9399002.3276
PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014
PDRB HIJAU KOTA DEPOK TAHUN 2014 No. Publikasi / Publication Number
: 3276.0702
No. Katalog / Catalog Number
: 9399002. 3276
Ukuran Buku / Book Size
: 28 Cm x 21,5 Cm
Jumlah Halaman / Total Size
: 36 Halaman / page
Naskah / Manuscrift: Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Gambar Kulit dan Setting / Cover Design and Setting : Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Diterbitkan Oleh / Published By: BPS Kota Depok
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya May be cited with reference to the sources
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
Kata Sambutan Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya, buku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau Kota Depok Tahun 2014 dapat diterbitkan. Buku Produk Domestik Regional Bruto Hijau Kota Depok Tahun 2014 ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan di Kota Depok, mengingat bahwa Kota Depok memiliki keterbatasan sumberdaya alam sehingga pembangunan ekonomi daerah sudah seharusnya memperhatikan faktor lingkungan dan sumberdaya alam. Buku ini juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak, baik masyarakat maupun institusi pemerintah dan swasta. Kepada Badan Pusat Statistik Kota Depok yang sudah banyak membantu dalam penyusunan buku ini disampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih, juga kepada semua pihak yang telah berperan dalam penerbitan Buku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau Tahun 2014 disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Depok, Desember 2014 Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok,
drg. H. HARDIONO, Sp,BM Pembina Utama Muda / IV c NIP. 19610127 198503 1 001
i
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
Kata Pengantar Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dengan mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT, Publikasi Produk
Domestik
Regional
Bruto (PDRB) Hijau Kota Depok Tahun 2014 dapat
diterbitkan.
Publikasi PDRB Hijau yang disajikan diharapkan dapat memberi gambaran secara makro pembangunan Ekonomi di Kota Depok yang telah memperhatikan faktor lingkungan di dalamnya.
Kami sadari publikasi ini masih belum sempurna, kekurangan dan kesalahan mungkin saja terjadi. Untuk perbaikan yang akan datang kritik dan saran sangat kami nantikan.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga publikasi ini dapat diterbitkan. Semoga publikasi ini dapat bermanfaat untuk keperluan penelitian, evaluasi dan perencanaan di wilayah Kota Depok. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Depok, Desember 2014 Badan Pusat Statistik Kota Depok K e p a l a,
Tata Djumantara, SE Pembina Tingkat I NIP. 195806131983021001
ii
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
Daftar Isi Kata Sambutan ......................................................................................................................................
i
Kata Pengantar ....................................................................................................................................... ii Daftar Isi ………….. .................................................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan .............................................................................................................................................. 2 1.3. Manfaat ............................................................................................................................................ 2 1.4. Definisi ............................................................................................................................................. 2 BAB II METODOLOGI ......................................................................................................... 7 2.1. Konsep Dasar PDRB Hijau ....................................................................................................... 9 2.2. Manfaat PDRB ............................................................................................................................... 11 2.3. Munculnya PDRB Hijau ............................................................................................................. 12 2.4. Penghitungan PDRB ................................................................................................................... 14 2.5. Penghitungan PDRB Semi Hijau ............................................................................................ 14 2.6. Penghitungan PDRB Hijau ....................................................................................................... 15 2.7. Pengalaman di Beberapa Kabupaten/Kota ...................................................................... 15 2.7.1. PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara .......................................................... 16 2.7.2. PDRB Hijau Kabupaten Karawang .......................................................................... 18 2.7.3. PDRB Hijau Kabupaten Bandung ............................................................................. 20 2.7.4. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Berau .......... 21 BAB III PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2013 ........................................................... 23 3.1. PDRB Coklat Kota Depok ...................................................................................................... 24 3.2. Deplesi Sumber Daya Alam di Kota Depok ................................................................... 25 3.3. Degradasi Lingkungan di Kota Depok ............................................................................. 29 3.4. PDRB Hijau Kota Depok ........................................................................................................ 29
iii
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 BAB IV Kesimpulan dan Saran ...................................................................................... 30 4.1. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 30 4.2. Saran ................................................................................................................................................. 31
iv
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hingga saat ini keberhasilan pembangunan diukur dengan menggunakan indikator keberhasilan ekonomi yang tercatat dalam Produk Domestik Regional Bruto(PDRB). Tetapi sayangnya nilai yang tercantum pada PDRB yang disusun belum mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya karena belum menghitung aspek distribusi pendapatan maupun susutnya modal alam dan kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan ekonomi. PDRB hanya menghitung nilai tambah dari setiap kegiatan produksi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota. PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat) karena hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut sebagai PDRB Hijau, karena PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap. Kesadaran atas perlunya pemahaman tentang PDRB Hijau telah mendorong Pemerintah Kota Depok melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Depok bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok untuk memulai menyusun PDRB Hijau pada tahun anggaran 2014.
1
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
1.2. Tujuan Tujuan dari penyusunan PDRB Hijau adalah untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya konstribusi tiap sektor terhadap pembangunan yaitu dengan memasukkan nilai deplisi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan sebagai akibat dari adanya kegiatan di tiap‐tiap sektor.
1.3. Manfaat 1. Menghindari bias perhitungan penilaian kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah (struktur perekonomian lebih realistis). 2. Mengetahui besar/nilai deplesi, kerusakan dan mengontrol kerusakan SDA. 3. Memberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. 4. Masukan dalam penentuan besar pungutan/ganti rugi kerusakan lingkungan. 5. Masukan dalam rangka menghitung kontribusi tiap sektor dalam pembangunan suatu daerah. 6. Mengetahui sumbangan sektoral terhadap pertumbuhan ekonomi. 7. Menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola SDA. 8. Melalui PDRB Hijau, pemahaman tentang nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung dari sumberdaya alam semakin dipahami dan dapat menjadi bahan pertimbangan kebijakan dan pengelolaan tiap‐tiap sektor di masa mendatang
1.4. Definisi Beberapa penjelasan mengenai berbagai istilah yang berkaitan dengan PDRB Hijau diuraikan di bawah ini. Balas Jasa Investasi : Jumlah uang yang dinyatakan dalam persentase terhadap jumlah dana yang diinvestasikan atau biaya yang dikeluarkan untuk produksi barang yang bersangkutan. Umumnya diperkirakan sebesar tingkat suku bunga yang berlaku di pasar (lihat laba layak).
2
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Contingent Valuation : Metode valuasi ekonomi terhadap jasa lingkungan yang diberikan oleh suatu ekosistem dan tidak dijual belikan di pasar. Metode ini biasanya melibatkan survei terhadap responden tentang kesediaannya melakukan pembayaran (contingent variation = CV) atau kesediaannya menerima pembayaran (equivalent variation = EV). Degradasi : Kerusakan lingkungan yang merupakan penurunan kualitas lingkungan alami. Contoh : penurunan kesuburan tanah, rusaknya tata air, dsb. Deplesi : Menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam. Contoh : volume penebangan kayu, jumlah batu bara yang ditambang, jumlah air tanah yang digunakan. Harga Pasar : Harga barang dan jasa yang timbul karena transaksi permintaan dan penawaran di pasar. Pasar adalah pertemuan antara pembeli dan penjual. Identifikasi : Merupakan kegiatan meneliti dan mengamati macam sumberdaya alam yang dieksploitasi atau dideplesi, maupun sumberdaya alam dan lingkungan yang rusak atau terdegradasi. Input Antara (Intermediate Inputs) : Bahan atau masukan atau input yang digunakan dalam proses produksi suatu barang sehingga menjadi produk baru. Contoh : Untuk menghasilkan kayu lapis diperlukan bahan mentah kayu bulat, bahan pembantu lem, kanji tapioka, dan obat pengawet. Semua bahan mentah dan bahan pembantu yang digunakan disebut dengan input antara. Jasa Biologi : Jasa suatu habitat, misalnya hutan, terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai, dan sebagainya, yang berupa pelayanan bagi hidup dan berkembangnya keanekaragaman hayati termasuk flora dan fauna. Jasa Lingkungan : Jasa yang diberikan oleh suatu habitat seperti hutan terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai dan sebagainya, yang berupa pelayanan seperti menyerap karbon, menahan banjir, menjaga cadangan air, mempengaruhi tata air, dan sebagainya. Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) : Metode untuk menentukan nilai suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang
3
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 kesediaannya memberikan kontribusi dipertahankannya suatu proyek atau untuk ditolaknya suatu proyek. Kesediaan Menerima Pembayaran (Willingness to Accept) : Metode valuasi untuk suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang kesediaannya menerima ganti rugi untuk dipertahankannya suatu proyek atau ditolaknya suatu proyek. Kontribusi Kehutanan : Kontribusi atau sumbangan atau share sektor kehutanan dalam pembentukan PDRB Konvensional atau PDRB Hijau. Kuantifikasi : Suatu langkah dalam penilaian ekonomi setelah dampak dari suatu proyek diidentifikasi, kemudian ingin diketahui berapa besar volume atau luasnya dampak tersebut. Laba Layak : Jumlah atau persentase laba atau balas jasa yang layak diterima oleh seorang pengusaha karena menanamkan uangnya pada usaha tertentu. Biasanya besarnya persentase tersebut disamakan dengan tingginya suku bunga bank yang berlaku di pasar. Nilai Ekonomi Total : Jumlah seluruh nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang terdiri dari nilai atas penggunaan (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non‐use value). Nilai Keberadaan : Nilai sumberdaya alam dan lingkungan tanpa harus adanya kontak antara seseorang dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud. Nilai Pilihan : Nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang timbul karena orang memilih untuk tidak menggunakannya sekarang dan lebih senang menggunakannya di waktu nyang akan datang. Nilai Produksi : Jumlah produk dan atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dikalikan dengan harganya di pasar. Contoh : jumlah kayu yang ditebang dalam m3 dikalikan dengan harga kayu per m3 di pasar atau di toko kayu. Nilai Tambah : Harga produk atau jasa di pasar atau di toko dikurangi dengan nilai semua input antara. Contoh : Harga kayu gergajian di perusahaan penggergajian kayu Rp. 800.000,‐/m3. Harga kayu bulat Rp. 400.000,‐/m3, maka nilai tambahnya adalah Rp. 800.000,‐ – Rp. 400.000,‐ = Rp. 400.000,‐ 4
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Non‐Use Value : Nilai lingkungan tanpa harus menggunakan atau kontak langsung dengan orang yang memberikan penilaian. Contoh : nilai badak bercula satu di Ujung Kulon; nilai air terjun di Tawang Mangu dan nilai hutan lindung. PDB : Produk Domestik Bruto untuk tingkat nasional. PDRB : Produk Domestik Regional Bruto adalah PDB untuk tingkat daerah provinsi, kabupaten, atau kota. PDRB Coklat : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung secara konvensional belum memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. PDRB Hijau : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan atau nilai PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkungan. PDRB Hijau Kehutanan : Nilai tambah yang diciptakan sektor kehutanan dengan memasukan unsur deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan di sektor kehutanan. PDRB Konvensional : Sama dengan PDRB Coklat. PDRB Semi Hijau : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan mengurangi nilai PDRB Coklat dengan nilai deplesi sumberdaya alam saja. PDRB Pada Harga Berlaku : PDRB yang nilainya dihitung menurut harga‐ harga pada tahun yang bersangkutan. PDRB Harga Konstan : PDRB yang dihitung berdasarkan pada harga tahun tertentu. Contoh : PDRB pada harga konstan tahun 2000. Pendapatan Nasional : Nilai PDB dikurangi penyusutan dan pajak tidak langsung, kemudian dikurangi lagi dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang asing di Indonesia, ditambah dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang Indonesia di luar negeri. Pendapatan Regional : Pendapatan yang diciptakan oleh faktor‐faktor produksi di dalam suatu daerah. Nilai pendapatan regional sama dengan nilai PDRB dikurangi nilai penyusutan dan nilai pajak tidak langsung. 5
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Produk Ekstraktif : Produk yang dapat diambil langsung dari alam. Contoh : kayu, madu, rotan. Produk Non Ekstraktif : Produk atau jasa yang dapat dinikmati tanpa harus diambil dari alam. Contoh : rekreasi, pendidikan, penelitian, keindahan. Rente Ekonomi : Economic Rent, yaitu nilai sumberdaya alam semasa masih di tempatnya. Nilai rente ekonomi disebut juga dengan nilai penggunaan (user cost), (royalty). Contoh : nilai kayu tegakan (stumpage value), nilai bahan tambang tatkala masih di dalam tanah. Travel Cost Method : Metode valuasi ekonomi dengan menghitung biaya perjalanan seperti biaya financial dan biaya waktu, serta total pengeluaran selama di lokasi yang dituju. Biasanya digunakan untuk menilai taman rekreasi. Unit Rent : adalah rata‐rata nilai rente ekonomi per unit produk atau nilai rente ekonomi total dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan atau dideplesi. Use Value : Nilai ekonomi terhadap produk‐produk ekstraktif sumberdaya alam. Contoh : nilai kayu, nilai ikan, nilai timah yang diekstraksi. Valuasi Ekonomi : Metode penghitungan nilai ekonomi untuk sumberdaya alam dan lingkungan. WTP (Willingness To Pay) : kesediaan membayar oleh seseorang untuk mendapatkan lingkungan yang bersih. WTA (Willingness To Accept) : kesediaan seseorang menerima pembayaran agar tetap bersedia menerima pencemaran.
6
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
BAB II METODOLOGI Produk Domestik Regional Bruto Hijau (PDRB Hijau) merupakan pengembangan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang konvensional atau yang sering disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto Coklat. PDRB Hijau dikenal juga sebagai PDRB ramah lingkungan yaitu dengan mengurangkan nilai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan ke dalam PDRB yang konvensional tersebut. PDRB sesungguhnya sama dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang diterapkan untuk tingkat regional atau daerah seperti provinsi dan kabupaten atau kota, sedangkan PDB diterapkan untuk tingkat nasional (seluruh negara). Jadi PDRB yang kemudian merupakan konsep penghitungan pendapatan regional sesungguhnya merupakan pengembangan dari konsep pendapatan nasional yang ditunjukan oleh Produk Domestik Bruto. PDB itu sendiri merupakan jumlah seluruh nilai tambah (value added) yang diciptakan dalam suatu perekonomian dalam suatu negara yang dihitung untuk masa satu tahun. Nilai tambah ini merupakan selisih antara seluruh nilai produksi dengan seluruh biaya input antara (intermediate input). Dengan kata lain nilai tambah mencerminkan balas jasa atau pendapatan dari setiap pemilik faktor produksi. Dengan mengetahui tinggi rendahnya nilai tambah atau PDB suatu negara, akan dapat diketahui tinggi rendahnya kemajuan suatu perekonomian negara yang bersangkutan. Penyusunan PDRB Konvensional (PDRB Coklat) baru dimulai di Indonesia pada pertengahan tahun 1970 dimana pada waktu itu ada beberapa universitas seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan instansi pemerintah seperti Bappenas, Biro Pusat Statistik yang sekarang disebut Badan Pusat Statistik, dan juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama‐sama belajar menyusun PDRB untuk beberapa provinsi seperti DKI Jaya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, 7
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 dan Provinsi Sumatera Barat. Dalam rangka belajar tersebut, tim penyusun mendapat tenaga konsultan dari Australia bernama Prof Alex Kerr. Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini (2006), semua provinsi dan semua kabupaten maupun kota di Indonesia telah memiliki PDRB konvensional atau Coklat. Bahkan penyusunan PDRB ini telah merupakan kegiatan rutin Bappeda yang biasanya dibantu oleh Kantor BPS di daerah. Struktur sektoral dalam PDRB disesuaikan dengan struktur Neraca Pendapatan Nasional Indonesia. Oleh karena itu pembagian perekonomian menurut sektor ekonomi atau kegiatan usaha untuk PDRB di Indonesia juga disesuaikan dengan pembagian sektor‐sektor dalam Neraca Pendapatan Nasional atau Produk Domestik Bruto Indonesia. PDB dan PDRB sebenarnya lebih merupakan informasi makro ekonomi yang menunjukan sumbangan setiap sektor ekonomi atau setiap kegiatan usaha dalam seluruh perekonomian di suatu daerah. Pada mulanya kegiatan perekono mian dibedakan menjadi 11 sektor perekonomian yaitu : 1. Sektor pertanian, 2. Sektor pertambangan dan penggalian, 3. Sektor perindustrian, 4. Sektor bangunan (konstruksi), 5. Sektor Listrik, gas, dan air minum, 6. Sektor transportasi dan komunikasi, 7. Sektor perdagangan besar dan eceran, 8. Sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, 9. Sektor sewa rumah, 10. Sektor pemerintahan, 11. Sektor jasa. Setelah dilakukan penyusunan PDRB dalam beberapa tahun, terjadi perubahan dalam pembagian sektoral baik dalam neraca nasional dan penghitungan pendapatan nasional maupun dalam penghitungan PDRB di daerah. Jumlah sektor‐ sektor perekonomian yang baru dalam penghitungan PDRB saat ini tidak lagi 11
8
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 sektor tetapi hanya 9 sektor atau 9 lapangan usaha dengan pengelompokan sebagai berikut : 1. Sektor pertanian termasuk didalamnya sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan, 2. Sektor pertambangan dan penggalian, 3. Sektor industri pengolahan, 4. Sektor listrik, gas, dan air minum, 5. Sektor bangunan, 6. Sektor perdagangan, hotel dan restauran, 7. Sektor angkutan dan komunikasi, 8. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9. Sektor jasa‐jasa.
2.1. Konsep Dasar PDRB Hijau Secara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah baik itu kabupaten, kota maupun propinsi. Karena PDRB sudah menjadi wacana nasional dan perwilayahan sejak pemerintahan Orde Baru, maka setiap daerah tingkat satu dan tingkat dua pada waktu itu sudah mampu secara rutin menyajikan data atau hasil perhitungan PDRB untuk setiap tahunnya. Kegiatan ini terus berlanjut sampai sekarang baik untuk daerah kabupaten, kota maupun propinsi. Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional (daerah) baik kabupaten, kota, maupun propinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Karena dalam konsep PDRB yang konvensional ini tidak diperhitungkan dimensi lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan lingkungan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari angka penyusutan modal, maka nilai PDRB yang diperoleh hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi suatu kabupaten, kota atau propinsi tertentu. Karenanya PDRB yang konvensional itu kita sebut dengan istilah PDRB Coklat karena dalam
9
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 penghitungannya belum memasukkan penyusutan nilai modal alami yaitu sumberdaya alam dan lingkungan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat/konvensional. PDRB Coklat sendiri merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha di daerah tersebut. Untuk keperluan analisis ekonomi serta perencanaan pembangunan di daerah, PDRB dan pendapatan regional ditampilkan menurut sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha. PDRB banyak digunakan sebagai instrumen untuk menilai keberhasilan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Dengan mengetahui kontribusi maupun laju pertumbuhan masing‐masing sektor terhadap PDRB, maka hasil‐ hasil pembangunan per sektor dapat diketahui dengan jelas dan oleh sebab itu rencana pembangunan daerah dapat disusun secara lebih akurat. Namun demikian, penghitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa (final product) yang dihasilkan selama satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai yang dihasilkan seolah‐olah memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Tetapi sesungguhnya tidak demikian karena nilai sumberdaya alam yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan akibat kegiatan ekploitasi itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar, sehingga nilai‐nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional itu belum menunjukkan nilai kemajuan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk membuat agar nilai‐nilai yang ada di dalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted gross regional domestic bruto / 10
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukkan ke dalam penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undesirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan dasar yang lebih komprehensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di samping faktor‐faktor lainnya.
2.2. Manfaat PDRB Badan Pusat Statistik menggunakan angka‐angka PDB 2001 untuk menganalisis perekonomian Tahun 2001 secara makro. Berdasarkan angka PDB 2001 diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2001 menjadi lebih baik dibanding dengan tahun 2000. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi biasanya didasarkan pada nilai PDB pada harga konstan. PDB atas dasar harga konstan adalah PDB yang dinilai menurut harga pada tahun tertentu. Misalkan dengan menggunakan PDB pada harga konstan tahun 1993 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2001 ditemukan sebesar 3,32%. Nilai PDB atas dasar harga konstan tahun 1993 untuk tahun 2000 Rp. 77.506 trilyun dan untuk tahun 2001 diperkirakan mencapai Rp. 80.080 trilyun pada harga konstan tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002 mencapai Rp. 84.469,8 trilyun, dan meningkat lagi menjadi Rp. 90.103 trilyun pada tahun 2003, dan akhirnya menjadi Rp. 97.466,6 trilyun pada tahun 2004. Dengan melihat sektor‐sektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dengan perhitungan PDB, pada tahun 2001 tercatat ada 8 sektor ekonomi yang mempunyai laju pertumbuhan positip. Sektor listrik, gas dan air minum mempunyai laju pertumbuhan tertinggi (8,43%), sedangkan laju pertumbuhan terendah ditempati oleh sektor pertanian (0,63%). Sektor pertambangan dan penggalian memiliki laju pertumbuhan negatip yaitu (‐0,64%). Kegunaan yang lain adalah dengan melihat distribusi atau sumbangan masing‐masing sektor terhadap pembentukan PDB Indonesia pada tahun 2001, ada 4 sektor utama yang menyumbang pada pembentukan PDB Indonesia tahun 2001 yaitu sektor industri pengolahan (26,11%), sektor pertanian (16,39%), 11
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 sektor perdagangan, restauran dan hotel (16,09%), dan sektor pertambangan dan penggalian (13,59%). Lima sektor lainnya menyumbang hanya kurang dari 10% dan sektor yang terkecil sumbangannya adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar 1,16%. Selanjutnya untuk angka‐angka PDRB karena sudah dibuat untuk setiap propinsi dan kabupaten serta kota diseluruh Indonesia, maka nilainya dapat dibandingkan satu sama lainnya untuk melihat propinsi manakah yang memiliki sumbangan terbesar pada PDB Indonesia, karena logikanya jumlah PDRB dari semua propinsi atau semua kabupaten dan kota harus sama dengan nilai PDB Indonesia. Data‐data PDRB disetiap provinsi, kabupaten maupun kota, selama ini telah dimanfaatkan seperti halnya angka‐angka PDB ditingkat nasional yaitu sebagai dasar perencanaan pembangunan di setiap daerah provinsi, kabupaten maupun kota. Pada umumnya angka‐angka PDRB yang ditampilkan adalah nilai absolut PDRB disetiap daerah provinsi, kabupaten dan kota, kemudian juga angka PDRB per kapita dan pendapatan perkapita di masing‐masing provinsi, kabupaten dan kota. Demikian juga ditampilkan PDRB dan pendapatan regional, maupun pendapatan per kapita di masing‐masing provinsi, kabupaten dan kota.
2.3. Munculnya PDRB Hijau Seperti telah diketahui bahwa menipisnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan telah menjadi perhatian banyak pemimpin negara seperti tampak dalam KTT BUMI di Rio de Janeiro pada tahun 1991. Meningkatnya pendapatan nasional hampir disemua negara di planet bumi ini telah mendorong terkurasnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan. Sebelumnya telah diperingatkan pula oleh kelompok Roma bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan karena menipisnya sumberdaya alam, terutama kalau pola konsumsi penduduk dunia tidak mau berubah dari trendnya yang sekarang ini. Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat 12
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena paradigma pembangunan akan berubah kearah pembangunan yang berkelanjutan, maka indikator pembangunan juga semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau Green GDP) yang dihitung atas dasar konsep Sistem Penghitungan Terpadu antara lingkungan dan ekonomi (System of Integrated Environmental and Economic Account). Kemudian BPS Republik Indonesia dalam rangka mengantisipasi rekomendasi PBB bahwa setiap negara harus mengembangkan sistem statistik pendapatan nasional yang berwawasan lingkungan, sejak tahun 1995/96 telah melakukan studi kasus menyusun neraca ekonomi yang memulai memasukan elemen penyusunan sumberdaya alam kedalam sistem perhitungan pendapatan nasional. Publikasi Sitem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 1990‐1995 telah melibatkan 7 komoditi sumberdaya alam seperti batubara, minyak bumi, gas alam, bauksit, emas, perak, dan hutan kedalam penghitungan neraca terpadu tersebut. Sejauh ini belum pernah ada elemen degradasi yang telah dimasukan dalam perhitungan. Apabila dalam penghitungan PDB sudah dimasukan unsur deplesi sumberdaya alam, maka hasil penghitungannya disebut dengan Environmentally Adjusted Domestic Product I yang disebut juga sebagai EDP‐I. Kemudian jika nilai degradasi lingkungan sudah diperhitungkan maka diperoleh Environmentally Adjusted Domestic Product II yang disebut juga sebagai EDP‐II. Sejalan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan itu, Suparmoko mengusulkan hendaknya disusun pula PDRB Hijau (Green PDRB) untuk tingkat daerah baik itu provinsi, kabupaten maupun kota yang sebelum masa reformasi disebut sebagai Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II. 13
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
2.4. Penghitungan PDRB Tiga pendekatan utama dalam menghitung PDRB yaitu: a) Menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor kegiatan ekonomi, b) Menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi, seperti: tenaga kerja; modal; alat, perlengkapan dan sumberdaya alam; serta keahlian. c) Menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing‐masing sektor. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, maka lebih banyak digunakan pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Untuk setiap sektor kegiatan ekonomi dihitung sumbangannya terhadap angka PDRB dengan cara seperti berikut. Nilai Produksi Intermediate Inputs (bahan‐bahan) Nilai Tambah ( PDRB Coklat)
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp ....................
Yang dimaksud dengan intermediate inputs adalah semua bahan yang digunakan dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja. Kalau suatu sektor tidak memiliki produk yang dapat dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan pendidikan, biasanya dipakai pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk upah/gaji, sewa, bunga, dan laba. Kalau pendekatan ini yang dipakai, angka atau nilai yang diperoleh bukannya PDRB, tetapi Pendapatan Nasional. Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau harus ditambahkan penyusutan barang modal buatan manusia, baru kemudian dikurangi dengan nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan.
2.5. Penghitungan PDRB Semi Hijau PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan PDRB Coklat dengan memasukan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) kedalam perhitungan PDRB Konvensional. PDRB Konvensional yang disebut juga dengan
14
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Nilai Produksi Intermediate Inputs (bahan‐bahan) Nilai Tambah ( PDRB Coklat) Deplesi Sumber Daya Alam PDRB Semi Hijau
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp ....................
PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi dari sumber daya alam sehingga hasil yang didapatkan adalah PDRB Semi Hijau.
2.6. Penghitungan PDRB Hijau Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, maka terhadap nilai‐nilai pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangkan lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya. Jadi untuk dikembangkan menjadi PDRB Hijau langkah perhitungannya adalah sebagaimana berikut ini Nilai Produksi Intermediate Inputs (bahan‐bahan) Nilai Tambah ( PDRB Coklat) Deplesi Sumber Daya Alam PDRB Semi Hijau Degradasi Lingkungan PDRB Hijau
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp .................... Rp .................... ____________________ (‐)
Rp ....................
2.7. Pengalaman di Beberapa Kabupaten/Kota Pada bagian ini disajikan beberapa pengalaman hasil penghitungan PDRB Hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Berau. 15
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 2.7.1. PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara Pada tahun anggaran 2002, Kementerian Lingkungan Hidup membuat uji coba untuk menyusun Buku Pedoman dan Penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukan nilai deplesi sektor hutan, sumber daya pertambangan batubara dan minyak bumi serta sumberdaya ikan ke dalam penghitungan PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 1999 dan 2000. Hasilnya ialah dapat diketahui nilai deplesi 4 macam sumberdaya alam tersebut seperti dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1 Nilai Deplesi Empat Sumberdaya Alam Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 1999-2000 (Rp.juta) Tahun
Batubara
Minyak Bumi dan Gas Alam
Hutan
Ikan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1999 2000
3.390.583 1.065.974
2.029.967 2.362.169
128.175 64.229
484.000 432.500
Sumber : Laporan Penghitungan Pendapatan Regional Hijau; Studi Kasus : Kabupaten Kutai Kartanegara, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2002
Dalam studi tersebut sebenarnya belum diperoleh nilai PDRB Hijau, karena baru memperhitungkan nilai deplesi 4 sektor sumberdaya alam saja. Sehingga nilai yang didapatkan baru mencerminkan nilai PDRB Semi Hijau karena belum menghitung nilai degradasi lingkungan seperti terlihat pada Tabel 2.2. Pada tahun anggaran 2003 usaha penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara dilanjutkan lagi dengan melihat unsur kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumberdaya alam utama yaitu hutan, ikan, minyak bumi dan gas alam serta batubara. Dengan memasukan nilai deplesi yang dikurangkan dari Produk Domestik Regional Bruto Coklat didapatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau. Selanjutnya untuk mendapatkan nilai Produk Domestik Regikonal Bruto Hijau harus dimasukan unsur degradasi lingkungan untuk dikurangkan dari nilai Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau. Tabel 2.3 menampilkan nilai PDRB Hijau
16
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 hanya dengan memasukan nilai degradasi karena penebangan, kerusakan dan kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tabel 2.2 PDRB dan Pendapatan Regional Semi Hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara
Uraian
1999
(1)
PDRB Bruto (Rp Milyar) Penyusutan (Rp Milyar) PDR Neto (Rp Milyar) Pajak Tak Langsung (Rp Milyar) Pendapatan Regional Coklat (Rp Milyar) Pendapatan Regional Coklat per kapita (Rp Juta) Penyusutan SDA (Rp Milyar) Pendapatan Regional Semi Hijau (Rp Milyar) Pendapatan Regional Semi Hijau per kapita (Rp Juta) Jumlah Penduduk
2000
(2)
(3)
14.954,2 867,3 14.086,9 2.676,8 11.410,0 24,6 6.067,3 5.342,8 11,5 463.440,0
18.380,0 1.066,0 17.314,0 3.266,8 14.047,2 32,3 3.200,0 10.847,2 24,9 434.759,0
Sumber : data diolah
Selanjutnya adanya penurunan Produk Domestik Regional Bruto Hijau secara drastis dari tahun 2000 hingga 2001 yaitu sebesar 283% dikarenakan terjadinya bencana alam kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk perhitungan pendapatan regional hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2000-2001 (Rp Milyar) No
Uraian
2000
2001
(1)
(2)
(3)
(4)
1 2 3 4 5
DPRB Deplesi SDA PDRB Semi Hijau Degradasi lingkungan kehutanan PDRB Hijau
oleh
sektor
18.380,00 3.924,90 14.455,10 166.770,11 a) -152.315,01
18.489,00 4.275,51 14.213,49 610.271,55 b) 102.540,64 c) -596.058,06 d) -88.327,15 e)
Sumber : data diolah Catatan : a) b) c) d) e)
Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan Termasuk degradasi akibat kebakaran hutan Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan termasuk terbakarnya hutan PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan tidak termasuk terbakarnya hutan
17
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 2.7.2. PDRB Hijau Kabupaten Karawang Selanjutnya Pada Tahun Anggaran 2003, Kementerian Lingkungan Hidup membuat uji coba untuk menyusun Buku Pedoman Dan Ujicoba Penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Karawang. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukan nilai deplesi sumberdaya alam pada sektor‐sektor usaha yang dihitung dalam penghitungan PDRB. Dalam mencari nilai deplesi sumberdaya alam, terlebih dahulu diiden‐ tifikasi sumberdaya apa saja yang dipakai atau dideplesi oleh sektor‐sektor dan sub‐sub sektor kegiatan ekonomi. Dalam identifikasi tersebut ternyata semua sektor dan sub‐sektor kegiatan ekonomi tidak luput dari penggunaan atau deplisi sumberdaya air. Dalam identifikasi juga ditemukan sektor penggalian dan pertambangan disamping menggunakan atau mendeplisi bahan‐bahan tambang. Di daerah Kabupaten Karawang tercatat adanya penambangan pasir, sirtu, dan batu andalit. Memang di Karawang terdapat pengilangan minyak, tetapi hal tersebut tidak tercatat mendeplisi sumberdaya mineral minyak bumi, melainkan hanya mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi. Jadi dalam hal ini tidak ada deplisi minyak bumi di Kabupaten Karawang. Setelah diketahui nilai sumberdaya alam yang dideplisi oleh masing‐masing sektor perekonomian, maka nilai‐nilai deplisi tersebut dimasukan dalam tabel nilai sumbangan terhadap PDRB konvensional yang telah ada, kemudian nilai sumbangan masing‐masing sub‐sektor dan nilai sumbangan sektor yang bersangkutan pada PDRB dikurangi dengan nilai‐nilai deplisi. Hasil pengurangan tersebut disebut nilai PDRB semi hijau seperti tampak pada Tabel 2.4. Walaupun secara absolut nilai‐nilai sumbangan masing‐masing sektor tampak lebih kecil dibandingkan dengan tanpa pengurangan nilai deplisi sumberdaya alam, namun secara persentase peranan sektor industri masih tampak dominan, disusul perdagangan, hotel dan restoran dan kemudian sektor pertanian.
18
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Tabel 2.4 Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 (Jutaan Rupiah) No
PDRB
Deplisi
PDRB Semi Hijau
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2 2.1 2.2 2.3 3 3.1 3.2 4 4.1 4.2 4.3 5 6 6.1 6.2 6.3 7 7.1 7.1.1 7.1.2 7.1.3 7.1.4 7.1.5 7.1.6 7.2 8
PERTANIAN Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan PERTAMBANGAN&PENGGALIAN Minyak dan Gas Bumi Pertambangan tanpa Minyak Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN Industri Migas Industri Non Migas LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH Listrik Gas Kota Air bersih BANGUNAN PERDAG., HOTEL DAN REST. Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran ANGKUTAN DAN KOMUNIKASI Angkutan Angkutan Kereta Api Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Sungai dan Penyeberang Angkutan Udara Jasa Penunjuang Angkutan Komunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN Bank Lembaga Keuangan Lain Sewa Bangunan Jasa Perusahaan JASA-JASA Pemerintahan Umum Swasta Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan dan Rekreasi Jasa Perseorangan+Rumah Tangga PDRB dengan Migas PDRB tanpa Migas
1.700.918,0 1.471.085,00 4.303,00 108.322,00 902,00 116.306,00 659.637,00 622.057,00 0,00 37.580,00 3.060.027,00 0,00 3.060.027,00 204.771,00 200.088,00 0,00 4.683,00 256.505,00 2.595.864,00 2.475.435,00 3.414,00 117.015,00 518.698,00 509.171,00 13.394,00 488.031,00 0,00 0,00 0,00 7.746,00 9.527,00 116.769,00
10.134,64 1.690.783,36 8.470,54 1.462.614,46 0,00 4.303,00 1.254,05 107.067,95 0,00 902,00 410,05 115.895,95 6.605,82 653.031,18 0,00 622.057,00 0,00 0,00 6.605,82 30.974,18 50.549,55 3.009.477,45 83,81 -83,81 50.465,74 3.009.561,26 0,00 204.771,00 0,00 200.088,00 0,00 0,00 0,00 4.683,00 0,00 256.505,00 80,13 2.595.783,87 69,34 2.475.365,65 10,79 3.403,21 0,00 117.015,00 114,09 518.583,91 114.09 509.056,91 0,00 13.394,00 114,09 487.916,91 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7.746,00 0,00 9.527,00 0,00 116.769,00
30.707,00 16.547,00 67.077,00 2.438,00 556.728,00 454.928,00 101.800,00 34.556,00 996,00 66.248,00 9.669.917,00 9.047.860,00
0,00 30.707,00 0,00 16.547,00 0,00 67.077,00 0,00 2.438,00 97,74 556.630,26 0,00 454.928,00 97,74 101.702,26 43,04 34.512,96 54,69 941,31 0,00 66.248,00 67.581,97 9.602.335,03 0,00 8.980.278,03
8.1 8.2 8.3 8.4 9 9.1 9.2 9.2.1 9.2.2 9.2.3
Lapangan Usaha
19
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 2.7.3. PDRB Hijau Kabupaten Bandung Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa nilai‐nilai dalam PDRB Hijau adalah hasil pengurangan nilai PDRB Coklat dengan nilai deplisi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Perlu dikemukakan bahwa hasil perhitungan nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung kali ini belum sempurna karena belum memasukan semua unsur deplisi dan degradasi yang benar‐benar terjadi, berhubung dengan keterbatasan data. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa angka‐angka yang ada masih dapat diperbaiki apabila tersedia data yang lebih lengkap dikemudian hari. Untuk sementara nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung pada tahun 2003 dapat ditampilkan sebagaimana tampak pada Tabel 2.5 Pada Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa nilai PDRB Hijau lebih kecil daripada nilai PDRB Coklat. Hal ini wajar karena semua kegiatan ekonomi umumnya menggunakan kapital dalam melakukan kegiatannya. Salah satu kapital atau modal yang digunakan adalah modal alami (natural capital) disamping modal‐modal lainnya yaitu modal buatan manusia (man‐made capital), dan modal sumberdaya manusia itu sendiri (SDM= human Capital). Bahkan sekarang masih dikenal satu jenis kapital lagi yaitu kapital sosial (social capital). Tabel 2.5 mengikhtisarkan hasil‐hasil perhitungan pada bagian dan bab sebelumnya. Ditunjukan bahwa nilai PDRB Coklat Kabupaten Bandung sebesar Rp.23.832,10 milyar pada tahun 2003. Kemudian dengan adanya deplisi sumberdaya alam pada tahun yang sama mengubah PDRB Coklat menjadi PDRB Semi Hijau dengan nilai sebesar Rp. 23.763,99 milyar. Dengan adanya degradasi lingkungan sebesar Rp.5.373,01 milyar maka dapat dihitung nilai PDRB Hijau sebesar Rp.18.390,98 milyar. Dengan diketahuinya penduduk Kabupaten Bandung sebanyak 4.017.582 orang, dapat dihitung PDRB Coklat per kapita Kabupaten Bandung adalah sebesar Rp.5.931.951,11 dan nilai PDRB Hijau per kapita adalah sebesar Rp. 4.577.624,05. Nilai PDRB Hjau per kapita inilah yang menunjukan nilai kesejahteraan yang sebenarnya karena pendapatan yang diciptakan dalam bentuk PDRB Hijau sudah dikurangi dengan penyusutan atau depresiasi modal alami (SDA dan lingkungan) guna menciptakan PDRB Coklat per kapita. Kalau PDRB Coklat sudah pula 20
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 dikurangkan nilai penyusutan modal buatan manusia dan pajak tidak langsung, maka didapatkan angka pendapatan regional Kabupaten Bandung. Kemudian dengan membagi nilai pendapatan regional tersebut diperoleh nilai pendapatan per kapita yang hijau. Tabel 2.5 PDRB Hijau Kabupaten Bandung Tahun 2003 No
Uraian
2003
(1)
(2)
(3)
1 2 3 4 5 6 7
PDRB Coklat (milyar rupiah) Deplisi SDA (milyar rupiah) PDRB Semi Hijau (milyar rupiah) Degradasi lingkungan (milyar rupiah) PDRB Hijau (milyar rupiah) PDRB Coklat per kapita (juta rupiah) PDRB Hijau per kapita (juta rupiah)
23.832,10 68,11 23.763,99 5.373,01 18.390,98 5.931.951,11 4.577.624,05
Sumber : Bandung dalam angka 2004, Data diolah. Catatan : Jumlah penduduk Kabupaten bandung tahun 2003 sebesar 4.017.582 jiwa.
2.7.4. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Berau Dari hasil perhitungan nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan dan kemudian mengurangkan dari nilai kontribusi sektor kehutanan kepada PDRB Coklat, didapatkan nilai Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB (perhatikan Tabel 2.6). Tabel 2.6 Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Hijau Kabupaten Berau Tahun 2000-2003 (Rp Milyar) Keterangan
2000
(1)
(2)
(3)
374,79 232,56 142,23
373,25 298,71 74,54
376,89 193,07 183,82
381,03 155,14 225,88
543,31 -401,08
620,12 -545,58
370,23 -186,41
260,15 -34,27
1.150,65
1.292,08
940,19
796,32
Kontribusi sektor Kehutanan pada *) Deplesi sumberdaya hutan Kontribusi semi hijau sektor kehutan an pada PDRB Degradasi SDH Kontribusi hijau sektor kehutanan pa da PDRB Nilai tambah sektor kehutanan
2001
2002 (4)
2003 (5)
Sumber : data diolah Catatan : *) Sektor Kehutanan termasuk didalamnya nilai kontribusi industri pengolahan kayu pada PDRB.
21
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Dengan nilai deplesi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan yang positip jumlahnya dan nilai kontribusi coklat sektor kehutanan pada PDRB yang lebih kecil dibanding dengan nilai deplesi ditambah nilai degradasinya, diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB yang negatip (‐ Rp. 34,27 milyar pada tahun 2003). Angka ini dapat diartikan sebagai hasil neto kinerja sektor kehutanan yang memberikan konstribusi coklat pada PDRB sebesar Rp. 381,03 milyar pada tahun 2003, tetapi dengan mengorbankan aset dibidang kehutanan sebesar Rp. 155,14 milyar dalam bentuk deplesi sumberdaya alam hutan dan degradasi lingkungan sebesar Rp. 260,15 milyar dalam bentuk degradasi lingkungan. Namun hendaknya kita sangat hati‐hati dalam menginterpretasikan angka‐angka tersebut. Berapa sesungguhnya kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan Kabupaten Berau yang diukur dengan nilai PDRB Kabupaten Berau?, jawabnya ialah bahwa konstribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan Kabupaten Berau (PDRB Coklat) adalah seluruh nilai tambah yang berupa konstribusi yang telah dihitung dalam PDRB Coklat ditambah nilai deplesi sumberdaya alam ditambah lagi dengan nilai degradasi lingkungan. Nilai kontribusi ini sebesar Rp. 796,32 milyar untuk tahun 2003. Dalam kasus ini nilai kontribusi sektor kehutanan lebih 2 kali lipat daripada nilainya yang telah dihitung dalam PDRB Coklat.
22
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
BAB III PDRB HIJAU KOTA DEPOK TAHUN 2013 Konsep PDRB Hijau berkaitan erat dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Setiap tahunnya BPS telah menghitung PDRB Konvensional, yang seringkali disebut dengan PDRB Coklat, karena uang cenderung berwarna coklat. Sedangkan PDRB Hijau adalah PDRB yang berkaitan dengan sumber daya alam, dimana sudah diperhitungkan faktor deplesi dan degradasi sumber daya alam. Sebagai gambaran, diambil contoh kasus penggalian pasir dan batu (sirtu). Penggali sirtu akan mendapat uang sebagai upah, juragan akan mendapat uang sebagai laba, dan Pemerintah akan mendapat uang sebagai restribusi atau pajak galian. Nah, uang itu yang dimasukan dalam penghitungan PDRB oleh BPS (PDRB Coklat). Padahal sebenarnya masih ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memulihkan kondisi alam yang berubah karena eksploitasi pasir dan batu yang dilakukan. Nilai PDRB Coklat yang telah dihitung kemudian dikurangkan dengan nilai deplesi dari volume sirtu yang di ekstraksi, maka akan didapat nilai PDRB Semi Hijau. Selanjutnya dari nilai PDRB Semi Hijau yang didapat jika dikurangi nilai penurunan kualitas lingkungan (degradasi), maka akan didapatkan PDRB Hijau. Pemerintah daerah seringkali dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya kurang memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan. Saat melakukan pembangunan dilakukan eksploitasi besar‐besaran terhadap sumber daya alam yang ada. Sehingga tanpa disadari bahwa biaya yang nantinya harus dikeluarkan untuk memulihkan lingkungan dan ekosistem alam yang sudah terlanjur rusak justru lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam yang telah dilakukan.
23
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
3.1. PDRB Coklat Kota Depok Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok setiap tahunnya secara rutin telah mempublikasikan PDRB konvensional menurut lapangan usaha yang telah dibagi dalam sembilan sektor utama. Tabel 3.1 berikut ini memperlihatkan nilai PDRB Konvensional (PDRB Coklat) Kota Depok pada tahun 2012 dan 2013. Tabel 3.1 Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012 dan 2013 PDRB Coklat Tahun (Juta Rp)
Sektor
(1)
1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas **) 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih 5. BANGUNAN 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan b. Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga PDRB
2012
2013
(2)
(3)
392.520,48 73.811,46 43,46 257.651,73 61.013,83 7.060.126,99 7.060.126,99 791.121,09 762.291,55 28.829,54 1.017.146,28 7.476.102,89 6.316.867,32 16.031,30 1.143.204,27 1.192.355,21 1.096.339,09 96.016,12
447.897,48 65.352,67 44,88 307.785,09 74.714,85 7.945.220,69 7.945.220,69 1.050.861,00 1.017.278,07 33.582,93 1.209.636,13 8.841.514,77 7.505.284,84 17.834,18 1.318.395,75 1.458.007,19 1.355.286,41 102.720,78
658.439,23 53.239,63 1.934,54 534.025,89 69.239,17 1.413.921,09 761.687,84 467.749,82 293.938,02 652.233,25 220.510,73 10.389,92 421.332,60
741.121,56 61.218,65 2.233,76 605.512,73 72.156,42 1.566.789,94 867.814,47 545.243,36 322.571,11 698.975,47 228.622,22 11.100,72 459.252,53
20.001.733,26
23.261.048,75
24
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Nilai PDRB Coklat Kota Depok berdasarkan harga berlaku pada tahun 2012 sebesar 20,00 Triliun Rupiah, sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 23,26 triliun rupiah. Besaran nilai PDRB Coklat yang disajikan pada Tabel 3.1 di atas, diperoleh dari penjumlahan seluruh nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi yang berlangsung di Kota Depok, tanpa memperhatikan faktor deplesi sumber daya alam atau pun degradasi lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan ekonomi.
3.2. Deplesi Sumber Daya Alam di Kota Depok PDRB Coklat yang selama ini telah dipublikasikan masih belum memperhitungkan dimensi lingkungan. Padahal seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi biasanya ada sumber daya alam yang ikut digunakan, atau bahkan bisa jadi suatu kegiatan ekonomi menyebabkan penurunan kualitas lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Supaya PDRB Hijau bisa dihitung maka perlu dilakukan identifikasi sumber daya alam apa saja yang terdeplesi, dan juga ditentukan macam degradasi lingkungan yang terjadi. Dalam melakukan identifikasi dan degradasi ini faktor ketersedian data harus menjadi perhatian yang utama. Sumber data bisa diperoleh dari berbagai sumber data terpercaya, seperti dari Badan Pusat Statistik, Badan Lingkungan Hidup, Bappeda, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air. Tabel 3.2 Identifikasi Deplesi dan Degradasi Lingkungan di Kota Depok Tahun 2012 dan 2013 Sektor
Deplesi
Degradasi
(1)
(2)
(3)
1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdag, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keu. Persewaan, & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah
- Alih fungsi lahan pertanian - Degradasi kualitas udara
25
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Setelah dilakukan studi dan dengan berbagai pertimbangan maka pada penghitungan PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2013 ini baru akan mendeplesikan satu sumber daya alam, yaitu air tanah. Sebenarnya sumber daya alam yang terdeplesi karena kegiatan ekonomi di Kota Depok tidak hanya air tanah saja, beberapa diantaranya adalah pohon yang ditebang untuk aktifitas ekonomi, serta pasir dan batu yang ditambang untuk proses pembangunan. Namun karena saat ini data tentang pohon yang ditebang dan juga penambangan pasir dan batu tidak tersedia, maka untuk semtara penghitungan deplesi di Kota Depok terbatas hanya pada air tanah saja. Tabel 3.3 Deplesi Air di Kota Depok Tahun 2013 Sub Sektor
Volume Deplesi 3 (M )
(1)
1. Tabama 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Perikanan 5. Industri 6. Listrik, Gas, dan Air Bersih 7. Bangunan 8. Perdagangan 9. Transportasi 10.Kantor 11.Kesehatan 12.Pendidikan 13.Tempat Ibadah
(2)
6.293.376,00 606.157,71 232.359,51 4.480.634,88 341.687.808,00 107.428.260,00 26.857.065,00 307.317,23 13.895,11 771.465,00 616.671,00 243.504,00 722.501,00
Volume deplesi yang diperoleh pada Tabel 3.3 diperoleh dengan cara mengolah berbagai data yang ada, digabungkan dengan berbagai hasil penelitian mengenai penggunaan sumber daya air. Misalnya pada sub sektor tabama, data‐data mengenai tanaman dan luas tanam diperoleh dari BPS, Dinas Pertanian, dan berbagai pihak terkait, selanjutnya data mengenai penggunaan air tanah oleh masih‐masing tanaman diperoleh dari berbagai penelitian yang sudah ada. Sub Sektor Industri tercatat sebagai sub sektor dengan volume penggunaan air tanah terbesar dalam perekonomian di Kota Depok di Tahun 2013. Lebih dari 341 juta M3air tanah digunakan oleh sub sektor industri.
26
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Tabel 3.4 Unit Rent (Rente Ekonomi) Air Tanah di Kota Depok Tahun 2013 3
Uraian
Rp / M
(1)
(2) 3
1. Harga Kotor per M 2. Biaya Produksi 0,6 * Rp 4.000, 3. Laba kotor Rp 4.000,- - Rp 2.400,4. Laba Layak 0,14 * Rp 1.600,5. Rente Ekonomi Rp 1.600,- - Rp 336,-
4.000 2.400 1.600 336 1.264
Rente Ekonomi atau unit rent dari air tanah perlu dihitung supaya dapat diperoleh nilai ekonomi dari deplesi air tanah. Rente ekonomi bisa didefinisikan sebagai nilai sumber daya alam saat masih berada di tempatnya. Harga kotor per M3 diperoleh dari harga pasaran air bersih yang didistribusikan oleh PDAM di Kota Depok. Pada Tahun 2013, harga kotor air bersih per M3 di Kota Depok sebesar Rp 4.000,‐. Ternyata untuk menghasilkan air bersih ini memerlukan biaya produksi sebesar 60 % nya, sehingga diperoleh laba kotor per M3 sebesar Rp 1.600,‐. Dengan diasumsikan pada Tahun 2013, tingkat suku bunga bank yang bisa dipergunakan sebagai penghitungan laba layak adalah sebesar 14 %, maka nilai laba layaknya sebesar Rp 336,‐. Sehingga nilai Rente Ekonomi dari air tanah per M3 nya adalah Rp 1.264,‐. Selanjutnya nilai deplesi air tanah dihitung dengan cara mengalikan volume air tanah yang digunakan pada setiap sektor atau sub sektor ekonomi dengan rente ekonomi dari air tanah. Kemudian dari hasil pengurangan nilai PDRB Coklat dengan nilai deplesi akan diperoleh PDRB Semi Hijau. Masih dikatakan semi hijau karena baru memperhatikan sumber daya alam yang terekstraksi dalam kegiatan ekonomi. Tabel 3.5 berikut ini menampilkan PDRB Semi Hijau di Kota Depok Tahun 2013. Pada sub sektor tanaman perkebunan nilai PDRB Semi Hijau‐nya negatif. Hal ini berarti bahwa dampak kerusakan lingkungan dari sub sektor tanaman perkebunan di Kota Depok pada Tahun 2013 tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh sub sektor ini.
27
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 Tabel 3.5 Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau Kota Depok Tahun 2013 (juta Rp) Sektor (1)
1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas **) 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih 5. BANGUNAN 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan b. Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga PDRB
PDRB Coklat
Deplesi
PDRB Semi Hijau
(2)
(3)
(4)
447.897,48 65.352,67 44,88 307.785,09 74.714,85 7.945.220,69 7.945.220,69 1.050.861,00 1.017.278,07 33.582,93 1.209.636,13 8.841.514,77 7.505.284,84 17.834,18 1.318.395,75 1.458.007,19 1.355.286,41 102.720,78
14.678,24 7.954,83 766,18 293,70 5.663,52 431.893,39 431.893,39 135.789,32
433.219,25 57.397,84 (721,31) 307.491,39 69.051,32 7.513.327,30 7.513.327,30 915.071,68
33.947,33 388,45
1.175.688,80 8.841.126,32
17,56
1.457.989,63
741.121,56 61.218,65 2.233,76 605.512,73 72.156,42 1.566.789,94 867.814,47 545.243,36 322.571,11 698.975,47 228.622,22 11.100,72 459.252,53
0,45
741.131,12
1.692,71
1.565.097,22
618.407,45
22.642.641,31
23.261.048,75
Persentase deplesi tertinggi terjadi pada sektor Listrik, Gas, dan Air bersih, dimana nilai yang terdeplesi mencapi 12,92 %.
28
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
3.3. Degradasi Lingkungan di Kota Depok Pada pengitungan PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2013 ini, degradasi lingkungan yang digunakan dalam penghitungan meliputi degradasi karena kualitas udara, dan degradasi karena alih fungsi lahan pertanian. Tabel 3.6 Degradasi Lingkungan di Kota Depok Tahun 2013 Uraian
Nilai Degradasi (juta Rp)
(1)
(2)
1. Degradasi Kualitas Udara Pendekatan Penderita ISPA Biaya Penghijauan
9.921 9.768 153
2. Degradasi Alih Fungsi Lahan Pertanian
3.240
Degradasi kualitas udara dihitung melalui dua pendekatan, yaitu besarnya biaya yang dikeluarkan untuk penghijauan, serta pendekatan penderita ISPA. Pendekatan penderita ISPA ini dihitung dengan cara menghimpun data jumlah orang sakit pernafasan yang disebabkan oleh pencemaran udara, selanjutnya dihitung biaya kesehatan yang dikeluarkan dan juga nilai kerugian dari menurunnya produktifitas kerja karena sakit ini. Nilai degradasi alih fungsi lahan pertanian dihitung dari nilai penurunan produksi hasil pertanian.
3.4. PDRB Hijau Kota Depok Jika PDRB Semi Hijau diperoleh dari PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi, maka PDRB Hijau diperoleh dari nilai PDRB Semi Hijau dikurangi dengan nilai degradasi lingkungan. Pada Tahun 2013 nilai PDRB Coklat Kota Depok sebesar Rp 23.261.048,75 juta. Nilai Deplesi dari air tanah sebesar Rp 618.407,45 juta. Diperoleh nilai PDRB Semi Hijau sebesar Rp 22.642.641,31 juta. (Rp 23.261.048,75 juta dikurangi Rp 618.407,45). Nilai degradasi dari alih fungsi lahan pertanian sebesar Rp 3.240 juta rupiah ditambahkan nilai degrasi dari penurunan kualitas udara sebesar Rp 9.921 29
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014 juta, digunakan untuk mengurangi nilai PDRB Semi Hijau, sehingga didapat nilai PDRB Hijau Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 22.629.480,35 juta Tabel 3.8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau Kota Depok Tahun 2013 Uraian (1)
PDRB Coklat Deplesi PDRB Semi Hijau Degradasi Alih fungsi lahan pertanian Penurunan Kualitas Udara PDRB Hijau
Nilai (juta Rp) (2)
23.261.048,75 618.407,45 22.642.641,31 13.161 3.240 9.921 22.629.480,35
30
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan a.
Nilai PDRB Coklat Kota Depok Tahun 2013 sebesar Rp 23.261.048, 75 juta.
b.
Nilai deplesi air tanah sama dengan nilai berkurangnya sumberdaya air tanah karena digunakan untuk kegiatan ekonomi.
c.
Total volume air tanah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi di Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar 489.246.398,71 M3.
d.
Unit rent / rente ekonomi dari air tanah di Kota Depok pada Tahun 2013 dihitung sebesar Rp 1.264,- per M3.
e.
Total nilai deplesi air tanah di Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 618.407,45 juta. Nilai deplesi air tanah diperoleh dengan cara mengalikan volume air tanah yang digunakan dengan unit rent / rente ekonomi dari air tanah.
f.
Nilai PDRB Semi Hijau Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 22.642.641,31 juta.
g.
Sub Sektor yang mempunyai nilai PDRB Semi Hijau negatif adalah tanaman perkebunan hal ini memperlihatkan bahwa kerugian terhadap alam karena penggunaan air tanah tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang dihasilkan
h.
Nilai degradasi lingkungan sama dengan menurunnya kualitas lingkungan yang terjadi karena kegiatan ekonomi.
i.
Nilai degradasi lingkungan diperoleh melalui pendekatan terhadap penurunan kualitas udara dan alih fungsi lahan pertanian.
j.
Nilai degradasi karena penurunan kualitas udara di Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 9.921 juta. Nilai degradasi karena alih fungsi lahan pertanian di Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 3.240 juta.
k.
Nilai PDRB Hijau di Kota Depok pada Tahun 2013 sebesar Rp 22.629.480,45 juta.
l.
Nilai PDRB Hijau di Kota Depok pada Tahun 2013 lebih kecil 2,72 % dibandingkan dengan nilai PDRB Coklat, sehingga dapat disimpulkan bahwa dampak lingkungan yang terjadi karena aktifitas ekonomi di Kota Depok pada Tahun 2013 tergolong kecil. 31
PDRB Hijau Kota Depok Tahun 2014
4.2. Saran a.
PDRB Hijau perlu untuk disusun secara kontinyu, sehingga perencanaan pembangunan dapat dievaluasi secara proporsional dalam kaitannya dengan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan (natural capital) yang digunakan sebagai modal pembangunan di samping modal fisik buatan manusia (man made capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital).
b.
Implementasi PDRB Hijau tidak akan serta merta meniadakan PDRB Konvensional (PDRB Coklat), tetapi minimal perlu disandingkan dengan PDRB Coklat, sehingga bisa diperoleh analisis pencapaian pembangunan yang berkelanjutan lebih realistis.
c.
Kebijakkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam harus benar-benar disasarkan atas nilai holistik (extractive use value, non – extractive use value, existance value, dan option value) dari sumber daya alam tersebut.
d.
Sebaiknya dilakukan berbagai penelitian pendukung supaya bisa diperoleh identifikasi dan data yang lebih lengkap terhadap deplesi dan degrasai sumber daya alam, sehinga bisa diperoleh PDRB Hijau yang semakin memperhatikan masalah sumber daya alam.
32
MENCERDASKAN BANGSA