EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Nurul Anisyah Desdyanza NIM A44090052
ABSTRAK NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN. Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia sangat pesat. Suatu kota pada dasarnya merupakan cerminan dari kondisi alam, manusia, dan kebudayaan. Aktivitas dan perkembangan kota akan menimbulkan berbagai macam permasalahan lingkungan seperti ketidakseimbangan antara pertumbuhan kawasan perkotaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Kondisi seperti ini membuat kota tidak nyaman untuk dihuni. Untuk menciptakan kota yang nyaman, aman dan selaras dengan alam salah satu caraya adalah dengan cara menerapkan konsep Kota Hijau. Kota Hijau merupakan suatu konsep dari kota yang sehat, yang mempertimbangkan aspek ekologi. Dalam penelitian ini menggunakan Gap Analysis untuk mengetahui perbandingan kondisi aktual di Kota Bogor dengan kondisi ideal dari konsep Kota Hijau yang selanjutnya dilakukan evaluasi dengan menggunakan metode skoring. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota Bogor saat ini telah memiliki rencana pengembangan dan pembangunan ke arah kota berkelanjutan, namun penerapannya belum maksimal. Persebaran penerapan belum merata di seluruh wilayah kota dan hasil penerapan belum dapat menyelesaikan permasalahan perkotaan yang ada di Kota Bogor. Kata kunci: gap analysis, kota hijau, lanskap kota
ABSTRACT NURUL ANISYAH DESDYANZA. Evaluation of Implementation Green City Concept in Bogor City. Supervised by ALINDA FM ZAIN. Development of urban areas in Indonesia is very rapid. City is a reflection of local environment condition, citizen behavior and local culture. Activity and development of the city will cause of various environmental problems like the imbalance between urban growth and the improvement of environmental quality. It bring about the city become not liveable. Because of that is very important to create a comfortable city with safety guarantee and be the one with nature by applying the concept of green city. Green city is a concept of a healthy city, considering ecological aspects. This research use Gap Analysis to find out the actual condition of Bogor City and compare it with the ideal condition of green city concept and evalauate the implementation with scoring method. The results of this research showed that Bogor has had a city development plan towards sustainable city, but the implementations still have not been maximized. The implementations not been spread through the region and have not been solve the urban problems of Bogor City. Key words: gap analysis, green city, urban landscape
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA BOGOR
NURUL ANISYAH DESDYANZA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor Nama : Nurul Anisyah Desdyanza NIM : A44090052
Disetujui oleh
Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu, rahmat, dan hidayah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini. Judul skripsi yang dipilih adalah “Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor”. Skripsi penelitian ini berisi tentang hasil penelitian untuk mengetahui pencapaian penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi selaku pembimbing skripsi dan Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku pembimbing akademik yang sudah memberi banyak dukungan dan masukan dalam pembuatan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kota Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Terimakasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada orangtua yang sudah memberikan motivasi dan doa dalam proses pembuatan penelitian ini, teman–teman ARL 46 khususnya teman satu bimbingan (Amira, Damaria, Elsya) dan seluruh pihak yang telah memberikan doa, bantuan serta dukungannya. Demikian skripsi penelitian ini dibuat, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak Pemerintah Kota Bogor dan pihak lain yang memerlukan.
Bogor, Maret 2014 Nurul Anisyah Desdyanza
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan
4
Konsep Kota Hijau
5
Green Planning and Design
6
Green Open Space
6
Green Building
6
Green Waste
7
Green Transportation
8
Green Water
8
Green Energy
9
Green Community
9
Ruang Terbuka Kota
9
Ruang Terbuka Hijau
10
Gap Analysis
10
Perencanaan Lanskap
11
METODOLOGI
12
Lokasi dan Waktu Penelitian
12
Alat dan Bahan Penelitian
12
Batasan Penelitian
13
Metode Penelitian
13
Inventarisasi
13
Analisis
14
Evaluasi
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Kondisi Umum Kota Bogor
27
Kondisi Fisik Lingkungan
27
Iklim
27
Topografi dan Kelerengan
28
Penduduk
29
Perekonomian
29
Penggunaan Lahan
29
Pola Sebaran Kegiatan
31
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor
31
Green Planning and Design
33
Kondisi Ideal Green Planning and Design
33
Kondisi Aktual Kota Bogor
34
Analisis dan Evaluasi
38
Green Open Space
40
Kondisi Ideal Green Open Space
41
Kondisi Aktual Kota Bogor
42
Analisis dan Evaluasi
49
Green Building
51
Kondisi Ideal Green Building
52
Kondisi Aktual Kota Bogor
53
Analisis dan Evaluasi
54
Green Waste
55
Kondisi Ideal Green Waste
55
Kondisi Aktual Kota Bogor
57
Analisis dan Evaluasi
60
Green Transportation
62
Kondisi Ideal Green Transportation
62
Kondisi Aktual Kota Bogor
64
Analisis dan Evaluasi
66
Green Water
68
Kondisi Ideal Green Water
68
Kondisi Aktual Kota Bogor
69
Analisis dan Evaluasi
71
Green Energy
72
Kondisi Ideal Green Energy
72
Kondisi Aktual Kota Bogor
75
Analisis dan Evaluasi
75
Green Community
76
Kondisi Ideal Green Community
77
Kondisi Aktual Kota Bogor
77
Analisis dan Evaluasi
78
Hasil Evaluasi Penerapan Indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
79
Green Planning and Design
80
Green Open Space
81
Green Building
81
Green Waste
81
Green Transportation
82
Green Water
82
Green Energy
83
Green Community
83
PENUTUP
84
Simpulan
84
Saran
84
DAFTAR PUSTAKA
85
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Alat dan bahan penelitian Jenis dan sumber data penelitian Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Batasan penentuan skoring indikator Green Building Batasan penentuan skoring indikator Green Waste Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion Batasan penentuan skoring indikator Green Water Batasan penentuan skoring indikator Green Energy Batasan penentuan skoring indikator Green Community Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007) Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007) Evaluasi penerapan Green Planning and Design di Kota Bogor Lokasi TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor Rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor Rencana penambahan jumlah RTH di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Building di Kota Bogor Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor 2009–2031 Lokasi tempat pembuangan sampah sementara di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Waste di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor Air baku di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor Evaluasi penerapan Green Community di Kota Bogor Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor
12 13 15 17 20 20 22 23 24 26 27 28 28 29 30 38 47 49 49 51 54 58 59 61 66 70 71 75 78 79
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kerangka Pikir Peta Jawa Barat dan Kota Bogor Suhu udara Kota Bogor tahun 2011 Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011 Peta wilayah administrasi Kota Bogor Peta rencana struktur ruang Kota Bogor Peta rencana sistem pusat pelayanan Kota Bogor Rencana pembangunan jaringan jalan dan St. Sukaresmi berbasis TOD Denah rencana pembangunan Stasiun Sukaresmi Ilustrasi kondisi perspektif Stasiun Sukaresmi berbasis TOD Taman Kencana Kota Bogor Taman Situ Anggalena Kota Bogor
3 12 27 28 32 36 37 39 40 40 43 43
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Taman Sempur Kota Bogor Taman Peranginan Kota Bogor Taman Topi Taman median jalan Kota Bogor RTH jalur pejalan kaki Kota Bogor Taman pulau jalan Kota Bogor RTH sempadan sungai Kota Bogor RTH Hutan Kota Cifor Peta rencana RTH Kota Bogor Tahapan mewujudkan green building Kondisi beberapa tempat pembuangan sampah di Kota Bogor Konsep TPA Nambo (kiri); proses pembangunan TPA Nambo (kanan) Ilustrasi alur proses pengelolaan sampah di TPST Kayumanis Fasilitas yang diperlukan untuk bersepeda Pedestrian di sekitar pusat Kota Bogor Kondisi Pedestrian Nyi Raja Permas Kota Bogor Kondisi pedestrian di ruas–ruas jalan di Kota Bogor Kondisi jalur sepeda di Kota Bogor Bis transpakuan (kiri) dan bis APTB (kanan) Lubang resapan biopori Proses produksi energi dari sampah Kegiatan komunitas hijau yang ada di Kota Bogor
44 44 44 45 45 45 46 46 48 53 59 60 60 63 65 65 65 65 66 71 74 78
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan pembangunan kota yang sangat cepat sudah terjadi di negara–negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kota–kota di Indonesia seperti halnya Kota Bogor sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota Bogor merupakan salah satu kota berkembang yang letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan Ibukota Jakarta. Letaknya yang sangat strategis, berada pada jalur lintasan regional yang menghubungkan Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi (Jabodetabek), Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur), dan Jakarta–Sukabumi, serta sekaligus memiliki peran sebagai wilayah penyangga kota Jakarta, menyebabkan Kota Bogor mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dan urbanisasi menjadi salah satu penyebabnya. Tjiptoherijanto (1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari pedesaan menuju perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk pun akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercantum pada Kota Bogor Dalam Angka (2011), hasil sensus penduduk menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2010 sudah mencapai 967 398 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki presentasi distribusi penduduk yang tertinggi di daerah Jawa Barat sebesar 11.8%. Pertumbuhan Kota Bogor yang cukup pesat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan fisik kota, dimana jika pembangunan tidak disesuaikan dengan daya dukung lingkungan tentunya akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Dari segi pola penggunaan lahan Kota Bogor, dengan luas wilayah Kota Bogor sebesar 11 850 Ha, secara garis besar Kota Bogor dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kawasan terbangun dan kawasan belum terbangun. Kawasan terbangun di kota Bogor sebesar 4 411.85 ha atau sekitar 37.27% dari luas Kota Bogor dan kawasan belum terbangun sebesar 7 438.14 ha atau sekitar 62.77% dari luas Kota Bogor. Untuk mengatasi permasalahan perkotaan yang sedang terjadi saat ini seperti pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti dengan pembangunan fisik kota serta kapasitas daya dukung, maka pengembangan kota sebaiknya perlu memperhatikan keselarasan dengan lingkungan. Kondisi lingkungan kota yang sehat dapat meningkatkan kenyamanan bagi para penghuninya. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah dengan menggunakan konsep Kota Hijau yang menjadikan kota selaras dengan alam (Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2012). Menurut Widiantono (2012) kota berkelanjutan merupakan konsep kota yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial–budaya, dan lingkungan hidup. Keseimbangan pada keberlanjutan suatu kota merupakan hal yang penting bagi pemanfaatan sumberdaya yang ada, yaitu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga di masa yang akan datang. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau merupakan kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan
2 buatan, serta berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip–prinsip pembangunan berkelanjutan yang dapat menyelaraskan kebutuhan kota dengan menjaga kelestarian ligkungan. Untuk mewujudkan kota hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator kota hijau secara bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan dan pengolahan limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air (green water), 7) pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy), serta 8) pengembangan jaringan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (green community). Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. bagaimana perkembangan dan penataan Kota Bogor saat ini, dan 2. seperti apa penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor dalam pembangunan dan pengembangan kotanya. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merencanakan konsep pengembangan kota hijau berdasarkan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. mengidentifikasi perkembangan dan penataan konsep kota hijau di Kota Bogor, dan 2. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi peneliti, serta dapat dijadikan alternatif dan rekomendasi bagi pihak pengembang dan pembangunan kota, khususnya sebagai pertimbangan kepada pemerintah daerah setempat untuk menentukan langkah lebih lanjut dalam proses pengembangan kota yang menerapkan konsep kota hijau. Dengan menerapkan konsep ini diharapakan pengembangan dan pembangunan kota selanjutnya akan lebih berbasis lingkungan dan terjaga kelestariannya guna memperbaiki kualitas lingkungan, serta meningkatkan kenyamanan kota untuk dihuni oleh masyarakat.
Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir di bawah ini menggambarkan permasalahan Kota Bogor terkait penerapan delapan indikator pembentuk kota hijau. Setelah itu dilakukan identtfikasi terkait penerapannya yang dilihat dari indikator green planning and design, green open space, green building, green waste, green transportation,
3 green water, green energy, dan green community. Tahapan yang dilakukan selanjutnya yaitu melakukan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode Gap Analysis, yaitu analisis yang digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota. Kemudian dihasilkan data yang akan dianalisis secara deskriptif dan menghasilkan perbandingan kondisi Kota Bogor saat ini dengan penerapan ideal dari konsep kota hijau. Adapun kerangka pikir pada penelitian dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini: Kota Bogor
Permasalahan Kota Bogor terkait penerapan Konsep Kota Hijau
Identifikasi permasalahan terkait penerapan delapan indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Green Planning and Design Perencanaan dan perancangan kota kurang berbasis lingkungan
Green Open Space
Green Building
Green Waste
Menurunnya luas dan kualitas ruang terbuka hijau (RTH)
Perencanaan dan perancangan bangunan kurang ekologis
Sampah perkotaan tidak ditangani dengan baik
Green Transportation Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi
Green Water
Green Energy
Green Community
Kualitas air tanah menurun
Penggunaan energi fosil tinggi, perlu penggunaan energi alternatif
Kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam melestarikan lingkungan
Gap Analysis Evaluasi penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Bogor
Gambar 1 Kerangka Pikir
4
TINJAUAN PUSTAKA Kota dan Masalah Lingkungan Perkotaan Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota–kota ibukota kabupaten atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008). Menurut Irwan (2008) kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataanya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Kota juga merupakan sebuah sistem yaitu terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara. Kota merupakan tempat para warga melangsungkan berbagai aktivitasnya, sehingga pengembangannya seharusnya diarahkan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan fisik dan spiritual. Tetapi kenyataannya banyak ditemukan suatu kota yang perencanaannya dilakukan secara kurang memadai sehingga menjadi lesu, sakit, dan semrawut. Langkah Pemerintah Kota saat ini dengan upaya mengembangkan Hutan Kota yang termasuk kedalam salah satu bentukan ruang terbuka hijau (RTH) perlu mendapat apresiasi. Dengan dibentuknya ruang–ruang terbuka hijau tersebut, dapat disusun suatu jaringan ruang terbuka hijau kota yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, bersih, sehat, dan indah (Samsoedin 2007). Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Menurut Irwan (2007) terdapat banyak permasalah yang dihadapi di perkotaan, permasalahan tersebut antara lain adalah masalah yang berkaitan dengan: 1) perusakan alam, meliputi pencemaran sungai di dalam kota, 2) perusakan nilai historis kota, 3) prioritas diberikan kepada kendaraan bermotor, bukan pejalan kaki, serta 4) konsentrasi di kota–kota, pertumbuhan yang cepat di pinggir kota, serta adanya pembangunan yang tidak beraturan dan tidak menyebar sepanjang jarak tempuh. Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota.
5 Konsep Kota Hijau Kota Hijau dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan sebagai kota sehat, artinya adalah bahwa adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait, dan sinkronisasi dengan perencanaan kota. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), Kota Hijau juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco–city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan dirancang dengan mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Kota Hijau dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Kota Hijau pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan (Rustiadi 2009). Konsep Kota Hijau sejalan dengan usaha untuk menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan perencanaan kota–kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, yang selanjutnya juga dapat memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal. Terdapat beberapa aspek legal mengenai pengembangan Kota Hijau di Indonesia diantaranya tertera pada Undang–Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) yang wajib ada pada wilayah perkotaan adalah paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu terdapat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2011), untuk mewujudkan kota hijau, setiap kota dapat menerapkan delapan indikator (atribut) kota hijau secara bertahap yang meliputi: 1) peningkatan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang sensitif pada agenda hijau (green planning and design), 2) peningkatan jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau (green open space), 3) penerapan bangunan hijau (green building), 4) usaha pengurangan limbah dan pengolahan limbah (green waste), 5) pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan (green transportation), 6) efisiensi pemanfaatan sumberdaya air serta zero runoff (green water), 7) pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy), serta 8) pengembangan jaringan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (green community).
6 Green Planning and Design Green planning and design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan perancangan wilayah, kota atau kawasan yang memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perencanaan dan pembangunan kota harus sesuai dengan peraturan Undang–undang yang berlaku, seperti UU No. 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana (kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU No. 26/2007 mengenai Penataan Ruang, serta UU No. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengarahkan pengalokasian ruang agar tercapai keseimbangan antara ruang sosial, ekonomi, dan lingkungan (lingkungan alami dan terbangun) untuk mewujudkan ruang wilayah perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Green Open Space Green open space adalah bagian dari ruang–ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik atau introduksi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau (RTH) dalam kota tersebut, yaitu seperti keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Menurut Purnomohadi (1995) pengertian ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu bentang lahan terbuka tanpa bangunan yang memiliki ukuran, bentuk, dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tumbuhan hijau berkayu dan tahunan, dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rumput, serta penutup tanah) sebagai tumbuhan pelengkap serta benda–benda lain sebagai bahan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Ruang terbuka hijau memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi planologis, fungsi ekonomi dan fungsi estetika. Selain memiliki fungsi yang beragam, RTH juga dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk taman lingkungan, taman kota, hutan kota, dan lain–lain. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan (2002) disepakati bahwa luasan mimimal dari RTH suatu wilayah adalah 30% dari total luas wilayahnya. Ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas kota dapat diciptakan dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain meningkatkan jumlah RTH, peningkatan kualitas pun perlu dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis. Green Building Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 Tahun 2010 tentang kriteria dan sertifikasi bangunan ramah lingkungan menjelaskan bahwa bangunan ramah lingkungan (green building) adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip berbasis lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya serta memperhatikan aspek penting penanganan dampak perubahan iklim. Green building merupakan upaya untuk
7 meningkatkan rancangan dan konstruksi dari suatu bangunan sehingga bangunan yang kita bangun hari ini akan bertahan lebih lama, biaya operasional yang lebih hemat, dan tidak akan membahayakan kesehatan pekerja dan penduduk. Konsep green building merupakan konsep untuk bangunan berkelanjutan dan memiliki syarat tertentu yaitu lokasi, sistem perencanaan dan perancangan, renovasi dan pengoperasian, hemat energi serta harus berdampak positif bagi lingkungan, ekonomi dan sosial. Terdapat tiga tujuan dasar green building diantaranya adalah: 1) melestarikan sumberdaya alam, 2) meningkatkan efisiensi energi, serta 3) meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Menurut Green Building Council Indonesia (GBCI 2009), green building adalah bangunan baru ataupun bangunan lama yang direncanakan dibangun dan dioperasikan dengan memperhatikan faktor–faktor keberlanjutan lingkungan. Menurut Redaksi Buletin Tata Ruang (2011), terdapat tiga konsep utama dalam mendirikan green building diantaranya adalah: a. life cycle assessment (Uji Amdal) Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya dilakukan dahulu kajian Amdal, apakah dalam pengadaan suatu bangunan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun alam sekitarnya. Jika dengan adanya keberadaan bangunan memberikan pengaruh negatif yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah menyalahi konsep dasar green building. b. efisiensi desain struktur Dasar dalam setiap proyek bermula pada tahap konsep dan desain. Tahap konsep merupakan salah satu langkah utama dalam proyek yang memiliki dampak besar pada kinerja proyek. Tujuan utama merencanakan bangunan dengan konsep green building adalah untuk meminimalkan dampak yang akan disebabkan oleh bangunan itu sendiri, baik selama proses pelaksanaan dan penggunaan. Perencanaan bangunan yang tidak efisien dalam struktur juga memberikan efek buruk terhadap lingkungan, yaitu pemakaian bahan bangunan yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan. c. efisiensi energi Green building sering kali mencakup langkah–langkah untuk mengurangi konsumsi energi, baik yang diperlukan untuk kehidupan segari–hari seperti kondisi bangunan yang memudahkan angin dan sinar matahari mudah masuk kedalam bangunan. Selain itu dari segi pelaksanaan juga harus diperhatikan, seperti penggunaan kayu dalam pembangunan gedung akan menghasilkan energi pembuangan yang lebih rendah dibandingkan dengan bangunan yang menggunakan batu bata, beton ataupun baja. Green Waste Green waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah atau limbah (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan meningkatkan nilai tambah dengan cara daur ulang (recycle). Pengelolaan sampah yang baik pun akan meningkatkan kualitas kesehatan di perkotaan. Tujuan dari green waste adalah agar masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan manfaat dari green waste ini adalah untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat
8 terhadap pengelolaan sampah sendiri agar volume sampah yang selama ini menjadi beban kota dapat berkurang, ancaman banjir dan penyakit dapat diatasi, kesuburan dan kualitas tanah meningkat, serta membangkitkan kota yang kreatif melalui penggunaan ulang. Salah satu penanganan sampah perkotaan yang ada adalah dengan menerapkan bank sampah. Bank sampah adalah salah satu strategi penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah suatu rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Pelaksanaan bank sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja dalam melaksanakan manajemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk tabungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011). Sebagaimana diketahui, tumpukan sampah menghasilkan gas metana. Gas ini berbahaya bagi manusia. Karena itu tumpukan sampah ditimbun dengan tanah dan ditutupi dengan membran (plastik), agar gas metan tidak keluar. Kemudian di bawah tumpukan sampah itu dipasang saluran gas, sehingga gas metana yang keluar dapat dialirkan dan menggerakkan mesin yang dapat menghasilkan listrik. Untuk menghasilkan listrik dari sampah, ada tiga teknologi yang digunakan. Pertama, landfill gasification yaitu menangkap gas–gas yang dihasilkan sampah kemudian dijadikan sebagai penggerak mesin yang dapat menghasilkan listrik. Kedua, teknologi thermal process and gasification, yaitu dengan cara memisahkan sampah kemudian diproses di ruang hampa atau tertutup. Teknologi yang ketiga, yaitu anaerobic gasification, yaitu dengan cara menggunakan sampah organik kemudian difermentasi (Dewan Energi Nasional 2010). Green Transportation Green transportation diartikan sebagai suatu usaha pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan berorientasi pada manusia yang meliputi pengembangan jalur–jalur khusus pejalan kaki dan sepeda, pengembangan angkutan umum massal yang memanfaatkan energi alternatif terbarukan yang bebas polusi dan ramah lingkungan, serta mempromosikan gaya hidup sehat dalam bertransportasi. Tujuan dari program green transportation ini adalah untuk meningkatkan jumlah penggunaan kendaraan umum dan menurunkan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dengan menggunakan transportasi massal dan menciptakan jaringan transportasi yang aman, nyaman dan efisien. Selain itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalur sepeda dan koridor hijau sehingga mendorong masyarakat untuk berjalan kaki atau bersepeda pada jarak yang dekat. Secara garis besar terdapat tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan green transportation yaitu: 1) mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sistem transportasi yang ada, 2) merumuskan sasaran untuk pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pada kadar maupun pada tingkat emisi, dan 3) memilih kombinasi yang sesuai dari berbagai pilihan transportasi. Green Water Green water dapat didefinisikan sebagai suatu konsep untuk menyediakan kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan air, sehingga tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Konsep green water dilakukan
9 untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat menghemat uang yang dikeluarkan dalam proses pengelolaan air. Salah satu upaya dalam meningkatan efisiensi penggunaan dan pengelolaan sumberdaya air adalah dengan menerapkan konsep zero run off dan ekodrainase, yaitu upaya mengelola kelebihan air dengan cara diresapkan ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Menurut FAO 1997, green water adalah air hujan yang langsung digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang pengembalaan dan lahan hutan. Secara teoritis green water adalah air yang diperlukan oleh tanaman. Green Energy Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber–sumber yang ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem lingkungan maupun siklus hidup yaitu tanah, air dan udara. Konsep green energy ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari penggunaan energi fosil. Tujuan dari green energy adalah untuk menemukan sumber–sumber energi alternatif selain energi fosil yang dapat meminimalkan dampak negatif bagi lingkungan. Energi alternatif yang sudah dikembangkan berupa pemanfaatan energi angin, matahari, air, pasang surut, dan lain–lain. Manfaat dari green energy diantaranya adalah: 1) tersedianya energi alternatif yang mampu memenuhi ketersediaan energi nasional, 2) terjaganya kelestarian lingkungan hidup, 3) terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat, serta 4) terwujudnya kesadaran terhadap peran penting keberadaan energi fosil yang terbatas jumlahnya. Undang–Undang (UU) terkait definisi energi tertera pada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Green Community Green community dapat diartikan sebagai sebuah komunitas atau kelompok warga yang peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial budaya. Dalam mewujudkan kota hijau pemerintah bekerja sama dengan masyarakat, dapat melalui penyuluhan dan partisipasi aktif masyarakat serta bermitra dengan masyarakat dalam mengadakan tanaman hijau di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini green community ditujukan sebagai usaha untuk: 1) meningkatkan public awareness tentang pentingnya kota hijau, 2) membangun networking untuk kekuatan baru dan dalam satu kesatuan, serta 3) merawat dan memelihara sehingga mampu menuju sustainable development. Green community juga merupakan salah satu indikator penting dalam mewujudkan kota hijau, karena masyarakat dipercaya dapat menjadi motor penggerak gerakan hijau pada suatu kota serta menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial–budaya dimasa mendatang. Green community dapat dibentuk melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga. Ruang Terbuka Kota Menurut Hakim (1991) dalam Kemalaputri (2000), ruang terbuka adalah satu jenis ruang yang pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat
10 menampung aktivitas tertentu baik secara individu atau secara berkelompok di luar bangunan. Ditinjau dari segi aktivitasnya maka ruang terbuka terdiri dari ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif. Menurut Simonds (1983), ruang terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat mendukung fungsi struktur tersebut. Salah satu yang termasuk ruang terbuka adalah ruang terbuka hijau (RTH). Ruang Terbuka Hijau Menurut Purnomohadi (1995) pengertian RTH adalah: 1) suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu), dan 2) sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda– benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Pengertian RTH berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan dengan proporsi 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH tidak dapat digantikan dengan unsur–unsur ruang kota lainnya karena sifatnya yang alami. Menurut Urban Planning and Design Criteria (1975), dalam sistem ruang terbuka, RTH merupakan bagian dari ruang terbuka. Klasifikasi RTH terdiri atas RTH lindung (Wilderness areas, Protected areas, dan Natural park area) dan RTH binaan (Urban park area, Recreational areas, dan Urban development open spaces). Gap Analysis Menurut Jennings (1999), gap merupakan identifikasi adanya suatu perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Suatu konsep dan organisasi pada dasarnya diperlukan dalam mengembangkan prinsip utama metode Gap analysis. Menurut Parasuraman, Zeithamet, dan Barry (1985), Gap analysis (analisis kesenjangan) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintahan, khususnya dalam upaya penyediaan pelayanan terhadap masyarakat umum. Hasil analisis dapat menjadi
11 input yang berguna bagi perencanaan dan penentuan prioritas anggaran di masa yang akan datang. Gap analysis merupakan salah satu langkah yang sangat penting dilakukan dalam tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja. Gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu program yang sedang berjalan dengan sistem standar. Gap analysis tidak hanya diterapkan dalam suatu instansi atau lembaga, namun dapat juga diterapkan dalam evaluasi kinerja dari pemerintah. Gap analysis merupakan metode analisis yang mempunyai pendekatan bottom up yang dapat memberikan masukan berharga bagi pemerintah, terutama dalam perbaikan dan peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian ini, Gap analysis digunakan untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi antara kondisi ideal dari suatu konsep kota hijau dengan kondisi aktual di suatu kota yang menerapkan konsep kota hijau. Gap analysis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan sarana dan prasarana kota dalam mewujudkan konsep kota hijau di suatu kota. Sehingga dapat diketahui permasalahan terkait pengembangan konsep kota hijau dan solusi pengembangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Perencanaan Lanskap Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai. Simonds dan Starke (2006) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu kemampuan untuk memahami dan menganjurkan adanya suatu perubahan dari yang mungkin atau tidak mungkin pada saat menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan dari perencanaan adalah untuk menentukan tempat yang sesuai dengan daya dukung lahan dan keadaan umum masyarakat di sekitarnya. Selain itu menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), perencanaan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia atau masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan berkelanjutan.
12
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia (Gambar 2). Kota Bogor terletak ± 56 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah–tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luas keseluruhan wilayah Kota Bogor adalah mencapai 11 850 ha dengan jumlah penduduk sekitar 967 398 jiwa (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari 2013 hingga bulan September 2013.
Gambar 2 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor Sumber: www.wikimapia.org (kiri) dan www.google.com/images (kanan) Alat dan Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Bahan yanh digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung di lapang, dan data sekunder adalah data–data pendukung lain yang sesuai dan valid. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung yaitu: Tabel 1 Alat dan bahan penelitian Alat
Kegunaan
Kamera Digital
Pengambilan gambar di tapak
Bahan
Kegunaan
Peta Kota Bogor
Mengetahui kondisi aktual Kota Bogor
RTRW Kota Bogor
Mengetahui rencana pengembangan Kota Bogor
Bahan Pustaka
Studi literatur
13 Batasan Penelitian Penelitian ini merupakan studi evaluasi mengenai konsep kota hijau di Kota Bogor, dimana penelitian ini untuk mendukung program pengembangan kota hijau di seluruh kota di Indonesia. Selain itu penelitian ini dilakukan demi pembangunan Kota Bogor yang berbasis lingkungan, berkelanjutan, dan terjaga kelestariannya. Penelitian ini dibatasi oleh: a. pengamatan terhadap kondisi aktual Kota Bogor saat ini dalam pengembangan kotanya. Aspek yang diamati berdasarkan indikator kota hijau, serta b. melakukan kajian terhadap penerapan konsep kota hijau dengan menggunakan Gap analysis, dimana analisis ini lebih menekankan pada perbandingan kondisi aktual Kota Bogor terhadap kondisi idealnya suatu kota yang menerapkan konsep kota hijau sehingga dapat terlihat indikator apa saja yang sudah diterapkan di Kota Bogor. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah metode survei lapang mengenai penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Metode survei lapang merupakan metode yang memusatkan diri pada survei langsung ke tapak untuk mengetahui kondisi penerapan indikator kota hijau di Kota Bogor. Aspek yang diamati terdiri dari delapan indikator kota hijau. Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan melakukan tahapan inventarisasi, analisis, dan evaluasi terhadap penerapan delapan indikator kota hijau. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap tahapan penelitian yang dilakukan: Inventarisasi Tahapan inventarisasi dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang dibutuhan baik data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari narasumber maupun yang dapat diambil langsung di tapak, seperti data hasil wawancara dan data hasil observasi lapang. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari sumber–sumber literatur yang membantu peneliti dalam mengolah data dengan cara desk study, yaitu metode pengumpulan data berupa laporan–laporan hasil studi pustaka yang dapat diperoleh dari skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, artikel, maupun jurnal. Aspek data yang diamati terdiri dari kondisi fisik dan biofisik Kota Bogor, serta data–data terkait delapan indikator kota hijau. Berikut ini adalah tabel jenis dan sumber data yang digunakan (Tabel 2). Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian No
1
Data
Kondisi Umum Kota Bogor
Jenis Data
Sumber Data
Sekunder
Bappeda Kota Bogor, RTRW Kota Bogor
Letak, luas, batas tapak Geologi Topografi Iklim Tata guna lahan
Cara Pengambilan
Studi Pustaka
14 Lanjutan Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian No
Data
Jenis Data
Sumber Data
Cara Pengambilan
Primer, sekunder
Survei, Bappeda Kota Bogor, RTRW Kota Bogor
Survei lapang, Studi pustaka
Sekunder
Dinas kependudukan
Studi pustaka
Green planning and design Green open space Green building 2
Indikator Kota Hijau
Green waste Green transportation Green water Green energy Green Community
3
Aspek Sosial
Jumlah penduduk
Analisis Tahapan analisis dimulai dengan merumuskan konsep ideal dari suatu kota hijau dari hasil desk study dengan pendekatan delapan indikator kota hijau, yang dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi eksisting dari delapan indikator konsep kota hijau yang ada di Kota Bogor dengan menggunakan Gap analysis secara deskriptif. Dalam penelitian ini gap analysis adalah metode analisis yang digunakan untuk membandingkan kondisi ideal dari suatu kota hijau dengan kondisi aktual dari Kota Bogor, sehingga dapat diketahui implementasi konsep kota hijau yang sudah dicapai oleh Kota Bogor dan dijelaskan secara deskriptif. Evaluasi Penelitian ini menghasilkan evaluasi terhadap kondisi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor. Pada tahap ini dilakukan penilaian atau skoring untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana pencapaian penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau. Skoring dilakukan dengan memberikan skor 0, 1, 2, 3, dan 4 pada setiap model penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau yang ada dengan melihat dan mengacu pada batasan–batasan penilaian bagi setiap indikator (Tabel 3–10). Setelah dilakukan skoring terhadap model penerapan setiap indikator untuk mengetahui pencapaiannya di Kota Bogor, maka tahap selanjutnya adalah menentukan persentase dari setiap indikator dengan rumusan: ilai enerapan otal ( t)
Dimana:
X1 Xn Xt
n
= persentase bentuk penerapan indikator 1 = persentase bentuk penerapan indikator ke–n = nilai penerapan total bentuk penerapan setiap indikator
15 Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai maksimal dari setiap indikator serta menghitung persentase dari penerapan setiap indikator dengan rumusan sebagai berikut: ilai
aksimal ( ma )
jumlah model penerapan
poin skoring maksimal
nilai penerapan total t nilai maksimal ma
ersentase enerapan ndikator
Setelah tahapan skoring ini dilakukan, maka dapat diketahui indikator apa saja yang sudah diterapkan dengan baik dan indikator apa saja yang belum diterapkan dengan baik di Kota Bogor. Sehingga dapat diketahui perlakuan atau rencana yang akan dilakukan selanjutnya untuk menciptakan kota hijau yang ideal di Kota Bogor. Berikut ini adalah tabel dari batasan–batasan dari setiap indikator yang dapat menjadi acuan untuk menentukan skor dari setiap model penerapan. Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design Penerapan (Program) Compact City
Skor Skor 0 1. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan menggunakan konsep compact city dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Mixed–Use Development
Skor 1 1. Sudah ada arahan untuk pengembangan compact city, namun belum tertera dalam RTRW. 2. Sudah ada penerapan pada beberapa komponen pembentuk compact city (bangunan vertikal, penentuan KDH), namun belum bertujuan untuk mengembangkan konsep compact city.
1. Tidak ada 1. Sudah ada arahan rencana untuk untuk pengembangan pengembangan kota dengan mixed use menggunakan development, mixed use namun belum development tertera dalam dan tidak RTRW. tertera dalam RTRW.
Skor 2 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW.
Skor 3 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW.
Skor 4 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan compact city yang tertera dalam RTRW.
2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan pada penerapan pada penerapan beberapa beberapa dengan komponen komponen membentuk pembentuk pembentuk kawasan compact city compact city compact city. (bangunan (bangunan vertikal, vertikal, 3. Adanya penentuan penentuan pengembangan KDH), serta KDH), serta jalur pejalan kaki adanya adanya di sekitar pengembangan pengembangan kawasan jalur pejalan kaki jalur pejalan compact city dan di sekitarnya. kaki di terintegrasi sekitarnya dan dengan jaringan terintegrasi transportasi dengan umum, serta jaringan dapat mengatasi transportasi masalah umum. perkotaan terkait urban sprawl. 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan mixed use development yang tertera dalam RTRW.
16 Lanjutan Tabel 3 Batasan penentuan skoring indikator Green Planning and Design Penerapan (Program)
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
Mixed–Use 2. Tidak ada Development penerapan.
2. Sudah ada usaha 2. Sudah ada pengembangan penerapan produk properti, dengan usaha namun pengembangan pengembangan produk properti belum bertujuan (perkantoran, untuk membentuk hotel, tempat kawasan mixed tinggal). used.
Kawasan 1. Tidak ada Pejalan Kaki rencana untuk pengembangan kota dengan menggunakan kawasan pejalan kaki dan tidak tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada 1. Sudah ada 1. Sudah ada rencana untuk rencana untuk rencana untuk untuk pengembangan pengembangan pengembangan pengembangan kawasan pejalan kawasan pejalan kawasan pejalan kawasan pejalan kaki, namun kaki yang tertera kaki yang tertera kaki yang tertera belum tertera dalam RTRW. dalam RTRW. dalam RTRW. dalam RTRW. 2. Sudah ada 2. Terdapat di pusat 2. Terdapat di pusat 2. Sudah ada penerapan jalur kota dengan kota dengan penerapan untuk pejalan kegiatan intensitas kegiatan intensitas dengan usaha kaki, namun tinggi. tinggi. pengembangan tanpa disertai jalur pejalan dengan fasilitas 3. Tersedia fasilitas 3. Sudah membentuk kaki. pendukung yang pendukung untuk kawasan yang memadai. pejalan kaki. terintegrasi dengan tempat lain, serta tersedianya fasilitas pendukung untuk pejalan kaki.
2. Tidak ada penerapan.
Transit 1. Tidak ada Oriented rencana untuk Development pengembangan (TOD) kota dengan menggunakan TOD dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada untuk rencana untuk pengembangan pengembangan TOD, namun TOD yang belum tertera tertera dalam dalam RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Penerapan model penerapan TOD baru pemanfaatan sebatas pada angkutan massal pemanfaatan perkotaan, namun angkutan massal belum bertujuan perkotaan. untuk mengembangkan konsep TOD.
2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan dengan penerapan dengan usaha usaha pengembangan pengembangan produk properti produk properti (perkantoran, (perkantoran, hotel, tempat hotel, tempat tinggal) dan tinggal) dan pengembangan pengembangan jalur pejalan kaki jalur pejalan kaki di sekitarnya. di sekitarnya serta terintegrasi dengan jaringan transportasi umum.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan TOD yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan TOD yang tertera dalam RTRW.
2. Sudah ada penggunaan angkutan massal dan pejalan kaki serta sepeda, namun belum terintegrasi seluruhnya.
2. Memaksimalkan penggunaan angkutan massal (BRT, MRT, Angkutan Kota) serta dilengkapi dengan jaringan pejalan kaki dan sepeda yang saling terintegrasi. 3. Jaringan angkutan massal menghubungkan tempat–tempat fungsional.
17 Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan (Program) Taman Lingkungan
Skor Skor 0 1. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi taman lingkungan dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Taman Kota 1. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi taman kota dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada 1. Sudah ada untuk rencana untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pengembangan taman taman taman lingkungan, lingkungan yang lingkungan namun belum tertera dalam yang tertera tertera dalam RTRW. dalam RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan penerapan penerapan terhadap taman terhadap taman terhadap taman lingkungan, lingkungan, lingkungan, namun ukuran dan ukuran namun belum taman taman memenuhi lingkungan lingkungan standar yang baik belum memenuhi sudah bagi taman standar minimal memenuhi lingkungan. 250 m². standar min. 250 m². 3. Hanya memiliki satu fungsi RTH 3. Hanya yaitu sebagai memiliki satu sarana sosial fungsi RTH budaya (interaksi yaitu sebagai sosial). sarana sosial budaya (interaksi sosial).
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman lingkungan yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada 1. Sudah ada untuk rencana untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pengembangan taman kota, taman kota yang taman kota namun belum tertera dalam yang tertera tertera dalam RTRW. dalam RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan penerapan penerapan terhadap taman terhadap taman terhadap taman kota, dan ukuran kota, dan kota, namun taman kota belum ukuran taman belum memenuhi memenuhi kota sudah standar yang baik standar (kurang memenuhi bagi taman kota. dari 9000 m²). standar sekitar 9000 m² – 3. Lokasi belum 24000 m². menyebar dengan baik dan tidak 3. Lokasi belum berada di pusat menyebar wilayah dengan baik pelayanan kota. dan tidak berada di pusat wilayah pelayanan kota.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan taman kota yang tertera dalam RTRW.
2. Sudah ada penerapan terhadap taman lingkungan, dan ukuran taman lingkungan sudah memenuhi standar minimal 250 m². 3. Memiliki lebih dari satu fungsi RTH (ekologis, estetika, planologis, ekonomi, dan sosial budaya). 4. Lokasi sudah menyebar dengan baik di sekitar perumahan.
2. Sudah ada penerapan terhadap taman kota, dan ukuran taman kota sudah memenuhi standar sekitar 9000 m² – 24000 m². 3. Lokasi berada di pusat wilayah pelayanan kota. 4. Memenuhi fungsi taman kota sebagai penyumbang RTH perkotaan.
18 Lanjutan Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan (Program)
Skor Skor 0
Skor 1
RTH Jalur 1. Tidak ada 1. Sudah ada Hijau rencana untuk arahan untuk (jalan dan pengembangan pengembangan sungai) kota dengan RTH jalur implementasi hijau, namun RTH jalur hijau belum tertera dan tidak tertera dalam RTRW. dalam RTRW. 2. Sudah ada 2. Tidak ada penerapan penerapan. terhadap RTH jalur hijau namun belum memenuhi standar yang baik bagi RTH jalur hijau.
Hutan Kota
1. Tidak ada rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi hutan kota dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Pertanian 1. Tidak ada Perkotaan rencana untuk pengembangan kota dengan implementasi pertanian perkotaan dan tidak tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada arahan untuk pengembangan hutan kota, namun belum tertera dalam RTRW. 2. Sudah ada penerapan hutan kota namun fungsi dan luasan dari taman kota belum memenuhi standar.
1. Sudah ada arahan untuk pengembangan pertanian perkotaan, namun belum tertera dalam RTRW.
Skor 2
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan RTH jalur hijau yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan RTH jalur hijau yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan RTH jalur hijau yang tertera dalam RTRW.
2. Keberadaan RTH jalur hijau belum saling terhubung satu sama lain (terputus).
2. Keberadaan RTH jalur hijau belum saling terhubung satu sama lain (terputus).
2. Menghubungkan jalur hijau yang satu dengan yang lainnya (tidak terputus).
3. Fungsi RTH jalur hijau yang ada baru sebatas pada fungsi estetika namun belum memenuhi fungsi ekologis.
3. Memiliki fungsi 3. Memiliki fungsi RTH seperti RTH seperti fungsi ekologis fungsi ekologis (menyerap (menyerap polutan, polutan, pembentuk iklim pembentuk iklim mikro, dan mikro, dan pembentuk RTH pembentuk RTH utama di kawasan utama di kawasan tersebut) dan tersebut) dan fungsi estetika fungsi estetika (pengarah jalan, (pengarah jalan, kenyamanan kenyamanan user). user).
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan hutan kota yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan hutan kota yang tertera dalam RTRW.
2. Sudah ada penerapan hutan kota namum fungsi dan luasan dari taman kota belum memenuhi standar.
2. Luasan sudah 2. Luasan sudah memenuhi memenuhi standar standar yaitu 10% yaitu 10% dari dari luas kota. luas kota.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan pertanian perkotaan yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan pertanian perkotaan yang tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana untuk pengembangan hutan kota yang tertera dalam RTRW.
3. Fungsi hutan kota 3. Memiliki belum maksimal dari dikembangkan fungsi ekologis secara maksimal. dari hutan kota (penghasil oksigen di perkotaan, peredam suara, perbaikan iklim, konservasi, dan habitat satwa), fungsi lanskap, dan fungsi estetika. 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan pertanian perkotaan yang tertera dalam RTRW.
19 Lanjutan Tabel 4 Batasan penentuan skoring indikator Green Open Space Penerapan (Program)
Pertanian Perkotaan
Skor Skor 0 2. Tidak ada penerapan.
Taman 1. Tidak ada Pemakaman rencana untuk Umum pengembangan (TPU) kota dengan implementasi TPU dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Skor 1 2. Penerapan pertanian perkotaan baru sebatas pada pertanian perkotaan berupa persawahan.
Skor 2 2. Penerapan pertanian perkotaan berupa sawah maupun kebun.
Skor 3
Skor 4
2. Penerapan 2. Penerapan pertanian pertanian perkotaan perkotaan berupa berupa sawah sawah maupun maupun kebun kebun dengan dengan kegiatan kegiatan pertanian yang pertanian yang produktif dan produktif, sudah ada namun belum kerjasama yang adanya baik antara kerjasama yang pemerintah baik antara dengan pemerintah masyarakat dengan dalam mengelola masyarakat pertanian dalam perkotaan. mengelola pertanian 3. Adanya perkotaan. pemanfaatan lahan terbuka pada area terbangun untuk dijadikan urban farming seperti kegiatan berkebun organik.
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada 1. Sudah ada 1. Sudah ada untuk rencana untuk rencana untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pengembangan pengembangan TPU, namun TPU yang tertera T PU yang TPU yang tertera belum tertera dalam RTRW. tertera dalam dalam RTRW. dalam RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Fungsi utama 2. Sudah ada penerapan RTH 2. Fungsi utama TPU seperti penerapan RTH dalam bentuk TPU seperti daya tampung dalam bentuk TPU namun daya tampung harus terpenuhi TPU namun belum memenuhi harus terpenuhi dengan baik, belum memenuhi standar yang dengan baik, fungsi RTH standar yang sesuai dan belum fungsi RTH dikembangkan sesuai dan belum dikelola dengan dikembangkan dengan cara dikelola dengan baik oleh dengan cara pengurangan baik oleh pemerintah. pengurangan penggunaan pemerintah. penggunaan beton pada beton pada desain makam desain makam sehingga akan sehingga akan memaksimalkan memaksimalka area hijau untuk n area hijau daerah resapan untuk daerah air. resapan air. 3. Sudah dikelola 3. Belum dikelola baik oleh baik oleh pihak pemerintah pemerintah. daerah.
20
Tabel 6 Batasan penentuan skoring indikator Green Building Penerapan (Program)
Skor Skor 0
Pembangunan 1. Tidak ada Green rencana untuk Building pengembangan kota dengan pembangunan green building dan tidak tertera dalam RTRW. 1. Tidak ada penerapan.
Skor 1
Skor 2
1. Sudah ada 1. Sudah ada arahan untuk rencana untuk pembangunan pembangunan green building, green building namun belum yang tertera tertera dalam dalam RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan, penerapan, namun belum namun belum memenuhi memenuhi standar yang standar yang baik dari green baik dari green building (baru building (baru diterapkan diterapkan pada beberapa pada beberapa aspek aspek pembentuk pembentuk green green building). building).
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada untuk rencana untuk pembangunan pembangunan green building yang green building tertera dalam yang tertera RTRW. dalam RTRW. 2. Minimun luas gedung atau bangunan adalah 2 500 m².
2. Minimun luas gedung atau bangunan adalah 2 500 m².
3. Fungsi gedung 3. Fungsi gedung sesuai dengan sesuai dengan peruntukan lahan peruntukan lahan berdasarkan RTRW berdasarkan setempat. RTRW setempat. 4. Diterapkan pada bangunan perkantoran maupun perumahan.
4. Diterapkan pada bangunan perkantoran maupun perumahan.
5. Berorientasi pada 5. Berorientasi pada manusia sebagai manusia sebagai pengguna utama pengguna utama bangunan seperti bangunan seperti harus tahan gempa, harus tahan standar gempa, standar keselamatan bagi keselamatan bagi bahaya–bahaya, bahaya–bahaya, adanya standarisasi adanya aksesibilitas bagi standarisasi penyandang cacat aksesibilitas bagi dan berorientasi penyandang pula bagi cacat dan lingkungan untuk berorientasi pula menjaga kelestarian bagi lingkungan lingkungan untuk menjaga sekitarnya. kelestarian lingkungan 6. Belum tersertifikasi sekitarnya. oleh GBCI. 6. Sudah tersertifikasi oleh GBCI (Green Building Council Indonesia).
Tabel 5 Batasan penentuan skoring indikator Green Waste Penerapan (Program)
Skor Skor 0
Skor 1
Penerapan 1. Tidak ada 1. Sudah ada arahan Konsep 3R rencana untuk penerapan konsep penerapan 3R, namun belum konsep 3R dan tertera dalam tidak tertera RTRW. dalam RTRW.
Skor 2
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada untuk penerapan untuk penerapan rencana untuk konsep 3R yang konsep 3R yang penerapan tertera dalam tertera dalam konsep 3R RTRW. RTRW. yang tertera dalam RTRW.
21 Lanjutan Tabel 6 Batasan penentuan skoring indikator Green Waste Penerapan (Program)
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2
Skor 3 2. Sudah ada penerapan pada tingkat RT dan TPSt, serta sudah dilakukan secara terstruktur.
Skor 4
Penerapan 2. Tidak ada Konsep 3R penerapan.
2. Sudah ada penerapan pada tingkat RT/TPSt/TPA, namun belum maksimal dilakukan.
2. Sudah ada penerapan pada tingkat RT/TPSt/TPA, namun belum maksimal dilakukan.
2. Sudah ada penerapan secara mandiri oleh masyarakat, serta terdapat juga penerapan pada tiap TPSt dan TPA yang ada dan dilakukan secara terstruktur.
Pemilahan 1. Tidak ada (Bank rencana untuk Sampah) penerapan bank sampah dan tidak tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada arahan penerapan bank sampah, namun belum tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana penerapan bank penerapan bank penerapan bank sampah yang sampah yang sampah yang tertera dalam tertera dalam tertera dalam RTRW. RTRW. RTRW.
Jumlah sebaran sum er sampah saat ini Jumlah ideal sebaran sumber sampah (0%–25% = 1); (25%–50% = 2); (51%–75% = 3); (76%–100% = 4) Jumlah bank sampah saat ini J Jumlah ideal bank sampah (0%–25% =1); (25%–50% = 2); (51%–75% = 3); (76%–100% = 4) S
2. Tidak ada penerapan.
Pengolahan 1. Tidak ada Limbah rencana untuk Cair penerapan Rumah pengolahan Tangga limbah cair rumah tangga dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
2. Sudah ada penerapan ((S+J)/2)=1
2. Sudah ada penerapan ((S+J)/2)=3
2. Sudah ada penerapan ((S+J)/2)=4
1. Sudah ada arahan 1. Sudah ada 1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana pengolahan limbah rencana penerapan penerapan cair rumah tangga, penerapan pengolahan limbah pengolahan limbah namun belum pengolahan cair rumah tangga cair rumah tangga tertera dalam limbah cair rumah yang tertera dalam yang tertera dalam RTRW. tangga yang RTRW. RTRW. tertera dalam 2. Sudah dilakukan RTRW. 2. Sudah diterapkan 2. Sudah diterapkan dalam skala rumah dalam skala rumah secara komunal tangga (RT), 2. Sudah diterapkan tangga dan sudah dan sudah namun belum dalam skala dierapakan pada diterapkan pada diimplementasikan rumah tangga, seluruh rumah setiap kawasan pada semua namun belum tangga dengan cara permukiman. rumah tangga dan merata semua komunal. masih dilakukan penerapannya dan secara masing dilakukan konvensional. secara konvensional.
Pengolahan 1. Tidak ada 1. Sudah ada arahan Sampah di rencana untuk pengolahan TPA pengolahan sampah di TPA, sampah di namun belum TPA dengan tertera dalam sanitary RTRW. landfill dan tidak tertera 2. Belum ada dalam RTRW. penerapan. 2. Tidak ada penerapan.
2. Sudah ada penerapan ((S+J)/2)=2
1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana 1. Sudah ada rencana pengolahan pengolahan pengolahan sampah di TPA sampah di TPA sampah di TPA yang tertera dalam yang tertera dalam yang tertera dalam RTRW. RTRW. RTRW. 2. Sudah dilakukan dengan konsep controlled landfill dengan pemilahan sampah sebelum penimbunan.
2. Sudah dilakukan dengan konsep sanitary landfill serta terdapat pengumpulan air lindi.
2. Sudah dilakukan dengan konsep sanitary landfill serta terdapat pula kegiatan pemilahan, pengumpulan air lindi, serta terdapat usaha pengolahan.
22
Tabel 7 Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion Penerapan (Program) Jalur Pejalan Kaki
Skor Skor 0 1. Tidak ada rencana pengembangan jalur pejalan kaki yang tertera pada RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Skor 1 1. Sudah ada arahan pengembangan jalur pejalan kaki, namun belum tertera pada RTRW.
Skor 2 1. Sudah ada rencana pengembangan jalur pejalan kaki yang tertera pada RTRW.
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada 1. Sudah ada rencana jalur rencana jalur pejalan kaki yang pejalan kaki yang tertera pada tertera pada RTRW. RTRW.
2. Memiliki dimensi 2. Memiliki dimensi 2. Memiliki dimensi jalur pejalan kaki jalur pejalan kaki 2. Sudah ada jalur pejalan kaki yang ideal. yang ideal. penerapan jalur yang ideal. pejalan kaki 3. Menghubungkan 3. Menghubungkan namun belum satu tempat satu tempat sesuai dengan dengan tempat dengan tempat standar. lainnya. lainnya. 4. Penempatan site furniture yang sesuai dengan jalur pejalan kaki.
Jalur Sepeda
1. Tidak ada rencana pengembangan jalur sepeda yang tertera pada RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
1. Sudah ada arahan pengembangan jalur sepeda, namun belum tertera pada RTRW. 2. Sudah ada penerapan jalur sepeda namun belum memenuhi standar.
1. Sudah ada 1. Sudah ada 1. Sudah ada rencana rencana rencana pengembangan pengembangan pengembangan jalur sepeda yang jalur sepeda yang jalur sepeda yang tertera pada tertera pada tertera pada RTRW. RTRW. RTRW. 2. Memiliki dimensi 2. Memiliki dimensi 2. Memiliki dimensi jalur sepeda yang jalur sepeda yang jalur sepeda yang ideal. ideal. ideal. 3. Jalur sepeda terpisah dengan kendaraan bermotor.
3. Jalur terpisah dengan kendaraan bermotor. 4. Terdapat fasilitas pendukung untuk bersepeda (shelter).
Angkutan Umum Massal
1. Tidak ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
1. Sudah ada arahan pengembangan angkutan umum, namun belum tertera pada RTRW.
1. Sudah ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW.
1. Sudah ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW.
1. Sudah ada rencana pengembangan angkutan umum yang tertera pada RTRW.
2. Angkutan umum 2. Memiliki 2. Sudah ada belum saling integrasi antar penerapan terintegrasi. angkutan umum dalam (min. 2 jenis). penggunaan 3. Sudah ada arahan angkutan penggunaan 3. Memiliki umum, namun bahan bakar integrasi zona belum alternatif. stategis kota. memenuhi standar yang 4. Penggunaan ada (belum bahan bakar memerhatikan alternatif pada aspek ideal dari (min. 2 jenis) penggunaan angkutan umum. angkutan umum).
2. Angkutan umum saling terintegrasi. 3. Memiliki integrasi disetiap zona strategis kota. 4. Penggunaan bahan bakar alternatif pada setiap angkutan umum.
23 Lanjutan Tabel 7 Batasan penentuan skoring indikator Green Transportaion Penerapan (Program) High Occupancy Vehicle (HOV)
Skor Skor 0
Skor 1
Skor 2 1. Sudah ada rencana pengembangan HOV yang tertera pada RTRW.
Skor 3
1. Tidak ada rencana pengembangan HOV yang tertera pada RTRW.
1. Sudah ada arahan pengembangan HOV, namun belum tertera pada RTRW.
1. Sudah ada rencana pengembangan HOV yang tertera pada RTRW.
2. Tidak ada penerapan.
2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan penerapan penerapan dengan satu dengan satu dengan dua penerapan HOV penerapan HOV penerapan (misalnya pada (misalnya pada HOV. lingkup lingkup instansi). instansi). 3. Belum terintegrasi dengan sistem angkutan umum.
Skor 4 1. Sudah ada rencana pengembangan HOV yang tertera pada RTRW. 2. Sudah ada penerapan dengan > dua penerapan HOV. 3. Memiliki integrasi dengan sistem angkutan umum.
Tabel 8 Batasan penentuan skoring indikator Green Water Penerapan (Program) Penerapan Biopori
Skor Skor 0 1. Tidak ada arahan maupun rencana pengembangan biopori yang tertera dalam RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan biopori.
Pengelolaan 1. Tidak ada Air Hujan rencana Perkotaan pengembangan dengan konsep LID Konsep LID yang tertera dalam RTRW. 2. Belum ada penerapan konsep LID.
Skor 1 1. Sudah ada arahan pengembangan biopori, namun belum tertera pada RTRW. 2. Sudah ada penerapan, namun belum maksimal dilakukan dan belum memenuhi standar.
1. Sudah ada arahan pengembangan LID, namun belum tertera pada RTRW. 2. Sudah ada penerapan, namun belum maksimal dilakukan dan masih bersifat konvensional dengan hanya menampung air hujan saja tanpa adanya pengolahan.
Skor 2 1. Ada rencana pengembangan biopori yang tertera pada RTRW.
Skor 3 1. Ada rencana pengembangan biopori yang tertera pada RTRW.
Skor 4 1. Ada rencana pengembangan biopori yang tertera pada RTRW.
2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan biopori penerapan biopori penerapan pada satu pada dua aplikasi biopori pada > aplikasi, contoh: contoh: dua aplikasi, arahan penerapan penerapan pada contoh: pada tingkat tingkat rumah penerapan pada rumah tangga. tangga hingga tingkat rumah kelurahan. tangga, 3. Belum mampu kelurahan, hingga mengurangi 3. Belum mampu kecamatan. masalah mengurangi pengelolaan air di masalah 3. Sudah mampu Kota Bogor. pengelolaan air di mengurangi Kota Bogor. masalah pengelolaan air di Kota Bogor. 1. Ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan konsep LID yang tertera pada RTRW.
2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan konsep penerapan konsep penerapan konsep LID pada LID pada LID pada situ/waduk/ badan situ/waduk/ badan situ/waduk/ air dengan air dengan badan air dengan menggunakan menggunakan menggunakan konsep filtration konsep konsep treatment, atau penggunaan infiltration dan penggunaan permeable paving penggunaan permeable untuk membantu permeable paving paving, serta penyerapan air. untuk membantu lebih penyerapan air. menggunakan soft engineering pada infrastuktur air kota.
24 Lanjutan Tabel 8 Batasan penentuan skoring indikator Green Water Skor
Penerapan (Program) Skor 0
Skor 1
Pengelolaan Air Hujan Perkotaan dengan Konsep LID
Skor 2
Skor 3
3. Belum mampu 3. Belum mampu mengurangi mengurangi masalah masalah pengelolaan air di pengelolaan air di Kota Bogor. Kota Bogor.
Skor 4 3. Sudah mampu mengurangi masalah pengelolaan air di Kota Bogor.
Tabel 9 Batasan penentuan skoring indikator Green Energy Skor Penerapan (Program) Skor 0
Skor 1
Penerapan Energi Matahari
1. Tidak ada rencana pengembangan energi matahari yang tertera dalam bentuk RTRW.
Energi Sampah
1. Tidak ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera dalam bentuk RTRW.
1. Sudah ada arahan pengembangan energi sampah, namun belum tertera pada RTRW.
2. Belum ada penerapan pengembangan energi sampah.
2. Belum ada penerapan pengembangan energi sampah.
Skor 2
Skor 3
Skor 4
1. Sudah ada 1. Ada rencana 1. Ada rencana 1. Ada rencana arahan pengembangan pengembangan pengembangan pengembangan energi matahari energi matahari energi matahari energi yang tertera yang tertera pada yang tertera pada matahari, pada RTRW. RTRW. RTRW. namun belum tertera pada 2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada RTRW. penerapan penerapan energi penerapan energi 2. Belum ada energi matahari matahari pada matahari pada > penerapan 2. Belum ada pada satu dua aplikasi dua aplikasi, pengembangan penerapan aplikasi, contoh: contoh: PJU dan contoh: PJU, energi matahari. pengembangan PJU/panel surya panel surya pada panel surya pada energi pada bangunan. bangunan. bangunan, dan matahari. transportasi. 3. Belum mampu 3. Belum mampu mengurangi mengurangi 3. Belum mampu masalah krisis masalah krisis mengurangi energi di Kota energi di Kota masalah krisis Bogor. Bogor. energi di Kota Bogor. 1. Ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan energi sampah yang tertera pada RTRW.
2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan penerapan energi energi sampah sampah pada dua pada satu aplikasi, contoh: aplikasi, contoh: pemanfaatan gas pemanfaatan gas metan pada metan pada sampah menjadi sampah menjadi listrik dan listrik atau dijadikan bahan dijadikan bahan bakar alternatif bakar alternatif untuk untuk transportasi. transportasi. 3. Belum mampu 3. Belum mampu mengurangi mengurangi masalah krisis masalah krisis energi di Kota energi di Kota Bogor. Bogor.
2. Sudah ada penerapan energi sampah pada > dua aplikasi, contoh: pemanfaatan gas metan pada sampah menjadi listrik dan dijadikan bahan bakar alternatif untuk transportasi. 3. Sudah mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
25 Lanjutan Tabel 9 Batasan penentuan skoring indikator Green Energy Penerapan (Program) Energi Tumbuhan
Skor Skor 0 1. Tidak ada rencana pengembangan energi tumbuhan yang tertera dalam bentuk RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan energi tumbuhan.
Skor 1 1. Sudah ada arahan pengembangan energi tumbuhan, namun belum tertera pada RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan energi tumbuhan.
Skor 2
2. Sudah ada penerapan energi tumbuhan pada satu aplikasi, contoh: pemanfaatan bioetanol menjadi bahan bakar alternatif untuk transportasi. 3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
Tenaga Angin
1. Tidak ada 1. Sudah ada rencana arahan pengem-bangan pengembangan tenaga angin energi angin, yang tertera namun belum dalam bentuk tertera pada RTRW. RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan tenaga angin.
Tenaga Air
1. Tidak ada rencana pengembangan tenaga air yang tertera dalam bentuk RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan tenaga air.
2. Belum ada penerapan pengembangan tenaga angin.
1. Sudah ada arahan pengembangan energi air, namun belum tertera pada RTRW. 2. Belum ada penerapan pengembangan tenaga air.
Skor 3
Skor 4
1. Ada rencana 1. Ada rencana 1. Ada rencana pengembangan pengembangan pengembangan energi energi energi tumbuhan yang tumbuhan yang tumbuhan yang tertera pada tertera pada tertera pada RTRW. RTRW. RTRW. 2. Sudah ada 2. Sudah ada penerapan penerapan energi energi tumbuhan pada tumbuhan pada dua aplikasi, > dua aplikasi, contoh: contoh: pemanfaatan pemanfaatan bioetanol bioetanol menjadi bahan menjadi bahan bakar alternatif bakar alternatif untuk untuk transportasi dan transportasi dan sumber energi sumber energi listrik. listrik. 3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
1. Ada rencana pengembangan tenaga angin yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan tenaga angin yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan tenaga angin yang tertera pada RTRW.
2. Sudah ada penerapan tenaga angin pada satu aplikasi.
2. Sudah ada penerapan tenaga angin pada dua aplikasi.
2. Sudah ada penerapan tenaga angin pada > dua aplikasi.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
1. Ada rencana pengembangan tenaga air yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan tenaga air yang tertera pada RTRW.
1. Ada rencana pengembangan tenaga air yang tertera pada RTRW.
2. Sudah ada penerapan tenaga air pada satu aplikasi.
2. Sudah ada penerapan tenaga air pada dua aplikasi.
2. Sudah ada penerapan tenaga air pada > dua aplikasi.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
3. Belum mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
3. Sudah mampu mengurangi masalah krisis energi di Kota Bogor.
26 Tabel 10 Batasan penentuan skoring indikator Green Community Skor Penerapan (Program) Skor 0 Partisipasi Masyarakat
1. Tidak ada rencana untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dan tidak tertera dalam RTRW. 2. Tidak ada penerapan.
Komunitas Warga
Skor 1 1. Sudah ada arahan untuk pengembangan partisipasi masyarakat, namun belum tertera dalam RTRW. 2. Sudah ada program untuk meningkatkan partisipsi masyarakat, sosialisasi kepada masyarakat sudah dilakukan namun belum adanya partisipasasi aktif dari masyarakat.
1. Tidak ada rencana untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dan tidak tertera dalam RTRW.
1. Sudah ada arahan untuk pengembangan komunitas warga, namun belum tertera dalam RTRW.
2. Tidak ada penerapan.
2. Sudah ada program untuk meningkatkan komunitas warga, sosialisasi kepada masyarakat sudah dilakukan.
Skor 2 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan partisipasi masyarakat dan sudah tertera dalam RTRW.
Skor 3 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan partisipasi masyarakat dan sudah tertera dalam RTRW.
Skor 4 1. Sudah ada rencana untuk pengembangan partisipasi masyarakat dan sudah tertera dalam RTRW.
2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada program untuk program untuk program untuk meningkatkan meningkatkan meningkatkan partisipasi partisipasi partisipasi masyarakat, masyarakat, masyarakat, namun sosialisasi sosialisasi sudah sosialisasi sudah belum merata dilakukan secara dilakukan secara dilakukan dan merata, namun merata, sudah ada belum dilakukan masyarakat partisipasi secara sudah masyarakat keseluruhan serta berpartisipasi namun belum belum adanya secara aktif. dilakukan secara partisipasi aktif keseluruhan. dari masyarakat.
1. Sudah ada 1. Sudah ada 1. Sudah ada rencana untuk rencana untuk rencana untuk pengembangan pengembangan pengembangan komunitas warga komunitas warga komunitas warga sebagai salah satu sebagai salah satu sebagai salah upaya untuk upaya untuk satu upaya untuk menangani menangani menangani masalah masalah masalah lingkungan dan lingkungan dan lingkungan dan sudah tertera sudah tertera sudah tertera dalam RTRW. dalam RTRW. dalam RTRW. 2. Sudah ada 2. Sudah ada 2. Sudah ada program untuk program untuk program untuk meningkatkan meningkatkan meningkatkan komunitas warga, komunitas warga, komunitas namun belum sosialisasi kepada warga. adanya sosialisasi masyarakat sudah yang baik kepada dilakukan. 3. Sudah ada masyarakat. kerjasama antara 3. Belum adanya Pemerintah kerjasama antar dengan Pemerintah komunitas warga dengan untuk komunitas warga. memperbaiki kualitas lingkungan.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kota Bogor Kota Bogor secara geografis terletak pada 6º3 ’3 ”–6º4 ’ ” Lintang Selatan dan 1 6º43’3 ”– 6º5 ’ ” Bujur imur dengan jarak ± 56 km dari Ibukota Jakarta. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, yang didukung oleh satuan lingkungan setempat sebanyak 780 Rukun Warga (RW) dan 3 479 Rukun Tetangga (RT), dengan luas wilayah keseluruhan 11 850 Ha (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan: a. Utara : Kec. Sukaraja, Kec. Bojong Gede, Kec. Kemang, Kab. Bogor. b. Barat : Kec. Ciomas dan Kec. Dramaga, Kab. Bogor. c. Selatan : Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kab. Bogor. d. Timur : Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kab. Bogor. Berikut ini adalah tabel mengenai luas wilayah administrasi Kota Bogor menurut kecamatan tahun 2011, diantaranya adalah: Tabel 11 Luas Wilayah administrasi Kota Bogor menurut Kecamatan No Kecamatan 1 Bogor Utara 2 Bogor Barat 3 Bogor Timur 4 Bogor Selatan 5 Bogor Tengah 6 Tanah Sereal Jumlah Sumber: Bappeda Kota Bogor
Luas (ha) 1 772 3 285 1 015 3 081 812 1 884 11 850
% 14.95 27.72 8.57 26 6.86 15.90 100
Kondisi Fisik Lingkungan Iklim
Suhu Udara (oC)
Pada tahun 2011, suhu rata–rata Kota Bogor dalam satu tahun adalah 25.7⁰C. Sedangkan untuk rata–rata kelembaban udara Kota Bogor dalam satu tahun adalah 80 %. Berikut grafik data suhu dan kelembaban udara dalam tahun 2011.(Gambar 3 dan 4) 29.5 29 28.5 28 27.5 27 26.5
Suhu RataRata J
F M A M J J A S O N D Bulan
Gambar 3 Suhu udara Kota Bogor tahun 2011 Sumber: BMKG Darmaga Bogor
Kelembaban Udara (oC)
28
90 85 80
Kelembaban Rata-Rata
75 70 65 J
F
M
A
M
J J Bulan
A
S
O
N
D
Gambar 4 Kelembaban udara Kota Bogor tahun 2011 Sumber: BMKG Darmaga Bogor
Topografi dan Kelerengan Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar dan berbukit (100 mdpl sampai > 300 mdpl). Kemiringan lereng di Kota Bogor sebagian besar berada pada klasifikasi datar dan landai (15%) seluas 9 855.21 Ha dan seluas 1 109.89 Ha berada pada klasifikasi lahan agak curam (15–25%). Lahan yang berada pada klasifikasi curam dan sangat curam (25%) hanya seluas 884.9 Ha. Kondisi topografi dan kemiringan lereng tersebut menjadikan Kota Bogor memiliki variasi pola pengembangan dalam pemanfaatan ruangnya, pada beberapa lokasi memiliki pemandangan yang indah dan udara yang sejuk. Tabel 12 Ketinggian Kota Bogor menurut Kecamatan Ketinggian (Ha) Jumlah (Ha) 0–200 201–250 251–300 >300 1 Bogor Utara 869.18 853.68 49.14 0.00 1 772.00 2 Bogor Timur 0.00 46.00 348.00 620.00 1 015.00 3 Bogor Selatan 0.00 24.00 480.00 2 577.00 3 081.00 4 Bogor Tengah 0.00 317.33 491.27 4.40 813.00 5 Bogor Barat 1 639.80 1 318.96 326.24 0.00 3 285.00 6 Tanah Sareal 1 519.13 364.84 0.00 0.00 1 884.00 Jumlah 4 028.11 2 924.81 1 694.65 3 201.40 11 850.00 Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011 No Kecamatan
Tabel 13 Kemiringan lereng Kota Bogor menurut Kecamatan Kemiringan Lereng (Ha) 15–25% No Kecamatan 0–2% 2–15 % 25–40% (Agak (Datar) (Landai) (Curam) Curam) 1 Bogor Utara 137.85 1 565.65 0.00 68.00 2 Bogor Timur 182.30 722.70 56.00 44.00 3 Bogor Selatan 169.10 1 418.40 1 053.89 350.37 4 Bogor Tengah 125.44 560.47 0.00 117.54 5 Bogor Barat 618.40 2 502.14 0.00 153.81 6 Tanah Sareal 530.85 1 321.91 0.00 31.24 Jumlah 1 763.94 8 091.27 1 109.89 764.96 Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011
Jumlah >40% (Ha) (Sangat Curam) 0.50 1 772 10.00 1 015 89.24 3 081 9.55 813 10.65 3 285 0.00 1 884 119.94 11 850
29 Penduduk Jumlah penduduk Kota Bogor hingga tahun 2010 adalah sekitar 967 398 jiwa, yang terdiri dari 493 761 laki–laki dan 473 637 perempuan dengan luas wilayah 11 850 Ha. Rata–rata kepadatan penduduk Kota Bogor tahun 2010 adalah sebesar 8 164 jiwa/km². Wilayah paling padat penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yang mencapai 12 564 jiwa/km². Sedangkan daerah dengan kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Bogor Timur yang kepadatannya sekitar 5 893 jiwa/km² (Kota Bogor Dalam Angka 2011). Tabel 14 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor (2000–2007) No
Kec.
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1
Bogor Selatan
136 152
150 300
154 622
160 007
163 295
166 745
170 909
176 094
2
Bogor Timur
77 257
77 025
80 747
83 924
83 907
86 978
89 237
91 609
3
Bogor Utara
110 569
136 294
138 370
144 590
148 107
149 578
153 843
161 562
4
Bogor Tengah
103 414
92 436
95 690
99 790
101 162
103 176
106 075
109 039
5
Bogor Barat
164 222
166 853
175 342
181 995
189 150
193 421
195 808
198 296
6
Tanah Sareal
123 098
137 421
144 652
150 401
150 686
155 187
163 266
168 532
Kota Bogor
714 712
760 329
789 423
820 707
836 307
855 085
879 138
905 132
Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
Perekonomian Potensi sektor–sektor ekonomi dapat dilihat dari kontribusi sektor–sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Dari data tersebut terlihat kecenderungan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Kontribusi sektor industri meningkat dari 20.74% pada tahun 1992 menjadi 24.13% pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28.75% pada tahun 1993 kemudian menjadi 41.08%. Data PDRB dari tahun 1993–2006 memperlihatkan bahwa komponen penyumbang PDRB Kota Bogor terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan presentase per tahunnya mencapai kisaran 28.75–41.08% terhadap PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata–rata kontribusi per tahun 20.74–24.13%. Dari data tersebut, maka jelas bahwa Kota Bogor memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Penggunaan Lahan Dari segi penggunaan lahan, Kota Bogor dengan luas wilayah sebesar 11850 Ha secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian wilayah, yaitu meliputi: a. Kawasan terbangun dengan luas total sebesar 4 411.86 Ha (37.23%) dari luas total Kota Bogor, yang berupa lahan perdagangan, permukiman, perumahan terencana, komplek militer, istana, industri, terminal, dan gardu. Kawasan
30 terbangun di wilayah Kota Bogor didominasi oleh kawasan permukiman sebesar 3 135.79 Ha (26.46%) yang di dalamnya terdapat fasilitas kesehatan, pendidikan peribadatan, serta perkantoran. b. Kawasan belum terbangun dengan luas total 7 438.14 Ha (62.77%) dari luas total kota Bogor, yaitu berupa situ, sungai, kolam, RTH, tanah kosong non RTH, dan lain–lain yang tidak teridentifikasi. Kawasan belum terbangun di Kota Bogor didominasi oleh RTH seluas 6 088.58 Ha (51.38%) yang didalamnya terdapat hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau SUTET, kawsan hijau, kebun raya, lahan pertanian kota, lapangan olahraga, sempadan sungai, TPU, taman kota, taman lingkungan, taman perkotaan, dan taman rekreasi. Tabel 15 Jenis dan Intensitas Penggunaan Lahan di Kota Bogor (2007) No 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14
Jenis Penggunaan Lahan Perdagangan Permukiman termasuk: a. Fasilitas Kesehatan b. Fasilitas Pendidikan c. Perkantoran d. Fasilitas Peribadatan Perumahan Komplek Militer Istana Industri Situ Sungai Kolam Terminal Gardu RTH a. Hutan Kota b. Jalur Hijau Jalan c. Jalur Hijau SUTET d. Kawasan Hijau e. Kebun Raya f. Lahan Pertanian Kota g. Lapangan Olah Raga h. Sempadan Sungai i. TPU j. Taman Kota k. Taman Lingkungan l. Taman Perkotaan m. Taman Rekreasi Tanah Kosong Non–RTH Lain–lain (Tidak Teridentifikasi) Jumlah
Luas (ha)
%
81.02 3 135.79 – – – – 1 020.08 73.96 1.17 92.59 14.40 124.59 81.84 5.41 1.84 6 088.58 57.62 138.02 14.36 1 963.92 72.12 3 117.27 151.51 181.79 134.64 3.19 90.49 123.57 40.08 984.38 144.35
0.68 26.46 – – – – 8.61 0.62 0.01 0.78 0.12 1.05 0.69 0.05 0.02 51.38 0.49 1.16 0.12 16.57 0.61 26.31 1.28 1.53 1.14 0.03 0.76 1.04 0.34 8.31 1.22
11 850
100
Sumber: Hasil koreksi dan analisis tahun 2007 dalam RTRW Kota Bogor 2011 2031
31 Pola Sebaran Kegiatan Sebaran kegiatan di Kota Bogor berpusat di pusat kota. Hal ini terlihat dari dominasinya keberadaan pusat Kota Bogor (berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah) untuk kegiatan utama kota seperti perdagangan dan jasa, perkantoran, pemerintahan, dan fasilitas transportasi, semua berada pada kawasan ini. Deliniasi pusat Kota Bogor saat ini adalah sekitar Kebun Raya yang dikelilingi oleh Jalan Pajajaran, Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Oto Iskandardinata, melebar ke jalan Surya Kencana, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Sudirman, Jalan RE Martadinata. Pusat kota ini berperan sebagai pusat pemerintahan kota dengan adanya Balai Kota dan beberapa kantor pemerintah lainnya, Istana Bogor dan beberapa kantor pelayanan masyarakat dan kantor swasta. Kegiatan perdagangan dan jasa tidak kalah dominasinya pada kawasan ini yaitu keberadaan pasar, pusat perbelanjaan dan Factory Outlet (FO) sebagai salah satu tujuan wisata Kota Bogor dan jasa akomodasi seperti hotel dan restauran. Pusat kota ini dilengkapi pula dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan skala kota yang masih menjadi tujuan pelayanan masyarakat. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor Tujuan penataan ruang merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kota yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Tujuan disusun berdasarkan visi dan misi kota, karakteristik wilayah (potensi, masalah, isu strategis), dan peran dan fungsi kota. Kota Bogor, dalam RPJPD (Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah) Kota Bogor 2005–2025, memiliki visi sebagai Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah. Rencana tat ruang wilayah (RTRW) Kota Bogor ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan pada asas manfaat, keseimbangan dan keserasian, kelestarian, keterbukaan, dan keberlanjutan. Kedudukan RTRW Kota Bogor adalah sebagai pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah dareah (RPJMD), rencana kerja pemerintah daerah (RJPD), penyusunan rencana rinci tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis, perwujudan keserasian pembangunan antar sector atau urusan, serta perwujudan keterpaduan dan pemerataan pembangunan di setiap wilayah pelayanan. Bogor berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dan secara regional mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Provinsi DKI Jakarta khususnya dalam lingkup Kawasan Jabodetabekpunjur. Keterkaitan ini terlihat pada pola aktivitas pergerakan penduduk antara Kota Bogor dan kota–kota lainnya dalam lingkup Jabodetabekpunjur. Hal ini membentuk sistem dan struktur pelayanan kegiatan yang memerlukan penanganan dalam hal pembagian peran dan fungsi masing–masing kota di wilayah tersebut. Peran dan fungsi Kota Bogor dipengaruhi oleh potensi dan kemampuan tumbuh dan berkembangnya Jakarta sebagai ruang tempat kehidupan dan penghidupan warga kota dan sekitarnya serta arahan kebijakan penataan ruang regional seperti RTRWN, RTRW Jawa Barat, Perpes Jabodetabekpunjur dan RTRW Kota Bogor sebagai wilayah tetangga.
32
Gambar 5 Peta wilayah administrasi Kota Bogor Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
33 Green Planning and Design Perencanaan dan perancangan merupakan aspek penting dalam menata suatu kawasan perkotaan. Perencanaan dan perancangan yang baik akan menciptakan kota yang nyaman untuk dihuni. Perencanaan memiliki ruang lingkup yang luas sedangkan perancangan lebih kepada pengaturan aspek yang paling sederhana dari suatu perencanaan. Idealnya sebuah kota harus memiliki perencanaan dan perancangan kota yang berbasis kepada tiga hal, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Ketiga hal tersebut merupakan prinsip pengembangan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kota yang berbasis lingkungan dan berkelanjutan. Green planning and design dalam konteks hirarki penataan ruang yang berlaku di Indonesia pada dasarnya memberikan nuansa atau warna terhadap isi atau konten yang ada dalam dokumen rencana yang dibuat oleh daerah yang bersangkutan, mulai dari rencana umum sampai dengan rencana rinci. Tingkatan rencana yang harus ada pada suatu green planning and design yang dibuat dalam suatu rencana terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Detail Engineering Desain (DED), serta Masterplan RTH. Dimana di setiap rencana tersebut memuat konsep pengembangan green planning and design yang akan dilakukan di setiap kota. Kondisi Ideal Green Planning and Design Bentuk atau model dari Green Planning and Design yang idealnya dapat diterapkan pada suatu kota diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Compact City Menurut Cowan (2004) dalam Kustiwan (2006), compact city didefinisikan sebagai suatu pendekatan perencanaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya. Menurut Kustiwan (2006) model compact city dinilai sebagai bentuk perkotaan yang paling berkelanjutan karena paling sesuai dengan prinsip anti–sprawl. Konsep ini menekankan pada usaha untuk mengurangi atau mengendalikan perluasan area kota yang diakibatkan oleh urban sprawl. Menurut J. Arbury (2005), compact city merupakan sebuah model pengembangan kota yang terfokus pada intensifikasi perkotaan, menetapkan batas pertumbuhan kota, mendorong pengembangan campuran (mixed used) dan mengedepankan peran angkutan umum dan kualitas desain perkotaan. Selain itu konsep ini pun mengusahakan untuk melakukan simbiosis antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan pengembangan bangunan vertikal sehingga kebutuhan akan RTH dapat dipenuhi. Beberapa negara maju yang yang telah menerapkan konsep ini adalah Jepang di kota Tokyo dan Kobe. Di kota tersebut telah dibuktikan bahwa untuk satu node compact city dapat direduksi sekitar 30% dampak dari permasalahan urban sprawl. 2. Mixed–Use Development Mixed–Use Development adalah pembangunan kawasan multifungsi dimana dalam suatu kawasan terdapat banyak jenis kegiatan. Dalam satu
34 kawasan tersebut dibangun minimal dua fungsi kawasan. Konsep ini lebih kepada usaha pengembangan produk property (produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial, dll) yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Mixed–Use Development perlu dikembangkan untuk mengurangi waktu dan mobilisasi kendaraan untuk pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dengan demikian jumlah kendaraan di jalan dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi kemacetan, selain itu secara pribadi dapat mengurangi penggunaan bahan bakar, menghemat waktu, serta menggurangi emisi. 3. Kawasan Pejalan Kaki Kawasan pejalan kaki adalah suatu kawasan khusus bagi pejalan kaki, biasanya ditempatkan di kawasan tempat bermain anak, di pusat perbelanjaan yang sebelumnya dibuka untuk lalu lintas kendaraan kemudian ditutup untuk lalu lintas kendaraan. Pada kasus–kasus tertentu ada kawasan pejalan kaki yang membolehkan bus atau trem untuk tetap bisa masuk. Kawasan pejalan kaki biasanya dilengkapi dengan kursi, patung, taman atau fasilitas pejalan kaki lainnya. 4. Transit Oriented Development (TOD) Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran serta memaksimalkan penggunaan angkutan massal seperti busway (BRT), kereta api kota (MRT), kereta api ringan (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan kaki atau sepeda. Dengan demikian perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Berdasarkan penerapan TOD di beberapa kota besar menunjukkan penurunan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, karena adanya pilihan yang cepat, murah dan mudah mencapai tujuan dengan hanya berjalan kaki, menggunakan angkutan umum, masyarakat tidak perlu repot mencari tempat parkir, membayar biaya parkir yang tinggi, dan biaya operasi yang tinggi pula. Kondisi Aktual Kota Bogor Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bogor tahun 2011–2031 menyebutkan bahwa aspek perencanaan dan perancangan Kota Bogor lebih mengarah kepada kebijakan dan strategi dalam penataan ruang kota. Penataan ruang yang dibuat diharapkan dapat mewujudkan tata ruang yang berwawasan lingkungan untuk mendukung kota jasa yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Dalam perencanaan kotanya, Kota Bogor berfokus kepada pembuatan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Kebijakan penataan struktur ruang bertujuan untuk: 1) mendistribusikan pelayanan kegiatan kepada masyarakat serta untuk mengurangi pergerakan penduduk ke pusat kota, 2) meningkatkan pelayanan transportasi darat meliputi aspek jaringan jalan, sistem pergerakan, pelayanan angkutan umum, terminal baik terminal penumpang maupun barang, 3) pengembangan jaringan utilitas terpadu, dan 4) penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana. Sedangkan kebijakan penataan pola ruang bertujuan untuk menetapkan dan melindungi kawasan–kawasan lindung serta mengoptimalkan ruang budidaya untuk mendorong pertumbuhan sosial ekonomi. Rencana struktur ruang mengembangkan konsep sistem pelayanan yang ditetapkan melalui pembagian Wilayah Pelayanan (WP) serta pengembangan
35 sistem Pusat Pelayanan yang terdiri dari 4 Sub Pusat Kota dan 14 Pusat Lingkungan. Penetapan WP dimaksudkan untuk mendistribusikan pelayanan kegiatan kepada masyarakat serta untuk mengurangi pergerakan penduduk ke pusat kota. Pembagian wilayah pelayanan tersebut dibagi menjadi 5 WP yaitu: a. wilayah pelayanan A, dengan cakupan wilayah Kecamatan Bogor Tengah, sebagian Kecamatan Bogor Selatan, sebagian Bogor Timur, dan sebagian Bogor Barat; b. wilayah pelayanan B, mencakup sebagian besar Kecamatan Bogor Barat; c. wilayah pelayanan C, mencakup Kecamatan Tanah Sareal dan sebagian Kecamatan Bogor Barat; d. wilayah pelayanan D, mencakup sebagian besar Kecamatan Bogor Utara; e. wilayah pelayanan E, mencakup Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Bogor Timur, serta Kecamatan Bogor Utara. Untuk masing–masing WP, ditetapkan arahan pengembangan yang berbeda sesuai dengan karakteristik, kecenderungan perkembangan dan harapan yang ingin dicapai dari masing–masing WP tersebut. Arahan masing–masing WP adalah sebagai berikut. a. Penataan perkembangan di wilayah pelayanan A 1. membatasi perkembangan kegiatan perdagangan dan jasa primer; 2. mengembangkan RTH; 3. merevitalisasi pusat kota dengan tetap memperhatikan visi kota; dan 4. mengendalikan perkembangan kegiatan perumahan. b. Penataan perkembangan di wilayah pelayanan B 1. mengendalikan perkembangan perumahan dengan pengaturan intensitas sesuai dengandaya tampung dan daya dukung ruang; 2. mengendalikan skala pelayanan kegiatan perdagangan dan jasa; 3. mengembangkan RTH kota; 4. mempertahankan dan melindungi kawasan resapan air; dan 5. mempertahankan lahan pertanian kota yang ada. c. Penataan perkembangan di wilayah pelayanan C dan D Kota Bogor 1. mengembangkan perumahan dengan pengaturan intensitas sesuai dengan daya tampungdan daya dukung ruang masing–masing kawasan; 2. mengendalikan skala pelayanan kegiatan perdagangan dan jasa; 3. meningkatkan akses jaringan jalan barat–timur dan utara–selatan; dan 4. mengembangkan RTH. d. Penataan wilayah pelayanan E 1. mempertahankan dan melindungi kawasan resapan air; 2. mengendalikan perkembangan perumahan; 3. mengendalikan skala pelayanan kegiatan perdagangan dan jasa; dan 4. mengembangkan RTH. Selain rencana struktur ruang, Kota Bogor pun merencanakan pola ruang kota. Dari sisi optimalisasi peruntukan ruang, pola yang akan dikembangkan harus dapat menampung kegiatan–kegiatan utama yang termasuk kegiatan pemukiman, selain itu pemanfaatan ruang kota akan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dengan mengalokasikan peruntukan ruang untuk konservasi.
36
Gambar 6 Peta rencana struktur ruang Kota Bogor Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
37
Gambar 7 Peta rencana sistem pusat pelayanan Kota Bogor Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
38 Analisis dan Evaluasi Perencanaan dan perancangan merupakan aspek penting dalam menata suatu kawasan perkotaan. Dari segi perencanaan kota, sebenarnya Kota Bogor sudah memiliki perencanaan yang cukup baik bagi perkembangan kotanya. Hal ini dapat dilihat dari adanya konsep wilayah pelayanan (WP). Dimana konsep WP ini memberikan tujuan utama untuk mengurangi pergerakan masyarakat ke pusat kota. Untuk mewujudkan kota hijau maka pada penerapan beberapa model perencanaan dan perancangan kota yang ada pun harus diimplementasikan dan terintegrasi secara baik dalam segala aspek. Selain adanya konsep WP yang lebih memfokuskan pada pencegahan kepadatan kegiatan di pusat kota, maka perlu juga dikembangkan perencanaan kawasan dengan penggunaan campuran, pengembangan hunian vertikal dan lainnya. Berikut ini adalah tabel evaluasi penerapan green planning and design di Kota Bogor (Tabel 16). Tabel 16 Evaluasi penerapan Green Planning and Design di Kota Bogor Model
Skor (a)
Evaluasi
0 1 Compact City
Pembangunan Kota Bogor secara keseluruhan masih bersifat horisontal. Belum ada rencana pembangunan ˅ dan pengembangan bangunan vertikal.
Mixed UseD
Pengembangan produk properti (perkantoran, tempat tinggal, hotel) secara multifungsi sudah ada yang dikembangkan oleh pihak swasta, namun belum ˅ memenuhi standar yang baik. Pemerintah belum merencanakan pengembangan konsep ini.
Kawasan Pejalan Kaki
Orientasi pejalan kaki masih difokuskan pada jalur pejalan kaki berupa trotoar dan belum dikembangkan menjadi kawasan.
˅
TOD
Pengintegrasian penggunaan transportasi umum sudah mulai direncanakan, namun untuk pengimplementasian baru akan dilakukan pada tahun 2015 dengan memfokuskan pada moda trasportasi perkereta apian dengan rencana pembangunan dan pengembangan stasiun kereta api Sukaresmi berbasis TOD.
˅
2 3
Nilai penerapan total
2 (b)
Nilai maksimal
16 (c)
Persentase penerapan indikator Green Planning and Design 12.50 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 3 halaman 15] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
4
39 Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green planning and design di Kota Bogor baru mencapai 12.50%. Nilai ini menunjukan bahwa realisasi dari konsep perencanaan dan perancangan kota yang berbasis kota hijau masih belum baik dan maksimal. Pemerintah sudah membuat rencana dan program–program yang akan dikembangkan, namun implementasi masih dalam tahap awal. Seperti ke–empat model penerapan yang ada, Kota Bogor masih sebatas arahan dan jikapun sudah ada penerapan masih belum dilakukan secara terstruktur. Oleh karena itu perlu adanya perencanaan program–program yang lebih matang oleh pihak pemerintah kota. Saat ini Kota Bogor sudah membuat dokumen rencana mengenai perencanaan dan perancangan kota mencakup rencana pola ruang dan rencana struktur ruang yang tertera dalam RTRW. Selain itu Kota Bogor sudah memiliki masterplan RTH, dimana penyusunan masterplan RTH ini bertujuan untuk memetakan RTH eksisting dan menetapkan rencana pembangunan RTH dalam periode 20 tahun sesuai RTRW. Masterpaln RTH berisi tentang perencanaan, penataan, pemeliharaan, serta penyediaan dan pemutakhiran RTH Kota Bogor.
Gambar 8 Rencana pembangunan jaringan jalan dan St. Sukaresmi berbasis TOD Sumber: Bappeda Kota Bogor
40
Gambar 9 Denah rencana pembangunan Stasiun Sukaresmi Sumber: Bappeda Kota Bogor
Gambar 10 Ilustrasi kondisi perspektif Stasiun Sukaresmi berbasis TOD Sumber: Bappeda Kota Bogor
Green Open Space Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan indikator yang cukup penting yang harus ada di perkotaan, serta dapat dijadikan indikator kelestarian dan kenyamanan bagi suatu kota. Fungsi utama RTH selain sebagai pengendali iklim mikro juga memiliki fungsi estetika dan sosial. Saat ini permasalahan yang di hadapi perkotaan berkaitan dengan RTH adalah semakin berkurang seiring dengan meningkatnya pertumbuhan fisik kota. Ruang–ruang terbuka banyak dibangun
41 untuk memenuhi dan memfasilitasi kegiatan perkotaan. Mengingat pentingnya RTH, maka saat ini peningkatan dan pengembalian fungsi ruang terbuka mulai dilakukan kembali. Kondisi Ideal Green Open Space Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, dikatakan bahwa luasan RTH minimum perkotaan adalah 30% dari luas kota dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan panduan penciptaan kota hijau di Indonesia ada beberapa peranan RTH yang sangat menonjol antara lain adalah fungsi ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi planologis, fungsi ekonomi dan fungsi estetika. Hirarki pembentukan RTH ideal di perkotaan adalah terdiri dari pembentukan taman lingkungan, taman kota, RTH jalur hijau, hutan kota, pertaian perkotaan, serta taman pemakaman umum. 1. Taman lingkungan Taman lingkungan merupakan taman publik dalam lingkup yang paling kecil. Taman ini umumnya berada disekitar rumah dengan fungsi utama sebagai sarana bermain dan sarana interaksi sosial. Taman ini memiliki ukuran yang beragam bergantung pada skala pelayanan penduduknya. Umumnya taman ini memiliki ukuran 250 m2. 2. Taman kota Taman kota biasanya terdapat di pusat kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani seluruh atau sebagian masyarakat kota untuk berolahraga atau kegiatan lain dalam skala kota. Menurut jumlah penggunaannya, taman kota dibagi menjadi taman kota yang melayani 30 000 penduduk dengan luas minimal 9 000 m2 serta taman kota yang melayani sekitar 120 000 penduduk dengan luas minimal 24 000 m2. Umumnya taman kota berupa taman aktif dengan fasilitas utama lapangan olahraga dengan jalur trek lari di seputarnya atau taman lain yang bersifat pasif dengan kegiatan pasif seperti duduk atau bersantai. Selain itu taman ini juga ditumbuhi berbagai jenis tanaman. 3. RTH jalur hijau Jalur hijau terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah jalur hijau jalan dan jalur hijau sempadan sungai. Jalur hijau jalan adalah RTH dengan bentuk memanjang mengikuti alur jalan. Secara struktural, jalur hijau jalan berfungsi sebagai pembatas jalan ataupun utilitas lainnya serta mengurangi dampak negatif dari jaringan yang dibatasinya. Secara fungsional jalur hijau jalan berfungsi sebagai tempat tumbuh tanaman yang dapat menghubungkan jaringan hijau dari jalur lainnya sehingga dapat menghubungkan jaringan RTH yang satu dengan RTH lainnya. 4. Hutan kota Menurut Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2002 tentang hutan kota, memberikan batasan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon–pohon yang kompak dan rapat di wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun pada tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau, kebun dan pekarangan. Fungsi dari hutan kota diantaranya adalah untuk penghasil oksigen di perkotaan, perbaikan iklim, peredam suara, dan lainnya.
42 5. Pertanian perkotaan Kegiatan pertanian di kawasan perkotaan saat ini jumlahnya terus menurun. Hal ini terjadi karena meningkatnya pembangunan fisik kota. Keberadaan pertanian perkotaan dapat membantu peningkatan jumlah area hijau dan dapat bernilai ekonomis bahkan dapat menciptakan kemandirian pangan bagi kota itu sendiri. Melihat kurangnya ketersedian lahan saat ini maka cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memanfaatkan lahan tidur yang terkelola, atau dengan melakukan teknik vertical greenery untuk menanam di lahan yang sempit. 6. Taman pemakaman umum Taman pemakaman umum (TPU) merupakan suatu sarana sosial yang berpotensi untuk meningkakan jumlah RTH di perkotaan. TPU merupakan suatu ruang hijau dalam kategori khusus atau untuk penggunaan tertentu. Namun untuk menjadi bagian dalam pembentukan RTH perkotaan, maka terdapat aturan tertentu agar selain jumlah RTH dapat meningkat, fungsinya pun dapat tercapai seperti fungsi ekologis sebagai sarana resapan air hujan serta pengendali iklim mikro. Aturan tersebut adalah mengurangi penggunaan perkerasan pada area pemakaman. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan area resapan air ke dalam tanah, serta penambahan vegetasi tertentu yang dapat menjadi penyangga antara lingkungan TPU dengan area lainnya. Kondisi Aktual Kota Bogor Salah satu RTH Kota Bogor yang termasuk ke dalam fasilitas sosial dan umum adalah taman, baik taman kota maupun taman lingkungan. Taman kota umumnya dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang sub bidang Pertamanan. Taman–taman yang ada tersebut berupa taman sudut, taman kota dan taman lingkungan. Walaupun demikian sebagian taman lingkungan terutama yang berada di komplek perumahan pemeliharaannya tidak semua di bawah naungan dinas, ada pula yang berada dibawah pengelolaan developer atau masyarakat sekitar taman tersebut. Keberadaan taman ini menjadi salah satu komponen RTH yang potensial dikembangkan di Kota Bogor sebagaimana diamanatkan oleh UU Penataan Ruang. Pembangunan dan pemeliharaan taman harus menjadi salah satu prioritas dalam pengembangan kota di Kota Bogor, mengingat sejarahnya Kota Bogor dikenal dengan kota yang memiliki taman yang indah dan jalan yang teduh karena adanya pohon–pohon di pinggir jalan. Program penigkatan RTH di Kota Bogor mulai direalisasikan pada tahun 2011. Luas Kota Bogor yang mencapai 11 850 ha pada dasarnya harus memiliki luasan RTH sebesar 3 555 ha. Hal ini dihitung dari kebutuhan RTH yang harus dipenuhi setiap kota sebesar 30% dari luas Kota Bogor. Luas RTH sebesar 30% harus memenuhi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Dari perhitungan tersebut dapat diketahui kebutuhan RTH privat sebesar 20% harus mencapai 2370 ha dari luas Kota Bogor dan RTH privat 10 % harus mencapai 1185 ha dari luas Kota Bogor. Luas eksisting RTH Kota Bogor menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada tahun 2011 masih mencapai 6 088.58 ha atau sekitar 51.38 % dari luas Kota Bogor. Hal ini dapat menjadi tolak ukur bahwa kondisi RTH Kota Bogor saat ini masih cukup baik karena lebih dari 30%.
43 Saat ini program pengembangan RTH dibawah naungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Pemerintah melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan turut mengajak serta beberapa komunitas hijau yang ada di kota Bogor yang peduli terhadap lingkungan untuk menentukan konsep dan rancangan RTH yang akan dibuat. Hal ini bertujuan agar sosialisasi akan pentingnya RTH di Perkotaan akan lebih mudah untuk disampaikan kepada masyarakat umum. Kegiatan Perwujudan RTH di Kota Bogor menurut RTRW 2011–2031 saat ini meliputi tahapan–tahapan sebagai berikut: 1. mengidentifikasi dan evaluasi RTH Kota Bogor; 2. membuat rencana kebutuhan RTH Kota Bogor; 3. pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor; 4. indikasi program pembangunan RTH Kota Bogor; dan 5. pengelolaan dan pemeliharaan RTH Kota Bogor . Pengembangan RTH yang ada di Kota Bogor dapat dilihat dari aspek ekologi, estetika, dan ekonomi. Klasifikasi dan jenis RTH yang ada di Kota Bogor berdasarkan studi kepustakaan maupun studi lapang, secara umum dapat diuraikan seperti di bawah ini yaitu: 1. Taman lingkungan Taman lingkungan biasanya terletak di sekitar daerah permukiman atapun perumahan, yang bersifat akumulatif untuk menampung kegiatan rekreasi bagi warga kota dalam bentuk suatu community park. Kondisi taman lingkungan yang ada di Kota Bogor saat ini tidak semuanya dalam keadaan baik. Beberapa contoh taman lingkungan yang terdapat di Kota Bogor berdasarkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor diantaranya adalah Taman Peranginan yang berlokasi di Jl. Sudirman, Taman Kencana di Jl. Pangrango, Taman Sempur di Kelurahan Sempur, dan Taman Situ Anggalena di Kelurahan Ciparigi. Berikut ini merupakan gambaran dari beberapa kondisi taman lingkungan yang ada di Kota Bogor (gambar 11, 12, 13, dan 14).
Gambar 11 Taman Kencana Kota Bogor
Gambar 12 Taman Situ Anggalena Kota Bogor
44
Gambar 13 Taman Sempur Kota Bogor
Gambar 14 Taman Peranginan Kota Bogor 2. Taman kota Saat ini pengembangan taman kota di Kota Bogor memang sudah cukup baik. Pemerintah Kota melalui Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor sedang mengusahakan pembuatan dan perancangan ulang terhadap beberapa taman kota agar lebih memenuhi kriteria sebagai taman kota. Pengembangan taman kota yang ada di Kota Bogor dilihat dari aspek fungsi seharusnya bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat di ruang terbuka selain memiliki fungsi utama sebagai fungsi ekologis. Namun pada kenyataannya kondisi taman kota di Kota Bogor memiliki konsep yang cukup berbeda dari taman kota pada umumnya, hal ini dapat dilihat dari keberadaan taman–taman kota yang ada di Kota Bogor yang lebih menekankan pada aspek keindahan. Luas taman kota pada tahun 2005 menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor adalah sebesar 364 467.26 m2. Beberapa taman kota yang ada di Kota Bogor diantaranya adalah Taman Tugu Kujang, Taman Topi, Taman Tugu Narkoba, Taman Air Mancur, dan Taman di depan Plaza Ekalokasari.
Gambar 15 Taman Topi
45 3. RTH jalur hijau jalan dan sempadan sungai Jalur hijau jalan adalah bagian dari daerah milik jalan (damija) yang disediakan untuk penanaman pohon dan tanaman lainnya, yang ditempatkan menerus sepanjang tepi jalan (road side). Jalur Hijau jalan di Kota Bogor berada pada jalan utama di pusat kota seperti Jalan Pajajaran, Jalan R–1, Jalan Pakuan, sebagian sudah tertata sesuai dengan fungsinya. Tanaman pada jalur jalan di Kota Bogor adalah dengan jenis kayu, perdu, semak, dan ground cover. RTH jalur jalan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu RTH jalur pejalan kaki, taman pulau jalan (trafic island), dan taman median jalan.
Gambar 16 Taman median jalan Kota Bogor
Gambar 17 RTH jalur pejalan kaki Kota Bogor
Gambar 18 Taman pulau jalan Kota Bogor Selain ruang terbuka jalur hijau jalan terdapat pula ruang terbuka jalur hijau sempadan sungai. RTH sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri dan kanan koridor sungai termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dan mengamankan aliran sungai dan dikembangkan sebagai area penghijauan. Sungai cisadane dan ciliwung merupakan sungai utama yang menbentang di Kota Bogor dan masih termasuk dalam DAS (daerah aliran sungai) bagian hulu dan tengah. Maka dari itu RTH sempadan sungai sangat perlu diperhatikan, karena saat ini sudah banyak pula perumahan yang
46 dibangun di sekitar sempadan sungai. Hal ini sungguh sangat berbahaya jika tidak diantisipasi dengan adanya RTH sempadan sungai karena akan menimbulkan bencana, seperti longsor dan banjir. Salah satu RTH sempadan sungai yang terdapat di Kota Bogor adalah daerah sempadan sungai yang terdapat di sekitar kelurahan sempur dan kelurahan loji.
Gambar 19 RTH sempadan sungai Kota Bogor 4. Hutan kota Saat ini Kota Bogor hanya memiliki satu hutan kota, tepatnya berada di kelurahan Situ Gede, kecamatan Bogor Barat dengan luas 1.25 ha dengan nama hutan kota Cifor. Pengelolaan hutan kota Cifor dilakukan oleh Departemen Kehutanan yang mempunyai wewenang untuk pengelolaan dan pemeliharaan. Hutan kota Cifor mempunyai fungsi sebagai konservasi dan sarana penelitian serta pendidikan. Fungsi lainnya adalah memberikan manfaat untuk menghasilkan iklim yang sejuk secara mikro. Hutan kota ini juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Namun jika dilihat dari ketentuan yang berlaku untuk standar dari luasan suatu hutan kota adalah 10% dari luas kota. Dengan kata lain hutan kota yang ideal di Kota Bogor adalah sebesar 1185 ha.
Gambar 20 RTH Hutan Kota Cifor Sumber: DKP Kota Bogor
5. Pertanian perkotaan Potensi RTH dari lahan pertanian di Kota Bogor akan berhubungan dengan kondisi peraturan dan perundang–undangan tentang syarat dan prasyarat pembangunan. Sebagai contoh, salah satu aturan pengembangan perumahan saat ini dalam menyusun siteplan perumahan adalah bahwa luas kavling efektif berbanding kavling fasos–fasum adalah 60:40. Artinya luas lahan yang bisa dibangun rumah adalah 60% dan 40% untuk fungsi lainnya (jalan, drainase, taman, pedestrian, bangunan sekolah, tempat ibadan, dll). Apabila dilihat dari kasus yang ada, untuk lahan RTH nya sendiri terhitung sebesar 5% dari komposisi 40% kavling fasos–fasum, sehingga dari lahan pertanian perkotaan sebesar 3 117.27 ha hanya didapat RTH Kota Bogor sebesar 62.34 ha.
47 Dalam rangka peningkatan potensi RTH dari lahan pertanian perkotaan di Kota Bogor, maka perlu dilakukan peninjauan atau perubahan mengenai aturan siteplan yang langsung menitik beratkan pada penyediaan RTH lingkungan, seperti: luas kavling efektif berbanding kavling fasos–fasum adalah 50:50. Artinya luas lahan yang bisa dibangun rumah adalah 50% dan 50% untuk fungsi lainnya (jalan, drainase, taman, pedestrian, bangunan sekolah, tempat ibadah, dll dan ditetapkan RTH sebesar 10%). Sehingga dari lahan pertanian perkotaan sebesar 3 117.27 ha, Kota Bogor mendapatkan RTH sebesar 155.86 ha. Saat ini lahan pertanian perkotaan tidak hanya sebatas pada sawah namun juga pada kebun–kebun pertanian serta ladang atau tegalan. Bentuk ruang terbuka hijau pertanian perkotaan menyebar hampir di semua kecamatan Kota Bogor selain kecamatan yang berada di pusat kota, terutama khususnya di kecamatan Bogor Barat. 6. Taman pemakaman umum Lokasi pemakaman umum tersebar di beberapa kecamatan dengan jenis tanaman penghijauan yang beragam. Fungsi dari dibuatnya RTH pemakaman adalah sebagai daerah resapan air dan peneduh serta mempunyai fungsi utama sebagai RTH kota yang pasif. Kedepannya pemerintah Kota Bogor akan mengembangkan tempat pemakaman umum yang lebih banyak lagi dengan pengelolaan yang baik. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan pemakaman bagi masyarakat Kota Bogor cukup besar. Selain itu fungsi keindahan atau estetika pun dapat terbentuk dari adanya RTH Pemakaman ini. Di Kota Bogor sendiri TPU maupun Taman Makam Pahlawan yang ada sudah memiliki sistem pengelolaan yang cukup baik. Berikut ini merupakan data TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor (Tabel 17). Tabel 17 Lokasi TPU yang dikelola oleh Dinas Pemakaman Kota Bogor Kecamatan Kec. Tanah Sareal
Kec. Bogor Selatan
Kelurahan
Luas (m²)
Peruntukan
Kel. Kebon Pedes
66 715
Kel. Kayumanis
28 000
Kel. Empang
64 815
TPU Muslim
Kel. Cipaku
21 800
TPU Kristen/Katholik
Kel. Cipaku
220 000
TPU Hindu/Budha
Kel. Genteng
140 000
TPU Hindu/Budha
25 500
–
TPU Muslim
Kel. Mulyaharja
Kec. Bogor Kel. Situgede 16 500 – Barat Sumber: Dinas Pemakaman Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
48
Gambar 21 Peta rencana RTH Kota Bogor Sumber: Bappeda Kota Bogor dalan RTRW Kota Bogor 2011–2031
49 Analisis dan Evaluasi Penetapan RTH yang baik adalah menyebar disetiap sudut kotanya, namun lokasi penyebaran RTH publik di Kota Bogor saat ini masih dibilang belum cukup merata diseluruh wilayah kota, walaupun hal tersebut sudah tercantum dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031 yang menyebutkan bahwa penyebaran RTH akan dikembangkan secara merata di setiap kecamatan dan kabupaten Bogor. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapat akses untuk membangun RTH di setiap wilayah. Selain itu keterbatasan lahan tidak terbangun pun terkadang menjadi halangan bagi pemerintah kota untuk membangun RTH. Maka dari itu salah satu rencana pemerintah Kota Bogor dalam mengembangkan RTH di Kota Bogor adalah dengan upaya pengadaan lahan untuk RTH. Berikut ini adalah rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor (Tabel 18). Tabel 18 Rencana pengembangan dan pembangunan RTH Kota Bogor
No
Jenis RTH publik sesuai Peraturan Pemerintah PU No 5 Tahun 2008
Eksisting
Rencana (sesuai RTRW) Persentase Luas (ha) (%)
Luas (ha)
Persentase (%)
1
RTH taman dan hutan kota (taman kota, hutan kota, lapangan, dan halaman kantor
474.63
4.01
916.41
7.73
2
RTH jalur hijau jalan (taman pulau jalan, median jalan, dan jalur hijau)
77.53
0.65
123.29
1.04
3
RTH fungsi tertentu (sempadan danau, sungai, SUTET, jalur kereta api, dan TPU)
360.20
3.04
992.48
8.38
912.36
7.70
2032.18
17.15
Total
Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor tahun 2011
Berikut ini adalah tabel evaluasi dari penerapan indikator green open space di Kota Bogor (Tabel 19). Tabel 19 Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor Skor (a) 0 1 2 3
Model
Evaluasi
Taman Lingkungan
Sampai tahun 2013 sudah dilakukan perbaikan dan pengembangan terhadap taman lingkungan namun untuk lokasi belum menyebar di setiap kecamatan.
˅
Taman Kota
Sejak tahun 2012 Pemerintah Kota Bogor sudah mulai melakukan pengembangan dan perbaikan taman kota yang ada di Kota Bogor, namun jumlah taman kota yang ada saat ini masih kurang untuk skala kota walaupun untuk luasan taman kota yang dibutuhkan sudah sesuai standar.
˅
4
50 Lanjutan Tabel 19 Evaluasi penerapan Green Open Space di Kota Bogor Model
RTH Jalur Hijau
Hutan Kota
Pertanian Perkotaan
Pemakaman Umum
Evaluasi
0
Penerapan RTH jalur hijau sudah cukup baik diterapkan pada RTH jalur hijau jalan berupa RTH jalur pejalan kaki, taman pulau jalan, dan taman pada median jalan. Namun untuk RTH jalur hijau sempadan sungai belum dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal. Luas hutan kota minimal 10% dari luas kota atau sekitar 1 185 ha, namun luas hutan kota Cifor yang ada di Bogor saat ini baru mencapai 1.25 ha. Fungsi hutan kota Cifor direncankan untuk fungsi konservasi dan sarana penelitian. Pertanian yang ada merupakan area pertanian privat dan keberadaannya sudah mulai tergeser oleh pembangunan. Menurut data dari DKP Kota Bogor saat ini lahan pertanian perkotaan sebesar 155.86 ha yang terdiri dari persawahan. Sedangkan pertanian perkotaan yang berupa perkebunan belum terinventarisasi dengan baik. Bentuk RTH berupa pertanian perkotaan menyebar hampir di seluruh kec. Bogor Barat selain yang berada di pusat kota.
Skor (a) 1 2 3 4
˅
˅
˅
Saat ini TPU yang berada dibawah kelola DKP Kota Bogor tersebar di wilayah kec. Tanah Sareal, Bogor Selatan (kel. Kayumanis, katulampa, mulyaharja) dan Bogor Barat (kel. Situgede)
˅
Nilai penerapan total
12 (b)
Nilai maksimal
24 (c)
Persentase penerapan indikator Green Open Space 50 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 4 halaman 17] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c ( ) [ ilai aksimal ma jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi, dapat diketahui bahwa pencapaian penerapan indikator green open space di Kota Bogor sudah mencapai 50%. Nilai ini menunjukan bahwa kondisi ruang terbuka hijau di Kota Bogor masih cukup baik. Hampir semua model sudah diterapkan oleh Pemerintah Kota Bogor, walaupun pada beberapa model penerapan belum terealisasi secara maksimal dan belum diatur serta dikelola secara baik oleh pihak Pemerintah. Pengembangan dan pengelolaan model RTH yang ada di Kota Bogor sudah cukup baik pada model taman lingkungan, taman kota, dan jalur hijau jalan. Sejak tahun 2012 Pemerintah Kota sudah melakukan perbaikan dan pengembangannya. Namun untuk ke–tiga model RTH yang lainnya seperti hutan kota, pertanian perkotaan, dan taman pemakaman umum belum mendapatkan perhatian yang cukup baik dari Pemerintah Kota. Pengelolaan indikator RTH di Kota Bogor memang menjadi program utama yang
51 dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Hal ini dikarenakan kondisi eksisting wilayah Kota Bogor yang berpotensi dikembangankan untuk area hijau. Saat ini Kota Bogor sudah memiliki masterplan RTH dan masterplan up– scalling RTH yang merupakan penyempurnaan dari masterplan RTH. Masterplan RTH bertujuan untuk memetakan RTH eksisting dan menetapkan recana pembangunan RTH dalam periode 20 tahun sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW). Sedangkan masterplan up–scalling bertujuan untuk memetakan potensi lokal daerah sesuai indikator kota hijau dengan berdasarkan pada masterplan RTH perkotaan yang telah ada. Dalam pemenuhan akan kebijakan RTH kota sebesar 30%, Pemerintah Kota Bogor membuat strategi yang akan dilakukan bagi pengelolaan RTH yang tepat diantaranya adalah : a. menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun atau di preservasi; b. menambah lahan RTH baru; c. mengembangkan koridor atau jalur hijau; d. meningkatkan kualitas RTH Kota; e. mengakuisisi RTH privat; f. menghijaukan bangunan; dan g. meningkatkan peran serta masyarakat (partisipasi publik atau forum komunitas hijau), serta menyusun dan melegalisasi Raperda tentang RTH. Berikut ini adalah rencana penambahan ruang terbuka hijau di Kota Bogor dalam jangka pendek (2013–2017) yang dibuat oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (Tabel 20). Tabel 20 Rencana penambahan jumlah RTH di Kota Bogor No
1
2
Jenis RTH
Taman
Luas (m2)
Lokasi
Kepemilikan
Rencana tahun pelaksanaan
Instansi pelaksana
5300
Cipaku
Pemkot
2013
DKP, PU
3521.83
Cikaret
Swasta
2016
DKP
2853.9
Harjasari
Swasta
2017
DKP
6200
Sindangsari
Swasta
2014
DKP
5596.50
Margajaya
Swasta
2015
DKP
Lapangan
Sumber: DKP Kota Bogor 2013
Green Building Berdasarkan Undang–undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, gerakan hijau dan konservasi energi yang merupakan konsep dari pengimplementasian kota hijau dapat diwujudkan dengan cara mengembangkan bangunan hijau (green building). Green Building adalah bangunan baru ataupun bangunan lama, yang direncanakan dibangun, dan dioperasikan dengan memperhatikan faktor–faktor keberlanjutan lingkungan (Green Building Council Indonesia 2009). Green building adalah suatu langkah yang harus dilakukan dari seluruh aktifitas gedung, rumah dan bangunan lainnya untuk menghindari
52 meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer, serta penghematan sumber daya alam demi keberlanjutan lingkungan. Kondisi Ideal Green Building Green building adalah upaya untuk meningkatkan desain dan konstruksi sehingga bangunan yang kita bangun hari ini akan bertahan lebih lama, biaya operasional yang lebih hemat, dan tidak akan membahayakan kesehatan pekerja dan penduduk. Green building juga merupakan upaya untuk melindungi sumber daya alam serta meningkatkan lingkungan binaan agar ekosistem, orang, perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara berkelanjutan. Terdapat tujuan dasar dari green building diantaranya adalah: 1) melestarikan sumberdaya alam, 2) meningkatkan efisiensi energi, serta 3) meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Salah satu yang menangani bangunan hijau di Indonesia adalah Konsil Bangunan Hijau Indonesia. Saat ini Konsil Bangunan Hijau Indonesia sedang dalam tahap penyusunan draft sistem rating bagi bangunan hijau yang dikenal dengan sebutan Greenship. Greenship merupakan sebuah perangkat penilaian yang disusun oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) untuk menentukan apakah suatu bangunan dapat dinyatakan layak bersertifikasi bangunan hijau atau belum. Greenship bersifat khas Indonesia seperti halnya perangkat penilaian di setiap negara yang selalu mengakomodasi kepentingan lokal setempat. Greenship sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam aspek, diantaranya adalah sebagai berikut: a. tepat guna lahan (appropriate site development/ASD); b. efisiensi energi & refrigeran (energy efficiency & refrigerant/EER); c. konservasi air (water conservation/WAC); d. sumber & siklus material (material resources & cycle/MRC); e. kualitas udara & kenyamanan udara (indoor air health & comfort/IHC); dan f. manajemen lingkungan bangunan (building & enviroment management). Masing–masing aspek terdiri atas beberapa rating yang mengandung kredit yang masing–masing memiliki muatan nilai tertentu dan akan diolah untuk menentukan penilaian. Poin nilai memuat standar–standar baku dan rekomendasi untuk pencapaian standar tersebut. Sebelum melalui proses sertifikasi, proyek harus memenuhi kelayakan yang ditetapkan oleh GBCI. Kelayakan tersebut antara lain adalah: a. minimum luas gedung adalah 2 500 m2; b. fungsi gedung sesuai dengan peruntukan lahan berdasarkan RTRW/K setempat; c. kepemilikan rencana upaya pengelolaan lingkungan (UKL) atau upaya pemantauan lingkungan (UPL); d. mesesuaian gedung terhadap standar ketahanan gempa; e. kesesuaian gedung terhadap standar keselamatan untuk kebakaran; f. kesesuaian gedung terhadap standar aksesibilitas penyandang cacat; serta g. kesediaan data gedung untuk diakses GBC Indonesia terkait proses sertifikasi. Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam mewujudkan bangunan hijau, dimana hal tersebut dibutuhkan agar bangunan yang dibuat akan dalam kondisi yang baik hari ini dan seterusnya. Berikut ini adalah tahapan dalam mewujudkan bangunan hijau (Gambar 22).
53
Perencanaan dan Perancangan
Rekomendasi dan kriteria dalam pemilihan lokasi, orientasi arah bangunan, pengembangan desain, rencana tapak untuk mewujudkan interaksi dan aktifitas fisik, pengembangan lanskap, menajemen perubahan cuaca, adapatasi bangunan dan sistem daur ulang.
Pengerjaan Tapak (Site Work)
Rekomendasi dalam pengerjaan tapak, untuk meminimalisasi gangguan atau perubahan, keselamatan kerja, efisiensi penggunaan bahan, dan pengurangan limbah. Jenis, penempatan dan pembangunan struktur bangunan termasuk di dalamnya beton, rangka, atap, material peneduh, pelindung kedap.
Struktur Bangunan
Sistem
Meliputi 5 kategori sistem bangunan yaitu: pemanas, ventilasi dan AC, pencahayaan dan penerangan, sumber energi setempat, dan sistem pemipaan.
Bahan dan Perabotan
Mempertimbangkan kesehatan dengan menggunakan perabot dan bahan ramah lingkungan, termasuk di dalamnya lem, cat dan bahan pelapis logam, jenis lantai, penggunaan bahan daur ulang.
Pemanfaatan dan Pemeliharaan
Meliputi manajemen operasional, termasuk tata cara pemeliharaan, peningkatan pengetahuan dan pemahaman dari pengelola bangunan.
Gambar 22 Tahapan mewujudkan green building Sumber: Panduan Kota Hijau 2013
Kondisi Aktual Kota Bogor Berdasarkan program yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor dalam pengembangan indikator bangunan hijau (green building), penerapan konsep ini baru sebatas rencana pembuatan naungan sederhana sebagai sarana pendukung utama taman dari material ramah lingkungan dengan penghawaan alami. Implementasi dari pembuatan bangunan hijau di Kota Bogor berupa gazebo, pergola dan toilet. Menurut beberapa sumber yang telah ditemui, Kota Bogor memang belum memiliki bangunan hijau yang sesuai dengan ketentuan dari bangunan hijau itu sendiri, walaupun rencana terhadap pembangunan bangunan hijau di Kota Bogor sudah tertera pada RTRW Kota Bogor 2011–2031. Namun jika dilihat dari karakteristik lokal Kota Bogor, konsep bangunan hijau yang sesuai untuk diterapkan pada bangunan di Kota Bogor adalah sebagai berikut: a. menggunakan material dari alam yang ramah lingkungan; b. menggunakan RTH privat sebesar 10% pada setiap bangunan;
54 c. pengurangan penggunaan air conditioner (AC) pada suatu bangunan dengan pemanfaatan maksimal ventilasi udara; d. penerangan alami dengan pemanfaatan maksimal sinar matahari pada siang hari sehingga akan mengurangi pula penggunaan energi yang dihasilkan dari lampu; serta e. memaksimalkan atap bangunan untuk dijadikan taman atap (Rooftop Garden) sehingga pemanfaatan area tidak sebatas dilakukan secara horisontal namun juga secara vertikal. Analisis dan Evaluasi Berikut ini adalah tabel evaluasi penerapan indikator bangunan hijau di Kota Bogor (Tabel 21). Tabel 21 Evaluasi penerapan Green Building di Kota Bogor Model
Pembangunan dan penerapan green building (efisiensi energi dan kualitas lingkungan dalam gedung)
Skor (a) 0 1 2 3 4
Evaluasi
Terdapat Perda Kota Bogor no 7 tahun 2006 tentang bangunan gedung. Sejauh ini Kota Bogor belum memiliki bangunan hijau. Saat ini fokus Pemerintah Kota Bogor dalam membangun dan menciptakan bangunan hijau yang sesuai untuk diterapkan di Kota Bogor adalah dengan melakukan pengawasan terhadap pembangunan ˅ gedung dibawah kelola Dinas Pengawasan dan Pembangunan Pemukiman (DIWASBANGKIM) dan melakukan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Kota Bogor pun belum tercatat dalam GBCI dalam sertifikasi kepemilikan bangunan hijau. Nilai penerapan total
0 (b) 4 (c)
Nilai maksimal
Persentase penerapan indikator Green Building 0 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 5 halaman 20] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c ( ) [ ilai aksimal ma jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green building di Kota Bogor baru mencapai 0%. Nilai ini menunjukan bahwa realisasi dan pengembangan indikator bangunan hijau di Kota Bogor belum ada dan hanya sebatas rencana untuk menghijaukan fasilitas umum. Dapat dikatakan bahwa di Kota Bogor saat belum ada bangunan yang memenuhi standar untuk bangunan hijau dan memiliki sertifikasi. Bangunan hijau yang akan dibuat sebaiknya harus mendapat sertifikasi dari Green Building Council Indonesia (GBCI) untuk mengetahui tingkat hijau pada bangunan yang dibuat. Kedepannya Kota Bogor sedang mengusahakan pembangunan bangunan hijau pada bangunan–bangunan pemerintahan.
55 Green Waste Green waste adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mencegah terjadinya masalah yang disebabkan oleh adanya sampah atau limbah.Undang–undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan tentang target pengurangan sampah, strategi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kebersihan, penyediaan sarana dan prasarana, serta peran masyarakat penghuni terhadap pengelolaan sampah. Upaya yang dimaksudkan diatas meliputi pengurangan penggunaan barang (reduce), pemanfaatan kembali (reuse), daur ulang barang (recycle) yang dikenal sebagai pedekatan 3R. Saat ini permasalahan sampah memang sudah menjadi permasalahan yang cukup mengkhawatirkan bagi kota–kota berkembang di Indonesia, begitu juga di Kota Bogor. Sampah rumah tangga dan sampah industri menjadi penyebab utama semakin menumpuknya volume sampah di Kota Bogor. Tujuan dari green waste adalah agar masalah lingkungan seperti banjir, penyakit dan lingkungan kotor yang disebabkan oleh sampah tidak lagi terjadi di perkotaan. Sedangkan manfaat dari adanya green waste diantaranya adalah: a. munculnya kesadaran seluruh masyarakat terhadap pengelolaan sampah sendiri; b. berkurangnya volume sampah yang menjadi beban kota; c. berkurangnya ancaman banjir dan penyakit; d. berkurangnya kebutuhan lahan untuk TPS dan TPA yang sangat bermasalah di perkotaan; e. terjaganya kesuburan dan kualitas tanah; serta f. membangkitkan kota yang kreatif, melalui penggunaan ulang (reuse) dan daur ulang sampah (recycle). Kondisi Ideal Green Waste Penyumbang sampah terbanyak di perkotaan adalah berasal dari pemukiman atau rumah tangga sebesar 51–79 %, sedangkan sisanya berasal dari pasar, jalan, area komersil, dan industri. Penanganan peningkatan volume sampah dapat dimulai dengan menangani jumlah produksi sampah sendiri dan juga limbah. Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi lima aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Kelima aspek tersebut meliputi: 1) aspek teknis operasional, 2) aspek organisasi dan manajemen, 3) aspek hukum dan peraturan, 4) aspek pembiayaan, serta 5) aspek peran serta masyarakat. Adapun model penerapan kondisi ideal dari indikator green waste adalah sebagai berikut: 1. Penerapan konsep 3R Undang–Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 mengamanatkan perlunya perubahan paradigma yang mendasar dalam pengelolaan sampah yaitu dari paradigma kumpul–angkut–buang menjadi pengolahan yang bertumpu pada pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan sampah bermakna agar seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas melaksanakan kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang dan pemanfaatan kembali
56 sampah atau yang lebih dikenal dengan sebutan reduce, reuse dan recycle (3R) melalui upaya–upaya cerdas, efisien dan terprogram. a. reduce: dalam konsep ini dilakukan pengurangan barang atau menghindari perilaku penggunaan barang secara berlebih yang akan menyebabkan munculnya sampah. Biasakan menggunakan atau membawa tas daur ulang pada saat akan berbelanja sehingga akan mengurangi penggunaan plastik. b. reuse: dalam konsep ini dilakukan penggunaan kembali terhadap barang– barang yang sudah tidak terpakai kembali. Beberapa diantaranya pasti memiliki nilai ekonomi atau dapat digunakan sebagai bahan kerajinan. Barang atau sampah yang tidak akan digunakan kembali bisa disalurkan kepada para pengrajin, pemulung atau komunitas seperti bank sampah sehingga dapat diolah dan berdaya guna. c. recycle: dalam konsep ini dilakukan daur ulang terutama terhadap sampah atau barang anorganik seperti plastik, kertas, logam dan kaca. Untuk jenis sampah lain, seperti sampah sisa sayuran dan makanan yang termasuk dalam sampah organik dapat di daur ulang menjadi kompos dengan cara komposting menggunakan lubang biopori. 2. Pemilahan (Bank Sampah) Bank sampah adalah salah satu strategi penerapan 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Pelaksanaan bank sampah dapat memberikan output nyata bagi masyarakat berupa kesempatan kerja dalam melaksanakan manajemen operasi bank sampah dan investasi dalam bentuk tabungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011). Setiap bank sampah menerima setoran berupa sampah yang telah dipilah seperti kertas, plastik dan logam dengan berbagai variasi harga. Hasil penukaran sampah umumnya akan ditabung dan diambil setiap bulan. Menurut Panduan kota hijau (2013), terdapat koefisien untuk memperkirakan kebutuhan bank sampah di perkotaan dengan menggunakan asumsi berdasarkan peningkatan kapasitas bank sampah di Indonesia yaitu adalah sebagai berikut : a. rata–rata kapasitas bank sampah: 53.47 – 77.88 kg / hari; b. rata–rata volume sampah/orang: 0.5 – 0.8 kg / org / hari; dan c. tingkat efektifitas bank sampah: 0.0706 – 0.2417 kg / org / hari. 3. Pengolahan limbah cair rumah tangga Limbah cair rumah tangga dapat berupa air bekas mencuci pakaian, kelengkapan rumah tangga atau air bekas mandi. Air ini biasa disebut sebagai grey water. Idealnya prinsip dalam penanganan limbah cair dapat dilakukan dengan cara reuse, reduction, recovery dan recycling. Berikut ini adalah penjabaran dari setiap konsep. a. reuse: teknologi yang dapat memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisik, kimia ataupun biologi; b. reduction: teknologi yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya pencemaran di awal produksi; c. recovery: teknologi yang dapat digunakan untuk memisahkan suatu bahan atau energi dari suatu limbah untuk kemudian dikembalikan ke
57 dalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisik, kimia ataupun biologi; dan d. recycling: teknologi yang berfungsi untuk memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke proses semula yang dapat dicapai melalui perlakuan fisik, komia ataupun biologi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengelola limbah cair rumah tangga adalah dengan menggunakan pendekatan fitoremediasi atau penggunaan tanaman untuk mengubah grey water menjadi green water. 4. Pengelolaan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) Sampah yang telah tiba di TPA dengan kondisi sampah yang sudah dipilah akan diolah sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah–sampah yang sudah tidak terpakai bisa digunakan sebagai bahan alternatif sumber energi. Terdapat tiga macam metode pengolahan sampah yang yaitu metoden open dumping (lahan urug terbuka), metode controlled landfill (lahan urug terkendali), dan metode sanitary landfill. Namun metode yang cukup aman dan baik digunakan untuk pengelolaan sampah di TPA. Metode ini dilakukan dengan cara menimbun kemudian diratakan, dipadatkan kemudian diberi cover tanah pada atasnya sebagai laipsan penutup. Hal ini dilakukan sacara berlapis–lapis sesuai dengan perencanaannya. Pelapisan sampah dilakukan dengan menggunakan tanah setiap hari pada akhir operasi. Tempat pembuangan akhir (TPA) yang direkomendasikan oleh para ahli dengan menggunakan sistem sanitary landfill dapat dilengkapi dengan sarana pengomposan dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill. Proses ini dapat dinamakan instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA. Perbedaan sanitary dan control landfill terletak pada pemanfaatan gas yang dihasilkan. Sistem sanitary landfill lebih lengkap karena selain mendapat manfaat gas juga bisa diolah menjadi tenaga listrik. Kondisi Aktual Kota Bogor Sepanjang tahun 2011 Pemerintah Kota Bogor terus berupaya menangani masalah persampahan secara konsisten di Kota Bogor. Melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) capaian tahun 2011 menunjukan skala meningkat sesuai target RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kota Bogor tahun 2010–2014. Tahun 2011 volume sampah di Kota Bogor yang terangkut mencapai 1 640 m3/hari. Volume sampah tersebut meningkat sebesar 6 m3/hari dari Tahun 2010. Dengan demikian target kinerja pelayanan persampahan pada Tahun 2011 mencapai 70.1 % dari total luas wilayah administratif Kota Bogor. Sedangkan wilayah pengelolaan sampah yang terlayani oleh Pemerintah Kota Bogor hingga tahun 2012 adalah sebesar 69.50 % dari luas Kota Bogor dan sisanya belum terlayani dengan baik. Pola pengumpulan sampah yang ada di Kota Bogor terdiri dari 4 tahapan, yaitu: 1) depo pengalihan, 2) tempat pembuangan sampah sementara (TPSS), 3) pengangkutan, 4) pembuangan akhir, serta 5) pemilahan dan pengolahan sampah. Volume sampah Kota Bogor pada tahun 2011
58 diperhitungkan mencapai 2402.4 m³ atau naik sebanyak 2.8 % dari 2.337 m3 pada tahun 2010. Upaya pencapaian target dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja pelayanan persampahan melalui pengelolaan biaya operasional pelayanan kebersihan, peremajaan dan pemeliharaan armada pengangkutan, peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pengurangan sampah dari sumber melalui pengelolaan sampah dengan konsep 3R, perpanjangan kerjasama pengelolaan sampah TPA Galuga dengan Kabupaten Bogor serta melakukan kegiatan kepedulian sosial terhadap masyarakat di sekitar TPA Galuga. Saat ini Pemerintah Kota Bogor hanya baru bisa menerapkan konsep 3R pada permasalahan sampah di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor telah melakukan optimalisasi TPA Galuga sebagai tempat pengolahan sampah akhir dengan penambahan lahan seluas kurang lebih 3.77 ha, sehingga total luas TPA Galuga kini telah mencapai sekitar 17.3 ha. Sementara itu, untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan sistem pengelolaan persampahan, pemerintah Kota Bogor mengajak masyarakat mengembangkan pengelolaan sampah yang mengedepankan konsep 3R. Baik individu maupun skala kawasan. Untuk skala kawasan, DKP telah menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah dengan konsep 3R di 6 (enam) lokasi sebagai lokasi TPST 3R yaitu di Kelurahan Kertamaya, Kelurahan Mulyaharja, Kelurahan Katulampa (2 lokasi) dan Kelurahan Ciparigi. Dengan adanya pengelolaan sampah dengan konsep 3R ini diperkirakan dapat mengurangi volume sampah dan terolahnya sampah di sumber sebesar 60 m3/hari. Sedangkan untuk skala individu, pembinaan pengelolaan sampah bermitra dengan PKK melalui penyediaan sarana pengolahan sampah organik atau komposter dan pelatihan pembuatan kompos di Kelurahan Cimahpar, Kelurahan Tegallega dan Kelurahan Harjasari. Berikut ini adalah proyeksi timbulan sampah yang dibuat oleh DKP Kota Bogor (Tabel 22). Tabel 22 Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor 2009–2031 Jumlah timbulan sampah tanpa reduksi (lt/hari) Kecamatan No Faktor timbulan (Liter/Orang/Hari)
2008
2009
2014
2019
2024
2031
2.66
2.66
2.66
2.71
2.76
2.76
1
Bogor Selatan
504.49
520.30
599.34
691.12
785.88
868.13
2
Bogor Timur
263.41
271.66
312.93
360.86
410.33
453.28
3
Bogor Utara
454.11
468.34
539.49
622.11
707.41
781.45
4
Bogor Tengah
313.11
322.92
371.98
428.95
487.76
538.81
5
Bogor Barat
577.99
596.10
686.65
791.81
900.38
994.61
481.93
497.03
572.53
660.22
750.74
829.31
2595.05
2676.36
3082.92
3555.07
4042.51
4465.59
6 Tanah Sareal Proyeksi timbulan sampah Kota Bogor
Sumber : Masterplan persampahan 2008 dan hasil analisis 2010 dalam RTRW 2011–2031 Kota Bogor akan membangun Stasiun Peralihan Antara (SPA) yang terletak di Kayumanis dan Ciluar dengan fungsi sebagai pengumpul sampah dari seluruh Kota Bogor untuk selanjutnya dikirim ke TPA Regional Zona Selatan di Desa
59 Nambo–Lulut Kabupaten Bogor. Salah satu kendala pengelolaan sampah Kota Bogor adalah tidak terdapatnya tempat pembuangan akhir (TPA) dalam batas administrasi. Keberadaan TPA Galuga milik Kota Bogor yang kini lokasinya berada di wilayah kabupaten dihadapkan pada pembatasan ijin pemakaian. TPA regional Nambo merupakan bentuk konsorsium sistem penanganan sampah oleh pihak swasta yaitu Perusahaan Pengelolaan Persampahan Jabodetabek (JWMC) atau PT. Kebersihan Jabodetabek (PTKJ) yang melibatkan daerah pelayanan se– Jabodetabek. Hingga tahun 2013 pengelolaan sampah melalui program 3R sudah terdapat di 13 titik skala kawasan dan 315 titik skala rumah tangga di Kota Bogor. Berikut ini adalah tabel dari lokasi TPST (tempat pembuangan sampah sementara) yang tersebar di Kota Bogor (Tabel 23). Tabel 23 Lokasi tempat pembuangan sampah sementara di Kota Bogor No
Lokasi
Jumlah Penduduk Terlayani
1
Pandawa Raya Kel. Bantar Jati
972 KK
2
UPTD Rusunawa Kel. Menteng
414 Unit
3
RT 01/04 Kel. Ciparigi
360 KK
4
RT 03/02 Kel. Mulyaharja
510 KK
5
RW 01 Kel. Kertamaya
6
Griya Katulampa Kel. Katulampa
600 KK
7
Mutiara Bogor Raya Kel. Katulampa
750 KK
8
Durian Raya Kel. Baranangsiang
1 452 KK
9
Situ Pete RW 02 Kel. Sukadamai
565 KK
10
RW 04 Kel. Cibadak
371 KK
11
RW 04 Kel Kayu Manis
520 KK
12
Kencana Kel. Tanah Sareal
658 KK
290 KK, 8 Toko, 2 Sekolah
13 Perumahan Kayu Manis Kel. Kayu Manis Sumber: Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bogor 2013
520 KK
Gambar 23 Kondisi beberapa tempat pembuangan sampah di Kota Bogor
60
Gambar 24 Konsep TPA Nambo (kiri); proses pembangunan TPA Nambo (kanan) Sumber : DKP Kota Bogor 2012
Gambar 25 Ilustrasi alur proses pengelolaan sampah di TPST Kayumanis Sumber: DKP Kota Bogor 2012
Analisis dan Evaluasi Terdapat tiga hal yang dapat dievaluasi dari indikator green waste yaitu, sumber sampah di Kota Bogor, komposisi kandungan sampah di Kota Bogor, dan pola pengumpulan sampah di Kota Bogor. Sumber sampah di Kota Bogor sebagian besar disumbangkan dari sampah rumah tangga, baik sampah padat maupun limbah cair. Berikut ini adalah tabel evaluasi dari model penerapan indikator green waste di Kota Bogor (Tabel 24).
61 Tabel 24 Evaluasi penerapan Green Waste di Kota Bogor Model
Penerapan Konsep 3R
Pemilahan (Bank Sampah) Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga
Pengolahan Sampah di TPA
Skor (a) 0 1 2 3 4
Evaluasi Sistem 3R sudah diterapkan oleh komunitas warga yang peduli terhadap lingkungan dan di beberapa TPST. Namun saat ini belumadanya pendampingan dari pihak pemerintah serta sosialisai kepada masyarakat umum. Konsep 3R yang diterapkan baru sebatas pemanfaatan kembali dan daur ulang, sedangkan pengurangan penggunaan barang yang akan menghasilkan sampah belum diterapkan secara maksimal. Saat ini masih diterapkan dalam skala kecil yang digerakan oleh komunitas warga setempat serta belum adanya pendampingan dari pihak pemerintah. Saat ini pengolahan limbah cair rumah tangga di Kota Bogor masih menggunakan konsep imperfect sewerage system, dimana pembuangan air limbah langsung dibuang ke saluran pembuangan seperti drainase. Salah satu solusi dalam menangani masalah limbah cair rumah tangga adalah dengan menerapkan konsep fitoremediasi. Saat ini pengolahan sampah di TPA Kota Bogor masih bersifat konvensional dengan metode open dumping sehingga terjadilah gunungan sampah di TPA. Jika sistem (pemilahan, pengangkutan, pengolahan) yang dilakukan sudah baik, maka masalah tumpukan sampah di TPA tidak akan meluas. Perlu perbaikan metode yang di lakukan di TPA dengan menggunakan metode sanitary landfill. Nilai penerapan total
˅
˅
˅
˅
5 (b) 16 (c)
Nilai maksimal
Persentase penerapan indikator Green Waste 31.25 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 6 halaman 20] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green waste di Kota Bogor baru mencapai 31.25%. Nilai ini menunjukan bahwa penerapan model green waste belum maksimal dilakukan di Kota Bogor. Dari hasil evaluasi, program 3R yang ada selama ini cukup sulit dilakukan atau belum memberikan hasil yang bermakna dan menjadi tantangan yang memerlukan kesungguhan terutama dalam masalah pendidikan dan penyuluhan. Mengingat upaya pengurangan volume sampah di sumber sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Maka dari itu diperlukan upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan perilaku. Solusinya adalah dengan
62 melakukan sosialisasi dan penyuluhan maupun kampanye yang terus menerus mengenai pengelolaan sampah dengan konsep 3R kepada masyarakat luas tentunya dengan pendampingan yang baik dari pihak pemerintah. Saat ini yang menjadi fokus Pemerintah Kota Bogor dalam menangani masalah sampah di Kota Bogor adalah dengan berfokus kepada sosialisasi kepada masyarakat umum melalui komunitas hijau yang ada maupun penyuluhan dan pembinaan secara langsung melalui sekolah peduli dan berbudaya lingkungan dan sekolah adiwiyata. Selanjutnya perbaikan fisik serta penyediaan terhadap sarana pengelolaan sampah. Green Transportation Transportasi merupakan moda utama yang pasti ada di perkotaan. Transportasi dibutuhkan untuk mobilitas masyarakat di Kota. Namun transportasi merupakan faktor utama pula yang menyebabkan kerusakan maupun permasalahan lingkungan di perkotaan. Hal inilah yang dialami Kota Bogor. Terlalu banyaknya moda transportasi dan sistem transportasi yang kurang tepat mengakibatkan permasalahan yang cukup membuat masyarakat Kota Bogor tidak nyaman, yaitu masalah kemacetan dan polusi udara yang dihasilkan dari kendaraan umum yang ada di Kota Bogor. Green transportation adalah salah satu usaha pembangunan dan pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi bahan bakar, dan berorientasi pada manusia yang meliputi pengembangan jalur khusus pejalan kaki. Adapun tujuannya adalah mengarahkan sitem transportasi yang ramah lingkungan, berorientasi pada manusia, serta memanfaatkan energi alternatif terbarukan yang bebas polusi. Berdasarkan urutan prioritasnya, komponen atau model dari pengembangan penerapan green transportation adalah terdiri dari jalur pejalan kaki, jalur sepeda, angkutan umum (bis, angkutan kota, kereta), dan high occupancy vehicle (pengembangan car sharing atau HOV). Kondisi Ideal Green Transportation Berikut ini adalah model penerapan dari green transportaion yang ideal beserta penjelasannya: 1. Jalur pejalan kaki Jalur pejalan kaki (pedestrian line) menurut Peraturan Presiden No. 43 tahun 1993 tentang Prasarana Jalan Bagian VII pasal 39 adalah termasuk fasilitas pendukung yaitu fasilitas yang disediakan untuk mendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan baik yang berada di badan jalan maupun yang berada di luar badan jalan, dalam rangka keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta memberikan kemudahan bagi pemakai jalan. Dalam hal ini fasilitas pejalan kaki yang dimaksud adalah trotoar, tempat penyeberangan yang dinyatakan dengan marka jalan dan/atau rambu–rambu, jembatan penyeberangan dan terowongan penyeberangan (PP No. 43 tahun 1993). Karakteristik jalur pejalan kaki sesuai dengan fungsinya adalah sebagai berikut: a. Trotoar: fasilitas pejalan kaki yang disediakan di pinggir jalan dengan karakteristik arah jelas, lokasi di tepi jalan bebas hambatan, permukaan rata (maksimal 5%) dengan lebar 1.5–2 m;
63 b. Jalur penyeberangan (zebra cross): dimaksudkan untuk menghindari konflik dengan kendaraan dengan karakteristik menyilang di atas jalan raya dilengkapi dengan traffic light, lebar sekitar 2–4 m dengan frekuensi tertentu; c. Plaza: jalur pejalan kaki yang ditujukan untuk kegiatan santai dan rekreatif dengan karakteristik bebas kendaraan, ruang lapang, lebar bervariasi, dan tersedia fasilitas pendukung; d. Subway: tempat berjalan kaki yang menghubungkan antar bangunan di bawah tanah dengan karakteristik berupa terowongan bawah tanah, di lengkapi penerangan dan pengudaraan, bebas lalu lintas kendaraan; dan e. Skyway: tempat berjalan kaki yang menghubungkan bangunan di atas tanah dengan karakteristik berupa jembatanpenyeberangan antar bangunan, sirkulasi pejalan kaki menerus, bebas lalu lintas kendaraan. 2. Jalur sepeda Jalur sepeda adalah jalur yang khusus diperuntukkan untuk lalu lintas untuk pengguna sepeda dan kendaraan yang tidak bermesin yang memerlukan tenaga manusia, dipisah dari lalu lintas kendaraan bermotor untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pengguna sepeda. Penggunaan sepeda memang perlu diberi fasilitas untuk meningkatkan keselamatan para pengguna sepeda dan bisa meningkatkan kecepatan berlalu lintas bagi para pengguna sepeda. Disamping itu penggunaan sepeda perlu didorong karena hemat energi dan tidak mengeluarkan polusi udara yang signifikan. Hal utama yang perlu ada untuk mengembangkan desain jalur sepeda adalah harus tersedianya jalur sepeda itu sendiri, volume dan kecepatan lalu lintas bermotor, dimensi jalur sepeda, jenis perkerasan, fasilitas parkir sepeda, serta sarana dan prasarana pendukung terintegrasi dengan angkutan umum. Dimensi jalur sepeda yang telah ditentukan adalah sebagai berikut: a. lebar minimum 1 m, direkomendasikan 1.5 m untuk jalur satu arah; b. lebar minimum 1.8 m, direkomendasikan 2.4 m untuk jalur dua arah; dan c. ruang bebas tinggi untuk jalur sepeda 1.8 m, direkomendasikan 2.25 m.
Gambar 26 Fasilitas yang diperlukan untuk bersepeda Sumber: www.google.com
3. Angkutan umum a. BRT (bis angkutan cepat) bisa memberikan suatu alternatif layanan terjangkau di kota–kota dan perkotaan yang memiliki koridor demand yang tinggi. Tujuan dari pengembangan BRT di kota–kota di Indonesia yaitu untuk memindahkan angkutan pribadi dengan angkutan massal yang cepat, berkualitas tinggi, aman, efisiensi dan murah, dan yang paling penting bukan memindahkan kendaraannya. b. Angkutan kota (angkot) merupakan angkutan umum dengan karakter kendaraan kecil, kepemilikan sebagian besar oleh individu, untuk
64 melayani rute jarak pendek yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah kota, dengan pengawasan yang masih lemah. c. Kereta api perkotaan; angkutan ini biasanya beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah dan digunakan secara eksklusif sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dengan rute–rute pemberhentian yang sudah ada. Contoh dari angkutan perkereta apian diantaranya adalah heavy rail transit, light rail transit, metro, dan sistem kereta komuter. 4. High occupancy vehicle (HOV) Merupakan kendaraan berokupansi tinggi, misalnya dengan menerapkan ride sharing. Konsep ride sharing dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang memungkinkan seorang pengemudi kendaraan memberikan tumpangan ke orang lain. Ride sharing berbeda dengan car club dalam hal bentuk keharusan pengemudi untuk memiliki kendaraannya sendiri. Berdasarkan terminologi dari TDM Encyclopedia (Victoria Transport Policy Institute), ride sharing mengarah pada carpooling dan vanpooling. Carpooling menggunakan kendaraan pribadi para partisipan. Sedangkan vanpooling menggunakan kendaraan van yang biasanya kepemilikannya oleh suatu organisasi (misalnya organisasi bisnis atau agen pemerintah). Kondisi Aktual Kota Bogor Kota Bogor saat ini sudah mulai mengembangkan sistem tranportasinya, terutama dalam pengembangan jaringan transportasi umum. Selain itu dilakukan pula pembangunan fasilitas dan sistem pendukung lainnya untuk menciptakan sistem transportasi yang nyaman, aman dan berkelanjutan. Berikut ini adalah penjabaran dari kondisi aktual dari model penerapan green transportation di Kota Bogor: 1. Jalur pejalan kaki Saat ini di Kota Bogor jalur pejalan kaki masih terbatas pada trotoar, jalur penyeberangan (zebra cross), dan plaza. Sky way dan subway belum terimplementasi dengan baik. Selain itu masih ada ruas jalan yang belum dilengkapi dengan pedestrian. Kebutuhan lebar minimal trotoar pada masing– masing lokasi yang ada di Kota Bogor berdasarkan RTRW Kota Bogor 2011– 2031 adalah sebagai berikut: a. Pusat pelayanan kota: minimal 4m; b. Sub pusat pelayanan kota (pusat WP): minimal 3m; c. Pusat lingkungan: minimal 2m; d. Kawasan pertokoan/ perbelanjaan: minimal 4m; e. Kawasan perkantoran: minimal 3m; f. Kawasan perumahan: pada jalan primer 2.75m, pada jalan akses 2m; g. Sekolah/ fasilitas pendidikan: 3m; h. Terminal: 3m; serta i. Kawasan industri: pada jalan primer 4m, pada jalan akses 2m.
65
Gambar 27 Pedestrian di sekitar pusat Kota Bogor
Gambar 28 Kondisi Pedestrian Nyi Raja Permas Kota Bogor
Gambar 29 Kondisi pedestrian di ruas–ruas jalan di Kota Bogor 2. Jalur sepeda Jalur sepeda adalah jalur yang hanya boleh digunakan untuk lalu lintas sepeda dan kendaraan yang tidak bermesin. Jalur sepeda idealnya dipisahkan dari lalu lintas kendaraan bermotor untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas bagi pengguna sepeda. Saat ini Kota Bogor sudah memiliki jalur sepeda walaupun masih dalam tahap awal, dengan pengembangan jalur dari Jln. Kapten Muslihat hingga Jln. Juanda depan Hotel Salak.
Gambar 30 Kondisi jalur sepeda di Kota Bogor
66 3. Angkutan umum a. BRT (bus rapid transit); saat ini Kota Bogor sudah melakukan penerapan BRT dimulai dengan beroperasinya sistem bis transpakuan dan APTB (angkutan perbatasan terintegrasi busway). Selain itu terdapat pula beberapa moda bis antar kota yang menghubungkan Kota Bogor dengan kota–kota lain di sekitar Bogor.
Gambar 31 Bis transpakuan (kiri) dan bis APTB (kanan) b. Angkutan kota (AKDP) merupakan moda angkutan umum yang melayani pergerakan penduduk Kota Bogor yang terdiri dari 29 trayek dengan jumlah kendaraan sekitar 3 455 kendaraan (Dishub Kota Bogor 2008). c. Jaringan kereta api merupakan moda penting dalam pergerakan penduduk terutama bagi para komuter menuju Jakarta. Saat ini, pergerakan satu hari ke Jakarta sebesar 30 000 penumpang/hari dengan frakuensi kereta setiap 6 menit, yang pada jam–jam sibuk akan terlihat sangat padat. Kota Bogor saat ini belum semua pertemuan rel kereta api dengan jalan raya letaknya tidak sebidang. Saat ini baru satu titik persimpangan yang sudah tidak sebidang yaitu jalur yang melintasi Jalan Soleh Iskandar (jalur underpass). 4. High occupancy vehicle Saat ini konsep ride sharing sudah mulai dikembangkan di Kota Bogor oleh komunitas, namun keberadaannya belum cukup populer di kalangan masyarakat umum. Sistem yang dilakukan adalah penggunaan bersama kendaraan pribadi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi secara individual. Konsep ini masih belum terintegrasi secara baik di Kota Bogor. Analisis dan Evaluasi Kondisi ideal dari green transportation adalah adanya pembangunan fasilitas pejalan kaki dan sepeda seta pengembangan transportasi umum yang terintegrasi. Berikut ini adalah tabel evaluasi model penerapan indikator green transportation di Kota Bogor (Tabel 25). Tabel 25 Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor Model
Evaluasi
Sebagian besar jalan utama di Kota Bogor sudah memiliki jalur pejalan kaki, namun yang menjadi Jalur Pejalan masalah utama adalah belum ideal fasilitas Kaki pendukung seperti sarana dan prasarana sehingga jalur pejalan kaki tidak nyaman dan aman bagi pengguna jalan.
Skor (a) 0 1 2 3
˅
4
67
Lanjutan Tabel 25 Evaluasi penerapan Green Transportation di Kota Bogor Model
Jalur Sepeda
Angkutan Umum (angkot, bis, kereta api) High Occupancy Vehicle
Skor (a) 0 1 2 3
Evaluasi Saat ini Kota Bogor sedang melakukan pengembangan fasilitas NMT (Non Motorized Transit). Tahun ini merupakan tahap pengembangan jalur sepeda tahap pertama dari mulai Jln. Kapten Muslihat hingga Jln. Juanda depan Hotel Salak. Tipe jalur sepeda yang digunakan adalah bike path. Saat ini Kota Bogor sedang memperbaiki sistem dari public transportation (PT). Dimana dilakukan pengintegrasian seluruh moda transportasi yang ada serta memperbaiki fasilitas pendukungnya. Transportasi umum yang sedang diperbaiki dan dikembangkan adalah angkutan kota (angkot), bis transpakuan dan APTB, serta jaringan kereta api. Konsep HOV (ride sharing) mulai dikembangkan oleh komunitas, saat ini belum cukup populer di kalangan masyarakat umum Kota Bogor.
4
˅
˅
˅
Nilai penerapan total
6 (b)
Nilai maksimal
16 (c)
Persentase penerapan indikator Green Transportation 37.50 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 7 halaman 22] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green transportation di Kota Bogor baru mencapai 37.50%. Nilai ini menunjukan bahwa kondisi penerapan green transportation di Kota Bogor belum cukup baik. Menurut DLLAJ Kota Bogor tahun 2012, pertumbuhan motor di Kota Bogor sebesar 15% per tahun dan pertumbuhan mobil di Kota Bogor sebesar 10% per tahun dimana tidak sebanding dengan pertumbuhan prasarana pendukung transportasi yang hanya sebesar 1% per tahun. Maka dari itu untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Kota Bogor saat ini sedang fokus pada pengembangan fasilitas non motorized transport (NMT). Jalur pejalan kaki atau pedestrian yang ada di Kota Bogor hanya sebatas pada trotoar, jalur penyeberangan, dan plaza. Kondisinya pun masih sangat memprihatinkan. Hal ini diakibatkan oleh adanya alih fungsi jalur pejalan kaki. Banyaknya pedagang yang berjualan di sekitar jalur pejalan kaki atau bahkan dijadikan tempat tinggal bagi kaum tunawisma. Aktifitas pengguna jalan pun menjadi terganggu yang pada akhirnya mengurangi kenyamanan dan kemanan pengguna jalan. Dari segi fisik masih banyak fasilitas bagi jalur pejalan kaki yang kurang seperti tidak adanya lampu tanda penyeberangan bagi masyarakat yang ingin menyeberang di zebra cross. Kondisi pedestrian pun terkadang tidak sesuai standar, kondisi pedesrtian yang terputus, serta tidak adanya ramp sehingga
68 membuat kondisi kelandaian tidak ideal yang mengakibatkan pengguna jalan kurang nyaman terutama bagi kaum difable. Namun saat ini pemerintah kota sedang melaksanakan perbaikan dan pelebaran pedestrian serta pembangunan jalur sepeda untuk memperbaiki sistem transportasi di Kota Bogor. Saat ini fokus utama pemerintah kota mengenai green transportation adalah dengan mengembangkan konsep TOD kawasan SKA Sukaresmi, pengembangan NMT melalui jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, serta perbaikan kualitas udara melalui pengawasan dan pengendalian emisi kendaraan bermotor. Green Water Green water dapat didefinisikan sebagai suatu konsep untuk menyediakan kemungkinan penyerapan air dan mengurangi puncak limpasan, sehingga tercapai efisiensi pemanfaatan sumberdaya air. Konsep green water dilakukan untuk meminimalkan efek yang terjadi pada lingkungan dan memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada, dimana pada akhirnya dapat menghemat uang yang dikeluarkan. Merujuk kepada Undang–undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya air, mengamanatkan agar masyarakat dapat menggunakan air dengan seperlunya (reduce), memanfaatkan ulang air (reuse), mendaur elang air (recycle), mengisi kembali air tanah dengan sumur resapan air (recharge), dan turut melestraikan sumber–sumber air seperti situ, waduk, sungai (recovery). Manfaat green water diantaranya adalah: 1. melindungi, melestarikan dan investasi di lingkungan; 2. meningkatkan keanekaragaman hayati; 3. meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap air; 4. mengurangi risiko banjir; 5. mengurangi air hujan yang harus ditransportasikan dan diproses di saluran pembuangan; 6. pencegahan pencemaran air tanah; dan 7. penghematan biaya yang dikeluarkan. Beberapa karakteristik green water ditinjau dari tipe sumberdaya, yaitu: 1. air tersimpan di dalam zona tidak jenuh yang dapat dipergunakan untuk evapotranspirasi; 2. tingkat perpindahan air yang terjadi sangat rendah; 3. jumlah pengguna relatif sedikit dibandingkan dengan blue water; 4. tidak diperlukan fasilitas pengaliran; dan 5. biaya yang dikeluarkan relatif rendah. Kondisi Ideal Green Water Kondisi ideal dari penerapan green water adalah dimana adanya konsep penyerapan air kedalam tanah sehingga air tidak langsung dialirkan kedalam kolam penampungan, sungai, ataupun laut. Dengan penyerapan air kedalam tanah diharapkan kondisi air tanah dapat lebih baik serta dapat lebih banyak menyimpan air sehingga dapat menjadi recharge water bagi wilayah tersebut. Berikut ini merupakan contoh model penerapan yang cukup ideal untuk menangani masalah green water: 1. Lubang resapan biopori (LRB) Lubang resapan biopori adalah lubang slindris yang dibuat secara vertikal kedalam tanah dengan diameter sekitar 100 cm, diameter 10 cm dan
69 kedalaman sekitar 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori adalah pori–pori berbentuk lubang (terowomgan kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Manfaat dari lubang biopori adalah meningkatkan daya resapan air, mencegah adanya genangan air dan mengatasi sampah organik dengan merubahnya menjadi kompos. Cara pembuatan lubang resapan biopori adalah dengan membuat lubang slindris dengan diameter 10 cm dan kedalama 100 cm atau tidak samapai melalui muka air tanah serta jarak antar lubang sekitar 50–100 cm.mulut lubang diperkeras dengan semen selebar 2–3 cm dengan tebal 2 cm disekeliling mulut lubang. Setelah lubang terbentuk lalu diisi dengan sampah organik dan terus dilakukan ketika isi sampah mulai berkurang. Jaga agar lubang selalu terisi penuh dengan sampah organi. Jika sampah tidak cukup maka dapat diberi penutup dengan pemberian sumvatan agar lubang tidak terisi oleh material lain seperti tanah atau pasir (Tim Bipori IPB 2007). Adapun rumusan untuk menentukan kebutuhan jumlah LRB, yaitu: Jumlah L B
ntensitas hujan (mm jam) luas bidang kedap m Laju peresapan air per lubang liter jam
2. Pengelolaan air hujan perkotaan (low impact development) Pengelolaan air hujan secara lokal yang ramah lingkungan dikenal dengan teknik low impact development (LID). Konsep pengelolaan air hujan dengan teknik ini adalah pengelolaan air hujan dengan skala mikro yang dilakukan dilokasi atau di sekitar daerah tangkapan air hujan. LID memanfaatkan praktek pengelolaan air hujan yang terintegrasi antara sistem drainase lokal, skala kecil, dan pengendalian sumber daya air regional. Praktek pengelolaan air hujan yang terintegrasi ini tidak hanya tergantung pada jaringan saluran drainase dan bangunan pengontrolnya, tetapi juga memanfaatkan gedung–gedung, infrastruktur drainase dan penataan lahannya dalam usaha menahan aliran air hujan ke daerah hilir. Terdapat beberapa bentuk teknologi LID seperti bioretensi, saluran rumput, dan perekerasan lulus air (Darsono 2007). Kondisi Aktual Kota Bogor Saat ini Kota Bogor memanfaatkan daerah aliran sungai cisadane dan beberapa mata air untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Bogor. Masalah utama yang dihadapi Kota Bogor terkait pengelolaan air adalah semakin sulitnya sumber air bersih. Hal ini disebabkan oleh banyaknya daerah aliran sungai yang ada di Kota Bogor sudah tercemar oleh sampah maupun terkontaminasi limbah cair. Selain itu masalah banjir di bebarapa daerah atau ruas jalan di Kota Bogor sering kali terjadi apabila musim hujan datang. Maka dari itu diperlukan pula perubahan sistem saluran drainase yang ada. Sejak tahun 2012 Pemerintah Kota Bogor sudah mulai melakukan kegiatan dalam rangka memperbaiki kualitas air tanah. Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah dengan cara mengendalikan lingkungan sekitar sumber– sumber mata air sebagai kawasan konservasi, mengendalikan pembangunan fisik
70 di kawasan sumber mata air, mengembangkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kolektif untuk rumah tangga terutama untuk perumahan, dan revitalisasi sempadan sungai desuai dengan fungsinya. Berikut ini adalah sumber air baku yang ada di Kota Bogor (Tabel 26). Tabel 26 Air baku di Kota Bogor No
Sumber
Debit Minimum (l/detik)
1
Mata Air Tangkil
120
2
Mata Air Bantar Kambing
143
3
Mata Air Kota Batu
53
4
Mata Air Palasari
90
5
Cisadane (Intake : Cipaku)
600
6
Cisadane (Intake : Dekeng)
2400
Sumber: PDAM Kota Bogor 2009 Dalam pengembangan kota hijau dengan indikator green water di Kota Bogor, Pemerintah Kota menerapkan sistem pengolahan dan penggunaan ulang (daur ulang) air dalam bentuk: 1. Pembuatan kolam penampung air Pembuatan kolam penampung air ini direncanakan untuk mengantisipasi banjir maupun kekeringan di musim kemarau. Air yang tersimpan dalam kolam penampungan baik berupa danau buatan maupun tendon air bisa dikatakan sebagai blue water. 2. Pembuatan sumur resapan (Biopori) Biopori adalah lubang–lubang kecil atau pori–pori di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai akitifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Pori–pori yang ada dapat menigkatkan kemampuan tanah menahan air dengan cara mengsirkulasikan air dan oksigen ke dalam tanah. Jadi, semakin banyak biopori di dalam tanah, semakin sehat tanah tersebut. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom atau dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm, maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3 140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm2, setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3 218 cm2. Dengan mengubah struktur tanah menjadi lebih berpori, kemampuan tanah meresap air menjadi menigkat dan mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama–sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air. Kota Bogor merencanakan akan menerapkan konsep biopori kepada setiap perumahan maupun instansi pemerintahan. Namun hal ini belum berjalan
71 dengan baik karena masih kurangnya sosialisai tentang biopori itu sendiri kepada masyarakat umum.
Gambar 32 Lubang resapan biopori Sumber: Bappeda Kota Bogor dalam RTRW Kota Bogor 2011–2031
3. Pengolahan atau penggunaan kembali air bekas (air toilet untuk penyiraman tanaman) Konsep ini dilakukan dengan cara penjernihan terhadap air sisa yang biasanya dibuang ke selokan, selanjutnya akan ditampung ke suatu kolam penampungan dimana pada kolam tersebut terdapat beberapa vegetasi penyerap limbah seperti eceng godok yang kaya akan antioksidan. Lalu air dari tampungan yang sudah diolah tersebut dialirkan kembali ke selokansehingga air yang terbuang dalam keadaan netral. Air sisa olahan limbah ini pun dapat digunakan kembali untukpenyiraman tanaman. Konsep ini dilakukan dengan cara penjernihan terhadap air sisa yang biasanya dibuang ke selokan, selanjutnya akan ditampung ke suatu kolam penampungan dimana pada kolam tersebut terdapat beberapa vegetasi penyerap limbah seperti eceng godok yang kaya akan antioksidan. Lalu air dari tampungan yang sudah diolah tersebut dialirkan kembali ke selokansehingga air yang terbuang dalam keadaan netral. Air sisa olahan limbah ini pun dapat digunakan kembali untuk penyiraman tanaman. Analisis dan Evaluasi Konsep green water yang direncanakan oleh Pemerintah Kota Bogor yaitu pembuatan kolam penampung air dan pengolahan atau penggunaan kembali air bekas seperti dari air toilet untuk penyiraman tanaman. Berikut ini adalah evaluasi model penerapan konsep green water di Kota Bogor (Tabel 27). Tabel 27 Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor Model
Evaluasi
Lubang Resapan Biopori
Pada tahun 2007 pemerintah Kota Bogor sudah membuat LRB sebanyak 5250 lubang yang tersebar di 21 kelurahan dari 6 kec. yang ada di Kota Bogor, dan target pembuatan LRB higga tahun 2012 mencapai 22 407 lubang. Namun jumlah ini tidak sebanding dengan luas Kota Bogor yang mencapai 11 850 ha. Jumlahnya terlalu sedikit dan tidak dapat mengimbangi permasalahan resapan air yang ada di Kota Bogor. Maka dari itu konsep LRB dapat dikembangkan menjadi bioretention agar lebih tepat guna pengimplementasiannya dalam skala kota.
Skor (a) 0 1 2 3 4
˅
72 Lanjutan Tabel 27 Evaluasi penerapan Green Water di Kota Bogor Model
Pengelolaan Air Hujan Perkotaan
Skor (a) 0 1 2 3 4
Evaluasi Belum adanya lahan dan pemahaman kuat mengenai konsep ini, dimana low impact development (LID) adalah konsep dengan memaksimalkan tampungan air hujan untuk diserapkan kembali ke dalam tanah. Penerapan konsep ini bisa dimaksimalkan jika melihat dari potensi Kota Bogor sebagai kota hujan. Nilai penerapan total
˅
2 (b) 8 (c)
Nilai maksimal
Persentase penerapan indikator Green Water 25 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 8 halaman 23] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green water di Kota Bogor baru mencapai 25%. Nilai ini menunjukan bahwa penerapan model green water belum baik direalisasikan di Kota Bogor. Jika dilihat dari kondisi eksisting Kota Bogor yang memilki curah hujan cukup tinggi, sebaiknya Kota Bogor bisa lebih memanfaatkan konsep low impact development (LID) untuk menangani masalah limpasan air hujan yang terjadi. Dalam perencanaan dan pengembangan kotanya, Kota Bogor sudah membuat sistem drainase yang cukup baik di beberapa ruas jalan Kota Bogor. Selain untuk menangani masalah limpasan air, konsep green water dengan menggunakan beberapa model penerapan seperti konsep LID, lubang resapan biopori, maupun ekodrainase adalah untuk untuk menjaga ketersedian air tanah dari penggunaan yang berlebihan. Saat ini fokus Pemerintah Kota Bogor dalam mengembangkan indikator green water yang ada di Kota bogor adalah dengan pembangunan sumur resapan dan bipori, pembangunan kolam retensi, penyususan detail engeneering design (DED) AMDAL, pengadaan lahan untuk pengembangan, pengelolaan dan konservasi danau, situ, atau kolam retensi. Green Energy Green energy merupakan energi yang dihasilkan dari sumber–sumber yang ramah lingkungan atau menimbulkan dampak negatif yang sedikit bagi ekosistem lingkungan. Konsep green energy ini berkembang karena adanya dampak negatif yang luar biasa akibat dari penggunaan energi fosil. Kondisi Ideal Green Energy Definisi terkait energi meliputi (UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi) diantaranya adalah: 1. energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapatberupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika;
73 2. sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi,baik secara langsung maupun melalui proses konversi atautransformasi; 3. sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapatdimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi; 4. sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkanoleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukanmaupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen,gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan(liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal); 5. energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru; 6. sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkandari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola denganbaik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari,aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut; 7. energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energiterbarukan; 8. sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus–menerus seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara,gambut, dan serpih bitumen; serta 9. energi tak terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi tak terbarukan. Terdapat beberapa model penggunaan green energy yang dapat diterapkan dalam mewujudkan penggunaan energi yang ramah lingkungan seperti yang dijelaskan dalam panduan penciptaan kota hijau yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan sumberdaya di suatu wilayah, diantaranya adalah: 1. Energi matahari Energi matahari mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi saat ini dalam waktu yang lebih lama. Pemanfaatan energi matahari memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara tropis dengan lama pencahayaan atau penyinaran matahari cukup lama, sehingga energi yang dihasilkan melimpah dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Proses pengubahan energi matahari menjadi listrik dilakukan dengan menggunakan alat yang dikenal dengan solar panel. 2. Energi sampah Dengan semakin banyaknya produksi sampah di perkotaan saat ini, salah satu alternatif untuk menanganinya adalah dengan cara mengolah sampah– sampah tersebut. Energi sampah tidak termasuk kedalam kelompok energi terbarukan, namun energi ini adalah energi yang tidak mungkin habis sepanjang masa dan bahkan cenderung meningkat dan menjadi masalah kehidupan modern. Pengolahan sampah menjadi energi dilakukan dengan cara membakar sampah di TPA dan selanjutnya adalah proses pengambilan energi panasnya. Dengan cara ini selain volume sampah yang dapat dikurangi, energi tambahan pun dapat dihasilkan. Dari setiap 50 kg sampah, 80% nya (40 kg) dapat diolah menjadi bahan bakar untuk membangkitkan teaga listrik. Dalam proses ini sampah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mendidihkan air yang selanjutnya mengahasilkan uap yang dapat menggerakkan turbin. Abu yang dihasilkan dari sisa pembakaran dapat ditimbun dan dapat pula dimanfaatkan kembali. Berikut ini adalah proses produksi energi dari sampah (Gambar 33).
74
Gambar 33 Proses produksi energi dari sampah Sumber: www.hijauku.com
1. sampah dari kota dikumpulkan; 2. sampah dipindahkan ke ruang pembakaran dan dibakar dengan suhu yang sangat tinggi, kira–kira 1000 C lalu sampah menjadi bahan bakar; 3. air akan mendidih dari proses pembakaran; 4. uap tekanan tinggi akan digunakan untuk menggerakkan turbin; 5. uap ini menggerakkan turbin untuk menghasilkan tenaga listrik; 6. Tenaga disalurkan ke jaringan listrik ke perumahan, industri, perkantoran; 7. abu dari pembakaran diproses untuk menghilangkan unsur logam dan disatukan dengan residu lain hasil proses pembersihan udara; 8. gabungan abu ini dibuang ke tempat pembuangan sampah; 9. semua gas–gas yang dihasilkan dikumpulkan, ditapis dan dibersihkan sebelum dibuang ke udara; 10. semua partikel–partikel kecil ditapis sebelum dibuang ke udara; dan 11. semua jenis polutan akan diawasi sesuai dengan parameter yang ditentukan untuk memastikan semua standar terpenuhi. 3. Energi tumbuhan Bioethanol adalah ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Bioethanol menjadi alternatif yang baik karena sifatnya yang ramah lingkungan. Bioethanol bisa didapatkan dari tanaman seperti tebu, jagung, singkong, ubi, dan sagu. Tanaman–tanaman tersebut merupakan tanaman yang mudah ditemui. Selain tanaman tersebut terdapat tanaman lain yang juga berpotensi untuk dijadikan bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Untuk menciptakan biodiesel dapat menggunakan tanaman sawit, kelapa, jarak pagar dan kapok. 4. Tenaga angin Pemanfaatan energi angin merupakan pemanfaatan energi terbarukan yang paling berkembang saat ini. Potensi pemanfaatan angin terdapat dikawasan pesisir Indonesia dan tidak menghasilkan polusi. Syarat kondisi angin yang dapat digunakan untuk menghasilkan energyi listrik diantaranya adalah: a. memilki kecepatan angin 1.5–33 m/d. Asap mengikuti arah angin; b. kecepatan angin 3.4–5.4 m/d. Daun–daun bergoyang pelan menandakan petunjuk arah angin bergerak;
75 c. kecepatan angin 5.5–7.9 m/d. Debu jalan dan ranting pohon bergyang; d. kecepatan angin 8.0–10.7 m/d. Ranting pohon bergoyang dan bendera berkibar; e. kecepatan angin 10.8–13.8 m/d. Ranting pohon besar bergoyang dan air plumpang berombak kecil; dan f. kecepatan angin 13.9–17.1 m/d. Ujung pohon melengkung dan hembusan angin terasa di telinga. 5. Tenaga air Tenaga air adalah energi yang diperoleh dari sumber air yang mengalir, umumnya didapatkan di sungai yang dibendung, dimana pada bagian bawahnya terdapat lubang saluran air. Pada lubang tersebut terdapat turbin yang berfungsi mengubah energi kinetik air menjadi energi mekanik. Seperti halnya penggunaan energi matahari, energi air pun baik dikembangkan di Indonesia, terutama di daerah yang memiliki aliran sungai yang cukup besar. Kondisi Aktual Kota Bogor Jumlah pelanggan listrik di Kota Bogor tercatat paling banyak mencapai sejumlah 170 240 pelanggan pada tahun 2005, dengan jumlah pelanggan terbanyak berasal dari Kecamatan Bogor Barat dengan 35 833 pelanggan. Sedangkan, pada tahun 1996 pelanggan listrik baru berjumlah 92 712 pelanggan dengan jumlah pelanggan terkecil berasal dari Kecamatan Bogor Selatan sebanyak 2 381 pelanggan yang melambung menjadi 34 580 pelanggan pada tahun 2005 (Bappeda 2011). Melihat kondisi seperti ini, Pemerintah Kota Bogor seharusnya mengambil tindakan tegas dalam penanganan sumber energi listrik di Kota Bogor. Dengan banyaknya sungai besar yang melalui Kota Bogor serta terletak di bagian hulu dan tengah DAS (daerah aliran sungai), seharusnya menjadikan Kota Bogor sebagai kota yang memanfaatkan energi listrik yang berasal dari sumber air. Dengan asumsi bahwa kebutuhan listrik untuk rumah tipe besar sebesar 1300 watt, rumah tipe sedang 900 watt dan rumah tipe kecil 450 watt, berdasarkan hasil proyeksi kebutuhan daya listrik pada tahun perencanaan yang tertera pada RTRW 2011–2031 menyimpulkan bahwa jumlah kebutuhan daya listrik di Kota Bogor sampai tahun 2029 diperkirakan sebesar 283.02 MW. Analisis dan Evaluasi Kota Bogor merupakan salah satu kota yang menggunakan energi listrik cukup besar. Namun hal ini tidak didukung dengan jumlah energi yang dihasilkan. Maka dari itu diperlukan pengembangan konsep yang memnafaatkan energi terrbarukan. Berikut ini adalah tabel dari evaluasi penerapan indikator green energy yang ada di Kota Bogor (Tabel 28). Tabel 28 Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor Model
Evaluasi
Skor (a) 0 1 2 3
Energi Matahari
Belum menyebar dan pengimplementasian baru sebatas pada lampu surya pada jalan raya dan pohon surya. Lampu surya yang ada pun baru sebatas untuk penerangan jalan TOL.
˅
Energi Sampah
Saat ini penggunaan energi sampah di Kota Bogor masih dalam tahap pembangunan. Konsep energi sampah direncanakan akan diterapkan di TPST Lawang Gintung.
˅
4
76 Lanjutan Tabel 28 Evaluasi penerapan Green Energy di Kota Bogor Model Energi Tumbuhan Tenaga Angin
Tenaga Air
Skor (a) 0 1 2 3
Evaluasi Saat ini masih kurangnya pengetahuan akan pentingnya tumbuhan sebagai sumber energi alternatif di Kota Bogor.
˅
Sumber energi alternatif dari tenaga angin kurang bisa diimplementasikan di wilayah Kota Bogor karena karakter fisik wilayah.
˅
Pemerintah Kota Bogor belum memaksimalkan keberadaan dua sungai besar di Kota Bogor, yaitu sungai ciliwung dan cisadane. Hal ini karena keterbatasan sarana dan prasarana. Nilai penerapan total
4
˅ 4 (b)
Nilai maksimal
20 (c)
Persentase penerapan indikator Green Water
20 % (d)
a
[Keterangan skor lihat tabel 9 halaman 24] [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] b
[ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green energy di Kota Bogor baru mencapai 20%. Nilai ini menunjukan bahwa penerapan model green energy belum terealisasi dengan maksimal di Kota Bogor. Dari lima model penerapan green energy, Kota Bogor baru sebatas menerapkan energi yang berasal dari matahari dan sampah. Tetapi untuk kondisi dan penerapannya pun belum menyebar dengan baik di seluruh Kota Bogor. Energi yang berasal dari matahari baru digunakan untuk kepentingan penerangan jalan umum dengan menggunakan panel–panel surya. Selain itu digunakan juga untuk penerapan pohon surya yang berfungsi sebagai charge energy bagi bangunan yang sudah menerapkannya. Pemanfaatan energi yang berasal dari sampah pun Kota Bogor sudah mengembangkannya di tempat pembuangan sampah sementara (TPST) Lawang gintung yang pemanfaatannya digunakan untuk penerangan di daerah sekitar TPST. Green Community Green community atau yang lebih dikenal dengan komunitas hijau merupakan sekelompok masyarakat yang peduli dan memiliki perhatian lebih terhadap lingkungan, yang berperan aktif bersama pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan. Komunitas hijau ini sangat diperlukan terutama untuk mengupayakan perubahan perilaku masyarakat agar lebih ramah dan peka terhadap lingkungan. Sehingga dapat meningkatkan public awareness tentang pengertian dan pentingnya kota yang berbasis Kota Hijau. Tujuan akhir dari pembentukan komunitas hijau ini sendiri adalah untuk mendorong perwujudan
77 lingkungan dan hunian yang nyaman, aman, lestari dan berkelanjutan sesuai dengan aspirasi masyarakat serta menerapkan pola hidup berbasis lingkungan. Kondisi Ideal Green Community Green community merupakan salah satu atribut penting dalammewujudkan kota hijau, karena keterlibatan dan rasa memiliki masyarakat akan menjadi motor penggerak gerakan hijau di kota atau kawasan perkotaan serta menjamin keberlanjutan program di masa yang akan datang. Manfaat dari penerapan green community meliputi: 1. meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengembangan kota hijau untuk mewujudkan fungsi kota yang berkelanjutan; 2. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tentang perwujudan kota hijau; 3. mendorong peran aktif masyarakat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang yang berwawasan lingkungan; serta 4. terbentuknya forum hijau sebagai mitra pemerintah kota atau kabupaten dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang. Penerapan dari konsep komunitas hijau dapat terbentuk melalui dua cara yaitu melalui partisipasi masyarakat dan komunitas warga. a. Partisipasi masyarakat Meningkatkan kesadaran dan partisipasi nyata masyarakat dalam menjaga lingkungannya dapat dilakukan dengan memberikan arahan bahwa menjaga lingkungan merupakan tangggung jawab bersama yang harus dilakukan sebagai bagian dari masyarakat kota. Selain itu memberikan pengertian bahwa dengan menjaga lingkungan akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup mereka kedepannya. Langkah nyata yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan kegiatan–kegiatan terkait aksi hijau yang dapat menarik perhatian masyarakat. b. Komunitas warga Komunitas warga merupakan bagian penting dalam mewujudkan kegiatan hijau di masyarakat. Komunitas warga dapat dijadikan sebagai fasilisator terhadap warga lainnya yang belum menerapkan aksi hijau, karena dalam prakteknya penyampaian informasi berlangsung dari warga itu sendiri sehingga dapat dilakukan pendekatan yang sesuai. Dalam pelaksanaanya komunitas warga diharapkan dapat bekerjasama dengan pemerintah. Kondisi Aktual Kota Bogor Saat ini sudah cukup banyak komunitas hijau yang terbentuk di Kota Bogor yang peduli pada bidangnya masing–masing namun masih tetap berbasis lingkungan. Dalam pengembangan kota hijau Pemerintah Kota Bogor khususnya Dinas Kebersihan dan Pertamanan sub bidang Pertamanan bersama Badan Pelestarian Lingkungan Hidup (BPLH) mengajak beberapa komunitas hijau yang ada di kota Bogor untuk turut serta dalam pengembangan komunitas hijau di Kota Bogor yang mana komunitas hijau ini merupakan salah satu atribut dari konsep Kota Hijau. Beberapa komunitas hijau yang ada di Kota Bogor diantaranya adalah: 1) koalisi pejalan kaki; 2) komunitas peduli ciliwung; 3) konsorsium peduli bogor; 4) bike to work; 5) cendevip; 6) bogor berkebun; 7) earth hour bogor; serta 8) komunitas pecinta fauna. Adapun kegiatan–kegiatan yang
78 dilakukan oleh beberapa komunitas hijau yang ada diantaranya adalah: 1) kegiatan car free day (CFD), 2) aksi penanaman pohon, 3) membersihkan daerah bantaran sungai, 4) berkebun, 5) mengolah limbah, 6) penghematan energi, 7) pendidikan lingkungan hidup, serta 8) aksi membersihkan lingkungan. Selain itu saat ini di beberapa kelurahan yang ada di Kota Bogor pun sudah terdapat komunitas warga.
Gambar 34 Kegiatan komunitas hijau yang ada di Kota Bogor Analisis dan Evaluasi Keberadaan komunitas hijau di Kota Bogor tentunya sangat baik. Adanya komunitas hijau ini setidaknya membantu kinerja pemerintah kota Bogor dalam upaya mengsosialisasikan pentingnya kelestarian lingkungan kepada masyarakat luas dan menyadarkan masyarakat untuk memulai pola hidup yang lebih baik dan bisa diterapkan pada kehidupan sehari–hari. Komunitas hijau di Kota Bogor menggunakan sistem penggunaan taman untuk kegiatan komunitas masyarakatsetempat sehingga taman berfungsi optimal sebagai wadah interaksisosial. Berikut ini adalah tabel evaluasi dari penerapan indikator green community di Kota Bogor (Tabel 29). Tabel 29 Evaluasi penerapan Green Community di Kota Bogor Model
Partisipasi Masyarakat
Komunitas Warga
Evaluasi
0
Sejauh ini respon masyarakat umum dalam kegiatan hijau yang dicanangkan pemerintah maupun komunitas cukup baik, namun masih kurangnya mediasi/ perantara bagi masyarakat untuk melakukan diskusi dengan pemerintah. Perlu dilakukannya public hearing. Komunitas warga di Kota Bogor sudah cukup baik dalam kegiatan sosialisai kepada masyarakat umum. Komunitas warga yang ada juga sudah melakukan aksi hijau untuk pelestarian lingkungan. Komunitas warga turut aktif bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran guna membangun Kota Bogor yang lestari dan berkelanjutan. Nilai penerapan total
Skor (a) 1 2 3 4
˅
˅
3 (b) 8 (c)
Nilai maksimal
Persentase penerapan indikator Green Community 37.50 % (d) a [Keterangan skor lihat tabel 10 halaman 26] b [ ilai enerapan otal ( t) n] c [ ilai aksimal ( ma ) jumlah model penerapan poin skoring maksimal] [ ersentase enerapan ndikator
d
nilai penerapan total nilai maksimal
ma
t
]
79 Dari hasil evaluasi di atas menunjukan bahwa pencapaian indikator green community di Kota Bogor sudah mencapai 37.50%. Nilai ini menunjukan bahwa penerapan model green community sudah terealisasi cukup baik walaupun belum maksimal. Pemerintah Kota Bogor sudah mengajak beberapa komunitas hijau di Kota Bogor dalam kegiatan atau aksi hijau yang dibuat oleh pemerintah. Keberadaan komunitas hijau yang ada di Kota Bogor cukup membantu Pemerintah khususnya dalam hal sosialisai terhadap masyarakat umum. Hasil Evaluasi Penerapan Indikator Konsep Kota Hijau di Kota Bogor Dalam pengembangan konsep kota hijau, terdapat delapan indikator yang perlu dikembangkan untuk pencapaian pengembangan kota hijau. Ke–delapan indikator tersebut adalah indikator green planning and design, green open space, green building, green waste, green transportation, green water, green energy, dan green community. Setiap indikator memiliki peranan dan fungsi masing–masing dalam menangani permasalahan yang dihadapi di kawasan perkotaan. Hubungan dan keterkaitan antara setiap indikator sangat dibutuhkan dalam penerapan konsep kota hijau. Saat ini Kota Bogor sudah memiliki rencana pengembangan mengenai penerapan ke–delapan indikator kota hijau. Penerapan indikator kota hijau sudah ada yang mulai diterapkan pada beberapa indikator, tetapi ada juga yang baru bersifat arahan maupun rencana. Dari masing–masing penerapan indikator yang telah dievaluasi dapat diketahui pencapaian Kota Bogor dalam menerapkan dan mengembangkan konsep kota hijau. Adapun hasil persentase yang diperoleh dari setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini. Tabel 30 Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor Indikator Kota Hijau
Kriteria Penerapan Ideal
Persentase
Compact City Green Planning and Design
Mixed Use Development Kawasan Pejalan Kaki
12.50 %
Transit Oriented Development (TOD) Taman Lingkungan Taman Kota Green Open Space
RTH Jalur Hijau Jalan dan Sempadan Sungai
50 %
Hutan Kota Pertanian Perkotaan Taman Pemakaman Umum (TPU)
Green Building
Pembangunan dan Penerapan green building (Efisiensi energi dan kualitas lingkungan dalam gedung)
0%
80 Lanjutan Tabel 30 Hasil evaluasi penerapan delapan indikator kota hijau di Kota Bogor Indikator Kota Hijau
Kriteria Penerapan Ideal
Persentase
Penerapan Konsep 3R Pemilahan (Bank Sampah) Green Waste
Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga
31.25 %
Pengolahan Sampah di TPA Jalur Pejalan Kaki Jalur Sepeda Green Transportation
37.50 % Integrasi Angkutan Umum High Occupancy Vehicle (HOV) Lubang Resapan Biopori
Green Water
25 % Low Impact Development (LID) Energi Matahari Energi Sampah
Green Energy
Energi Tumbuhan
20 %
Tenaga Angin Tenaga Air Partisipasi Masyarakat Green Community
37.50 % Komunitas Warga
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penerapan indikator green open space memiliki persentase tertinggi di Kota Bogor yaitu mencapai 50%, sedangkan indikator yang memiliki persentase penerapan terendah adalah pada indikator green building sebesar 0%. Hal ini menunjukan bahwa implemntasi dari penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor masih belum maksimal dilakukan. Green Planning and Design Dilihat dari aspek perencanaan dan perancangan kota (green planning and design), saat ini Kota Bogor sudah membuat beberapa dokumen teknis terkait pengembangan kota yang terdiri Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Detail Engineering Desain (DED), serta Masterplan RTH. Dalam perencanaan kotanya, Kota Bogor berfokus kepada pembuatan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Pencapaian penerapan indikator perencanaan dan perancangan kota di Kota Bogor baru mencapai 12.50%. Untuk mencapai kondisi
81 ideal dari indikator green planning and design, langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan memaksimalkan penerapan model mixed use development, lalu dikembangkan bersama dengan kawasan pejalan kaki serta pembentukan transit oriented development (TOD) untuk mengurangi mobilitas penduduk dengan kendaran sehingga akan mengurangi pula masalah polusi dan kemacetan di Kota Bogor. Green Open Space Penerapan indikator green open space di Kota Bogor mencapai 50%. Luas eksisting RTH Kota Bogor menurut Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada tahun 2011 masih mencapai 6 088.58 ha atau sekitar 51.38% dari luas Kota Bogor. Hal ini menunjukan bahwa kondisi RTH di Kota Bogor mencapai 30% dari ketentuan luas RTH kota, sehingga dapat menjadi tolak ukur bahwa kondisi RTH di Kota Bogor masih cukup baik. Pemerintah Kota Bogor sedang mengusahakan pengembangan beberapa model dari RTH kota serta mempertahankan dan memperbaiki fasilitas pendukung RTH yang sudah ada. Pengembangan model RTH yang sudah cukup baik terlihat dari RTH kota dalam bentuk taman lingkungan, taman kota, dan jalur hijau jalan namun masih perlu ditingkatkan kembali dari segi fungsi ekologis dan luas standar bagi setiap model. Kedepannya pemerintah Kota Bogor harus dapat memaksimalkan pengembangan RTH kota dalam bentuk hutan kota dengan cara menambah luas hutan kota yang memenuhi standar 10% dari luas Kota Bogor atau sekitar 1 185 ha. Selanjutnya memaksimalkan RTH dalam bentuk pertanian perkotaan yang berupa sawah maupun perkebunan yang jika dikembangkan dengan baik tidak hanya akan memberikan manfaat secara ekologis namun dapat pula memberikan manfaat secara ekonomi. Serta perbaikan pada RTH taman pemakaman umum. Green Building Penerapan indikator green building di Kota Bogor sampai saat ini masih belum diterapkan dan belum ada aturan lebih rinci mengenai perencanaan dan pembangunan bangunan hijau di Kota Bogor baik yang tertera pada RTRW maupun Perda. Pembangunan green building sebaiknya dibuat dengan standar dari Green Building Council Indonesia (GBCI) baik untuk bangunan milik pemerintah maupun swasta, serta berlaku untuk bangunan baru maupun bangunan lama. Konsep pembangunan dan pengembangan green building dapat diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi eksisting Kota Bogor. Selanjutnya dapat diterapkan dalam skala bangunan perkantoran maupun bangunan rumah tinggal. Implementasi dari konsep green building yang sangat sederhana adalah dengan cara menerapkan vertical greenery pada bagian rumah dan roof top garden pada hunian yang memiliki lahan terbatas, serta melakukan penghematan energi dengan cara tidak menggunakan pendingin ruangan (menerapkan pemaksimalan jendela atau bukaan pada rumah) dan memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber penerangan pada siang hari. Green Waste Penerapan indikator green waste di Kota Bogor saat ini baru mencapai 31.25%. Hal ini menunjukan bahwa sudah ada arah pengembangan dan usaha untuk mengelola sampah perkotaan. Pemerintah Kota Bogor menjadikan indikator
82 green waste menjadi dua diantara masalah perkotaan yang perlu ditanganai dengan segera selain masalah transportasi. Hal ini dikarenakan jumlah tumpukan sampah yang tidak terangkut dan tidak terkelola dengan baik sudah cukup banyak di Kota Bogor. Permasalahan sampah yang cukup besar di Kota Bogor diakibatkan karena kondisi tempat pembuangan akhir sampah yang masih menggunakan metode konvensional yaitu open dumping dan sistem pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga yang cukup buruk. Untuk mengatasi masalah persampahan di Kota Bogor saat ini adalah dengan memberikan sosialisasi mengenai cara pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga kepada masyarakat umum serta perlu adanya kerjasama dan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat dan instansi–instansi terkait. Selanjutnya pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah di TPA dengan menggunakan sistem sanitary landfill. Green Transportation Penerapan indikator green transportation di Kota Bogor saat ini mencapai 37.50%. Hal ini menunjukan bahwa pengembangan indikator ini sudah mulai diperhatikan oleh Pemerintah Kota Bogor. Saat ini program pemerintah terfokus kepada pengembangan non motorized transport (NMT) yaitu pengembangan tranportasi non motor yang diimplemntasikan dengan berjalan kaki dan bersepeda. Untuk mengembangkan konsep ini perlu didukung dengan pembangnunan sarana dan prasarana yang nyaman, aman, serta koridor yang tidak terputus bagi jalur sepeda dan jalur pejalan kaki dengan penambahan street furniture maupun shelter. Sejak tahun 2012 Pemerintah Kota Bogor memperbaiki standar dan fasilitas jalur pejalan kaki dan pembuatan jalur sepeda. Selain itu dilakukan uji emisi terhadap angkutan umum yang ada di Kota Bogor dan menerapkan standar emisi bagi kendaraan bermotor. Kedepannya pemerintah harus berfokus untuk melakukan integrasi antara setiap angkutan umum yang ada maupun pengembangan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki yang saling terhubung antar RTH kota dan tempat– temapt strategis di Kota Bogor, yang selanjutnya arah pengembangan adalah melakukan integrasi antara semua jenis angkutan umum dengan transportasi non motor seperti jalur sepeda dan jalur pejalan kaki. Green Water Penerapan indikator green water di Kota Bogor saat ini sudah mencapai 25%. Hal ini menunjukan bahwa sudah ada usaha untuk mengembangkan sistem pengelolaan air hujan perkotaan secara berkelanjutan, walaupun implementasinya belum dilakukan secara baik dan maksimal. Saat ini pengembangan masalah air di Kota Bogor dilakukan dengan cara pembuatan lubang resapan biopori dan pembuatan sumur resapan untuk mengelola limpasan air hujan. Tetapi penerapan yang ada sekarang belum dilakukan secara maksimal oleh Pemerintah Kota Bogor sehingga belum bisa menangani masalah ketersediaan green water di Kota Bogor. Penerapan konsep lubang resapan biopori dapat disosialisasikan kepada masyarakat agar dapat diimplementasikan di pekarangan rumah. Konsep low impact development (LID) perlu ditingkatkan penerapannya di Kota Bogor guna mengelola air hujan perkotaan dengan baik dan tepat sasaran, hal ini berdasarkan pada kondisi eksisting Kota Bogor yang memiliki curah hujan cukup tinggi. Pemanfaatan konsep LID dapat dilakukan dengan cara menerapkan perkerasan
83 tembus air dan saluran rumput pada median atau pada jalur hijau jalan, serta membuat bioretensi atau kolam penampungan. Green Energy Penerapan indikator green energy di Kota Bogor saat ini mencapai 20%. Penerapan model green energy yang sudah diterapkan di Kota Bogor adalah energi yang bersumber dari matahari dan sampah. Energi matahari diterapkan pada penerangan jalan umum, sedangkan energi yang bersumber dari sampah baru diterapkan di sekitar TPST Lawang Gintung dengan menggunakan LFG flaring system. Pemerintah Kota Bogor pun sudah mengusahakan pemanfaatan minyak jelantah yang dimanfaatkan untuk bahan bakar bis transpakuan, namun sempat terhenti karena kurangnya bahan baku untuk membuat minyak jelantah. Pemanfaatan energi yang berasal dari matahari dirasa kurang cocok untuk diterapakan di Kota Bogor, dikarenakan kondisi eksisting Kota Bogor yang memiliki curah hujan cukup tinggi, hal ini mengakibatkan banyaknya panel–panel surya yang sudah dipasang menjadi rusak karena intensitas terkena air hujan lebih lama dibandingkan terkena sinar matahari. Maka dari itu sebaiknya pemerintah perlu mengembangkan energi alternatif lain yang berasal dari sampah, air, maupun tumbuhan. Kondisi Kota Bogor yang memiliki dua aliran sungai besar yang dapat dimanfaatkan serta banyaknya sumber sampah di Kota Bogor yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai sumber energi untuk mengurangi masalah persampahan di Kota Bogor. Sedangkan untuk memanfaatkan energi yang berasal dari angin cukup sulit untuk diterapkan di Kota Bogor, dikarenakan topografi dan karakteristik Kota Bogor ysng tidak berada di coastal area. Green Community Penerapan indikator green community di Kota Bogor mencapai 37.50%. Pemerintah sudah berusaha mengajak para komunitas hijau untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan atau aksi hijau yang dibuat oleh Pemerintah. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pemerintah, upaya yang dapat dilakukan yaitu dapat dengan cara memberikan insentif kepada masyarakat yang menjadi penggerak atau masyarakat yang sudah melakukan pelestarian terhadap lingkungan dengan baik. Pemerintah berharap dengan adanya komunitas hijau yang ada saat ini dapat turut serta menyampaikan dan mengsosialisasikan program pemerintah dalam kegiatan membangun dan mengembangankan Kota Hijau di Kota Bogor kepada masyarakat umum, sehingga masyarakat umum Kota Bogor memilki rasa memiliki dan kesadaran untuk menjaga lingkungan Kota Bogor. Pentingnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan akan berdampak baik terhadap kelestraian lingkungan. Hal ini akan mengurangi degradasi lingkungan yang terjadi saat ini, dimana penyebab utamanya adalah oleh ulah tangan manusia sendiri.
84
PENUTUP Simpulan Evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dengan mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Bogor terkait ke–delapan indikator kota hijau dengan merumuskan permasalahan perkotaan yang dialami oleh Kota Bogor. Berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan Gap analysis dan skoring, dapat diketahui bahwa penerapan dari ke–delapan indikator kota hijau di Kota Bogor belum ada yang mencapai 100%. Hal ini dikarenakan pengembangan konsep kota hijau di Kota Bogor baru berjalan selama dua tahun sehingga masih perlu dilakukan perbaikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Saat ini Kota Bogor masih dalam tahap pembangunan dan pengembangan, hal tersebut dapat dilihat dari rencana dan implementasi dari ke–delapan indikator kota hijau yang diterapkan di Kota Bogor. Penerapan indikator green building mendapat nilai terendah yaitu sebesar 0%, sedangkan nilai terbesar dapat ditunjukkan pada penerapan indikator green open space sebesar 50%. Indikator green building mendapatkan nilai terendah dikarenakan pada indikator ini belum terdapat penerapan, bahkan masih berupa rencana jangka panjang yang dalam penerapan dan pengembangannya dibutuhkan proses dan waktu. Sedangkan indikator green open space memiliki penerapan yang cukup tinggi dikarenakan kondisi eksistting Kota Bogor yang memang masih banyak memiliki ruang terbuka sehingga sangat cocok untuk dikembangkan untuk lebih banyak area hijau publik. Dalam menerapkan delapan indikator kota hijau, Kota Bogor baru memfokuskan kepada tiga indikator kota hijau yaitu indikator green planning and design, green open space, dan green community. Namun ke–lima indikator lainnya sudah mulai diterapkan walaupun belum dilakukan secara maksimal. Saat ini Pemerintah Kota Bogor sedang berupaya mengembangkan penerapan indikator green waste dan green transportation untuk menangani masalah perkotaan di Kota Bogor dalam aspek masalah persampahan dan transportasi masal yang dirumuskan oleh Pemerintah Kota Bogor sebagai masalah utama yang harus segera ditangani. Saran Dalam pengembangan konsep kota hijau, perlu dilakukan secara bersama baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun pihak swasta untuk menciptakan Kota Bogor yang aman, nyaman dan berkelanjutan. Kedepannya Pemerintah Kota Bogor harus lebih mengajak komunitas hijau dalam setiap kegiatan atau aksi hijau yang akan dilakukan serta berperan sebagai media sosialisasi kepada masyarakat umum untuk mendukung program pemerintah dalam pengembangan konsep kota hijau. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap konsep pengembangan kota hijau ini agar didapatkan standar yang tepat bagi penerapan konsep kota hijau dan mendapatkan database yang lebih akurat mengenai kondisi aktual Kota Bogor.
85
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Peta Bogor. [Internet]. [Diunduh pada 11 Februari 2013]. Tersedia pada: www.google.com. [Butaru]. Redaksi Buletin Tata Ruang. 2011. Green Building a Sustainable Concept For Construction Development in Indonesia. [Internet]. [Diunduh 11 Mei 2013]. Tersedia pada: pada http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=306. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2013. Kota Bogor Dalam Angka 2011. [Laporan]. [Internet]. [Diunduh pada 1 September 2013] [DKP] Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2012. RTH Kota Bogor. [DKP] Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2012. Masterplan RTH Kota Bogor. [DPU] Departemen Pekerja Umum. 2011. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. [Internet]. [Diunduh pada 28 Desember 2012]. Tersedia pada: www.penataanruang.net/taru/Makalah/051130–rth.pdf [KBA] Kota Bogor Dalam Angka 2011. Jumlah dan Persebaran Penduduk di Kota Bogor. [Internet]. [Diunduh pada 28 Desember 2012] [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2012. Kota Hijau sebagai Solusi Pengembangan Kota di Indonesia. 2013 Adisasmita, Rahardjo. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyajarta: Graha Ilmu. Arbury, J. 2005. From urban sprawl to compact city–An analysis of urban growth management in Auckland. Auckland: University of Auckland. Darsono, Suseno. 2007. Sistem Pengelolaan Air Hujan Lokal Yang Ramah Lingkungan. [Internet]. [Diunduh pada 11 Desember 2013]. Tersedia pada: eprints.undip.ac.id Green Building Council Indonesia. 2012. GREENSHIP Untuk Gedung Baru: Ringkasan dan Tolak Ukur. [Internet]. [Diunduh pada 11 Desember 2013]. Irwan, Zoeraini. 2007. Prinsip–Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan, dan Pelestariannya. Jakarta: PT Bumi Aksara. Irwan, Zoeraini. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: Bumi Aksara. Jenks, Burton M, Williams K. 1996. The Compact City: A Sustainable Urban Form. London (UK): E & FN Spon. [Internet]. [Diunduh pada 28 Desember 2013]. Jennings, Michael. 2000. Gap analysis: concepts, methods, and recent results. Landscape Ecology. 15: 5–20. [Internet]. [Diunduh pada 28 Desember 2013]. Kementerian Lingkungan Hidup RI. 2011. Bank Sampah dan 3R: Membangun Lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan. [Internet]. [Diunduh pada 2 Juli 2013] Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Panduan Pelaksanaan P2KH. [Internet]. [Diunduh pada 27 Oktober 2012]. Tersedia pada: http://penataanruang.pu.go.id/info_produk.aspa. Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Penataan Ruang. 2013. Panduan Kota Hijau di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pekerjaan umum.
86 Nurisjah S, Pramukanto Q. 2009. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Parasuraman, Zeithaml and Berry. 1985. A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications for Future Research. Journal of Marketing, Fall. pp. 41–50. [Internet]. [Diunduh pada 28 Desember 2013]. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan No 8. Jakarta: Sekretariat Negara. [Internet]. [Diunduh pada 11 Desember 2013]. Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan. Jakarta: Sekretariat Negara. [Internet]. [Diunduh pada 11 Desember 2013]. Republik Indonesia. 1993. Peraturan Pemerintah Prasarana Jalan Bagian VII No 43. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Hutan Kota No 62. Jakarta; Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan penataan Ruang No 15. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2002. Undang–undang Bangunan Gedung No 28. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. 2004. Undang–Undang Pengelolaan Sumberdaya Air No 7. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2007. Undang–Undang Penanggulangan Bencana No 24. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2007. Undang–Undang Penataan Ruang No 26. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2007. Undang–Undang Energi No 30. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Undang–Undang Pengelolaan Sampah No 18. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2009. Undang–Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup No 32. Sekretariat Negara Rustiadi, Ernan dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Samsoedin I, Subiandono, Endro. 2007. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Prosiding Ekspose Hasil–Hasil Penelitian: Jakarta. Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture: A Manual of Site Planning and Design. New York (USA): McGraw–Hill Book Co. Simonds J. O. dan Barry W. S. 2006. Landscape Architecture: A Manual of Side Planning and Design. New York (US): The McGraw-Hill Companies, Inc. Tjiptoherijanto, Prijono. 1999. Urbanisasi dan Pengembangan Kota di Indonesia. Populasi–Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan Volume 10 Nomor 2 Tahun 1999. Yogyakarta : PPK UGM. Tim Biopori IPB. 2007. Lubang Resapan Biopori. [Internet]. [Diunduh pada 20 Oktober 2013]. Tersedia pada: www.Biopori.com/Resapan_Biopori.Php Tim Biopori IPB. 2007. Jumlah Lubang Resapan Biopori Yang Disarankan. [Internet]. [Diunduh pada 20 Oktober 2013]. Tersedia pada: www.Biopori.Com/Resapan_Biopori.Php
87 Tim Biopori IPB. 2007. Keunggulan Dan Manfaat Lubang Resapan Biopori. [Internet]. [Diunduh pada 20 Oktober 2013]. Tersedia Pada :www.Biopori.com/Resapan_Biopori.Php. U.S. Green Building Council. 2005. LEED Green Building Rating System. Di dalam: Prayogo I, Utomo C, editor. Model pengukuran kinerja sustainable building suatu perspektip pada gedung H kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Surabaya (ID): ITS. Widiantono, Doni J. 2012. Kota Berkelanjutan: Membangun Kota Tanpa Luka [Artikel]. [Internet]. [Diunduh pada 10 Oktober 2013]. Zahnd, Markus. 2008. Model Baru Perancangan Kota yang Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius.
88
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 28 Desember 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Opik Hidayat dan Ibunda Nursih Hidayat. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Gunung Batu 2 Bogor pada tahun 2003 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di SMP Negeri 4 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan di SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2009. Penulis diterima pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2009 atau angkatan ke 46 IPB. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai sekretaris bidang Divisi Informasi dan Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada periode tahun 2011–2012. Penulis pernah menjabat sebagai asiten pada mata kuliah Rekayasa Tapak tahun 2013, asisten Analisis Tapak tahun 2013, dan asisten praktikum pada mata kuliah Pelestarian Lanskap Sejarah dan Budaya tahun 2013.