PRIORITAS PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PERUBAHAN DISTRIBUSI SUHU UDARA DI DKI JAKARTA
SYAHRU RAMDHONI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perubahan Distribusi Suhu Udara di DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir usulan penelitian ini. Bogor, Februari 2015 Syahru Ramdhoni NIM E34100007
ABSTRAK SYAHRU RAMDHONI. Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perubahan Distribusi Suhu Udara di DKI Jakarta. Dibimbing oleh SITI BADRIYAH RUSHAYATI dan LILIK BUDI PRASETYO. Permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh DKI Jakarta salah satunya disebabkan oleh menurunnya kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Hutan kota sebagai salah satu bentuk ruang terbuka hijau berperan dalam ameliorasi iklim mikro. Hutan kota dapat menurunkan suhu permukaan. Suhu permukaan memiliki keterkaitan dengan suhu udara sehingga dapat digunakan untuk menduga nilai suhu udara. Hutan kota menyerap panas dan menurunkan suhu udara melalui mekanisme transpirasi. Selama tahun 2001-2014 pepohonan di Jakarta mengalami penurunan luasan sekitar 5.1% sementara lahan terbangun meningkat sekitar 13%. Keadaan ini mengakibatkan suhu permukaan meningkat 2-4 °C sedangkan suhu udara meningkat 2-3 °C. Prioritas pengembangan ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan kota tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan publik tetapi juga dilakukan pada lahan-lahan privat. Kata kunci: hutan kota, suhu permukaan, suhu udara
ABSTRACT SYAHRU RAMDHONI. Priority Open Green Space Development based on Distribution of Air Temperature Changed in DKI Jakarta. Supervised by SITI BADRIYAH RUSHAYATI and LILIK BUDI PRASETYO. One of the main cause of environmental degradation in Jakarta is caused by quality degradation of open green space. Urban forest as a form of open green space has an important role in microclimate amelioration. Urban forest can reduce surface temperature, which have a close relation to air temperature. These relation can be used to determine air temperature from surface temperature. Urban forest as a heat absorbent reduce air temperature by transpiration. During 2001-2014 trees in Jakarta is decrease around 5.1% while built-up area is increase around 13%. That was causing surface temperature is increase around 2-4 °C, meanwhile air temperature is increase about 2-3 °C during 2001-2014. Priority of urban forest development not only should take a place in public area, but also in private. Keywords: air temperature, surface temperature, urban forest.
PRIORITAS PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PERUBAHAN DISTRIBUSI SUHU UDARA DI DKI JAKARTA
SYAHRU RAMDHONI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi
Nama NIM
: Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perubahan Distribusi Suhu Udara di DKI Jakarta : Syahru Ramdhoni : E34100007
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi Pembimbing I
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Sambas Basuni, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini adalah pengembangan ruang terbuka hijau, dengan judul Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perubahan Distribusi Suhu Udara di DKI Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, saran serta arahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada teman-teman dan keluarga dari laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial maupun Nepenthes rafflesiana 47 yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015 Syahru Ramdhoni
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi
2
Metode Pengumpulan Data
3
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
8
Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan
8
Identifikasi Perubahan Suhu Permukaan dan Suhu Udara
11
Lokasi Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
18
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
21 23
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nilai bowen ratio Nilai tahanan aerodinamik Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2001 Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2014 Luas sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2001 Luas sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2014 Perubahan luas sebaran suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta Sebaran luas kelas prioritas pengembangan RTH di DKI Jakarta
7 8 11 13 14 15 16 17 19
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Peta lokasi penelitian Skema alur penelitian Peta tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2001 Peta tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2014 Peta sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2001 Peta sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2014 Peta sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2001 Peta sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2014 Hubungan suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta landsat ETM+ Hubungan suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta landsat OLI/TIRS 11 Peta prioritas pengembangan RTH berdasarkan perubahan sebaran suhu udara di DKI Jakarta
2 4 10 10 12 13 15 16 18 18 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 Classification accuracy assessment report 2014 2 Classification accuracy assessment report 2001
23 24
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan Indonesia dengan segala dinamika sosialnya memiliki berbagai permasalahan terkait dengan lingkungan. Permasalahan lingkungan yang dihadapi DKI Jakarta salah satunya adalah menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH) yang berakibat pada terjadinya fenomena urban heat island (UHI). Zain (2002) mengemukakan bahwa selama periode 1972-1997, luas RTH Jabotabek telah berkurang 23%, dalam periode yang sama terjadi peningkatan ruang terbangun sebesar 23%. Hasil penelitian lain diantaranya Fracilia (2007) mengemukakan bahwa pada periode 1997-2004 luas RTH di DKI Jakarta telah berkurang sebesar 8.79%. Kusumawardani (2011) menyatakan bahwa pada periode 1992-2006 luas RTH DKI Jakarta mengalami penurunan sebesar 15 224.2 ha atau sebesar 22.9%. Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kenyamanan suatu wilayah adalah RTH. Adanya RTH diharapkan mampu menanggulangi masalah lingkungan perkotaan terutama dalam menyerap hasil negatif yang disebabkan oleh aktivitas perkotaan. RTH mempunyai manfaat terhadap komponen lingkungan diantaranya menyerap panas, mengurangi tingkat kebisingan dan pencemaran udara serta sebagai rosot karbon melalui proses oksigenisasi (Purnomohadi 1995). RTH melalui perannya sebagai ameliorasi iklim mikro dapat menurunkan suhu permukaan yang secara langsung berpengaruh terhadap sebaran suhu udara dan dapat meningkatkan kenyamanan hidup masyarakat (Ahmad et al. 2012, Arie 2012, Peng et al. 2014). Berkurangnya RTH di kawasan perkotaan berdampak pada peningkatan suhu permukaan. Fracilia (2007) juga mengemukakan bahwa rata-rata suhu permukaan Kota Jakarta mengalami peningkatan sebesar 0.4 °C pada kurun 19972004. Kusumawardani (2011) mengungkapkan pada periode 1992-2006 suhu permukaan DKI Jakarta meningkat sebesar 2.1 °C. Sebaran suhu permukaan penting dalam memahami iklim perkotaan, perubahan lingkungan, dan interaksi antara manusia dengan lingkungan (Mallick et al. 2008). Interaksi antara manusia dengan lingkungan ditunjukkan dengan sebaran penggunaan lahan. Suhu permukaan Kota Jakarta yang semakin tinggi salah satunya mengakibatkan suhu udara yang semakin tinggi melalui mekanisme transfer energi panas. Perumusan Masalah Penurunan kualitas ruang terbuka dalam hal ini RTH menjadi salah satu permasalahan di DKI Jakarta. Laju pembangunan seiring dengan laju perubahan penggunaan lahan mengakibatkan perubahan dalam distribusi suhu permukaan yang berimbas pada distribusi suhu udara. Distribusi suhu udara dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan tata ruang wilayah.
2 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk memetakan perubahan distribusi suhu udara di DKI Jakarta pada tahun 2001 dan 2014 serta memetakan prioritas pengembangan RTH berdasarkan perubahan distribusi suhu udaranya. Manfaat Penelitian Penelitian bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah DKI Jakarta dalam penyusunan perencanaan tata ruang wilayah khususnya RTH di DKI Jakarta. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi sebaran suhu permukaan, suhu udara dan penutupan lahan di DKI Jakarta serta lokasi prioritas pengembangan RTH dalam tata ruang wilayah DKI Jakarta.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di lima wilayah Kota Administrasi DKI Jakarta. Pengambilan data dilakukan selama 3 bulan, pada bulan Juli-September 2014. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
3 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan melalui cek lapangan dengan berpedoman pada Ground Control Point (GCP) yang dicatat koordinatnya dengan GPS. GCP diperoleh dari pengolahan data citra landsat tahun 2014. Data primer yang dikumpulkan berupa kondisi tutupan lahan yang juga digunakan sebagai pedoman dalam akurasi pemetaan tutupan lahan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Prosedur Analisis Data Prosedur analisis data dilakukan dengan pengolahan citra landsat tahun 2001 dan 2014 menggunakan perangkat lunak e-Cognition, Erdas, ArcGis dan Google Earth. Penentuan klasifikasi jenis tutupan lahan serta pembuatan sebaran suhu permukaan selanjutnya dianalisis untuk mengetahui prioritas pengembangan RTH. Skema prosedur analisis data dapat dilihat pada Gambar 2. Klasifikasi tutupan lahan Klasifikasi tutupan lahan merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi mengenai pola tutupan lahan di suatu wilayah secara spasial. Klasifikasi tutupan lahan diperoleh melalui pengolahan citra landsat tahun 2001 dan 2014. Sebaran suhu permukaan Sebaran suhu permukaan didapatkan melalui pengolahan data citra dengan memperhatikan nilai digital number (DN) untuk dikonversi menjadi nilai spektral radiasi. Rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai DN menjadi nilai spektral radiasi yaitu:
Keterangan: Lλ QCal LMIN(i) LMAX(i) QCalMIN QCalMAX
radiasi spektral yang diterima sembarang piksel dianalisis : digital number : radiasi spektral minimum : radiasi spektral maksimum : nilai piksel minimum : nilai piksel maksimum :
4
Gambar 2 Skema alur penelitian
5 Prakash et al. (1995) mengajukan formulasi untuk mengubah nilai piksel menjadi nilai suhu kinetik melalui rumus sebagai berikut:
Keterangan: TR : suhu radian (K) K1 : konstanta kalibrasi 1 K2 : konstanta kalibrasi 2 Lλ : radiasi spektral yang diterima sembarang piksel dianalisis Estimasi NDVI Indeks vegetasi adalah pengukuran kuantitatif berdasarkan nilai digital dari data penginderaan jauh yang digunakan untuk mengukur biomasa atau intensitas penyerapan radiasi matahari oleh vegetasi di permukaan bumi. Salah satu indeks yang umum digunakan adalah Normalized Differential Vegetation Indexed (NDVI) (Arie 2012). Formula untuk menghitung NDVI adalah:
Keterangan: NIR : reflektansi kanal inframerah dekat Red : reflektansi kanal cahaya tampak Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1. Nilai NDVI yang rendah menandakan tingkat vegetasi yang rendah begitu pula sebaliknya. Perhitungan radiasi netto (Rn) Radiasi netto adalah besaran yang menunjukkan selisih antara radiasi sinar matahari baik gelombang pendek maupun gelombang panjang yang masuk ke permukaan bumi dengan radiasi yang dipantulkan kembali.
Keterangan: Rn : radiasi netto (Wm-2) Rsin : radiasi gelombang pendek datang (Wm-2) Rsout : radiasi gelombang pendek dipantulkan (Wm-2) Rlout : radiasi gelombang panjang dipantulkan (Wm-2) Perhitungan radiasi gelombang pendek dipantulkan (Rsout) Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan didapatkan melalui rumus berikut:
6
Keterangan: Rs Out : radiasi gelombang pendek keluar (Wm-2) Lλ : nilai spektral radiasi d : jarak astronomi matahari ke bumi (astronomi) : nilai tengah panjang gelombang tiap band Perhitungan albedo (α) Albedo merupakan nisbah antara gelombang yang dipantulkan dengan gelombang yang datang. Nilai albedo berkisar antara 0-1. Besarnya nilai albedo permukaan didapatkan melalui rumus:
Keterangan: Lλ : nilai spektral radiasi d : jarak astronomi matahari ke bumi (astronomi) ESUN : rata-rata nilai spektral solar irradiance θs : sudut zenith matahari Perhitungan radiasi gelombang pendek datang (Rsin) Radiasi gelombang pendek yang datang ditentukan dengan rumus:
Keterangan: Rsin : radiasi gelombang pendek masuk (Wm-2) Rsout : radiasi gelombang pendek dipantulkan (Wm-2) α : albedo Perhitungan radiasi gelombang panjang dipantulkan (Rlout) Radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memenuhi hukum Stefan Boltzman dimana radiasi yang dipantulkan per unit waktu didapatkan menggunakan rumus:
Keterangan: Rl Out : radiasi gelombang panjang dipantulkan ε : emisivitas (badan air = 0.98; RTH = 0.95; non RTH = 0.92) σ : tetapan Stefan Boltzman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4) Ts : suhu permukaan (K)
7 Perhitungan fluks bahang tanah Fluks bahang tanah (G) adalah perpindahan atau transfer energi panas yang diradiasikan oleh benda-benda di permukaan bumi ke permukaan bumi (tanah). Fluks bahang tanah bernilai positif saat tanah menjadi semakin panas dan bernilai negatif jika tanah semakin dingin. Perhitungan yang digunakan untuk menghitung fluks bahang tanah (G) adalah:
Keterangan: G : fluks bahang tanah (Wm-2) Ts : suhu permukaan (0C) α : albedo Rn : radiasi netto (Wm-2) NDVI : Normalized Differential Vegetation Indexed Perhitungan fluks bahang terasa Fluks bahang terasa (H) adalah suatu proses perpindahan energi panas dari permukaan bumi ke atmosfer baik melalui konveksi maupun konduksi. Energi tersebut dapat berpindah secara horizontal melalui proses sirkulasi udara. Fluks bahang terasa (H) dapat diekspresikan berdasarkan besarnya panas yang ditransmisikan per unit area atau per unit waktu.
Keterangan: H : fluks bahang terasa (Wm-2) β : bowen ratio Rn : radiasi netto (Wm-2) G : fluks bahang tanah (Wm-2) Bowen ratio menggambarkan tingkat kekeringan suatu wilayah. Besarnya nilai bowen ratio tergantung pada jenis tutupan lahannya. Besarnya nilai bowen ratio menurut Oliver (1973) dan Khomarudin (2005) seperti tersaji pada Tabel 1. No 1 2 3 4 5
Tabel 1 Nilai bowen ratio Tutupan lahan Pemukiman Perkebunan Air Sawah Hutan Tropis
Bowen ratio 4.00 0.50 0.11 0.25 0.33
8 Perhitungan suhu udara Nilai suhu udara didapatkan melalui rumus:
Keterangan: Ta : suhu udara (K) Ts : suhu permukaan (K) H : fluks bahang terasa (Wm-2) raH : tahanan aerodinamik (sm-1) ρair : kerapatan udara lembab (1.27 Kg m3) Cp : panas spesifik udara pada tekanan konstan (1 004 J Kg-1 K-1) Tahanan aerodinamik merupakan gaya yang timbul akibat gesekan suatu permukaan dengan angin. Besarnya tahanan aerodinamik di suatu kawasan tergantung dari tutupan lahannya. Khomarudin (2005) menggambarkan besaran tahanan aerodinamik berdasarkan tutupan lahan pada Tabel 2. No 1 2 3
Tabel 2 Nilai tahanan aerodinamik Penutupan lahan Tahanan aerodinamik (sm-1) Air 16.3 Vegetasi 22.9 NonVegetasi 18.2
Analisis statistika Analisis statistik digunakan untuk menggambarkan hubungan antara suhu permukaan dengan suhu udara di DKI Jakarta. Titik-titik sampel suhu permukaan dan suhu udara dipilih dengan stratifikasi berdasarkan tutupan lahannya secara acak. Analisis statistik juga digunakan untuk mengklasifikasikan kelas prioritas pengembangan RTH berdasarkan perubahan distribusi suhu udaranya. Kelas prioritas pembangunan RTH dilakukan dengan penggologan perubahan distribusi suhu udara menjadi tiga kelas yaitu: prioritas rendah, menengah, dan tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta secara geografis termasuk wilayah kota yang berkembang di daerah pesisir. Secara geografis DKI Jakarta terletak pada 106o22'42" - 106o56'18" BT dan 05o19'12" - 06o23'54" LS. Secara administratif DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan satu kabupaten administratif, yaitu: Kota Administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. DKI Jakarta berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah
9 selatan dan timur, sebelah barat dengan Provinsi Banten, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 35 km. Sebagian dari luas wilayah DKI Jakarta (40%) merupakan dataran rendah dengan ketinggian di bawah muka pasang air laut. Hal ini mengakibatkan daerah tersebut rawan akan banjir rob. Pada tahun 2007 wilayah yang telah ditanggulangi sekitar 37.5%. Teluk Jakarta merupakan muara dari tiga belas sungai yang mengalir dari wilayah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Jenis tanah di wilayah DKI Jakarta adalah tanah lempung yang memiliki daya serap rendah (Pemda DKI Jakarta 2007). Hal ini mengakibatkan daerah DKI Jakarta rawan akan banjir. Tipe iklim DKI Jakarta termasuk tipe C dan D menurut Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun sekitar 2 000 mm (Kemenhut 2013). Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS DKI Jakarta pada tahun 2013, keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum 35.2 °C – 36.0 °C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar antara 20.0 °C - 23.0 °C pada malam hari. Rata-rata suhu udara di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2013 berkisar pada 27.5 °C – 28.6 °C. Jumlah curah hujan sepanjang tahun 2013 mencapai 2 707.5 mm, dengan tingkat kelembaban udara rata-rata sekitar 76.0 – 81.0 % dan kecepatan angin rata-rata mencapai 4 m/detik – 6 m/detik (BPS DKI Jakarta 2014). Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Penutupan lahan merupakan perwujudan fisik permukaan suatu wilayah tanpa turut memperhatikan peruntukan penggunaan wilayah tersebut (Lillesand dan Kiefer 1997). Berdasarkan interpretasi citra yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta dibagi atas empat kelas penutupan lahan yaitu sebagai berikut: 1. Badan air dapat berupa sungai, kanal, waduk, maupun danau dan rawa. 2. Tegakan pohon berupa areal yang didominasi oleh pohon baik jalur hijau, hutan kota maupun kebun atau pekarangan yang ditumbuhi oleh pepohonan. 3. Vegetasi non pohon termasuk semak belukar, lapangan, padang rumput, sawah dan ladang, serta taman. 4. Lahan terbangun berupa daerah pemukiman, industri, daerah komersialisasi. Tutupan lahan tahun 2001 Hasil analisis terhadap tutupan lahan DKI Jakarta pada tahun 2001 memberikan gambaran bahwa tutupan lahan di DKI Jakarta didominasi oleh lahan terbangun sebesar 68.44%. Lahan bervegetasi di DKI Jakarta tersebar lebih dari 20% di masing-masing wilayah kota administrasi kecuali Jakarta Pusat dengan luas sebaran mencapai 16.63%. Lahan bervegetasi berupa tegakan pohon berdasarkan analisis tersebar seluas 7 503.21 ha dengan persentase sebesar 11.02%. Sementara badan air di DKI Jakarta tersebar seluas 3 601.99 ha atau sebesar 5.29%. Kondisi tutupan lahan tahun 2001 hasil pengolahan citra Landsat ETM+ tanggal akuisisi 17 September 2001 dapat dilihat pada Gambar 3.
10
Gambar 3 Peta tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2001 Tutupan lahan tahun 2014 Kondisi tutupan lahan tahun 2014 hasil pengolahan citra Landsat OLI/TIRS tanggal akuisisi 13 September 2014 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Peta tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2014
11
Berdasarkan analisis didapatkan sebaran tutupan lahan DKI Jakarta mengalami perubahan dari tahun 2001 dengan sebaran lahan terbangun semakin luas. Lahan terbangun mendominasi tutupan lahan dengan 81.41%. Sementara lahan bervegetasi semakin berkurang dengan persentase luasan 13.60%. Luas lahan bervegetasi berupa tegakan pohon hanya 4 028.76 ha atau berkurang hampir setengahnya. Badan air di DKI Jakarta pada tahun 2014 seluas 3 402,17 ha atau turun menjadi 5.00%. Perubahan sebaran tutupan lahan di masing-masing wilayah kota administrasi DKI Jakarta pada tahun 2001 dan 2014 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta Tahun 2001 2014 Penutupan Lahan Luas Luas (ha) % (ha) % Jakarta Barat Badan Air 304.02 2.41 264.47 2.09 Lahan Terbangun 8 086.16 64.04 10 735.34 85.02 Vegetasi Non Pohon 2 956.41 23.41 221.42 1.75 Vegetasi Pohon 1 280.57 10.14 1 405.93 11.13 Jakarta Pusat Badan Air 199.39 4.12 176.63 3.65 Lahan Terbangun 3 826.73 79.15 4 301.91 88.98 Vegetasi Non Pohon 384.44 7.95 260.54 5.39 Vegetasi Pohon 424.32 8.78 95.80 1.98 Jakarta Selatan Badan Air 685.22 4.69 998.91 6.84 Lahan Terbangun 9 581.71 65.57 11 180.10 76.51 Vegetasi Non Pohon 2 104.38 14.40 1 404.81 9.61 Vegetasi Pohon 2 241.73 15.34 1 029.22 7.04 Jakarta Timur Badan Air 746.43 4.01 913.99 4.90 Lahan Terbangun 13 073.82 70.15 14 728.45 79.02 Vegetasi Non Pohon 2 738.66 14.69 1 616.26 8.67 Vegetasi Pohon 2 077.98 11.15 1 379.32 7.40 Jakarta Utara Badan Air 1 666.93 9.59 1049.47 6.04 Lahan Terbangun 12 038.39 69.25 14 493.08 83.37 Vegetasi Non Pohon 2 200.84 12.66 525.71 3.02 Vegetasi Pohon 1 478.60 8.51 1 316.50 7.57
Perubahan Luas (ha)
%
-39.55 -0.31 2 649.18 20.98 -2 734.99 -21.66 125.36 0.99 -22.76 475.18 -123.89 -328.52
-0.47 9.83 -2.56 -6.79
313.69 1 598.39 -699.57 -1 212.51
2.15 10.94 -4.79 -8.30
167.56 1 654.63 -1 122.40 -698.66
0.90 8.88 -6.02 -3.75
-617.47 2 454.69 -1 675.13 -162.10
-3.55 14.12 -9.64 -0.93
Perubahan penutupan lahan dapat diartikan sebagai perubahan kondisi atau kenampakan permukaan bumi baik karena faktor manusia maupun alam yang berubah secara temporal (Lillesand dan Kiefer 1997). Perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta terjadi sebagai akibat dari kegiatan konversi lahan. Kegiatan konversi lahan di DKI Jakarta salah satunya disebabkan oleh pertambahan jumlah
12 penduduk. Pertambahan jumlah penduduk DKI Jakarta hasil sensus tahun 2010 selama periode 2001-2010 sebesar 1 218 344 jiwa dengan kepadatan mencapai 14 469 jiwa/km2. Tingkat kepadatan tersebut menjadikan DKI Jakarta sebagai kota terpadat di Indonesia. Tingginya pertumbuhan dan padatnya penduduk mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan pemukiman, sarana dan prasarana publik sehingga konversi lahan utamanya ruang terbuka dijadikan sebagai lahan terbangun. Identifikasi Perubahan Suhu Permukaan dan Suhu Udara Suhu permukaan didefinisikan sebagai suhu terluar suatu obyek (Lillesand dan Kiefer 1997). Suhu permukaan merupakan suatu parameter kunci dalam memahami proses fisik yang terjadi pada permukaan bumi (Wan et al. 2004). Masing-masing obyek di permukaan bumi memiliki karakteristik sifat emisivitas dan konduktivitas termal terhadap energi panas yang dipancarkan matahari. Suhu permukaan obyek di permukaan bumi sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahannya. Kumar et al. (2013) dengan menggunakan pemodelan Artificial Neural Network (ANN) menyatakan bahwa suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh tutupan lahan, nilai NDVI, serta posisi garis lintang dan garis bujur suatu wilayah. Sebaran suhu permukaan tahun 2001 Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta berdasarkan hasil analisis citra landsat ETM+ yang diambil pada pukul 09.48 rata-rata berada pada kisaran 27 °C – < 30 °C dengan luas mencapai 47.99% dan ≥ 30 °C dengan luas mencapai 37.04%. Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2001 dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Peta sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2001
13
Sebaran suhu permukaan per wilayah kota administrasi pada tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 4. Jakarta Timur adalah wilayah kota administrasi yang memiliki suhu permukaan ≥ 30 °C paling tinggi diikuti oleh Jakarta Utara dengan luas masing-masing 8 071.32 ha dan 5 744.23 ha. Tabel 4 Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2001 Luas Sebaran Suhu Permukaan (ha) Kota < 21 °C 21-< 24 °C 24-< 27 °C 27-< 30 °C ≥ 30 °C Jakarta Barat 0.63 5.17 1 071.71 6 260.03 5 289.62 Jakarta Pusat 0.09 206.95 2 046.98 2 580.86 Jakarta Selatan 136.99 3 029.74 7 907.11 3 539.21 Jakarta Timur 1.89 19.63 2 533.05 8 011.00 8 071.32 Jakarta Utara 2.61 299.45 2 881.35 8 457.11 5 744.23 Total 5.13 461.33 9 722.80 32 682.23 25 225.24 Sebaran suhu permukaan tahun 2014 Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta berdasarkan hasil analisis citra landsat OLI/TIRS yang diambil pada pukul 10.00, luas wilayah DKI Jakarta sebesar 79.03% pada tahun 2014 memiliki suhu permukaan ≥ 30 °C. Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Peta sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2014 Tingginya suhu permukaan merupakan gejala yang berhubungan dengan keseimbangan energi dan interaksi sinar matahari dengan lapisan atmosfer bumi (Jin 2004). Interaksi tersebut dapat dipengaruhi pula oleh aktivitas manusia.
14 Aktivitas manusia seperti konversi lahan, penggunaan bahan bakar fosil, aktivitas industri mempengaruhi kandungan unsur di udara dan berdampak pada perubahan suhu permukaan. Tabel 5 memberikan informasi mengenai sebaran suhu permukaan pada tahun 2014 di setiap wilayah kota administrasi di DKI Jakarta. Dibandingkan dengan sebaran suhu udara pada tahun 2001 (Tabel 4) Perubahan suhu permukaan terlihat jelas hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta. Dari Tabel 4 dan Tabel 5 tersebut diketahui bahwa pada tahun 2001 masih terdapat beberapa wilayah yang memiliki suhu permukaan < 21 °C dan hampir 500 ha memiliki suhu permukaan < 24 °C. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan suhu permukaan sehingga tidak lagi terdapat wilayah yang memiliki suhu permukaan < 21 °C. Tabel 5 Sebaran suhu permukaan DKI Jakarta tahun 2014 Luas Sebaran Suhu Permukaan (ha) Kota < 21 °C 21-< 24 °C 24-< 27 °C 27-< 30 °C Jakarta Barat 209.66 2 877.11 Jakarta Pusat 5.92 617.05 Jakarta Selatan 198.30 3 213.59 Jakarta Timur 293.31 2 196.03 Jakarta Utara 28.92 976.20 3 662.65 Total 28.92 1 683.39 12 566.43
≥ 30 °C 9 540.38 4 211.91 11 201.15 16 147.55 12 716.99 53 817.98
Suhu permukaan tidak hanya menjadi parameter kunci dalam memahami perubahan iklim, tapi menjadi parameter kontrol dalam radiasi permukaan, sehingga berperan sebagai kontrol bahang permukaan dan pertukaran fluks panas di atmosfer. Hal ini menjelaskan interaksi antara permukaan bumi dengan atmosfer serta fluks energi antara atmosfer dengan tanah. Informasi ini dapat digunakan untuk menduga suhu udara di suatu wilayah. Energi panas yang terdapat pada permukaan benda akan dipindahkan melalui mekanisme transfer energi ke tanah dan selanjutnya dipindahkan ke udara. Pada siang hari, suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara sehingga panas yang terdapat pada permukaan benda akan ditransferkan ke udara. Panas yang pindah ke udara tersebut membentuk keseimbangan sehingga dirasakan oleh manusia. Sebaran suhu udara tahun 2001 Suhu udara pada pukul 09.48 di DKI Jakarta rata-rata berada pada kisaran 24 °C – < 30 °C dengan 91.45% atau seluas 62 181.75 ha. Sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2001 dapat dilihat pada Gambar 7. Informasi yang diberikan oleh Gambar 7 menunjukkan bahwa daerah di Jakarta Selatan dan sebagian daerah Jakarta bagian utara memiliki suhu udara antara 21 °C – < 24 °C. Jika dibandingkan dengan sebaran tutupan lahannya, diketahui bahwa tutupan lahan di wilayah tersebut berupa tegakan pohon maupun badan air.
15
Gambar 7 Peta sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2001 Sebaran suhu udara di masing-masing wilayah kota administrasi di DKI Jakarta secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa masing-masing wilayah kota administrasi pada pukul 09.48 masih bisa ditemukan wilayah-wilayah yang memiliki suhu < 21 °C. Tabel 6 Luas sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2001 Luas Sebaran Suhu udara (ha) Kota < 21 °C 21-< 24 °C 24-< 27 °C 27-< 30 °C Jakarta Barat 4.32 201.85 5 168.26 7 074.56 Jakarta Pusat 0.04 51.18 1 739.32 3 014.59 Jakarta Selatan 14.90 1 975.82 7 697.72 4 872.66 Jakarta Timur 8.99 1 103.55 8 041.25 8 760.07 Jakarta Utara 22.77 1 243.03 8 827.39 7 075.93 Total 51.02 4 575.43 31 473.94 30 770.81
≥ 30 °C 178.17 29.75 51.94 723.03 215.63 1 198.52
Sebaran suhu udara tahun 2014 Suhu udara DKI Jakarta pada pukul 10.00 rata-rata berada pada kisaran 27 °C – < 30 °C seluas 43 602.26 ha atau 64.03%. Sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 8.
16
Gambar 8 Peta sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2014 Sebaran suhu udara di wilayah kota administrasi tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 7. Data yag ditunjukkan pada Tabel 6 dan Tabel 7 menginformasikan bahwa wilayah di DKI Jakarta mengalami peningkatan suhu udara. Daerah yang mengalami peningkatan paling tinggi adalah wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Pusat dengan 27.67% dan 23.27% wilayahnya bersuhu ≥ 30 °C pada tahun 2014. Hal ini berbanding lurus dengan luasan lahan terbangun dan berbanding terbalik dengan luas tegakan pohon di wilayah tersebut. Tabel 7 Luas sebaran suhu udara DKI Jakarta tahun 2014 Luas Sebaran Suhu udara (ha) Kota < 21 °C 21-< 24 °C 24-< 27 °C 27-< 30 °C Jakarta Barat 61.27 2 810.60 9 142.12 Jakarta Pusat 2.89 706.62 3 000.29 Jakarta Selatan 58.61 3 156.75 10 395.97 Jakarta Timur 66.07 1 776.96 11 636.62 Jakarta Utara 4.10 495.11 3 766.82 9 427.26 Total 4.10 683.95 12 217.75 43 602.26
≥ 30 °C 613.15 1 125.08 1 001.72 5 157.24 3 691.47 11 588.66
Perubahan luas wilayah DKI Jakarta yang memiliki suhu permukaan dan suhu udara pada tahun 2001 dan 2014 di masing-masing wilayah kota administrasi dapat dilihat pada Tabel 8. Informasi dari Tabel 8 memperlihatkan bahwa daerah yang panas (pulau bahang) di DKI Jakarta mengalami peningkatan luas secara signifikan. Luas daerah pada masing-masing wilayah kota administrasi yang memiliki suhu permukaan ≥ 30 °C rata-rata bertambah sebesar 2 kali lipat sementara yang memiliki suhu udara ≥ 30 °C bertambah hingga 10 390.14 ha.
17
Tabel 8 Perubahan luas sebaran suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta Luas suhu permukaan Luas suhu udara ≥ 30 °C (ha) ≥ 30 °C (ha) Kota 2001 2014 2001 2014 Jakarta Barat 5 289.62 9 540.38 178.17 613.15 Jakarta Pusat 2 580.86 4 211.91 29.75 1 125.08 Jakarta Selatan 3 539.21 11 201.15 51.94 1 001.72 Jakarta Timur 8 071.32 16 147.55 723.03 5 157.24 Jakarta Utara 5 744.23 12 716.99 215.63 3 691.47 Suhu di wilayah perkotaan secara bertahap meningkat dari waktu ke waktu hampir di setiap daerah di dunia. Seperti yang dijelaskan oleh Kobayashi dan Kai (2005) bahwa suhu udara perkotaan dipengaruhi oleh pemanasan global dan efek pulau bahang sehingga suhu meningkat secara signifikan dibandingkan daerahdaerah di sekitarnya. Salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kawasan hijau yang didominasi tegakan pohon maupun ruang terbuka berupa badan air. Tegakan pohon dan badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih tinggi sehingga mampu menyerap energi panas lebih besar dan melepaskannya lebih lambat melalui evaporasi maupun transpirasi dibandingkan dengan lahan terbangun. Grafik hubungan antara suhu permukaan dan suhu udara di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 9 untuk citra landsat ETM dan Gambar 10 untuk citra landsat OLI/TIRS. Informasi yang diberikan oleh Gambar 9 dan Gambar 10 ini menggambarkan hubungan antara suhu permukaan dengan suhu udara di masingmasing tipe tutupan lahan DKI Jakarta. Nilai koefisien determinasi (R2) yang ditunjukkan pada masing-masing model lebih besar dari 90% menunjukkan bahwa model dapat digunakan untuk memprediksi nilai suhu udara dari suhu permukaan di DKI Jakarta dengan tingkat akurasi yang sangat baik. Gambar 9 dan Gambar 10 menginformasikan bahwa tegakan pohon memiliki nilai suhu udara yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara tutupan lahan lainnya. Hal ini dikarenakan fungsi klimatologis dari pohon yang mampu membentuk iklim mikro sebagai hasil dari proses fotosintesis dan proses respirasi (Andjelicus 2008). Purnomohadi (1995) mengatakan bahwa suhu udara di bawah tegakan pohon lebih rendah 2 °C – 4 °C dibandingkan dengan suhu udara daerah sekitarnya. Dalam membentuk iklim mikro, pepohonan dapat mengendalikan lingkungan termal seperti yang diungkapkan oleh Wonorahardjo (2011) dengan mekanisme seperti berikut: a. Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara berdasarkan mekanisme pembayangan (canopy effect). b. Pohon berpengaruh positif terhadap proses pendinginan melalui mekanisme evapotranspirasi. c. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan melalui mekanisme selimut di mana kanopi berperan dalam menghalangi pertukaran panas dengan daerah di sekitarnya.
18
Gambar 9 Hubungan suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta landsat ETM+, a) badan air, b) tegakan pohon, c) vegetasi non pohon, d) lahan terbangun
Gambar 10 Hubungan suhu permukaan dan suhu udara DKI Jakarta landsat OLI/TIRS, a) badan air, b) tegakan pohon, c) vegetasi non pohon, d) lahan terbangun
19 Lokasi Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Tutupan lahan berupa tegakan pohon atau hutan kota merupakan bentuk RTH yang paling efektif dalam menurunkan suhu udara. Pengembangan hutan kota adalah solusi yang tepat guna mengurangi suhu yang tinggi di DKI Jakarta. Berdasarkan klasifikasi tutupan lahan yang dilakukan pada tahun 2014, luasan tutupan lahan berupa tegakan pohon kurang dari 10% di masing-masing wilayah kota administrasi kecuali Jakarta Utara dengan 11.13%. Perubahan sebaran suhu udara di DKI Jakarta berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan daerah-daerah dengan prioritas pengembangan RTH berupa hutan kota. Prioritas pengembangan hutan kota dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan perubahan sebaran suhu udara dan sebaran tutupan lahannya. Kelas prioritas rendah adalah kelas yang menunjukkan perubahan suhu di wilayah tersebut tidak mengalami perubahan atau lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Wilayah yang masuk dalam kelas ini adalah wilayah-wilayah dengan kondisi tutupan lahan berupa badan air, maupun tegakan pohon serta wilayah yang tidak mengalami perubahan suhu pada tahun 2014. Kelas prioritas sedang adalah wilayah-wilayah yang mengalami perubahan suhu antara 0 °C – ≤ 3.45 °C. Wilayah-wilayah yang tersebut dapat dijadikan pertimbangan pengembangan hutan kota. Kelas prioritas tinggi adalah wilayah yang mengalami perubahan suhu hingga lebih tinggi dari 3.45 °C. Wilayah yang masuk dalam kelas prioritas ini adalah wilayah-wilayah yang sangat disarankan untuk dibangun RTH dalam bentuk hutan kota untuk menurunkan suhu udaranya. Upaya penurunan suhu udara di daerah tersebut sebagai upaya untuk mereduksi efek pulau bahang yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Tabel 9 menunjukkan sebaran prioritas pengembangan hutan kota di masing-masing wilayah kota administrasi. Tabel 9 Sebaran luas kelas prioritas pengembangan RTH di DKI Jakarta Kota Rendah (ha) Sedang (ha) Tinggi (ha) Jakarta Barat 4 142.78 8 128.88 355.49 Jakarta Pusat 994.23 3 749.93 90.72 Jakarta Selatan 4 021.55 8 817.33 1 774.16 Jakarta Timur 3 947.61 12 236.68 2 453.55 Jakarta Utara 4 128.67 10 689.00 2 566.93 Total 17 234.84 43 621.82 7 240.85 Wilayah kota administrasi dengan kelas prioritas tinggi paling luas adalah wilayah Jakarta Utara. Jakarta Utara meskipun memiliki ruang terbuka hijau berupa tegakan pohon paling tinggi namun wilayah di Jakarta Utara memiliki perubahan suhu yang tinggi, utamanya di Kecamatan Clilincing dengan 1 036.49 ha dan Kecamatan Koja dengan 748.42 ha. Dua wilayah kecamatan ini adalah kecamatan yang pada tahun 2001 memiliki suhu rata-rata 25 °C - 26 °C namun pada tahun 2014 suhunya meningkat lebih dari 3 °C. Lokasi prioritas pengembangan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 11.
20
Gambar 11 Peta prioritas pengembangan RTH berdasarkan perubahan sebaran suhu udara di DKI Jakarta Wilayah-wilayah yang termasuk dalam prioritas tinggi jika di overlay dengan perubahan sebaran tutupan lahannya umumnya adalah daerah-daerah yang mengalami konversi lahan dari tegakan pohon menjadi vegetasi non pohon dan lahan terbangun. Sedangkan daerah-daerah yang pada awalnya berupa lahan terbangun dan tidak mengalami perubahan umumnya hanya mengalami peningkatan suhu udara sebesar 0 °C – 3 °C sehingga digolongkan dalam kelas prioritas rendah hingga sedang meskipun pada kenyataannya suhu udara di daerah tersebut termasuk tinggi (≥ 30 °C). Ketersediaan ruang terbuka hijau di wilayah DKI Jakarta baik berupa tegakan pohon maupun vegetasi non pohon adalah wilayah yang potensial untuk dikembangkan sebagai hutan kota.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebaran suhu udara DKI Jakarta rata-rata mengalami peningkatan 2 °C – 3 °C pada kurun 2001 hingga 2014. Peningkatan suhu di DKI Jakarta berbanding lurus dengan peningkatan lahan terbangun dan berbanding terbalik dengan luas ruang terbuka hijau di Jakarta yang mengalami penurunan luasan. Selama kurun 2001 hingga 2014 lahan terbangun di Jakarta meningkat hingga 13% sedangkan RTH berupa tegakan pohon berkurang 5.1%. Wilayah Jakarta Timur adalah wilayah yang mengalami perubahan suhu paling tinggi seiring dengan perubahan
21 tutupan lahannya. Prioritas pengembangan RTH berupa hutan kota sebagai upaya untuk mereduksi efek pulau bahang yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Luas daerah dengan prioritas tinggi pengembangan RTH seluas 7 240.85 ha; sedang seluas 43 621.82 ha; dan rendah seluas 17 234.85 ha. Berdasarkan luasan perubahan distribusi suhu udaranya, wilayah kota di DKI Jakarta yang mengalami memiliki prioritas tinggi pengembangan RTH berturut-turut adalah Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Saran Upaya untuk meningkatkan kenyamanan daerah kota salah satunya adalah dengan pengembangan RTH berbentuk hutan kota. Luasan RTH berupa hutan kota yang semakin sempit akibat konversi lahan harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ruang terbuka hijau yang masih tersisa semestinya dimaksimalkan tidak hanya pada lahan publik tapi juga pada lahan-lahan privat. Bentuk pengembangan RTH dapat disesuaikan dengan kondisi penggunaan lahannya baik berbentuk hamparan maupun berbentuk jalur.
DAFTAR PUSTAKA [BPS DKI Jakarta] Badan Pusat Statistik Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2014. DKI Jakarta dalam angka 2013. Jakarta (ID): BPS DKI Jakarta. [Kemenhut RI] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2013. Profil Kehutanan 33 Provinsi. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan. [Pemda DKI Jakarta] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2007. Rencana tata ruang DKI Jakarta: Bahan penjelasan gubernur provinsi DKI Jakarta. Jakarta (ID): Pemda DKI Jakarta. Ahmad F, Arifin HS, Dahlan EN, Effendy S, Kurniawan R. 2012. Analisis hubungan luas ruang terbuka hijau (RTH) dan perubahan suhu di Kota Palu. Jurnal Hutan Tropis. 13(2):173-180. Andjelicus PJ. 2008. Prinsip-prinsip perancangan ruang terbuka hijau di Kota Kupang [tesis]. Bandung (ID): Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung. Arie FC. 2012. Sebaran temperature permukaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kota Malang. Di dalam: Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (APTW) ISSN 2301-6752; 2012 Juli 11; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): Perencanaan Wilayah Kota. hlm G23– G34. Fracillia L. 2007. Analisis korelasi ruang terbuka hijau dan temperatur permukaan dengan SIG dan penginderaan jauh (Studi Kasus: DKI Jakarta) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jin M. 2004. Analysis of land skin temperature using AVHRR Observations. AMS. 85: 587–600. Khomarudin MR. 2005. Pendugaan evapotranspirasi skala regional menggunakan data satelit penginderaan jauh [tesis]. Bogor (ID): Sekolah PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor.
22 Kobayashi H, Kai T. 2005. The use of urban green space to improve the thermal environment. Di dalam: The 2005 World Sustainable Building Conference; 2005 Sept 27-29; Tokyo, Jepang. Tokyo (JP). Kumar KS, Kumari KP, Bhaskar PU. 2013. Artificial neural network model for prediction of land surface temperature from landuse/cover images. Int. J of ATCSE. 2(1):87-92. Kusumawardani D. 2011. Hubungan ruang terbuka hijau (RTH) dan suhu permukaan menggunakan citra landsat TM/ETM+ (studi kasus: DKI Jakarta) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Ed ke-3. Sutanto, penerjemah; Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. Mallick J, Kant Y, Bharath BD. 2008. Estimation of land surface temperature over Delhi using Landsat-7 ETM+. Ind. Geophys. Union. 12(3):131-140 Oliver JE. 1973. Climate and Man’s Environment: An Introduction to Applied Climatology. New York (USA): Wiley. Peng SS, Shilong P, Zhenzhong Z, Ciais P, Liming Z, Laurent ZXL, Myneni RB, Yi Y, Hui Z. 2014. Afforestation in China cools local land surface temperature. PNAS Early Edition. [http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1315126111]. 8 Januari 2014 [diunduh 2014 Mei 1]. Prakash AP, Saraf AK, Gupta RP, Dutta M, Sundaram RM. 1995. Surface thermal anomalies associated with underground fires in Jharia coal mines, India. IJRS. 16(12):2105-2109. Purnomohadi S. 1995. Peran ruang terbuka hijau dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Wan Z, Zhang Y, Zhang Q, Li ZL. 2004. Quality assessment and validation of the MODIS global land surface temperature. IJRS. 25(1):261-274. Wonorahardjo S. 2011. New concepts on distric planning based on heat islands investigation. Procedia. 36:235-242. Zain A. 2002. Distribution, structure and function of urban green space in Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta metropolitan region (JABOTABEK) [disertasi]. Tokyo (JP): Departement of Agricultural and Environmental Biology, The University of Tokyo.
23 Lampiran 1 Classification accuracy assessment report 2014
Image File User Name Date
: e:/penelitian/2014/hasil/landcover/2014_recode_48s.img : this_host : Sat Feb 14 12:58:57 2015
Accuracy totals
Class Name Unclassified Badan Air Tegakan Pohon Vegetasi Non Pohon Lahan Terbangun Total
Reference Classified Number Producers Users Totals Totals Correct Accuracy Accuracy 1 1 1 18 16 16 88.89% 100% 15 20 14 93.33 70.00% 25 23 22 88.0 95.65% 42 41 38 90.48 92.68% 101 101 91
Overall Classification Accuracy =
90.10%
----- End of Accuracy Totals -----
Kappa (K^) Statistics Overall Kappa Statistics = 0.8619 Conditional Kappa for each Category. Class Name Unclassified Badan Air Tegakan Pohon Vegetasi Non Pohon Lahan Terbangun
Kappa
----- End of Kappa Statistics -----
1.0000 1.0000 0.6477 0.9422 0.8747
24 Lampiran 2 Classification accuracy assessment report 2001 Image File User Name Date
: e:/penelitian/2001/hasil/landcover/2001_recode_48s.img : this_host : Sat Feb 14 06:34:31 2015
Accuracy totals Class Name Unclassified Badan Air Tegakan Pohon Vegetasi Non Pohon Lahan Terbangun Total
Reference Classified Number Producers Users Totals Totals Correct Accuracy Accuracy 1 1 1 14 15 14 88.89% 100.00% 8 11 7 87.50% 63.64% 19 14 14 73.68% 100.00% 26 27 26 100.00% 96.30% 68 68 62
Overall Classification Accuracy =
91.18%
----- End of Accuracy Totals -----
Kappa (K^) Statistics Overall Kappa Statistics = 0.8785 Conditional Kappa for each Category. Class Name
Kappa
Unclassified Badan Air Tegakan Pohon Vegetasi Non Pohon Lahan Terbangun
1.0000 0.9160 0.5879 1.0000 0.9400 ----- End of Kappa Statistics -----
25
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Selong, Kabupaten Lombok Timur pada tanggal 6 Maret 1992 dari ayah bernama Darwin dan ibu Fatonah. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 3 Selong pada tahun 1998-2004. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP Negeri 1 Selong pada tahun 2004-2007 lalu ke SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2007-2010. Melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis berhasil masuk ke IPB pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE), Fakultas Kehutanan. Selama bersekolah, penulis aktif berorganisasi antara lain sebagai pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMAN 1 Selong pada periode 2007/2008 dan 2008/2009. Selama menempuh pendidikan di DKSHE, penulis turut serta menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Satwaliar serta Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah (tahun 2014). Penulis juga merupakan anggota aktif Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) periode 2011/2012 dan ketua biro kekeluargaan Himakova pada periode 2012/2013. Selama menjadi anggota aktif Himakova, penulis turut serta bergabung dalam Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) dan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK). Penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan ekspedisi, pada tahun 2012 penulis pernah mengikuti Ekspedisi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (Rafflesia) di Cagar Alam Tangkuban Perahu, Sukabumi, Jawa Barat serta di tahun 2013 di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Cianjur Selatan. Pada tahun 2013 penulis juga turut serta mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (Surili) di Taman Nasional Manusela (TNM) Provinsi Maluku. Penulis melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Suaka Margasatwa Gunung Sawal di Kabupaten Ciamis dan Taman Wisata Alam serta Cagar Alam Pangandaran di Kabupaten Pangandaran pada tahun 2012. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2013 serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Cagar Alam Mutis, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Perubahan Distribusi Suhu Udara di DKI Jakarta” di bawah bimbingan Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.