VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN PERKOTAAN INDONESIA DALAM PENGUKURAN PDRB HIJAU: STUDI KASUS PADA KOTA BOGOR Yuhdia Mulya1), Inna Sri Supina Adi2), Srie Sudarjati Supani3) 1 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan email:
[email protected] 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan email:
[email protected] 3 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan email:
[email protected]
Abstract Economic activities not only has increased regional income,but also have impacted to reduce natural resources and sustainable environment. The environmental impact from economic activities does not reflect in conventional Gross Domestic Regional Product (GDRP) as the indicator of increasing economic welfare. Increasing welfare paradigm has moved from economic perspectiveto include environment issues.This research is aimed to measure green GDRP in Bogor city. Water use as the identified natural resource that has been calculated in measuring depletion and economic loss of the current state of land crisis as the measure of degradation was conducted in this study. The resulting green GDRP in Bogor city was 2,15% lower than the conventional GDRP. Keywords: depletion, water valuation, degradation, green GDP 1. PENDAHULUAN Secara demografis, kota merupakan suatu tempat pemusatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan wilayah sekitar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PBB (2014, 7), 54% dari populasi dunia merupakan penduduk kota di tahun 2014. Dengan berkembangnya arus urbanisasi, tantangan pembangunan yang berkelanjutan akan semakin terkonsentrasi pada wilayah perkotaan. Implikasi dari arus urbanisasi terhadap kebijakan pemerintahan adalah pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang memastikan manfaat dari pertumbuhan kota dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Urbanisasi yang berkelanjutan membutuhkan kota yang dapat menghasilkan penghasilan dan peluang kerja lebih baik, mengembangkan kebutuhan infrastruktur untuk air dan sanitasi, energi, transportasi, informasi dan komunikasi, kesamaan akses terhadap jasa-jasa, mengurangi jumlah penduduk yang tinggal di wilayah kumuh, dan melindungi aset-aset alam di wilayah kota dan sekitarnya (UN, 2014). Keberadaan kota sebagai pusat pertumbuhan memberikan dampak positif dan negatif. Implikasi positif dari pertumbuhan kota mencakup peningkatan produksi
ekonomi, peningkatan peluang kerja, kehidupan yang lebih baik karena peluang, jasa, dan gaya hidup yang lebih baik, jasa publik yang lebih baik (seperti transportasi, air), dan fasilitas khusus yang lebih baik (seperti pendidikan, kesehatan). Dampak negatif dari pertumbuhan kota adalah peningkatan biaya infrastruktur dan fasilitas umum, inefisiensi energi, kesenjangan kesejahteraan, dampak terhadap habitat flora dan fauna serta ekosistem, hilangnya lahan pertanian, peningkatan suhu udara, rendahnya kualitas udara, dampak terhadap kualitas dan kuantitas air, dampak terhadap kesehatan umum dan sosial, dan dampak estetika (Bhatta, 2010). Undang Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran potensi dan basis ekonomi wilayah sebagai dasar perencanaan yang selama ini didasarkan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), belum memenuhi amanat ini. PDRB konvensional belum
menyertakan faktor lingkungan hidup dalam perhitungannya. Hal ini dapat berimplikasi pada hasil pengukuran yang dapat menyebabkan misleading dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah. Sebagai green city, Kota Bogor perlu mengantisipasi hal ini dengan menerapkan PDRB Hijau sebagai dasar pengukuran perekonomiannya. Penggunaan PDRB Hijau diwajibkan oleh Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan instrumen ekonomi sebagai alat pengelolaan lingkungan hidup. Merujuk pada UU tersebut, sebagaimana disampaikan pada pasal 42 dan 43 ayat (1b) bahwa produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan instrumen ekonomi mengikat para pihak terkait untuk dilaksanakan. PDB/PDRB Hijau merupakan kelanjutan perhitungan PDB/PDRB dengan memasukkan nilai perubahan cadangan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup. PDB/PDRB Hijau ini sendiri wajib digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk: a. memberikan arah perencanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. b. memberikan gambaran yang lebih tepat terhadap hasil pembangunan c. mengukur kinerja pembangunan berdasarkan pertimbangan lingkungan hidup. d. pengambilan keputusan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan mencermati uraian pada latar belakang di atas perumusan dari permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana potensi ekonomi Kota Bogor dalam perspektif hijau. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi potensi ekonomi Kota Bogor melalui perspektif hijau, sehingga pembangunan dan pengembangan wilayah dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. Untuk tujuan tersebut, rencana pemecahan masalahyang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. menyusun dan mengaplikasikan instrumen pengukur nilai penyusutan sumberdaya
alam dan lingkungan yang tepat bagi wilayah perkotaan 2. mengaplikasikan instrumen tersebut untuk merevisi PDRB konvensional menjadi PDRB hijau 3. melakukan analisis kesenjangan antara PDRB eksisting (konvensional) dengan PDRB Hijau. 4. mengidentifikasi potensi wilayah Kota Bogor berdasarkan perspektif hijau. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1.Konsep Basis Ekonomi Salah satu tujuan dari kebijaksanaan pembangunan adalah mengurangi perbedaan tingkat perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.Konsep pembangunan tersebut seringkali disebut dengan konsep pembangunan regional atau wilayah.Dalam pembangunan regional tersebut dikenal berbagai teknik analisis yang dapat menentukan pilihan terhadap kegiatankegiatan ekonomi yang menjadi prioritas pembangunan.Salah satu model perencanaan demikian dikenal dengan istilah Model Perencanaan Economic Base. Landasan utama dari Model Perencanaan Sektoral Basis Ekonomi (Economic Base Model) merupakan konsep yang mengandalkan pada kriteria multiplier setiap kegiatan ekonomi tertentu yang pada gilirannya akan mempunyai dampak pertumbuhan ekonomi, seperti pendapatan maupun ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pendapatan regional atau wilayah akan meningkat dengan suatu tingkat multiplier tertentu, yang tergantung pada tingkat respending (pengeluaran kembali) pada wilayah yang bersangkutan. Dalam model ini kita melihat bahwa sektor perekonomian terbagi atas dua sektor, yaitu : (1) Sektor Basis dan (2) Sektor Bukan Basis (non-Basic Sector). Sektor Non Basis terutama berfungsi di dalam pelayanan di dalam wilayah yang bersangkutan, sedangkan Sektor Basis terutama berorientasi kepada ekspor atau di luar wilayah yang bersangkutan, walaupunn Sektor basis tersebut pada dasarnya memproduksi barang dan jasa di dalam perekonomian untuk keperluan wilayah maupun luar wilayah.
Dengan demikian sektor tersebut mendatangkan arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan. Peningkatan pendapatan wilayah pada gilirannya akan meningkatkan pula tingkat konsumsi wilayah maupun tingkat investasi wilayah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan wilayah dan kesempatan kerja. Dalam pemahaman teori tersebut dapat dikatakan bahwa ekspor merupakan variabel utama yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kenaikan pendapatan yang diperoleh wilayah yang bersangkutan tidak hanya akan meningkatkan permintaan terhadap sektor basis semata-mata, akan tetapi juga akan meningkatkan permintaan hasil industri sektor bukan basis, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula investasi di sektor bukan basis tersebut. Dengan perkataan lain, penanaman modal di sektor lokal atau wilayah akan merupakan investasi yang di incuded sebagai akibat dari kenaikan pendapatan di sektor basis. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka landasan dari teori ini adalah bahwa sektor basis merupakan prioritas pengembangan dalam suatu wilayah. Walaupun model ini merupakan penyederhanaan dari Model Input-Output, akan tetapi bagi wilayah-wilayah tertentu, terutama wilayah yang relatif kecil, model ini baik sekali untuk digunakan mengingat dasardasar yang praktis. Sangat sukar mengaplikasikan Input-Output untuk sesuatu wilayah yang sangat kecil, seperti misalnya wilayah perdesaan dan/atau kecamatan.Dalam keadaan demikian, maka penggunaan model ini dirasakan lebih bermanfaat. Mengingat bahwa landasan utama pada model Economic Base ini adalah persoalan multiplier (dampak pengganda) dan pengklasifikasian sektor (apakah tergolong sektor basis atau sebaliknya), maka sebelum didiskusikan modelnya sendiri, maka lebih dahulu ingin diuraikan tentang persoalan multiplier dan berikutnya adalah klasifikasi sektoralnya. Analisis pengklasifikasian sektor tersebut dikenal dengan istilah analisis Location Quotient. 2.2. Konsep PDB/PDRB Hijau
Produk Domestik Bruto Hijau adalah sebuah ukuran dari nilai alam selain barang dan jasa yang telah terukur dalam PDB. Para ahli ekonomi meyakini bahwa efek dari konsumsi saat ini terhadap konsumsi di masa mendatang harus tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi saat ini tidak bisa dipandang sebagai memberikan manfaat secara sosial jika mengarah pada penurunan konsumsi di masa mendatang. Sayangnya, para ahli ekonomi tidak memiliki kemampuan besar dalam membuat prediksi tersebut dalam konteks ekologis. Jika PDB Hijau harus menginternalisasikan penyesuaian terhadap deplesi sumberdaya alam, maka diperlukan ahli biofisik yang memiliki kemampuan dalam melakukan penyesuaian tersebut (Boyd, 2006). Konsep PDB Hijau di China (Zheng dan Chen, 2006), PDB Hijau didefinisikan sebagai sebuah indeks akuntansi agregat yang mengukur kesejahteraan domestik riil, yang merupakan PDB konvensional dikurangi dengan kerugian sumberdaya alam. Dalam prakteknya, metode pengukuran PDB Hijau biasanya mencakup lima biaya konsumsi sumberdaya alam, yaitu lahan pertanian, sumber daya mineral, hutan, air dan sumberdaya ikan, dan dua biaya deplesi lingkungan yaitu polusi lingkungan dan degradasi ekologi (SEPA news release, 2006 dalam Zheng dan Chen, 2006). Dalam “China Green National Accounting Study Report 2004”, index PDB Hijau menggunakan persamaan sebagai berikut: PDB Hijau = PDB – biaya konsumsi sumberdaya alam – biaya deplesi lingkungan Menurut Suparmoko (2006), PDRB Hijau adalah PDRB yang memasukkan unsur deplisi dan degradasi sumber daya alam serta lingkungan. Secara matematis, dapat diekspresikan sebagai berikut: PDRB Hijau = PDRB konvensional – Nilai deplisi sdal - biaya pengurangan polusi Pemasukan unsur deplesi dan degradasi lingkungan ke dalam perhitungan PDRB sebagai langkah yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan dari PDRB Konvensional. Dalam Suparmoko (296, 2012)
disebutkan bahwa perekonomian di samping menghasilkan barang dan jasa juga menghasilkan polusi dan kerusakan. Hasil pengambilan sumber daya alam untuk kegiatan usaha hanya memperlihatkan nilai positif dalam neraca produksi nasional, namun tidak menunjukkan nilai penyusutan cadangan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. 2.2.1. Tahapan Perhitungan PDRB Hijau Langkah perhitungan yang digunakan dalam memperoleh PDRB Hijau adalah sebagai berikut: (1) Perhitungan PDRB Semi Hijau PDRB Semi Hijau didapat dengan mengurangkan nilai deplesi sumber daya alam dari nilai PDRB Konvensional (atau PDRB Coklat). Nilai deplesi diperoleh dengan mengalikan volume pengambilan masing-masing jenis sumberdaya alam dengan unit rent atau unit price. D=QxU Dimana: D = nilai deplesi Q = volume sumber daya alam yang diambil U = unit rent Cara menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan biaya pengambilan per unit dari harga sumber daya alam termasuk nilai laba per unit (balas jasa pengeluaran investasi) yang layak diterima oleh investor. Adapun nilai laba yang layak adalah sama dengan tingkat bunga pinjaman di bank sebagai biaya alternatif dari modal yang ditanam untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah yang bersangkutan. Berikut cara perhitungan unit rent. (2) Penghitungan PDRB Hijau Untuk memperoleh nilai PDRB Hijau, nilai kerusakan atau degradasi lingkungan dikurangkan terhadap nilai PDRB Semi Hijau, sehingga diperole nilai PDRB Hijau.Penghitungan degradasi lingkungan lebih kompleks karena perlu menggunakan berbagai perkiraan sesuai dengan jenis sumber daya alam dan lingkungan yang terdegradasi. Langkah perhitungan dalam menilai degradasi lingkungan adalah sebagai berikut (Ratnaningsih, 16-17, 2012): (1) Identifikasi lingkungan yang terdegradasi (2) Kuantifikasi fisik degradasi lingkungan
(3) Valuasi ekonomi terhadap degradasi lingkungan 2.2.2. Pengalaman Pengukuran PDB/PDRB Hijau Penyesuaian perhitungan PDB di negara China dilakukan pada tahun 2004 yang diinisiasi oleh State Environmental Protection Administration (SEPA) dan National Bureau of Statistics (NBS). Temuan utama dan hasil perhitungan PDB Hijau di negara China adalah PDB negara China mengalami penyusutan 1,8% dari PDB konvensional setelah dilakukan penyesuaian terhadap biaya penurunan emisi carbon. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh polusi lingkungan dalam skala nasional mencapai 3,05% dari PDB China tahun 2004 (Chinese Academy for Environmental Planning, 2010). Penerapan PDRB Hijau di Provinsi Bali tahun 2010 menghasilkan bahwa hasil perhitungan PDRB Hijau menurun sekitar 4,5% dari PDRB konvensional (Suparmoko, 2013). Dalam penelitian Setyarko (2013), PDRB Semi Hijau pada Kabupaten Asmat Povinsi Papua Barat menunjukkan bahwa kegiatan deplesi alam berkisar 0,68% - 0,93% dari nilai PDRB dalam periode 2007-2009, kecuali pada tahun 2009 mencapai 4,95%. Hasil uji coba perhitungan PDRB Hijau di Kabupaten Karawang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004) diperoleh hasil bahwa nilai PDRB Hijau Kabupaten Karawang menusut sebesar 8,23% dari PDRB Konvensional. 3. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian pada tahun pertama kegiatan adalah Kota Bogor. Pelaksanaan penelitian menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: (a) studi dokumen yang mencakup inventarisasi seluruh dokumen dan data perekonomian Kota Bogor, dan tulisan, jurnal, teori, hingga berbagai jenis peraturan perundang-undangan terkait, dan (b) survey lapangan yang dilakukan dalam rangka memperoleh informasi mengenai volume sumber daya alam yang digunakan dalam kegiatan usaha dari sektor-sektor usaha yang menjadi basis perekonomian Kota Bogor. Sementara,perolehan data dari sektor-sektor non basis diperoleh dari data sekunder yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statsitik,
maupun wawancara dengan instansi-instansi pemerintah daerah terkait di Kota Bogor. Responden survey pada penelitian ini adalah para pelaku usaha dan instansi pemerintah bidang lingkungan hidup. Metode analisis data yang akan diterapkan terdiri dari; (1) analisis terhadap PDRB konvensional dengan menggunakan alat analisis LQ dan Shiftshare untuk memperoleh gambaran umum mengenai kondisi perekonomian wilayah perkotaan; dan (2) perhitungan PDRB Hijau. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sektor Basis Perekonomian Kota Bogor Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Kota Bogor merupakan potret keadaan perekonomian yang memberikan gambaran situasi serta merupakan alat untuk mengkaji dan mengevaluasi perekonomian Kota Bogor. Untuk kepentingan analisis dalam melihat pertumbuhan dan perbandingan antar Sektor, akan dibahas Laju Pertumbuhan PDRB dari berbagai Sektor serta kontribusinya dalam perekonomian Kota Bogor sampai tahun 2010. Tabel 1: Location Quotient Kota Bogor Tahun 2011-2012 SEKTOR LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa
LQ 2011 2012 0,01 0,01 0,00 0,00 0,69 0,75 0,73 0,78 1,42 1,15 1,65 1,48 2,19 1,89 3,62 3,42 0,43 0,38
Angka Location Quotient yang menunjukkan lebih dari 1 pada tahun 2012 di Kota Bogor terdapat pada sektor konstruksi, perdagangan hotel dan restoran, angkutan umum dan komunikasi, keuangan, real estat dan jasa perusaaan. Sementara pada dua tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, sektor basis Kota Bogor masih memiliki kesamaan dengan struktur perekonomian di tahun 2012 yang terdiri dari Konstruksi, Perdagangan Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, keuangan, real estat dan jasa perusahaan. Tidak ada perubahan posisi sektor basis di kota Bogor. Namun demikian, terjadi
penurunan di semua sektor basis dari kondisi tahun 2010. Perubahan posisi LQ PDRB biasanya terjadi karena perubahan investasi. Sedangkan pergeseran sektoral diindikasikan dari kenaikan LQ di sektor industri pengolahan dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Analisis shift share menunjukkan daya saing sektor perekonomian Kota Bogor, diperbandingkan dengan kota/kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat. Hasil shift share (nilai G+M+S) menunjukkan hampir di semua sector, kecuali sektor Pertambangan, memiliki nilai positif, yang berarti semua sektor maju lebih cepat dari kota/kabupaten lain di Jawa Barat. Nilai shift share terbesar terdapat pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai sebesar 1.128.787,77. Perubahan terbesar berikutnya yang menunjukkan kenaikan adalah pada Industri Pengolahan dan Perdagangan, diikuti oleh Sektor Angkutan dan Komunikasi, Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan, Konstruksi, Listrik, Gas dan Air Bersih, Pertanian, dan Jasa-jasa. Sementara satu sektor lainnya tidak mengalami perubahan yang significant. Dari segi angka proportional share (M) menunjukkan bahwa spesialisasi dalam sektor pada tingkat provinsi tumbuh cepat berada pada sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, Keuangan, real estate dan jasa perusahaan. Namun demikian, dari segi daya saing, sektor-sektor tersebut tidak memiliki daya saing yang ditunjukkan dengan nilai differential shift (S) negatif. Berarti, pada sektor Perdagangan Hotel dan Restoran misalnya, yang merupakan leading sector dengan tingkat pertumbuhan lebih cepat dari tingkat pertumbuhan provinsi Jawa Barat, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kota Bogor masih tertinggal daya saingnya dari Kabupaten/Kota lain di Provinsi Jawa Barat. Daya saing yang dimiliki Kota Bogor berada pada sektor Pertanian, Industri Pengolahan, dan Listrik, Gas dan Air Bersih. Namun tingkat pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki daya saing lebih tinggi tersebut berjalan lebih lambat dibandingkan kota/kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat. Hal ini ditunjukkan oleh nilai-nilai negative pada angka proporsional share (M) di sektorsektor berdaya saing tersebut. Hasil
perhitungan shift share disajikan pada tabel berikut. Tabel 2:Hasil Shift Share Analysis Kota Bogor
4) Kuadran Mixed Losers: sektor Keuangan, real estat dan jasa perusahaan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Jasa-jasa, Angkutan dan Komunikasi, serta Konstruksi merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dalam perekonomian Kota Bogor, namun kurang memiliki daya saing dibandingkan wilayah-wilayah lain di Provinsi Jawa Barat. 4.2. Perhitungan PDRB Hijau Kota Bogor 4.2.1.Penghitungan Volume Sumber Daya Air yang Terdeplesi di Kota Bogor
Sumber: PDRB Kota Bogor, 2013 diolah
4.2.1.1. Sektor Pertanian Pemetaan terhadap posisi kinerja masingmasing sektor di Kota Bogor berdasarkan parameter proportional share (M) dan differential share (S) adalah sebagai berikut
Penggunaan air pada sektor pertanian dirinci berdasarkan ketersediaan data standar penggunaan air dari SNI 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan Neraca Sumber Daya – Bagian 1: Sumber daya air spasial. Berdasarkan data tersebut, penggunaan air yang dapat dihitung adalah pada sub sektor Tanaman Bahan Makanan, Peternakan, dan Perikanan. a) Tanaman Bahan Makanan
Gambar 1: Grafik Shift Share Kota Bogor
Berdasarkan hasil analisis kombinasi proportional share dan differential shift, pemetaan sektor-sektor perekonomian pada Kota Bogor adalah sebagai berikut: 1) Kuadran Winner: tidak terdapat sektor memiliki pertumbuhan yang cepat dalam perekonomian Kota Bogor dan memiliki daya saing lebih baik dibandingkan wilayahwilayah lainnya provinsi Jawa Barat. 2) Kuadran Mixed Winner: sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, Industri Pengolahan, dan Listrik, Gas & Air Minum merupakan sektor yang hanya dapat ditingkatkan perannya dalam lingkup Kota Bogor. 3) Kuadran Losers: sektor Pertambangan tidak memliki peran dalam memajukan perekonomian Kota Bogor maupun Provinsi Jawa Barat.
Nilai deplesi air pada sub sektor Tanaman Bahan Makanan menggunakan dasar perhitungan SNI 19-6728.1-2002 bahwa standar kebutuhan air rata-rata adalah 1 liter/detik/Ha baik untuk irigasi teknis, semi teknis, maupun irigasi sederhana. Jumlah hari yang diperlukan untuk menanam padi adalah 120 hari. Sehingga, total volume penggunaan air untuk tanaman bahan makanan adalah 7.693.056.000 liter per tahun. b) Peternakan Volume penggunaan air pada sub sektor peternakan dihitung berdasarkan jumlah jenis ternak dikalikan dengan standar kebutuhan air untuk masing-masing jenis ternak. Standar kebutuhan air untuk hewan ternak menggunakan acuan dari SNI 19-6728.12002. Hasil yang diperoleh terkait dengan volume penggunaan air peternakan sebesar 120.870.072 liter per tahun. c) Perikanan Volume penggunaan air pada sub sektor perikanan dihitung berdasarkan jumlah luas
lahan kolam tambak dikalikan dengan standar penggunaan air tawar untuk masing-masing jenis kolam tambak. Standar kebutuhan air tambak menggunakan acuan dari SNI 196728.1-2002. Hasil yang diperoleh terkait dengan volume penggunaan air untuk perikanan sebesar 147.744.000 liter per tahun. Perincian perhitungan volume penggunaan air perikanan disajikan pada tabel berikut.
Sementara, pada penghitungan penggunaan air oleh pengunjung hotel dihitung dari jumlah tempat tidur hotel di Kota Bogor dikali dengan persentase tingkat hunian dikalikan dengan standar baku kebutuhan air untuk tamu hotel per tempat tidur per hari. Hasil perhitungan volume deplesi air oleh tamu hotel di tahun 2012 adalah 124.728.854 liter per tahun.
4.2.1.2..Sektor Industri Pengolahan
3) Restoran
Volume penggunaan air pada sektor industri pengolahan didasarkan pada data volume air yang disalurkan oleh PDAM ke industri pengolahan yaitu sebesar 128.313 m3 atau sebesar 128.313.000 liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013).
Penghitungan penggunaan air oleh kegiatan usaha restoran terdiri dari penggunaan air oleh pengunjung restoran dan karyawan restoran. Untuk memperoleh volume penggunaan air untuk kegiatan usaha restoran dihitung dari jumlah kursi restoran di Kota Bogor dikali dengan persentase pengunjung dikali dengan standar baku kebutuhan air untuk restoran. Hasil perhitungan volume deplesi air pada kegiatan usaha restoran di tahun 2012 adalah 506.748.914 liter per tahun..
4.2.1.3. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Penggunaan air dihitung pada sub sektor Air Bersih berdasarkan data volume air yang disalurkan oleh PDAM di Kota Bogor, yaitu sebesar 32.058.801.000liter di tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS, 2013). 4.2.1.4. Sektor Restoran
Perdagangan,
Hotel
dan
Penghitungan volume sumber daya air pada sektor ini terdiri dari 3 bagian yaitu sub sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan perincian volume deplesi sebagai berikut: 1) Perdagangan Volume penggunaan air pada sub sektor perdagangan didasarkan pada data volume air yang disalurkan oleh PDAM sebesar 2.598.289 m3 atau sebesar 2.598.289.000 liter (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 2) Hotel Volume penggunaan air pada sub sektor Hotel terdiri dari penggunaan air oleh pengunjung hotel dan penggunaan air oleh karyawan. Untuk memperoleh volume penggunaan air oleh tenaga kerja didasarkan dari jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dikalikan dengan kebutuhan air per orang per hari.
4.2.1.5. Sektor Angkutan dan Komunikasi Volume penggunaan air pada sektor Angkutan dan Komunikasi dilakukan pada sub sektor Angkutan Jalan Raya. Penggunaan air oleh angkutan umum dihitung berdasarkan jumlah kendaraan angkutan umum dikalikan dengan standar baku kebutuhan air untuk mencuci kendaraan dikalikan dengan frekuensi cuci kendaraan umum per bulan. Data mengenai jumlah kendaraan umum diperoleh dari Kota Bogor dalam Angka, BPS 2013. Standar baku kebutuhan air yang digunakan mengacu pada kriteria dari Ditjen Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum. Data mengenai frekuensi cuci kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan hasil survey langsung ke angkutan-angkutan umum dengan jumlah sampel sebanyak 69 kendaraan. Volume deplesi air pada sektor angkutan di tahun 2012 sebesar 644.393.475. 4.2.1.6. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pada sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, pengambilan data survey dilakukan pada sektor perbankan dan lembaga keuangan. Ketersediaan data sekunder kurang
memadai terkait informasi mengenai sub sektor persewaan dan jasa perusahaan. Dengan demikian, perhitungan deplesi air dilakukan berdasarkan hasil survey pada sektor perbankan. Voume deplesi air pada sektor perbankan di tahun 2012 sebesae 13.050.000 liter per tahun. 4.2.1.7. Sektor Jasa-jasa Pada sektor Jasa-jasa, perhitungan volume deplesi air dilakukan pada 3 sub sektor, yaitu Administrasi Pemerintahan, Sosial Kemasyarakatan, dan Hiburan dan Rekreasi. 1) Administrasi Pemerintahan Volume deplesi air pada sub sektor Administrasi Pemerintah diperoleh berdasarkan ketersediaan data sekunder berupa volume air yang disalurkan PDAM ke Instansi Pemerintah sebesar 1.206.048liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 2) Sosial Kemasyarakatan Volume deplesi air pada sub sektor Sosial Kemasyarakatan diperoleh berdasarkan ketersediaan data sekunder berupa volume air yang disalurkan PDAM ke sektor Sosial sebesar 1.748.124.000liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 3) Hiburan dan Rekreasi Volume deplesi air pada sub sektor Hiburan dan Rekreasi diperoleh berdasarkan hasil survey ke lokasi rekreasi air. Penggunaan air pada tempat rekreasi air dihitung dari jumlah tempat rekreasi air dikalikan dengan rata-rata volume pemakaian air per lokasi.Volume pemakaian air pada sub sektor Rekreasi sebesar 1.539.908.571 liter per tahun. 4.2.2. Penghitungan Unit Rent Setelah diperoleh hasil perhitungan volume deplesi air diatas, langkah selanjutnya adalah melakukan konversi volume deplesi air tersebut ke dalam satuan moneter. Untuk itu diperlukan satuan unit rent. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung unit rent adalah Harga Dasar Air sebagaimana diatur
dalam Peraturan Walikota Bogor Nomor 10 Tahun 2011 tentang Nilai Perolehan Air Tanah (NPA). Berdasarkan peraturan tersebut, Harga dasar Air dihasilkan dari perkalian antara harga air baku dengan faktor nilai air. Faktor Nilai Air ditentukan dari jumlah antara nilai komponen sumber daya alam (SDA) dengan nilai kompensasi pemulihan. Nilai komponen sumber daya alam diperoleh dari hasil penjumlahan nilai indeks unsur komponen sumber daya alam dikalikan dengan persentase 60% untuk pengambilan pada zona aman yang diatur dalam Peraturan Walikota Bogor No. 11 Tahun 2011. Sementara, nilai kompensasi pemulihan dihitung dari nilai indeks setiap kelompok volume progresif dalam tabel nilai indeks komponen pemulihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Bogor No. 11 Tahun 2011 Pasal 12 ayat 3 dikalikan dengan bobot 40% untuk pengambilan pada zona aman. Adapun tabel nilai indeks komponen pemulihan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Berdasarkan metode perhitungan diatas, berikut ini perincian hasil perhitungan Harga Dasar Air. a) Pada sektor pertanian, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air pada sektor Pertanian adalah lokasi pertanian berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk pengairan sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas tiga dan empat. Alternatif sumber air diasumsikan tidak ada alternatif. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dangkal. Harga dasar air untuk sektor pertanian diperoleh Rp. 10,92 per liter. b) Pada sektor industri pengolahan, asumsiasumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air pada sektor industri pengolahan adalah lokasi industri berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk air baku sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas satu. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 32,37 per liter.
c) Pada sektor Perdagangan, hotel dan restoran, Pengangkutan, Bank, Jasa Pemerintah, dan Jasa Sosial, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air adalah lokasi usaha berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk air baku sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas satu. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 24,05 per liter. d) Pada sektor Jasa Hiburan dan Rekreasi, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air adalah lokasi usaha berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk rekreasi air sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas dua. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 20,15 per liter. e) Pada Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, khususnya pada sub sektor Air Bersih, perhitungan harga air pada sub sektor Air Bersih menggunakan pendekatan unit rent karena PDAM dalam hal ini sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan Air Bersih menggunakan sumberdaya air sebagai bahan utama kegiatan produksi dan menjual air bersih sebagai komoditi utama. Perhitungan unit rent didasarkan pada laporan keuangan Perusahaan Daerah Air Minum yang berlokasi di Kota Bogor. Perhitungan dalam satun per unit didasarkan pada volume air yang disalurkan pada tahun 2012 oleh PDAM yaitu sebesar 32.058.801 m3. Dalam perhitungan laba layak digunakan tingkat bunga pinjaman sebesar 12,25% sebagai suku bunga pinjaman yang berlaku pada periode Desember 2012 (Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 2014) dikalikan dengan total ekuitas modal PDAM Kota Bogor. Unit rent yang dihasilkan untuk harga air pada sub sektor air bersih di tahun 2012 sebesar Rp. 2,51 per liter
4.2.3. Nilai Deplesi Sumber Daya Air di Kota Bogor Setelah diketahui volume sumber daya air yang terdeplesi dan unit rent dari sumber daya air, maka nilai deplesi sumber daya air dapat dihitung dalam satuan moneter. Perhitungan nilai moneter deplesi adalah sebagai berikut. Tabel 3:
Deplesi Per Sektor Usaha di Kota Bogor Tahun 2012
4.2.4. PDRB Semi Hijau Berikut ini hasil perhitungan PDRB semi hijau Kota Bogor tahun 2012. Tabel 4: PDRB Semi Hijau Tahun 2012 (dalam Juta Rp.)
PDRB Kota Bogor di Tahun 2012 sebesar Rp. 17.323.335,99 juta. Total nilai deplesi dari sektor-sektor usaha yang menggunakan sumber daya air adalah sebesar Rp. 368.005,96 juta. Nilai deplesi penggunaan air menyerap sekitar 2,12% dari total nilai PDRB konvensional Kota Bogor tahun 2012 Dengan demikian, nilai PDRB Semi Hijau Kota Bogor pada tahun 2012 diperkirakan sebesar Rp. 16.955.330,03. 4.2.5.
Degradasi
Perhitungan nilai degradasi lingkungan pada Kota Bogor menggunakan pendekatan degradasi pada sumberdaya lahan. Sebagai langkah pendahuluan dalam mengkuantifikasi nilai degradasi lahan, data yang digunakan
berupa luas lahan kritis yang terdapat di Kota Bogor dikalikan dengan harga pupuk NPK sebesar Rp. 11.000 per kilogram. Adapun luas lahan kritis yang terdapat di Kota Bogor adalah sebagai berikut: Tabel 5: Luas Lahan Kritis di Kota Bogor Kecamatan Bogor Selatan Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Bogor Timur Total Luas
Tingkat Kekritisan Lahan (Ha) Agak kritis Kritis 30,52 201,05 236,4 7,6 2,72 0,9 25,43 5,92 0 0 0 0 295,07 215,47
Sumber: BPS, 2013
Setelah mengetahui data total luas lahan agak kritis dan kritis tersebut, selanjutnya dihitung nilai degradasi lahan dengan cara menghitung nilai ekonomi dari nutrisi tanah yang hilang dari luasan lahan kritis tersebut. Total nilai degradasi lahan di Kota Bogor adalah Rp. 4.211.955.000. Perincian perhitungan tersebut disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 6: Nilai Degradasi Lahan Kota Bogor
Perhitungan degradasi lingkungan hidup dalam penelitian ini masih dalam tahap perhitungan pendahuluan. Perhitungan degradasi masih memerlukan survey terhadap biaya pemulihan lingkungan yang dialokasikan oleh masing-masing unit usaha di seluruh sektor perekonomian, serta anggaran yang disediakan pemerintah Kota Bogor untuk memperbaiki lingkungan untuk diperhitungkan ke dalam PDRB Hijau. Selain itu, penghitungan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara belum diperhitungkan dalam pengukuran PDRB Hijau di Kota Bogor,
mengingat sektor Angkutan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bogor. 4.2.6.
PDRB Hijau
Nilai degradasi lahan selanjutnya digunakan dalam perhitungan PDRB Hijau dengan mengurangkan nilai degradasi terhadap nilai PDRB Semihijau. Perkiraan PDRB Hijau untuk Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 16.951.118 juta atau lebih rendah 2,15% dari nilai PDRB konvensional. Berikut hasil perhitungan PDRB Hijau Kota Bogor tahun 2012. Tabel 7: PDRB Hijau PDRB konvensional Deplesi PDRB Semi Hijau Degradasi PDRB Hijau
(dalam juta Rp.) Rp 17.323.336 Rp 368.006 (-) Rp 16.955.330 Rp 4.212 (-) Rp 16.951.118
Angka persentase penurunan PDRB tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase penurunan PDRB Konvensional dalam perhitungan PDRB Hijau di Provinsi Bali tahun 2010. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suparmoko (2013) PDRB Hijau lebih rendah 4,5% dari PDRB Konvensional di Provinsi Bali. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyarko (2013), kegiatan deplesi sumber daya alam di Kabupaten Asmat masih tergolong rendah (0,68 persen – 0,93 persen) dari nilai PDRB dalam periode 2007 – 2009, kecuali pada tahun 2009 (4,95%). Namun, bila merujuk pada hasil survey yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam Indonesia Policy Briefs (2008), total kerugian ekonomi dari terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, diestimasi sebesar 2 persen dari PDB setiap tahunnya di Indonesia. Angak estimasi tersebut mendekati perkiraan angka penggunaan air di sektor usaha Kota Bogor yang mencapai 2,12% dari PDRB konvensional. Rendahnya angka penurunan nilai sumberdaya alam di Kota Bogor dikarenakan lingkup wilayah penelitian merupakan daerah perkotaan dimana sektor usaha yang menjadi basis perekonomian di Kota Bogor berada pada sektor yang tidak bertopang pada
kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Basis perekonomian Kota Bogor di tahun 2012 meliputi sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, serta Jasa, real estate dan jasa perusahaan. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pelaksanaan penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi di wilayah Bogormemiliki basis pesat pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Angkutan dan Komunikasi. 2. Perkembangan perekonomian kota tidak terlepas dari penggunaan sumber daya alam, khususnya penggunaan air dalam kegiatan perekonomian. 3. Langkah regulasi Pemerintah Kota Bogor dalam hal pengendalian lingkungan sudah mengakomodir pengaturan mengenai Harga Baku Air melalui Peraturan Walikota Bogor No. 10 Tahun 2011 sebagai dasar penghitungan valuasi ekonomi sumberdaya air. 4.Penggunaan sumberdaya air dan degradasi lahan kritis menyerap sekitar 2,15% dari PDRB Kota Bogor tahun 2012. Persentase penipisan sumberdaya alam tersebut relatif lebih rendah dari wilayah lain di Indonesia yang perekonomiannya didominasi oleh aset-aset lingkungan seperti aset pertambangan dan sumber daya hutan. Rendahnya penipisan sumberdaya alam di Kota Bogor dikarenakan basis perekonomian Kota Bogor berada pada sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, serta Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan. Selain itu, Kota Bogor tidak memiliki kontribusi PDRB dari sektor Pertambangan. 5. Dalam studi terhadap degradasi lingkungan di Kota Bogor, perlu dilakukan pengukuran terhadap degradasi sumber daya udara.Degradasi sumber daya udara terkait dengan meningkatnya aktivitas perekonomian pada sektor Angkutan yang menjadi salah satu sektor basis perekonomian di Kota Bogor.
6. REFERENSI Anonim. 2013. Green GDP and Sustainable Development Policies. National Seminar on Green Growth Policy Tools for Low Carbon Development in Vietnam Anonim. (2008). “Indonesia Policy Briefs. Laporan Ide - Ide Program 100 hari “, The World Bank, P. 1 Boyd, James. 2006. The Nonmarket Benefits of Nature: What Should Be Counted in Green GDP?. Resources for The Future. Washington DC. Chinese Academy for Environmental Planning. 2010. China Environmental and Accounting (Green GDP) Research Program. Aplication for Globe Sustainability Research Award. Ditjen Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum. Kriteria Penggunaan Air Untuk Perencanaan Kota dan Penggunaan lain. 1996 Gibson, Lay James, and Marshall A. Worden. 1981. "Estimating the Economic Base Multiplier: A Test of Alternative Procedures." Economic Geography 57: 146-159. Hadipuro, Wijanto. Tanpa Tahun. “Valuasi Air”. Amrta Institute Tifa Foundation. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Panduan Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau. Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau (P2K) Panduan Pelaksanaan 2011. Ditjen Penatan Ruang. Kuswartojo, Tjuk. 2006. Asas Kota Berkelanjutan dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan. BPPT
Lampiran Permentan Nomor 40/Permentan/OT.140/04/2007 tentang Rekomendasi Pemupukan N. P, dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Lane, Theodore. 1966. "The Urban Base Multiplier: An Evaluation of the State of the Art." Land Economics 42: 339-347. Elsevier. Ecological Economics 33 (2000) 103–117 Peraturan Walikota Bogor No. 10 Tahun 2011 tentang Nilai Perolehan Air Tanah (NPA). Ratnaningsih, Maria dkk. 2012. PDRB Hijau (Produk Domestik Regional Bruto Hijau). BPFE Yogyakarta. Setyarko, Yugi. 2013. Perhitungan PDRB Hijau Sebagai Instrumen Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 17, No. 1, Juni 2013. ISSN 0853 – 7194. Kementerian Lingkungan Hidup.
Suparmoko, M. 2012. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan Suatu Pendekatan Teoritis. BPFE Yogyakarta. Suparmoko, M. 2013. PDRB Hijau: Kendala dan Prospek. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 17, No. 1, Juni 2013. ISSN 0853 – 7194. Kementerian Lingkungan Hidup. Suparmoko., M. PDRB Hijau. Konsep dan Metodologi. Departemen Kehutanan, 2006. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. United Nations. 2012. The Future We Want. RIO +20 United Nations Conference on Sustainable Development. United Nations. 2014. World Urbanization Prospects The 2014 Revision Highlights. United Nations Environment Programme. 2011. Cities Investing in Energy and Resource Efficiency.