EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA DEPOK
HARSALINA EKA SARAYA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Harsalina Eka Saraya NIM A44100063
ABSTRAK HARSALINA EKA SARAYA. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Depok. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN. Asian Green City Index merupakan suatu proyek penelitian untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia. Asian Green City Index ini berfokus pada isu kritis keberlanjutan lingkungan perkotaan dengan menggunakan suatu perangkat. Perangkat ini membantu kota untuk mengevaluasi kinerjanya dan meningkatkan upaya kota dalam mencapai keberlanjutan. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota menimbulkan beberapa masalah lingkungan, khususnya bagi kota yang memiliki keterkaitan erat dengan Ibukota Indonesia, seperti Kota Depok. Berdasarkan Asian Green City Index, terdapat delapan kategori yang dapat dianalisis untuk mencapai kota yang berkelanjutan, seperti: Energy and CO2, Land Use and Building, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality dan Environmental Governance. Hasil yang diperoleh memperlihatkan kinerja Kota Depok secara keseluruhan sebesar 46.1% dan termasuk ke dalam rentang ratarata. Sementara itu berdasarkan distribusi frekuensi, sebesar 53% masyarakat Kota Depok bahagia tinggal di Kota Depok. Hasil tersebut memperlihatkan kurangnya kepedulian masyarakat Kota Depok terhadap lingkungan sekitar. Kata kunci: asian green city index, kota berkelanjutan, kinerja kota
ABSTRACT HARSALINA EKA SARAYA. Evaluation of Green City Implementation in Depok City. Supervised by ALINDA FM ZAIN.
Concept
Asian Green City Index is a research project for quality improvement of human life in the world. The focus is about giving attention on the critical issue of urban environmental sustainability by creating a unique tool. This tool helps cities to evaluate their performance and improve best practices. The growth and development of cities appearently make some environmental problems, especially for the city that have a firm connection to the Indonesian Capital as Depok. Based on the Asian Green City Index, there are eight categories that should be analyzed to reach the Sustainable City, such as: Energy and CO2, Land Use and Building, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality and Environmental Governance. The results show the overall performance of Depok City is 46.1% and in a place on range average. Meanwhile, based on the frequency distribution, about 53% of people are happy living in Depok. The results show a lack of public awareness about the environment of Depok. Key words: asian green city index, city performance, sustainable city
© Hak Cipta Miliki IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikaan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA DEPOK
HARSALINA EKA SARAYA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah terkait konsep kota hijau, dengan judul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Depok Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Alinda FM Zain, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Indung Sitti Fatimah, MSi dan Dr Kaswanto, SP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Andi Gunawan, M.Agr.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak pengarahan selama mengikuti perkuliahan. Di samping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga terutama Bapak Ir Didiet Suhardi, Ibu Herlina, S.Pd, Harliana Dwi Asary dan Hariadi Trijati Nugroho atas dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. Terimakasih penulis ucapkan juga kepada temanteman yang membantu dalam penyelesaian penelitian ini serta teman-teman seperjuangan angkatan 47 yang sudah memberikan banyak dukungan, dinas-dinas dan instansi terkait di Kota Depok yang sudah banyak membantu dalam proses pencarian data, serta seluruh pihak atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari penelitian ini jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak Pemerintah Kota Depok dan pihak lain yang memerlukan. Atas segala kekurangan, penulis memohon saran dan kritik yang membangun agar penulisan kedepannya dapat lebih baik. Bogor, Agustus 2014 Harsalina Eka Saraya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
Kerangka Pikir
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kota
3
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
3
Urbanisasi
4
Kota Hijau
4
Kota Berkelanjutan
4
Green City Index
4
Asian Green City Index
5
Energi dan CO2
5
Penggunaan Lahan dan Bangunan
5
Transportasi dan Sistem Transportasi
5
Sampah
6
Air
6
Sanitasi
6
Udara dan Pencemaran Udara
6
Kebijakan Lingkungan Hidup
7
Kebahagiaan Masyarakat
7
METODOLOGI
8
Lokasi dan Waktu Penelitian
8
Batasan Penelitian
8
Alat dan Bahan Penelitian
8
Metode Penelitian
9
Inventarisasi
9
Analisis
11
Evaluasi
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
15
Profil Wilayah Kota Depok
15
Kondisi Fisik dan Lingkungan
16
Topografi
16
Hidrologi
16
Kemiringan Lereng dan Morfologi
16
Geologi
16
Iklim
16
Penggunaan Lahan
17
Penduduk
17
Laju Pertumbuhan Perekonomian
17
Inventarisasi
17
Aspek Kuantitatif
18
Aspek Kualitatif
18
Analisis
20
Energy and CO2
20
Land Use and Building
25
Transport
29
Waste
36
Water
42
Sanitation
47
Air Quality
51
Environmental Governance
55
Evaluasi
58
Evaluasi Seluruh Kategori Asian Green City Index
61
Index of Happiness
62
Green Initiatives
63
SIMPULAN DAN SARAN
66
Simpulan
66
Saran
66
DAFTAR PUSTAKA
67
RIWAYAT HIDUP
76
DAFTAR TABEL 1 Alat dan bahan penelitian 2 Proporsi jumlah responden pada setiap kecamatan 3 Data yang dibutuhkan 4 Baku mutu setiap indikator 5 Bobot indikator Asian Green City Index 6 Contoh tabel performa 7 Luas dan jumlah penduduk kecamatan Kota Depok 8 Kategori data kuantitatif 9 Kategori data kualitatif 10 Analisis kuantitatif Energy and CO2 11 Analisis kualitatif Energy and CO2 12 Analisis kuantitatif Land use and Building 13 Analisis kualitatif Land use and Building 14 Analisis kuantitatif Transport 15 Analisis kualitatif Transport 16 Analisis kuantitatif Waste 17 Analisis kualitatif Waste 18 Analisis kuantitatif Water 19 Analisis kualitatif Water 20 Analisis kuantitatif Sanitation 21 Analisis kualitatif Sanitation 22 Analisis kuantitatif Air Quality 23 Analisis kualitatif Air Quality 24 Analisis kualitatif Environmental Governance 25 Evaluasi kategori Energy and CO2 26 Evaluasi kategori Land use and buildings 27 Evaluasi kategori Transport 28 Evaluasi kategori Waste 29 Evaluasi kategori Water 30 Evaluasi kategori Sanitation 31 Evaluasi kategori Air Quality 32 Evaluasi kategori Environmental Governance 33 Performa Kota Depok 34 Kuesioner Index of Happiness
8 10 10 12 13 14 15 18 19 20 23 25 27 30 31 37 39 43 45 47 50 51 53 55 58 58 59 59 59 60 60 61 61 72
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Kerangka pikir penelitian Lokasi penelitian di Depok Rumah pembibitan tanaman Walikota Depok bersepeda menuju kantor pada Hari Selasa Lampu jalan di Jalan Margonda dan Jalan Raya Bogor, Kota Depok Gedung/bangunan tinggi di Kota Depok belum menerapkan konsep Eco Buildings 7 Taman lembah gurame di Kecamatan Pancoran Mas
3 8 23 24 25 28 29
8 Kondisi jalur hijau Jalan Proklamasi 9 Mobil penumpang umum trayek angkutan kota 10 Bus trayek antar kota dan bus bandara 11 Kondisi Stasiun Depok Baru di Kelurahan Depok 12 Kondisi Jalan Keadilan, Kecamatan Pancoran Mas 13 Jalur sepeda dan shelter sepeda yang terdapat di Kawasan Universitas Indonesia 14 Lahan parkir di Stasiun Depok Baru 15 Kondisi jalur pejalan kaki di Jalan Margonda 16 Diagram pengelolaan sampah di Kota Depok 17 Bank sampah Depok 18 Peninjauan pembuatan lubang sampah di Perumahan PT. Timah 19 Kondisi TPA Cipayung 20 Grafik persentase penggunaan sumber air di Kota Depok 21 Kegiatan gerakan biopori 22 Pembangunan sumur resapan air Kota Depok 23 Uji emisi di Kota Depok 24 Penanaman pohon di Taman Lembah Gurame 25 Kegiatan jumat bersih yang dilakukan oleh LSM Kota Depok 26 Pie chart tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Depok terhadap lingkungan sekitar 27 Kawasan perumahan di Kecamatan Beji dan Pancoran Mas 28 Contoh penggunaan listrik tenaga surya
29 32 32 33 34 35 35 36 39 40 41 42 44 46 47 54 56 58 62 63 64
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Kuesioner pengunjung Tabel batasan skoring kategori Land use and Building Tabel batasan skoring kategori Transport Tabel batasan skoring kategori Water Tabel batasan skoring kategori Sanitation Tabel batasan skoring kategori Air Quality Tabel batasan skoring kategori Environmental Governance
71 73 73 73 74 74 75
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan kota memicu adanya peningkatan laju urbanisasi penduduk dan berpotensi terjadi degradasi lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan kota dialami juga oleh Kota Depok, dikarenakan Kota Depok sebagai salah satu kota penyangga Ibukota Indonesia sehingga Kota Depok menjadi kota tujuan bermukim bagi warga yang bekerja di Jakarta. Hal tersebut menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan seperti peningkatan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, sampah, polusi udara, kerusakan lingkungan dan permasalahan lainnya yang menyebabkan kota menjadi kurang nyaman untuk dihuni. Dalam meminimalisir permasalahan tersebut diperlukan pengembangan kota yang ramah lingkungan agar dampak pengembangan lingkungan tidak semakin parah. Salah satu upaya pengembangan kota yang ramah lingkungan adalah dengan menerapkan konsep kota hijau. Menurut Kementerian PU (2013), kota hijau merupakan sebuah metafora dari pencapaian tujuan-tujuan pembangunan perkotaan berkelanjutan. Dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan harus terjadi keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup (Widiantono 2012). Dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan, salah satu elemen yang paling berpengaruh terhadap lingkungan adalah masyarakat. Penataan ruang akan sangat berpengaruh pada sumberdaya manusia yang berinteraksi dengan tempat, waktu dan budaya masyarakat setempat (Mirsa 2012). Menurut Shirvani (1985) dalam Mirsa (2012), dalam pembangunan suatu kawasan, ruang yang diperuntukkan untuk publik harus didukung oleh adanya elemen-elemen ruang yang dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna. Lingkungan yang semakin hijau mendorong manusia untuk melakukan aktivitas, meningkatkan interaksi sosial dan hubungan sosial serta dapat menurunkan angka kejahatan sosial (De Roo 2011). Sehingga dapat dikatakan semakin baik kualitas lingkungan maka masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut akan semakin bahagia karena didukung dengan lingkungan yang aman dan nyaman. Kota Depok diarahkan sebagai kota pemukiman, kota pendidikan, kota pariwisata, pusat pelayanan perdagangan dan jasa serta sebagai kota resapan air. Dalam perannya sebagai kota resapan air, tentunya kualitas lingkungan di Kota Depok harus tetap terjaga dan dapat terus ditingkatkan. Evaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Depok merupakan salah satu cara dalam meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Depok. Asian Green City Index dipakai sebagai perangkat dalam mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Depok dikarenakan memiliki pembobotan yang terukur dan memiliki kategori yang cukup sesuai dengan ketersediaan data di kota- kota Indonesia. Asian Green City Index yang berkolaborasi dengan Economist Intelligence Unit (EIU) memiliki delapan kategori untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan, antara lain Energy and CO2 (konsumsi energi dan emisi CO2), Land Use and Building (perubahan kondisi lingkungan yang sangat signifikan), Transport (pengaturan lalu lintas dan transportasi publik), Waste (pembuangan rata-rata per orang dan daur ulang sampah), Water (rata-rata
2 konsumsi air dan kualitas air di suatu kota), Sanitation (pengelolaan sanitasi), Air Quality (pengontrolan kualitas udara) dan Environmental Governance (kebijakan dan peran serta masyarakat). Asian Green City Index ini berfungsi untuk menganalisis dan membandingkan performa lingkungan dan upaya setiap Kota Asia untuk meningkatkan keberlanjutan kotanya serta membantu memahami kekuatan dan kelemahan dari setiap kota tersebut (Denig 2011). Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. bagaimana kinerja Kota Depok saat ini dilihat dari kedelapan kategori yang terdapat pada Asian Green City Index? 2. sudah sejauh mana Kota Depok menerapkan konsep kota hijau dalam pembangunan kotanya? Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kondisi umum dan kinerja Kota Depok berdasarkan delapan kategori Asian Green City Index. 2. Menganalisis kondisi umum dan kinerja Kota Depok berdasarkan delapan kategori Asian Green City Index. 3. Mengevaluasi kondisi umum dan kinerja Kota Depok dalam menerapkan konsep kota hijau. 4. Mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Depok terhadap keadaan lingkungan sekitar. Manfaat Penelitian 1. Menjadi referensi dalam meningkatkan kinerja Kota Depok. 2. Meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Depok. Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis kinerja Kota Depok berdasarkan Asian Green City Index serta upaya kota dalam meningkatkan keberlanjutan kotanya sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi penerapan konsep kota hijau yang terdapat di Kota Depok. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui status Kota Depok dalam menerapkan konsep kota hijau sehingga didapatkan skor kuantitatif dari kota tersebut. Kerangka Pikir Kerangka pikir penelitian (Gambar 1) dimulai dari mengidentifikasi kondisi umum Kota Depok dengan menggunakan metode survei lapang dan studi literatur kemudian dilakukan analisis berdasarkan kategori Asian Green City Index dengan menggunakan metode pembobotan. Dalam mengidentifikasi dan menganalisis kinerja Kota Depok, Asian Green City Index memiliki delapan kategori antara lain Energy and CO2, Land Use and Building, Tranport, Waste, Water, Sanitation, Air
3 Quality dan Environmental Governance. Kemudian dilakukan evaluasi penerapan konsep kota hijau yang disusun pada tabel kinerja kota. Evaluasi dilakukan juga dengan mengetahui persepsi masyarakat yang tinggal di Kota Depok dengan menggunakan metode kuesioner dan wawancara.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Kota Menurut Weber (1958) dalam Mirsa (2012), kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Menurut Wirth dalam Mirsa (2012), kota adalah permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Sehingga dapat disimpulkan, kota merupakan suatu daerah yang memiliki penduduk relatif banyak, adanya heterogenitas penduduk dan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Menurut Sjoberg (1965) dalam Mirsa (2012), beberapa faktor yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kota ditentukan oleh dasar ekologi dan teknologi yang relatif maju bagi prakondisi terbentuknya kota dalam suasana
4 agrikultur maupun non agrikultur, serta suatu organisasi sosial yang kompleks dan struktur kekuasaan yang berkembang.
Urbanisasi Urbanisasi merupakan proses yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang salah satunya dipicu oleh semakin banyaknya penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan baik yang disebabkan oleh pertumbuhan alami penduduk maupun migrasi penduduk. Proses perkembangan perkotaan menyebabkan semakin besarnya heterogenitas di perkotaan dimana tiap kelompok penduduk berusaha untuk menempati ruang sendiri di kota sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan otonomi lokal (Renggapratiwi 2009). Menurut Mc Gee (1995) dalam Renggapratiwi (2009), perkembangan kota-kota tersebut diiringi oleh perubahan positif dan negatif. Perubahan positif dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang cepat sehingga menciptakan dinamika perkotaan, perubahan penggunaan lahan, munculnya permukiman legal dan ilegal serta permasalahan lainnya. Selain itu, wilayah perkotaan yang semakin tumbuh dan berkembang juga menyebabkan berkembangnya heterogenitas yang menunjukkan perbedaan sosial penduduk. Kota Hijau Kota hijau sendiri dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, serta mensinergikan lingkungan alami dan buatan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan (Kementerian PU 2013). Kota Berkelanjutan Menurut Brundtland (1987) kota berkelanjutan (sustainable city) adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Dengan demikian, maka konsep kota berkelanjutan (sustainable city) berkembang lebih jauh, tidak lagi terpaku pada konsep awal yang lebih terfokus pada pemikiran kelestarian keseimbangan lingkungan sematamata (Budihardjo dan Sujarto 1999). Green City Index Green City Index merupakan suatu penelitian yang menganalisis performa lingkungan dari 120 kota di dunia. Green City Index juga menilai kebijakan dan upaya kota dalam mencapai keberlanjutan. Kebijakan ini mencerminkan komitmen dari suatu kota untuk mereduksi akibat negatif dari lingkungan yang akan datang (Denig 2012).
5 Asian Green City Index Asian Green City Index merupakan suatu proyek penelitian yang telah dilakukan di 22 negara Asia dengan memperlihatkan pokok bahasan dari tiap indikator yang bertujuan untuk membantu negara-negara Asia untuk saling belajar dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan dan memperlihatkan status suatu kota. Asian Green City Index berfungsi untuk menganalisis dan membandingkan performa lingkungan di kota-kota Asia dan usaha tiap kota untuk meningkatkan keberlanjutan kotanya (Denig 2011). Energi dan CO2 Energi adalah hal yang membuat segala sesuatu di sekitar kita terjadi. Energi terdapat di semua benda, seperti manusia, tanaman, binatang, mesin, dan elemen-elemen alam (matahari, angin, air dsb). Sektor energi adalah salah satu sektor terpenting di Indonesia karena merupakan dasar bagi semua pembangunan lainnya (Kementerian Dalam Negeri dalam kerangka Program PNPM-MP/LMP). Sedangkan pengertian dari CO2 adalah hasil pembakaran yang bertindak sebagai gas rumah kaca di atmosfer bumi, memerangkap panas dan menimbulkan perubahan iklim. Penggunaan Lahan dan Bangunan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian, seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad 1989). Menurut Carmona dkk (2003) dalam Mirsa (2012), bangunan mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur jaringan jalan dan area publik. Bangunan juga dapat berkembang lebih besar atau lebih kecil dengan bentuk dan tampak sesuai dengan keinginan pemiliknya dan dibuat dengan struktur bangunan yang terpisah. Transportasi dan Sistem Transportasi Menurut Morlok (1981) transportasi adalah memindahkan atau mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Jika ditinjau dari terminologinya, sistem transportasi antar wilayah adalah sistem pergerakan manusia dan barang antara satu zona asal dan zona tujuan dalam wilayah yang bersangkutan. Pergerakan yang dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana atau moda dengan menggunakan berbagai sumber tenaga dan dilakukan untuk suatu keperluan tertentu. Pergerakan manusia di perkotaan tentunya akan berbeda dengan pergerakan manusia di pedesaan. Peningkatan mobilitas pergerakan tersebut merupakan konsekuensi dari meningkatnya perekonomian kota.
6 Sampah Berdasarkan Undang- Undang No 18 tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Semakin meningkatnya jumlah penduduk akan semakin meningkat pula jumlah sampah yang dihasilkan. Sampah terbagi menjadi berbagai jenis, berikut termasuk jenis sampah adalah sampah rumah tangga (tidak termasuk tinja) dan sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas lainnya. Sampah menjadi masalah penting untuk kota yang padat penduduknya karena beberapa faktor, sebagai berikut: volume sampah sangat besar sehingga melebihi kapasitas daya tampung tempat pembuangan sampah akhir (TPA), lahan TPA semakin sempit karena tergeser tujuan penggunaan lain, teknologi pengelolaan sampah tidak optimal sehingga sampah lambat membusuknya dan peningkatan volume sampah menjadi lebih besar dari pembusukannya, pengelolaan sampah dirasakan tidak memberikan dampak positif kepada lingkungan serta kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah (Sudradjat 2007). Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Fungsi air bagi kehidupan tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Penggunaan air yang utama dan sangat vital bagi kehidupan adalah sebagai air minum (Slamet 2007). Menurut Mulia (2005), di dalam tubuh manusia air diperlukan untuk transportasi zat–zat makanan dalam bentuk larutan dan melarutkan berbagai jenis zat yang diperlukan tubuh. Peran air sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, sehingga kualitas air yang baik harus tetap terjaga untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Sanitasi Menurut Widyanti dan Yuliarsih (2002), sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Kondisi tersebut dapat dilihat dari pasokan air yang bersih dan aman, pembuangan limbah yang efisien, perlindungan makanan dari kontaminasi biologis dan kimis, udara serta rumah yang bersih dan aman. Pembuangan tinja dan limbah cair yang dilaksanakan secara saniter merupakan salah satu kegiatan dalam rangka penyehatan lingkungan, di samping berbagai kegiatan penyehatan lingkungan yang lain, seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah, higiene sanitasi makanan dan minuman dan lain sebagainya. Dalam rangka menyehatkan lingkungan, pembuangan tinja dan limbah cair tidak berdiri sendiri, tetapi bersama-sama dengan berbagai upaya penyehatan lingkungan yang lain (Soeparman dan Suparmin 2001). Udara dan Pencemaran Udara Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta mahluk hidup
7 lainnya sehingga harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi mahluk hidup lainnya. Pengertian pencemaran udara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 adalah masuknya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Pencemar udara sendiri terbagi menjadi dua, antara lain gas dan partikel. Sumber dari pencemaran udara dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumber yang bergerak dan sumber yang tak bergerak. Sumber yang bergerak meliputi sumber garis yang merupakan integrasi dari sumber titik yang tak terhingga banyaknya, seperti kendaraan di jalan raya. Sedangkan sumber yang tak bergerak meliputi: sumber titik (titik cerobong asap industri, misalnya emisi SOx dari cerobong PLTU), sumber area (integrasi dari banyak sumber titik) dan sumber garis (aglomerasi industri yang sejenis dan daerah penimbunan sampah) (Krupa 1997). Kebijakan Lingkungan Hidup Menurut Siregar (2007), kebijakan lingkungan hidup merupakan perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan sehat. Dalam penyediaan, penggunaan dan peningkatan kemampuan sumber daya alam dan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesadaran terhadap hak dan kewajiban, pencegahan terhadap tindakan perusakan bangunan, serta berkewajiban untuk turut melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup di daerah, diwujudkan melalu kebijakan pemerintah daerah yang bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. Dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya harus adanya kerjasama dan komitmen yang kuat antar lembaga terkait, masyarakat dan juga pemerintah daerah. Kebahagiaan Masyarakat Kebahagiaan adalah keinginan setiap orang di dunia dan dapat menjadi ukuran dalam kemajuan interaksi sosial di lingkungan tertentu. Kebahagiaan mewakili tujuan akhir dalam hidup dan menjadi ukuran yang nyata dalam mencapai kesejahteraan. Kebahagiaan dapat mempengaruhi kesehatan seseorang, semakin bahagia orang tersebut maka kesehatannya akan semakin baik (Helliwell et all. 2013). Kebahagiaan tidak memiliki ukuran yang pasti, namun adanya taman yang indah dan jalur pejalan kaki di suatu kota merupakan prasarana yang penting dalam menciptakan kehidupan kota yang bahagia secara berkelanjutan. Peningkatan kualitas hidup dan kebahagiaan, secara tidak langsung akan menjadikan investasi terbaik dalam aspek persaingan dan pertumbuhan ekonomi suatu kota (Penalosa 2002).
8
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kota Depok, Jawa Barat (Gambar 2). Kegiatan penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.
. Gambar 2 Lokasi penelitian di Depok Sumber: RTRW Kota Depok tahun 2011-2031 Batasan Penelitian Batasan penelitian ini adalah menganalisis kondisi umum dan kinerja Kota Depok berdasarkan delapan kategori pada Asian Green City Index sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi bagi Kota Depok. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kinerja Kota Depok dalam menerapkan konsep kota hijau yang ditampilkan pada tabel kinerja kota. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan penelitian yang digunakan selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan penelitian Alat Kamera Bahan Peta dasar Kota Depok RTRW Kota Depok Bahan Pustaka Kuesioner
Kegunaan Pengambilan gambar Kegunaan Panduan pengambilan dan pengolahan data Mengetahui rencana pengembangan ruang menuju kota hijau Studi literatur Mengetahui data kualitatif dan persepsi masyarakat
9 Metode Penelitian Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahapan, antara lain: inventarisasi, analisis dan evaluasi. Berikut merupakan penjabaran pada setiap tahapan penelitian. Inventarisasi Inventarisasi diawali dengan mengumpulkan data dan semua informasi terkait kondisi umum dan kinerja Kota Depok berdasarkan delapan kategori pada Asian Green City Index dan persepsi masyarakat (Index of Happiness) di Kota Depok. Pada tahap ini menggunakan metode survei berupa wawancara dan studi pustaka kepada dinas dan instansi terkait serta masyarakat. Dalam mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat menggunakan metode kuesioner dan wawancara untuk mengetahui persepsi masyarakat tinggal di Kota Depok (Lampiran 1). Sedangkan untuk menentukan besar ukuran sampel responden kuesioner, dilakukan dengan menggunakan konsep Slovin. Rumus Slovin:
n
N N .d 2 1
Dimana: n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan
Penentuan ukuran sampel: n
1898567 1898567(10%)2 1
1898567 1898567(0.01) 1
99.99 ≈ 100 responden Beberapa keterangan mengenai rumus Slovin, yaitu: 1. Rumus Slovin dapat dipakai untuk menentukan ukuran sampel, hanya jika penelitian bertujuan untuk menduga proporsi populasi, 2. Asumsi tingkat keandalan 95%, karena menggunakan α= 0.05, sehingga diperoleh nilai Z= 1.96 yang kemudian dibulatkan menjadi Z=2, 3. Asumsi keragaman populasi yang dimasukan dalam perhitungan adalah P(1-P), dimana P=0.5, dan 4. Nilai galat pendugaan (d) didasarkan atas pertimbangan peneliti. (Umar 2004 dalam Setiawan 2007) Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak (random/ probability sampling) yang berarti semua populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang
10 akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Random sampling dipilih agar dapat dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi/ melakukan generalisasi karena proporsi jumlah responden ditentukan untuk mewakili sejumlah populasi di Kota Depok. Teknik dalam pemilihan sampel yang lebih spesifik, yaitu menggunakan area sampling atau sampel wilayah. Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah (Mustafa 2000). Misalnya seperti ingin mengetahui tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Depok terhadap keadaan lingkungan sekitar sehingga semakin banyak jumlah penduduk pada suatu wilayah (kecamatan), kesempatan untuk dipilih akan semakin besar pula. Jumlah responden pada setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Proporsi jumlah responden pada setiap kecamatan No.
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Responden*
1
Sawangan
134 943
7.10= 7
2
Bojongsari
108 913
5.74= 6
3
Pancoran Mas
229 887
12.11= 12
4
Cipayung
139 689
7.36= 7
5
Sukmajaya
253 687
13.36= 13
6
Cilodong
136 519
7.19= 7
7
Cimanggis
264 248
13.92= 14
8
Tapos
236 113
12.5= 13
9
Beji
181 171
9.54= 10
10 11
Limo 96 047 Cinere 117 350 Total 1 898 567 *Jumlah penduduk per kecamatan/total jumlah penduduk Kota Depok
5.06= 5 6.18= 6 100
Adapun data- data yang dikumpulkan pada tahap inventarisasi dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Data yang dibutuhkan No
Data
1
Kondisi Umum Kota Depok
Letak, luas, batas tapak, topografi kemiringan lereng, iklim, jenis tanah, geologi, penggunaan lahan, demografi,
2
Aspek Kuantitatif
Energy and CO2, Land Use and Building, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality
Jenis Data Sekunder
Sekunder
Sumber Data RTRW Kota Depo 2011-2031, Penyusunan Master plan RTH 2013, Buku Laporan SLHD 2012 BLH, DKP Kota Depok, Distarkim, DSDA, PDAM, DISHUB, BAPPEDA
Cara Pengambilan Studi pustaka
Studi Pustaka
11 Tabel 3 Data yang dibutuhkan (lanjutan) No
Data
3
Aspek Kualitatif
Energy and CO2, Land Use and Building, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality, Environmental Governance
4
Persepsi Masyarakat
Tingkat kebahagiaan masyarakat (Index of Happiness)
Jenis Data Primer, Sekunder
Cara Pengambilan Survei, wawancara, studi pustaka
Sumber Data BLHD, DKP Kota Depok, Distarkim, DSDA, PDAM, DISHUB, BAPPEDA, Komunitas
Primer
Masyarakat Kota Depok
Wawancara, Kuesioner
Analisis Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi kinerja Kota Depok yang dilihat dari kedelapan indikator yang terdapat pada Asian Green City Index (AGCI). Asian Green City Index ini merupakan perangkat (tools) yang digunakan untuk menganalisis kinerja kota agar indikator tersebut lebih terstruktur dan terlihat jelas nilai pembobotannya. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu: pada data kuantitatif menggunakan teknik normalisasi, dengan cara menghitung keberlimpahan hasil data dengan baku mutu yang ditentukan (Tabel 4) menggunakan rumus perhitungan zero-max approximation/min-max approximation yang terbagi menjadi empat tipe rumus, antara lain: a. Rumus perhitungan di bawah ini digunakan apabila nilai yang diperoleh semakin besar akan semakin baik/memiliki dampak positif pada lingkungan. (
)
b. Rumus perhitungan di bawah ini digunakan apabila nilai yang diperoleh semakin besar akan semakin buruk/berbahaya bagi lingkungan. (
)
c. Rumus perhitungan di bawah ini digunakan apabila nilai yang diperoleh semakin besar akan semakin buruk/berbahaya bagi lingkungan serta baku mutu yang di gunakan memiliki nilai minimal dan nilai maksimal. (
)
d. Rumus perhitungan di bawah ini digunakan apabila nilai yang diperoleh semakin besar akan semakin baik/memiliki dampak positif pada lingkungan serta baku mutu yang di gunakan memiliki nilai minimal dan nilai maksimal. (
)
12 Tabel 4 Baku mutu setiap indikator No. 1.
Kategori Energy and CO2 Land Use and Building
Indikator Emisi CO2 Konsumsi Energi Kepadatan Penduduk
Baku Mutu ≤ 1 378 672 905. 5 kg CO2 1) ≤ 815 kwh/orang 2) ≤ 10 000 orang/Km2 3)
Luas RTH
≥ 30% 4)
3.
Transport
Panjang jaringan transportasi publik
≥ 0.3 km/km2 3)
4.
Waste
5.
Water
Jumlah sampah yang dihasilkan Jumlah sampah terangkut Konsumsi air per kapita
2.
Kebocoran sistem air 6.
7.
Sanitation
Air Quality
Masyarakat yang memiliki jamban pribadi Jumlah limbah cair yang sudah diolah Konsentrasi NO2 Konsentrasi SO2 Konsentrasi PM10
≤ 4746 m3/hari 5) ≥ 70% 6) Min :60 lt/hari/org, Max :126.9 lt/hari/org 7) ≤ 45% 3) Min : 20%, Max : 100% 3) Min :10%, Max : 100% 3) ≤ 150 µg/Nm3/hari 8) ≤ 365 µg/Nm3/hari 8) ≤ 150 µg/Nm3/hari 8)
Sumber: 1) PT PLN (PERSERO) 2012,2)ESDM 2012, 3) Asian Green City Index,4) UU No. 26 Tahun 2007, 5) Standar SNI 19-3964-1994, 6) Permen PU No. 14 tahun 2010 7)Permendagri No. 23 Tahun 2006 (60 lt/orang/hari ) dan Kementerian Pekerjaan Umum (126.9 lt/orang/hari),8)PP Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999
Sedangkan pada data kualitatif, dalam menilai upaya kota mencapai keberlanjutan dengan mengelompokan upaya tersebut ke dalam empat skor, dimana skor 0 merupakan nilai terkecil dan skor 3 merupakan nilai terbesar. Adapun rumusan pembobotan yang digunakan sebagai berikut: 0= tidak ada aturan, tidak ada penerapan, 1= ada aturan, belum ada penerapan/belum ada aturan, ada penerapan, 2= ada aturan dengan penerapan ≤ 50%, 3= ada aturan dengan penerapan > 50%. Dalam penentuan skor 2 atau 3 dengan mengidentifikasi sejauh mana suatu upaya di Kota Depok telah dilakukan berdasarkan kriteria yang telah di tentukan dan terdapat dalam lampiran 2 hingga lampiran 7. Setelah dilakukan penetapan rumusan pembobotan, maka tahap selanjutnya yaitu menentukan persentase penerapan upaya di Kota Depok dalam mencapai keberlanjutan, yang dirumuskan sebagai berikut: Nilai penerapan total (Xt) = x1+x2+...+xn Nilai maksimal (Xmax) = jumlah upaya yang dilakukan x poin maksimal * *sudah terdapat dalam Asian Green City Index
Kategori dan indikator Asian Green City Index beserta bobot pada masing- masing indikator dapat dilihat pada Tabel 5.
13 Tabel 5 Bobot indikator Asian Green City Index No.
Kategori
Jenis data
1.
Energy and CO2
2.
Land Use and Buildings
3.
Transport
Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kualitatif
4.
Waste
5.
Water
6.
Sanitation
7.
Air Quality
8.
Environmental Governance
Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Indikator Emisi CO2 (kg) Konsumsi energi (kwh/ orang) Kebijakan mereduksi karbon Rencana mengatasi perubahan iklim Kepadatan penduduk (orang/km2) Luas RTH (%) Kebijakan Eco Buildings Kebijakan penggunaan lahan Panjang jaringan transportasi publik (km/km2) Kebijakan pembuatan transportasi massa perkotaan yang berkelanjutan Kebijakan mengurangi kemacetan Jumlah sampah yang dihasilkan (m3/hari) Jumlah sampah terangkut (%) Kebijakan pengumpulan dan pembuangan sampah Kebijakan mendaur ulang limbah Konsumsi air per kapita (l/hari/org) Kebocoran sistem air (%) Kebijakan meningkatkan kualitas air Kebijakan mengelola sumberdaya air secara efisien Masyarakat yang memiliki jamban pribadi (%) Jumlah limbah cair yang sudah diolah (%) Kebijakan kebersihan lingkungan Konsentrasi NO2 (µg/Nm3/hari) Konsentrasi SO2 (µg/Nm3/hari) Konsentrasi PM10 (µg/Nm3/hari) Kebijakan kebersihan udara Pengelolaan lingkungan Pengawasan lingkungan Partisipasi masyarakat
Bobot AGCI 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 33% 33% 33% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 33% 33% 33% 25% 25% 25% 25% 33% 33% 33%
Sumber: Denig 2011
Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan menyusun hasil setiap indikator pada tabel evaluasi kemudian dilakukan pemberian rekomendasi berupa green initiatives pada setiap kategori. Green initiatives ini direkomendasikan dengan melihat permasalahan lingkungan dan mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat ditingkatkan di Kota Depok. Hasil pembobotan setiap indikator di kelompokan ke dalam tabel performa yang terdiri dari lima kriteria, antara lain well below average (sangat di bawah rata-rata), below average (di bawah rata-rata), average (rata-rata), above average (di atas rata-rata), well above average (sangat di atas rata-rata). Pada contoh tabel performa (Tabel 6), tanda bulat merupakan merupakan posisi kinerja kota pada setiap kategori. Keseluruhan hasil didapatkan dari hasil pembobotan data kuantitatif dan data kualitatif, hasil evaluasi diharapkan dapat dijadikan dasar pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kota.
14 Tabel 6 Contoh tabel performa Well below average (0%-20%)
Below average (20%-40%)
Above average (60%-80%)
Well Above Average (80%-100%)
Energy and CO2 Land Use and Building Transport
Waste
Water Sanitation Air Quality Environmental Governance Hasil Keseluruhan Sumber: Denig 2011
Average (40%-60%)
Dalam tahapan evaluasi dilakukan juga pengukuran persepsi masyarakat Kota Depok (index of happiness). Pengukuran dilakukan menggunakan metode kuesioner sehingga diperoleh jumlah persentase masyarakat yang memiliki tingkat kebahagiaan sangat tinggi, tinggi dan sedang. Pengukuran ini bertujuan untuk melihat tingkat kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Kota Depok kemudian di sesuaikan dengan kinerja kota dalam menerapkan konsep kota hijau. Dalam The Greater Victoria Well-Being Survey, beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasaan hidup seseorang antara lain: kesehatan fisik dan mental, keseimbangan waktu, kualitas bersosialisasi, kualitas budaya, kepuasan finansial, kualitas pemerintahan dan kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan berarti memiliki lingkungan alami dan kualitas lingkungan yang baik, hal tersebut akan berpengaruh terhadap peningkatan kebahagiaan seseorang. Skala likert yang digunakan pada penelitian ini adalah skala 1 hingga skala 3 dengan ketentuan skala 1 adalah tidak setuju, skala 2 kurang setuju dan skala 3 setuju. Pada kuesioner tingkat kebahagiaan ini terdapat 20 variabel yang diteliti (Tabel 34) yang dilihat dari kondisi lingkungan aktual Kota Depok saat ini. Sehingga diperoleh skala minimum sebesar 20.0 dan skala maksimum sebesar 60.0, perhitungan rentang skala penilaian menggunakan rumus sebagai berikut: (
) (
)
Berdasarkan rentang tersebut maka kriteria kebahagiaan masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok, antara lain: 1. rendah (kurang bahagia) : Skor 20.0 – 33.3 2. sedang (bahagia) : Skor 33.4 – 46.7 3. tinggi (sangat bahagia) : Skor 46.8 – 60.0
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Wilayah Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak pada koordinat 6º19’00”- 6º28’00” Lintang Selatan dan 106º43’00”-106º55’30” Bujur Timur, dengan luas kurang lebih 200.29 km2. Kota Depok memiliki 11 kecamatan dan 63 kelurahan, yaitu Kecamatan Beji, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Cinere, Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Cipayung Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bojongsari, Kecamatan Cilodong, dan Kecamatan Tapos. Sebagai daerah penunjang Ibukota Jakarta, letak Kota Depok berada pada posisi yang sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. Berdasarkan data kependudukan dari BPS (Tabel 7), jumlah penduduk Kota Depok tahun 2012 mencapai 1 898 567 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 961 876 jiwa (50.66%) dan penduduk perempuan sebanyak 936 691 jiwa (49.34%). Secara administratif Kota Depok berbatasan langsung dengan beberapa kota lain, diantaranya: utara : Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Timur, timur : Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat, selatan :Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dan barat :Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten. Tabel 7 Luas dan jumlah penduduk kecamatan Kota Depok No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sawangan Bojongsari Pancoran Mas Cipayung Sukmajaya Cilodong Cimanggis Tapos Beji Limo Cinere Total
Sumber: BPS Kota Depok 2012
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
25.90 19.79 18.21 11.63 18.04 16.09 21.22 32.33 14.30 12.32 10.46
134 943 108 913 229 887 139 689 253 687 136 519 264 248 236 113 181 171 96 047 117 350
200.29
1 898 567
16 Kondisi Fisik dan Lingkungan Topografi Kota Depok memiliki pola topografi yang beragam, pada wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan dataran rendah dengan elevasi antara 50-80 mdpl. Sedangkan wilayah Kota Depok bagian tengah memiliki ketinggian 80-110 mdpl dan di bagian selatan merupakan area perbukitan, bergelombang lemah dengan elevasi >110 mdpl. Hidrologi Kota Depok memiliki setidaknya 3 (tiga) sungai utama yang mengalir melewati Kota Depok dari selatan ke utara. Ketiga sungai besar yang melewati wilayah Kota Depok ini berperan sebagai sungai induk bagi sungai-sungai kecil yang tercakup dalam daerah aliran sungai masing‐masing. Menurut arahan sistem air baku dan pengendali banjir dalam Peraturan Presiden No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur, Kota Depok termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Angke Pesanggrahan, DAS Cikeas Cileungsi dan DAS Ciliwung. DAS Ciliwung memiliki daerah cakupan aliran sungai yang paling besar bila dibandingkan dengan DAS lainnya. Kemiringan Lereng dan Morfologi Kemiringan lereng di Kota Depok dapat terbagi menjadi tiga bagian, antara lain: wilayah dengan kemiringan 0-8% (lereng datar) tersebar di bagian utara melintang ke timur, wilayah dengan kemiringan lereng antara 8-15% (lereng landai) tersebar hampir di seluruh kota terutama di bagian tengah membentang dari barat ke timur dan wilayah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15-20% (lereng bergelombang) terdapat di sepanjang Sungai Ciliwung, Cikeas, dan bagian selatan Sungai Angke. Pada wilayah ini kemiringan lereng cukup terjal sehingga cenderung perlu dikonservasi. Geologi Kondisi geologi Kota Depok termasuk dalam sistem geologi cekungan Botabek yang dibentuk oleh endapan kuarter yang berupa rombakan gunung api muda dan endapan sungai. Struktur geologi di daerah ini merupakan lapisan horizontal dengan kemiringan lapisan mendekati datar yang diperkirakan berarah utara-selatan. Iklim Wilayah Depok termasuk dalam daerah beriklm tropis dengan perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim musim. Secara umum musim kemarau antara bulan April-September dan musim hujan antara bulan Oktober- Maret. Temperatur : 24.3º-33º C Kelembaban rata-rata : 25% Penguapan rata-rata : 3.9 mm/tahun Kecepatan angin rata-rata : 14.5 knot Penyinaran matahari rata-rata : 49.8% Jumlah curah hujan : 2684 m/tahun Jumlah hari hujan : 222 hari/tahun
17 Penggunaan Lahan Secara umum penggunaan lahan di Kota Depok didominasi oleh sawah seluas 19 617.59 Ha atau sekitar 97.95% dari total luas wilayah. Kota Depok juga banyak terdapat kebun campuran yang luasannya mencapai 7 312.20 Ha atau sekitar 36.51% dari total luas wilayah. Menurut hasil analisis dan perhitungan, pemanfaatan ruang di Kota Depok didominasi oleh lahan terbangun sekitar 52.30% dari total luas wilayah, penggunaan lahan terbangun tersebut paling besar jumlahnya digunakan untuk lahan pemukiman dengan nilai 48.57% dari luas lahan Kota Depok. Kawasan pemukiman yang terdapat di Kota Depok meliputi kawasan pemukiman terstruktur/teratur yang biasa dibangun oleh pengembang dan kawasan perumahan non terstruktur/tidak teratur yang umumnya dibangun secara perorangan. Penduduk Jumlah penduduk di Kota Depok tahun 2012 mencapai 1 898 567 jiwa, terdiri atas laki-laki 961 876 (50.66%) dan perempuan 936 691 jiwa (49.34%), sedangkan luas wilayah hanya 200.29 km2. Tingkat kepadatan penduduk Kota Depok sebesar 9479 jiwa/km2, tingkat kepadatan tersebut tergolong padat jika dikaitkan dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Kecamatan Sukmajaya merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi, yaitu 14 062 jiwa/ km2, sedangkan tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Sawangan dengan tingkat kepadatan 5210 jiwa/ km2. Laju Pertumbuhan Perekonomian Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Kota Depok mengalami pasang surut (fluktuatif) yang disebabkan oleh dampak eksternal. Depok pernah mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu pada tahun 2007 mencapai 7.04%, namun pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 6.42% dan menjadi 6.22% pada tahun 2009 sebagai dampak dari krisis keuangan global. Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan membaik seiring dengan membaiknya kondisi finansial global meskipun tetap perlu diantisipasi adanya kemungkinan krisis baru. Pertumbuhan ekonomi Kota Depok kedepan membutuhkan fondasi ekonomi yang lebih kuat lagi, sehingga pertumbuhan yang ada dapat stabil dan memiliki kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan data terakhir, sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor sekunder (6.6%), sedangkan sektor tersier tumbuh sebesar 5.95 % dan primer hanya sebesar 3.99%. Tingginya pertumbuhan sektor sekunder disebabkan oleh pertumbuhan yang tinggi pada subsektor bangunan/konstruksi. Sedangkan pada sektor tersier, pertumbuhan tertinggi ditemukan pada sub sektor jasa. Inventarisasi Salah satu cara untuk mencapai kota yang berkelanjutan yaitu dengan cara penyempurnaan seluruh indeks berdasarkan Asian Green City di Kota Depok. Terdapat delapan indeks atau kategori pada Asian Green City Index, antara lain: Energy and CO2, Land Use and Building, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality, dan Environmental Governance.
18 Berdasarkan hasil survei lapang dan studi pustaka yang sudah dilakukan, maka didapatkan data terkait yang terbagi ke dalam aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek Kuantitatif Data kuantitatif merupakan data numerik yang dapat diukur terkait kondisi umum di Kota Depok. Adapun data kuantitatif terbagi kedalam tujuh kategori dan 14 indikator (Tabel 8). Tabel 8 Kategori data kuantitatif Kategori Energy and CO2
Indikator Emisi CO2
Hasil 603 571 156.7 kg CO2
Tahun 2012
Sumber Depok Angka
Konsumsi energi
356.8 kwh/org
2012
Depok Angka
Land Use and Building
Kepadatan penduduk
9479 org/Km2
2012
Luas RTH
19.4%
Transport
Panjang jaringan transportasi publik
0.051 km/km2
2012, 2013 2012
Depok Dalam Angka BLH Kota Depok, DKP Kota Depok Dishub Kota Depok
Waste
Jumlah sampah dihasilkan
5112 m3/hari
2013
BLH Kota Depok
Jumlah sampah terangkut
69.9%
2013
BLH Kota Depok
Konsumsi air
35.83 l/hari/orang 21.49%
2013
PDAM Kab Bogor
2013
PDAM Kab Bogor
Masyarakat yang memiliki jamban pribadi
95.01%
2012
Laporan Studi ERHA Kota Depok
Jumlah limbah cair yang sudah diolah
31%
2012
BLH Kota Depok
Keberlimpahan NO2
41.6 µg/Nm3/hari 67.9 µg/Nm3/hari 141.5 µg/Nm3/hari
2013
BLH Kota Depok
2013
BLH Kota Depok
2013
BLH Kota Depok
Water
yang
Kebocoran sistem air Sanitation
Air Quality
Keberlimpahan SO2 Keberlimpahan PM10
Dalam
Dalam
Aspek Kualitatif Data kualitatif merupakan data terkait dengan upaya yang dilakukan Kota Depok dalam menuju kota yang berkelanjutan. Upaya tersebut merupakan upaya yang sudah dilakukan ataupun masih berupa rencana/arahan. Upaya yang terdapat di Kota Depok tidak hanya upaya yang menjadi program pemerintah, namun menjadi program masyarakat, komunitas lingkungan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Adapun data kualitatif terbagi kedalam delapan kategori dan 15 indikator (Tabel 9).
19 Tabel 9 Kategori data kualitatif No. 1.
Kategori Energy and CO2
Indikator Kebijakan mereduksi karbon dan Rencana mengatasi perubahan iklim
2.
Land Use and Building
3.
Transport
Kebijakan Eco Buildings Kebijakaan penggunaan lahan Kebijakan pembuatan trasportasi massa perkotaan yang berkelanjutan Kebijakan mengurangi kemacetan
4.
Waste
Kebijakan pengumpulan dan pembuangan limbah serta Kebijakan mendaur ulang limbah
5.
Water
Kebijakan meningkatkan kualitas air Kebijakan mengelola sumberdaya secara efisien Kebijakan kebersihan lingkungan
6.
Sanitation
7.
Air Quality
Kebijakan kebersihan udara
air
Upaya Program penanaman pohon Program One Man One Tree Rumah pembibitan tanaman One Day No Car Car Free Day Kampung iklim Pengembangan energi alternatif Pembinaan implementasi Green Building Penyediaan RTH publik bagi pengembang Penataan bangunan dan lingkungan Penyediaan RTH di Kota Depok Penyediaan jaringan angkutan massal kota Pengembangan sistem jaringan transportasi perkeretaapian Pengembangan halte Peningkatan kualitas dan kuantitas terminal penumpang Pengembangan jaringan jalan Pengembangan jalur sepeda Park and Ride Pengembangan sistem perparkiran Penyediaan jaringan jalan pejalan kaki Ride sharing oleh Komunitas Nebengers Gerakan depok memilah Pengembangan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) Pengembangan (TPPAS) Regional Nambo Pengembangan TPA Pengembangan TPS Pengembangan Stasiun Peralihan Antara Pengembangan angkutan persampahan kota Pembuatan TPS Limbah B3 Skala Kota Sumur Pantau Gerakan biopori Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cekungan Air Tanah (CAT) Sumur resapan Penggantian meteran pelanggan Penggantian jaringan pipa Meningkatnya rumah tangga bersanitasi layak Program percepatan pembangunan sanitasi pemukiman (PPSP) Jambore sanitasi Pemanfaatan limbah cair sebagai variasi pengguna pembungkus belimbing dan pengganti pupuk organik Peningkatan kualitas teknologi pengolahan air limbah Pemisahan sistem pembuangan air rumah tangga dengan sistem jaringan drainase Uji emisi Membatasi perizinan angkutan umum Mempersiapkan setiap kecamatan memiliki lokasi jalan bebas kendaraan
20 Tabel 9 Kategori data kualitatif (lanjutan) No. 8.
Kategori Environmental Governance
Indikator Pengelolaan lingkungan
Upaya Rehabilitasi lingkungan Perda No. 13 tahun 2013 pasal 30 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Perda No 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengawasan Penyusunan memorandum program sanitasi lingkungan Penyusunan buku putih Kota Depok Penyusunan laporan status lingkungan hidup Penyusunan master plan kota hijau Penyusunan masterplan RTH Langit biru Partisipasi Adipura publik Penyusunan peta komunitas hijau Keberadaan LSM dan komunitas lingkungan Sumber: Dinas dan instansi terkait di Kota Depok
Analisis Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap data kuantitatif menggunakan teknik normalisasi, yaitu melihat keberlimpahan data yang diperoleh jika dibandingkan dengan baku mutu yang ada. Sedangkan analisis pada data kualitatif menggunakan metode pembobotan dengan batasan bobot tertentu. Berikut merupakan penjabaran analisis pada setiap kategori. Energy and CO2 Pada kategori Energy and CO2 menggunakan data penggunaan listrik terjual di Kota Depok, dikarenakan data listrik sebagai salah satu penyumbang terbesar di Kota Depok dan juga adanya keterbatasan data untuk baku mutu yang digunakan. Konsumsi energi dari sektor pengguna memiliki dampak pada perkiraan emisi CO2 yang dikeluarkan sektor pengguna itu sendiri. Konsumsi energi listrik tidak secara langsung berkontribusi terhadap emisi CO2, akan tetapi berperan dalam menghasilkan CO2 di pusat pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil (IPCC 1996). Emisi CO2 semakin besar di udara akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan dan keberlanjutan makhluk hidup. Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 10 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator emisi CO2 dan konsumsi energi di Kota Depok. Tabel 10 Analisis kuantitatif Energy and CO2 Kategori Energy and CO2
Indikator Emisi CO2 Konsumsi Energi
Bobot AGCI 25%
Hasil1
Baku Mutu2
Bobot
603 571 156.7 kg CO2
≤ 1 378 672 905.5 kg CO2
14.1%
25%
356.8 kwh/org
≤ 815 kwh/org
14%
Sumber: 1 PT PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat Area Pelayanan Depok 2012 2 ESDM, Kementerian Energi dan Standar Mineral 2012
21 Emisi CO2 Peningkatan kadar gas CO2 akan menjadikan lingkungan kota menjadi kurang sehat yang kemudian mengakibatkan pemanasan global dengan adanya peningkatan suhu lingkungan sekitar. Kadar emisi CO2 yang terdapat di Kota Depok sebesar 603 571 156.7 kg CO2 yang diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: E E
= A x EF x Jumlah Penduduk = 356.8 kwh/org x 0.891 kg/kwh* x 1 898 567 = 603 571 156.7 kg CO2
Dimana: E = Emisi CO2 A = Konsumsi energi EF = Faktor emisi CO2 (konstanta: 0.891 kg/kwh) * Berdasarkan Surat Menteri ESDM No. 3783/21/600.5/2008
Hasil yang diperoleh dari perhitungan di atas merupakan hasil emisi CO2 dari sumber listrik yang dihasilkan di pusat pembangkit listrik. Sedangkan baku mutu yang dijadikan pembanding sebesar 1 378 672 905. 5 kg CO2 yang diperoleh dari Kementerian Energi dan Standar Mineral tahun 2012. Angka tersebut diperoleh dari perhitungan berikut: E E
= A x EF x Jumlah Penduduk = 815 kwh/org x 0.891 kg/kwh x 1 898 567 = 1 378 672 905.5 kg CO2
Pada indikator emisi CO2 semakin besar kandungannya di udara maka akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan pada jangka panjang. Sehingga dalam menghitung keberlimpahan emisi CO2 yang dihasilkan di Kota Depok, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut: Perhitungan: (
) (
)
Berdasarkan Asian Green City Index, bobot untuk indikator ini sebesar 25% sehingga didapatkan bobot keberlimpahan emisi CO2 di Kota Depok sebesar 14.1%. Jika dilihat dari skala persentase 0% merupakan persentase terburuk dan 25% merupakan persentase terbaik, maka persentase tersebut sudah cukup baik yang berarti keberlimpahan emisi CO2 di udara masih di bawah baku mutu yang telah ditetapkan.
22 Konsumsi Energi Konsumsi energi akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (Indonesia Energi Outlook 2013). Konsumsi energi di Kota Depok setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, seperti konsumsi energi listrik pada tahun 2012 ini sebesar 356.8 kwh/org. Konsumsi energi menurut sektor pengguna terbagi ke dalam tiga sektor, antara lain: transportasi, industri dan rumah tangga. Namun sayangnya, belum terdapat baku mutu yang menggabungkan ketiga sektor tersebut. Sehingga, untuk mengetahui keberlimpahan konsumsi energi di Kota Depok dalam penelitian hanya menggunakan konsumsi energi listrik. Selain itu didukung pula dengan padatnya pemukiman di Kota Depok sehingga konsumsi listrik dapat menjadi salah satu penyumbang energi terbesar bagi kota tersebut. Baku mutu yang dijadikan pembanding sebesar 815 kwh/org, angka tersebut bersumber dari Kementerian Energi dan Standar Mineral tahun 2012 yang kemudian dihitung menggunakan perhitungan di bawah ini. Perhitungan: (
) (
)
Seperti halnya pada indikator sebelumnya, rumus perhitungan di atas digunakan karena pada indikator ini semakin besar konsumsi energi maka kota tersebut semakin jauh dari kata hijau. Menurut Richard Register (1987), kota hijau adalah kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk meminimalisir penggunaan energi, air, dan makanan, serta meminimalisir buangan limbah, pencemaran udara dan pencemaran air. Berdasarkan Asian Green City Index, bobot untuk indikator ini sebesar 25% sehingga didapatkan bobot konsumsi energi di Kota Depok sebesar 14%. Jika dilihat dari skala persentase, 0% merupakan persentase terburuk dan 25% merupakan persentase terbaik. Maka persentase 14% tergolong cukup baik yang berarti konsumsi energi di Kota Depok masih berada di bawah baku mutu. Analisis Aspek Kualitatif Kota Depok memiliki beberapa upaya yang tergabung dalam menciptakan energi yang bersih dan mengatasi perubahan iklim. Upaya tersebut juga dapat menekan hasil emisi CO2 dan konsumsi energi Kota Depok saat ini. Upaya berikut merupakan upaya yang masih berupa arahan maupun sudah dijalankan. Adapun uraian beberapa upaya di Kota Depok pada Tabel 11.
23 Tabel 11 Analisis kualitatif Energy and CO2 Indikator
Upaya
Program penanaman pohon Program One Man One Tree Rumah pembibitan tanaman One Day No Car Car Free Day Kampung iklim Pengembangan energi alternatif Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI Total Bobot
Kebijakan kebersihan energi (25%) dan Rencana mengatasai perubahan iklim (25%)
Bobot AGCI
0
50%
Bobot Nilai 1 2 3
5/21*50% 11.9%
Kebijakan kebersihan energi dan rencana mengatasi perubahan iklim Perubahan iklim merupakan akibat dari pemanasan global yang dipicu oleh efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini diakibatkan oleh karbon dioksida (CO2) yang semakin meningkat. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi perubahan iklim dan penyumbang emisi CO2, yakni: transportasi, industri, dan rumah tangga (Puri, tahun tidak diketahui). Dalam menjaga kebersihan energi dan mengatasi perubahan iklim, Kota Depok memiliki beberapa upaya yang tergabung, salah satunya adalah program penanaman pohon. Program ini dilakukan di daerah yang memiliki tingkat pencemaran tinggi, seperti Situ Tipar, Situ Bojongsari, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Keadilan. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 5 tahun terakhir, tepatnya yaitu sejak BLH berdiri pada tahun 2009. Dalam membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas kota, beberapa perusahaan swasta dan BUMN seperti PT. Kawanlama, PT. Pertamina (persero) dan Kementerian Kehutanan menjalankan program CSR untuk memberikan bantuan berupa pemberian pohon dalam kegiatan ini. Dalam pelaksanaannya masyarakat sekitarpun tidak segan untuk ikut serta dalam menanam pohon untuk Kota Depok yang lebih baik lagi. Program selanjutnya dalam meningkatkan kualitas lingkungan Kota Depok adalah program One Man One Tree. Program ini merupakan program lanjutan dari program penanaman pohon, namun dilakukan pada skala yang lebih kecil, yaitu komunitas (RT/RW). Program ini telah dilaksanakan selama enam tahun, yaitu dimulai pada tahun 2009 hingga sekarang. Selanjutnya rumah pembibitan tanaman (Gambar 3) yang dimulai pada tahun 2009, namun sayangnya belum tertera pada perda Kota Depok.
Gambar 3 Rumah pembibitan tanaman Sumber: RAKH Kota Depok 2012
24 Selain itu, Kota Depok juga memiliki program yang cukup unik yaitu One Day No Car (ODNC). Gerakan ODNC merupakan gerakan hemat energi, peduli lingkungan serta solusi kemacetan dan tertib berlalu lintas, untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dengan cara satu hari tanpa kendaraan bermotor. Gerakan ini didukung oleh segenap aparatur pemerintah Kota Depok dan seluruh masyarakat Kota Depok (Gambar 4). ODNC diadakan setiap Hari Selasa yang dikhususkan untuk pegawai pemerintahan terlebih dahulu, kedepannya diharapkan program ini dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di Kota Depok. Pelaksanaan program ini berdasarkan surat edaran Walikota Depok No. 541.11/664 ekonomi tanggal 11 Juni 2012 tentang Gerakan Nasional Penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Gambar 4 Walikota Depok bersepeda menuju kantor pada Hari Selasa Sumber: www.depoknews.com Program selanjutnya adalah Car Free Day (hari bebas kendaraan bermotor) yang berlokasi di Grand Depok City yang dilakukan setiap Hari Minggu oleh seluruh lapisan masyarakat Kota Depok. Sedangkan untuk program kampung iklim belum terdapat realisasi dan juga belum tertera pada perda Kota Depok. Kampung iklim ini direncanakan berlangsung pada tahun 2014 di Kecamatan Sukmajaya (RW 16). Kampung iklim sendiri merupakan suatu program yang di laksanakan di suatu Rukun Warga (RW) dengan adanya penampungan air hujan, sumur resapan, dan solar cell. Kampung Iklim merupakan program yang diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan kampung iklim ini merupakan model desa dengan pengelolaan kawasan yang ramah lingkungan, yang mengembangkan konsep pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim melalui upaya adaptasi dan mitigasi serta dapat memenuhi kebutuhan harian mereka, seperti pangan. Pengembangan energi alternatif belum dilakukan di Kota Depok, sementara itu cara lain dalam mencegah perubahan iklim adalah dengan penghematan penggunaan alat-alat elektronik atau listrik yang menyumbang CO2. Kota Depok perlu beralih menggunakan energi dengan tenaga surya, seperti untuk penggunaan energi pada lampu jalan. Lampu jalan yang terdapat di sepanjang Jalan Raya Bogor dan Jalan Margonda, Kota Depok belum menggunakan panel surya, seperti yang terlihat pada Gambar 5. Pengembangan energi alternatif ini nantinya meliputi pengembangan sumber energi alternatif di seluruh wilayah kota dengan memanfaatkan penanganan sampah dan energi surya.
25
Gambar 5 Lampu jalan di Jalan Margonda dan Jalan Raya Bogor, Kota Depok Dalam melaksanakan beberapa program, pemerintah mengalami beberapa kendala yang dihadapi, yaitu sosialisasi yang belum tersebar secara merata dan pemahaman/latar belakang masyarakat yang beragam sehingga informasi yang diperoleh menjadi terbatas. Adanya peraturan legal bagi program yang dijalankan cukup berpengaruh bagi keberlanjutan dan eksistensi program tersebut karena program tersebut akan memiliki landasan hukum yang jelas sehingga sanksi/denda akan berlaku. Land Use and Building Berdasarkan PP No. 47 tahun 1997, Kota Depok merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Kawasan Bopunjur dengan pemanfaatan ruang yang sangat terbatas sesuai dengan fungsinya. Fungsi tersebut yaitu sebagai kawasan konservasi air dan tanah, yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan terhadap Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kota Depok juga secara langsung akan berfungsi sebagai kawasan limpahan dan tekanan dari pertumbuhan Kota Jakarta diantaranya pemukiman, ekonomi, perdagangan, komersial dan pendidikan. Jika dilihat dari sektor perekonomian yang semakin berkembang, setiap kota seperti diwajibkan untuk meningkatkan sektor perekonomiannya dalam berbagai cara salah satunya melalui pembangunan perumahan dan gedung-gedung perkantoran. Pembangunan tersebut memiliki dampak yang signifikan bagi lingkungan, salah satu dampaknya adalah konversi lahan terbuka menjadi perumahan/gedung bertingkat sehingga jumlah ruang terbuka semakin lama akan semakin berkurang dan berganti dengan bangunan masif. Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 12 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator kepadatan penduduk dan luasan RTH di Kota Depok. Tabel 12 Analisis kuantitatif Land use and Building Kategori
Indikator
Land Use and Building
Kepadatan Penduduk
Bobot AGCI 25%
Hasil1 9479 org/Km2
Baku Mutu2 ≤10 000 org/Km2
Bobot 1.2%
Luas RTH 25% 19.4% ≥30% 16% Sumber: 1 Depok Dalam Angka 2012 (kepadatan penduduk), DKP Kota Depok 2013 (luas RTH) 2 Scored by WHO in Asian Green City Index (10 000 org/Km2 ), UU No. 26 tahun 2007 (RTH 30%)
26 Kepadatan Penduduk Kota Depok memiliki luas wilayah sebesar 200.29 km2, sedangkan jumlah penduduk pada tahun 2012 mencapai 1 898 567 jiwa sehingga tingkat kepadatan penduduk di Kota Depok sebesar 9479 org/km2. Dalam mengetahui tingkat kepadatan penduduk Kota Depok sudah sejauh mana, maka diperlukan baku mutu sebagai acuan dalam perhitungan. Baku mutu yang dipakai dalam kategori kepadatan penduduk ini yaitu menurut World Health Organization (WHO) pada Asian Green City Index, baku mutu tersebut tertulis sebesar 10 000 org/Km2 . Perhitungan: (
) (
)
Rumus perhitungan di atas digunakan karena pada indikator ini semakin tinggi kepadatan penduduk, maka risiko kerusakan lingkungan akan semakin besar. Menurut Hasnida (2002), kepadatan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan pada daya dukung alam lingkungannya. Jika tekanan tersebut melampaui batas kemampuan daya dukung alam lingkungan, maka lingkungan tersebut akan mejadi rusak. Berdasarkan Asian Green City Index, kepadatan penduduk memiliki bobot sebesar 25% sehingga bobot untuk kepadatan penduduk di Kota Depok hanya sebesar 1.2%. Jika dilihat dari skala persentase 0% hingga 25%, bobot tersebut jauh dari 25% dan sangat dekat dengan 0%. Hal tersebut dikarenakan kepadatan penduduk di Kota Depok hampir mencapai 10 000 org/km2 sehingga dapat dikatakan kepadatan penduduk di Kota Depok tinggi dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan untuk beberapa waktu ke depan. Jumlah Ruang Terbuka Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Depok tahun 2013, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dikelola oleh DKP terdiri dari 13 jenis RTH, yang terdiri dari taman kota (302 000 m2), hutan kota (164 450 m2), kawasan lindung (7600 m2), jalur hijau jalan (56 390 m2), sempadan rel kereta api (101 640 m2), sempadan situ (187 620 m2), sempadan sungai (460 810 m2), jalur dan pipa gas (27 880 m2), jalur hijau sutet (87 720 m2), pertanian, TPU (164 710 m2), lapangan olahraga (37 120 m2), dan hal perkantoran (223 210 m2). Namun berdasarkan Asia Green City Index, ruang terbuka yang dimaksud bukan hanya ruang terbuka hijau saja melainkan meliputi ruang terbuka biru dan kawasan lindung sehingga Kota Depok memiliki luas ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 1 821 150 m2 dan luas ruang terbuka biru (RTB) sebesar 2 064 000 m2. Jika dipersentasekan secara keseluruhan Kota Depok sudah memenuhi kebutuhan ruang terbuka publik (RTH dan RTB) sebesar 19.4% dari total luas Kota Depok.
27 Perhitungan: (
) (
)
Menurut Mirsa (2012), ruang terbuka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kota, ruang-ruang terbuka dapat memberi ciri lain seperti karakter alami dari kota. Sehingga semakin tinggi jumlah ruang terbuka di suatu kota maka berpotensi dapat meningkatkan kualitas lingkungan kota tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka dalam menghitung keberlimpahan RTH di Kota Depok dapat menggunakan rumus seperti yang sudah tertera sebelumnya. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh UU No. 26 tahun 2007 bahwa kebutuhan ruang terbuka publik dan juga privat minimal sebesar 30% .maka Kota Depok sudah memenuhi 16% dari ketetapan tersebut. Persentase tersebut melebihi setengah dari bobot maksimal (25%) sehingga dapat dikatakan jumlah ruang terbuka di Kota Depok saat ini sudah cukup baik, namun tetap perlu ditingkatkan kembali. Cukup tingginya persentase tersebut tentunya tidak lepas dari masuknya Kota Depok dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang berupaya meningkatkan keberadaan RTH secara terus menerus. Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau yang lebih baik lagi, Kota Depok memiliki beberapa kebijakan yang dilakukan terkait menjaga lingkungan dari dampak yang kurang baik. Dalam hal ini adalah Kebijakan eco buildings dan kebijakan dalam penggunaan lahan (Tabel 13) Tabel 13 Analisis kualitatif Land Use and Building Indikator Kebijakan Buildings
Kebijakaan penggunaan lahan
Upaya
Eco
Pembinaan Implementasi Green Building Penyediaan RTH publik bagi pengembang
25%
0
Bobot Nilai 1 2 3
Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI
2/6*25%
Total Bobot
8.3%
Penataan bangunan dan lingkungan Penyediaan RTH di Kota Depok (a) Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI
a
Bobot AGCI
Total Bobot [Keterangan skor lihat lampiran 2 halaman 73]
25%
x x 4/6*25% 17.5 %
28 Kebijakan Eco Buildings Kota Depok memiliki beberapa upaya dalam memenuhi kebijakan eco buildings, salah satunya adalah pembinaan implementasi green building. Upaya ini sudah terdapat dalam Perda No. 13 tahun 2013 tentang Bangunan dan IMB Pasal 75 terkait Bangunan Gedung Hijau, namun masih berupa rencana yang akan dilaksanakan mulai tahun 2015 (Gambar 6). Green building adalah bangunan baru ataupun bangunan lama, yang direncanakan dibangun, dan dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor keberlanjutan lingkungan. (GBC Indonesia 2009). Upaya lainnya adalah penyediaan RTH publik bagi pengembang. Setiap pemrakarasa kegiatan atau usaha yang baru baik yang sudah atau belum beroperasi, harus memiliki semua perizinan yang berlaku pada saat hendak memulai suatu usaha atau kegiatan. Pengembang diminta untuk memenuhi kewajiban penyediaan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Dalam pengembangan kawasan disyaratkan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimal 20% berupa taman di kawasan pengembang (Yoga dan Ismaun 2011). Menurut Permen PU No. 06 tahun 2007, Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas tanah dikuasai. Upaya ini ditujukan untuk mengantisipasi dampak yang nantinya akan timbul dari suatu kegiatan pembangunan maupun usaha, dampak tersebut juga harus mampu dikelola, baik dampak negatif maupun dampak positif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Upaya ini sudah terdapat dalam Perda No. 14 tahun 2013 tentang Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) namun belum diterapkan.
Gambar 6 Gedung/bangunan tinggi di Kota Depok belum menerapkan konsep Eco Buildings Kebijakan Penggunaan Lahan Dalam meminimalisir konservasi lahan, Kota Depok memiliki beberapa upaya terkait kebijakan penggunaan lahan, salah satunya adalah penataan bangunan dan lingkungan. Upaya ini sudah terdapat pada Perda No. 13 tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), namun pelaksanaannya baru direncanakan dimulai pada tahun 2014. Menurut Permen PU No. 6 tahun 2007, penataan bangunan dan lingkungan adalah kegiatan pembangunan untuk merencanakan, melaksanakan, memperbaiki, mengembangkan atau melestarikan bangunan dan lingkungan/kawasan tertentu. Penyediaan RTH di Kota Depok sudah terdapat pada Perda No. 13 tahun 2013 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sudah
29 diterapkan lebih dari 50%. Terlihat dari ketersediaan RTH di Kota Depok sebesar 19.4% sehingga sudah memenuhi setengah dari total persentase standar RTH perkotaan berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 yaitu sebesar 30%. Kota Depok saat ini sedang mengejar target untuk meningkatkan luasan RTH, sedikitnya terdapat beberapa proyek lahan yang sedang dikembangkan sebagai RTH pada tahun 2014, antara lain taman lembah gurame (pengembangan lanjutan), taman lembah mawar, taman lembah leli, taman jatijajar, rencana arboretum Indonesia, separator margonda (pengembangan lanjutan), jalur hijau Jalan Merdeka dan jalur hijau Jalan Proklamasi. Gambar 7 dan 8 merupakan dokumentasi kondisi RTH publik di Kota Depok.
Gambar 7 Taman lembah gurame di Kecamatan Pancoran Mas
Gambar 8 Kondisi jalur hijau Jalan Proklamasi Sumber: DKP Kota Depok Transport Perkotaan tidak luput dari masalah transportasi, permasalahan yang terjadi di masing-masing kota sangat berbeda dan harus diselesaikan dengan cara yang berbeda pula sesuai dengan ukuran kotanya. Kota Depok pun mengalami permasalahan transportasi, salah satunya adalah kemacetan lalu lintas. Kota Depok termasuk kedalam kota besar dan metropolitan karena memiliki jumlah penduduk >1 juta jiwa sehingga dalam meminimalisir permasalahan tersebut, keberadaan transportasi umum yang berukuran besar sangat diperlukan dan perencanaan jaringan transportasi kota harus mengutamakan transportasi umum (Setijowarno dan Frazila 2003).
30 Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 14 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator panjang jaringan transportasi di Kota Depok. Tabel 14 Analisis kuantitatif Transport Kategori Transport
Indikator Panjang jaringan transportasi publik
Bobot AGCI 33%
Hasil1 0.051 km/km
Baku Mutu2 2
2
≥ 0.3 km/km
Bobot 5.6%
Sumber: 1 Dinas Perhubungan Kota Depok 2012 2 Scored by WHO in Asian Green City Index
Jaringan Transportasi Publik Jaringan transportasi terbentuk dari sekumpulan lintasan rute individual, sekumpulan titik perhentian dan persimpangan atau beberapa terminal jalan raya yang membentuk sistem prasarana angkutan umum secara keseluruhan (Santoso, 1996). Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Depok tahun 2012, panjang jaringan transportasi publik Kota Depok didapatkan melalui perhitungan panjang lintasan per trayek angkutan dibagi dengan luas area Kota Depok sehingga dihasilkan sebesar 0.051 km/km2. Angka tersebut berarti panjang lintasan ratarata per trayek mampu melintasi 0.051 km dalam mengelilingi Kota Depok. Perhitungan: (
) (
)
Perhitungan di atas digunakan karena semakin panjang jaringan transportasi publik di suatu kota maka akan semakin baik dampaknya bagi kota sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah kota secara efektif dan efisien. Green transportation bertujuan mengarahkan pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan yang berorientasi pada manusia dan pemanfaatan sumber energi alternatif terbarukan yang bebas polusi untuk mencapai kualitas lingkungan yang sehat dan nyaman (Kementerian PU 2013). Dalam mewujudkan green transportasi, maka perlu adanya pembatasan angkutan umum, pembatasan tersebut dapat digantikan dengan memperpanjang lintasan angkutan umum yang ada. Pada Asian Green City Index, panjang jaringan transportasi publik memiliki bobot 33% sehingga bobot untuk panjang jaringan transportasi publik di Kota Depok sebesar 5.6%. Berdasarkan skala 0% (tidak baik) hingga 33% (sangat baik), persentase sebesar 5.61% tergolong kurang baik sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan panjang jaringan transportasi di Kota Depok agar distribusi pelayanan transportasi dapat lebih luas. Pada prinsipnya, kota yang
31 berkelanjutan seharusnya mengutamakan transportasi publik dengan panjang jaringan transportasi yang dapat menjangkau seluruh wilayah kota. Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau yang lebih baik lagi, Kota Depok memiliki beberapa kebijakan yang dilakukan terkait transportasi massa yang berkelanjutan dan mengurangi kemacetan (Tabel 15). Tabel 15 Analisis kualitatif Transport Indikator
Kebijakan pembuatan transportasi massa perkotaan yang berkelanjutan
Bobot AGCI
Upaya Penyediaan jaringan angkutan massal perkotaan Pengembangan sistem jaringan transportasi perkeretaapian
0
Bobot Nilai 1 2
33%
Pengembangan halte Peningkatan kualitas dan kuantitas terminal penumpang Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI
2/12*33%
Total Bobot Pengembangan jaringan jalan
6.6%
(a)
Kebijakan mengurangi kemacetan
Pengembangan jalur sepeda Park and Ride Pengembangan sistem perparkiran
Penyediaan jaringan jalan pejalan kaki (b) Ride sharing oleh Komunitas Nebengers Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI
a,b
Total Bobot [Keterangan skor lihat lampiran 3 halaman 73]
3
33%
7/18*33% 13.2%
Kebijakan Pembuatan Trasportasi Massa Perkotaan yang Berkelanjutan Transportasi massa yang saat ini telah terdapat di Kota Depok adalah angkutan umum seperti mobil penumpang yang melayani berbagai jurusan dalam dan luar Kota Depok (Gambar 9), bus yang melayani trayek antar kota, seperti Sukabumi–Depok, Bogor-Depok dll dan bus khusus menuju Bandara SoekarnoHatta (Gambar 10). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat, masyarakat kurang nyaman dengan kondisi angkutan umum yang ada khususnya mobil penumpang dalam kota. Para supir angkutan umum terkadang ugal-ugalan dalam mengendarai mobil dan berhenti untuk mencari penumpang dalam waktu yang cukup lama sehingga menyita waktu penumpang. Akibatnya, banyak masyarakat yang lebih memilih mengendarai kendaraan pribadi karena dirasa lebih cepat dan lebih efisien.
32
Gambar 9 Mobil penumpang umum trayek angkutan kota
Gambar 10 Bus trayek antar kota dan bus bandara Dalam meminimalisir hal tersebut, Kota Depok memiliki upaya untuk meningkatkan kenyamanan masyarakat. Upaya tersebut terkait kebijakan pembuatan transportasi massa perkotaan yang berkelanjutan, yaitu penyediaan jaringan angkutan massal perkotaan. Angkutan massal sendiri memiliki pengertian angkutan umum yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar, yang beroperasi secara cepat, nyaman, aman, terjadwal dan berfrekuensi tinggi (RTRW Kota Depok 2011-2031). Kebijakan terkait trayek angkutan massal ini baru direncanakan dan dikaji pada tahun 2013 dan belum tertera pada perda Kota Depok. Transportasi massa ini direncanakan berbentuk bus angkutan cepat/Bus Rapid Transit (BRT) yang berukuran besar dan melayani pergerakan di dalam wilayah kota maupun di luar wilayah kota. Menurut Kementerian PU (2013), tujuan dari pengembangan BRT sendiri di kota-kota di Indonesia yaitu untuk memindahkan angkutan pribadi dengan angkutan massal yang cepat, berkualitas tinggi, aman, efisiensi dan murah. Beberapa keuntungan dari Bus Rapid Transit (BRT), antara lain: dapat melayani kebutuhan kota menengah hingga kota besar, dapat menampung penumpang dalam jumlah banyak dalam sekali perjalanan dan bersifat fleksibel (Mohan 2008). Upaya lain terkait kebijakan angkutan massa yang berkelanjutan adalah rencana pengembangan sistem jaringan transportasi perkeretaapian yang meliputi: 1. pengembangan keterpaduan layanan antar dan intra moda yang berbasis Transit Oriented Development (TOD). TOD merupakan salah satu upaya revitalisasi kawasan lama atau kawasan terpadu baru yang ada di Kota Depok
33 yang berlokasi pada jalur-jalur transportasi utama seperti jalur kereta api, busway, dan lain sebagainya dengan mengembangkan kawasan berfungsi campuran (fungsi hunian, komersial, dan perkantoran). Konsep ini diharapkan mampu menekan kebutuhan pergerakan antar kawasan yang sekaligus mengurangi tingkat penggunaan kendaraan bermotor (RTRW Kota Depok 2011-2031), 2. pengadaan sarana perkeretaapian, 3. perbaikan dan pemeliharaan sarana perkeretaapian, termasuk perbaikan dan pemeliharaan pintu perlintasan kereta api, 4. pengembangan kerjasama dengan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan perkeretaapian, dan 5. penataan ruang di kawasan stasiun dan sepanjang jaringan jalur kereta api. Sistem jaringan transportasi perkeretaapian yang sudah ada saat ini, meliputi: Stasiun Universitas Indonesia di Kelurahan Pondok Cina, Stasiun Pondok Cina di Kelurahan Pondok Cina, Stasiun Depok Baru di Kelurahan Depok (Gambar 11), Stasiun Depok Lama di Kelurahan Depok dan Stasiun Citayam di Kelurahan Bojong Pondok Terong. Kelima stasiun tersebut masih perlu peningkatan sarana dan prasarana sehingga minat pengguna untuk memakai angkutan massa dapat bertambah.
Gambar 11 Kondisi Stasiun Depok Baru di Kelurahan Depok Pengembangan halte termasuk kedalam upaya terkait kebijakan transportasi massa yang berkelanjutan karena halte merupakan area transit dari satu transportasi menuju transportasi lainnya. Dalam rencana pengembangan halte di fokuskan pada Jalan Margonda karena Jalan Margonda merupakan jalan penghubung antara Depok Utara dan Depok Selatan serta jalan terbesar di Kota Depok dengan intensitas kendaraan yang tinggi. Pengembangan halte ini sudah tertera pada Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan Kota Depok, namun belum direalisasikan. Peningkatan kualitas dan kuantitas terminal penumpang juga termasuk ke dalam upaya terkait kebijakan transportasi massa yang berkelanjutan. Terminal penumpang sendiri dapat diartikan sebagai prasarana transportasi jalan untuk keperluan menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum (RTRW Kota Depok 2011-2031). Terminal penumpang yang ada saat ini adalah Terminal Depok di Jalan Margonda, yang berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar pedesaan dan antar kota. Semakin meningkatnya pergerakan penumpang yang masuk dan keluar Kota Depok, maka
34 dibutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas terminal penumpang pada beberapa kelurahan baik terminal antar pedesaan maupun terminal antar kota dan antar provinsi. Terminal penumpang nantinya direncanakan sebagian akan dipindahkan ke Terminal Jatijajar yang terdapat pada Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos khususnya untuk melayani aktifitas angkutan antar provinsi. Upaya ini sudah tertera dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan, namun belum diterapkan. Kebijakan Mengurangi Kemacetan di Perkotaan Kondisi jaringan jalan pada beberapa kawasan di Kota Depok saat ini cukup sempit dan dilalui oleh banyak kendaraan sehingga menyebabkan kemacetan pada ruas-ruas jalan tertentu. Maka pengembangan jaringan jalan sangat diperlukan di Kota Depok, upaya ini sudah tertera dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan, namun belum diterapkan di Kota Depok. Dalam upaya ini terdapat rencana pembuatan jalan baru dan rencana peningkatan kapasitas jalan yang telah ada, salah satunya pada Jalan Keadilan yang memiliki lebar ± 5 meter untuk jalan dua arah (Gambar 12). Dalam upaya pelebaran jalan ini, perusahaan swasta pun berperan serta dalam upaya mengurangi kemacetan. Seperti pada pelebaran jalan di Kawasan Margonda, pelebaran jalan tersebut memakan lahan pusat perbelanjaan grosir di Depok untuk proyek pelebaran jalan.
Gambar 12 Kondisi Jalan Keadilan, Kecamatan Pancoran Mas Keberadaan jalur sepeda di Kota Depok saat ini sangat sulit ditemukan kecuali di Kawasan Kampus Universitas Indonesia (UI), namun jalur tersebut hanya digunakan oleh mahasiswa Universitas Indonesia karena dalam penggunaannya membutuhkan kartu tanda pengenal mahasiswa UI. Jalur sepeda tersebut sudah terintegrasi dengan jalur pedestrian dan sistem transportasi lainnya, seperti bus kuning. Bus kuning sendiri merupakan bus untuk mengangkut mahasiswa menuju tujuan masing-masing di dalam kawasan kampus. Pada kawasan kampus sarana dan prasarana pendukung angkutan, seperti shelter sepeda, halte dan zebra cross sudah terdapat dan terintegrasi (Gambar 13). Upaya ini sudah tertera dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan namun penerapannya masih belum maksimal. Jalur sepeda hanya ditemukan di Kawasan Kampus UI dan jalur sepeda yang ada dibatasi oleh median yang ditanami pohon-pohon tinggi sehingga menjadi kurang aman jika digunakan pada malam hari karena sepinya area tersebut.
35
Gambar 13 Jalur sepeda dan shelter sepeda yang terdapat di Kawasan Universitas Indonesia Park and Ride merupakan penyediaan lahan parkir kendaraan pribadi yang umumnya berasal dari luar kota lalu berpindah menggunakan kendaraan umum menuju pusat kota. Pada beberapa stasiun sudah tersedia lahan parkir namun lahan parkir yang ada tidak cukup luas dan kurang teratur, lahan tersebut hanya di bangun sekedarnya saja (Gambar 14).
Gambar 14 Lahan parkir di Stasiun Depok Baru Sumber: www.depoknews.com Berdasarkan RTRW Kota Depok 2011-2031, dalam pengembangan sistem perpakiran terdapat beberapa rencana yang akan dikembangkan pada tahun 2017 antara lain: pembangunan dan peningkatan gedung parkir dan/atau taman parkir bersama di pusat kegiatan, penetapan ketentuan penyediaan parkir bagi semua kegiatan yang menimbulkan pergerakan lalu lintas, penyediaan dan penataan fasilitas taman dan/atau gedung parkir yang diintegrasikan dengan pengelolaan angkutan umum (sistem park and ride) pada terminal/stasiun antarmoda pada pusat-pusat kegiatan, stasiun angkutan jalan rel, shelter angkutan massal jalan raya dan terminal angkutan umum jalan raya serta bagi kegiatan baru/ perdagangan harus menyediakan parkir yang memadai. Menurut Shirvani (1985) dalam Mirsa (2012), jalur pejalan kaki sebagai elemen dari komponen sistem linkage adalah elemen penting dalam urban design,
36 karena berperan sebagai sistem kenyamanan dan sistem pendukung vitalitas ruang kota. Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki sudah terdapat dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan, namun penerapannya belum sempurna karena jalur pejalan kaki yang terdapat di Kota Depok belum tersebar di seluruh wilayah dan kondisinya cukup memperihatinkan. Misalnya di sepanjang Jalan Margonda, jalur pejalan kaki yang ada kurang nyaman untuk dilalui karena tidak dilengkapi dengan pohon peneduh dan pada beberapa spot masih ada yang tidak memiliki jalur pejalan kaki, namun jalur pejalan kaki yang ada sudah terintegrasi dengan halte (Gambar 15). Whyte (1980) dalam Mirsa (2012) menyebutkan bahwa faktor lain yang mendorong pejalan kaki memanfaatkan jalur pedestrian untuk berbagai kegiatan statis dan dinamis, antara lain: terdapat ruang untuk duduk, adanya perlindungan dari angin, adanya pepohonan, pedagang kaki lima dan tersedia air.
Gambar 15 Kondisi jalur pejalan kaki di Jalan Margonda Dalam mengurangi kemacetan, ride sharing merupakan upaya terakhir dan belum tertera pada Perda Kota Depok namun sudah diterapkan oleh Komunitas Nebengers. Ride sharing ini berarti berbagi kursi kosong pada satu kendaraan sehingga dapat menghemat biaya bensin dan perawatan kendaraan. Ride sharing juga dapat mengurangi polusi udara, efek gas rumah kaca dan kemacetan lalu lintas. Ride sharing dilakukan oleh anggota dari Komunitas Nebengers dan belum dikelola pemerintah. Waste Sampah merupakan salah satu masalah yang sangat serius disetiap kota yang sedang berkembang, seperti di Kota Depok. Masalah persampahan di Kota Depok menjadi suatu hal yang harus diprioritaskan penangannannya karena efek dari penumpukan sampah akan berakibat buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungannya. Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 16 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator jumlah sampah yang dihasilkan dan jumlah sampah yang terangkut di Kota Depok.
37
Tabel 16 Analisis kuantitatif Waste Kategori Waste
Indikator Jumlah sampah yang dihasilkan Jumlah sampah yang terangkut
Bobot AGCI 33%
5112 m3/hari
≤ 4746 m3/hari
1.9%
33%
69.9%
≥ 70%
24.9%
Hasil1
Baku Mutu2
Bobot
Sumber: 1 Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2013 2 Standar SNI 19-3964-1994 (Sampah yang dihasilkan: 4746 m3/hari, kota besar: 2.5 L/orang/hari), Permen PU No 14 tahun 2010 tentang standar pelayanan minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (70%)
Jumlah sampah yang dihasilkan Jumlah sampah yang dihasilkan di Kota Depok sebesar 5112 m3/hari, namun berdasarkan standar SNI 19-3964-1994 data timbulan sampah untuk kota besar sebesar 2.5 l/orang/hari sedangkan untuk kota kecil/sedang sebesar 2 l/orang/hari. Depok tergolong dalam kota besar karena jumlah penduduknya diatas 1 juta jiwa sehingga data timbulan sampah yang digunakan adalah 2.5 l/orang/hari. Data tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Depok yang berjumlah 1 898 567 jiwa kemudian didapatkan baku mutu data timbulan sampah untuk Kota Depok sebesar 4746 m3/hari. Perhitungan: (
) (
)
Semakin banyak sampah yang dihasilkan maka lingkungan akan semakin buruk. Selain terjadi pencemaran udara, banyaknya timbulan sampah juga akan menimbulkan berbagai penyakit bagi makhluk hidup sekitar. Jika jumlah sampah yang dihasilkan semakin besar maka harus diiringi dengan peningkatan jumlah sampah yang terangkut dan teknologi pengolahan sampah yang modern pula. Pada Asian Green City Index, jumlah timbulan sampah memiliki bobot 25% sehingga bobot untuk jumlah timbulan sampah menurut Asian Green City Index adalah 1.9%. Persentase tersebut tertinggal jauh dari bobot 25% sehingga memperlihatkan banyaknya timbulan sampah di Kota Depok. Hal tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kota jika tidak diimbangi dengan upaya lain untuk mengurangi jumlah timbulan sampah di Kota Depok. Jumlah sampah yang terangkut Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH), jumlah sampah terangkut yang terdapat di Kota Depok pada tahun 2013 sebesar 3575 m3/hari atau sekitar 69.9% dari total timbulan sampah per harinya. Dibandingkan dengan
38 Permen PU No 14 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, standar pelayanan untuk pengangkutan sampah yaitu sebesar 70% dari total timbulan sampah di kota tersebut. Perhitungan: (
) (
)
Perhitungan di atas digunakan karena semakin banyak sampah yang terangkut, maka akan menimbulkan kenyamanan bagi penduduk yang tinggal di kota tersebut sehingga kualitas lingkungan akan tetap terjaga. Berdasarkan perhitungan di atas, persentase jumlah sampah terangkut sudah memenuhi sebesar 0.998 dari skala 1. Pada Asian Green City Index, jumlah sampah terangkut memiliki bobot 25% sehingga bobot untuk jumlah sampah terangkut menurut Asian Green City Index di Kota Depok adalah 24.9%. Jumlah sampah terangkut sudah baik karena persentase yang dihasilkan sudah mendekati persentase maksimal, yaitu 25%. Berdasarkan buku putih Kota Depok, Kota Depok memiliki beberapa sistem pelayanan dalam pengangkutan sampah yang saat ini digunakan, di antaranya : 1. sistem transfer depo, yaitu pengangkutan sampah dengan menggunakan truk sampah dimana sampah yang akan diangkut dikumpulkan terlebih dahulu di suatu tempat, kemudian diambil oleh truk sampah. Sistem ini cenderung digunakan untuk melayani wilayah perkotaan, perkantoran, rumah sakit, sekolah, dan perumahan, 2. sistem pengangkutan sampah melalui Tempat Pembuangan Sementara (TPS) (hanya melayani wilayah yang memiliki TPS), dan 3. sistem door to door, dimana truk sampah akan mengambil sampah ke setiap pemukiman. Metode ini digunakan untuk melayani masyarakat baik yang berada di wilayah perumahan maupun non perumahan yang berada di jalur layanan. Dalam mendukung sistem pelayanan pengangkutan sampah di Kota Depok terdapat 1 unit Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung dengan luas 11.6 Ha, 42 unit Tempat Pembuangan Sementara (TPS), 41 unit kontainer dan 55 unit truk sampah. Dalam membantu meminimalisir pengangkutan sampah dan penumpukan sampah, Kota Depok juga memiliki 19 Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang beroperasi dan 5 UPS mandiri. UPS tersebut akan mengolah sampah-sampah yang diangkut oleh mobil pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok. Sampah yang diolah terdiri dari sampah daur ulang dan sampah yang dijadikan kompos. Terdapat tiga macam cara pengelolaan persampahan di Kota Depok (Gambar 16), antara lain: pengelolaan sampah terpadu dengan menggunakan tempat penampungan sampah, Unit Pengelolaan Sampah (UPS) untuk pengelolaan sampah di tingkat kawasan dan pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir (Buku Putih Kota Depok 2013).
39
Gambar 16 Diagram pengelolaan sampah di Kota Depok Sumber: Buku Putih Kota Depok Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau yang lebih baik, Kota Depok memiliki beberapa upaya yang tergabung dalam meminimalisasi dampak terhadap lingkungan akibat sampah dan upaya mendaur ulang sampah (Tabel 17). Tabel 17 Analisis kualitatif Waste Indikator
Kebijakan pengumpulan dan pembuangan sampah untuk mengurangi dampak pada lingkungan (25%) dan Kebijakan mendaur ulang sampah (25%)
Upaya Gerakan depok memilah Pengembangan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) Pengembangan (TPPAS) Regional Nambo Pengembangan TPA Pengembangan TPS Pengembangan Stasiun Peralihan Antara Pengembangan angkutan persampahan kota Pembuatan TPS Limbah B3 Skala Kota
Bobot AGCI
0
Bobot Nilai 1 2
3
50%
Nilai penerapan total/ Nilai Maksimum*bobot AGCI Total Bobot
2/24*50% 4%
Kebijakan pengumpulan dan pembuangan sampah untuk mengurangi dampak pada lingkungan dan kebijakan mendaur ulang sampah Gerakan depok memilah termasuk kedalam upaya dalam pemilahan sampah yang dilaksanakan pada skala perumahan (RW) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2008 yang bertujuan untuk menyadarkan dan melibatkan masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah. Kegiatan ini melibatkan segenap potensi yang ada di masyarakat seperti kader dasawisma, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas, kelompok pengajian, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi, terencana, dan berkesinambungan. Gerakan depok memilah memiliki beberapa kegiatan seperti:
40 Bank Sampah Bank sampah (Gambar 17) ini dibuat oleh komunitas bank sampah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2013. Berdasarkan data dari BLH Kota Depok, bank sampah yang terdaftar tahun 2013 sebanyak 169 bank sampah dengan total nasabah sebanyak 6480 orang. Sampah yang dikelola oleh bank sampah mencapai 92 084 m3/bulan dengan rata-rata omzet Rp 184 720 000/bulan. Ketua bank sampah Kota Depok, Pak Isnarto, menjelaskan bahwa keberadaan bank sampah tidak hanya menolong pemerintah kota dalam menangani sampah, namun secara ekonomi dapat membantu warga yang terlibat dalam bank sampah itu sendiri.
Gambar 17 Bank sampah Depok Keranjang Takaura Keranjang Takakura merupakan alat pengomposan skala rumah tangga yang ditemukan Pusdakota bersama Pemerintah Kota Surabaya, Kitakyusu International Techno-cooperative Association dan Pemerintahan Kitakyusu Jepang pada tahun 2005. Keranjang ini dirakit dari bahan-bahan sederhana di sekitar kita yang mampu mempercepat proses pembuatan kompos. Satu keranjang standar dengan kapasitas 8 kg dipakai oleh keluarga dengan jumlah total anggota keluarga sebanyak 7 orang. Sampah rumah tangga yang diolah di keranjang ini maksimal 1.5 kg per hari. Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2008 dan dilakukan setiap tahunnya. Lubang Sampah Lubang sampah merupakan proyek percontohan di Kecamatan Cinere (Gambar 18), yang bertujuan untuk mengurangi beban atau pasokan sampah ke UPS ataupun ke TPA yang dihasilkan oleh rumah tangga. Sampah-sampah ditimbun dalam lubang tersebut selama kurang lebih 2 minggu, kemudian diangkat kembali untuk dijadikan pupuk. Lubang sampah sudah dalam proses pelaksanaan namun lubang yang sudah terealisasi baru hanya sekitar 25 lubang dari total 120 lubang yang ditargetkan (DKP Kota Depok).
41
Gambar 18 Peninjauan pembuatan lubang sampah di Perumahan PT. Timah Sumber: www.depok.go.id Upaya terkait pengolahan sampah masih dalam tahap kajian raperda, namun gerakan depok memilah ini memiliki program yang sudah diterapkan dengan cukup baik. Upaya selanjutnya adalah rencana pengembangan Unit Pengelolaan Sampah (UPS). UPS ini mengolah sampah organik menjadi pupuk sehingga dapat mengurangi penumpukan sampah di wilayah Depok dan mengurangi jumlah pengangkutan sampah. Jumlah unit UPS yang tersedia di Kota Depok pada tahun 2013–2018 diperkirakan dapat mencapai 64 unit yang tertera pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok di kajian rencana induk persampahan. Pengembangan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo masih dalam tahap rencana. Rencana pengembangan berupa pengembangan luas yang kemungkinan dikembangkan menjadi 100 Ha dari sebelumnya sebesar 40 Ha. TPPAS Nambo terletak di Desa Nambo, Kecamatan Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor yang dilengkapi dengan kolam licin (penampung dan pengolah air sampah). TPPAS Nambo membantu pengolahan dan pemrosesan sampah untuk dua wilayah, yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Pengelolaan akhir sampah Kota Depok terletak pada Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran Mas. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Depok sudah dioperasionalkan sejak tahun 1992 pada area 11.6 Ha dan memiliki 3 (tiga) kolam pengumpulan. Kolam pertama seluas ± 2 Ha, kolam yang kedua ± 2.8 Ha, dan kolam ketiga (kolam baru) adalah 6000 m². Sistem pengelolaan sampah di TPA ini adalah controlled landfill, yaitu dimana sampah akan dikumpulkan dalam suatu kolam untuk kemudian ditimbun. Kondisi TPA Cipayung saat ini sudah dalam kondisi penuh dan menumpuk hingga ketinggian ± 6 m dari permukaan tanah, seperti yang terjadi pada kolam 1 dan kolam 2 (Gambar 19). Rencana pengembangan TPA berupa penataan dan pengembangan luas dimana luas TPA untuk skala perkotaan seharusnya bisa mencapai 20-30 Ha. Sampah yang masuk ke TPA Cipayung bukan hanya dari rumah tangga saja, melainkan sampah pasar dan beberapa sampah dari sungai. Pengembangan TPA lain dilakukan di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan yang luasnya sekitar 5 Ha serta terdapat rencana penyediaan buffer zone untuk masing-masing TPA sebesar 100 meter (RTRW Kota Depok 2011-2031).
42
Gambar 19 Kondisi TPA Cipayung Sumber: DKP Kota Depok Sedangkan untuk rencana pengembangan Tempat Penampungan Sementara (TPS) dilakukan melalui pengoptimalan TPS yang sudah ada. Rencana pengembangan Stasiun Peralihan Antara (SPA) terdapat di Kecamatan Tapos, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah khususnya efisiensi dalam angkutan sampah ke TPPAS Regional Nambo. Di sisi lain, pengembangan angkutan persampahan kota meliputi pemeliharaan dan penambahan armada pengangkut sampah berupa gerobak sampah, motor sampah, dan dump truck yang telah tertera pada RTRW 2011-2031. Pembuatan TPS Limbah B3 skala kota sedang dalam tahap pembangunan yang sudah dilaksakan sejak tahun 2013. Upaya ini sudah terdapat dalam Perda No. 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup namun belum diterapkan di Kota Depok. Water Jaringan air baku untuk air minum adalah air yang berasal dari sumber air permukaan, cekungan tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Di Kota Depok sendiri memiliki beberapa sistem jaringan air baku untuk air minum, antara lain: 1. pembangunan jaringan air minum perpipaan perkotaan melalui sumber air baku dari Sungai Angke, Sungai Pesanggarahan, Sungai Ciliwung, dan Sungai Cikeas, 2. pengembangan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan di kawasan budidaya dari sumber air tanah dan air permukaan, 3. pengembangan tampungan air di kawasan budidaya harus terpadu sebagai upaya untuk penambahan cadangan air baku daerah, dan 4. pengelolaan sumur dalam di Kelurahan Kedaung, Kelurahan Sawangan, Kelurahan Pengasinan, Kelurahan Kalimulya, Kelurahan Jatijajar, Kelurahan Cisalak Pasar, dan Kelurahan Mekarsari. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan perpipaan (Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005). Sistem penyediaan air minum kota di Kota Depok dilayani oleh Perusahaan Air Minum (PDAM) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor yang menjangkau 45 ribu pelanggan dan 5 ribu pelanggan dari Unit Pelaksana Tugas (UPT) Air Bersih Kota Depok (RTRW Kota Depok Tahun 2011-2031).
43 Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 18 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator konsumsi air dan kebocoran sistem air di Kota Depok. Tabel 18 Analisis kuantitatif Water Kategori Water
Indikator Konsumsi air Kebocoran sistem air
Bobot AGCI 25% 25%
Hasil1
Baku Mutu2
35.83 L/hari/org 21.49%
Min:60 lt/hari/org Max:126.9 lt/hari/org ≤ 45%
Bobot 25% 13 %
Sumber: 1 PDAM Tirta Kahuripan, Kabupaten Bogor 2 Permendagri N0 23 tahun 2006 (60 lt/orang/hari) dan Kementerian Pekerjaan Umum (126.9 lt/orang/hari), Scored by WHO in Asian Green City Index (Kebocoran air: 45%)
Konsumsi Air Permukaan Konsumsi air permukaan yang dihasilkan di Kota Depok sebesar 438 l/ detik sehingga jika 438 l/detik dikalikan dengan 3600 detik kemudian dibagi dengan jumlah pelanggan sambung aktif di PDAM Tirta Kahuripan didapatkan konsumsi air per hari per orangnya sebesar 35.83 l/orang/hari. Namun berdasarkan Permendagri No. 23 tahun 2006 data minimum konsumsi air sebesar 60 l/orang/hari sedangkan untuk konsumsi air maksimum menurut Kementerian PU sebesar 126.9 l/orang/hari sehingga dalam perhitungan menggunakan rumus MinMax Approximation. Pada dasarnya konsumsi air yang semakin tinggi kurang baik bagi suatu kota jika tidak diimbangi dengan upaya untuk melestarikan lingkungan/ penerapan konsep green water. Green water dapat didefinisikan sebagai suatu konsep untuk menyediakan kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan sehingga tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Konsep green water dilakukan untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat menghemat uang yang dikeluarkan (Kementerian PU 2013). Perhitungan: (
) (
)
Pada Asian Green City Index, data konsumsi air permukaan memiliki bobot 25%. Hasil yang diperoleh yaitu 1 dikalikan dengan 25% sehingga bobot untuk konsumsi air permukaan menurut Asian Green City Index di Kota Depok sebesar 25%. Jika melihat persentase tersebut, konsumsi air di Kota Depok sudah
44 baik karena sudah memenuhi bobot Asian Green City Index, namun rendahnya konsumsi air di Kota Depok dikarenakan distribusi air perpipaan yang hanya terpusat di tengah kota. Berdasarkan survei EHRA Kota Depok tahun 2011, hanya sekitar 13.7% dari jumlah penduduk yang menggunakan air PDAM sehingga dapat dikatakan suplai air dari pemerintah tergolong buruk karena masih banyak wilayah yang belum terjangkau air PDAM. Sekitar 86.3% penduduk Kota Depok menggunakan sumber air minum lain dan masih ada yang menggunakan sumber air tidak terlindungi (Gambar 20).
Terlindungi
Tidak Terlindungi
Gambar 20 Grafik persentase penggunaan sumber air di Kota Depok Sumber: survei EHRA di Kota Depok tahun 2011 Menurut Laporan Bappenas dan PBB (2004), sumber air minum terbagi tiga, antara lain: 1. air perpipaan, yaitu air dengan kualitas yang dapat diandalkan (Reliable), 2. air dengan sumber yang terlindungi, yaitu air dengan kualitas yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan limbah (tinja) terdekat. Jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih dari 10 m, dan 3. air dengan sumber yang tidak terlindungi, yaitu sumber air ini kemungkinan besar akan terkontaminasi limbah (tinja) . Kebocoran Sistem Air Kebocoran sistem air permukaan yang dihasilkan di Kota Depok sebesar 21.49 %, namun berdasarkan World Health Organization (WHO) pada Asian Green City Index data kebocoran sistem air yang diizinkan maksimum sebesar 45%. Pada dasarnya kebocoran sistem air yang semakin tinggi kurang baik bagi suatu kota apalagi kota tersebut sudah menjalankan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Tingkat kebocoran yang terjadi menyebabkan beban operasional terhadap air bersih menjadi tinggi dan pelayanan terhadap masyarakat menjadi berkurang. Upaya untuk menurunkan tingkat kebocoran sistem perpipaan air bersih merupakan suatu upaya terhadap penghematan penggunaan air bersih (Kementerian PU 2013). Di Kota Depok terdapat empat cabang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), antara lain: Cabang 1 (Depok 1), Cabang 2 (Depok 2), Cabang 3
45 (Depok Timur), dan Cabang 4 (Taman Duta). Cabang 3 (Depok Timur) merupakan air yang disuplai dari Cibinong dengan menggunakan pipa lama sehingga tingkat kebocoran menjadi paling tinggi dibandingkan dengan cabangcabang lainnya. Perhitungan: (
) (
)
Pada Asian Green City Index, data kebocoran air permukaan memiliki bobot 25% sehingga bobot untuk kebocoran air permukaan menurut Asian Green City Index di Kota Depok sebesar 13%. Persentase tersebut dapat dikatakan cukup buruk karena jauh dari persentase 25% (sangat baik) sehingga masih perlu upaya dalam penghematan air bersih. Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau yang lebih baik lagi, Depok memiliki beberapa kebijakan yang dilakukan terkait kebijakan meningkatkan kualitas air dan kebijakan mengelola sumberdaya air secara efisien (Tabel 19). Tabel 19 Analisis kualitatif Water Indikator
Upaya
Bobot AGCI
Sumur pantau (a) Kebijakan meningkatkan kualitas air
Gerakan biopori
25%
Sumur resapan
Bobot Nilai 1 2 3
Konservasi DAS Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI Total Bobot Cekungan Air Tanah Kebijakan mengelola sumberdaya air secara efisien
0
5/9*25% 13.9%
(b)
Penggantian meteran pelanggan Penggantian jaringan pipa
Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI Total Bobot a,b [Keterangan skor lihat lampiran 4 halaman 73]
x
25%
6/12*25% 12.5%
Kebijakan meningkatkan kualitas air Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas air dengan mendirikan sumur pantau yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013. Sumur pantau adalah sumur yang digunakan untuk memantau muka air/ melihat kondisi air tanah serta memantau mutu air bawah tanah dari lapisan pembawa air tertentu. Di Kota Depok sumur pantau terletak di dua lokasi, yaitu di Balaikota dan BMSDA. Upaya ini sudah terdapat dalam Perda No. 9 tahun 2002 tentang Pengelolaan Air
46 Bawah Tanah dan sudah diterapkan dengan baik. Upaya selanjutnya adalah gerakan biopori, gerakan ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2012 dan dalam pelaksanaannya sekitar 10 alat sudah diberikan kepada setiap kelurahan di Kota Depok (Gambar 21).
Gambar 21 Kegiatan gerakan biopori Sumber: RAKH Kota Depok tahun 2012 Program kali bersih termasuk ke dalam upaya Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Program ini dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan sungai yang bersih dan sehat. Upaya ini juga untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan wujud nyata untuk mendukung Adipura. Program Kali Bersih di lakukan di beberapa sungai, salah satunya adalah Sungai Ciliwung (sungai yang menghubungkan antar provinsi). Program kali bersih yang dilaksanakan di Sungai Ciliwung dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari anggota pramuka Kota Depok, Komunitas Ciliwung sampai Walikota Depok. Kebijakan dalam mengelola sumberdaya air secara efisien Cekungan air tanah (CAT) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Kota Depok telah memiliki 2 CAT, antara lain: CAT Jakarta dan CAT Bogor. CAT Jakarta memiliki lokasi lebih luas sekitar 80% dari CAT Bogor. Fungsi dari CAT adalah untuk melihat kedalaman air tanah. Sumur resapan adalah sumur yang menyerap air secara alami (termasuk air kotor). Sehubungan dengan maraknya banjir di berbagai wilayah, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (BMSDA) Kota Depok membangun sumur resapan. Pembangunan sumur resapan tersebut bertujuan memperkecil jumlah titik banjir sehingga air menjadi terkelola secara efisien. Sumur resapan ini berguna untuk meresapkan air sebelum mengalir ke sungai, air akan ditahan dan ditampung terlebih dahulu di dalam sumur sehingga tidak langsung mengalir ke dataran rendah. Upaya ini sudah terdapat dalam Perda No. 14 tahun 2013 tentang PSU dan sudah diterapkan dengan cukup baik. Sumur resapan ini sudah dibuat dan digunakan sejak tahun 2010 serta sudah dibangun di beberapa sekolah dan masjid. Pembangunan sumur resapan juga dilakukan oleh pengembang perumahan yang memiliki lahan minimal 1 Ha (Gambar 22). Selain sumur resapan, Kota Depok
47 juga mempunyai sumur imbuhan, yaitu sumur yang dipaksa untuk meresap. Sumur imbuhan ini hanya digunakan untuk air bersih. Sumur imbuhan mulai dibangun pada tahun 2013 dan sampai saat ini sudah terdapat tiga titik sumur, antara lain di Merdeka, Balaikota dan Parung Bingung.
Gambar 22 Pembangunan sumur resapan air Kota Depok Sumber: www.depok.go.id Sanitation Sanitasi dipecah menjadi 3 subsektor sanitasi, antara lain: 1. air limbah, diantaranya terdiri dari tinja, urine, air pembersih, material pembersih, air bekas cucian dan dapur, dan lain sebagainya, 2. sampah, terdiri dari sampah rumah tangga (sampah dapur, plastik, kaca, kertas dan lain lain), sampah medis, sampah industri dan lain sebagainya, dan 3. drainase, selain mengalirkan dan menampung limpasan permukaan, juga menampung air limbah rumah tangga (umumnya berupa grey water) dan air limbah lainnya. Selain ketiga subsektor sanitasi tersebut, sanitasi juga sering disandingkan dengan upaya penyediaan air bersih kepada masyarakat melalui air baku yang bersumber dari air permukaan maupun berasal dari sumur dangkal dan sumur dalam (Widyanti dan Yuliarsih 2002). Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 20 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator populasi masyarakat yang memiliki jamban pribadi dan jumlah limbah cair yang diolah di Kota Depok. Tabel 20 Analisis kuantitatif Sanitation Kategori Sanitation
Indikator Masyarakat yang memiliki jamban pribadi Jumlah limbah cair yang diolah
Bobot AGCI 33%
95.01%
33%
31%
Hasil1
Baku Mutu2 Min: 20%, Max: 100% Min:10%, Max: 100%
Bobot 30.9% 7.6%
Sumber: 1 Masyarakat yang mempunyai jamban pribadi: Laporan Studi ERHA Kota Depok tahun 2012 (95.01%), Jumlah limbah cair yang diolah: PDAM Tirta Kahuripan dan Strategis Sanitasi Kota Depok 2012 (31 %) 2 Scored by WHO in Asian Green City Index
48 Populasi masyarakat yang sudah memiliki akses terhadap jamban Populasi masyarakat yang sudah memiliki akses terhadap jamban di Kota Depok sebesar 95.01% dan sisanya 4.99% terbagi penggunaannya menjadi MCK/WC umum, WC helikopter, sungai/pantai/laut, kebun/pekarangan, selokan/ parit/got, lubang galian dan lainnya. Populasi masyarakat yang sudah memiliki akses terhadap jamban paling besar berada di Kecamatan Beji. Kecamatan Beji telah bebas buang air besar sembarangan sebab penggunaan jamban pribadi mencapai 99.72% dan sisanya 0.28% menggunakan MCK umum. Sedangkan 10 kecamatan lainnya masih belum bebas buang air besar sembarangan. Kecamatan yang memiliki persentase tertinggi dalam membuang limbah tinja manusia di WC helikopter adalah Kecamatan Bojongsari sebesar 11%. Kemudian kecamatan yang persentase tertinggi dalam membuang limbah tinja ke sungai adalah Kecamatan Cipayung sebesar 1.6% (SLHD Kota Depok 2012). Perhitungan di bawah ini menggunakan metode Min-Max Approximation dimana nilai terkecil (minimal), yaitu 20% diperoleh dari WHO pada Asian Green City Index, sedangkan nilai terbesar (maksimal), yaitu 100% diperoleh karena semakin banyak masyarakat yang memiliki jamban pribadi maka akan semakin baik kualitas lingkungannya. Perhitungan: (
) (
)
Berdasarkan perhitungan di atas, jika dilihat dari pembobotan Asian Green City Index maka menghasilkan persentase sebesar 30.9%. Angka tersebut sudah mendekati baku mutu yang sudah ditetapkan oleh WHO di Asian Green City Index, yaitu 33% sehingga dapat disimpulkan sebagian besar masyarakat Kota Depok sudah memiliki jamban pribadi. Hal tersebut tidak terlepas dari faktor peningkatan perekonomian Kota Depok dan pengembangan Kota Depok menuju kota yang lebih baik lagi. Jumlah limbah cair yang diolah Limbah cair yang diolah dalam hal ini merupakan limbah cair yang dihasilkan oleh rumah tangga karena Kota Depok merupakan salah satu kota tujuan bermukim bagi warga DKI Jakarta sehingga rumah tangga merupakan penyumbang limbah yang besar bagi lingkungan Kota Depok. Dalam menentukan jumlah limbah cair yang telah diolah di Kota Depok, terlebih dahulu menentukan jumlah limbah cair yang diproduksi di Kota Depok. Menurut Maryati dan Deliyanto (2013), sebanyak 80% dari jumlah konsumsi air rumah tangga merupakan limbah cair sehingga limbah cair yang diproduksi didapatkan dari perhitungan sebagai berikut: Konsumsi Air di Kota Depok x 80% 10 185 176 m3 x 80%= 8 148 140 m3
49 Sebesar 8 148 140 m3 merupakan produksi limbah cair di Kota Depok. Kemudian diperlukan juga data terkait konsumsi air per rumah tangga (RT) dengan perhitungan sebagai berikut: Konsumsi Air Kota Depok/ Total RT 10 185 176 m3/ 328 183 KK (Kepala Keluarga)= 31 m3/KK Jumlah Limbah per RT= 80% x 31 m3/KK = 25 m3/KK Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok pada tahun 2010, dari sampling yang diperiksa sejumlah 328 183 KK dapat digambarkan bahwa baru 203 134 KK (69.29 %) yang telah memiliki tangki septik. Tangki septik adalah suatu teknik pengolahan limbah untuk pengolahan limbah setempat (on-site) dan skala kecil. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah limbah yang diolah di Kota Depok dengan perhitungan sebagai berikut: 203 134 KK x 25 m3/KK =5 078 350 m3 Sehingga Limbah yang diolah (m3)/ Produksi limbah Kota Depok (m3)x 100% = 5 078 350 m3/ 8 148 140 m3 x 100% = 62%/2 =31% Hasil yang diperoleh sebesar 62% kemudian dibagi dua karena pengolahan limbah terbagi menjadi pengolahan limbah skala besar dan skala kecil sehingga didapatkan pengolahan limbah skala kecil sebesar 31%. Persentase tersebut dihitung menggunakan metode Min-Max Approximation untuk mendapatkan status pengolahan limbah jika dibandingkan dengan baku mutu. Baku mutu yang dipakai adalah nilai terkecil (minimal) sebesar 10% yang diperoleh dari WHO pada Asian Green City Index, sedangkan nilai terbesar (maksimal) sebesar 100% diperoleh karena semakin banyak rumah tangga yang mengolah limbahnya sebelum dibuang ke lingkungan maka akan semakin baik. Perhitungan: (
) (
)
Pada Asian Green City Index bobot limbah cair yang diolah sebesar 33%. Sehingga bobot yang diperoleh untuk limbah cair yang diolah menurut Asian Green City Index hanya sebesar 7.6%. Persentase tersebut termasuk kecil jika
50 dibandingkan dengan persentase maksimal sebesar 33% sehingga pengolahan limbah cair di Kota Depok termasuk buruk dengan produksi limbah yang ada. Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau yang lebih baik lagi, Depok memiliki beberapa kebijakan yang dilakukan terkait kebijakan kebersihan lingkungan yang dijabarkan pada Tabel 21. Tabel 21 Analisis kualitatif Sanitation Indikator
Upaya
Bobot AGCI
Peningkatan rumah tangga bersanitasi layak (a) Program percepatan pembangunan sanitasi pemukiman (PPSP) (b) Jambore sanitasi Kebijakan Pemanfaatan limbah cair sebagai variasi kebersihan 33% pengguna pembungkus belimbing dan lingkungan pengganti pupuk organik Peningkatan kualitas teknologi pengolahan air limbah Pemisahan sistem pembuangan air rumah tangga dengan sistem jaringan drainase Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI Total Bobot a,b [Keterangan skor lihat lampiran 5 halaman 74]
0
Bobot Nilai 1 2
3
9/18*33% 16.5%
Kebijakan Kebersihan Lingkungan Peningkatan rumah tangga bersanitasi layak sudah terdapat dalam Perwal No. 17 tahun 2012 tentang Pengolahan Air Limbah Domestik dan sudah diterapkan. Penerapan tersebut terlihat dari pencapaian persentase rumah tangga yang menggunakan tangki septik layak atau Industri Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebesar 89% sedangkan persentase target pencapaian 5 tahun kedepan sebesar 95%. Kota Depok mempunyai komitmen ikut serta dalam Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) karena masuk ke dalam Keputusan Walikota Depok serta sudah di terapkan, namun penerapannya belum maksimal karena belum adanya sosialisasi kepada masyarakat dan hanya 69.29% masyarakat yang telah memiliki tangki septik serta hanya beberapa yang memenuhi kriteria jamban sehat. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985), jamban dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. tidak mencemari sumber air minum/minimal memiliki jarak 10 m dari sumur, 2. tidak berbau dan tidak memungkinkan serangga masuk ke penampungan, 3. kotoran tidak mencemari tanah sekitar, 4. mudah dibersihkan, dan 5. lantai kedap air, cukup penerangan dan memiliki ventilasi yang cukup. Jambore sanitasi adalah pembekalan kepada siswa SMP se-Indonesia terkait sanitasi lingkungan yang bertujuan agar generasi muda bisa lebih peduli terhadap lingkungan sekitar dan Kota Depok ikut serta dalam jambore sanitasi ini. Jambore sanitasi termasuk kedalam upaya pemerintah dalam menjaga kebersihan
51 lingkungan. Sedangkan pemanfaatan limbah cair sebagai variasi pengguna pembungkus belimbing dan pengganti pupuk organik bertujuan untuk menjadikan buah belimbing dewa (Averrhoa carambola) sebagai ikon Kota Depok dan menjadikan belimbing sebagai tanaman wajib di setiap jengkal lahan kosong. Pemerintah pun melakukan kerjasama riset dengan Universitas Indonesia (UI) untuk mencari cara meningkatkan produktifitas Averrhoa carambola (Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Depok). Upaya selanjutnya adalah peningkatan kualitas teknologi pengolahan air limbah. Upaya ini sudah masuk ke dalam Perda No. 13 tahun 2013 tentang IMB dan Bangunan, namun belum direalisasikan. Sedangkan untuk upaya pemisahan sistem pembuangan air rumah tangga dengan sistem jaringan drainase sudah masuk ke dalam Perwal No. 17 tahun 2012 tentang Pengolahan Air Limbah Domestik, namun belum direalisasikan. Air Quality Menurut data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok hingga saat ini tingkat pencemaran udara di Kota Depok sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Hasil pengukuran menunjukan bahwa sumber emisi yang paling besar mencemari udara ambien adalah sumber emisi bergerak, yaitu kendaraan bermotor. Tingkat kepadatan kendaraan bermotor memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penurunan kualitas udara ambien dimana meningkatnya konsentrasi SO2 dan NO2 di udara di setiap tahunnya (Buku Putih Kota Depok 2013). Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan beberapa pengukuran untuk memantau kualitas udara ambien di beberapa lokasi di Kota Depok pada tahun 2013. Pemantauan dilakukan oleh PT. Mutuagung Lestari dengan menggunakan metode pengambilan contoh, yaitu pengambilan gas dengan menggunakan alat impinger. Alat impinger ini berfungsi untuk menetapkan kadar gas berbahaya secara konvensional. Pengambilan contoh dilakukan di 16 titik berbeda yang memiliki tingkat kepadatan tinggi dan tersebar, diantaranya Kecamatan Bojong Sari (depan kantor kecamatan), Kecamatan Cinere (samping kantor kecamatan), Kecamatan Limo (halaman kantor kecamatan), Kecamatan Cipayung, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Beji, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Tapos, Terminal Jatijajar, Kantor BLH Kota Depok, rumah sakit Cinere, rumah sakit Meilia dan Sawangan Hills. Analisis Aspek Kuantitatif Pada Tabel 22 dapat dilihat bobot persentase pencapaian pada indikator keberlimpahan NO2, SO2 dan PM10 di udara Kota Depok. Tabel 22 Analisis kuantitatif Air Quality Kategori Air Quality
Indikator NO2 SO2 PM10
Bobot AGCI 25% 25% 25%
Hasil1
Baku Mutu2 3
41.6 µg/Nm /hari 67.9 µg/Nm3/hari 141.5 µg/Nm3/hari
3
150 µg/Nm /hari 365 µg/Nm3/hari 150 µg/Nm3/hari
Sumber: 1 PT Mutuagung Lestari, Badan Lingkungan Hidup Kota Depok 2013 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 tahun 1999
Bobot 18.1% 20.2% 1.4%
52 Nitrogen dioksida (NO2) Gas Nitrogen dioksida (NO2) termasuk gas paling toksik dan dapat menimbulkan iritasi pada paru-paru sehingga dapat merusak lapisan sel paru- paru. Sumber pencemarnya adalah buangan gas dari kendaraan bermotor terutama pagi hari karena pada saat itu terjadi reaksi fotokimia (Hakim 2006). Gas NO2 bila mencemari udara mudah diamati dari baunya sangat menyengat dan warnanya merah kecoklatan. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 ini empat kali lebih kuat dari pada toksisitas gas NO (Zendrato 2010). Tingkat NO2 yang terdapat di Kota Depok sebesar 41.6 µg/Nm3/hari dengan baku mutu menurut PP Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 sebesar 150 µg/Nm3/hari. Perhitungan: (
) (
)
Pada Asian Green City Index, tingkat nitrogen dioksida di udara memiliki bobot 25% sehingga bobot untuk tingkat NO2 di Kota Depok adalah 18.1%. Hal ini berarti keberlimpahan NO2 masih dalam kategori cukup baik dikarenakan persentase masih di atas 10%. Sulfur dioksida (SO2) Gas SO2 (sulfur dioksida) merupakan salah satu komponen polutan di atmosfir yang dihasilkan dari proses pembakaran minyak bumi dan batubara serta proses lain yang mengandung sulfat (Wark dan Warner 1981). Menurut Hakim (2006), gas SO2 juga berasal dari pengecoran logam dan penggunaan bahan bakar fosil. Dalam konsentrasi tertentu gas SO2 dapat mengakibatkan penyakit paruparu dan kesulitan bernafas terutama bagi penderita asma, bronchitis dan penyakit pernafasan lainnya (Turk et al. 1972). Tingkat Sulfur dioksida di udara Kota Depok sebanyak 67.9 µg/Nm3/hari dengan baku mutu menurut PP Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 sebesar 365 µg/Nm3/hari.
Perhitungan: )
( (
)
53 Pada Asian Green City Index, tingkat sulfur dioksida di udara memiliki bobot 25% sehingga bobot untuk tingkat SO2 di Kota Depok adalah 20.2%. Ini berarti tingkat SO2 di udara masih jauh di bawah baku mutu karena persentase yang diperoleh cukup bagus. Particulart Meter (PM10) Particulart Meter 10 (PM10) adalah partikel debu yang berukuran ≤10 mikron. Debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang, kemudian masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan. Selain dapat membahayakan kesehatan, debu juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata (Avrianto 2011). Tingkat PM10 di Kota Depok sebesar 141.5 µg/Nm3/hari dengan baku mutu menurut PP Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 sebesar 150 µg/Nm3/hari sehingga dapat diketahui persentase dari tingkat keberlimpahan PM10 di udara Kota Depok adalah sebesar 1.4%. Perhitungan: (
) (
)
Pada Asian Green City Index, tingkat PM10 di udara memiliki bobot sebesar 25% sehingga bobot persentase kategori ini adalah 1.4%. Ini berarti tingkat PM10 di Kota Depok sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan karena keberlimpahannya sudah mendekati baku mutu yang ditetapkan. Partikel debu merupakan partikel yang mudah terbawa angin dan mudah menyebar serta didukung juga oleh kondisi Kota Depok yang cukup gersang sehingga tingkat keberlimpahan PM10 di udara menjadi lebih besar. Analisis Aspek Kualitatif Dalam proses menuju kota hijau, Depok memiliki beberapa kebijakan yang dilakukan terkait kebijakan kebersihan udara (Tabel 23). Tabel 23 Analisis kualitatif Air Quality Indikator
Upaya
Bobot AGCI
Uji emisi (a) Kebijakan Membatasi perizinan angkutan umum 25% kebersihan udara Mempersiapkan setiap kecamatan memiliki lokasi jalan bebas kendaraan Nilai penerapan total/ Nilai Maksimal*bobot AGCI Total Bobot a [Keterangan skor lihat lampiran 6 halaman 74]
0
Bobot Nilai 1 2 3
4/9*25% 11%
54
Kebijakan Kebersihan Udara Sumber pencemaran umumnya berasal dari kegiatan industri pengolahan, transportasi dan rumah tangga. Menurut Setyowidagdo (2000) dalam Budiarto (2011), dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, ternyata 70% dari total emisi yang dibuang ke udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor. Sehingga perlu adanya upaya yang dilakukan untuk menurunkan kadar emisi di udara, salah satunya adalah uji emisi kendaraan bermotor. Pengertian uji emisi kendaraan bermotor berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 5 tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama adalah uji emisi gas buang yang wajib dilakukan untuk kendaraan bermotor secara berkala. Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa pelaksanaan uji emisi di suatu daerah harus dievaluasi oleh Bupati atau Walikota minimal 6 bulan sekali. Menurut UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 13, pengujian emisi ini bersifat wajib demi menjaga kelestarian lingkungan hidup. Adapun manfaat dari uji emisi kendaraan ini adalah untuk memantau emisi kendaraan sehingga dapat mencegah terjadinya polusi udara. Uji Emisi sudah terdapat dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan bidang perhubungan dan sudah direalisasikan dengan cukup baik. Hasil uji emisi terhadap 600 kendaraan pada tahun 2009, menunjukan data 30 persen lebih kendaraan yang diuji emisinya tidak lolos. Batas standar baku mutu udara di Kota Depok di kisaran angka S atau cukup buruk. Namun uji emisi di Kota Depok sudah rutin dilakukan setiap satu bulan sekali dan dilakukan di daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi (Gambar 23). Terkait tindak lanjut untuk uji emisi di Kota Depok dilakukan dengan peringatan pada setiap kendaraan yang tidak lolos untuk melakukan servis secara rutin agar kualitas mesin tetap terjaga.
Gambar 23 Uji emisi di Kota Depok Sumber: www.depoknews.com Membatasi perizinan angkutan umum sudah terdapat dalam Perda No. 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan, namun belum terdapat realisasi. Sedangkan upaya dalam mempersiapkan setiap kecamatan untuk memiliki lokasi jalan bebas kendaraan merupakan program yang dicanangkan oleh BLH Kota Depok dalam menekan tingkat pencemaran udara, namun masih dalam tahap rencana.
55 Environmental Governance Environmental Governance yang dimaksud disini adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas lingkungan, penegakan hukum yang berlaku, seperti Perda dan Perwa serta peran serta masyarakat dalam mencapai keberlanjutan kota (Tabel 24). Tabel 24 Analisis kualitatif Environmental Governance Indikator
Upaya
Bobot AGCI
0
Rehabilitasi lingkungan Pengelolaan Lingkungan
Pengawasan Lingkungan
Partisipasi Masyarakat
Perda No 13 tahun 2013 pasal 30 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan (a)
Bobot Nilai 1 2 3
33%
Perda No 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nilai penerapan total/ Nilai maksimal*bobot AGCI Total Bobot Penyusunan memorandum program sanitasi
7/9*33% 25.6%
Penyusunan buku putih Kota Depok
Penyusunan laporan status lingkungan hidup
33%
Penyusunan master plan kota hijau Penyusunan masterplan RTH
Langit biru
Nilai penerapan total/ Nilai maksimal*bobot AGCI Total Bobot Adipura Penyusunan peta komunitas hijau (b)
5/18*33% 9.2%
Keberadaan LSM dan komunitas lingkungan
33%
(c)
Nilai penerapan total/ Nilai maksimal*bobot AGCI Total Bobot a,b,c [Keterangan skor lihat lampiran 7 halaman 75]
6/9*33% 22 %
Pengelolaan Lingkungan Rehabilitasi lingkungan sudah terdapat dalam Perda No 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun belum direalisasikan. Upaya ini memiliki rencana yang akan dilakukan untuk reboisasi, penghijauan dan kegiatan fisik lainnya yang terkait dengan perbaikan kondisi lingkungan (Gambar 24). Seperti melakukan revegetasi dan reboisasi areal atau kawasan yang memiliki penutupan tajuk vegetasi jarang, perlindungan dan penataan kawasan hutan kota dan taman kota, melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya lahan, pemantapan ruang lahan untuk budidaya pertanian dan perkebunan pada catchment area terutama menyangkut luas berdasarkan faktor daya dukung lingkungan setempat, melakukan pengawasan terhadap upaya perubahan fungsi lahan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, penggunaan metode yang tepat dalam melakukan rehabilitasi dan pemanfaatan lahan kritis untuk dapat dipergunakan sebagai areal pertanian dan perkebunan yang produktif, penetapan
56 kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk peraturan daerah (perda) tentang Pelestarian Tanah dan Larangan Pemanfaatan Lahan Produktif untuk keperluan lain dan pelibatan masyarakat dalam upaya rehabilitasi lahan, termasuk dalam perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pengawasan (Laporan SLHD Kota Depok 2012).
Gambar 24 Penanaman pohon di Taman Lembah Gurame Sumber: SLHD Kota Depok 2012 Perda No 13 tahun 2013 pasal 30 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan sudah disahkan, diakses, disosialisasikan dan juga sudah diterapkan oleh masyarakat sebelum mendirikan bangunan, salah satunya adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Seperti yang sudah tertera pada Peraturan Daerah No 13 tahun 2013 pasal 30 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan bahwa setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungan harus memiliki AMDAL/Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pengawasan Lingkungan (UPL)/Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Rekomendasi AMDAL telah diberikan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Depok terhadap beberapa kegiatan yang diwajibkan membuat dokumen AMDAL dan UKL serta UPL. Dalam hal ini, terhadap kegiatan yang diharuskan membuat AMDAL atau UKL dan UPL akan dilakukan pengawasan atau monitoring secara berkala dalam rangka pengelolaan lingkungan secara optimal. Perda No 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah diterapkan. Salah satunya adalah kegiatan fisik perbaikan kualitas lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat, kegiatannya antara lain: Hari Lingkungan Hidup, Hari Buruh Sedunia, penanaman pohon di tempat peribadatan, sosialisasi lubang biopori, kebun bibit rakyat, gerakan perempuan tanam dan pelihara dan lain-lain. Pengawasan Lingkungan Pemantauan lingkungan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan agar tetap lestari. Upaya pemantauan di Kota Depok berupa penyusunan memorandum program sanitasi, buku putih, laporan status lingkungan hidup (SLHD), master plan kota hijau dan master plan RTH. Kota Depok juga terlibat dalam program yang dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu Program Langit Biru. Langit biru merupakan salah satu program dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk emisi rendah dan uji biru (udara bersih) dalam meningkatkan kualitas lingkungan Kota
57 Depok. Program ini belum masuk pada rencana daerah namun sudah dilakukan realisasi. Dalam memorandum program sanitasi membahas permasalahan sanitasi di Kota Depok yang dilihat dari berbagai aspek sehingga dapat dilihat kelemahan sanitasi di Kota Depok dan hal-hal apa saja yang dapat ditingkatkan. Sedangkan buku putih Kota Depok membahas kondisi umum sanitasi di Kota Depok dan rencana program yang sedang berjalan saat ini. Laporan status lingkungan hidup (SLHD) sendiri membahas terkait kinerja pemerintah daerah dalam bidang lingkungan hidup. Dalam penyusunan masterplan RTH Kota Depok membahas terkait ketersediaan RTH eksisiting dan pemenuhan RTH 30% serta menghasilkan peta perpaduan antara konsep RTH dan tata ruang. Partisipasi Masyarakat Penghargaan Adipura belum terdapat pada perda dan belum terealisasikan di Kota Depok. Dalam hal ini, Kota Depok masih terus membenahi kotanya untuk meraih Penghargaan Adipura ini. Penghargaan Adipura adalah penghargaan tertinggi di tingkat Nasional dalam Kebersihan Lingkungan (Laporan SLHD Kota Depok 2012). Penyusunan peta komunitas hijau (Green Map) sudah terdapat dalam Perda No. 3 tahun 2013 tentang Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sudah direalisasikan, terlihat pada adanya pemetaan komunitas hijau. Pemetaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing komunitas hijau. Pemetaan komunitas hijau ini diharapkan dapat menghasilkan profil atau gambaran mengenai komunitas hijau yang ada pada masing-masing kota sehingga dapat disusun rencana tindak lanjut untuk pemberdayaannya. Keberadaan komunitas lingkungan di Kota Depok sudah terorganisir dengan tergabungnya dalam Forum Komunitas Hijau (FKH) di bawah pengawasan Divisi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok dan sudah berperan aktif dalam upaya meningkatkan keberlanjutan kota. FKH sendiri memiliki beberapa program dalam mencapai keberlanjutan kota, salah satunya adalah Depok Green Festival yang bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Kota Depok. Depok Green Festival ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Tata Ruang Nasional yang memiliki beberapa kegiatan, antara lain: Aksi untuk Ciliwung, Jelajah Setu Fun Bike, pemilihan duta lingkungan Kota Depok, Stasiunku nyaman, aman, stasiun idaman dan festival hijau. Di Kota Depok juga terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri dari LSM Yadeh, LSM Pokdar Kamtibmas, LSM Lempalhi, LSM Depok Hijau, LSM Sinar, LSM Dewa, LSM Wanita Peduli Lingkungan (WPL) dan LPM Asosiasi Petani Pelopor Penghijauan. LSM di Kota Depok turut berperan aktif dalam menjaga kualitas lingkungan, seperti yang terlihat pada Gambar 25.
58
Gambar 25 Kegiatan jumat bersih yang dilakukan oleh LSM Kota Depok Sumber: SLHD Kota Depok 2012 Evaluasi Dalam mencapai kota yang berkelanjutan perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja yang sudah berjalan dan peningkatan kinerja yang kurang maksimal. Evaluasi pada setiap kategori menuju kota yang berkelanjutan di Kota Depok dapat dilihat pada tabel berikut. Energy and CO2 Tabel 25 Evaluasi kategori Energy and CO2 Indikator Emisi CO2 (25%) Konsumsi Energi (25%) Kebijakan kebersihan energi (25%) Rencana mengatasi perubahan iklim (25%)
Evaluasi Emisi CO2 di Kota Depok masih tergolong cukup baik. Konsumsi energi listrik di Kota Depok masih di bawah konsumsi energi di Indonesia, namun perlu dilakukan pemantauan secara berkala dan upaya penghematan energi. Kota Depok telah memiliki beberapa upaya dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kebersihan energi. Namun setiap upaya tersebut tidak diikuti dengan realisasi yang baik dan penyusunan perda terkait kebijakan. Total
Bobot 14.1% 14%
11.9% 40%
Dilihat pada Tabel 25 di atas didapatkan total bobot keseluruhan sebesar 40%. Persentase tersebut tergolong pada average karena masuk kedalam range 40%-60%. Land Use and Building Tabel 26 Evaluasi kategori Land Use and Building Indikator Kepadatan Penduduk (25%) Luas RTH (25%) Kebijakan Eco Buildings (25%) Kebijakaan penggunaan lahan (25%)
Evaluasi Kepadatan penduduk di Kota Depok cukup tinggi sehingga berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Luas RTH di Kota Depok cukup kecil karena maraknya konversi lahan. Kebijakan eco building masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan indikator green building masih dalam tahap sosialisasi. Kebijakan penggunaan lahan di Kota Depok sudah berjalan dengan cukup baik, seperti pembuatan RTH di beberapa tempat. Total
Bobot 1.2% 16% 8.3% 17.5% 43%
59 Berdasarkan Tabel 26 di atas, kategori ini termasuk kedalam rentang 40%60% dan ditempatkan pada posisi average. Transport Tabel 27 Evaluasi kategori Transport Indikator Panjang jaringan transportasi publik (33%) Kebijakan pembuatan trasportasi massa perkotaan (33%) Kebijakan mengurangi kemacetan (33%)
Evaluasi Trayek angkutan umum saling overlap sehingga beberapa wilayah masih ada yang belum terjangkau. Kota Depok telah memiliki rencana dalam penyediaan bus yang memiliki jalur khusus seperti Trans Jakarta dan pengembangan kereta api. Beberapa upaya telah direncanakan dan direalisasikan untuk mengurangi kemacetan, salah satunya adalah perbaikan jalan. Total
Bobot 5.6% 6.6%
13.2%
25.4%
Berdasarkan Tabel 27 di atas, kategori ini termasuk kedalam rentang 20%40% dan ditempatkan pada posisi below average. Waste Tabel 28 Evaluasi kategori Waste Indikator Sampah yang dihasilkan (25%)
Evaluasi Volume sampah yang dihasilkan sangat tinggi. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Bobot 1.9%
Sampah yang terangkut (25%)
Volume sampah terangkut sudah cukup baik. Namun diperlukan pengolahan sampah sendiri agar tidak terjadi penumpukan sampah di TPA. Upaya yang direncanakan dan dilakukan sudah cukup baik, namun perda terkait pengolahan sampah masih dalam tahap kajian. Total
24.9%
Kebijakan pengumpulan sampah (25%) Kebijakan 3R (25%)
4%
30.8%
Berdasarkan Tabel 28 di atas, kategori ini termasuk kedalam rentang 20%-40% dan ditempatkan pada posisi below average. Water Tabel 29 Evaluasi kategori Water Indikator Konsumsi air (25%)
Kebocoran air (25%) Kebijakan meningkatkan kualitas air (25%) Kebijakan mengelola sumber air secara efisien (25%)
Evaluasi Konsumsi air PDAM tergolong rendah dikarenakan sebaran wilayah pelayanan perpipaan masih terpusat di tengah kota. Maka diperlukan pendistribusian lebih meluas untuk menjangkau wilayah pinggiran. Kebocoran air tergolong cukup besar hal ini karena jauhnya pendistribusian air dan lamanya umur pipa.
Bobot 25%
Kota Depok sudah memiliki beberapa upaya yang sudah dijalankan dalam meningkatkan kualitas air dan upaya tersebut sudah melibatkan komunitas lingkungan. Kebijakan mengelola sumber daya air secara efisien sudah cukup baik, namun masih perlu ditingkatkan kembali. Total
13.9%
13 %
12.5%
64.4%
60 Berdasarkan Tabel 29 di atas, kategori ini termasuk kedalam rentang 60%-80% dan ditempatkan pada posisi above average. Sanitation Tabel 30 Evaluasi kategori Sanitation Indikator Masyarakat yang memiliki jamban pribadi (33%)
Jumlah limbah cair yang diolah/ kelola (33%)
Kebijakan kebersihan lingkungan (33%)
Evaluasi Masyarakat yang memiliki jamban pribadi cukup tinggi. Hal tersebut karena kebutuhan akan jamban yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian dan perkembangan kota. Pengolahan limbah cair dalam hal ini adalah pengolahan limbah cair skala kecil. Meski sudah banyak yang memiliki tangki septik, namun hanya beberapa yang memenuhi kriteria jamban sehat.
Bobot 30.9%
Dalam menerapkan kebijakan kebersihan lingkungan, Kota Depok sudah memiliki IPAL namun hanya terdapat pada skala industri dan rumah sakit.
16.5%
Total
7.6%
55%
Berdasarkan Tabel 30 di atas, kategori ini masuk kedalam rentang 40%60% sehingga ditempatkan pada posisi average.
Air Quality Tabel 31 Evaluasi kategori Air Quality Indikator NO2 (25%)
Evaluasi Keberlimpahan NO2 di udara cukup tinggi karena banyaknya kendaraan bermotor dan intensifnya aktifitas rumah tangga sehingga kualitas udara menjadi kurang baik.
Bobot 18.1%
SO2 (25%)
Keberlimpahan SO2 di udara tergolong lebih baik dari pada NO2 karena penghasil gas SO2 hanya bersumber dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
20.2%
PM10 (25%)
Keberlimpahan PM10 di udara cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan partikel debu yang mudah terbawa angin dan menyebar serta kondisi Kota Depok yang gersang sehingga menyebabkan keberlimpahan PM10 menjadi lebih besar.
1.4%
Kebijakan kebersihan udara (25%)
Kebijakan kebersihan udara di Kota Depok sudah berjalan dengan baik, salah satunya adalah program uji emisi kendaraan.
11%
Total
50.7%
Berdasarkan Tabel 31 di atas, kategori ini termasuk kedalam rentang 40%-60% dan ditempatkan pada posisi average.
61 Environmental Governance Tabel 32 Evaluasi kategori Environmental Governance Indikator Pengelolaan Lingkungan (33%)
Evaluasi Kota Depok telah memiliki perda dalam pengelolaan lingkungan sehingga sudah memiliki arahan yang cukup jelas untuk pengelolaan lingkungan kedepannya.
Bobot 25.6%
Pengawasan Lingkungan (33%)
Pengawasan lingkungan sudah berjalan cukup baik, terbukti dengan adanya peta penyusunan RTH Kota Depok.
9.2%
Partisipasi Masyarakat (33%)
Partisipasi masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan sudah baik, terbukti dengan adanya beberapa komunitas lingkungan yang tergabung dalam Forum Kota Hijau (FKH). Total
22%
56.8%
Berdasarkan Tabel 32 di atas, persentase keseluruhan sebesar 56.8% sehingga berada pada rentang average (40%-60%). Evaluasi Seluruh Kategori Asian Green City Index Kota yang memiliki keberlanjutan dicapai dengan baiknya bobot/skor pada seluruh kategori seperti Energy and CO2 (emisi CO2 dan penggunaan energi), Land Use and Building (penggunaan lahan dan bangunan), Transport (transportasi), Waste (timbulan limbah padat), Water (konsumsi air dan kebocoran air), Sanitation (pengolahan limbah cair), Air Quality (kualitas dan kebersihan udara) dan Environmental Governance (kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat). Setiap kategori tersebut memiliki peranan dan fungsi masingmasing dalam mencapai kota yang berkelanjutan. Hubungan yang sinergis setiap kategori sangat dibutuhkan dalam menuju kota hijau. Kota Depok sudah memiliki beberapa rencana pengembangan terkait kedelapan kategori tersebut, namun rencana tersebut ada yang sudah direalisasikan dan ada yang masih dalam berupa arahan/rencana. Pada Tabel 33 dapat dilihat skala pencapaian dari masing-masing kategori dalam mencapai kota yang berkelanjutan. Tabel 33 Performa Kota Depok Well below average (0%-20%) Energy and CO2 Land Use and Building Transport Waste
Below average (20%-40%)
Average (40%60%)
Water Sanitation Air Quality Environmental Governance Hasil Keseluruhan
Above average (60%-80%)
Well Above Average (80%-100%)
62
Berdasarkan tabel performa di atas dapat dilihat hasil keseluruhan kinerja Kota Depok dalam menuju kota hijau adalah average/rata-rata dengan rata-rata persentase dari seluruh kategori sebesar 46.1%. Kinerja average berada pada lima kategori, antara lain Energy and CO2, Land Use and Building, Sanitation, Air Quality dan Environmental Governance. Kinerja below average berada pada kategori Transport dan Waste. Sedangkan kinerja above average berada pada kategori Water. Index of Happiness Index of Happiness ini digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Kota Depok dengan melihat aspek lingkungan sekitar. Setelah dilakukan pengambilan data persepsi masyarakat kepada 100 responden didapatkan indeks kebahagiaan masyarakat Kota Depok sebesar 41.35 pada skala 20.0 hingga 60.0 sehingga termasuk kedalam rentang bahagia. Angka tersebut didapatkan dari perhitungan rata-rata dari setiap responden. Jika dilihat berdasarkan hasil distribusi frekuensi yang dilakukan (Gambar 26), hasil yang diperoleh sebesar 53% masyarakat bahagia, 29% masyarakat sangat bahagia dan 18% masyarakat kurang bahagia akan keadaan lingkungan sekitar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Kota Depok bahagia tinggal di Kota Depok dengan keadaan lingkungan yang ada saat ini.
18% 29%
Kurang Bahagia Bahagia
53%
Sangat Bahagia
Gambar 26 Pie chart tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Depok terhadap lingkungan sekitar Berdasarkan sampel responden, kategori yang memiliki nilai paling rendah atau tingkat kebahagiaan yang rendah adalah kategori Transport, yaitu indikator terkait kemacetan. Sebagian masyarakat mengeluh akan kemacetan yang sering terjadi di Kota Depok, khusunya di jam-jam sibuk. Beberapa jalan yang terhubung di Kota Depok merupakan jalan akses utama sehingga tidak terdapat akses alternatif dan menyebabkan kemacetan yang parah, seperti pada Jalan Margonda dan Jalan Tole Iskandar. Ruas-ruas jalan yang kecil juga menjadi pemicu kemacetan yang parah di Kota Depok, seperti pada ruas jalan di Jalan Pitara. Sedangkan untuk kategori dengan nilai terendah kedua masih dalam kategori Transport, sebagian besar masyarakat mengeluh tidak bisa mengendarai sepeda di Kota Depok dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dikarenakan tidak tersedianya
63 jalur khusus pengendara sepeda dan tingginya intensitas kendaraan bermotor yang melewati jalan raya sehingga jalan raya menjadi penuh sesak. Sedangkan kategori yang memiliki nilai tertinggi adalah kategori Water hal tersebut dikarenakan kualitas air di Kota Depok yang tergolong masih baik dan tidak tercemar sehingga masyarakat dapat menggunakan air bersih setiap harinya. Kategori yang memiliki nilai tertinggi kedua adalah kategori Environmental Governance dan Transport. Pada kategori Environmental Governance, sebagian besar masyarakat mengaku sudah berpartisipasi aktif dalam menjaga lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya sehingga lingkungan sekitar mereka bersih dan terjaga, seperti halnya di kawasan perumahan pada Kecamatan Beji, Pancoran Mas dan Sukmajaya (Gambar 27). Sedangkan untuk kategori Transport, sebagian besar masyarakat bahagia akan kemudahan dalam menemukan angkutan umum. Hal tersebut dikarenakan banyaknya jumlah angkutan umum yang ada, namun angkutan umum tersebut memiliki panjang lintasan yang pendek sehingga menjadi kurang efektif. Angkutan yang terintegrasi juga sudah diterapkan di Kawasan Universitas Indonesia (UI), UI memiliki jalur sepeda, jalur pejalan kaki dan halte bus yang saling terhubung serta fasilitas umum yang memadai.
Gambar 27 Kawasan perumahan di Kecamatan Beji dan Pancoran Mas
Green Initiatives Energy and CO2 Sebaiknya dilakukan penerapan dan pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan, seperti penggunaan listrik tenaga surya. Penggunaan listrik tenaga surya ini dapat dipakai dalam lampu penerangan jalan umum atau taman publik (Gambar 28). Program penanaman pohon juga dapat dilakukan dengan menanam pohon yang dapat menyerap gas CO2 dan menjerap debu. Tanaman dapat menyerap bermacam gas/partikel beracun yang mencemari udara, salah satunya adalah CO2. Dimana berbagai jenis tanaman mempunyai kemampuan untuk menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis (Hakim 2006). Menurut De Roo (2011) tanaman yang dapat menyerap gas adalah tanaman yang memiliki permukaan daun yang luas dan tidak mengalami masa pengguguran daun/evergreen. Menurut Kusminingrum (2008), setiap orang memerlukan 0.5 kg O2 per harinya, sedangkan perharinya pohon pelindung menghasilkan 1.2 kg O2. Sehingga berdasarkan hal tersebut, kebutuhan tanaman yang diperlukan di Kota
64 Depok untuk bernafas dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Sehingga dalam memenuhi kebutuhan Oksigen (O2) penduduk Kota Depok sebanyak 1 898 567 jiwa, memerlukan pohon pelindung sebanyak 791 070 pohon.
Gambar 28 Contoh penggunaan listrik tenaga surya Sumber: id.wikipedia.org Land Use and Building Pada kategori Land Use and Building, indikator yang memiliki dampak yang signifikan bagi lingkungan adalah kepadatan penduduk karena tinggi atau rendahnya kepadatan penduduk akan berdampak pada kualitas lingkungan sekitarnya. Pengembangan kawasan perkotaan yang efisien dan ramah lingkungan sangat diperlukan di Kota Depok, seperti pembangunan secara vertikal. Menurut De Roo (2011), sebaiknya pada radius 500 m dari rumah terdapat RTH seluas 60 m2. Rumah yang memiliki pemandangan hijau lebih berharga sekitar 4-12% dibandingkan dengan rumah yang tidak memiliki pemandangan tersebut. Beberapa keuntungan dari adanya pemandangan hijau, antara lain: menyehatkan badan dan pikiran, meningkatkan produktivitas pekerja dan meminimalisir pekerja yang sakit. Pembangunan secara vertikal dapat memaksimalkan pembangunan RTH publik karena adanya RTH ini dapat meningkatkan kualitas kerja bagi penduduk Kota Depok.
65 Transport Menurut Newman (c2008), kota yang berkelanjutan adalah kota yang dapat membebaskan diri dari ketergantungan pada mobil. Sebaiknya dilakukan peningkatan pengoperasian transportasi umum yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya, khususnya sepeda dan jalur pejalan kaki. Peningkatan pelayanan menjadi hal yang penting agar penggunaan transportasi publik menjadi lebih aman, nyaman dan efisien. Waste Sebaiknya diterapkan paradigma baru pengelolaan sampah, yakni mengurangi jumlah timbulan sampah (reduce), menggunakan kembali sampah (reuse), mendaur ulang sampah (recycle), dan mengganti (replace)/4R dengan melibatkan masyarakat sekitar. Serta memperbanyak UPS agar sampah yang dihasilkan tidak tertimbun liar dan memperkecil pasokan sampah menuju TPA. Peningkatan pengolahan sampah di TPA menjadi sanitary landfill pun sangat membantu dalam meminimalisir dampak sampah terhadap lingkungan. Water Sebaiknya Kota Depok memiliki Industri Pengolahan Air (IPA) sendiri sehingga masyarakat memiliki kualitas air yang lebih terjamin dan distribusi air menjadi lebih luas. Disamping itu suplai air menjadi lebih pendek sehingga kebocoran sistem air dapat diminimalisir. Sanitation Sebaiknya dilakukan pengontrolan serta tindak lanjut dari pemerintah Kota Depok terkait jamban sehat, yaitu masyarakat yang memiliki jamban pribadi dan memiliki tangki septik yang layak. Menurut Compendium of Sanitation Systems and Technologies, tangki septik yang baik harus di kosongkan dalam kurun waktu 2-5 tahun kemudian. Air Quality Dalam mewujudkan kebersihan udara, diperlukan alternatif penggunaan bahan bakar salah satunya adalah bahan bakar gas untuk meminimalisir polusi udara. Pembatasan keluarnya kendaraan pribadi khususnya pada jam-jam sibuk juga dapat menjadi rencana Kota Depok dalam mengurangi polusi udara. Selain itu, penanaman pohon berdaun jarum yang tidak mengalami masa pengguguran daun sangat diperlukan di Kota Depok, khusunya ditanam pada daerah yang memiliki tingkat intensitas tinggi dilalui oleh kendaraan bermotor. Menurut De Roo (2011), suatu batang pohon dengan diameter ±30 cm dapat menangkap 100 gr PM10 di udara. Peningkatan green roof dan green wall yang ditanami tanaman merambat yang tebal juga dapat mengurangi kandungan PM10 di udara. Environmental Governance Pendekatan pemerintah kepada masyarakat serta peningkatan kesadaran masyarakat sendiri sangat diperlukan agar kualitas lingkungan menjadi lebih baik dan dapat terus terjaga. Peran komunitas dan LSM pun sangat berpengaruh dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan nyaman sehingga sebaiknya kinerja komunitas dan LSM dapat terus terjaga dan bahkan ditingkatkan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Setelah mengidentifikasi dan menilai setiap kategori dari data kuantitatif dan data kualitatif berdasarkan Asian Green City Index, dihasilkan kondisi Kota Depok saat ini cukup baik namun perlu adanya peningkatan kinerja pada beberapa kategori yang masih belum maksimal. Kota Depok telah memiliki banyak upaya dan arahan dalam menuju kota yang berkelanjutan. Namun upaya dan arahan tersebut sebagian besar masih dalam tahap rancangan/rencana sehingga belum terlihat dampak positif bagi perkembangan Kota Depok. Hasil evaluasi yang ditampilkan pada tabel performa memperlihatkan Kota Depok termasuk ke dalam kota yang memiliki hasil keseluruhan average (ratarata), dengan batasan persentase 40%-60% yang terlihat dari hasil rata-rata keseluruhan kategori sebesar 46.1%. Persentase terbesar dimiliki oleh kategori Water sebesar 64.4% dan masuk ke dalam rentang above average (60%-80%). Sedangkan persentase terkecil dimiliki oleh kategori Transport sebesar 25.41% dan masuk ke dalam rentang below average (20%-40%). Selain itu, dilihat pula tingkat kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Kota Depok dengan pengambilan sampel pada 100 responden. Berdasarkan hasil yang diperoleh, indeks kebahagiaan masyarakat Kota Depok sebesar 41.35 pada skala 20.0 hingga 60.0. Jika dilihat berdasarkan hasil distribusi frekuensi yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sebanyak 53% masyarakat Kota Depok mengaku bahagia tinggal di Kota Depok dengan kondisi lingkungan yang ada saat ini. Jika dilihat dari hasil kinerja Kota Depok sebesar 46.1% dan masuk ke dalam rentang rata-rata sedangkan indeks kebahagiaan masyarakat Kota Depok adalah bahagia (41.35). Maka dapat disimpulkan, masyarakat Kota Depok kurang memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan kurang memiliki cukup pemahaman terkait konsep kota hijau di Kota Depok. Saran Berdasarkan hasil evaluasi pada penelitian, dapat dilihat titik kelebihan dan titik kelemahan di Kota Depok sehingga perlu adanya kajian lebih mendalam dalam meminimalisasi kelemahan dan mengoptimalisasi kelebihan yang ada di Kota Depok. Kajian tersebut dapat berupa kajian yang dilakukan oleh pemerintah ataupun penelitian lebih lanjut terkait kota hijau ini. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan dengan menggunakan analisis statistik terkait kinerja kota dan index of happiness agar diketahui korelasi antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2013. Buku Putih Kota Depok [BLH] Badan Lingkungan Hidup.2012.Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Depok [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Outlook Energi Indonesia 2013. [Internet] [Diunduh 9 Agustus 2014] [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Depok. Depok Dalam Angka 2012. [Laporan].[Internet].[Diunduh pada 27 Februari 2014] [Diskominfo] Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Depok.2012. Warta Depok [Internet] [Diunduh 5 Mei 2014] [Distarkim] Dinas Tata Ruang dan Pemukiman. RTRW Kota Depok Tahun 2011-2031 (siap terbit) [DKP] Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2013. Penyusunan Masterplan RTH Kota Depok [GBCI] Green Building Council Indonesia. 2010. Press Release Network. Jakarta [Internet] [Diunduh pada 19 Agustus 2014] [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories [Internet] [Diunduh pada 7 agustus 2014] Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press Avrianto F. 2011. Analisis kadar Particulate Matter 10 (PM10) di udara dan keluhan gangguan pernafasan pada masyarakat yang tinggal di sepanjang jalan raya Kelurahan Lalang, Kecamatan Sunggal Medan [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara Brundtland H.G. 1987. The World Commission on Environment and Development. Oslo: United Nation Budiarto M. 2011. Pola Penyebaran Timbal (Pb) di Daerah Jenggawah Kabupaten Jember Jawa Timur [skripsi]. Jember [ID]: Universitas Jember Budihardjo E, Sujarto D.1999.Kota Berkelanjutan.Bandung: Penerbit Alumni Denig S. 2011. Asian Green City Index: Assessing The Environmental Performance of Asia’s Major Cities. Munich : Siemens AG Denig S. 2012. Green City Index: A summary of the Green City Index research series. Munich : Siemens AG Depkes, RI. 1985. Farmakope Indonesia. Jakarta: Ditjen POM De Roo M. 2011. The Green City Guidelines: Techniques for healthy liveable city. UK: The Green City Hakim R. 2006. Rancangan Visual Lansekap Jalan. Jakarta: Bumi Aksara Hasnida . 2002. http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.pdf [Diakses pada 5 Mei 2014] Helliwell JF, Layard R, Sachs J. World Happiness Report 2013. New York: UN Sustainable Development Solutions Network Iqbal. 2012. http://personal.ftsl.itb.ac.id/iqbal/files/2012/09/systempenyediaan-air-minum.pdf [Diakses 8 Agustus 2014]
68 Joga N, Ismaun I 2011. RTH 30%: Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kementerian Dalam Negeri. 2014. Buku Panduan energi yang terbarukan. Kementerian Dalam Negri dalam kerangka Program PNPM-MP/LMP. Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Panduan Kota Hijau di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. c2012. Laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia 2011. Jakarta: Bappenas Krupa SV. 1997. Air Pollution, People, and Plants. USA. The American Phytopathological Society Kusminingrum N. 2008. Potensi Tanaman dalam Menyerap CO2 dan CO untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Pemukiman [Internet] [Diunduh 21 Agustus 2014]; 3(2). Pp 96- 105 Maryati S, Deliyanto B. 2013. Materi Pokok Prasarana Wilayah dan Kota. Tangerang selatan: Universitas Terbuka Mirsa R. 2012. Elemen Tata Ruang Kota- Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha ilmu Mohan D. 2008. Public Transportation Systems for Urban Areas A Brief Review. Delhi: Indian Institute of Technology Delhi Morel T, Luthi C, Tilley E, Zurbregg C, Schertenlein R. 2008. Compendium of Sanitation Systems and Technologies. Water supply & Sanitation Collaborative Council : Eawag Aquatic Research Morlok EK. 1991. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Jakarta: Erlangga. Mulia RM. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan-Edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mustafa H. 2000. Teknik Sampling. Jakarta: Erlangga. Newman P, Jennings I. c2008. Cities as Sustainable Ecosystems: principle and practices. Washington D.C: Island Press Penalosa E. 2002. Peran transportasi dalam kebijakan pembangunan perkotaan. German: Federal Ministry for Economic Cooperation and Development Puri RA. [tahun tidak diketahui]. Kajian emisi CO2 berdasarkan tapak karbon sekunder dari kegiatan non akademik di ITS Surabaya [Artikel] [Internet][Diunduh 18 Juli 2014] Register R. 1987. Ecocity Berkeley: Building cities for a healthy future. Berkeley: North Atlantic Books Renggapratiwi A. 2009. Kemiskinan dalam Perkembangan Kota Semarang: Karakteristik dan Respon Kebijakan [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tentang tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6 tentang tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Jakarta: Sekretariat Negara
69 Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No. 41 tentang Pengendalian pencemaran udara. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1997. Peraturan Pemerintah No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Undang- Undang No. 14 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 16 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang No. 18 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta: Sekretariat Negara Setiawan N. 2007. Penentuan ukuran sampel memakai rumus slovin dan tabel krejcie- morgan: Telaah konsep dan aplikasinya. Bandung: Universitas Padjadjaran Santoso I. 1996. Perencanaan Prasarana Angkutan Umum. Bandung: Pusat Studi Transportasi & Komunikasi, Institut Teknologi Bandung (ITB) Setijowarno D, Frazila RB. 2003. Pengantar Rekayasa Dasar Transportasi. Bandung. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Soegijapranata Siregar E. 2007. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 di Kota Binjai [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara Slamet, Soemirat J. 2007. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Soeparman, Suparmin. 2001. Pembuangan tinja dan limbah cair: suatu pengantar. Jakarta. Buku Kedokteran EGC Sudradjat HR. 2007. Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Sawadaya Turk A, J. Turk dan J. T. Witter. 1972. Ecology Pollution Environment. Philadelphia: W. B. Saunders Company Victoria Foundation. 2009. The Happiness Index:The Greater Victoria Well Being Survey Wark, W. E. dan C. F. Warner. 1981. Air Pollution its Origin and Control. Harper and Row, New York. Widiantono DJ. 2012. Kota Berkelanjutan: Membangun Kota Tanpa Luka [Artikel] [Internet] [Diunduh pada 15 Juni 2014] Widyanti R, Yuliarsih. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta. Grasindo Zendrato E. 2010. Pengukuran Kadar gas Pencemar Nitrogen Dioksida (NO2) di udara sekitar kawasan industri medan [skripsi].Medan (ID): Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN
71 Lampiran 1 Kuesioner Pengunjung
Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ________________________________________________ KUESIONER INDEX OF HAPPINESS Dengan hormat, Saya Harsalina Eka Saraya, mahasiswa S1 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sedang mengadakan penelitian mengenai EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA DEPOK di bawah bimbingan Dr.Ir Alinda FM Zain, M.Si. Dalam rangka menyelesaikan studi/tugas akhir ini, diperlukan dukungan serta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk mengisi kuesioner ini. Semua data yang terkumpul melalui kuesioner ini adalah untuk tujuan akademis. Kami akan menjamin kerahasiaan data yang Bapak/Ibu/Saudara/Saudari berikan sesuai dengan kode etik. Saya berharap pengisian kuesioner ini dapat dilakukan seobyektif mungkin tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Saya ucapkan terima kasih atas segala usaha dan waktu yang Anda luangkan dalam pengisian kuesioner ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Pendahuluan Kota Depok merupakan kota yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan DKI Jakarta sehingga Kota Depok merupakan salah satu kota yang dijadikan sebagai tujuan bermukim bagi warga kota yang memiliki pekerjaan di Jakarta. Kota Depok sendiri memiliki luas sebesar 200.29 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 1 898 567 jiwa. Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi regional dengan kota- kota lainnya. Tujuan dari pengolahan kuesioner ini adalah: 1. Mengetahui persepsi masyarakat Kota Depok. 2. Mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Depok IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : 2. Alamat : 3. Jenis kelamin : 4. Usia : 5. Pendidikan terakhir: 6. Pekerjaan :
72 Tabel 34 Kuesioner Index of Happiness
No.
1. 2.
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10.
11.
12.
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
Pertanyaan Saya bahagia karena lingkungan sekitar saya bersih dan nyaman Saya bahagia karena kota ini bebas dari sampah (tidak ada penumpukan sampah) Saya bahagia karena mudah menemukan tempat sampah di kota ini Saya bahagia karena mudah menemukan taman di kota ini Saya bahagia karena taman di kota ini dapat digunakan pada malam hari (terdapat lampu) Saya bahagia karena di kota ini masih memiliki taman yang indah& rapi. Saya bahagia karena kota ini sejuk dan memiliki banyak pohon Saya bahagia karena kota ini bebas dari kemacetan Saya bahagia karena mudah menemukan angkutan umum di kota ini Saya bahagia karena tarif angkutan umum cukup terjangkau (murah) Saya bahagia menggunakan angkutan umum di kota ini sehingga saya menggunakan angkutan umum setiap hari Saya bahagia karena mudah menemukan trotoar di kota ini Saya bahagia dan merasa aman berjalan kaki di kota ini (trotoar berukuran lebar, terdapat lampu pada malam hari) Saya bahagia dan merasa aman menggunakan sepeda di kota ini Saya bahagia karena dapat menghirup udara segar setiap hari Saya bahagia karena tidak perlu mengenakan masker saat keluar rumah Saya bahagia karena air bersih selalu tersedia di kota ini Saya bahagia karena dapat menggunakan air bersih setiap hari Saya bahagia karena peraturan lingkungan berjalan dengan tertib (diberlakukan denda) Saya bahagia karena dapat berpartisipasi langsung dalam mengatasi permasalahan lingkungan (buang sampah pada tempatnya dll)
Setuju (3)
Skala Penilaian Kurang Tidak Setuju Setuju (1) (2)
Alasan (mohon diisi)
73 Lampiran 2 Tabel batasan skoring kategori Land Use and Building Upaya Penyediaan RTH di Kota Depok
Skor Skor 2
Skor 0
Skor 1
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Skor 3 Ada rencana, ada penerapan >50% (a)
Keterangan: a
Ketersediaan RTH di Kota Depok sebesar 19.4% sehingga sudah memenuhi setengah dari total persentase standar RTH perkotaan sebesar 30%.
Lampiran 3 Tabel batasan skoring kategori Transport Upaya Jalur Sepeda
Jalur Pejalan Kaki
Skor 0 Tidak ada rencana, tidak ada penerapan Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Skor Skor 1 Skor 2 Ada rencana, tidak Ada rencana, ada penerapan/ ada penerapan tidak ada rencana, ≤ 50% ada penerapan Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Skor 3 Ada rencana, ada penerapan >50% (a) Ada rencana, ada penerapan >50% (b)
Keterangan: a
Batas penerapan >50% indikator jalur sepeda, sebagai berikut: 1. Mempunyai dimensi yang proporsional. 2. Terintegrasi dengan sistem transportasi lain dan pedestrian, seperti halte. 3. Tersebar diseluruh kota. 4. Jalur sepeda hanya dibatasi oleh kanstin.
b
Batas penerapan >50% indikator jalur pejalan kaki, sebagai berikut: 1. Mempunyai dimensi yang proporsional (1.5 m-2m). 2. Terintegrasi dengan sistem transportasi lain, seperti halte dan busway. 3. Terdapat pohon peneduh. 4. Berada di seluruh kawasan.
Lampiran 4 Tabel batasan skoring kategori Water Upaya
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Sumur Pantau
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Ada rencana, ada penerapan >50% (a)
Sumur Resapan
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Ada rencana, ada penerapan >50% (b)
74 Keterangan: a
Batas penerapan >50% indikator sumur pantau, sebagai berikut: 1. Terletak di dua lokasi atau lebih. 2. Sumur pantau digunakan sebagai alat pengendalian penggunaan air tanah. 3. Adanya pemeliharaan kondisi sumur pantau. 4. Lokasi sumur pantau pada cekungan air tanah lintas Kota/ Kabupaten.
b
Batas penerapan >50% indikator sumur resapan, sebagai berikut: 1. Sudah diterapkan di dua lokasi atau lebih. 2. Dibuat pada lahan yang lulus air/relatif datar dan tidak longsor. 3. Dibangun di lahan fasos dan fasum. 4. Terletak setiap jarak 10 m.
Lampiran 5 Tabel batasan skoring kategori Sanitation Upaya
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Peningkatan rumah tangga bersanitasi layak
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan >50%
Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50% Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
(a)
Ada rencana, ada penerapan >50% (b)
Keterangan: a
Penggunaan tangki septik layak atau IPAL sebesar 89% sedangkan persentase pencapaian 5 tahun kedepan sebesar 95% sehingga Kota Depok hanya perlu memenuhi 6% lagi untuk dapat mencapai target 5 tahun kemudian.
b
Batas penerapan >50% indikator PPSP, sebagai berikut: 1. Pembentuka kelompok kerja (Pokja). 2. Terdapat kajian- kajian terkait kondisi sanitasi Kota Depok dan rencana beberapa tahun ke depan. 3. Adanya sosialisasi kepada masyarakat. 4. Terbukti hasil nyatanya.
Lampiran 6 Tabel batasan skoring kategori Air Quality Upaya
Uji Emisi Kendaraan Bermotor
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Ada rencana, tidak ada penerapan/ tidak ada rencana, ada penerapan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Ada rencana, ada penerapan > 50% (a)
75 Keterangan: a
Batas penerapan >50%, sebagai berikut: 1. Dilakukan secara rutin atau berkala. 2. Dilakukan lebih dari enam bulan sekali. 3. Dilakukan pada daerah dengan tingkat kepadatan tinggi. 4. Terdapat tindak lanjut yang dilakukan setelah dilakukan pengujian.
Lampiran 7 Tabel batasan skoring kategori Environmental Governance Upaya Skor 0 Sudah disahkan
Skor 1 Sudah diakses
Penyusunan Peta Komunitas Hijau
Tidak ada rencana, tidak ada penerapan
Komunitas Lingkungan
Tidak memiliki komunitas lingkungan
Ada rencana, tidak ada penerapan, tidak ada rencana, ada penerapan Komunitas lingkungan belum terorganisir dan belum berperan aktif
Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota
Skor Skor 2 Sudah disosialisasikan
Skor 3 Sudah diterapkan
Ada rencana, ada penerapan ≤ 50%
Ada rencana, ada penerapan >50% (terdapat pemetaan komunitas hijau)
Komunitas lingkungan sudah terorganisir namun belum berperan aktif atau belum terorganisir namun sudah berperan aktif
Komunitas lingkungan sudah terorganisir dan sudah berperan aktif
RIWAYAT HIDUP
Harsalina Eka Saraya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Didiet Suhardi dan Herlina. Penulis lahir pada tanggal 12 Maret 1992 di Bogor. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1996 di TK Akbar Bogor, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SDN Polisi 4 Bogor. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Bogor dan pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan di SMAN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program mayor Arsitektur Lanskap di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Dalam memenuhi syarat kelulusan, penulis mengambil program minor Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekowisata di Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan. Selama masa studi di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan IPB dengan menjadi bendahara Divisi Keprofesian dalam Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap pada periode 2011/2012, anggota UKM Gentra Kaheman tahun 2010/2011 serta aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan yang diadakan di lingkungan kampus IPB.