranan pemimpin adat cenderung menangani masalah-masalah informal terkait adat, budaya dan hubungan sosial, sedangkan kepemimpinan desa secara formal mengurusi hal-hal berkenaan dengan administrasi, birokrasi, program pembangunan hingga hubungan dengan pemerintah pusat. Konsep desa telah dijelaskan dalam UU No.5 Tahun 1979 yang menyebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya UU No.5 Tahun 1979 ini mensyaratkan pemisahan administrasi desa dari hak adat istiadat dan hak asal usulnya. Sistem pemerintahan desa pun telah mengubah sistem pemerintahan lokal yang kental akan nuansa adat menjadi lebih seragam untuk berbagai daerah. Misalnya tata pemerintahan adat Nagari di Sumatera, sistem Ondoafi di Papua serta Banjar di Bali cenderung berubah sistem struktur birokrasi dan administrasi pemerintahannya. Namun demikian, pada perkembangannya sistem pemerintahan desa mulai mengalami transformasi yang cukup signifikan dalam upaya menghargai kebebasan otonom dan pengakuan keanekaragaman adat istiadat serta asal usul desa seperti pada UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.6 Tahun 2014. Dalam hal ini jelas terdapat banyak perbedaan antara tata pemerintahan desa formal dengan lembaga adat (lihat Tabel 1). Dari hasil analisis perbandingan tersebut terlihat bahwa pemerintahan desa formal dan lembaga adat sangat berbeda. Hal yang patut menjadi sorotan beberapa diantaranya adalah wilayah kewenangan, sistem intensif dan instrumen pengatur kehidupan sosial. Dalam wilayah kewenangan antara pemerintahan formal dan adat terlihat berbeda jelas karena keduanya memiliki ruang yang berbeda, padahal kondisi ini dimungkinkan untuk mengakomodir keduanya bahkan mengintegrasikan sekalipun. Sejalan
8
dengan itu belum ada instrumen pengatur kehidupan komunitas adat secara spesifik dalam regulasi sebagaimana dalam tata pemerintahan desa formal. Kondisi demikian menjadi sangat dilematis. Disatu sisi perbedaan kekuatan mampu menjadikan bentuk sinergi dan kerjasama untuk mewujudkan efektivitas dan kesuksesan pembangunan namun disisi lain mampu menuai konflik laten akibat overlapping kepemimpinan ataupun perebutan kekuasaan. Untuk itu diperlukan upaya menyelaraskan keduanya sebagai langkah mendorong pemerintahan Indonesia yang lebih baik. Tabel 1 Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat Aspek Basis kekuasaan
Pemerintahan desa Rakyat via pemilihan kepala desa disahkan oleh negara atau pemerintah
Wilayah kewenangan
Semua urusan yang diatur oleh peraturan perundangan
Sistem pengendalian organisasi sosial
Utilitarian optimalisasi manfaat ekonomi, efesiensi, produktivitas Kalkulatif, “kering”, formalistik, organik fungsional
Kepatuhan/ keterlibatan emosional masyarakat terhadap pemimpin Sistem birokrasi
Legal-rasional mekanisme kerja terdefinisi dalam prosedur yang baku
Sistem intensif
Remunerasi dari negara
Decision making process
Kepala desa, kelembagaan formal pemerintahan desa (BPD) dan arahan pemerintahan kabupaten Peraturan desa dan sistem hukum legal diatasnya (perda, PP, UU) Semua urusan administrasi publik dan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan
Instrumen pengatur kehidupan sosial Urusan pokok yang ditangani
Sumber: Dharmawan et al. (2006)
Kelembagaan adat Asal-usul keturunan, kewibawaan, kecendikiaan prinsip primus inter pares (kematangan kepribadian/usia) Semua urusan disatuan wilayah genealogis atau religi biasanya cakupan pada hak ulayat Normatif operasionalisasi nilai-nilai budaya leluhur Kewajiban moral, “hangat” informal dan melibatkan ikatan emosional, mekanisme interpersonal Melekat pada kharisma pemimpin adat tergantung kearifan sang pemimpin Penghargaan sosial dari masyarakat kehormatan dan rasa disegani Forum penghulu (pemimpin adat) dan musyawarah pemimpin masyarakat adat Norma-norma adat lokal dan pranata sosial lokal Pengaturan sumberdaya alam (tanah ulayat) dan pemeliharaan harmoni sosial kemasyarakatan
9
Dinamika Regulasi Komunitas Adat Perkembangan pembangunan dari waktu ke waktu masih belum mengakomodir kepentingan komunitas adat di pelosok-pelosok nusantara. Lebih dari itu muncul beragam permasalahan dan konflik mengenai komunitas adat, swasta, serta pemerintah, padahal secara tegas keberadaan komunitas adat sudah diakui dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yakni pada Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Selain tercantum di pengaturan undang-undang 1945 sebagai dasar negara, regulasi yang berkaitan dengan komunitas adat juga berkenaan dengan undangundang tentang pemerintahan desa. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa keberadaan komunitas adat mengalami tumpang tindih dengan tata pemerintahan desa formal. Hal ini dipicu oleh adanya intervensi peraturan perundang-undangan dan kelembagaan dari pusat. Pada masa Orde Baru undangundang tentang pemerintahan desa diatur dalam UU No.5 Tahun 1979. Undangundang ini dibuat untuk menyeragamkan pemerintahan desa karena pemerintahan yang tidak seragam mengenai pemerintahan desa dianggap dapat menjadi hambatan untuk melaksanaan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat (Astuti 2009). Akibat penyeragaman ini keberadaan sistem pemerintahan adat yang kental dengan kearifan lokal mulai mengalami transformasi nilai dan perubahan pada aspek lain dalam kehidupan adat. Selanjutnya pasca orde baru lengser, peraturan pemerintahan desa pun mengalami perubahan dengan diamandemennya UU No.5 Tahun 1979 menjadi UU No.22 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini hak dan asal usul desa lebih diakui sebagai proses otonomi daerah yang kian digaungkan. Hal tersebut sebagai wujud kebebasan dari sistem otoriter Orde Baru yang selalu dikendalikan oleh pemerintah pusat. Orientasi otonomi daerah ini kemudian membuka peluang bahwa sistem pemerintahan lokal mampu berkembang sesuai dengan kehendak masyarakatnya demi menunjang efektivitas pembangunan. Namun demikian, walaupun UU No.22 Tahun 1999 memberikan lebih banyak kekuasaan kepada daerah, dalam prakteknya ternyata masih menyimpan banyak persoalan, baik teknis administrasi maupun respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap penyelenggaraan otonomi daerah (Al Rasyid 2005). Untuk memperbaiki kekurangan substansi dan implementasi tata pemerintahan desa pada UU No.22 Tahun 1999 selanjutnya diperbaharui dalam peraturan UU No.32 Tahun 2004. Peraturan ini berupaya mengembalikan kedaulatan hukum lokal melalui pasal-pasal pemerintahan desa. Selain itu dengan diterimanya UU No.32 Tahun 2004 sebagai given and agreed regulating institution, maka kebijakan otonomi daerah sudah berada pada jalur yang benar untuk mengapresiasi kedaulatan lokalitas sebagai wilayah otonomi asli dalam menata, mengelola dan menentukan tatanan pengadministrasian segala urusan yang menyangkut interaksi warga negara dan kesatuan sosialnya serta warga negara dan negaranya (Dharmawan et al. 2006).
10
Dari berbagai pemaparan analisis tersebut tidak dipungkiri bahwa terjadi perubahan aspek politik dalam tata pemerintahan desa yang bersangkutan dengan keberadaan komunitas adat di Indonesia. Perubahan tersebut nyatanya tidak hanya berpengaruh pada birokrasi dan administrasi formal di suatu desa namun juga merambah aspek lain seperti nilai-nilai dan interaksi hubungan individu maupun lembaga dalam implementasi perubahan ketiga undang-undang tersebut. Jika dikaji lebih lanjut terdapat perbedaan ketiga undang-undang pada lampiran 1. Sajian perbandingan ketiga undang-undang tata pemerintahan pada tabel lampiran 1 terlihat bagaimana ketiganya membawa pandangan spesifik yang berbeda. Beberapa hal mendasar yang menjadi perbandingan misalnya orientasi “desa” pada ketiga undang-undang tidak sama persis. Kedua undang-undang terakhir memiliki kecenderungan sama dengan orientasi otonomi daerah. Meskipun demikian, semangat otonomi daerah yang diusung oleh undang-undang tersebut nampaknya masih bias dalam mengakomodir kepentingan komunitas adat terbukti belum ada aturan spesifik yang mengatur. Demikian juga halnya pada aspek lain seperti kewenangan desa, keuangan desa, kelembagaan, serta demokrasi dan tata pemerintahan desa itu sendiri hanya berorientasi pada desa formal khususnya UU No.5 Tahun 1979 sedangkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 berorientasi pada pemerintahan lokal namun kurang spesifik menganggap Desa Adat terlebih masih menyisakan bentuk intervensi pusat. Selain ketiga undang-undang pemerintahan desa tersebut, muncul pula undang-undang baru sebagai sintesis dan perbaikan yaitu UU No.6 Tahun 2014. Dalam UU No.6 Tahun 2014 orientasi yang difokuskan bukan sekedar isu otonomi daerah sebagai formalitas namun juga mengusung pengakuan desa adat sebagai wilayah pemerintahan lokal secara formal. Pemaknaan desa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain pengertian desa yang cukup berbeda dari undang-undang sebelumnya pemerintahan desa adat diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Pemerintahan desa adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat. Peraturan Desa Adat serta kelembagaannya sendiri pun disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum UU No.6 Tahun 2014 mengatur sedemikian rupa rincian mengenai tata pemerintahan desa dengan menghargai bentuk kearifan lokal, asal usul desa dan adat istiadat setempat. Hal ini menyisakan tugas selanjutnya untuk mengimplementasikan aturan baru ini beberapa tahun kedepan dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi. Konsekuensi tersebut dapat berupa ketidaksiapan masyarakat lokal, kondisi masyarakat yang sudah mengalami perubahan kultural dan adat istiadat serta transformasi politik akibat kebijakan sebelumnya sehingga cenderung tidak mudah untuk mengembalikan kondisi tata pemerintahan adat secara murni.
11
Transformasi Desa Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai macam-macam regulasi yang mengatur tata pemerintahan desa di Indonesia menandakan bahwa terdapat proses transformasi yang menarik. Transformasi ini dilakukan sebagai wujud implementasi aturan yang ada. Perubahan distimulus dengan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 hingga UU No.6 Tahun 2014. Masing-masing regulasi tersebut memiliki esensi yang berbeda sebagai bentuk evaluasi dari regulasi sebelumnya. Masing-masing bentuk aturan diubah secara signifikan hingga yang terakhir mampu mencetuskan kebijakan khusus Desa Adat. Lebih dari itu, program kebijakan berdasarkan ketiga undang-undang pun didukung dengan berbagai peraturan pemerintah, peraturan daerah hingga peraturan desa. Bentuk spesifik dari proses transformasi desa ini dapat terlihat dalam PP No.72 Tahun 2005 dan PP No.43 Tahun 2014. Penjelasan mengenai peraturan spesifik tentang desa dalam PP No.72 Tahun 2005 lebih berorientasi pada desa secara umum, meskipun dalam regulasi periode ini sudah mencanangkan asas otonomi daerah namun belum menjelaskan lebih detail bagaimana bentuk otonomi jika kesatuan tersebut berupa komunitas adat. Secara garis besar regulasi ini mengatur beberapa hal misalnya mengenai ketentuan umum, proses pembentukan dan perubahan desa, kewenangan desa, pelaksanaan pemerintahan desa, dan lain-lain. Dari berbagai aspek demikian, salah satu yang menarik untuk dikaji dalam peraturan pemerintah ini adalah proses pembentukan dan perubahan status desa. Pembentukan desa atau kesatuan yang disebut dengan nama lain dapat diprakarsai oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan lokal dan partisipasi aktif mereka serta didukung oleh berbagai stakeholder terkait, sedangkan proses perubahannya sendiri justru hanya menjabarkan tentang bagaimana status desa menjadi kelurahan. Menurut peraturan tersebut, desa dapat berubah status menjadi kelurahan dengan beberapa ketentuan yang memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, sarana prasarana pemerintahan, potensi ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat. Berbeda dari PP No.72 Tahun 2005, untuk mendeskripsikan UU No.6 Tahun 2014 dibentuk pula PP No.43 Tahun 2014 sebagai pelengkap regulasi mengenai desa. Dalam PP No.43 tahun 2014 terdapat pengaturan baru mengenai Desa Adat. Pengaturan baru tersebut meliputi pembentukan dan perubahan status desa, lembaga kemasyarakatan serta lembaga adat. Pembentukan desa dijelaskan sebagai proses yang diprakarsai pemerintah bersama stakeholder terkait dan warga yang dilakukan dengan prosedur hingga verifikasi kelayakan. Selain itu perubahan status desa dalam PP No.43 Tahun 2014 dijelaskan secara lebih rinci. Perubahan status bukan saja mengenai perubahan desa menjadi kelurahan namun ditambahkan dengan perubahan kembali kelurahan menjadi desa, perubahan desa adat menjadi desa serta perubahan desa menjadi desa adat. Berdasarkan hal tersebut status desa adat dapat diubah menjadi desa dengan syarat luas wilayah yang tidak berubah, jumlah penduduk, sarana dan prasarana pemerintahan bagi terselenggaranya pemerintahan desa, potensi ekonomi yang berkembang, kondisi sosial budaya masyarakat yang berkembang, dan meningkatnya kuantitas dan kualitas pelayanan, sedangkan pada proses perubahan status desa menjadi desa adat dapat diprakarsai oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan cara pengubahan yang tertuang dalam pengaturan
12
menteri. Semua proses penyelenggaraan tersebut harus berdasarkan pada hak asal usul desa adat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hak asal usul” termasuk hak tradisional dan hak sosial budaya masyarakat adat, sedangkan penyelenggaraan hak asal usul oleh desa adat paling sedikit meliputi penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat adat, pranata hukum adat, pemilikan hak tradisional, pengelolaan tanah kas desa adat, pengelolaan tanah ulayat, kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa adat, pengisian jabatan kepala desa adat dan perangkat desa adat serta masa jabatan kepala desa adat. Menurut Pasal 30 PP No.43 Tahun 2014 ini menyebutkan bahwa penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme pengidentifikasian desa yang ada dan pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat ditetapkan menjadi desa adat. Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat Berkaitan dengan beragam bentuk perubahan regulasi dari pusat hingga sekarang, komunitas adat dan pemerintahan desa membutuhkan proses penyiapan kembali. Penyiapan ini mempertimbangkan bagaimana awalnya pemerintahan adat sebagai pilar utama kehidupan desa berganti menjadi tata administrasi desa formal. Selain itu perubahan dilanjutkan ketika isu otonomi daerah yang menuntut kebebasan lokal tercantum pada UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 yang mengubah pemerintahan desa formal kembali dituntut mampu mengakomodir kepentingan adat istiadat desa setempat. Namun demikian pada perkembangan tahap ini, lembaga adat masih terpisah dengan tata pemerintahan desa formal. Lembaga adat diakui sebagai lembaga yang memiliki peranan yang hanya sebagai pelengkap tanpa mengembalikan peranan aslinya. Bukan hanya itu, pemerintahan desa formal yang memiliki wewenang untuk menerapkan sistem adat tidak serta merta bertransformasi. Pada beberapa kasus seperti pemerintahan Nagari di Sumatera, beberapa Nagari yang sudah dipecah menjadi desa formal tidak berkenan lagi mengubah ke sistem pemerintahan Nagari seperti amanah UU No.32 Tahun 2004 yang menghargai adat istiadat dan asal usul desa. Kondisi demikian menjadi pertimbangan untuk pembangunan selanjutnya termasuk merespon adanya regulasi yaitu UU No.6 Tahun 2014 yang mengusung tentang pengaturan Desa Adat secara spesifik dan rinci. Hal tersebut menimbulkan kondisi dilematis. Disatu sisi keberadaan komunitas adat semakin memiliki badan hukum yang mengaturnya secara bebas dan diakui sebagai tata pemerintahan formal. Disisi lain akan muncul persoalan yang berhubungan dengan kesiapan kultural, SDM, sosial dan politik. Konsep kesiapan dilihat dari sisi psikologi menurut Slameto seperti dikutip Nurbaya dan Moerdiyanto (2012) yaitu kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang atau individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi dan kondisi yang dihadapi. Hal ini dapat merepresentasikan keseluruhan kondisi komunitas adat yang membuatnya siap atau tidak untuk memberikan respon terhadap situasi perubahan regulasi khususnya UU No.6 Tahun 2014. Untuk merespon kondisi dan perubahan yang terjadi akibat intervensi undang-undang maka dibutuhkan upaya penguatan agar terciptanya kesiapan dalam pembangunan dan pemberdayaan komunitas adat. Penguatan tersebut berkaitan dengan dua aspek penting yaitu sosial dan politik. Pada aspek sosial, dinamika komunitas adat salah satunya bisa dilihat dari keberadaan modal sosial
13
didalamnya. Menurut Putnam yang dikutip Primadona (2012) mendefinisikan modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial ini menyangkut kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Selain itu sejumlah parameter penelitian yang dimodifikasi dari Jousairi (2006) dan Hadi (2005) seperti dikutip Afif (2012) dapat dijadikan sebagai instrumen awal penelitian indikator modal sosial yang meliputi: (1) Partisipasi dalam Jaringan organisasi sosial/kerja, dapat dilihat dari: kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/kerja. (2) Kepercayaan antar sesama, dapat dilihat dari: Tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan pengurus kelompok lainnnya. (3) Ketaatan terhadap norma, dilihat dari: tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah. (4) Kepedulian terhadap sesama, dapat dilihat dari: kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain. (5) Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial, dilihat dari: tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial, jumlah organisasi sosial yang diikuti, partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial. Selain aspek sosial, aspek kehidupan komunitas adat yang juga tidak kalah penting adalah aspek politik. Dalam hal ini aspek politik meliputi penguasaan, pengendalian, kebebasan, kesetaraan, koeksistensi dan partisipasi (Arent seperti dikutip Sudibyo 2012). Selain hal-hal tersebut dalam beberapa penelitian aspek politik juga berkaitan dengan struktur, pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan alokasi/penguasaan sumberdaya. Aspek pengambilan keputusan menurut Budiardjo (2000) diartikan sebagai proses yang terjadi sampai suatu keputusan tercapai. Keputusan ini menyangkut kebijaksanaan untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan kepemimpinan menurut Soekanto (2002) merupakan kemampuan sesorang untuk mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan merupakan hasil organisasi sosial yang telah terbentuk atau sebagai hasil dinamika interaksi sosial. Selain itu pada kasus kepemimpinan masyarakat adat yang tradisional dan homogen perlu disesuaikan dengan susunan masyarakat tersebut yang masih tegas memperlihatkan ciri-ciri paguyuban. Dalam kondisi ini hubungan pribadi pemimpin dan yang dipimpin sangat dihargai. Pemimpin pada masyarakat tersebut merupakan pemimpin tidak resmi yang mendapat dukungan tradisi karena sifat pribadi yang menonjol. Berkaitan dengan itu, menurut Hanafi seperti dikutip Sewelete (2005) tokoh adat merupakan pemimpin masyarakat adat yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Mereka menjadi panutan, pembimbing dan tempat bertanya bagi masyarakat yang dipimpinnya.
14
Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional semacam ini juga pada umumnya dilaksanakana secara kolegial (bersama-sama). Berlanjut dari konsep kepemimpinan secara umum, Soekanto (2000) mengungkapkan tugas pokok seorang pemimpin secara sosiologis sebagai berikut: (a) Memberikan suatu kerangka yang jelas yang dapat dijadikn pegangan bagi pengikutnya, skala prioritas, menanggulangi masalah. (b) Mengawasi, mengendalikan serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya. (c) Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia luar kelompok yang dipimpin. Aspek lain politik di antaranya adalah kekuasaan, distribusi dan struktur pranata politik. Budiardjo (2000) dalam bukunya Dasar-Dasar Politik mengungkapkan konsep kekuasaan dan pembagian atau distribusi. Kekuasaan menurutnya adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi kemampuan tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, sedangkan pembagian (distribusi) lebih diartikan sebagai pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Alokasi ini beranggapan bahwa politik adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Di sisi lain struktur pranata politik didefinisikan Kornblum dalam Budiardjo (2000) sebagai seperangkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang. Dalam hal ini pranata politik tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang menerapkan hukuman atau paksaan fisik tetapi juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama dari anggota kelompok masyarakat tersebut sedangkan secara khusus, kesiapan dan pengaturan desa adat sendiri telah tercantum dalam UU No.6 Tahun 2014. Dalam pasal 97 ayat 2 undang-undang tersebut, kesatuan komunitas hukum adat harus memiliki wilayah dan unsur adanya komunitas yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan atau benda adat, serta perangkat norma hukum adat. Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi terkait dinamika kehidupan komunitas adat banyak yang mengangkat penelitian terkait aspek politik, budaya, sosial, ekonomi dan lingkungan. Namun demikian masih banyak yang belum mengintegrasikan beberapa dari aspek tersebut. Selain itu kajian sebelumnya juga banyak yang mengangkat bagaimana perubahan regulasi di Indonesia mengenai tata pemerintahan desa yang bersentuhan langsung dengan kehidupan komunitas adat itu sendiri. Regulasi yang dimaksud berkenaan dengan realitas ini adalah UU No.5 Tahun 1979 pada masa pemerintahan Orde Baru dan UU No.22 Tahun 1999 serta UU No.32 Tahun 2004 pasca orde baru yang lebih berorientasi otonomi daerah. Pada perkembangannya baru-baru ini telah disahkan mengenai undangundang tata pemerintahan desa yang lebih mengusung hak dan kewenangan komunitas adat yakni UU No.6 Tahun 2014. Keberadaan regulasi ini menjadi upaya baru untuk lebih mengakui keberadaan adat-adat diseluruh wilayah nusantara. Namun demikian upaya tersebut membutuhkan persiapan matang dalam pembentukan desa adat. Berkaca
15
pada sejarah mengenai perubahan kehidupan sosial, politik dan budaya masyarakat menanggapi perubahan regulasi serupa pada masa Orde Baru dan pasca orde baru justru menyisakan sebuah kesangsian dan permasalahan yang cukup kompleks. Dengan demikian menarik untuk dianalisis lebih lanjut bagaimana kesiapan komunitas lokal dalam menanggapi perubahan regulasi di tahun 2014 ini. Kajian kesiapan didasarkan pada aspek sosial dan politik yang merupakan aspek penting dan bersentuhan langsung didalam komunitas. Kesiapan aspek sosial ini dilihat berdasarkan analisis modal sosial khususnya dalam komunitas yang kental dengan nilai adat. Hal-hal terkait modal sosial direduksi sebagai partisipasi dalam jaringan organisasi sosial atau kerja, kepercayaan antar sesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial mapun adat. Partisipasi dalam jaringan organisasi sosial dapat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/adat, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/adat, sedangkan kepercayaan antar sesama dapat dilihat dari tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan pengurus kelompok lainnnya. Selain itu ketaatan terhadap norma dilihat dari tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, serta tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah. Selanjutnya dua indikator lain yang dapat dilihat adalah kepedulian terhadap sesama, dapat digambarkan dari kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, serta sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain sedangkan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial, dapat dilihat dari tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial, jumlah organisasi sosial yang diikuti, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial. Selain melihat dalam aspek sosial dilihat pula bagaimana dinamika kesiapan aspek politik masyarakat yang direpresentasikan melalui indikator struktur adat, pengambilan keputusan, kepemimpinan, alokasi atau penguasaan sumberdaya lokal serta perangkat hukum adat. Struktur adat mengidentifikasi bagaimana tingkatan komunitas adat dalam kehidupan mereka misalnya kelas sosial, serta anggapan kriteria penggolongan kelas sosial. Pengambilan keputusan diantaranya dapat dilihat dari peran dan pengaruh tokoh adat atau individu lain dalam pengambilan keputusan terkait dalam hal-hal tertentu serta pengaruh tokoh pengambil keputusan dalam aspek-aspek tertentu. Selain itu kepemimpinan cenderung melihat bagaimana gaya pemimpin lokal, peranan serta pengaruh mereka di antara komunitas adat secara luas di wilayah tersebut, sedangkan penguasaan sumber daya lokal lebih melihat bagaimana pola pembagian pengelolaan sumber daya lokal, sistem pengelolaan serta aspek terakhir yaitu perangkat hukum adat yang mengatur dasar hidup komunitas adat tersebut. Kedua indikator kesiapan ini akan menarik jika dikaitkan dalam proses penguatan dan eksistensi adat disuatu daerah yang berkaitan langsung dengan adanya realitas sistem nilai, struktur adat dan penguasaan sumber daya.
16
Komunitas dikatakan siap apabila sistem nilai adat dan eksistensi kearifan lokal mereka dalam berbagai aspek mampu dipertahankan bahkan menjadi identitas. Hal semacam ini membutuhkan upaya yang dijadikan proses penguatan secara lokal oleh komunitas adat. Dengan demikian kondisi kesiapan sosial politik dapat saling berpengaruh dengan proses penguatan yang terjadi. Setelah melihat hubungan antar keduanya maka bisa ditinjau bagaimana penguatan dan kesiapan sosial politik masyarakat adat dalam menanggapi amanah UU No.6 Tahun 2014. Kesesuaian inilah yang pada akhirnya diharapkan mampu menjadi cerminan bagaimana upaya yang dibutuhkan dalam melihat kepentingan komunitas adat secara lebih bijak. Kajian terkait hal tersebut dijabarkan dalam kerangka penelitian baru sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Tingkat Kesiapan Sosial: - Tingkat partisipasi dalam jaringan organisasi sosial/kerja - Tingkat kepercayaan antar sesama - Tingkat ketaatan terhadap norma - Tingkat kepedulian terhadap sesama - Intensitas keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial (adat)
Tingkat Kesiapan Politik: - Bentuk struktur adat - Proses dan aktor pengambil keputusan - Tipe kepemimpinan - Bentuk alokasi/penguasaan sumber daya - Perangkat hukum adat
Penguatan desa adat (bedasarkan pandangan masyarakat): - Bentuk sistem nilai adat - Bentuk stuktur sosial desa adat - Bentuk sistem pengelolaan sumber daya
Keterangan: : Berhubungan : Bertujuan
Gambar 1 Kerangka pemikiran sesuai topik penelitian Hipotesis Hipotesis uji dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Kesiapan sosial berhubungan dengan penguatan desa adat 2. Kesiapan politik berhubungan dengan penguatan desa adat
Kesesuaian dengan amanah UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa
17
3. Faktor kesiapan sosial lebih dominan dalam hubungan dengan penguatan komunitas adat 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat.
Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut: 1. Tingkat partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan dalam jaringan organisasi sosial/kerja di keseharian komunitas adat. Hal ini dapat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/adat, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/adat. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut yaitu: - Jumlah kelompok/jaringan organisasi yang diikuti - Frekuensi keikutsertaan dalam kelompok/jaringan organisasi dan kegiatan lain - Tingkat keterbukaan dalam melakukan hubungan sosial - Frekuensi keterlibatan dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah dan memelihara hubungan Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Selalu (skor 4) - Sering (skor 3) - Jarang (skor 2) - Tidak pernah (skor 1) Namun demikian pada pertanyaan-pertanyaan tertentu nilai skor disesuaikan dengan keterkaitan makna pernyataan tersebut. Selanjutnya berdasarkan hasil akumulasi skor dari pilihan responden maka dikategorikan kembali menjadi tingkat partisipasi tinggi dan rendah menggunakan standar deviasi. 2. Tingkat kepercayaan dapat dilihat dari rasa percaya terhadap sesama, rasa percaya terhadap norma yang berlaku, rasa percaya terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan anggota masyarakat lainnnya. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tingkat kepercayaan yaitu: - Tingkat kepercayaan terhadap tokoh adat - Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah - Tingkat kepercayaan terhadap anggota komunitas lainnya Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat percaya (skor 4) - Percaya (skor 3) - Kurang percaya (skor 2) - Tidak percaya (skor 1) 3. Tingkat ketaatan terhadap norma merupakan kesediaan individu untuk mempercayai dan melakukan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang
18
4.
5.
6.
7.
berlaku, tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah atau tingkat intensitas pelanggaran yang pernah dilakukan. Adapun indikator untuk mengukur tingkat ketaatan terhadap norma/aturan yaitu: - Frekuensi melaksanakan norma yang dianut - Tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku - Frekuensi pelanggaran norma/aturan yang ada Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Selalu (skor 4) - Sering (skor 3) - Jarang (skor 2) - Tidak pernah (skor 1) Tingkat kepedulian sesama dapat dilihat dari rasa peduli terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain. Adapun indikator untuk mengukur variabel tersebut yaitu: - Tingkat kepeduliaan terhadap adat - Frekuensi kedekatan interaksi dengan orang dalam adat - Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Tinggi (skor 4), cukup tinggi (skor 3), sedang (skor 2), rendah (skor 1) - Selalu (skor 4), Sering (skor 3), jarang (skor 2), tidak pernah (skor 1) - Motivasi hubungan sosial (skor 4), banyak orientasi (skor 3), orientasi ekonomi (skor 2), hanya orientasi ekonomi (skor 1) Intensitas keterlibatan aktifitas sosial/adat dapat dilihat dari tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan adat, frekuensi keterlibatan dalam aktivitas lain. Adapun indikator untuk mengukur intensitas keterlibatan dalam aktifitas sosial/adat adalah: - Tingkat keinginan untuk menambah pengalaman dalam aktifitas adat - Frekuensi keterlibatan dalam penyampaian aspirasi dalam adat Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat ingin (skor 4), Ingin (skor 3), cukup ingin (skor 2), tidak ingin (skor 1) - Selalu ikut/terlibat (skor 4), sering ikut/terlibat (skor 3), jarang ikut/terlibat (skor 2), tidak pernah ikut/terlibat (skor 1) Bentuk struktur adat merupakan pola stratifikasi anggota komunitas ke dalam kelas-kelas atau golongan yang ditafsirkan oleh komunitas adat baik secara sosial ataupun menurut pandangan subjektif komunitas. Adapun indikator untuk mengukur bentuk struktur adat yaitu: - Pola stratifikasi anggota komunitas ke dalam kelas sosial - Kuat lemahnya stratifikasi yang ada di masyarakat adat - Efektivitas lembaga adat dalam menjalankan fungsi Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat kuat (skor 4), kuat (skor 3), cukup kuat (skor 2), lemah (skor 1) - Sangat efektif (skor 4), efektif (skor 3), cukup efektif (skor 2), tidak efektif (skor 1) Aktor dan peran pengambil keputusan merupakan siapa saja tokoh yang berperan dalam pengambilan keputusan pada dinamika masyarakat adat
19
misalnya tokoh adat, kepala desa formal, ataupun masyarakat. Adapun indikator untuk mengukur aktor dan peran pengambil keputusan yaitu: - Aktor dengan frekuensi pengambilan keputusan tertinggi - Pengaruh adat terhadap proses pemilu Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Tokoh adat (skor 4), masyarakat adat (skor 3), kepala desa (2), tokoh lain (skor 1) - Sangat berpengaruh (skor 4), sedikit berpengaruh (skor 3), biasa saja (skor 2), tidak berpengaruh (skor 1) 8. Tipe kepemimpinan lebih dimaksudkan dengan kuat lemahnya pengaruh dan kepentingan pemimpin melalui proses interaksi dan relasi dengan individu masyarakat, kelompok komunitas maupun pihak eksternal serta gaya yang dipakai seperti demokratis atau otoriter. Adapun indikator untuk mengukur variabel tersebut yaitu: - Tingkat pengaruh pemimpin adat - Gaya pemimpin adat dalam melibatkan warga Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak terlalu berpengaruh (skor 2), sama sekali tidak berpengaruh (skor 1) - Selalu melibatkan (skor 4), sering melibatkan (skor 3), kadang-kadang melibatkan (skor 2), tidak melibatkan (skor 1) 9. Bentuk alokasi/penguasaan sumber daya merupakan pengaturan yang mengikat komunitas berkaitan dengan pembagian lahan, kepemilikan lahan individu dan komunal, dan pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun indikator untuk mengukur bentuk alokasi/penguasaan sumber daya yaitu: - Sejauhmana pengaturan lahan diterapkan - Tingkat pengaruh pengelolaan sumber daya adat - Tingkat pengaruh pihak luar Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Masih sangat kuat (skor 4), masih kuat (skor 3), adanya percampuran (skor 2), sudah tidak diterapkan (skor 1) - Sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), cukup berpengaruh (skor 2), tidak berpengaruh (skor 1) 10. Perangkat hukum adat merupakan perangkat jabatan dalam pengurus hukum adat yang berperan mempertahankan eksistensi tradisi mereka. Adapun indikator untuk mengukur perangkat hukum adat yaitu: - Sejauhmana kelengkapan perangkat hukum adat - Tingkat keinginan warga diatur oleh perangkat hukum adat - Tingkat komodifikasi budaya Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat lengkap (skor 4), lengkap (skor 3), cukup lengkap (skor 2), hanya aspek adat (skor 1) - Sangat ingin (skor 4), ingin (skor 3), biasa saja (skor 2), tidak ingin (skor 1) 11. Tingkat kekuatan sistem nilai adat secara keseluruhan dinilai dari pendapat komunitas sejauhmana perangkat aturan yang dillaksanakan. Adapun indikator untuk mengukur bentuk dan sistem nilai adat yaitu: - Pandangan komunitas terhadap kuat atau lemahnya sistem adat
20
Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:: - Sangat kuat (skor 4) - Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1) Aspek ini dinilai dari pernyataan dengan pengukuran skala likert yang dijawab responden selanjutnya dapat diakumulasikan dan dikategorikan menjadi kuat dan lemah. 12. Tingkat kekuatan stuktur sosial adat secara keseluruhan merupakan kuat atau lemahnya stratifikasi sosial di komunitas adat yang masih berlaku ataupun yang telah berintegrasi. Adapun indikator untuk mengukur bentuk struktur sosial desa adat: - Pandangan komunitas terhadap kuat atau lemahnya struktur sosial desa adat Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat kuat (skor 4) - Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1) Aspek ini dinilai dari pernyataan dengan pengukuran skala likert yang dijawab responden selanjutnya dapat diakumulasikan dan dikategorikan menjadi kuat dan lemah. 13. Tingkat kekuatan sistem pengelolaan sumber daya dalam hal ini melihat kuat atau tidaknya implementasi pengelolaan adat berdasarkan pendapat komunitas. Adapun indikator untuk mengukur bentuk sistem pengeloaan sumber daya yaitu: - Pandangan komunitas terhadap kuat atau lemahnya sistem pengelolaan sumber daya adat Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat kuat (skor 4) - Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1) Aspek ini dinilai dari pernyataan dengan pengukuran skala likert yang dijawab responden selanjutnya dapat diakumulasikan dan dikategorikan menjadi kuat dan lemah.
21
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Penelitian penguatan sosial politik komunitas adat ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan penelitian survei dan didukung oleh metode kualitatif. Penelitian kuantitatif berorientasi pada survei yang berasal dari data sampel di lapangan. Sampel diambil untuk mewakili keseluruhan populasi. Pendekatan lapang pun dilakukan dengan penggalian informasi dari responden dengan kuesioner dan wawancara. Unit analisa dalam penelitian ini adalah komunitas adat di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Secara umum penelitian ini lebih bertujuan untuk menjelaskan (explanatory) mengenai kondisi di lapang. Pada penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Selain metode penelitian kuantitatif yang telah dijelaskan, penelitian mengenai komunitas adat ini didukung pula oleh pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan teknik penelitian wawancara terstruktur, observasi, dan analisa data sekunder yang menjadi sumber referensi berkaitan dengan topik. Penelitian kualitatif tersebut diharapkan mampu melengkapi analisis data lapang yang berkaitan dengan dinamika komunitas adat baik berupa sejarah adat, nilai, norma, tradisi maupun pendekatan terhadap tokoh adat serta stakeholder lain. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada komunitas adat Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Juni 2014, sedangkan proses penelitian di lapangan dilakukan selama 2 minggu, yaitu pada bulan September hingga Oktober 2014. Pemilihan lokasi ini dilatarbelakangi oleh relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat. Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel jadwal kegiatan (lampiran 2). Teknik Sampling Populasi penelitian adalah seluruh komunitas adat di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Adapun unit penelitian atau populasi sasarannya adalah sampel individu komunitas adat tersebut. Peneliti menetapkan masing-masing sampel dalam penelitian sebanyak 45 orang anggota komunitas adat untuk merepresentasikan kondisi dan pandangan mengenai hal-hal yang diteliti. Adapun mekanisme pengambilan sampel disajikan pada Gambar 2:
22
Metode pemilihan simple cluster sampling
Komunitas adat Desa Balla Tumuka
Individu yang tidak mampu berbahasa Indonesia Individu yang mampu berbahasa Indonesia Pemilihan sampel secara purposive Responden penelitian
Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel Sesuai dengan tujuan penelitian yang menganalisis kesiapan sosial politik komunitas adat maka cukup relevan jika kerangka sampling yang digunakan adalah kerangka sampling individu dalam komunitas adat sebagai unit analisis yang diharapkan mampu menjadi representasi populasi komunitas tersebut. Metode pengambilan sampel menggunakan simple cluster sampling dan acak sederhana secara purposive. Proses ini dilakukan dengan membagi karakteristik responden menjadi individu yang dapat berbahasa Indonesia dan individu yang tidak mampu berbahasa Indonesia. Selanjutnya sampel individu yang mampu berbahasa Indonesia di pilih secara acak dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan didasarkan atas kesamaan karakteristik sosial masyarakat target responden. Selain itu pengambilan acak dengan pertimbangan yaitu dengan alasan penyesuaian kondisi lapang yang sulit terakses. Kemudian dari kerangka sampling yang sudah dipertimbangkan ditarik sebagai sampel beberapa unsur atau satuan yang diteliti. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian berupa kuesioner hasil, serta hasil FGD dan wawancara mendalam. Untuk menguatkan kuesioner sebagai salah satu instrumen maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dari uji tersebut maka diperoleh alpha sebagai berikut: Tabel 2 Uji statistik reliabilitas Cronbach's Alpha 0.866
N of Items 65
Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpha > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90, maka reliabilitas tinggi, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha
23
<0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner penelitian ini menunjukkan angka 0.866 artinya kuesioner memiliki reliabilitas tinggi. Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti pemerintah desa, tokoh adat dan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil desa, nama dan jumlah anggota KK yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya. Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis penelitian ini adalah individu komunitas adat. Data diolah dengan menggunakan tabulasi silang secara manual, software SPSS 16.0 serta Microsoft Excel 2010. Analisis data yang digunakan yaitu Uji Korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antar variabel dengan data yang berbentuk ordinal, yaitu yang mengukur hubungan tingkat kesiapan sosial dan kesiapan politik dengan penguatan komunitas adat. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel. Awalnya data primer hasil kuesioner diolah dalam Microsoft Excel 2010 dan diberi skor sesuai jawaban responden dan diakumulasikan pada setiap variabel. Selanjutnya nilai akumulasi pada masing-masing varibel dikategorikan menjadi tinggi dan rendah. Ketentuan kategori tinggi apabila nilainya lebih tinggi sama dengan nilai rata-rata ditambah standar deviasi, sedangkan kategori rendah apabila nilanya kurang dari hasil skoring pada kategori tinggi. Kemudian analisis pada SPSS 16.0 dilakukan dengan melakukan input skor hasil kuesioner responden dan mengakumulasikan pada setiap variabel dan melakukan uji korelasi Rank Spearman.
24
25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Desa Balla Tumuka Desa Balla Tumuka adalah salah satu desa yang tergabung dalam kesatuan wilayah Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Pada mulanya di Balla hanya terdapat satu desa yang diberi nama Desa Balla. Kini telah mengalami pemekaran menjadi enam desa yang tergabung dalam satu Kecamatan Balla. Desa Balla dimekarkan berdasarkan musyawarah yang dihadiri tokoh masyarakat, LKMD, tokoh agama dan pemuda. Pemekaran tersebut pada saat itu diusulkan melalui bupati kepada Gubernur Sulawesi Selatan. Kemudian terbitlah Surat Keputusan Gubernur No.210/II/Tahun 1998 tentang Desa Balla Tumuka, serta dikuatkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polmas No KPTS.28a/BK/II/Tahun 2002 sebagai desa wisata. Secara geografis luas wilayah Balla Tumuka adalah 775 Ha di atas ketinggian antara 1200 mdpl-1400 mdpl. Kondisi lahan di wilayah ini merupakan perbukitan menanjak dan permukaan tanah yang miring sehingga seringkali menimbulkan kesulitan akses transportasi. Desa Balla Tumuka berbatasan dengan desa-desa lain yaitu (a) sebelah utara berbatasan dengan Desa Ulumambi Kecamatan Bambang, (b) sebelah timur berbatasan dengan Desa Pidara, (c) sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pambe, dan (d) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Porondo Bulawan Desa Balla Tumuka berjarak sekitar 9 km dari ibukota kecamatan dan 18 km dari ibukota Kabupaten Mamasa. Apabila dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Balla, maka desa ini tergolong memiliki jarak yang paling jauh dan terletak paling tinggi. Selain itu, dalam kesatuan wilayah Desa Balla Tumuka terdapat lima dusun meliputi Dusun Ballapeu‟, Bamba Pongko‟, Gallangrapa, Rante Masanda, dan Rante Puang. Keempat dusun selain Rante Puang masih tergolong dapat terjangkau karena lokasinya yang berdekatan, sedangkan Dusun Rante Puang terletak paling jauh dan kesulitan akses. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya kendaran yang dapat melintas menuju dusun tersebut sekalipun dengan sepeda motor. Akses sepeda motor hanya sampai dusun sebelumnya dan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Kondisi ini menyulitkan warga setempat untuk berpergian keluar dusun sekalipun untuk kepentingan bersekolah, sehingga tidak heran apabila jumlah penduduk Dusun Rantai Puang merupakan yang paling sedikit diantara keempat dusun lain. Berikut jumlah penduduk yang tersebar dalam masing-masing dusun di Desa Balla Tumuka (lihat Tabel 3).
26 Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun menurut golongan umur di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Umur (tahun)
0–6 7 – 12 13 – 18 19 – 24 25 – 55 56 – 60 ≥ 61 Jumlah
Balla Peu‟ n 18 31 43 28 86 106 41 353
% 1.2 2.2 3.0 2.0 6.0 7.3 2.8 24.5
Bamba Pongko n % 23 1.6 29 2.0 48 3.3 30 2.1 83 5.8 69 4.8 19 1.3 301 20.9
Dusun Galang Rapa‟ n % 20 1.3 27 2.0 38 2.6 41 2.8 71 5.0 73 5.1 55 3.9 325 22.7
Jumlah Total Rante Masanda n % 28 2.0 31 2.1 25 1.7 53 3.8 50 3.4 45 3.1 48 3.3 280 19.4
n 15 21 33 22 31 35 23 180
Rante Puang % 1.1 1.4 2.2 1.6 2.1 2.5 1.6 12.5
n % 104 7.4 139 9.6 187 13.0 174 12.0 321 22.3 328 22.7 186 13.0 1439 100
Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka 2014 (diolah)
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase penduduk tertinggi bertempat di Dusun Balla Peu‟ sedangkan persentase terendah bertempat di Dusun Rante Puang. Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi Dusun Rante Puang yang terletak paling jauh dan sulit akses menjadikan dusun tersebut dihuni sedikit orang. Selain itu, apabila dilihat dari kategori umur maka Desa Balla Tumuka secara keseluruhan memiliki persentase penduduk tertinggi di usia 56-60 tahun sedangkan persentase terendah di kategori usia 0-6 tahun. Hal ini berarti bahwa desa tersebut mayoritas dihuni oleh penduduk usia tua sedangkan jumlah bayi, anak-anak hingga remaja lebih sedikit. Selain persentase jumlah penduduk menurut umur, jumlah penduduk yang tersebar pada masing-masing dusun menurut jenis kelamin juga dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa jenis kelamin perempuan lebih mendominasi di Desa Balla Tumuka. Hal ini terbukti dengan persentasenya yang mencapai 51.99% dari keseluruhan, sedangkan persentase laki-laki sejumlah 48.01%. Nilai persentase tersebut meskipun tidak terpaut jauh namun tidak bisa mengabaikan bahwa jumlah perempuan yang lebih banyak juga mensinyalir kesetaraan posisi diantara keduanya. Perempuan dalam berbagai hal seperti pekerjaan tidak dibedakan dengan laki-laki dan justru posisi perempuan menurut adat terbilang tinggi. Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun menurut jenis kelamin di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Jenis Dusun Jumlah % Kelamin Balla Bamba Galangrapa‟ Rante Rante Peu‟ Pongko Masanda Puang Laki-laki 169 147 152 132 88 691 48.01 Perempuan 184 154 173 148 92 748 51.99 Jumlah 353 301 325 280 180 1439 100 % 24.53 20.92 22.59 19.46 12.51 100 Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka 2014 (diolah)
27
Selanjutnya, berkaitan dengan masalah kependudukan, maka hal ini akan berkaitan pula dengan kondisi tempat tinggal yang mereka diami. Keadaan topografi di Desa Balla Tumuka bervariasi mulai dari dataran rendah, berbukit hingga bergunung-gunung dengan tingkat kemiringan yang sangat terjal sama halnya dengan kecamatan-kecamatan lain yang memiliki tingkat kemiringan mencapai 5% - 45% (Sjaf 2014). Keadaan topografi yang demikian ditunjang juga oleh iklim tropis yang basah, serta ditunjang dengan kondisi hutan yang relatif masih baik serta sungai yang masih terjaga. Salah satu sungai utama yang melintas langsung di Desa Balla Tumuka adalah Sungai Manta yang sekaligus digunakan bagi keseharian warga untuk irigasi sawah hingga usaha mina padi, sedangkan wilayah hutan dengan bukit-bukit barisan didukung oleh tiga gunung utama di desa ini yaitu Gunung Buntu Mussa, Buntu Learra‟, dan Pepassi. Potensi Sumber Daya Alam (SDA) di Desa Balla Tumuka cukup beraneka ragam antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan darat dan pariwisata. Komoditas utama dari wilayah ini berupa kopi, kakao, umbi-umbian, hingga padi sebagai makanan utama masyarakat namun pada umumnya masih cenderung subsisten untuk kepentingan sendiri. Selain itu secara umum pembagian lahanlahan di desa ini juga cukup beragam dari mulai tanah adat hingga tanah yang diusahakan warga ataupun kawasan hutan milik Perhutani. Secara umum klasifikasi pembagian lahan kering di Desa Balla Tumuka dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Luas lahan kering di Desa Balla Tumuka tahun 2013 Lahan Kering
Luas (ha)
Persentase
Tegalan
0.55
6.52
Pekarangan
0.12
1.42
Perkebunan
0.97
11.51
Padang rumput
0.14
1.66
Hutan
6.06
71.89
Ladang
0.59
7.00
Jumlah
8.43
100.00
Sumber: Kecamatan Balla Dalam Angka 2013, BPS Kab.Mamasa
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kategori lahan yang menempati persentase tertinggi adalah wilayah hutan sedangkan persentase terendah adalah pekarangan. Hal ini disebabkan kondisi wilayah hutan yang termasuk hutan lindung serta kondisi rumah yang menempati posisi sesuai kontur lahan menyebabkan sulitnya mengatur kepemilikan pekarangan. Selain itu, dengan potensi sumber daya lahan tersebut setidaknya masyarakat lokal mampu mengusahakan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan mereka yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Namun demikian, menurut keterangan sekretaris desa akhir-akhir ini seringkali terjadi pembakaran hutan, sehingga membutuhkan upaya pencegahan serta pengawasan langsung dari pihak pemerintah dan adat, serta dibutuhkan kesadaran langsung dari segala pihak.
28
Karakteristik Sosial dan Ekonomi Responden Secara keseluruhan pada aspek kependudukan, umur responden dalam penelitian mengenai penguatan sosial politik komunitas adat tersebar menjadi beberapa golongan umur dari mulai usia dewasa hingga tua mengingat kelas umur tersebut yang mampu menjadi objek mengenai topik terkait. Sebaran umur responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase sebaran umur responden penelitian Umur (tahun) Penduduk n % 19-29 5 11 30-40 18 40 41-51 10 22 52-62 5 11 >62 7 16 Total 45 100 Sebagaimana Tabel 6, golongan umur terbanyak yaitu antara 30-40 tahun sebesar 40% sedangkan persentase terendah pada usia 19-29 tahun serta umur 5262 tahun. Secara umum sebaran tersebut mayoritas tergolong usia tua. Kondisi ini menjadi kajian lebih lanjut terhadap eksistensi adat di Desa Balla Tumuka. Dengan mayoritas responden yang tersebar dalam usia dewasa hingga tua maka kajian jawaban responden mengenai kesiapan sosisal dan politik cukup mewakili. Hal ini disebabkan apabila responden tersebar dalam usia muda maka diduga pemahaman mereka terhadap adat belum mumpuni. Kehidupan sosial komunitas Desa Balla Tumuka tergolong memiliki kedekatan dalam berinteraksi. Hal ini didukung oleh jaringan kekerabatan yang erat serta kesatuan nilai adat yang sudah mengakar didalam kehidupan mereka, sehingga dapat dikatakan karakteristik komunitas Desa Balla Tumuka tergolong homogen dan memiliki keguyuban tersendiri. Salah satunya ditunjukan dengan homogenitas mata pencaharian warga yang mayoritas sebagai petani. Interaksi dan kekerabatan diantara masyarakat juga berkaitan dengan mata pencaharian tersebut. Sebagai petani mereka secara terus menerus terlibat dalam interaksi keseharian misalnya antara pemilik dan penggarap. Selain itu mereka juga terlibat dalam sistem atau pola relasi kerja yang sudah diatur sedemikian rupa. Pola relasi ini disebut dengan bahas lokal serta ketentuannya masing-masing yaitu sistem Ma’petesanan (sistem upah), Massima, Ma’bulelen, Manta’ga, serta Ma’perurukan. Kelima pola relasi membuat setiap individu terlibat dalam interaksi mendalam sehingga terjalin kedekatan. Misalnya ditunjukkan dengan aturan arisan tenaga kerja yaitu mereka harus saling tolong menolong secara bergantian menggarap lahan antar anggota kelompok petani yang mereka buat. Kedekatan juga ditunjukkan dengan nilai-nilai yang berlaku yaitu apabila seseorang ingin menjual kepemilikan lahan maka harus seizin keluarga dan dipindahtangankan kepada warga lain yang masih dalam kerabat dekat. Secara umum, kehidupan petani di desa ini cenderung subsisten untuk kebutuhan sendiri. Namun demikian, sistem subsisten tersebut tidak menutup kemungkinan warga untuk turut melakukan jual beli hasil pertanian mereka. Hasil
29
pertanian yang melebihi kebutuhan pribadi biasanya dijual untuk tambahan sumber penghasilan. Petani menjual hasil pertanian tersebut ke pasar di pusat Kabupaten Mamasa dan hanya dapat dilakukan setiap hari sabtu dan minggu karena akses transportasi yang dapat mengangkut hasil bumi mereka hanya tersedia di hari-hari tersebut. Selain itu pemasaran yang dilakukan belum pernah untuk skala penjualan besar-besaran keluar Mamasa, sehingga dapat dikatakan hanya berputar dilingkup lokal saja. Kondisi ini sesuai dengan keterangan dari kepala desa dan didukung cerita dari responden sebagai berikut: “Biasanya hasil-hasil dari lahan seperti ubi, atau seong dijual ke pasar Mamasa saja. Belum pernah sampai keluar Mamasa. Tapi itu nanti dijual pas hari sabtu dan minggu karena mobilnya Cuma ada hari itu. Kalau setiap hari kesana ya repot karena jalannya susah” (Bapak T) Dari segi kependudukan, selain mayoritas warga bekerja sebagai petani ada juga beberapa diantaranya yang bekerja sebagai pegawai negeri di instansi terkait atau berwirausaha. Tidak banyak warga lokal yang melakukan migrasi keluar Desa Balla Tumuka untuk bekerja ataupun mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini ikut memicu banyaknya pernikahan serumpun sehingga interaksi dan mobilitas masyarakat lokal kurang begitu luas dan hanya sebatas kaum elit yang memiliki sumber daya materil saja yang mampu melakukan hal tersebut. Hal ini diungkapkan salah satu responden sebagai berikut: “Saya juga heran dengan masyarakat di Balla ini seringnya menikah dengan itu-itu saja. Mungkin karena tidak banyak keluar daerah yang jauh-jauh, jarang yang seperti saya sampai berani merantau ke Makassar sampai ke Jawa” (Bapak C) Dengan demikian relevan apabila pada realitasnya kondisi tersebut mempengaruhi pendidikan warga lokal menjadi kurang berkembang misalnya hingga jenjang pendidikan tinggi. Pada Tabel 7 disajikan data jumlah warga masing-masing dusun yang mengenyam pendidikan pada masing-masing tingkatan. Tabel 7 Jumlah warga masing-masing dusun menurut tingkat pendidikan di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA Perguruan tinggi Jumlah
Balla Peu' n 38 27 18 8
% 10.1 7.2 4.8 2.2
Bamba Pongko n % 53 14.1 32 8.6 16 4.2 5 1.4
91
24.3
106
28.3
Dusun Galang Rante Rante Rapa' Masanda Puang n % n % n % 48 12.8 31 8.3 19 5.1 19 5.1 14 3.7 7 1.9 13 3.4 10 2.7 5 1.3 7 1.9 4 1.1 0 0 87
Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka Tahun 2014
23.2
59
15.8
31
8.3
Jumlah n 189 99 62 24
% 50.5 26.5 16.5 6.5
374 100
30
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata pendidikan warga Desa Balla Tumuka adalah SD terbukti dengan persentase sebanyak 50.5% sedangkan perguruan tinggi menempati persentase terkecil yaitu 6.5%. Selain itu, apabila dilihat dari jumlah dan persentase pada masing-masing dusun maka Dusun Bamba Pongko menempati posisi tertinggi sedangkan Dusun Rante Puang tergolong paling rendah hanya dengan persentase sebesar 8.3%. Dari sisi ekonomi yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan, komunitas di Desa Balla Tumuka dikategorikan dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal. Namun demikian secara umum dapat dilihat dari kepemilikan dan akses sumberdaya pada masing-masing rumah tangga. Selain itu terdapat hal yang menarik terkait adat, yaitu keturunan elit adat biasanya akan menempati posisi strategis dengan kedudukan tinggi serta kapasitas diri yang mumpuni, sehingga apabila diklasifikasikan menurut tingkatan keluarga sejahtera maka mereka setidaknya akan menempati kelas keluarga sejahtera II. Secara rinci, menurut data dari pemerintah penggolongan tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
250
200
150 Jumlah
100
Persentase
50
0
Keluarga pra Keluarga sejahtera sejahtera I
Keluarga Keluarga Keluarga sejahtera II sejahtera III sejahtera III plus
Sumber: BKKBN Kab. Mamasa dalam KCDA BPS 2013
Gambar 3 Hasil pentahapan keluarga pra sejahtera Desa Balla Tumuka tahun 2013 Berdasarkan data klasifikasi tersebut, maka dapat dilihat bahwa mayoritas rumah tangga di Desa Balla tumuka termasuk kategori keluarga sejahtera I dengan persentase sebesar 78.24% sedangkan yang menempati kategori keluarga pra sejahtera sebanyak 16.41%. Tingkatan yang lebih atas lagi yaitu kategori keluarga sejahtera II memiliki nilai persentase sebanyak 5.35% sedangkan kategori keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera II plus tidak memiliki jumlah dan persentase sama sekali. Hal ini berarti bahwa tidak ada rumah tangga di Desa
31
Balla Tumuka yang mencapai tingkatan tersebut sekalipun ia memiliki posisi strategis seperti kepala desa. Selain itu aspek ekonomi akan berkaitan langsung dengan mata pencaharian warga di bidang pertanian, peternakan, dan lain-lain. Di bidang peternakan, hewan yang umumnya dipelihara warga di Desa Balla Tumuka adalah kerbau, sapi, ayam dan babi. Dalam hal ini terdapat sesuatu yang menarik menyangkut kerbau. Selain jumlah populasi kerbau di Kecamatan Balla yang tercatat sebanyak 813 pada tahun 2012 (Sjaf 2014) kerbau juga bukan hanya menjadi simbol hewan peliharaan saja tapi juga lebih dari itu memiliki nilai yang sangat tinggi untuk upacara adat baik bagi komunitas lokal ataupun masyarakat dari luar Mamasa khususnya Tana Toraja. Akibat adanya kepentingan tersebut harga kerbau biasanya akan melambung tinggi terutama kerbau dengan ciri-ciri tertentu yang biasa disebut dalam bahasa lokal “Dotti”. Warga yang memiliki “Dotti” maka otomatis meningkatkan kelas sosial serta ekonominya akibat harga kerbau ini yang dapat mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Namun tetap saja tidak semua masyarakat memiliki sumber daya tersebut, bahkan beberapa masih tersebar dan berada pada strata ekonomi yang rendah. Dari aspek pertanian, mayoritas petani merupakan petani pemilik lahan yang berasal dari warisan secara turun temurun. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan dapat bekerja sebagai petani penggarap ataupun meminta tanah adat yang tidak dipergunakan sehingga kondisi ini menjadi gambaran adanya jaminan sosial untuk komunitas lokal ataupun pendatang yang sudah mulai menetap disana. Awalnya meskipun petani secara subsisten memiliki lahan sendiri masih saja terjadi kerawanan pangan dan keterbatasan ekonomi karena hambatan komoditas padi varietas lokal. Kondisi ini disebabkan oleh varietas lokal yang ditanam petani hanya mampu dipanen sebanyak satu kali dalam satu tahun dan untuk pemenuhan kebutuhan selanjutnya didukung oleh hasil kebun atau pertanian lahan kering. Namun demikian, setelah datangnya inovasi dari pemerintah tentang varietas padi baru, masyarakat mulai beralih dan merasa lebih tercukupi karena dapat panen dua kali setahun meskipun kualitas padi baru jauh di bawah kualitas padi lokal. Disisi lain lahan-lahan perkebunan khususnya tanaman kopi dan kakao masih diusahakan secara tradisional dan belum ada industri pengolahan sehingga kurang adanya nilai tambah. Oleh karena itu baik Desa Balla Tumuka ataupun Kabupaten Mamasa secara keseluruhan, dalam hal perekonomian di tingkat regional lebih berfungsi sebagai wilayah produksi semata dan hasil produksi tersebut tidak diolah di dalam wilayah Mamasa sendiri sehingga added value wilayah dimanfaatkan oleh daerah lain di luar Mamasa. Kondisi ini sejalan dengan sumbangan sektor pertanian pada tahun 2012 (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) sebesar 54,04% terhadap PDRB Kabupaten Mamasa. Sektor pertanian sebagai sektor primer memberikan peluang yang signifikan untuk berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan, serta meningkatkan dinamika pertumbuhan ekonomi jika dikelola dengan baik. (Adiwibowo et al. 2014)
32
Sejarah Desa dan Adat Menurut sejarahnya, secara harfiah Desa Balla Tumuka memiliki arti „tanah yang menanjak‟. Arti ini sesuai dengan kondisi lapang wilayah desa tersebut yang semuanya merupakan daratan yang berbukit-bukit dengan kemiringan mencapai 40%. Awalnya wilayah ini dihuni pertama kali oleh Nenek Tomampu’ yang berasal dari Sa’dang dari keturunan Nenek Pongka Padang yang berkembang di Balla Peu dan tersebar di seluruh dusun lain seperti Bamba Pongko, Gallangrapa‟, Rante Masanda, Rante Puang hingga ke Mamasa secara keseluruhan. Keberadaan adat di Desa Balla Tumuka ini menjadi hal yang paling signifikan sebagai dasar atas kehidupan keseharian warga termasuk sejarah kepemerintahannya. Selain adat dan pemerintahan formal (desa, dusun, dan Rukun Keluarga/RK), lembaga keagamaan juga turut mengambil peran yaitu lembaga agama Kristen Protestan, Katolik dan Pantekosta. Ketiga lembaga agama mayoritas tersebut merupakan agama baru yang berkembang dan menggantikan agama asli penduduk Balla yaitu Toma’lilin yang menghilang sejak tahun 1984.Awalnya wilayah desa ini tidak mengenal pemerintahan secara resmi karena hanya dipimpin oleh adat yang dikenal dengan sebutan Toma’ Tua (orang yang dituakan di kampung adat dan menurut garis keturunan). Pada saat itu adat diakui oleh semua pihak dan dilantik sebagai bentuk kepemimpinan wilayah. Namun demikian, semenjak kedatangan Belanda kepemimpinan desa mulai dipimpin oleh Pare’e, kepala lingkungan dan kepala dusun hingga kepala desa. Pada akhirnya kondisi saat ini, adat hanya berpengaruh pada hal-hal tertentu saja terkait tradisi leluhur. Secara lebih rinci alur sejarah dapat dilihat pada Gambar 4 yang dikategorikan dari masa kolonial, pasca kolonial hingga masa reformasi.
Gambar 4 Alur sejarah Desa Balla Tumuka
33
Keberadaan tiga lembaga di komunitas (pemerintah, adat dan tokoh agama) selalu berupaya untuk hidup berdampingan, menjaga keseimbangan kelembagaan, dan saling berkoordinasi satu dengan lainnya. Berbeda halnya dengan realitas dimasa lalu yang menjadikan adat sebagai sistem pemerintahan wilayah. Oleh karena itu akhirnya perangkat adat atau yang disebut Toma’ Tua pun peran dan keberadaannya disesuaikan dengan kepentingan desa formal. Sebaliknya, kriteria pemilihan kepala desa juga disesuaikan dengan kriteria adat sehingga menjadi lebih prestisius. Pemilihan tersebut dilakukan dengan memilih orang sesuai karakteristik khusus yaitu yang berintegritas tinggi, melihat track record dari jabatan dan garis keturunan adat sehingga kepemimpinan kepala desa seringkali merupakan orang-orang yang juga memiliki kedekatan dengan keturunan Toma’ Tua serta memiliki posisi adat yang cukup tinggi. Dengan kata lain, keturunan Toma’ Tua juga sudah melebur dengan kepemimpinan formal seperti kepala desa saat ini. Di sisi lain, keberadaan dan peran Toma’ Tua merupakan suatu hal yang berjalan seumur hidup, sehingga setelah salah satu Toma’ Tua meninggal maka barulah dilakukan pergantian. Proses pengangkatan Toma’ Tua dilakukan berdasarkan aspirasi seluruh warga kampung adat namun disesuaikan dengan perubahan dan penurunan nilai-nilai luhur hingga saat ini. Dengan kata lain, pengangkaan Toma’ Tua tidak diperkenankan apabila hanya mempertimbangkan garis keturunan langsung tapi juga berdasarkan kriteria kualitas kepribadian, pengalaman dan pemahaman terkait adat. Hingga sekarang, di Desa Balla Tumuka terdapat tujuh Toma’ Tua, yang masing-masing memiliki „wilayah kerja dan kewenangan‟ yang berbeda satu dengan lainnya. Di sisi lain, melihat perubahan dan perkembangan adat yang terjadi di masyarakat Mamasa, terdapat upaya untuk melegalkan keberadaan adat. Hal ini didasarkan dengan alasan agar keberadaan adat tetap eksis serta memiliki peranannya tanpa tergusur oleh intervensi zaman dan waktu, yaitu dengan dibentuknya Dewan Adat Kabupaten Mamasa yang diinisiasi pada tahun 2006. Dewan adat ini mewadahi Toma’ Tua-Toma’ Tua yang tersebar di Desa Balla Tumuka serta wilayah Kabupaten Mamasa pada umumnya yang berperan menjadi pemberi nasehat bagi keberlangsungan kelembagaan pemerintahan formal. Atas dasar eksistensi adat yang melekat selama bertahun-tahun di Desa Balla Tumuka, maka bekas-bekas sejarah tidak dapat dihilangkan bahkan berupaya untuk dilestarikan. Hal yang menarik dalam pewarisan sejarah tersebut yaitu dengan adanya kelas-kelas yang menjadi dasar stratifikasi sosial pada masyarakat lokal di Kabupaten Mamasa. Strata kelas-kelas tersebut diantaranya terdiri dari beberapa kalangan yaitu kalangan atas Tana’ Bulawan (emas), Tana’ Basi (besi), Tana’ Karurung (kayu), dan Tana’ Koakoa yang digolongkan berdasarkan posisi keturunan adat. Keempat istilah ini menggambarkan bagaimana posisi seseorang di masyarakat sesuai dengan representasi nama, misalnya emas sebagai logam mulia dijadikan simbol bagi kaum bangsawan, hingga posisi terendah yang disimbolkan dengan kayu. Namun demikian menurut pengakuan warga Balla Tumuka, sistem seperti ini sudah tidak terlalu bertahan, hanya diakui secara personal oleh masing-masing individu dan hanya menyebar diantara mereka saja sehingga tidak dapat diidentifikasi sebaran masing-masing kalangan menurut jenis pekerjaan saat ini. Selain itu alasan penggolongan juga
34
tidak disebabkan kepemilikan sumber daya namun lebih karena garis keturunan dan budaya yang sudah ada secara turun temurun. Stratifikasi sosial yang membagi anggota komunitas dalam strata-strata tertentu tersebut kemudian juga dipersonifikasikan dan mendasari adanya klasifikasi rumah adat (Tongkonan), yang mereka tempati selama bertahun-tahun. Klasifikasi tersebut terbagi menjadi beberapa kelas sosial yang mencirikan posisi pemiliknya yaitu Banua Layo (Banua dengan ukiran dan ukuran yang besar), Banua Sura (Banua kelas dengan ukuran sedang dan diukir), Banua Bolong (tidak diukir dan berwarna hitam pekat), Banua Longkarin (Tipe Banua kelas empat yang menggunakan kayu asli, serta Banua Latok atau Selantai). Selain itu proses pengukiran yang dilambangkan dalam rumah-rumah tersebut memiliki proses yang panjang dan ditentukan berdasarkan kelayakan pemilik dalam kelas sosial mereka. Proses tersebut beberapa diantaranya harus melalui pemotongan hewan kerbau belang (Dotti atau bungo) dan penggantungan gendang pada upacara adat orang meninggal dengan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak mengherankan jika sejarah yang mengontruksikan demikian membawa pengaruh pula pada penguasaan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap individu terutama sumberdaya pertanian mengingat sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai petani. Selanjutnya, pengaruh tersebut juga bercampur dengan bagaimana pola penguasaan lahan dan sistem kerja pengelolaan sumber daya pertanian hingga perkembangan komunitas agraria dalam hal ini So’bok dan kelompok-kelompok tani lainnya. Oleh karena banyaknya warga yang bermatapencaharian sebagai petani di Desa Balla Tumuka, maka tidak sulit untuk menemukan keberadan kelompok tani di desa ini. Menurut keterangan dari Bapak „D‟ selaku Penyuluh Lapang Pertanian Mamasa, jumlah kelompok tani di desa ini sekitar 15 kelompok tani dengan anggota masingmasing kelompok sekitar 25 orang, sehingga dapat diperkirakaan jumlah petani yang tergabung sekitar 256 orang (lihat Gambar 5).
Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka Tahun 2014 (diolah)
Gambar 5 Persentase kelompok tani Desa Balla Tumuka Tahun 2014
35
KESIAPAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT DESA BALLA TUMUKA
Tingkat Kesiapan Sosial Komunitas Tingkat kesiapan sosial dalam penelitian ini didefinisikan sebagai indikator yang melihat bagaimana terjadinya proses sosial yang berlangsung di lingkungan adat. Proses kesiapan sosial pada suatu kehidupan komunitas, khususnya dalam hal ini menyangkut komunitas adat akan berkaitan langsung dengan konsep modal sosial yang salah satunya diungkapkan oleh Putnam (2001) dalam Primadona (2012) meliputi trust, norm dan network. Selain itu menyangkut modal sosial ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan, baik partisipasi yang bersifat moril maupun bersifat materil. Partisipasi masyarakat didalam kelompok dipengaruhi oleh kemampuan, kemauan dan kesempatan yang ada di dalam kelompok, Jousari (2006) seperti dikutip Afif (2012). Konteks inilah yang kemudian relevan pada realitas masyarakat adat di Indonesia. Keberadaan modal sosial akan berpengaruh langsung dalam proses mereka berintekraksi di lingkungan sosial sehingga menstimulus adanya kesiapan sosial yang memperkaya eksistensi adat tersebut. Dengan demikian eksistensi adat dalam aspek sosial menjadi tolok ukur bagaimana tingkat kesiapan sosial sebagai penunjang untuk penindaklanjutan regulasi tentang desa yaitu UU No.6 Tahun 2014 yang didalamnya secara khusus mengatur desa adat. Salah satu penelitian sebelumnya yang disampaikan oleh Primadona (2012) mengungkapkan analisis modal sosial diantara kelompok petani pedesaan khususnya di kenagarian wilayah Padang Sumatera Barat. Dalam penelitian ini diungkapkan bagaimana keberadaan modal sosial yang menyangkut partisipasi, kepercayaan, norma dan resiprocity mayoritas kelompok tani pedesaan tergolong kuat. Namun demikian pada dua kelompok tani yang dibentuk secara top down oleh pemerintah cenderung memiliki indikator modal sosial yang lemah. Hasil penelitian ini merepresentasikan bagaimana masyarakat pedesaan cenderung memiliki modal sosial yang cukup kuat dalam kegiatan program atau kehidupan mereka secara keseluruhan sesuai konsep little tradition yang cenderung berkarakter gemeinschaft atau guyub. Dengan demikian masyarakat adat di Desa Balla Tumuka yang memiliki karakteristik pedesaan yang cukup serupa juga disinyalir memiliki modal sosial yang kuat yang mengarah pada tingkat kesiapan sosial sebagai desa adat. Hasil penelitian ini menunjukkan frekuensi dan persentase masing-masing indikator dalam tingkat atau proses kesiapan sosial di lingkungan masyarakat adat Desa Balla Tumuka yang meliputi tingkat partisipasi dalam jaringan sosial/adat, tingkat kepercayaan antar sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian terhadap sesama serta intensitas keterlibatan dalam organisasi sosial/adat memiliki nilai yang cukup tinggi. Secara keseluruhan kategori tinggi dan rendahnya masing-masing indikator tersebut memiliki persentase antara 7095%. Persentase ini tergolong tinggi karena sebagian besar masyarakat mengalami proses sosial dengan beberapa indikator modal sosial yang cukup tinggi.
36
Partisipasi dalam Jaringan Organisasi Sosial/Adat Partisipasi atau keikutsertaan dalam jaringan organisasi sosial/adat di keseharian komunitas adat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/adat, keaktifan dalam penyelesaian konflik, serta keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/adat. Kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama anggota komunitas adat di Desa Balla Tumuka ataupun dengan masyarakat luar tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan data hasil penelitian yang menggambarkan jumlah dan frekuensi tingkat partisipasi pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat partisipasi komunitas adat Desa Balla Tumuka Kategori Tinggi Rendah Total
Tingkat Partisipasi n 40 5 45
% 88.9 11.1 100.0
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa jumlah dan persentase indikator tingkat partisipasi responden sebanyak 88.9% tergolong tinggi sedangkan 11.1% tergolong rendah. Tingkat partisipasi yang tinggi terbukti dengan gambaran keseharian warga yang terlihat selama proses observasi langsung ataupun didukung informasi kualitatif. Beberapa gambaran tersebut terwujud dengan adanya jaringan kerjasama dalam membangun rumah warga, pembangunan infrastruktur desa, upacara adat hingga sistem kerja pertanian yang dilakukan secara turun temurun. Apabila bertepatan dengan adanya kegiatankegiatan sosial tersebut maka setiap warga berusaha menyesuaikan agenda pribadi dengan kegiatan kolektif yang sedang atau akan diselenggarakan. Misalnya salah satu yang khas dari adat Mamasa adalah ritual penguburan orang meninggal selama beberapa hari atau pada keluarga dengan strata tertentu dapat melaksanakan pegkremasian mayat orang meninggal melalui penyimpanan selama satu tahun yang ditandai dengan dibunyikannya gendang. Setelah satu tahun kemudian barulah mayat tersebut diprosesikan dengan berbagai tahapan upacara adat termasuk pemotongan kerbau sebagai simbol kebanggaan dan kebesaran. Namun uniknya jumlah kerbau yang dikorbankan untuk mayat laki-laki tidak boleh melebihi jumlah kerbau untuk mayat perempuan. Nilai ini dimaksudkan sebagai pergambaran bahwa posisi ibu lebih tinggi dan lebih dihormati. Selain itu jumlah warga yang hadir terbilang sangat banyak mulai dari kerabat dekat hingga kerabat jauh sekalipun. Upacara yang dilakukan selama berhari-hari ini menjadi representasi bagaimana partisipasi dalam kegiatan organisasi sosial adat masih tergolong tinggi. Lebih dari itu kerelaan membangun jaringan dengan masyarakat luar pun terlihat dari bagaimana aparat Desa Balla Tumuka berkerjasama dengan stakeholder lain untuk mengupayakan pengembangan desa wisata adat, pengembangan penelitian pembangunan hingga sikap terbuka pada turis-turis asing yang datang berkunjung.
37
Keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja serta keaktifan dalam penyelesaian konflik atau memelihara dan mengembangkan hubungan ditunjukan pada keseharian masing-masing warga. Keterbukaan komunitas sedikit banyak terlihat dari bagaimana respon mereka terhadap pendatang dan sikap ketika dilakukan pendekatan wawancara mendalam. Terlebih lagi keterbukaan dengan warga adat Desa Balla Tumuka yang lain tergolong sangat dekat akibat adanya sistem keturunan yang dianggap sakral dan sebagai dasar penting kehidupan mereka. Mereka memiliki anggapan bahwa segala sesuatu harus didiskusikan dan mementingkan kebersamaan keluarga. Salah satu yang dapat dijadikan contoh adalah jaringan pengaman kesejahteraan bersama yaitu keterbukaan masalah yang dihadapi. Pada umumnya kondisi rumah tangga yang kekurangan pangan atau dengan bahasa lokal disebut makarorian diselesaikan secara bersama yaitu warga yang lain turut memberikan bantuan pangan tersebut. Lebih dari itu penanganan konflik yang ada dikehidupan masyarakat lokal terbilang sangat tanggap dan menutup adanya pemicu kelanjutan konflik. Hal ini karena ada peraturan lokal yaitu setiap masalah yang terjadi harus terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan, bila hal ini tidak bekerja maka dapat dibawa langsung kepada adat atau Toma’ Tua hingga pada ranah desa. Masyarakat yang membawa masalah hingga ke ranah ini maka dikenakan denda sebesar Rp 450 000 hingga Rp 700 000 atau dikonversikan dengan penyembelihan hewan babi hingga kerbau. Sistem ini berlangsung secara turun temurun dan sudah menjadi way of life komunitas adat Balla Tumuka sehingga tidaklah heran bahwa keterbukaan dan keaktifan penyelesaian konflik semacam ini menjadi bukti tingginya kedekatan hubungan sosial diantara warga. Kepercayaan antar Sesama Berkaitan dengan kehidupan sosial dilingkungan komunitas adat maka kepercayaan terhadap sesama menjadi indikator penting yang mampu menjadi tolak ukur sejauhamana eksistensi dan hubungan diantara mereka. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, ketua kelompok ataupun anggota masyarakat lainnnya. Seperti pembahasan sebelumnya, dalam aktivitas keseharian tentu terwujud nilai kepercayaan antar anggota masyarakat atau terhadap adat masih tergambar jelas dan tegolong cukup tinggi. Berikut hasil analisis data penelitian mengenai jumlah dan persentase tingkat kepercayaan responden Desa Balla Tumuka (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan komunitas adat Desa Balla Tumuka Kategori Tinggi Rendah Total
Tingkat Kepercayaan N % 35 77.8 10 22.2 45 100.0
38
Berdasarkan Tabel 9 maka dapat diketahui bahwa tingkat kepercayaan responden tergolong tinggi dengan persentase sebanyak 77.8% serta sebanyak 22.2% tergolong rendah. Kategori tingkat kepercayaan yang tergolong tinggi salah satunya digambarkan melalui kepercayaan terhadap nilai-nilai adat dari mayoritas responden yang berpendapat bahwa mereka percaya nilai atau ritual yang ada harus dilaksanakan, apabila tidak dilakukan maka akan membawa akibat buruk meskipun akibat tersebut terkadang cenderung mistis dan tidak masuk akal. Atas dasar kepercayaan dan ketakutan tersebut maka warga tidak banyak yang melanggar aturan adat namun justru secara berlanjut dipelihara dalam keseharian mereka meskipun tidak dipungkiri terjadi transformasi signifikan. Sala satu aturan yang dapat dijadikan contoh adalah larangan keluarga yang sedang membangun rumah untuk turut serta menghadiri upacara kematian. Apabila hal itu dilanggar maka dipercaya dan pernah terbukti bahwa anggota keluarga tersebut jatuh sakit hingga meninggal. Kepercayaan terhadap sesama juga masih mengakar kuat dalam masingmasing individu misalnya pada penanggungjawab kewenangan adat di bidangbidang. Salah satu buktinya adalah kepercayaan warga pada penanggung jawab adat bidang pertanian yang disebut So’bok. Warga percaya bahwa setiap sistem pertanian yang dilakukan dari mulai ritual keserempakan menanam hingga pesta panen harus diatur adat, apabila tidak dilakukan maka kerugian panen dapat melanda akibat serangan hama dan lain-lain. Selain itu kepercayaan terhadap pemerintah ataupun adat Toma tua sangat terlihat imbang karena setiap hal yang bersangkutan dengan kepentingan orang banyak maka didiskusikan oleh tiga lembaga utama di Desa Balla Tumuka yaitu adat, pemerintah dan pemuka agama. Terkait kepercayaan tersebut bahkan adat dan pemerintah tidak dapat dipisahkan. Hal ini ditunjukan dengan adanya kepercayaan bahwa aparat pemerintah desa yang bersntuhan langsung dengan warga harus memiliki profil diri yang baik dan garis keturunan adat secara langsung. dengan demikian atas dasar konstruksi ang demikian mengakar maka kepercayaan semacam itu sudah terbiasa hadir diantara warga Desa Balla Tumuka. Ketaatan terhadap Norma Sebagai desa yang masih kental dengan eksistensi adat, maka tingkat ketaatan terhadap norma dan aturan yang ada perlu ditinjau kembali sehingga mampu terlihat apakah terjadi perubahan yang drastis atau tidak. Tingkat ketaatan terhadap norma merupakan kesediaan individu untuk mempercayai dan melakukan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, serta tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah atau tingkat intensitas pelanggaran yang pernah dilakukan (lihat Tabel 10). Tabel 10 Jumlah dan persentase tingkat ketaatan terhadap norma Kategori Tingkat ketaatan terhadap norma n % Tinggi 38 84.4 Rendah 7 15.6 Total 45 100.0
39
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa dari 45 responden tingkat ketaatan terhadap norma tergolong tinggi dengan persentase sebanyak 84.4% sedangkan kategori renda sebanyak 15.6%. Ketaatan terhadap norma dapat dikaji melalui beberapa aturan-aturan berikut yang masih dipertahankan hingga akibat yang dipercaya apabila aturan tersebut dilanggar. Misalnya aturan yang ketat perihal bangunan rumah yaitu harus sesuai dengan ketentuan yaitu seluruhnya mengadap ke arah timur sedangkan kuburan mengarah ke selatan. Selain itu aturan spesifik terhadap bangunan rumah adat akan terkait langsung dengan strata sosial masingmasing individu. Hal yang penting lainnya adalah bagaimana perbandingan nilai rumah tradisional atau tongkonan dengan rumah modern yang mulai merambah nilai kebiasaan warga setempat. Bentuk keberadaan rumah modern tidak dinilai sebagai simbol strata sosial atau dengan kata lain bentuk rumah tradisionallah yang tetap menjadi penilaian. Untuk itu apabila warga ingin membangun rumah dengan nuansa modern maka dilarang menutupi bangunan tradisional atau tongkonan sehingga harus ditempatkan disamping atau dibelakang. Bagi warga Desa Balla Tumuka yang tidak mau menurut dengan aturan tersebut maka dipersilahkan untuk berpindah keluar desa tersebut, namun sejauh ini keberadaan rumah-rumah di lingkungan tersebut masih sangat sesuai dengan aturan bahkan hanya ditemukan 2 bangunan rumah tipe modern. Dari segi lain keseharian masyarakat lokal ketaatan terhadap norma diwujudkan pada aspek pertanian. Pada aspek ini masyarakat memiliki kearifan lokal yang secara turun temurun sudah dilakukan yaitu sistem so’bok. Melalui sistem so’bok masyarakat diharuskan mengikuti aturan waktu penanaman padi dan komoditas lahan kering hingga panen. Kegiatan semacam ini sudah berlangsung sangat lama namun mulai mengalami perubahan pada tahun 2005. Aturan ini berlaku ketika semua masyarakat menanam benih padi varietas lokal yang dipanen selama satu tahun sekali. Namun demikian selama perkembangannya, sistem so’bok tidak lagi kental ketika ada perubahan jenis benih padi baru yang ditanam warga. Hal ini didasari dengan perbedaan karakteristik varietas yang kurang sesuia jika disesuaikan dengan panen yang ratarata menjadi 2-3 kali dalam setahun karena sarana pertanian yang tersedia. Bahkan adanya beras tambahan yang disuplai dari Pollewali dan Pinrang. Oleh karena itu warga sebagian besar memilih beralih ke varietas baru akibat keuntungan panen yang lebih banyak dibanding varietas lokal. Padi varietas lokal kini hanya menjadi bagian kecil yang ditanam warga yang disesuaikan dengan kecocokan lahan mereka. Untuk menengahi kondisi ini sesungguhnya akan menarik jika varietas lokal yang berkualitas baik mamu dipertahankan dikembangkan agar memiliki kuantitas panen yang sama banyaknya dengan varietas baru. Selain itu dalam aspek pertanian juga dikenal istilah sumpah katonan litak yaitu aturan yang melarang adanya pemindahan batas lahan apabila terjadi ketidakjelasan. Norma ini sangat dipercaya masyarakat untuk terus dilakukan sehingga menghindari munculnya konflik dan juga akibat buruk. Menurut masyarakat apabila aturan tersebut dilanggar maka dapat mengakibatkan kematian si pelaku secara tidak rasional dan mengandung unsur mistis, dipercaya atau tidak nyatanya kasus demikian pernah terjadi dilingkungan mereka. Di sisi lain ketaatan masyarakat terhadap norma bukan saja terbatas pada hal-hal semacam itu namun juga pada aturan mengenai pasangan pengantin yang baru melaksanakan pernikahan yaitu mereka tidak boleh berada di desa tersebut selama
40
satu hari, setelah itu barulah kemudian pasangan tersebut diperkenankan kembali. Aturan ini belum begitu jelas seperti apa alasan dan akibat yang ditimbulkan namun karena masyarakat sudah sangat terbiasa dengan hal semacam itu maka hingga saat ini masih tetap diterapkan. Kepedulian terhadap Sesama Sebagaimana yang diungkapan Tonnies bahwa ikatan dalam grup sosial salah satunya yaitu Gemeinschaft yang berdasar pada ikatan guyub, setiakawan, batiniah, murni, alami dan relatif kekal serta adanya solidaritas mekanik sebagaimana diungkapkan Durkheim maka kondisi masyarakat Desa Balla Tumuka pun demikian. Ikatan dalam masing-masing individu hingga kelompok masyarakat tersebut membawa adanya kepedulian terhadap sesama yang cukup tinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, serta sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain. Dengan demikian dalam penelitian ini hal-hal tersebut dapat digolongkan menurut hasil jawaban responden menjadi kategori tinggi dan rendah (lihat Tabel 11). Tabel 11 Jumlah dan persentase tingkat kepedulian terhadap sesama Kategori Tinggi Rendah Total
Tingkat kepedulian n 38 7 45
% 84.4 15.6 100.0
Berdasarkan Tabel 11 maka diketahui bahwa tingkat kepedulian terhadap sesama komunitas Desa Balla Tumuka tergolong tinggi dengan persentase sebesar 84.4% sedangkan 15.6% tergolong rendah. Tingginya tingkat kepedulian masyarakat salah satunya yang dapat dijadikan contoh adalah aturan pelarangan merokok bagi anak usia sekolah. Hal ini dilakukan mengingat mulai banyaknya remaja bahkan anak dibawah umur yang sudah merokok. Bahkan terdapat kasus anak SD yang sudah merokok dan berakibat pada pertumbuhan fisiknya yang tidak normal. Hingga beranjak usia SMP fisik anak tersebut sudah tidak lagi mengalami pertumbuhan yang siginifikan bahkan dari tinggi dan berat badan sudah tertinggal jauh dari anak diusianya. Atas dasar latar belakang tersebut aparat desa dan adat mengadakan aturan perlarangan merokok bagi anak usia sekolah untuk menjaga kualitas generasi mereka dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Aturan semacam ini pada akhirnya menjadi kepedulian masyarakat serta diawasi secara bersama-sama atau ditegur adat. Selain itu berdasarkan pengakuan mayoritas warga Desa Balla Tumuka dapat disimpulkan bahwa motif yang mendasari pola hubungan antara pemilik lahan dan penggarap lebih cenderung motif hubungan sosial bukan motif ekonomi atau matrealis. Padahal pada umumnya individu sebagai pemilik lahan akan cenderung melakukan interaksi yang menuntut rasionalitas ekonomi dan sesuai untuk kepentingan meraka. Tidak demikian dengan warga Desa Balla Tumuka yang sudah berinteraksi sekian lama dan dipengaruhi adat, mereka sistem hubungan yang terjadi antara pemilik dan penggarap lebih berdasarkan pola-pola
41
kekeluargaan dan tidak pernah terjadi konflik laten karena masing-masing pihak merasa nyaman untuk berinteraksi dengan kesadaran untuk memenuhi hak serta tanggung jawab masing-masing. Hal yang paling penting mengenai relevansi antara eksistensi adat dengan kepedulian antar sesama adalah masih adanya interaksi untuk saling mengingatkan diantara warga apabila terjadi pelanggaran nilai-nilai adat. Menurut pengakuan salah satu Toma’ Tua adat apabila ada warga yang melanggar maka warga yang lain turut menegur dan mengingatkan pentingnya nilai-nilai adat untuk dijunjung tinggi. Misalnya akibat ada percampuran nilai-nilai baru yang disampaikan melalui televisi seperti model berpakaian maka salah satu remaja di desa ini ada yang mulai mengadopsi nilai tersebut. Ia berani untuk memakai pakaian yang terlalu minim dan dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan adat maka Toma’ tua tersebut langsung menegur dan menyuruh untuk berganti pakaian dengan yang lebih sopan. Bentuk-bentuk interaksi dalam keseharian ini merupakan salah satu bukti bahwa antara anggota masyarakat ataupun dengan nilai adatnya sendiri masih tertanam kepedulian yang cukup kuat serta dipelihara bersama. Keterlibatan dalam Aktivitas Organisasi Sosial (Adat) Kelembagaan adat yang menjadi identitas lokal pada perkembangannya bersentuhan langsung dengan kelembagaan atau organisasi lain yang bersifat regional ataupun diluar daerah tersebut. Hal ini menjadi ciri bagaimana adat tersebut mampu berinteraksi serta menyesuaikan diri. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan maka perlu adanya penguatan untuk implementasi amanah UU No.6 Tahun 2014 mengenai pembentukan desa adat. interaksi adat dengan lembaga dan organisasi lain tersebut dapat dilihat dari bagaimana keterlibatan warga dalam aktivitas organisasi sosial ataupun adat itu sendiri. Intensitas keterlibatan aktifitas sosial/adat dapat dilihat dari frekuensi mengikuti kegiatan adat, frekuensi keterlibatan dalam aktivitas lain serta ketertarikan mereka dalam mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Hal-hal tersebut kemudian menjadi instrumen dalam kuesioner penelitian yang menghasilkan kategori jumlah dan persentase tingkat keterlibatan masyarakat dalam aktivitas organisasi sosial/adat seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah dan persentase tingkat keterlibatan komunitas dalam aktivitas organisasi sosial/adat Kategori Intensitas keterlibatan n % Tinggi 42 93.3 Rendah 3 6.7 Total 45 100.0 Berdasarkan data pada Tabel 12 terlihat bahwa tingkat keterlibatan masyarakat dalam aktivitas organisasi sosial/adat tergolong tinggi dengan persentase 93.3% sedangkan 6.7% tergolong rendah. Dari sejumlah responden mengaku bahwa pada umumnya mereka tertarik dengan kegiatan adat bukan saja karena telah menjadi kebiasaan dan sejarah turun temurun namun juga pada interaksi antar warga di dalamnya. Misalnya seperti yang dijelaskan pada bagian
42
sebelumnya upacara kematian menjadi hal yang menarik dimana masyarakat mampu merepresentasikan keterlibatan mereka di keseharian. Selama peneliti menetap di Desa Balla Tumuka prosesi upacara orang meninggal dilakukan secara adat selama beberapa hari dan terlihat bagaimana setiap unsur komunitas terlibat dan terus menerus mengutamakan kontribusi mereka dalam kegiatan tersebut. Bahkan lebih dari itu aktivitas sehari-hari bergeser dan disesuaikan dengan kegiatan ritual upacara kematian yang meliputi pengumuman pada saat meninggal, melayat, bermalam menunggui kediaman yang berdukacita, diskusi terkait waktu pemakaman, penyembelihan hewan persembahan baik babi ataupun kerbau hingga prosesi pemakamannya tersebut yang berselang selama 3 hari dari waktu kematian. Ketika hadir di rumah kediaman keluarga yang berduka cita pasti menangis dengan suara yang cukup lantang hingga terdengar dari kejauhan. Kegiatan ini pun tidak semata-mata diikuti oleh orang dewasa yang pada umumnya sudah lebih paham namun juga diikuti oleh anak-anak dan remaja. Selain itu pada umumnya mereka juga sudah paham silsilah keluarga besar serta aturan dan larangan apa saja yang ada disekitar mereka. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk sosialisasi adat dan pewarisan budaya dari orang tua ke generasi selanjutnya sehingga diharapkan mereka mampu memahami adat serta kebudayaan lokal sedini mungkin. “Jangan takut kak nanti kalau mendengar suara jerit-jerit, itu suara orang yang datang ke orang meninggal tanda mereka peduli dan sedih. Disini, anak-anak kecil juga sudah ikut dalam acaranya biar mereka belajar.” (Bapak P) Pada aspek pertanian, pada sejarahnya membuktikan bahwa keterlibatan masyarakat menjadi penting ketika menentukan adopsi inovasi varietas padi baru. Pada saat itu masyarakat dengan tiga lembaga yaitu pemerintah, adat dan tokoh agama bersama mencari kesepakatan bagaimana menerima hal baru tersebut termasuk mengintegrasikannya dengan sistem lokal so’bok. Selain itu masyarakat juga terlibat dalam beberapa kelompok tani yang ada di Desa Balla Tumuka baik untuk kepentingan lokal ataupun ketika diharuskan menerima program dari pemerintah pusat. Tidak hanya kelompok tani kelembagaan lokal yang ada di desa tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. 4.5 4 3.5 3 2.5
BPD
2
PKK
1.5 1 0.5 0 Balla Peu'
Bamba Pongko Gallang Rapa' Rante Masanda Rante Puang
Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka tahun 2014 (diolah)
Gambar 6 Jumlah pengurus kelembagaan pada masing-masing dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014
43
Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka tahun 2014 (diolah)
Gambar 7 Jumlah organisasi kemasyarakatan pada masing-masing dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Tidak hanya pada hal-hal terkait adat yang menjadi kearifan lokal dan sarana keterlibatan antar anggota masyarakat di Desa Balla Tumuka tapi juga menyangkut dalam aspek kesehatan yaitu adanya dukun terlatih dan dukun biasa yang menjadi ahli pengobatan. Dukun terlatih pada perkembangannya sudah mulai terbuka dengan hal-hal baru dan diakui oleh dinas kesehatan sedangkan dukun biasa masih berorientasi tradisional. Namun demikian yang menjadi persamaan keduanya adalah pengobatan yang masih menggunakan obat-obat atau tanaman herbal tradisional. Selain itu untuk menunjang eksistensi adat kelompok warga juga sudah membuka diri dengan organisasi atau kegiatan di luar desa baik untuk skala regional Mamasa atau skala nasional sekalipun. Misalnya mereka pernah mengikuti kegiatan pertunjukan budaya Sulawesi Barat dengan memamerkan miniatur rumah adat, baju tradisional hingga sumberdaya lokal yaitu Dotti (kerbau dengan kulit dan mata putih) yang dijadikan simbol keluhuran bagi masyarakat setempat.
Ikhtisar Kesiapan Sosial Komunitas Adat Berdasarkan hal-hal yang telah dideskripsikan sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi, tingkat kepercayaan, ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian serta intensitas keterlibatan warga Desa Balla Tumuka terhadap adat atau kelembagaan lain tergolong tinggi. Namun demikian, apabila dibandingkan kelima indikator tersebut memiliki jumlah dan persentase yang bervariasi yang dapat dilihat pada Tabel 13.
44
Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial pada masing-masing indikator Kategori Tingkat Tingkat Tingkat ketaatan Tingkat Intensitas Partisipasi Kepercayaan terhadap norma kepedulian keterlibatan n % n % n % n % n % Tinggi 40 88.9 35 77.8 38 84.4 38 84.4 42 93.3 Rendah 5 11.1 10 22.2 7 15.6 7 15.6 3 6.7 Total 45 100.0 45 100.0 45 100.0 45 100.0 45 100.0
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa nilai jumlah dan persentase dari beberapa indikator yang memiliki nilai paling tinggi adalah intensitas keterlibatan dalam organisasi sosial/adat yaitu 93.3% masyarakat tergolong tinggi sedangkan yang memiliki nilai kategori rendah yang paling banyak adalah tingkat kepercayaan yang hanya mencapai 22.2%. Latar belakang intensitas keterlibatan komunitas dalam organisasi sosial/adat terbilang tinggi disebabkan hampir seluruh kegiatan yang berkaitan dengan adat di lingkungan Desa Balla Tumuka pasti dihadiri masyoritas warga lokal kecuali bagi mereka yang memiliki kepentingan lain atau sedang melaksanakan pantangan adat. Selain itu juga setiap individu merasa wajib untuk mengikuti setiap kegiatan dan merasa terbuka untuk saling berinteraksi dalam adat ataupun organisasi sosial lain, sehingga mereka turut aktif terlibat atau sekedar menghadiri kegiatan sebagai upaya peningkatan dan pemeliharaan eksistensi adat yang ada. Bukti dari perihal tersebut salah satunya diungkapkan oleh Kepala Desa Balla Tumuka yang mengaku bahwa mayoritas warga pasti mengikuti kegiatan adat yang ada misalnya pada kegiatan upacara kematian yang terjadi pada saat penelitian ini berlangsung. “Orang sini kalau ada kegiatan-kegiatan di desa pasti semuanya ikut dari mulai kerabat dekat sampai kerabat jauh. Kalau kerja atau ada kegiatan lain juga ikut disesuaikan kecuali yang memang ada pantangan adat, misalnya Bapak sekeluarga lagi membangun rumah makanya dilarang hadir, itu aturan adatnya.”(Bapak T) Tingkat kepercayaan antar sesama anggota komunitas, kepala desa ataupun adat terbilang cukup rendah dibanding indikator-indikator lainnya yaitu sebesar 22.2%. Hal ini dinilai rendah bukan semata-mata hanya karena kecurigaan atau terdapat konflik laten antar anggota masyarakat namun dalam penelitian ini melihat bagaimana kepercayaan individu pada stakeholder terkait. Apabila kepercayaan individu pada pihak lain justru lebih tinggi maka perlu dipertanyakan eksistensi adat yang ada di desa tersebut. Dengan demikian diperoleh bahwa nyatanya warga memiliki tingkat kepercayaan yang tersebar. Mayoritas sulit membedakan tingkat kepercayaan antara pemangku adat dan pemerintah formal. Meskipun pada sejarahnya adat menjadi kelembagaan tertinggi yang paling dijunjung tinggi oleh masyarakat namun kini sudah berintegrasi dengan pemerintahan desa formal sehingga mereka juga membangun kepercayaan yang lebih tinggi lagi kepada pemerintah desa formal tersebut. Bahkan apabila ditanyakan siapa yang paling dipercaya dalam proses pengelolaan desa masyarakat lebih mengaku percaya dengan kepala desa yang memang sudah banyak urusan yang ditanggungjawabkan seperti administrasi kependudukan, pengambil kebijakan, hingga pembangunan infrastruktur. Namun demikian peranan keduanya tetap diakui saling berkolaborasi dan berkoordinasi satu sama
45
lain. Selain itu secara keseluruhan tingkat kepercayaan dengan kategori tinggi yang mencapai 77.8% juga merupakan nilai yang tidak dapat diabaikan. Dari persentase tersebut diketahui bahwa hampir dari setengahnya masyarakat tetap memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada stakeholder terkait ataupun kepada sesamanya. Masih bertolak dari tabel jumlah dan persentase masing-masing indikator tingkat atau proses kesiapan sosial menarik untuk melihat tingkat ketaatan terhadap norma dan tingkat kepedulian terhadap sesama yang keduanya memiliki nilai serupa. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya hubungan yang erat antara masing-masing indikator. Tingkat ketaatan terhadap norma akan mempengaruhi kepedulian mereka terhadap sesama, karena norma yang ada dilingkungan adat mereka beberapa diantaranya merupakan simbol dan sarana masyarakat saling peduli satu sama lain. Misalnya aturan norma yang melarang individu memindahkan batas lahan dan keberadaan Litak Anak Moane menjadi simbol bahwa masyarakat harus peduli hak-hak orang lain yang ada disekitar mereka. Selain itu indikator tingkat partisipasi tergolong masih memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi yaitu 88.9%. Nilai ini memperlihatkan adanya partisipasi yang cukup tinggi meskipun masih dibawah intensitas keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial/adat. Perbedaan keduanya disinyalir akibat partisipasi dalam kegiatan adat salah satunya diartikan dengan keaktifan individu dalam organisasi sosial/adat sedangkan intensitas keterlibatan menyangkut kehadiran mereka pada kegiatan yang lebih umum. Pada tingkat partisipasi memiliki nilai persentase lebih rendah karena tidak semua warga aktif terlibat sebagai pengambil keputusan atau aktor strategis yang berperan membuat keputusan dilingkup adat atau desa. Beberapa diantara warga mengaku tidak banyak mengetahui proses pengambilan keputusan dalam adat atau organisasi sosial, karena yang terlibat secara aktif sebatas Toma’ Tua dan aktor-aktor terkait misalnya dalam penyelesaian konflik antar warga tidak semua warga dilibatkan namun secara personal hanya melibatkan Toma’ Tua, kepala desa dan keluarga yang bersengketa. Dengan demikian realitas semacam inilah yang menggambarkan adanya sedikit kelemahan pada tingkat partisipasi. Berdasarkan nilai masing-masing indikator yang diperoleh pada penelitian ini secara keseluruhan maka dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial Kategori Tingkat Kesiapan sosial n % Tinggi 40 88.9 Rendah 5 11.1 Total 45 100.0 Dari Tabel 14 diperoleh sebanyak 88.9% masyarakat mengalami tingkat atau proses kesiapan sosial yang tinggi sedangkan 11.1% sisanya tergolong rendah. Hal ini disebabkan beragam faktor yang saling berkaitan seperti perolehan akses individu, mobilisasi dan pengalaman yang pernah dilakukan hingga posisi sosial dimasyarakat. Perolehan akses individu dalam hal ini berkaitan dengan sejauhmana kemampuan seseorang mendapatkan kesempatan seperti memperoleh pendidikan dan lain-lain. Kemampuan mengakses pendidikan tinggi yang didapatkan individu secara berlahan akan mempengaruhi proses sosial yang
46
dialami termasuk cara pandang yang kian berintegrasi dengan hal-hal baru di luar lingkungan lokalnya. Misalnya pada beberapa kasus responden mereka memiliki sumber daya yang cukup sehingga mampu memberikan akses pendidikan tinggi sampai ke tingkat universitas di Makassar. Perubahan kondisi ini kian memberikan peluang dan perubahan terhadap individu-individu tersebut termasuk kaitannya dengan proses kegiatan adat atau organisasi sosial lain hingga pola pikir mereka dalam menanggapi keberadaan aturan adat. Sebagai contoh, salah satu responden akan lebih memilih rumah gaya modern ketimbang rumah adat pada umumnya. Selain itu juga responden yang masih dalam usia sekolah menengah yang sehari-hari bersekolah di ibukota Kabupaten Mamasa turut mengurangi pengetahuan dan proses sosial/adat yang ia ikuti. Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut, mobilisasi serta pengalaman yang pernah dilakukan individu juga mempengaruhi secara langsung keseharian proses sosial yang mereka lakukan. Bagi masyarakat yang cenderung memiliki tingkat mobilisasi tinggi seperti pengalaman merantau kedaerah-daerah lain di Sulawesi atau bahkan hingga ke Jawa akan cenderung tidak melakukan proses interaksis sosial dalam adat setinggi warga lokal yang menetap lama di Desa Balla Tumuka. Selain itu proses integrasi pengaruh budaya lainpun turut menjadi alat perbandingan dengan keberadaan adat di kampung halaman mereka sehingga ketika kembali ke wilayah Desa Balla Tumuka kepercayaan terhadap adat sudah jauh berkurang. Begitupun sebaliknya orang-orang dengan mobilisasi rendah dan pengalaman di lingkungan luar yang kurang akan cenderung sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan mereka yang sudah secara turun temurun mendarah daging. Perubahan penilaian terhadap adat terjadi pada salah satu responden yang sudah puluhan tahun menetap di Bogor karena tugas pekerjaan, sehingga ketika ia diharuskan kembali dengan lingkungan adat di Desa Balla Tumuka ia harus kembali menyesuaikan dengan keadaan sekitar termasuk penyesuaian pola pikir yang sebelumnya sudah mengalami perubahan ketika di Bogor. Ia mengaku lebih menyukai tinggal di Bogor dengan sarana prasarana yang lengkap, bahkan ia merasa cukup kerepotan ketika harus kembali menyesuaikan dengan adat yang pada akhirnya harus tetap dia laksanakan karena tidak dapat menolak dan terdapat faktor ketakutan apabila berani melanggar. Posisi sosial individu atau keluarga di masyarakat akan sangat berperan penting dalam proses sosial adat yang dilakukan. Individu atau keluarga yang berasal dari posisi strata sosial tinggi seperti keturunan Toma’ Tua akan mengalami proses sosial yang jauh lebih tinggi dibanding kalangan biasa. Hal ini disebabkan adanya tanggungjawab dan kewajiban lebih yang dibebankan kepada mereka. Namun demikian secara keseluruhan sebanyak 88.9% masyarakat memiliki proses sosial/adat yang tergolong tinggi yang pada akhirnya menjadi salah satu tolak ukur bahwa Desa Balla Tumuka memiliki tingkat kesiapan sosial dengan kecenderungan yang sangat layak sebagai desa adat mengingat beberapa syarat dalam UU No.6 Tahun 2014 yang didalamnya mengatur desa adat adalah adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional. Selain itu masyarakat yang warganya dituntut memiliki perasaan bersama dalam kelompok.
47
Kesiapan Politik Masyarakat Sebagaimana aspek sosial yang terintegrasi langsung di kehidupan komunitas maka demikian juga dengan keberadaan aspek politik. Hakekatnya konsep politik ini bukan selalu perihal keberadaan partai politik, hirarki atau struktur penguasa serta birokrasi yang seringkali berubah wujud menjadi birokratisme. Lebih esensial daripada itu sejumlah tokoh menerjemahkan bahwa politik hakekatnya berkaitan pula dengan penguasaan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan hingga alokasi sumberdaya yang ada untuk pencapaian tujuan sebagai masyarakat yang lebih baik. Hal inilah yang kemudian menjadi titik tolak bahwa kehidupan komunitas juga akan terkait erat dengan aspek-aspek tersebut terlebih dengan munculnya UU No.6 Tahun 2014. Untuk itu penelitian ini melihat proses politik yang dijalani masyarakat yang berkaitan langsung dengan bagaimana bentuk struktur adat, aktor adat dan peran pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk pengelolaan sumber daya hingga bentuk perangkat hukum adat. Hasil analisis tingkat atau proses politik yang diidentifikasi dalam masingmasing variabel tersebut pada akhirnya dapat menjadi gambaran kesiapan politik komunitas adat Desa Balla Tumuka. Bentuk Struktur Adat Struktur sosial merupakan pola-pola hubungan antar status atau peranan dalam pengorganisasian sosial yang relatif bersifat tegas. Struktur sosial itu menunjuk pada fakta bahwa tindakan individu-individu yang berinteraksi dipolakan dalam kaitan dengan posisi masing-masing dalam interaksi tersebut. Setiap orang mempunyai “tempat” dalam proses interaksi sosial dan setiap orang saling tindak satu sama lain menurut tempat mereka (Charon 1980 seperti dikutip Sumarti et al. 2003). Selain itu menurut Soekanto (2002) struktur sosial merujuk pada pola interaksi tertentu yang relatif mantap, terdiri dari relasi-relasi sosial hirarkis dan pembagian kerja tertentu yang dipotong kaidah, peraturan dan nilai masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan kedua ahli tersebut, kelembagaan adat pun memiliki struktur yang cukup mantap dan menjadi dasar keseharian mereka selama ratusan tahun. Untuk itu keberadaan struktur adat menjadi sangat penting bagi eksistensi adat itu sendiri. Struktur demikian juga mendasari bagaimana masing-masing individu dalam lingkungan adat Desa Balla Tumuka berinteraksi sesuai aturan yang bersentuhan langsung dengan bagaimana hak, tanggung jawab, akses serta kewenangan mereka. Dalam penelitian ini dilihat sejauhmana kondisi struktur adat yang ada di Desa Balla Tumuka serta proses yang dijalani masyarakat terkait implementasi struktur tersebut. Berdasarkan hal ersebut diperoleh analisis data hasil kuesioner responden yang menggolongkan tinggi dan rendahnya struktur adat menurut jumlah dan persentasenya (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah dan persentase bentuk struktur adat Desa Balla Tumuka Kategori Tinggi Rendah Total
Bentuk Struktur Adat n 45
% 100
0
0
45
100
48
Berdasarkan data pada Tabel 15 diketahui bahwa bentuk struktur adat yang ada dan diimplementasikan dalam keseharian komunitas tergolong tinggi dengan persentase 100%. Tingginya nilai ini disinyalir akibat kuatnya struktur sosial adat yang ada di keseharian warganya sehingga responden pun secara bersamaan mengakui hal tersebut. Bentuk struktur adat di Desa Balla Tumuka terwujud dalam kelas sosial anggota masyarakatnya. Kelas-kelas yang menjadi dasar stratifikasi sosial pada masyarakat lokal di Mamasa sendiri terdiri dari beberapa kalangan yaitu kalangan atas Tana’ Bulawan (emas), Tana’ Basi (besi), Tana’ Karurung (Kayu), dan Tana’ Koakoa seperti disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Stratifikasi sosial komunitas Desa Balla Tumuka Keempat istilah ini menggambarkan bagaimana posisi seseorang di komunitas sesuai dengan representasi nama, misalnya Bulawan atau Emas sebagai logam mulia dijadikan simbol bagi kaum bangsawan. Namun demikian menurut pengakuan warga sistem seperti ini sudah tidak terlalu kaku, dan cenderung diakui secara personal oleh masing-masing individu sehingga tidaklah heran apabila saat ini sulit diidentifikasi profesi apasaja yang mewakili masing-masing strata yang ada. Apabila dalam stratifikasi sosial dengan bentuk Kasta seperti cukup jelas bagaimana kaum Brahmana ditempati oleh pemuka agama, Waisya oleh para pedagang atau pejabat maka dalam stratifikasi Desa Balla Tumuka tidak direpresentasikan dengan jelas sesuai pekerjaan mereka. Namun demikian setidaknya pembagian kelas-kelas tersebut akan sangat terlihat melalui garis keturunan adat dan mempengaruhi kehidupan maisng-masing individu. Kondisi demikian pada akhirnya mamberikan akses dan sumberdaya yang dapat atau tidak dapat mereka miliki. Hal ini juga mengatur langsung bagaimana rumah adat masing-masing kalangan disetiap kelas masyarakat. Menurut pengakuan tokoh masyarakat perihal strata rumah adat saja pada sejarahnya diatur sangat ketat untuk masing-masing strata. Tidak sembarang orang mampu memiliki rumah atau yang biasa disebut dengan bahasa lokal tongkonan sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini didasari atas adanya stratifikasi sosial yang ketat yang menjadi dasar aturan hampir setiap hal dalam kehidupan mereka itu. Klasifikasi rumah adat (tongkonan) terbagi menjadi beberapa kelas sosial yang mencirikan posisi pemiliknya yaitu Banua Layo (Banua dengan ukiran dan ukuran
49
yang besar), Banua Sura (Banua kelas dengan ukuran sedang dan diukir), Banua Bolong (tidak diukir dan berwarna hitam pekat), Banua Longkarin (Tipe Banua kelas empat yang menggunakan kayu asli, serta Banua Latok atau Selantai. Dengan demikian biasanya kaum bulawan akan memiliki rumah dengan kategori Layo dan Sura sedangkan bagi kalangan bawah pada umumnya hanya berupa rumah Longkarin. Selain itu proses pengukiran yang dilambangkan dalam rumah-rumah tersebut memiliki proses yang panjang dan ditentukan berdasarkan kelayakan pemilik dalam kelas sosial mereka. Proses tersebut beberapa diantaranya harus melalui pemotongan kerbau belang dan penggantungan gendang pada upacara adat orang meninggal. Di lingkungan masyarakat adat Mamasa keberadaan banua juga dilengkapi oleh lumbung padi atau yang biasa dikenal dengan Alang. Layaknya tipe-tipe banua, Alang juga secara garis besar akan dibentuk mengikuti kelas Banua yang dimiliki. Namun demikian hanya terdapat dua kategori Alang yaitu Alang Suran yang diukir, dan Alang Bolong yang tidak memiliki ukiran. Alang tersebut seringkali digunakan untuk menyimpan hasil panen mereka dengan kapasitas biasanya 2-3 ton gabah pada Alang dengan 8 tiang serta 5-6 ton untuk Alang yang memiliki 12 tiang. Selain itu menarik apabila melihat bagaimana siapa saja elit desa yang berperan dalam keseharian baik pemerintahan ataupun bidang pekerjaan yang cukup terpandang akan dapat dianalisis bahwa mereka yang menduduki kalangan atas hampir semuanya merupakan keluarga atau perputaran kekuasaan yang masih disitu-situ saja. Hal ini diakibatkan oleh bagaimana keluarga-keluarga tersebut memiliki sumber daya dan akses untuk anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak sehingga keturunannya akan mampu menggantikan posisi-posisi strategis dibanding warga kalangan biasa yang hanya berkutat sehari-sehari dengan aktivitas biasa tanpa mencari pengalaman atau bersekolah tinggi keluar daerah. Di sisi lain posisi pendatang di lingkungan komunitas adat di Desa Balla Tumuka juga memiliki keunikan tersendiri. Posisi pendatang secara otomatis tidak terintegrasi dalam stratifikasi sosial kelas Bulawan hinga Koakoa. Namun mereka dapat beradaptasi dengan baik tanpa perlu khawatir adanya diskriminasi. Hal ini juga dibuktikan atas pemberian akses tanah (Litak Ana’ Moane) bagi pendatang yang ingin menetap selamanya atau karena menikah dengan penduduk lokal namun tidak memiliki cukup sumber daya. Selain itu sikap keterbukaan warga juga menjadi poin kunci bagaimana kedudukan warga asli ataupun pendatang sama-sama diterima dengan baik. Proses dan Aktor Pengambil Keputusan Perubahan regulasi mengenai undang-undang desa terbaru tahun 2014 tidak dipungkiri akan berdampak terhadap dinamika relasi sosio-politik pedesaan di Indonesia. Menurut Arent dalam Sudibyo (2012) aspek politik tersebut berkaitan dengan penguasaan, pengendalian, kebebasan, kesetaraan, koeksistensi, dan partisipasi. Hal-hal tersebut salah satunya diwujudkan dalam bagaimana proses pengambilan keputusan oleh aktor-aktor di masyarakat yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Mereka mengambil peranan penting dalam kebijakan di lingkungan adat baik mengenai pembangunan infrastruktur, pertanian, demografi,
50
hingga kebudayaan. Untuk melihat proses dan peran adat dalam pengambilan keputusan yang dianalisis secara kualitatif maka dapat digambarkan dengan jumlah dan persentase tinggi atau rendahnya kuesioner pada responden (lihat Tabel 16). Tabel 16 Jumlah dan persentase proses dan aktor adat dalam pengambilan keputusan Kategori Aktor Adat dan Peran Pengambil Keputusan n % Tinggi 38 84.4 Rendah Total
7
15.6
45
100.0
Berdasarkan Tabel 16, peranan aktor adat dalam proses pengambilan keputusan tergolong tinggi dengan persentase sebanyak 84.4% sedangkan 15.6% terbilang rendah. Dalam hal ini peranan aktor adat dan aktor lain tergambar dalam kegiatan keseharian. Salah satu peranan aktor dalam pembangunan infrastruktur terwujud ketika keputusan pembangunan jalan hingga pengalokasian dana desa serta kegiatan adat lain. Pada aspek pertanian, demografi hingga kebudayaan dilakukan dengan cara beragam mulai dari pembentukan kelompok tani, pembuatan kelengkapan administrasi kependudukan, hingga peranan aktor dalam melakukan gerakan pembentukan desa wisata adat di Balla Tumuka. Keberadaan aktor-aktor strategis yang ada dalam keseharian masyarakat Desa Balla Tumuka dapat digambarkan dalam jejaring kolaborasi. Masing-masing aktor yang terlibat dan gambaran bagaimana mereka berinteraksi mengambil kebijakan (Gambar 9).
Gambar 9 Jejaring kolaborasi antar aktor di Desa Balla Tumuka Jejaring kolaborasi diantara keduanya terjalin sedemikian rupa dengan pengaruh sejarah. Menurut sejarah lokal, pemimpin di Desa Balla Tumuka awalnya merupakan ketua adat hingga bertransformasi menjadi kepala desa seperti sekarang. Kondisi demikian menjadikan adanya percampuran pemerintahan adat lokal dengan pemerintahan formal yang dipimpin kepala desa. Dengan demikian interaksi yang berjalan hingga sekarang pun dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan bersama dilakukan secara kolektif oleh masyarakat dengan tiga lembaga yaitu pemerintah, adat dan tokoh agama. Sejauh ini ketiga lembaga tersebut memiliki eksistensinya masing-masing dan menemukan ruang
51
kolaborasinya sehingga menurut pengakuan warga tidak pernah terjadi tumpang rindih kepemimpinan bahkan konflik horizontal. Dalam hal ini kebijakan pemerintah desa formal pasti melibatkan pemuka adat dan tokoh agama melalui musyawarah dan begitupun sebaliknya. Namun demikian relitas ini juga didukung dengan adanya beberapa Toma’ Tua (pemangku adat) yang menjabat sebagai pemuka agama dan pemerintah formal. Hal ini dilatarbelakangi bahwa posisi agama yang mayoritas kristen manjadi dasar bagi kehidupan adat selanjutnya. Dimana sebelumnya masyarakat lokal sekitar tahun 20an masih belum beragama atau yang biasa disebut Tomalilin dalam bahasa lokal. Tomalilin merupakan kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan alam semesta atau yang lebih familiar seperti animisme dan dinamisme. Apabila tokoh agama dipertimbangkan atas dasar kemampuan agamanya maka demikian juga dengan pemuka adat atau Toma’ Tua diharapkan memiliki kriteria berintegritas, memiliki trackrecord yang baik dan garis keturunan adat. Selain itu pada umumnya keturunan Toma’ Tua juga merupakan kepala desa saat ini. Proses pengangkatan Toma’ Tua sendiri dilakukan berdasarkan aspirasi seluruh warga kampung namun hingga terjadi perubahan dan penurunan nilai-nilai hingga saat ini. Disisi lain, melihat perubahan dan perkembangan adat yang terjadi di masyarakat Mamasa terdapat upaya untuk melegalkan keberadaan adat agar tetap memiliki peranannya tanpa tergusur oleh intervensi zaman yaitu dengan dibentuknya Dewan Adat Kabupaten Mamasa yang diinsiasi pada tahun 2006. Kedudukan kepala desa di Desa Balla Tumuka sendiri dipilih langsung oleh warga namun dengan pertimbangan garis keturunan adat. Dengan demikian pada umumnya keberadaan adat cukup mempengaruhi preferensi warga dalam pemilihan kepala desa. Namun demikian, apabila dalam ranah pemilu yang lebih tinggi seperti legislatif atau presiden pengaruh pemuka adat cenderung tidak ada sama sekali. Dari informasi yang didapatkan, kepala desa tidak mendapatkan aset tanah bengkok seperti di daerah Jawa namun dibayar oleh ADD. Alokasi Dana Desa tahun sebelumnya diperkirakan mencapai angka Rp 100 588 400. Pada perkembangannya, selain dari sisi pemerintahan keberadaan tiga lembaga pemerintah, adat dan tokoh agama juga sangat kental ditemukan ketika terjadinya permasalahan di desa. Ketika terjadi permasalahan atau sengketa di Desa Balla Tumuka maka tidak pernah dibawa langsung pada ranah hukum resmi negara namun terlebih dulu melalui adat. Salah satu contoh adat yang menjadi dasar penanganan masalah-masalah di lingkungan masyarakat sekitar tersebut adalah Adat Tuo yaitu istilah yang menggambarkan bahwa tidak semua masalah seperti nyawa harus dibayar dengan nyawa. Hal ini menjadi gambaran bahwa penyelesaian masalah juga mengenal kata toleransi atau tidak menekankan pada konflik berkepanjangan dengan menyelesaikan setiap masalah secara baik-baik melalui adat dan musyawarah dengan pihak desa dan tokoh agama. Tipe Kepemimpinan Sebagai sekumpulan masyarakat yang terlibat kepentingan dan interaksi terus menerus, keberadaan pemimpin yang mampu menjadikan penentu serta pengarah merupakan hal yang sangat penting, meskipun perubahan secara struktural terjadi dari tahun ke tahun namun bagaimana seorang tokoh mampu mempengaruhi masyarakat yang dipimpinnya harus terus menjadi perhatian. Hal
52
ini mengingat urgensi kepemimpinan itu sendiri dapat menjadi ujung tombak masyarakat untuk mengarah pada kehidupan yang lebih sejahtera. Akibat pergantian pemimpin dari mulai ketua adat, Pareng’e (pada zaman kolonial) hingga menjadi kepala desa dan adanya pergantian administratif wilayah Kabupaten Mamasa maka terjadi pula perubahan yang signifikan. Mengingat kondisi tersebut, maka menarik untuk dilihat secara kualitatif peranan kepemimpinan adat yang ada di Desa Balla Tumuka apakah ia berperan positif serta sejauhmana gaya kepemimpinan yang dilakukan apakah demokratis atau otoriter. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis data dari kuesioner, eksistensi gaya kepemimpinan adat tergolong tinggi. Berikut disajikan secara rinci pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah dan persentase tipe kepemimpinan adat Desa Balla Tumuka Kategori
Tipe Kepemimpinan
Tinggi
n 41
% 91.1
Rendah
4
8.9
45
100.0
Total
Berdasarkan data tersebut, eksistensi tipe kepemimpinan adat tergolong tinggi dengan persentase sebesar 91.1% sedangkan 8.9% tergolong rendah. Kepemimpinan langsung oleh ketua adat apabila diidentifikasi menurut tipe kepemimpinan lebih cenderung sebagai kepemimpinan tradisional. Dasar kepemimpinan ini berakar dari kepercayaan masyarakat adat Balla Tumuka yang sudah terinternalisasi dengan kesucian tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Selanjutnya pergantian bentuk kepemimpinan pun kian mempengaruhi perubahan gaya mempengaruhi masyarakat sekitar. Misalnya pada saat ini kepemimpinan tertinggi di wilayah Desa Balla Tumuka dipimpin oleh seorang kepala desa beserta jajarannya dan kepemimpinan informal dipegang oleh para Toma Tua atau tetua adat yang menurut data kualitatif dapat dikatakan memiliki gaya kepemimpinan campuran. Dalam hal ini kepemimpinan campuran merupakan sikap atau cara pemimpin tersebut yang disesuaikan dengan kondisi. Relativitas ini yang pada akhirnya menciptakan gaya memimpin seperti demokratis ataupun diwaktu lain dapat bersifat otoriter. Secara umum perangkat kepemimpinan desa formal yang memiliki kekuasaan dan wewenang di lingkungan sekitar mengikuti pengaruh dari pusat dan bersifat polimorfis yaitu wewenang pengambilan keputusan atas masalah yang berbeda dipegang oleh orang-orang yang bebeda meskipun pada akhirnya terpusat pada kepala desa (lihat Gambar 10).
53 Pemangku Adat (Toma Tua)
Kepala Desa
BPD Sekretaris Desa
Kepala Urusan Pemerintahan
Kepala Dusun Balla Peu
Kepala Urusan Keuangan
Kepala Dusun Rante Masanda
Tokoh Agama
Kepala Urusan Pembangunan
Kepala Dusun Bamba Pongko
Kepala Urusan Umum
Kepala Dusun Gallang Rapa‟
Kepala Dusun Rante Puang
Gambar 10 Perangkat Desa Balla Tumuka Secara lebih detail gaya kepemimpinan demokratis aktor-aktor di komunitas dapat dicontohkan dalam kegiatan pembangunan desa sedangkan gaya otoriter biasa diterapkan ketika bersentuhan langsung dengan aturan adat yang cukup ketat dan penanganan konflik. Dalam hal ini komunitas tidak sepenuhnya terlibat, mereka cenderung hanya menerima keputusan yang telah didiskusikan oleh beberapa tokoh berwenang. Keberadaan gaya kepemimpinan ini dirasakan sangat berpengaruh terhadap warga. Mereka mengakui bahwa jejaring kolaborasi dalam proses pengambilan keputusan dan gaya kepemimpinan kelembagaan desa cukup efektif dalam kehidupan mereka. Efektivitas tersebut dinilai dari lingkungan yang kondusif, kekeluargaan, kinerja aparat yang baik, hingga tidak pernah ada benturan antar lembaga adat, pemerintah dan tokoh agama. Keadaan ini diharapkan dapat terus berkesinambungan hingga menjadi dasar keseharian mereka untuk menciptakan eksistensi adat dan keharmonisan bersama. Bentuk Alokasi/Penguasaan Sumber Daya Pada sejarahnya, sumber daya lahan di lingkungan Desa Balla Tumuka memiliki pengaturan tersendiri khususnya sumber daya lahan. Pengaturan sumber daya lahan yang diatur oleh adat salah satunya dengan sistem litak ana’ moane (tanah tidak bertuan) yang dapat diusahakan oleh siapa saja dengan izin dari Toma’ Tua. Pemindahan proses penggarapan litak anak moane sendiri mulai terjadi pergeseran, dalam artian terjadi keengganan untuk mengusahakan lahan yang telah diusahakan orang lain karena melihat kualitas lahan dan merasa segan jika pemilik sebelumnya ingin menggarap kembali. Keberadaan lahan di desa ini memiliki perbedaan nilai antara lahan sawah dan lahan kering. Lahan basah atau sawah dinilai lebih berharga dan menjadi tumpuan utama serta memiliki pola sistem kerja yang lebih kompleks. Sedangkan lahan kering atau kebun dinilai hanya sebagai sampingan selain proses pengolaha sawah. Hal ini juga diakibatkan oleh hasil panen lahan kering seperti jagung, ubi
54
dan lain-lain hanya sebagai komplementer akibat komoditas tersebut bukan sebagai pangan utama. Selain itu apabila dijual pun mengalami kesulitan tersendiri akibat akses transportasi yang sulit. Maka menurut keterangan warga proses jual beli hasil panen biasa dilakukan seminggu sekali menunggu mobil angkutan umum menuju pusat Kabupaten Mamasa. Hal inilah yang salah satunya menjadi dasar bahwa kebanyakan warga Desa Balla Tumuka hanya sebagai petani subsisten. Nilai dan ukuran lahan sawah yang dimiliki warga secara umum memiliki satuan lokal yang disebut dengan Toma Bungka atau yang berarti pekerja. Biasanya 1 Toma Bungka memiliki luas kisaran 3 are dengan hasil panen per petak sekitar 2 ton dengan 4 pekerja. Selain itu biasanya tanah di desa ini dihargai dengan ukuran busuk atau kerbau yang rata-rata senilai 15 juta. Di wilayah ini juga dikenal istilah untuk sawah terluas yang biasa disebut kondo. Pola kerja warga yang kesehariannya sebagai buruh tani biasanya dimulai setiap hari dari pukul 08.00 – 16.00 dengan upah Rp 20 000 untuk perempuan dan Rp 35 000 untuk laki-laki. Berbeda halnya dengan lahan sawah, lahan kering atau kebun yang dimiliki warga biasanya diperoleh secara turun temurun atau berdasarkan ketentuan Litak Anak Moane yaitu tanah tak bertuan yang boleh diusahakan atas izin adat. Dari sekitar 344 KK di Desa Balla Tumuka rata-rata lahan kering yang paling luas dimiliki oleh warga sebanyak 1 ha dengan harga 5 jutaan yang 99% lebih banyak ditanami dengan kopi. Produktivitas kopinya sendiri biasanya mencapai 3 kwintal per are. Sedangkan adapula sebagian warga yang menanami lahannya dengan seong yang memiliki produktivitas mencapai 4 kwintal/are. Harga jual kopi dan seong sendiri mencapai Rp 9000/kg biji kopi sedangkan Rp 8000/kg Seong. Sistem kepemilikan lahan sebagian besar dimiliki secara turun temurun. atas dasar hal itu hampir semua lahan milik warga di Mamasa tidak memiliki sertifikat tanah. Mereka hanya mengklaim kepemilikan lahan tersebut berdasarkan identitas pajak yang mereka bayar rutin. Menurut informasi dari Badan Pertanahan Nasional diketahui bahwa berkaitan dengan PRONA atau program nasional mengenai sertifikasi lahan sudah ada sekitar 75% tanah warga yang sudah memiliki sertifikat pada tahun 2012-2013. Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya litak ana’ moane atau tanah tidak bertuan yang dapat diusahakan siapa saja seizin adat. Selain itu, salah satu bentuk kearifan agraria orang Mamasa pada sistem pertanian adalah So‟bok yang diatur ketat oleh adat kapan mereka melakukan proses tanam. Pengaturan tersebut dipimpin oleh tokoh adat yang mengatur urusan pertanian dengan pertimbangan kondisi alam seperti iklim, hama dan waktu gotong royong warga. Sistem ini bertahan cenderung hanya berlaku pada zaman dahulu ketika komoditas utama yang ditanam adalah varietas padi lokal, sehingga ketika saat ini warga mulai beralih pada padi varietas baru so’bok mulai beradaptasi dengan kondisi tersebut yang merubah sistem panen sekali dalam setahun menjadi tiga kali dalam setahun. Dengan kata lain implementasi so’bok masih berusaha dilakukan dengan penyeragaman waktu tanam dan pesta panen. Adanya ritual pesta panen dilakukan dengan menunggu semua warga selesai panen yaitu bertepatan ada akhir juni atau awal bulan juli yang dilaksanakan di gereja dengan sebutan lokal Mandoda (Pesta Panen).
55
Sedangkan untuk penyimpanan persediaan pangan yang diperoleh dari hasil panen awalnya masih banyak yang menyimpannya di tempat yang bernama Alang. Alang merupakan bagian bangunan rumah yang terpisah khusus sebagai lumbung pangan. Menariknya harga pembuatan alang yang memiliki ukiran tertentu sebagai simbol strata sosial mampu mencapai 30 jutaan atau seharga kerbau. Disisi lain kasus seperti kekurangan pangan terbilang hampir tidak pernah terjadi. Hal ini juga salah satunya dilatarbelakangi oleh sistem jaminan sosial diantara warga yang masih sangat kental dengan kekeluargaan dan adat. Bagi mereka setiap ada warga lain yang kekurangan maka akan segera dibantu bahkan pendatang yang menetap di daerah tersebut sekalipun. Posisi pendatang yang suda lama tinggal di Desa Ballatumuka pada umumnya diterima dengan baik bahkan diakui hak dan kewajibannya setara dengan warga asli. Hal ini juga ditunjukan dengan pemberian akses laan oleh adat sehingga menjadi jaminan bahwa orang tersebut mampu hidup dengan baik selama ada yang diusahakan. Selain itu pada perkembangan penguasaan lahan di wilayah Balla Tumuka jarang sekali terjadi konflik perebutan atau ketidakjelasan batas wilayah. Hal ini didasari atas hubungan kekerabatan dan pola pewarisan lahan yang diketahui semua orang dalam adat. selain itu apabila muncul kemungkinan terjadinya konflik keseharian, peraturan adat, desa serta dusun mengenakan denda yang cukup besar. Banyaknya warga Desa Balla Tumuka yang bermatapencaharian sebagai petani baik petani lahan basah (sawah) ataupun petani lahan kering (kebun), maka tidak sulit untuk menemukan keberadan kelompok tani di desa ini. Menurut keterangan dari Penyuluh Lapang Pertanian jumlah kelompok tani didesa ini sekitar 15 kelompok tani dengan anggota masing-masing kelompok sekitar 25 orang sehingga dapat diperkirakaan jumlah petani yang tergabung sekitar 256 orang. Pertemuan dari kelompok tani ini sendiri biasanya diadakan setiap 3 bulan sekali. Keberadaan kelompok tani di desa ini pun terkait dengan sistem kerja dan pengelolaan lahan yang ada. Terdapat beberapa sistem kerja antara petani pemilik lahan dan penggarap yang menjadi dasar pertanian di Desa Balla Tumuka. Sistem tersebut dapat dirincikan sebagai berikut: (1) Sistem Upah (Ma’petesanan): sistem yang dilakukan antara pemilik lahan dan buruh tani denga patokan upah perhari kerja dilengkapi dengan pemberian makan. Pada umumnya upah yang diterima warga sebesar Rp 35 000 untuk laki-laki dan Rp 20 000 untuk perempuan dengan jam kerja mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Pembagian kerjanya sendiri biasanya perempuan hanya aktif bekerja pada masa penanaman (Mantanan) dan masa pembersihan lahan (Mantorak). Dalam hal pembagian kerja terlihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan namun demikian hal ini dirasa akibat adanya perbedaan jenis beban pekerjaan sedangkan aspek gender yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Mamasa salah satunya adalah kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga maupun kepemimpinan desa. Pada sejarahnya desa yang dipimpin oleh Pareng’e juga pernah dijabat oleh perempauan. Selain itu akses sumberdaya dalam keluarga tidak didominasi oleh laki-laki, misalnya pembagian warisan dibagi sama rata antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian jika dinilai dalam aktivitas keseharian laki-laki cenderung lebih pro aktif.
56
(2) Massima: sistem pengerjaan lahan dengan sistem upah yang pada akhir musim panen hasil yang didapatkan dibagi dua atau 50:50 antara pemilik lahan dengan penggarap. (3) Ma’bulelen: Sistem gotong royong antara anggota kelompok tani tanpa adanya pengupahan. Hanya saja sistem ini dibayar dengan tenaga dan makanan secara bergantian yang dilakukan dari satu anggota ke anggota lain. (4) Manta’ga: Sistem gadai tanah dari yang pemilik yang membutuhkan dana kepada orang lain yang mampu membayar sitem gadai tersebut. Pola ini dapat dipindahtangankan kepada pihak ketiga jika pihak kedua ingin mengalihkannya sehingga keberlanjutan penggadaian dapat dilangsungkan antara pihak pertama dan pihak ketiga dengan catatan harus dengan harga yang sama. Selain itu sistem ini juga menuntut adanya kesepakatan kedua belah pihak megani waktu dan harga lahan tersebut. (5) Ma’perurukan: Pemberian hak garap tanpa meminta hasil. Sistem ini biasanya berlangsung selama 3-5 tahun atau sesuai kesepakatan. Selain sistem pengerjaan sumber daya lahan yang menjadi pola kerja bersama juga terdapat pembagian sumber daya lain yaitu kerbau, bahkan dapat dikatakan sebanyak 45% warga memiliki hewan tersebut. Uniknya, dalam hal ini kerbau juga memiliki klasifikasinya tersendiri yaitu Dotti, Bonga, Talebong dan Puyu bulan. Selain itu kerbau yang dimiliki keluarga atau hasil waris dapat dibagikan pada beberapa orang dalam keluarga tersebut dengan sistem pembagian mulai dari sasese (1/2), satepo (1/4), saleso (1/8), sadaluh (1/16), sakapeu (1/32) bahkan hingga (1/64). Pembagian kepemilikan inipun dapat dipindahtangankan atau dijual dengan catatan masing-masing individu dalam pembagian tersebut mengetahui dan mengutamakan agar dipindahtangankan kepada orang lain yang masih kerabat sehingga sumber daya tersebut tidak beralih jauh dari lingkungan keluarga mereka. Berdasarkan deskripsi kondisi lapang tersebut maka implementasi bentuk pengelolaan sumber daya adat tergolong tinggi. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis data kuantitaif (lihat Tabel 18). Tabel 18 Jumlah dan persentase bentuk pengelolaan sumber daya adat Desa Balla Tumuka Kategori Bentuk Pengelolaan SDA n % Tinggi 37 82.2 Rendah Total
8
17.8
45
100.0
Berdasarkan Tabel 18 maka diketahui bahwa implementasi dan proses pengelolaan sumber daya adat yang dilakukan masyarakat tergolong tinggi dengan persentase 82.2% sedangkan 17.8% tergolong rendah. Kondisi ini juga saling memperkuat penjelasan kualitatif hasil observasi lapangan yang dijabarkan pada bagian sebelumnya. Dengan demikian apabila ditinjau dari segi pengaruhnya maka kearifan lokal agraria yang diatur adat di Desa Balla Tumuka ini sangat kuat terhadap keseharian warganya. Sistem semacam ini menjadikan warga
57
meminimalisir bentuk monopoli kepemilikan lahan dan sumber daya di sekitar. Atas nilai kebersamaan dan adanya rasa kesatuan turun temurun menghasilkan sistem jaminan sosial bagi penghidupan warganya. Selain itu yang lebih penting lagi adanya pencegahan dominasi pihak luar yang ingin menguasai tanah-tanah lokal, sehingga diharapkan tidak pernah terjadi konflik agraria yang sedang marak terjadi seperti konversi lahan besar-besaran untuk industri. Dengan demikian keberlanjutan penghidupan dan sumber daya agraria Desa Balla Tumuka dapat terjaga dengan upaya bersama dan nilai-nilai adat. Perangkat hukum adat Kesatuan hukum adat Desa Balla Tumuka memiliki perangkat pemerintahan yang cukup lengkap meliputi berbagai aspek. Kelengkapan dan implementasi perangkat hukum adat ini kemudian ditinjau dari hasil analisis data responden yang mengkategorikan tinggi rendahnya menurut jumlah dan persentase. Data tersebut ditampilkan pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah dan persentase bentuk perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka Kategori Bentuk Perangkat Hukum Adat n % Tinggi 36 80 Rendah Total
9
20
45
100
Berdasarkan Tabel 19 maka diketahui bahwa tingkat implementasi perangkat hukum adat di Desa Balla Tumuka tergolong tinggi sebesar 80% sedangkan 20% tergolong rendah. Hal ini terlihat dari bagaimana kelembagaan adat terlihat eksis dan terbagi dalam perangkat-perangkat tertentu dalam pembagian tugas mereka. Pembagian kewenangan tersebut diharapkan mampu menciptakan efektifitas kinerja kesatuan adat. Masing-masing bagian struktur ini memiliki hak dan kewajiban selaku aktor pemelihara aturan dan eksistensi adat. Secara umum adat dan strukturnya berhak memberikan bimbingan penyuluhan kepada masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah serta memberikan teguran kepada siapapun masyarakat yang melanggar aturan. Selain itu adat berhak memutuskan hukuman kepada pelaku pelanggaran dan tidak boleh menerima imbalan atau insentif berupa barang atau uang dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian anggota struktur adat ini harus mampu melaksanakan semua keputusan adat yang berlaku bersama dengan pemerintah. Keanggotaan perangkat hukum adat tersebut memiliki masa bakti selama-lamanya dan turun temurun. Namun demikian kondisi ini tidak menimbulkan pertentangan diantara masyarakat karena mereka memiliki kepercayaan yang tinggi kepada adat. Justru apabila kekuasaan adat dipegang oleh orang yang tidak layak dan tidak memiliki riwayat keturunan Toma’ Tua maka cenderung disangsikan. Perangkat ini tidak hanya terstruktur saja namun juga memiliki kegiatan tertentu seperti rapat kerja. Rapat ketua adat dan anggota bersama pemerintah diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga bulan. Rapat dinyatakan kuorun apabila 2/3 dari ketua dan
58
anggota adat yang hadir. Di dalam semua rapat lembaga ketualah yang memegang pimpinan dan jika tidak dapat hadir wakil ketua atau yang disebut Bali Ada’ yang menggantikan posisinya. Susunan lengkap perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka seperti pada Gambar 11.
Gambar 11 Susunan perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka Ketua Adat Balla Tumuka adalah tokoh adat yang menjadi pemimpin tertinggi terkait adat istiadat dan kebiasaan pada semua hal karena ketua adat tersebut digolongkan sebagai orang tua atau yang dituakan pada semua hal atau yang disebut juga Indona’ yang berarti dianggap ibu dalam semua hal. Selain itu juga disebut toma’kada yang artinya pimpinan adat dibantu sejumlah perangkat pada tiap bidang seperti yang tecantum dalam bagan struktur. Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut kelengkapan perangkat adat terbilang cukup lengkap karena bukan mencakup berbagai bidang. Bukan saja terkait adat dan budaya namun juga mencakup bidang kehidupan lain salah satunya Indona Pariama atau So’bok sebagai pemegang kebijakan bidang pertanian. Bentuk struktur ini kemudian menimbulkan aturan-aturan yang cukup kompleks dikeseharian warga. Namun demikian, mayoritas warga tidak merasa keberatan dengan hal tersebut dan menginginkan adat terus terpelihara. Berkaitan dengan banyaknya situs dan budaya adat di lingkungan Desa Balla Tumuka tidak menjadikan warga desa ini berpandangan matrealis untuk menjadikan budaya mereka sebagai komoditas ekonomi atau yang bisa disebut sebagai gejala komodifikasi budaya. mereka masih menjadikan budaya dan adat tersbeut sebagai way of life penduduk lokal yang tidak serta merta harus diperdagangkan lewat pertunjukan, gambar-gambar dan semacamnya. Namun demikian warga juga tidak menutup kemungkinan menerima wisata bagi pendatang yang ingin mengeksplorasi kekayaan indigenous knowledge mereka. Selain itu karena desa ini juga dijadikan sebagai desa wisata adat maka keterbukaan warganya menjadi stimulus utama keberhasilan. Beberapa objek wisata yang ada dilingkungan tersebut diantaranya adalah kebudayaan dan rumah
59
adat setempat, kuburan (Tedong-Tedong), Gua alam Diuluh Manta, Sarambu Allodio Dialldio serta panorama bukit Buntu Mussa. Dengan demikian keberadaan objek wisata ini sebagai wujud komodifikasi budaya yang masih terbilang sedikit karena hanya berlaku di lokasi-lokasi terstentu itupun dengan tiket masuk yang terjangkau yaitu nominal sukarela bagi pengunjung lokal dan Rp 10 000 bagi turis asing. Ikhtisar Kesiapan Politik Masyarakat Adat Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya terkait dengan aspek politik adat Desa Balla Tumuka dapat terlihat dari bagaimana eksistensi struktur adat, siapa saja aktor dan peran pengambil keputusan, bagaimana gaya kepemimpinan tokoh, bentuk alokasi atau penguasaan sumber daya serta bagaimana perangkat hukum adat itu sendiri yang secara keseluruhan berdasarkan hasil observasi lapang masih terbilang kental meskipun sudah mulai bertransformasi dan beradaptasi dengan perubahan struktural di lingkungan sekitar. Perbandingan secara keseluruhan masing-masing variabel yang menjadi dasar penilaian tingkat kesiapan politik Desa Balla Tumuka secara keseluruhan seperti pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik pada masing-masing indikator Kategori
Bentuk Struktur Adat
Aktor Adat dan Peran Pengambil Keputusan n % 38 84.4
Tinggi
n 45
% 100
Rendah
0
0
7
45
100
45
Total
Tipe Kepemimpinan
Bentuk Pengelolaan SDA
n 41
% 91.1
n 37
% 82.2
15.6
4
8.9
8
17.8
100.0
45
100.0
45 100
Bentuk Perangkat Hukum Adat n % 36 80 9
20
45
100
Berdasarkan analisis data pada Tabel 20 terlihat bahwa bentuk struktur adat memiliki kategori jumlah dan persentase tertinggi yaitu sebanyak 100%. Dalam hal ini berarti masyarakat secara umum menjalani dan mengakui adanya bentuk strutur adat yang cukup ketat dan stabil. Hal ini menandakan bahwa eksistensi bentuk struktur adat seperti stratifikasi sosial di antara masyarakat Desa Balla Tumuka dari kelas Tana’ Bulawan masih mengakar hingga keberadaan pendatang tidak masuk dalam penilaian strata sosial meskipun hak akses dan kewajibannya tidak dibedakan. Selain itu dalam analisis pertanyaan kuesioner yang menanyakan pendapat warga mengenai efektivitas fungsi-fungsi dalam struktur adat terbilang efektif. Realitas inilah yang kemudian menjadi dasar tingginya nilai indikator bentuk struktur adat dalam tingkat kesiapan politik masyarakat. Nilai kategori tinggi yang menempati posisi kedua selanjutnya adalah frekuensi dan persentase tipe kepemimpinan sebanyak 91.1%. Aspek ini dilihat bagaimana kepemimpinan adat dan kepemimpinan desa formal mengatur warganya dengan kecenderungan otoriter, demokratis atau campuran serta pengaruhnya. Kecenderungan gaya kepemimpinan adat maupun kepala desa
60
dalam hal ini campuran antara demokratis dan otoriter yang selalu disesuaikan dengan kondisi. Selain itu keduanya dinilai berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sedangkan untuk indikator aktor adat dan peran pengambil keputusan serta bentuk pengelolaan sumber daya di lingkungan adat mencapai nilai 84.4% dan 82.2%.Hal ini terbilang tinggi karena setiap masyarakat mengakui baik pemimpin adat dan kepala desa formal sama-sama mempunyai peran yang signifikan. Pada aspek pengelolaan sumber daya juga mereka menilai bahwa sistem pengeloalaan sumber daya adat seperti lahan di Desa Balla Tumuka masih sangat ketat. Terlebih mereka menggunakan sistem kerja yang masih sangat kental berdasarkan pengalaman secara turun temurun. Di sisi lain, indikator bentuk perangkat hukum adat dinilai lebih rendah dari yang lain. Nilai kategori tinggi hanya 80% sedangkan kategori rendah mencapai 20%. Kondisi ini disinyalir bahwa menurut pandangan warga sendiri perangkat hukum adat yang ada seperti jabatan kepengurusan dalam aspek kehidupan tertentu sudah banyak berakulturasi sehingga tidak benar-benar murni seperti dahulu. Selain itu kebanyakan warga melihat bahwa perangkat hukum adat masih mencakup beberapa aspek saja tidak meliputi semua hal termasuk misalnya dalam kemampuan di pemerintahan formal desa. Aspek perangkat hukum adat juga melihat sejaumana komodifikasi budaya masuk dalam keseharian adat Desa Balla Tumuka. Komodifikasi budaya dalam hal ini merupakan kecenderungan menjadikan budaya atau adat sebagai komoditas ekonomi. Namun demikian di lingkungan adat Desa Balla Tumuka tidak terjadi demikian. Bentuk komodifikasi budaya hanya berupa iuran pada objek-objek wisata tertentu serta tidak melibatkan banyak perangkat adat yang turut serta mengaturnya. Berdasarkan analisis data tersebut maka semua indikator mendapat kategori penilaian yang tinggi sekitar lebih dari 50% responden mengaku keberadaan aspek-aspek politik adat masih cukup terjaga meskipun tidak memungkiri adanya akulturasi dan pengaruh pemerintahan desa formal. Dengan demikian secara keseluruhan masing-masing indikator aspek politik tersebut dapat menjadi penilaian bagaimana aspek proses kesiapannya (lihat Tabel 21). Tabel 21 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik Kategori Tinggi Rendah Total
Tingkat Kesiapan Politik N 38 7 45
% 84.4 15.6 100.0
Dari Tabel 21 diperoleh sebanyak 84.4% masyarakat melihat bahwa secara keseluruhan proses kesiapan politik yang dilihat dari indikator bentuk struktur adat, aktor adat dan peran pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk pengelolaan SDA serta perangkat hukum adat dinilai tinggi sedangkan 15.6% sisanya tergolong rendah. Dibandingkan dengan jumlah dan persentase proses kesiapan sosial, kesiapan politik di lingkungan adat Desa Balla Tumuka dinilai lebih rendah. Pada umumnya masyarakat menilai proses kesiapan sosial menjadi salah satu hal yang lebih familiar dalam kehidupan mereka dan tidak mengalami intervensi atau rasa segan dibanding penilaian terhadap aspek kesiapan politik. Selain itu pada aspek politik cenderung dinilai belum secara menyeluruh
61
menngundang kesadaran kritis warga. Dalam hal ini memungkinkan adanya galat yaitu kecenderungan warga menilai dengan jawaban-jawaban yang aman terlebih menyangkut keberadaan struktur adat dan pemimpin-pemimpin di antara mereka. Namun demikian secara keseluruhan dari analisis data diketahui bahwa masingmasing baik tingkat kesiapan sosial ataupun politik di lingkungan masyarakat Desa Balla Tumuka tergolong tinggi dan cukup layak sebagai pertimbangan untuk pengembangan wilayah pedesaan yang terintegrasi adat.
Penguatan Desa Adat Proses yang terjadi dalam aspek sosial dan aspek politik terkait adat dalam keseharian warga Desa Balla Tumuka diduga akan berpengaruh pada kuat atau lemahnya adat itu sendiri. Identifikasi kekuatan pengaruh adat tersebut dianalisis berdasarkan pandangan warga lokal terkait sistem nilai adat yang ada, struktur sosial adat hingga kebijakan alokasi atau pengelolaan sumber daya. Berdasarkan analisis kuantitatif, penilaian terhadap variabel tingkat kekuatan desa adat tersebut dilihat dari bagaimana penilaian warga mengenai kuat atau lemahnya bentuk sistem nilai adat saat ini, kuat atau lemahnya bentuk struktur sosial desa adat serta kuat atau lemahnya bentuk sistem pengelolaan sumber daya adat secara keseluruhan. Berdasarkan analisis hasil penelitian maka penilaian masyarakat terhadap penguatan desa adat ditampilkan pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut kategori penguatan desa adat Kategori Kuat Lemah Total
Penguatan Desa Adat N 38 7 45
% 84.4 15.6 100.0
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Tabel 22, dapat diketahui bahwa menurut penialain masyarakat penguatan desa adat yang tergolong kuat sebanyak 84.4% sedangkan 15.6% tergolong lemah. Hal ini dinilai karena pada realitasnya meskipun adat mulai beradaptasi dan berintegrasi dengan nilai-nilai baru namun eksistensi adat mereka tetap terpelihara. Pada umumnya penguatan desa adat yang tergolong tinggi dinilai dari bentuk sisitem nilai adat yang secara keseluruhan yang masih kuat. Penilaian lebih lanjut mengenai sistem nilai adat ini juga dilihat dari hampir semua masyarakat melaksanakan semua aturan yang ada meskipun tidak semua dari aturan adat tersebut mereka ketahui. Mereka beralasan bahwa tidak diketahuinya aturan-aturan adat secara mendetail karena seringkali hanya perangkat adat yang berwenang seperti Toma’ Tua lah yang dapat mengetahui secara rinci. Selain itu aturan tersebut cenderung sangat dijunjung tinggi serta tidak banyak masyarakat yang melanggar baik dengan alasan kepatuhan ataupun takut akan sanksi yang mungkin ia peroleh seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden seperti berikut:
62
“Saya kurang tau lengkapnya adat di sini, karena pernah merantau juga. Tapi bagi saya setelah kembali lagi menetap disini adatnya masih kuat. Saya sih ikut-ikut saja dengan aturan yang ada karena harus seperti itu dan takut hukumannya.” (Ibu Y) Di sisi lain, berdasarkan hasil observasi secara kualitatif mayoritas warga beranggapan bahwa nilai-nilai adat masih kuat dilaksanakan. Hal ini tergambar melalui aturan adat yang dijunjung tinggi, pengetahuan warga yang cukup baik terhadap adat, dan transformasi nilai-nilai adat tidak benar mengubah secara keseluruhan karena jarang juga ada warga yang melanggar. Demikian juga pada aspek struktur desa adat yang terbilang cukup kuat karena kedudukan adat di masyarakat masih sangat jelas, terdapat lembaga adat yang mengatur beberapa aspek kehidupan, serta pelibatan lembaga adat dalam pemerintahan formal yang dipimpin kepala desa. Selain itu hal yang sama juga terjadi pada bentuk sistem pengelolaan sumberdaya adat yang sangat kuat dilihat dari sistem pengaturan dan jaringan kerja yang melembaga, tidak adanya monopoli penguasaan oleh pihak luar dan jarang terjadinya konflik yang berarti. Untuk itu berkaitan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa berdasarkan keterangan warga eksistensi adat di Desa Balla Tumuka masih kuat dan qualified apabila dijadikan sebagai Desa Adat.
63
HUBUNGAN TINGKAT KESIAPAN SOSIAL POLITIK DAN PENGUATAN DESA ADAT
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diungkapkan sebelumnya, dalam bab-bab berikut ini membahas perihal pertanyaan tersebut yang meliputi (1) sejauhmana hubungan kesiapan sosial dan politik dengan penguatan komunitas adat? (2) sejauhmana hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas adat? serta faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik komunitas adat? (3) sejauhmana hubungan faktor kesiapan sosial politik dengan indikator penguatan sosial politik komunitas adat? Hal-hal ini kemudian mengarahkan pada hipotesis penelitian yaitu (1) kesiapan sosial berhubungan dengan proses penguatan komunitas adat, (2) kesiapan politik berhubungan dengan proses penguatan komunitas adat, (3) faktor kesiapan sosial lebih dominan dalam hubungan dengan penguatan komunitas adat, (4) terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan sosial politik dengan penguatan komunitas adat. Beberapa hipotesis di atas dianalisis lebih lanjut dalam bab ini dengan menggunakan kajian kuantitatif yang melihat hubungan masing-masing variabel melalui uji Korelasi Rank Spearman serta dikuatkan dengan penjelasan kualitatif deskriptif. Untuk melihat ada tidaknya hubungan antara proses kesiapan sosial (X1) dengan proses kesiapan politik (X2), hubungan masing-masing variabel tersebut dengan penguatan desa adat (Y), ataupun hubungan variabel keduanya dengan penguatan desa adat (Y) yang memiliki hasil penilaian yang perlu diperhatikan. Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dengan Tingkat Kesiapan Politik Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, penelitian ini salah satunya bertujuan untuk menjawab hipotesis uji mengenai hubungan proses kesiapan sosial yang dilakukan masyarakat dengan proses kesiapan politik adat. Peneliti mengasumsikan bahwa tinggi rendahnya proses kesiapan sosial juga berhubungan dengan proses politik yang dialami masyarakat tersebut. Misalnya ketika setiap masyarakat dinilai memiliki indikator-indikator modal sosial yang tinggi diduga mereka juga turut aktif terlibat dalam eksistensi kegiatan politik adat. Dengan demikian asumsi dan hipotesis uji mengenai hubungan keduanya dijelaskan dalam analisis tabulasi silang pada Tabel 23. Tabel 23 Jumlah dan persentase menurut tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik masyarakat adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Tingkat Kesiapan Politik Tingkat Total Kesiapan Tinggi Rendah Sosial N % N % N % Tinggi 38 84.4 2 4.5 40 88.9 Rendah 0 0 5 11.1 5 11.1 Total 38 84.4 7 15.6 45 100.0
64
Berdasarkan data pada Tabel 23 memperlihatkan bahwa sebanyak 84.4% masyarakat yang mengalami proses kesiapan sosial tinggi juga menilai bahwa proses kesiapan politik di Desa Balla Tumuka tergolong tinggi, sedangkan sebanyak 11.1% masyarakat yang mengalami proses kesiapan sosial yang rendah juga menganggap bahwa proses kesiapan politik di Desa Balla Tumuka tergolong rendah. Disisi lain pandangan yang cukup berbeda yakni sebanyak 4.5% masyarakat yang mengalami proses sosial tinggi justru melihat proses kesiapan politik adat masih tergolong rendah. Untuk memperjelas hasil analisis data mengenai kedua hal tersebut, peneliti kemudian menggunakan software SPSS melalui uji statistik non-parametrik dengan melakukan uji korelasi Rank Spearman pada variabel tingkat kesiapan sosial (X1) dengan tingkat kesiapan politik (X2) (lihat Tabel 24). Tabel 24 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik komunitas Correlations Tingkat
Tingkat
Kesiapan Sosial Kesiapan Politik Spearman's rho
Tingkat Kesiapan Correlation Coefficient Sosial
Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kesiapan Correlation Coefficient Politik
1.000
Sig. (2-tailed) N
.615
**
.
.000
45
45
**
1.000
.000
.
45
45
.615
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Setelah mengetahui nilai korelasi, maka untuk menguji hipotesis yang ada maka hasil dapat dijelaskan sebagai berikut: H1: Terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dengan tingkat kesiapan politik komunitas adat H0: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dengan tingkat kesiapan politik komunitas adat Berkaitan dengan nilai korelasi yang didapatkan yaitu sebesar 0.615 dengan signifikan 0.00 yang berarti memiliki hubungan kuat. Selain itu signifikan menunjukan nilai 0.00 lebih kecil dari nilai yaitu 0.05 yang berarti bahwa H1 diterima dan H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik yang kuat. Di sisi lain tanda bintang dua atau “**” menunjukkan hubungan yang tinggi diantara dua variabel yang diuji. Hal ini diperkuat melalui aturan nilai dalam menentukan nilai yaitu sebagai berikut: 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09 (hubungan kurang berarti), 0.100.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9 (hubungan mendekati sempurna). Dengan demikian nilai hasil uji korelasi Rank Spearman 0.615 termasuk memiliki hubungan yang kuat.
65
Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Penguatan Desa Adat Variabel tingkat kesiapan sosial desa adat dinilai sebagai proses interaksi sosial masyarakat dalam keseharian yang melihat beberapa indikator diantaranya tingkat partisipasi dalam organisasi sosial/adat, tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepeduliaan terhadap sesama, serta intensitas keterlibatan dalam organisasi sosial/adat. Proses-proses sosial tersebut pada akhirnya disinyalir akan mempengaruhi bagaimana tingkat kekuatan suatu sistem masyarakat khususnya desa adat. Hal inilah yang kemudian penulis maksudkan sebagai penguatan desa adat, yaitu kuat atau lemahnya aspek-aspek kehidupan desa adat berbasis penilaian masyarakat lokal. Sama halnya dengan sistem nilai, bentuk struktur sosial adat juga menjadi salah satu penilain tersendiri. Penilaian tersebut melihat bagaimana stratifikasi adat masih jelas atau tidak, bagaimana kelengkapan perangkat adat, peranan tokoh adat serta keterlibatannya dalam pemerintahan menurut warga setempat. Disisi lain kuat lemahnya bentuk sistem pengelolaan sumberdaya adat juga dinilai penting dengan melihat adakah perubahan yang terjadi, adakah penguasaan oleh pihak asing, hingga kemungkinan terjadinya konflik. Penilaian kategori penguatan desa adat ini dilakukan menggunakan pernyataan dengan Skala Likert yaitu pilihan sangat kuat, kuat, lemah hingga sangat lemah selain itu juga dilengkapi pernyataan dengan pilihan sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju.(Lampiran 7) Secara umum penguatan desa adat dinilai kuat. Atas dasar tersebut dalam penelitian ini menduga kekuatan desa adat berkaitan langsung dengan proses sosial yang dialami masyarakat atau tingkat kesiapan sosial yang ada di lingkungan adat. Hal ini diasumsikan bahwa semakin masyarakat mengalami proses sosial yang tinggi atau intens maka hal ini berkaitan dengan kekuatan desa adat yang juga tinggi karena kekuatan desa adat tersebut muncul dari berbagai tingkatan proses sosial seperti partisipasi, ketaatan, kepedulian hingga kepercayaan. Untuk melihat keterhubungan keduanya maka dalam penelitian pun dilakukan analisis lebih lanjut melalui tabulasi silang hasil kuesioner responden (lihat Tabel 25). Tabel 25 Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan sosial dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Tingkat Kesiapan Sosial Total Penguatan Tinggi Rendah Desa Adat N % N % N % Kuat 36 80.0 2 4.4 38 84.4 Lemah 4 8.9 3 6.7 7 15.6 Total 40 88.9 5 11.1 45 100.0 Berdasarkan Tabel 25 dapat terlihat bahwa sebanyak 80% responden yang mengalami proses atau tingkat kesiapan sosial tinggi juga memiliki kecenderungan menilai kuat pada penguatan desa adat. Berbeda dengan hal tersebut, sebanyak 8.9% responden yang mengalami proses sosial tinggi justru menilai bahwa penguatan desa adat masih terbilang lemah. Selain itu 4.4% justru sebaliknya, mereka mengikuti proses sosial adat yang terbilang rendah namun menilai bahwa secara keseluruhan adat di Desa Balla Tumuka tergolong kuat. Di
66
sisi lain sebanyak 6.7% responden yang memiliki proses atau tingkat kesiapan sosial adat yang rendah juga menilai bahwa kekuatan desa adat secara keseluruhan masih terbilang kurang. Golongan responden yang mengalami proses sosial tinggi dan menilai kekuatan desa adat secara keseluruhan masih rendah dilatarbelakangi oleh cara pandang personal serta alasan yang relevan dengan penilaian tersebut. Bagi mereka yang memiliki tingkat kesiapan sosial yang tinggi yang dilihat dari keterlibatan dalam aktivitas sosial belum tentu menilai tinggi pula kekuatan adat secara keseluruhan, namun mereka menyisakan runag untuk mengkritisi sistem yang ada. Misalnya pada responden yang sudah sering mengalami mobilisasi keluar desa, setelah kembali ke desa tersebut secara otomatis ia akan tetap mengikuti berbagai hal pada aspek sosial adat namun secara bersamaan menilai adat tersebut juga dari sisi yang lain sehingga memungkinkan penilaiannya masih rendah terhadap kekuatan desa adat. Sedangkan pada responden yang memiliki proses kesiapan sosial rendah dan justru menilai bahwa kekuatan desa adatnya terbilang tinggi dilatarbelakangi oleh latarbelakang keseharian individu tersebut. Misalnya pada kasus warga Desa Balla Tumuka yang bekerja di ibukota Kabupaten Mamasa maka akan cenderung jarang terlibat dalam aktivitas sosial namun menurut pandangan dan rasa segan yang ia miliki maka ia menilai bahwa kekuatan adat di Desa Balla Tumuka dikatakan tinggi. “Saya sudah pernah lama tinggal di Bogor ikut suami dinas, jadi setelah kembali ke orang tua disini ya tetap harus mengikuti adat disini meskipun susah juga kadang nerimanya karena belum terbiasa lagi” (Ibu A) Dengan demikian apabila melihat dari kecenderungan hasil analisis data di atas maka dapat dikatakan bahwa proses sosial yang menjadi tolak ukur kesiapan sosial desa adat berhubungan dengan tingkat kekuatan desa adat atau penguatan desa adat tersebut. Hal ini terlihat dari bagaimana persentase responden pada tingkat kesiapan sosial yang tinggi juga memiliki nilai persentase yang tergolong kuat pada penguatan desa adat. Untuk memperjelas hubungan tersebut maka dilakukan pula uji korelasi Rank Spearman (lihat Tabel 26). Tabel 26 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan penguatan desa adat Correlations
Spearman's rho
Tingkat Kesiapan Correlation Coefficient Sosial
Sig. (2-tailed) N
Penguatan Adat
Desa Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tingkat
Penguatan Desa
Kesiapan Sosial
Adat
1.000
.463**
.
.001
45
45
.463**
1.000
.001
.
45
45
67
Untuk menguji hipotesis yang sebelumnya sudah dijelaskan maka untuk lebih detail perlu dijabarkan kembali sebagai berikut: H1: Terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dengan penguatan desa adat H0: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dengan penguatan desa adat Hasil tabel uji Rank Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0.463 dengan signifikansi 0.001 yang berarti memiliki hubungan kuat. Nilai signifikan menunjukan 0.00 yang berarti lebih kecil dari nilai yaitu 0.05. Hal ini menginterpretasikan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial dengan tingkat penguatan desa adat. Dengan demikian nilai hasil uji korelasi Rank Spearman 0.463 termasuk memiliki hubungan yang moderat. Hubungan Tingkat Kesiapan Politik dan Penguatan Desa Adat Tingkat kesiapan politik dalam hal ini didefinisikan sebagai proses yang dialami warga serta kondisi lingkungan adat terkait aspek politik yang meliputi bagaimana bentuk struktur adat, aktor adat dan peran pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk pengelolaan sumberdaya hingga bentuk perangkat hukum adat. Pada penelitian ini diduga bahwa tingkat kesiapan politik yang ada akan berkaitan dengan bagaimana tingkat kekuatan desa adat baik dalam nilai-nilai ataupun pengaturan secara keseluruhan, yang dalam hal ini disebut sebagai penguatan desa adat. Selain itu diduga apabila kondisi politik semakin mencirikan tingginya eksistensi perangkat adat dan nilai-nilai adat lainnya maka akan meningkatkan tingkat kekuatan desa adat tersebut secara signifikan, atau dengan kata lain semakin eksis keberadaan perangkat adat serta sistem nilai yang berlaku maka semakin kuat desa adat tersebut. Untuk melihat keterhubungan diantara tingkat kesiapan politik yang dilihat dari proses keseharian dan tingkat kekuatan desa adat yang didefinisikan sebagai penguatan desa adat, maka dalam penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut dari hasil jawaban kuesioner kepada responden. Hasil tabulasi silang antara keduanya pada Tabel 27. Tabel 27 Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan politik dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014 Tingkat Kesiapan Politik Total Penguatan Tinggi Rendah Desa Adat N % n % N % Kuat 34 75.5 4 8.9 38 84.4 Lemah 3 6.7 4 8.9 7 15.6 Total 37 82.2 8 17.8 45 100.0 Tabel 27 menunjukan analisis jumlah dan persentase responden menurut proses kesiapan politik dan penguatan desa adat terlihat bahwa sebanyak 75.5% responden yang mengalami proses politik tergolong tinggi menilai kekuatan adat secara keseluruhan adalah kuat sedangkan sebanyak 8.9% responden yang mengalami proses politik rendah menilai rendah pula tingkat kekuatan adat yang
68
ada. Di sisi lain bagi responden yang mengalami proses politik tinggi dan menilai kekuatan adat rendah serta responden yang mengalami proses politik rendah dan menilai kekuatan adat yang tergolong kuat dipengaruhi oleh latar belakang hingga tingkat mobilisasi individu sebagaimana yang terjadi pada proses sosial. Berdasarkan nilai analisis data tersebut dapat dikatakan bahwa ketika individu mengalami dan menilai aspek politik adat yang ada di desa Balla Tumuka tergolong tinggi maka penilaian terhadap tingkat kekuatan atau penguatan desa adat dikategorikan kuat. Begitupun sebaliknya responden yang tidak banyak mengetahui dan mengikuti hal-hal pada aspek politik maka terdapat kecenderungan bahwa tingkat kekuatan desa adat dinilai lemah. Dengan demikian apabila ingin meningkatkan kekuatan desa adat sebagai dasar pembentukan desa adat yang lebih berdaulat dan sesuai amanah UU No.6 Tahun 2014 maka diperlukan keterlibatan seluruh aspek masyarakat dan komponen adat yang lebih eksis. Bertolak dari hal ini, maka diduga ada hubungan antara proses kesiapan politik dengan tingkat kekuatan atau penguatan desa adat itu sendiri. Untuk memperkuat hal tersebut maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan uji korelasi Rank Spearman (lihat Tabel 28). Tabel 28 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan politik dan penguatan desa adat Correlations
Spearman's rho
Tingkat Kesiapan Correlation Coefficient Politik
Sig. (2-tailed) N
Penguatan Adat
Desa Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tingkat
Penguatan Desa
Kesiapan Politik
Adat
1.000
.492**
.
.001
45
45
.492**
1.000
.001
.
45
45
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel hasil korelasi di atas menggambarkan bahwa nilai korelasi antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat sebesar 0.492. Berdasarkan ketentuan nilai korelasi dan kategori keterhubungannya yaitu 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09 (hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9 (hubungan mendekati sempurna) maka nilai hasil uji korelasi Rank Spearman 0.492 termasuk memiliki hubungan moderat. Selain itu untuk memperjelas uji hipotesis dalam penelitian ini maka dijabarkan seperti berikut: H1: Terdapat hubungan antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat H0: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat
69
Selain nilai korelasi yang sebesar 0.492 juga diperoleh signifikansi 0.001. nilai signifikansi yang menunjukan 0.001 yang berarti lebih kecil dari nilai yaitu 0.05 maka menginterpretasikan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat. Hal ini juga didukung oleh interpretasi SPSS yang menunjukkan tanda bintang dua atau “**” yang berarti adanya hubungan yang cukup tinggi diantara dua variabel uji. Nilai keterhubungan antara tingkat kesiapan politik dengan pengauatan desa adat apabila dibandingkan dengan keterhubungan tingkat kesiapan sosial dengan pengauatan desa adat maka tergolong lebih rendah. Namun demikian, nilai keduanya tidak terlalu berbeda jauh atau memiliki kecenderungan yang serupa yaitu berhubungan cukup kuat. Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial Politik dan Penguatan Desa Adat Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis penelitian yang ingin melihat bagaimana keterhubungan antara tingat kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat maka dilakukan analisis lebih lanjut. Analisis ini dilakukan dengan mengolah hasil kuesioner responden mengenai tingkat kesiapan sosial politik secara keseluruhan dikorelasikan dengan nilai penguatan desa adat menggunakan instrumen korelasi Rank Spearman. Korelasi sendiri merupakan uji korelasi antara dua variabel yaitu variabel bebas dengan variabel tergantung yang biasa digunakan untuk mengukur hubungan antar-variabel yang diuji tersebut (Wahyono 2009). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tingkat kesiapan sosial politik dalam hal ini didefinisikan sebagai proses yang dialami responden atau kondisi adat yang ada di lingkungan Desa Balla Tumuka. Tingkat kesiapan sosial politik tersebut diduga berhubungan langsung dengan tingkat kekuatan desa adat yang disebut dalam penelitian ini sebagai penguatan desa adat, sehingga relevan dengan dugaan yang mengatakan apabila proses sosial politik yang dialami responden tergolong tinggi ataupun kondisi perangkat adat yang masih secara optimal terlibat dalam keseharian warga sebagai way of life maka penguatan desa adat tersebut semakin kuat. Secara lebih lanjut uji kuantitatif yang melihat keterhubungan diantara dua variabel tersebut disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial politik dan penguatan desa adat Correlations Tingkat kesiapan Penguatan desa sospol Spearman's rho Tingkat kesiapan Correlation Coefficient sospol
adat
1.000
.513**
.
.000
45
45
**
1.000
.000
.
45
45
Sig. (2-tailed) N
Penguatan
adat
desa Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.513
70
Tabel 29 menunjukan bahwa nilai korelasi antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat sebesar 0.513. Berdasarkan ketentuan nilai korelasi dan kategori keterhubungannya yaitu 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09 (hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9 (hubungan mendekati sempurna) maka nilai hasil uji korelasi Rank Spearman 0.513 termasuk memiliki hubungan kuat. Selain itu untuk memperjelas uji hipotesis dalam penelitian ini maka dijabarkan seperti berikut: H1: Terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat H0: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat Selain nilai korelasi yang sebesar 0.513 juga diperoleh signifikansi 0.00. nilai signifikansi yang menunjukan 0.00 yang berarti lebih kecil dari nilai yaitu 0.05 maka menginterpretasikan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat kesiapan politik dengan penguatan desa adat. Hal ini juga didukung oleh interpretasi SPSS yang menunjukkan tanda bintang dua atau “**” yang berarti adanya hubungan yang kuat diantara dua variabel uji. Berdasarkan beberapa analisis dalam bab ini yang melihat keterhubungan antar varibel maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima yaitu terdapat hubungan antar beberapa varibel tersebut.
71
PRASYARAT TRANSFORMASI KE DESA ADAT
Realitas kehidupan bernegara dan bermasyarakat, menuntut pentingnya posisi regulasi. Regulasi yang ada tersebut telah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik yang berlaku. Sama halnya dengan perkembangan regulasi mengenai sistem pengaturan pemerintahan lingkup desa. Pengaturan kesatuan wilayah desa diawali pada masa kolonial, padahal sebelumnya masing-masing wilayah tersebut telah memiliki sistem kearifan lokalnya tersendiri dengan nama kesatuan dan sebutan perangkat pemerintahannya masing-masing. Hal ini kemudian semakin memudar seiring munculnya regulasi yaitu UU No.5 Tahun 1979 yang mengatur desa dengan kecenderungan sentralisasi. Untuk menyempurnakan aturan yang ada sebelumnya maka dibuatlah UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 sebagai upaya untuk memberikan ruang otonomi bagi desa-desa yang ada di Indonesia. Pada perkembangan regulasi hingga saat ini muncullah UU No.6 Tahun 2014 yang mengatur kembali mengenai desa. Selain mengatur tentang desa pada umumnya, dalam undang-undang ini juga terdapat aturan khusus yang menjelaskan mengenai desa adat. Aturan ini sedikit banyak menjadi upaya untuk memperjuangkan pengembalian hak-hak komunitas adat sebagimana tertuang dalam konstitusi negara dan berbagai deklarasi pengakuan hak-hak komunitas adat yang sudah ada sebelumnya. Selain itu hal tersebut dapat menjadi pijakan hukum bagi pemerintah untuk mengakomodir perencanaan pembangunan di wilayah adat sesuai kesepakatan masyarakat lokal. Meski demikian, undangundang desa ini bisa menimbulkan persoalan baru, jika dalam implementasi tak ditunjang regulasi yang baik, dan ketidaksiapan komunitas serta perangkat desa dalam menjalankannya. Untuk itu perlu dianalisis lebih lanjut tingkat kesiapan desa mengenai amanah UU No.6 Tahun 2014 khsusunya perihal aturan desa adat. Untuk itu dalam penelitian ini kasus di Desa Balla Tumuka dapat dijadikan representasi kesiapan komunitas adat dalam menanggapi regulasi baru tersebut. Sebagai salah satu komunitas adat yang ada di Sulawesi Barat, komunitas lokal Desa Balla Tumuka sudah bertahun-tahun hidup berbasis aturan adat dalam berbagai segi kehidupan mereka termasuk aspek sosial politik. Pemerintahan kesatuan wilayah desa mereka pun sebelum zaman kolonial dipimpin oleh Toma’ Tua atau kepala adat, namun demikian seiring perubahan yang terjadi sistem tersebut pun berubah dan pada saat ini sudah seperti desa pada umumnya yang juga dipimpin kepala desa serta memiliki aturan birokrasi formal lain. Berdasarkan hasil penelitian dengan pendekatan langsung, Desa Balla Tumuka mampu dijadikan gambaran sejauhmana kondisi sosial politik komunitas adat untuk dapat memenuhi kriteria dalam aturan UU No.6 Tahun 2014. Secara lebih lanjut analisis kondisi Desa Balla Tumuka berdasarkan interpretasi aturan dan persyaratan pembentukan desa adat sesuai undang-undang disajikan pada Tabel 30.
72 Tabel 30 Analisis kualifikasi persyaratan desa adat Persyaratan Sosial 1. Usia desa minimal 5 tahun
Aturan
Kesesuaian Ya Tidak Pasal 8 ayat 3 √ poin a
2. Jumlah penduduk minimal 2000 jiwa atau 400 KK
Pasal 8 ayat 3 poin b
√
3. Wilayah kerja memiliki akses transportasi antar wilayah 4. Sosial budaya yang menciptakan kerukunan hidup 5. Batas wilayah
Pasal 8 ayat 3 poin c
√
Politik 1. Memiliki potensi SDA, SDM, SDE
Usia Desa Balla Tumuka sudah terbentuk dari masa kolonial meskipun dengan nama kesatuan yang berbeda Jumlah penduduk Desa Balla Tumuka tahun 2014 sebanyak 1439 Akses transportasi sangat sulit dilalui
Pasal 8 ayat 3 poin d
√
Kondisi sosial budaya sangat kental dan menciptakan kerukunan
Pasal 8 ayat 3 poin f
√
Batas wilayah Desa Balla Tumuka sudah tergambar jelas dan dideskripsikan pada bab gambaran lokasi penelitian Sarana prasarana publik di Desa Balla Tumuka masih sangat kurang hal ini juga bisa dilihat dari keberadaan kantor desa yang ala kadarnya Secara teritori, genealogis, dan fungsional keberadaan adat di desa ini masih sangat kental terbukti telah menjadi desa wisata adat
√
6. Sarana prasarana pelayanan Pasal 8 ayat 3 publik poin g
7. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionilnya secara nyata masih hidup baik yang bersifat territorial, genealogis, maupun fungsional 8. Perangkat norma hukum adat
Keterangan
Pasal 97 ayat 1 poin a
√
Pasal 97 ayat 2 poin d
√
Perangkat norma hukum adat masih dilaksanakan secara berkesinambungan dalam keseharian warga
Pasal 8 ayat 3 poin e
√
Potensi SDM, SDA dan SDE cukup banyak apabila dikembangkan dilakukan pembinaan Dana operasional untuk saat ini masih tergantung pada alokasi dana desa Pranata pemerintahan adat masih terlihat jelas dengan keberadaan perangkat misalnya So’bok sebagai penentu kebijakan pertanian
2. Dana operasional
Pasal 8 ayat 3 poin h
3. Pranata Pemerintahan adat
Pasal 97 ayat 2 poin b
√ √
73
Selain rincian yang sudah dijelaskan dalam Tabel 30, secara kualiatif dan observasi lapang nampak beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait penilaian mengenai tingkat kesiapan sosial politik dan respon mengenai pencanangan desa adat. Salah satu yang dapat terlihat dari proses kualitatif adalah respon stakeholder terkait. Respon stakeholder terkait diperoleh dari bagaimana pendapat kepala desa dan Toma’ Tua mengenai pembentukan desa adat dan aturan undangundang desa terbaru. Pada proses ini nyatanya kepala desa sudah sangat terbuka dan menerima perubahan serta isu terkini perkembangan desa dan regulasinya. Hal tersebut tergambar melalui berkas bacaan kepala desa dan file yang dimiliki seperti softfile UU No.6 Tahun 2014 hingga berkas inisiasi pengajuan Desa Balla Tumuka sebagai desa wisata adat. Mengenai aturan dan peluang pembentukan Desa Balla Tumuka sebagai desa adat, kepala desa dan Toma’ Tua memiliki kecenderungan setuju dan berpendapat bahwa desa tersebut cukup memiliki kualifikasi yang sesuai. Hal ini dilihat dari kentalnya pranata hukum adat yang ada di keseharian warga, bahkan kepala desanya sendiri seringkali harus yang berasal dari keturunan adat. Selain itu baik pemerintah desa formal maupun perangkat adat akan selalu berkolaborasi dalam mengatur dan membuat kebijakan di wilayah tersebut. Alasan lain yang mendasari respon stakeholder adalah karena diharapkan pembentukan desa adat mampu menstimulus pembangunan Desa Balla Tumuka yang selama ini selalu tertinggal. Dalam hal ini, pembentukan desa adat yang memberikan ruang dan akses sumberdaya diharapkan akan meningkatkan keersedian sarana prasarana publik hingga transportasi. Selain itu diharapkan mampu memberikan ruang eksistensi adat sebagaimana keberadaan adat pada saat dulu serta mampu mentransformasikan perubahan secara bijak. Namun demikian, menurut salah satu warga ada yang bekerja sebagai aparat pemerintah daerah Kabupaten Mamasa melihat hal ini sebagai hal yang biasa saja, bahkan cenderung tidak setuju. Menurutnya biarlah adat menempati ruangnya sendiri hanya pada aspek-aspek tertentu karena akan cenderung dipaksakan apabila pihak adat yang kurang berkompeten perihal pemerintahan formal harus turut serta. “Menurut saya kalo adat ikut terlibat seperti desa resmi kayaknya susah ya, karena kemampuannya juga tidak bisa dipaksakan, tidak semua bisa paham kerja pemerintahan desa. Jadi biar aja adat dengan urusan tertentu dan pemerintahan desa tetap ada sendiri.” (Bapak C) Perihal perkembangan, pembinaan dan pengawasan Desa Balla Tumuka belum optimal. Hal ini dilihat dari proses pembangunan yang terbilang lambat. Selain itu pembinaan dan pengawasaan hanya sebatas penjagaan wilayah tersebut selaku desa wisata adat yang kaya akan sumberdaya, sehingga pihak internal desa dan eksternal juga cukup aktif meningkatkan perkembangan dan inisiasi yang inovatif. Namun demikian, pemeliharaan sarana prasarana sebagai wisata adat tidak berjalan. Untuk itu, dari berbagai analisis mengenai Desa Balla Tumuka yang berpotensi dijadikan desa adat secara kualifikasi cukup terpenuhi, namun perlu adanya peningkatan. Seperti yang dikatakan sebelumnya dalam penetapan kebijakan ini meskipun melihat suatu wilayah sudah memenuhi kualifikasi namun harus dipastikan pembinaan yang signifikan agar tingkat kesiapannya terpenuhi dan mampu mengimplementasikan amanah UU No.6 Tahun 2014 secara optimal.
74
75
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Kondisi sosial politik di pedesaan merupakan hal menarik seiring munculnya UU No.6 Tahun 2014 yang didalamnya mengandung aturan khusus perihal desa adat. Untuk itu menarik menganalisis kondisi sosial politik desa adat guna melihat sejauh mana kesesuaian undang-undang tersebut dengan realitas di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa aspek-aspek sosial di Desa Balla Tumuka yang kental akan adat tergolong tinggi. Hal ini dilihat dari beberapa indikator seperti tingkat partisipasi dalam jaringan sosial/adat, tingkat kepercayaan antar sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian terhadap sesama serta intensitas keterlibatan dalam organisasi sosial/adat. Pada aspek politik di Desa Balla Tumuka yang dinilai dari struktur adat, aktor adat dan peran pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk pengelolaan sumberdaya hingga bentuk perangkat hukum adat tergolong tinggi. Dengan demikian eksistensi adat dalam keseharian warga baik dalam aspek sosial maupun politik masih dominan. Adapun tingkat kekuatan desa adat yang mengarah pada kekuatan bentuk sistem nilai adat, bentuk struktur sosial, serta sistem pengelolaan sumber daya adat secara keseluruhan pun tergolong kuat. Dari realitas tersebut dapat dijabarkan simpulan dari hasil penelitian yaitu: (1) Hasil studi ini menemukan bahwa Desa Balla Tumuka dengan karakteristik sosial politiknya yang dilihat dari berbagai variabel siap untuk bertransformasi ke desa adat. Kesiapan tersebut tergolong tinggi berdasarkan analisis data primer hasil kuesioner responden yang merepresentasikan populasi keseluruhan yaitu masing-masing kesiapan baik sosial maupun politik mencapai lebih dari 70%. Namun demikian, kesiapan sosial lebih tinggi dibandingkan kesiapan politik karena hal-hal pada aspek politik cenderung lebih eksklusif. Selain itu variabel sensitif pada kesiapan sosial yaitu tingkat ketaatan terhadap norma, yang mana apabila aspek tersebut tinggi maka akan mempengaruhi tingginya implementasi aspek sosial lainnya, begitupun pada aspek politik yaitu aspek kepemimpinan yang perlu disiapkan untuk transformasi desa adat. Dengan demikian, secara keseluruhan Desa Balla Tumuka siap bertranformasi menjadi desa adat karena memiliki kualifikasi yang diharapkan. (2) Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa terdapat hubungan antara kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat. Hubungan ini tergolong kuat dengan hasil kuantitatif uji pada korelasi Rank Spearman. (3) Selain hubungan variabel keseluruhan, juga terdapat hubungan antara variabel kesiapan sosial dan kesiapan politik. Adapun faktor kesiapan dalam keseharian warga di Desa Balla Tumuka dinilai lebih dominan faktor kesiapan sosial dibandingkan dengan faktor kesiapan politik. Hal ini akibat faktor pada aspek sosial dinilai lebih inklusif dalam keseharian warga Desa Balla Tumuka.
76
(4) Selanjutnya temuan pada penelitian hasil uji kuantitatif dan observasi lapang masing-masing kesiapan sosial berhubungan dengan penguatan desa adat, serta kesiapan politik pun berhubungan dengan pengauatan desa adat. Dari hasil ini, relevan apabila dikatakan bahwa proses yang dialami warga dalam aspek sosial politik dinilai sebagai sah satu tingkat kesiapan serta akan berhubungan dengan tingkat kekuatan adat yang ada atau penguatan desa adat.
Saran Dari hasil penelitian ini didapatkan beberapa saran untuk kalangan akademisi, masyarakat hingga pembuat kebijakan yaitu: 1. Saran bagi kalangan akademisi, penelitian mengenai bagaimana kehidupan masyarakat adat pada umumya dikaji dengan pendekatan kualitatif dan berbasis penelitian etnografi sehingga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila ingin melakukan kajian kuantitatif. Hal yang perlu diperhatikan tersebut misalnya penggunaan metode penelitian untuk memilih sampel seringkali terbatas karena kondisi lapang sulit akses dan keterbatasan kemampuan berbahasa Indonesia dari setiap warga adat. Untuk itu perlu pertimbangan mengenai kerangka sampling yang akan dijadikan sasaran. 2. Saran bagi elit desa berwenang seyogyanya keberadaan data sekunder seperti monografi desa, profil desa, desa dalam angka, dan arsip lain menjadi penting dan perlu dipelihara keberadaaannya sebagai dasar data lokasi tersebut baik untuk penelitian ataupun pembangunan. Selain itu bagi masyarakat perlu memfilter perubahan sosial untuk mampu diadaptasikan dengan kondisi lokal sehingga indigenous knowledge yang dimiliki tetap terjaga atau berakulturasi secara bijak. Disisi lain pendidikan internal dilingkungan adat diperlukan untuk mewariskan sistem nilai tersebut dari generasi ke generasi. Begitupun dengan dukungan stakeholder lain yang tidak kalah penting. Keberadaan masyarakat adat akan lebih optimal apabila memperoleh dukungan dan penjagaan dari aktor eksternal. 3. Saran bagi pembuat kebijakan, realisasi UU No.6 Tahun 2014 sejogyanya perlu disinkronkan bagaimana kesesuaian aturan tersebut dengan kondisi di lapang mengingat pentingnya transformasi desa menjadi desa adat. Transformasi tersebut menjadi penting sebagai upaya pengakuan otonomi desa adat. Dengan transformasi tersebut diharapkan keberadaan komunitas adat tidak lagi terlupakan dinamika struktural baik dalam aspek sosial maupun politik. Kesatuan wilayah desa yang memiliki tingkat kesiapan cukup tinggi untuk memenuhi persyaratan yang ada dapat bertranformasi menjadi desa adat, namun begitupun sebaliknya apabila dinilai belum siap maka seyogyanya harus mengalami proses persiapan atau tetap pada kondisi sebelumnya. Bagi wilayah yang memiliki kualifikasi memenuhi pun masih harus mendapatkan pembinaan dan pengawasan sehingga tercapai misi pembangunan yang optimal. Dengan demikian proses penguatan sosial politik masyarakat adat ataupun aspek lain yang menjadi aspek terkait dalam undang-undang menjadi penting untuk digencarkan agar mencapai kesiapan yang mumpuni.
77
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas]. 2012. Peran masyarakat adat dalam perumusan kebijakan publik. Jakarta [ID]: Direktorat Politik dan Komunikasi Kementrian PPN. [PP] Peraturan Pemerintah. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014. [Internet]. [Diunduh 3 Juni 2014]. [UU] Undang-Undang. 2014. UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. [Internet]. [Diunduh 3 Juni 2014]. Adiwibowo S, Sjaf S, Intan E. 2014. Kajian kebijakan reforma agraria untuk penguatan kapasitas masyarakat dalam rangka kemandirian pangan dan pengentasan kemiskinan Kabupaten Mamasa. Bogor [ID]: LPPM IPB. Afif P. 2012. Penguatan modal sosial untuk pemberdayaan masyarakat dalam pembanguanan pedesaan (kelompok tani Kecamatan Rambatan).. Padang [ID]:Politeknik Negeri Padang. Polibisnis [Internet]. [Diunduh pada 15 Maret 2014]. 4-1-4-2012. Al Rasyid M. Harun. 2005. Peran civil society dalam otonomi daerah. Jurnal Madani Edisi I/ hal 84-91 Mei 2005. Bekasi [ID]: Universitas Islam Bekasi. Astuti NB. 2009. Transformasi dari desa kembali ke nagari: studi kasus di kenagarian IV Koto Palembayan Sumatera Barat. Bogor [ID]. [thesis]. [Internet]. [Diunduh 16 Maret 2014]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id Budiardjo M. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama. Dharmawan AH, Tonny F. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor [ID]: PSP3 IPB. Horton Paul B, Hunt CL. 1999. Sosiology. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Ram A, Sobari T). Jakarta [ID]: Erlangga. Nurbaya S, Moerdiyanto. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan berwirausaha siswa kelas xii SMKN 1 Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan selatan. Yogyakarta [ID]: UNY. [Internet][Diunduh pada 17 Maret 2014]. Primadona. 2012. Penguatan modal sosial untuk pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan pedesaan (Kelompok Tani Kecamatan Rambatan). Padang [ID]: Politeknik Negeri Padang. Polibisnis [Internet]. [Diunduh pada 17 Maret 2014]. 4-1 ISSN 1858-3717 hal 12-23. Singarimbun M, Effendi S.1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: LP3ES. Sewelete JD.2005. Peran tokoh adat dalam perubahan struktur pemerintahan desa. Bogor [ID]. [thesis]. [Internet]. [Diunduh 16 Maret 2014]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada http://repository.ipb.ac.id Soekanto S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. Sudibyo A. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hanah Arendt. Tangerang [ID]: Marjin Kiri.
78
Sjaf S. 2014. Penyusunan perencanaan pengembangan ekonomi masyarakat Kabupaten Mamasa. Bogor [ID]: PSP3 IPB. Sumarti T, Kolopaking LM, Nasdian FT, Sitorus MTF, Dharmawan AH, Nawireja IK. 2003. Sosiologi Umum. Bogor [ID]: IPB. Wahyono T. 2009. 25 Model Analisis Statistik dengan SPSS 17. Jakarta [ID]: Elex Media Komputindo.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Komparasi substansi UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, dan UU No.32 Tahun 2004 Substansi UU No.5 Tahun 1979 UU No.22 Tahun 1999 UU No.32 Tahun 2004 Nama dan Disebut UU tentang Disebut UU tentang Disebut UU tentang asas pokok-pokok pemerintahan daerah, pemerintahan daerah, pemerintahan desa, asas desentralisasi, asas desentralisasi, asas desentralisasi dekosentrasi dan tugas dekosentrasi dan dan tugas perbantuan perbantuan yang tugas perbantuan yang dalam mengarah pada prinsip yang kental dengan praktiknya lebih devolusi. nuansa delegasi. cenderung pada tugas perbantuan. Batasan Desa adalah sistem Desa menjadi kesatuan Desa adalah sistem “desa” pemerintahan terkecil wilayah dan sistem pemerintahan yang nama dan pemerintahan terkecil terkecil yang bentuk yang diberikan diberikan kelembagaannya kewenangan mengatur kewenangan diseragamkan untuk dan mengurus diri mengatur sebagian seluruh Indonesia. sendiri. menghargai urusan pemerintahan. Dengan realitas dan hak asal Meningkatnya peran penyeragaman usul desa. Berpotensi dan intervensi negara diharapkan dapat memicu ketegangan dalam urusan desa mempermudah hubungan kades dan dan muncul praktik koordinasi BPD. Perencanaan dan resentralisasi. pemerintahan pelaksanaan Realitas keragaman kenyataannya, pembangunan dapat masih dihargai. penyeragaman tersendat. Hubungan Kades dan mematikan kekhasan Bamusdes sifat komunitas di diharapkan lebih baik Indonesia dan sehingga meafikan hak asal perencanaan dan usul masyarakat adat pelaksanaan pembangunan berjalan lancar. Fungsi Lembaga Badan Perwakilan Badan lembaga Musyawarah Desa Desa (BPD) dipilih permusyawaratan perwakilan (LMD) sebagai mitra langsung oleh rakyat. Desa (Bamusdes) desa Kepala Desa (Kades). Kades bertanggung dibentuk dari hasil Kades tidak jawab kepada BPD. musyawarah desa. bertanggung jawab Kades tidak kepada LMD. bertanggung jawab kepada Bamusdes.
80 Demokrasi dan tata pemerintaha n
Desa menjadi daerah yang sangat tergantung pada negara/kabupaten dalam menjalankan tata pemerintahannya. Manfikan pluralisme budaya dan heterogenitas sistem pemerintahan lokal. Kepala desa berhak mengatur desa tanpa melibatkan masyarakat. LMD dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Desa dalam kebijakan publik. Batas administratif ditentukan dari atas tanpa mempertimbangkan pola awal.
Muncul ruang demokrasi dalam proses pertanggungjawaban Kepala Desa kepada BPD. BPD merupakan representasi rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam mengambil kebijakan publik Kepala Desa berkonsultasi kepada BPD.
Menunjukkan bahwa pemerintahan desa adalah perwakilan negara/kabupaten. Selain sebagai pemerintahan yang otonom Bamusdes adalah representasi keterwakilan golongan di masyarakat. Dalam mengambil kebijakan publik Kepala Desa berkonsultasi dengan Bamusdes namun tidak bertanggungjawab kepada Bamusdes.
Pola administrasi desa banak diwarnai ide dan semangat lokalitas. Kondisi politik lokal sangat mempengaruhi kelancaran administrasi dan pelayanan.
Kelembagaa n
Lembaga legislatif (LMD) dan lembaga eksekutif (Kades) berada disatu tangan sehingga menutup ruang kontrol. Kades sekaligus sebagai ketua LMD.
Keuangan desa
Desa tergantung pada kabupaten/kota desa hanya menjadi sumber keuangan, namun keputusan penggunaan tetap berada di kabupaten.
Desa memiliki lembaga pengawasan dan kontrol yaitu BPD yang dipilih dari penduduk desa. Pembentukan lembaga lain lebih aspiratif karena merujuk pada perdesa (pasal 106). Ekses konflik perseorangan menjadi konflik lembaga. Program desa dapat terhambat. Desa mengatur keuangan melalui APBDes. Rujukan pendirian badan usaha mempersempit ruang inisiatif desa.
Upaya standarisasi (resentralisasi) administrasi desa. Mengurangi pengaruh politik lokal dalam administrasi dan pelayanan. Prakarsa pengaturan kelembagaan desa berada ditangan kabupaten. Melemahkan peran masyarakat sipil, rawan menipulasi dan kepentingan elit desa. Melemahnya peran lembaga legislatif desa. Program desa lebih terjamin keberlangsungannya. Mengindikasikan desa peran desa hanya terbatas pada sumber pungutan untuk kepentingan kabupaten.
Administrasi
81 Prinsip pembiayaan/ anggaran desa
Fungsi mengikuti anggaran (Function follows finance). Pembangunan desa tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom dan INPRES dari pusat.
Anggaran mengikuti anggaran (finance follows function). Besarnya pembiayaan pembangunan desa sesuai dengan fungsi perencanaan yang telah ditetapkan desa dengan persetujuan BPD.
Kedudukan dan kewenangan Kepala Desa
Hak kewenangan dan kewajiban kepala desa diatur dari atas, sehingga kepala desa kehilangan otonominya. Hak untuk mengatur dan mengurus pemerintahan desa menjadi kewenangan pemerintah diatasnya.
Peran kabupaten hanya berfungsi menerima laporan, kepala desa memainkan peran yang besar untuk mengatur kehidupan warganya sekaligus mempertanggungjawab kan melalui BPD (Pasal 99-103)
Hubungan Sergam-sentralisasi. dengan supra Pemerintahan desa kabupaten/ kota memiliki kekuasaan yang besar untuk mendelegasikan tanpa berunding dengan orang desa. Kerjasama desa
Pengaturan hubungan desa-supra desa memberikan kekuasaan tertinggi kepada kabupaten/kota. Kabupaten sebagai lembaga yang menerima laporan kepala desa. Desa tidak dapat Kerjasama dibangun memutuskan dengan dengan lebih fleksibel siapa akan tanpa harus memalaui membangun kabupaten. kerjasama.
Penghargaan Otonomi desa hampir terhadap tidak ada. Peran otonomi desa Kepala Desa sangat dominan da berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan supra desa.
Pertumbuhan demokrasi dan penghargaan terhadap otonomi desa mulai diakui (pengakuan hak asal-usul desa, BPD, desa berhak menolak intervensi supra desa).
Anggaran mengikuti fungsi (finance follows function). Besarnya pembiayaan pembangunan desa sesuai dengan fungsi perencanaan yang telah ditetapkan desa dengan konsultasi Bamusdes. Desa ditempatkan sebagai domain politik dan kekuasaan kabupaten. Kewenangan desa masih abstrak, memberikan cek kosong kepada kabupaten untuk mengatur desa sesukanya. Kabupaten memainkan peran yang menguat terhadap pemerintahan desa.
Prakarsa dalam kerjasam dengan pihak ketiga mendapat kontrol (dikendalikan) oleh supra lokal (pasal 214) Desa menjadi subordinat kabupaten. Tidak ada kejelasan pembagian dan pemisahan kekuasaan.
82 Civil society
Kesadaran politik masyarakat desa ditekan. Desa menjadi arena deideologisasi melalui kooptasi partai Golkar.
Pembanguna Pembangunan n dan ekonomi dirumuskan investasi para teknorat dan birokrasi pusat. Keputusan pembangunan dan investasi ada ditangan kepala desa sebagai legislatif sekaligus eksekutif.
Secara umum substansi UU ini memberikan penghargaan terhadap perkembangan civil society di desa.
Pembangunan investasi ke ditentukan kabupaten.
UU ini tidak membahas secara spesifik civil society didesa selain lembaga-lembaga yang berhubungan dengan negara. dan Kebijakan desa pembangunan oleh bersifat state oriented dibandingkan society oriented.
83 Lampiran 2 Jadwal penelitian skripsi Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Penjajagan lapang Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penyusunan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Juni Juli September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
84 Lampiran 3 Sketsa lokasi penelitian
85
Lampiran 4 Daftar responden No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Datuh Tamo' Sambotasi Katanan Alex Cornelius Pallalunan Daniel D Arniati Marten Limbong Gayang Henrika Luter Adolvina Tasik Adelia Dwi S Natalia Aruanbalanda Demmarua Pampang Karaeng Damin Demianus Minanga Tikumangembah Dematara Lanto Tuboyong Renden Arumbamba Bunggawarane Moron Pualilin Ludia Serlin Yohana Leonard Oktavianus Marianus Herman Demianus Bongka Demanggena
Alamat Balla Peu' Balla Peu' Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu' Balla Peu‟ Balla Peu‟ Balla Peu‟ Gallang Rapa' Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Gallang Rapa' Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Gallang Rapa‟ Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Rante Masanda Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko
86 40 41 42 43 44 45
Leonard Yulianus Agustinus Dedemakanan Tanjoga Demmanamba
Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Bamba Pongko Rante Puang
87 Lampiran 5 Dokumentasi
FGD bersama masyarakat
Sumber daya lahan Desa Balla Tumuka
Kerbau “Dotti”
Proses kerjasama diantara masyarakat
Masyarakat dan peneliti
Proses wawancara kuesioner
Desa Balla Tumuka tampak atas
Rumah Adat Mamasa
88 RIWAYAT HIDUP Tri Sintya dilahirkan di Cirebon pada tanggal 01 Juli 1993 dari pasangan Rosiah dan Supardi. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah di SDN 1 Pamijahan, SMPN 1 Plumbon dan SMAN 1 Sumber tahun 2008-2011. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat sekaligus sebagai penerima Beasiswa Bidik Misi. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai anggota OMDA IKC sebagai anggota Divisi HRD tahun 2012, anggota Departemen Kominforel BEM FEMA masa kepengurusan 2012-2013, anggota Majalah Komunitas FEMA masa kepengurusan 2012-2013 serta FORSIA FEMA Divisi Kominforel dengan masa kepengurusan tahun 2013-2014. Pengalaman dan prestasi yang pernah diraih diantaranya sebagai Asisten Praktikum Sosiologi Umum tahun 2013 – 2014 dan Asisten Praktikum Ilmu Penyuluhan 2014. Penulis pernah menjadi asisten riset dalam proyek PI 8 IPB di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat terkait pembangunan pertanian, kajian agraria dan ketahanan pangan tahun 2014. Selain itu ia juga pernah menjadi Presentator in International Conference and Regional Conference Semarang Indonesia tahun 2013 dan menerima Invitation Presentator Paper in 2nd International Conference on Economic and Social Sciene di Thailand juga Invitation in Paper Conference AICS Taiwan Tahun 2013. Selain itu penulis pernah menjadi Kontributor Penulis Buku 68 Surat Cinta Untuk Indonesia, Juara 1 Lomba menulis Cerpen „Impian Terbaikmu‟ Public Speaking University, Finalis Lomba Essai Nasional STAIN Purwokerto, Finalis Lomba Essai FISIP UNY, Finalis ASIA (All Enterpreneurship In Action) TPB IPB serta Juara 1 Lomba essai pertanian IGTS.