PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor )
PUTRI YASMIN NURUL FAJRI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRAK
PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Pemodelan Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaaan di Perkotaan (Studi Kasus : Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh TANIA JUNE dan LILIK BUDI PRASETYO
Penelitian ini dilakukan di Bogor pada koordinat 106o48'40'' BT-106o46'22'' BT dan 6o30'53'' LS - 6o40'08'' LS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jarak ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan sehingga menghasilkan pemodelan yang dapat menghubungkan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dalan perencanaan tata ruang perkotaan. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh dengan menggunakan satelit Landsat 5 TM+. Selanjutnya, dari citra satelit tersebut, dilakukan klasifikasi panutupan lahan yang dibedakan ke dalam tujuh tutupan lahan yang meliputi badan air, lahan terbangun, semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit. Pada penutupan lahan bervegetasi (semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit), dilakukan penghitungan jarak dengan menggunakan prinsip euclidean distance. Dengan demikian, fungsi ruang terbuka hijau pada penelitian ini merupakan fungsi jarak antar kelas vegetasi. Selain itu, dilakukan juga penghitungan komponen-komponen neraca energi yang meliputi radiasi netto (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H) dan latent heat flux (LE) pada tiap tutupan lahan baik tutupan lahan bervegetasi maupun tutupan lahan tidak bervegetasi. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh model dengan persamaan ̂ = -0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah - 0.000053 Ln(Ladang) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan Dladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang. Persamaan ini memiliki koefisien determinasi (R2) 88% dan hasil validasi menunjukkan korelasi 93.3% antara suhu permukaan hasil dugaan dengan suhu permukaan sebenarnya. Dalam persamaan ini vegetasi tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan diduga karena tingginya nilai LE di wilayah Bogor dan pengaruh vegetasi tinggi tertutup oleh vegetasi yang lain yang menutup lahan di Bogor.
Kata kunci : Penginderaan jauh, vegetasi, neraca energi, perkotaan.
ABSTRACT
PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Modelling The Effect Of Greenspace On Surface Temperature in Urban Area (Case Study: Bogor, West Java). Supervised by TANIA JUNE and LILIK BUDI PRASETYO
This research was conducted in Bogor, located at 106o48'40'' E-106o46'22'' E and 6o30'53''S -6 40'08'' S. The research aimed at determining the influence of greenspace distance on micro climate especially on surface temperature, and therefore the effective distance of greenspace can be determined for urban spatial planning consideration. Urban surface temperature is the function of energy balance components and greenspace distance. Information of greenspace was derived from satellite image of Landsat 5 TM +.The image wa classified into seven land cover types i.e water bodies, constructed land, bush, paddy field (sawah), high vegetation, field (ladang), and oil palm. Distance to each greenspace type (bush, paddy field, high vegetation, field, and palm), were calculated using Euclidean distance principle. Energy balance components of each land cover class that include net radiation (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H), and latent heat flux (LE) were extracted from band 1,2,3 and 6 of Landsat 5 TM image data. Analysis result showed the influence of energy balance component and greenspace distance to surface temperature is satisfactorily described by the following : o
̂
= -0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah - 0.000053 Ln(Ladang)
where albedo is the ratio of radiation reflected to incoming radiation. Rn is the net radiation, Dsawah is the distance of observation point on the paddy field, and Dladang is the distance of observation point on the field. The equation has a coefficient of determination (R2) 88% and validation results showed a correlation 93,3% between the estimated surface temperature with the actual surface temperature. High vegetation do not affect significantly affect Bogor. Keywords: remote sensing, vegetation, energy balance, urban environment.
PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor )
PUTRI YASMIN NURUL FAJRI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PEMODELANPENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Bogor )
PUTRI YASMIN NURUL FAJRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
:
Pemodelan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau Terhadap Suhu Permukaan Di Perkotaan ( Studi Kasus : Kota Bogor )
Nama
:
Putri Yasmin Nurul Fajri
NRP
:
G24070017
Menyetujui,
Dr. Ir. Tania June, M.Sc NIP. 196306281988032001
Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP. 196203161988030012
Mengetahui, Ketua Departeman Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini menguraikan hasil penelitian selama Oktober 2010 - Mei 2011 dengan fokus pada iklim mikro perkotaan dengan judul Pemodelan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaan Di Perkotaan. Studi Kasus Bogor, Jawa Barat. Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Tania June, M.Sc dari Departemen Geofisika dan Meteorologi dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo dari Departemen Konservasi Sumberdaya dan Ekowisata selaku pembimbing yang selalu memberikan saran dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi beserta seluruh dosen dan karyawan atas bantuan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan. 3. Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS dari Departemen Statistika atas bimbingan dan bantuannya. 4. Bapak Umar Saleh, Ibu Rozinah Zakaria dan Putri Balqies selaku keluarga yang bantuan dan doa restu yang senantiasa diberikan. 5. Rizky Oktavian, Tuti Purwaningtyas, Iqrarul Fata, Muis Fajar dan Muhammad Iqbal yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Penulis menyadari dalam skripsi ini belum sempurna, sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta kepada seluruh pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2011
Putri Yasmin Nurul.Fajri
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada 12 Juni 1989 di Bekasi, Jawa Barat, dari ibu bernama Rozinah Zakari dan ayah bernama Umar Saleh. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Muhammadiyah 02 Pekalongan pada tahun 2002, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Pekalongan pada tahun 2004 dan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 2 Pekalongan pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti yaitu, BEM-FMIPA periode 2009, HIMAGRETO, Organisasi Mahasiswa Pekalongan, Serambi Ruhiyah Mahasiswa FMIPA dan Organisasi Penerima Beasiswa Karya Salemba Empat-IPB. Penulis pernah menjabat sebagai ketua departemen keilmuan HIMAGRETO dan ketua departemen Informasi dan Komunikasi Organisasi Mahasiswa Pekalongan (IMAPEKA).
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... iii I . PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 1 II . TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 1 2.1. Ruang Terbuka Hijau ............................................................................................. 1 2.2. Citra satelit Landsat................................................................................................ 2 2..3 Pengertian dan komponen neraca energi ................................................................ 3 2.4. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) .................................................. 5 2.5. Suhu Permukaan .................................................................................................... 5 2.6. Neraca energi tiap penutupan lahan bervegetasi ..................................................... 6 III . METODOLOGI .................................................................................................. 8 3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................................ 8 3.2. Alat dan Bahan ...................................................................................................... 8 3.3. Metode Penelitian .................................................................................................. 3.3.1. Pemrosesan data citra .................................................................................. 3.3.2. Penentuan jarak dengan metode euclidean distance .................................... 3.3.3. Neraca energi .............................................................................................. 3.3.4. Pembuatan model ........................................................................................
9 9 12 12 14
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 15 4.1. Kondisi umum kota Bogor .................................................................................... 15 4.2. Klasifikasi penutupan lahan dengan menggunakan citra satelit landsat ................. 15 4.3. Pendugaan komponen neraca energi pada beberapa penutupan lahan ................... 4.3.1. Pendugaan albedo ....................................................................................... 4.3.2. Pendugaan radiasi netto .............................................................................. 4.3.3. Pendugaan soil heat flux (G), sensible heat flux (H), dan latent heat flux (LE) ............................................................................. 4.3.4. Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi .............................................................................................
16 16 17 18 22
4.4. Penentuan pengaruh neraca energi dan suhu permukaan ..................................... 23 4.5. Penentuan pengaruh jarak jangkau tiap jenis vegetasi dan suhu yasmin jei ik permukaan ............................................................................................................. 24 4.5.1. Vegetasi tinggi ............................................................................................ 24 4.5.2. Ladang dan Rumput/Semak ........................................................................ 25 4.5.3. Sawah ......................................................................................................... 26
4.5.4. Sawit ........................................................................................................... 26 4.6. Penentuan pengaruh neraca energi, jarak jangkau RTH dan suhu permukaan .... 27 4.7. Pengaruh RTH Di Bogor....................................................................................... 29 V . KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 29 5.2. Saran ..................................................................................................................... 30 VI . DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30 LAMPIRAN ............................................................................................................... 32
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM+ ......... 2
Tabel 2
Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput.................................................. 7
Tabel 3
Aliran energi dan massa ..................................................................................... 8
Tabel 4
Neraca energi (MJm-2) pada ladang singkong di sabana pada musim basah ..... 8
Tabel 5
Parameter perhitungan albedo .......................................................................... 14
Tabel 6
Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006 ................................................. 15
Tabel 7
Klasifikasi penutupan lahan kota Bogor tahun 2006 ......................................... 16
Tabel 8
Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm-2) tiap penutupan lahan .................. 17
Tabel 9
Rata-rata komponen soil heat flux (H) Bogor tahun 2006 ................................. 18
Tabel 10
Rata- rata suhu permukaan Bogot tahun 2006 ................................................... 19
Tabel 11
Rata- rata komponen Sensible heat flux (H) Bogor tahun 2006 ......................... 20
Tabel 12
Rata- rata komponen Latent heat flux (LE) Bogor tahun 2006 .......................... 21
Tabel 13
Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor ................. 25
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Ilustrasi Komponen Neraca Energi ............................................................... 3
Gambar 2
Peta lokasi penelitian .................................................................................... 8
Gambar 3
Diagram alir tahapan penelitian .................................................................... 9
Gambar 4
Diagram alir klasifikasi terbimbing penutupan lahan ................................... 10
Gambar 5
Badan air ...................................................................................................... 11
Gambar 6
Sawah berair ................................................................................................ 11
Gambar 7
Sawah kering ............................................................................................... 11
Gambar 8
Semak /rumput .............................................................................................. 11
Gambar 9
Vegetasi rapat ............................................................................................... 11
Gambar 10
Sawit ............................................................................................................. 11
Gambar 11
Lahan terbangun ........................................................................................... 12
Gambar 12
Ladang ......................................................................................................... 12
Gambar 13
Diagram alir penentuan Euclidean distance .................................................. 12
Gambar 14
Diagram alir penentuan suhu permukaan dan neraca energi ........................ 13
Gambar 15
Training area pada klasifikasi lahan ........................................................... 15
Gambar 16
Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor ........................................................................................................... 19
Gambar 17
Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi ................................... 21
Gambar 18
Kondisi lingkungan sekitar lahan perkebunan sawit ................................... 21
Gambar 19
Peta sebaran Normalized Vegetation Index pada lokasi penelitian 2006 ........................................................................................................... 22
Gambar 20
Grafik hubungan radiasi netto terhadap NDVI............................................. 23
Gambar 21
Peta titik sampel pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan ................................................................................................ 24
Gambar 22
Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu yasminm permukaan .................................................................................................. 25
Gambar 23
Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan .................................................................................................. 26
Gambar 24
Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan .......................... 26
Gambar 25
Diagram tabur (scatter plot) suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi .............................................................. 28
Gambar 26
Tranformasi box cox suhu permukaan ......................................................... 28
Gambar 27
Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu yasmin j permukaan .................................................................................................. 29
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Peta Penutupan Lahan Bogor .................................................................... 32
Lampiran 2.
Peta Fluks Radiasi Netto Bogor ................................................................. 33
Lampiran 3.
Peta Fluks Panas Tanah Bogor .................................................................. 34
Lampiran 4.
Peta Fluks Panas Udara Bogor .................................................................. 35
Lampiran 5.
Peta Fluks Panas Laten Bogor ................................................................... 36
Lampiran 6.
Peta Titik Sampel Bogor ........................................................................... 37
Lampiran 7.
Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah, ladang, semak dan vegetasi terhadap suhu permukaan ........................................................................... 38
Lampiran 8.
Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah dan ladang terhadap suhu permukaan .................................................................................................. 39
Lampiran 9.
Analisis Regresi tiap penutupan lahan bervegetasi ..................................... 40
Lampiran 10.
Korelasi tiap penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan ........ 42
Lampiran 11.
Data Pembuatan Model dan Yang Digunakan Untuk Validasi ................... 43
Lampiran 12.
Uji akurasi klasifikasi lahan ....................................................................... 50
iii
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi karakteristik unsur iklim mikro lainnya seperti suhu udara, arah angin dan sebagainya. Pada daerah perkotaan, unsur-unsur fisis atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan aktivitas penggunaan lahan. Aktivitas tersebut membentuk karakteristik iklim mikro yang khas di perkotaan. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (urban heat island) di mana terdapat perbedaan yang nyata antara suhu rata-rata daerah urban dengan daerah sub-urban. Pada dasarnya, penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap penerimaan radiasi matahari dan kemampuan bahan penutup lahan tersebut dalam melepaskan panas yang diterima dari radiasi matahari. Menurut Wardhani (2006), penutupan lahan berupa penutupan vegetasi, dapat menurunkan suhu di pusat kota dibandingkan dengan daerah pinggiran kota. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukan eksistesi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun demikian, Perencanaan wilayah perkotaan seringkali kurang memperhatikan aspek fisis perkotaan. Umumnya, pembangunan ruang terbuka hijau hanya dilakukan pada lahanlahan yang kosong dan kurang mencukupi sebagai peredam panas perkotaan. Oleh Karena itu, diperlukan perumusan dalam penentuan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan agar ruang terbuka hijau tersebut dapat secara efektif menciptakan iklim mikro diperkotaan yang nyaman. Pendugaan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dapat ditempuh dengan observasi pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu udara di perkotaan. Akan tetapi, untuk dapat diperoleh data yang menggambarkan pengaruh ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan dengan tepat, maka diperlukan kondisi cuaca yang menghampiri kondisi normal di mana tidak terjadi fenomena ENSO pada tahun tersebut. Oleh sebab itu, pendugaan sebaran suhu permukaan pada area yang luas, dilakukan dengan menggunakan teknik teknik penginderaan jauh. Teknik pengindraan jauh selain dapat menghemat biaya dan waktu, dapat pula
menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi area kajian yang luas. Dengan demikian, perumusan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dapat diperoleh melalui ekstraksi komponen neraca energi, suhu permukaan dan jarak antar-ruang terbuka hijau sehingga dapat memudahkan penentu kebijakan dalam perencanaan pembangunan tata kota dan wilayah perencanaan tata ruang di perkotaan. 1.2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model hubungan antara jarak RTH terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan model tersebut, didapatkan jarak RTH yang efektif, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan tata ruang perkotaan. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Hijau Dalam Undang-Undang no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Selanjutnya, pada pasal 29 ayat 3 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :
RTH yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi, RTH untuk tujuan keindahan kota, RTH karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga, RTH untuk tujuan pengaturan lalu lintas kota,
1
RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan perumahan, RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang , RTH untuk halaman maupun bangunan rumah dan bangunan
Menurut Wardhani (2006), ruang terbuka hijau sangat efektif dalam mengurangi climatological heat effect pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya anomali pergerakan zat pencemar udara yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan maupun makhluk hidup. 2.2. Citra Satelit Landsat Menurut Kieffer & Lillesand (1997), Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai suatu cara untuk memperoleh informasi dari objek tanpa mengadakan kontak fisik dengan objek tersebut, sedangkan secara khusus adalah
usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber daya alam dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca diantaranya METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan NOAA-N (USA). The United States Geological Survey USGS (2002), menyebutkan bahwa pemantauan sumber daya yang ada di bumi dapat dilakukan dengan menggunakan Satelit Landsat 5 yang diluncurkan pada tanggal 1 maret 1984. Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit pada 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali pada pukul 10.00 waktu setempat.
Tabel 1 Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM+ ( Lillesan dan Kiefer, 1997)
1
Panjang Gelombang(µm) 0.45 - 0.52
2
0.52 - 0.60
Hijau
3
0.63 - 0.69
Merah
4
0.76 - 0.90
Infra merah dekat
5
1.55 - 1.75
Infra merah sedang
6
10.4 - 12.5
7
2.08 - 2.35
Infra Merah Termal Infra merah sedang
Kanal
Warna
Spektral Kegunaan
Biru
Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia. Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia. Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan budidaya manusia. Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomassa untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan. Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas. Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan.
Sistem Landsat-5 dirancang untuk bekerja 7 kanal atau kanal energi pantulan (kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7) dan satu kanal energi emisi (kanal 6). Sensor ETM+ bekerja pada tiga resolusi, yaitu :
• •
. Kanal spektral yaitu kanal 1 hingga kanal 5 dan kanal 7 untuk resolusi 30 meter Kanal 6 bekerja dengan resolusi 120 meter.
2
Dalam menganalisis suhu permukaan, maka kanal yang digunakan adalah kanal 6 yang merupakan satu- satunya kanal yang memilki sensor terhadap thermal IR pada sistem penginderaan jauh. Panjang gelombang yang ditangkap oleh kanal tersebut adalah 10.4-12.5 µm, di mana secara umum memiliki fungsi untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah. 2.3. Pengertian dan komponen neraca energi Radiasi netto (Rn) Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 Kelvin akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta Wm-2 . Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 Wm-2, hanya sekita 50% yang diserap oleh permukaan bumi, 20% diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30% dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer. Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek, sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 oC) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan dipancarkan lagi dalam bentuk gelombang panjang. Selisih antara gelombang pendek netto dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang disebut radiasi netto yang dirumuskan sebagai berikut: Rn = Rs↓+Rs↑+Rl↑+Rl↓ ……(1) dengan Rs↓ adalah radiasi gelombang pendek yang datang, Rs↑ adalah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan, Rl↑ radiasi gelombang penjang yang dipantulkan dan Rl↓ adalah radiasi gelombang penjang yang datang. Sebagian dari radiasi gelombang pendek dipantulkan dan diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaanya.
Gambar 1 Ilustrasi komponen-komponen neraca energy. Sumber : Langensiepen (2003). Berdasarkan pemanfaatan radiasi netto sebagaimana Gambar 1, radiasi netto dapat pula dirumuskan sebagai Rn = H+G+λE+S……(2) dimana H adalah sensible heat flux, G adalah soil heat flux, λE adalah latent heat flux, S adalah storage. Samson dan Lemeur (2001) dalam tulisannya menyebutkan bahwa radiasi netto yang diterima oleh obyek di muka bumi akan digunakan untuk proses-proses fisis dan biologis yang dirumuskan ke dalam persamaan berikut : Rn = Sa+Sg+Sw+Sv+Sp……….(3) di mana Rn merupakan radiasi netto, Sa adalah sensible heat flux yang seringkali dilambangkan dengan H, Sg adalah soil heat flux yang sering dilambangkan dengan G, Sw adalah latent heat flux yang sering dilambangkan dengan λE, Sv adalah bimass heat storage dan Sp adalah photosynthesis heat storage. Keseluruhan pemanfaatan radiasi netto tersebut dinyatakan dalam satuan Wm-2. Berbeda dengan Samson dan Lemeur (2001), Mayers dan Hollinger (2003) dalam tulisannya menjelaskan bahwa G berbeda dengan Sg. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), Sg merupakan ground heat storage di atas soil heat flux plate (G). Mayers dan Hollinger (2003) juga menyebutkan bahwa terdapat komponen pemanfaatan radiasi netto untuk pemanasan kandungan air (Sc). Dengan demikian, persamaan radiasi netto menurut Mayers dan Hollinger (2003) adalah : Rn = H+G+λE+Sv+Sp+Sc……….(4) Proses-proses pemanfaatan radiasi netto ke dalam berbagai komponenkomponen di atas akab berinteraksi dengan berbagai obyek di permukaan, termasuk interaksinya terhadap tumbuhan. Pengaruh interaksi radiasi terhadap tumbuhan dibagi menjadi tiga bagian (Ross, 1975 dalam Impron 1999) :
3
Pengaruh thermal radiasi hampir 70% diserap oleh tanaman dan diubah sebagai lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Pengaruh fotosintesis karena hampir 28% dari energi yang ada diserap untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia Pengaruh fotomorfogenetik yaitu sebagai regulator dan pengendali proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sensible Heat Flux (H) Sensible Heat Flux (H) atau yang dikenal dengan lengas terasa atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Maharani, 2005). Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi di mana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Proses tersebut dirumuskan kedalam persamaan berikut : ……..(5) di mana H adalah fluks pemanasan udara (Wm-2), ρ adalah kerapatan udara kering (Kgm-3), Cp adalah panas jenis udara pada tekanan tetap (JKg-1K-1), Ts adalah suhu permukaan (oC), Ta adalah suhu udara (oC) dan Γa adalah tahanan aerodinamik. Berdasarkan persamaan 5 diatas, diketahui bahwa semakin besar perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu udara diatasnya dengan tahanan aerodinamik yang kecil, maka jumlah energi akan menjadi besar. Proses pemanasan udara melalui konveksi lebih efektif dibandingkan dengan konduksi atau radiasi. Oleh karena itu, proses pemanasan udara dalam neraca energi hanya diwakili oleh proses konveksi, sehingga nilai H ~ Rn. Latent Heat Flux (LE) Latent heat flux (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi , sedangkan aliran energi akan bersifat positif (Michael, 2006). Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan.
Soil Heat Flux (G) Soil Heat Flux (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui persamaan berikut : ……..(6) di mana G adalah fluks pemanasan tanah (Wm-2), k adalah koefisien konduktifitas tanah (Wm-2 K-1) dan adalah gradient suhu (Km-1). Menurut Pusmahasib (2002), limpahan lengas tanah yang sampai di permukaan tanah akan berkurang seiring dengan meningkatnya indeks luas daun suatu vegetasi. Storage (S) Sebagaimana persamaan 2, diketahui bahwa pemanfaatan radiasai netto selain digunakan untuk sensible heat flux, soil heat flux dan latent heat flux, radiasi netto yang diserap akan digunakan sebagai komponen storage. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), komponen storage terdiri dari penggunaan radiasi netto untuk adveksi, pengubahan energi menjadi biomasa (Sv), energy untuk fotosintesis (Sp) dan memanaskan sejumlah air yang terkandung di dalam suatu obyek terutama pada vegetasi (Sc). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jing et. al. (2006), adveksi merupakan pemanfaatan radiasi netto untuk proses pemanasan secara horizontal. Adveksi dipengaruhi oleh energi yg tersedia, kandungan air, kecepatan angin dan gradien vertical dari suhu udara.dalam penelitian tersebut, didapatkan pula adanya ragam spasial pada proses adveksi. Samson dan Lemeur (2001) menyebutkan bahwa penggunaan komponen storage pada radiasi nettto tidak sebesar pemanfaatan radiasi netto untuk G, LE dan H. Terkadang, komponen S hanya dipertimbangkan sebagai fraksi yang tetap pada pemanfaatan Rn oleh suatu obyek karena sulitnya menentukan heat storage terutama Sp ( (Aston (1985) dalam Samson dan Lemeur (2001)). Penelitian yang dilakukan oleh Samson dan Lemeur (2001) di Belgia (50o58’ LU
4
dan 3o49’ BT) menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan penggunaan radiasi netto mengubah energi menjadi biomasa (Sv) sebanding dengan sensible heat flux. Selain itu, Samson dan Lemeur (2001) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan radiasi netto untuk proses fotosintesis (Sp) pada tumbuhan pinus hanya sebesar 3% dari keseluruhan radiasi netto yang diterima vegetasi tersebut. 2.4. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Departemen Kehutanan 2001 mendefinisikan NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index ) sebagai suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal infra merah dan kanal merah dekat yang menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel. Sementara Panuju (2009) mendefinisikan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai nilai indeks tanpa satuan yang menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu hamparan yang dirumuskan sebagai …(7) di mana NIR adalah gelombang infra merah dekat (0.76 - 0.90 µm) dan IR adalah gelombang infra merah (0.63 - 0.69 µm). Menurut Knipling (1970), vegetasi memiliki reflektansi yang rendah terhadap gelombang cahaya tampak dan IR karena sebagian besar gellombang cahaya tampak tersebut diserap oleh klorofil dan sebagian besar IR pada panjang gelombang di atas 1.3 µm akan diserap oleh air. Sebaliknya, vegetasi akan merefleksikan sebagian besar gelombang infra merah dekat yang diterimanya. Perhitungan NDVI merupakan perbandingan antara reflektansi gelombang infra merah dekat dengan gelombang cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar dari -1 hingga +1. Nilai tersebut mengindikasikan tingkat kesuburan dan kerapatan vegetasi dari suatu penutupan lahan. Semakin rapat dan subur suatu vegetasi, maka nilai NDVI akan menunjukkan nilai yang tinggi, sedangkan pada area yang telah terjadi pembukaan lahan akan menunjukkan nilai NDVI yang rendah. Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila suatu obyek lebih banyak memantulkan gelombang inframerah dekat dibandingkan dengan infra merah. Nilai
NDVI nol (0) terjadi apabila pemantulan gelombang inframerah sama dengan pemantulan gelombang infra merah. Nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila suatu awan, salju dan badan air memantulkan gelombang infra merah yang lebih banyak dibandingkan dengan gelombang inframerah dekat. Menurut Allen et. al (2001) terdapat hubungan antara nilai NDVI, soil heat flux (G), radiasi netto, albedo dan suhu permukaan : G = f (Rn, Ts, α, NDVI ) …….(8) dirumuskan sebagai berikut : (1-0.98 NDVI4)………………..(9) di mana : G = soil heat flux (Wm-2) Ts = suhu permukaan (K) NDVI = indeks vegetasi Rn = radiasi netto (Wm-2) α = albedo. Panuju (2009) menyatakan bahwa pendugaan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI memiliki berbagai keuntungan. Pertama, NDVI potensial untuk mempelajari tanaman. Kedua, NDVI dapat digunakan untuk memisahkan tipe permukaan bervegetasi. Ketiga, NDVI merupakan indeks vegetasi yang relatif tidak sensitif terhadap topografi. Menurut Darmawan (2005), berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa indeks vegetasi (NDVI) menunjukkan bahwa NDVI sebagai parameter terbaik dalam membedakan berbagai kelas vegetasi. Minimum NDVI adalah nilai NDVI minimal dan umumnya merupakan titik terendah dari kegiatan fotosintesis, sementara maksimum NDVI adalah nilai maksimum yang merupakan titik tertinggi aktivitas fotosintesis. 2.5. Suhu Permukaan Menurut Rosenberg (1974), suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu objek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu objek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan objek.
5
Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara diatasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan dibawahnya. Perubahan suhu permukaan obyek tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik objek tersebut. Karakteristik yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Suhu permukaan objek akan meningkat bila memiliki emisivitas dan kapasitas panas yang rendah dan konduktivitas termalnya tinggi (Adiningsih, 2001). Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Emisivitas adalah rasio total energi radian yang diemisikan suatu benda per unit waktu per unit luas pada suatu permukaan dengan panjang gelombang tertentu pada temperatur benda hitam pada kondisi yang sama. Konduktivitas termal dapat didefinisikan sebagai kemampuan fisik suatu benda untuk menghantarkan panas dengan pergerakan molekul. Kapasitas panas merupakan jumlah panas yang dikandung oleh suatu benda (Handayani 2007 ). 2.6. Neraca Energi Tiap Penutupan Lahan bervegetasi Menurut Waspadadi (2007), ruang terbuka hijau dengan luasan 30x30 meter mampu menurunkan suhu udara di lahan terbangun sebesar 0,0631oC. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa bila RTH mampu menurunkan suhu udara. Oleh karena itu, RTH juga mampu menurunkan suhu permukaan pada penutupan lahan non-vegetasi. Dengan demikian, dapat dipertimbangkan bahwa luasan RTH mempengaruhi kondisi suhu permukaan disekitaanya dan dapat digunakan sebagai peubah penjelas dari peubah respon berupa suhu permukaan. Pada penelitian yang dilakukan Waspadadi (2007) juga diketahui bahwa dengan penambahan 213,75 m lahan bervegetasi pada 3 poligon (14.850 m2) mampu menggeser rentang suhu permukaan yaitu dari selang 21-33 oC menjadi 23-32 oC. Persawahan Pusmahasib (2002) menjelaskan bahwa pada lahan bervegetasi tanaman padi sawah, radiasi netto yang mencapai
permukaan tanah akan berkurang. Hal ini terjadi karena sebagian dari radiasi netto akan mengenai tanaman sebelum mencapai permukaan tanah. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk penutupan lahan berupa persawahan, nilai fluks pemanasan udara (H) berfluktuasi sesuai dengan perkembangan umur tanaman padi. Fluks pemanasan udara relatif besar terjadi pada awal umur tanaman padi dan akan menurun ketika tajuk tanaman mulai rapat. Kondisi ini dikarenakan pada saat tersebut tanaman masih muda dengan rumpun yang masih renggang, sehingga radiasi global yang datang langsung mengenai air pada lahan sawah. Akibatnya suhu air akan tinggi dan akan terjadi peningkatan limpahan lengas terasa. Ketika tanaman mulai tumbuh dan tajuk tanaman mulai rapat, radiasi yang sampai ke permukaan tanah akan menurun karena tajuk tanaman padi yang rapat menghalangi penerimaan langsung radiasi ke tanah. Nilai H pada persawahan akan meningkat saat menjelang panen karena terjadi perontokan tanaman padi dan pembukaan lahan akibat proses pemanenan. Pada rujukan yang sama, diketahui bahwa untuk daerah persawahan, LE (latent heat) yang terjadi cukup tinggi dan berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi netto yang mengenai kawasan persawahan tersebut. Nilai LE akan menurun seiring dengan umur tanaman dan akan meningkat pada saat menjelang panen. Hal ini dikarenakan pada saat umur tanaman masih muda, lahan sawah masih terairi sehingga kelembaban udara di sekitar tanaman akan meningkat dan defisit tekanan uap air akan menurun, akibatnya nilai LE akan berkurang. Sebaliknya, pada saat akhir tanam, pengairan pada lahan mulai dikurangi, maka kelembaban udara akan turun sehingga terjadi peningkatan defisit tekanan dan mengakibatkan LE juga akan meningkat. Sementara itu, untuk nilai fluks panas tanah (G) pada persawahan, nilainya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur tanaman padi sawah dan akan meningkat kembali pada saat tanaman padi sawah menggugurkan daunnya ketika menjelang panen. Vegetasi tinggi Dalam Impron (1999), kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal, yaitu refleksivitas, transmisivitas dan absorbsivitas. Refleksivitas merupakan proporsi kerapatan fluks radiasi matahari
6
yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, sedangkan transmisivitas adalah proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun. Absorbsivitas dapat didefinisikan sebagai proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun. Dalam June (1993), radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada area tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi surya di puncak, tengah dan dasar kanopi. Keadaan ini mempunyai implikasi penting untuk tanaman yang tumbuh di bawah kanopi yang tebal. Faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan daun (transmisi radiasi), ukuran daun, elevasi matahari serta proporsi dari radiasi langsung dan baur tajuk tanaman. Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi (η), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) : ρ + η + α = 100%......................(10) Koefisien pemadaman (extinction coefficient) tajuk tanaman menggambarkan besarnya kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman, mulai dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (June, 1993). Distribusi cahaya dalam kanopi tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dan efisiensi konversi penerimaan radiasi menjadi bahan kering (June, 1993). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan bagaimana hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi. Nilai koefisien pemadaman (k) bergantung pada spesies, tipe tegakan, dan distribusi daun. Nilai k kurang dari 1 terdapat pada kondisi dedaunan yang tidak horizontal atau distribusi daun tidak merata (merumpun). Sementara nilai k lebih dari 1 terdapat pada distribusi daun yang tersebar merata (June, 1993). Yoshida (2009) menyatakan bahwa pada penutupan lahan berupa hutan dengan vegetasi tinggi yang rapat, akan
memancarkan 70% fluks panas laten dan 30% lengas terasa dari radiasi netto yang diterimanya. Untuk daerah urban, radiasi netto yang diserap oleh vegetasi menjadi lebih besar dibandingkan dengan wilayah hutan. Selanjutnya disebutkan dalam Rauf (2009) bahwa kandungan air pada tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput, sehingga kebutuhan panas laten untuk mengevaporasikan air pada permukaan tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput. Rumput/semak Menurut Newton & Blackman (1970), rumput memiliki tekstur daun yang kasar dan berujung runcing, tekstur ini menyebabkan radiasi yang diterimanya akan dipancarkan lebih besar dibandingkan dengan daun yang bertekstur halus. Hal ini menyebabkan rumput akan memancarkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan pada daun bertekstur halus. Tabel 2 Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput Hutan/ Variabel Vegetasi Rumput neraca tinggi (MJm-2 hari-1) energi (MJm-2 hari-1) Rn
11.28±2.74
10.21±2.5
LE
8.41± 6.50
4.21±2.4
H
2.85±6.16
6.00 2.7
G 0.02±0.59 Sumber : Rauf (2009)
0.01±0.2
Pada penelitian yang dilakukan Rauf (2009) diketahui bahwa radiasi global yang diterima rumput akan lebih besar nilainya dibandingkan dengan radiasi global yang diterima oleh vegetasi tinggi. Di kawasan Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu, padang rumput menerima radiasi global 19.19 MJm-2hari-1, sedangkan vegetasi tinggi akan menerima radiasi global sebesar 18.55 MJm-2hari-1 pada hari tidak hujan. Selain itu, terdapat pula perbedaan radiasi netto pada rumput dan vegetasi tinggi yang disebabkan oleh perbedaan albedo kedua penutupan lahan tersebut. Monteith (1975) melaporkan hasil penelitian Marriam (1961) dan Leyton (1967) bahwa kapasitas tajuk rumput adalah 0.5-0.9 mm.
7
Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi
III METODOLOGI
Vegetasi tinggi (MJm-2hari-1)
Rumput (MJm-2 hari-1)
Rn
11.28±2.74
10.21±2.53
LE
8.41± 6.50
4.21±2.48
74.56
41.23
2.85±6.16
6.00 2.69
LE/Rn H
H/Rn 25.27 58.77 Aliran massa 3.43 1.72 Sumber : Rauf (2009) Ladang Pada penelitian yang dilakukan oleh Jose dan Berrade (1983) di Calobozo Biological Station, USA, dihasilkan bahwa dengan penghitungan Radiasi netto, sensible heat flux, latent heat flux dan soil heat flux melalui pendekatan neraca energi selama musim basah dihasilkan radiasi netto yang diserap oleh tanaman ladang ladang seperti singkong dengan radiasi yang cukup rendah pada siang hari, pada umumnya radiasi netto yang diru bah menjadi panas laten sebesar 76 hingga 86 persen. Proses tersebut bergantung pada fase-fase pertumbuhan tanaman pada ladang dan tutupan kanopi tanaman tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa sensile heat flux pada ladang akan mencapai maksimum terjadi pada tengah hari. Tabel 4
Neraca energi (MJm-2) pada ladang singkong di sabana pada musim basah Periode observasi
komponen
50
84
115
153
Hari setelah pemupukan Rl
18.4
21.5
9.6
18.5
Rn
14.1
12.7
5.0
11.4
G
0.3
0.5
0.2
0.7
-1.8 -7.5 LE 12.2 -8.1 Sumber : Lean, 1996.
-0.9
-5.5
-3.9
-5.3
H
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya: Perangkat lunak Erdas 9.1 untuk mengklasifikasikan penutupan lahan pada wilayah kajian serta menentukan berbagai komponen-komponen NDVI, neraca energi, suhu permukaan dan albedo. Perangkat lunak ArcGIS 9.3 digunakan untuk menentukan jarak dengan prinsip Euclidean distance, menentukan titik amatan dan memperoleh berbagai komponen-komponen sebagai peubah penjelas dan peubah respon berdasarkan titik amatan. Perangkat lunak Ms. Office 2010 untuk mengolah data yang diperoleh dan melaporkan hasil penelitian. Perangkat lunak Minitab 15.0 sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh menggunakan alasisa statistik Perangkat lunak R 2.13.0 untuk mentransformasi matrik yang diperoleh pada Erdas 9.1.
8
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pemrosesan Data Citra Pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum analisis spasial dan atribut, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari suatu data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan data citra dilakukan sebagai berikut:
Seperangkat komputer dan printer GPS (Ground Control Point) sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh ground check point (GCP). Bahan – bahan yang digunakan antara lain : 1. Data citra Landsat TM+ Path/Row 122/065, tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dengan penutupan awan 0%. 2. Peta dasar wilayah Kota Bogor 3. Data iklim Kota Bogor (1993-2009)
Landsat 5 TM+
Koreksi citra Subset image
Kanal 1,2,3 dan 6
Kanal 1,2,3,4,5 dan 7
Komponen neraca energi Rn
G
H
Klasifikasi terbimbing
Ts
LE
Albedo Badan air
Lahan bervegetasi
Sawah Ladang
Transformasi
Rumput/ semak
Sawit
Lahan terbangun
Vegetasi tinggi
Euclidean distance
Transformasi
Titik amatan Uji asumsi Tidak
Terpenuhi
Tidak Nyata
Ya
Analisis regresi
Tidak
Tidak Nyata
Nyata
Model Validasi Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.
9
a. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan analisis titik kontrol medan (ground control point / GCP) yang dapat dikenali pada citra satelit dan peta acuan. Koreksi ini dilakukan untuk memproyeksikan citra ke dalam suatu system proyeksi tertentu. Pada penelitian ini, proyeksi yang digunakan adalah UTM (Universal Transverse Mercator). Penggunaan system proyeksi UTM sangat ideal bagi Indonesia karena dapat memberikan distorsi minimal untuk kondisi geografis Indonesia yang berada di sekitar katulistiwa. b. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi data akibat pengaruh kondisi atmosfer yang disebabkan oleh variasi cuaca dan sudut matahari, pengaruh dan perubahan reflektan spektral dari obyek di permukaan. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode dark object dimana dark object tiap kanal dalam satu scene diperoleh dari data histogram. Pengaruh haze akan meningkatkan nilai digital number. Oleh karena itu, secara keseluruhan data akan dikurangi dengan selisih nilai antara dark object dan nilai nol. Hal ini ditempuh dengn asumsi bahwa keseluruhan data dalam scene tersebut mendapatkan pengaruh atmosfer yang sama. c. Subset Wilayah Kajian Dari data citra satelit Landsat TM+ path/row 122/065, dilakukan cropping dengan data vektor Kodya Bogor pada koordinat 106o48'40'' BT dan -6o30'53'' LS sampai dengan106o46'22'' BT dan -6o40'08'' LS. Subset ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengolah dan menganalisis daerah kajian. d. Klasifikasi Penutup Lahan Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan teknik maximum likelyhood. Metode klasifikasi ini menggunakan kanal 5, 4 dan 3. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan mencocokkan hasil penutupan lahan pada citra dengan kondisi di lapangan pada daerah kajian. Klasifikasi lahan dibedakan berdasarkan penutupan lahan dengan spektral paling nyata pada daerah kajian. Di wilayah Bogor, penutupan lahan dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu badan air, lahan terbangun, sawah, rumput/semak, ladang, vegetasi tinggi dan sawit.
Badan air pada penelitian ini didefinisikan sebagai kumpulan air yang besarnya antara lain bergantung pada relief permukaan bumi, curah hujan, suhu, dan sebagainya misal; sungai, rawa, danau, laut, dan samudra. Lahan terbangun didefinisikan sebagai perkerasan hasil tangan manusia baik berupa rumah, jalan beraspal dan sebagainya. Citra Landsat
Erdas Imagine 9.1 Layer Stacking Subset Image Geo Correction Supervised classification Recode Focal Majority Titik Uji
Fill
Tidak
Uji Akurasi
Ya Peta Tutupan Lahan Gambar 4
Diagram alir terbimbing lahan.
klasifikasi penutupan
Sawah adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi Rumput/semak adalah tumbuhan jenis ilalang yang berbatang kecil, batangnya beruas, daunnya sempit panjang atau tumbuhan perdu yg mempunyai kayukayuan kecil dan rendah Ladang adalah tanah yg diusahakan dan ditanami (ubi, jagung, dsb) dengan tidak diairi. Vegetasi tinggi didefinisikan sebagai tumbuhan yang berbatang keras, besar dan berkayu. Sawit merupakan perkebunan dengan dominasi kelapa sawit sebagai
10
komoditas utama penutupan lahan pada area tersebut. Proses selanjutnya, dilakukan uji akurasi untuk mengetahui akurasi dari klasifikasi lahan berdasarkan titik hasil
peninjauan di lapangan. Bila nilai akurasi lebih besar dari 85%, maka klasifikasi layak digunakan, tetapi bila nilai akurasi kurang dari 85% maka dilakukan klasifikasi ulang. .
Gambar 5 Badan air.
Gambar 6 Semak/rumput.
Gambar 7 Sawah kering.
Gambar 8 Vegetasi tinggi.
Gambar 9 Sawah berair.
Gambar 10 Sawit.
11
Gambar 11 Lahan terbangun.
Gambar 12 Ladang. 3.3.2.
Penentuan jarak dengan metode euclidean distance
3.3.3. Neraca Energi a. Perhitungan Suhu Permukaan (Ts) Suhu permukaan diperoleh melalui kanal 6 yang kemudian diekstraksi menjadi digital number, spectral radiance, suhu kecerahan dan suhu permukaan tiap penutupan lahan. • Konversi nilai Digital Number (DN) ke dalam nilai Spectral Radiance Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari nilai DN dalam Landsat 7 science data Users Handbook-chapter 11 (2003), adalah sebagai berikut : Lλ = Gain * QCAL + Offset ........... (11) Atau dapat juga dituliskan :
Klasifikasi Lahan
Arc Map 9.3 Polygon
LMAX (i ) LMIN (i ) L QCALMAX QCALMIN
QCAL QCALMIN LMIN (i )
..... (12)
Polygon sawah, rumput/semak, sawit, vegetasi tinggi,dan ladang Spatial Analysis Euclidean distance Zonal Statistic Titik amatan Jarak (Dsawah, Dsawit, Dveg, Dladang dan Dr/s) Gambar 13
Euclidean distance merupakan teknik penghitungan jarak antara dua objek dengan menggunakan teorema Phytagoras. Dalam penelitian ini, tiap lahan bervegetasi yang meliputi sawah, ladang, rumput/semak, sawit dan vegetasi tinggi akan dihubungkan dengan penutupan lahan yang serupa. Dengan demikian, akan dihasilkan fungsi jarak antar sawah yang satu dengan sawah yang lainnya dalam lokasi penelitian, begitupun dengan vegetasi tinggi, ladang, rumput/semak dan sawit. Jarak-jarak tersebut digunakan sebagai peubah penjelas yang selanjutnya akan digunakan sebagai penduga suhu permukaan di suatu titik amatan.
Diagram alir penentuan Euclidean distance.
di mana : Lλ = Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm-2sr-1µm-1) QCAL = Nilai digital number kanal ke-i LMINi = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-i LMAXi = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i, minimum pixel value QCALMIN = 1 (LGPS Products) 0 (NPLAS Products) QCALMAX = Maksimum Pixel value (255) • Konversi nilai Spectral Radiance ke dalam suhu kecerahan Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Spektral yang dapat digunakan untuk mengkaji kondisi suhu pada obyek di permukaan bumi adalah spektral termal.
12
Penggunaan spektral termal ini dapat dilakukan dengan analisis brightness temperature. Brightness temperature (TB) adalah perhitungan dari intensitas radiasi termal yang diemisikan oleh obyek. Satuan yang digunakan adalah satuan suhu, sebab terdapat korelasi antara intensitas radiasi yang diemisikan dan suhu fisik dari badan radiasi, di mana diasumsikan bahwa emisi radiasi pada permukaan obyek berwarna hitam adalah 1,0 (Khomarudin, 2005). Suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number (USGS, 2002). Dengan mengetahui nilai spectral radiance, maka dapat diketahui nilai suhu kecerahannya melalui persamaan:
Subset image wilayah Kota Bogor Path/Row 122/ 065
Kanal 6
TB
Suhu Permukaan yang terkoreksi (K) = Suhu kecerahan (K)
δ
=
ζ
=
λ ε
Albedo (α)
Spectral radiance
Ts
di mana : TS
Kanal 3,4
Rs ↑
Ts
Rs ↓
Rs ↓
=
Rn
G
(δ = 1,438 X 10-23)
Tetapan Boltzman ( 1,38 X 101023 JK-1) Panjang gelombang radiasi emisi = (11,5 m) = Emisivitas Nilai emisivitas untuk lahan nonvegetasi yaitu sekitar 0.96 dan untuk lahan vegetasi sekitar 0.97. Sedangkan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Artis dan Carnahan 1982 dalam Hermawan 2005). TB
.....(14) K2 K ln 1 1 L -2
-1
-1
dengan K1= 666.09 Wm sr m dan K2= 1282.71 Kelvin untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K1= 607,76 Wm-2sr-1 m-1 dan K2 = 1260.56 Kelvin, TB adalah suhu kecerahan (Kelvin) dan Lλ adalah Spectral radiance pada kanal ke-i yang nilainya (17,04/255 ) DN (Radiance (Wm-2sr-1m-1). Persamaan suhu permukaan adalah sebagai berikut :
λE
H
Komponen Neraca Energi Gambar 14 Diagram alir penentuan suhu permukaan dan neraca energi. b. Albedo Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2002) dapat ditentukan melalui persamaan :
…..(15) di mana : d
=
ESUNλ = Cos ө
=
jarak astronomi bumimatahari rata-rata nilai solar spectral radiance sudut zenith matahari
Nilai d2 dapat diketahui dengan menentukan JD (Julian Date) yaitu jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung sampai tanggal akuisisi data citra tersebut. Persamaan yang digunakan dalam penentuan jarak astronomi bumi-matahari d2 = (10.01674 Cos (0.98 JD-4))2..........(16)
13
NDVI
Tabel 5 Parameter perhitungan albedo Parameter Sudut elevasi matahari Irradiasi matahari jarak bumi ke matahari
Kanal 1
Kanal 2
Kanal 3
58032'
-58032'
58032'
1969
1840
1551
1.016707
1.016707
1.016707
Fluks Panas Tanah Fluks panas tanah dihitung berdasarkan hubungan antara radiasi netto (Rn), suhu permukaan (Ts) , albedo () dan NDVI yang dirumuskan oleh Allen et. al 2001 : (0.0038 …………….(17)
Fluks Panas Udara Fluks pemanasan udara dihampiri melalui persamaan :
dapat
……..(18) di mana H adalan Sensible Heat Flux, Rn adalan radiasi netto, G adalah fluks pemanasan udara dan adalah nisbah bowen. Nisbah bowen merupakan nilai perbandingan antara besarnya fluks pemanasan udara terhadap panas laten yang dirumuskan ebagai berikut: ……..(19) 3.3.4. Pembuatan model Data yang diperoleh dari hasil interpretasi pada citra, selanjutnya dijadikan sebagai peubah untuk menentukan atau menduga pengaruh luas dan jarak ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan. Tahapan pembuatan model dapat dilakukan sesuai tahapan pada Gambar 3. Penentuan Peubah Penentuan peubah dilakukan untuk mengetahui jenis peubah yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh model. Dalam menentukan jenis peubah, terlebih dahulu perlu dilakukan analisa hubungan tiap peubah. Pada penelitian kali ini, terdapat sepuluh peubah yang menjadi kajian penelitian, yaitu suhu permukaan, albedo, radiasi netto, fluks pemanasan tanah, fluks panas udara, sawah, sawit, vegetasi
tinggi, rumput/semak dan ladang. Peubah penjelas berupa sawah, sawit, vegetasi tinggi, rumput/semak dan ladang merupakan fungsi jarak yang diperoleh dari tahap 3.3.2. Penentuan Titik amatan Titik yang digunakan adalah titik pada penutupan lahan berupa lahan terbangun pada wilayah kajian. Pada titik-titik tersebut akan ditentukan berbagai peubah penjelas yang selanjutnya akan diekstraksi sebagai suatu model. Uji Asumsi Dalam memodelkan dengan menggunakan analisis regresi, maka diharapkan data mengikuti asumsi sebagai berikut : a) Galat dari peubah penjelas menyebar normal b) Ragam pada peubah penjelas homogen (homoskendastisitas) c) Diantara peubah penjelas tidak terdapat multikolinieritas dan bila terdapat multikolinieritas, maka hanya digunakan peubah inti yang merupakan peubah utama yang paling berpengaruh terhadap suhu permukaan. d) Galat pada model linier bersifat bebas antara satu observasi dengan observasi berikutnya atau yang biasa disebut dengan tidak ada autokorelasi antar galat pada model. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, dapat dilakukan dengan menggunakan statistik uji Durbin-Watson. Apabila nilai D-W berada di mendekati angka 2, maka tidak terjadi autokorelasi. Analisis Regresi Analisis regresi yang digunakan adalah dengan menghubungkan fluks pemanasan udara (heat), albedo, fluks pemanasan tanah, radiasi netto, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah, ladang dan sawit RTH yang diperoleh dari data yang telah diolah. Selanjutnya, ketiga prediktor tersebut akan dihubungkan dengan suhu permukaan titik amatan yang didasarkan pada koordinat titik tersebut. Penentuan Peubah yang Berpengaruh Pada saat meregresikan suatu prediktor terhadap peubah respon, akan ada beberapa prediktor yang tidak berpengaruh terhadap peubah penjelas,. Pada kondisi demikian, perlu adanya pemilihan prediktor yang berpengaruh dan selanjutnya dilakukan kembali analisis regresi. Transformasi Box-Cox Transformasi Box Cox diberlakukan kepada variabel respon, Y, yang harus
14
bertanda positif, transformasi kuasa berikut : (
dinyatakan dalam dengan persamaan
training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang.
)⁄
…..(20) {
Salah satu metode penaksiran yang dapat digunakan ialah metode maksimum likelihood (Draper & Smith, 1981). Validasi Model Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Validasi dilakukan dengan menggunakan 20% dari titik amatan. Pada penelitian ini, diambil 229 titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 59 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian. Bila hasil validasi dianggap baik, maka persamaan dapat diaplikasikan kepada berbagai pihak yang terkait.
Badan air
Sawah
Vegetasi tinggi
Lahan terbangun
Rumput/semak
Ladang
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor Secara astronomis, Kota Bogor terletak pada 106o43’30’’ BT – 106o51’00’’ BT dan 6o30’30’’LS – 6o41’00’’LS dengan luas wilayah adalah 21.56 Km2. Dalam penelitian ini, wilayah Bogor yang dikaji terletak pada 106o48'40'' BT - 106o46'22'' BT dan 6o30'53'' LS - 6o40'08'' LS. Kota Bogor berada pada ketinggian 190 hingga 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbilang sejuk dengan suhu udara rata-rata tiap bulannya adalah 26oC dengan kelembaban nisbi pada tahun 2006 sebesar 81%. Suhu terendah Bogor mencapai 21.8oC yang sering terjadi pada bulan Desember hingga Januari. 4.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing – masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa
Sawit Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan. Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah 0.9454. Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%. Tabel 6
Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006 Penutupan Luas Luas (%) Lahan (Ha) Badan air 505 4.7 Sawah 2357 22.1 Vegetasi tinggi 1704 15.9 Semak/rumput 2786 26.1
15
Sawit Ladang Lahan terbangun Total
118 7434
1.1 69.6
6616
62
10674
100
Hasil klasifikasi penutupan lahan pada daerah studi menunjukkan bahwa wilayah Bogor didominasi oleh lahan pertanian sebesar 65.95% dari keseluruhan penutupan lahan di Bogor. Penutupan lahan berupa vegetasi tinggi hanya menempati 11,65% dari total luas di Bogor pada daerah kajian. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun maupun lahan pertanian seiring dengan meningkatnya jumah penduduk, pembangunan infrastruktur dan berbagai perkembangan kegiatan pembangunan di Bogor. Badan air sebagian besar terletak terdapat di Sungai Ciliwung, sungai Cisadane dan sumber badan air lainnya. Tabel 7
Klasifikasi penutupan lahan Kota Bogor tahun 2006 Luas Penutupan lahan Ha % Badan air Sawah
318 1124
2.9 10.5
Vegetasi tinggi Lahan terbangun Semak/rumput
808
7.6
4799
45
1335
12.5
Ladang
2289
21.4
10674
100
Total
Untuk wilayah di Kota Bogor, penutupan lahan didominasi oleh lahan terbangun terbangun dengan persentase penutupan lahan sebesar 45% dari keseluruhan penutupan lahan di Kota Bogor. Luas area terbuka hijau semakin terdesak dengan maraknya pembangunan yang dilakukan di area Kota Bogor. Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (rural), mengindikasikan akan adanya fenomena urban heat island di mana secara wilayah perkotaan akan cenderung lebiih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota. Luasan pada masing – masing penutupan lahan tidak sepenuhnya
menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kesalahan seperti faktor galat secara spasial ketika klasifikasi penutupan lahan. 4.3. Pendugaan Komponen Neraca Energi Pada Beberapa Penutupan Lahan 4.3.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari data citra Landsat 5 TM+ dengan memanfaatkan fungsi kanal 1, 2 dan 3. Pada wilayah kajian ini, diperoleh bahwa lahan terbuka memiliki nilai albedo yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan berupa vegetasi dan badan air. Hasil pengolahan citra Landsat diperoleh banwa nilai rata-rata albedo pada badan air, lahan bervegetasi (sawah, ladang, vegetasi tinggi, sawit dan semak/rumput) dan lahan terbangun bernilai 0.04843, 0.0526378 dan 0.063163. Nilai tersebut menunjukkan bahwa lahan terbangun memiliki nilai radiasi pantul yang lebih besar dibandingkan dengan lahan bervegetasi maupun badan air. Badan air memiliki nilai albedo terendah. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik air yang memiliki nilai kapasitas kalor yang paling besar yaitu 4.18x10-6 m-3oC-1 dibandingkan dengan vegetasi (2.51x10-6 m-3oC-1) dan lahan terbangun (2.17x10 -6 m-3oC-1). Dengan kapasitas kalor yang besar, maka badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar. Hal ini menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain. Pada lahan bervegetasi baik berupa tutupan rendah seperti semak/rumput dan ladang maupun vegetasi dan juga vegetasi terendam seperti sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Kondisi ini berbeda dengan karakteristik penutupan lahan pada lahan terbuka. Untuk lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterima digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer.
16
4.3.2. Pendugaan Radiasi Netto Radiasi netto merupakan nilai yang menunjukkan selisih radiasi yang diterima permukaan bumi terhadap radiasi yang meninggalkan permukaan bumi. Pada siang hari, radiasi netto bernilai positif, sedangkan pada malam hari radiasi netto bernilai negative. Radiasi netto yang bernilai positif ini yang digunakan untuk memanaskan udara, lautan dan permukaan bumi. Berdasarkan data citra Landsat 5 TM+ dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diperoleh bahwa terdapat perbedaan radiasi netto yang serap oleh permukaan tiap penutupan lahan. Radiasi netto pada badan air, vegetasi dan lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai radiasi gelombang panjang pada penelitian ini hanya diambil dari nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi, karena radiasi gelombang panjang yang dating dari radiasi matahari nilainya sangat kecil. Nilai radiasi netto diperoleh dari selisih antara radiasi radiasi gelombang pendek yang diperoleh melalui nilai albedo dan radiasi gelombang panjang yang diperoleh dari suhu permukaan. Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan radiasi netto yang merupakan penjumlahan radiasi gelombang pendek yang dating dan yang dipantulkan serta radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dariobyek. Dalam penelitian ini,r adiasi gelombang panjng yang beradal dari obyek di bumi tidak dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memiliki nilai yang menghampiri nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Berdasarkan Tabel 8 terlihat adanya perbedaan penerimaan radiasi netto untuk setiap penutupan lahan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penutupan lahan baik dari nilai albedo, radiasi gelombang pendek maupun radiasi gelombang panjang. Secara umum, nilai radiasi gelombang pendek yang dipantulkan memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, radiasi yang dating dari matahari lebih dominan dibandingkan dengan radiasi yang yang berasal dari bumi. Penerimaan radiasi netto pada lahan terbangun menempati nilai terendah dibandingkan dengan enam penutupan lainnya pada Tabel 8. Kondisi ini
disebabkan albedo yang tinggi pada lahan terbangun sehingga radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu, proses ini juga berkaitan dengan kapasitas kalor pada perkerasan (man made) yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterimanya menjadi rendah dibandingkan energi yang dipantulkan. Hal ini pula yang menyebabkan lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya bila dilihat melalui penginderaan jauh. Penutupan lahan berupa sawah, memiliki nilai radiasi netto yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbangun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan badan air dan jenis tumbuhan lainnya. Pada dasarnya, penggunaan radiasi netto pada sawah cenderung variatif tergantung pada umur tanaman padi. Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm-2) tiap penutupan lahan Penutupan lahan Lahan terbangun Sawah
Rs↑
Rs↓
Rl↑
Rn
56
833
487
289
48
833
472
312
Badan air
50
834
468
316
Semak/rumput
47
839
473
319
Lading
43
841
467
330
Vegetasi tinggi
43
842
463
336
Sawit
44
833
450
339
Pada awal penanaman, sawah akan tergenangi oleh air di mana kanopi sawah pada saat tersebut masih relatif kecil sehingga energi yang diterimanya sebagian digunakan untuk pertumbuhan dan penyerapan oleh air, sedangkan sisanya dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk panas. Penerimaan radiasi netto akan terus meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman padi dan akan menurun kembali pada saat menjelang panen karena daun dan bulir padi akan gugur. Kondisi yang beragam ini menyebabkan pada saat pemotretan citra satelit Landsat 5 pada pukul 10.00 waktu setempat akan cenderung merekam kondisi terkini pada waktu tersebut. Berdasarkan analisa menggunakan pengindraan jauh, sebagian lahan yang
17
teridentifikasi sebagai persawahan masih tergenangi oleh air. Sehingga nilai radiasi netto akan lebih rendah dibandingkan dengan radiasi netto pada badan air. Berbeda dengan sawah, badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih besar sehingga dapat menampung energi yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Akan tetapi, penggunaan radiasi netto oleh badan air pada umumnya digunakan untuk merubah air menjadi uap air pada suhu tetap dan menghidupi organisme-organisme didalamnya. Pada lahan bervegetasi tinggi, nilai radiasi netto yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan radiasi netto pada keempat penutupan lahan lainnya selain penutupan lahan berupa perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh karakteristik vegetasi yang memanfaatkan sebagian besar energi yang diterimanya untuk proses metabolisme dan proses fisiologis tumbuhan. Berdasarkan Tabel 8, radiasi yang diserap oleh vegetasi tinggi sebesar 39.83% terhadap radiasi yang datang. Dari 39.83% radiasi tersebut,70% akan diubah menjadi lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Selanjutnya, 28% dari energi tersebut akan digunakan untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia dan sisanya akan digunakan untuk fotomorfogenetik. Pada hasil pengecekan di lapangan, diketahui bahwa pohon beringin, mahoni dan kenari mendominasi penutupan lahan berupa vegetasi tinggi di daerah Kota Bogor. Ketiga vegetasi tersebut merupakan vegetasi daerah tropis, sehingga dalam penggunaan radiasi tidak sebesar tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah kering sehingga membutuhkan energi yang besar baik pemanfaatannya untuk merubah radiasi netto menjadi lengas maupun fungsiologis lainnya. Selain itu, tanaman kelapa sawit yang termasuk ke dalam wilayah kajian penelitian merupakan tanaman perkebunan sehingga penerimaan radiasi netto cenderung seragam dan marupakan penutupan lahan yang paling besar dalam menggunakan radiasi netto. Semak/rumput pada dasarnya menghampiri kenampakan pada ladang. Akan tetapi, secara ekofisiologi, kedua penutupan lahan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penangkapan radiasi yang diterimanya. Rumput/semak memiliki morfologi daun dengan tekstur kasar dan
meruncing sehingga akan cenderung membaurkan radiasi yang diterimanya dan hanya sebagian kecil radiasi yang diserapnya bila dibandingkan dengan tanaman ladang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai radiasi netto rumput yang lebih rendah bila dibandingkan dengan radiasi netto pada ladang. Sebaliknya, pada tanaman ladang, radiasi netto diserap dan digunakan untuk proses fisiologis tumbuhan sebagaimana yang dilakukan pada vegetasi tinggi. Akan tetapi, karena tinggi tanaman ladang yang terbatas, maka penggunaan tanaman ladang tidak akan sebesar vegetasi tinggi. Tekstur daun pada tanaman ladang juga mempengaruhi responnya terhadap radiasi yang diterimanya. Pada umumnya, tanaman ladang memiliki tekstur daun yang halus sehingga akan menyerap radiasi lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang dipancarkan maupun dipantulkan. Hal ini tampak jelas pada warna yang terlihat pada pengindraan jauh bila dibandingkan dengan spectrum yang dipancarkan oleh rumput. 4.3.3. Pendugaan Soil Heat Flux (G), Sensible Heat Flux (H) dan Latent Heat Flux (LE) Pada dasarnya, Soil Heat Flux (G) merupakan bagian dari radiasi netto yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk proses fisik dan biologi tanah. Fluks panas tanah ini dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah.Dalam penelitian ini, nilai G diperoleh dari hubungan suhu permukaan, radiasi netto, albedo dan NDVI. Tabel 9 Rata-rata komponen Soil Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm-2) Penutupan G/Rn G Rn lahan (%) Sawit 31.9 316.2 10 Ladang 35.5 312.5 11 Vegetasi 35.9 335.5 10.7 tinggi Semak/rumput 36 319.1 11 Badan air 37 330.2 11 Sawah 37.1 339 11 Lahan 38 289.5 13 terbangun Berdasarkan pengolahan citra Landsat 5 dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diketahui bahwa pada pukul 10.00 waktu setempat, terdapat perbedaan penggunaan energi pada tiap penutupan lahan di mana
18
variabilitasnya didasarkan karakteristik tiap penutupan lahan. Dalam penelitian ini penggunaan radiasi netto untuk fotosintesis diabaikan karena nilainya sangat kecil. Tabel 10. Rata-rata komponen Sensible Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm-2) Penutupan H/Rn H Rn lahan (%) badan air 25.4 316 8 Sawah 91.8 312.5 29 semak/rumput 94.4 335.5 28 Ladang 98.2 319.1 31 vegetasi 99.9 330.1 30 tinggi Sawit 102.3 339.0 30 lahan 201.2 289.5 69.5 terbangun 4.3.3.1. Lahan terbangun Lahan terbangun merupakan penutupan lahan yang paling dominan di Kota Bogor dan menyebabkan timbulnya fenomena urban heat island yang ditunjukkan oleh tingginya nilai panas pada penutupan ini ( Lampiran 3). Pada
penutupan lahan berupa lahan terbangun. Proporsi penggunaan radiasi netto menjadi soil heat flux (G) menempati nilai tertinggi (13.13%) bila dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Hal ini disebabkan lahan terbangun memanfaatkan sebagian besar radiasi netto untuk memanaskan tanah dan permukaan dibandingkan dengan jenis penutupan lahan lainnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G pada lahan terbangun adalah tingginya nilai konduktivitas thermal pada lahan tersebut. Karena sebagian besar radiasi netto pada lahan terbangun digunakan untuk memanaskan tanah dan permukaan, maka sensible heat flux akan tinggi sebanding dengan soil heat flux. Berdasarkan Gambar 16, diketahui bahwa sensible heat flux merupakan prioritas utama pada lahan terbangun dalam penggunaan radiasi netto yang diterimanya. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan sensible heat flux : soil heat flux :latent heat flux, yaitu 10 : 2 : 3. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya suhu permukaan dan suhu udara pada lahan terbangun.
Gambar 16 Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor.
19
Bila dilihat pada perbandingan penggunaan radiasi netto pada lahan terbangun di daerah Bogor, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto untuk fluks panas laten lebih besar bila dibandingkan dengan fluks panas tanah (3:2). Kondisi ini menggambarkan bahwa pada daerah Bogor memiliki kandungan uap air yang cukup besar. sehingga alokasi pemanfaatan radiasi netto lebih banyak digunakan untuk mengubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk memanaskan permukaan tanah. Dengan kandungan uap air yang cukup besar, maka nilai suhu permukaan pada lahan terbangun memiliki selisih nilai yang tidak terpaut jauh dengan penutupan lahan terbangun pada lokasi penelitian. 4.3.3.2. Badan air Badan air merupakan satu-satunya penutupan lahan dimana air secara permanen mendominasi suatu lahan. Selain karakteristik air seperti yang telah disebutkan pada pembahasan mengenai albedo dan radiasi netto, diketahui pula bahwa fluks panas laten merupakan prioritas utama dalam penggunaan radiasi netto oleh badan air di mana pengubahan energi menjadi panas laten sebesar 80.24% (Tabel 11). Pengubahan energi yang diserap oleh badan air yang digunakan sebagai sensible heat fluxdan soil heat flux hanya sebesar 8.02% dan 11.21%. Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Bogor tahun 2006 Penutupan Lahan Ts (oC) Badan air 28 Sawah 29 Vegetasi tinggi 28 Semak/rumput 29 Ladang 28 Sawit 25 Lahan terbangun 31 Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto yang diterima oleh badan air didominasi untuk merubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk merubah energi kedalam panas baik panas tanah maupun panas terasa. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan pada badan air pada siang hari akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan. 4.3.3.3. Sawah
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa karakter sawah menghampiri karakter badan air dalam hal pemanfaatan radiasi netto. Hanya saja, sawah menggunakan energi dari radiasi netto untuk sensible heat flux lebih besar dibandingkan dengan badan air. Pemanfaatan radiasi netto oleh sawah untuk sensile heat adalah empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan sensile heat oleh badan air. Hal ini disebabkan tanaman padi sawah memiliki karakteristik tertentu dalam merespon radiasi matahari seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai radiasi netto (subbab 4.3.2). Penutupan lahan berupa sawah memiliki alokasi pemanfaatan radiasi netto sebagai lengas terasa (sensile heat) dan latent heat dengan perbandingan 2:1. Pada kondisi tersebut, menyebabkan suhu permukaan pada sawah akan cenderung tinggi dan stabil (simpangan baku suhu permukaan sawah hanya berkisar ± 1.3oC). Variabilitas suhu permukaan di sawah cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan badan air yang memiliki simpangan baku sebesar ± 2 oC. 4.3.3.4. Vegetasi tinggi dan sawit Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa perbandingan pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi menyerupai penggunaan radiasi netto pada sawit. Perbandingan pemanfaataan radiasi netto pada kedua penutupan ini adalah 3:6:1 (H:LE:G). Kedua penutupan lahan ini memprioritaskan penggunaan radiasi netto yang diterimanya untuk panas laten dibandingkan untuk memanaskan udara maupun untuk memanaskan tanah. hal ini disebabkan oleh karakteristik Bogor yang memiliki kandungan air yang cukup besar di atmosfer pada lapisan pembatas. Akan tetapi, kedua penutupan lahan ini memiliki respon yang berbeda dalam merepresentasikan suhu permukaannya Vegetasi tinggi memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit dan memiliki ragam suhu permukaan yang cukup besar (ragam suhu permukaaan vegetasi tinggi = 4oC). Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit memiliki suhu permukaan terendah (25oC) diantara keenam penutupan lahan lainnya. Selain itu, perkebunan sawit memiliki ragam suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi tinggi (0.25 oC). Hal ini disebabkan terdapat perbedaan kondisi lingkungan untuk kedua penutupan lahan
20
ini. Pada wilayah studi penelitian ini, lahan bervegetasi tinggi yang paling dominan terdapat di pusat Kota Bogor dan hutan penelitian Cifor.
Gambar 17 Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi.
gradien panas yang lebih rendah (vegetasi tinggi), maka suhu udara pada vegetasi tinggi akan tergantikan. Dengan besarnya perbedaan gradient suhu antara permukaan dengan suhu pada vegetasi tinggi, maka tahanan aerodinamik akan semakin kecil. Hal inilah yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada vegetasi tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit. Sebaliknya, perkebunan sawit yang terletak di Bantar Kambing, Bogor memiliki penutupan lahan yang seragam dan terpusat pada lokasi tertentu. Selain itu, perkebunan sawit memiliki lingkungan yang didominasi oleh tumbuhan sejenis dan terdapat badan air disekitarnya. Dengan kondisi lingkungan ini, gradient panas antara lingkungan dengan perkebunan tidak berbeda nyata sehingga suhu permukaan akan rendah. Tabel 12 Rata-rata komponen Latent Heat Flux (LE) Bogor tahun 2006 Penutupan LE Rn LE/Rn lahan (Wm-2) (Wm-2) (%) Lahan 50.3 289.5 17.4 terbangun Sawah 183.6 312.5 58.7
(i)
(ii) Gambar 18 (i) dan (ii) Kondisi lingkungan sekitar Lahan perkebunan sawit. Pada lokasi ini, terjadi aliran panas secara konveksi dari penutupan lahan disekitarnya terhadap penutupan lahan bervegetasi tinggi. Aliran panas ini disebabkan oleh adanya gradien panas antara vegetasi tinggi dengan penutupan lainnya. Dengan berpindahnya panas tersebut menuju
Semak/rumput
188.7
319.1
59.1
Ladang Vegetasi tinggi Sawit
196.5
330.1
59.5
199.6
335.5
59.5
204.9
339
60.4
Badan air
253.8
316
80.24
4.3.3.5. Ladang dan Rumput/Semak Ladang memanfaatkan sebagian besar energi radiasi yang diserapnya untuk dirubah menjadi energi panas yang terdistribusikan 11.37% untuk soil heat flux, 30.78% untuk sensible heat fluxdan59.52% untuk latent heat flux. Pemanfaatan radiasi netto sebagai soil heat flux pada ladang lebih besar dibandingkan dengan rumput/semak yang hanya 11.29%. Kondisi ini disebabkan pada ladang, terdapat tanah yang tidak tertutup kanopi tanaman, sehingga penerimaan radiasi oleh tanah menjadi besar. Sebaliknya, pada lahan yang berumput/semak, hampir keseluruhan tanah tertutup rumput/semak secara merata, sehingga pemanasan tanah menjadi tertahan oleh vegetasi. Dengan adanya perbedaan kuantitas G pada ladang dan rumput/semak, maka distribusi LE dan H juga akan berbeda. Alokasi pemanfaatan Rn sebagai G yang
21
besar mengakibatkan nilai LE dan H ladang lebih rendah dibandingkan dengan rumput/semak. Seperti halnya pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi, sawitsawah dan badan air, kedua penutupan lahan ini juga memprioritaskan pengubahan radiasi netto menjadi panas laten sebagai prioritas utamanya karena tersedianya air pada bagian-bagian tubuh penutupan lahan ini. 4.3.4. Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi Nilai indeks vegetasi yang digambarkan melalui nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan indeks yang menggambarkan
proporsi reflektan infra merah dekat dengan infra merah. Secara teoritis, pada lahan yang bukan vegetasi akan lebih banyak memantulkan infra merah dekat dibandingkan dengan infra merah. Selain itu, nilai NDVI juga menggambarkan tingkat kesuburan dan kerapatan tanaman di mana semakin tinggi nilai NDVI, maka tingkat kerapatan dan kesuburan tanaman tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, lahan dengan nilai NDVI yang rendah menggambarkan lahan yang kurang subur dan telah terjadi pembukaan lahan pada daerah tersebut. Untuk mempermudah melihat pengaruh NDVI terhadap neraca energi, maka dilakukan penggabungan pada beberapa klasifikasi lahan yang didasarkan pada nilai NDVI yang serupa.
Lahan terbangun Badan air Sawah
Vegetasi rapat Vegetasi rendah
Gambar 19
Diagram hubungan radiasi netto terhadap NDVI.
Klasifikasi penutupan lahan dibedakan ke dalam lima kelas di mana terdiri dari lahan terbangun, badan air, sawah, vegetasi rapat (sawit dan vegetasi tinggi) dan vegetasi rendah (rumput/semak dan ladang). Dengan menghubungkan antara radiasi netto terhadap NDVI, maka dapat diketahui karakter neraca energi pada indeks vegetasi pada penutupan lahan tertentu. Merujuk pada Gambar 16 dan Tabel 12, terlihat bahwa pada lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar digunakan untuk fluks pemanasan laten (LE) pada lahan bervegetasi. Nilai LE berbanding lurus dengan nilai NDVI. di mana semakin banyak vegetasi di daerah tersebut, maka nilai LE akan semakin besar dan H serta G
akan semkin rendah. Akan tetapi, pada penutupan lahan berupa badan air, berlaku sifat yang berbeda. Badan air memiliki nilai NDVI yang rendah tetapi nilai LE akan tinggi. Kondisi ini disebabkan pemanfaatan radiasi netto yang diterima lebih banyak digunakan untuk evaporasi. Berdasarkan Tabel 6, penutupan lahan di Bogor yang didominasi oleh vegetasi (ladang, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan sawit), maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan energi radiasi netto di wilayah Bogor sebagian besar digunakan untuk panas laten. dengan demikian, kandungan uap air di Bogor cenderung besar.
22
Gambar 20 Peta sebaran Normalized Difference Vegetation Index pada lokasi penelitian 2006. 4.4. Penentuan Pengaruh Neraca Energi dan Suhu Permukaan Hasil analisis hubungan neraca energi terhadap suhu permukaan pada tahun 2006 didapatkan bahwa galat dari neraca energi (Rn, G, H dan LE) menyebar normal dan memiliki ragam yang homogen. Namun, bila ditinjau dari pola hubungan antar peubah penjelas, terlihat adanya multikolinierasi antar parameter-parameter neraca energi. Bentuk hubungan multikolinierasi ini terdapat pada hubungan antara radiasi netto dengan soil heat flux dan sensible heat.
Peubah penjelas berupa soil heat flux dan sensible heat juga saling bermultikolinierasi dengan erat. Akan tetapi, baik soil heat flux, sensible heat dan radiasi netto tidak bermultikolinierasi terhadap albedo. Kondisi ini disebabkan adanya pola hubungan yang erat antara radiasi netto, soil heat flux dan sensible heat flux. Soil Heat flux dan sensible heat flux merupakan komponen dari radiasi netto melalui persamaan neraca energi di mana Rn = G + H + LE, sehingga kedua peubah ini. Oleh karena itu, dalam menentukan suhu permukaan, fluks panas
23
dapat diwakili oleh dua peubah saja yaitu radiasi dan albedo. Albedo tidak bermultikolinierasi terhadap ketiga peubah penjelas tersebut karena albedo merupakan nilai nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Oleh karena itu, walaupun dalam persamaan 4 disebutkan bahwa nilai G sebanding dengan nilai albedo, tetapi kedua peubah ini tidak memiliki korelasi yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai galat yang mendekati 0.000. 4.5. Penentuan Pengaruh Jarak Jangkau Tiap Jenis Vegetasi dan Suhu Permukaan Sebelum menentukan pengaruh secara keseluruhan antara ruang terbuka hijau (sawah, ladang, rumput/semak, vegetasi tinggi dan sawit) terhadap suhu permukaan, perlu adanya peninjauan pengaruh tunggal diantara peubah-peubah penjelas tersebut terhadap peubah responnya. 4.5.1. Vegetasi Tinggi
Gambar 21
Untuk menganalisa pengaruh tunggal vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan terutama diperkotaan, perlu adanya perhatian khusus terhadap lingkungan disekitarnya. Dalam kasus pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu di perkotaan, sangatlah penting melakukan tracking dengan menggunakan titik-titik sampling pada penutupan terbangun dengan jarak yang semakin menjauh dari vegetasi tinggi. Pada penelitian ini dilakukan tracking pada Kebun Raya Bogor seperti tampak pada Gambar 21. Hal ini disebabkan lingkungan yang mempengaruhi perpindahan panas pada vegetasi hanya terdapat dua kondisi yaitu vegetasi tinggi yang berada di pusat Kota Bogor (Kebun Raya Bogor dan jalur hijau yang diantaranya berada di Jalan Pajajaran, Doktor Semeru, Cimanggu Pahlawan dan Jend. Sudirman, Haji Juanda dan sebagainya) dan vegetasi tinggi yang berada di daerah sub-urban (Cifor dan Cijeruk).
Peta titik sampel pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan.
Gambar 21 menunjukkan bahwa suhu di dalam Kebun Raya Bogor dengan penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, memiliki suhu rata-rata 28oC. Titik-titik di Kebun Raya Bogor ini dijadikan sebagai
titik referensi pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Selanjutnya, terlihat bahwa suhu permukaan akan meningkat seiring dengan bertambahnya
24
jarak terhadap vegetasi tinggi. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor
Keterangan Titik Referensi
suhu (oC)
Jarak (meter) Ratamaksimum rata
28
0
0
1
34
115
152
2
35
182
253
3
35
235
307
4
35
280
417
5
35
299
515
6
37
633
707
Lapisan ke:
Hubungan pengaruh eksistensi vegetasi terhadap suhu permukaaan di Perkotaan berbentuk non-linier dengan persamaan Ts = 28.6 + 1.17Ln(Dv) di mana Ts merupakan suhu permukaan di perkotaan dan Dv adalah jarak titik amatan terhadapvegetasi tinggi. Pada plot pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, memiliki residual yang menyebar normal dengan P value lebih dari 0.05. Vegetasi tinggi berpengaruh tunggal terhadap suhu permukaan di perkotaan karena vegetasi tinggi dapat menyebabkan adanya gradien suhu antara lingkungan berupa lahan terbangun terhadap suhu di penutupan lahan bervegetasi tinggi di mana dengan adanya perbedaan gradien suhu tersebut, aliran panas akan mengalir secara konveksi dan konduksi seperti yang telah dijalaskan pada sub-bab 4.3.3.4.
Gambar 22 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Bila keseluruhan vegetasi tinggi di wilayah penelitian dibuat hubungan pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, vegetasi tinggi hanya berkontribusi sebesar 8.6% dalam menjelaskan persamaan T s=26.2 + 1.13 Ln(Dv). Residual persamaan pengaruh jarak vegetasi tiggi ini menyebar normal dengan P value lebih dari 0.150. 4.5.2. Ladang dan Rumput/Semak Berbeda dengan vegetasi tinggi, dalam analisa pengaruh ladang dan rumput/semak terhadap suhu permukaan hanya menggunakan analisis regresi linier dan tidak menggunakan metode tracking. Hal ini
dilakukan karena sebaran ladang mendominasi penutupan lahan di daerah kajian secara keseluruhan, sehingga faktor lain (di luar faktor pengaruh ladang dan rumput/semak) dapat diminimumkan. Berdasarkan hasil analisis, ladang dan suhu permukaan memiliki hubungan sebesar 45.8% dengan kontribusi pengaruh ladang terhadap suhu permukaan sebesar 32.4% dalam persamaan Ts =24.6 + 1.47 Ln (DLadang). Persamaan ini memiliki P value sebesar 0.089 di mana nilai ini berarti terima hipotesis bahwa residual menyebar normal.
25
Gambar 23 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Penutupan lahan berupa rumput/semak memiliki hubungan sebesar 42.8% terhadap suhu permukaan di perkotaan. Konstribusi semak terhadap suhu permukaan secara liner hanya 17.8% dalam persamaan Ts = 30.7 + 0.00849 (Dsemak) di mana Dsemak adalah jarak titik amatan terhadap semak. Pada penelitian ini, sangat sulit mencari hubungan pengaruh semak terhadap suhu permukaan karena plot residual persamaan yang menghubungkan suhu permukaan dan semak memiliki sebaran yang tidak normal yaitu dengan P value yang kurang dari 0.05. Kondisi ini berbeda dengan pengaruh ladang terhadap suhu permukaan. Adanya
perbedaan pengaruh antara ladang dan rumput/semak disebabkan oleh tekstur daun pada rumput/semak dan ladang seperti yang dijelaskan pada sub bahasan 4.3.2. 4.5.3. Sawah Sawah memiliki hubungan sebesar 46.4% terhadap suhu permukaan dan berkonstribusi secara linier dalam menjelaskan persamaan Ts = 31.3 + 0.00471 (Dsawah) sebesar 21.5% di mana Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah. Residual pada pengaruh sawah terhadap suhu permukaan menyebar normal dengan P value sebesar 0.134.
Gambar 24 Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan. Pengaruh sawah terhadap suhu permukaan disebabkan pada pengambilan citra, sebagian besar sawah sedang dalam kondisi tergenang air dan sawah memiliki respon khusus terhadap penerimaan radiasi netto seperti yang dijelaskan pada sub bahasan 4.3.2 dan 4.3.3.3.
4.5.4. Sawit Di wilayah kajian penelitian, jarak terdekat perkebunan sawit dari pusat kota Bogor ± 11.544 kilometer. Dengan jarak yang cukup jauh dan penutupan lahan sawit yang hanya 118.44 hektar dengan luas total daerah penelitian adalah 106,739.307 kilometer-2 maka akan sangat sulit bagi
26
penutupan lahan berupa perkebunan sawit untuk mempengaruhi suhu permukaan di Kota Bogor. 4.6. Penentuan Pengaruh Neraca Energi, Jarak Jangkau RTH Dan Suhu Permukaan Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau adalah wilayah dengan penutupan lahan yang mengandung vegetasi didalamnya dan bukan merupakan badan air atau lahan terbangun. Selanjutnya, dengan pengertian tersebut akan ditentukan pengaruh dari keempat penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan sub bahasan 4.4.1, perkebunan sawit tidak dimasukkan sebagai prediktor. Dengan merujuk pada Gambar 25, dapat diketahui bahwa suhu akan meningkat seiring dengan bertambahnya radiasi netto. Akan tetapi, pada komponen albedo, nilainya beragam sesuai dan hampir seragam dengan memusat pada selang nilai 0.06 hingga 0.07. Pola hubungan penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan
mengikuti sebaran asimtot y di mana semakin dekat jarak suatu titik terhadap lahan bervegetasi, semakin rendah suhu permukaannya. Namun, semakin menjauh suatu titik terhadap lahan bervegetasi, maka suhu permukaannya akan konstan dan mendekati batas maksimum suhu di suatu daerah. Berdasarkan prediktor – prediktor tersebut, dilakukan analisis regresi linier mengenai pengaruh dari masing-masing prediktor terhadap suhu permukaan. Hasil analisis bentuk hubungan antara masingmasing lahan bervegetasi dan neraca energi terhadap suhu permukaan didapatkan bahwa prediktor radiasi netto, albedo, sawah dan ladang berpengaruh terhadap suhu permukaan di perkotaan, tetapi vegetasi tinggi dan rumput/semak tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P value pada rumput/semak dan vegetasi tinggi yaitu 0.206 dan 0.495. Oleh karena itu, kedua prediktor tersebut tidak digunakan sebagai penduga suhu permukaan di wilyah kajian.
27
Gambar 25 Scatter plot suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi. Pemodelan selanjutnya hanya menggunakan empat prediktor yaitu radiasi netto, albedo, sawah dan ladang. Model dibangun dengan mentransformasikan nilai suhu permukaan dengan menggunakan Box Cox transformation agar residual suhu permukaan dapat menyebar normal sehingga dapat memenuhi asumsi analisis regresi. Karena sebaran pada sawah dan ladang menghampiri fungsi asimtot y, maka agar memenuhi asumsi residual yang menyebar normal dilakukan transformasi berupa logaritmik natural untuk nilai Rn, sawah dan ladang. Untuk peubah penjelas berupa albedo tidak dilakukan transformasi karena nilainya menyebar secara merata (Gambar
22). Dari hasil regresi tersebut, dihasilkan model : ̂ = - 0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah0.000053 Ln(Ladang)………….(21) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, D sawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan D ladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang dimana titik amatan adalah titik-titik yang tersebar di lahan terbangun di pusat kota yang akan diekstraksi sebagai pembangkit model.
Gambar 26 Tranformasi Box Cox terhadap suhu permukaan. Persamaan 21 memiliki koefisien determinasi sebesar 88.0% . Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model tersebut cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Bogor. Berdasarkan hasil uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa residual dari persamaan tersebut menyebar normal dengan nilai kemungkinan lebih dari 0.150. Pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson, diperoleh nilai uji D-W adalah 1.65. Nilai
28
tersebut mendekati nilai 2, sehingga dapat dikatakan bahwa galat model tersebut tidak saling berautokorelasi. Selanjutnya, untuk menilai kualitas persamaan 21, maka dilakukan validasi dengan menggunakan 20% dari data titik amatan yang terdiri dari berbagai tipe land cover. Berdasarkan hasil
validasi, diperoleh bahwa suhu permukaan hasil dugaan memiliki nilai korelasi sebesar 93.3%. nilai korelasi ini terbilang besar dalam menduga suhu permukaan berdasarkan keempat prediktor tersebut.
Gambar 27 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. 4.7. Pengaruh RTH Di Bogor Pengaruh vegetasi tinggi di Bogor tidak nyata pada daerah perkotaan karena kondisi Bogor memiliki iklim yang basah dan memiliki nilai LE yang besar. Selain itu, tersebarnya berbagai vegetasi di Bogor mengakibatkan dampak eksistensi vegetasi tinggi tidak terlihat dengan nyata karena denga LE yang besar, panas akan digunakan untuk merubah air menjadi uap air dari pada untuk menaikkan suhu. Bila ditinjau dari sebaran vegetasi tinggi di Bogor, dengan pengambilan titik amatan yang ditujukan di atas penutupan lahan berupa lahan terbangun, pengambilan sampel akan terpusat pada daerah di Kota Bogor. Kondisi ini disebabkan pada penutupan lahan bervegetasi tinggi di daerah sub-urban dengan lingkungan yang sedikit lahan terbangun, titik sampel yang diambil tidak sebanding dengan daerah kota. Dengan melihat kecenderungan analisis regresi yang akan mengambil nilai dominan dari data yang ada, maka pengaruh vegetasi tinggi yang akan diambil adalah pada daerah kota yang sangat dipengaruhi oleh fenomena pulau panas. Di samping itu, berdasarkan nilai indeks vegetasi pada Gambar 19 dan Gambar 20, didapatkan bahwa hampir seluruh Bogor memiliki nilai indeks vegetasi yang lebih dari 0.1, sehingga pengaruh
vegetasi tinggi akan terredam oleh pengaruh vegetasi-vegetasi lainnya. Selain pengaruh vegetasi tinggi yang tidak nyata, pengaruh rumut/semak juga tidak terlihat pada wilayah daerah kajian. Kondisi ini diakibatkan radiasi netto yang ada di daerah penelitian lebih ditujukan untuk panas laten dibandingkan untuk pemanasan tanah maupun pemanasan udara, sehingga suhu permukaan tidak akan terlalu bervariasi. Jika ditinjau pada sub-bahasan 4.4.1, nilai hubungan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan cukup besar sementara berdasarkan sub-bahasan 4.5.1, hubungan ini kemudian menghilang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa luasan Kebun Raya Bogor dan jalur hijau sebagai penyedia lahan bervegetasi tinggi belum cukup memenuhi kebutuhan Kota Bogor dalam meredam suhu permukaan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu permukaan menghasilkan persamaan terpilih non-linier yaitu ̂ = - 0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah- 0.000053 Ln(Ladang). Model persamaan RTH dan suhu permukaan terpilih memiliki pola sebanding di mana
29
semakin dekat jarak lahan terbangun terhadap RTH, maka suhu permukaan pada lahan terbangun akan semakin rendah. RTH yang berpengaruh nyata di Bogor adalah ladang dan sawah karena luasan vegetasi tinggi belum cukup dalam memenuhi kebutuhan Kota Bogor. 5.1. Saran Penelitian ini masih didasarkan pada asumsi-asumsi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam perhitungannya, seperti mensyaratkan kondisi tidak terdapat awan dan neraca energi dihitung pada pukul 10.00 waktu setempat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan akurasi dan presisi pendugaan. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula pengaruh jarak badan air terhadap suhu permukaan di lahan terbangun dan pengaruhnya terhadap vegetasi. Merujuk pada hasil penelitian, maka disarankan agar adanya penambahan RTH di Kota Bogor dan berpola menyebar sehingga pengaruh RTH akan efektif terhadap penurunan suhu permukaan pada lahan terbangun di perkotaan. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih E S, Dyas W, Imam S. 2000. Studi Pulau Panas di Jakarta dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Data Satelit. Majalah LAPAN No. 68. LAPAN : Jakarta. Allen R G, Masahiro T, Kramber W J, Trezza R dan Wright J L. 1998. Crop Evapotyranspiration-Guidelines for Computing Crop Water RequirementFAO Irrigation and Drainage Paper 56. FAO-Food and Agricultue Organization of The United Nation. Rome. Darmawan M. 2005. Pemetaan Liputan Lahan Skala Regional Menggunakan Metode Phenological Analisis. TIS:XIV:255. Draper N R dan Smith H. 1981. Applied Regression Analysis, 2nd ed. New York : John Wiley and Sons. Handayani N. 2007. Identifikasi Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan Dengan Menggunakan Citra LANDSAT TM/ETM+ (Studi Kasus : Kodya Bogor) [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Intitut Pertanin Bogor.
Handoko. 1997. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Hermawan E. 2005. Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan THI (Temperature Heat Index) Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (Studi Kasus Kanalung tahun 1991 dan 2001) [skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Impron. 1999. Neraca radiasi tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor. Jing H, Fienhua Z, Xiaomin S, Zilin Z dan Yanlian Z. 2006. Study Of Model Correcting For The Effect Of Horrizontal Advection On Surfaces Fluxes Measurement Based Of Remote Sensing. Science in China Series: 49 : 273 – 280. Jose JJS dan Berrade F. 1983. Transfer Energy in A Cassava Community (Manihot esculenta Crantz cv. Cubana) 2 CO2 in Savanna Climate. Annals of Botany : 52 : 521-533. June T. 1993. Ekofisiologi tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 26 Juli- 7 Agustus 1993. Bogor. Kiefer R W dan Lillesan T M. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri et al, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada Unversity Press. Terjemahan dari : RemoJansete Sensing and Image Interpretation Khomarudin M R. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh [Thesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Knipling E B. 1970. Physical And Physiological Basis For The Reflectance Of Visible and NearInfrared Radiation from Vegetation. Remote Sensing of Environment : 1 : 155-159. Lean J, Nobre C A dan Rowntree P R. 1996. The Simulated of Amazonian Deforestation on Climate Using Measure ABRACOS Vegetation
30
Characteristics. New York : John Willey&Sons. Langensiepen M. 2003. Evaporation and Energy Balance Encyclopedia of Water Science. Taylor & Francis : 1 : 153. Maharani L P, Khomarudin M R dan Santosa Imam. 2005. Identifikasi Neraca Energi Untuk Deskripsi Potensi Kekeringan Dengan Data Landsat Tm (Studi Kasus Kota Semarang dan Sekitarnya). MBA : XIV : 114-120. Meyers T P dan Hollinger S E. 2004. An Assessment Of Storage Terms In The Surface Energy Balance Of Maize And Soybean. Agrformet : 125 : 105115. Michael R. 2006. The Physical Environment. www.uwsp.edu/geo/ faculty/ritter/geog101/textbook/energ y/energy_balance.html [11 April 2011]. Monteith JL. 1975. Vegetation and Atmosphere. Academic Press, London : 278. Newton E J dan Lackman G E. 1970. The Penetration of Solar Radiation through Leaf Canopies of Different Structure. Annals of Botany : 34: 329-48. Panuju R. 2009. Telaah Pola Musiman Penutupan Lahan Beroegetasi dengan Xl2ARlMA pada NDVI SPOT VEGETATION [Prosding]. Institut Pertanian Bogor. Pusmahasib. 2002. Perhitungan Neraca Energi Dan Neraca Air Pada Tanaman Padi [Skripsi]. Departemen
Geofisika dan Meteorologi FMIPAIPB. Bogor Rauf A. 2009. Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah (Studi Kasus : Taman Nasional Lore Lindu). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rosenberg, Norman J. 1974. Microclimate : The Biological Environment. John Willey&Sons. New York. Samson R dan Lemeur R. 2000. Energy Balance Storage Terms And Big-Leaf Evapotranspiration In A Mixed Deciduous Forest. INRA : 58 : 529– 541 USGS. 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook. http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS /handbook_htmls/chapter111.html. [5 Juli 2010] Wardhani D E. 2006. Pengkajian Suhu Udara Dan Indeks Kenyamanan Dalam Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Kota Semarang) [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Waspadadi B L. 2007. Metode Kuantifikasi Neraca Energi Pengaruh Luas dan Jarak Terhadap Kondisi Suhu Udara Dengan Menggunakan Data Citra Landsat TM/ETM+ [skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Yoshida A. 2009. Field Measurement on Energy Budgetof an Isolated Plant Unit. Department of Mechanical Engineering. Osaka Prefecture University
31
Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan (Wm-2) Di Lokasi Penelitian
32
Lampiran 2. Peta Radiasi Netto (Wm-2) Di Lokasi Penelitian
33
Lampiran 3. Peta Fluks Panas Tanah (Wm-2) Di Lokasi Penelitian
34
Lampiran 4. Peta Fluks Panas Udara (Wm-2) Di Lokasi Penelitian
35
Lampiran 5. Peta Fluks Panas Laten (Wm-2) Di Lokasi Penelitian
36
Lampiran 6. Peta Titik Sampel Di Lokasi Penelitian
37
Lampiran 7. Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah, ladang, semak dan vegetasi terhadap suhu permukaan Regression Analysis: -1.67ts versus albedo, lnrn, albedo, sawah, ladang, semak and vegetation The regression equation is -1.67ts = - 0.0282 + 0.0199 albedo + 0.00542 lnrn - 0.000039 lnsawah - 0.000056 lnladang + 0.000019 lnsemak - 0.000011 lnveg Predictor Constant albedo lnrn lnsawah lnladang lnsemak lnveg
Coef -0.028234 0.019949 0.0054151 -0.00003857 -0.00005632 0.00001858 -0.00001054
S = 0.000105038
SE Coef 0.001126 0.001130 0.0001840 0.00001359 0.00001266 0.00001467 0.00001543
R-Sq = 88.1%
T -25.07 17.65 29.43 -2.84 -4.45 1.27 -0.68
P 0.000 0.000 0.000 0.005 0.000 0.206 0.495
R-Sq(adj) = 87.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source albedo lnrn lnsawah lnladang lnsemak lnveg
DF 1 1 1 1 1 1
DF 6 222 228
SS 1.81382E-05 2.44932E-06 2.05875E-05
MS 3.02303E-06 1.10330E-08
F 274.00
P 0.000
Seq SS 1.25890E-09 1.75757E-05 3.35532E-07 2.03824E-07 1.67869E-08 5.14591E-09
Unusual Observations Obs 57 65 91 112 115 157 211 212
albedo 0.0461 0.0523 0.0991 0.0670 0.0709 0.0557 0.0529 0.0529
-1.67ts 0.003065 0.002911 0.003232 0.003830 0.004070 0.003414 0.002911 0.003232
Fit 0.003345 0.003150 0.003289 0.003606 0.003780 0.003182 0.003182 0.003469
SE Fit 0.000021 0.000015 0.000035 0.000027 0.000022 0.000017 0.000015 0.000020
Residual -0.000280 -0.000239 -0.000058 0.000224 0.000291 0.000231 -0.000270 -0.000237
St Resid -2.72R -2.30R -0.58 X 2.21R 2.83R 2.23R -2.60R -2.30R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
38
Lampiran 8. Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah dan ladang terhadap suhu permukaan Regression Analysis: -1.67ts versus albedo, lnrn, lnsawah, lnladang The regression equation is -1.67ts = - 0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 lnrn - 0.000038 lnsawah - 0.000053 lnladang Predictor Constant albedo lnrn lnsawah lnladang
Coef -0.028034 0.019829 0.0053835 -0.00003770 -0.00005275
S = 0.000105035
SE Coef 0.001094 0.001126 0.0001806 0.00001297 0.00001227
R-Sq = 88.0%
T -25.62 17.61 29.80 -2.91 -4.30
P 0.000 0.000 0.000 0.004 0.000
R-Sq(adj) = 87.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source albedo lnrn lnsawah lnladang
DF 1 1 1 1
DF 4 224 228
SS 1.81163E-05 2.47125E-06 2.05875E-05
MS 4.52907E-06 1.10324E-08
F 410.53
P 0.000
Seq SS 1.25890E-09 1.75757E-05 3.35532E-07 2.03824E-07
Unusual Observations Obs 7 57 65 91 112 115 157 211 212
albedo 0.0623 0.0461 0.0523 0.0991 0.0670 0.0709 0.0557 0.0529 0.0529
-1.67ts 0.003232 0.003065 0.002911 0.003232 0.003830 0.004070 0.003414 0.002911 0.003232
Fit 0.003091 0.003345 0.003147 0.003288 0.003577 0.003788 0.003201 0.003180 0.003467
SE Fit 0.000030 0.000021 0.000015 0.000035 0.000016 0.000020 0.000011 0.000013 0.000016
Residual 0.000141 -0.000281 -0.000236 -0.000057 0.000254 0.000283 0.000213 -0.000269 -0.000236
St Resid 1.40 X -2.73R -2.27R -0.57 X 2.44R 2.74R 2.04R -2.58R -2.27R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
39
Lampiran 9. Analisis Regresi tiap penutupan lahan bervegetasi Regression Analysis: ts versus sawah The regression equation is ts = 31.3 + 0.00471 sawah Predictor Constant sawah
Coef 31.2672 0.0047138
S = 1.66216
SE Coef 0.1516 0.0005975
R-Sq = 21.5%
T 206.22 7.89
P 0.000 0.000
VIF 1.000
R-Sq(adj) = 21.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 227 228
SS 171.93 627.15 799.07
MS 171.93 2.76
F 62.23
P 0.000
Regression Analysis: ts versus lnladang The regression equation is ts = 24.6 + 1.47 lnladang Predictor Constant lnladang
Coef 24.6439 1.4659
S = 1.54296
SE Coef 0.7218 0.1406
R-Sq = 32.4%
T 34.14 10.42
P 0.000 0.000
VIF 1.000
R-Sq(adj) = 32.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 227 228
SS 258.65 540.42 799.07
MS 258.65 2.38
F 108.65
P 0.000
Regression Analysis: ts versus lnveg The regression equation is ts = 26.2 + 1.13 lnveg Predictor Constant lnveg S = 1.79094
Coef 26.230 1.1348
SE Coef 1.252 0.2412
R-Sq = 8.9%
T 20.96 4.70
P 0.000 0.000
VIF 1.000
R-Sq(adj) = 8.5%
Analysis of Variance
40
Source Regression Residual Error Total
DF 1 227 228
SS 70.978 728.096 799.074
MS 70.978 3.207
F 22.13
P 0.000
Regression Analysis: ts versus lnsemak The regression equation is ts = 25.1 + 1.41 lnsemak Predictor Constant lnsemak
Coef 25.0828 1.4138
S = 1.69550
SE Coef 0.9882 0.1980
R-Sq = 18.3%
T 25.38 7.14
P 0.000 0.000
VIF 1.000
R-Sq(adj) = 18.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 227 228
SS 146.51 652.56 799.07
MS 146.51 2.87
F 50.96
P 0.000
Regression Analysis: Ts versus ln_veg The regression equation is Ts = 28.6 + 1.17 ln_veg 69 cases used, 8 cases contain missing values Predictor Constant ln_veg
Coef 28.622 1.1711
S = 0.965955
SE Coef 1.200 0.2228
PRESS = 67.2376
R-Sq = 29.2%
T 23.85 5.26
P 0.000 0.000
VIF 1.000
R-Sq(adj) = 28.1%
R-Sq(pred) = 23.84%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 25.774 Residual Error 67 62.516 Total 68 88.290 Unusual Observations Obs ln_veg Ts 6 4.62 32.000 9 3.92 35.000 32 5.53 33.000 53 6.24 34.000 63 5.71 33.000 66 6.56 37.000
Fit 34.027 33.216 35.100 35.935 35.314 36.306
MS 25.774 0.933
SE Fit 0.202 0.341 0.122 0.229 0.141 0.292
F 27.62
P 0.000
Residual -2.027 1.784 -2.100 -1.935 -2.314 0.694
St Resid -2.15R 1.97 X -2.19R -2.06R -2.42R 0.75 X
41
Lampiran 10. Korelasi tiap penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan Correlations: Ts, Dveg Pearson correlation of Ts and Dveg = 0.678 P-Value = 0.000
Correlations: ts, semak Pearson correlation of ts and semak = 0.421 P-Value = 0.000
Correlations: ts, sawah Pearson correlation of ts and sawah = 0.464 P-Value = 0.000
Correlations: ts, ladang Pearson correlation of ts and ladang = 0.458 P-Value = 0.000
42
Lampiran 11. Data pembuatan model dan yang digunakan untuk validasi model Tabel 1. Data pembangkit model Ts 31 31 30 30 31 32 31 32 32 31 33 35 34 34 36 35 35 33 36 36 33 35 32 32 33 35 35 34 36 35 34 36 34 33 34 35 37 32 33
Rn (Wm-2) 278 284 285 295 279 278 283 276 273 289 275 262 266 263 239 267 264 295 259 252 265 253 283 280 271 250 268 261 248 257 261 251 267 281 264 254 250 286 284
albedo 0.066092 0.061777 0.065073 0.066925 0.064513 0.060807 0.062336 0.063406 0.063444 0.066466 0.055099 0.063494 0.067621 0.064327 0.080343 0.062336 0.061865 0.052872 0.059824 0.068690 0.069064 0.068916 0.065956 0.066092 0.061267 0.068181 0.061217 0.069897 0.069388 0.070319 0.072820 0.062286 0.065582 0.058343 0.069662 0.070457 0.057973 0.059414 0.057549
Vegetasi tinggi (m) 214 101 71 113 113 101 152 143 113 101 202 357 143 113 258 320 253 323 202 253 258 339 182 272 339 253 339 323 357 160 253 272 253 202 272 208 160 113 208
semak (m) 152 160 71 71 143 182 143 152 152 71 182 202 208 253 404 357 286 466 258 558 323 160 226 253 357 307 432 295 323 152 323 323 354 432 253 226 160 160 51
sawah (m) 101 113 51 51 71 71 51 152 71 113 101 113 152 143 527 295 272 357 253 884 357 202 208 182 452 295 1317 407 773 202 432 572 1042 1118 1007 226 253 51 71
ladang (m) 160 429 303 182 208 791 929 354 152 113 357 160 320 226 565 455 357 544 307 452 253 182 253 357 435 354 1037 1042 1140 307 452 911 1080 786 1118 385 143 208 101 43
Lampiran 11. Lanjutan... 32 280 0.065582 31 292 0.054863 32 290 0.054775 31 293 0.061827 29 282 0.078066 33 271 0.056766 32 271 0.070034 32 286 0.063356 32 283 0.054030 34 272 0.059874 33 283 0.055794 34 262 0.059874 35 253 0.064563 32 271 0.070083 35 265 0.060483 33 277 0.053520 32 282 0.059552 32 311 0.046095 35 252 0.073007 35 263 0.062424 33 262 0.070731 35 266 0.055373 34 264 0.069662 34 262 0.068828 33 269 0.059874 33 295 0.052313 32 276 0.059314 32 277 0.061727 33 282 0.059688 32 283 0.058531 32 280 0.066142 31 282 0.064887 31 277 0.071153 35 254 0.073889 34 266 0.066652 34 266 0.070643 32 260 0.082196 32 259 0.088502 32 274 0.061453 31 279 0.067995 31 282 0.067809 32 269 0.073193 32 261 0.077445
160 143 253 113 226 253 182 160 113 160 152 182 226 253 307 258 160 113 208 143 113 395 272 101 143 143 113 152 160 160 113 113 357 208 452 101 152 160 253 113 152 253 253
152 113 143 71 160 253 143 160 152 160 101 113 143 253 258 113 182 101 113 253 202 272 286 182 208 160 101 152 101 51 51 152 143 226 152 182 113 160 182 182 113 214 253
113 182 71 51 182 51 101 71 113 202 143 113 295 385 160 160 152 71 182 899 208 152 214 71 152 143 71 71 113 160 160 160 152 323 182 143 113 182 113 113 101 152 152
51 71 113 51 51 71 113 113 113 143 202 272 182 307 214 160 160 202 101 407 101 323 457 208 208 253 143 160 182 152 160 208 226 253 307 253 258 253 202 182 143 303 202 44
Lampiran 11. Lanjutan... 33 276 0.065396 31 299 0.056628 30 301 0.051803 32 271 0.066092 30 288 0.070731 33 263 0.069662 33 268 0.061865 33 255 0.085388 31 251 0.099095 35 254 0.073379 34 279 0.053146 32 267 0.072310 34 287 0.054911 34 260 0.064563 35 253 0.064003 31 295 0.060198 35 264 0.065444 33 279 0.060433 34 261 0.062374 35 256 0.067397 32 275 0.065346 33 286 0.052127 34 278 0.058157 34 288 0.053892 33 284 0.054725 32 284 0.061453 29 302 0.065956 29 305 0.062946 28 297 0.069064 28 299 0.066975 29 292 0.067535 29 286 0.072870 27 305 0.070917 29 298 0.063679 28 313 0.061267 32 274 0.065904 30 289 0.069662 30 288 0.063865 30 298 0.060433 29 295 0.063915 30 296 0.058531 30 284 0.067573 31 275 0.070221
160 101 101 143 320 295 143 71 160 226 214 339 272 253 295 101 214 101 182 182 339 71 160 272 160 143 160 101 253 71 143 71 226 113 113 160 407 303 202 272 101 152 160
143 71 323 208 101 160 160 113 113 272 253 160 202 143 182 113 214 182 208 182 182 143 208 182 364 160 143 101 143 303 385 101 71 113 253 364 71 51 71 51 113 71 113
182 152 143 253 182 113 71 113 101 303 836 258 508 182 160 160 160 182 113 182 143 101 253 385 208 208 101 143 51 113 101 71 51 101 51 51 452 71 51 51 71 160 113
143 143 101 113 51 182 182 152 71 432 1062 182 357 385 258 113 295 295 101 323 160 113 395 407 687 520 51 51 51 71 71 71 71 143 51 51 544 101 143 71 152 101 101 45
Lampiran 11. Lanjutan... 31 286 0.062610 33 273 0.058569 31 282 0.067907 30 298 0.063915 31 284 0.069250 28 315 0.055235 29 300 0.061031 30 289 0.058855 30 299 0.058345 31 279 0.063953 30 293 0.062100 30 286 0.071427 31 292 0.063915 30 283 0.067671 30 282 0.069250 31 272 0.074810 29 293 0.066927 31 275 0.073143 30 293 0.058059 31 287 0.056678 30 303 0.058159 30 295 0.063034 30 298 0.059266 30 287 0.062424 32 282 0.066925 32 272 0.072348 32 263 0.078990 32 274 0.069897 32 271 0.074027 30 286 0.073231 30 281 0.074674 30 291 0.055697 33 273 0.058619 32 274 0.060943 31 291 0.056392 32 276 0.066887 32 278 0.061267 31 280 0.066466 30 304 0.058157 35 253 0.067995 34 270 0.058581 30 295 0.065906 31 286 0.058669
143 143 71 253 71 143 51 71 143 152 152 272 286 101 182 113 71 101 71 182 71 182 339 208 208 160 113 368 339 320 202 202 303 368 385 208 295 258 113 143 258 160 51
113 152 152 51 51 101 51 101 101 71 101 71 143 101 101 152 152 160 71 51 101 354 339 160 113 152 101 160 160 101 101 51 226 202 182 258 113 101 113 101 202 295 71
101 51 101 113 101 143 51 51 51 71 71 101 71 71 71 51 51 51 51 51 51 71 51 51 101 152 113 101 113 113 113 101 101 152 152 113 182 258 101 182 208 208 160
253 101 214 113 101 51 71 152 113 101 51 101 113 113 160 113 51 113 152 101 101 101 51 71 160 113 101 152 160 113 101 101 143 258 226 182 101 160 113 101 258 253 71 46
Lampiran 11. Lanjutan... 31 269 0.086572 31 286 0.062660 31 295 0.059688 31 284 0.056716 32 272 0.065582 31 282 0.067957 31 299 0.046095 31 278 0.069574 31 289 0.054539 32 278 0.068133 30 291 0.055697 30 287 0.062474 31 288 0.060522 32 279 0.063779 32 286 0.062386 31 292 0.055373 31 288 0.064563 30 308 0.053520 31 272 0.072398 30 298 0.048881 35 257 0.066280 34 256 0.068790 33 270 0.058295 31 310 0.049764 34 264 0.062137 34 257 0.069202 30 307 0.054539 30 296 0.058483 32 273 0.063543 32 287 0.057835 32 288 0.056816 31 275 0.076212 31 279 0.063032 32 273 0.064053 31 293 0.057835 34 267 0.062150 32 294 0.054539 33 265 0.066092 34 266 0.064139 34 271 0.056952 33 275 0.055609 33 270 0.069809 33 295 0.052872
323 202 152 71 208 113 357 113 113 202 143 272 113 323 71 71 364 303 160 101 323 226 253 160 160 208 457 160 307 152 113 272 160 152 113 226 258 101 295 182 182 202 101
71 51 71 214 101 160 101 101 101 71 160 51 101 101 113 226 113 113 71 214 113 208 152 143 286 295 71 51 51 51 51 101 51 71 51 51 51 253 253 286 208 113 113
101 160 71 113 51 71 71 71 71 113 143 51 208 160 101 51 113 51 182 51 226 407 354 152 295 286 182 71 101 143 51 101 51 51 71 407 208 113 143 113 152 51 101
101 71 113 71 160 101 51 51 113 51 51 71 51 51 113 101 51 71 51 101 51 143 143 214 113 385 286 71 71 182 160 152 113 101 152 113 182 152 258 357 202 208 182 47
Lampiran 11. Lanjutan... 31 308 0.052872 31 292 0.048881 30 286 0.077518 32 282 0.067025 36 254 0.066142 33 269 0.064887 33 262 0.069350 34 261 0.060943 33 273 0.062660 34 263 0.058295 34 256 0.072634 33 286 0.052127 33 288 0.053520 34 262 0.064425 33 284 0.054215 33 273 0.057697 32 285 0.055932 30 295 0.056120
253 51 51 113 101 385 258 143 253 71 357 466 152 226 368 101 143 253
152 51 113 71 51 253 214 258 51 143 253 101 101 152 404 152 182 295
51 113 71 101 71 182 160 101 253 160 152 113 113 113 143 71 71 113
101 71 160 101 182 368 160 160 113 101 226 477 101 101 182 101 208 101
Tabel 2. Data yang digunakan untuk validasi model Ts 31 31 30 30 31 32 31 32 32 31 33 35 34 34 36 35 35 33 36 36
Rn (Wm-2) 278 284 285 295 279 278 283 276 273 289 275 262 266 263 239 267 264 295 259 252
albedo 0.066092 0.061777 0.065073 0.066925 0.064513 0.060807 0.062336 0.063406 0.063444 0.066466 0.055099 0.063494 0.067621 0.064327 0.080343 0.062336 0.061865 0.052872 0.059824 0.068690
Vegetasi tinggi (m) 214 101 71 113 113 101 152 143 113 101 202 357 143 113 258 320 253 323 202 253
semak sawah ladang (m) (m) (m) 152 101 160 160 113 429 71 51 303 71 51 182 143 71 208 182 71 791 143 51 929 152 152 354 152 71 152 71 113 113 182 101 357 202 113 160 208 152 320 253 143 226 404 527 565 357 295 455 286 272 357 466 357 544 258 253 307 558 884 452
48
Lampiran 11. Lanjutan... 33 265 0.069064 35 253 0.068916 32 283 0.065956 32 280 0.066092 33 271 0.061267 35 250 0.068181 35 268 0.061217 34 261 0.069897 36 248 0.069388 35 257 0.070319 34 261 0.072820 36 251 0.062286 34 267 0.065582 33 281 0.058343 34 264 0.069662 35 254 0.070457 37 250 0.057973 32 286 0.059414 33 284 0.057549 32 280 0.065582 31 292 0.054863 32 290 0.054775 31 293 0.061827 29 282 0.078066 33 271 0.056766 32 271 0.070034 32 286 0.063356 32 283 0.054030 34 272 0.059874 33 283 0.055794 34 262 0.059874 35 253 0.064563 32 271 0.070083 35 265 0.060483 33 277 0.053520 32 282 0.059552 32 311 0.046095 35 252 0.073007 35 263 0.062424
258 339 182 272 339 253 339 323 357 160 253 272 253 202 272 208 160 113 208 160 143 253 113 226 253 182 160 113 160 152 182 226 253 307 258 160 113 208 143
323 160 226 253 357 307 432 295 323 152 323 323 354 432 253 226 160 160 51 152 113 143 71 160 253 143 160 152 160 101 113 143 253 258 113 182 101 113 253
357 202 208 182 452 295 1317 407 773 202 432 572 1042 1118 1007 226 253 51 71 113 182 71 51 182 51 101 71 113 202 143 113 295 385 160 160 152 71 182 899
253 182 253 357 435 354 1037 1042 1140 307 452 911 1080 786 1118 385 143 208 101 51 71 113 51 51 71 113 113 113 143 202 272 182 307 214 160 160 202 101 407
49
Lampiran 12. Uji akurasi klasifikasi lahan CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ----------------------------------------Image File : d:/gps/klasifikasi/focal_test4.img User Name : PutriYasmin Date : Fri Apr 08 17:00:01 2011
ERROR MATRIX -------------
badan air sawah vegetasi tinggi pemukiman semak/rumput perkebunan ladang
Reference Data -------------badan air sawah vegetasi t ---------------------------0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 5 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Column Total
0
Classified Data --------------- ----------
Classified Data ladang --------------- ----------
2
5
6
Reference Data -------------pemukiman semak/rump
badan air sawah vegetasi tinggi pemukiman semak/rumput perkebunan ladang
---------0 0 0 0 2 0 0 0
Column Total
2
perkebunan
---------0 1 0 0 0 0 0 0
---------0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 6
1
1
6
----- End of Error Matrix -----
50
ACCURACY TOTALS ---------------Class Name ----------
Reference Totals ---------0 badan air 2 sawah 5 vegetasi tinggi 6 pemukiman 2 semak/rumput 1 perkebunan 1 ladang 6 Totals
Classified Totals ---------0 3 5 6 2 0 1 6
23
Overall Classification Accuracy =
23
Number Correct ------0 2 5 6 2 0 1 6
Producers Users Accuracy Accuracy ----------------100.00% 66.67% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% ----100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
22
95.65%
----- End of Accuracy Totals -----
KAPPA (K^) STATISTICS --------------------Overall Kappa Statistics = 0.9454 Conditional Kappa for each Category. -----------------------------------Class Name ---------badan air sawah vegetasi tinggi pemukiman semak/rumput perkebunan ladang
Kappa ----0.0000 0.6349 1.0000 1.0000 1.0000 0.0000 1.0000 1.0000
----- End of Kappa Statistics -----
51