i
PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR
CHERISH NURUL AINY
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor” adalah benar karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2012
Cherish Nurul Ainy NIM A44080011
i
RINGKASAN CHERISH NURUL AINY. Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan ALINDA FM ZAIN. Kota Bogor merupakan salah satu kota yang dekat dengan ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Hal ini berdampak pada perkembangan pesat yang juga terjadi di Kota Bogor, khususnya pembangunan. Pembangunan pesat terjadi di Kota Bogor di segala sektor termasuk kawasan industri, Central Bussines District (CBD), perumahan, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Jumlah lahan terbuka pun menurun dan meningkatnya lahan terbangun membuat RTH di Kota Bogor semakin sedikit. Hal ini mengakibatkan kenyamanan kota menurun. Kenyamanan dipengaruhi oleh keadaan RTH, hal ini dikarenakan di dalam RTH terdapat vegetasi yang dapat mempengaruhi iklim mikro yaitu sebagai perlindungan yang dapat mengurangi radiasi matahari dan mengurangi temperatur. RTH juga memiliki variasi jenis vegetasi yang berbeda yang dapat diklasifikasi berdasarkan strukturnya yaitu pohon, semak, dan rumput. Ketiganya diduga memiliki kemampuan menciptakan iklim mikro yang berbeda-beda, sehingga diperlukan adanya pengukuran iklim mikro pada ketiga struktur vegetasi tersebut. Penelitian ini terlebih dulu mengidentifikasi keadaan penutupan lahan di Kota Bogor dengan menggunakan software dari Sistem Informasi Geografis yaitu Arc GIS 9.3 dan ERDAS Imagine 9.1. Sehingga dihasilkan peta penutupan lahan Kota Bogor dengan tiga klasifikasi yaitu: RTH, lahan terbangun, dan badan air. Hasil interpretasi peta tersebut menyatakan bahwa penutupan lahan di kota Bogor masih didominasi oleh RTH sebesar 54,76 persen dari luas keseluruhan Kota Bogor, untuk lahan terbangun sebesar 42,21 persen, dan sisanya badan air sebesar 3,03 persen. Hasil akurasi dari peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 dalam penelitian ini bernilai 85,14 persen. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen menurut sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS sehingga peta hasil klasifikasi penutupan lahan sudah dapat digunakan dalam penelitian ini. Peta penutupan lahan yang didapat kemudian di overlay dengan peta penggunaan lahan yang didapat dari Bappeda Kota Bogor, sehingga didapat empat kawasan yang sesuai untuk pengukuran iklim mikro. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada empat land use yaitu industri (PT Unitex), Central Bussines District (Bantarjati), perumahan (Bukit Cimanggu City), dan RTH kota (Kebun Raya Bogor). Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada tiga struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput. Hasil analisis suhu dan kelembaban udara pada setiap land use menyatakan bahwa setiap struktur vegetasi memiliki nilai suhu dan kelembaban udara yang berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini membuktikan bahwa struktur vegetasi yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap iklim mikro. Suhu udara pada rumput cenderung lebih tinggi dibandingkan struktur vegetasi lainnya dan pohon memiliki suhu udara yang paling rendah. Berbanding terbalik dengan suhu udara, kelembaban
ii
udara pada rumput memiliki nilai paling rendah dan pohon memiliki nilai paling tinggi. Sehingga dapat disimpulkan pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif memberikan kenyamanan iklim mikro bagi lingkungan sekitarnya. Selain perbandingan struktur vegetasi setiap land use, dilakukan juga perbandingan struktur vegetasi pada semua land use. Hasil analisis menyatakan bahwa semua struktur vegetasi pada land use yang berbeda memiliki perbedaan suhu dan kelembaban udara yang secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa land use yang berbeda mempunyai suhu dan kelembaban udara yang berbeda-beda tergantung dari karakteristik lingkungan dan jenis vegetasi pada setiap land use. Penilaian kenyamanan pada tiap struktur vegetasi juga dilakukan secara kuantitatif menggunakan Termal Humidity Index (THI). Hasil perhitungan THI menyatakan bahwa struktur vegetasi pohon pada land use RTH kota dapat memberikan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Struktur vegetasi rumput pada kawasan CBD memiliki nilai kenyamanan yang paling rendah. Hasil penelitian menyatakan bahwa pohon mampu mereduksi suhu udara sebesar 0,86-5,15°C lebih besar dibandingkan struktur vegetasi lainnya sehingga penanaman pohon dalam jumlah banyak pada RTH sangat direkomendasikan karena fungsinya sangat efektif dalam ameliorasi iklim. Selain itu, untuk RTH setiap land use direkomendasikan untuk memperhatikan karakteristik lingkungan masing-masing sehingga RTH yang ada lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan tiap land use. Luas RTH pada tiap land use juga harus dipertahankan dan ditingkatkan karena menurut hasil penelitian, semakin luas RTH pada suatu kawasan, iklim mikro yang dihasilkan semakin baik. Kata Kunci: land use, suhu udara, kelembaban udara, struktur vegetasi
iii
PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR
CHERISH NURUL AINY
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
iv
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor : Cherish Nurul Ainy : A44080011
Disetujui oleh
Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
v
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan April hingga Agustus 2012 adalah Pengaruh Ruang Terbuka Hijau terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda FM Zain Msi, selaku pembimbing skripsi dan Dr Syartinilia SP, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rudi Atmoko dari Bukit Cimanggu City, Bapak Ir Sukoco dari PT Unitex, dan Ibu Rinrin dari Kebun Raya Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Afdilla, Alya, Nayaka, Irfan, keluarga, teman-teman ARL 45 (khususnya teman satu bimbingan: Desti, Nefa, Salwa, dan Anggi), teman-teman dari laboraturium Analisis Spasial dan Lingkungan (Kak Reza, Kak Nana, Kak Age, Kak Irham, dan Kak Agus), dan teman-teman Shambala (khususnya Annisa, Evie, Dewi, Icha, Hasti, dan Ory) atas bantuan doa dan semangatnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2012
Cherish Nurul Ainy
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 3 1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3 1.4 Manfaat ........................................................................................................ 3 1.5 Hipotesis....................................................................................................... 4 1.6 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota .............................................................................................................. 6 2.2 Ruang Terbuka Hijau ................................................................................... 7 2.3 Struktur Vegetasi .......................................................................................... 8 2.4 Land Cover dan Land Use ........................................................................... 9 2.5 Iklim Mikro ................................................................................................ 11 2.6 Sistem Informasi Geografis ....................................................................... 13 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................................... 15 3.2 Batasan Penelitian ...................................................................................... 15 3.3 Alat dan Bahan ........................................................................................... 16 3.4 Data Penelitian ........................................................................................... 17 3.5 Pengolahan Data Citra ............................................................................... 17 3.6 Metode Pemilihan Lokasi Pengambilan Data ............................................ 18 3.7 Parameter yang Diukur .............................................................................. 19 3.8 Metode Pengukuran ................................................................................... 19 3.9 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 22 3.10 Penyusunan Rekomendasi ......................................................................... 23
vii
BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR 4.1 Profil Wilayah Kota Bogor ........................................................................ 24 4.2 Kondisi Fisik Lingkungan .......................................................................... 24 4.3 Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor ......................................... 29 4.4 Lokasi dan Titik Pengambilan Data ........................................................... 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 ................................................ 37 5.2 Analisis Iklim Mikro pada setiap Land Use ............................................... 43 5.3 Analisis Iklim Mikro Struktur Vegetasi pada Berbagai Land Use ............ 52 5.4 Analisis Kenyamanan................................................................................. 59 5.5 Rekomendasi RTH pada Land Use ............................................................ 61 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan .................................................................................................... 65 6.2 Saran ........................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67 LAMPIRAN ......................................................................................................... 69
viii
DAFTAR TABEL Halaman 3.1 Kebutuhan alat dan bahan ............................................................................... 16 3.2 Data yang digunakan ...................................................................................... 17 3.3 Hari pengambilan data ................................................................................... 20 4.1 Luas wilayah administratif Kota Bogor menurut kecamatan ......................... 24 4.2 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor menurut kecamatan .............. 26 4.3 Jenis dan intensitas penggunaan lahan di Kota Bogor tahun 2007 ................ 27 4.4 Pemilihan lokasi industri ................................................................................ 31 4.5 Pemilihan lokasi CBD .................................................................................... 32 4.6 Pemilihan lokasi perumahan .......................................................................... 32 4.7 Pemilihan lokasi RTH kota ............................................................................ 32 5.1 Luas Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 ........................................... 39 5.2 Penyebaran penutupan lahan setiap kecamatan di Kota Bogor ..................... 40 5.3 Presentase luasan RTH setiap land use yang sudah dipilih ........................... 41 5.4 Hasil pengukuran THI .................................................................................... 59
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Kerangka pemikiran ........................................................................................ 5 3.1 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor ................................................................... 15 3.2 Seperangkat alat Mini Microclimate Station Heavy Weather ....................... 16 3.3 Contoh hasil akurasi peta pentupan lahan ..................................................... 18 3.4 Alur pemilihan lokasi pengambilan data....................................................... 19 3.5 Bagan pengambilan data ............................................................................... 21 3.6 Hasil tabel anova dalam uji-T ....................................................................... 23 4.1 Suhu udara Kota Bogor pada tahun 2011.................................................. ... 25 4.2 Kelembaban udara Kota Bogor pada tahun 2011.................................. ....... 25 4.3 Peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031............................................ ....... 30 4.4 Peta pemilihan lokasi pengambilan data ....................................................... 33 4.5 Vegetasi pengambilan data industri.......................................................... ... 34 4.6 Vegetasi pengambilan data CBD...................................................... ............ 35 5.1 Contoh lokasi penutupan lahan kelas ruang terbuka hijau ............................ 38 5.2 Contoh lokasi penutupan lahan kelas lahan terbangun ................................. 38 5.3 Contoh lokasi penutupan lahan badan air ..................................................... 39 5.4 Peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 .............................................. 42 5.5 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan industri ..................................... 44 5.6 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD ......................................... 46 5.7 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan perumahan ............................... 48 5.8 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan RTH kota ................................. 50 5.9 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon ................................ 53 5.10 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan semak ................................ 56 5.11 Suhu dan kelembaban udara di atas rumput .................................................. 58
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta lokasi kawasan industri............................................................................. 70 2 Peta lokasi kawasan CBD................................................................................. 71 3 Peta lokasi kawasan perumahan....................................................................... 72 4 Peta lokasi kawasan RTH Kota........................................................................ 73 5 Hasil akurasi Peta Landsat 7 ETM+................................................................. 74 6 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan industri........................................ 75 7 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan CBD............................................ 76 8 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan perumahan.................................. 77 9 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan RTH Kota................................... 78 10 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada PT Unitex.... 79 11 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada CBD Bantarjati........................................................................................................... 80 12 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada perumahan Bukit Cimanggu City........................................................................................ 81 13 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada Kebun Raya Bogor................................................................................................................. 82 14 Hasil uji anova-one way hubungan antar pohon pada empat kawasan............ 83 15 Hasil uji anova-one way hubungan antar semak pada empat kawasan............ 84 16 Hasil uji anova-one way hubungan antar rumput pada empat kawasan........... 85
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor secara regional mempunyai keterkaitan erat dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan di Pulau Jawa bahkan di Indonesia. Hal ini menyebabkan Kota Bogor memiliki perkembangan yang pesat sehingga terjadinya penurunan lahan terbuka dan meningkatnya lahan terbangun. Hasil sensus penduduk pada tahun 2010 menyatakan jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950.334 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki presentasi distribusi penduduk tertinggi di Jawa Barat sebesar 11,8 persen (BPS 2010). Hasil penelitian Karl et al (1988) dalam Effendi (2007) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1°C setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Lahan terbuka dikonversi menjadi lahan terbangun untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Penurunan proporsi RTH di Kota Bogor mencapai 9 persen dalam periode tahun 1992-2005 (Agrissantika et al 2007 dalam Effendi 2007). Hal ini menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang drastis apalagi dengan adanya peningkatan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh perkembangan kota sehingga menyebabkan pemanasan global. Salah satu solusi untuk meminimalisir penurunan kualitas lingkungan adalah dengan meningkatkan ketersediaan dan efektifitas dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai penyeimbang ekosistem kota baik itu sistem hidrologi, klimatologi, keanekaragaman hayati, maupun sistem ekologi lainnya, bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat (quality of life, human well being) (Joga dan Ismaun 2011). RTH sebaiknya didominasi oleh vegetasi karena menurut Irwan (1992), vegetasi sebenarnya makhluk yang paling menentukan dalam ekosistem karena mempunyai peranan sebagai berikut: sebagai pengubah terbesar dari lingkungan karena mempunyai fungsi sebagai perlindungan sehingga dapat mengurangi
2
radiasi matahari, mengurangi temperatur, sebagai pengikat energi untuk seluruh ekosistem, dan sebagai sumber hara mineral. Perubahan iklim mikro yang disebabkan oleh konversi lahan dapat diminimalisir dengan memberi vegetasi yang sesuai pada setiap peruntukan lahan, sehingga fungsi dari RTH dapat tetap dipertahankan. Peruntukan lahan (land use) berhubungan dengan kumpulan aktivitas manusia yang berada pada sebidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1979). Salah satu penyebab yang paling penting dari perubahan iklim adalah perubahan land use. Para ahli percaya bahwa perubahan land use akan menyebabkan dampak perubahan iklim yang lebih kuat dibandingkan dengan polusi yang menyebabkan pemanasan global (Tursilowati 2007). Saat ini RTH kota sudah banyak diubah menjadi berbagai land use untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk kota seperti perumahan, kawasan industri, dan Central Bussiness District (CBD) sehingga menyebabkan pengaruh RTH terhadap iklim mikro berbeda-beda. RTH umumnya terdiri dari vegetasi dengan berbagai struktur seperti pohon, semak, dan rumput. Ketiga struktur tersebut diduga mempunyai pengaruh yang berbeda-beda dalam ameliorasi iklim mikro dan memberikan kenyamanan bagi warga kota. Sehingga perlu dilakukan pengukuran agar dapat dianalisis perbedaan iklim mikro yang dihasilkan dan faktor penyebabnya untuk dapat menciptakan RTH yang lebih baik pada land use perkotaan. Menurut Robinette (1981) dalam Dahlan (2004), lingkungan perkotaan sangat perlu disejuk-nyamankan karena suhu dan kelembaban udara akan mempengaruhi kekuatan fisik, aktivitas, dan mental seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang adanya perbedaan iklim mikro pada struktur vegetasi yang berbeda pada land use yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mengidentifikasi penutupan lahan Kota Bogor dan pengambilan data primer untuk mengukur iklim mikro pada setiap struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) menggunakan alat Heavy Weather Mini Microclimate Station. Selain itu, digunakan uji statistik dan analisis nilai Temperature Humidity Index (THI) pada data agar diketahui perbedaan iklim mikro yang dihasilkan oleh struktur vegetasi yang berbeda pada land use yang berbeda dan pengaruhnya terhadap kenyamanan user.
3
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut 1. Bagaimana kondisi penutupan lahan Kota Bogor saat ini? 2. Apakah struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada land use yang berbeda menghasilkan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) yang berbeda? 3. Bagaimana pengaruh iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada land use yang berbeda terhadap kenyamanan warga kota?
1.3 Tujuan Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi penutupan lahan di kawasan kota Bogor dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). 2. Menganalisis perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) struktur vegetasi yang berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). 3. Menganalisis pengaruh iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi yang berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) terhadap kenyamanan user.
1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan mengenai pentingnya memperbaiki kualitas iklim mikro dengan meningkatkan kualitas RTH perkotaan sehingga dapat meminimalisir penurunan kualitas lingkungan dan meningkatkan kenyamanan warga kota. Rekomendasi yang disusun berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan atau rekomendasi kepada pemerintah daerah setempat.
4
1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1. Terdapat perbedaan secara nyata iklim mikro (suhu dan kelembaban) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use. 2. Terdapat perbedaan secara nyata iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) struktur vegetasi
yang sama (pohon dengan pohon, semak
dengan semak, dan rumput dengan rumput) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, RTH kota).
1.6 Kerangka Pemikiran Data citra Kota Bogor dianalisis menggunakan SIG sehingga menghasilkan peta land cover. Setelah itu peta land cover di-overlay dengan peta land use Kota Bogor yang didapat dari peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031, sehingga didapat kawasan yang sesuai untuk dilakukan pengukuran iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) berdasarkan luasan RTH-nya. RTH di dalamnya terdapat struktur vegetasi dari tingkat rumput, semak, dan pohon. Data hasil pengukuran kemudian dianalisis menggunakan uji statistik dan dianalisis faktor-faktor penyebab berbedanya suhu dan kelembaban udara pada setiap struktur vegetasi pada land use yang berbeda menggunakan alat Heavy Weather Mini Microclimate Station. Selain itu, digunakan analisis nilai Temperature Humidity Index (THI) untuk mengetahui tingkat kenyamanan di setiap land use. Faktor-faktor penyebab perbedaan iklim mikroi di setiap land use dapat diketahui dari hasil analisis. Hasil analisis kemudian menghasilkan kesimpulan yang dijadikan dasar untuk menyusun rekomendasi.
5
Kota Bogor
Land cover
Analisis Data Citra Menggunakan SIG
Land use
RTH Kota
Perumahan
Industri
CBD
Pohon Semak Rumput
Pohon Semak Rumput
Pohon Semak Rumput
Pohon Semak Rumput
Pengukuran Iklim Mikro RTH (Suhu, RH, Kecepatan Angin)
Alat Heavy Weather
Data Analisis Faktor-faktor Penyebab Perbedaan Iklim Mikro tiap Land Use pada Struktur Vegetasi yang Berbeda
Rekomendasi RTH
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kota Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota-kota ibukota kabupaten atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008). Menurut Fandheli dan Muhammad (2009), pada saat ini hampir di setiap kota besar, telah ditemukan pulau-pulau panas (heat island) dengan suhu yang tinggi yang terdapat di beberapa bagian wilayah kota. Dampak lain akibat pembangunan adalah tata lanskap yang tidak teratur sehingga mengganggu tingkat kenyamanan seseorang yang berada di tempat itu. Keberadaan vegetasi pada Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dapat mempengaruhi kondisi atmosfer setempat, karena vegetasi pohon mampu menurunkan suhu, menaikkan kelembaban, dan mengurangi kecepatan angin. Keberadaan sekelompok pepohonan yang berkerapatan tinggi dapat mengkonservasi lingkungan dengan mengurangi temperatur yang tinggi di siang hari. Sementara itu, pada malam hari, pepohonan berperan sebagai penahan panas, sehingga suhu udara di bawah tajuk lebih hangat dibandingkan suhu udara di atas lahan terbuka (tanpa pohon). Daerah yang tertutup tegakan pohon akan mempunyai kelembaban yang relatif tinggi sedangkan keadaan tanahnya kering (pasir, kerikil, dan sejenisnya) cenderung untuk menimbulkan suhu yang tinggi dan kelembaban yang lebih rendah.
7
2.2 Ruang Terbuka Hijau Menurut Irwan (1992), dalam rangka memenuhi kebutuhan di perkotaan terutama untuk pemukiman, seringkali lahan hijau menjadi korban, bahkan sekarang sudah meliputi daerah sekitarnya atau daerah batas kota. Sekarang banyak bekas tegalan atau kebun-kebun sudah berubah menjadi bangunan. Tambahan lagi pada umumnya pelaksanaan penghijauan di perkotaan kurang memperhatikan
keanekaragaman.
Sebaliknya
keberadaan
gas-gas
seperti
karbondioksida dan lainnya semakin meningkat terutama karena peningkatan kendaraan bermotor dan industri. Hasil sidang lingkungan hidup sedunia di Jepang, November 1991 menyatakan bahwa kendaraan bermotor sebagai penghasil CO2 adalah penyebab utama kenaikan suhu di dunia. Tumbuhan
hijau
mengambil
CO2
untuk
proses
fotosintesis
dan
mengeluarkan C6H12O6 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di samping itu berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau, dapat memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Fungsi dan peranan penghijauan perkotaan, antara lain 1. Sebagai
paru-paru
kota,
tanaman
sebagai
elemen
hijau,
pada
pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan. 2. Sebagai pengatur lingkungan (mikro), vegetasi akan menimbulkan hawa lingkungan setempat sejuk, nyaman, dan segar. 3. Pencipta lingkungan hidup (ekologis), penghijauan dapat menciptakan ruang hidup bagi makhluk hidup di alam. 4. Penyetimbangan alam (adaphis), merupakan pembentukan tempat-tempat hidup alam bagi satwa yang hidup di sekitarnya. 5. Perlindungan (protektif), terhadap kondisi fisik alami sekitarnya, (angin kencang, terik matahari, gas atau debu-debu). 6. Keindahan (estetika), dengan terdapatnya unsur-unsur penghijauan yang direncanakan secara baik dan menyeluruh menambah keindahan kota. 7. Kesehatan (hygine), misalnya untuk terapi mata.
8
8. Rekreasi dan pendidikan (edukatif), jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah. 9. Sosial politik ekonomi.
2.3 Struktur Vegetasi 2.3.1 Pohon Pohon memiliki berbagai manfaat yaitu: pertama, pohon dapat menyediakan oksigen bagi manusia. Selain itu, pohon juga dapat menyegarkan persediaan udara kita dengan menyerap karbon dioksida yang kita hembuskan dan yang pabrik dan mesin hasilkan. Kedua, pohon dapat mengambil karbon dioksida. Ketiga, pohon dapat mereduksi polusi suara dengan berfungsi sebagai pelindung dari bising. Keempat, pohon menangkap partikel polusi udara dan menyerap sebagian, beberapa dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk tumbuh. Kelima, pohon mengubah iklim mikro pada tapak dimana mereka tumbuh. Ketika suhu udara sebesar 29⁰C, suhu udara di atas permukaan jalan mungkin akan setinggi 42⁰C, tetapi di jalan yang banyak pohonnya, suhu udara permukaan hanya 31⁰C. Keenam, pohon mempunyai nilai estetik bagi lingkungan sekitar dan yang terakhir, pohon meningkatkan kualitas ruang terbuka hijau kota, membuatnya makin menarik bagi manusia dan membantu menciptakan komunitas yang kuat (Harman et al. 2000). 2.3.2 Semak Semak adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Semak belukar dapat dimanfaatkan sebagai penghijauan rendah yang dapat dibentuk-bentuk dengan memotong tangkainya atau sebagai pagar hijau (Frick dan Suskiyanto 2007). Semak pada umumnya digunakan untuk menambah keindahan pada tapak karena semak memiliki bunga, warna, dan bentuk daun yang beraneka ragam. Semak digunakan untuk memperkaya struktur dari taman agar tidak terkesan monoton, selain itu semak juga dapat digunakan untuk mengalihkan angin dan berperan dalam ameliorasi iklim mikro setempat. 2.3.3 Rumput Rumput merupakan struktur vegetasi yang biasa digunakan sebagai penutup permukaan tanah. Menurut Emmons (2000) dalam Ayuningtyas (2007), rumput
9
paetan memiliki daun lebar, berstolon, dan membetuk lapisan rumput yang padat. Rumput paetan sangat cocok untuk area dengan pemeliharaan minimum dan basah serta drainase buruk. Biasanya digunakan di pinggir jalan atau di daerah miring sebagai tanaman pengontrol erosi. Selain itu, penggunaan rumput pada tapak juga dimanfaatkan sebagai pereduksi suhu.
2.4 Land Cover dan Land Use Land cover dapat didefinisikan sebagai tempat biofisik dari permukaan bumi dan dekat dengan sub permukaan, termasuk biota, tanah, topografi, permukaan air, air tanah, dan struktur buatan manusia. Dalam pengertian lain, land cover menjelaskan campuran dari alam dan tutupan lahan buatan manusia pada permukaan bumi. Land use dapat diartikan sebagai penggunaan lahan oleh manusia. Land use melibatkan campuran dari sikap dimana atribut biofisik dari lahan dimanipulasi dan tujuan dari penggunaan dari lahan tersebut (Turner dkk 1995 dalam Weng 2010). Hubungan antara land use dan land cover tidak selalu langsung dan nyata (Weng 1999 dalam Weng 2010). Satu kelas dari land cover dapat mendukung berbagai penggunaan, dimana satu land use bisa saja ada termasuk pengelolaan dari beberapa land cover yang berbeda (Weng 2010). Berikut beberapa land use yang dominan di perkotaan yaitu industri, perumahan, CBD, dan RTH kota. 2.4.1 Industri Dalam buku Dirdjojuwono (2004), menurut National Industrial Zoning Comittee’s USA 1967, yang dimaksud dengan Kawasan Industri atau Industrial Estate atau sering juga disebut Industrial Park adalah sebuah kawasan industri di atas tanah yang cukup luas, yang secara administrasi dikontrol oleh seorang atau sebuah lembaga yang cocok untuk kegiatan industri karena lokasinya, topografinya, zoning yang tepat, ketersediaan semua infrastrukturnya (utilitas), dan kemudahan aksesibilitas transportasi. Definisi lain, menurut Industrial Development Handbook dari ULI-the Urban Land Institute, Washington D.C. (1975), kawasan industri adalah suatu daerah atau kawasan yang biasanya didominasi oleh aktivitas industri. Kawasan industri biasanya mempunyai fasilitas kombinasi yang terdiri atas peralatan-
10
peralatan pabrik (industrial plants), penelitian dan laboraturium pengembangan, bangunan perkantoran, bank, serta prasarana lainnya seperti fasilitas sosial dan umum yang mencakup perkantoran, perumahan, sekolah, tempat ibadah, ruang terbuka dan lainnya. Di Indonesia, kawasan industri dapat mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1996. Menurut Keppres tersebut, yang dimaksud dengan kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Dengan demikian ciri-ciri dari kawasan industri adalah 1.
lahan sudah dilengkapi sarana dan prasarana,
2.
ada suatu badan (manajemen) pengelola yang memiliki izin usaha kawasan industri,
3.
biasanya diisi oleh industri manufaktur (pengolahan beragam jenis).
2.4.2 Perumahan Iklim mikro adalah salah satu aspek yang harus dipertimbangkan ketika membuat solusi desain yang memperhatikan proses alam. Persaingan bagi desainer pemukiman yaitu untuk menyadari dan memahami iklim mikro yang berbeda-beda sehingga desain dapat cocok untuk iklim mikro yang ada pada tapak. Setiap tapak mempunyai ciri-ciri iklim mikronya masing-masing yang dihasilkan dari kondisi tapak secara khusus termasuk orientasi tapak, lokasi rumah, orientasi rumah, ukuran rumah, topografi, pola drainase, jumlah, dan lokasi dari tumbuhan eksisting, area, dan lokasi dari material tanah termasuk pavement (Booth NK dan Hiss JE 2004). 2.4.3 Central Bussines District (CBD) Pengertian dari CBD adalah penggunaan lahan yang berfungsi dalam revitalisasi pusat keramaian kota dan memandu perluasan dan pengembangannya, serta mengelola posisinya sebagai pusat perbelanjaan yang dominan. CBD juga berfungsi untuk menyediakan tempat perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota dengan menyediakan fasilitas perbelanjaan. CBD diharapkan dapat mendorong perencanaan pengembangan kawasan komersial yang berintegrasi
11
sehingga dapat terlihat bagus, berfungsi secara baik, dan tidak menimbulkan konflik lalu-lintas. Selain itu, CBD dapat menciptakan grup yang terdiri dari penggunaan komersial yang berhubungan atau bergantung pada lalu-lintas jalan raya (Eckbo 1964). 2.4.4 Ruang Terbuka Hijau Kota Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (DPU 2005). Menurut Dahlan (2004), salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan daya dukung lingkungan hidup di perkotaan adalah dengan mencipta-wujudkan kota di dalam hutan dan taman dengan menggunakan pendekatan Ilmu Hutan Kota. Definisi Hutan Kota menurut Rapat Teknis Departemen Kehutanan Tahun 1991: “Suatu lahan bertumbuhkan pepohonan di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pepohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai Hutan Kota.
2.5 Iklim Mikro Iklim atau cuaca rata-rata terutama merupakan fungsi matahari. Kata “climate” berasal dari bahasa Yunani “klima”, yang berarti kemiringan bumi yang respek terhadap matahari. Orang Yunani yakin bahwa iklim merupakan fungsi garis lintang matahari sehingga mereka membagi dunia dalam zona tropis, sejuk, dan dingin. Atmosfer adalah mesin pemanas raksasa berbahan bakar matahari. Karena atmosfir transparan terhadap energi surya, pemanasan udara terutama terjadi di permukaan bumi. Begitu udara menjadi panas, ia akan naik dan menyebabkan tekanan rendah di daratan. Sebaliknya, begitu permukaan bumi
12
tidak sama menerima panas, akan terjadi tekanan relatif rendah atau tinggi dibarengi hembusan angin dan konsekuensinya. Di kota-kota besar, penggabungan semua efek struktur buatan manusia mengahasilkan perbedaan iklim yang signifikan dengan daerah pinggir kota sekelilingnya. Suhu rata-rata tahunan biasanya akan menunjukkan sekitar 1,5oF lebih hangat, sementara suhu minimum sekitar 3oF lebih tinggi. Dalam musim panas, kota-kota dapat menjadi 7oF lebih hangat dibandingkan dengan wilayah perdesaan sehingga dikenal dengan Heat Island. Namun, radiasi matahari akan lebih rendah sekitar 20 persen karena pengotoran udara dan kelembaban relatif berkurang sekitar 6 persen, sebab jumlah tanaman berkurang. Meski seluruh kecepatan angin berkurang sekitar 25 angin lebih rendah, kecepatan angin lokal yang sangat tinggi, seringkali terjadi di lorong-lorong kota (Lechner 2007). 2.5.1 Suhu Udara Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam derajat fahrenheit (oF). o
C = 5/9 (oF-32o)
o
F = 9/5 (oC)
Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain: 1.
Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim.
2.
Pengaruh daratan atau lautan.
3.
Pengaruh ketinggian tempat. Tentang hal ini, Braak memberikan rumusan sebagai berikut: makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, maka suhu akan semakin rendah. to = (26-0,61 h) oC
4.
Pengaruh angin secara tidak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal.
5.
Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer.
6.
Penutup tanah, yaitu tanah yang ditutupi vegetasi yang mempunyai temperatur yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi.
7.
Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi.
13
8.
Pengaruh sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring (Kartasapoetra 2004).
2.5.2 Kelembaban Udara Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah seperti: 1.
Kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara, yang dinyatakan dalam gram/m3.
2.
Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara, yang dinyatakan dalam gram/kilogram.
3.
Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu, yang dinyatakan dalam persen. Angka kelembaban relatif dari 0-100 persen, dimana 0 persen artinya udara kering, sedangkan 100 persen artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air. Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada
umumnya, kelembaban tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan terendah pada lintang 40o. Daerah rendah ini disebut horse latitude, curah hujannya kecil. Massa udara bergerak dari maksimum ke minimum, perpindahan akan menyebabkan kekosongan di daerah maksimum. Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia, kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Besarnya kelembaban di suatu tempat pada suatu musim erat hubungannya dengan perkembangan organisme terutama jamur dari penyakit tumbuhan, misalnya penyakit blister blight. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan yang dikenal dengan exobasidium hexans, dan menyerang RH (relative humidity/kelembaban) selama 3 hari berturut-turut 85 persen. Disamping itu, RH dipengaruhi pula oleh adanya pohon pelindung, terutama apabila pohonnya rapat (Kartasapoetra 2004).
2.6 Sistem Informasi Geografis Menurut Skidmore (2002), teknologi Geographic Information System (GIS) telah dikembangkan sebagai alat yang mengorganisasi, menyimpan, menganalisis,
14
dan menampilkan data spasial. Secara umum GIS atau dikenal pula dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan informasinya tentang peta tersebut
(data
atribut)
yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah,
memanipulasi, analisa, memperagakan, dan menampilkan data spasial untuk menyelesaikan perencanaan, mengolah, dan meneliti permasalahan. SIG membutuhkan masukan data yang bersifat spasial maupun deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara lain adalah: 1.
Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah, dsb.). Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan. Pada umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin, dsb. Peta analog dikonversi menjadi peta digital dengan berbagai cara. Referensi spasial dari peta analog memberikan koordinat sebenarnya di permukaan bumi pada peta digital yang dihasilkan. Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor.
2.
Data dari sistem Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto-udara, dsb.) Data Penginderaan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara berkala. Dengan adanya bermacammacam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa menerima berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format raster.
3.
Data hasil pengukuran lapangan. Contoh data hasil pengukuran lapang adalah data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak pengusahaan hutan, dsb., yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan tersendiri. Pada umumnya data ini merupakan sumber data atribut.
4.
Data Global Positioning System (GPS). Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor (Punthadewo dkk 2003 dalam Rustiadi dkk 2009).
15
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Jawa Barat (Gambar 1). Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak ±56 km sebelah selatan Jakarta dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kota Bogor dipilih sebagai lokasi penelitian karena Kota Bogor berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dan secara regional mempunyai keterkaitan sangat erat dengan Provinsi DKI Jakarta sehingga dimungkinkan akan terjadi pembangunan secara pesat dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan semakin sempit. Waktu pelaksanaan penelitian ini dari persiapan hingga penyusunan skripsi dari bulan April hingga Agustus 2012.
Gambar 3.1 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor (sumber: www.google.com/images)
3.2 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada: a. Interpretasi klasifikasi penutupan lahan dari citra Kota Bogor dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ dan diolah dengan menggunakan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG).
16
b. Pengukuran iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang terdapat pada setiap land use yang dipilih (industri, CBD, perumahan, dan RTH Kota).
3.3 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Kebutuhan alat dan bahan Alat Heavy Weather ws2355 Kamera Digital GPS Software ArcGis 9.3 Software Ms Excel Software SPSS 17 Software ERDAS Imagine 9.1 Software Heavy Weather Bahan Data Citra Kota Bogor Peta Kota Bogor Bahan Pustaka
Kegunaan Mengukur iklim mikro Pengambilan gambar sampel Penitikan sampel Mengolah data citra Mengolah data pengukuran Mengolah hasil pengukuran Mengolah datacitra Mengolah data pengukuran Kegunaan Menghasilkan peta landuse dan landcover Referensi Studi literatur, menghasilkan rekomendasi
Alat pengukur suhu dan kelembaban
Suhu Udara (°C) Tripod untuk meletakkan alat
RH (%)
Layar untuk menampilkan iklim mikro
Gambar 3.2 Seperangkat alat Mini Microclimate Station Heavy Weather tipe WS2355
17
3.4 Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung diambil oleh peneliti di lokasi penelitian sedangkan data sekunder adalah data yang diambil dari sumber-sumber literatur yang membantu peneliti dalam mengolah data. Tabel 3.2 Data yang digunakan No
Data
1
Kondisi Umum Kota Bogor
2 3 4
Data Citra Kota Bogor RTRW Kota Bogor Peta Administrasi Kota Bogor
5
Vegetasi
6
Iklim
Sejarah Letak, luas, aksesibilitas Klimatologi Topografi Tata guna lahan
Nama spesies Tinggi Tanaman Foto Suhu Udara Kelembaban Udara Kecepatan Angin
Jenis Data
Sumber Data
Sekunder
Bappeda Bogor
Sekunder Sekunder Sekunder
Data Satelit Bappeda Bogor Bappeda Bogor
Primer
Survey Lapang
Primer
Survey Lapang
Sekunder
BMKG
3.5 Pengolahan Data Citra Data citra yang didapat perlu diolah kembali dengan menggunakan software Arc GIS 9.3 dan ERDAS 9.1 Imagine untuk mendapatkan peta penutupan lahan. Analisis citra secara agenda dapat dikelompokkan atas (Lillesand dan Kiefer 1979):
Pemulihan Citra (Image Restoration) Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra LANDSAT 7
ETM+ pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 path/row 122/65. Data tersebut memiliki gap (data yang hilang) dikarenakan satelit LANDSAT 7 ETM+ mengalami kerusakan. Sehingga data tersebut perlu diperbaiki dengan menggunakan software IDL 7.0, software tersebut dapat memperbaiki data yang hilang dengan menggabungkannya dengan data citra sebelumnya.
Penajaman Citra (Image Enhancement) Setelah dilakukan pemulihan citra, citra yang telah diperbaiki kemudian
dilakukan subset image (dipotong) sesuai dengan batas administrasi Kota Bogor yang didapat dari digitasi peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 menggunakan
18
software Arc Gis 9.3. Setelah itu dilakukan penajaman citra menggunakan software ERDAS Imagine 9.1 dengan memperbaiki histogram warna dari data citra.
Klasifikasi Citra (Image Classification) Setelah dilakukan pemulihan dan penajaman citra data sudah siap
digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan. Teknik klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Setelah membuat peta penutupan lahan, dilakukan penilaian akurasi pada peta. Pada penelitian ini tipe penilaian akurasi yang digunakan adalah dengan pengecekan lapang dengan GPS sehingga menghasilkan Ground Control Point (GCP). GCP kemudian dimasukkan kedalam software ERDAS Imagine 9.1 dan dengan menggunakan tools accuracy assesment yang dapat menghasilkan nilai akurasi. Menurut USGS (U.S. Geographical Survey), minimal nilai akurasi peta adalah 85 persen (Lillesand and Kiefer 1979). Dapat dilihat pada gambar 3.3 untuk melihat nilai akurasi yang dihasilkan dari software ERDAS Imagine 9.1.
Nilai akurasi peta
Gambar 3.3 Contoh hasil akurasi peta pentupan lahan 3.6 Metode Pemilihan Lokasi Pengambilan Data Lokasi pengambilan data dilakukan pada empat land use yang dominan pada kawasan kota (urban) yaitu industri, Central Bussines District (CBD), perumahan, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota untuk dapat mengetahui perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada setiap land use. Pemilihan lokasi pengambilan data pada penelitian ini dengan mengambil tiga kawasan terbesar tiap land use di Kota Bogor dengan batasan kawasan setiap kelurahan berdasarkan digitasi peta penggunaan lahan pada peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031. Semakin besar kawasan, pengaruh iklim dari kawasan
19
lain dapat diminimalisir sehingga data yang diambil merupakan data representatif iklim mikro pada setiap penggunaan lahan yang berbeda. Kemudian dilakukan overlay dengan peta penutupan lahan yang didapat dari pengolahan data citra Landsat 7 ETM+ sehingga diketahui luasan RTH pada masing-masing kawasan. Selanjutnya luas RTH pada tiga kawasan terbesar dari tiap land use dirata-rata dan luas RTH yang paling mendekati rata-rata yang dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena diasumsikan kawasan yang dipilih memiliki luasan RTH yang representatif untuk setiap jenis penggunaan lahan yang berbeda. Peta pemilihan lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 3.9. Tiga kawasan terbesar
Luas RTH setiap kawasan
Luas RTH yang paling mendekati rata-rata
Peta Penggunaan Lahan
Peta Penutupan Lahan
4 lokasi pengambilan data setiap land use berbeda
Gambar 3.4 Alur pemilihan lokasi pengambilan data
3.7 Parameter yang Diukur Parameter yang diukur pada setiap struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada masing-masing land use meliputi unsur-unsur iklim mikro yaitu:
Suhu
Relative Humidity (RH)
3.8 Metode Pengukuran Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada struktur vegetasi yag berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Untuk mengukur iklim mikro yang akurat, alat diletakkan ±1,5 meter di atas permukaan tanah dikarenakan menurut Frick H dan Suskiyanto FXB (2007) iklim mikro merupakan iklim di lapisan udara dekat permukaan bumi dengan tinggi ±2 meter. Pengambilan data diambil selama 30 menit pada setiap struktur vegetasi pada pukul 12.30-13.00 WIB, dilakukan hanya pada saat cuaca cerah. Waktu tersebut dipilih karena merupakan waktu ketika radiasi matahari paling maksimal dan merupakan waktu
20
puncak dari aktivitas manusia sehingga kenyamanan pada waktu tersebut perlu diketahui. Tabel hari pengambilan data dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.3 Hari pengambilan data No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tanggal 22 Juni 2012 23 Juni 2012 24 Juni 2012 25 Juni 2012 26 Juni 2012 05 Juli 2012 07 Juli 2012 08 Juli 2012 09 Juli 2012 19 Juli 2012 20 Juli 2012 23 Juli 2012
Kawasan CBD CBD CBD Perumahan Perumahan Perumahan RTH Kota RTH Kota RTH Kota Industri Industri Industri
Lokasi Bantarjati Bantarjati Bantarjati BCC BCC BCC KRB KRB KRB PT Unitex PT Unitex PT Unitex
Ulangan ke1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Pengambilan data dilakukan pada empat tipe land use yang berbeda yaitu industri, CBD, perumahan, dan RTH kota. Pada satu hari data yang diambil adalah data suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, senak, dan rumput. Alat diletakkan di bawah naungan pohon, di bawah naungan semak, dan di atas rumput dan dilakukan pengukuran pada waktu yang sama yaitu pada pukul 12.30-13.00 atau selama 30 menit. Pencatatan data dilakukan per menit sehingga data yang dihasilkan adalah 30 data setiap variabel (suhu dan kelembaban udara) pada tiga struktur vegetasi yang berbeda. Sehingga dalam sehari data yang dihasilkan adalah 180 data: 90 data suhu udara pada struktur vegetasi yang berbeda (30 data suhu udara pada naungan pohon, 30 data suhu udara pada naungan semak, dan 30 data suhu udara di atas rumput) dan 90 data kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda (30 data kelembaban udara pada naungan pohon, 30 data kelembaban udara pada naungan semak, dan 30 data kelembaban udara di atas rumput). Setiap land use diambil datanya selama tiga hari sebagai ulangan. Bagan pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 3.5.
21
Gambar 3.5 Bagan pengambilan data
22
3.9 Pengolahan dan Analisis Data Setelah data iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara didapat, kemudian data ditabulasi dan dibuat grafik. Data yang sudah ada juga dianalisis secara statistik dengan menggunakan SPSS dengan teknik uji-T sehingga dapat diketahui perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda pada setiap land use secara nyata atau tidak. Berdasarkan hal tersebut di dalam melakukan uji-T digunakan hipotesis statistik, yaitu Kasus 1 : mengetahui perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput. Sehingga dihasilkan hipotesis sebagai berikut: H0
: tidak ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput.
H1
: ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput.
Kasus 2 : mengetahui perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara struktur vegetasi yang sama (contoh: pohon dengan pohon) pada semua land use. Sehingga dihasilkan hipotesis sebagai berikut: H0 : tidak ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda H1 : ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda Kriteria keputusan, jika : F hitung < F tabel maka H0 diterima F hitung > F tabel maka H0 ditolak dengan taraf nyata sebesar 0,05 Uji-T dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi dan land use yang ada sehingga dapat diketahui bahwa setiap struktur vegetasi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Uji-T ini dilakukan menggunakan software SPSS Statistics 17.0 dengan menggunakan One-Way ANOVA, kegunaan utama teknik ini ialah untuk menguji hipotesis yang membuktikan rata-rata sama atau tidak (Sarwono 2009).
23
F hitung > F tabel, sehingga tolak H0 Taraf nyata ≤ 0,050
Gambar 3.6 Hasil tabel anova dalam uji-T Selain dilakukan uji statistik pada data hasil pengukuran, perlu diketahui tingkat kenyamanan dari iklim mikro yang ada. Fandeli dan Muhammad (2009) menyatakan, untuk memperoleh tingkat kenyamanan secara kuantitatif biasanya digunakan angka Temperature Humidity Index (THI). Satu diantara rumus yang dipakai untuk mengetahui tingkat kenyamanan yang dipakai oleh Nieuwolt sebagai berikut:
Dimana
THI
adalah
Temperature
Humidity
Index
atau
angka
ketidaknyamanan, T adalah suhu udara (°C), RH adalah kelembaban relatif (%). Pada daerah tropis seperti Indonesia, nilai THI di atas 27 orang sudah merasakan tidak nyaman.
3.10 Penyusunan Rekomendasi Penelitian ini menghasilkan hasil analisis perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) dan pengaruhnya terhadap kenyamanan warga kota. Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menyusun rekomendasi sehingga dapat dihasilkan rekomendasi untuk menciptakan RTH yang lebih baik pada setiap land use.
24
BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR
4.1 Profil Wilayah Kota Bogor Kota Bogor secara geografis terletak pada 106o 48’ Bujur Timur dan 6o 36’ Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari ibukota Jakarta. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11.850 Ha. Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan Utara
: Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.
Barat
: Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Selatan
: Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.
Timur
: Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Tabel 4.1 Luas wilayah administratif Kota Bogor menurut kecamatan No
Kecamatan
Luas (Ha)
%
1
Bogor Utara
1,772
14,95
2
Bogor Barat
3,285
27,72
3
Bogor Timur
1,015
8,57
4
Bogor Selatan
3,081
26,00
5
Bogor Tengah
812
6,86
6
Tanah Sereal
1,884
15,90
Jumlah 11,85 100,00 Sumber : Bappeda Kota Bogor, Tahun 2008
4.2 Kondisi Fisik Lingkungan 4.2.1 Topografi dan Kelerengan Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar dan berbukit (antara 100 mdpl sampai dengan >300 mdpl). Kemiringan lereng di Kota Bogor sebagian besar berada pada klasifikasi datar dan landai (15 persen)
25
seluas 9.855,21 Ha atau 83,17 persen dan seluas 1.109,89 Ha atau sekitar 9,35 persen berada pada klasifikasi lahan agak curam (15-25 persen). Lahan yang berada pada klasifikasi curam dan sangat curam (25 persen) hanya seluas 884,9 Ha atau sekitar 7,45 persen. Kondisi topografi dan kemiringan lereng tersebut menjadikan Kota Bogor memiliki variasi pola/tema pengembangan dalam pemanfaatan ruangnya, pada beberapa lokasi memiliki pemandangan (view) yang indah (ke arah Gunung Salak dan Gunung Pangrango) dan udara yang sejuk. Kondisi
topografi
dan
kemiringan
lereng
ini
menjadi
potensi
dalam
pengembangan Kota Bogor. 4.2.2 Iklim Pada tahun 2011, suhu rata-rata Kota Bogor dalam satu tahun adalah 25,7⁰C. Sedangkan untuk rata-rata kelembaban udara Kota Bogor dalam satu tahun adalah 80 persen. Berikut grafik data suhu dan kelembaban udara dalam tahun 2011. Suhu Udara (⁰C)
26,5 26,0 25,5 Suhu Rata Rata
25,0 24,5 J
F
M
A
M
J J Bulan
A
S
O
N
D
Gambar 4.1 Suhu udara Kota Bogor pada tahun 2011 (Sumber: BMKG Darmaga, Bogor) 90 85 RH (%)
80 75
Kelembaba n Rata Rata
70 65 J
F M A M
J J A Bulan
S O N D
Gambar 4.2 Kelembaban udara Kota Bogor pada tahun 2011 (Sumber: BMKG Darmaga Bogor)
26
4.2.3 Geologi Struktur geologi Kota Bogor terdiri dari aliran andesit, kipas aluvial, endapan, tufa, dan lanau breksi tufan dan capili. Secara umum, Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan, yang tentunya baik untuk vegetasi. 4.2.4 Penduduk Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2007 adalah 905.132 jiwa dengan luas wilayah 118,50 km2 atau 11.850 Ha kepadatan penduduk Kota Bogor tahun 2007 adalah 7.638 jiwa/ km2 atau 76,38 jiwa/Ha. Kepadatan ini merupakan kepadatan bruto dimana luas wilayah yang dihitung adalah seluruh wilayah Kota Bogor baik kawasan terbangun maupun yang non terbangun. Tabel 4.2 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor menurut kecamatan No 1
Kecamatan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2
Bogor Selatan
154,622
Bogor Timur
80,747
160,077
163,3
166,75
170,91
176,094
83,924
83,978
86,978
89,237
91,609
3
Bogor Utara
4
138,37
144,59
148,11
149,58
153,84
161,562
Bogor Tengah
5
95,69
99,79
101,16
103,18
106,08
109,039
6
Bogor Barat
175,342
181,995
189,15
193,42
195,81
198,296
Tanah Sereal
144,652
150,401
150,69
155,19
163,27
168,532
KOTA BOGOR 789,42 820,71 836,3 855,1 879,1 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2000-2007, tahun 2001-2008
905,13
4.2.5 Penggunaan Lahan Dari segi penggunaan lahan, luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua ) bagian, yaitu:
Kawasan Terbangun dengan luas total sebesar 4.411,86 Ha atau sekitar 37,23 persen dari luas total Kota Bogor, yang berupa lahan perdagangan, permukiman, perumahan terencana, komplek militer, istana, industri, terminal, dan gardu. Kawasan terbangun di wilayah Kota Bogor didominasi oleh kawasan permukiman 3.135,79 Ha (26,46 persen) yang di
27
dalamnya terdapat fasilitas kesehatan, pendidikan peribadatan, serta perkantoran.
Kawasan Belum Terbangun dengan luas total sebesar 7.438,14 Ha atau sekitar 62,77 persen dari luas total kota Bogor, yaitu berupa situ, sungai, kolam, RTH, tanah kosong non RTH, dan lain-lain yang tidak teridentifikasi. Kawasan belum terbangun di Kota Bogor didominasi oleh RTH seluas 6.088,58 Ha atau 51,38 persen yang didalamnya terdapat hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau SUTET, kawsan hijau, kebun raya, lahan pertanian kota, lapangan olahraga, sempadan sungai, TPU, taman kota, taman lingkungan, taman perkotaan, dan taman rekreasi.
Tabel 4.3 Jenis dan intensitas penggunaan lahan di Kota Bogor tahun 2007 No 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14
Jenis Penggunaan Lahan Perdagangan Permukiman : a. Kesehatan b. Pendidikan c. Perkantoran d. Ibadah Perumahan Komplek Militer Istana Industri Situ Sungai Kolam Terminal Gardu RTH a. Hutan Kota b. Jalur Hijau Jalan c. Jalur Hijau SUTET d. Kawasan Hijau e. Kebun Raya f. Lahan Pertanian Kota g. Lapangan Olahraga h. Sempadan Sungai i. TPU j. Taman Kota k. Taman Lingkungan l. Taman Perkotaan m. Taman Rekreasi Tanah Kosong Non-RTH Lain-Lain (Tidak Teridentifikasi) Jumlah
Luas (Ha) 81,02 3.135,79
% 0,68 26,46
1.020,08 73,96 1,17 92,59 14,4 124,59 81,84 5,41 1,84 6.088,58 57,62 138,02 14,36 1.963,92 72,12 3.117,27 151,51 181,79 134,64 3,19 90,49 123,57 40,08 984,38 144,35 11.850,00
8,61 0,62 0,01 0,78 0,12 1,05 0,69 0,05 0,02 51,38 0,49 1,16 0,12 16,57 0,61 26,31 1,28 1,53 1,14 0,03 0,76 1,04 0,34 8,31 1,22 100
28
4.2.6 Perekonomian Potensi sektor-sektor ekonomi dapat dilihat dari kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Dari data tersebut terlihat kecenderungan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74 persen pada tahun 1992 menjadi 24,13 persen pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28,75 pada tahun 1993 kemudian menjadi 41,08 persen. Data PDRB dari tahun 1993-2006 memperlihatkan bahwa komponen penyumbang PDRB Kota Bogor terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan presentase per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08 persen terhadap
PDRB.
Sektor
industri
pengolahan
menempati
posisi
kedua
kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24,13 persen. Dari data tersebut, maka jelas bahwa Kota Bogor memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. 4.2.7 Pola Sebaran Kegiatan Sebaran kegiatan di Kota Bogor berpusat di pusat kota. Hal ini terlihat dari dominasinya keberadaan pusat Kota Bogor (berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah) untuk kegiatan utama kota seperti perdagangan dan jasa, perkantoran, pemerintahan, dan fasilitas transportasi, semua berada pada kawasan ini. Deliniasi pusat Kota Bogor saat ini adalah sekitar Kebun Raya yang dikelilingi oleh Jalan Pajajaran, Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Oto Iskandardinata, melebar ke jalan Surya Kencana, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Sudirman, Jalan RE Martadinata. Pusat kota ini berperan sebagai pusat pemerintahan kota dengan adanya Balai Kota dan beberapa kantor pemerintah lainnya, Istana Bogor dan beberapa kantor pelayanan masayrakat dan kantor swasta. Kegiatan perdagangan dan jasa tidak kalah dominasinya pada kawasan ini yaitu keberadaan pasar, pusat perbelanjaan dan Factory Outlet (FO) sebagai salah satu tujuan wisata Kota Bogor dan jasa akomodasi seperti hotel dan restauran. Pusat kota ini dilengkapi
29
pula dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan skala kota yang masih menjadi tujuan pelayanan masyarakat pada umumnya serta fasilitas rekreasi seperti Kebun Raya, Museum, Taman Topi, dan FO. Untuk keperluan penduduk skala kota, masyarakat Kota Bogor dan wilayah sekitarnya masih bergantung pada kawasan ini. 4.3 Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor Tujuan penataan ruang merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kota yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Tujuan disusun berdasarkan visi dan misi kota, karakteristik wilayah (potensi, masalah, isu strategis), dan peran dan fungsi kota. Kota Bogor, dalam RPJPD (Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah) Kota Bogor 2005-20025, memiliki visi sebagai “Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah”. Visi ini berdasarkan pada kondisi Kota Bogor saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahun mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh Kota Bogor, serta hasil kesepakatan bersama dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di Kota Bogor. 4.3.1 Peran dan Fungsi Kota Bogor berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dan secara regional mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Provinsi DKI Jakarta khususnya dalam lingkup Kawasan Jabodetabekpunjur. Keterkaitan ini terlihat pada pola aktivitas pergerakan penduduk antara Kota Bogor dan kota-kota lainnya dalam lingkup Jabodetabekpunjur. Hal ini membentuk sistem dan struktur pelayanan kegiatan yang memerlukan penanganan dalam hal pembagian peran dan fungsi masing-masing kota di wilayah tersebut. Peran dan fungsi Kota Bogor dipengaruhi oleh potensi dan kemampuan tumbuh dan berkembangnya Jakarta sebagai ruang tempat kehidupan dan penghidupan warga kota dan sekitarnya serta arahan kebijakan penataan ruang regional seperti RTRWN, RTRW Jawa Barat, Perpes Jabodetabekpunjur dan RTRW Kabupaten Bogor sebagai wilayah tetangga.
30
Gambar 4.3 Peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 (Sumber: Bappeda Kota Bogor)
31
4.4 Lokasi dan Titik Pengambilan Data Pemilihan lokasi pengambilan data iklim mikro dilakukan pada empat land use yang berbeda yang merupakan land use yang dominan pada kawasan kota yaitu industri, CBD, perumahan, dan RTH kota. Pemilihan lokasi berdasarkan land use yang merupakan tiga kawasan terbesar di Kota Bogor dan luasan RTH-nya. Untuk pemilihan titik pengambilan data dipilih berdasarkan ketersediaan tiga struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput yang memiliki kesamaan karakteristik umum pada semua land use. Berikut hasil pemilihan lokasi dan titik pengambilan data pada empat land use yang berbeda. 4.4.1 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Industri Berdasarkan peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 terdapat tiga kawasan industri terbesar yang terletak di kelurahan Cibuluh, Kebon Pedes, dan Sindang Rasa. Dapat dilihat pada Tabel 4.4, nilai dari rata-rata luas RTH dari ketiga kawasan industri tersebut sebesar 4,05 Ha. Kawasan industri pada kelurahan Sindang Rasa memiliki luas RTH sebesar 3,52 Ha merupakan luas yang paling mendekati rata-rata. Kawasan industri pada Kelurahan Sindang Rasa yaitu PT Unitex. Tabel 4.4 Pemilihan lokasi industri No
Nama Kelurahan
1 2 3
Cibuluh Kebon Pedes Sindang Rasa Rata-rata
Luas Ruang Terbuka Hijau (Ha) 2,43 6,21 3,52 4,05
Luas Lahan Terbangun (Ha) 17,19 15,12 9,54
4.4.2 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Central Bussines District (CBD) Menurut peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031, kawasan CBD terbesar berada pada kelurahan Babakan Pasar, Bantarjati, dan Baranangsiang. Dapat dilihat pada tabel 4.5, rata-rata luas RTH pada ketiga kawasan CBD adalah 6,54 Ha. Kawasan yang memiliki luas RTH-nya mendekati rata-rata tersebut adalah kawasan CBD pada Kelurahan Bantarjati yaitu sebesar 8,91 Ha sehingga pengambilan data iklim mikro diambil pada kawasan CBD Bantarjati.
32
Tabel 4.5 Pemilihan lokasi CBD No
Nama Kelurahan
1 2 3
Babakan Pasar Bantarjati Baranangsiang Rata-rata
Luas Ruang Terbuka Hijau (Ha) 0,63 8,91 10,08 6,54
Luas Lahan Terbangun (Ha) 13,05 30,51 36,63
4.4.3 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Perumahan Berdasarkan peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031, tiga kawasan perumahan terbesar terdapat di kelurahan Baranangsiang, Cibadak, dan Curug Mekar. Rata-rata luas RTH dari tiga perumahan tersebut adalah sebesar 13,71 Ha, sehingga kawasan yang dipilih adalah kawasan perumahan pada kelurahan Cibadak dengan luas RTH sebesar 12,87 Ha. Setelah dilakukan ground check, kawasan perumahan terbesar yang terdapat di Kelurahan Cibadak adalah Bukit Cimanggu City, sehingga pengambilan data iklim mikro diambil pada kawasan perumahan Bukit Cimanggu City. Tabel 4.6 Pemilihan lokasi perumahan No
Nama Kelurahan
1 2 3
Baranangsiang Cibadak Curug Mekar Rata-rata
Luas Ruang Terbuka Hijau (Ha) 18,45 12,87 9,81 13,71
Luas Lahan Terbangun (Ha) 78,21 38,52 39,42
4.4.4 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Kota Bogor memiliki dua RTH terbesar yaitu Hutan Cifor yang terletak di Kelurahan Situ Gede dan Kebun Raya Bogor yang terletak di Kelurahan Paledang. Untuk pemilihan lokasi pengambilan data RTH berbeda dengan land use lainnya karena Kota Bogor hanya memiliki dua RTH kota terbesar, untuk itu dipilih RTH kota yang memiliki luas paling besar. Sehingga pengambilan data untuk RTH kota diambil di Kebun Raya Bogor dengan luas 72,72 Ha. Tabel 4.7 Pemilihan lokasi RTH kota No 1 2
Nama Kelurahan Situ Gede Paledang
Luas Ruang Terbuka Hijau (Ha) 55,17 72,72
Luas Lahan Terbangun (Ha) 1,80 6,66
33
Gambar 4.4 Peta pemilihan lokasi pengambilan data
34
4.4.5 Pemilihan Titik Pengambilan Data pada Struktur Vegetasi Struktur vegetasi yang dipilih untuk diukur pengaruhnya terhadap iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) adalah pohon, semak, dan rumput. Ketiga struktur vegetasi tersebut memiliki karakteristik struktural yang berbeda sehingga diduga memiliki perbedaan dalam mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya. Penentuan titik pengambilan dipilih saat turun lapang dengan menggunakan teknik purposive atau dengan adanya tujuan khusus dimana titik yang diambil merupakan tempat yang terdapat ketiga struktur vegetasi tersebut. Penentuan pemilihan setiap struktur vegetasi setiap kawasan untuk diukur iklim mikronya berdasarkan pada karakter umum karena tidak adanya jenis pohon dan semak yang sama yang berada pada tempat yang berdekatan di setiap land use. Untuk pohon dipilih yang mempunyai tinggi sedang (6-15 meter), mempunyai karakteristik daun lebar, dan mempunyai fungsi sebagai penaung. Semak dipilih yang mempunyai tinggi sedang (1-2 meter) dan mempunyai karakteristik daun lebar. Rumput yang diambil pada semua land use adalah rumput gajah (Axonopus compressus) karena jenis rumput ini sangat mudah ditemukan di semua land use. Titik pengambilan data yang dipilih adalah RTH berbentuk areal yang ada di depan pabrik (Lampiran 1). Pengukuran iklim mikro diambil pada pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) dengan tinggi ±6 meter, semak pangkas kuning (Duranta sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus).
Gambar 4.5 Vegetasi pengambilan data industri (dari kiri Shorea macrobalanos, Duranta sp., Axonopus compressus)
35
Pengukuran iklim mikro pada kawasan CBD diambil pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) dengan tinggi ±10 meter, semak bugenvil (Bougainvillea sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Titik pengambilan data yang dipilih adalah RTH dengan bentuk linear karena pada CBD tidak ditemukan RTH dengan bentuk areal. Peta titik pengambilan data pada kawasan CBD dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 4.6 Vegetasi pengambilan data CBD (dari kiri Pterocarpus indicus, Bougainvillea sp., Axonopus compressus) Pengukuran iklim mikro pada kawasan perumahan diambil pada pohon kerai payung (Felicium decipiens) dengan tinggi ±6 meter, semak firebush (Hamelia patens) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Titik pengambilan data dipilih pada taman lingkungan di tengahtengah kawasan perumahan dengan tipe RTH berbentuk areal. Peta titik pengambilan data pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 4.7 Vegetasi pengambilan data perumahan (dari kiri Felicium decipiens, Hamelia patens, Axonopus compressus)
36
Peta titik pengambilan data pada kawasan RTH kota dapat dilihat pada Lampiran 4. Titik pengambilan data diambil ditengah-tengah kawasan RTH kota dimana tempat tersebut terdapat tiga struktur vegetasi berupa pohon, semak, dan rumput. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada pohon anggerit (Nauclea lanceolata) dengan tinggi ±8 meter, semak soka (Ixora sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus).
Gambar 4.8 Vegetasi pengambilan data RTH kota (dari kiri Nauclea lanceolata, Ixora sp., Axonopus compressus)
37
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan lahan menggambarkan keadaan RTH, lahan terbangun, dan badan air di Kota Bogor. Dalam penelitian ini dibutuhkan peta penutupan lahan untuk menentukan kawasan yang akan dipilih untuk pengambilan data iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) di empat land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Lokasi pengambilan data dipilih berdasarkan luasan RTH masing-masing land use tersebut, sehingga digunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam memudahkan membuat peta penutupan lahan Kota Bogor. Penutupan lahan didapat dengan menggunakan klasifikasi citra satelit. Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakankenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitatif (Purwadhi 2001). Citra yang digunakan adalah Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 yang kemudian dipotong dengan wilayah administrasi Kota Bogor. Wilayah administrasi Kota Bogor didapat dari hasil digitasi batas wilayah Kota Bogor pada peta RTRW Kota Bogor tahun 20112031. Data citra yang diambil menggunakan data citra tahun 2011 karena data citra tersebut merupakan data citra dari Landsat 7 ETM+ terbaru yang memiliki gangguan dari awan paling sedikit untuk menghasilkan peta yang lebih akurat. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Metode klasifikasi terbimbing dipilih karena operator (dalam hal ini pembuat peta) telah memiliki referensi penutupan lahan dan dapat melakukan groundcheck langsung pada kawasan Kota Bogor. Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutupan lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi (Purwadhi 2001). Training area didapat
38
dengan menggunakan identifikasi warna pada peta Landsat 7 ETM+. Klasifikasi penutupan lahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu: 1. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tipe penutupan lahan pada kategori RTH di lokasi penelitian berupa hutan, taman kota, jalur hijau jalan, lapangan bola, dan
lahan pertanian.
Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna hijau gelap hingga hijau terang pada peta dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna hijau. Tipe penutupan lahan terbuka dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Contoh lokasi penutupan lahan kelas ruang terbuka hijau 2. Lahan Terbangun Tipe penutupan lahan pada kategori lahan tertutup merupakan lahan yang tertutup oleh struktur buatan manusia seperti bangunan dan jalan. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna merah sampai ungu gelap pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah. Tipe penutupan lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Contoh lokasi penutupan lahan kelas lahan terbangun 3. Badan Air Badan Air pada tipe penutupan lahan merupakan area yang tertutup air seperti sungai dan danau. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan
39
dengan warna biru muda pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna biru tua. Tipe penutupan lahan badan air dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Contoh lokasi penutupan lahan badan air Setelah diperoleh peta penutupan lahan, dilakukan uji akurasi pada peta. Proses mendapatkan nilai akurasi peta ini adalah dengan mengambil Ground Control Point (GCP) yang diambil secara menyebar pada beberapa daerah di Kota Bogor. Hasil dari pengambilan titik kemudian diolah dengan menggunakan tool accuracy assesment pada software ERDAS Imagine 9.1. Hasil akurasi dari peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 dalam penelitian ini bernilai 85,14 persen. Hasil akurasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen menurut sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan United States Geographical Survey (USGS) (Lillesand dan Kiefer 1979), sehingga peta hasil klasifikasi penutupan lahan tersebut sudah dapat digunakan dalam penelitian ini. Peta penutupan lahan yang dihasilkan mengandung informasi tentang luasan penutupan lahan yang ada di Kota Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Luas Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 No 1 2 3
Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Lahan Terbangun Badan Air Total
Luas (Ha) 6464,25 4982,4 358,2 11804,85
Luas (%) 54,76 42,21 3,03 100
Berdasarkan data pada Tabel 5.1, diketahui bahwa luas dari RTH yang ada pada Kota Bogor memiliki nilai terbesar dari dua kategori penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 6464,25 Ha atau 54,76 persen dari total luas keseluruhan. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 2 yaitu proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah
40
kota. Berdasarkan peraturan tersebut, Kota Bogor masih memiliki proporsi RTH yang ideal bagi kawasan kota. Hal ini merupakan potensi dan tantangan bagi Kota Bogor. Jumlah RTH yang masih banyak pada Kota Bogor harus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi lingkungan dan warga kota. Lahan terbangun pada Kota Bogor sebesar 4982,4 Ha atau 42,21 persen dari total luas keseluruhan. Lahan terbangun banyak berada di pusat kota dimana banyaknya kawasan perkantoran, dan perdagangan. Selain itu badan air memiliki luas sebesar 358,2 Ha atau 3,03 persen dari total luas keseluruhan. Badan air di Kota Bogor didominasi dengan adanya Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor. Dapat dilihat pada Tabel 5.2, penyebaran luasan RTH, lahan terbangun, dan badan air pada setiap kecamatan di Kota Bogor. Tabel 5.2 Penyebaran penutupan lahan setiap kecamatan di Kota Bogor No Kecamatan 1 2 3 4 5 6
Bogor Barat Bogor Selatan Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Utara Tanah Sereal
Luas Lahan Terbangun (%) 44,22 27,05 69,25 51,04 48,78 43,88
Luas Lahan Terbuka (%)
Luas Badan Air (%)
51,33 69,96 25,55 47,06 49,57 52,63
4,45 2,99 5,20 1,90 1,65 3,50
Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pada Kecamatan Bogor Tengah sebagai pusat kota memiliki persen luas lahan terbangun yang paling banyak di antara kecamatan lainnya. Sedangkan semakin jauh dari pusat kota, seperti Kecamatan Bogor Selatan, memiliki proporsi lahan terbangun yang paling sedikit. Lahan terbangun terkonsentrasi pada pusat kota, hal ini menimbulkan ancaman adanya Urban Heat Island di Kota Bogor. Urban Heat Island atau pulau panas merupakan suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat dengan bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka disekitarnya atau di pinggir kota karena adanya perbedaan penggunaan energi, penyerapan panas, dan pertukaran panas laten (Irwan 2005). Hal ini disebabkan adanya pembangunan pesat di pusat kota dimana RTH dikonversi menjadi berbagai penggunaan lahan yang berbeda. Dampak adanya Urban Heat Island adalah menurunnya kenyamanan warga kota
41
dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga penting untuk meningkatkan kualitas RTH pada masing-masing land use pada wilayah perkotaan untuk dapat menjaga kenyamanan warga kota. Pada penelitian ini dipilih empat kawasan dengan jenis land use yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap iklim mikro. Kawasan tersebut dipilih berdasarkan kawasan terbesar di Kota Bogor dan luasan RTH-nya. Kemudian dilakukan overlay antara peta penggunaan lahan pada RTRW 20112031 dan peta penutupan lahan yang dihasilkan pada penelitian ini. Sehingga diketahui jumlah luasan RTH di setiap kawasan dengan jenis land use yang berbeda yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Presentase luasan RTH setiap land use yang sudah dipilih Land Use RTH (Ha) LB (Ha) BA (Ha) Industri (PT Unitex) 3,52 9,54 0 CBD (Bantarjati) 8,91 30,51 0,81 Perumahan (BCC) 12,87 38,52 0,27 RTH Kota (KRB) 72,72 6,66 5,4 Keterangan : RTH = Ruang Terbuka Hijau LB = Lahan Terbangun BA = Badan Air
Total RTH (%) 13,06 26,95 40,23 22,15 51,66 24,9 84,78 85,8
BCC = Bukit Cimanggu City KRB = Kebun Raya Bogor
Luasan RTH dalam persen yang dimaksud pada tabel di atas adalah luasan RTH dibandingkan dengan luasan lahan terbangun dan badan air pada kawasan tersebut. Dilihat pada parameter tersebut, luas RTH yang paling sempit terdapat pada kawasan CBD. Perumahan memiliki luas RTH yang lebih sempit dibandingkan dengan luas RTH pada industri, sedangkan untuk RTH kota memiliki luasan RTH yang paling besar dibandingkan kawasan lainnya.
42
Gambar 5.4 Peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011
43
5.2 Analisis Iklim Mikro pada setiap Land Use 5.2.1 Analisis Iklim Mikro Kawasan Industri Sektor perindustrian yang akan dikembangkan di Kota Bogor adalah industri non polutan dan ramah lingkungan baik berupa industri kecil, menengah maupun besar. Pengembangan industri yang tidak berwawasan lingkungan seperti menggunakan potensi air yang sangat banyak, berpolusi udara tinggi, sudah tidak mungkin dialokasikan di Kota Bogor. Kawasan industri yang direncanakan pun terbatas pada kawasan yang telah berkembang industri tidak ada penambahan kawasan/lokasi industri baru kecuali untuk kegiatan industri kecil/industri rumah tangga (Bappeda 2011). Salah satu kawasan industri di Bogor adalah PT Unitex. PT Unitex merupakan industri penghasil textil, PT Unitex pada saat ini telah mendapatkan Peringkat Hijau pada penilaian Proper Prokasih yang dilakukan oleh Bapedal. Hal ini menunjukkan bahwa PT Unitex merupakan salah satu industri yang telah berwawasan lingkungan cukup baik. Pengambilan data iklim mikro pada kawasan PT Unitex dilakukan di depan gedung pabrik (Lampiran 1). Luas keseluruhan dari kawasan ini adalah 13,06 Ha dan memiliki RTH seluas 3,52 Ha atau 26,95 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) dengan tinggi ±6 meter, semak pangkas kuning (Duranta sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada Gambar 5.5 dapat dilihat grafik hasil rata-rata dari pengukuran suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput pada kawasan industri.
44
70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
55,59 50,47
32,29
Pohon
34,36
Semak Struktur Vegetasi
49,20 35,77
Suhu (°C) RH (%)
Rumput
Gambar 5.5 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan industri Selisih suhu udara pohon dengan semak 2,07⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput mencapai 1,41⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 3,48⁰C. Suhu udara paling tinggi adalah suhu udara di atas rumput, hal ini disebabkan karena rumput secara langsung menerima sinar matahari tanpa adanya naungan. Suhu udara di bawah naungan semak lebih tinggi daripada pohon dan lebih rendah daripada rumput, hal ini dikarenakan naungan yang diberikan semak lebih sedikit dibandingkan pohon, namun semak lebih mampu mereduksi suhu udara dibandingkan rumput. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 5,12 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 1,27 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,39 persen. Pohon memiliki kelembaban udara paling tinggi dibandingkan dengan dua struktur vegetasi lainnya dan rumput memiliki kelembaban udara paling rendah. Pohon memiliki kemampuan untuk berevapotranspirasi lebih baik karena tajuknya yang rapat sehingga menyebabkan kandungan uap air yang ada di bawah naungan pohon lebih banyak dibandingkan dengan di semak ataupun rumput. Semak yang memiliki lebar tajuk dan tinggi yang lebih besar dibandingkan rumput menyebabkan kelembaban udara pada naungan semak lebih besar dibandingkan dengan di atas rumput.
45
Setelah dilakukan uji statistik pada hasil pengukuran iklim mikro, suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 10). Hal ini membuktikan bahwa setiap struktur vegetasi mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam ameliorasi iklim. Perbedaan karakteristik struktur vegetasi mempengaruhi adanya perbedaan iklim mikro yang dihasilkan. Pohon memiliki karakteristik struktur vegetasi yang paling efektif untuk mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan dengan ketiga struktur vegetasi lainnya. Semakin tinggi dan semakin luas tajuk suatu vegetasi, keadaan suhu udara yang ada di sekitarnya akan semakin sejuk dan kelembaban udaranya semakin tinggi. 5.2.2 Analisis Iklim Mikro Kawasan Central Bussines District (CBD) Perkembangan kegiatan perdagangan di Kota Bogor saat ini cukup pesat, karena selain melayani penduduk Kota Bogor juga daerah-daerah sekitarnya diantaranya Kabupaten Bogor. Kota Bogor juga merupakan salah satu kota wisata, baik lokal maupun mancanegara, yang akhirnya akan mempengaruhi kegiatan perdagangan. Kebutuhan fasilitas perdagangan (skala kota dan regional) di Kota Bogor hingga akhir tahun perencanaan dapat dikatakan sudah mencukupi terutama jenis perdagangan besar/sedang (pasar induk, supermarket, plaza, mall dan sejenisnya) (Bappeda 2011). Salah satu fasilitas kegiatan perdagangan adalah CBD, dimana CBD yang dikembangkan di daerah Bogor rata-rata sangat minim RTH. Begitu pula di CBD Bantarjati, untuk menemukan RTH yang terdapat struktur vegetasi yaitu pohon, semak, dan rumput sangat jarang. RTH di kawasan CBD rata-rata hanya berbentuk RTH linear di depan bangunan CBD, sehingga pengukuran iklim mikro dalam penelitian ini dilakukan pada RTH berbentuk linear. Peta lokasi pengambilan data iklim mikro pada kawasan CBD dapat dilihat pada Lampiran 2. Kawasan CBD Bantarjati memiliki luas total sebesar 40,23 Ha dengan luas RTH sebesar 8,91 Ha atau 22,15 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) dilakukan di bawah naungan pohon dan semak dan di atas rumput. Pengukuran iklim mikro pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) dengan karakteristik tinggi ±10 meter, pada semak dilakukan pada tanaman bugenvil (Bougainvillea sp.) dengan tinggi ±1,5
46
meter dan pengukuran iklim mikro pada struktur vegetasi rumput dilakukan pada rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 7. 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
55,63 51,14 46,22 32,53
35,66
37,57 Suhu (⁰C) RH (%)
Pohon
Semak Struktur Vegetasi
Rumput
Gambar 5.6 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD Grafik di atas menunjukan rata-rata nilai suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD di bawah naungan pohon dan semak dan suhu udara di atas rumput. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 2,9⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 2,25⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 5,15⁰C. Suhu di bawah naungan pohon relatif lebih rendah dibandingkan suhu udara pada semak dan suhu udara di bawah naungan semak lebih rendah dibandingkan suhu udara di atas rumput. Pohon dengan tinggi dan luas tajuk yang besar lebih mampu menaungi area di bawahnya sehingga suhu udara di bawah pohon lebih sejuk dibandingkan struktur vegetasi lainnya. Semak dengan tinggi dan luas tajuk yang lebih kecil dibandingkan pohon memiliki suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan pohon. Suhu udara rumput memiliki nilai paling tinggi dikarenakan rumput secara langsung memantulkan sinar matahari ke area di sekitarnya. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 4,21 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 5,48 persen dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 9,69 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai yang paling tinggi dan rumput memiliki nilai yang paling rendah.
47
Setelah dilakukan uji stastistik, suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 11). Hal ini membuktikan bahwa setiap struktur vegetasi memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Perbedaan karakteristik vegetasi dari setiap struktur vegetasi menghasilkan iklim mikro yang berbeda-beda. Pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Hal ini disebabkan oleh pohon memiliki area naungan yang luas dan tajuknya lebih padat dibandingkan semak ataupun rumput. 5.2.3 Analisis Iklim Mikro Kawasan Perumahan Kebutuhan perumahan di Kota Bogor terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, namun di sisi lain, luas wilayah kota tidak bertambah. Luas lahan perumahan di Kota Bogor pada tahun 2007 mencapai 26 persen luas kota (termasuk di dalamnya fasilitas perumahan). Kecenderungan perkembangan perumahan/permukiman yang terjadi saat ini adalah ke arah pusat kota dan sepanjang jalan-jalan utama, hal ini dikarenakan tingkat aksesibilitasnya di sepanjang jalan tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Bappeda 2011). Kawasan perumahan sangat membutuhkan RTH untuk mengakomodasi kenyamanan, kegiatan sosial, dan sebagai fasilitas pendukung bagi penghuninya. Semakin banyaknya RTH maka semakin nyaman keadaan iklim di perumahan tersebut. Iklim mikro berperan sangat penting dalam pertimbangan pemilihan dan penempatan material tanaman (Booth NK dan Hiss JE 2004). Pengukuran iklim mikro pada kawasan perumahan dilakukan di lapangan rumput di tengah-tengah perumahan (Lampiran 3). Kawasan perumahan ini mempunyai luas total sebesar 51,66 Ha dengan luas RTH sebesar 12,87 Ha atau 24,9 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran ini dilakukan di bawah naungan pohon kerai payung (Felicium decipiens) dengan tinggi ±6 meter dan tajuk berbentuk bulat. Untuk struktur vegetasi semak, pengukuran dilakukan di bawah naungan semak firebush (Hamelia patens) dengan tinggi ±1,5 meter dan pengukuran juga dilakukan di atas rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 8. Grafik hasil pengukuran
48
berupa grafik suhu dan kelembaban udara (rataan dari tiga kali ulangan pengukuran) pada kawasan perumahan dapat dilihat pada gambar. 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50,44
49,42 44,20
33,47
34,58
36,64 Suhu (°C) RH (%)
Pohon
Semak Struktur Vegetasi
Rumput
Gambar 5.7 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan perumahan Grafik di atas menggambarkan suhu udara pada kawasan perumahan. Suhu udara pada pohon dan semak terus meningkat selama pengukuran, sedangkan untuk suhu udara rumput mengalami peningkatan dan penurunan. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 0,86⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 2,43⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 3,29⁰C. Pohon memiliki karakteristik struktural tinggi dan tajuk yang lebar sehingga pohon mampu menaungi area di bawahnya lebih luas sehingga suhu udara disekitarnya lebih sejuk. Semak memiliki suhu udara lebih tinggi dibandingkan pohon karena tinggi dan lebar tajuknya lebih kecil dibandingkan pohon. Rumput memiliki suhu udara yang paling tinggi karena rumput menerima sinar matahari secara langsung tanpa adanya naungan sehingga sinar matahari tersebut langsung dipantulkan dan membuat suhu udara disekitarnya cukup panas. Kelembaban udara di atas rumput sangat rendah dibandingkan dengan pohon dan semak yaitu 43,80 persen. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 0,62 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 6,02 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,64 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai yang paling tinggi dan kelembaban udara semak memiliki nilai yang paling rendah.
49
Uji statistik suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 12). Hal ini membuktikan bahwa kemampuan setiap struktur vegetasi pada kawasan perumahan dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Perbedaan karakterisitik struktur vegetasi seperti tinggi, lebar daun, dan luas tajuk dapat berpengaruh pada kemampuan masing-masing vegetasi dalam menciptakan iklim mikro. Pohon memiliki karakteristik vegetasi yang mampu dengan efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. 5.2.4 Analisis Iklim Mikro Kawasan RTH Kota Luas RTH di Kota Bogor setiap tahun semakin berkurang, hal tersebut disebabkan terjadinya perubahan fungsi yang semula berupa lahan terbuka menjadi lahan terbangun untuk berbagai keperluan seperti perumahan, industri, perdagangan dan jasa, kantor, dan lain-lain. Semakin sempitnya RTH, khususnya taman dapat menimbulkan munculnya kerawanan dan penyakit sosial sifat individualistik dan ketidakpedulian terhadap lingkungan yang sering ditemukan di masyarakat perkotaan. Disamping itu, semakin terbatasnya ruang terbuka hijau juga berpengaruh terhadap peningkatan iklim mikro, pencemaran udara, banjir dan berbagai dampak negatif lingkungan lainnya (Bappeda 2011). Bogor memiliki RTH Kota yang sangat luas yaitu Kebun Raya Bogor (KRB). KRB yang sudah ada sejak tahun 1817 memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mempengaruhi iklim, terutama karena letaknya yang berada di tengah-tengah Kota Bogor. Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Lampiran 4. Luas dari kawasan RTH kota adalah 84,87 Ha dengan luas RTH sebesar 72,72 Ha atau 84,87 persen dari luas keseluruhan. Pengukuran iklim mikro dilakukan di bawah naungan pohon anggerit (Nauclea lanceolata) dengan ketinggian ±10, semak dilakukan di bawah naungan semak soka (Ixora sp.) dengan tinggi ±1,5 meter dan pengukuran iklim mikro rumput dilakukan di atas rumput gajah (Axonopus compressus). Hasil pengukuran iklim mikro dapat dilihat pada Lampiran 9.
50 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
62,46 56,86
30,51
33,28
55,40
34,11 Suhu (°C) RH (%)
Pohon
Semak Struktur Vegetasi
Rumput
Gambar 5.8 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan RTH kota Gambar 5.11 menggambarkan rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput yang ada pada kawasan RTH Kota. Rata-rata suhu udara di atas rumput adalah 34,14⁰C, suhu udara pada naungan semak 33,24⁰C, dan suhu udara pada naungan pohon adalah 30,51⁰C. Selisih suhu udara pohon dengan semak sebesar 2,73⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput sebesar 0,9⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput sebesar 3,63⁰C. Suhu udara di bawah naungan pohon lebih sejuk dibandingkan suhu udara semak dan rumput. Hal ini disebabkan oleh tajuk pohon yang padat dan lebar sehingga udara di bawah naungan pohon lebih sejuk. Sedangkan semak memiliki suhu udara lebih tinggi dibandingkan pohon karena tajuk semak lebih kecil dan tingginya lebih rendah dibandingkan pohon. Rumput memiliki suhu paling tinggi karena secara langsung menerima sinar matahari tanpa adanya naungan. Selisih kelembaban udara pohon dengan semak sebesar 5,93 persen, selisih kelembaban udara semak dengan rumput sebesar 0,81 persen, dan selisih kelembaban udara pohon dengan rumput sebesar 6,74 persen. Kelembaban udara pohon memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya dan rumput memiliki nilai yang paling rendah. Setelah dilakukan uji statistik pada data suhu dan kelembaban udara pada struktur pohon, semak, dan rumput berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 13). Hal ini membuktikan bahwa tiap struktur vegetasi memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Perbedaan kemampuan setiap struktur vegetasi dalam mereduksi suhu dan
51
meningkatkan kelembaban udara disebabkan oleh perbedaan karakteristik struktural dari masing-masing vegetasi. Pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Vegetasi dapat menyejukkan lingkungan secara aktif dengan evaporasi dan transpirasi (evapotranspirasi) dan secara pasif dengan melindungi permukaan dengan menaungi area di bawahnya yang dapat mengurangi gelombang pendek dari radiasi matahari (Kleerekoper dkk 2011). Apabila kelembaban udara dihubungkan dengan suhu udara, menurut Handoko (1994) dalam Fandheli dan Muhammad (2009) kelembaban udara akan lebih kecil bila suhu udara meningkat dan sebaliknya jika suhu udara lebih rendah maka kelembaban udaranya akan tinggi. Hasil interpretasi grafik iklim mikro struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput pada empat land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, RTH Kota) di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan suhu udara pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Begitu juga dengan kelembaban udara pada struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen, yang diuji dengan analisis statistik. Hasil interpretasi grafik juga menyatakan bahwa pohon lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan semak. Sedangkan semak lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara dibandingkan struktur vegetasi rumput. Kelembaban udara menunjukkan kandungan uap air di atmosfer pada suatu saat dan waktu tertentu. Uap air di atmosfer bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya yang dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Evaporasi dipengaruhi oleh suhu dan merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel). Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar, kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk (Irwan 2005). Teori ini sesuai dengan hasil analisis sehingga
52
membuktikan bahwa pohon lebih efektif mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya adalah benar. Penanaman sekelompok pepohonan yang berkerapatan tinggi merupakan perlindungan dalam mengurangi temperatur yang tinggi pada siang hari, sedangkan menurut Lakitan (1997) dalam Muhammad dan Chafid 2009, pada malam hari tanaman berperan sebagai penahan panas, sehingga pada malam hari suhu udara di bawah tajuk lebih hangat dibandingkan suhu udara di atas permukaan tanah terbuka (tanpa vegetasi). Daerah yang tertutup tegakan pohon akan mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, sedangkan keadaan tanah yang kering (pasir, kerikil, dan sejenisnya) cenderung menimbulkan suhu tinggi dan kelembaban yang rendah (Pudjiharta 1980 dan Laurie 1990 dalam Muhammad dan Chafid 2009). Keberadaan RTH yang terdapat struktur vegetasi pohon, semak, dan rumput sangat penting pada setiap kawasan. Untuk itu, pembangunan dengan tetap memperhatikan keberadaan RTH sangat penting untuk menciptakan kenyamanan pada setiap kawasan di perkotaan. Menurut Dahlan (2004), untuk kenyamanan suatu kota pada daerah tropis terdapat kategori nilai dari suhu dan kelembaban udara. Untuk memenuhi kategori ideal-sedang dibutuhkan suhu udara sebesar 22,5-27,5°C dan kelembaban udara sebesar 60-90%. Pada hasil pengukuran, hanya kelembaban udara pohon pada RTH kota yang masuk dalam kategori ideal-sedang. Struktur vegetasi pada kawasan lain memiliki nilai di luar kategori ideal-sedang dalam kenyamanan suatu kota. Hal ini membuktikan bahwa RTH yang ada pada setiap kawasan belum optimal fungsinya dalam ameliorasi iklim. Sehingga dibutuhkan analisis untuk mengetahui penyebab perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda. 5.3 Analisis Iklim Mikro Struktur Vegetasi pada Berbagai Land Use 5.3.1 Analisis Iklim Mikro Pohon pada berbagai Land Use Pohon sangat penting dalam RTH di semua land use. Setiap land use memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga jenis pohon yang akan digunakan di berbagai land use harus disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, untuk kawasan perumahan, pada RTH taman lingkungan dibutuhkan pohon
53
dengan fungsi sebagai peneduh karena tempat tersebut digunakan sebagai tempat bersosialisasi. Kawasan industri akan membutuhkan pohon yang dapat mereduksi panas yang dihasilkan karena aktivitas produksi yang industri lakukan. Kawasan CBD membutuhkan pohon yang bersifat peneduh dan tidak memiliki buah yang mudah rontok karena letak CBD yang umumnya berada di pinggir jalan raya. RTH kota lebih mementingkan pemilihan berdasarkan struktur pohon agar menyerupai hutan alami. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada empat kawasan yaitu industri, CBD, perumahan, dan RTH kota. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui perbedaan iklim mikro yang disebabkan oleh perbedaan keadaan lingkungan di setiap land use. Pengukuran dilakukan di bawah pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) pada kawasan industri, pohon angsana (Pterocarpus indicus) pada CBD, pohon kerai payung (Felicium decipiens) di kawasan perumahan dan pohon anggerit (Nauclea lanceolata) pada kawasan RTH kota. Pada Gambar 5.9 menggambarkan grafik rata-rata suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon pada empat kawasan yang berbeda. 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
62,46 55,59
55,63 50,44
32,29
32,53
33,47
30,51
Suhu (°C) RH (%)
Industri
CBD
Perumahan Land Use
RTH Kota
Gambar 5.9 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon Berdasarkan grafik pada gambar di atas, dapat diketahui bahwa suhu udara paling tinggi adalah suhu udara di bawah naungan pohon kerai payung (Felicium decipiens) pada kawasan perumahan dan suhu paling rendah terdapat di bawah naungan pohon anggerit (Naucela lanceolata) yang berada di kawasan RTH kota. Suhu udara di bawah naungan pohon pada kawasan industri dan CBD memiliki
54
nilai yang hampir sama dengan selisih sebesar 0,14⁰C. Kelembaban udara pohon paling tinggi adalah pohon pada RTH kota dan kelembaban udara paling rendah adalah pohon pada perumahan. Menurut uji statistik yang dilakukan, suhu dan kelembaban udara pohon pada empat kawasan ini memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 14). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada pohon dipengaruhi oleh adanya perbedaan land use dan kemampuan tiap jenis pohon dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Kawasan perumahan merupakan lingkungan yang padat dan minim RTH sehingga suhu udara pada kawasan perumahan cenderung tinggi, hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan di RTH kota yang didominasi oleh vegetasi sehingga suhu udara di RTH kota lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya. Sedangkan CBD lebih didominasi oleh bangunan fisik dan dekat dengan jalan raya sehingga menghasilkan suhu yang cukup tinggi. Menurut Kartasapoetra (1986) salah satu penyebab perbedaan iklim diberbagai tempat karena ketinggian tempat. Kawasan perumahan berada pada ketinggian 100-150 mdpl dan industri berada pada ketinggian 350-400 mdpl, sehingga walaupun industri menghasilkan panas dari aktivitas industri, suhu udara di industri lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di perumahan. Perbedaan suhu udara juga disebabkan oleh luasnya RTH pada masing-masing land use. RTH kota memiliki luas RTH yang paling besar dibandingkan dengan land use lainnya yaitu sebesar 85,8 persen dari luas keseluruhan. CBD memiliki luas RTH yang paling sedikit yaitu sebesar 22,15 persen. Semakin luas RTH pada suatu kawasan akan menciptakan iklim mikro yang lebih baik, sehingga suhu udara pada pohon di RTH kota memiliki suhu paling rendah. Faktor lain adalah kemampuan pohon dalam mereduksi suhu berbedabeda. Suhu udara di bawah pohon pada perumahan memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan CBD dengan selisih suhu sebesar 0,94⁰C. Hal ini dikarenakan pohon yang diukur suhu udaranya pada kawasan perumahan adalah pohon kerai payung (Felicium decipiens) yang memiliki tajuk tidak terlalu rapat dan tingginya ±6 meter, sedangkan pada CBD dilakukan pengukuran pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) yang memiliki tajuk rapat dan ketinggian mencapai ±8
55
meter. Hal ini mengindikasikan bahwa penting dilakukan pemilihan vegetasi secara cermat sehingga RTH yang ada dapat dimanfaatkan dengan efektif dan dapat memberikan iklim mikro yang nyaman. Menurut Grey dan Deneke (1978), kemampuan pohon dalam mereduksi suhu tergantung pada jenis kepadatan tajuknya, bentuk daun, dan pola percabangannya. Kelembaban udara paling tinggi terdapat pada kawasan RTH kota dan kelembaban udara paling rendah terdapat pada kawasan perumahan. Sedangkan industri dan CBD memiliki nilai kelembaban udara yang hampir sama. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan yang berbeda, lingkungan yang didominasi oleh pepohonan cenderung memiliki kelembaban udara tinggi karena banyaknya pohon yang melakukan evapotranspirasi sehingga dapat meningkatkan kelembaban udara disekitarnya. Kemampuan pohon dalam meningkatkan kelembaban udara juga berbedabeda. Menurut Scudo (2002) dalam Wardoyo (2011), pohon yang dapat mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara adalah pohon yang memiliki tajuk piramidal atau bulat (memiliki daerah bebas cabang lebih rendah sehingga kemampuan tajuknya dalam menyerap radiasi lebih tinggi), ditanam bejejer atau berkelompok, memiliki tinggi yang sedang (6-15 meter), memiliki kepadatan tajuk yang tinggi. Sedangkan pohon yang dapat meningkatkan suhu udara dan mereduksi kelembaban udara adalah pohon yang memiliki tajuk horizontal atau kolumnar, ditanam secara tunggal, memiliki ukuran sangat rendahrendah atau tinggi ( < 6 meter dan > 15 meter), serta memiliki kepadatan tajuk rendah sampai sedang. 5.3.2 Analisis Iklim Mikro Semak pada berbagai Land Use Pada kawasan industri, pengukuran dilakukan pada semak pangkas kuning (Duranta sp.), pada kawasan CBD dilakukan pada semak bugenvil (Bougainvillea sp.), semak firebush (Hamelia patens) pada kawasan perumahan, dan semak soka (Ixora sp.) pada kawasan RTH kota. Keadaan suhu udara rata-rata di bawah naungan semak pada empat kawasan dapat dilihat pada Gambar 5.10.
56
70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
55,40 50,47
34,36
51,14
35,66
49,42
34,58
34,11
Suhu (°C) RH (%)
Industri
CBD
Perumahan Land Use
RTH Kota
Gambar 5.10 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan semak Grafik di atas menggambarkan bahwa suhu udara di bawah naungan semak paling tinggi berada pada kawasan CBD dan suhu udara di bawah naungan semak paling rendah berada pada kawasan RTH kota. Sedangkan untuk kelembaban udara pada RTH kota memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya. Setelah dilakukan uji statistik, suhu dan kelembaban udara semak pada empat kawasan memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 15). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada semak dipengaruhi oleh perbedaan keadaan lingkungan land use dan kemampuan tiap jenis semak dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Pada semak di CBD yang terletak di pinggir jalan menyebabkan suhu udara lebih tinggi karena banyaknya kendaraan yang lewat dan panas yang disebabkan oleh aktivitas pembakaran energi kendaraan sehingga meningkatkan suhu udara disekitarnya. RTH kota memiliki kondisi lingkungan yang baik dengan banyaknya vegetasi di kawasan tersebut, sehingga suhu udara di bawah naungan semak pun menjadi rendah. Perumahan lebih tinggi suhu udaranya dibandingkan suhu udara di industri, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat (Kartasepoetra 1986), walaupun industri memiliki aktivitas industri yang menghasilkan panas, ketinggian tempat di industri lebih tinggi dibandingkan dengan perumahan, sehingga suhu udara di industri lebih rendah dibandingkan dengan di perumahan.
57
Perbedaan iklim mikro pada setiap land use juga disebabkan oleh ketersediaan luas RTH pada kawasan tersebut. Pada kawasan CBD memiliki suhu udara semak paling tinggi, RTH kawasan CBD memiliki luasan paling sedikit yaitu sebesar 22,15 persen dari luas keseluruhan. Suhu udara semak pada RTH kota memiliki suhu udara paling rendah, RTH pada kawasan RTH kota memiliki luasan yang paling besar dibandingkan kawasan lainnya yaitu sebesar 85,8 persen. Hal ini membuktikan semakin luas RTH pada suatu kawasan, maka iklim mikro yang dihasilkan akan semakin baik. Kelembaban udara pada kawasan industri dan CBD memiliki nilai yang hampir sama, hal ini disebabkan oleh keduanya merupakan pusat aktivitas dan memiliki RTH yang sedikit, sedikitnya pohon membuat aktivitas evapotranspirasi menjadi sedikit, sehingga kelembabannya menjadi rendah. Begitu pula dengan perumahan, kepadatan rumah yang merupakan bangunan fisik dapat membuat lingkungan perumahan memiliki kelembaban udara paling rendah dibandingkan kawasan lain. Selain itu, kawasan perumahan memiliki topografi yang paling rendah dibandingkan kawasan lain. Selain faktor lingkungan, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kelembaban udara yaitu kemampuan tiap semak untuk meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Menurut Scudo (2002) dalam Wardoyo (2012), semak yang dapat mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara adalah semak yang memiliki karakteristik mempunyai tajuk piramidal dan bulat, ditanam berjejer dan berkelompok, memiliki tinggi yang sedang (1-2 meter), serta memiliki kepadatan tajuk yang tinggi. Semak yang dapat menaikkan suhu udara dan menurunkan kelembaban udara adalah semak dengan tajuk kolumnar/horisontal, ditanam secara tunggal, memiliki ukuran sangat rendah-rendah atau tinggi (0,5-1 dan 2-3 meter), serta memiliki kepadatan tajuk rendah sampai sedang. 5.3.3 Analisis Iklim Mikro Rumput pada berbagai Land Use Permukaan rumput yang tidak teratur dapat menghamburkan pantulan sinar matahari sehingga tidak terpantul sempurna dibandingkan dengan permukaan paving yang memantulkan sinar matahari secara sempurna dan membuat suhu udara di sekitarnya lebih panas. Selain itu, rumput memiliki kemampuan untuk menerima dan melepaskan panas lebih cepat dibandingkan
58
penutup tanah berupa material keras seperti paving dan jalan beraspal. Berikut hasil dari pengukuran iklim mikro di atas rumput di empat kawasan yang berbeda. Rumput pada semua land use memiliki jenis yang sama yaitu rumput gajah (Axonopus compressus). 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
55,40 49,20 35,77
46,22 37,57
44,20 36,64
34,11
Suhu (°C) RH (%)
Industri
CBD
Perumahan Land Use
RTH Kota
Gambar 5.11 Suhu dan kelembaban udara di atas rumput Grafik di atas menggambarkan suhu dan kelembaban udara rumput pada empat kawasan yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Terlihat pada grafik bahwa suhu udara paling tinggi berada pada kawasan CBD, hal ini terjadi karena CBD minim RTH dan terletak di pinggir jalan yang padat lalu lintas kendaraan. Suhu tertinggi kedua adalah perumahan dimana perumahan terdiri dari banyak bangunan fisik sehingga membuat udara di sekitarnya lebih panas. Industri memiliki topografi yang lebih tinggi dibandingkan kawasan lain, maka suhu udara pada rumput industri lebih rendah dibandingkan CBD dan perumahan. Perbedaan suhu udara rumput pada perumahan dan industri hanya berbeda tipis yaitu sebesar 0,87⁰C. Suhu terendah berada di RTH kota, dimana RTH kota didominasi oleh vegetasi sehingga suhu di atas rumput memiliki suhu lebih rendah dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya. RTH kota memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan ketiga kawasan lain dikarenakan lingkungan RTH kota yang didominasi oleh vegetasi sehingga banyaknya aktivitas evapotranspirasi dan menghasilkan kelembaban yang tinggi. Industri memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan CBD dan kawasan perumahan memiliki kelembaban udara paling rendah.
59
Setelah dilakukan uji statistik, suhu dan kelembaban udara di atas rumput pada empat kawasan yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 16). Hal ini membuktikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada rumput dipengaruhi oleh perbedaan keadaan lingkungan land use. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan land use dapat menghasilkan suhu dan kelembaban udara yang berbeda-beda.
5.4 Analisis Kenyamanan Selain mengetahui perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi (pohon, semak, rumput) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota), penting dilakukan pengukuran kenyamanan secara kuantitatif. Suhu dan kelembaban udara sangat mempengaruhi terhadap kenyamanan user, untuk mengukurnya secara kuantitatif dapat digunakan Temperature Humidity Index (THI). Berikut tabel suhu dan kelembaban udara masing-masing struktur vegetasi pada setiap land use dan hasil pengukuran THI. Tabel 5.4 Hasil pengukuran THI No
Kawasan
1
Industri
2
CBD
3
Perumahan
4
RTH Kota
Struktur Vegetasi
Pohon Semak Rumput Pohon Semak Rumput Pohon Semak Rumput Pohon Semak Rumput
Suhu Udara (°C) 32,29 34,36 35,77 32,53 35,66 37,57 33,47 34,58 36,64 30,51 33,28 34,11
Faktor THI RH (%) 55,59 50,47 49,20 55,63 51,14 46,22 50,44 49,42 44,20 62,46 56,86 55,40
Kategori THI
29,42 30,95 32,13 29,64 32,18 33,53 30,15 31,09 32,55 28,22 30,41 31,06
Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman Tidak Nyaman
Tabel di atas menunjukkan nilai THI pada setiap struktur vegetasi di semua kawasan. Dapat dilihat bahwa di semua kawasan tidak ada yang termasuk dalam kategori nyaman, hal ini disebabkan oleh keadaan suhu udara pada semua kawasan berkisar antara 30,51-37,57°C. Sedangkan untuk kisaran kelembaban udara di semua kawasan adalah 44,20-64,26 persen. Kawasan yang paling
60
mendekati kategori nyaman (nilai THI mendekati 27) adalah pada kawasan RTH kota di bawah naungan pohon yaitu dengan nilai 28,22. Hal ini dikarenakan kawasan RTH kota memiliki banyak vegetasi dan minim bangunan fisik sehingga suhu udara rendah dan kelembaban tinggi membuat kawasan tersebut mendekati nyaman, namun pada jam 12.30-13.00 pada saat dilakukan pengukuran, kawasan tersebut kurang nyaman bagi pengunjung. Nilai THI paling tinggi adalah nilai THI pada kawasan CBD di atas rumput. Hal ini disebabkan oleh kawasan CBD yang didominasi oleh bangunan fisik dan dekat jalan yang banyak mengeluarkan panas akibat aktivitas dari pembakaran energi. Selain itu, kemampuan rumput dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban juga kurang, sehingga kenyamanan di atas rumput pada kawasan CBD sangat rendah dibandingkan dengan struktur vegetasi pada kawasan lain. Secara keseluruhan, struktur vegetasi yang mempunyai nilai THI paling rendah adalah struktur vegetasi pohon, hal ini dikarenakan pohon memiliki kemampuan untuk menaungi dan melindungi dari sinar matahari sehingga suhu udara di bawah pohon lebih rendah. Kemampuan pohon dalam melakukan evapotranspirasi juga tinggi sehingga kelembaban udara yang dihasilkan oleh pohon lebih tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pohon dalam memberikan kenyamanan pada manusia lebih baik dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Semak memiliki nilai THI lebih rendah dibandingkan dengan nilai THI rumput. Hal ini dikarenakan semak lebih mempunyai struktur yang menaungi dan intensitas evapotranspirasi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput sehingga suhu udara lebih rendah dan kelembaban udara pada naungan semak lebih tinggi. Rumput tidak memiliki kemampuan untuk menaungi sehingga suhu udara rumput lebih tinggi dibandingkan semak. Hal ini membuktikan bahwa semak lebih mampu memberikan kenyamanan kepada manusia dibandingkan struktur vegetasi rumput. Kawasan yang keseluruhannya paling rendah nilai THI-nya adalah kawasan RTH kota dengan kisaran 28,22-31,06, hal ini dikarenakan kawasan RTH kota memiliki banyak vegetasi dan minim bangunan fisik. Kawasan industri memiliki nilai THI paling rendah setelah RTH kota dengan kisaran 29,42-32,13,
61
hal ini dikarenakan letak kawasan industri berada pada ketinggian 350-400 mdpl sehingga menyebabkan suhu udara di kawasan industri lebih rendah dibandingkan dengan CBD dan perumahan walaupun terdapat aktivitas industri. Kawasan perumahan memiliki nilai THI lebih tinggi dibandingkan kawasan industri dengan kisaran 30,51-32,55, hal ini dikarenakan kawasan perumahan berada pada ketinggian yang paling rendah dibanding kawasan lain yaitu 150-200 mdpl, sehingga kawasan perumahan memiliki suhu udara yang cukup tinggi, selain itu kawasan perumahan yang padat mempengaruhi dalam tingginya suhu udara di perumahan. Kawasan CBD memiliki nilai THI yang paling tinggi, artinya kawasan CBD merupakan kawasan yang paling tidak nyaman di antara kawasan lainnya, hal ini disebabkan oleh kawasan ini didominasi oleh bangunan dan RTH yang ada pada kawasan ini sangat minim. Selain faktor lingkungan tersebut, kemampuan tiap jenis struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda, sehingga perlu diperhatikan pemilihan jenis struktur vegetasi pada setiap kawasan. Contohnya, diperlukan struktur vegetasi pohon yang efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara pada semua kawasan. Selain itu, luas RTH keseluruhan pada setiap kawasan juga mempengaruhi kenyamanan dari kawasan tersebut. Semakin luas RTH pada suatu kawasan, kenyamanan akan semakin meningkat. CBD memiliki luas RTH yang paling rendah dibandingkan kawasan lainnya sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang paling tidak nyaman dibandingkan dengan kawasan lainnya. Kawasan industri yang mempunyai aktivitas produksi, keadaannya lebih nyaman dibandingkan kawasan CBD karena selain faktor topografi, kawasan industri memiliki luasan RTH yang lebih luas dibandingkan dengan kawasan CBD. Untuk itu, ketersediaan RTH di setiap kawasan sebaiknya dipertahankan agar dapat menciptakan iklim mikro yang dapat memberikan kenyamanan bagi warga kota. 5.5 Rekomendasi RTH pada Land Use Hasil analisis menyatakan bahwa kemampuan tiap struktur vegetasi dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda. Selain itu, setiap land use yang berbeda, iklim mikro yang diciptakan juga berbeda karena
62
adanya faktor lingkungan dari setiap land use dan kemampuan jenis vegetasi dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara berbeda-beda pula. Kota Bogor memiliki proporsi RTH yang ideal menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 29 Ayat 2, namun setelah dilakukan analisis kenyamanan, semua land use memiliki iklim mikro yang tidak nyaman bagi manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh RTH yang ada belum dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga belum dapat dengan efektif menciptakan iklim mikro yang nyaman. RTH perkotaan diharapkan dapat memenuhi fungsinya sesuai kebutuhan masing-masing land use. 5.5.1 Rekomendasi Struktur Vegetasi Kota Bogor masih memiliki proporsi luas RTH yang ideal bagi kawasan perkotaan. Penting sekali untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas RTH yang ada di Kota Bogor sehingga kenyamanan warga kota tetap terjaga. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas RTH yaitu dengan menanam struktur vegetasi yang efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Menurut hasil penelitian, struktur vegetasi pohon dapat dengan efektif menurunkan suhu udara sebesar 0,86-5,15°C dibandingkan struktur vegetasi lainnya.
Penanaman
pohon
dalam
jumlah
banyak
pada
RTH
sangat
direkomendasikan karena fungsinya sangat efektif dalam ameliorasi iklim terutama pada kawasan yang luas RTH-nya sudah minim seperti CBD. 5.5.2 Rekomendasi RTH pada Kawasan Industri Hasil penelitian menyatakan industri memiliki suhu dan kelembaban udara yang relatif lebih nyaman dibandingkan kawasan CBD dan perumahan. Dapat dilihat dari luas tutupan lahannya pada tabel 5.3, kawasan industri memiliki nilai luasan RTH lebih besar dibandingkan kawasan CBD dan perumahan yaitu sebesar 26,95%.
Industri
merupakan
kawasan
yang
memiliki
potensi
dalam
ketidaknyamanan iklim mikro suatu kota. Untuk itu, sebaiknya industri dibangun jauh dari pusat kota dan RTH pada kawasan industri harus cukup luas dan efektif sehingga ketidaknyamanan iklim mikro yang disebabkan oleh aktivitas industri dapat diminimalisir.
63
5.5.3 Rekomendasi RTH pada Kawasan CBD Pada kawasan CBD di perkotaan sulit ditemukan RTH yang berbentuk areal, hal ini disebabkan oleh kepemilikan dari CBD rata-rata merupakan milik pribadi dan mahalnya harga tanah sehingga kesadaran untuk membuat RTH yang luas untuk kawasan tersebut sangat kurang. Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD memiliki tingkat kenyamanan yang sangat minim dibandingkan kawasan lainnya. Dapat dilihat pada tabel 5.3, luas RTH pada kawasan CBD memiliki presentasi yang paling kecil dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya yaitu sebesar 22,15%. Jalur akses CBD umumnya berhubungan secara langsung dengan jalan raya sehingga apabila sulit untuk menciptakan RTH berbentuk areal, RTH berbentuk linear juga dapat menjadi solusi. Keberadaan RTH dapat tetap dipertahankan pada kawasan CBD dengan mengefektifkan RTH pada lanskap jalan. 5.5.4 Rekomendasi RTH pada Kawasan Perumahan Hasil penelitian menyatakan kawasan perumahan memiliki nilai THI yang cukup tinggi dan nilainya hampir sama dengan nilai THI pada kawasan CBD. RTH pada kawasan perumahan sangat penting untuk ditingkatkan kualitasnya demi kenyamanan penghuni perumahan. Selain itu, RTH pada kawasan perumahan dapat menjadi media untuk menciptakan suasana ketetanggaan yang baik. RTH pada kawasan perumahan sebaiknya banyak diwujudkan dengan membuat taman lingkungan. Taman lingkungan sebaiknya didominasi oleh vegetasi pohon karena pohon dapat dengan efektif memberikan kenyamanan. Sehingga selain terciptanya kualitas lingkungan yang baik dengan adanya taman lingkungan yang memadai, kebutuhan sosial pengguna juga dapat terpenuhi. 5.5.5 Rekomendasi RTH pada Kawasan RTH Kota Perkembangan pesat pada kawasan perkotaan menyebabkan keberadaan RTH kota menjadi terancam. RTH kota sangat penting keberadaannya untuk tetap mempertahankan kualitas lingkungan di perkotaan. Kebun Raya Bogor merupakan RTH kota yang sangat membantu dalam menciptakan kenyamanan di kawasan Kota Bogor terutama letaknya yang berada pada pusat kota yang berpotensi terjadinya Urban Heat Island. RTH kota merupakan land use dengan
64
tingkat kenyamanan paling tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya karena kawasannya memang khusus didominasi oleh RTH sehingga suhu udara rendah dan kelembaban udara pada kawasan ini cukup tinggi. Dapat dilihat pada Tabel 5.3, kawasan RTH kota memiliki presentase luas RTH sebesar 85,8 persen dari luas keseluruhan kawasan.
65
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1.
Berdasarkan hasil interpretasi dan klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011, keadaan penutupan lahan Kota Bogor berdasarkan tiga klasifikasi penutupan lahan yaitu, 54,67 persen dari luas Kota Bogor berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH), 42,21 persen berupa lahan terbangun, dan sisanya, 3,03 persen merupakan badan air. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Berdasarkan peraturan tersebut, Kota Bogor masih memiliki proporsi luas RTH yang ideal bagi kawasan kota. Namun, dilihat dari kepadatan lahan terbangunnya, Kecamatan Bogor Tengah sebagai pusat kota memiliki persen lahan terbangun yang lebih banyak dibandingkan kecamatan lain. Hal ini membuat Kota Bogor berpotensi terjadinya fenomena Urban Heat Island. Sehingga Kota Bogor harus dapat meningkatkan kualitas RTH perkotaan untuk dapat menyediakan kenyamanan bagi masyarakat.
2.
Hasil uji statistik menyatakan bahwa iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi yang berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini membuktikan bahwa setiap struktur vegetasi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam ameliorasi iklim. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik struktural masing-masing struktur vegetasi. Struktur vegetasi yang paling efektif dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara adalah pohon. Hasil uji statistik juga menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi
66
yang sama (contoh: pohon dengan pohon) pada semua land use memiliki perbedaan secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini membuktikan perbedaan lingkungan land use dan jenis vegetasi berpengaruh terhadap ameliorasi iklim. Land use yang mempunyai suhu udara yang paling rendah dan kelembaban udara yang paling tinggi adalah RTH kota. 3. Hasil pengukuran THI pada setiap struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada semua land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) termasuk dalam kategori tidak nyaman. Hal ini membuktikan bahwa RTH yang ada pada setiap kawasan belum efektif dalam ameliorasi iklim. Struktur vegetasi yang memberikan kenyamanan paling tinggi adalah pohon. Sedangkan land use yang memberikan kenyamanan paling tinggi adalah RTH kota. Keberadaan luas RTH yang memadai pada setiap kawasan juga mempengaruhi kenyamanan suatu kawasan karena hasil penelitian menyatakan semakin luas RTH pada suatu kawasan, tingkat kenyamanannya akan semakin baik. 6.2 Saran Sebaiknya RTH pada perkotaan dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara merencanakan dan mendesain RTH kota dengan struktur vegetasi yang sesuai sehingga keberadaan RTH pada kawasan perkotaan dapat dengan efektif dalam ameliorasi iklim dan memberikan kenyamanan bagi warga kota. Peneliti juga berharap bahwa metode penelitian pada penelitian selanjutnya sebaiknya diambil pengukuran yang digunakan sebagai titik kontrol dan pertimbangan pemilihan lokasi pengambilan data ditambah variabelnya sehingga hasil penelitian lebih menginterpretasikan karakteristik dari iklim mikro pada penggunaan lahan yang berbeda.
67
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Peta Bogor. www.google.com. [26 Desember 2011]. Ayuningtyas A. 2007. Kajian Kualitas Rumput Lapangan Sepak Bola di Jakarta dan Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Booth NK, Hiss JE. 2004. Residental Landscape Architecture: Design Process For The Private Residence. New Jersey: Pearson Education Inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Barat dalam Angka. Bandung: BPS. Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun Bernuansa Hutan Kota. Bogor: IPB Press. Dirdjojuwono RW. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1996. Tata Cara Perencanaan Teknik Lansekap Jalan. Jakarta: DPU. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. www.penataanruang.net [10 April 2012]. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta: DPU Eckbo G. 1964. Urban Landscape Design. New York: Mc Graw Hill Inc. Effendi S. 2007.Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fandheli C, Muhammad. 2009. Prinsip-Prinsip Dasar Lanskap. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Menkonservasi
Frick H, Suskiyanto FXB. 2007. Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis. Bandung: Penerbit ITB. Grey GW, Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. Toronto: John Wiley & Sons, Inc. Hartman JR, Pirone TP, Sall MA. 2000. Pirone’s Tree Maintanance. New York: Oxford University Press Inc. Joga N, Iswan I. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Irwan
Z. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Pelestariannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Lingkungan,
dan
68
_______. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kartasapoetra AG. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kleerekoper L et all. 2011. How to make a city climate-proof, addressing the urban heat island effect [jurnal]. Resources, Conservation, and Recycling. 64(2012):30-38. Lechner N. 2007. Heating, Cooling, Lighting: metode desain untuk arsitektur. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lillesand T, Kiefer R. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Wiley & Sons. Lo CP. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Purbawaseso (penerjemah). Jakarta: UI Press. Purwadhi S. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Grasindo. Tursilowati L. 2007. Use of Remote Sensing and GIS to Compute Temperature Humidity Index as Human Comfort Indicator Relate With Land Use-Land Cover Change (LULC) in Surabaya. Jurnal Ilmiah Esai 73:160. Rustiadi E, dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Sadyohutomo M. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah: Realita dan Tantangan. Jakarta: Bumi Aksara. Skidmore A. 2002. Environmental GIS and Remote Sensing. London: Taylor & Francis. Weng Q. 2010. Remote Sensing and GIS Integration: Theories, Methods, and Application. Toronto: McGraw-Hill Companies. Wardoyo J. 2011. Vegetation Configuration as Microclimate Control Strategy In Hot Humid Tropic Urban Open Space [artikel]. http://dtap.undip.ac.id/index.php/Artikel. 23 Februari.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Peta lokasi kawasan industri
71
Lampiran 2 Peta lokasi kawasan CBD
72
Lampiran 3 Peta lokasi kawasan perumahan
73
Lampiran 4 Peta lokasi kawasan RTH Kota
74
Lampiran 5 Hasil akurasi Peta Landsat 7 ETM+ CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ----------------------------------------Image File : g:/data/batasbogor/bogor_recode5.img User Name : Cherish Date : Sun Jun 10 02:53:08 2012 ERROR MATRIX ------------Classified Data --------------Lahan Terbuka Lahan Terbangun Badan Air
Reference Data -------------Lahan Terb Lahan Terb Badan Air ---------- ---------- ---------- ---------0 0 0 0 0 25 3 1 0 5 37 2 0 0 0 1
Column Total 0 30 ----- End of Error Matrix ----ACCURACY TOTALS ---------------Class Reference Classified Number Users Name Totals Totals Correct Accuracy ---------- ---------- ---------- ----------0 0 0 --Lahan Terbuka 30 29 25 86.21% Lahan Terbangun 40 44 37 84.09% Badan Air 4 1 1 100.00% Totals 74 74 63 Overall Classification Accuracy = 85.14% ----- End of Accuracy Totals ----KAPPA (K^) STATISTICS --------------------Overall Kappa Statistics = 0.7136 Conditional Kappa for each Category. -----------------------------------Class Name Kappa -------------0.0000 Lahan Terbuka 0.7680 Lahan Terbangun 0.6537 Badan Air 1.0000 ----- End of Kappa Statistics -----
40
4
Producers Accuracy ----------83.33% 92.50% 25.00%
75
Lampiran 6 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan industri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Suhu Udara (°C) RH (%) Pohon Semak Rumput Pohon Semak Rumput 32.33 34.27 35.03 55.67 50.67 51.00 32.37 34.23 35.60 55.33 50.33 51.00 32.30 34.27 35.77 55.33 50.67 49.67 32.33 34.30 35.77 55.00 50.67 50.00 32.40 34.37 35.87 55.33 50.33 50.00 32.40 34.33 35.87 55.33 50.33 49.67 32.33 34.40 36.00 56.00 50.67 49.67 32.33 34.40 36.00 55.67 50.33 50.00 32.33 34.43 35.97 55.67 50.67 50.00 32.33 34.43 35.93 55.67 50.33 49.33 32.27 34.40 35.90 55.67 50.33 49.33 32.27 34.37 35.93 55.33 50.33 49.33 32.27 34.33 35.90 55.33 50.67 49.33 32.23 34.30 35.80 55.33 50.33 49.00 32.27 34.33 35.80 55.33 50.33 49.00 32.20 34.33 35.83 55.33 50.33 49.33 32.20 34.33 35.80 55.67 50.33 49.00 32.20 34.37 35.63 55.67 50.67 48.67 32.20 34.37 35.57 55.67 50.67 49.00 32.20 34.37 35.53 56.00 50.67 49.00 32.20 34.33 35.53 56.00 50.67 49.00 32.20 34.33 35.50 56.00 50.33 49.00 32.20 34.37 35.57 56.00 50.33 49.00 32.30 34.33 35.57 56.00 50.33 49.00 32.30 34.37 35.73 56.00 50.33 48.33 32.30 34.40 35.73 55.67 50.67 48.33 32.30 34.40 35.93 55.67 50.67 48.00 32.33 34.40 35.93 55.33 50.33 48.00 32.33 34.43 36.00 55.33 50.33 48.00 32.37 34.43 36.00 55.33 50.33 48.00 32.29 34.36 35.77 55.59 50.47 49.20 Sumber : Pengolahan Data Pengukuran
76
Lampiran 7 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan CBD No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Pohon 32,63 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,60 32,53 32,53 32,53 32,53 32,53 32,50 32,47 32,47 32,47 32,47 32,47 32,43 32,43 32,47 32,47 32,43 32,40 32,40 32,53
Suhu Udara (°C) Semak Rumput 35,20 36,77 35,33 36,77 35,47 36,87 35,50 36,87 35,20 36,87 35,27 36,87 35,27 37,00 35,30 37,00 35,30 36,97 35,27 36,97 35,23 36,97 35,23 37,03 35,67 37,03 35,70 37,80 35,73 37,80 35,73 37,93 35,83 37,93 35,83 37,93 35,90 38,00 35,90 38,03 35,97 38,10 35,97 38,07 36,00 38,13 36,07 38,13 36,07 38,20 36,07 38,20 36,03 38,23 35,97 38,23 35,93 38,20 35,87 38,20 35,66 37,57
Pohon 56,67 56,67 56,00 55,67 55,67 55,67 55,33 55,33 55,33 55,33 55,67 55,67 55,33 55,33 55,33 55,33 55,33 56,00 56,00 55,67 55,33 55,33 55,67 56,00 56,00 55,67 55,33 55,33 55,33 55,67 55,63
Sumber : Pengolahan Data Pengukuran
RH (%) Semak 51,00 51,00 50,67 50,00 51,00 51,00 50,67 50,33 50,33 50,67 51,00 51,33 53,33 53,33 54,00 53,00 52,67 52,33 50,33 50,67 51,00 51,00 50,33 50,67 51,00 51,33 50,33 50,00 50,00 50,00 51,14
Rumput 48,33 48,33 48,00 47,67 47,67 47,67 47,00 46,67 46,67 46,33 46,33 46,33 46,33 46,33 46,33 46,00 45,67 45,67 46,00 45,33 45,67 46,00 46,00 45,67 45,33 45,33 44,00 43,67 44,67 45,67 46,22
77
Lampiran 8 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan perumahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Pohon 31,77 31,80 31,97 31,97 32,10 32,77 32,87 32,87 33,23 33,23 33,37 33,40 33,47 33,53 33,53 33,70 33,73 33,80 33,97 34,00 34,10 34,17 34,20 34,23 34,30 34,30 34,33 34,37 34,37 34,53 33,47
Suhu Udara (°C) Semak 33,50 33,50 33,63 33,63 33,73 33,73 33,90 33,93 34,07 34,10 34,50 34,33 34,43 34,53 34,60 34,73 34,77 34,83 34,90 34,93 35,00 35,17 35,23 35,23 35,30 35,37 35,43 35,47 35,50 35,53 34,58
Rumput 36,73 36,73 36,90 36,90 35,70 35,73 35,90 36,23 36,23 36,50 36,50 36,63 36,63 36,77 36,77 36,83 36,93 37,07 37,07 37,07 37,10 37,00 36,97 36,97 36,80 36,80 36,53 36,53 36,27 36,27 36,64
Pohon 54,00 54,00 53,00 52,67 53,00 51,33 52,00 52,00 51,33 51,67 51,67 50,67 50,67 50,33 49,33 49,67 50,67 50,67 50,00 49,33 50,00 49,33 49,00 48,00 48,00 47,67 48,00 49,00 48,67 47,67 50,44
Sumber : Pengolahan Data Pengukuran
RH (%) Semak 53,33 53,33 52,33 52,33 52,00 52,67 53,67 52,33 51,67 50,33 50,33 51,67 48,00 48,00 47,33 48,00 47,00 48,33 47,67 47,00 47,33 47,00 46,67 47,00 48,00 49,33 48,67 48,67 46,67 46,00 49,42
Rumput 45,67 45,67 44,67 44,67 46,67 46,67 45,67 45,67 45,00 44,67 44,67 44,00 44,00 43,33 43,33 43,33 43,33 43,67 43,67 43,33 43,33 43,33 43,33 43,00 43,67 43,67 43,33 43,33 43,67 43,67 44,20
78
Lampiran 9 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan RTH Kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Suhu Udara (°C) pohon semak rumput 30,43 33,90 33,77 30,43 34,03 33,77 30,43 33,97 33,93 30,50 33,93 34,00 30,20 33,90 34,30 30,20 33,83 34,30 30,33 33,73 34,40 30,33 33,63 34,43 30,57 33,67 34,47 30,60 33,60 34,47 30,63 33,50 34,53 30,67 33,50 34,43 30,73 33,33 34,47 30,70 33,37 34,47 30,80 33,23 34,27 30,70 33,13 34,20 30,73 33,13 34,10 30,80 33,20 34,10 30,73 33,20 34,03 30,70 33,13 34,03 30,70 33,13 33,87 30,67 33,00 33,77 30,60 33,00 33,83 30,57 32,93 33,87 30,47 32,83 33,83 30,33 32,80 33,90 30,30 32,63 33,90 30,17 32,63 33,90 30,17 32,23 33,93 30,17 32,23 33,90 30,51 33,28 34,11
pohon 61,33 61,33 61,33 60,67 64,00 64,00 63,67 63,67 62,33 63,00 62,33 61,00 60,67 62,00 62,00 62,33 62,00 62,33 62,00 62,33 62,67 63,00 63,00 63,33 62,33 62,67 63,00 63,00 63,00 63,33 62,46
RH (%) semak 57,67 57,00 57,00 57,00 56,00 56,00 56,33 56,67 56,33 56,00 56,33 56,00 56,67 57,00 57,00 56,67 56,67 57,00 57,00 57,00 57,00 57,00 57,00 57,33 57,33 57,33 57,33 57,33 57,33 57,33 56,86
Sumber : Pengolahan Data Pengukuran
rumput 57,67 56,67 56,33 56,67 55,67 55,67 55,00 55,00 55,00 55,00 54,33 54,67 54,33 54,33 54,67 54,67 55,00 55,00 55,33 55,67 56,33 56,33 55,67 55,67 55,67 55,33 55,33 55,00 55,00 55,00 55,40
79
Lampiran 10
Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi PT Unitex Descriptives 95% Confidence Interval for
N
Mean
Std.
Std.
Deviation
Error
Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Suhu Pohon 30 32.2863
.06430
.01174
32.2623
32.3103
32.20
32.40
Semak 30 34.3573
.05159
.00942
34.3381
34.3766
34.23
34.43
Rumput 30 35.7663
.21344
.03897
35.6866
35.8460
35.03
36.00
Total 90 34.1367
1.44318
.15212
33.8344
34.4389
32.20
36.00
Pohon 30 55.5887
.28767
.05252
55.4812
55.6961
55.00
56.00
Semak 30 50.4660
.16941
.03093
50.4027
50.5293
50.33
50.67
Rumput 30 49.1997
.78129
.14264
48.9079
49.4914
48.00
51.00
Total 90 51.7514
2.81964
.29722
51.1609
52.3420
48.00
56.00
RH
ANOVA Sum of Squares Suhu
Between Groups
Mean Square
183.847
2
91.924
1.518
87
.017
Total
185.365
89
Between Groups
686.646
2
343.323
Within Groups
20.934
87
.241
Total
707.581
89
Within Groups
RH
df
F
Sig.
5267.725
.000
1426.812
.000
80
Lampiran 11 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi CBD Bantarjati Descriptives 95% Confidence Interval for
N
Mean
Std,
Std,
Deviation
Error
Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Suhu Pohon 30 32,5256
,07307
,01334
32,4983
32,5528
32,40
32,63
Semak 30 35,6600
,32263
,05890
35,5395
35,7805
35,20
36,07
Rumput 30 37,5700
,59069
,10784
37,3494
37,7906
36,77
38,23
Total 90 35,2519
2,12657
,22416
34,8065
35,6973
32,40
38,23
Pohon 30 55,6333
,37498
,06846
55,4933
55,7734
55,33
56,67
Semak 30 51,1444
1,09574
,20005
50,7353
51,5536
50,00
54,00
Rumput 30 46,2222
1,13574
,20736
45,7981
46,6463
43,67
48,33
Total 90 51,0000
3,97432
,41893
50,1676
51,8324
43,67
56,67
RH
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
389.193
2
194.596
Within Groups
13.292
87
.153
Total
402.485
89
Between Groups
1329.474
2
664.737
76.304
87
.877
1405.778
89
Within Groups Total
F
Sig.
1273.682
.000
757.920
.000
81
Lampiran 12 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada perumahan Bukit Cimanggu City Descriptives 95% Confidence Interval for
N
Mean
Std,
Std,
Deviation
Error
Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Suhu Pohon 30 33,4656
,85224
,15560
33,1473
33,7838
31,77
34,53
Semak 30 34,5844
,67351
,12297
34,3330
34,8359
33,50
35,53
Rumput 30 36,6356
,38882
,07099
36,4904
36,7807
35,70
37,10
Total 90 34,8952
1,47519
,15550
34,5862
35,2042
31,77
37,10
Pohon 30 50,4444
1,84107
,33613
49,7570
51,1319
47,67
54,00
Semak 30 49,4222
2,46031
,44919
48,5035
50,3409
46,00
53,67
Rumput 30 44,2000
1,06710
,19482
43,8015
44,5985
43,00
46,67
Total 90 48,0222
3,31824
,34977
47,3272
48,7172
43,00
54,00
RH
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
155.079
2
77.539
Within Groups
38.603
87
.444
Total
193.681
89
Between Groups
673.096
2
336.548
Within Groups
306.859
87
3.527
Total
979.956
89
F
Sig.
174.753
.000
95.417
.000
82
Lampiran 13 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada Kebun Raya Bogor Descriptives 95% Confidence Interval for
N
Mean
Std,
Std,
Deviation
Error
Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Suhu Pohon 30 30,5122
,20780
,03794
30,4346
30,5898
30,17
30,80
Semak 30 33,2789
,49360
,09012
33,0946
33,4632
32,23
34,03
Rumput 30 34,1056
,26087
,04763
34,0081
34,2030
33,77
34,53
Total 90 32,6322
1,58217
,16678
32,3008
32,9636
30,17
34,53
Pohon 30 62,4556
,91594
,16723
62,1135
62,7976
60,67
64,00
Semak 30 56,8556
,46882
,08560
56,6805
57,0306
56,00
57,67
Rumput 30 55,4000
,78492
,14331
55,1069
55,6931
54,33
57,67
Total 90 58,2370
3,14654
,33167
57,5780
58,8961
54,33
64,00
RH
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
212.499
2
106.249
Within Groups
10.291
87
.118
Total
222.790
89
Between Groups
832.595
2
416.298
Within Groups
48.570
87
.558
Total
881.165
89
F
Sig.
898.211
.000
745.679
.000
83
Lampiran 14. Hasil uji anova-one way hubungan antar pohon pada empat kawasan Descriptives 95% Confidence Interval for Mean
N Suhu
Mean
Std.
Std.
Lower
Upper
Deviation
Error
Bound
Bound
Minimum Maximum
industri
30 32.2863
.06430 .01174
32.2623
32.3103
32.20
32.40
CBD
30 32.5253
.07267 .01327
32.4982
32.5525
32.40
32.63
Perumahan 30 33.4660
.85139 .15544
33.1481
33.7839
31.77
34.53
RTH kota
30 30.5120
.20744 .03787
30.4345
30.5895
30.17
30.80
Total
120 32.1974
1.15774 .10569
31.9881
32.4067
30.17
34.53
industri
30 55.5887
.28767 .05252
55.4812
55.6961
55.00
56.00
CBD
30 55.6330
.37700 .06883
55.4922
55.7738
55.33
56.67
Perumahan 30 50.4450
1.84101 .33612
49.7576
51.1324
47.67
54.00
RH
RTH kota
30 62.4550
.91615 .16727
62.1129
62.7971
60.67
64.00
Total
120 56.0304
4.40961 .40254
55.2333
56.8275
47.67
64.00
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
195.305
3
65.102
Within Groups
17.759
116
.153
Total
213.063
119
Between Groups
2145.436
3
715.145
Within Groups
106.126
116
.915
Total
2251.562
119
F
Sig.
425.242
.000
781.683
.000
84
Lampiran 15 Hasil uji anova-one way hubungan antar semak pada empat kawasan Descriptives 95% Confidence Interval for Mean
N Suhu
Mean
Std.
Std.
Lower
Upper
Deviation
Error
Bound
Bound
Minimum Maximum
industri
30 34.3573
.05159 .00942
34.3381
34.3766
34.23
34.43
CBD
30 35.6603
.32301 .05897
35.5397
35.7809
35.20
36.07
Perumahan 30 34.5833
.67399 .12305
34.3317
34.8350
33.50
35.53
RTH kota
30 34.1057
.26091 .04764
34.0082
34.2031
33.77
34.53
Total
120 34.6767
.71232 .06503
34.5479
34.8054
33.50
36.07
industri
30 50.4660
.16941 .03093
50.4027
50.5293
50.33
50.67
CBD
30 51.1440
1.09545 .20000
50.7350
51.5530
50.00
54.00
Perumahan 30 49.4220
2.45985 .44911
48.5035
50.3405
46.00
53.67
RH
RTH kota
30 55.4003
.78562 .14343
55.1070
55.6937
54.33
57.67
Total
120 51.6081
2.67167 .24389
51.1252
52.0910
46.00
57.67
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
195.305
3
65.102
Within Groups
17.759
116
.153
Total
213.063
119
Between Groups
2145.436
3
715.145
Within Groups
106.126
116
.915
Total
2251.562
119
F
Sig.
425.242
.000
781.683
.000
85
Lampiran 16 Hasil uji anova-one way hubungan antar rumput pada empat kawasan Descriptives 95% Confidence Interval for Mean
N Suhu
Mean
Std.
Std.
Lower
Upper
Deviation
Error
Bound
Bound
Minimum Maximum
industri
30 35.7663
.21344 .03897
35.6866
35.8460
35.03
36.00
CBD
30 37.5700
.58901 .10754
37.3501
37.7899
36.77
38.23
Perumahan 30 36.6353
.38963 .07114
36.4898
36.7808
35.70
37.10
RTH kota
30 34.1057
.26091 .04764
34.0082
34.2031
33.77
34.53
Total
120 36.0193
1.33808 .12215
35.7775
36.2612
33.77
38.23
industri
30 49.1997
.78129 .14264
48.9079
49.4914
48.00
51.00
CBD
30 46.2223
1.13535 .20729
45.7984
46.6463
43.67
48.33
Perumahan 30 44.2007
1.06905 .19518
43.8015
44.5999
43.00
46.67
RH
RTH kota
30 55.4003
.78562 .14343
55.1070
55.6937
54.33
57.67
Total
120 48.7558
4.34979 .39708
47.9695
49.5420
43.00
57.67
ANOVA Sum of Squares Suhu
RH
df
Mean Square
Between Groups
195.305
3
65.102
Within Groups
17.759
116
.153
Total
213.063
119
Between Groups
2145.436
3
715.145
Within Groups
106.126
116
.915
Total
2251.562
119
F
Sig.
425.242
.000
781.683
.000
86
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 17 Januari 1992. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak M. Ali Ridho dan Ibunda Lilis Cahyaningsih Sucian Dewi. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Al Furqan Jember pada tahun 2004 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di MTS Assalam Sukoharjo. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Assalaam Sukoharjo diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 atau angkatan ke 45 IPB. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB 2008-2009, sekretaris II Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada tahun 2009-2010, dan menjadi sekretaris umum Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) periode 20102011. Selain organisasi, penulis juga sebagai anggota klub fotografi di HIMASKAP Photography Club (HPC) pada tahun 2009-2011.