DISTRIBUSI SPASIAL SUHU PERMUKAAN DAN KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA SEMARANG
PUJI WALUYO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
DISTRIBUSI SPASIAL SUHU PERMUKAAN DAN KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA SEMARANG
PUJI WALUYO
SKRIPSI sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Istitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SUMMARY PUJI WALUYO (E34104054). The Spatial Distribution of Surface Thermal and Green Space Capacity in Semarang. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and ENDES N. DAHLAN.
Semarang is one of cities that become center of public activity which is always developing in many aspects such as settlement, , roads, industries and other infrastructures. Unfortunately, The development seems to ignore environmental sustainability, in which large of green open space are converted into other land uses. The conversion will lead micro climate changes resulted in Urban Heat Island and green house effect. Those phenomenon can be observed by utilizing Geographic Information System and remote sensing. The objectives of the research are as follows : (1) land cover type identification and surface thermal of spatial distribution, , (2) the relationship between surface thermal with Green Space capacity, open land and built areas. (3) the relationship between surface thermal with Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), through interpretation and landsat Imaginery 7 ETM. The research area situated at in Semarang City and data used were Landsat Imaginery 7ETM path/row 120/065 acquiring on April 2001 and June 2006. Landsat imagery were analyzed using an Arc View 3.2 and ERDAS Imagine 8.5 software. Surface temperature were estimated using band 6. Those analysis were aimed to identify relationship between surface thermal with Green Space, the open land, built area and NDVI. Semarang city with 38.721.70 Ha are dominated by land cover, such as built area 27.52% on year 2001 and 35,58% in 2006. The biggest land cover changes happened on built area and with advancing is 8.06%. Thermal Surface distribution were found ranges from <20 oC - ≥34 oC. The area which have thermal surface value of ≥34 oC was expanded from 16.80 % in 2001 to 25.68% in 2006. However, green space capacity areal are still covering 30%, inline with proportion based on UU. No.26 on 2007 about areal governance. The relationship between surface thermal with Green Space and other land uses were identified. It showed that surface temperature of open space area is lower than other landuses such as bare land and settlement. Moreover, It analysis result showed that surface temperature will infllence by NDVI, in which the surface temperature will increase by the lowering NDVI and vice versa. Keywords : Semarang city, landcover, thermal surface, green space, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
RINGKASAN PUJI WALUYO (E34104054). Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan ENDES N. DAHLAN. Kota Semarang merupakan pusat aktivitas manusia yang selalu mengalami perkembangan dari berbagai segi, salah satunya segi fisik dengan ditandai pembangunan infrastruktur kota berupa pembangunan gedung, pemukiman, jalan dan industri. Dalam pembangunan kota, kenyataan yang dilihat selalu mengesampingkan kelestarian lingkungan yang baik dengan terjadinya alih fungsi lahan seperti lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan pemukiman atau industri. Perubahan lahan tersebut akan mengancam keberadaan RTH (green space) dan menyebabkan perubahan iklim mikro yaitu suhu udara semakin meningkat dan terjadi fenomena alam seperti Urban Heat Island (UHI) dan green house effect. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui (1) tipe penutupan lahan, distribusi spasial suhu permukaan, kecukupan RTH, dan perubahan luasannya, (2) hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun, dan (3) hubungan antara suhu permukaan dengan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), melalui interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM. Penelitian ini dilakukan dengan pemilihan lokasi Kota Semarang dan pengolahan data citra satelit Landsat 7ETM path/row 120/065 acquiring bulan April 2001 dan bulan Juni 2006. Pengolahan data citra satelit Landsat 7ETM dengan menggunakan software ArcView 3.2 dan ERDAS Imagine 8.5 yang meliputi image restoration, subset image, image classification, dan estimasi nilai suhu permukaan pada band 6 dengan pembangunan model. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka, area terbangun dan NDVI. Kota Semarang dengan luas 38.721,70 Ha didominasi oleh penutupan lahan berupa area terbangun 27,52% tahun 2001 dan 35,58% tahun 2006. Perubahan penutupan lahan terbesar terjadi pada area terbangun dengan peningkatan luas wilayah sebesar 8,06%. Distribusi spasial suhu permukaan dengan nilai selang <20 oC - ≥34 oC. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu ≥34 oC mendominasi dengan luas distribusi paling besar, tahun 2001 seluas 16,80% menjadi 25,68% pada tahun 2006. RTH di Kota Semarang tahun 2001 seluas 55,18% dari luas wilayah kota terjadi penurunan menjadi 45,81% tahun 2006. Luas RTH yang ada masih memenuhi proporsi sebesar 30% berdasarkan UU. No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun diketahui untuk nilai suhu permukaan pada RTH lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan pada lahan terbuka dan area terbangun masing-masing sebesar 31 oC – 34 oC, dan ≥34 oC. Sedangkan hubungan antara suhu permukaan dengan NDVI berdasarkan hasil korelasi regresi linear sederhana menunjukkan hubungan berkebalikan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai penurunan NDVI atau sebaliknya. Kata kunci : Kota Semarang, penutupan lahan, suhu permukaan, Ruang Terbuka Hijau, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 24 Februari 2009 Puji Waluyo NRP. E 34104054
Judul Skripsi : Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang Nama : Puji Waluyo NIM : E 34104054
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP. 131760841
Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. NIP. 130875594
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131578788
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun skripsi tersebut dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammmad SAW beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau yang senantiasa menjaga sunah beliau hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” diharapkan memberi manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.
Bogor, 24 Februari 2009 Puji Waluyo NRP. E 34104054
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak dan Ibu tercinta, Mas Jatmiko dan keluarga, Mbak Pipin dan keluarga, Mas Bhakti dan keluarga, yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, dukungan, perhatian, kesabaran dan pengorbanannya, semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya.
2.
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku dosen pembimbing atas segala pengarahan, bimbingan, nasihat, kesabaran, serta perhatian yang begitu berarti bagi penulis sampai skripsi ini diselesaikan, semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.
3.
Prof.Dr.Ir. I Ketut Nuridja Pandit, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas koreksi, saran, nasehat, untuk kesempurnaan skripsi ini.
4.
Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. sebagai Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata beserta seluruh dosen, staf pengajar dan KPAP di DKSHE serta seluruh dosen dan staf di Fakultas Kehutanan dan di IPB, atas ilmu dan amal baktinya
5.
Keluarga besar Asrama Sylvasari IPB pada umumnya, khususnya angkatan 41 : Sulfan, Inama, Fahmi, Dwi, Ajid, Husein, Embang, Aan, Febia, Yogi, Heru, Edo, Budiyanto, Rio, Adi, Patria, Tomi, Arief, Hendri, Sahab, Ardhi atas perjuangan, persahabatan, kekeluargaan dan warna-warni kehidupan.
6.
Keluarga besar KSHE’41 atas persahabatan dan kerjasamanya dan rekan-rekan seperjuangan penelitian (Sukma, Nira, Ajid, Puteri, Afin, Katheryn, Rini, Ariyanto, dan LILIK’ers lainnya), PKLP (Husein, Febia, Sulfan, Lala, dan Puteri), serta yang ada di NK dan IC camp, tetap semangat dan jangan lupakan kenangan yang telah kita ukir bersama.
7.
Seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Rimbawan angkatan 41 baik Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Teknologi Hasil Hutan, Manajemen Hutan, serta Silvikultur, serta mahasiswa IPB atas persahabatan dan kerjasamanya.
8.
PPLH IPB Divisi Eko-Manajemen, Mas Tri Permadi, dan Mas Syarif Indra atas kerja sama, pengalaman, ilmu, tawa, canda, nasihat dan motivasi yang telah diberikan.
9.
Keluarga besar Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial DKSHE atas perjuangan dan kerjasamanya, khusus Mas Nanang dan Mas Bhilal atas ilmu dan nasehatnya.
10. Keluarga besar HIMAKOVA atas perjuangan dan kerjasamanya.
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Puji Waluyo, lahir di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 14 Desember 1985 dan merupakan anak ke-empat dari keluarga pasangan Udiroso dan Sutrimah. Pendidikan penulis berawal dari TK. Pertiwi Jambu dan selesai pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD. Negeri Jambu I dan lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Jambu dan lulus tahun 2001, dan melanjutkan ke SMU Negeri I Ambarawa lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan
yakni
sebagai
staf
Departemen
Kewirausahaan
DKM
Ibaadurrahmaan tahun 2006, anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) tahun 2005-2007 pada Kelompok Pemerhati Flora dan Herpetofauna, pengurus Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari pada Departemen Hubungan Masyarakat tahun 2006, Departemen Rumah Tangga tahun 2007, dan menjadi Ketua Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari tahun 2008. Kegiatan praktek yang pernah diikuti penulis adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturaden-Cilacap dan KPH Ngawi pada tahun 2007. Penulis juga pernah mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) tahun 2007 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Makasar, Sulawesi Selatan. Pada bulan Februari–April 2008 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” dibimbing oleh Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ................................................................................ ......
iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Tujuan .......................................................................................... 2 1.3 Manfaat ........................................................................................ 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan .......................................................................... 2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH) ........................................................ 2.2.1 Pengertian Ruang Terbuka Hijau ....................................... 2.2.2 Paradigma pembangunan Ruang Terbuka Hijau ................ 2.2.3 Komponen Ruang Terbuka Hijau ...................................... 2.2.4 Fungsi Ruang Terbuka Hijau ............................................ 2.2.5 Prinsip penataan Ruang Terbuka Hijau ............................ 2.2.6 Dasar hukum Ruang Terbuka Hijau .................................. 2.3 Penginderaan Jauh ....................................................................... 2.3.1 Pengertian penginderaan jauh ............................................ 2.3.2 Proses penginderaan jauh .................................................. 2.3.3 Aplikasi penginderaan jauh satelit Landsat TM (Thematic Mapper) .......................................................................... 2.3.4 Analisis digital data Landsat 7 ETM ................................. 2.3.5 Uji ketelitian ..................................................................... 2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG) ................................................. 2.4.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi (SIG) ..................... 2.4.2 Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG) .................... 2.4.3 Cara kerja Sistem Informasi Geografi (SIG) ...................... BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................... 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 3.3 Survey Lapangan ........................................................................ 3.4 Pengolahan Citra Satelit Landsat ................................................. 3.4.1 Perbaikan citra (Image Restoration) .................................. 3.4.2 Pemotongan citra (Subset Image) ...................................... 3.4.3 Klasifikasi citra (Image Classification) ............................. 3.4.4 Pengolahan citra Landsat band 6 untuk estimasi suhu permukaan ....................................................................... 3.5 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan ..........................................................................
4 6 6 7 8 9 9 10 12 12 13 14 15 16 17 17 18 19 20 20 20 21 21 22 22 23 24
ii
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Batas Administrasi ...................................................... 4.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan Tanah .................................... 4.3 Kondisi Geologi dan Jenis Tanah ................................................. 4.4 Kondisi Klimatologi .................................................................... 4.4.1 Iklim ................................................................................. 4.4.2 Curah hujan dan hari hujan ............................................... 4.4.3 Temperatur udara, kelembaban udara dan arah angin ........ 4.4.4 Radiasi matahari ............................................................... 4.5 Kondisi Hidrologi ........................................................................ 4.5.1 Air permukaan .................................................................. 4.5.2 Air tanah ........................................................................... 4.5.3 Mata air ............................................................................ 4.6 Kondisi Penduduk ....................................................................... 4.6.1 Potensi jumlah penduduk .................................................. 4.6.2 Pertumbuhan penduduk ..................................................... 4.6.3 Kepadatan penduduk .........................................................
27 28 28 29 29 29 29 29 30 30 30 30 30 30 30 31
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Semarang ................................................ 32 5.2 Penutupan Lahan Kota Semarang Tahun 2001-2006..................... 39 5.2.1 Penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 ..................... 39 5.2.2 Penutupan lahan Kota Semarang tahun 2006 ..................... 46 5.3 Perubahan Penutupan Lahan Kota Semarang ............................... 52 5.4 Distribusi Spasial Suhu Permukaan ............................................. 56 5.4.1 Distribusi spasial suhu permukaan Kota Semarang ............ 56 5.4.2 Perubahan luasan distribusi spasial suhu permukaan Kota Semarang......................................................................... 60 5.4.3 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan di Kota Semarang ............................................................. 64 5.4.3.1 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan tahun 2001 .......................................... 64 5.4.3.2 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan tahun 2006 .......................................... 68 5.4.4 Distribusi spasial suhu permukaan berdasarkan topografi ........ ......................................................................................... 72 5.5 Ruang Terbuka Hijau ................................................................... 74 5.5.1 Tipe Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ....................... 74 5.5.2 Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ............................... 75 5.5.3 Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan .................... 76 5.5.4 Pendekatan penentuan kerapatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang ............................................................. 82 5.5.5 Pendekatan pengembangan tata ruang untuk peningkatan kuantitas Ruang Terbuka Hijau ........................................ 83 5.5.6 Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang ...... 84 5.6 Hubungan suhu permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), lahan terbuka dan area terbangun ................................................. 86 5.7 Hubungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Dengan Suhu Permukaan .......................................................................... 88
iii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 90 6.2 Saran ........................................................................................... 91 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 92 LAMPIRAN ............................................................................................... 95
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Aplikasi dan saluran spektral (band) thematic mapper (Lo,1995) .............. 14 2. Nilai konstanta kalibrasi dari band thermal ............................................... 24 3. Luas penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001..................................... 40 4. Luas dan persentase penutupan lahan wilayah Kota Semarang .................. 46 5. Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006 ................... 52 6. Luasan konversi penutupan lahan menjadi area terbangun Kota Semarang periode 2001-2006 ................................................................... 53 7. Perubahan luasan suhu permukaan di Kota Semarang periode 2001-2006 ... ................................................................................................................ 56 8. Nilai rata-rata suhu permukaan pada ruang wilayah dan ketinggian .......... 73 9. Perubahan luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001-2006 .... ................................................................................................................. 75 10. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang ................................... 77 11. Perubahan luas Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006.................................................................... 79 12. Arahan besaran persentase luasan Ruang Terbuka Hijau perwilayah kecamatan di Kota Semarang. .................................................................. 82 13. Suhu permukaan pada penggunaan lahan di Kota Semarang...................... 87
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Diagram alir metode penelitian ................................................................ 25 2. Citra Landsat 7 ETM Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ....................... 26 3. Peta lokasi penelitian (Kota Semarang) ..................................................... 27 4. Area terbangun (pemukiman) di Kecamatan Semarang Tengah ................. 35 5. (a) Tambak tepi pantai di Kecamatan Tugu ............................................... 35 (b) Sungai banjir kanal barat ..................................................................... 35 6. (a) Ladang di Kecamatan Gunungpati ....................................................... 36 (b) Ladang di Kecamatan Genuk ............................................................... 36 7. (a) Area proyek pembangunan perumahan Kec. Tembalang ....................... 37 (b) Lahan pertanian sebelum ditanami (tanah gundul) Kec. Ngaliyan ........ 37 8. Sawah (a) Gunungpati (b) Tugu ............................................................... 37 9. (a) Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang ......................... 38 (b) Taman lele Kecamatan Ngaliyan .......................................................... 38 10. (a) Hutan tanaman jati di Kecamatan Mijen ............................................. 39 (b) Hutan tanaman mahoni di Kecamatan Ngaliyan ................................. 39 11. Peta penutupan lahan KotaSemarang tahun 2001 ..................................... 45 12. Peta penutupan lahan KotaSemarang tahun 2006 ..................................... 51 13. Peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 Dan2006 ..................... 55 14. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2001 ...... 58 15. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2006 ...... 59 16. Perubahan luasan (%) suhu permukaan Kota Semarang periode 2001-2006 .................................................................................... 61 17. Peta distribusi suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ..... 63 18. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 ............. 81 19. Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001........ 89 20. Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Semarang tahun 2006 ....... 89
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Perubahan luas wilayah (%) penutupan lahan perwilayah kecamatan di Kota Semarang periode 2001-2006 ........................................................ 96 2. Perubahan luas wilayah distribusi (%) suhu permukaan perwilayah kecamatan di Kota Semarang periode 2001-2006 ....................................... 98 3. Pembangunan Model untuk Estimasi Nilai Suhu Permukaan pada Band 6 Citra Landsat 7 ETM ......................................................................................... 101 4. Peta Perubahan Lahan di Kota Semarang Tahun 2001-2006 ...................... 103
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota akibat pembangunan infrastruktur yang berupa pembangunan fisik harus tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kualitas lingkungan yang baik. Tapi dalam kenyataannya hal demikian tidak pernah dijumpai dalam kegiatan pembangunan infrastruktur kota. Perkembangan kota seperti ini telah mengubah iklim mikro dalam kota. Hal ini dapat terjadi di kota-kota besar seperti di Kota Semarang. Peningkatan jumlah penduduk secara cepat setiap tahunnya akan menyebabkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan berubah menjadi kawasan pemukiman dan industri. Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota. Menurut Tursilowati (2006) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang menghasilkan buangan panas. Kenaikan suhu udara juga diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil. Proses pembakaran yang terjadi menghasilkan gas CO2, NOx, SOx, dan HC; yang menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse effect). Suhu pada wilayah perkantoran dan jalan aspal mengalami perubahan suhu permukaan yang tinggi, berbeda dengan kawasan hijau di daerah urban yang memiliki suhu permukaan yang rendah. Hal ini menyebabkan perubahan unsurunsur iklim terutama di pusat kota dan kawasan industri. Perubahan unsur iklim yang terjadi antara lain suhu, kecepatan angin, radiasi, dan keawanan. Dari keempat unsur tersebut suhu merupakan unsur yang dapat dirasakan langsung perubahannya. Adanya distribusi suhu kota dengan pinggir kota yang sangat berbeda ini kemudian dikenal dengan istilah heat island. Heat island adalah suatu fenomena suhu udara di daerah yang padat bangunan lebih tinggi dari pada suhu udara terbuka sekitarnya (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Fenomena heat island ditandai dengan adanya suatu daerah yang memiliki suhu
2
yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu sekitar. Umumnya suhu udara tertinggi terdapat di pusat kota atau kawasan industri dan akan menurun secara bertahap ke arah daerah pinggir kota. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa heat island berkembang cepat di musim kemarau dan sering terjadi di pusat kota dan kawasan industri. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya heat island effect adalah dengan pembangunan Ruang Terbuka Hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu bagian penting dari suatu kota. Keberadaan RTH seperti hutan kota, taman kota, jalur hijau dan lapangan sangat penting bagi masyarakat kota. Adanya RTH dalam suatu kota, dapat menjadi salah satu faktor untuk mempengaruhi suhu sekitar kota (ameliorasi iklim). Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan
sebesar
30%
merupakan
ukuran
minimal
untuk
menjamin
keseimbangan ekosistem kota. Untuk mengetahui luasan distribusi suhu permukaan dan Ruang Terbuka Hijau suatu kota harus didukung dengan perolehan data-data yang ada dan berkesinambungan untuk perumusan program dan kebijakan pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan dari data yang diperoleh berupa citra satelit. Citra satelit merupakan data yang diperoleh secara cepat, tepat dan berkesinambungan yang mampu merekam kondisi permukaan bumi setiap periode waktu tertentu sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di muka bumi dapat dideteksi dan dipantau setiap saat. Data yang tersedia dapat berupa piktoral maupun digital kemudian diolah untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Informasi yang diperoleh dapat digabungkan dengan data-data yang mendukung ke dalam satu Sistem Informasi Geografi (SIG) 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1.Tipe penutupan lahan, distribusi suhu permukaan dan kecukupan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta perubahan luasannya.
3
2.Hubungan suhu permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), lahan terbuka dan area terbangun 3.Hubungan suhu permukaan dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index ) di Kota Semarang dengan persamaan regresi linear sederhana. melalui analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006. 1.3 Manfaat Manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi dan menjadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijakankebijakan pemerintah untuk pembangunan wilayah perkotaan khususnya daerah Kota Semarang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Heat island adalah suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun di pinggir kota (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 30 K dibandingkan dengan pinggir kota. Heat island terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg, 1981 dalam Wardhana, 2003). Menurut Lowry dalam Griffith (1976); Wardhana (2003) terjadinya perbedaan suhu udara antara daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi: 1. Bahan Penutup Permukaan Permukaan daerah perkotaan terdiri dari beton dan semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi dari pada tanah berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan. 2. Bentuk dan Orientasi Permukaan Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan dalam bentuk panas (heat). Sebaliknya di daerah pinggir kota atau pedesaan yang menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu, padatnya bangunan di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi. 3. Sumber Kelembaban Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan akibat adanya permukaan semen, parit, selokan , dan pipa-pipa saluran drainase.
5
Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air untuk penguapan yang dapat menyejukkan udara. Selain itu, air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 10 C, dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohonpohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga suhu udara tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, dan melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. 4. Sumber Kalor Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk. 5. Kualitas Udara Udara perkotaan banyak mengandung bahan-bahan pencemaran yang berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, sehingga mengakibatkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan kualitas udara di pedesaan. Sementara itu, Givoni; Adiningsih et al. (2001) dalam Wardhana (2003) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan berkembangnya heat island: 1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka disekitarnya. 2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari. 3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di perkotaan (transportasi, industri dan sebagainya) 4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan 5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang akhirnya akan dilepaskan ke udara kota.
6
Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1971) dalam Wardhana (2003) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya heat island: 1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas diperkotaan daripada di lingkungan luar kota. 2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas lebih cepat daripada lapangan hijau atau danau. 3. Jumlah permukaan air persatuan luas di dalam perkotaan lebih kecil dari pada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota. Selain itu, keadaan di kota dengan bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya suatu kubah debu (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu dan asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfir di atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah sekitarnya, sehingga udara panas akan berada di atas perkotaan dan udara dingin akan berada di sekitar perkotaan terseebut. 2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.2.1 Pengertian ruang terbuka hijau Berdasarkan INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mengartikan ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan menurut PERMENDAGRI 1/2007 Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yg diisi tumbuhan & tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi & estetika.
7
Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997). Menurut INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah: 1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan. 2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. 2.2.2 Paradigma pembangunan ruang terbuka hijau a. Paradigma Lama Ruang Terbuka Hijau sebagai pendukung Fungsi Ekologi & Ekosistem Lebih mengedepankan Nilai Estetis & Visual secara Fisik Keberadaan Ruang Hijau lebih berkesan sebagai suatu Simbol b. Paradigma Baru Ruang Terbuka Hijau direncanakan untuk : - Mengembalikan fungsi ekologi dan ekosistem ruang kota - Mengoptimalkan fungsi estetis dan lansekap - Menciptakan aktivitas sosial masyarakat di tingkat lingkungan - Membuka peluang ekonomi produktif bagi masyarakat kecil Ruang Terbuka Hijau dapat menciptakan aktivitas dan menjadi bagian dari fungsi aktivitas ruang publik Harus terjadi interaksi antara lokasi, fungsi dan bentuk Ruang Terbuka Hijau dengan Activity Support di ruang kota / kawasan Ruang Hijau dapat merubah fungsi space menjadi place
8
2.2.3 Komponen ruang terbuka hijau Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 1985-2005 dalam Nurcahyono (2003) menetapkan komponen-komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemannya dikategorikan dalam: 1. Taman Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. 2. Jalur Hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. 3. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan perkotaan. 4. Hutan Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan. 5. Tempat-tempat rekreasi 2.2.4 Fungsi ruang terbuka hijau Menurut Simonds (1983) dalam Wijayanti (2003) fungsi RTH di perkotaan yaitu: (1) sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, (3) sebagai paru-paru kota (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) untuk mencegah erosi, (6) sebagai unsur dan sarana pendidikan. Selanjutnya dalam INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain:
9
1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan; 2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan; 3. Sebagai sarana rekreasi; 4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara; 5. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan; 6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah; 7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro; 8. Sebagai pengatur tata air. 2.2.5 Prinsip penataan ruang terbuka hijau Aspek Fungsional a.
Pelestarian ruang terbuka kawasan
b.
Aksesibilitas publik
c.
Keragaman fungsi dan aktivitas
d.
Skala dan proporsi ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki
e.
Sebagai pengikat lingkungan/bangunan
f.
Sebagai pelindung, pengaman & pembatas lingkungan/bangunan bagi pejalan kaki
Aspek Fisik dan Nonfisik a.
Peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan
b.
Kualitas fisik
c.
Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan
Aspek Lingkungan dan Berkelanjutan a.
Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar
b.
Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan
c.
Kelestarian ekologis kawasan
d.
Pemberdayaan kawasan
10
2.2.6 Dasar hukum ruang terbuka hijau 1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988, tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah Perkotaan Merencanakan, melaksanakan & mengendalikan penyelenggaraan penataan RTH di wilayah Perkotaan sebagai bagian dari RUTRK Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan Ruang Kota yang berfungsi sebagai Kawasan permukiman, Industri, Perdagangan & Jasa, Perkantoran, Pendidikan, OR & Rekreasi, Pesisir, Pertanian & Perkebunan, Pusat Kota, Hinterland/Periferi, Daerah Aliran Sungai, hutan Kota, Permakaman, Prasarana & Sarana Perhubungan, Jaringan Utilitas Kota, Koridor Jalan 2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002, tentang Hutan Kota
Lokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan
Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat .
Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar
Penunjukan Lokasi & Luas Ruang Hijau, didasarkan pada :
a. Luas Wilayah
c. Tingkat Pencemaran
b. Jumlah Penduduk
d. Kondisi Fisik Kota
Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota / Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan
3. Permendagri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan / RTHKP Pembentukan RTHKP disesuaikan dgn bentang alam berdasar aspek biogeografis, Struktur Ruang Kota & Estetika Luas Ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan, mencakup RTHKP Publik & Privat 4. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 29 ayat 1 & 3) Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota.
11
Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Distribusi RTH publik disesuaikan dengan sebaran penduduk & hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur & pola ruang. 5. UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (pasal 25 ayat 1) Keseimbangan, keserasian & keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung & RTH yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya 6. Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009 Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu kegiatan yang perlu ditangani Bidang Cipta Karya 7. KTT Bumi Rio De Janeiro, Brasil (1992) dan KTT Johannesburg, Afrika (2002) Disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota 2.3 Penginderaan Jauh 2.3.1 Pengertian penginderaan jauh Penginderaan jauh dalam arti luas adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Manual of Remote Sensing, 1983 dalam Howard. 1996). Lo (1995) mendefinisikan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya tehnik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasikan guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungannya. Informasi tentang objek disampaikan kepada pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa
12
informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik. Penginderaan jauh biasanya dibatasi hanya pada penginderaan yang menggunakan spektrum elektromagnetik. Penginderaan jauh tersebut menggunakan energi yang berfungsi sama dengan sifat cahaya dan tidak hanya meliputi spektrum tampak, tetapi juga meliputi spektrum ultraviolet, inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah jauh dan gelombang radio (Howard, 1996). Secara umum penginderaan jauh pada saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh. 2.3.2 Proses penginderaan jauh. Dalam penginderaan jauh, karakteristik suatu objek dapat dibedakan dengan melihat radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek kisaran radiasi gelombang elektromagnetik yang umum digunakan dalam penginderaan jauh adalah ultraviolet dekat (0,3-0,4 μm), sinar tampak (0,4-0,7 μm), gelombang pendek dan inframerah thermal (14 μm) serta gelombang mikro (1mm-1m) (Japan Association on Remote Sensing (1999) dalam Triasary (2004). Paine (1993) dalam Triasary (2004) menjelaskan batasan penegrtian yang lebih tepat tentang penginderaan jauh yang meliputi teknik-teknik yang digunakan untuk perekaman dan evaluasi deteksi energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah objek pada suatu jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Tiga sistem sensor yang digunkan dalam penginderaan jauh untuk dapat menghasilkan suatu citra antara lain adalah kamera, scannergaris dan radar. Penginderaan jauh meliputi dua proses utama, yaitu pengumpulan data dan analisis data (Lillesand dan Kiefer, 1997). Elemen proses pengumpulan data meliputi: a) sumber energi, b) perjalanan energi melalui atmosfer, c) interaksi anatara energi dengan kenampakkan di muka bumi, d) sensor wahana pesawat
13
terbang dan/ atau satelit, dan e) hasil pembentukan data dalam bentuk piktoral dan/ atau bentuk numerik. Berarti proses penginderaan jauh menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi pancaran dan pantulan energi elektromagnetik oleh kenampakan di muka bumi. Proses analisis data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktoral, dan/ atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik. Data rujukan tetang sumberdaya yang dipelajari (seperti peta tanah, data statistik tanaman, atau data uji medan) digunakan dimana dan kapan saja bila tersedia untuk membantu di dalam analisi data. Dengan bantuan data rujukan analisis mengambil informasi tentang jenis, bentangan lokasi, dan kondisi berbagai sumberdaya yang dikumpulkan oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, biasanya dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan. Akhirnya,
informasi
tersebut
diperuntukkan bagi
para
pengguna
yang
memanfaatkannya untuk proses pengambilan keputusan. 2.3.3 Aplikasi penginderaan jauh satelit Landsat TM (Thematic Mapper) Sistem Landsat dimanfaatkan untuk penelitian bagi para pakar lingkungan. Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an sebagai ERT-I (Eart Resource Technology Satelite) yang kemudian diganti namanya dengan menjadi Landsat I. Pada satelit Landsat dipasang tiga alat sensor, yaitu : kamera Return Beam Vidicom (RBV), Multi Spectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM). Landsat 4 yang diluncurkan mengawali generasi baru satelit sumberdaya dengan resolusi tinggi, yang menampilkan suatu perbaikan dibandingkan dengan generasi model sebelumnya. Pada Landsat 4 ini dipasang satu generasi sistem sensor baru, yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan data radiometrik dan ketelitian geometrik, maka ditambah Thematic Mapper (TM) pada empat saluran multispectral scanner (Salomonson dan Park, 1979 dalam Lo, 1995). Satelit memakan waktu 16 hari untuk meliput seluruh bumi (kecuali kutub). Resolusi geometrik linier sensor TM adalah 2.6 kali lebih teliti dari pada sensor MSS, sedangkan resolusi spasial cukup tinggi yaitu 30 x 30
14
meter.Thematic Mapper (TM) merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak dan inframerah bahkan saluran spektral. Sensor ini bekerja dengan prinsip dasar yang sama dengan MSS, namun menghasilkan resolusi radiometrik dan spasial yang lebih baik (Lo, 1995). Tabel 1. Aplikasi dan saluran spektral (band) thematic mapper (Lo,1995) Saluran (Band)
Panjang Gelombang (μm)
1
0,45-0,52
2
0,52-0,60
3
0,63-0,69
4
0,76-0,90
5
1,55-1,75
6
2,08-2,35
7
10,40-12,50
Potensi Pemanfaatan Dirancang untuk membuahkan peningkatan penetrasi kedalam tubuh air, dan juga untuk mendukung amalisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi. Saluran ini berada pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi Tanggap terhadap sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah, dan lahan-air Saluran yang dikenal penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah. Saluran inframerah thermal yang penggunaanya untuk perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan thermal. Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan Saluran inframerah thermal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
2.3.4 Analisis digital data Landsat 7 ETM Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), penganalisisan data Landsat dengan menggunakan komputer dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pemulihan Citra (Image Restoration) Tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatannya meliputi pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli. 2. Penajaman citra (Image Enhancement)
15
Proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar objek pada sebuah citra. Pada berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual dari data citra. 3. Klasifikasi Citra Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matriks jenis kategori. Upaya klasifikasi terdiri dari serangkaian keputusan untuk mengubah data citra menjadi kelas tertentu yang khas dan memberikan informasi. Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1997), dibagi kedalam dua pendekatan dasar yaitu klasifikasi terselia/terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing/tak terselia (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Apabila kelas yang dipilih oleh analisis dapat dipisahkan spektral dan bila daerah yang dipilih benar-benar mewakili seluruh rangkaian data, proses klasifikasi yang dilakukan biasanya akan berhasil, sedangkan klasifikasi tak terbimbing merupakan proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan pada
pengelompokan
nilai-nilai
citra
seperti
apa
adanya.
Hasil
dari
pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut. 2.3.5 Uji ketelitian Menurut Purwadhi (1996) penelitian menggunakan data dan metode tertentu perlu dilakukan uji ketelitian, karena hasil uji ketelitian sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun
16
analisisnya. Uji ketelitian interpretasi yang disarankan oleh Short (1982) dalam Purwadhi (1996) dapat dilakukan dalam empat cara, yaitu: 1. Melakukan pengecekan lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penggunaan lahan yang homogen. 2. Menilai kecocokan hasil interpretasi setiap citra dengan peta referensi atau foto udara pada daerah yang sama dan waktu yang sama. 3. Analisis statistik dilakukan pada data dasar dan citra hasil klasifikasi. Analisis dilakukan terutama terhadap kesalahan setiap penggunaan lahan yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi citra (khususnya resolusi spasial karena merupakan demenensi keruangan). 4. Membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap bentuk penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh. 2.4 Sistem Informasi Geografis 2.4.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi
dan
menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Aronoff, 1989). Sedangkan Bern (1992) dalam Prahasta (2001) mengemukakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer untuk 1. Akusisi dan verifikasi data, 2. Kompilasi data, 3. Penyimpanan data, 4. Perubahan dan updating data, 6. Manajemen dan pertukaran data, 7. Manipulasi data, 8. Pemanggilan dan presentasi data, 9. Analisa data Menurut Rind (1992) dalam Prabowo (2005) menyatakan bahwa sistem informasi
geografis
merupakan
sekumpulan
perangkat
keras
komputer
(hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis, dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan,
17
meng-update, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) : 1. Perangkat keras 2. Perangkat lunak 3. Data dan informasi geografi 4. Manajemen Sistem informasi geografi telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga teknologi dan informasinya dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Contoh aplikasi SIG pada berbagai bidang diantaranya bidang sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan, utility, pariwisata, ekonomi, bisnis dan marketing, biologi, telekomunikasi, kesehatan dan militer. 2.4.2 Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG) Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah. Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo, 1995). Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
18
1. Perangkat keras SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. 2. Perangkat Lunak SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basisdata memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. 3. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-Import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabeltabel dan laporan dengan menggunakan keyboard. 4. Manajemen Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan. 2.4.3 Cara kerja Sistem Informasi Geografi (SIG) SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) diatas monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik,
19
garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya. SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam table-tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur di atas dengan tabeltabel bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasilokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan berdasarkan atribut-atributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan, dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer tersebut membentuk basisdata SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang esensial di dalam SIG. Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG (Prahasta, 2001).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008, dengan pemilihan lokasi Kota Semarang. Untuk pengolahan data dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (seperangkat keras dan lunak) termasuk software Arc View GIS versi 3.2 dan software ERDAS Imagine versi 8.5 sedangkan peralatan yang digunakan di lapangan adalah alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat 7 ETM path/row 120/065 Kotamadya Semarang dengan waktu penyiaman April 2001 dan Juni 2006, peta digital batas administrasi Kotamadya Semarang sebagai bahan data primer, sedangkan untuk data sekunder berupa Laporan Penyusunan Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang dari BAPPEDA Tahun 2007, Data Statistik Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2006 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang, dan Data Klimatologi bulan April 2001 dan Juni 2006 dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Semarang. 3.3 Survey Lapangan Survey lapangan atau ground check dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi lapangan dan perubahan penutupan lahan. Pengambilan titik kontrol ini tidak dilakukan secara menyeluruh melainkan hanya pada beberapa tempat
yang dianggap mewakili masing-masing kelas klasifikasi penutupan
lahan, misalnya kelas untuk daerah pemukiman, hutan, sawah, lahan kosong atau
21
tegalan dan perkebunan. Setiasp lokasi survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan diambil titik koordinatnya dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk diverifikasikan dengan data citra. Survey lapangan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan pada setiap penelitian sebagai penunjang dalam interpretasi citra satelit suatu daerah observasi. Hal ini bertujuan untuk verifikasi data citra dengan kenampakan sebenarnya di bumi. Hasil pengecekan lapangan akan dijadikan acuan untuk membuat klasifikasi citra yang lebih tepat. 3.4 Pengolahan Citra Satelit Landsat 3.4.1 Perbaikan citra (Image Restoration) Perbaikan citra perlu dilakukan terhadap data citra satelit, yang dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan radiometrik dan geometrik yang terdapat pada data citra satelit tersebut. Tujuan dilakukannya koreksi radiometrik adalah untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer ataupun kesalahan sensor. Sedangkan koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik. Hal pertama yang
perlu dilakukan dalam koreksi geometrik adalah
penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah dalam proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Proyeksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografik yang menggunakan garis latitude (garis Barat-Timur) dan garis longitude (garis Utara-Selatan). Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan dengan mengambil titik-titik ikat/ kontrol di lapangan atau menggunakan peta/citra acauan yang telah terkoreksi. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses resampling dengan metode nearest neighbourhood interpolation, dimana nilai digital piksel yang diisikan dari citra acuan ke citra yang akan dikoreksi adalah nilai-nilai digital tiap piksel yang memiliki nilai/lokasi terdekat tanpa memperhatikan adanya pergeseran kecil. Keunggulan dari metode ini adalah karena perhitungan sederhana dan menghindari perubahan nilai piksel, akan tetapi kenampakan pada
22
matriks keluaran dapat digeser secara spasial hingga setengah piksel dan dapat menyebabkan adanya kenampakan yang tidak bersambungan pada hasil citra keluarannya. 3.4.2 Pemotongan citra (Subset Image) Hal pertama sebelum melakukan pemotongan citra adalah dengan melakukan penentuan lokasi penelitian (clipping) yang berdasarkan batas administrasi wilayah Kota Semarang. Selanjutnya setelah didapatkan batasan areal lokasi
penelitian
kemudian
proses
pemotongan
citra
dapat
dilakukan.
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi obyek penelitian, dimana peta rupa bumi hasil digitasi (peta digital) dapat dijadikan acuan pemotongan citra. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi), yaitu pada wilayah yang termasuk ke dalam kota Semarang. 3.4.3 Klasifikasi citra (Image Classification) Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengklasifikasian adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit, kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi setiap piksel kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompok-kelompok piksel kedalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan obyek (feature selection). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Kelas klasifikasi tersebut meliputi hutan alam, hutan tanaman, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, rumput, lahan pertanian, lahan terbuka, pemukiman (area terbangun), dan badan air. Tahapan klasifikasi dilakukan dengan dua pendekatan dasar klasifikasi, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) (Lillesand dan Kiefer, 1997). Dalam penelitian ini untuk klasifikasi citra menggunakan proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang prosesnya melalui pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan dan kemudian memilih daerah latihan (training area) yang mewakili tiap kategori.
23
Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan sofware ERDAS Imagine 8. 5: 1. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman
titik
kontrol
yang
diambil
pada
lokasi
penelitian
menggunakan GPS. 2. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra. 3. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses pemilihan daerah. 4. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode). 5. Pengkoreksian citra hasil klasifikasi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi. 3.4.4 Pengolahan citra Landsat Band 6 untuk estimasi suhu permukaan Untuk estimasi nilai suhu permukaan digunakan sofware ERDAS Imagine 8.5, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7ETM band 6. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiansi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiansi (USGS, 2002): Radiansi = gain x DN (digital number) + offset Dengan nilai gain sebesar 0.05518, digital number adalah dengan band 6, dan nilai offset sebesar 1.2378. Kemudian dilakukan konversi band 6 pada Landsat 7ETM untuk mengetahui nilai suhu permukaan (USGS, 2002) :
T
K2 K1 ln 1 L
Dimana T : Suhu Efektif (K) K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2) K1 : Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 2) Lλ : Spektral Radiansi (W/(m2*ster*μm))
24
Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM dapat ditunjukkan dalam Tabel 2 dibawah ini Tabel 2. Nilai Konstanta Kalibrasi dari Band Thermal Satelit Landsat 5 /TM Landsat 7/ETM Sumber : Handbook Landsat
K1 (W/(m2*ster*μm)) 607.76 666.09
K2 (Kelvin) 1260.56 1282.71
3.5 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan NDVI adalah salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara definisi matematis, dengan menggunakan NDVI maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif. Sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif. NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tumbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR). Nilai NDVI berkisar antara - 1 sampai dengan + 1. Berikut merupakan persamaan yang digunakan dalam menghitung NDVI adalah NDVI = NIR – RED / NIR + RED, dengan NIR : spektrum near-infrared dan RED : spektrum infrared Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh tingkat hubungan antara NDVI dengan Suhu Permukaan. Bentuk persamaan yang akan dicoba adalah regresi linier sederhana antara NDVI sebagai variabel bebas X dan Suhu Permukaan sebagai variabel tak bebas y dengan persamaan umum sebagai berikut : y = b0 + b1*x. Besarnya nilai b1 yang negatif akan menentukan berapa besarnya pengurangan nilai X yang dapat meningkatkan nilai y.
25
Citra Landsat Pemilihan Band
Band 6
Band 1, 2, 3, 4, 5, 7
Peta Rupa Bumi
Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik
Citra Terkoreksi
Citra Terkoreksi Batas Wilayah
Pemotongan Citra
Pemotongan Citra
Klasifikasi Citra (Metode Maximum Likehood)
Konversi Citra Menjadi Temperatur
< 85% Klasifikasi Suhu
Akurasi > 85%
Estimasi Band 6
Land Cover
Reklasifikas i Peta Distribusi Suhu Permukaan
Peta Penutupan Lahan
Tipe RTH
Ruang Terbuka Hijau Overlay
Analisis Distribusi Suhu Permukaan dan Ruang Terbuka Hijau
Heat Island Effect
Gambar 1. Diagram alir metode penelitian
Ground Cek
26
Gambar 2. Citra Landsat 7 ETM Kota Semarang tahun 2001 dan 2006
BAB IV KONDISI UMUM
4.1 Letak dan Batas Administrasi Kota Semarang merupakan salah satu wilayah yang secara administratif termasuk dalam bagian dari Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara sepintas tampak bahwa, wilayah Kota Semarang terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Tengah, dan Secara fisik administrasi Kota Semarang mempunyai luas wilayah 38.721,70 Ha, dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut : 1. Sebelah Utara
: Laut Jawa (letak lintang 6o 50’ LS)
2. Sebelah Selatan
: Kabupaten Semarang (letak lintang 7o 10’ LS)
3. Sebelah Barat
: Kabupaten Kendal (letak lintang 109o 50’ BT)
4. Sebelah Timur
: Kabupaten Demak (letak lintang 110o 35’ LS)
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (Kota Semarang)
28
4.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan Tanah Berdasarkan kondisi topogradfinya, Kota Semarang dibagi menjadi 3 wilayah ketinggian yaitu 1. Dataran rendah di bagian Utara yang dikenal dengan Kawasan Pesisir / Pantai dengan ketinggian antara 0-0,75 meter 2. Dataran di bagian Tengah yang dikenal dengan Semarang Bawah, dengan ketinggian wilayah antara 0,75-5 meter 3. Dataran tinggi dan perbukitan di bagian Selatan yang dikenal dengan Samarang Atas, dengan ketinggian wilayah antara 5-348 meter. Berdasarkan kondisi kelerengan tanahnya, Kota Semarang dibagi menjadi 4 jenis kelerengan yaitu : 1. Lereng I (0-2 %) meliputi kecamatan Genuk Pedurungan, Gayamsari,
Semarang Timur, Semarang Utara dan Tugu serta sebagian wilayah Kecamatan tembalang Banyumanik dan Mijen. 2. Lereng II (2-15 %) meliputi kecamatan Semarang Barat, Semarang Selatan,
candisari, Gajahmungkur, Gunungpati dan ngaliyan. 3. Lereng III (15-40 %) meliputi wilayah disekitar kaligarang dan kali Kreo
(kecamatan Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), sebagian wilayah kecamatan Banyumanik dan kecamatan Candisari. 4. Lereng IV (> 40 %) meliputi sebagian wilayah Banyumanik (sebelah
tenggara), dan sebagian wilayah kecamatan Gunungpati, terutama disekitar kali Garang dan kali Kripik. 4.3 Kondisi Geologi Dan Jenis Tanah Berdasarkan kondisi geologinya, Kota Semarang terbagi menjadi : 1. Bagian utara sebagian besar ditutupi oleh endapan permukaan yang
merupakan alluvium hasil pembentukan delta Kaligarang. Terdiri dari lapisan pasir, lempung, kerikil. 2. Bagian selatan memiliki lapisan litologi breksi dan lava andesit, termasuk ke
dalam endapan vulkanik.
29
3. Daerah perbukitan (Srondol Wetan, Banyumanik, dan sekitarnya terdiri dari
lapisan batuan breksi vulkanik dengan sisipan lava batu pasir tufa dan tanah berwarna merah dengan ketebalan 50-200meter. 4.4 Kondisi Klimatologi 4.4.1 Iklim Kota Semarang memiliki iklim tropis dengan dua jenis musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan yang memiliki siklus bergantian selam lebih kurang enam bulan. 4.4.2 Curah hujan dan hari hujan Menurut data dinas meterologi dan geofisika pada umumnya hujan di Kota Semarang turun pada bulan Desember sampai Mei, sedangkan antara bulan juni sampai November merupakan musim kemarau. Kota Semarang memiliki curah hujan antara 1500 mm per tahun sampai 3000 mm per tahun. Antara tahun 1963 sampai dengan 1995 curah hujan efektif konstan, yaitu rata-rata 2398,76 mm per tahun. Pada tahun 1995 curah hujan tertinggi pada bulan November yaitu sebesar 474 mm / bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 0 mm per tahun dengan hari hujan 0 hari. 4.4.3 Temperatur udara, kelembaban udara dan arah angin Temperatur udara berkisar antara 25.800C sampai dengan 29.300C, kelembaban udara rata-rata berkisar dari 62% sampai dengan 84%. Arah angin sebagian besar bergerak dari arah tenggara menuju barat laut, dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 5.7 km/jam. 4.4.4 Radiasi Matahari Kisaran radiasi Matahari rata-rata Kota Semarang ialah 5-10.5 jam / hari dengan penyinaran minimum rata-rata 5 jam/ hari bila musim hujan. Radiasi sinar Matarari maksimum 10.5 jam / hari.
30
4.5 Kondisi Hidrologi 4.5.1 Air permukaan Kondisi air permukaan di Kota Semarang memilki pola aliran air secara keseluruhan hampir sama, yaitu paralel mengarah ke laut (Laut Jawa). Pola aliran sungai-sungai di kota Semarang membentuk Tulang Daun (Dendritik) dan umumnya mengalir secara musiman (intermitten) yang mengalir ke arah tara sesuai dengan kemiringan atau arah kelerengannya. Beberapa sungai besar yang melintasi Kota Semarang, antara lain Sungai Kaligarang, Sungai Banjir Kanal Barat,
Sungai Banjir Kanal Timur, Sungai Babon. 4.5.2 Air tanah Ketersediaan air tanah di Semarang terdiri dari air tanah dangkal (0,2-3 meter) dan air tanah dalam (60-90 meter), dimana semakin ke arah Utara dan Timur, kedalaman air tanah mencapai lebih dari 90 meter. 4.5.3 Mata air Sumber mata air di Kota Semarang terbesar diambil dari sumber mata air Gunung Ungaran. Sumber mata air lain adalah : sumber air Lawang (17 liter/detik), sumber air Mudal (13 liter/detik), sumber air Kali Doh (138 liter/detik) dan sumber air Ancar (49 liter/detik). 4.6 Kondisi Penduduk 4.6.1 Potensi jumlah penduduk Pada tahun 2004 penduduk Kota Semarang berjumlah 1.389.421 jiwa dengan perbandingan persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 49,75 % dan 50,25 % atau tepatnya 691.275 jiwa laki-laki dan 698.146 jiwa perempuan. Jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Semarang Barat yaitu 152.957 jiwa atau 11,01 % dari total jumlah penduduk Kota Semarang, sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Mijen 41.675 jiwa atau 3,00 %. 4.6.2 Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan penduduk di Kota Semarang rata-rata adalah 1,05%. Pertumbuhan Penduduk terendah terdapat di wilayah Kecamatan Gunungpati,
31
sebesar -2,41%. Sedangkan Pertumbuhan Penduduk terbesar terdapat di wilayah Kecamatan Tembalang, sebesar 3,15%. 4.6.3 Kepadatan penduduk a. Kepadatan penduduk bruto / kotor Kepadatan Penduduk Bruto / Kotor dalam suatu wilayah adalah Perbandingan antara Jumlah Penduduk dengan Luas Wilayah. Kepadatan Penduduk Bruto di wilayah Kota Semarang rata-rata adalah 67 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Bruto terbesar di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Candisari, sebesar 146 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Bruto terkecil di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Mijen, sebesar 7 jiwa/Ha. b. Kepadatan penduduk bersih / netto Kepadatan Penduduk Netto / Bersih dalam suatu wilayah adalah Perbandingan antara Jumlah Penduduk dengan Luas Pekarangan Bangunan. Kepadatan Penduduk Netto di wilayah Kota Semarang rata-rata adalah 100 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Netto terbesar di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Banyumanik, sebesar 264 jiwa/Ha. Kepadatan Penduduk Netto terkecil di wilayah Kota Semarang terdapat di Kecamatan Tugu, sebesar 25 jiwa/Ha.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Semarang Lahan atau land didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau siklis yang berada di bawah wilayah tersebut., termasuk atmosfer, tanah, bahan induk, relief, hidrologi, flora, dan fauna, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia dimasa lalu dan sekarang yang kesemuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat ini dan masa mendatang (Vink, 1975 dalam Nurcahyono, 2003). Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, contoh jenis penutup lahan adalah bangunan perkotaan, danau, vegetasi dan lain-lain. Sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan kontruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Kontruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup dalam penutupan lahan adalah : 1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia. 2. Fenomena biotik vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang. 3. Tipe-tipe pembangunan Suatu faktor penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan yang dimaksud. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana dalam penggunaan dan tidak ambisius dalam menjelaskan setiap kategori penutupan dan penggunaan lahan. Tingkat kecermatan hasil peta berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang mempertimbangkan skala peta akhir.
33
Badan Survey Geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan untuk digunakan dalam data penginderaan jauh (Lillesand dan Kiefer, 1997). Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan menurut USGS disusun berdasarkan kriteria berikut : (1) tingkat ketelitian interprestasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tida kurang dari 85 %, (2) ketelitian interpretasi untuk beberpa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5)kategori harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dapat dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutup lahan pada masa akan datang dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin. Kota Semarang mempunyai luas wilayah 38.721,70 Ha berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM pada dua tahun yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2006 dengan waktu penyiaman masing- masing bulan April 2001 dan bulan Juni 2006 dengan kombinasi band 5, band 4 dan band 3 melalui klasifikasi terbimbing (supervised classification), penutupan lahan di wilayah Kota Semarang diklasifikasikan menjadi : 1. Area Terbangun (pemukiman, area industri, pertokoan/perdagangan, dan perkantoran) 2. Badan Air (sungai, lautan, dan tambak) 3. Ladang (area tanaman semusim) 4. Lahan Terbuka/Kosong (areal proyek pembangunan ) 5. Sawah 6. Vegetasi Rapat (hutan tanaman, dan perkebunan) 7. Vegetasi Jarang (kebun campuran, jalur hijau, taman,TPU, dan campuran antara tanaman keras dan non keras)
34
8. Tidak Ada Data (awan dan bayangan awan) Klasifikasi penutupan lahan di Kota Semarang tersebut juga dilakukan uji akurasi berdasarkan overall clasification accuracy dan overall kappa statistics. Dalam penelitian ini tingkat akurasi dari proses klasifikasi yang dilakukan pada citra Landsat 7 ETM tahun penyiaman 2001 adalah sebesar 88,89% dan 87,02% sedangkan untuk tahun 2006 sebesar 89.29% dan 87,50%. Akurasi atau ketelitian dalam klasifikasi merupakan suatu kriteria penting dalam menilai hasil dari pemrosesan citra penginderaan jauh bagi suatu sistem klasifikasi penutupan penggunaan lahan yang disusun berdasarkan data penginderaan jauh. Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) yang berkaitan dengan tingkat akurasi atau ketelitian adalah tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85 % dan ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama. Apabila nilai akurasi dari klasifikasi yang berada dibawah kriteria USGS dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah karena pengambilan titik di lapangan yang tidak terlalu banyak sehingga kurang mewakili dari area atau kelaskelas klasifikasi yang dibuat, dan yang kedua adalah karena perbedaan waktu atau jeda antara tanggal penyiaman citra dengan pengambilan data lapangan dengan GPS. Hal ini diakibatkan karena perubahan kondisi penutupan dan penggunaan lahan yang bersifat sangat dinamis sekali, apalagi yang berada di daerah perkotaan seperti di daerah Semarang. Citra landsat yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra dengan tahun penyiaman berbeda yaitu tahun 2001 pada bulan April dan tahun 2006 pada bulan Juni, sedangkan pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2008. Penjelasan pada masing-masing tipe penutupan lahan di Kota Semarang adalah sebagai berikut: 1. Area Terbangun Dalam pengklasifikasian penutupan lahan di wilayah Kota Semarang untuk tipe penutupan lahan yang berupa area terbangun ini meliputi pemukiman, area perdagangan, kawasan industri dan jalan raya. Termasuk pula didalamnya terdapat pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, transportasi dan pedesaan. Area
35
terbangun yang memiliki kenampakan dengan ukuran yang cukup luas dapat diindikasikan sebagai daerah perkotaan. Untuk pemukiman merupakan daerah yang digunakan secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh struktur bangunan. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 untuk tipe penutupan lahan yang merupakan area terbangun dicirikan dengan warna merah.
Gambar 4. Area terbangun (pemukiman) di Kecamatan Semarang Tengah
2. Badan Air Kategori penutupan lahan yang termasuk dalam tipe penutupan lahan kelas badan air antara lain sungai, waduk, kanal, teluk, muara, dan tambak. Untuk badan air pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 pada wilayah Kota Semarang dicirikan dengan warna biru muda dan biru tua. Warna biru secara umum juga digunakan sebagai ciri pada pengkelasan tipe penutupan lahan badan air dengan tujuan untuk mudah dipahami.
(a)
Gambar 5.
(b)
(a) Tambak tepi pantai di Kecamatan Tugu, (b) Sungai banjir Kanal Barat
36
3. Ladang Tipe penutupan lahan berupa ladang disini berupa lahan dengan ditumbuhi tanaman semusim yang merupakan lahan pertanian kering hasil budidaya masyarakat selain padi untuk mencukupi kebutuhan pangan. Untuk wilayah Kota Semarang berdasarkan hasil survei di lapangan, tanaman semusim yang ditanam pada tipe penutupan lahan ladang ini berupa tanaman kacang (kacang tanah dan kacang panjang), kedelai, jagung, dan ketela. Untuk ladang pada citra landsat 7 ETM Kota Semarang tahun 2001 dan 2006 dicirikan dengan warna hijau kecoklatan, sedangkan untuk warna pengkelasannya dicirikan dengan warna kuning.
(a)
(b)
Gambar 6. (a) Ladang di Kecamatan Gunungpati (b) Ladang di Kecamatan Genuk
4. Lahan Terbuka Lahan terbuka/kosong dalam tipe penutupan lahan ini merupakan lahan yang tidak termanfaatkan dan dalam kondisi tidak bervegetasi seperti lapangan merah, tanah gundul, dan tempat-tempat yang direncanakan akan dijadikan lahan pemukiman atau area proyek pembangunan (berupa lahan pertanian yang sebelumnya lahan tersebut harus diatuskan (dimatangkan) terlebih dahulu selama kurang lebih satu tahun) dalam kondisi tersebut lahan ini dapat dikategorikan ke dalam kelas lahan kosong. Untuk tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka ini pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 di Kota Semarang dicirikan
37
dengan warna kuning kecoklatan sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna cokelat keputihan.
(b)
(a)
Gambar 7. (a) Area proyek pembangunan perumahan Kecamatan Tembalang (b) Lahan pertanian sebelum ditanami (tanah gundul) Kecamatan Ngaliyan
5. Sawah Sawah dapat berupa sawah beririgasi (teknis,½teknis, sederhana/pedesaan) dan sawah tadah hujan. Sawah juga dapat dibedakan atas sawah yang belum ditanami dan sawah yang siap panen. Tipe penutupan lahan berupa sawah dalam penelitian ini dilakukan interpretasi pada sawah yang ada dengan tanaman padinya dan sawah basah (belum ada tanaman padinya). Untuk sawah pada citra landsat 7 ETM tahunn 2001 dan 2006 dicirikan dengan warna biru keunguan (untuk sawah basah) dan warna hijau muda (untuk sawah dengan tanaman padi), sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna ungu.
(a)
(b)
Gambar 8. Sawah (a) Gunungpati (b) Tugu
38
6. Vegetasi Jarang Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang di Kota Semarang dikategorikan menjadi kebun campuran, jalur hijau, taman, TPU (Tempat Pemakaman Umum), dan campuran antara tanaman keras (berkayu) dan non keras (tidak berkayu). Berdasarkan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang dicirikan dengan warna hijau muda. Dalam proses pengklasifikasian, vegetasi jarang juga dicirikan dengan warna hijau muda.
(a)
Gambar 9.
(b)
(a) Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang (b) Taman lele Kecamatan Ngaliyan
7. Vegetasi Rapat Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat ini merupakan penutupan lahan yang berupa hutan alam, hutan tanaman yang berupa hutan jati dan hutan tanaman mahoni, perkebunan dan tegalan. Pohon-pohon yang tumbuh di lahan hutan dengan daerah yang memiliki kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutupan tajuk) 10% atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu dan produksi kayu lainnya serta mempengaruhi iklim atau tata air lokal. Untuk vegetasi rapat berdasarkan
interpretasi
hasil
citra
landsat
7
ETM
pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna hijau tua kecoklatan.
dan
proses
39
(a)
(b)
Gambar 10. (a) Hutan tanaman jati di Kecamatan Mijen (b) Hutan tanaman mahoni di Kecamatan Ngaliyan
8. Tidak Ada Data Tidak ada data merupakan tipe penampakan permukaan bumi yang tertutup oleh awan dan bayangan awan. Kelas ini termasuk dalam klasifikas yang disebabkan kondisi cuaca pada saat pengambilan citra. Untuk awan juga dipengaruhi oleh iklim lokal pada wilayah yang akan mempengaruhi hasil citra yang diambil. Namun kondisi tersebut juga tidak terlalu tergantung sepenuhnya karean ternyata di Indonesia pada umumnya kawasannya memiliki penutupan awan yang termasuk cukup tinggi (Nurcahyono, 2003). Sedangkan untuk kelas penutupan berupa bayangan awan dipengaruhi karena adanya awan. Luasnya relatif hampir sama dengan luas awannya, selain itu dipengaruhi pula oleh sudut kemiringan matahari terhadap bumi serta jenis awan dan ketinggian awan pada saat perekaman/pengambilan citra dilakukan. 5.2 Penutupan Lahan Kota Semarang Tahun 2001-2006 5.2.1 Penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 Data-data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 dihasilkan dari proses klasifikasi citra landsat 7 ETM dengan tahun penyiaman 2001. Pada Tabel 3. disajikan data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 yang dihasilkan dari proses analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001.
40
Untuk data-data luasan tipe penutupan lahan di Kota Semarang perwilayah Kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 3. Luas penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Penutupan Lahan Area Terbangun Badan Air Ladang Lahan Terbuka Sawah Vegetasi Jarang Vegetasi Rapat Tidak Ada Data TOTAL
Ha
Luas
10656 2585.34 7807.05 3332.34 3440.7 7580.97 2536.56 782.73 38721.70
% 27.52 6.68 20.16 8.61 8.89 19.58 6.55 2.02 -
Berdasarkan data pada Tabel 3. di atas dihasilkan tipe penutupan lahan dengan nilai akurasi (overall classification accuracy) sebesar 88,89 % dan overal kappa statistic 0,8702. Tipe penutupan lahan Kota Semarang yang memiliki wilayah paling luas pada tahun 2001 adalah area terbangun. Area terbangun memiliki luas wilayah mencapai 10.656 Ha, yang menempati 27,52 % dari luas wilayah Kota Semarang. Area terbangun cenderung memiliki pola penyebaran yang berkelompok di bagian barat, tengah, selatan dan sebelah timur. Pada wilayah bagian tengah merupakan pusat kota (pemerintahan, perdagangan, pemukiman, pendidikan, dan industri) sehingga wilayah ini didominasi oleh tipe penutupan area terbangun. Secara umum hampir di seluruh kecamatan, area terbangun menempati wilayah yang paling luas dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya. Pada wilayah kecamatan untuk tipe penutupan lahan area terbangun dengan luasan terbesar adalah kecamatan Semarang Tengah dengan luas
533,408 Ha atau menempati 97,13% dari luas keseluruhan
kecamatan Semarang Tengah. Di Kecamatan Semarang Tengah luas area terbangun hampir 100%. Hal ini diakibatkan karena wilayah kecamatan Semarang Tengah merupakan pusat Kota Semarang. Luasan ini juga berada di Kecamatan Semarang Selatan dengan luas 586,924 Ha atau menempati 92,27% dari tipe penutupan lahan lainnya di Kecamatan Semarang Selatan. Untuk wilayah kecamatan lainnya dengan luasan area terbangun lebih dari 50% dari luas keseluruhan masing-masing kecamatan di Kotamadya Semarang diantaranya kecamatan Candisari (73,75%), Gajahmungkur (59,35%), Gayamsari (60,07%),
41
Semarang Barat (56,48%), Semarang Timur (86,44%), dan Kecamatan Semarang Utara (71,76%). Sedangkan untuk wilayah kecamatan dengan luasan tipe penutupan lahan area terbangun terkecil adalah kecamatan Mijen yaitu dengan luas 249,2 Ha atau 4,57% dari luas keseluruhan Kecamatan Mijen. Untuk luasan wilayah penutupan lahan yang kedua di Kota Semarang yaitu tipe penutupan lahan berupa ladang dengan luas sebesar 7.807,05 Ha atau menempati 20,16% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Tipe penutupan lahan berupa ladang merupakan salah satu lahan pertanian yang ada di Kotamadya Semarang. Ladang merupakan lahan pertanian kering yang digunakan masyarakat untuk budidaya komoditas tanaman pertanian semusim selain padi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pada Gambar 11, tipe penutupan lahan berupa ladang yang berwarna
kuning kecoklatan penyebarannya
dengan
pola
mengelompok pada bagian wilayah sebelah timur tepatnya di Kecamatan Genuk. Tipe penutupan lahan berupa ladang ini juga terlihat dengan pola penyebaran acak di bagian wilayah sebelah selatan. Tipe penutupan lahan untuk ladang secara umum tersebar di seluruh kecamatan Kota Semarang. Untuk wilayah kecamatan dengan luasan tipe penutupan lahan berupa ladang adalah kecamatan Genuk dengan luas sebesar 941,552 Ha atau menempati 34,03% dari luas keseluruhan kecamatan Genuk. Selanjutnya tersebar di kecamatan Ngaliyan dengan luas 1471,217 Ha atau menempati 32,33% dari luas Kecamatan Ngaliyan. Sedangkan untuk luasan terkecil pada wilayah kecamatan Semarang Utara dengan luas 0,18 Ha atau 0,02% dari luas kecamatan Semarang Utara. Kecamatan Semarang Utara dikarenakan merupakan daerah pesisir dan sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan tambak, serta area terbangun. Berdasarkan perhitungan luas wilayah, untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang di Kota Semarang mempunyai luas sebesar 7.580,97 Ha atau mencapai 19,58% dari luas keseluruhan wilayah Kota Semarang. Tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang berada pada urutan ketiga dari tipe penutupan lahan lainnya. Penutupan lahan vegetasi jarang di Kota Semarang merupakan wilayah penutupan lahan berupa kebun campuran (memiliki strata tajuk yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman berkayu non hutan), jalur hijau, taman,TPU (Tempat Pemakaman Umum), dan campuran antara tanaman keras dan non keras.
42
Berdasarkan analisis dan interpretasi citra landsat untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang banyak tersebar pada wilayah Kota Semarang di bagian selatan. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 11, yang merupakan peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 dengan warna hijau muda. Untuk wilayah kecamatan dengan tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang dengan luasan terbesar pada kecamatan Mijen dengan luas 1943,147 Ha atau 35,61% dari luas keseluruhan kecamatan Mijen. Ada beberapa kecamatan di Kota Semarang yang mempunyai luasan tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang lebih dari 20% diantaranya Kecamatan Banyumanik (26,71%), Gayamsari (26,21%), Gunungpati (31,74%), Ngaliyan (21,24%), dan Kecamatan Tembalang (20,07%). Sedangkan kecamatan dengan luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah kecamatan Semarang Selatan dengan luas 1,582 Ha atau 0,25% dari luas keseluruhan Kecamatan Semarang Selatan. Penutupan lahan berupa Sawah mempunyai luas sebesar 3.440,7 Ha atau menempati 8,89% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Luas tersebut menempati urutan ke-empat dari luas penutupan lahan lainnya di Kota Semarang. Sawah tersebar di seluruh wilayah kecamatan di Kota Semarang dengan luasan yang berbeda-beda. Untuk sawah pada wilayah kecamatan dengan luasan terbesar terdapat di kecamatan Tugu sebesar 603,125 Ha atau 19,57 % dari luas keseluruhan kecamatan Tugu. Berdasarkan identifikasi dan interpretasi citra landsat tahun 2001 di Kota Semarang, untuk wilayah kecamatan dengan luas penutupan lahan berupa sawah lebih dari 5% dari luas keseluruhan tiap masingmasing kecamatan diantaranya kecamatan Banyumanik (7,30%), Gajahmungkur (8,97%), Gayamsari (6,37%), Gunungpati (11,11%), Mijen (13,12%), Ngaliyan (6,54%), Pedurungan (8,62%), Semarang Barat (5,60%) dan kecamatan Tembalang (7,49%). Untuk kecamatan lainnya mempunyai luasan sawah dibawah 5%, terdapat kecamatan dengan luas sawah terkecil yaitu kecamatan Semarang Utara sebesar 3,527 Ha atau 0,30% dari luas keseluruhan Kecamatan Semarang Utara. Lahan terbuka mempunyai luas wilayah sebesar 3.332,34 Ha atau 8,61% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Luas ini menempati urutan kelima dari penutupan lahan lainnya di Kota Semarang. Penutupan lahan berupa lahan terbuka
43
tidak tersebar atau berada di tiap-tiap kecamatan di Kota Semarang. Berdasarkan identifikasi dan interpretasi citra landsat tahun 2001, kecamatan yang tidak terdapat penutupan lahan berupa lahan terbuka adalah kecamatan Semarang Timur dan Semarang Utara. Sedangkan untuk kecamatan lainnya terdapat tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dengan luas yang berbeda-beda. Untuk luas tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka terbesar terdapat di kecamatan Tembalang dengan luas 1383,872 Ha atau 32,92% dari luas keseluruhan Kecamatan Tembalang. Lahan terbuka di kecamtan Tembalang akan dijadikan proyek pembangunan perumahan untuk pemukiman penduduk. Untuk kecamatan yang lain dengan luas lahan terbuka lebih dari 5% diantaranya kecamatan Banyumanik (14,15%), Candisari (5,42%), Gajahmungkur (5,02%), Gunungpati (8,17%), dan kecamatan Mijen (10,62%). Untuk kecamtan lainnya mempunyai luasan tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka di bawah 5% dari luas keseluruhan masingmasing kecamatan. Tipe penutupan lahan berupa badan air mempunyai luas sebesar 2.585,34 Ha atau menempati 6,68% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Luas tersebut menempati urutan ke-enam dari penutupan lahan lainnya di Kota Semarang. Badan air mendominasi di bagian utara wilayah Kota Semarang. Tipe ini didominasi oleh lautan dan tambak yang terdapat di pantai utara Kota Semarang. Untuk badan air berupa laut dan tambak terdapat di beberapa kecamatan di Kota Semarang diantaranya Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang barat, Semarang Utara, Semarang Timur dan Kecamatan Genuk. Tipe penutupan lahan berupa badan air, berdasarkan identifikasi dan interpretasi citra landsat tahun 2001 di Kota Semarang tidak tersebar di semua wilayah kecamatan. Ada beberapa kecamatan yang tidak terdapat tipe penutupan lahan berupa badan air diantaranya Kecamatan Banyumanik, Candisari, Gunungpati, Mijen, dan Kecamatan Tembalang. Wilayah kecamatan dengan luasan badan air terbesar terdapat di Kecamatan Tugu sebesar 1531,342 Ha atau 49,70 % dari luas keseluruhan Kecamatan Tugu. Vegetasi rapat merupakan salah satu tipe penutupan lahan di Kota Semarang. Kategori yang termasuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah hutan (alam dan tanaman), perkebunan dan tegalan. Vegetasi rapat
44
mempunyai luas sebesar 2.536,56 Ha atau menempati 6,55% dari luas keseluruhan Kota Semarang dan merupakan urutan ketujuh dari tipe penutupan lahan lainnya. Vegetasi rapat hanya terdapat di dua wilayah kecamatan dengan luasan lebih dari 10% dari luas keseluruhan masing-masing kecamatan. Kecamatan tersebut adalah kecamatan Gunungpati dengan luas 607,271 Ha atau 16,40%, dan kecamatan Mijen dengan luas 894,576 Ha atau 13,16% . Untuk wilayah kecamatan lainnya mempunyai luasan vegetasi rapat dibawah 10%. Tipe penutupan lahan vegetasi rapat ini tidak terdapat di semua kecamatan Kota Semarang. Untuk kecamatan yang tidak terdapat tipe penutupan lahan vegetasi rapat adalah kecamatan Gayamsari, Semarang Tengah, Semarang Timur dan Semarang Utara. Untuk tipe penutupan lahan berupa awan dan bayangan awan dikategorikan tidak ada data. Awan merupakan penutupan lahan yang disebabkan kondisi cuaca pada saat pengambilan citra. Awan juga dipengaruhi oleh iklim lokal pada wilayah yang akan mempengaruhi hasil citra yang diambil. Tipe penutupan lahan berupa awan ini terjadi di semua lokasi kecamatan yang ada di Kota Semarang dengan luasan dibawah 5 % dari luas keseluruhan masing-masing kecamatan. Untuk wilayah Kota Semarang, tipe penutupan awan mempunyai luas 698,460 Ha atau 1,80% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Sedangkan untuk tipe penutupan bayangan awan dipengaruhi karena adanya awan. Berdasarkan hasil identifikasi dan interpretasi citra landsat tahun 2001 di Kota Semarang, luas bayangan awan sebesar 45,633 Ha atau menempati 0,12% dari luas keseluruhan Kota Semarang.
45
Gambar 11. Peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001
46
5.2.2 Penutupan Lahan Kota Semarang Tahun 2006 Data-data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kota Semarang tahun 2006 dihasilkan dari proses klasifikasi citra landsat 7 ETM dengan tahun penyiaman 2006. Luas dan persentase klasifikasi penutupan lahan yang ada di wilayah Kota Semarang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas dan persentase penutupan lahan wilayah Kota Semarang No 1 2 3 4 5 6 7 8
Penutupan Lahan Area Terbangun Badan Air Ladang Lahan Terbuka Sawah Vegetasi Jarang Vegetasi Rapat Tidak Ada Data TOTAL
Luas Ha 13777.7 2233.04 5237.19 4973.85 3326.49 7048.62 2124.81 0 38721.70
% 35.58 5.77 13.53 12.85 8.59 18.20 5.49 0.00 -
Berdasarkan hasil interpretasi serta analisis citra landsat 7 ETM tahun 2006 yang dilakukan pada wilayah Kota Semarang yang dapat dilihat pada Tabel 4. di atas terlihat bahwa area terbangun (Pemukiman, Area Industri, Pertokoan/Perdagangan, dan Perkantoran) menempati jumlah persentase tertinggi dengan area seluas 13.777,7 Ha atau 35,58% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Tipe penutupan lahan area terbangun ini juga mempunyai luasan yang besar dan mendominasi di beberapa kecamatan yang ada di Kota Semarang. Sebagian besar luasannya mencapai lebih dari 50% untuk area terbangun dari luas keseluruhan tiap-tiap kecamatan seperti Kecamatan Candisari 564,853 Ha (83,16%), Gajahmungkur 757,342 Ha (78.70%), Gayamsari 489,536 Ha (73.67%), Pedurungan 1208,646 Ha (54.14%), Semarang Barat 1687,795 Ha (75.17%), Semarang Selatan
608,375 Ha (95.67%), Semarang Tengah 543,288
Ha (98.91%), Semarang Timur 509,642 Ha (88.04%), dan Semarang Utara 980,940 Ha (82.74%). Kecamatan tersebut merupakan wilayah yang menjadi pusat kota dan pusat aktivitas manusia (pemerintahan, perdagangan, dan industri) serta merupakan kawasan yang strategis dekat dengan pintu masuk (gate way) yaitu pelabuhan. Hal ini juga dipengaruhi dengan kawasan kecamatan tersebut merupakan daerah pesisir (0 – <0.75 mdpl) dan dataran (0.75 - <5 mdpl) di Kota Semarang. Ada beberapa wilayah kecamatan yang merupakan daerah pesisir
47
tetapi luasan penutupan lahan area terbangunnya kurang dari 50% adalah Kecamatan Genuk dan Tugu yang sebagian wialayahnya merupakan badan air (lautan dan tambak) dengan persentase luasannya masing-masing sebesar 399,298 Ha (14.43%) dan 1401,698 Ha (45.50%) dari keseluruahan luas kecamatan. Sedangkan untuk wilayah kecamatan dengan luasan penutupan lahannya berupa area
terbangun
dibawah
50%
dan
berada
pada
topografi
perbukitan
(5 – <348 mdpl) diantaranya Kecamatan Banyumanik 1285,082 Ha (40.87%), Gunungpati 594,456 Ha (9.58%), Mijen 528,426 Ha (9.68%), Ngaliyan 1703,020 (37.44%), dan Tembalang 1131,408 Ha (26.91%). Vegetasi jarang dalam pengklasifikasian ini berupa kebun campuran, jalur hijau, taman, TPU, dan campuran antara tanaman keras dan non keras. dengan luas 7.048,62 Ha yang menempati 18,20% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang berdasarkan luasannya menempati urutan kedua dari tipe penutupan lahan lainnya di Kota Semarang. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2006, klasifikasi penutupan lahan untuk tipe vegetasi jarang tidak terdapat disemua kecamatan di Kota Semarang. Vegetasi jarang sangat mendominasi luasannya di wilayah perbukitan (5–348 meter dpl), yang merupakan wilayah ruang pedesaan kota Semarang dengan kepadatan pemukiman sedang-rendah. Tipe penutupan lahan vegetasi jarang yang mendominasi tersebut berupa kebun campuran, dan campuran antara tanaman keras (berkayu) dan non keras (tidak berkayu). Wilayah kecamatan untuk tipe penutupan vegetasi jarang dengan luasan terbesar terdapat di wilayah kecamatan Gunungpati sebesar 2865.066 Ha (46.15%). Tipe penutupan lahan berupa ladang (area tanaman semusim) dengan luas 5.237,19 Ha atau 13,53% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Klasifikasi penutupan lahan untuk ladang, hampir terdapat di semua kecamatan. Ladang merupakan areal pertanian yang digunakan untuk budidaya tanaman semusim komoditas pertanian selain padi oleh sebagian masyarakat Kota Semarang. Luasan untuk kelas penutupan ini paling terkecil terdapat di Kecamatan Semarang Barat 15,615 Ha (0.7%), Semarang Tengah 0,240 Ha (0.04%), Semarang Utara 0,897 Ha (0.08%), dan Kecamatan Tugu 72,55 Ha (2,35%). Untuk wilayah kecamatan yang lain, dengan persentase luasan diatas 10% terdapat di tujuh kecamatan
48
diantaranya kecamatan Banyumanik 392,433 Ha (12.48%), Genuk 738,135 Ha (26.67%), Gunungpati 779,427 Ha (12.56%), Mijen 879,807 Ha (16.12%), Ngaliyan 614,364 Ha (13.51%), Pedurungan 557,744 Ha (24.98%), dan Kecamatan Tembalang 1016,815 Ha (24.19%). Tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka/kosong di Kota Semarang dengan luas 4.973,85 Ha atau 12,85% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Klasifikasi penutupan lahan untuk tipe lahan terbuka terdapat disemua wilayah kecamatan Kota Semarang. Lahan terbuka dengan luasan terbesar pada wilayah kecamatan Tembalang 1414,513 Ha atau 33.65% dari luas keseluruhan Kecamatan Tembalang, dengan kondisi banyak lahan yang akan digunakan area proyek perumahan (pemukiman) dan banyak terdapat tanah kosong yang terbengkalai. Sedangkan untuk luasan lahan terbuka terkecil terdapat di wilayah kecamatan Semarang Tengah dengan luas (0.12 %) dari luas keseluruhan kecamatan, sehingga untuk lahan terbuka hampir tidak ada, karena kecamatan ini merupakan wilayah ruang perkotaan yang sangat padat dengan area terbangun. Tipe penutupan lahan untuk sawah di Kota Semarang berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2006 mempunyai luas sebesar 3.326,49 Ha atau menempati 8,59% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Klasifikasi penutupan lahan tipe sawah terdapat disemua wilayah kecamatan Kota Semarang. Penutupan lahan tipe sawah dalam penelitian ini dilakukan interpretasi pada sawah yang ada dengan tanaman padinya dan sawah basah (belum ada tanaman padinya). Untuk luasan sawah terbesar berada pada wilayah kecamatan Tugu dengan luas (22.49%) dari luas keseluruhan kecamatan Tugu seluas 3080.897 Ha. Sawah yang terdapat di kecamatan Tugu ditemukan di daerah sebelah barat berbatasan dengan tambak di sebelah utaranya dan berbatasan dengan Kabupaten Kendal untuk sebelah barat. Sedangkan untuk sawah dengan luasan yang terkecil terdapat di wilayah kecamatan Semarang Tengah (0.92%) dari luas keseluruhan kecamatan Semarang Tengah sebesar 549.271 Ha. Kecamatan ini merupakan wilayah ruang perkotaan sebagai pusat kota dan pusat aktivitas manusia dengan kepadatan bangunan sangat tinggi dan untuk luas area terbangunnya mencapai 543.288 Ha (98.91%).
49
Badan air merupakan salah satu tipe penutupan lahan yang ada di Kota Semarang. Berdasarkan analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2006, badan air di Kota Semarang mempunyai luas sebesar
2.233,08 Ha atau
menempati 5,77% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Untuk kelas penutupan lahan berupa badan air didominasi oleh lautan dan tambak yang berada di wilayah Semarang bawah atau pesisir. Badan air dalam klasifikasi citra landsat 7 ETM ini hanya terdapat di beberapa wilayah kecamatan yang ada di Kotamadya Semarang seperti Kecamatan Gayamsari 49,472 Ha (7.45%), Genuk 399,298 Ha (14.43%), Semarang Barat 265,075 Ha (11.81%), Semarang Timur 7,957 Ha (1.37%), Semarang Utara 121,957 Ha (10.29%), dan Kecamatan Tugu 1401,698 Ha (45.50%). Tipe penutupan lahan berupa badan air ini terdiri dari tambak, lautan, sungai dan daerah resapan air seperti Polder yang berada di daerah Tawang. Berdasarkan analisis dan interpretasi citra, untuk badan air dipantulkan dengan warna biru. Hal ini sangat sulit untuk membedakan antara daerah tambak dan lautan, sehingga dalam interpretasinya dimasukkan dalam kelas badan air. Untuk wilayah kecamatan lainnya terdapat juga badan air, tetapi memiliki luasan yang sangat kecil sehingga dalam interpretasi dan analisis citra tidak diketahui keberadaannya. Hal ini dipengaruhi juga dengan hasil pemantulan cahaya gelombang elektromagnetik dari permukaan badan air ke udara.
Selain itu,
dipengaruhi oleh system penginderaan jauh yang didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel dijumpai bebagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan tertentu yang secara ratarata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya. Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat (hutan tanaman, perkebunan, dan tegalan) di Kota Semarang memiliki luas 2.124,81 Ha atau hanya 5,49% dari luas keseluruhan wilayah Kota Semarang. Klasifikasi penutupan lahan untuk tipe vegetasi rapat (hutan tanaman, perkebunan, dan tegalan) tidak terdapat di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kota Semarang. Untuk tipe penutupan lahan ini mendominasi di wilayah perbukitan (5 – <348 meter dpl) di beberapa kecamatan diantaranya Banyumanik, Mijen, Ngaliyan, Gunungpati, dan Tembalang serta beberapa di kecamatan wilayah pesisir seperti kecamatan Genuk dan Tugu. Luas tipe penutupan lahan vegetasi rapat terbesar terdapat di kecamatan Mijen sebesar
50
771,463 Ha (14,14%). Ada beberapa kecamatan yang tidak terdapat penutupan lahan untuk tipe vegetasi rapat yaitu kecamatan Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan Kecamatan Gayamsari.
51
Gambar 12. Peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2006
52
5.3 Perubahan Penutupan Lahan Kota Semarang Berdasarkan hasil klasifikasi citra satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 Kota Semarang mengalami perubahan penutupan lahan pada setiap tipe penutupan lahannya. Dalam kurun waktu dari tahun 2001 – 2006 telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan yang terdapat di Kota Semarang. Perubahan lahan yang terjadi tersebut disajikan pada Tabel 5. dan diperlihatkan pada Gambar 13. berupa peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006. Perubahan dari penutupan lahan yang satu menjadi penutupan lahan lain dapat dianalisis secara visual dengan melihat peta perbandingan penutupan lahan dari kedua tahun tersebut. Tabel 5. Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006 2001 2006 Ha % Ha 1 Area Terbangun 10656 27.52 13777.7 2 Badan Air 2585.34 6.68 2233.04 3 Ladang 7807.05 20.16 5237.19 4 Lahan Terbuka 3332.34 8.61 4973.85 5 Sawah 3440.7 8.89 3326.49 6 Vegetasi Jarang 7580.97 19.58 7048.62 7 Vegetasi Rapat 2536.56 6.55 2124.81 8 Tidak Ada Data 782.73 2.02 0 38721.70 38721.70 TOTAL Keterangan : (+) luas wilayah meningkat, (-) luas wilayah menurun No
Penutupan Lahan
% 35.58 5.77 13.53 12.85 8.59 18.20 5.49 0.00 -
Perubahan Ha % 3121.7 8.06 -352.3 -0.91 -2569.86 -6.64 1641.51 4.24 -114.21 -0.29 -532.35 -1.37 -411.75 -1.06 -782.73 -2.02 -
Perubahan penutupan lahan yang terbesar dalam periode 2001-2006 di Kota Semarang terjadi pada penutupan lahan area terbangun. Perubahan yang terjadi pada area terbangun adalah berupa peningkatan luas wilayah area terbangun, yaitu dari wilayah seluas 10.656 Ha pada tahun 2001 menjadi 13.777,7 Ha pada tahun 2006 atau bila dipresentasekan mencapai 8,06 % selama periode tersebut. Peningkatan luas wilayah area terbangun ini kemungkinan terjadi karena adanya konversi lahan terutama pada lahan-lahan pertanian (sawah dan ladang), vegetasi jarang, lahan terbuka, dan vegetasi rapat yang menjadi lahan pemukiman. Data mengenai luasan konversi penutupan lahan yang menjadi area terbangun di Kota Semarang periode 2001-2006 disajikan pada
Tabel 6.
53
Tabel 6. Luasan konversi penutupan lahan menjadi area terbangun Kota Semarang periode 2001-2006 No 1 2 3 4 5 6
Tipe Penutupan Lahan Badan Air Ladang Lahan Terbuka Sawah Vegetasi Jarang Vegetasi Rapat
Konversi Area Terbangun (Ha) 323.92 2027.69 605.50 747.63 1313.01 352.04
Perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lainnya berupa area terbangun pada Tabel 6. diatas diketahui luasan terbesar terjadi pada tipe penutupan lahan berupa ladang dengan luas 2027,69 Ha. Hal ini jelas menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi pada lahan pertanian berupa ladang menjadi area terbangun dengan luasan terbesar dibandingkan dengan konversi yang terjadi pada tipe penutupan lahan lainnya di Kota Semarang. Untuk wilayah kecamatan di Kota Semarang juga mengalami peningkatan luas pada tipe penutupan area terbangun. Kecamatan dengan peningkatan luas area terbangun terbesar terdapat pada Kecamatan Gajahmungkur sebesar 186,377 Ha atau 19,34% dari luas keseluruhan Kecamatan Gajahmungkur. Ada beberapa kecamatan dengan laju peningkatan luas perubahan penutupan lahan menjadi area terbangun diatas 10% dari luas masing-masing kecamatan selama periode 20012006. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik (13,24%), Gayamsari (13,60%), Ngaliyan (15,24%), Semarang Barat (18,69%), Semarang Utara (10,97%), dan kecamatan Tembalang (10,73%). Perubahan kepadatan area terbangun (pemukiman) ini sangat dirasakan pada kecamatan yang memiliki luas wilayah yang tidak begitu luas, seperti pada kecamatan-kecamatan di wilayah Semarang bagian Tengah. Pada kecamatan-kecamatan di wilayah Kota Semarang bagian Selatan yang memiliki luas wilayah yang lebih luas, peningkatan kepadatan pemukiman tidak begitu terasa, walaupun peningkatan luas pemukiman pada setiap kecamatan di wilayah ini begitu besar. Penurunan luasan perubahan lahan area terbangun juga terjadi di salah satu kecamatan yaitu kecamatan Tugu dengan persentase perubahan sebesar 1,65%. Hal ini kemungkinan terjadi akibat pasang air laut (rob) yang terjadi di wilayah bagian utara kecamatan Tugu khususnya di daerah pesisir pantai utara Kota Semarang yang menggenangi area
54
terbangun. Selain itu juga terjadi penggusuran pemukiman liar yang dibangun oleh masyarakat di lahan-lahan pemerintah yang peruntukannya bukan untuk area terbangun. Peningkatan luasan tipe penutupa lahan akibat perubahan lahan selama periode 2001-2006 juga terjadi pada tipe penutupan lahan terbuka. Hal ini diketahui dengan melakukan identifikasi dan analisis citra landsat 7 ETM di Kota Semarang berdasarkan perhitungan luasan tiap tipe penutupan lahan. Berdasarkan perhitungan luasan perubahan lahan untuk lahan terbuka mengalami peningkatan luasan sebesar 1.641,51 Ha atau 4,24 % dari luas keseluruhan Kota Semarang. Sedangkan untuk perubahan lahan terbuka ini selama periode 2001-2006 pada wilayah kecamatan dengan peningkatan luas terbesar terdapat pada kecamatan Ngaliyan sebesar 639,134 Ha atau 14,05% dari luas keseluruhan Kecamatan Ngaliyan. Tipe penutupan lahan yang mengalami konversi menjadi lahan terbuka paling besar luasannya adalah tipe penutupan vegetasi campuran seluas 1.058,56 Ha. Dalam kurun waktu tahun 2001-2006, Kota Semarang juga mengalami penurunan luas wilayah pada beberapa tipe penutupan lahan. Penutupan lahan yang mengalami penurunan luas wilayah dalam kurun waktu tersebut adalah penutupan lahan berupa badan air, ladang, sawah, vegetasi jarang dan vegetasi rapat. Penurunan luas wilayah penutupan lahan terbesar terjadi pada tipe penutupan lahan ladang sebesar 2.569,86 Ha atau 6,64% selama periode tahun 2001-2006. Penurunan luasan ini diakibatkan konversi lahan berupa ladang berubah menjadi area terbangun yang terlihat jelas pada Tabel 6. Penurunan luas wilayah tersebut juga disebabkan oleh terjadinya konversi ladang menjadi penutupan lahan lain selain area terbangun diantaranya badan air, lahan terbuka, sawah, vegetasi jarang,vegetasi rapat, dan tetap menjadi tipe penutupan lahan berupa ladang. Penurunan luas wilayah ladang terjadi hampir di seluruh kecamatan dalam wilayah Kota Semarang. Penurunan luas wilayah tipe penutupan lahan untuk ladang pada beberapa kecamatan terjadi penurunan lebih dari 10% dari luas keseluruhan masing-masing kecamatan selama periode tahun 2001-2006 diantaranya kecamatan Gajahmungkur (16,35%), Gunungpati (16,10%), dan kecamatan Ngaliyan (18,82%) yang mengalami perubahan terbesar diantara kecamatan yang lainnya.
55
Gambar 13. Peta penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006
56
5.4 Distribusi Spasial Suhu Permukaan 5.4.1 Distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001 dan 2006 pada wilayah Kota Semarang untuk klasifikasi suhu dan hasil perhitungan luasannya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Luasan suhu permukaan di Kota Semarang periode 2001-2006 2001 2006 Ha % Ha 1 <20,0 2245.05 5.80 9.36 2 20,0 – 20,9 242.55 0.63 5.04 3 21,0 – 21,9 480.33 1.24 8.28 4 22,0 – 22,9 348.39 0.90 12.96 5 23,0 - 23,9 379.62 0.98 10.26 6 24,0 – 24,9 640.71 1.65 67.05 7 25,0 – 25,9 425.43 1.10 111.51 8 26,0 - 26,9 554.94 1.43 462.42 9 27,0 - 27,0 930.24 2.40 3096.18 10 28,0 – 28,9 1042.83 2.69 3098.16 11 29,0 – 29,9 4434.93 11.45 5802.66 12 30,0 – 30,9 5149.53 13.30 3705.48 13 31,0 – 31,9 7592.49 19.61 4782.51 14 32,0 – 32,9 3900.87 10.07 2998.17 15 33,0 – 33,9 3848.31 9.94 4606.83 16 ≥ 34,0 6505.47 16.80 9944.82 TOTAL 38721,70 38721,70 Keterangan : Tahun 2001 bulan April dan tahun 2006 bulan Juni No
Kelas Suhu (oC)
%
0.02 0.01 0.02 0.03 0.03 0.17 0.29 1.19 8.00 8.00 14.99 9.57 12.35 7.74 11.90 25.68 -
Pada Tabel 7 di atas diketahui nilai-nilai suhu berdasarkan klasifikasinya dengan selang nilai suhu antara <20,0oC - ≥ 34,0oC. Nilai suhu tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Semarang yang disesuaikan dengan waktu penyiaman citra satelit landsat 7ETM yang didapatkan. Dalam hal ini menurut Effendi (2007), menyatakan bahwa penggunaan data penginderaan jauh untuk menutupi kekurangan kerapatan stasiun cuaca, dinilai mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan, yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi atau
memvalidasi
model-model
pendugaan
berdasarkan
ekstraksi
data
penginderaan jauh. Pada Tabel 7, diketahui besaran luasan wilayah distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang pada dua periode yang berbeda yaitu tahun 2001
57
dan 2006. Pada tahun 2001 untuk luasan wilayah terbesar nilai distribusi spasial suhu permukaan yaitu suhu dengan selang 31,0oC – 31,9oC dengan luas 7592,49 Ha atau 19,61 % dari luas keseluruhan Kota Semarang. Sedangkan untuk nilai suhu permukaan dengan luas wilayah distribusi terkecil adalah suhu dengan selang 20,0oC – 20,9oC seluas 242,55 Ha atau 0,63% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Nilai suhu permukaan yang rendah yaitu <20oC pada tahun ini mempunyai luas distribusi yang mendominasi di bagian utara Kota Semarang (Gambar 14.) berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Suhu ini berada pada tipe penutupan lahan berupa badan air, sehingga radiasi sinar matahari akan menembus permukaan air dan disimpan dalam waktu yang lama kemudian dilepaskan dalam bentuk panas. Selain itu di bagian utara Kota Semarang juga diselimuti kabut awan (Gambar 2.) yang menghalangi radiasi sinar matahari sampai ke permukaan bumi. Sehingga pada daerah tersebut mempunyai suhu yang lebih rendah. Pada Gambar 14, terlihat jelas distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2001. Berdasarkan hasil perhitungan luasan distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang pada citra Landsat 7 ETM tahun 2006 diketahui untuk nilai suhu tertinggi adalah ≥ 34,0oC dengan luasan distribusi paling besar yaitu 9944,82 Ha atau 25,68% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Suhu ini sangat mendominasi di seluruh wilayah Kota Semarang khususnya di daerah pusat-pusat aktivitas manusia (pusat kota) dan pada area terbangun. Untuk nilai suhu dengan luas wilayah distribusi terkecil adalah suhu dengan selang nilai antara 20,0oC - 20,9oC mempunyai luas 5,04 Ha atau 0.01% dari seluruh luas total wilayah Kota Semarang. Namun untuk nilai suhu yang mempunyai luasan distribusi yang merata dan besar luasannya terdapat pada selang antara 27,0 oC - ≥ 34,0oC dengan persentase luasan distribusi lebih dari 5% - <26 % sedangkan untuk nilai suhu dengan distribusi luasan kecil terdapat pada selang antara <20,0 oC – 26,9 oC dengan persentase luasan distribusi ≤ 1% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Untuk mengetahui lebih jelas distribusi nilai suhu di Kota Semarang berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 15. yang merupakan peta distribusi suhu permukaan di Kota Semarang.
58
Gambar 14. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2001
59
Gambar 15. Peta distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang tahun 2006
60
5.4.2 Perubahan luasan distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang. Kota berpengaruh terhadap hampir setiap unsur-unsur cuaca. Kadar pencemaran, baik berupa zarah maupun gas, besarnya berlipat-lipat dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Akibatnya intensitas sinar matahari terutama sinar ultraviolet berkurang. Unsur lainnya yang terpengaruh adalah suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan serta terjadinya sebaran keawanan. Pengaruh kota yang paling jelas adalah suhu. Bahang (heat), merupakan suatu energi yang berhubungan dengan kemampuan suatu benda untuk menaikkan suhu suatu benda yang lebih dingin. Ketika sinar matahari yang melalui atmosfer menerpa daratan, bagian yang tidak dipantulkan diubah menjadi bahang (heat) tepat pada permukaan itu, dan bahang ini menaikkan suhu suatu lapisan yang sangat tipis dari tanah atau batuan; akibatnya kenaikan suhunya besar. Pada tempat-tempat di permukaan bumi yang terdiri dari air (laut atau danau), sinar dapat menembus dan diserap melalui ketebalan yang cukup besar, sehingga jumlah bahang yang sama disebarkan melalui massa yang lebih besar. Akibatnya kenaikan suhu lebih kecil. Terdapat pula faktor-faktor lain yang ikut menyebabkan berkurangnya kenaikan suhu ketika sinar matahari diserap oleh permukaan air, penguapan menggunakan sebagian bahang, dan gerakan air dapat menyebarkannnya melalui lapisan yang bahkan lebih dalam daripada yang ditembus sinar. Selama periode tahun 2001-2006, distribusi spasial suhu permukaan Kota Semarang berdasarkan perhitungan luasannya telah mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada distribusi spasial suhu permukaan adalah penurunan dan peningkatan dari luasan wilayah distribusinya. Untuk perubahan luasan wilayah distribusi spasial suhu permukaan disajikan pada Gambar 16, yang merupakan grafik perubahan luasan distribusi spasial suhu permukaan dengan hitungan persentase di Kota Semarang pada tahun 2001-2006.
61
30.00
Luas (%)
25.00 20.00
2001
15.00
2006
10.00 5.00 0.00 .0 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 0. 2 1. 2 2. 2 3. 2 4. 2 5. 2 6. 2 7. 2 8. 2 9. 3 0. 3 1. 3 2. 3 3. 3 4 > .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
<2
0 0.
-2
S uhu Permukaan ( C)
Gambar 16. Perubahan luasan (%) suhu permukaan Kota Semarang periode 2001-2006
Berdasarkan grafik pada Gambar 16 diatas,terlihat nilai suhu mengalami peningkatan dan penurunan luasan distribusi. Untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan yang mengalami peningkatan diantaranya nilai suhu 27,0 – 27,9oC; 28,0 – 28,9oC; 29,0 – 29,9oC; 33,0 – 33,9oC; ≥34,0oC. Untuk nilai suhu dengan peningkatan luasan distribusi terbesar yaitu suhu ≥34,0oC dengan luas peningkatan sebesar 3439,35 Ha atau 8,88% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Sedangkan untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan yang mengalami penurunan diantaranya nilai suhu <20,0oC; 20,0-20,9 oC; 21,0–21,9 oC; 22,0-22,9 oC; 23,0-23,9 oC; 24,0-24,9 oC; 25,0-25,9 oC; 26,0-26,9 oC; 30,0-30,9 oC; 31,0-31,9 oC, dan 32,0-32,9 oC. Nilai suhu permukaan yang mengalami penurunan dengan luasan terbesar adalah suhu 31,0-31,9 oC dengan luas 2809,98 Ha atau 7,26% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Selain di Kota Semarang, perubahan luas wilayah distribusi spasial suhu permukaan juga terjadi pada kecamatan. Hasil perhitungan dan analisis untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan pada wilayah kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Perubahan tersebut juga dapat diketahui secara visual dari peta perbandingan distribusi spasial suhu permukaan di Kota Semarang selama periode 2001-2006 yang disajikan pada Gambar 17. Nilai suhu permukaan tertinggi di Kota Semarang adalah ≥34,0oC. Selama periode 2001-2006, nilai suhu ini mengalami perubahan luas distribusinya. Untuk suhu ≥34,0oC mengalami perubahan yaitu peningkatan luas distribusinya yang terjadi dari tahun 2001 seluas 6.505,47 Ha atau 16,80% sampai tahun 2006 menjadi 9.944,82 Ha atau 25,68% dari luas wilayah kota Semarang.
62
Berdasarkan data perubahan luasan distribusi suhu permukaan pada Gambar 16, pada tahun 2001 dan 2006 untuk luasan distribusi nilai suhu permukaan yang mendominasi adalah selang 30,0-≥34,0oC. Hal ini dapat diindikasikan bahwa Kota Semarang telah terjadi fenomena Urban Heat Island (UHI) selama periode 2001-2006 dengan melihat nilai suhu tinggi dan distribusi suhu permukaan (Gambar 17). Heat island adalah suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun di pinggir kota (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai desa. Menurut
Tursilowati (2006)
menyatakan
bahwa
Kota Semarang
merupakan daerah penyebaran Urban Heat Island (UHI) dengan suhu tinggi antara 30,0-35,0 oC. Urban Heat Island (UHI) menyebabkan trend pemanasan yang makin tinggi yang akan berkontribusi pada pemanasan global. Hal ini disebabkan oleh tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya lahan terbangun (pemukiman dan industri) sehingga menyebabkan meluasnya Urban Heat Island (UHI) yaitu bertambahnya luasnya area yang bersuhu tinggi (diatas 30,0 oC). Pada Gambar 17, terlihat bahwa distribusi nilai suhu permukaan yang tinggi (≥ 30,0 oC) mengelompok pada pusat Kota Semarang. Distribusi nilai suhu permukaan yang tinggi dari tahun 2001 mengalami peningkatan luas dan berkembang ke arah barat, timur dan selatan Kota Semarang pada tahun 2006. Perkembangan distribusi suhu permukaan Kota Semarang memiliki kesamaan dengan perkembangan perubahan penutupan lahan untuk tipe penutupan lahan berupa area terbangun. Perkembangan area terbangun juga terdistribusi ke arah barat, timur dan selatan Kota Semarang (Gambar 13). Menurut Martono (1996) menyatakan bahwa perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh berarti (significance) terhadap iklim mikro. Pada daerah terbangun (kering) radiasi matahari akan diubah menjadi panas terindra yang meningkatkan suhu, sedangkan pada daerah bervegetasi radiasi matahari akan diserap oleh permukaan daun yang digunakan untuk proses fotosintesis sehingga akan menurunkan suhu radiasi.
63
Gambar 17. Peta distribusi suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001 dan 2006
64
5.4.3 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan di Kota Semarang Pada penelitian ini, berdasarkan hasil interpretasi dan anlisis citra landsat didapatkan pengklasifikasian nilai suhu per wilayah kecamatan dan luasan distribusinya di tiap kecamatan dengan selang nilai suhu antara <20,0oC–≥34,0oC. Untuk luasan distribusi suhu di tiap kecamatan dibandingkan dengan luas keseluruhan pada masing-masing kecamatan yang bersangkutan dengan satuan persentase sedangkan untuk satuan hektar (Ha), terhitung melalui proses komputasi. Data perhitungan besarnya luasan distribusi spasial suhu permukaan pada masing-masing wilayah kecamatan di Kota Semarang pada periode tahun 2001 dan 2006 dapat dilihat pada Lampiran 2. 5.4.3.1 Distribusi spasial suhu permukaan perwilayah kecamatan tahun 2001 Nilai suhu <20,0oC tidak terdistribusi di semua kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu ini hanya terdistribusi di 7 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada. Kecamatan tersebut diantaranya kecamatan Gayamsari, Genuk, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Nilai suhu ini sangat mendominasi di wilayah bagian utara Kota Semarang yaitu daerah pesisir pantai utara. Untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan <20,0 oC terbesar terdapat di kecamatan Semarang Utara dengan luas 570,174 Ha atau 48,36% dari luas keseluruhan kecamatan Semarang Utara. Sedangkan untuk luasan terkecil distribusi spasial suhu permukaan ini dari 7 kecamatan tersebut terdapat di kecamatan Pedurungan seluas 7,482 Ha atau 0,33% dari luas keseluruhan kecamaan Pedurungan. Distribusi spasial suhu permukaan untuk nilai selang antara 20,0oC 20,9oC terdapat di sembilan kecamatan. Kecamatan tersebut diantaranya kecamatan Gayamsari, Genuk, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara dan Kecamatan Tugu. Luasan distribusi terbesar untuk nilai suhu ini terdapat di kecamatan Gayamsari seluas 39,174 Ha atau 5,72%, sedangkan luasan terkecil dari sembilan kecamatan tersebut terdapat di kecamatan Semarang Tengah seluas 0,19% dari luas keseluruhan kecamatan Semarang Tengah.
65
Suhu dengan nilai selang antara 21,0oC – 21,9oC, tidak terdistribusi di semua kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu ini hanya terdistribusi di sembilan kecamatan yang ada. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan Kecamatan Tugu. Dari sembilan kecamatan tersebut, nilai suhu dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Gayamsari seluas 88,692 Ha atau 12,94% dari luas keseluruhan kecamatan Gayamsari, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Ngaliyan seluas 1,44 Ha atau 0,03% dari luas keseluruhan kecamatan Ngaliyan. Nilai suhu permukaan dengan selang antara 22,0 oC – 22,9 oC, terdistribusi di sembilan kecamatan. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari sembilan kecamatan tersebut, luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Gayamsari seluas 52,136 Ha atau 7,61% dari luas keseluruhan kecamatan Gayamsari, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Ngaliyan seluas 1,44 Ha atau 0,03% dari luas keseluruhan kecamatan Ngaliyan. Suhu dengan nilai selang antara 23,0oC – 23,9oC, terdistribusi di sebelas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari sebelas kecamatan tersebut, luas distribusi terbesar terdapat di kecamatan Gayamsari seluas 44,756 Ha atau 6,53% dari luas keseluruhan kecamatan Gayamsari, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Ngaliyan seluas 0,02% dari luas keseluruhan kecamatan Ngaliyan. Suhu dengan nilai selang antara 24,0oC – 24,9 oC, terdistribusi di sebelas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari sebelas kecamatan tersebut, yang mempunyai luasan distribusi terbesar untuk nilai suhu permukaan ini adalah kecamatan Tugu seluas 303,032 Ha atau 9,70% dari luas keseluruhan kecamatan Tugu, sedangkan untuk
66
luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Ngaliyan seluas 1,44 Ha atau 0,03% dari luas keseluruhan kecamatan Ngaliyan. Distribusi spasial suhu permukaan untuk nilai selang antara 25,0oC– 25,9oC, terdistribusi di sebelas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari sebelas kecamatan tersebut, untuk distribusi spasial suhu permukaan dengan luasan terbesar terdapat di kecamatan Tugu seluas 172,809 Ha atau 5,53%, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Ngaliyan seluas 0,72 Ha atau 0,02% dari luas keseluruhan kecamatan Ngaliyan. Suhu permukaan 26,0 oC – 26,9 oC, terdistribusi di dua belas kecamatan dari enam belas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari dua belas kecamatan tersebut, distribusi spasial suhu permukaan dengan luasan terbesar terdapat di kecamatan Tugu seluas 224,471 Ha atau 7,19% dari luas keseluruhan kecamatan Tugu, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Mijen seluas 0,36 Ha atau 0,01% dari luas keseluruhan kecamatan Mijen. Suhu permukaan 27,0 oC – 27,9 oC, terdistribusi di tiga belas kecamatan dari enam belas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari tiga belas kecamatan tersebut, untuk distribusi spasial suhu permukaan ini dengan luasan terbesar terdapat di kecamatan Tugu seluas 31,62% dari luas keseluruhan kecamatan Tugu, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Banyumanik dan Mijen masing-masing seluas 1,08 Ha dan 1,671 Ha dengan luasan persentase sama besar yaitu 0,03% dari luas keseluruhan masing-masing kecamatan tersebut. Suhu permukaan 28,0 oC – 28,9 oC, terdistribusi di tiga belas kecamatan dari enambelas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut
67
diantaranya Banyumanik, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, dan kecamatan Tugu. Dari tiga belas kecamatan tersebut, untuk distribusi spasial suhu permukaan ini dengan luasan terbesar terdapat di kecamatan Genuk seluas 239,971 Ha atau 8,62% dari luas keseluruhan kecamatan Genuk, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Selatan seluas 0,72 Ha atau 0,11% dari luas keseluruhan kecamatan Semarang Selatan. Suhu permukaan 29,0 oC – 29,9 oC, terdistribusi di lima belas kecamatan dari enambelas kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang, dan kecamatan Tugu. Dari lima belas kecamatan tersebut, untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Gunungpati seluas 1475,306 Ha atau 23,54% dari luas keseluruhan kecamatan Gunungpati, sedangkan untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terkecil terdapat di kecamatan Tembalang seluas 13,522 Ha atau 0,32% dari luas keseluruhan kecamatan Tembalang. Suhu permukaan 30,0 oC – 30,9 oC, terdistribusi di lima belas kecamatan dari enam belas kecamtan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang, dan kecamatan Tugu. Dari lima belas kecamatan tersebut, untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Mijen seluas 1426,301 Ha atau 25,77% dari luas keseluruhan kecamatan Mijen, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Selatan seluas 2,88 Ha atau 0,44% dari luas keseluruhan kecamatan Semarang Selatan. Suhu permukaan 31,0 oC – 31,9 oC, terdistribusi di seluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik, Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur,
68
Semarang Utara, Tembalang, dan kecamatan Tugu. Dari semua kecamatan tersebut, untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Mijen seluas 1706,063 Ha atau 30,83% dari luas keseluruhan kecamatan Mijen, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Candisari seluas 4,668 Ha atau 0,67% dari luas keseluruhan kecamatan Candisari. Suhu permukaan 32,0 oC – 32,9 oC, terdistribusi di semua kecamatan yang ada di Kota Semarang. Untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Tembalang seluas 1027,925 Ha atau 24,28% dari luas keseluruhan kecamatan Tembalang, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Genuk seluas 59,34 Ha atau 2,13 % dari luas keseluruhan kecamatan Genuk. Suhu 33,0 oC – 33,9 oC, terdistribusi di seluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Tembalang seluas 1003,385 Ha atau 23,70% dari luas keseluruhan kecamatan Tembalang, sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Genuk seluas 16,431 Ha atau 0,59% dari luas keseluruhan kecamatan Genuk. Suhu ≥34,0 oC, terdistribusi di seluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Suhu ini mempunyai luasan distribusi terbesar di Kotamadya Semarang. Nilai suhu ini merupakan nilai suhu tertinggi dalam proses pengkelasan di Kotamadya Semarang. Untuk luasan distribusi spasial suhu permukaan terbesar terdapat di kecamatan Candisari seluas 583,267 Ha atau 90,18% dari luas keseluruhan kecamatan Candisari , sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Genuk seluas 4,32 Ha atau 0,16% dari luas keseluruhan kecamatan Genuk. 5.4.3.2
Distribusi
spasial
suhu
permukaan
perwilayah
kecamatan
tahun 2006 Suhu <20,0 oC, hanya terdistribusi di tiga kecamatan yaitu kecamatan Genuk, Ngaliyan dan kecamatan Tugu. Untuk luasan distribusi terbesar pada
69
kecamatan Genuk dan Tugu dengan luas yang sama yaitu 3.24 Ha (0.12%) kemudian di kecamtan Ngaliyan dengan luasan distribusi sebesar 2.8 Ha (0.06%). Suhu 20,0oC-20,9oC, hanya terdistribusi di tiga kecamatan yaitu kecamatan Genuk, Ngaliyan, dan kecamtan Tugu. Untuk luasan distribusi nilai suhu ini terbesar pada kecamatan Genuk dengan luasan distribusi 2.52 Ha (0.02%), kecamatan Tugu dengan luasan distribusi 1.8 Ha (0.06%), kemudian kecamatan Ngaliyan denga luasan distribusi 0.72 Ha (0.02%). Suhu 21,0 oC – 21,9 oC, hanya terdistribusi ditiga kecamatan di Kotamadya Semarang yaitu kecamatan Genuk, Ngaliyan Tugu. Wilayah kecamatan dengan luasan distribusi terbesar suhu ini adalah kecamatan Genuk 3.960 Ha ().14%), kemudian Kecamatan Tugu 2.88 Ha (0.09%), dan Kecamatan Ngaliyan 1.44 Ha (0.03%) dari keseluruhan luasan perwilayah kecamatan. Suhu 22,0 oC – 22,9 oC, terdistribusi di empat kecamatan, yaitu kecamatan Genuk, Mijen, Ngaliyan, dan Kecamatan Tugu. Luasan distribusi terbesar berada pada kecamatan Ngaliyan sebesar 5.76 Ha (0.13%), dilanjutkan Genuk 3.24 Ha (0.12%), Tugu 3.24 Ha (0.11%), dan terakhir kecamatan Mijen dengan luas sebesar 0.72 Ha (0.01%). Suhu 23,0 oC – 23,9 oC, terdistribusi di lima kecamatan, diantaranya kecamatan Genuk, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan dan Kecamatan Tugu. Luasan distribusi nilai suhu ini terbesar terdapat pada wilayah kecamatan Genuk sebesar 4.59 Ha (0.17%), dan untuk luasan terkecil di kecamatan Mijen dan Pedurungan dengan masing-masing luasan 0.36 Ha (0.01%), dan 0.239 Ha (0.01%) dari luas keseluruhan tiap kecamatan. Suhu 24,0 oC – 24,9 oC , terdistribusi di tujuh Kecamatan, diantaranya Kecamatan Banyumanik, Genuk, Gunungpati, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, dan Kecamatan Tugu. Luasan distribusi suhu permukaan ini terbesar terdapat di wilayah Kecamatan Genuk seluas 47, 469 Ha (1,72%). Sedangkan untuk nilai luasan terkecil distribusi suhu permukaan dari ke-tujuh Kecamatan seluas 0.360 Ha (0.01%) terdapat di Kecamatan Banyumanik. Suhu 25,0 oC – 26,9 oC , terdistribusi di sepuluh kecamatan, diantaranya kecamatan Banyumanik, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Utara, Tembalang dan Kecamatan Tugu. Dari
70
kesepuluh kecamatan tersebut, untuk luasan distribusi suhu permukaan terbesar di wilayah kecamatan Genuk seluas 72,513 Ha (2,62%). Sedangkan untuk luasan distribusi suhu permukaan terkecil di kecamatan Banyumanik dan Tembalang dengan persentase luas 0,01 % atau 0,36 Ha. Suhu 26,0 oC – 26,9 oC, terdistribusi di 11 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu ini terdistribusi di kecamatan Banyumanik, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Kecamatan Tugu. Dari sebelas kecamatan tersebut, untuk luasan distribusi nilai suhu permukaan ini terbesar terdapat di kecamatan Genuk seluas 148,278 Ha (5,36%) dan di kecamatan Tugu seluas 151,432 Ha (4,92%). Sedangkan untuk luasan terkecil terdapat di kecamatan Pedurungan seluas 0,36 Ha (0,02%). Suhu 27,0 oC – 27,9 oC, terdistribusi di 13 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya Banyumanik, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara dan Kecamatan Tugu. Dari 13 kecamatan tersebut, untuk nilai suhu permukaan ini dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Tugu seluas 973,587 Ha (31,62%) dan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Selatan seluas 0,72 Ha (0,11%). Suhu 28,0 oC – 28,9 oC, terdistribusi di 14 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu permukaan ini terdistribusi di kecamatan Banyumanik, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Kecamatan Tugu. Dari 14 kecamatan tersebut, untuk nilai suhu permukaan ini dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Tugu seluas 603,634 Ha (19,60%), sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Selatan seluas 0,18 Ha (0,03%). Suhu 29,0 oC – 29,9 oC, terdistribusi di 15 kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu permukaan ini terdistribusi di kecamatan tersebut diantaranya Kecamatan Banyumanik, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan,
71
Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang, dan Kecamatan Tugu. Dari 15 kecamatan tersebut, untuk nilai suhu permukaan ini dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Gunungpati seluas 1923,962 Ha (31,00%), sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Tengah seluas 0,81 Ha (0,15%). Suhu 30,0 oC – 30,9 oC, terdistribusi di semua kecamatan yang ada di Kota Semarang. Kecamatan tersebut diantaranya kecamatan Banyumanik, Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Kecamatan Tugu. Dari 16 kecamatan tersebut, untuk nilai suhu permukaan ini dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Mijen seluas 833,766 Ha (15,29%), sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Tengah seluas 1,8 Ha (0,33%). Suhu 31,0 oC – 32,9 oC, terdistribusi diseluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu permukaan ini dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Genuk seluas 704,061 Ha (25,46%). Penentuan luasan ini berdasarkan luas keseluruhan pada tiap-tiap kecamatan dengan persentase tertinggi diantara kecamatan lainnya yang ada di Kotamadya Semarang. Sedangkan untuk luasan distribusi terkecil nilai suhu permukaan ini terdapat di kecamatan Semarang Tengah seluas 3,330 Ha (0,61%). Suhu 32,0 oC – 32,9 oC, terdistribusi diseluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan Pedurungan seluas 302,842 Ha (13,57%), sedangkan utnuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Semarang Tengah seluas 11,952 Ha (2,18%). Suhu 33,0 oC – 33,9 oC, terdistribusi diseluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Luasan distribusi terbesar terdapat di Kecamatan Gajahmungkur seluas 255,857 Ha (26,61%), sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Tugu seluas 112,215 Ha (3,64%). Suhu ≥34,0 oC, terdistribusi diseluruh kecamatan yang ada di Kota Semarang. Nilai suhu permukaan ini merupakan nilai suhu tertinggi di Kota Semarang. Kecamatan dengan luasan distribusi terbesar terdapat di kecamatan
72
Semarang Tengah seluas 486,949 Ha (88,68%), sedangkan untuk luasan distribusi terkecil terdapat di kecamatan Gunungpati seluas 153,371 Ha (2,47%). 5.4.4 Distribusi spasial suhu permukaan berdasarkan topografi Salah satu yang mempengaruhi nilai suhu permukaan adalah ketinggian tempat. Menurut Handoko (1993) bahwa penyebaran suhu vertical pada lapisan troposfer, secara umum suhu makin rendah menurut ketinggian. Hal ini dapat dijelaskan dengan factor-faktor berikut : 1. Udara merupakan penyimpanan panas terburuk, sehingga suhu udara sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi tempat persentuhan antara udara dengan daratan dan lautan. Permukaan bumi tersebut merupakan pemasok panas terasa untuk pemanasan udara. 2. Lautan mempunyai luas dan kapasitas panas yang lebih besar daripada daratan, sehingga meskipun daratan merupakan penyimpanan panas yang lebih buruk tetapi karena udara bercampur secara dinamis, maka pengaruh permukaan laut secara vertikal akan lebih dominan. Akibatnya suhu akan turun menurut ketinggian baik di atas lautan maupun daratan. Ruang wilayah Kota Semarang dibagi menjadi tiga. Ruang wilayah ini didasarkan menurut kondisi topografinya yaitu: 1. Dataran rendah di bagian utara yang dikenal dengan Kawasan Pesisir/Pantai dengan ketinggian antara 0 - <0,75 meter. 2. Dataran di bagian tengah yang dikenal dengan Semarang Bawah, dengan ketinggian wilayah antara >0,75 - <5 meter. 3. Dataran tinggi dan perbukitan di bagian selatan yang dikenal dengan Semarang Atas, dengan ketinggian wilayah antara 5 – <348 meter. Pembagian Wilayah Kecamatan berdasarkan keadaan topografi di Kota Semarang diantaranya: a. Pesisir (0 - 0,75) mdpl, lingkup wilayah kecamatan diantaranya kecamatan Tugu, Semarang Barat bagian Utara, Semarang Timur bagian Utara, Gayamsari bagian Utara, dan Genuk bagian Utara. b. Daratan (>0,75 - <5) mdpl, lingkup wilayah kecamatan diantaranya kecamatan Ngaliyan bagian Ujung timur, Semarang Barat bagian Selatan, Semarang
73
Selatan bagian Ujung Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur bagian Selatan, Gayamsari bagian Selatan, Pedurungan, Genuk bagian Selatan. c. Perbukitan (5 - <348) mdpl, lingkup wilayah kecamatan diantaranya kecamatan Ngaliyan, Mijen, Gunungpati, Banyumanik, Tembalang, Gajahmungkur, Candisari, Semarang Selatan bagian Timur, dan Pedurungan bagian Ujung Selatan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai suhu permukaan pada citra Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 di Kota Semarang dapat diketahui nilai ratarata suhu permukaan di ruang wilayah menurut ketinggian yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai rata-rata suhu permukaan pada ruang wilayah dan ketinggian No
Ruang Wilayah
Ketinggian (mdpl)
0 - 0.75 1 Pesisir >0.75 - <5 2 Daratan 5 - <348 3 Perbukitan Keterangan : Tahun 2001 bulan April dan tahun 2006 bulan Juni
Suhu Rata-rata (oC) 2001 2006 10.216 13.467 11.385 12.351 19.496 19.226
Kota Semarang mempunyai wilayah tertinggi <348 meter dpl, yang merupakan ruang wilayah perbukitan yang dikenal dengan Semarang atas. Nilai suhu permukaan dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Menurut Handoko (1995) bahwa rata-rata penurunan suhu udara menurut ketinggian di Indonesia sekitar 5-6 oC tiap kenaikan 1000m. Pada Tabel 8. terlihat perbedaan nilai rata-rata suhu permukaan tiap ruang wilayah dan ketinggian. Untuk ruang wilayah pesisir dan daratan mempunyai nilai rata-rata suhu permukaan lebih rendah dibandingkan dengan ruang wilayah perbukitan pada waktu yang sama. Hal ini dapat disebabkan perbedaan waktu pengambilan citra Landsat 7 ETM pada tahun 2001 dan 2006. Pada citra Landsat 7 ETM untuk tahun 2001 (Gambar 2.) terlihat ruang wilayah pesisir dan daratan diselimuti kabut awan berbeda pada tahun 2006 dan mempunyai jarak yang dekat dengan pantai utara pulau Jawa. Nilai suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh tingkat penerimaan radiasi panas matahari. Radiasi panas matahari yang akan diterima oleh bumi dipengaruhi keadaan permukaan bumi yang berupa daratan dan lautan. Permukaan bumi berupa daratan sangat cepat menerima dan
74
melepaskan panas sedangkan untuk lautan bersifat sebaliknya. Selain itu, banyak sedikit awan yang menyelimuti permukaan bumi akan mempengaruhi jumlah panas yang diterima bumi. Semakin banyak awan maka semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi. Awan adalah udara lembab kumpulan besar uap air atau kristal-kristal es yang halus di udara. Uap air itu sebagian besar berasal dari proses penguapan air yang menggenangi permukaan bumi seperti laut, sungai, atau rawa. Awan akan bergerak di udara tergantung dari angin yang akan membawanya. Makin lembab udara di suatu tempat, maka makin besar terjadinya hujan di tempat itu. Untuk jarak yang dekat dengan pantai utara pulau Jawa, nilai suhu permukaan dipengaruhi oleh adanya angin darat dan angin laut. Angin adalah udara yang bergerak. Hukum Buys Ballot menyatakan bahwa udara akan bergerak dari tekanan udara yang lebih tinggi (rapat) menuju udara yang lebih rendah (renggang). Bila suatu tempat memiliki udara dingin, maka udara menjadi rapat (tekanan tinggi). Sebaliknya bila bersuhu panas, maka udara menjadi renggang (tekanan rendah). 5.5 Ruang Terbuka Hijau 5.5.1 Tipe ruang terbuka hijau di Kota Semarang Ruang Terbuka adalah adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan. Melihat pengertian ini, maka Ruang Terbuka menjadi lahan potensial untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Jenis Ruang Terbuka Hijau eksisting di Kota Semarang terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe hijau dan tipe biru. Yang termasuk dalam Ruang Terbuka Tipe Hijau adalah Taman Kota, lapangan olahraga, hutan, kebun campur,perkebunan, tegalan, sawah dan kuburan. Sedangkan yang termasuk dalam Ruang Terbuka Tipe Biru adalah sungai, rawa, danau, polder, tambak dan kolam ikan. Untuk sungai yang terdapat di Kota Semarang diantaranya sungai Babon, Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat, Kaligarang, Silandak, Beringin, Kali Kreo, dan Kali Mangkang.
75
5.5.2 Ruang terbuka hijau Kota Semarang Pada penelitian ini dilakukan analisis dan penghitungan luasan penggunaan tipe penutupan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang pada periode tahun 2001 dan 2006. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kecukupan dan perubahan RTH di Kota Semarang dari perhitungan luasannya melalui citra landsat 7 ETM selama periode tersebut. Tabel 9. Perubahan luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001-2006 2001 2006 Ha % Ha 1 Area Terbangun 10656 27.52 13777.7 2 Badan Air 2585.34 6.68 2233.04 3 Lahan Terbuka 3332.34 8.61 4973.85 4 Ruang Terbuka Hijau 21365.3 55.18 17737.1 5 Tidak Ada Data 782.73 2.02 0 TOTAL 38721.71 38721.7 Keterangan : (+) luas wilayah meningkat dan (-) luas wilayah menurun No
Penutupan Lahan
% 35.58 5.77 12.85 45.81 0.00 -
Perubahan Ha % 3121.7 8.06 -352.3 -0.91 1641.51 4.24 -3628.2 -9.37 -782.73 -2.02 -
Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis yang dapat dilihat pada Tabel 9, proporsi RTH yang berada di wilayah Kota Semarang (vegetasi rapat, vegetasi campuran, ladang, dan sawah) yang mempunyai luasan area 21.365,3 Ha (55.18%) pada tahun 2001 dan 17.737,1 Ha (45,81%) pada tahun 2006 dari luas keseluruhan Kota Semarang, maka luasan RTH yang ada sudah mencukupi berdasarkan luasannya menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan sebesar 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota. Dari tahun 2001-2006, RTH di Kota Semarang telah mengalami perubahan terhadap luasan wilayahnya. Berdasarkan analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM selama periode tahun 2001-2006, perubahan RTH terjadi penurunan luasan wilayah yang tersaji pada Tabel 9, diatas. Berdasarkan peraturan pemerintah yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan proporsi Ruang Terbuka Hijau sebesar 30% dari luas keseluruhan kota, dengan terjadinya perubahan penurunan luasan wilayah RTH dari 55.18% tahun 2001 turun menjadi 45,81% tahun 2006 masih
76
tetap memenuhi. Selama periode 2001-2006 diketahui laju perubahan RTH yang terjadi pada tiap tahunnya sebesar 1,87% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Hal ini perlu diwaspadai dan tetap mempertahankan proporsi RTH terhadap perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang yang banyak mengkonversi lahan-lahan RTH dan bila perlu menghentikan laju perubahan yang menyebabkan berkurangnya luasan RTH dalam proses pembangunan Kota. Salah satu usaha untuk menghentikan laju perubahan lahan yang menyebabkan alih fungsi RTH dengan membangun bangunan secara vertikal (bersusun atau bertingkat) seperti rumah susun. Pada Gambar 18, yaitu peta distribusi RTH, terlihat bahwa distribusi keberadaan luasan RTH untuk Kota Semarang tidak merata. Luasan RTH terbesar didominasi di daerah Semarang atas atau daerah perbukitan yang sedikit dengan jumlah area terbangunnya. Daerah perbukitan di Kota Semarang mempunyai ketinggian antara 5 – <348 meter dpl diatas permukaan laut. Daerah ini juga masih banyak kelas penutupan vegetasi jarang dengan kepadatan pemukiman sedang – rendah. Wilayah ini merupakan wilayah pedesaan (sub urban) dengan aktivitas utama masyarakat yang tinggal di sana masih bertumpu pada aktivitas pengelolaan dan pengolahan sumberdaya alam (pertanian, perkebunan, dan perladangan). Kondisi ini tidak didukung dengan adanya perencanaan yang baik, sehingga banyak fungsi-fungsi penghijauan belum dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal. Hal ini yang menjadi permasalahan RTH di Kota Semarang. Untuk wilayah perkotaan (urban), mempunyai aktivitas masyarakat yang berkembang dengan mengikuti kegiatan di dalam kota. Pusat kota di Kota Semarang mempunyai tingkat kepadatan pemukiman yang tinggi dengan luas area terbangun sebesar 10.656 Ha atau 27.52% tahun 2001 meningkat menjadi 13.777,7 Ha atau (35,58%) dengan laju perubahan sebesar 1,61% pertahun. 5.5.3 Ruang terbuka hijau perwilayah kecamatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang secara umum memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (UU. No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang) yaitu dengan luasan minimal 30% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Dalam penelitian ini didapatkan hasil interpretasi dan analisis citra
77
terhadap luasan RTH Kota Semarang pada wilayah perkecamatan pada periode yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2006 tersaji pada Tabel 11. Selama periode 2001-2006 di Kota Semarang untuk luasan RTH perwilayah kecamatan mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada luasan wilayah Ruang Terbuka Hijau pada masing-masing kecamatan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 mengalami peningkatan dan penurunan luasan. Pada Tabel 11, terlihat jelas bahwa selama periode 2001-2006, untuk luasan RTH pada masing-masing kecamatan di Kota Semarang secara umum mengalami penurunan luasan. Hal ini berkaitan dengan perubahan lahan yang terjadi di Kota Semarang selama periode 2001-2006 terjadi peningkatan luas wilayah untuk tipe penutupan area terbangun. Terjadi konversi pada penggunaan lahan Ruang Terbuka Hijau untuk area terbangun dan penutupan lahan lainnya. Data alih fungsi penggunaan lahan RTH di Kota Semarang menjadi berbagai tipe penutupan lahan tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang No. 1. 2.
Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Area Terbangun Lahan Terbuka
Luas (Ha) 4438.71 3039.09
Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, untuk proporsi luasan minimal ruang terbuka hijau sebesar 30% jika diberlakukan penetapan ini untuk tiap-tiap luasan kecamatan ternyata ada beberapa wilayah kecamatan di Kota Semarang untuk Ruang Terbuka Hijaunya yang tidak memenuhi. Pada tahun 2001 dan 2006 ada delapan kecamatan yang tidak memenuhi proporsi luasan RTH yang ditetapkan pemerintah. Dari delapan kecamatan pada tahun 2001 dan 2006, ada dua kecamatan yang berbeda yaitu kecamatan Gajahmungkur dan kecamatan Tugu. Untuk kecamatan Gajahmungkur pada tahun 2001 mempunyai proporsi luasan lebih dari 30% yaitu sebesar 34.43% untuk RTHnya, mengalami penurunan luasan RTH pada tahun 2006 menjadi 16.04% sehingga tidak memenuhi proporsi yang telah di tetapkan berdasarkan Undang-undang sebesar 30%. Sedangkan untuk kecamatan Tugu malah sebaliknya, pada tahun 2001 mempunyai luas RTH sebesar 28.58% dari luas keseluruhan kecamatan Tugu mengalami peningkatan luas RTH pada tahun 2006
78
menjadi 31.43% sehingga memenuhi proporsi yang telah ditetapkan yang pada awalnya tidak memenuhi proporsi 30%. Peningkatan luasan RTH di kecamatan Tugu terjadi pada salah satu tipe RTH yaitu sawah. Sawah di kecamatan Tugu pada tahun 2001 masih belum ditanami tanaman padi dan masih berupa sawah basah,
sehingga
pada
saat
penerimaan
dan
pemantulan
gelombang
elektromagnetik tipe tutupan yang mendominasi adalah badan air. Sedangkan pada tahun 2006 sawah di kecamatan Tugu sudah ditanami tanaman padi sehingga penerimaan
dan
pemantulan
gelombang
penginderaan jauh didominasi warna hijau.
elektromagnetik
pada
system
79
Tabel 11. Perubahan luas Ruang Terbuka Hijau perwilayah Kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006 No
Kecamatan
1
Banyumanik
2 3 4
Gayamsari
5
Genuk
6
Gunungpati
7
Mijen
8 9
Luas Wilayah
Ha
2001
%
Keterangan
3144.73
1795.053
57.09
Memenuhi
Candisari
679.22
136.615
20.11
Tdk.Memenuhi
Gajahmungkur
962.33
331.174
34.43
Memenuhi
664.54
196.023
29.51
Tdk.Memenuhi
2768.30
1380.452
49.88
Memenuhi
6208.12
5168.001
83.25
Memenuhi
5455.24
4576.639
83.88
Memenuhi
Ngaliyan
4549.21
3369.926
74.06
Pedurungan
2231.66
1060.49
47.53
10
Smg. Barat
2245.44
562.821
11
Smg. Selatan
635.89
43.383
12
Smg. Tengah
549.27
13
Smg. Timur
578.86
14
Smg. Utara
1185.64
15
Tembalang
4203.70
Ha
2006
%
Keterangan
1370.474
43.58
Memenuhi
Perubahan Ha %
-424.579
-13.51
71.840
10.58
Tdk.Memenuhi
-64.775
-9.54
154.386
16.04
Tdk.Memenuhi
-176.788
-18.39
81.907
12.33
Tdk.Memenuhi
-114.116
-17.18
1252.304
45.24
Memenuhi
-128.148
-4.65
4802.205
77.35
Memenuhi
-365.796
-5.89
4281.094
78.48
Memenuhi
-295.545
-5.40
Memenuhi
2073.408
45.58
Memenuhi
-1296.518
-28.49
Memenuhi
876.776
39.29
Memenuhi
-183.714
-8.24
25.07
Tdk.Memenuhi
281.526
12.54
Tdk.Memenuhi
-281.295
-12.53
6.82
Tdk.Memenuhi
24.059
3.78
Tdk.Memenuhi
-19.324
-3.04
10.1
1.84
Tdk.Memenuhi
5.286
0.96
Tdk.Memenuhi
-4.814
-0.88
58.381
10.09
Tdk.Memenuhi
39.203
6.77
Tdk.Memenuhi
-19.178
-3.31
155.345
13.11
Tdk.Memenuhi
78.899
6.65
Tdk.Memenuhi
2120.574
50.46
Memenuhi
1690.233
40.21
-76.446
-6.45
Memenuhi
-430.341
-10.25
16 Tugu 3080.91 880.476 28.58 Tdk.Memenuhi 968.274 31.43 Memenuhi Keterangan : * Memenuhi dan Tidak Memenuhi berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (-) Luasan Berkurang, (+) Luasan Bertamabah
87.798
2.85
80
Pihak Pemerintah Daerah Kota Semarang telah melakukan penyusunan pembangunan ruang terbuka hijau dalam Rencana Besaran Prosentase Luasan Minimal Ruang Terbuka Hijau di wilayah Kota Semarang. Ada dua wilayah yang menjadi prioritas pembangunan ruang terbuka hijau yaitu wilayah ruang perkotaan dan wilayah ruang pedesaan. Pada wilayah perkotaan, karena luasan ruang terbuka semakin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun dan kepadatan bangunan, maka besaran luasan ruang terbuka hijau diarahkan minimal sebesar 15% – 30% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi kecamatan : Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Selatan, Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Gajahmungkur, Candisari dan Tugu. Sedangkan untuk wilayah ruang pedesaan, dengan melihat kondisi potensi luasan ruang terbuka masih cukup besar dan kepadatan bangunan masih relatif cukup kecil, maka besaran luasan ruang terbuka hijau diarahkan minimal sebesar 30% - 40% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kotamadya Semarang yang meliputi kecamatan Ngaliyan, Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang. Dengan melihat kondisi luas wilayah perkecamatan yang cukup kecil dibandingkan dengan kepadatan bangunan, dan kondisi ini tidak memungkinkan adanya cadangan ruang terbuka sebagai pengembangan ruang terbuka hijau untuk memenuhi kekurangan luasan ruang terbuka hijau pada masing-masing kecamatan berdasarkan rencana besaran prosentase luasan minimal ruang terbuka hijau dilakukan dengan mengoptimalkan dari pekarangan lahan terbangun. Sedangkan untuk wilayah kecamatan dengan luasan ruang terbuka hijau yang memenuhi proporsi 30% sebagai luasan minimal tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Semarang yaitu dengan tetap mempertahankan potensi ruang terbuka dan RTH, mempertahankan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang telah ditetapkan.
81
Gambar 18. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001 dan 2006
82
5.5.4 Pendekatan penentuan kerapatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang Karakteristik Kepemilikan Lahan di Kota Semarang terdiri dari Lahan Milik Perorangan (Private Sector) dan Lahan Milik Umum (Public Sector). Masing-masing lahan tersebut memiliki peran serta yang sama dalam menyediakan Ruang Terbuka, serta Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan. Agar terjadi keseimbangan ekologis dan lingkungan terkait dengan pembangunan yang semakin meningkat dan potensi gangguan lingkungan yang semakin besar, maka masing-masing lahan, baik pada ruang publik maupun pada ruang private memiliki kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam menyediakan Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan di masing-masing wilayahnya, dimana besarnya kerapatan penghijauan tersebut ditentukan oleh Nilai Kerapatan Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan, sebagai berikut : 1. Untuk
Ruang
Publik/Public
Sector,
kerapatan
Ruang
Terbuka
Hijau/Penghijauan ditentukan sebesar 10% dari Luas Ruang Publik yang ada. 2. Untuk
Ruang
Private/Private
Sector,
kerapatan
Ruang
Terbuka
Hijau/Penghijauan ditentukan sebesar 30% dari Luas Pekarangan Ruang Private yang ada. Tabel 12. Arahan dan rencana besaran persentase luasan Ruang Terbuka Hijau perwilayah Kecamatan di Kota Semarang. Luas Wilayah (Ha) 1 Banyumanik 3144.73 2 Candisari 679.22 3 Gajahmungkur 962.33 4 Gayamsari 664.54 5 Genuk 2768.30 6 Gunungpati 6208.12 7 Mijen 5455.24 8 Ngaliyan 4549.21 9 Pedurungan 2231.66 10 Semarang Barat 2245.44 11 Semarang Selatan 635.89 12 Semarang Tengah 549.27 13 Semarang Timur 578.86 14 Semarang Utara 1185.64 15 Tembalang 4203.70 16 Tugu 3080.91 Sumber: BAPPEDA Kota Semarang 2007 No.
Kecamatan
Persentase Luasan RTH 40% - 60% 10% - 15% 10% - 15% 15% - 25% 30% - 40% 60% - 75% 60% - 75% 40% - 60% 15% - 30% 30% - 40% 30% - 40% 10% - 15% 10% - 15% 10% - 15% 40% - 60% 30% - 40%
83
Bahwa penurunan Daya Tampung Lahan akibat berkembang pesatnya proses pembangunan yang membutuhkan ketersediaan lahan, secara alamiah memang harus terjadi dalam kondisi kota yang semakin berkembang pesat ke arah kemajuan. Meskipun secara fisik, hal ini tidak menguntungkan bagi kelestarian ekologi dan lingkungan, tetapi secara konseptual harus disikapi dengan bijaksana. Oleh karena itu sebagai keseimbangan agar daya tampung lahan yang semakin berkurang itu tidak merusakkan sistem lingkungan dan ekosistem yang ada, maka harus diimbangi dengan merencanakan peningkatan kerapatan luasan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan pada lahan-lahan potensial yang ada. Dan harus diingat pada perencanaan peningkatan kerapatan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan, ditekankan bahwa semakin besar perubahan lahan menjadi Lahan Terbangun/Kawasan Budidaya, maka semakin besar pula kerapatan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan yang harus disediakan.
5.5.5 Pendekatan pengembangan tata ruang untuk peningkatan kuantitas ruang terbuka hijau Berdasarkan pola penyebaran kegiatan kawasan, maka pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang disesuaikan dengan pola pengembangan struktur tata ruang Kota, yang diarahkan sebagai berikut : 1) Kelompok kegiatan Hunian, berupa kawasan permukiman penduduk yang memiliki pola penyebaran konsentris terhadap fasilitas kota, terutama di sepanjang jalur utama kota, dimana tingkat kepadatannya meningkat ke arah pusat kota. 2) Kelompok kegiatan Internal yang berskala kota, dimana sebagian besar terkonsentrasi di daerah pusat kota. Sedangkan yang berskala lingkungan yang lebih kecil tersebar di pusat-pusat lingkungan sehingga dapat memacu pertumbuhan pada daerah-daerah yang perkembangannya lemah. 3) Kegiatan yang berfungsi eksternal, antara lain kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa komersial serta pelayanan transportasi, dimana sebagian besar terkonsentrasi di pusat-pusat kota serta memiliki akses di sepanjang jalur utama Kota Semarang.
84
Berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau, Rencana Tata Guna Tanah mengarahkan sebagai berikut : 1) Rencana wilayah ruang terbuka tersebar di seluruh wilayah Kecamatan di Kota Semarang, berdampingan dengan wilayah kawasan permukiman dengan tujuan bahwa skala pelayanan ruang terbuka di kawasan permukiman masih cukup terjangkau luasannya untuk melayani kebutuhan penduduk di tingkat komunitas sesuai standar luasan Ruang Terbuka Hijau pada skala permukiman penduduk. 2) Rencana daerah pengembangan ruang terbuka sebagai salah satu lahan potensi Ruang Terbuka Hijau ditempatkan pada daerah pinggiran kota (hinterland) dengan tujuan luasan masih terjangkau, karena kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan masih rendah. 3) Nodes-nodes Ruang Terbuka Hijau yang terdiri dari taman kota, hutan kota, lapangan olah raga dan lapangan lingkungan serta tanah permakaman sebagai potensi utama Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang, tetap dipertahankan keberadaannya serta besaran luasannya. Sehingga diharapkan potensi eksisting nodes-nodes RTH tidak akan berkurang sampai batas tahun perencanaan 2027. 4) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pusat kota (bagian bawah wilayah Kota Semarang) diarahkan pada Intensifikasi lahan (peningkatan kualitas lahan). Sementara pengembangan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pengembangan kota/hinterland dan periferi Kota (bagian atas wilayah Kota Semarang) diarahkan pada Ekstensifikasi lahan (peningkatan kuantitas luasan lahan terbuka). 5.5.6 Pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang a. Daerah Perkotaan Pada wilayah ruang perkotaan, karena luasan ruang terbuka semakin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun dan kepadatan bangunan, maka besaran luasan Ruang Terbuka Hijau diarahkan minimal sebesar 15%-30% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi Kecamatan : Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Timur, Semarang
85
Tengah, Semarang Selatan, Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Gajah Mungkur, Candisari dan Tugu. Pada daerah perkotaan, pemanfaatan ruang terbuka hijau diarahkan dapat mendukung kegiatan perkotaan dan secara langsung akan merupakan bagian dari struktur fungsional yang direncanakan. Dengan demikian konsep pendekatannya berdasar pada aspek ekonomis, aspek fungsional, aspek manfaat, aspek optimal, aspek ekologis berwawasan lingkungan, aspek kemudahan dalam penerapan. b. Daerah Pinggiran (Transisi Desa-Kota) Pada Wilayah Ruang Perdesaan, karena potensi luasan Ruang Terbuka masih cukup besar dan kepadatan bangunan masih relatif cukup kecil, maka besaran luasan Ruang Terbuka Hijau diarahkan minimal sebesar 30%-40% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi Kecamatan : Ngaliyan, Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang Pada daerah pinggiran atau daerah transisi antara daerah pedesaan dengan daerah perkotaan, pemanfaatan RTH sebagai daerah produktif pertanian kota atau kegiatan-kegiatan lain diutamakan yang mendukung pelestarian alam dan mendukung kegiatan perkotaan. Hal tersebut dipertimbangkan bahwa daerah pinggiran merupakan daerah sumberdaya alam pendukung kota. Dengan demikian konsep pendekatannya berdasar pada aspek keseimbangan ekologis, aspek manfaat, aspek pelestarian alam, dan aspek berwawasan lingkungan. c. Sabuk Jalur Hijau Kota (Green Belt) Pemanfaatan
berdasar
pada
kondisi
ekologis
kota
dan
kondisi
terbentuknya struktur ruang kota, maka untuk melindungi daerah perkotaan dan mendukung kegiatan perkotaan yang merupakan wadah berlangsungnya proses sosial dan ekonomi secara terpadu. Pemanfaatan tersebut merupakan suatu arahan terpadu dari pemanfaatan satuan-satuan ekosistem dengan satuan-satuan kegiatan fungsional perkotaan-pedesaan, dengan melakukan arahan sabuk jalur hijau (ring belt) pada seluruh daerah pinggiran, yang berada pada dataran rendah perbukitan. Arahan yang direncanakan dengan meningkatkan intensitas penghijauan (tata hijau) pada masing-masing satuan fungsional yang terkena konsep sabuk jalur hijau. Dengan demikian tujuan untuk melindungi daerah perkotaan terhadap kepesatan perkembangan kota dapat terkendali, sekaligus melakukan pelestarian
86
sumberdaya alam bagi daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan perkotaan 5.6 Hubungan Suhu Permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Lahan Terbuka dan Area Terbangun Dalam pembangunan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang, salah satu fungsi yang ingin diciptakan yaitu fungsi klimatologis. Fungsi klimatologis yang diciptakan dengan dibangunnya ruang terbuka hijau yaitu sebagai pencipta iklim mikro efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman (ameliorasi iklim). Hal ini dapat dicapai dengan syarat Ruang Terbuka Hijau memiliki cukup banyak pohon tahunan dan luasan yang proporsional 30% dari keseluruhan luas wilayahnya. Dengan banyak pohon tahunan pada ruang terbuka hijau, sehingga dapat melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan panas terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. Pada daerah pemukiman, keberadaan Ruang Terbuka Hijau tersebar merata diseluruh Kecamatan di Kota Semarang. Ruang Terbuka Hijau merupakan prasarana penting yang berperan sebagai pengatur iklim lingkungan dengan memperkecil amplitudo perbedaan udara panas ke kondisi sejuk dan dari kondisi lembab normal. Menurut Nurisjah et al.(2005) dalam Effendi (2007) bahwa RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Selain itu diungkapkan juga fungsi RTH baik RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis, dan fungís tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi.
87
Tabel 13. Rata-rata suhu permukaan pada penggunaan lahan di Kota Semarang No.
1. 2. 3.
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau a. Ladang b. Sawah c. Vegetasi Jarang d. Vegetasi Rapat Lahan Terbuka Area Terbangun
Rata-rata Suhu Permukaan (oC) 2001 2006
30–31 oC 28–29 oC 27–28 oC 28–29 oC 31–32 oC ≥ 34 oC
30–31 oC 28–29 oC 27–28 oC 28–29 oC 33-34 oC ≥ 34 oC
Berdasarkan data pada Tabel 13 diatas, terlihat perbedaan selang suhu pada tahun 2001 dan 2006 dalam tipe penggunaan lahan yang sama. Perbedaan tersebut kemungkinan terjadi akibat factor iklim dan waktu perekaman citra landsat 7 ETM di Kota Semarang serta akibat terjadinya perubahan penutupan lahan. Untuk lahan terbuka pada tahun 2001 nilai suhu permukaannya 31–32oC dan terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi 33-34oC, hal ini disebabkan semakin bertambahnya luas wilayah pada lahan terbuka di Kota Semarang. Pada tahun 2001 untuk lahan terbuka luasannya masih sempit dan dikelilingi dengan vegetasasi jarang dan jaraknya dekat, tetapi pada tahun 2006 luasnya bertambah dan jauh dari vegetasi jarang yang mengelilinginya. Menurut Purnomo (2003) bahwa ada pengaruh yang signifikan bayangan pohon dan bangunan pada suhu udara. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 Kota Semarang bahwa luas Ruang Terbuka Hijau mengalami pengurangan. Selain itu, nilai suhu permukaan tertinggi yaitu ≥34 oC terjadi penambahan luasan distribusi spasial. Pada tahun 2001 dengan luas RTH sebesar 55,18% diketahui luasan distribusi spasial nilai suhu permukaan tertinggi mencapai 16,80% dari luas wilayah Kota Semarang. Sedangkan pada tahun 2006 dengan luas RTH sebesar 45,81% diketahui luasan distribusi spasial nilai suhu permukaan tertinggi mengalami penambahan menjadi 25,68% dari luas wilayah Kota Semarang. Pada Tabel 13, juga terlihat bahwa nilai suhu permukaan pada RTH lebih rendah dibandingkan dengan nilai suhu permukaan pada lahan terbuka dan area terbangun. Hal ini menunjukkan bahwa RTH mempunyai peran dalam pencegahan dampak dari fenomena alam seperti pemanasan global, urban heat island (UHI), dan efek rumah kaca. Menurut Effendi (2007) menyatakan bahwa
88
keberadaan RTH di suatu kota sangat penting untuk dipertahankan karena setiap pengurangan RTH berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten. Menurut Agrissantika, et al. (2007) dalam Effendi (2007) menyatakan bahwa secara proporsi luasan RTH masih mempunyai potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam fenomena UHI (Urban Heat Island). Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki suatu wilayah masih cukup luas. 5.7 Hubungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan Menurut Effendi (2007) bahwa kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. NDVI adalah perbedaan nilai-nilai near-infrared (NIR) dan red (R) yang dapat dilihat, dinormalisasikan berdasarkan pantulan gelombang elektromagnetik (Burgan, 1993). Berkurangnya tingkat kehijauan tanaman (NDVI) akibat kegiatan konversi lahan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan lahan, sehingga dapat pertambahan evapotranspirasi. Dampak selanjutnya adalah ketersediaan air bagi tanaman akan berkurang. Hasil korelasi menunjukkan hubungan antara suhu permukaan dan NDVI adalah berkebalikan yang terjadi pada tahun 2001 dan 2006, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai penurunan NDVI atau sebaliknya.
89
40
S uhu ( C)
30 y = -9.3654x + 32.178
20
R 2 = 0.4707
10 0 -0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
NDVI
Gambar 19. Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Semarang tahun 2001
40 35 30 25 20 15 10 5 0
S uhu ( C)
-0.6
-0.4
-0.2
y = -5 .9 5 5 4 x + 3 0 .1 6 1 2
R = 0 .1 6 7 5
0
0.2
0.4
NDVI
Gambar 20. Korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Semarang tahun 2006
Menurut Dirgahayu (2007) bahwa tanaman yang memiliki tajuk yang rapat umumnya dapat menyerap panas lebih banyak, sehingga suhu permukaannya lebih rendah dari tanaman yang kerapatan tajuknya lebih rendah. Tanaman yang memiliki lebih banyak daun dan tingkat kehijauan yang lebih tinggi akan memiliki Indeks vegetasi yang tinggi dan cenderung memiliki suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang tingkat kehijauannya lebih rendah atau lahan terbukanya lebih dominan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1 Kesimpulan Selama periode 2001-2006 terjadi peningkatan perubahan lahan area terbangun, diikuti peningkatan luas distribusi suhu permukaan dengan nilai tinggi ≥34oC dan penurunan luas Ruang Terbuka Hijau (green space). Bila hal ini terus dibiarkan maka akan terjadi kerusakan pada lingkungan yang baik dan ekosistem perkotaan serta fenomena UHI (Urban Heat Island) semakin meluas pada masa yang akan datang. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. a. Distribusi suhu permukaan di Kotamadya Semarang berdasarkan estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001-2006 mempunyai nilai suhu antara <20,0 oC – ≥34,0oC. Nilai suhu dengan luasan distribusi terbesar adalah suhu ≥34,0oC, yang terdistribusi di seluruh wilayah Kota Semarang. Dengan nilai suhu ≥34,0oC, merupakan nilai yang sangat tinggi, sehingga fenomena UHI (Urban Heat Island) terjadi di Kota Semarang selama periode tahun 2001-2006. b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah Kota Semarang (vegetasi rapat, vegetasi campuran, ladang, dan sawah) mempunyai luasan 55,18% pada tahun 2001 dan mengalami perubahan menjadi 45,81% pada tahun 2006. Secara umum luasan RTH di Kota Semarang sudah memenuhi luasan yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Untuk luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kecamatan tidak semua kecamatan yang ada di Kota Semarang memenuhi proporsi 30% yang telah ditetapkan. Kecamatan yang tidak memenuhi proporsi luasan untuk Ruang Terbuka Hijau diantaranya Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara.
91
2. Hubungan suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun menunjukkan perbedaan nilai suhu permukaan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Suhu permukaan pada RTH lebih rendah dari suhu permukaan di lahan terbuka dan area terbangun yaitu 31-34 oC dan ≥34 oC. Pengurangan RTH berakibat naiknya suhu permukaan dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan yang diakibatkan karena alih fungsi lahan RTH menjadi area terbangun dan lahan terbuka. 3. Hubungan antara NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dengan suhu permukaan berdasarkan hasil korelasi regresi linear sederhana menunjukkan hubungan berkebalikan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai penurunan NDVI atau sebaliknya. 6. 2 Saran Perubahan penutupan lahan yang terjadi harus selalu di pantau dan diawasi secara kontinyu untuk menghindari penyalahgunaan (konversi) tipe penutupan lahan yang seharusnya untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi area terbangun. Luasan RTH yang sudah memenuhi proporsi 30% (wilayah kecamatan) harus tetap di pertahankan dan perlu dilakukan penambahan luasan RTH di wilayah yang tidak memenuhi proporsi. Penambahan dapat dilakukan dengan penanaman berbagai tanaman di beberapa space (ruang terbuka) dengan tujuan menurunkan suhu permukaan kota yang mengakibatkan fenomena UHI (Urban Heat Island). Upaya lain untuk pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui penyusupan kantong-kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainnya. Taman atap dibangun untuk pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakkan telinga. Sehingga tercipta keseimbangan dan kelestarian lingkungan yang baik di perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA Aronoff, 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective, Ottawa. Burgan RE, Hartford RA, Eidenshink JC. 1996. Using NDVI to assess departure from average greenness and its relation to fire business. Gen. Tech. Rep. INT-GTR-333. Ogden, UT: US Department of Agriculture, Forest Service, Intermountain Research Station. 8 pp. Browsing tanggal 12 September 2008 pukul 14.12. Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Jakarta. Departemen Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988. Jakarta. Dirgahayu, D. 2007. The Influence Of change in Greeness level percentage at Sub-Urban To The Thermal Zonation Of Urban Area Using Terra/Aqua MODIS Data. Remote Sensing Applications and Technology Development. Indonesian National Institute of Aeronautic and Space. Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. 1987. Konsepsi Pembangunan Hutan kota. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Haris, V. I. 2006. Analisis Distribusi Dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi Dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus di Kota Bogor). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan Aplikasi. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Khoiri, S. 2004. Studi Tingkat Kerusakan Pohon di Hutan Kota Srengseng Jakarta Barat . Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Nasihin, I. 2003. Studi Pembangunan Hutan kota di Kota Kuningan Kabupaten Daerah tingkat II Kuningan Jawabarat. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
93
Nurcahyono, G. 2003. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Di Jakarta Timur (Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh). Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martono, D.N. 1996. Pengaruh Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Iklim Mikro. (Studi Kasus Kecamatan Cangkringan Sleman). Majalah LAPAN No. 76. LAPAN. Jakarta Timur. Menteri Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988. http://www.menlh.go.id/ (2 November 2008). Okarda, B. 2005. Pengaruh Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Perubahan Distribusi Suhu Permukaan Di Kabupaten Cianjur Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat TM Dan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06 Tahun 2007. Tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (pasal 25 ayat 1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002. Tentang Hutan Kota. Purnomo, A.B. 2003. Pengaruh Bayangan dan Vegetasi Pada Suhu Udara di Kampus A, Universitas Trisakti. Dimensi Teknik Arsitektur: Vol.31 (2): 152-157. Prabowo, D, A. Nugroho, T. Palapa, dan Ardiansyah. H. 2005. Modul Pengenalan gis, GPS & remote sensing. Dept. GIS, FWI. Jakarta. Prahasta,
E. 2001. Konsep-konsep Inforamtika. Bandung.
Dasar Sistem Informasi Geografis.
Purwadhi, F. S. Hardiyanti. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo. Jakarta. Roslita. 1997. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institu Pertanian Bogor. Bogor Triasary, K. 2004. Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat (Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Pengindraan Jauh). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tursilowati, L. 2006. Urban Heat Island Dan Kontribusinya Pada Perubahan Iklim Dan Hubungannya dengan Perubahan Lahan. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. LAPAN. Bandung Undang-undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
94
Undang-undang Republik Indonesia No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang USGS. 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook Wardhana, Wisnu, L. D. 2003. Pengaruh Tipe Penutupan Lahan Terhadap Distribusi Suhu Permukaan Di Kota Bogor. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Wijaya, C. Irawadi. 2005. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa Barat Menggunakan Sistem Informasi Geografi. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wijayanti, M. 2003. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Purwokerto. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
96
Lampiran 1. Perubahan Luas Wilayah (%) Penutupan Lahan Perwilayah Kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Area Terbangun Awan Luas Wilayah 2001 2006 Perubahan 2001 2006 Perubahan Banyumanik 3144.641 27.62 40.87 13.24 2.19 0.00 -2.19 Candisari 679.228 73.75 83.16 9.41 1.07 0.00 -1.07 Gajahmungkur 962.35 59.35 78.70 19.34 1.95 0.00 -1.95 Gayamsari 664.562 60.07 73.67 13.60 1.77 0.00 -1.77 Genuk 2768.041 32.48 35.63 3.15 1.47 0.00 -1.47 Gunungpati 6208.08 5.27 9.58 4.30 4.04 0.00 -4.04 Mijen 5456.483 4.57 9.68 5.12 1.95 0.00 -1.95 Ngaliyan 4548.934 22.16 37.44 15.27 0.84 0.00 -0.84 Pedurungan 2232.428 48.06 54.14 6.08 1.68 0.00 -1.68 Smg. Barat 2245.442 56.48 75.17 18.69 0.47 0.00 -0.47 Smg. Selatan 635.889 92.27 95.67 3.40 0.31 0.00 -0.31 Smg. Tengah 549.271 97.13 98.91 1.78 0.43 0.00 -0.43 Smg. Timur 578.851 86.44 88.04 1.60 1.11 0.00 -1.11 Smg. Utara 1185.638 71.76 82.74 10.97 0.25 0.00 -0.25 Tembalang 4203.826 16.18 26.91 10.73 1.74 0.00 -1.74 Tugu 3080.897 20.46 18.82 -1.65 0.91 0.00 -0.91 Keterangan : (-) Luas Berkurang, (+) Luas Bertambah, satuan luas dalam persen (%) Kecamatan
2001 0.00 0.00 0.01 8.65 15.02 0.00 0.00 0.01 0.04 17.92 0.03 0.17 2.38 14.87 0.00 49.70
Badan Air 2006 Perubahan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 7.45 -1.21 14.43 -0.60 0.00 0.00 0.03 0.03 0.00 -0.01 0.16 0.12 11.81 -6.12 0.00 -0.03 0.00 -0.17 1.37 -1.00 10.29 -4.59 0.00 0.00 45.50 -4.20
Bayangan Awan 2001 2006 Perubahan 0.03 0.00 -0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.65 0.00 -0.65 0.08 0.00 -0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 -0.02
2001 17.94 14.39 22.31 1.22 34.03 28.66 17.66 32.33 28.73 7.30 3.68 0.50 0.23 0.02 19.06 6.82
Ladang 2006 Perubahan 12.48 -5.46 7.55 -6.84 5.96 -16.35 5.22 4.00 26.67 -7.36 12.56 -16.10 16.12 -1.53 13.51 -18.82 24.98 -3.75 0.70 -6.61 1.17 -2.51 0.04 -0.45 1.66 1.43 0.08 0.06 24.19 5.13 2.35 -4.46
97
Lampiran 1. lanjutan
Lahan Terbuka Luas Wilayah 2001 2006 Perubahan 2001 1 Banyumanik 3144.641 14.15 16.34 2.19 7.30 2 Candisari 679.228 5.42 6.23 0.81 3.82 3 Gajahmungkur 962.35 5.02 5.39 0.37 6.37 4 Gayamsari 664.562 0.04 6.66 6.62 2.04 5 Genuk 2768.041 1.74 5.48 3.74 4.76 6 Gunungpati 6208.08 8.17 14.24 6.07 11.70 7 Mijen 5456.483 10.62 12.91 2.29 13.12 8 Ngaliyan 4548.934 3.71 17.77 14.05 6.54 9 Pedurungan 2232.428 3.36 7.17 3.80 8.62 10 Smg. Barat 2245.442 0.40 0.51 0.11 5.60 11 Smg. Selatan 635.889 0.58 0.55 -0.03 2.80 12 Smg. Tengah 549.271 0.40 0.12 -0.28 0.87 13 Smg. Timur 578.851 0.00 3.84 3.84 0.73 14 Smg. Utara 1185.638 0.00 0.32 0.32 0.30 15 Tembalang 4203.826 32.92 33.65 0.73 7.49 16 Tugu 3080.897 0.69 4.48 3.79 19.57 Keterangan : (-) Luas Berkurang, (+) Luas Bertambah, satuan luas dalam persen (%) No
Kecamatan
Sawah 2006 Perubahan 7.08 -0.22 2.35 -1.47 8.97 2.60 6.49 4.45 5.74 0.98 11.11 -0.58 9.47 -3.65 4.83 -1.71 6.17 -2.46 11.82 6.22 2.61 -0.19 0.92 0.06 4.91 4.18 6.58 6.28 2.30 -5.19 22.49 2.91
Vegetasi Campuran 2001 2006 Perubahan 26.71 14.48 -12.23 0.83 0.43 -0.40 1.40 0.95 -0.45 26.21 0.53 -25.67 8.97 9.81 0.84 31.74 46.15 14.41 35.61 37.65 2.03 21.24 21.77 0.53 8.20 6.17 -2.03 11.44 0.00 -11.44 0.25 0.00 -0.25 0.51 0.00 -0.51 9.11 0.18 -8.94 12.80 0.00 -12.80 20.07 5.23 -14.84 1.52 6.32 4.81
2001 4.06 0.73 3.59 0.00 1.53 9.78 16.40 13.16 1.30 0.40 0.09 0.00 0.00 0.00 2.54 0.31
Vegetasi Rapat 2006 Perubahan 8.75 4.69 0.28 -0.45 0.03 -3.56 0.00 0.00 2.24 0.71 6.37 -3.41 14.14 -2.26 4.70 -8.47 1.22 -0.08 0.00 -0.40 0.00 -0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.71 5.17 0.04 -0.27
98
Lampiran 2. Perubahan Luas Wilayah Distribusi (%) Suhu Permukaan Perwilayah Kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006 No
Kecamatan
2001
<20,0 oC 2006 Perubahan
20,0 - 20,9 oC 2001 2006 Perubahan
21,0 – 21,9 oC 2001 2006 Perubahan
22,0 – 22,9 oC 2001 2006 Perubahan
23,0 – 23,9 oC 2001 2006 Perubahan
1
Banyumanik
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2
Candisari
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3
Gajahmungkur
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4
Gayamsari
13.54
0.00
-13.54
5.72
0.00
-5.72
12.94
0.00
-12.94
7.61
0.00
-7.61
6.53
0.00
-6.53
5
Genuk
20.22
0.12
-20.10
1.79
0.09
-1.70
2.92
0.14
-2.77
2.07
0.12
-1.95
2.56
0.17
-2.40
6
Gunungpati
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
-0.03
7
Mijen
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.00
0.01
0.01
8
Ngaliyan
0.00
0.06
0.06
0.01
0.02
0.01
0.03
0.03
0.00
0.03
0.13
0.10
0.02
0.06
0.03
9
Pedurungan
0.33
0.00
-0.33
0.51
0.00
-0.51
2.34
0.00
-2.34
1.74
0.00
-1.74
1.76
0.01
-1.75
10
Smg. Barat
36.87
0.00
-36.87
1.29
0.00
-1.29
2.13
0.00
-2.13
0.91
0.00
-0.91
0.68
0.00
-0.68
11
Smg. Selatan
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.11
0.00
-0.11
12
Smg. Tengah
0.00
0.00
0.00
0.19
0.00
-0.19
0.32
0.00
-0.32
0.06
0.00
-0.06
0.32
0.00
-0.32
13
Smg. Timur
2.40
0.00
-2.40
2.09
0.00
-2.09
6.31
0.00
-6.31
5.28
0.00
-5.28
5.55
0.00
-5.55
14
Smg. Utara
48.36
0.00
-48.36
3.04
0.00
-3.04
5.04
0.00
-5.04
3.89
0.00
-3.89
3.89
0.00
-3.89
15
Tembalang
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16 Tugu 6.94 0.11 -6.84 1.91 0.06 -1.86 4.20 Keterangan : (-) Luas Berkurang, (+) Luas Bertambah, satuan luas dalam persen (%)
0.09
-4.10
3.44
0.11
-3.33
4.31
0.08
-4.23
99
Lampiran 2. lanjutan No
Kecamatan
24,0 – 24,9 oC 2001 2006 Perubahan
25,0 – 25,9 oC 2001 2006 Perubahan
26,0 – 26,9 oC 2001 2006 Perubahan
27,0 – 27,9 oC 2001 2006 Perubahan
28,0 – 28,9 oC 2001 2006 Perubahan
1
Banyumanik
0.00
0.01
0.01
0.00
0.01
0.01
0.00
0.02
0.02
0.03
1.99
1.96
0.36
3.20
2.84
2
Candisari
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3
Gajahmungkur
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.73
0.73
4
Gayamsari
5.79
0.00
-5.79
3.59
0.00
-3.59
2.64
0.42
-2.22
4.04
5.79
1.74
3.16
2.13
-1.03
5
Genuk
5.57
1.72
-3.85
4.40
2.62
-1.78
5.84
5.36
-0.48
7.78
7.70
-0.09
8.62
2.18
-6.43
6
Gunungpati
0.05
0.01
-0.04
0.07
0.13
0.06
0.15
0.88
0.74
0.43
13.19
12.76
1.82
18.11
16.29
7
Mijen
0.00
0.00
0.00
0.00
0.13
0.13
0.01
0.86
0.85
0.03
9.76
9.73
0.43
12.31
11.89
8
Ngaliyan
0.03
0.25
0.21
0.02
0.19
0.17
0.09
0.20
0.11
0.29
3.95
3.66
1.83
8.23
6.40
9
Pedurungan
1.32
0.04
-1.28
1.00
0.02
-0.99
2.41
0.02
-2.39
9.65
0.63
-9.02
8.60
0.89
-7.71
10
Smg. Barat
1.09
0.03
-1.05
0.67
0.08
-0.59
1.02
1.30
0.28
1.09
10.89
9.79
1.23
3.31
2.08
11
Smg. Selatan
0.11
0.00
-0.11
0.05
0.00
-0.05
0.05
0.00
-0.05
0.27
0.11
-0.16
0.11
0.03
-0.08
12
Smg. Tengah
0.99
0.00
-0.99
0.84
0.00
-0.84
0.95
0.00
-0.95
1.64
0.20
-1.45
0.76
0.00
-0.76
13
Smg. Timur
6.41
0.00
-6.41
3.47
0.00
-3.47
4.25
0.06
-4.18
5.47
0.19
-5.28
2.99
1.73
-1.27
14
Smg. Utara
5.41
0.00
-5.41
3.28
0.03
-3.25
2.67
0.81
-1.85
2.98
5.16
2.18
2.57
3.44
0.87
15
Tembalang
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.09
0.09
16 Tugu 9.70 0.20 -9.50 5.53 0.39 -5.14 7.19 Keterangan : (-) Luas Berkurang, (+) Luas Bertambah, satuan luas dalam persen (%)
4.92
-2.27
10.95
31.62
20.67
7.62
19.60
11.98
100
Lampiran 2. lanjutan No
Kecamatan
29,0 – 29,9 oC 2001 2006 Perubahan
30,0 - 30,9 oC 2001 2006 Perubahan
31,0 – 31,9 oC 2001 2006 Perubahan
32,0 – 32,9 oC 2001 2006 Perubahan
33,0 – 33.9 oC 2001 2006 Perubahan
2001
≥34,0 oC 2006 Perubahan
1
Banyumanik
6.21
8.75
2.54
10.43
8.54
-1.88
23.76
12.43
-11.33
11.03
8.97
-2.06
13.08
15.38
2.30
35.10
40.70
5.60
2
Candisari
0.00
0.00
0.00
0.00
0.42
0.42
0.67
1.42
0.74
1.21
3.43
2.22
7.94
8.94
1.00
90.18
85.79
-4.39
3
Gajahmungkur
0.41
2.95
2.54
2.14
4.18
2.04
12.67
10.57
-2.10
10.68
12.05
1.37
20.96
26.61
5.65
53.14
42.90
-10.23
4
Gayamsari
5.70
6.38
0.68
3.13
5.70
2.57
5.62
10.21
4.59
4.61
7.04
2.43
5.10
13.08
7.98
10.28
49.25
38.97
5
Genuk
13.54
6.81
-6.73
10.09
13.06
2.97
11.73
25.46
13.72
2.13
13.23
11.10
0.59
10.74
10.15
0.16
10.49
10.33
6
Gunungpati
23.54
31.00
7.46
25.25
13.49
-11.76
30.60
11.49
-19.11
9.35
4.81
-4.54
5.76
4.42
-1.34
2.96
2.47
-0.49
7
Mijen
13.28
25.73
12.45
25.77
15.29
-10.49
30.83
14.48
-16.35
13.43
5.91
-7.51
11.22
7.47
-3.74
5.01
8.03
3.02
8
Ngaliyan
22.69
21.90
-0.80
20.16
12.78
-7.38
23.02
14.93
-8.10
9.86
8.89
-0.97
9.23
13.67
4.44
12.69
14.73
2.04
9
Pedurungan
12.15
4.21
-7.95
8.69
9.14
0.46
13.51
18.57
5.06
7.11
13.57
6.46
8.13
19.24
11.11
20.75
33.67
12.93
10
Smg. Barat
2.03
6.85
4.82
1.59
5.30
3.71
5.58
8.36
2.78
4.95
8.01
3.06
9.61
20.25
10.64
29.27
35.62
6.35
11
Smg. Selatan
0.38
0.42
0.03
0.44
0.71
0.27
1.62
2.08
0.46
2.45
2.88
0.43
4.79
8.20
3.42
89.62
85.57
-4.05
12
Smg. Tengah
2.30
0.15
-2.15
2.35
0.33
-2.02
5.33
0.61
-4.72
3.38
2.18
-1.20
5.48
7.86
2.39
75.11
88.68
13.57
13
Smg. Timur
4.85
4.09
-0.76
3.78
2.17
-1.61
9.15
6.24
-2.90
7.92
3.56
-4.35
12.29
8.43
-3.86
17.80
73.53
55.73
14
Smg. Utara
3.71
6.04
2.33
2.65
4.25
1.60
4.87
6.98
2.12
2.96
5.88
2.92
2.47
12.80
10.33
2.20
54.60
52.40
15
Tembalang
0.32
1.14
0.82
3.39
3.68
0.30
25.82
11.65
-14.17
24.28
11.22
-13.06
23.70
20.01
-3.69
22.49
52.19
29.71
16
Tugu
9.53
20.45
10.92
5.39
6.88
1.49
9.21
5.15
-4.06
3.86
2.65
-1.21
3.89
3.64
-0.24
6.33
4.05
-2.27
Keterangan : (-) Luas Berkurang, (+) Luas Bertambah, satuan luas dalam persen (%)
101
Lampiran 3. Pembangunan Model untuk Estimasi Nilai Suhu Permukaan pada Band 6 Landsat 7 ETM
COMMENT "Generated from graphical model: d:/apuji waluyo/data_2001/suhu_2001/new_model_suhu.gmd"; # gain # bias # K2 # K1 # # set cell size for the model # SET CELLSIZE MIN; # # set window for the model # SET WINDOW UNION; # # set area of interest for the model # SET AOI NONE; # # declarations
102 # Integer RASTER n1_band62 FILE OLD NEAREST NEIGHBOR AOI NONE "d:/apuji waluyo/data_2001/image/subset_image/band62.img"; Float RASTER n23_value_suhu62_01 FILE NEW USEALL ATHEMATIC FLOAT DOUBLE "d:/apuji waluyo/data_2001/suhu_2001/suhu_band62_01/value_suhu62_01.img"; Integer RASTER n25_suhu62_01 FILE NEW USEALL THEMATIC BIN DIRECT DEFAULT 8 BIT UNSIGNED INTEGER "d:/apuji waluyo/data_2001/suhu_2001/suhu_band62_01/suhu62_01.img"; FLOAT SCALAR n4_Float; FLOAT SCALAR n5_Float; FLOAT SCALAR n11_Float; FLOAT SCALAR n15_Float; # # load scalar n4_Float # n4_Float = 0.05518; # # load scalar n5_Float # n5_Float = 1.2378; # # load scalar n11_Float # n11_Float = 607.76; # # load scalar n15_Float # n15_Float = 1260.56; # # function definitions # #define n3_memory Float(($n4_Float * $n1_band62) + $n5_Float) #define n13_memory Float(EITHER 0 IF ( $n3_memory == 0 ) OR $n11_Float/$n3_memory OTHERWISE ) #define n16_memory Float($n13_memory + 1) #define n18_memory Float(LOG ( $n16_memory ) ) #define n20_memory Float(EITHER 0 IF ( $n18_memory == 0 ) OR $n15_Float/$n18_memory OTHERWISE ) n23_value_suhu62_01 = $n20_memory - 273; n25_suhu62_01 = CONDITIONAL { ($n23_value_suhu62_01 >1 and $n23_value_suhu62_01 <20) 1, ($n23_value_suhu62_01 >= 20 and $n23_value_suhu62_01 < 21) 2, ($n23_value_suhu62_01 >= 21 and $n23_value_suhu62_01 < 22) 3, ($n23_value_suhu62_01 >= 22 and $n23_value_suhu62_01 < 23) 4, ($n23_value_suhu62_01 >=23 and $n23_value_suhu62_01 < 24) 5, ($n23_value_suhu62_01 >= 24 and $n23_value_suhu62_01 < 25) 6, ($n23_value_suhu62_01 >= 25 and $n23_value_suhu62_01 < 26) 7, ($n23_value_suhu62_01 >= 26 and $n23_value_suhu62_01 < 27) 8, ($n23_value_suhu62_01 >= 27 and $n23_value_suhu62_01 < 28) 9, ($n23_value_suhu62_01 >= 28 and $n23_value_suhu62_01 < 29) 10, ($n23_value_suhu62_01 >= 29 and $n23_value_suhu62_01 < 30) 11, ($n23_value_suhu62_01 >= 30 and $n23_value_suhu62_01 < 31) 12, ($n23_value_suhu62_01 >= 31 and $n23_value_suhu62_01 < 32) 13, ($n23_value_suhu62_01 >= 32 and $n23_value_suhu62_01 < 33) 14, ($n23_value_suhu62_01 >= 33 and $n23_value_suhu62_01 <34) 15, ($n23_value_suhu62_01 >= 34) 16 } ; QUIT;
103 Lampiran 4. Peta Perubahan Lahan di Kota Semarang Tahun 2001-2006
104
Lampiran 4. lanjutan
105 Lampiran 4. lanjutan