PENILAIAN MASYARAKAT TERHADAP RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN: KASUS KOTAMADYA BOGOR
SITI NURISJAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya: Penilaian Masyarakat Terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan: Kasus Kotamadya Bogor adalah karya saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
Bogor, Oktober 2005 Siti Nurisjah NIM 93559
ABSTRAK SITI NURISJAH. Penilaian Masyarakat terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan (Kasus Kotamadya Bogor). Dibimbing oleh F. GUNARWAN SOERATMO, BUNASOR SANIM, JOYO WINOTO, dan SISWADI. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu bagian utama dari pembangunan dan pengelolaan ruang-ruang kota dalam upaya mengendalikan kapasitas dan kualitas lingkungannya dan pada saat yang bersamaan juga untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Tetapi, dalam perkembangan dan pembangunan perkotaan, ketersediaan dan kelestarian RTH sering terganggu karena dikonversi menjadi lahan-lahan untuk berbagai kepentingan lain. Konversi lahan ini telah menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perkotaan akibat gangguan terhadap fungsi lingkungan yang dimiliki RTH. Untuk ini, diperlukan pemahaman akan manfaat, fungsi, dan nilai yang dimiliki RTH sehingga upaya untuk mengendalikan kualitas lingkungan kota yang baik dapat direncanakan dan selanjutnya konsep sistem pembangunan kota berkelanjutan dapat diwujudkan. Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada penilaian masyarakat terhadap fungsi dan bentuk rancangan RTH yang dimiliki oleh kota. Penilaian untuk nilai lingkungan RTH ini dinyatakan terhadap empat fungsi RTH, yaitu fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, sosial, dan ekonomi; serta dua bentuk utamanya yaitu bentuk-bentuk mengelompok dan jalur. Penelitian dilakukan dalam wilayah kotamadya Bogor yang diketahui memiliki ketersediaan dan rancangan RTH yang relatif baik. Alat analisis yang digunakan adalah analisis korelasi, analisis komponen utama, dan analisis gerombol. Kota penelitian memiliki klasifikasi nilai yang tinggi untuk ketersediaan dan distribusi RTH terhadap wilayah dan penduduk. Bentuk jalur hijau dan fungsi sosial ekonomi mendominasi RTH wilayah kota, dimana luasan untuk bentuk jalur cenderung menurun dan fungsi sosial ekonomi cenderung meningkat. Untuk menjaga kualitas lingkungan kota, dua pola kecenderungan ini harus dikendalikan yaitu dengan mempertahankan jalur hijau terutama jalur hijau tepi kota yang berfungsi ganda bagi perbaikan kualitas kota dan masyarakat, dan membatasi fungsi sosial ekonomi terutama pada lokasi yang rawan bahaya lingkungan. Masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap RTH kota dan preferensi tertinggi adalah RTH bentuk kawasan berkesan hutan dengan keragaman tanaman yang tinggi. Suasana alami kota memberi pengalaman yang baik dalam membentuk persepsi dan preferensi tetapi tidak dalam memilah bentuk dan fungsinya. Walaupun nilai RTH kota dari fungsi-fungsi non ekonomi, yaitu biofisik, sosial, dan arsitektur, cenderung mengelompok dan masyarakat menilainya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai dari fungsi ekonomi. Penilaian dan apresiasi masyarakat ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, latar belakang yang berbasis lingkungan, dan gender. Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap RTH, maka para perencana dan pengelola harus memiliki suatu metode konseptual untuk mengendalikan kualitas lingkungan wilayah perkotaan dari sudut pandang masyarakat yang akan menerimanya, terutama yang terkait dengan fungsi dan bentuk RTH yang diinginkannya guna perbaikan kapasitas dan kualitas lingkungan kota yang dihuninya.
ABSTRACT SITI NURISJAH. Community Valuation On Urban Green Open Space (Case Study: The City Of Bogor). Under direction of F. GUNARWAN SOERATMO, BUNASOR SANIM, JOYO WINOTO, AND SISWADI. Green open space is a fundamental part of urban development and management in sustaining the quality of urban environment and the welfare of urban dwellers Unfortunately, such a green open space is mostly converted for urban development purposes, sacrificing the virtue of urban quality. Therefore, understanding the value of green open space for urban livelihood needs to be improved in order to better manage urban affairs. This study is a community based research intended to analyze total value of urban green open space derived mainly from its functions and design. It assumes that there are four embedded environmental values provided by urban green space function namely biophysical, architectural, social, and economic for both non linear and linear spatial design. This analytical framework is applied to Bogor city considering its peculiarities of green open space existence and architectures. For the analytical tools, this framework implements correlation analysis, principal component analysis, and cluster analysis. The city of Bogor is classified having better amenity qualities regarding to green open space physical characteristics. However, it should be properly managed due to urban development. Architectural function, which highly correlated with social and biophysical values, has higher value and most preferable than the economic ones; and non linear type of design is more preferable than linear ones. Educational level, environment knowledge and gender, generally, affect their valuation on all type of green open space function and design. As the urban community demand grows for the green open space, planners and managers will be particularly in need of conceptual methods sustaining the quality of urban environment as well as welfare of urban dwellers from the point of view of community’ experiences by siting up a type of more preferable green open space at their community surrounding area.
PENILAIAN MASYARAKAT TERHADAP RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN: KASUS KOTAMADYA BOGOR
SITI NURISJAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi Nama NIM
: Penilaian Masyarakat terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan: Kasus Kotamadya Bogor : Siti Nurisjah : 93559
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Soeratmo, MF. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Joyo Winoto, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Siswadi Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 21 Oktober 2000
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas kehendak, bimbingan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Bogor. Walaupun telah diketahui bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk suatu wilayah perkotaan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat mengendalikan keseimbangan alami kota sehingga kelestarian dan keindahan lingkungan serta kenyamanannya dapat terjaga; tetapi keberadaannya selalu terganggu dengan berbagai kepentingan lainnya. Hal ini terutama disebabkan karena terjadinya konversi lahan akibat pembangunan kota juga karena tidak diketahuinya besar penilaian dan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai yang “melekat” dengan RTH tersebut. Untuk itulah penelitian ini dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap suatu kebijakan ruang publik guna mengelola keberadaan dan kelestarian RTH wilayah perkotaan, terutama pada wilayah studi yaitu Kotamadya Bogor yang bertema Kota dalam Taman. Selain itu, hasil penelitian juga bermanfaat sebagai bahan masukan dalam proses kegiatan perencanaan pengelolaan RTH kota lainnya. Terima kasih disampaikan penulis pada Bapak Ketua Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Suratmo, MF yang telah banyak “meluruskan” orientasi ilmu dan pengetahuan tentang sumberdaya alam dan lingkungan penulis, dan juga atas semua bimbingan akademis, nasihat, dorongan dan dukungan, serta kesabaran beliau mulai dari awal, pengembangan berbagai ide, sampai dengan tahap terakhir penyelesaian disertasi ini, juga pada. Bapakbapak dosen pembimbing lain, yaitu Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc., Dr. Ir. Joyo Winoto, MSc., dan Dr. Ir. Siswadi; atas semua saran, arahan serta bimbingan. Secara khusus juga pada Bapak Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion, Bapak Ir. Zain Rachman, Bapak Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasoetion dan Dr. Ir. Irawadi Djamaran atas semua dukungan moral dalam meneruskan dan penyelesaian studi. Terima kasih tidak terhingga juga disampaikan pada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc yang tetap memberikan kesempatan dalam penyelesaian studi ini, serta Bappeda serta Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Kotamadya Bogor atas ijin dan bantuan dalam penggunaan data untuk kepentingan penelitian. Khusus pada Vera, Marisa, Oly dan Naniek serta Astra atas bantuan, perhatian dan dukungan sangat tinggi dalam proses penelitian ini, dan Ir Palguno dan Ir Dodi yang menjadi teman diskusi, pelebar wawasan pikiran, dan membantu dalam proses pengolahan data, serta Ir. Qodarian Pramukanto, Ir. Maritje Wungkar, Dr. Ir. Nurhayati A Mattjik atas persahabatan dan perhatiannya. Terima kasih pada kedua orang tua dan saudara-saudara yang selalu mendoakan yang terbaik untuk seluruh anggota keluarganya. .
Bogor, Oktober 2005 Siti Nurisjah
RIWAYAT HIDUP Peneliti merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah Syahruddin (alm) dan ibu Nurma (alm). Lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 12 September 1948. Peneliti menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota Jakarta, masing-masing di SD Katolik Van Lith, SMP Yayasan Perguruan Tjikini, dan SMA Yayasan Perguruan Tjikini pada tahun 1966. Selanjutnya pendidikan tinggi strata satu (S1) diselesaikan di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor pada tahun 1972; dengan kekhususan bidang Arsitektur Pertamanan. Pendidikan tinggi strata 2 (S2) diselesaikan di Department of Landscape Architecture, University of Wisconsin, Madison, USA pada tahun 1983 dengan kekhususan dalam bidang Landscape Planning and Design. Pendidikan tinggi strata 3 (S3) dijalankan di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dimulai tahun 1993 pada Program Studi Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, dan pada tahun 1995 pindah dan menyelesaikan program S3 pada tahun 2000 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Selain bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, peneliti juga bekerja sebagai staf pengajar tidak tetap dan/atau pengajar tamu dan pembimbing tugas akhir pada beberapa jurusan di lingkungan IPB, Perguruan tinggi negeri dan swasta, dan juga bekerja sebagai perencana dan perancang bidang Arsitektur Lanskap dan lingkungan, antara lain perencanaan lanskap dan ruang terbuka kota dan wilayah, pertamanan kota serta kawasan rekreasi serta wisata. Peneliti juga duduk dalam kepengurusan organisasi profesi Arsitektur Lanskap, yaitu IALI (Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia), IFLA (International Federation of Landscape Architecs), dan AFELA (Asia Federation of Educator Landscape Architecture); dan sebagai anggota Dewan Pakar pada beberapa lembaga pemerintah. Beberapa kali duduk sebagai juri untuk kompetisi perencanaan dan rancangan kawasan, baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Sejak 1987, peneliti membimbing mahasiswa ikut dalam Student Design Competiton dalam bidang Arsitektur Lanskap, baik tingkat nasional maupun internasional. Peneliti juga telah mengikuti dan memberikan makalah dalam berbagai pertemuan ilmiah dan profesi, baik tingkat nasional dan internasional.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xii
1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.3. Kerangka Pemikiran............................................................................ 1.4. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.6. Hasil Baru Penelitian .......................................................................... 1.7. Terminologi .......................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5.
3
12 21 25 28 30
Administratif ...................................................................................... Sumberdaya Alam ............................................................................ Kependudukan .................................................................................. Penggunaan Lahan ........................................................................... Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota ....................................................
32 33 34 35 36
METODE PENELITIAN 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
5
Kota ................................................................................................... Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan ......................................... Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota ........................................... Pembangunan dan Sistem Nilai Masyarakat .................................... Masyarakat Peduli Lingkungan .........................................................
KEADAAN UMUM KOTAMADYA BOGOR 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
4
1 4 4 7 8 8 9
Lokasi dan Waktu ............................................................................. Batasan dan Asumsi Penelitian ........................................................ Obyek Penelitian ............................................................................... Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penilaian Masyarakat Terhadap RTH Kota .................................................... Data Penelitian .................................................................................. Metode Pengambilan Contoh ........................................................... Teknik Analisis Data ......................................................................... Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan dan Pengelolaan RTH Kota ...............................................................
42 42 43 43 47 48 49 50
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota ................................ 52 5.2. Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota ................. 72
ix 5.3. Penilaian Masyarakat terhadap RTH Kota ........................................ 83 5.4. Alternatif Kebijakan Publik dalam Pembangunan dan Pengelolaan 82 RTH Kota Berdasarkan Penilaian Masyarakatnya ............................. 110 6
KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MERENCANA DAN MENGELOLA PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN RTH KOTA 6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
Dasar Formulasi Kebijakan Publik...................................................... Kondisi Faktual Kota .......................................................................... Konsepsi Model Integratif Pengembangan RTH Kota........................ Konsepsi Model Pembangunan RTH Kota berdasarkan Preferensi Masyarakat ........................................................................................ 6.5. Konsepsi Model Kebijakan Publik untuk Rencana Pengelolaan RTH Kota yang Berbasis Masyarakat ........................................................ 7
124 126 127 134 135
KESIMPULAN DAN SARAN . 7.1. Kesimpulan ........................................................................................ 139 7.2. Saran.................................................................................................. 142
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 145 LAMPIRAN ..................................................................................................... 154
ix
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah dan kepadatan penduduk kota ...................................................
34
2 Ragam sosial ekonomi penduduk kota, 1996 ..........................................
34
3
Proyeksi penggunaan lahan di Kotamadya Bogor, 2005 .......................
35
4
Sejarah perkembangan kota dan RTH kota ..........................................
39
5
Bentuk data utama penelitian .................................................................
48
6
Lokasi pengamatan dan besar ukuran contoh responden ...................
49
7
Korelasi antara pengalaman dan persepsi responden terhadap RTH kota ................................................................................................. 75
8
Pola umum pemanfaatan RTH kota ......................................................
78
9
Korelasi antar peubah fungsi pada tiap bentuk RTH kota ....................
83
10
Korelasi antar peubah bentuk RTH kota ................................................
89
11
Nilai koefisien peubah dua komponen utama fungsi RTH kota ............
92
12
Korelasi antar peubah fungsi dan bentuk RTH kota dengan faktor demografis utama responden..................................................................
96
13
Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH kawasan ...........
104
14
Profil demografi tiap gerombol pada RTH kawasan .............................
105
15
Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH simpul................... 106
16
Profil demografi tiap gerombol responden untuk RTH simpul ...........
106
17
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau jalan raya.
107
18
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau jalan raya .......................................................................................................
108
19
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau lintas kereta
109
20
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau lintas kereta ........................................................................................... 110
21
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi x
xi sungai....
111
22
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi sungai ...................................................................................................... 112
23
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi kota......... 113
24
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi kota ..... 113
25
Jumlah gerombol responden penilai bentuk RTH kota............................ 115
xi
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka dan alur pikir penelitian ..............................................................
6
2 Tiga model diagramatik tata ruang kota ..................................................... 17 3 Oportunitas tata ruang kota ........................................................................ 18 4 Ukuran dan bentuk ruang ekologis ............................................................. 19 5 Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota ........................................ 22 6 Skema RTH menurut Bernatzky (1978) .................................................... 24 7 Peta wilayah administratif kota penelitian ...............................................
32
8 Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya Bogor, 1995 ............................... 36 9 Diagram pengembangan pola konsentris RTH Kotamadya Bogor ............. 38 10 Diagram dan pola perubahan tata ruang kota, Kota Bogor
38
11 Sebaran spatial enam bentuk utama kota Bogor ...................................... 44 12 Contoh enam bentuk utama RTH kota Bogor ........................................... 45 13 Contoh bentuk fungsional RTH kota ......................................................... 46 14 Salah satu bentuk RTH pada tebing dan sungai ...................................... 53 15 Jenis RTH kota penciri suasana Tropisch Indies yang perlu dilestarikan guna mendukung kualitas lingkungan dan kesejarahan kota ................... 53 16 Contoh model penutupan lahan tepi sungai di kota penelitian ................. 58 17 Contoh perubahan fungsi RTH dalam kota penelitian .............................. 64 18 Fungsi RTH untuk kenyamanan penduduk kota ....................................... 66 19 Ketersediaan public parks per penduduk pada beberapa kota Sumber: Tim IPB (1993) dan Morooka (1993) .......................................... 66 20 Beberapa jenis pohon besar yang masih tumbuh dengan baik ................ 70 21 Profil responden penelitian (n=205) ........................................................
72
22 Frekuensi pengalaman responden terhadap RTH kota ............................ 74 xii
xiii 23 Frekuensi tingkat pengalaman responden terhadap RTH kota ................ 74
24 Frekuensi tingkat persepsi masyarakat terhadap RTH ............................ 75 25 Frekuensi preferensi masyarakat terhadap RTH ..................................... 77 26 Contoh preferensi bentuk RTH yang diinginkan masyarakat kota ............ 79 27 Contoh pemanfaatan RTH sebagai lahan usaha ...................................... 85 28 Alternatif untuk pengembangan fungsi ekonomi jasa RTH ....................... 89 29 Contoh bentuk fungsional RTH ................................................................. 90 30 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH kawasan.................... 104 31 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH simpul........................ 105 32 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau jalan raya 107 33 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau lintas kereta....................................................................................................... 109 34 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau tepi sungai 111 35 Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau tepi kota.... 112 36 Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH.................................................................................................... 121 37 Formulasi dan elemen pengelolaan RTH di wilayah perkotaan................ 124 38 Contoh RTH sebagai elemen pembentuk lingkungan kota yang (a) nyaman, (b) aman, (c) indah, dan (d) berbudaya................................. 125 39 Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi biofisik........ 131 40 Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi arsitektur..... 131 41 Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi sosial.......... 132 42 Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi ekonomi...... 132 43 Model perencanaan integratif RTH kota.................................................... 133 44 Konsepsi model perencanaan RTH kota berbasis preferensi masyarakat 137 45 Konsepsi model pengelolaan RTH kota berbasis masyarakat................. 138 xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Struktur Administrasi Kota .......................................................................
155
2 Kuisioner Penelitian .................................................................................
156
3 Data RTH Kotamadya Bogor....................................................................
157
4 Nilai Eigen ................................................................................................ 159 5 Dendrogram tiap bentuk RTH kota ........................................................... 160 6 Jarak Antar Gerombol pada Tiap Bentuk RTH Kota ................................ 162 7 Median Nilai RTH Kota Berdasarkan Rincian Faktor Demografis Utama Responden pada Tiap Bentuk RTH (n=205)............................................. 164 8 Korelasi antara nilai RTH berdasarkan Tipe, Persepsi dan Pengalaman Lingkungan Responden ........................................................................... 167
xiv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan pusat kegiatan hidup manusia yang relatif dinamis dalam aspek ekonomi, sosial budaya, pelayanan, serta pengembangan. Pertambahan kota-kota baru dan perkembangan kota-kota lama secara fisik sudah sulit untuk dapat dibendung mengingat kepentingannya; dan perkembangan ini juga sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan peradaban manusia. Perubahan orientasi pembangunan suatu negara dari sektor pertanian menuju ke sektor perindustrian merupakan pemacu utama dari perkembangan dan pembangunan dari kota-kota tersebut (Inoguchi, Newman, dan Paoletto 1999). Kota-kota di Indonesia, seperti juga kota-kota di negara berkembang lainnya, telah membangun serta melengkapi berbagai fasilitas ekonomi dan sosial untuk mendukung berbagai kegiatan perkotaan yang ingin cepat dan efisien. Hal ini terutama untuk mendukung kenyamanan, kreativitas dan idealisme penduduknya (Anwar 1994, Inoguchi et al. 1999). Dorongan untuk dibangunnya berbagai fasilitas pendukung perkotaan terutama karena terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi di wilayah kota yang selanjutnya ditambah dengan adanya migrasi penduduk dari wilayah perdesaan karena terjadinya aglomerasi ekonomi yang memberikan stimulan akan pendapatan dan amenities yang cenderung lebih tinggi di perkotaan (Anwar 1994). Secara fisik, pembangunan dan pengembangan kota-kota baru ini bersifat horizontal yang umumnya memanfaatkan lahan-lahan yang alami (seperti hutan, padang rumput) dan lahan-lahan terbuka lainnya (seperti lapangan olah raga, persawahan, rawa, dan situ). Bila diketahui bahwa lahan perkotaan umumnya konstan dan terbatas, maka perubahan tata guna lahan ini telah menyebabkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan dalam wilayah kota yang selanjutnya akan/dapat menurunkan kualitasnya (Inoguchi et al.1999; Moran, Morgan, dan Wiersma 1980; Schmid 1979). Terjadinya perubahan pada konfigurasi alami lahan kota yang menyebabkan menurunnya scenic amenity dan terganggunya alur hidroorologis, berkurangnya kenyamanan akibat peningkatan suhu kota dan pencemaran lingkungan, serta berkurangnya elemen tanaman (sebagai sumber oksigen alami, biofilter, dan elemen estetik kota; banjir, erosi tanah, dan intrusi air laut) merupakan contoh telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan kota. Juga, penambahan prasarana dan sarana di dalam kota guna
2 . meningkatkan kenyamanan dan efisiensi masyarakatnya, seperti alat transportasi dan berbagai produk industri, juga telah menambah beban kedalam lingkungan seperti bertambahnya bahan pencemar udara. Berbagai dampak negatif dari perubahan penggunaan dan konfigurasi lahan, serta penambahan sarana kota yang tidak memperhatikan kondisi dan daya dukung lingkungan, telah menimbulkan biaya-biaya privat dan sosial yang tinggi (Anwar 1994; Inoguchi et al. 1999). Salah satu upaya yang berdampak positif untuk mengurangi sisi negatif dari berbagai pembangunan dan pengembangan fisik kawasan perkotaan ini dilakukan melalui perencanaan lingkungan (Arnold 1980; Grey dan Deneke 1978; Simonds 1995), melalui pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH).
RTH kota,
menurut Inmendagri No. 14 Tahun 1988, adalah bagian dari lahan terbuka dalam wilayah kota yang didominasi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan, serta memiliki manfaat lingkungan yang tinggi. Walaupun telah diketahui manfaat positif dari RTH di suatu wilayah perkotaan tetapi keberadaan dan kelestarian RTH ini senantiasa dihadapkan pada kepentingan pengembangan ekonomi perkotaan. Alih bentuk dan alih fungsi RTH menjadi man made landscape (seperti kawasan permukiman dan pertokoan, jalur transportasi) merupakan contoh yang sering terjadi pada banyak kota. Menurut More et al. (1988) terabaikannya RTH di perkotaan terutama disebabkan oleh ketidak mampuan perencana dalam mengartikulasikan nilai yang terkandung pada RTH yang umumnya tidak mempunyai nilai pasar bila dibandingkan dengan dengan nilai penggunaan lahannya untuk suatu kegiatan ekonomi yang sangat jelas dan langsung dapat dinikmati nilai pasarnya. Oleh karena itu, RTH dan taman-taman kota, umumnya, hanya dipandang sebagai sarana pelengkap keindahan pembangunan atau perkotaan. Selain pertimbangan ekonomi, diketahui juga bahwa persepsi, keinginan, dan penilaian serta apresiasi masyarakat kota terhadap sarana publik, dalam kasus ini adalah RTH, akan mempengaruhi keberadaan dan kelestarian RTH kota (Atmanto 1995; Grey dan Deneke 1978; Nasution 1995, Schmid 1979). Menurut Aoshima (1999), government failures juga diketahui sebagai salah satu penyebab permasalahan lingkungan di perkotaan, termasuk dengan RTH ini. Manfaat RTH, yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kotanya, merupakan suatu keharusan karena, secara langsung dan tidak langsung, pembangunan dan keberadaan RTH kota akan mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraannya. Karena itu, maka setiap anggota atau suatu kelompok masya-
3 . rakat perlu untuk ikut berpartisipasi dalam proses dan penentuan arah serta prioritas pembangunan RTH yang dilakukan dalam wilayahnya; dimana, menurut Fear (1990), partisipasi ini diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh mereka. Pemerintah kota merupakan pengelola ketersediaan RTH dalam wilayah nya sesuai dengan keinginan masyarakat kota tersebut serta juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota. Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian di Kotamadya Bogor dimana kota ini memiliki kekhasan arsitektur alami dari keberadaan RTHnya. Disamping itu Bogor juga memiliki posisi yang strategis dan mudah dijangkau dari kota-kota besar disekitarnya dan dikenal sebagai Dormitory town (kota permukiman) telah menarik minat banyak orang untuk berkunjung dan bertempat tinggal disini. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi masyarakat terjadi juga proses konversi lahan RTH ke penggunaan lain. Bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan baik, selanjutnya, dapat menurunkan kualitas lingkungan kota Bogor termasuk citranya sebagai “Kota dalam Taman”, selanjutnya juga akan berdampak terhadap penurunan kesejahteraan warga dan kotanya antara lain karena berkurangnya kenyamanan (antara lain tingginya suhu, udara yang tercemar, kebisingan), menimbulkan longsor dan erosi pada tebing-tebing sungai, banjir akibat hilangnya vegetasi di jalur riparian, hilangnya nilai keindahan lanskap atau bentang alam dari suatu bagian kota. Dengan semakin menurunnya jumlah dan kualitas RTH karena tuntutan pembangunan sosial dan ekonomi pada areal kota Bogor yang terbatas ini, menghendaki dilakukannya suatu penelitian yang dapat mengelola sarana kota yang bernilai lingkungan tinggi ini. Salah satu bentuk penelitian pendukung kelestarian RTH kota ini yaitu penelitian yang mengakomodasikan keinginan masyarakat dalam penentuan RTH sebagai salah satu bentuk sarana kota yang terbaik bagi kehidupannya dan wilayah kotanya. Penelitian ini merupakan satu kegiatan penelitian yang dilakukan untuk menganalisis dan mengetahui nilai lingkungan RTH kota ditinjau dari sudut pandang masyarakat penggunanya (berbasis masyarakat), dengan menggunakan peubah-peubah yang umum dilakukan oleh perencana dalam merencanakan penataan ruang-ruang terbuka kota (urban open spaces). Analisis nilai RTH di perkotaan ini menjadi keharusan dan prasyarat pengelolaan RTH untuk menjamin keberlanjutan sistem perkotaan. Dengan diketahuinya besar manfaat RTH
4 . ini bagi masyarakat kota, maka keputusan-keputusan publik untuk menentukan bentuk-bentuk pengelolaan lingkungan alami kota serta pembangunan wilayah perkotaan yang berkelanjutan lebih mudah untuk diartikulasikan. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap keberadaan dan manfaat lingkungan yang diberikan RTH yang berada dalam kotanya guna mendukung kenyamanan, keindahan serta kesejahteraannya; dan selanjutnya dapat mendukung kelestariannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (a) Menganalisis dan mengklasifikasikan ragam bentuk fisik dan fungsi RTH kota, (b) Menganalisis pola penggunaan, persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTH kota, (c) Menganalisis penilaian masyarakat terhadap keberadaan dan bentuk RTH kota berdasarkan manfaat dari 4 (empat) fungsi lingkungan utama yaitu fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, sosial dan ekonomi. (d) Mengembangkan alternatif kebijakan publik untuk mengelola ketersediaan kelestarian RTH untuk mendukung terwujudnya sistem pembangunan kota yang berkelanjutan. 1.3. Kerangka Pemikiran Kota merupakan suatu lingkungan kehidupan manusia yang seharusnya dapat menjamin kreativitas dan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuninya. Karena itu maka wilayah kota harus merupakan suatu ruang kehidupan yang habitable dan comfortable bagi masyarakat penghuninya, seperti dinyatakan oleh Mega (1999) bahwa dalam program pembangunan suatu kota di abad 21 maka urban regeneration is not about places but about people. Untuk mendapatkan wilayah perkotaan seperti yang diinginkan, selain prasyarat secara fisik bagi ruang-ruang kota yang terstruktur dan tertata baik, maka keinginan warga kota terhadap ruang kota harus juga dipenuhi termasuk ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH)nya. RTH, selain berfungsi untuk mengendalikan dan memperbaiki kualitas lingkungan, terutama untuk mengendalikan dampak negatif dari proses pembangunan dan perkembangan kota, juga berdampak sosial rekreatif dan ekonomi bagi kota dan masyarakatnya. Secara
5 . keseluruhan, keberadaan RTH dalam suatu kota dapat memberikan tingkat kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi warga kotanya. Gambar 1 memperlihatkan kerangka dan alur pikir yang dikembangkan pada penelitian ini. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian dari lahan terbuka bervegetasi atau lahan-lahan alami satu wilayah perkotaan yang dapat mengendalikan dampak negatif dari pembangunan dan perkembangan fisik kota melalui fungsi-fungsinya. Fungsi biofisik merupakan fungsi lingkungan utama, dikenal sebagai pembentuk environmental architecture, yaitu suatu bentukan fisik yang terjadi secara alami. Fungsi tambahan merupakan fungsi yang diberikan oleh manusia yang ingin meningkatkan daya-guna RTH ini (human architecture) dalam suatu wilayah perkotaan (Lyle 1980), meliputi fungsi ekonomi, fungsi arsitektural, fungsi sosial. Empat fungsi yang dimiliki oleh RTH kota ini secara bersama membentuk fungsi lingkungan yang bermanfaat dalam mengendalikan serta meningkatkan kualitas lingkungan wilayah perkotaan. Dalam kaitan RTH sebagai elemen pembentuk ruang-ruang arsitektural alami dalam kota, maka fungsi lingkungan ini juga akan dikaitkan dengan berbagai bentuk fungsionalnya yang umum terdapat didalam suatu kota (mengelompok, jalur). Masyarakat yang hidup di wilayah perkotaan, yang memiliki keragaman karakteristik sosial ekonomi dan sosial budaya, merupakan pengguna RTH, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan sebagai konsekuensinya maka RTH, melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, haruslah memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Besarnya nilai manfaat lingkungan yang akan didapatkan masyarakat kota, tidak hanya menjamin kenyamanan, kesehatan, dan kesejahteraannya, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid 1979). Khusus untuk Kotamadya Bogor yang memiliki lanskap kota yang nyaman, indah dan rekreatif, tetapi kota ini juga rawan akan bahaya lingkungan (erosi, longsor, dan pencemaran). Untuk mengendalikannya maka kelestarian RTH dalam wilayah kota Bogor yang terbatas ini akan menjadi hal yang penting. Arahan pembangunan kota menjadi dormitory town menyebabkan perlu dilakukan penelitian untuk menilai RTH ini sehingga keberadaannya di dalam kota dapat dipertahankan/dilestarikan dan didayagunakan dengan produk kualitas yang tinggi. Keragaman dari bentuk dan fungsi RTH, serta meningkatnya intensitas pembangunan kota menjadikan kota Bogor sebagai satu kota kasus untuk diteliti. Hasil yang akan didapatkan, diharapkan juga dapat memberikan panduan untuk berbagai penelitian RTH pada kota-kota lain.
6 WILAYAH PERKOTAAN
MASUKAN
LAHAN KOTA STRUKTUR
MASYARAKAT
LAHAN TERBUKA
TANPA VEGETASI
DEMOGRAFIS
PENGALAMAN PERSEPSI PREFERENSI
BERVEGETASI (RTH)
FUNGSI RTH UTAMA Environmental architecture FUNGSI BIOFISIK
TAMBAHAN Human architecture FUNGSI EKONOMI
FUNGSI ARSITEKTURAL
PENDEKATAN KEINGINAN MASYARAKAT
FUNGSI SOSIAL
PENDEKATAN PENATAAN RUANG KOTA BENTUK RTH (MENGELOMPOK, JALUR)
KELUARAN
TUJUAN
SASARAN
NILAI LINGKUNGAN RTH KOTA
KEBIJAKAN PUBLIK PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN RTH KOTA
SISTEM PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN KETERANGAN : Bagian yang diteliti Alur penelitian
6
Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian
7 Penilaian terhadap RTH kota ini akan dihubungkan dengan 4 (empat) fungsi yang dimiliki oleh sumberdaya ini dan jasa lingkungan yang dihasilkannya. Keempat fungsi ini, juga, merupakan fungsi yang dianjurkan untuk dikembangkan oleh para perencana dan perancang dalam melakukan penataan ruang-ruang terbuka kota dan ruang terbuka hijau kota. Empat fungsi RTH kota ini terdiri dari fungsi-fungsi untuk pelestarian dan kemantapan fisik dan ekologis kawasan (dinyatakan sebagai fungsi biofisik); kesejahteraan ekonomi warga kota (dinyatakan sebagai fungsi ekonomi); keindahan, keteraturan, dan kenyamanan ruangruang kota (dinyatakan sebagai fungsi arsitektural); serta kepuasan rekreatif dan sosial, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat (dinyatakan sebagai fungsi sosial). 1.4. Perumusan Masalah Wilayah perkotaan, yang merupakan satu bentuk wilayah binaan untuk kehidupan manusia, seharusnya dapat menjamin idealisme, kreativitas dan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuninya. Guna mendapatkan bentuk wilayah seperti yang diinginkan, selain faktor fisik atau bentang alam kota, maka faktor manusia atau masyarakat yang mendiaminya harus merupakan salah satu faktor yang juga menentukan ketersediaan fasilitas atau sarana kota. kota, termasuk sarana kota berbentuk ruang terbuka hijau (RTH) kota. RTH, selain berfungsi untuk mengendalikan dampak negatif dari proses pembangunan dan perkembangan kota, juga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan. Dalam menentukan ketersediaan dan kelestarian RTH sehingga semua fungsi dan manfaat yang dihasilkannya dapat berdampak positif bagi kehidupan wilayah perkotaan dan bagi penurunan biaya-biaya kota, maka partisipasi dan kepedulian masyarakat kota terhadap sarana kota ini harus cukup tinggi Partisipasi masyarakat terhadap pembangunan RTH akan tinggi bila mereka merasakan fungsi dan manfaat keberadaan RTH tersebut di lingkungan kehidupannya, Semakin tinggi tingkat kebutuhan mereka terhadap fungsi dan manfaat RTH maka akan semakin tinggi penghargaan atau penilaian mereka terhadap ketersediaan RTH ini. Walaupun hubungan manusia (users) dan bentang alam perkotaan sudah banyak diteliti tetapi spesifik terhadap kebutuhan dan penilaian masyarakat suatu perkotaan terhadap bentukan RTH kota yang dapat mengendalikan kerusakan
8 kota, secara fisik, visual (estetik), dan sosial belum pernah dilakukan terutama pada kota-kota di Indonesia yang beralam tropis dan umumnya rapuh (fragile) secara lingkungan. Sehingga diperlukan pemahaman terhadap struktur hubungan antara pengguna atau masyarakat kota dengan RTH sebagai sarana wilayahnya.yang utama. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat dalam upaya (a) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan dan RTH kota, karena partisipasi diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik olehnya. (b) Meningkatkan ketersediaan dan kelestarian RTH kota karena ketersediaannya sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota itu sendiri yang secara langsung/tak langsung akan mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan serta kreativitasnya, dan juga keindahan dan kealamian kota (c) Meningkatkan intensitas pembangunan dan regenerasi wilayah perkotaan terutama dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungannya wilayah melalui keikut sertaan masyarakatnya (d) Mengurangi biaya-biaya privat dan sosial yang harus dikeluarkan oleh kota dan masyarakat yang disebabkan oleh semakin memburuknya kualitas lingkungan kota yang berdampak terhadap ketidak nyamanan dan tidak sehatnya kota. (e) Mengembangkan alternatif kebijakan publik yang terkait dengan program pelestarian RTH kota, terutama untuk mendapatkan panduan suatu bentuk pembangunan berkelanjutan wilayah perkotaan, melalui konsep masyarakat peduli lingkungan (eco-society concept). 1.6. Hasil Baru Penelitian Penelitian ini akan dapat (a) Menjelaskan arah, bentuk, dan model penilaian masyarakat, berdasarkan keinginan dan harapan ragam masyarakat terhadap ragam RTH kota (b) Menjelaskan bentuk dan fungsi RTH yang diinginkan oleh masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam menilai RTH, yang merupakan salah satu bentuk sarana kota utama dalam perbaikan kualitas lingkungan kota dan yang selanjutnya bermanfaat dalam mening-
9 katkan kesehatan dan kenyamanan kota dan masyarakatnya serta bermanfaat dalam menurunkan biaya-biaya privat dan sosial yang harus dikeluarkan oleh mereka. 1.7. Terminologi Untuk kepentingan penelitian, istilah-istilah dijelaskan sebagai berikut: Ruang ♣ Wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (UU No.24 tahun 1992). Wilayah ♣ Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional (UU No.24 Tahun 1992). Wilayah perkotaan ♣ Suatu pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan (Inmendagri No.14 Tahun 1988), yang juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat dari kebudayaan dimana materimateri peradaban berkembang (Potter 1965). ♣ Suatu bentukan transformasi dari wild nature, berdasarkan proses alam dan kultural, guna melayani kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993). Kota bukan hanya suatu artifak teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup dalamnya berfikir, bekerja, bermimpi dan mempunyai perasaan. Dalam merancang kota harus didasari oleh proses yang normal dari alam dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi, perasaan, dan makna kota. Lahan atau Ruang Terbangun ♣ Bagian lahan kota yang ditutupi atau tertutup oleh bangunan atau struktur tertutup lainnya yang bersifat permanen (lahan pertokoan dan perumahan). Lahan atau Ruang Terbuka ♣ Bagian dari lahan kota, baik yang alami maupun binaan (man made), yang tidak tertutup oleh bangunan atau struktur beratap permanen seperti sungai, jalur lalu lintas, lapangan parkir.
10 Lahan bervegetasi atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota ♣ Bagian dari lahan terbuka kota yang ditumbuhi oleh tanaman atau tumbuhan, secara alami atau budidaya, untuk berbagai kepentingan lingkungan perkotaan, seperti hutan kota, jalur hijau, pekarangan, lahan pertanian. Lingkungan ♣ Suatu ruang yang mengandung makhluk hidup (biotis) dan benda mati (abiotis) serta tatanan (sistem) interaksinya secara menyeluruh (holistik)1). Tatanan yang terbentuk oleh interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dalam ruang ini disebut ekosistem. Nilai dan manfaat lingkungan RTH wilayah perkotaan ♣ Fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh suatu bentuk RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk perbaikan keadaan lingkungan kehidupan perkotaan, karena keberadaan tanaman secara fisik dan/ataupun jasa lingkungan yang dihasilkannya. Fungsi ekonomi RTH wilayah perkotaan ♣ Fungsi dan manfaat RTH yang secara langsung dapat diperhitungkan dengan nilai ekonomi pasar (Rp.) seperti nilai jual dari tanaman atau bagianbagian tanaman (kayu, bunga, dan daun), dan juga yang dapat digunakan untuk tempat berusaha bagi warga kota. Fungsi biofisik RTH wilayah perkotaan ♣ Fungsi dan manfaat RTH yang mencakup fungsi ekologis dan perlindungan fisik terutama karena adanya hubungan timbal-balik antara RTH dan/atau keberadaan RTH dengan lingkungan sekitarnya (Contoh: habitat burung, konservasi air dan tanah; untuk pengendalian pencemaran). Fungsi arsitektural RTH wilayah perkotaan ♣ Fungsi dan manfaat arsitektural yang dihasilkan RTH, terutama yang terkait dengan pengertian habitability, comfortability dan estetika, terhadap warga dan estetika lingkungan kota. Contohnya adalah bentuk atau struktur RTH yang efisien, mudah dikenal, identitas kawasan), indah; serta kenyamanan . Fungsi sosial RTH wilayah perkotaan ♣ Fungsi dan manfaat RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan. Contohnya adalah RTH sebagai suatu tempat peningkatan pengetahuan dan kesehatan, bersosial-isasi, dan berekreasi, dan bertemunya anggota dari suatu komuniti. 1
Bahan kuliah: Pengelolaan SDA dan Lingkungan (Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Soeratmo, MF)
11 Bentuk RTH mengelompok ♣ Bentuk spasial utama RTH yang secara fisik berbentuk non-linear, kompak, zonal atau areal, yang dibagi dengan: (a) Kawasan yaitu bentuk yang relatif luas (> 1 ha), seperti lapangan bola, alun-alun kota, kebun raya, (b) Simpul yaitu bentuk mengelompok yang relatif sempit (< 1 ha), seperti taman-taman kota, traffic islands, dan pocket park Bentuk RTH jalur ♣ Bentuk spasial utama RTH yaitu berbentuk koridor, linear, memanjang. Bentuk RTH jalur ini dibagi menjadi empat berdasarkan peruntukan dan fungsi dari tiap peruntukkannya dalam kota, yaitu (a) Jalur hijau jalan raya, (b) Jalur hijau lintas kereta, (c) Jalur hijau tepi sungai, (d) jalur hijau tepi kota Pengguna RTH kota ♣ Setiap penduduk atau warga masyarakat dengan beragam status sosial ekonomi yang bertempat tinggal di suatu kota, yang menggunakan dan/atau merasakan manfaat keberadaan RTH secara langsung dan tidak langsung. RTH milik publik
€RTH yang dimiliki dan dikelola oleh dan untuk kepentingan publik dan peningkatan kualitas lingkungan kota RTH milik privat
€RTH yang bukan dimiliki dan tidak dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor . Kota berwawasan lingkungan ♣ Kota yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah perkotaannya. Kota berkelanjutan ♣ Suatu sistem perkotaan yang memperhatikan kelestariannya, melalui pertimbangan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi wilayah perkotaan. Masyarakat peduli lingkungan (Eco society) masyarakat yang peduli terhadap berbagai anugerah alam; satu bentuk masyarakat yang menahan nafsunya terhadap konsumsi yang berlebihan dan berusaha menggunakan sumberdaya seefisien mungkin, serta meminimumkan beban lingkungan. Sasaran adalah kehidupan dan kegiatan manusia yang seirama dengan kondisi lingkungan dan juga memprioritaskan kepedulian terhadap lingkungan dalam suatu pemerintahan kota (Aoshima dalam Inoguchi et al. 1999).
12
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota 2.1.1. Pengertian Kota, dalam Inmendagri No.14 tahun 1988, didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan. Perkotaan dinyatakan sebagai suatu kumpulan pusat-pusat permukiman yang berperan didalam suatu wilayah pengembangan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, suatu bentuk ciri atau watak kehidupan kota. Kota, secara fisik, merupakan pemukiman terpusat dengan rumah-rumah mengelompok yang penduduknya bukan bermata pencaharian dalam bidang pertanian, dilengkapi adanya prasarana perkotaan seperti rumah sakit, sekolah, pasar, taman, dan sebagainya (Jayadinata 1986). Hal yang khas dari suatu kota yaitu mandiri yang berarti penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal disana tetapi mencari nafkah dan berekreasi juga dilakukan di dalam kota. Menurut Catanese (1992), kota merupakan salah satu model lingkungan yang bersifat ekologis dengan pengertian bahwa kota mencerminkan suatu adaptasi yang sangat rumit yaitu upaya organismanya untuk beradaptasi terhadap suatu bentuk lingkungan. Sepuluh kriteria untuk merumuskan sebuah kota (Catanese 1992), yaitu: (1) berukuran dan berpenduduk besar di masa dan tempat itu, (2) bersifat permanen, (3) memiliki kepadatan yang tinggi, (4) memiliki struktur dan pola dasar seperti jalan dan ruang kota, (5) merupakan suatu tempat masyarakat tinggal dan bekerja, (6) memiliki sejumlah fungsi kota, (7) adanya heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat, (8) merupakan pusat ekonomi pada waktu dan tempat itu yang mengakomodasi daerah pertanian di pinggiran kota dan melakukan pengolahannya untuk pemasaran yang lebih luas, (9) merupakan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, dan (10) merupakan pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada waktu dan tempat itu. Kota, menurut Simonds (1983) adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya.
Karena itu, faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan,
politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi perubahan lanskap
13 perkotaan juga berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota. Areal pada suatu kota, dinyatakannya, sebagai sesuatu yang sangat utama karena nilainya dan karena itu tiap rencana yang dibuat haruslah efisien secara ekonomi maupun visual. Kota, menurut Potter (1965) juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat kebudayaan dimana materi-materi suatu peradaban berkembang. Kota sebetulnya suatu bentukan transformasi, berdasarkan proses alam dan budaya, yaitu dari bentukan wild nature dan yang diubah untuk melayani kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993). Kota bukan hanya suatu artifak teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup didalamnya berfikir, bekerja, bermimpi dan mempunyai perasaan. Karena itu, perancangan kota harus didasari oleh proses alam yang normal dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi, perasaan, dan makna kota itu. 2.1.2. Sejarah Perkembangan Kota Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang panjang dan kompleks.
Semua kota, umumnya, dibangun dengan suatu bentuk
perencanaan berdasarkan kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek keragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak dan rancang bangunnya (Tim IPB 1993). Berdasarkan sejarah perkembangan peradaban, tata permukiman dan kota yang sangat sederhana di mulai dari kehidupan komunal dalam gua atau diatas pohon yang dilanjutkan dengan pola pemukiman komunal yang menetap dengan model ladang berpindah atau permukiman yang bersifat nomadik (Rapoport 1969). Sekitar 4 000 tahun yang lalu, manusia diperkirakan telah menerapkan sistem bercocok tanam dengan irigasi alami, yang dinyatakan sebagai permulaan dari pembentukan permukiman yang tetap. Dalam kurun waktu ini, persyaratan terjadinya suatu revolusi sistem perkotaan akhirnya dipenuhi yang ditandai dengan terjadinya surplus persediaan pangan, ditemukannya kenderaan sederhana serta cara mengolah logam untuk pembuatan peralatan yang dibutuhkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat (Anwar 1994; Rapoport 1969). Menurut Jayadinata (1986), kota-kota pertama mulai berkembang di areal-areal yang subur di Afrika dan Asia Barat Daya yaitu Aphroditopolis dan Hierakonpolis di lembah Nil, Mohenjodaro di lembah Indus, Susa dan Uhr di lembah Euphrat.
14 Kota pada dasarnya berfungsi untuk memberikan pelayanan berbagai jasa, yaitu sebagai lokasi untuk menempatkan fasilitas pergudangan, aktivitas perdagangan, industri dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini yaitu pentingnya lokasi untuk pertumbuhan suatu kota. Menurut Potter (1965), pada awalnya pangan, air, transportasi, serta proteksi merupakan penentu dari lokasi suatu kota. Sepanjang sejarahnya dijumpai juga kota-kota yang bertumbuh disekitar pusat pasar (downtown), yang terpusat karena faktor dan sarana religi, morfologi dan amenity (Anwar 1994 dan Jayadinata 1986). Kecenderungan munculnya beberapa negara, yang dimulai pada tahun 1400, telah mendorong terjadinya pembukaan kota yang menjadi pusat pemerintahan. Pembangunan ibukota negara dilakukan dengan dirancang dan dilengkapi dengan berbagai prasarana kota yang diperlukan dalam rangka memperluas tugas dan kewajiban pemerintah serta menjaga wibawa aparatnya. Adanya spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dimilikinya, terutama aspek ekonomi, telah mengubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota.
Kota-kota ini
selanjutnya dirancang dan dibangun dalam upaya mencapai tujuan tertentu seperti untuk kepentingan industri (Bekasi), wisata (Ubud), perdagangan (New York), pengembangan iptek (Tsukuba), pendidikan (Yogyakarta) dan lainnya. Spesialisasi pembangunan kota-kota modern saat ini, dilakukan terutama untuk mencapai efisiensi perkotaan yang tinggi, identitas kota, serta city image (Lynch 1995, Tim IPB 1993). Gerakan memasukkan unsur-unsur alami yang relatif lebih banyak dan fungsional serta yang berorientasi kepentingan seluruh warga kota dalam suatu kawasan kota awalnya dimulai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas keindahan dan kenyamanan kota, namun saat ini juga untuk meningkatkan kapasitas lingkungan.
Menggunakan teknik irigasi untuk menghijaukan bagian
dari kawasan kota (The Hanging Garden of Babylon) di kawasan padang pasir yang terik merupakan awal perkembangannya, yang dilanjutkan dengan munculnya konsep utopia tentang pembentukan kota yang ideal menurut Thomas More pada tahun 1516. Konsep kota ideal ini timbul karena terjadinya pertambahan fasilitas fisik bagi para warga kota baru yang bermigrasi karena terjadinya perubahan pola ekonomi yang awalnya berbasiskan sektor pertanian ke ekonomi industri yang telah berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan (Potter 1965).
15 Kota-kota pertama yang dibangun untuk mengatasi degradasi lingkungan ini yaitu di Inggris. Negara ini, menurut Jayadinata (1986) dan Crowe (1981), merupakan negara yang penduduknya menyukai kehidupan yang dekat dengan suasana pedesaan sehingga perbaikan lingkungan berjalan dengan baik. Ada tiga tahap perkembangan rencana perbaikan lingkungan kota-kota Inggris yaitu tahap pertama adalah melalui terbentuknya garden village, tahap kedua dengan garden city (seperti Lechworth yaitu Kota Taman yang direncana oleh Ebenezer Howard), dan tahap ketiga dengan kota berciri pedesaan (Jayadinata 1986). Selanjutnya kota-kota berkonsep sama juga dibangun di Amerika Serikat (Greendale, Radburn), di Australia (Canberra), Singapore dan di Indonesia (Bogor). City beautiful movement merupakan suatu gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1893, yang merupakan cikal bakal dari perbaikan komunitas dan rencana kota. Perbaikan kota-kota tersebut juga didukung oleh para desainer taman/lanskap seperti F.L.Olmsted dan para pengikutnya, dengan mengintroduksikan taman-taman umum di tiap kota (public city parks). Pada awal abad 19, sumbangan Amerika Serikat terhadap peningkatan kualitas lingkungan kota yaitu dengan memperkenalkan city park system, yang mengakomodasikan fungsifungsi kota dalam satu rangkaian pertamanan kotanya. Sistem ini telah dipakai di banyak kota, antara lain Singapore dan juga kota-kota di Eropa. Pada dekade terakhir, pemasukan unsur-unsur alami kedalam kota, sebagai bagian dari unsur pembentuk kota telah merupakan suatu gerakan yang didukung pemerintah kota terutama yang terkait dengan fungsi alami yang dimilikinya. Tetapi konsep ini tidak begitu berkembang terutama karena dinamika keadaan ekonomi suatu wilayah. Pada akhir abad 20, perkembangan kota cenderung merusak lingkungan terutama sumberdaya lahan akibat keterbatasan suplainya. Walaupun pada tahun 1970an timbul gagasan untuk menggunakan konsep konservasi dalam perencanaan penggunaan lahan dalam suatu kota untuk mempertinggi kualitas dan kapasitas lingkungannya, tetapi menurut Hahn dan Simonis (1991), kota tetap memberikan gambaran yang kurang memberi tempat untuk sesuatu yang sifatnya organik, tradisi kultural bahkan sering terjadi perusakan terhadap identitas suatu tempat. Perkembangan simbiotik terhadap human-environment relationship kurang terlihat dalam ruang-ruang kota saat ini yang antara lain dapat diketahui dari semakin berkurangnya ruang-ruang publik dan ruang yang berkesan ramah (Hahn dan Simonis 1991, Mc Harg 1992, Simonds 1983).
16 2.1.3. Ruang dan Penataannya Dalam Wilayah Perkotaan Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun lainnya. Pada awal perencanaan, penataan ruang kota di Inggris terkait dengan usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan sosial (seperti kemiskinan, buruknya kesehatan, pengangguran, tempat tinggal yang kurang layak) dengan menata kembali ruang-ruang kota (Jayadinata 1986). Pelopornya adalah R. Owen, Cadburry, E. Howard dan Geddes.
Tetapi saat ini, penataan ruang kota terkait dengan
berbagai permasalahan utama perkotaan yang akan dipecahkan untuk mencapai tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan warganya dan keberlanjutan dari lingkungan dan kawasan perkotaan (Anwar 1994). Ruang-ruang kota yang ditata secara terkait dan berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaannya. Walaupun pada awalnya, pada tata ruang tradisional, terkait dengan permasalahan sosial budaya dan juga ketersediaan air dan pangan (Jayadinata 1986, Potter 1965, Rapoport 1969, Nurisyah 1996, Tuan 1977) tetapi perkembangan selanjutnya lebih ditentukan oleh faktor ekonomi (Dicken dan Lloyd 1990). Tata guna lahan, sistem transportasi dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam penentuan tata ruang kota saat ini (Anwar 1994, Dicken dan Lloyd 1991). Walaupun demikian, penataan ruang kota juga dilakukan dengan melihat suatu bentukan lanskap sebagai unsur amenity kota seperti pada kota San Fransisco dan Rio de Janeiro (Anwar 1994, Tuan 1977). a. Pengertian ruang Tergantung pada kepentingan serta tujuan pemanfaatannya, ruang dapat didefinisikan secara berbeda dan dengan wujud (fisik dan psikis) yang juga berbeda. Ruang umumnya terkait dengan pengalaman seseorang (Tuan 1977), dan secara fisik terkait dengan use volume (Simonds 1983).
Ruang memiliki kualitas dan dapat mengakomodasikan fungsi-
fungsi yang diinginkan pada ruang tersebut (Simonds 1983). Ruang, dinyatakan oleh Tuan (1977) berpreposisi antroposentris, dimana hampir semua yang terkait dengan dimensi ruang, umumnya, berhubungan dengan manusia. Dinyatakannya bahwa besaran, arah, citra dan nilai suatu ruang selalu terkait dengan pengalaman dan pengetahuan, hubungan personal, serta orientasi dan ukuran fisik manusia.
17 b. Ruang dalam pengertian ekonomi Ruang dan keberadaannya disuatu lokasi dapat dinilai dari aspek ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan ruang sebagai barang atau good. Ruang terbuka hijau (RTH), seperti juga taman kota, diklasifikasi sebagai barang publik atau public good (Gold 1977, Mc Pherson 1992, Bergstrom 1990). Ciri mendasar dari barang publik yaitu pemakaiannya oleh seseorang tidak mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, jadi tak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, atau opportunity cost barang publik adalah nol (Bergstrom 1990). Dari tinjauan ekonomi, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk menilai aspek lokasi dari suatu ruang terutama dalam wilayah perkotaan. Ketiganya menggambarkan nilai lahan yang dimiliki tiap bagian kota (perdagangan, industri dan pemukiman) yang didasarkan pada locational rent yang diturunkan dari model von Thunen (Dicken dan Lloyd 1991). Ketiga teori ini, yaitu (1) teori konsentrik dari E.W. Burgess, (2) teori sektor dari H. Hoyt, dan (3) Multiple Nuclei Concept dari R.D. McKenzie dapat dilihat pada Gambar 2, dan Gambar 3 memperlihatkan oportunitas tata ruang kota. Pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa semakin besar dan semakin kompleks kegiatan suatu kota maka tata ruangnya tidak hanya terpusat pada satu titik, dan pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai lahan di kawasan perdagangan mempunyai nilai rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan kota lainnya.
1. Central Business District 2. Deteriorating Transition Zone 3. Workers’ Homes 4. Middle-Class Sub-Urbs 5. Commuters Zone
1. Central Business District 2. Wholesale, light manufacturing 3. Low-Rent Residential 4. Medium-Class Reseidential 5. High-Class Residential 6. Heavy Manufacturing 7. Outlying Business District
1. High-Rent Residential 2. Intermediate-Rent Residential 3. Low-Rent Residential 4. Education and Recreation 5. Transportation 6. Industrial 7. Core
Gambar 2. Tiga model diagramatik tata ruang kota
18
1. 2. 3. 4. 5.
Center of the city Commercial Industrial Residential Agricultural
Gambar 3. Oportunitas tata ruang kota Dalam kaitannya dengan bentukan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, maka amenity rent dan institutional rent serta beberapa rents dan biaya-biaya lain yang “melekat” dengan sifat dan karakter sumberdaya ini perlu diketahui untuk kelangsungan ketersediaan suplainya (Dicken dan Lloyd 1990). c. Ruang dalam pengertian ekologis Ruang yang habitable, dalam pengertian aman, nyaman, dan memuaskan, antara berbagai mahkluk yang menghuni dengan elemen pembentuk ruangnya merupakan ruang dalam pengertian ekologis (Forman dan Godron 1986, Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977). Kehilangan atau gangguan pada elemen dan/atau unsur pembentuknya akan menyebabkan perubahan bentuk dan ukuran ruang, secara kuantitas dan kualitas, dapat mengubah stabilitas dan keragaman jenis yang telah dimiliki oleh ruang atau habitat ini. Teori mengenai island biogeography yang dikenalkani oleh Charles Darwin merupakan salah satu teori yang dapat digunakan dalam menganalisis aspek keruangan secara ekologis karena ekosistem, spesies, dan individu biota yang beranekaragam menghuni permukaan bumi dengan pola persebaran tertentu (Forman dan Godron 1986). Dari penemuannya, diketahui bahwa (1) luas pulau, (2) derajat keterisolasian, dan (3) umur geologis, mempengaruhi keragaman spesies di satu lokasi. Secara diagramatis, bentuk ruang berdimensi ekologis dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Ukuran kecil
besar
intermediate
Bentuk isodiametris
memanjang
panjang menyempit
Gambar 4. Ukuran dan bentuk ruang ekologis (Sumber: Forman dan Godron 1986) d. Ruang dalam pengertian arsitektural Catanese (1992) mengemukakan bahwa dalam membuat rencana ruang suatu kota tidak hanya memperhatikan fungsinya saja tetapi juga keindahan yang dihasilkannya. Keindahan ruang ini dapat terjadi secara alami dan dapat juga dibuat oleh manusia (Tuan 1977). Keindahan juga dimiliki oleh sumberdaya alam di wilayah kota (seperti bangun arsitektur alami dari pepohonan, sungai dan lanskap), yang umumnya lebih kompleks dan beragam dibandingkan dengan arsitektur yang dibangun manusia (Dawson, Mc Collum, dan Tatum 1997). Rassmussen dan Tuan (1977) menyatakan bahwa arsitektur kota seharusnya dapat mempengaruhi perasaan warga kota melalui pandangan, sentuhan dan juga pendengaran.
Ruang yang terbentuk dari penataan
arsitektur kota ini, menurut Tuan (1977), merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi manusia yang hidup didalamnya. Dampak yang diharapkan dari pembentukan ruang arsitektural ini yaitu terjadinya penyempurnaan perasaan dan persepsi manusia terhadap lingkungannya, bersifat sebagai guru dan sering bermakna simbolistik, dan dapat lebih memperjelas peranan dan hubungan sosial yang terkait dengan kondisi lingkungan. Kesadaran estetis ini terkait dengan interaksi antara apa yang dirasakan, bagaimana merasakannya, dan reaksi pengguna terhadapnya. Pengalaman estetis yang dihasilkan didasarkan pada harapan dan pada kemampuan lingkungan untuk memberikan seperangkat harapan-harapan melalui kesadaran perasaan manusia. Diketahui ada dua arah yang mempengaruhi reaksi individu terhadap pengalaman dan kepuasan yaitu kearah keteraturan dan logis, serta kearah kompleksitas dan mengagumkan.
20 Faktor yang mempengaruhi arahan ini yaitu budaya, kebutuhan pribadi dan lingkungan sebelumnya. Menurut Lynch (1982), kualitas visual merupakan nilai penentu ruang dalam suatu cityscape, walaupun ukuran, waktu dan kompleksitas kota mempengaruhinya.
Kualitas visual ini diukur berdasarkan empat faktor
utamanya yaitu (1) legibilitas (kemudahan untuk dikenal), (2) dapat membentuk suatu kesan tertentu, (3) memberi bentuk identitas tersendiri, dan (4) kemampuan untuk dikenang. e. Ruang dalam pengertian sosial Menurut Hester (1984), sosial merupakan aspek yang terkait dengan manusia dalam kelompok atau masyarakatnya. Ruang dalam pengertian ruang sosial didefinisikan sebagai ruang yang dapat mengakomodasikan atau yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan untuk bersosial dari penggunanya.
Ruang sosial ini terkait dengan kebudayaan dari suatu
kelompok masyarakat yang dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah, lahan pertanian dan bangun arsitektur lainnya (Rapoport 1977, Tuan 1977). Bentuk-bentuk ruang sosial ini umumnya digunakan untuk berbagai kegiatan yang bersifat dan untuk kepentingan kelompok seperti bekerja, bersantai, pertemuan politik, proyek pendidikan, jalur lalu lintas dan lainnya (Hester 1984, Rapoport 1977, Tuan 1977). Environmental design, menurut Hester (1984), merupakan salah satu bentuk produk desain yang dapat mengusahakan terjadinya perubahan sosial pengguna lingkungan tersebut misalnya mengurangi perkelahian, vandalism dan akibat buruk sosial lainnya. Gold (1977) menyatakan bahwa pepohonan dalam suatu kota, dapat mendukung terhadap peningkatan kepuasan dan kebanggaan warga kota, selain keuntungan ekonomi lainnya. Dengan asumsi bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat adalah sama pentingnya dengan apa yang dilakukannya dalam suatu ruang maka dimensi manusia, aspek fisik dan aspek estetik merupakan tiga faktor utama yang harus diperhatikan dalam mendesain ruang sosial. Dalam kasus neighborhood space, menurut Hester (1984), ada empat faktor yang mempengaruhi penggunaan suatu ruang, yaitu (1) kualitas dan ukuran dari ruang, (2) social make-up yang potensial dari pengguna, (3) faktor psikologis yang mempengaruhi preferensi, dan (4) aksesibilitas terhadap ruang, fasilitas, dan pelayanan.
Keller (dalam Hester
21 1984) menyatakan bahwa terdapat keragaman dalam penggunaan fasilitas dan pelayanan pada neighborhood space ini yang ditentukan oleh karakteristik ekonomi dan budaya masyarakatnya, jenis dan kecukupan fasilitas, aksesibilitas dan kecukupan dari fasilitas yang non-lokal serta derajat keisolasian tempat ini secara ekonomis, ekologis dan simbolis. 2.2. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan 2.2.1. Pengertian, Definisi, dan Peraturan Ruang terbuka hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi dalam mendukung kualitas lingkungan wilayah perkotaan. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988, yang digunakan sebagai acuan pengelolaan RTH kota, menyatakan bahwa RTH adalah bagian dari areal ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya. Peruntukan lahan untuk RTH, menurut peraturan ini, adalah sebesar 40-60% dari luasan total lahan (kota, kawasan, halaman/ pekarangan) yang dimiliki. Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan ada empat hal utama yang harus diperhatikan yaitu (1) luas minimum yang diperlukan, (2) lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH, (3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 5), dan (4) distribusinya dalam kota (Tim IPB 1993). Dalam kaitannya dengan luas minimum, perhitungan yang dilakukan untuk mendekati nilai kebutuhan akan RTH kota atau bagian dari suatu kota yaitu melalui (1) standar RTH kota-kota Indonesia yang ditetapkan oleh Direktorat Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri dan Direktorat Tata Kota dan Daerah, Departemen Pekerjaan Umum, (2) Inmendagri No.14 Tahun 1988 yaitu 40% sampai 60% dari total wilayah harus dihijaukan, (2) jumlah serta distribusi penduduk di suatu kota (Simonds 1983), (3) suplai oksigen (Wisesa dalam Janala, 1995), (4) kepekaan sumberdaya alam dan lingkungan (Tim IPB 1993), (5) kenyamanan suhu (Brown dan Gillespie 1995, Sulystiantara dan Tashiro 1996), (6) ketersediaan air bersih (Sutisna, Ngadiono, Sudaryanto dan Fakuara 1987) dan (7) rekreasi (Departemen PU dalam Janala 1995).
22
Konsentris
Terdistribusi
Hierarkis
Linear
Mengikuti Fisiografi (Sungai)
Jaringan
Gambar 5. Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota (Sumber: Tim IPB 1993) Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah 1996). Ditinjau dari tujuan pemanfaatan suatu RTH, berdasarkan ketentuan peraturan dalam Inmendagri No.14 Tahun 1988, ada tujuh tipe RTH kawasan perkotaan yaitu: (1) RTH yang berlokasi pasti karena adanya tujuan konservasi, (2) RTH untuk keindahan kota, (3) RTH karena adanya tuntutan dari fungsi kegiatan tertentu, seperti lingkungan sekitar pusat kegiatan olahraga yang dibiarkan hijau, (4) RTH untuk pengaturan lalu lintas, (5) RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan, (6) RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang, dan (7) RTH untuk halaman bangunan. 2.2.2. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Bernatzky (1978) menyatakan walaupun manusia sudah berada di jantung peradaban teknologi tetapi ia tetap memiliki ikatan yang kuat terhadap alam. Kota tanpa ruang bervegetasi, dinyatakannya, akan menyebabkan ketegangan mental bagi warganya. Menurut Crowe (1981), RTH haruslah merupakan suatu sistem ruang untuk mendapatkan kenyamanan bagi warga kotanya; seimbang dengan
23 berbagai fasilitas pelayanan kota lainnya. RTH kota, tidak hanya sebagai pengisi ruang dalam kota tetapi juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan juga untuk berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar. RTH merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi terutama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita 1997) dan dapat menjadikan kondisi ekologis kota yang lebih baik atau sesuai sehingga memudahkan adaptasi bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya untuk berdiam dan hidup di dalamnya. Simonds (1983) menyatakan bahwa RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bentuk peran ini antara lain sebagai ruang yang sehat, keindahan visual, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, ameliorasi iklim, dan sebagai unsur pendidikan. Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) menyatakan tanaman sebagai penyusun RTH dapat juga berperan sebagai pelembut suasana keras yang dihasilkan oleh massa bangunan, menolong manusia mengatasi tekanantekanan akibat kebisingan, udara panas, pencemaran disekelilingnya, serta sebagai pembentuk kesatuan ruang. Keberadaan massa tanaman pembentuk RTH dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan (seperti air, udara, tanah, biota dan lainnya), penyangga serta pengendali iklim mikro kawasan kota (Stulpnagel et al. 1990), serta secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas estetik kota (Inmendagri 1988; Nurisyah 1996). Gold (1977) dan Schmid (1979) menambahkan adanya manfaat sosial dari suatu RTH, yaitu sebagai areal berekreasi dan edukasi warganya, kebanggaan kota dan artifak sejarah. Fungsi dan manfaat suatu RTH dalam suatu kawasan perkotaan, berdasarkan Inmendagri No.14 Tahun 1988 adalah sebagai: (1) areal perlindungan bagi berlangsungnya fungsi ekosistem dan fungsi penyangga lingkungan, (2) sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan, (3) sarana rekreasi, (4) pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran di darat, laut dan udara, (5) sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan, (6) tempat perlindungan plasma nutfah, (7) sumber udara segar bagi lingkungan dan untuk memperbaiki iklim mikro terutama menurunkan suhu udara serta penyaring kecepatan angin dan cahaya matahari, pengatur presipitasi dan kelembaban, (8) pengatur tata air, dan (9) wadah kegiatan masyarakat di suatu
24 lingkungan,
tempat
untuk
bersantai dan melakukan komunikasi sosial.
Ditambahkan oleh Schmid (1979), bahwa RTH juga berfungsi untuk (1) meningkatkan kualitas visual/estetika alami, (2) waste water disposal, (3) artifak sejarah, dan juga (4) bernilai ekonomi. 2.2.3. Sistem RTH Kota Eksistensi dan perencanaan dari ruang terbuka hijau (RTH) dalam suatu kota dipelopori oleh Ebenezer Howard dengan Kota Taman (Garden City)nya pada tahun 1946 (Lynch 1994). Konsep ini menggambarkan satu kota yang berkesan menyatu dengan alam dan hanya diperuntukkan bagi 30 000 jiwa. Aktivitas perkotaan utama terdapat di pusat kota dan yang selanjutnya semakin menuju ke bagian luar kota dikelilingi oleh daerah hijau yang berintensitas semakin tinggi. Bagian terluarnya di kelilingi oleh greenbelt yang tidak hanya berfungsi sebagai pembatas kota tetapi juga areal berfungsi sosial. Menurut Crowe (1981), pada tahun 1800an konsep ini juga digunakan F. L. Olmstead untuk menciptakan penataan taman-taman kota Amerika Serikat yang disebut sebagai The Linked Park System. Dan, sejak tahun 1990an, juga diaplikasikan di Kota Singapura dengan istilah Park Connecting System (Kong dan Eng 1992). Struktur, bentuk dan ukuran RTH merupakan hal yang penting dalam perencanaan suatu RTH, terutama sistem yang bekerja didalamnya (Lyle 1985). Menurut Bernatzky (1978), struktur RTH juga harus berfungsi sebagai ventilasi kota, dimana RTH ini harus bekerja sebagai pemasok udara segar dan bersih bagi kota. Struktur RTH ini diletakkan diantara serta mengelilingi struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi untuk menyegarkan dan menetralkan udara dalam perkotaan yang umumnya telah tercemar (Gambar 6).
Struktur Ruang Terbuka Hijau Udara polusi dan pemanasan Suplai udara bersih
Gambar 6. Skema RTH kota menurut Bernatzky (1978)
25 2.3. Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota 2.3.1. Lingkungan Hidup Lingkungan adalah ruang yang mengandung makhluk hidup (biotis) dan benda mati (abiotis) serta tatanan (sistem) interaksinya secara menyeluruh 2). Selanjutnya dinyatakan bahwa, tatanan (sistem) yang terbentuk oleh interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dalam ruang ini disebut ekosistem. Perubahan yang terjadi pada suatu lingkungan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan mempengaruhi keberlangsungan kehidupan dan kesejahteraan makhluk yang terdapat di dalamnya. Walaupun perubahan yang terjadi pada lingkungan umumnya bersifat destruktif, tetapi melalui akal dan pikiran manusia maka perubahan ini dapat diarahkan kearah yang cenderung bersifat konstruktif misalnya menjadi areal pertanian (Bidwell 1974) atau sustainable city (Mc Phearson 1992). Salah satu bentuk lingkungan yang diintroduksikan dan dianjurkan terdapat di wilayah perkotaan adalah Ruang terbuka hijau (RTH), karena fungsi lingkungan yang dimilikinya dapat mengendalikan berbagai permasalahan degradasi lingkungan di wilayah perkotaan (Grey dan Deneke 1978, Carpenter et al. 1980). Gold (1977) dan Schmid (1979) menambahkan adanya manfaat sosial RTH dan vegetasi pembentuknya, yaitu sebagai areal bersosial, berekreasi dan penambah pengetahuan warganya. Kebanggaan kota, meningkatkan dan menstimulasi kualitas sensory kota, serta artifak sejarah juga dinyatakan oleh Schmid (1979). Walau memiliki manfaat kenyamanan dan keindahan tetapi luasan lahan dan kualitas enjinering serta estetik RTH guna mempertahankan dan mengendalikan lingkungan perkotaan terus menurun karena berbagai sebab, baik yang terkait dengan faktor ekonomi (Bergstrom 1990, Schmid 1979), teknik budidaya (Wulandari 1995, Nurisyah 1996), teknis arsitektural dan sosial (Linawati 1994, Nasution 1995, Nurisyah, Pramukanto dan Fatimah 1996). Untuk memahami masalah-masalah lingkungan, sehingga dapat menyatukan pemahaman atas aspek yang mempengaruhinya yaitu kondisi fisik lingkungan dan tingkah laku masyarakat, yaitu dengan pola fikir yang digunakan Dorfman (1978) melalui pemahaman masalah lingkungan secara langsung dengan upayaupaya pengelolaan lingkungan. Dalam UU No.23 Tahun 1997 dijelaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan 2
hidup
yang
meliputi
kebijaksanaan
penataan,
pemanfaatan,
Bahan kuliah: Pengelolaan SDA dan Lingkungan (Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Soeratmo, MF)
26 pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian
upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. 2.3.2. Penilaian Manfaat Suatu RTH Kota Nilai dari suatu barang dan jasa lingkungan mempunyai peranan yang penting terutama untuk mempertinggi tingkat efisiensi (Field 1997). Penilaian yang dilakukan ini dapat memberikan pengertian yang kuantitatif akan economic trade off yang dibutuhkan dalam bentuk manfaat dan biaya, terutama dalam membuat keputusan investasi yang bersifat publik. Umumnya, lingkungan dan jasa yang dihasilkan oleh lingkungan dikategorikan sebagai barang publik, karena itu diusulkan harus diusahakan suatu bentuk insentif ekonomi yang dapat mengarahkan kerusakan lingkungan yang sebanding dengan peningkatan kesejahteraan yang didapatkan oleh masyarakat akibat penggunaan atau eksploitasinya (Anwar 1994, Field 1997). Menurut Anwar (1994), pelestarian sumberdaya alam, sebagai suatu usaha untuk mempertahankan fungsi dan manfaat suatu sumberdaya alam, termasuk kategori investasi ekonomi untuk menjaga keadaan terhadap ketidak-pastian dimasa depan (Anwar 1994). Kuantitas lahan kehidupan yang terbatas yang disertai dengan kualitasnya yang tidak sesuai atau yang tidak menunjang produktifitas manusia yang berjangka panjang untuk peningkatan kesejahteraannya akan merupakan kendala bagi tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya dinyatakan bahwa diversitas biologi juga mempunyai nilai karena diversitas ini akan memperbesar suplai sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Suatu metode untuk menilai suatu barang dan jasa lingkungan menjadi semakin penting karena umumnya tidak tersedia pasar untuk menyatakan nilai yang sebenarnya dari bentuk jasa lingkungan ini seperti manfaat DAS dalam memelihara kuantitas dan kualitas potable water, koral yang melindungi areal pesisir, wetland yang mengendalikan banjir, dan RTH kota yang menyegarkan serta mengendalikan atmosfer kota. Contoh-contoh ini merupakan bentuk jasa layanan lingkungan yang penting secara fisik dan juga bernilai ekonomi tetapi umumnya diberikan secara cuma-cuma atau berharga nol (Anwar 1994).
27 Untuk memberikan nilai positif terhadap harganya maka barang dan jasa lingkungan ini haruslah dinilai sampai pada ambang batas tidak akan terjadi degradasinya dan bukan menunggu sampai barang dan jasa tersebut menjadi langka. Hal ini merupakan nilai unik dari barang dan jasa lingkungan karena sifatnya yang irreversible dan non-substitutable (Field 1997, Pearce dan Georgiou 1994). Pearce dan Georgiou (1994), selanjutnya, menyatakan bahwa penilaian yang dilakukan terhadap suatu sumberdaya lingkungan bersifat antroposentrik yaitu terkait dengan preferensi individu atau kelompok terhadap bentuk lingkungan yang diinginkannya. Dinyatakan selanjutnya bahwa preferensi pengguna untuk suatu bentuk lingkungan - atau nilai intrinsik serta nilai ekonomi yang dimilikinya - sering tidak sama antara lain tergantung dari latar belakang sosial (ekonomi dan budaya). Nilai dari suatu sumberdaya lingkungan dapat dihitung secara langsung dari produk atau komponen pembentuk sumberdaya secara fisik - seperti kayu, ikan, bunga, suplai air - dan dapat juga dihitung dari jasa lingkungan yang dihasilkannya – seperti pengendalian banjir, pemeliharaan kualitas air, ameliorasi iklim (Pearce dan Georgiou 1994, Thurairaja 1994). Nilai ekonomi RTH kota telah banyak diteliti seperti nilai ekonomi greenbelt dari suatu lingkungan pemukiman (Grey dan Deneke 1978, Nelson 1988, More et al. 1985, McPherson 1992, Peiser dan Schwann 1993), willingness to pay dari pengguna terhadap kelestarian taman kota (Bergstrom 1990 dan Dixon 1991), nilai kayu dan kenyamanan pengguna (Gold 1977, Grey dan Deneke 1978), dan pasar lahan (Correll et al. 1978, Diamonds 1980; Pearce dan Georgiou 1994). Disamping itu juga telah dilakukan beberapa penilaian terhadap manfaat ekologis dan sosial RTH seperti untuk tujuan konservasi dan keindahan lingkungan, meningkatkan kunjungan rekreasi atau yang bernilai historik (Bergstrom 1990, Correl et al. 1978, Diamond 1980). 2.3.3. Metode Penilaian Manfaat RTH Kota RTH kota diketahui memberikan banyak manfaat bagi lingkungan wilayah perkotaan, dan manfaat ini dapat dihitung dengan beberapa metode penilaian. Perbedaan penggunaan metoda penilaian tersebut tergantung dari (1) permasalahan yang dihadapi, terutama yang terkait dengan jenis dan intensitas masalah; (2) bentuk data tersedia; (3) bentuk dan karakter barang dan jasanya; (4) karakteristik dari negara atau tempat dimana suatu penilaian diadakan; dan (5) perkembangan tingkat perekonomian negara atau tempat tersebut (Bergstrom
28 1990). Walaupun memiliki kekuatan dalam memprediksi tetapi metode-metode penilaian ini juga mempunyai beberapa keterbatasan. Secara ekonomi, umumnya penilaian RTH dilakukan secara tidak langsung pada pasar terbuka mengingat klasifikasi RTH sebagai non-market commodity yang tidak diperdagangkan langsung dalam pasar kompetitif (Bergstrom 1990). Karena itu RTH dan jasa lingkungannya ini harus dinilai dengan menggunakan teknik penilaian yang non-market seperti perubahan tingkat kesejahteraan (Bergstrom 1990). Grey dan Deneke (1978) menyatakan ada 8 cara yang dapat digunakan dalam menilai pohon-pohon dalam wilayah kota secara moneter yaitu berdasarkan perhitungan (1) nilai alternatifnya, (2) sebagai aset kota, (3) legal values, (4) nilai kayu, (5) biaya pemeliharaan, (6) nilai properti, (7) evaluation formulas, dan (8) replacement cost. Temple, Wilkes, dan Morisson (1978) memberikan penilaian terhadap pohon berdasarkan metode yang mendekati evaluation formulae dari Grey dan Deneke (1978) tetapi peubah diameter batang setinggi dada (dbh) ditambah dengan ukuran tajuk dan tinggi pohon karena pertimbangan amenity. Dalam berbagai penelitiannya, Bergstrom (1990) menyimpulkan ada empat metode untuk penilaian manfaat berbagai bentuk lahan rekreasi yaitu dengan menggunakan (1) Travel Cost Method (TCM), (2) Contingent Valuation Method (CVM), (3) nilai lahan (Hedonic Pricing) dan (4) penelitian dalam labo-ratorium. Pendekatan terhadap nilai lahan rekreasi dikembangkan pada penilaian manfaat RTH karena manfaat eksternal yang dihasilkan oleh RTH ini mempunyai nilai positif yang tinggi, seperti peningkaan nilai properti karena adanya pohon-pohon yang besar (Gold 1980; Grey dan Deneke 1978), adanya greenbelt (Correll et al. 1978; Nelson 1988; More et al. 1985; McPherson 1992; Peiser dan Schwann 1993) dan kenyamanan (Diamonds 1980). 2.4. Pembangunan dan Sistem Nilai Masyarakat Pembangunan, baik sebagai suatu proses maupun sebagai suatu cara perwujudan, mengemban tugas kemanusiaan dan tugas kehidupan3). Dalam pembangunan ini tergantung berbagai harapan masyarakat tentang kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian meningkat, 3
Pembangunan sebagai satu cara untuk meningkatkan derajat dan kualitas hidup, baik ditinjau dari sudut pandang masyarakat maupun bangsa dan negara, mengharuskan pembangunan menjadi satu-satunya tumpuan harapan kehidupan masyarakat. Sebab itu, pembangunan harus mampu menjembatani semua keragaman yang timbul akibat kehidupan berbangsa dan bernegara.
29 kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin meningkat Berbagai harapan ini menjadikan setiap anggota atau kelompok masyarakat perlu untuk selalu ikut dalam proses dan penentuan arah dan prioritas pembangunan di tiap tahapan yang dilakukan. Menurut Biddle dan Biddle (1965) dan Browne (1988), dua pengertian dasar mengenai pembangunan, yaitu bahwa (1) setiap anggota atau kelompok masyarakat merupakan pemilik pembangunan dengan semua proses yang di-hasilkannya karena pembangunan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan mereka, dan (2) setiap anggota atau kelompok masya-rakat, karena memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda, akan me-nerapkan sistem kepercayaan dan sistem nilai yang berbeda dalam melihat dan menjalankan pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan bahwa pembangun-an akan diartikan secara berbeda oleh tiap kelompok bila pembangunan tidak dikaitkan penuh dengan sistem nilai masyarakat tersebut (Geiger 1971). Pertanyaan yang diajukan dalam menentukan arah dan prioritas pembangunan ini adalah: whose value will be used to define virtue?. Menurut Seers (1979), penetapan prioritas pembangunan tidak pernah lepas dari sistem nilai masyarakat; dan bila penetapan prioritas pembangunan ini diserahkan hanya pada mereka yang memiliki akses terbesar untuk merumuskannya maka pembangunan yang berkelanjutan dan adil akan sulit untuk dapat diwujudkan. Sistem nilai yang digunakan, dinyatakan oleh Seers (1979), merupakan sistem nilai universal sebagai penuntun perumusan virtue (jasa) pembangunan. Nilai-nilai universal yang dapat dijadikan dasar penentuan prioritas pembangunan yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan, kebebasan, dan keadilan dengan pengertian umum bahwa pembangunan akan diprioritaskan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan pemenuhan potensi kemanusiaan (kebebasan, pendidikan, dan kemerdekaan politik). Dasar dari praksis pembangunan adalah partisipasi masyarakat, dan tidak membiarkan terjadinya ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Menurut Fear (1990), partisipasi masyarakat diartikan sebagai kegiatan yang secara sungguh-sungguh dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik secara umum oleh masyarakat.
30 Dalam kaitannya dengan kegiatan masyarakat yang terkait dengan lingkungan, maka konsep keberlanjutan merupakan hal utama. Hal tersebut terkait dengan suatu konsep nilai yang meliputi tanggung jawab generasi saat ini terhadap generasi yang akan datang tanpa harus mengorbankan peluang generasi sekarang untuk tumbuh dan berkembang dan meletakkan dasar-dasar pengembangan bagi generasi yang akan datang (Steven 1990). Dinyatakan selanjutnya, untuk mewujudkan konsep ini dalam realitas kehidupan maka dibutuhkan berbagai perubahan mendasar mengenai cara-cara melakukan pembangunan, berkonsumsi, kehidupan berbangsa, dan bekerja sama dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. 2.5. Masyarakat Peduli Lingkungan Pada abad 21 diproyeksikan bahwa mayoritas dari penduduk dunia akan hidup dan bertempat tinggal di kota, termasuk kota-kota di negaranegara yang sedang berkembang. Walaupun kehidupan di kota menjanjikan kesejahteraan sosial ekonomi dan kenyamanan yang tinggi tetapi telah terlihat
kecenderungan
menurunnya
kualitas
lingkungan
kota
yang
disebabkan oleh permintaan masya-rakatnya yang cenderung meningkat terhadap berbagai fasilitas kenyamanan kota, seperti air bersih, perumahan, sistem pembuangan limbah, serta sistem transportasi. Kondisi lingkungan di wilayah perkotaan yang cenderung menurun ini, diketahui, juga akan mempengaruhi
kehidupan
serta
masyarakat kota itu sendiri.
kesejahteraan
dan
ke-makmuran
Karena itu, masyarakat ini juga harus
memperhatikan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap masa depannya. Menurut Inoguchi et al. (1999), mengkreasikan eco society merupakan salah satu
upaya
yang
dapat
dilakukan oleh berbagai kota dan
masyarakatnya. Gerakan masyarakat peduli lingkungan (eco society movement) merupakan salah satu komponen yang menyertai konsep kota yang berkelanjutan yang berasal dari peran aktif masyarakat itu sendiri (Aoshima dalam Inoguchi et al. 1999). Selanjutnya dinyatakan bahwa eco society movement ini membutuhkan civic governance, yaitu pemerintah yang memperhatikan
dan
mengikut-sertakan
peran
aktif
dan
partisipasi
masyarakatnya dalam melestarikan kota melalui ke-pentingan dan dirinya
31 sendiri. Hal ini penting, karena itu kebijakan untuk meng-atasinya harus dilakukan selengkap mungkin. Eco society adalah masyarakat yang peduli terhadap berbagai anugerah alam, satu bentuk masyarakat yang menahan nafsunya terhadap konsumsi yang berlebihan dan berusaha menggunakan sumberdaya seefisien mungkin, serta meminimumkan beban lingkungan.
Sasarannya
adalah kehidupan dan kegiatan manusia yang seirama dengan kondisi lingkungan dan juga memprioritaskan kepedulian terhadap lingkungan dalam suatu pemerintahan kota (Aoshima dalam Inoguchi et al. 1999).
32
3. KEADAAN UMUM KOTAMADYA BOGOR 3.1. Administratif Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II (Kodya Dati II) Bogor terletak pada 106°48’27” BT dan 6°32’30”LS, dengan luas 11 850 ha. berkategori Kota Sedang
Kotamadya
yang dibagi menjadi 6 (enam) kecamatan dan 23
KEC. TANAH SAREAL
KE JAKARTA
kelurahan. Gambar 7 memperlihatkan peta wilayah administratif kota pada tahun
KE JAKARTA
KEC.BOGOR UTARA
KEC. BOGOR BARAT KE LEUWILIANG
KEC. BOGOR TENGAH
KE JAKARTA /CIAWI
KEBUN RAYA
U
KEC. BOGOR TIMUR
Skala
cm m
KETERANGAN
Batas Kotamadya Bogor Batas Kecamatan
KEC. BOGOR SELATAN
Jalan Raya Sungai Rel Kereta Api
1999. Gambar 7. Peta wilayah administratif kota penelitian Kota ini dibatasi pada: (1) bagian Utara dengan wilayah Kecamatankeca-matan Kemang, Bojong Gede dan Kabupaten Bogor; (2) bagian Timur dengan Kecamatan Sukaraja dan Kabupaten Bogor; (3) bagian Selatan
33 dengan Keca-matan Cijeruk dan Kabupaten Bogor; dan (4) bagian Barat dengan wilayah Kecamatan Darmaga dan Kabupaten Bogor.
Kota ini
mudah dicapai dari berba-ai kota di sekitarnya karena jalur dan jumlah kenderaan umum yang tersedia dalam jenis, jumlah dan frekuensi yang tinggi. 3.2. Sumberdaya Alam Wilayah Kotamadya Bogor terletak di kaki Gunung Salak pada ketinggian antara 200-300 m dpl. Selain Gunung Salak, kota ini juga dikelilingi oleh bebeapa gunung lainnya yang memberikan kesan visual alami bagi kota ini. Bentuk topografis kota beragam mulai dari landai, bergelombang sampai dengan berlembah dengan kemiringan lahan mulai dari 0 sampai dengan 40%. Sebagian besar wilayah terbangun berada pada kemiringan 2-15%.
Akibat
pesatnya perkembangan kota, banyak dibangun kawasan permukiman pada lokasi sampai dengan kemiringan 25%.
Kemiringan yang curam (<40%) ter-
utama dijumpai pada hampir seluruh bantaran sungai di kota.
Lahan-lahan
dengan beragam kemiringan ini memberikan keindahan lanskap tersendiri pada wajah kota tetapi juga rawan terhadap bahaya longsor. Secara geologis, wilayah kota didominasi oleh lahan dan lava basal andesit, aluvial, tufa batu apung pasiran dan lahar breksi tufan. Jenis tanah, umumnya, terbagi dua yaitu aluvial kelabu disepanjang tepian sungai dan latosol coklat didaratannya. Kedua jenis tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah dan tingkat erosi dari sedang sampai tinggi (Laksmi 1991). Kota Bogor ini dilalui oleh 5 (lima) sungai utama beserta anak-anak sungainya. Lima sungai ini membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Sindang Barang, dan Cibuluh. Panjang tiap sungai dalam Kota Bogor masing-masing untuk S. Ciliwung, S. Cisadane, S. Cipakancilan, S. Sindangbarang dan S. Cibuluh adalah 15, 18, 18, 14 dan 10.5 km. Dijumpai juga badan air lain berupa situ yaitu Situ Gede, dan juga sumber mata air di Tangkil, Bantar Kambing, Cipaku, Ciburial dan Kota Batu. Iklim kota berdasarkan data dari Stasiun pengamat iklim Atang Senjaya tergolong sejuk dengan rata-rata suhu udara 25°C dan kelembaban nisbi udara yang relatif tinggi yaitu 85%. Jumlah curah hujan dan hari hujan juga tergolong tinggi yaitu berkisar antara 3500-4000 mm/tahun dengan hari hujan ± 265 hari. Kecepatan angin adalah 2 km/jam dengan arah Timur Laut. Iklim mikro kota,
34 terutama suhu kota, terkendalikan dengan baik yang diakibatkan oleh keberadaan vegetasi yang jumlahnya banyak dan tersebar dalam kota. 3.3. Kependudukan Kota Bogor dihuni oleh ± 675 201 jiwa, dan pada tahun 2005 diproyeksikan akan menjadi ± 1 000 000 jiwa (Nurdin 1999). Tabel 1 memperlihatkan data jumlah dan kepadatan penduduk, dan Tabel 2 memperlihatkan keragaman beberapa faktor sosial ekonominya. Tabel 1. Jumlah dan kepadatan penduduk kota No
Kecamatan
Luas (ha)
Penduduk (Jiwa) (%)
1997
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bogor Selatan 3 081 26 132 695 Bogor Barat 3 285 28 150 088 Bogor Utara 1 772 15 101 463 Bogor Timur 1 015 8 67 263 Bogor Tengah 813 7 103 973 Tanah Sareal 1 884 16 119 719 Jumlah 11 850 100 675 201 Rata-rata Sumber: Nurdin (1999), Data untuk tahun 1997 dan untuk proyeksi tahun 2005.
Kepadatan (Jiwa/ha)
2005
1997
2005
155 696 178 622 130 842 87 066 140 639 147 196 840 101
43 46 57 66 128 64
51 54 74 86 173 78
57
71
Tabel 2. Ragam sosial ekonomi penduduk kota, 1996 No. 1.
Parameter Jenis kelamin
Kategori
1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Umur 1. 0 - 4 tahun 2. 5 - 9 tahun 3. 10 - 14 tahun 4. 15 - 19 tahun 5. 20 - 44 tahun 6. 45 - 64 tahun 7. >65 tahun 3. Pendidikan 1. Tidak sekolah 2. Lulus SD/sederajat 3 Lulus SLTP/sederajat 4. Lulus SLTA/sederajat 5. Akademi 6. Perguruan Tinggi 4. Mata pencaharian 1. Buruh tani + tukang 2. Jasa + perdagangan 3. Pegawai + ABRI 4. Pensiunan Sumber: Pemerintah Kotamadya Dati II Bogor (1996, diolah kembali)
Jumlah Total 337 921 332 707 69 268 75 157 70 446 64 877 239 364 106 647 26 525 26 340 138 645 107 286 112 670 14 301 11 034 26 429 58 399 135 709 13 392
(%) 50.38 49.62 10.62 11.52 10.80 9.95 36.70 16.35 4.07 6.42 33.79 26.15 27.46 3.49 2.69 11.30 24.96 58.01 5.72
35 Kecamatan Bogor Tengah mempunyai areal yang lebih kecil dibandingkan bagian kota lainnya, tetapi jumlah penduduk dan kepadatannya jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena peruntukan dan fungsinya yang dominan, sejak awal perkembangan kota, yaitu sebagai areal perdagangan. Sebaliknya, Kecamatan Bogor Barat dan Selatan yang dialokasikan terutama sebagai kawasan permukiman merupakan bagian kota yang sulit untuk dikembangkan karena lahan yang berbukit, dan hal ini terlihat dari jumlah penduduknya yang relatif kecil. Kota Bogor ini direncanakan akan menjadi Kota Permukiman (Dormitory town), disamping fungsi-fungsi lain yaitu sebagai Kota Perdagangan Regional, Kota Pariwisata, dan Kota Ilmu. Fungsi terakhir ini didukung oleh keberadaan berbagai lembaga ilmiah, terutama yang berkaitan dengan bidang pertanian dan lingkungan. 3.4. Penggunaan Lahan. Untuk mendukung dan mempertahankan fungsi-fungsi kota yang dikembangkan maka dibuat rencana penggunaan lahannya (Tabel 3 dan Gambar 8). Dalam perencanaan penggunaan lahan tahun 2005 ini, luas peruntukan lahan tertinggi adalah untuk pemukiman atau ±75.40% dari luas lahan kota. Hal ini terutama untuk mendukung rencana pemerintah daerah dalam mendukung fungsi kota sebagai Kota pemukiman (Dormitory town). Tabel 3. Proyeksi penggunaan lahan di kotamadya Bogor, Tahun 2005 No. A.
B.
C.
Jenis Penggunaan Lahan Ruang Terbangun 1. Pemukiman 2. Jasa dan perdagangan 3. Industri 4. Pendidikan 5. Kesehatan 6. Perkantoran 7. R. Pemotongan hewan 8. Terminal dan sub-terminal Ruang Terbuka Hijau 1. Taman dan olah raga 2. Kuburan 3. Kebun campuran 4. Pertanian a. Sawah b. Lahan kering Ruang Terbuka Non-Hijau 1. Badan air/sungai
Luas (ha)
(%)
8 935.24 381.99 96.35 52.76 12.54 5.50 8.75 21.75
75.40 3.22 0.81 0.44 0.11 0.05 0.07 0.18
178.36 304.05 79.93
1.51 2.56 0.68
1 220.57 45.44
10.30 1.38
342.07
2.89
Luas Sub-Total (ha.) (%) 9 514.88 80.28
1 828.35
15.43
506.77
4.27
36 2. Situ, empang, kolam 3. TPA sampah 4. Kolam oksidasi Total Sumber : LPM IPB (1996)
127.20 30.00 7.50 11 850.00
1.07 0.25 0.06 100.00
Dari seluruh luas kota, ∀ 80.28% diperuntukkan bagi areal pembangunan
struktur fisik pendukung perkembangan kota, dan sisanya (∀19.72%) digunakan sebagai areal ruang terbuka dengan peruntukan khusus RTH seluas 15.43% dari seluruh bagian kota (LPM IPB 1996).
Gambar 8. Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya Bogor, 1995 3.5. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota
37 3.5.1. Perkembangan RTH dalam Tata Ruang Kota Secara spasial, Kota Bogor mengawali perkembangan ruang kotanya dengan tiga pusat kota utama yaitu, masing-masing, yang berpusat pada Kerajaan Hindu Pajajaran di bagian Selatan (areal Lawang Gintung), selanjutnya berpusat pada perkebunan karet dan industri ban kepunyaan Inggris di bagian Utara (areal industri Good Year), dan berpusat pada pemerintah kolonial Belanda dibagian tengah (downtown dan istana) (Rachmawaty 1995, Widjaja 1991). Tiga bagian kota yang berbeda periode dan orientasi perkembangannya ini, sangat erat terkait dengan perkembangan ukuran dan kualitas RTH dimana masing-masing periode didominasi oleh kelompok tanaman fungsional yang berbeda, yaitu areal pertanian pangan (Kerajaan Pajajaran, awal perkembangan kota), perkebunan (kolonial Inggris), serta pertamanan kota (kolonial Inggris dan Belanda). Tabel 4 memperlihatkan perkembangan tata ruang kota pada tiap periode pemegang kekuasaan administrasi kota. Pada tahun 1745, Bogor atau Buitenzorg didirikan oleh Belanda yang meniru kota-kota yang dibangun periode tersebut di Eropa yaitu yang diilhami oleh faham romantisme, yang berintikan ketertarikan manusia kembali pada alam. Kota kecil ini dibangun sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan serta dirancang dengan menggunakan kerimbunan pohon-pohon yang kokoh seperti kenari, mahoni, ki hujan dan flamboyan (Cahyono 1993; Rachmawaty 1995, Widjaja 1991). Masa pemerintahan Inggris berlangsung dari tahun 1811-1817, dan pada masa ini, taman istana diperbesar oleh Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas S. Rafles, menjadi kebun koleksi yang mengelilingi istana.
Pendirian kebun ini
merupakan kegemaran orang Inggris saat itu, terutama dalam mengoleksi berbagai jenis tanaman dan penelitian tanaman hasil bumi untuk perdagangan. Tahun 1817, kebun koleksi ini dijadikan Botanical Garden yang dirancang oleh C.G.L. Reinwardt dengan luas pada saat awal adalah 58 ha (Widjaja 1991). Mulai tahun 1839, oleh Belanda, kota ini terus diperlebar dan mulai dibangun dengan menggunakan tata ruang kota yang bersifat konsentris, seperti kota-kota kecil Eropa abad 18, dengan istana dan kebun raya sebagai pusat kota (Savitri 1991). Daerah pusat kota dikelilingi oleh ruang-ruang fungsional yang tertata secara melingkar masing-masing untuk fungsi (1) perkantoran, perdagangan dan jasa, pendidikan, (2) permukiman dan industri, dan di lingkaran terluar adalah (3) daerah hijau untuk fungsi ekonomi berupa daerah hijau (green-
38 belt) untuk daerah pertanian, lahan percobaan pertanian dan kehutanan, serta hutan lindung (Gambar 9). Bogor dijadikan pusat pemerintahan yang sederajat dengan kabupaten, dan dengan dibangunnya Botanical Garden pada abad 18, selanjutnya Bogor menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pertanian dan kedokteran hewan. Pada awal pengalihan kekuasaan penjajahan dari Belanda ke Inggris, pemerintahan Inggris memperluas kawasan perkebunan kopi di bagian utara tepi kota yang sebelumnya dikuasai Belanda, dan mulai menanam karet untuk kebutuhan bahan baku pembuatan ban Goodyear. Di lingkungan kawasan industri ini juga didirikan perumahan bagi para pekerja perkebunan dan pengolahan karet ini, yang dalam perkembangan kota selanjutnya merupakan ruang penyambung pembentuk perluasan kota. Gambar 10 juga memperlihatkan arah perubahan ruang Kota Bogor dalam tiga periode (1924, 1954, dan 1984) dimana pada setiap pertambahan ruang kota, Bogor tetap mempertahankan kebun raya sebagai pusat kota, dan pada Tabel 4 dapat dilihat deskripsi perkembangan kota ini.
RTH periode awal (kolonial) RTH pengembangan (pasca kemerdekaan) Jalur jalan Sabuk hijau (pasca kemerdekaan) Unit taman Taman lingkungan
Gambar 9. Diagram pengembangan pola konsentris RTH kotamadya Bogor
39
1924
1984
1954
Gambar 10. Diagram dan pola perubahan tata ruang kota kota Bogor Tabel 4. Sejarah perkembangan kota dan RTH kota Faktor pembentuk 1. Luas kota 2. Batas kota
Masa prakolonial
Masa Kolonial
Tidak ada data Batas alami antara S Cisadane dan S Ciliwung, tebing Cipaku
Tidak ada data Kota dibagi 2: Kota Kaler (Selatan) dan Kota Kidul (Utara)
3. Pemerintahan 4. Pusat aktifitas 5. Tata ruang
Kerajaan
Kolonial Eropa
Kompleks istana Alun-alun Pemukiman Perdagangan Pertahanan
Sekitar istana Downtown Pemukiman Perkantoran Perdagangan Pertanian Pertahanan
6.Penduduk 7. Sosiobudaya 8. Ekonomi
<50 000 jiwa Hindu
150 000 jiwa Sunda, Barat, China, Arab
Perladangan tradisional
9. Vegetasi ciri kota
Beringin
Perkebunan (perdagangan) Kota peristirahatan (wisata) Kenari, mahoni, ki hujan (pepohonan besar) Penataan romantisme, Garden city
Penataan sosial
Masa pascakolonial Tidak ada data Batas administratif: Utara : Cipakancilan Selatan : Tajur Barat : Cisadane Timur : Ciawi Republik Indonesia
> 1990-an
Tidak jelas
Tersebar
Pemukiman Perkantoran Perdagangan Pendidikan Penelitian Industri 271 841 jiwa Menuju budaya modern
Pemukiman Perdagangan Pendidikan Penelitian Industri Wisata >650 000 jiwa Memasuki budaya modern
Perdagangan
Beragam, termasuk industri wisata
Tidak khusus hanya pemeliharaan RTH sebelumnya Penataan mengikuti masa sebelumnya
“Sesuai trend”
11 850 ha Batas administratif: Utara : Ciomas Selatan : Tajur Barat : Cisadane Timur : Ciawi
Republik Indonesia
Penataan “Kota dalam Taman”
Sumber: Olahan data dari Rachmawati (1995) dan Widjaja (1991).
3.5.2. Keadaan RTH Saat Ini Berdasarkan potensi sumberdaya alam dan sejarah perkembangan kota, Bogor diarahkan menjadi Kota Dalam Taman. Pola tata ruang kota cenderung bersifat
40 konsentris dengan mempertahankan kebun raya sebagai pusat kota. Kebun raya ditetapkan sebagai induk pertamanan kota berdasarkan pertimbangan lokasi, ukuran, dan daya tarik wisata; selanjutnya RTH lain tersebar kearah luar kota (Nurdin 1999). Diagram bentuk dan susunan RTH kota saat ini dapat dilihat pada Gambar 8. RTH yang bertema kolonial (tropisch indisch) dengan sebagian besar bentuk, struktur, dan jenis-jenis pohonnya yang spesifik masih terjaga baik di dalam kota. RTH Kotamadya Bogor, menurut Bappeda (1996) sampai tahun 2005 akan diperluas sampai mencapai 40% atau ± 3 555 ha, dari luas kota 11 850 ha., dengan persebaran yang mengikuti pola yang telah ditetapkan. Pada tahun 1999, berdasarkan pengukuran planimetris dari peta RUTR Kodya Bogor dan verifikasi di lapangan didapatkan luas dan proporsi RTH kota dimana luas dan keberadaan RTH sebesar 40.37% tetap dipertahankan; selain untuk menjaga citra kota sebagai kota wisata dan kota pendidikan dalam bidang pertanian, dan hal ini juga sejalan dengan peraturan dalam Inmendagri No. 14 Tahun 1988. Pembangunan kota secara fisik diarahkan ke bagian Timur dan Utara kota karena ke bagian Barat dan Selatan yang tidak memungkinkan secara fisik yaitu areal perbukitan. Tetapi karena kurang terkendalinya pengembangan fisik kota, keterbatasan lahan, dan masih lemahnya penerapan hukum maka terjadi persebaran dan luas RTH yang belum memadai. Bappeda Kotamadya Bogor (1996), mendistribusikan ketersediaan RTH berdasarkan zonasi kota, yaitu: (1) di pusat kota yang meliputi kawasan perkantoran, permukiman, dan kebun raya (2) di kawasan permukiman dan industri (3) di kawasan permukiman dan perdagangan dan selanjutnya membagi RTH menjadi 10 bentuk yaitu (1) kebun raya (2) pertamanan kota (3) taman lingkungan permukiman (4) kebun dan pekarangan (5) lapangan untuk berolah raga (6) areal untuk pemakaman (7) jalur hijau jalan (8) pertamanan kantor dan sekolah
41 (9) RTH area industri (10) area pertanian dan hutan
3.5.3. Pengelolaan RTH Kota Struktur organisasi dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bogor (Lampiran 1) yang memiliki dan mengelola RTH kota, secara langsung maupun tidak langsung, adalah: (1) Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota (2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan (3) Dinas Peternakan (4) Dinas Pekerjaan Umum (5) Badan Pengelola. Gelanggang Olah raga dan Remaja (6) Perusahaan Daerah Air Minum. Disamping
RTH
yang
dimiliki
dan/atau
dikelola
oleh
Pemda
Kotamadya Bogor, RTH lainnya juga dimiliki dan dikelola oleh lembagalembaga pemerintah pusat (seperti Kebun Raya, komplek istana Presiden, dan lahan-lahan percoba-an/penelitian pertanian dan kehutanan) dan juga dimiliki oleh perseorangan atau perusahaan (seperti Perusahaan Goodyear, berbagai real estat yang terdapat disekitar kawasan pembangunan terutama di tepi kota, pengelola padang golf).
RTH ini dikelola sendiri dengan
pertimbangan dari Pemda Kodya melalui Dinas Tata Kota dan juga Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota.
42
4. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dalam wilayah administratif Kotamadya Bogor, Jawa Barat (Gambar 7). Seleksi Kota Bogor sebagai kota penelitian berlatar belakang: (a) Kota ini mempunyai ruang terbuka hijau (RTH) yang telah relatif mantap dan “stabil” dalam bentuk dan fungsi, dan juga karena didukung oleh sebagian besar elemen tanaman pengisinya yang telah mencapai pertumbuhan dewasa bahkan banyak pohon yang berumur puluhan tahun. Kondisi ini dapat menggambarkan bentuk fisik dan jasa lingkungan yang dapat/telah dihasilkan oleh RTH ini. (b) Kota ini diidentifikasikan sebagai “Kota dalam Taman” (Garden city) yang berorientasi wisata dan juga sebagai kota ilmiah (bidang pertanian, biologi, lingkungan) sehingga berkonsekuensi untuk memiliki penataan RTH yang relatif baik dan fungsional. (c) Diarahkannya kota ini sebagai kota untuk permukiman (dormitory town) bagi penduduk yang bekerja di kota-kota sekitarnya cenderung akan mempertinggi intensitas pembangunan fasilitas sosial ekonomi (seperti pasar, sekolah, rumah sakit, jalur lalu lintas) yang selanjutnya juga akan mempertinggi peluang pengalihan penggunaan lahan alami/ ruang terbuka (open spaces) menjadi lahan terbangun. Dampak selanjutnya yaitu terjadinya degradasi kualitas lingkungan kota terutama penurunan tingkat kenyamanan dan visual alami kota (d) Lanskap Kota Bogor walaupun mempunyai tingkat scenic amenity yang tinggi tetapi rawan terhadap beberapa bahaya lanskap (landscape hazards) seperti longsor, banjir, dan pencemaran.
Tingkat
kerawanan ini diperparah dengan terbatasnya luas kota sehingga nature endownment berbentuk RTH yang telah ada dalam kota harus dipertahankan keberadaannya dengan kondisi terbaiknya. Pelaksanaan prasurvei dan pengumpulan data lapangan dilakukan mulai Februari 1999 sampai dengan Juni 1999. Proses analisis data serta penulisan hasil penelitian berbentuk disertasi diselesaikan pada bulan Juni 2000. 4.2. Batasan dan Asumsi Penelitian Penelitian ini dibatasi pada:
43 (a) RTH yang terdapat di wilayah administratif Kotamadya Bogor berkategori ruang publik, tetapi tidak termasuk halaman pekarangan rumah (b) Penelitian berorientasi terhadap aspek spasial (ruang, wilayah) kecuali pada kasus khusus dimana individual tanaman mempunyai fungsi dan manfaat yang tinggi terhadap perbaikan kondisi lingkungan. (c) Penilaian dilakukan oleh warga masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Bogor. Asumsi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu bahwa: (a) Semua RTH yang terdapat dalam wilayah kota merupakan RTH yang membentuk dan memberi fungsi dan manfaat lingkungan pada ruangruang kota dan masyarakatnya. (b) Setiap warga kota memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik yang berasal dari salah satu bentuk sarana publik yang dibangun oleh pemerintah kota, dan dalam hal ini, sarana publik tersebut ada dalam bentuk ruang terbuka hijau (RTH). (c) Nilai lingkungan yang dimiliki oleh RTH kota merupakan nilai yang terbentuk dari 4 (empat) fungsi utamanya dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan perkotaan yaitu fungsi (1) biofisik, (2) ekonomi, (3) arsitektural, dan (4) sosial. Empat fungsi ini merupakan (kelompok) fungsifungsi yang umumnya digunakan oleh para perencana ruang-ruang terbuka kota termasuk ruang terbuka hijau (RTH) nya. 4.3. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah warga masyarakat yang bertempat tinggal dalam kota penelitian (Bogor), dimana masyarakat ini akan dipilih melalui satu metode pengambilan contoh tertentu 4.4. Identifikasi Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Masyarakat Terhadap RTH Kota Penilaian masyarakat terhadap manfaat lingkungan RTH kota merupakan komponen dari nilai-nilai yang dihasilkan oleh 4 (empat) fungsi yang dimiliki RTH yaitu (a) biofisik (b) ekonomi (c) arsitektural, dan (d) sosial.
44 Fungsi-fungsi ini, selanjutnya dinyatakan pada 2 (dua) bentuk fisik RTH yaitu bentuk yang umum terdapat di suatu wilayah perkotaan dan yang terkait dengan kesesuaian fungsionalnya pada ruang-ruang kota, yaitu (a) bentuk mengelompok: dikategori lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek estetik ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas masyarakat kota dan juga kurang bermanfaat secara ekologis (b) berbentuk jalur dikategori lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai, dan jalur hijau tepi kota. Gambar 11 memperlihatkan sebaran spasial 6 (enam) bentuk RTH dalam kota, serta Gambar 12 dan 13 memperlihatkan contoh 6 (enam) bentuk RTH ini.
Jalur hijau tepi kota Jalur hijau tepi sungai Jalur hijau Jalan raya
Kawasan
Simpul
Jalur hijau tepi kota
Gambar 11. Sebaran spasial enam bentuk utama RTH kota Bogor
45
RTH bentuk mengelompok: kawasan
RTH bentuk mengelompok: simpul
RTH bentuk jalur: jalur hijau jalan raya
RTH bentuk jalur: jalur hijau tepi sungai
RTH bentuk jalur: jalur hijau lintas kereta
RTH bentuk jalur: jalur hijau tepi kota
Gambar 12. Contoh enam bentuk utama RTH kota Bogor
46
Contoh RTH dengan fungsi biofisik
Contoh RTH dengan fungsi ekonomi
Contoh RTH dengan fungsi arsitektural
Contoh RTH dengan fungsi sosial
Gambar 13. Contoh bentuk fungsional RTH kota
47 Pada penelitian ini, karakteristik sosial ekonomi dari masyarakat penilai RTH dianalisis berdasarkan faktor-faktor: (1) latar belakang demografis individual, dan (2) berdasarkan pengalaman, persepsi dan preferensinya terhadap keberadaan RTH kota; dimana menurut Nasution (1995) dan Linawati (1995), faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap berbagai sarana kota dan terhadap kelestarian ruang terbuka suatu kota seperti taman-taman kota dan berbagai bentuk penghijauan lainnya. 4.5. Data Penelitian Data yang dikumpulkan terdiri dari (1) data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung di lapangan melalui wawancara dengan responden (n=205) dan juga pengamatan, dan (2) data sekunder yaitu data yang telah dipublikasikan dari berbagai sumber yang terkait dengan kondisi dan kebijakan penataan wilayah kota penelitian dan kondisi RTH. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Tabel 5 memperlihatkan bentuk data penelitian yang dikumpulkan dan Lampiran 2 memperlihatkan bentuk panduan kuesioner. Pada penelitian ini, besar penilaian responden terhadap 4 (empat) fungsi lingkungan pada tiap bentuk RTH merupakan suatu model pendekatan dari kesediaan responden untuk mengeluarkan atau menyumbang sejumlah biaya (Rupiah, Rp) tertentu (willingness to contribute, WTC), bila fungsi-fungsi tersebut ditiadakan pada tiap bentuk RTH yang diteliti. Persepsi responden terhadap bentuk dan fungsi RTH yang diteliti diklasifikasikan (tinggi/cukup/rendah) ber-dasarkan akumulasi dari nilai skoring berdasarkan pengetahuan mereka ter-hadap (1) bentuk dan elemen pembentuknya, dan (2) manfaat RTH dalam kota penelitian. Pengalaman responden terhadap RTH kota, yang dinilai berdasar-kan frekuensinya, dihitung berdasarkan (1) kepemilikan RTH disekitar rumahnya, (2) ketersediaan waktu luang, (3) frekuensi kunjungan ke RTH, serta (4) bentuk partisipasi responden tersebut dalam pengelolaan RTH. Data pengalaman ini diolah dengan sistem skoring untuk mengetahui tingkat pengalaman responden yang dinyatakan dengan nilai akumulatif dari empat peubah pengalaman tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya ditabulasi dan dianalisis untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Tabel 5. Bentuk data utama penelitian
48 Parameter I. RTH Kota
II. Masyarakat
III. Nilai Lingkungan
IV. Wilayah Kota
Peubah 1. Fungsi 1.1. Ekonomi 1.2. Biofisik 1.3. Arsitektural 1.4. Sosial 2. Bentuk 2.1. Mengelompok a. Kawasan b. Simpul 2.2. Jalur a. Jalur hijau tepi jalan raya b. Jalur hijau lintas kereta c. Jalur hijau tepi sungai d. Jalur hijau tepi kota 1. Demografik Individual 1.1. Umur (tahun) 1.2. Pekerjaan utama 1.3. Gender 1.4. Lama tinggal di Bogor (tahun) 1.5. Pendidikan 1.6. Pendapatan 1.7. Latar belakang pengetahuan lingkungan 2. Pendapat terhadap RTH 2.1. Pengalaman dengan RTH 2.2. Persepsi terhadap RTH 2.3. Preferensi RTH 3. Besar penghargaan/apresiasi terhadap tiap fungsi dan tiap bentuk RTH kota
4. Kondisi wilayah 4.1. Kondisi SDA dan lingkungan 4.2. Kondisi sosial ekonomi 4.3. RTH a. Luas dan Distribusi RTH (Wilayah, Penduduk) b. Pola penggunaan RTH kota (Jumlah, kegiatan, waktu)
Pengamatan, pengukuran a. Penentuan dan klasifikasi fungsi RTH: Pengamatan di lapangan dan grafis, teori, konsultasi dengan pakar, hasil-hasil penelitian. b. Wawancara: Memberikan gambaran dengan contohcontoh mengenai fungsi RTH tertentu a. Penentuan dan klasifikasi fungsi RTH: Pengamatan di lapangan dan grafis, teori, konsultasi dengan pakar, hasil-hasil penelitian b. Wawancara: Memberikan gambaran dengan contohcontoh mengenai bentuk RTH tertentu Wawancara Jawaban telah terstruktur berdasarkan peringkat tertentu/ordinal (lihat Lampiran 2), kecuali untuk pekerjaan utama dan gender.
Wawancara Jawaban dari kuesioner diolah untuk mendapatkan peringkat tertentu/ordinal (lihat Lampiran 2 ) Wawancara untuk kesediaan membayar/menyumbang (willingness to contribute, WTC) terhadap fungsi yang dimiliki RTH berdasarkan selang jumlah (Rp.) yang diajukan Jawaban telah terstruktur berdasarkan peringkat tertentu/ordinal (lihat Lampiran 2) Data statistik Pemda Kodya Bogor (tahun terakhir) dan verifikasi di lapangan Data Statistik Pemda Kodya Bogor Planimetrik Peta RUTRK (skala 1:12 500) Verifikasi di lapangan
4.6. Metode Pengambilan Contoh Populasi penelitian adalah semua warga yang bertempat tinggal dalam kota penelitian yang dapat menikmati, secara langsung dan tidak langsung, manfaat dari keberadaan atau ketersediaan RTH dalam wilayah kota. Setiap warga kota ini, diasumsikan, memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik yang berasal dari salah satu bentuk sarana publik yang dibangun oleh pemerintah kota, dan dalam hal ini sarana publik tersebut adalah RTH.
49 Dengan asumsi bahwa RTH merupakan suatu bentuk sarana publik yang disediakan oleh pemerintah kota dan manfaat lingkungan yang dihasilkannya adalah untuk warga kota pada bagian kota yang memilikinya, maka ditentukan cara pengambilan sampel penelitiannya. Lokasi pengambilan responden dipilih dengan cara multistage sampling dimulai dari tingkat kecamatan yaitu dipilih sejumlah 3 (tiga) kecamatan dari total 6 (enam) kecamatan di kota penelitian, dan selanjutnya dipilih sejumlah 3 (tiga) kelurahan. Distribusi lokasi pengambilan data responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Lokasi pengamatan dan besar ukuran contoh responden No. 1. 2.
Kecamatan Bogor Timur Bogor Tengah
3.
Bogor Barat Jumlah total responden
Kelurahan 1. Baranangsiang 1. Sempur 2. Ciwaringin 1. Menteng 2. Pasir Kuda 3. Gunung Batu
Ukuran Contoh 10 51 44 29 31 40 205
Responden adalah warga kota yang berumur >15 tahun (<15 tahun tidak dipilih karena diasumsikan belum dapat memberi jawaban yang sesuai dengan tujuan penelitian). Responden terpilih berjumlah 205 orang dimana jumlah responden dari tiap kelurahan adalah proporsional dengan jumlah total penduduk pada tiap kelurahannya.
4.7. Teknik Analisis Data Penelitian ini ditujukan pada 4 (empat) hal utama, yaitu : (1) keragaan fisik RTH kota (2) persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTH (3) penilaian masyarakat terhadap RTH, dan (4) konsepsi model pengelolaan RTH kota. Teknik analisis yang dilakukan terhadap hal utama ini: (a) Digunakan analisis deskriptif pada data spasial Kotamadya Bogor (sumber peta RUTRK Kotamadya Bogor tahun 2005, skala 1 : 12 500) dan data non spasial (bersumber dari data statistik dari Bappeda, Dinas PU, laporan teknis, hasil-hasil penelitian di lingkup IPB dan lainnya) untuk mendeskripsi, menganalisis dan mengklasifikasikan keragaan fisik RTH kota serta pola distribusinya dalam wilayah kota;
50 (b) Digunakan Analisis Korelasi untuk mengolah data persepsi dan preferensi responden terhadap fungsi-fungsi pada bentuk-bentuk RTH yang diteliti; dan juga untuk data hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara untuk menganalisis tingkat pengalaman responden yang terkait RTH. (c) Digunakan Analisis Komponen Utama untuk mengetahui korelasi dan kecenderungan yang terjadi antar 4 (empat) peubah fungsi (ekonomi, biofisik, arsitektural, dan sosial) pada tiap bentuk RTH (bentuk kawasan dan bentuk jalur). Bentuk kawasan diklasifikasi lagi menjadi bentuk mengelompok dan bentuk simpul; dan bentuk jalur diklasifikasi lagi menjadi jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai dan jalur hijau tepi kota. Untuk mengetahui gambaran tentang pola hubungan dan kedekatan (jarak spasial) antara profil demografis responden dengan fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk RTH yang diteliti ini dilakukan Analisis Gerombol pada data WTC (Willingness to Contribute) yang merupakan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan responden. Hasil analisis akan menjelaskan: (1) Profil dan karakter penilaian responden (yang digambarkan dengan WTC) terhadap fungsi-fungsi RTH pada tiap bentuk RTH yang terdapat dalam kota penelitian, dan (2) Pola yang menggambarkan hubungan dan kedekatan (jarak) antara profil responden penilai (masyarakat kota) berdasarkan latar belakang demografisnya dengan keberadaan RTH melalui fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk yang dimiliki RTH kota ini. 4.8. Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan dan Pengelolaan RTH Kota Berdasarkan hasil-hasil yang didapat dari penelitian ini, secara hipotetik, dikembangkan model simulasi sederhana yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan konsepsi model pembangunan dan pengelolaan RTH kota penelitian yang mengakomodasikan hasil utama penelitian, yaitu model konsepsi pengembangan RTH yang berorientasi pada kenyamanan dan kelestarian lingkungan
51 kota serta pada saat yang bersamaan juga mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan warga kotanya . Konsepsi model kebijakan publik ini merupakan alternatif kerangka pembangunan dan pengelolaan RTH pada lahan di wilayah perkotaan, yang menjadi syarat perlu dan syarat cukup untuk berbagai lahan perkotaan yang memiliki kriteria seperti pada kota penelitian. Kebijakan yang menjadi syarat perlu, yaitu bila kebijakan publik untuk RTH ini cenderung dapat mengendalikan terjadinya proses yang cepat dari penurunan kualitas lingkungan wilayah perkotaan; dan kebijakan yang menjadi syarat cukup, yaitu bila kebijakan ini dapat menjamin terjadinya interaksi antara masyarakat dengan rencana pembangunan dan pengelolaan RTH. Penggabungan kedua model ini, sehingga didapatkan model integratifnya yang merupakan pengembangan konsep masyarakat sadar lingkungan (eco society concept), maka model integratif yang terbentuk ini akan merupakan bahan acuan kriteria konsepsi kebijakan publik yang melandasi pola pembangunan dan pengelolaan untuk kelestarian RTH kota. .
52
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota 5.1.1. Ketersediaan Total Berdasarkan hasil pengukuran planimetrik pada peta RUTRK tahun 2005 (Nurdin 1999), data penelitian Savitri (1991) serta verifikasi beberapa tempat di lapangan diketahui luas RTH dalam Kota Bogor adalah sebesar 4 975.35 ha atau ∀42 % dari luas wilayah kota ini. Berdasarkan persyaratan luas RTH kota dalam Inmendagri No. 14 tahun 1988, dimana luas RTH untuk satu kota adalah minimal 40% dari luas wilayahnya, maka besaran nilai tersebut sudah masuk dalam kategori luasan RTH yang memadai untuk suatu kota. Namun, untuk mendapatkan kualitas lingkungan kota yang lebih tepat dan baik guna mendukung sistem keberlanjutan kota, melalui ketersediaan dan kualitas RTH, maka besaran nilai untuk ketersediaan RTH ini harus dianalisis dan dikoreksi lagi melalui perhitungan spasial dan pengamatan kondisi lapangan (ground check) terhadap kondisi kepekaan atau daya dukung sumberdaya alam pembentuk lanskap atau bentang alam kotanya dan juga pengukuran terhadap kualitas lingkungan (terutama kualitas udara dan air) pada beberapa lokasi rawan pencemaran dalam kota. Hal ini mengingat kondisi fisik, arsitektural, dan sosial (nilai kesejarahan) kota Bogor yang memiliki karakter yang khas, yaitu: (a) cukup luasnya areal dalam kota yang memiliki lanskap atau bentang alam yang berbukit bahkan pada hampir 50% areal bantaran sungai dengan tebing-tebing dengan kemiringan yang terjal (>25%) sudah hampir tidak tertutupi oleh vegetasi lagi sehingga berpotensi untuk terjadinya bahaya longsor dan juga mengurangi keindahan alaminya, (b) tingginya curah hujan (3500-4000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan ±265 hari) disertai dengan jenis tanah dominan dalam kota yang agak peka terhadap erosi (jenis tanah latosol) yang berpotensi untuk terjadi-nya erosi terutama pada areal berkemiringan yang banyak terdapat dalam kota (Gambar 14), (c) kualitas lingkungan udara pada beberapa areal dalam kota yang cen-derung terus tercemar seperti pada areal dengan kepadatan
53 tinggi dari transportasi angkutan kota (terutama untuk angkutan kota sehari-hari dan kenderaan wisata), (d) cukup banyaknya areal yang memiliki landscape scenic amenity yang perlu dilindungi melalui penghijauan untuk mendukung terwujudnya konsep “Kota dalam Taman”, dan (e) nilai historik kota (kota kolonial, kota tropisch indies) yang memiliki nilai arsitektural romantisme berdasarkan dominansi dari keberadaan dan ragam jenis pohon tropikal tertentu (seperti damar, palem raja, flam-boyan, kenari, mahoni, asem) dan lapangan rumput serta berbagai bangunan dan struktur kolonial yang perlu dilestarikan untuk kepen-tingan nilai kesejarahan (situs sejarah dalam bentuk lanskap kota atau bagian kota) dan kepariwisataan (Gambar 15).
(a: kondisi eksisting beberapa tebing terjal dan tepi sungai di kota penelitian)
(b: contoh perlakuan RTH untuk lahan berkemiringan, digambar Damayanti, 2000)
Gambar 14. Salah satu bentuk RTH pada tebing dan sungai
54
Gambar 15. Jenis RTH kota penciri suasana Tropisch Indies yang perlu dilestarikan guna mendukung kualitas lingkungan dan kesejarahan kota 5.1.2. Ketersediaan RTH Kota Berdasarkan Bentuk Bentuk suatu RTH, secara ekologis maupun arsitektural dan sosial, terkait dengan fungsi dan lokasi penempatannya (Forman dan Godron 1986; Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977). Karena itu, RTH dalam suatu kota haruslah memiliki bentuk tertentu untuk dapat menyatakan fungsinya pada suatu posisi ruang tertentu guna mendapatkan manfaat tertingginya, yang dapat dinyatakan sebagai RTH fungsional. RTH dalam kota penelitian ini memiliki keragaman bentuk yang tinggi, dimulai dari bentuk yang fungsional sesuai dengan persyaratan fungsinya dan tata ruang perkotaan sampai dengan RTH yang tidak fungsional. Pada Lampiran 3 Tabel 3.a. dapat dilihat enam bentuk utama RTH fungsional yang dijumpai dalam Kota Bogor serta prakiraan luas areal tiap bentuk utama ini. Dari enam bentuk utama RTH yang diamati, untuk selanjutnya dinilai oleh masyarakat perkotaan ini, terlihat bahwa RTH berbentuk jalur (linear, koridor) mendominasi bentuk-bentuk penghijauan dalam wilayah Kota Bogor, yaitu sejumlah 89.32%, dan subbentuk jalur terluas adalah jalur hijau tepi kota (urban green belt) yaitu sejumlah 84.80%. Luasan lahan dari bentuk RTH lainnya, mengelompok dan jalur, hanya mencapai jumlah < 10.00%. Jalur hijau tepi sungai, yang seharusnya merupakan lahan potensial untuk pengembangan dan pelestarian RTH yang bermanfaat mendukung fungsi lingkungan alami untuk wilayah perkotaan, tidak memiliki luasan RTH yang cukup memadai yaitu hanya berjumlah 1.04%. (a) RTH bentuk kawasan RTH mengelompok berbentuk kawasan (RTH kawasan) merupakan RTH yang relatif memadai luasannya dan menduduki peringkat kedua (7.97 %) dalam jumlah luas RTH kota setelah jalur hijau tepi kota (urban green belt). Bentuk RTH ini umumnya merupakan areal rekreasi publik (seperti Kebun Raya dan Istana Presiden, Taman Ade Irma Suryani, Lapangan Sempur), lahan-lahan untuk kebun percobaan milik lembaga-lembaga penelitian pertanian dan kehutanan, areal kawasan lindung (areal lindung
55 pada tebing-tebing sungai dan perbukitan lainnya), dan areal pemakaman. Walaupun masih cukup luasannya dalam skala wilayah kota, beberapa RTH kawasan ini juga telah mulai berkurang luasnya terutama karena kegiatan pembangunan kota seperti pelebaran jalan atau kon-versi lahan untuk manfaat ekonomi (menjadi pusat jajanan, pembangunan kios). Bentuk RTH kawasan ini, pada awal perkembangan kota, merupakan suatu bentuk RTH kebanggaan dan pembentuk karakter kota penelitian ini (Gambar 15). Seperti juga yang banyak dilakukan pada kota-kota besar dunia (New York dengan Central Park, London dengan Hyde Park, Jakarta dengan Taman Medan Merdeka atau Taman Monas), RTH berbentuk kawasan ini (mengelompok dan relatif luas arealnya) merupakan suatu bentuk lahan yang ideal dan potensial untuk mendukung perbaikan kualitas lingkungan kota. Semakin luas lahan RTH kawasan ini maka akan semakin efektif dalam perbaikan kualitas lingkungan terutama bila dikembangkan pada pusat-pusat kota yang umumnya memiliki kepadatan bangunan yang tinggi atau lantai hijau yang rendah/sedikit. Disamping itu, lahan dengan RTH kawasan yang relatif luas juga dapat mengakomodasikan fungsifungsi RTH lainnya terutama fungsi sosial (rekreasi, edukasi) sehingga ketersediaannya dan kelestariannya perlu untuk dipertahankan. Bila terjadi penurunan jumlah dan luas RTH kawasan untuk kota penelitian ini, maka tidak saja akan menurunkan nilai kesejarahan kota yang merupakan aset budaya dan aset wisata kota, juga akan menurunkan manfaat lingkungan lain (arsitektural dan terutama biofisik) yang dihasilkan oleh RTH yang luas ini. (b) RTH bentuk simpul RTH simpul berfungsi utama arsitektural yaitu untuk mengarahkan dan menata estetika ruang kota, serta sebagai bentukan ruang pengikat sistem per-tamanan kota (Nurdin 1999; Simonds 1994; Waluyo 1990). Menurut Waluyo (1990), taman-taman (bentuk RTH simpul) yang terdapat disekitar permukiman
“lama” dibagian kota Bogor awal yaitu yang
dibangun pada periode masa atau pada akhir kolonial tahun 1940-1950, merupakan taman-taman yang mengikuti pola taman-taman di Eropa saat itu yaitu taman-taman pasif (tidak digunakan untuk kegiatan aktif a.l. olah
56 raga, jadi hanya untuk dinikmati secara visual) yang hanya berfungsi sebagai “pengikat” antar kawasan permukiman. RTH berbentuk simpul (contoh adalah taman-taman kota, pocket parks, traffic islands) walaupun tidak memiliki jumlah luasan yang tinggi tetapi
keber-adaannya
cukup
nyata
dalam
mendukung
ide
untuk
menjadikan kota ini sebagai “Kota dalam Taman”. Untuk memperkuat karakter Bogor sebagai “Kota dalam Taman” maka kualitas RTH simpul atau taman-taman kota ini dianjurkan untuk di dilestarikan dan redesign mengikuti pola awal sehingga nilai sosial kesejarahan-nya dapat menjadi tema kota dan mendukung kualitas estetika lingkungan kota. (c) Jalur hijau tepi jalan Di dalam kota penelitian, jalur jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi kota yang utama, dimana panjang jalan seluruhnya di kota ini adalah ± 71 000 km, yang terdiri dari jalan negara ± 16 000 km (22.86%), jalan propinsi ± 7 000 km (9.86%), dan jalan kotamadya ± 47 000 km (66.20%).
Karena (a) merupakan jalur transportasi utama yang tetap
keberadaannya di suatu lokasi, dan (b) luas jalur jalan kepemilikan Pemda yang relatif tinggi (66.20%) maka penghijauan yang intensif pada tepi jalan raya akan dapat mendukung program perbaikan kualitas lingkungan sehingga
perlu
untuk
dikelola
dengan
baik
untuk
pelestarian
ketersediaannya dan manfaat lingkungannya. Jalur hijau jalan raya, dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya memiliki peringkat luasan ketiga (atau hanya 3.23% dari luas RTH total kota) setelah jalur hijau tepi kota (84.80%) dan RTH kawasan (7.97%). Jalur hijau jalan raya ini merupakan RTH pembentuk ruang kegiatan transportasi yang ditata dengan mengakomodasikan fungsi arsitektural (penyangga, keteduhan,
keteraturan,
keindahan,
pengarah,
identitas,
pembentuk
karakter), dan fungsi biofisik (biofilter yang mereduksi bahan pencemar udara dan kebisingan, kenyamanan dan kesegaran). Untuk kasus kota Bogor, jalur hijau jalan raya ini juga merupakan salah satu ruang terbuka pembentuk karakter alami kota terutama karena keberadaan pohon-pohon besar yang membentuk jalur hijaunya dengan posisi radial dalam ruang kota (lihat Gambar 9a dan Gambar 10). Pada jalur lingkar kebun raya maka keberadaan jalur pedestrian juga merupakan nilai tambah bagi jalur hijau tepi jalan ini. Sesuai dengan fungsinya sebagai
57 kota wisata dan peristirahatan maka sebagian besar pohon tepi jalan yang telah berumur puluhan tahun, yang merupakan elemen utama pembentuk RTH tepi jalan ini dan aset sumberdaya alam kota, masih tetap dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya.
Menurut Schmid (1979),
semakin banyak suatu kota memiliki pohon-pohon tua yang ter-pelihara dengan baik maka semakin tinggi nilai dari kota tersebut. Keunikan RTH tepi jalan sebagai elemen alami kota kolonial (Tropisch Indies) yang masih tetap dipertahankan pada beberapa bagian utama kota (jalur hijau jalan raya sekitar istana presiden dan sebagian besar lingkar kebun raya, jalan Ahmad Yani), cenderung akan dapat menjamin fungsi, keberadaan serta kelestarian jalur hijau tepi jalan ini; tetapi hal yang sebaliknya akan cenderung terjadi bila terjadi perubahan tema kota. Pada masa mendatang diharapkan jalur hijau tepi jalan akan tetap dipeli-hara guna mengendalikan peranan pentingnya dalam menjaga kenyamanan dan perlindungan wilayah (fungsi biofisik), keindahan dan keteraturan serta karakter kota (fungsi arsitektural), dan kebanggaan kota (fungsi sosial) yang cukup nyata mengingat relatif panjangnya jalur jalan dalam kota, terutama yang dimiliki atau yang berada dibawah pengelolaan Pemda (merupakan ruang milik publik). Keberadaan pohon-pohon besar dan tua tetap dipertahankan untuk aset dan nilai kota, dan diupayakan untuk merancang model pengelolaan yang tepat untuk mempertahankan keberadaan pohon-pohon ini. (d) Jalur hijau lintas kereta Jalur hijau lintas kereta menduduki peringkat luas yang terendah (0.25%), dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya. Hanya terdapat satu jalur hijau lintas kereta di kota ini dan dari data pengamatan lapangan diketahui bahwa hampir seluruh bagian jalur lintas kereta ini tidak memiliki kualitas penghijauan yang memadai dan fungsional sehingga perlu redesign untuk mengoptimalkan fung-sinya sebagai jalur hijau penyangga. Untuk tidak mengganggu sistem transpor-tasi kereta api ini maka jalur hijau dialokasikan diluar areal DAWASJA (Daerah pengawasan jalan) atau ∀15 m dari daerah DAMAJA (Daerah manfaat jalan :jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri atau kanannya yang diper-gunakan untuk kontruksi jalan rel)
58 Adanya jalur hijau disamping lintasan kereta (bukan jenis tanaman yang
tinggi/pohon) sangat penting mengingat fungsinya sebagai ruang
penyangga/ pengaman antara kegiatan transportasi kereta dengan warga kota
sehingga
keberadaan
RTH
ini
dapat
menghindari
terjadinya
kecelakaan pada warga kota (fungsi sosial RTH), dan terutama bermanfaat untuk meredam kebisingan dan sebagai penjerab debu yang merupakan hasil kegiatan lalu lintas kereta api ini (fungsi biofisik).
RTH ini juga
menjadi penting untuk penyangga terjadinya van-dalisme yang sering terjadi di lintasan kereta kota penelitian ini. (e) Jalur hijau tepi sungai Diketahui bahwa lahan bervegetasi atau RTH ditepian sungai dapat berfungsi untuk mengurangi bahaya erosi, mencegah longsor tebing, menjaga kestabilan saluran dan kualitas air serta juga memiliki nilai-nilai lain yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia yaitu
kepentingan
estetik dan rekreasi alam. Kota Bogor dilalui oleh 2 (dua) sungai utama dan 9 (sembilan) anakanak sungai dengan panjang ± 105.73 km, dan panjang jalur hijaunya ± 76.7 km (73%) dengan ketebalan rata-rata ± 3.0 m. (perhitungan planimetrik dan pengamatan lapangan). Walaupun luas areal untuk peruntukan RTH berbentuk jalur hijau di tepian sungai ini sangat potensial untuk penyumbang peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, tetapi tidak semua tepi atau bantaran sungai di kota penelitian tertutupi oleh vegetasi, atau bila ada sering tidak terstruktur dengan baik (tidak fungsional pada lahan kota yang terbatas dan juga relatif mahal). Ketersediaannya di kota penelitian relatif sangat kecil yaitu hanya 51.90 Ha atau 1.04% dari luas total RTH kota, atau ∀30% dari RTH jalur hijau tepi jalan. Gambar 16 memperlihatkan tiga model penutupan lahan yang umumnya dijum-pai pada beberapa bagian tepi sungai dalam kota, yaitu: (a) penutupan lahan dengan tanaman pertanian (persawahan, lahan untuk tanaman palawija), (b) penutupan lahan dengan tanaman yang tumbuh secara alami, dan (c) penutupan lahan dengan perumahan yang diseling dengan tanaman dengan intensitas rendah-sangat rendah.
59
(a) Wilayah Katulampa
(b) Tebing sungai Jl Martadinata
(c) Tebing Sempur
Gambar 16. Contoh model penutupan lahan tepi sungai di kota penelitian Sangat jarang dijumpai tepi sungai tertutupi penuh oleh lahan bervegetasi (kecuali areal kebun raya). Posisi sungai-sungai dan anak-anak sungainya yang membelah kota merupakan lahan potensial untuk memperbaiki kualitas lingkung-an dalam kota. Karena itu penghijauan jalur tepi atau bantaran sungai, melalui kegiatan konservasi, revegetasi, dan penambahan areal RTH, di kota penelitian disarankan untuk dilakukan dan ditingkatkan ketersediaannya berdasarkan hal-hal sebagai berikut: potensi areal bantaran yang tinggi untuk areal penghijauan kota (ber-dasarkan peraturan pemerintah maka lebar sempadan sungai adalah 50-100 m untuk dalam kota dan saat ini lebar areal hijau rata-rata kota penelitian adalah ∀3 m), pelindung areal ekoton kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang mendukung (curah hujan yang tinggi, jenis tanah latosol yang subur tetapi agak peka ter-hadap erosi, dan bentukan sungai yang memiliki banyak kelokan yang bernilai lingkungan yang tinggi (sinuositas), penyangga alami (biofilter) untuk mencegah terjadinya bahaya untuk manusia (banjir bandang, palung berbahaya pada sungai Ciliwung dan Cisadane), dan biofiltering terhadap penurunan kualitas air (yang berasal dari buangan sampah, padatan tanah akibat erosi, dan lainnya) peluang untuk areal rekreasi alam. (f) Jalur hijau tepi kota Dari empat subbentuk jalur penghijauan ini maka jalur hijau tepi kota (juga dikenal dengan istilah sabuk hijau, urban greenbelt, urban forest belt)
60 menduduki peringkat tertinggi, yaitu 84.80% dari luas RTH total. Secara kuantitatif, luas jalur hijau tepi kota ∀5 (lima) kali lebih luas dibandingkan dengan bentuk RTH lain dan menutupi ∀35.60% luas lahan kota . Berdasarkan pengamatan dan verifikasi di lapangan terlihat bahwa kota penelitian ini masih memiliki lebar dan keliling jalur hijau tepi kota yang relatif baik, walaupun pada beberapa lokasi cenderung menipis dan berubah menjadi bentuk jalur tepi jalan dan pekarangan rumah. Untuk kelestarian dan kenyaman-an lingkungan sistem perkotaan di kota penelitian ini maka ketersediaan dalam jumlah areal dan kualitas dari jalur hijau tepi kota ini perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan mengingat semakin
berkurang
dan
cenderung
“tertekannya”
keberadaan
dan
ketersediaan lahan-lahan untuk kepentingan lingkungan per-kotaan ini. Hal ini didukung oleh banyaknya kepentingan dari green belt atau forest belt ini yaitu sebagai pengendali perkembangan kota secara fisik, sumber pangan kota, sumber O2, dan penurun suhu kota (Bernatzky 1978; Bidwell 1974; Carpenter et al. 1975; Gilpin 1996; dan Pribadi 1999).
Disamping itu,
fungsinya sebagai areal rekreasi publik (Brockman dan Meriem 1973; Gilpin 1996: Gunadi 1998; Simonds 1994) dan juga sebagai koridor pergerakan satwa liar seperti burung dan mamalia kecil (Pakpahan 1993). Nilai sewa lahan yang relatif lebih rendah pada bagian tepi-tepi kota akan mendukung keberadaan RTH jalur tepi kota yang luas bila disertai dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik terhadap fungsi-fungsi RTH terutama terhadap fungsi lingkungan.
Dari berbagai penelitian di
beberapa kota Amerika diketahui bahwa, keberadaan greenbelt ini juga berperan dalam meningkatkan nilai jual lahan serta perumahan (Correll et al. 1978; Diamonds 1980; McPherson 1996; More et al. 1981) sehingga keberadaan greenbelt di Kota Bogor, minimal seperti yang telah ada saat ini, cukup potensial untuk dapat meningkatkan nilai perekonomian kota ini terutama jika dihubungkan dengan arahan Pemerintah Daerah untuk menjadikan
Kota
Bogor
sebagai
dormitory
town
dan
juga
untuk
kepentingan kepariwisataan. Saat ini, karena terjadinya perluasan Kota Bogor maka bentuk jalur hijau tepi kota ini cenderung berkurang karena adanya perluasan kota terutama oleh pembangunan permukiman, dan terjadinya konversi fungsi yaitu dari fungsi alami menjadi fungsi sosial atau rekreasi (seperti
61 pembukaan areal resort, padang golf) yang mengurangi fungsi utamanya sebagai areal biofisik dan sosial. Tetapi keberadaan greenbelt Kabupaten Bogor yang terletak pada bagian barat dan utara kota, yang berbentuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan, atau areal permukiman dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang rendah membantu dalam mempertahankan ketebalan jalur hijau tepi kota ini, sehingga kenyamanan lingkungan dalam kota relatif dapat masih dapat dipertahankan. Walaupun tidak atau belum diketahui secara pasti ketebalan fungsional suatu jalur hijau tepi kota (greenbelt), tetapi menurut Forman dan Godron (1978) bentuk RTH yang fungsional adalah bentuk yang relatif besar dalam ukuran memanjang maupun melebar, serta yang tidak terputus (bersambungan). Bila kelestarian dan kenyamanan lingkungan alami kota secara fisik ingin diper-tahankan maka green belt merupakan suatu alternatif bentuk RTH berfungsi ganda yang potensial dan harus dipertahankan
ketersediaannya
dalam
kawasan
Kota
Bogor
ini.
Ketersediaan bentuk RTH jalur hiijau tepi kota atau green/forest belt ini juga dapat menjadi satu nilai tambah bagi kualitas lingkungan kota Bogor, karena banyak kota-kota besar Indonesia, akibat pembangunan dan pengem-bangan kota yang tidak terkendali, telah kehilangan lahan-lahan hijau sebagai pembatas alami kotanya. 5.1.3. Distribusi Ketersediaan RTH dalam Wilayah Kota Distribusi RTH dalam suatu wilayah perkotaan penting artinya jika dilihat dari berbagai manfaat lingkungan yang dimilikinya. Distribusi RTH yang relatif merata secara spasial pada tiap bagian wilayah kota terutama bagian kota yang bermasalah dalam bahaya dan kualitas lingkungan (seperti pencemaran udara, terjal dan berpotensi longsor, erosi tebing sungai), kebutuhan per penduduk (seperti untuk pendukung kesehatan, kenyamanan,
rekreasi
subwilayah/kawasan
alami),
(perdagangan,
dan
tiap
permukiman,
satuan
fungsional
industri,
dll)
maka
ketersediaan RTH ini akan bermanfaat dalam menjaga dan mengendalikan kualitas lingkungan di seluruh atau di bagian kota dan dalam melayani kepen-tingan sosial dan rekreasi warga kota. Untuk mendukung hal-hal ini maka analisis distribusi dan kebutuhan RTH per wilayah akan menjadi hal yang penting.
62
(a) Distribusi RTH Berdasarkan Wilayah Administratif Distribusi RTH untuk tiap wilayah kecamatan di kota penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.b. Rasio luas RTH terhadap kota dan kecamatan yang dinilai cukup tinggi, selain menggambarkan tingkat kenyamanan juga untuk mengendalikan dan menambah kualitas lingkungan dan keindahan alami kota. Dari Lampiran 3 Tabel 3.b diketahui bahwa kota penelitian memiliki RTH total sebesar 41.99% yang sesuai berdasarkan peraturan perundangan, yaitu Inmendagri No.14 tahun 1988. Walaupun demikian, untuk mendapatkan manfaat yang efektif, perlu juga diketahui distribusi RTH sesuai dengan kerawanan fisik lahan, struktur ruang kota dan lokasi konsentrasi penduduk. Wilayah kecamatan yang memiliki lahan yang peka atau mudah longsor dan daerah resapan air merupakan contoh alokasi RTH yang harus ada, demikian juga kecamatan dengan konsentrasi kegiatan hunian dan rekreatif masyarakat.
Secara fisik,
alokasi RTH masih dipertahankan tetapi cenderung terjadi pengurangan luas RTH, dalam jumlah (konversi lahan) dan kualitasnya (konversi bentuk dan fungsi). Tabel 3.b pada Lampiran 3 juga menggambarkan peringkat rasio RTH terhadap luas lahan kota dimana rasio tertinggi pada skala kota, dijumpai di Kecamatan Bogor Selatan (1:12.88) dan terendah di Bogor Tengah (1:1.37), dan peringkat tertinggi untuk skala kecamatan didapatkan di kecamatan Tanah Sareal dan terendah di Bogor Tengah. Terdapat kecenderungan bahwa: (a) semakin menuju ke luar/tepi kota maka nilai rasio untuk lahan hijau ini terhadap lahan kota akan semakin tinggi. (b) pada bagian pusat kota didominasi oleh RTH kawasan yaitu RTH yang mengelompok dan dalam ukuran yang relatif luas, dan pada bagian tepi kota didominasi oleh RTH berbentuk jalur hijau tepi kota. Perbedaan dalam nilai ekonomi lahan (rent) diduga merupakan penyebab perbedaan nilai peringkat ini dimana lahan yang terdapat di bagian tengah kota yang didominasi oleh kawasan perdagangan (dengan sewa yang mahal) memiliki RTH yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang terdapat dibagian tepi kota yang memiliki RTH yang luas. Lahan tepi kota ini masih didominasi oleh lahan pertanian dengan nilai sewa lahan yang lebih rendah.
63 Bogor Tengah merupakan subwilayah kota dengan rasio dan luas RTH yang paling rendah. Peruntukan tata ruang kecamatan ini sebagai pusat kawasan perdagangan (Central Business District, CBD), yang umumnya memiliki nilai sewa lahan yang tinggi, diduga merupakan kendala utama dalam usaha pengembangan RTH di wilayah ini, kecuali bagi penambahan atau perubahan kualitas RTH simpul (yang berbentuk taman-taman kota). Keberadaan Kebun Raya dan Istana Presiden serta lapangan olah raga Sempur, yang merupakan penentu luas areal RTH di bagian kota ini, harus tetap dipertahankan keberadaannya karena RTH ini merupakan ruang publik utama berskala kota untuk penentuan kualitas lingkungan tidak hanya dalam skala kecamatan tetapi juga skala kotamadya. Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal merupakan areal dengan luas areal RTH yang relatif tinggi. Kedua kecamatan ini berposisi dibagian tepi kota yang masih didominasi oleh areal hijau dalam berbagai bentuk dan fungsi. Diharapkan, dua kecamatan ini dan juga tiga kecamatan lain yang mengelilingi bagian tengah kota penelitian dapat mempertahankan luas dan ketebalan RTHnya sehingga kenyamanan alami kota serta kelestarian sistem kota berkelanjutan dan tema “Kota dalam Taman” dapat diwujudkan. (b) Distribusi RTH Berdasarkan Bentuk RTH Distribusi RTH berdasarkan bentuknya dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.c. (lihat Gambar 10 dan Gambar 11 pada Bab 4). Pada tabel ini diketahui bahwa RTH simpul, jalur hijau jalan raya dan jalur hijau tepi sungai terdistribusi relatif merata pada tiap kecamatan, dimana masingmasing keberadaannya di-duga merupakan konsekuensi dari: (a) pengembangan kota penelitian sebagai ”Kota dalam Taman”, (b) kepentingan dari jalur transportasi darat, dan (c) banyaknya alur sungai yang melintasi bagian-bagian dalam kota. Bogor Selatan merupakan kecamatan dengan luas dan ragam RTH tertinggi, terutama luas RTH tepi kota yang tertinggi sehingga dapat dinyatakan bahwa wilayah ini merupakan wilayah kota Bogor yang ternyaman
ditinjau
dari
segi
lingkungannya.
Kurang
intensifnya
pembangunan fisik disini disebabkan karena wilayah ini merupakan daerah resapan air sehingga kecamatan ini dialo-kasikan sebagai kawasan pengembangan permukiman dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang sangat rendah, seperti pada areal permukiman Ranca-maya. Hal yang
64 sebaliknya didapatkan pada Kecamatan Bogor Tengah yang merupakan kawasan perdagangan yang didominasi oleh berbagai struktur dan bangunan. lapangan
Keberadaan Kebun Raya dan RTH istana Presiden serta olah
raga
Sempur
merupakan
pengendali
kenyamanan
lingkungan di wilayah ini yang perlu untuk dipertahankan dan bila diperlukan dapat diperluas pengaruh perbaikan lingkungannya seperti membuat ketersambungan kanopi pohon-pohon sehingga akan didapatkan keteduhan dan kenyamanan iklim mikro. Dari Tabel 3.c pada Lampiran 3 terlihat bahwa bentuk-bentuk RTH yang potensial untuk meningkatkan kualitas lingkungan pada seluruh bagian wilayah kota berdasarkan pendistribusian RTH adalah (1) bentuk kawasan, (2) jalur hijau jalan raya, (3) jalur hijau tepi sungai dan (4) jalur hijau tepi kota. Karena itu maka: (a)
perbaikan
kualitas
(melalui
kegiatan
perencanaan
dan
perancangan kembali bentuk dan fungsi RTH kota pada lokasi tertentu), (b) peningkatan luas areal untuk RTH, dan perlu untuk diperhatikan dan disarankan guna mewujudkan ide sistem kota berkelanjutan. (c) Distribusi RTH Berdasarkan Fungsi RTH Distribusi RTH berdasarkan fungsi dapat dilihat di Lampiran 3 Tabel 3.d
Dalam olahan data spasial ini, areal yang berfungsi ekonomi tidak
dihitung secara terpisah dengan fungsi sosial karena terdapat kesulitan dalam perhitung-an data statistik yang tersedia serta juga kesulitan untuk pemisahannya pada areal yang diamati di lapangan seperti pemisahan antara areal berjualan dan rekreasi (Nurdin 1999). Pada kondisi lapangan juga dijumpai areal RTH yang seharusnya didominasi oleh fungsi lindung (biofisik) karena kondisi lingkungan-nya (tebing-tebing terjal, bantaran sungai yang berfungsi lingkungan tinggi, dll) tetapi dialokasikan dengan RTH fungsi sosial ekonomi . Dari data pada Lampiran 3 Tabel 3.d. terlihat bahwa fungsi sosial, dalam kasus ini merupakan RTH fungsi sosial ekonomi, mendominasi RTH yang ter-dapat di kota penelitian.
Sebaliknya, yang terjadi pada fungsi
alami atau biofisik yang umumnya berada pada peringkat terendah di tiap
65 wilayah kecuali untuk Bogor Tengah dan Bogor Barat. Pada dua wilayah ini kontribusi yang tinggi diberikan oleh keberadaan dan luasnya RTH kawasan (Kebun raya dan halaman istana, lapangan Sempur) dan jalur hijau tepi sungai di Bogor Tengah serta adanya kebun dan hutan milik lembaga – lembaga penelitian pertanian dan ke-hutanan di Bogor Barat. Dominasi
fungsi
sosial
di
Kecamatan
Bogor
Selatan
secara
areal/spasial terutama didukung oleh keberadaan padang golf, daerah resor dan kawasan pertanian milik masyarakat (fungsi sosial ekonomi); dan di kecamatan lainnya yaitu dengan keberadaan lahan pertanian rakyat, dan lahan-lahan terbuka/lahan tidur. Khusus untuk Kecamatan Bogor Tengah, penggunaan RTH sebagai areal untuk berjualan telah banyak mengubah jumlah areal dan fungsi lingkungan utama dari RTH (Gambar 17).
Gambar 17. Contoh perubahan fungsi RTH dalam kota penelitian Hal lain yang mendukung tingginya luas dan penggunaan fungsi sosial ekonomi (93.34%) adalah terbentuknya persepsi bahwa RTH dinyatakan sebagai taman-taman kota, dirancang untuk digunakan untuk fungsi sosial (rekreasi) dan estetika dan bukan untuk fungsi biofisik (perbaikan kondisi dan kualitas lingkung-an terutama perbaikan kualitas udara, air dan tanah dalam kota).
Hal lain yang mendukung tingginya
fungsi ini yaitu terbentuknya kenyataan historik dari sejarah pembentukan Kota Bogor sebagai kota untuk beristirahat dan berwisata.
66 Kedua fungsi lain, yaitu fungsi biofisik/alami dan arsitektural, sangat kecil persentase luasannya, masing-masing 2.61% dan 4.05%. Umumnya, kedua fungsi ini terakomodasi dalam jalur hijau di jalan raya dan jalur hijau di bantaran sungai. Walaupun demikian kedua fungsi ini relatif terdistribusi merata pada tiap wilayah kecamatan, dan bila direncanakan dan dirancang dengan tepat akan sangat berperan dalam mendukung fungsi biofisik dan arsitektural kota ini ter-utama dalam kaitannya dengan citra Kota Bogor sebagai “Kota dalam Taman”. (d) Distribusi RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Tingkat kenyamanan dan kesehatan (kesegaran) yang dapat dirasakan oleh penduduk secara fisik pada seluruh dan bagian-bagian wilayah kota dapat dinyatakan melalui pendistribusian RTHnya. Gambar 18 memperlihatkan kontri-busi keberadaan RTH dalam wilayah kota untuk meningkatkan kenyamanan dan kesehatan masyarakat kota, dan Lampiran 3 Tabel 3.e memperlihatkan distribusi RTH per penduduk dalam skala kota dan kecamatan di wilayah kota penelitian. Sebagai pembanding dapat dilihat data ketersediaan ruang-ruang terbuka, ter-masuk taman-taman kota dan RTH, di beberapa kota pada Gambar 19. Berdasarkan rata-rata ketersediaan RTH sebesar 73.69 m2 per jiwa, dengan selang 15.57 m2/jiwa (Bogor Tengah) sampai dengan 115.05 m2/jiwa (Bogor Selatan), maka kondisi kenyamanan dan kesegaran fisik Kota Bogor dapat diklasififikasikan baik. Ketersediaan RTH per penduduk ini relatif cukup tinggi dan diklasifikasikan baik bila dibandingkan dengan kondisi ruang terbuka dan taman pada beberapa kota di Indonesia dan di luar Indonesia (Gambar 19). Dalam skala kecamatan diketahui bahwa Bogor Selatan merupakan dae-rah ternyaman, yang dinyatakan dengan tingginya peringkat serta ketersediaan RTH per penduduk, dan sebaliknya di Bogor Tengah. Ketersediaan RTH ini diduga juga terkait dengan tata ruang kota, dimana Bogor Selatan dialokasikan sebagai daerah permukiman dengan KDB rendah dan terutama karena fungsi wilayah ini sebagai daerah resapan air sehingga masih memberikan peluang yang tinggi dalam mempertahankan areal RTHnya; sedangkan keterbatasan dan mahalnya harga lahan serta konsentrasi perdagangan di Bogor Tengah ber-peluang sangat rendah untuk ketersediaan RTH.
Bertahannya RTH, terutama yang berbentuk
67 kawasan, di Bogor Tengah karena nilai fungsional RTH tersebut merupakan areal konservasi, areal wisata dan perlindungan tebing-tebing sungai. Selain kecamatan Bogor Selatan dan Bogor Tengah, maka pada kecamatan lain cenderung terjadi penurunan ketersediaan RTH per penduduk karena intensitas yang tinggi untuk pembangunan kawasan permukiman guna mendukung konsep Dormitory town kota ini.
CO2
Stomata daun
CO2+H2O
O2 ke udara (udara segar
NOX –SOX-Pb ij erab
UDARA TERCEMAR
Udara bebas polutan Trikoma daun
(digambar Damayanti, 2000)
Gambar 18. Fungsi RTH untuk kenyamanan penduduk kota
2.5
Tokyo (1988)
11.4
Roma (1973)
12.2
Paris (1984)
23.9
Chicago (1984)
30.4
London (1976)
37.4
Bonn (1984)
9
Surabaya (1993)
12
Solo (1993)
7
Medan (1993)
12
Bandung (1993) 0
5
1 0
1 5
2 0
2 5
3 0
3 5
Gambar 19. Ketersediaan public parks per penduduk pada beberapa kota Sumber: Tim IPB (1993) dan Morooka (1993) (e) Distribusi RTH Berdasarkan Status Pemilikan Lahan untuk RTH
4 0
(m 2)
68 Distribusi RTH berdasar status pemilikan dapat dilihat pada Lampiran 3
Tabel 3.f.
Status kepemilikan lahan untuk RTH, dalam
penelitian ini, dipilah menjadi dua yaitu kepemilikan publik dan kepemilikan privat dimana pemilahan ini akan berdampak pada model pengelolaan RTH. Kepemilikan publik me-rupakan RTH yang dimiliki dan dikelola oleh berbagai dinas teknis dan lembaga-lembaga pemerintah daerah Kota Bogor untuk kepentingan publik (masyarakat) dan juga kepentingan peningkatan kualitas lingkungan kota, dan kepemilikan privat yaitu RTH yang pemilikan lahannya tidak dimiliki dan pengelolaannya bukan oleh Pemda. Hal yang terakhir ini kemungkinan dilakukan oleh pemerintah pusat (seperti kebunkebun penelitian pertanian dan kehutanan) atau badan-badan lainnya (Kebun Raya, Istana Presiden), swasta (real estat, padang golf dan resor), serta pribadi (halaman/pekarangan rumah). Data pada Lampiran 3 Tabel 3.g terlihat bahwa dalam kota penelitian ini, kepemilikan privat (91.76%) mendominasi RTH yang terdapat di kota ini yaitu ∀11 kali lebih besar dari kepemilikan publik (8.24%). Sebagian dari RTH dengan kepemilikan privat juga berperan sebagai barang semi-publik dimana kepemilikan dan pengelolaannya berada pada suatu lembaga, sedangkan produk dan jasa yang dihasilkannya tetap dapat dinikmati bersama oleh warga masyarakat lain-nya. Umumnya RTH kepemilikan privat ini terpelihara dengan baik karena ketersediaan dana pengelolaan yang memadai dari tiap lembaga ini. Pada RTH kepemilikan publik, yaitu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, walaupun dana yang dimiliki terbatas tetapi karena luas yang dikelola tidak terlalu besar maka relatif juga dapat terkelola dengan baik.
Kondisi
lingkungan yang mendukung, terutama kesuburan tanah serta curah hujan yang tinggi juga mengurangi biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan oleh tiap pemilik. Semua hal ini merupakan faktor pendukung akan keberhasilan penghijauan kota ini. Walaupun pada saat sekarang, kepemilikan privat terlihat dapat menjaga kuantitas dan kualitas lahan hijau tetapi terdapat kecenderungan alih lahan dan alih fungsi akan relatif lebih mudah terjadi, terutama bila terjadi peluang dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dibuktikan dengan telah dimulainya pengalihan bentuk dan fungsi lahan hijau atau lahan terbuka lainnya menjadi lahan terbangun (untuk perumahan, perluasan
69 areal terbangun, tempat parkir, dan sebagainya).
Disarankan kepada
Pemda Kota Bogor untuk: (a) menilai kembali berbagai lahan yang harus dan sebaiknya dipertahankan sebagai daerah hijau (RTH), terutama melihat pada fungsi lingkungan utamanya seperti pada bagian tepi kota dan pada kawasan rawan/resapan air atau kawasan lindung, bertebing curam dan (b)
mempertahankannya
dengan
peraturan
daerah
atau
menjadikannya sebagai kepemilikan semi publik. Dari Lampiran 3 Tabel 3.g
ini dapat juga diketahui bahwa RTH
publik, yang dikelola oleh Pemda Kota, terdistribusi relatif merata secara spasial pada tiap kecamatan; tetapi hal ini tidak terjadi pada RTH kepemilikan swasta.
Umumnya RTH swasta, terutama dalam bentukan
yang luas, terdistribusi secara spasial pada areal di luar pusat kota dengan konsentrasi pada bentukan peng-hijauan pembangunan dan permukiman baru dan areal resor (sebagai RTH binaan). Distribusi areal RTH publik atau yang dikelola Pemda yang relatif merata pada tiap kecamatan/subwilayah memperlihatkan adanya perhatian dan keadilan terhadap ruang-ruang publik yang dilakukan oleh Pemda, dan hal ini perlu untuk terus dipertahankan mengingat: (a) fungsi lingkungan dan visual alami yang dimiliki RTH dan potensial untuk dikembangkan dan dilestarikan, dan (b) kerawanan fisik (erosi, longsor, banjir, pencemaran) yang sering terjadi pada bagian-bagian kota terutama pada wilayah pusat kota yang berpenduduk dan pembangunan padat. 5.1.4. Jenis Tanaman Pengisi RTH Kota Keragaman jenis tanaman pengisi RTH kota cukup tinggi dilihat dari pilihan jenis, habitus dan ragam arsitektural. Di lokasi penelitian ini, umumnya RTH simpul didominasi oleh semak hias sedangkan RTH bentuk lainnya memiliki tanaman dalam keragaman jenis yang tinggi yang didominasi oleh jenis pohon. Dominansi pohon akan menghasilkan manfaat biofisik yang tinggi dan dominansi semak hias menghasilkan manfaat arsitektural atau estetik dari ruang kota. Dominasi jenis pohon, yang cukup banyak dimiliki oleh kota ini dan diupayakan untuk dipertahankan dan bila memungkinkan ditambah jumlahnya,
70 memiliki fungsi dan manfaat biofisik yang tinggi. Dinyatakan bahwa satu pohon yang tumbuh dengan baik dapat memproduksi O2 untuk ∀14 orang, dan tajuk pohon yang rindang, berstrata dan berbunga atau berbuah serta berserangga dapat mengundang burung-burung untuk bersarang dan beristirahat di pohon tersebut. Akar tanaman terutama pohon yang menerobos tanah, akan menggemburkan tanah, memberikan ruang hidup bagi organisme dan binatang tanah lainnya. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan memberikan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Simbiosis mutualisme antara tanaman dan mikroorganisme ini selanjutnya akan berdampak lingkungan yang positif pada masyarakat kota dan juga lingkungan perkotaannya. Tidak tersedianya tanaman terutama dominasi pohon-pohon akan menghilangkan ruang lingkup kehidupan mikroorganisme tersebut, dan akan menurunkan kesuburan tanahnya. Keragaman jenis tanaman pada RTH jalur tergantung dari bentuk fungsional jalur. Selain di sepanjang jalur hijau jalan raya, tidak terlihat struktur, fungsi, serta jenis tanaman yang khas dan terstruktur secara baik/arsitektural. Diketahui bahwa jalur hijau jalan raya dapat menjadi identitas area dalam kota dan sebagai bagian dari streetscape yang mendukung fungsi arsitektural ruang-ruang kota. Jalur tepi jalan umumnya ditanam dengan jenis tanaman yang relatif beragam dan terstruktur untuk skala kota, tetapi dengan keragaman yang rendah untuk skala area permukiman. Beberapa jalan utama yang telah dibangun sejak periode kolonial masih tetap mempertahankan jenis-jenis tanaman yang sama seperti kenari (Canarium communae), mahoni (Swietenia mahagony), damar (Agathis damara) dan ki hujan (Sammanea saman).
Tetapi beberapa jenis pohon indikator era kota
kolonial lainnya seperti Palem raja (Roystenia regia), flamboyan (Delonix regia), dan asam jawa (Tamarindus indica) sudah jarang dijumpai. Untuk mendapatkan nilai sosial yang tinggi dari aspek kesejarahan kota (Tropisch Indiesch) maka disarankan untuk menanam kembali jenis-jenis pohon yang sesuai dengan tema tersebut terutama pada bagian kota yang masih memiliki suasana kolonial seperti halaman dan jalur sekitar Istana Presiden dan kawasan permukiman Kedung Halang dan kawasan sekitar Jalan Merdeka dan Martadinata. Jalur hijau lintas kereta dan jalur hijau tepi sungai, umumnya, terdiri dari berbagai jenis tanaman yang tumbuh liar kecuali pada beberapa penggal jalur terutama sekitar permukiman. Jalur hijau pada tepi kota yang relatif luas, umumnya dijumpai dengan pola persawahan, perladangan, hutan lindung, areal
71 percobaan, dan areal pemakaman. Areal pertanian ditanami dengan jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, RTH rekreasi ditanami umumnya dengan pepohonan dan rumput sedangkan areal pemakaman umumnya tidak terpelihara dengan baik sehingga lebih didominasi gulma atau tanaman-tanaman liar lainnya.
Gambar 20. Beberapa jenis pohon besar yang masih tumbuh dengan baik
5.1.5. Bahasan Umum Ketersediaan RTH Kota Kuantitas lahan kehidupan dalam wilayah perkotaan yang terbatas yang disertai dengan kualitasnya yang tidak sesuai atau yang tidak menunjang
produktifitas
manusia
yang
berjangka
panjang
guna
peningkatan kesejahtera-annya akan merupakan suatu kendala bagi tujuan pembangunan kota yang berkelanjutan. Salah satu bentuk pembangunan wilayah perkotaan yang men-dukung perbaikan kualitas lingkungannya adalah keberadaan ruang-ruang ter-buka (open spaces) terutama dalam bentuk ruang terbuka hijau (RTH). RTH, melalui kumpulan berbagai jenis tanaman pengisinya dan aspek spasialnya, memiliki fungsi lingkungan yang bermanfaat bagi kelangsungan wilayah per-kotaan dan masyarakat yang hidup dan bekerja dalam wilayah ini semakin besar jumlah dan keragaman tanaman dan semakin besar penutupan areal hijaunya maka
72 kontribusinya terhadap perbaikan kondisi dan kualitas lingkungan perkotaan akan semakin efektif dan tinggi tinggi. Untuk dapat memberikan besaran penilaian masyarakat terhadap kondisi RTH dalam suatu wilayah perkotaan, yang merupakan tujuan dari penelitian ini, maka harus diketahui gambaran mengenai ketersediaan, karakter dan kualitas RTH tersebut di lokasi penelitian. Hal ini dapat dinyatakan sebagai ketersediaan dari sisi suplai sumberdaya alam dan lingkungan dalam wilayah perkotaan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kota penelitian memiliki RTH yang berkategori baik. Baik ini ditinjau dari segi jumlah, distribusi, jenis tanaman yang tumbuh serta karakter kota yang terbentuk dari keberadaan areal RTH ini. Kecuali untuk kecamatan Bogor Tengah, kota penelitian memiliki klasifikasi nilai yang tinggi untuk ketersediaan dan distribusi RTH, serta rasionya terhadap jumlah penduduk. Posisi kecamatan Bogor Tengah yang terdapat pada pusat kota dan merupakan kawasan perdagangan dan perkantoran yang padat dan intensif berkonsekuensi terhadap rendahnya nilai-nilai tersebut. Walau telah berkategori baik, luas yang riel untuk seluruh wilayah dengan berbagai permasalahan fisik dan sosial perkotaan yang terus timbul seperti longsor, erosi, pencemaran udara, maka luasan ini perlu untuk dikoreksi lagi. Koreksi ini, selain untuk perbaikan kualitas lingkungan akibat konversi lahan dan konversi fungsi RTH juga untuk mendukung pelestarian nilai keunikan sosial dan karakter kesejarahan yang dimiliki oleh kota ini (kota kolonial daerah tropis, tropisch indies) yang dapat diindikasikan dengan keberadaan dan spesifikasi ruang-ruang terbuka hijaunya termasuk jenis-jenis pohon indikatornya. RTH terluas didapatkan pada bentuk jalur hijau, dengan spesifikasi pada jalur hijau tepi kota (green belt dan forest belt) dan pada RTH fungsi sosial ekonomi. Bila tidak ada pengendalian dan pengelolaan yang tepat maka bentuk jalur hijau tepi kota ini cenderung akan menurun akibat konversi lahan dan RTH fungsi sosial ekonomi akan meningkat karena tuntutan ekonomi yang selanjutnya akan berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan. Walaupun kepemilikan Pemda tidak seluas kepemilikan privat tetapi RTH milik Pemda (public parks) terdistribusi secara merata di setiap kecamatan dalam bentuk taman-taman kota dan tiga bentuk jalur hijau untuk jalan raya, tepi sungai, tepi kota). Pendistribusian RTH milik Pemda (public parks) ini cukup adil bagi tiap wilayah dalam kota Bogor.
73 Keragaman jenis tanaman pengisi RTH cukup tinggi dengan dominansi pada bentuk pepohonan. Efek ekologis, sosial, dan visual serta arsitektural yang ditimbulkan oleh berbagai bentukan pohon-pohon besar pada wilayah dan ruang kota penelitian memberikan kebermanfaatan dan nilai yang tinggi dari bentukan pohon ini, sehingga keberadaannya perlu untuk dilestarikan.
74 5.2. Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota 5.2.1. Profil Demografis Responden Profil demografis dari responden penelitian ini tertera pada Gambar 21 dimana perbedaan jumlah gender tidak terlalu besar, 72.05% responden berada dalam usia kelompok umur kerja dan 68.29% memiliki pendapatan setiap bulan, 62.93% bekerja sebagai karyawan/pegawai baik negeri
Jenis kelamin
maupun swasta.
LAKI-LAKI PEREMPUAN
43,41 1,95
Pendidikan Usia
< 15 TH. 15 - 45 TH. > 45 TH.
78,05
20,00 15,61
< SLTP. SLTP - SMU. > PT.
Lama tinggal di Bogor
2,93
40,98 43,41
24,88 72,20
Pekejaan
BELUM BEKERJA. 24,39 SWASTA. 26,83 DAGANG 20,00 IBU RT 8,78 13,17 PNS LSM 2,44 BUMN 0,49 PENSIUN 3,90 .
31,71 28,78 26,34
TDK BERPENDAPATAN SENDIRI
< Rp 500.000 Rp 500 001-Rp 1 500 000 Rp 1 500 001- Rp 2 500 000 Rp 2 500 001- Rp 6 000 000 >Rp 6 000 000 .
Keterkaitan pendidikan profesi dgn lingkungan
Pendapatan
56,59
6,34 3,41 3,41
TERKAIT TIDAK TERKAIT
65,85
34,15
Gambar 21. Profil responden penelitian (n=205) 0
Kelompok
10
tertinggi
20
dari
30
40
50
60
70
responden penelitian JUMLAH RESPONDEN DALAM % didominasi
80
oleh
kelompok yang telah cukup lama (>10 tahun) menetap di kota penelitian (72.05%). Waktu tinggal responden yang relatif lama dalam kota penelitian diharapkan akan mem-berikan pernyataan yang lebih baik karena mereka telah mengetahui berbagai kondisi dan karakter RTH di wilayahnya. Dilihat dari lingkup pendidikan dan pengetahuannya, responden didominasi
75 (84.39%) oleh kelompok yang berpen-didikan menengah sampai dengan yang lebih tinggi, dimana 65.85% memiliki bidang pendidikan yang terkait, baik yang langsung maupun secara tidak langsung, dengan bidang lingkungan. Latar belakang pendidikan juga diharap-kan dapat mendukung pengertiannya akan fungsi-fungsi lingkungan RTH kota Dari gambaran responden ini dapat diketahui bahwa sebagian besar dari responden yang mewakili masyarakat kota penelitian dapat digolongkan dalam kelompok masyarakat kelas menengah dengan pendidikan serta pekerjaan yang relatif tetap dan baik, dan didukung dengan pengetahuan terhadap lingkungan yang juga relatif baik. Profil masyarakat yang dominan seperti yang dinyatakan oleh data ini, diharapkan, dapat menjadi aset sosial pendukung untuk perwujud-an kondisi lingkungan kota yang lebih baik. 5.2.2. Persepsi Masyarakat terhadap RTH Kota Pengalaman responden terhadap RTH kota, dinyatakan dengan (a) luas kepemilikan, (b) ketersediaan waktu luang, (c) frekuensi kunjungan ke RTH, dan (d) peran serta atau partisipasinya dalam RTH kota. Gambar 22 dan 23 memperlihatkan bentuk dan tingkat pengalaman masyarakat terhadap RTH kota. Data pada Gambar 22 memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat kota ini memiliki keterbatasan dalam (a) ketersediaan lahan sebagai RTH di sekitar rumah, (b) waktu luang dan (c) frekuensi kunjungan ke RTH. Walaupun demikian mereka tetap berpartisipasi dalam program penghijauan kota yang dilakukan atas insiatif sendiri atau/dan pernah dilakukan dengan kegiatan yang beragam antara lain dalam hal penanaman, pemeliharaan, tidak melakukan vandalisme dalam RTH atau terhadap tanaman, dan juga kegiatan penyuluhan. Didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki pengalaman dan pengetahuan RTH yang baik (Gambar 23). Dapat dinyatakan bahwa hal ini akan merupakan faktor pendukung terhadap ketersediaan dan kelestarian RTH dalam kota penelitian ini. Diduga pengalaman dan pengetahuan yang tinggi ini terbentuk karena wilayah Kota Bogor telah memiliki RTH yang relatif baik pada setiap bagian kota dengan akses ke dalam RTH tersebut yang relatif mudah, dan RTH ini telah dimiliki oleh kota ini sejak waktu yang lama yaitu dari jaman penjajahan Inggris dan Belanda. Hasil penelitian memperlihatkan kualitas masyarakat kota yang baik dan partisipatif sehingga merupakan potensi kota yang baik guna meningkatkan kapasitas lingkungan kota melalui pembangunan RTH.
76 Bila dikaitkan dengan alokasi waktu luang masyarakat, sebagian besar responden (71.22%) hanya memiliki waktu luang yang terbatas. Karena itu, se-baiknya Pemda atau berbagai pihak lain (swasta, LSM) dapat mengupayakan ketersediaan ruang-ruang publik berbentuk RTH ini pada seluruh bagian kota terutama ketersediaan RTH dekat dengan permukiman penduduk atau ruang-ruang konsentrasi warga kota lainnya (seperti pasar, sekolah). Kedekatan jarak ini akan mempermudah kunjungan dalam waktu luang yang terbatas serta meningkatkan apresiasi atau penghargaannya
KEPEMILIKAN LAHAN
terhadap RTH milik kota.
> 100 M 30,73
KETERSEDIAAN WAKTU LUANG
KECIL
6,34
17,07
BANYAK TERBATAS
71,22
SEDIKIT
11,71
JARANG
FREKWENSI KUNJUNGAN PARTISIPASI DALAM RTH
62,93
100 M
42,93
SERING
16,1
TIDAK TENTU
40,98
YA / PERNAH TIDAK PERNAH Gambar
67,64
22. Frekuensi
PENGALAMAN RESPONDEN TERHADAP RTH KOTA
0
pengalaman32,36 responden
10
20
40
terhadap RTH kota 50
60
70
JUMLAH RESPONDEN (%)
BAIK
KURANG
80 79,49
20,51
0
10
20
30
40
50
60
70
80
JUMLAH RESPONDENresponden (%) Gambar 23. Frekuensi tingkat pengalaman terhadap RTH kota
Persepsi responden diklasifikasikan dengan tinggi, cukup dan rendah yang dihitung berdasarkan nilai akumulatif dari tingkat pengetahuannya terhadap RTH kota. Data pada Gambar 24 menunjukkan bahwa bagian terbesar responden (76.10%) memiliki persepsi yang baik terhadap bentuk, fungsi dan manfaat keter-
RSEPSI ESPONDEN ERHADAP BENTUK, NGSI, DAN MANFAAT RTH KOTA
sediaan RTH dalam wilayah kota.
76,10
BAIK
16,10
SEDANG
RENDAH
7,80
77
Gambar 24. Frekuensi tingkat persepsi masyarakat terhadap RTH kota Persepsi masyarakat yang baik, menurut Porteus (1977), umumnya akan berespons terhadap tindakan yang baik, termasuk dalam hal ini terhadap kualitas lingkungan dan RTH. Tabel 7 menyajikan korelasi antar peubah pengalaman dan persepsi masyarakat kota Bogor terhadap berbagai bentuk RTH kota yang diteliti. Walaupun kedua peubah sosial ini, masing-masing, memiliki nilai yang tinggi tetapi keduanya tidak memiliki korelasi yang tinggi berdasarkan uji statistik. Dapat dinyatakan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh responden terhadap lingkungan dan RTH yang terdapat di wilayahnya tidak menentukan persepsinya. Tabel 7. Korelasi antara pengalaman dan persepsi masyarakat terhadap RTH kota Bentuk RTH
Pengalaman terhadap RTH
Persepsi terhadap RTH
1. Mengelompok
a. Kawasan
0.018
0.118
2. Jalur/koridor hijau
b. Simpul a. Jalan raya
- 0.013 - 0.023
0.078 0.101
b. Lintas kereta
- 0.013
0.100
c. Tepi sungai
0.002
0.101
d. Tepi kota
0.041
0.102
Pengalaman terhadap RTH 1.000 Keterangan: rho Coefficient dari Korelasi Spearman, n=205
0.214
Kemungkinan terjadinya hal ini dapat diterangkan dengan pendapat Allport (dalam Hasan 1989) dan Wibowo (1987) bahwa persepsi seseorang terhadap suatu bentuk lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh pengalamannya, tetapi juga oleh keadaan sosial ekonomi serta harapannya di masa depan, kesadaran akan maknanya, dan motivasinya yang terkait dengan lingkungan ini. Kemungkinan pada hal-hal terakhir ini juga ikut berperan dalam rendahnya korelasi ini, terutama terhadap makna lingkungan dan motivasi perbaikan lingkungan yang belum begitu disadari.
78 Berdasarkan pernyataan ini maka perlu dilakukan program penyuluhan melalui kegiatan pemasyarakatan RTH secara terus menerus (penyuluhan, pelatihan, perlombaan, dan lainnya) sehingga warga akan dapat mengetahui kepentingan dan makna RTH terhadap perbaikan kualitas lingkungan kota dan terhadap tingkat kesejahteraan dan kesehatannya. Dengan diketahuinya kepentingan RTH terhadap individu dan wilayah perkotaannya maka, diharapkan, hal ini dapat memotivasi masyarakat untuk mengelola RTH di sekitar lingkungan permukimannya dan juga pada wilayah yang lebih luas (seperti kelurahan, kecamatan, dan perkotaan). Model pemasyarakatan yang baik yaitu bila program ini direncanakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat tersebut sehingga program penyediaan RTH dan perbaikan kualitas lingkungan perkotaan dapat menjadi program kegiatan yang bersifat spontan. Korelasi yang sangat rendah ini juga dapat diterangkan dari pendapat Umberto Eco dalam Grahn (1991) yang menyatakan bahwa tidak semua persepsi, pada tingkat individu dan tingkat kelompok masyarakat, harus sama walaupun mereka memiliki pengalaman yang sama. Hal ini terutama bila terkait dengan bentuk dan kondisi “nature”, dimana hampir setiap orang memiliki model “nature” tersendiri menurut pengamatan dan pengalamannya sendiri walaupun mereka berada dalam lingkungan kota yang sama. 5.2.3. Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota Data pada Gambar 25 memperlihatkan bahwa dari empat pilihan bentuk RTH (kawasan, simpul, jalur, tidak memilih) yang ditanyakan pada responden, diketahui bahwa RTH kawasan merupakan pilihan preferensi masyarakat yang tertinggi dan RTH bentuk jalur merupakan yang terendah. Preferensi tinggi pada RTH kawasan, yang pada penelitian ini diwakilkan oleh ruang-ruang terbuka hijau dengan ukuran yang luas seperti Kebun Raya, diduga disebabkan karena RTH ini merupakan satu contoh yang baik dalam bentuk, fungsi, dan terutama pemanfatan gandanya. Hal ini terkait dengan latar belakang dari responden yang memiliki pengetahuan lingkungan yang baik serta taraf pendidikan yang juga
KURAN RTH
BENTUK RTH
relatif baik.
KAWASAN
46,83
SIMPUL
20,98
JALUR TIDAK MEMILIH
23,90 8,29
46,34
LUAS KECIL, HIJAU KECIL, NYAMAN
5,37 42,93
79
Gambar 25. Frekuensi preferensi masyarakat terhadap RTH kota Dari data pola penggunaan RTH (Tabel 8), yang diamati langsung di lapangan, juga mendukung hasil ini. Didapatkan RTH kawasan merupakan bentuk RTH yang sangat tinggi dan intensif penggunaannya dibandingkan dengan bentuk lainnya. Ukuran yang luas sehingga dapat digunakan untuk berbagai jenis kegiatan dengan rasa nyaman dan aman (tanpa gangguan lalu lintas kenderaan dan pejalan kaki serta polusi, dan lainnya) mendukung pilihan terhadap bentuk kawasan ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwono (1998) di kota Bandung dan Malang, dinyatakan bahwa selain ukuran dan lokasi RTH maka adanya daya tarik kegiatan yang ada dalam RTH termasuk faktor yang mengundang pemanfaatannya seperti dilakukannya olah raga pagi bersama warga lainnya, rekreasi keluarga, dan kegiatan berjualan. Tabel 8. Pola umum pemanfaatan RTH kota. Penggunaan No. Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Berolah raga Bermain Piknik Melepas lelah Bersantai Membaca Berdiskusi
Mengelompok KawaSimsan pul
Bentuk RTH Kota Jalur/koridor hijau jalan raya Lintas Tepi kereta sungai ∈ ∈
∈ ∈
∈
∈ ∈
Tepi kota
80 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Belajar Berbincang Berjualan Bekerja Mengasuh anak Berkebun Berteduh Mempos surat Menelpon Menunggu kenderaan Parkir kenderaan Menumpuk barang Pasang spanduk Jumlah kegiatan
∈
∈ ∈
∈
∈
∈
∈
∈ ∈ ∈
∈ ∈ ∈ ∈
∈ ∈ ∈ ∈
∈
∈
∈
20 20 16 8 13 14 16 19 14 5 12 11 4 1 3 3 1 3 ∈ 0 0 3 12 7 6 Keterangan: = penggunaan intensif; = penggunaan kurang intensif, ∈ = tidak/jarang digunakan, umumnya, karena kurang aman dan/atau nyaman atau alasan lainnya.
Dari pengamatan di lapangan, yang ditabulasi pada Tabel 8,
diketahui
bahwa pemanfaatan RTH kota yang dominan adalah dengan penggunaan berkelompok, untuk beragam kegiatan (rekreatif maupun non-rekreatif) pada waktu pagi sampai dengan sore hari. Diketahui bahwa penggunaan RTH secara individual pada malam hari sangat jarang dilakukan disebabkan oleh faktor sosial budaya seperti adanya pandangan negatif bagi warga yang datang ke RTH atau taman kota pada malam hari juga ketidak biasaan (Waluyo 1990) dan kondisi lainnya seperti tidak adanya penerangan, faktor iklim (hujan), dan kerimbunan tanaman. Dari waktu pengunaan, maka penggunaan RTH pada waktu pagi dan sore hari, serta hari Minggu umumnya digunakan untuk kegiatan rekreasi, yang bersifat individu maupun dalam kelompok. Penggunaan setiap saat (terutama pagi dan siang hari), umumnya dilakukan oleh warga kota untuk kepentingan non-rekreatif seperti mencari nafkah atau hanya melintas. Preferensi masyarakat tertinggi terhadap RTH kota adalah RTH berbentuk kawasan, berfungsi ganda, memiliki ragam biota tinggi atau yang dinyatakan dengan bentuk yang menyerupai hutan/bentukan alami dan tidak berkesan monoton (ilustrasi pada Gambar 26). Kondisi yang diinginkan warga masyarakat ini selain akan sangat mendukung program pelestarian RTH kota karena kondisi RTH kota saat ini pada kenyataannya cukup beragam, juga sesuai dengan kondisi lanskap Kota Bogor yang berbukit sehingga bahaya lanskap (landscape
81 hazards) dapat diminimumkan, mendukung keharmonisan visual alami kota, serta menjaga kondisi awal pembentukannya (kota dengan pohon-pohon tropis besar).
Tidak monoton
Bentuk kawasan, hutan
Fungsi ganda kawasan
Gambar 26. Contoh preferensi bentuk RTH yang diinginkan masyarakat kota Bentuk RTH jalur hijau memiliki preferensi terendah. Kemungkinan bentuk jalur hijau ini dirasakan kurang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat untuk sarana rekreasi.
Jalur hijau-jalur hijau di kota ini lebih berfungsi
sebagai penyangga (buffer) seperti pada tepi/bantaran sungai, tepi jalan raya, dan tepi lintas kereta. Juga bentukan jalur hijau ini, terutama pada tepi sungai dan tepi lintas kereta dan juga jalur hijau tepi kota cenderung terus menurun ketersediaannya. Jalur hijau, terutama yang mendekati bentuk kawasan (penebalan jalur hijau/koridor hijau) seperti rancangan pedestrian park yang terdapat di sekeliling kebun raya dan beberapa lokasi lainnya, dianjurkan menjadi salah satu bentuk/ model/rancangan RTH yang dapat dikembangkan di kota ini. Pengembangan jalur hijau berbentuk pedestrian park atau parkways seperti ini selain untuk mendapatkan fungsi biofisik (reduksi pencemaran dan kebisingan), juga fungsi arsitektural (keindahan, kerapian, identitas kota, pengarah lokasi) dan mengakomo-
82 dasikan fungsi lainnya, yaitu, sosial (rekreasi), dan juga fungsi ekonomi (wisata, areal berjualan terbatas). Pilihan masyarakat terhadap RTH ini disarankan untuk diakomodasikan dalam ruang-ruang kota, terutama karena pilihan yang dilakukan ini dikategorikan bernilai tinggi bila dikaitkan dengan fungsi lingkungan (misalnya kestabilan ekologis, kenyamanan melakukan kegiatan bagi warga kota). Pilihan mereka yang baik secara lingkungan ini diduga karena lingkungan kehidupan fisiknya seharihari, dan dalam kasus ini adalah kondisi fisik dan hayati kota yang masih dominan bentukan “alami”nya, yang memberikan pengalaman dan persepsi yang baik dan selanjutnya membentuk model RTH pada responden untuk memilih kondisi RTH kota yang terbaik. Hal seperti ini sudah dibuktikan, bahwa lingkungan yang terdekat pada seseorang akan berkontribusi dalam membentuk karakter dan pandangannya (Linawati 1995; Nasution 1995, Rapoport 1979: Sadli 1979; Zube et al., 1974), sama seperti yang dinyatakan Umberto Eco dalam Grahn (1991) bahwa “nature” lingkungan yang dihuni oleh seseorang akan membentuk pengalaman dan persepsi lingkungannya. Preferensi responden yang tertinggi pada bentuk RTH juga memiliki arti ekonomi yang tinggi dan berjangka panjang karena, menurut Anwar (1994), diversitas biologik yang dinyatakan sebagai ragam biota yang tinggi mempunyai nilai penting dalam memperbesar suplai sumberdaya alam dan lingkungan di lahan perkotaan yang terbatas. Rencana pembangunan fisik kota yang terarah, terstruktur dan bernilai positif dengan memperhatikan berbagai kepentingan lingkungan, menurut Mc Phearson (1992) dapat mendukung
sustainable urban
development. Menurut Pearce dan Georgiou (1994) preferensi dan keinginan terhadap suatu bentuk lingkungan bersifat antroposentrik sehingga saran baik yang diberikan oleh sebagian besar masyarakat akan dapat mendukung upaya mempertahankan keberadaan atau kelestariannya. Preferensi tertinggi ini merupakan gambaran lingkungan yang, secara teoritis, disarankan untuk dikembangkan karena memiliki banyak nilai positif secara ekologis dan arsitektural, 5.2.4. Bahasan Umum Terhadap RTH Pilihan Masyarakat
83 Persepsi mempunyai arti yang penting karena merupakan determinan perilaku seseorang yang berfungsi untuk memahami atau memberi arti terhadap sesuatu melalui inderanya dan, selanjutnya, menjadi petunjuk dalam mengambil keputusan dan perubahan perilakunya. Latar belakang pengetahuan, pekerjaan, pengalaman, proses belajar dan wawasan diketahui mempengaruhi persepsi seseorang atau kelompok orang (masyarakat). Dalam kaitannya dengan lingkungan, persepsi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) terhadap lingkungan tidak hanya mencakup sesuatu yang dilihat dan didengar mereka tetapi juga mencakup kesadaran dan pemahaman terhadap lingkungannya. Hasil penelitian memberikan gambaran persepsi masyarakat yang baik terhadap RTH kota. Walaupun persepsi masyarakat terhadap RTH cukup tinggi tetapi korelasi antara pengalaman dan persepsi masyarakat kota penelitian sangat rendah. Diduga bahwa persepsi terhadap RTH yang terbentuk bukan berdasarkan pengalaman responden yang terkait dengan keberadaan RTH kota itu. Kemungkinan mereka mengetahui manfaat dan kepentingan RTH dari berbagai media atau model komunikasi lainnya tetapi tidak secara aktual dari semua yang telah mereka lihat, pelajari atau lakukan di lapangan. Preferensi responden yang tertinggi untuk rancangan RTH kota adalah RTH kawasan (bentuk mengelompok) yang merupakan RTH dengan ukuran yang relatif luas seperti kebun raya dan lapangan-lapangan olah raga (lapangan bola). Pilihan terhadap bentuk kawasan, yang berukuran cukup luas dan dapat dimanfaatkan dengan berbagai kegiatan outdoor masyarakat, merupakan pilihan masyarakat yang dapat dinilai cukup baik. Disamping luas areal, bentukan hutan dengan ragam biota yang tinggi sehingga tidak berkesan monoton serta ragam fungsi yang tinggi juga merupakan preferensi mereka yang tertinggi. Bentuk RTH seperti ini juga dapat mendukung diversitas biologis sehingga suplai sumberdaya alam pada lahan kota yang terbatas dapat diperbesar. Bentuk rancangan hutan kota atau kebun raya merupakan rancangan RTH yang dapat mengakomodasikan semua preferensi warga kota penelitian ini. Pengalaman dan pengetahuan yang dipelajari dan “dibaca” oleh responden dari peragaan bentuk-bentuk RTH yang terdapat dalam wilayah kota, diduga, mendukung persepsi dan pilihan mereka akan bentuk RTH yang diinginkannya; sehingga, bila semakin banyak peraga bentuk rancangan RTH yang baik yang dibangun dan dikembangkan dalam kota penelitian akan cenderung
84 dapat memperbaiki dan mempertinggi persepsi masyarakat akan lingkungan kota yang baik. Bentuk-bentuk jalur hijau kurang diminati oleh masyarakat karena ”tidak” berfungsi rekreatif, terkesan monoton, dan hanya berfungsi sebagai penyangga. Perencanaan yang menyatukan bentuk jalur dengan kondisi rekreatif dengan menambah lebar koridor, seperti bentuk-bentuk pedestrian park, disarankan sehingga koridor hijau ini juga dapat berfungsi seperti RTH kawasan. Mengetahui persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTH yang terdapat dalam wilayah kotanya merupakan dua hal yang penting untuk dapat melibatkan mereka dan, selanjutnya, ikut berperan serta dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pengelolaan RTH khususnya dan lingkungan perkotaan umumnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk gambaran dari pengembangan konsep eco society dalam kehidupan perkotaan. Karena masyarakat kota penelitian telah memiliki persepsi yang baik terhadap RTH dengan preferensi rancangan RTH yang mengarahkan pada pengembangan kota dengan kondisi lingkungan yang lebih baik maka hal ini akan menjadi aset potensial bagi Pemda dalam mengelola lingkungan perkotaan guna mewujudkan sistem kota yang berkelanjutan melalui peran serta masyarakatnya. Salah satu model keikut sertaan masyarakat untuk ikut membangun dan melestarikan RTH dalam kota, antara lain, dengan merencanakan suatu program (antara lain: pemasyarakatan akan makna dan kepentingan RTH, penyediaan RTH sesuai dengan pilihan, dan perbaikan kualitas RTH) sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang selanjutnya program ini diharapkan dapat menjadi program kegiatan yang bersifat spontan. Bila tahapan program spontan dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan bahwa RTH dalam kota akan terwujud dan lestari (sustainable) karena juga dikendalikan dan dikelola oleh masyarakat sebagai salah satu dari stake holders sarana publik ini.
85 5.3. Penilaian Masyarakat Terhadap RTH Kota 5.3.1. Fungsi RTH Kota Berdasarkan hasil olahan terhadap nilai tengah dari WTC (willingness to contribute, keinginan masyarakat untuk berkontribusi terhadap perbaikan kualitas lingkungan kota) responden diketahui bahwa empat peubah fungsi RTH yang diteliti yaitu fungsi-fungsi ekonomi, biofisik, arsitektural, dan sosial memiliki korelasi yang tinggi (>75%) dan bersifat positif (Tabel 9) untuk semua bentuk RTH yang diteliti (bentuk mengelompok dan bentuk jalur). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antar semua fungsi RTH dan semua bentuk RTH yang diteliti dan juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai, penghargaan, atau apresiasi terhadap satu fungsi akan selalu diikuti oleh peningkatan fungsi-fungsi lainnya, demikian juga terjadi pada kondisi yang sebaliknya. Tabel 9. Korelasi antar peubah fungsi pada tiap bentuk RTH kota Bentuk RTH 1. Mengelompok a. Kawasan
b. Simpul
2. Jalur/koridor a. Jalur hijau jalan raya
b. Jalur hijau lintas kereta
c. Jalur hijau tepi sungai
d. Jalur hijau tepi kota
Peubah Fungsi
Ekonomi
Ekonomi Biofisik Arsitektural Sosial Ekonomi Biofisik Arsitektural Sosial
1.000 0.772 0.805 0.776 1.000 0.812 0.844 0.804
Ekonomi Biofisik Arsitektural Sosial Ekonomi Biofisik Arsitektural Sosial Ekonomi Biofisik Arsitektural Sosial Ekonomi Biofisik
1.000 0.856 0.837 0.887 1.000 0.879 0.919 0.942 1.000 0.821 0.832 0.852 1.000 0.866 0.894 0.852
Arsitektural Sosial
Biofisik
Arsitektur al
Sosial
1.000 0.860 0.838
1.000 0.907
1.000
1.000 0.886 0.878
1.000 0.913
1.000
1.000 0.945 0.922
1.000 0.928
1.000
1.000 0.965 0.863
1.000 0.901
1.000
1.000 0.934 0.889
1.000 0.963
1.000
1.000 0.913 0.908
1.000 0.953
1.000
86 Keterangan: Korelasi Pearson
Keeratan hubungan fungsi-fungsi ini diduga karena masyarakat umumnya kurang/tidak dapat memilah, membedakan dan memperingkat tiap fungsi yang dimiliki RTH sehingga memberi penilaian/penghargaan yang relatif hampir sama untuk tiap fungsi yang diteliti. Konsekuensi yang akan dihadapi bila masyarakat kurang dapat memilah serta membedakan secara spesifik fungsi–fungsi yang dimiliki RTH, baik dengan kategori fungsi lingkungan utama (biofisik) dan fungsi pendukung/tambahannya (fungsi sosial, ekonomi, dan arsitektural); ataupun berdasarkan kategori fungsi RTH yang berorientasi ekonomi dan yang berorientasi non ekonomi (fungsi biofisik, sosial, arsitektural), maka masyarakat tersebut tidak dapat memberikan prioritas bagi perencanaan dan pembangunan RTH fungsional yang akan berdampak positif terhadap lingkungan wilayah atau bagian dari wilayah kotanya serta terhadap kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraannya. Bila dinyatakan bahwa pembangunan harus berbasis pada kepentingan masyarakat maka masyarakat tersebut juga harus mengetahui dan menentukan kondisi dan kualitas lingkungan kota yang terbaik untuk kelangsungan dan kualitas kehidupan yang diinginkannya melalui pengetahuan mereka terhadap fungsi-fungsi yang dapat dihasilkan oleh RTH tersebut dan bagaimana peran RTH tersebut terhadap kotanya. Masyarakat belum atau kurang mengetahui bahwa bagian dari wilayah atau ruang-ruang kota memiliki fungsi dan kepentingan lingkungan tertentu yang harus diikuti dengan berbagai fasilitas atau sarana publik, dalam kasus ini adalah RTH sebagai salah satu bentuk sarana publik kota, yang memiliki fungsi dan kepentingan tertentu juga. Hal ini didasarkan pada pengertian ekologis dan arsitektural bahwa fungsi, bentuk dan lokasi RTH merupakan dasar dari rencana dan rancangan pengembangan suatu RTH (Forman dan Godron 1986; Lyle 1981; Simonds 1983).
Pada lokasi/tapak yang spesifik dalam suatu bagian
wilayah kota dengan masalah lingkungan yang tertentu akan membutuhkan rancangan (design) RTH dengan fungsi tertentu yang terkait dengan masalah dan lokasi tersebut dan yang didukung oleh bentuk atau struktur RTH yang tertentu pula. Beberapa kasus yang dijumpai di kota penelitian adalah dominasi fungsi biofisik atau fungsi ekologis, yang merupakan fungsi utama dari pengembangan dan pembangunan RTH, yang seharusnya dalam suatu wilayah perkotaan di-
87 alokasikan pada areal-areal yang potensial dengan bahaya lingkungan (seperti pada seluruh wilayah kota yang memiliki bentang alam yang berbahaya antara lain tebing dan lembah yang curam, areal lahan banjir, intensitas petir yang cukup tinggi, dan lainnya, serta juga bagian pusat-pusat kota dengan intensitas pencemaran udara yang relatif tinggi yang bersumber dari banyaknya kenderaan bermotor). Pada pengamatan di lapangan terlihat banyak fungsi RTH kota yang sudah tidak sesuai lagi dengan permasalahan lingkungan pada bagian wilayah kota tersebut. Terdapat kecenderungan, hanya faktor estetika RTH yang mendapat prioritas dalam membangun ruang-ruang terbuka kota penelitian ini sehingga permasalahan utama dalam perbaikan kualitas dan kapasitas lingkungan kota ini (seperti pencemaran, kebisingan, keindahan alami) relatif kurang bahkan sering tidak tertanggulangi, atau tidak dapat dirasakan manfaat keberadaan RTH di lokasi tersebut Perubahan fungsi RTH terutama terjadi dari fungsi biofisik, arsitektural dan sosial (tiga fungsi ini merupakan fungsi-fungsi awal RTH yang dikembangkan untuk wilayah kota Bogor sebagai suatu bentuk kota peristirahatan yang bertema Eropa) berganti menjadi fungsi ekonomi yaitu menjadi lokasi tempat berjualan; dan fungsi biofisik pada lahan bertebing curam menjadi kawasan permukiman atau areal yang diturap dengan perkerasan yang seharusnya dijadikan areal RTH berfungsi biofisik atau lindung. Dinamika perekonomian kota yang juga memacu urbanisasi berdampak juga terhadap konversi lahan alami/bervegetasi menjadi lahan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi (Gambar 27).
Gambar 27. Contoh pemanfaatan RTH sebagai lahan usaha Bila diketahui bahwa pada awal perkembangannya, introduksi dan keberadaan tanaman atau RTH dalam suatu wilayah perkotaan terutama adalah dalam
88 upaya mengendalikan kualitas lingkungan yang semakin memburuk serta kapasitas lingkungan yang semakin menurun di kawasan industri atau di perkotaan akibat semakin meningkatnya aktivitas industri dan perkotaan yang diikuti oleh semakin terus menurunnya jumlah ketersediaan ruang-ruang terbukanya (Crowe 1981; Lynch 1994; Simonds 1983), maka fungsi lingkungan RTH yang utama (biofisik atau ekologis) haruslah diketahui dan difahami oleh masyarakat, dan dapat dibedakan dengan fungsi tambahan lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural). Dengan pengetahuan yang dimiliki masyarakat ini diharapkan warga kota dapat memberikan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan perkotaannya dan juga terhadap berbagai bentuk pengelolaan lingkungan yang tidak sesuai dan tidak mendukung perbaikan kondisi lingkungan kota. Pengetahuan tentang fungsi dan manfaat lingkungan dari RTH yang dimilikinya ini, akan mendukung peran serta atau partisipasi warga masyarakat terhadap perbaikan lingkungan kotanya. Hal ini, selain akan mendapatkan bentuk RTH yang mendukung keindahan alami dan kelestarian lingkungan kawasan kota juga yang sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat sehingga sasaran untuk mewujudkan gerakan masyarakat yang peduli lingkungan (eco society movement) terhadap lingkungan kotanya dapat tercapai. Dampak selanjutnya, melalui gerakan masyarakat ini, yaitu beban dan biaya lingkungan yang dihadapi wilayah kota akan dapat diminimumkan. Kurang diketahuinya berbagai fungsi prioritas bermanfaat yang dimiliki RTH ini, dimana RTH ini juga dikategorikan sebagai barang publik (public good), pada bagian wilayah kota tertentu menurut Anwar (1994), More et al. (1988), serta Pearce dan Turner (1990) dapat berdampak terhadap kemudahan untuk: (a) mengkonversi RTH melalui alih-fungsi dan alih-bentuk RTH yang tidak sesuai dengan permasalahan lingkungan yang dihadapi, serta (b) menghilangkan keberadaannya Dampak selanjutnya yang dapat diduga terjadi yaitu kurang dapat dimaksimalkannya peranan RTH sebagai sarana pengendali kondisi lingkungan wilayah perkotaan yang terbatas dan tetap luasan lahannya sehingga bentuk kota berwawasan lingkungan, bahkan kota yang sehat, dan kota berkelanjutan kurang dapat diwujudkan. Pemilikan privat yang tinggi atas lahan RTH kota (subbab 5.1) juga akan cenderung lebih mempermudah konversi tipe lahan penghijauan ini sehingga potensial akan mengurangi ketersediaannya dalam wilayah kota. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kota tidak dapat menjelaskan perbedaan fungsi-fungsi RTH ini walaupun terdapat mereka cenderung dapat me-
89 milah antara fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi. Keeratan korelasi dari tiga nilai fungsi non ekonomi RTH dapat diterangkan sebagai berikut : (a) bahwa Kota Bogor ini, dari sejak awal, memang dikembangkan untuk kota wisata dan istirahat sehingga rancangan bentuk ruang kota dan elemennya lebih ditekankan pada aspek visual (arsitektural) dan aspek rekreatif (Nurdin 1999; Rachmawaty 1995; Widjaja 1993). Penataan taman-taman kota dengan gaya kolonial (Eropa, Inggris) dan bersuasana tropisch indies yaitu dengan kerimbunan tropikal dan penataan tanaman yang arsitektural, yang tetap dipertahankan pada sebagian besar bagian kota telah mencirikan fungsi dan nilai arsitektural dari RTH kota. Tatanan ruang yang relatif teratur (fungsi arsitektural yaitu untuk penataan) dengan kekhasan pada areal dan koridor tertentu (fungsi arsitektural untuk identitas kota atau bagian kota) merupakan ciri utama dari fungsi arsitektural kota. Pada awal perkembangannya, lahan-lahan areal bertebing tertutupi tanaman terutama jenis pohon. (b) Pengembangan, suasana, dan ketersediaan ruang hijau pertamanan di Kota Bogor sebagai kota wisata dan istirahat, sampai saat ini, juga mendukung fungsi sosial yang tinggi. Dengan adanya Kebun Raya dan ruang hijau pertamanan menjamin ketersediaan RTH berfungsi sosial, karena dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui kegiatan rekreasi, pendidikan, dan bersosial warganya, serta berpotensi untuk meningkatkan kesehatan pengunjung kota. Banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota ini juga telah mendorong meningkatnya fungsi sosial RTH kota terutama sebagai areal-areal rekreasi. (c) Pengembangan ilmu arsitektur yang terkait dengan pengakomodasian dan pengorganisasian kepentingan, kebutuhan, serta keinginan pengguna (users) terhadap suatu ruang atau lingkungannya untuk mendapatkan kenyamanan dan kesesuaian rancangan dari struktur ruang kota dapat menerangkan keeratan yang tinggi antara fungsi arsitektural dan fungsi sosial pada RTH kota ini. Peubah fungsi ekonomi memiliki korelasi yang terendah terhadap tiga peubah fungsi lainnya, dan cenderung terpisah dengan kelompok fungsi-fungsi non ekonomi. Rendah dan kurang eratnya fungsi ekonomi dari RTH kota ini berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh responden yang dalam penelitian ini
90 dinyatakan sebagai barang atau bahan tanaman yang dapat dipasarkan secara langsung (seperti kayu, bunga, buah, serta daun), diterangkan sebagai berikut: (a) pandangan akan fungsi ekonomi (langsung) suatu RTH dalam kota belum diketahui dan dimanfaatkan oleh warga kota umumnya dan juga tidak diperkenalkan serta tidak diperkenankan oleh pemerintah kota termasuk juga Pemerintah Daerah Kotamadya Bogor. (b) Dari
sisi
penataan
kecenderungan
ruang
untuk
tidak
terbuka
kota
menggunakan
terlihat
adanya
berbagai
jenis
tanaman yang dapat meng-hasilkan uang secara langsung. Jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi ini, diperhitungkan, akan dapat
merangsang
minat
mengambil/mencuri/melakukan memper-sulit
pekerjaan
warga
vandalisme,
pengelolaan
dari
kota
untuk
sehingga
akan
lembaga
yang
menanganinya seperti Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota, Pengelola Kebun Raya, atau lembaga lainnya. Belum diketahui atau belum diaplikasikan bahwa banyak material tanaman RTH dapat dijadikan aset ekonomi kota secara langsung seperti yang telah dilakukan pada beberapa kota di Eropa dan Amerika terutama dari segi pemanfaatan kayu dari hutan kota dan pohonpohon di tepi jalan (Schmid 1979), di Cina dalam pemanfaatan buah dari pohon-pohon di tepi jalan atau hutan rekreasi kota. Melalui suatu bentuk pengelolaan ruang terbuka kota yang baik, dapat diatur waktu dan cara pemanenan kayu, buah, atau bagian tanaman lainnya pada pohon-pohon di dalam kota tanpa terjadinya kerusakan keindahan atau pengalihan fungsi pada RTH kota tersebut.
Potensi sumberdaya alam (terutama
kesuburan tanah dan iklim) yang dimiliki kota penelitian ini merupakan peluang untuk fungsi ekonomi ini yang dapat direncanakan untuk masa datang, terutama pada lahan-lahan di jalur hijau tepi kota, jalur hijau tepi sungai, dan RTH kawasan, dan dapat dikombinasikan dengan berbagai kegiatan wisata kota seperti agrotourism, ecotourism, dan heritage tourism (Gambar 28).
91 (c) Dari segi kesejarahan kota diketahui bahwa RTH (pertamanan)
di kota penelitian Bogor,
lebih ditekankan pada aspek/fungsi
arsitektural pada rencana awal pembangunannya (Rachmawaty 1995; Widjaja 1993). diubah
Tata ruang kota yang relatif sulit untuk
dan diperluas,
yang
disebabkan
karena struktur,
konfigurasi dan karakter alami kota yang kuat dan juga karena keterbatasan
luas
lahan
yang
dapat
digunakan
untuk
pembangunan, menyebabkan pengembangan fungsi ekonomi (secara langsung) dari RTH kota ini relatif kurang dikembangkan
Colonial heritage tourism
Wisata menikmati pohon-pohon tua
Gambar 28. Alternatif untuk pengembangan fungsi ekonomi jasa RTH 5.3.2. Bentuk RTH Kota Bentuk suatu RTH merupakan aspek utama dari design (rancangan) yang berperan dalam penataan ruang kota. Setiap RTH memiliki bentuk atau struktur fisik tertentu yang merupakan gambaran dari fungsinya (Forman dan Godron 1986; Lyle 1981; Tim IPB 1993). Hasil korelasi, pada Tabel 10, memperlihatkan bahwa responden juga tidak dapat membedakan antar bentuk RTH yang diteliti.
Tabel 10. Korelasi antar peubah bentuk RTH kota. Bentuk RTH
1. Mengelompok a. Kawasan b. Simpul 2. Jalur
1. Mengelompok a. Kawa- b. Simsan pul 1.000 0.921
1.000
a. Jalur hijau jalan raya
2. Jalur b. Jalur hijau c. Jalur hijau lintas k.a tepi sungai
d. Jalur hijau tepi kota
92 a. Jalur hijau jalan raya b. Jalur hijau lintas kereta c. Jalur hijau tepi sungai d. Jalur hijau tepi kota
0.888
0.932
1.000
0.815
0.870
0.883
1.000
0.836
0.885
0.900
0.876
1.000
0.831
0.866
0.873
0.894
0.899
1.000
Keterangan: Korelasi Spearman, rho coefficient
Umumnya responden melihat RTH hanya sebagai suatu kumpulan tanaman/tumbuhan/vegetasi yang dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan outdoornya, tetapi tidak atau belum dapat memilahkannya berdasarkan kepentingan dari bentuk/rancangan utamanya. Seperti yang juga terjadi pada penilaian terhadap fungsi-fungsi RTH, diduga bahwa pengetahuan dan informasi serta persepsi mengenai bentuk RTH kota yang sifatnya sangat umum (tidak spesifik) merupakan penyebabnya. Beberapa kemungkinan lain terjadinya hal ini yaitu karena RTH kota penelitian sudah membentuk satu bentukan RTH yang berfungsi ganda (karena sudah dibangun berpuluh tahun yang lalu, yaitu sejak berdirinya kebun raya atau kota tropikal Buitenzorg) sehingga mereka sulit atau tidak dapat memilah bentukan spesifik atau bentukan fungsionalnya, serta juga karena belum banyak diketahui bentuk/rancangan/design RTH yang dapat mengakomodasi fungsi-fungsi lingkungan tertentu. Bila diketahui bahwa fungsi dan bentuk serta lokasi saling mempengaruhi (contoh pada Gambar 29) maka ketidak-tahuan ini – terutama terhadap bentuk fungsional RTH – akan membuat:
93
RTH kawasan yang luas untuk rekreasi
RTH jalur untuk pengarah, pengatur
Gambar 29. Contoh bentuk fungsional RTH
(a) hasil maksimum terhadap perbaikan kapasitas dan kualitas lingkungan yang diinginkan dari keberadaan RTH dalam kota kurang dapat diwujudkan (b) bentuk/rancangan RTH yang tidak mendukung kondisi ekologis kota yaitu bentuk rancangan yang mendukung dan memudahkan adaptasi manusia untuk hidup dengan nyaman dalam wilayah perkotaan yang disebabkan karena rancangan RTH tidak sesuai dengan lokasi, fungsi yang diinginkan serta tata ruang dan keindahan kota (c) tidak tercapainya nilai estetika dan arsitektur kota yang merupakan nilai tambah dari penataan ruang-ruang dan arsitektur kota. Hal ini juga diduga merupakan salah satu penyebab akan kurangnya perhatian masyarakat terhadap program penghijauan fungsional kota dan pelestarian lingkungan alami perkotaan. Untuk meningkatkan kepedulian ini, disarankan pada lembaga yang terkait dengan lingkungan, baik pemerintah daerah, swasta, untuk lebih giat dalam mensosialisasikan aspek teknis yang terkait dengan bentuk dan rancangan fungsional dari RTH ini, dan bukan hanya pada pengenalan jenis-jenis pohon. Selain mendapatkan rancangan yang sesuai, efisiensi lahan pada pusat atau kawasan-kawasan bernilai ekonomi tinggi dalam kota yang cenderung mahal dapat dilakukan
5.3.3. Hubungan Fungsi dan Bentuk RTH Kota
Tabel 11 memperlihatkan hasil olahan data peubah fungsi terhadap bentuk RTH kota yang diteliti. Dari hasil yang tertera pada Lampiran 4 diketahui bahwa dua komponen utama pertama memiliki kontribusi yang tinggi (>90%) dalam menjelaskan keragaman peubah asal sehingga asumsi untuk menggunakan analisis komponen utama (AKU), guna melakukan analisis lanjutannya telah ter-penuhi.
94 Dari perhitungan akar ciri ini, diketahui bahwa λ1 mempunyai nilai cukup tinggi untuk tiap bentuk RTH yang diteliti (λ1 RTH kawasan: 0.87; λ1 RTH simpul: 0.89 ; λ1Jalur hijau jalan raya :0.92; λ1 Jalur hijau lintas kereta: 0.93; λ1 Jalur hijau tepi sungai: 0.91; λ1 Jalur hijau tepi kota:0.92)
sehingga
dapat dinyatakan bahwa nilai pada KU1 pada tiap bentuk RTH ini dapat untuk menerangkan tentang keragaman data asal. Tabel 11 menunjukkan koefisien peubah-peubah baru, yaitu KU1 dan KU2, yang merupakan fungsi peubah asalnya (KU2 digunakan terutama untuk menerangkan penyebaran spasial dari karakter demografis responden, pada bahasan selanjutnya).
Pada Tabel 11 ini terlihat bahwa KU1 menghasilkan nilai koefisien yang relatif hampir sama besarnya (± 0.50) dan bertanda negatif untuk empat fungsi yang diteliti pada tiap bentuk RTH ini. Dari kondisi ini dapat dinyatakan bahwa bila nilai penghargaan yang diberikan oleh responden terhadap peubah asal me-ningkat maka hal ini juga akan diikuti oleh menurunnya nilai penghargaan terhaTabel 11 Nilai koefisien peubah dua komponen utama fungsi RTH kota Bentuk RTH Kota 1. Mengelompok a. Kawasan
b. Simpul
2. Jalur/koridor a. Jalur Hijau Jalan Raya
b. Jalur Hijau Lintas Kereta
c. Jalur Hijau Tepi Sungai
d. Jalur Hijau Tepi Kota
Peubah Fungsi
KU1
KU2
1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial 1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial
- 0.480 - 0.499 - 0.514 - 0.506 - 0.484 - 0.501 - 0.511 - 0.504
0.874 - 0.267 - 0.221 - 0.341 - 0.862 0.281 0.152 0.393
1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial 1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial 1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial 1. Ekonomi 2. Biofisik 3. Arsitektural 4. Sosial
- 0.485 - 0.505 - 0.503 - 0.507 - 0.501 - 0.496 - 0.507 - 0.496 - 0.479 - 0.500 - 0.512 - 0.508 - 0.489 - 0.499 - 0.509 - 0.503
0.831 - 0.327 - 0.450 - 0.022 - 0.422 0.621 0.354 - 0.557 0.868 - 0.327 - 0.339 - 0.157 - 0.849 0.197 0.165 0.462
95
hadap empat komponen fungsi RTH kota ini dengan besaran atau koefisien yang relatif hampir sama untuk tiap bentuk RTH yang diamati. Hubungan yang negatif antara nilai KU1 dengan empat peubah asal dari fungsi-fungsi RTH ini menun-jukkan bahwa kenaikan nilai penghargaan pada peubah asal berbanding terbalik dengan nilai KU1.
Dalam
pengertian ekonomi dapat dinyatakan bahwa bila semakin besar jumlah atau nilai WTC yang ingin dikontribusikan atau disum-bangkan oleh responden untuk tiap fungsi RTH kota ini, maka nilai KU1 akan semakin kecil.
Dalam hal ini, nilai dari KU1 dapat dinyatakan atau disetarakan
sebagai nilai atau biaya korbanan (opportunity cost) yang dikeluarkan oleh res-ponden penilai dimana responden yang mampu membayar lebih mahal terhadap fungsi-fungsi yang dimiliki oleh RTH kota ini, justru tidak begitu merasa banyak kehilangan jika dibandingkan dengan responden yang membayarnya dengan nilai yang lebih rendah. Bila dilihat pada KU2 terlihat adanya perubahan/perbedaan besar dari nilai koefisien dan arahnya untuk tiap fungsi dan bentuk RTH. Pada KU2, nilai tertinggi didapatkan dari peubah fungsi ekonomi sehingga dapat dinyatakan bahwa nilai KU2 ini ditentukan oleh nilai dari fungsi ekonominya, tetapi dengan arah/ bentuk pengaruh yang berbeda (+/-) tergantung dari bentuk RTH. Hal ini berarti bahwa bila penilaian atau apresiasi responden terhadap peubah asal meningkat maka akan diikuti oleh meningkat atau menurunnya penilaian terhadap fungsi ekonomi RTH yang dinilai. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penilaian responden terhadap bentuk RTH kawasan, jalur hijau jalan raya, dan jalur hijau tepi sungai, sejalan dengan nilai dari fungsi ekonominya tetapi berbeda dengan tiga nilai dari fungsi lainnya. Dari hasil ini dapat juga dinyatakan bahwa responden lebih menghargai fungsi ekonomi pada tiga bentuk RTH tersebut (RTH kawasan, jalur hijau jalan raya, dan jalur hijau tepi sungai) dibandingkan dengan tiga fungsi lainnya yaitu biofisik, arsitektural, dan sosial pada RTH yang sama Hal yang sebaliknya terjadi pada RTH simpul dan jalur hijau tepi kota dimana peningkatan penghargaan dari responden akan menurunkan penghargaannya terhadap fungsi ekonomi dengan arah yang berbeda terhadap tiga nilai dari fungsi-fungsi lainnya. Pembentukan hasil ini diduga karena masyarakat lebih banyak mengetahui dan mengenal tiga
96 bentuk RTH yang bermakna ekonomi tersebut dibandingkan dengan bentukbentuk RTH lainnya, atau mereka telah berpengalaman dalam memanfaatkan keuntungan ekonomi (fungsi ekonomi) dari tiga bentuk RTH tersebut. Terlihat ada suatu kecenderungan tertentu terhadap pola penilaian dari responden terhadap nilai KU1 dan KU2. Didapatkan bahwa peubah fungsi ekonomi, pada tiap bentuk RTH kota yang diteliti, juga merupakan peubah yang memiliki hubungan paling tidak erat dan terkesan selalu terpisah terhadap tiga peubah fungsi lainnya, dan dengan besaran dan arah yang berbeda. Hasil ini terlihat konsisten dengan hasil olahan korelasi pada Tabel 7 dan hasil ini dapat juga diterangkan berdasarkan teori awal pembentukan dan perkembangan selanjutnya dari RTH atau sistem pertamanan dalam kota penelitian ini (RTH atau pertamanan dalam kota kolonial yang berorientasi fungsi non ekonomi), yang selanjutnya diduga akan mempengaruhi pola penilaian responden terhadap tiap fungsi dari bentuk-bentuk RTH yang diteliti. Pada Tabel 11 didapatkan perbedaan penilaian yang diberikan oleh responden terhadap fungsi-fungsi lingkungan dari RTH pada jalur hijau lintas kereta. Tidak banyak diketahuinya informasi tentang jalur hijau lintas kereta, baik mengenai bentuk, fungsi, dan nilai manfaat yang dimilikinya diduga merupakan penyebab akan bentuk jawaban responden ini. Diketahui, sampai dengan saat ini, belum pernah ada perhatian dan bahasan ruang penghijauan untuk jalur hijau lintas kereta dan juga belum adanya peraturan khusus tentang model atau arah perencanaan jalur hijau pada tepi lintasan kereta ini (baik yang terkait dengan peraturan daerah ataupun peraturan yang lainnya seperti Inmendagri No. 14/ tahun 1988) untuk mengatur, menata atau mengoptimalkan fungsi-fungsi RTH yang dapat dihubungkan dengan kepentingan jalur hijau di sekitar jalur lintas kereta ini. Untuk menata ruang-ruang kota menjadi ruang yang lebih berfungsi dan berpenampakan arsitektural alami, untuk meningkatkan kualitas biofisik atau kualitas lingkungan dalam wilayah perkotaan, untuk meningkatkan kenyamanan warga, serta untuk mewujudkan kota atau bagian kota yang sehat disarankan untuk memperhitungkan rencana penataan lahan dan bentuk jalur hijau lintas kereta ini sebagai salah satu ruang/lahan yang potensial untuk pembentuk dan pengendali kualitas lingkungan kota (arsitektural, sosial, ekonomi, biofisik) dan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Untuk kasus kota penelitian, jalur lintas
kereta yang terletak di bagian tengah kota juga dapat dimanfaatkan sebagai jalur
97 hijau penyangga (dengan kawasan sekitar) yang fungsional dan estetik untuk meningkatkan kualitas visual kota dalam batas garis sempadan lintasan kereta.
Dari pola penilaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap fungsifungsi RTH kota ini dapat disimpulkan bahwa tiga fungsi non ekonomi RTH (yaitu fungsi biofisik, sosial, dan arsitektural) cenderung selalu mengelompok dibandingkan dengan nilai RTH dari fungsi ekonomi. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa struktur arsitektural alami kota ini guna mendukung suasana istirahat dalam kota tropis yang merupakan warisan penghijauan periode kolonial tetap dijaga dan dilestarikan pada sebagian besar RTH utama kota ini. Tata ruang kota Bogor lama yang berpusat pada kebun raya dan istana presiden yang relatif tidak ada perubahannya juga mendukung “bertahannya” tata hijau kota ini. Kondisi kenya-manan alami dan suasana lingkungan fisik kota yang dirimbunkan oleh pohon-pohon yang telah dewasa dan cukup besar diameternya yang telah memperkuat karakter dan amenity alami
kota juga telah
memberikan pengalaman lingkungan out-door yang nyaman pada masyarakat
kota
sehingga
mendukung
pemben-tukan
dan
pengelompokan nilai fungsi RTH kota ini. Tidak dapatnya responden membedakan bentuk-bentuk RTH memper-lihatkan kurang dirasakannya makna design (rancangan) pada penataan ruang-ruang kota. Selain pada model rancangan RTH lama yang juga mendominasi kota dan yang sudah terbukti manfaat atau fungsinya dalam mempertinggi kua-litas lingkungan kota, maka rancangan bentuk RTH yang belum lama dilaksana-kan pembangunannya terlihat kurang fungsional dan kurang “menyatu” (unite) dengan suasana kota yang diinginkan. Kurang optimalnya bentuk RTH ini akan berlanjut terus tanpa mengarah pada perbaikan kapasitas dan kualitas ling-kungan kota, bila masyarakat tidak mengetahui makna atau arti bentuk atau rancangan fungsional RTH. Untuk mendukung kualitas lingkungan kota yang baik maka informasi dan pengetahuan tentang hal ini perlu untuk disebar luaskan pada masyarakat. 5.3.4. Aspek Demografis Masyarakat Penentu Nilai RTH Kota
98 (1) Penilaian umum terhadap fungsi dan bentuk RTH kota Tabel 12 menyajikan data hasil korelasi antara faktor demografis responden dengan 4 (empat) peubah fungsi pada tiap bentuk RTH yang diteliti berdasarkan besaran penilaian, yang dinyatakan dengan besarnya willingness to contribute (WTC), yang diberikan oleh responden terhadap keberadaan fungsi dan bentuk RTH kota ini. Hasil penelitian ini menggambarkan tiga kelompok umum model penilaian, yaitu kelompok yang berlatar belakang faktor pendidikan dan non pendidikan, kelompok dengan fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi (biofisik, sosial, dan arsitektural); dan kelompok apresiatif terhadap bentuk RTH. Gambaran umum penilaian masyarakat kota penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Faktor tingkat pendidikan dari masyarakat kota ini berperan sangat nyata dan berarah positif dalam menentukan besaran penilaian atau apresiasi mereka terhadap setiap bentuk RTH yang diamati, dan (b) Fungsi ekonomi merupakan satu fungsi RTH yang cenderung kurang erat atau rendah peranannya, dibandingkan dengan 3 (tiga) fungsi RTH lainnya, dalam penentuan besarnya nilai lingkungan dari RTH kota, kecuali bila fungsi ekonomi ini terkait dengan faktor pendidikan. (c) Bentuk jalur hijau tepi sungai memiliki keterkaitan penilaian yang lebih tinggi pada masyarakat dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya Tabel 12. Korelasi antara peubah fungsi dan bentuk RTH kota dengan faktor demografis utama responden Bentuk RTH 1. Mengelompok a. Kawasan
b. Simpul
2. Jalur/koridor a. Jalur Hijau Jalan Raya
Profil Demografis
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
Umur Pendidikan Profesi1 Pendapatan Umur Pendidikan Profesi1 Pendapatan
0.059 0.099 0.028 0.027 0.106 0.170* 0.038 -0.006
0.067 0.274** 0.120 0.077 0.104 0.307** 0.099 0.111
0.063 0.231** 0.103 0.004 0.100 0.258** 0.108 0.055
0.051 0.207** 0.091 0.029 0.092 0.249** 0.120 0.052
Umur Pendidikan Profesi1 Pendapatan
0.070 0.180** 0.027 0.006
0.088 0.298** 0.084 0.101
0.083 0.259** 0.082 0.066
0.056 0.255** 0.072 0.031
99 b. Jalur Hijau Lintas Kereta
Umur 0.060 0.057 0.079 0.029 Pendidikan 0.166* 0.233** 0.244** 0.207** Profesi1 0.002 0.039 0.047 0.046 Pendapatan 0.013 0.090 0.060 0.004 c. Jalur Hijau Tepi Sungai Umur 0.082 0.110 0.106 0.107 Pendidikan 0.150* 0.284** 0.275** 0.247** 1 Profesi 0.068 0.145* 0.162* 0.147* Pendapatan 0.028 0.154* 0.129 0.092 d. Jalur Hijau Tepi Kota Umur 0.042 0.092 0.063 0.059 Pendidikan 0.168* 0.249** 0.219** 0.202** Profesi1 0.050 0.140* 0.095 0.122 Pendapatan 0.016 0.106 0.068 0.051 Keterangan: ** Korelasi berbeda nyata pada level 0.01 * Korelasi berbeda nyata pada level 0.05 1 Profesi = Latar belakang pendidikan atau profesi responden yang terkait dengan bidang lingkungan
Faktor pendidikan merupakan faktor yang berkorelasi sangat nyata dengan besarnya penilaian atau tingginya penghargaan masyarakat terhadap fungsi-fungsi RTH yang terutama berorientasi fungsi yang non-ekonomi - yaitu fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, sosial - pada semua bentuk RTH kota yang diamati.
Semakin tinggi tingkat pendidikan anggota masyarakat kota ini maka
penilaian atau penghargaannya terhadap fungsi RTH terutama fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, dan sosial ini juga cenderung akan semakin tinggi. Kenyataan di lapangan dan juga dari data statistik dari Pemda Kodya Bogor, bahwa lestarinya keberadaan RTH kota diduga didukung dengan relatif tingginya jumlah masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang menengah-tinggi di kota ini (data pada Gambar 21) dibandingkan dengan banyak kota lainnya. Peranan tingkat pendidikan dari kelompok masyarakat dalam menghargai lingkungan perkotaannya, seperti hutan kota, taman-taman kota, dan kawasankawasan untuk rekreasi lainnya, juga telah banyak dibuktikan (Atmanto 1995; Linawati 1995; Lyle 1981; Nasution 1995; Tunnard et al. 1974; Wibowo 1983). Pemahaman dan penghayatan seseorang terhadap kepentingan dan manfaat suatu sumberdaya alam, lingkungan dan lanskap ditentukan oleh kemampuannya untuk mengetahui berbagai karakter dan manfaat yang dapat diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan serta bentang alam kota ini, serta dapat menghubungkannya dengan kepentingan masyarakat yang akan menggunakannya. Menurut Gold (1977) dan Simonds (1983), hal-hal tersebut menuntut peranan faktor pendidikan sebagai satu dasar untuk melakukan penilaian terhadap suatu
100 sumberdaya alam dan lingkungan atau suatu bentukan lanskap/ bentang alam kota. Kecenderungan “berkelompoknya” penilaian masyarakat terhadap 3 (tiga) fungsi non-ekonomi RTH (biofisik, arsitektural dan sosial), yang terpisah dengan fungsi ekonomi, dapat diterangkan berdasar pengamatan terhadap beberapa kondisi yang dijumpai dan diamati di lapangan, yaitu bahwa: (a) Manfaat fungsi non-ekonomi RTH telah dirasakan oleh masyarakat kota ini secara langsung seperti kenyamanan dan keindahan alami kota. (b) Pengkondisian kota ini sebagai kota wisata berkesan alami dengan Kebun Raya sebagai areal utamanya dan berbagai RTH dengan bentukan taman-taman kota (RTH simpul) memberikan dukungan terhadap penilaian masyarakat akan fungsi non-ekonomi, dan (c) Arahan dan tujuan pengembangan Kota Bogor ini menjadi “Kota dalam Taman” mendukung dilakukannya pengelolaan terhadap keberadaan fungsi-fungsi non-ekonomi RTH ini oleh lembaga Pemerintah Daerah (seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota). Dalam kasus masyarakat Kota Bogor, masyarakat yang memberikan penilaian yang sedang sampai tinggi, umumnya, cenderung akan mempunyai perhatian dan rasa memiliki serta apresiasi yang relatif tinggi terhadap RTH, dan mereka berpeluang tinggi untuk ikut berperan-serta dalam membangun dan memelihara RTH kota. Pemerintah disarankan untuk memberikan arahan utama pada masalah yang terkait dengan tujuan pembangunan serta peruntukan dan tata ruang kota dalam kasus ini termasuk juga ketersediaan RTH dalam kota. Penilai berpendidikan tinggi ini disarankan untuk menjadi salah satu kelompok utama pendamping pemerintah kota atau penentu kondisi ruang-ruang kota khususnya RTH dengan kontribusi dari mereka: (a) Memberi masukan, baik teoritis maupun praktis, mengenai manfaat yang terkait dengan berbagai fungsi dan bentuk RTH untuk untuk pelestarian, kenyamanan, kesehatan (fisik dan psikis) dan keindahan alami lingkungan perkotaan, serta untuk peningkatan kapasitas sumberdaya alam dan lingkungan wilayah perkotaan (b) Bertindak sebagai motor penggerak (inti, dinamisator) masyarakat untuk berpartisipasi (langsung, tidak langsung) dalam perbaikan dan peningkatan kapasitas serta kualitas lingkungan fisik kota.
101 (c) Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang berbagai bentuk bahaya lingkungan (environmental/landscape hazards) yang akan dirasakan oleh mereka (peningkatan pencemaran udara, peningkatan suhu, longsor pada tebing, hilangnya natural amenity dan identitas lingkungan yang alami serta elemen kebanggaan kota, dan lainnya) bila RTH tidak tersedia atau semakin berkurang jumlah dan luasannya serta kemanfaatannya dalam wilayah kota ini. Faktor latar belakang pengetahuan atau pekerjaan yang terkait dengan bidang lingkungan (profesi) berkorelasi nyata hanya pada penilaian fungsi biofisik pada 2 (dua) bentuk RTH yang alami yaitu jalur hijau tepi sungai dan jalur hijau tepi kota. Semakin tinggi tingkat keterkaitan (pekerjaan, profesi) anggota masyarakat kota ini dengan bidang lingkungan (atau semakin banyak pengetahuannya dalam bidang lingkungan) maka terlihat kecenderungan yang semakin tinggi dalam memberi penilaian dan penghargaan terhadap fungsi biofisik pada kedua bentuk RTH ini. Dari kenyataan bahwa nilai lingkungan bersifat antroposentrik yaitu terkait dengan preferensi seseorang atau kelompok terhadap bentuk lingkungan yang dikehendakinya (Pearce dan Georgiou 1994) maka dapat dijelaskan bahwa respon seperti yang diberikan oleh responden karena umumnya dua bentuk RTH tersebut (jalur hijau tepi sungai dan tepi kota) memiliki bentuk dan struktur yang masih berkesan alami dengan ukuran yang luas serta manfaat jalur hijau ini dapat dirasakan langsung (mendekati preferensi masyarakat terhadap RTH yang diinginkan, subbab 5.1). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa tingkat pendapatan masyarakat mempengaruhi persepsi dan apresiasinya terhadap lingkungan (Atmanto 1995; Linawati 1994; Wibowo 1987), dimana semakin tinggi tingkat pendapatan maka akan membentuk persepsi dan apresiasi/penilaian yang tinggi terhadap berbagai bentuk lingkungan alami akan semakin meningkat. Persepsi dan apresiasi yang tinggi terhadap lingkungan berdasarkan faktor pendapatan ini, biasanya terkait dengan sarana lingkungan yang rekreatif untuk penggunaan waktu luang. Tetapi dalam penelitian untuk kasus Kota Bogor ternyata tingkat pendapatan masyarakat kota ini tidak berkorelasi nyata, atau sangat rendah peranannya pada besarnya penilaian dan penghargaan terhadap RTH kota ini. Faktor pendapatan hanya berkorelasi nyata dan positif terhadap fungsi biofisik pada jalur hijau tepi sungai, dimana semakin tinggi pendapatan maka penghargaannya terhadap fungsi biofisik atau fungsi ekologis jalur hijau tepi sungai
102 juga semakin tinggi. Kemungkinan hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk kehidupannya, baik secara langsung (kebersihan, keindahan alami) maupun tidak langsung (rekreasi alam) sehingga masyarakat ini mau untuk memberikan penilaian yang tinggi untuk upaya memproteksi dan menjaga kualitas lingkungannya. Juga mereka mengetahui manfaat dari ketersediaan jalur hijau di tepi atau bantaran sungai yaitu untuk mencegah berbagai bahaya lingkungan yang sering terjadi di kota penelitian ini seperti banjir, erosi dan longsor pada tebing-tebing. Selain itu, ketersediaan jalur hijau tepi sungai ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentukan RTH untuk menurunkan suhu kota (karena cukup tersebarnya keberadaan sungai dan anak sungai dalam kota), sebagai salah satu bentukan estetika alami yang dapat meningkatkan kualitas wajah alami kota (natural urban performance), dan sebagai areal rekreasi warga kota yang potensial Dua bentuk RTH ini, yaitu jalur hijau tepi sungai dan jalur hijau tepi kota (kedua jalur hijau ini bila memiliki ketebalan yang cukup dapat dikategorikan sebagai green belt, forest belt), kenyataannya sampai dengan saat ini, terutama, hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi utama dari lingkungan yaitu fungsi biofisik (seperti penurun suhu kota, areal keanekaragaman hayati, perlindungan tata air) walaupun pada banyak kota, terutama di negara-negara yang telah maju perekonomiannya atau kesejahteraannya, 2 (dua) bentuk RTH ini sudah dikembangkan menjadi berfungsi ganda seperti fungsi ekonomi (lahan produksi pertanian dan kehutanan, pembatas wilayah administratif), fungsi sosial (areal rekreasi alam) dan fungsi arsitektural (pembatas kota, pelembut pola grid dari tata ruang kota). Pengakomodasian fungsi ganda pada 2 (dua) bentuk RTH ini, dalam kepentingan kawasan dan wilayah perkotaan, akan dapat memperbesar suplai akan manfaat dari sumberdaya alam dan lingkungan termasuk suplai terhadap areal rekreasi alam bagi masyarakatnya baik yang terdapat di dalam kota (RTH tepi sungai) maupun di luar kota (RTH tepi kota), selain memungkinkan terakomodasinya berbagai kepentingan perkotaan lainnya. Jalur hijau tepi sungai merupakan salah satu bentuk RTH kota yang secara nyata terlihat keberadaannya secara fisik dalam dimensi ukuran Kota Bogor; dan hasil penelitian ini memperlihatkan lebih banyak faktor demografis yang berkorelasi nyata pada RTH ini dibandingkan dengan bentuk-bentuk RTH lain. Pada Tabel 12 terlihat bahwa fungsi biofisik RTH tepi sungai ini, yang merupakan fungsi utama yang dianjurkan untuk digunakan pada penghijauan di bantaran
103 sungai kota ini, diketahui berkorelasi nyata dengan tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan, dan pendapatan masyarakat. Tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan, dan pendapatan masyarakat yang semakin tinggi akan memberikan nilai atau penghargaan yang semakin tinggi juga terhadap RTH ini. Hal ini memperlihatkan penghargaan dan, selanjutnya, kepedulian yang tinggi dari masyarakat terhadap bentuk RTH tepi sungai ini. Hal ini akan memberi dampak positif bagi kelestarian salah satu elemen lingkungan pembentuk lanskap perkotaan ini. Penilaian terhadap fungsi arsitektural dan sosial dari jalur hijau tepi sungai ini, yang dapat diaplikasikan pada RTH rekreatif, berkorelasi secara positif terhadap tingkat pendidikan dan keterkaitan latar belakang profesi masyarakat dengan profesi lingkungannya. Untuk kasus kota penelitian maka jalur hijau tepi sungai ini merupakan RTH kota yang berpotensi dan sebaiknya dipertahankan dalam bentuk alaminya, karena berbagai faktor bahaya yang dapat ditimbulkannya (seperti banjir, erosi, longsor pada tebing-tebing yang terjal, serta lainnya). Bentukan alami sungai ini juga dapat merupakan salah satu nilai tambah dalam bentukan estetika yang alami yang sebaiknya dipertahankan dalam lanskap kota yang umumnya berstruktur kaku (Simonds 1994). Untuk jalur hijau jalan raya, penilaian masyarakat terhadap 4 (empat) fungsi RTH yang diteliti memberikan korelasi yang sangat nyata dan arahan positif dengan faktor pendidikannya. Dapat dinyatakan bahwa untuk kasus jalur hijau jalan raya maka semakin tinggi faktor pendidikan dari masyarakat kota ini maka penghargaan yang akan diberikannya pada semua fungsi pembentuk nilai lingkungannya juga akan meningkat. Terjadinya korelasi yang sangat nyata pada fungsi ekonomi dari bentuk RTH jalur hijau jalan raya ini, yang tidak didapatkan pada bentuk RTH lainnya, dapat disebabkan oleh manfaat langsung yang dirasakan masyarakat karena keberadaan beberapa jenis pohon yang ditanam di tepi jalan-jalan kota. Sebagian dari masyarakat kota telah memanfaatkan hasil beberapa jenis tanaman yang ditanam pada tepi jalan ini untuk dijual seperti buah dari pohon Kenari (Cannarium commune), bunga dari pohon Tanjung (Mimosop elengi), dan kayu dari pohon Mahoni (Swietenia mahagoni).
Selain menghasilkan materi yang
dapat dijual secara langsung, keberadaan RTH pada tepi jalan raya ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal untuk berusaha dan berdagang.
104 Pada jalur hijau tepi kota atau green belt kota (untuk Kota Bogor didominasi oleh areal pertanian rakyat, kebun percobaan pertanian dan kehutanan, padang golf dan perumahan penduduk berpekarangan), maka latar belakang pengetahuan masyarakat yang terkait dengan bidang lingkungan (profesi) memberikan korelasi yang nyata dan positif terhadap penilaian fungsi biofisik ini. Semakin tinggi tingkat pengetahuan lingkungan yang dimilikinya maka besar penilaiannya terhadap fungsi biofisik bentuk jalur hijau ini juga akan semakin meningkat. Mengingat peran dan manfaat yang tinggi dari bentuk jalur hijau ini terhadap kualitas lingkungan kawasan perkotaan (terutama fungsi biofisik, bioventilator yang berperan dalam menurunkan suhu kota, lahan produksi) maka untuk mengelola ketersediaan dan kelestariannya dibutuhkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan dan fungsi lingkungan jalur hijau ini. Untuk mendukung peningkatan penilaian, penghargaan, atau apresiasi masyarakat pada ruang-ruang terbuka hijau kota, yang selanjutnya akan berdampak terhadap tingginya kesadaran dan kepeduliannya terhadap ketersediaan/keberadaan dan kelestariannya, maka dibutuhkan suatu model pengelolaan RTH kota yang spesifik. Selain program penyuluhan terhadap masyarakat, maka program yang mengikut sertakan masyarakat dalam berbagai aktivitas dan pengambilan keputusan yang bersifat konsultatif dan kemitraan guna perbaikan lingkungan kota merupakan salah satu model yang dapat diusulkan termasuk pembentukan eco society movement dan/atau city beautiful movement dalam bentuk pengelolaan baru RTH ini. Penyuluh tidak hanya berasal dari dan oleh pemerintah daerah atau dinas teknis pengelola RTH saja tetapi, berdasarkan hasil penelitian ini, efektivitas juga dapat dicapai dengan kegiatan partisipasi masyarakat yang dikoordinasikan atau “dimotori” oleh kelompok masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan kelompok yang memiliki pengetahuan lingkungan. Jenjangan kelompok dan materi penyuluhan dipersiapkan dengan melihat permasalahan dalam wilayah kota yang terjadi atau yang akan dihadapi, penanggulangan permasalahan melalui sarana RTH (fungsi, bentuk, lokasi) dan kelompok masyarakat sasarannya sehingga tujuan peningkatan kualitas dan kapasitas lingkungan perkotaan ini dapat terwujud melalui keikut sertaan masyarakatnya. Peningkatan pengetahuan kelompok masyarakat ini akan membantu kegiatan pengelolaan RTH yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor.
105
(2) Penilaian pada tiap bentuk RTH Analisis lebih lanjut dilakukan dengan menempatkan (plotting) nilai KU1 dan KU2 dari tiap bentuk RTH yang diamati secara spasial untuk mengetahui pola penggerombolan (clustering) berdasarkan karakter demografis responden. Analisis gerombol, yang menghasilkan bentuk dendrogram (Gambar disajikan pada Lampiran 5), dilakukan untuk mengetahui pola dan jarak tiap gerombol responden yang terbentuk . Dari tiap gerombol atau kumpulan responden yang terjadi, selanjutnya disajikan data yang memperlihatkan hubungan antara profil demografis responden tersebut dengan tingkat penilaian, apresiasi atau penghargaan (yang merupakan median dari nilai WTC) mereka terhadap tiap fungsi RTH pada tiap bentuk RTH yang diteliti. Dari hasil analisis gerombol juga akan dijelaskan latar belakang terjadinya keragaman dari faktor demografis yang diteliti (umur, gender, pendidikan, latar belakang pengetahuan lingkungan, dan pendapatan) dari tiap gerombol/kelompok masyarakat. Dari hasil analisis gerombol seluruhnya diketahui bahwa, umumnya, sebagian besar masyarakat (>85%) memberikan penilaian, penghargaan atau apresiasi yang rendah terhadap fungsi pada tiap bentuk ruang terbuka hijau (RTH) kota ini dan hanya ±15% yang memberikan penilaian yang sedang sampai dengan penilaian yang tinggi. Data ini dapat menyatakan bahwa sebagian besar penduduk kota penelitian ini tidak ”menghargai” atau tidak memperhatikan akan keberadaan dan ketersediaan semua elemen penghijauan kota atau RTH dalam kota Bogor ini. Bila bentuk atau tingkat penilaian yang dilakukan masyarakat ini merupakan cerminan atau ukuran dari pendapatnya atau kontribusinya untuk ketersediaan dan kelestarian RTH kota maka dapat dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat kota penelitian ini tidak atau kurang sadar atau peduli terhadap RTH ini. Hal ini juga didukung oleh ketidak fahaman atau ketidak jelasan mereka terhadap berbagai bentuk dan fungsi dari RTH (subbab 5.3.1, 5.3.2, dan bahasan sebelumnya). Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat maka perlu diketahui lebih rinci kelompok masyarakat tersebut dan model peningkatan pengetahuan dan apresiasi yang akan diberikan. Gambaran tentang peringkat penilaian atau penghargaan tiap kelompok responden terhadap 6 (enam) bentuk RTH yang diteliti
106 dapat dilihat pada Gambar 30 sampai dengan Gambar 35, dan Tabel 13 sampai dengan Tabel 24.
(a) Bentuk RTH kawasan Ragam penilaian masyarakat kota penelitian terhadap RTH bentuk kawasan ini dapat dilihat pada Gambar 30 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel 13 (profil besar penilaian yang diberikan responden), dan Tabel 14 (profil demografis responden). Dari 9 (sembilan) gerombol yang terbentuk didapatkan bahwa G1 merupakan gerombol/kelompok responden yang memberikan penilaian atau penghargaan yang paling rendah pada bentuk RTH kawasan dan G2 merupakan kelompok pemberi nilai yang tertinggi. Penilai rendah ini juga merupakan gerombol dengan jumlah responden yang tertinggi, umumnya, dengan klasifikasi lakilaki yang tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan dalam bidang lingkungan (Tabel 13 dan Tabel 14). Berdasarkan data pada Tabel 13 dan Tabel 14 didapatkan bahwa untuk RTH kawasan, penilaian responden yang tertinggi terhadap:
€
fungsi ekonomi (G2, G6), umumnya, diberikan oleh responden yang memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki pengetahuan lingkungan.
€
fungsi biofisik (G2, G3, G4, G7, G8), umumnya, diberikan oleh responden yang didominasi oleh kelompok perempuan dewasa, berpendidikan menengah-tinggi, memiliki latar belakang bidang lingkungan, dan klasifikasi tingkat pendapatan sedang
€
fungsi arsitektural (G2, G4), umumnya, diberikan oleh responden perempuan yang berpendidikan tinggi
€
fungsi sosial (G2, G4, G8) diberikan oleh responden perempuan yang berpendidikan tinggi dengan pengetahuan yang terkait bidang lingkungan, serta berpendapatan menengah.
Olahan data ini memperlihatkan bahwa, untuk RTH kawasan, fungsi ekonomi terpisah dengan fungsi non ekonomi, dengan pemilah utamanya adalah tingkat pendidikan dan pendapatan, dan pengetahuan atau latar belakang yang terkait dengan lingkungan
3
2
6
r KU II
2 2
0
55 5
9
1
2
7
1 1
2 3
1 11
1
11 1 11 11111 1111 1111 11 11 11111 1 1 1 1 1111
107
Gambar 30. Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH kawasan Tabel 13. Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH kawasan Gerombol
Fungsi Ekonomi
1 (n=177) 2 (n=16) 3 (n=1 ) 4 (n=4 ) 5 (n=3 ) 6 (n=1 ) 7 (n=1 ) 8 (n=1 ) 9 (n=1 )
4 500.00 1 000 000.00 625 000.00 70 000.00 625 000.00 1 000 000.00 875 000.00 375 000.00 875 000.00
Fungsi Biofisik 7 500.00 1 000 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 175 000.00 625 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 875 000.00
Fungsi Arsitektural 7 500.00 1 000 000.00 625 000.00 1 000 000.00 175 000.00 625 000.00 375 000.00 875 000.00 625 000.00
Fungsi Sosial 7 500.00 1 000 000.00 625 000.00 1 000 000.00 225 000.00 125 000.00 875 000.00 1 000 000.00 375 000.00
Total Nilai 30 000.00 4 000 000.00 2 875 000.00 3 007 625.00 1 200 000.00 2 375 000.00 3 125 000.00 3 250 000.00 2 750 000.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah nilai median WTC
Tabel 14. Profil demografi tiap gerombol untuk RTH kawasan Kriteria
Rincian
1. Responden 2. Gender 3. Umur
4. Pendidikan
5. Profesi
Jumlah G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
177
16
1
4
3
1
1
1
1
Laki-laki
103
8
0
1
2
0
1
0
1
Perempuan
74
8
1
3
1
1
0
1
0
< 15
3
0
1
0
0
0
0
0
0
15 – 45
141
11
0
4
2
0
1
1
0
> 45
33
5
0
0
1
1
0
0
1
SLTP
27
2
1
0
1
1
0
0
0
SMU
74
5
0
1
2
0
1
0
1
PT
76
9
0
3
0
0
0
1
0
Tidak terkait lingkungan
121
8
1
2
2
1
0
0
0
108 Terkait dengan lingkungan
56
8
0
2
1
0
1
1
1
53
6
1
2
1
1
0
0
0
< 500.000
56
1
0
0
2
0
1
0
0
500.001 – 1.500.000
46
5
0
1
0
0
0
1
1
1.500.001 – 2.500.000
10
2
0
1
0
0
0
0
0
2.500.001 – 6000.000
6
1
0
0
0
0
0
0
0
> 6.000.000
6
1
0
0
0
0
0
0
0
6. Pendapatan Tidak berpendapatan
(b) Bentuk RTH simpul Ragam
penilaian
masyarakat
kota
penelitian
terhadap
RTH
berbentuk simpul () dapat dilihat pada Gambar 31 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel 15 (profil besar penilaian yang diberikan responden), dan Tabel 16 (profil demografis responden).
3 2 2 2
2 1
11
Skor KU II
2
1
1
1
1 1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1 1 11 111 1 11 11111 11 1 1111 11 1 11 11 11 1 1 1 111 1 1 1 1 1
1
-1 1
-2 -8
-6
-4
-2
0
2
Skor KU I
Gambar 31. Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH simpul
Terbentuk hanya 2 (dua) gerombol responden, yang dapat dinyatakan bah-wa RTH simpul ini, yang direpresentasikan dengan RTH pertamanan dalam skala kecil dan lebih mengemukakan tampakan estetikanya, merupakan suatu bentuk RTH yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat perkotaan karena infor-masi mengenai hal ini cukup intensif dan telah memberikan pengetahuan pada warga kota tentang manfaat dari bentuk RTH ini. Dari dua gerombol yang terbentuk merupakan gerombol responden yang memberikan penilaian yang terrendah (G1) pada RTH simpul dan penilai tertinggi
109 (G2). Pemilah utama dari dua gerombol penilai adalah dari jenis kelamin, umur, pendapatan, dan profesi, dimana kelompok penilai rendah (G1) ini merupakan kelompok dengan dominasi laki-laki dewasa, pendapatan relatif rendah sampai menengah, dan latar belakang yang tidak terkait dengan bidang lingkungan.
Tabel 15. Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH simpul
Gerombol
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
Total Nilai
1 (n=201) 2 (n=4)
4 500.00 51 250.00
7 500.00 1 000 000.00
4 500.00 1 000 000.00
7 500.00 1 000 000.00
26 000.00 3 051 250.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah median nilai WTC
Tabel 16. Profil demografi tiap gerombol responden untuk RTH simpul Kriteria 1. Responden 2. Jenis Kelamin 3. Umur
4. Pendidikan
5. Profesi 6. Pendapatan
Perincian
Laki-laki Perempuan < 15 15 – 45 > 45 SLTP SMU PT Tidak terkait lingkungan Terkait dengan lingkungan Tidak berpendapatan < 500.000 500.001 – 1.500.000 1.500.001 – 2.500.000 2.500.001 – 6000.000 > 6.000.000
Jumlah G1 201 116 85 4 156 41 32 83 86 134 67 64 58 52 13 7 7
G2 4 0 4 0 4 0 0 1 3 1 3 1 1 2 0 0 0
(c) Bentuk jalur hijau jalan raya Ragam penilaian masyarakat kota penelitian terhadap jalur hijau jalan raya dapat dilihat pada Gambar 32 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel 17 (profil penilaian responden), dan Tabel 18 (profil demografis responden). Tabel 17 dan Tabel 18 memperlihatkan penilaian masyarakat kota penelitian ini terhadap RTH berbentuk jalur hijau jalan raya. Dari tujuh gerombol yang terbentuk didapatkan bahwa G1 merupakan gerombol/kelompok responden yang memberikan penilaian atau penghargaan yang paling rendah pada jalur hijau
110 jalan raya dan G2 merupakan kelompok penilai yang tertinggi. Penilai rendah ini juga merupakan gerombol dengan jumlah responden yang tertinggi, umumnya, didominasi oleh laki-laki umur dewasa dengan tingkat pendidikan menengah dan tinggi, tidak memiliki latar belakang pengetahuan bidang lingkungan, serta berpendapatan sedang/menengah.
2
1
2
2
2
Skor KU II
2
2
1
1 11 1 111 11 11 11 11 1111 1 1 111 11 1 1111 1 1 1
1
0
6
1
6
1 1 1
-1
1 1 1
1
5 7 3
-2
3 4
3
-3 -8
-6
-4
-2
0
2
Skor KU I
Gambar 32. Posisi relatif antar gerombol responden pada jalur hijau jalan raya
Tabel 17. Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau jalan raya Gerombol
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
1 (n=182) 2 (n=15) 3 (n=3 ) 4 (n=1 ) 5 (n=1 ) 6 (n=2 ) 7 (n=1 )
2 500.00 1 000 000.00 125 000.00 250.00 375 000.00 625 000.00 35 000.00
4 500.00 1 000 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 937 500.00 375 000.00
4 500.00 1 000 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 937 500.00 875 000.00
4 500.00 1 000 000.00 1 000 000.00 15 000.00 1 000 000.00 937 500.00 875 000.00
Total Nilai 17 375.00 4 000 000.00 3 001 250.00 2 015 250.00 3 375 000.00 3 437 500.00 2 160 000.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah median nilai WTC
Tabel 18. Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau jalan raya Kriteria 1. Responden 2. J. Kelamin
Perincian Laki-laki Perempuan
G1 182 105 77
G2 15 8 7
Jumlah G3 G4 3 1 2 0 1 1
G5 1 0 1
G6 2 0 3
G7 1 1 0
111 3. Umur
4. Pendidikan
5. Profesi 6. Pendapatan
< 15 15 – 45 > 45 SLTP SMU PT Tidak terkait lingkungan Terkait dengan lingkungan Tidak berpendapatan < 500.000 500.001 – 1.500.000 1.500.001 – 2.500.000 2.500.001 – 6000.000 > 6.000.000
4 143 35 30 74 78 124 58 0 57 48 11 6 6
0 10 5 1 7 7 7 8 7 1 4 2 0 1
0 3 0 1 2 0 3 0 2 0 1 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0
0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0
0 2 0 0 1 1 1 1 2 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0
Berdasarkan data pada Tabel 17 dan Tabel 18 didapatkan bahwa untuk jalur hijau jalan raya, penilaian responden yang tinggi terhadap:
€
fungsi ekonomi (G2), umumnya, diberikan oleh responden yang berpendidikan menengah-tinggi, cenderung tidak memiliki pendapatan,
€
fungsi biofisik dan fungsi arsitektur (G2, G3, G4, G5), umumnya, diberikan oleh responden berklasifikasi tingkat pendapatan rendah-sedang
€
fungsi sosial (G2, G3, G5) diberikan oleh responden dengan pengetahuan terkait bidang lingkungan dan berpendapatan rendah-sedang.
Olahan data ini memperlihatkan bahwa, untuk jalur hijau tepi jalan, fungsi ekonomi juga cenderung terpisah dengan fungsi-fungsi non ekonomi, dengan pemilah utamanya adalah tingkat pendapatan dan pengetahuan atau latar belakang yang terkait dengan lingkungan
(d) Bentuk jalur hijau lintas kereta Ragam penilaian masyarakat kota penelitian ini terhadap jalur hijau lintas kereta dapat dilihat pada Gambar 33 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel 19 (profil besar penilaian yang diberikan responden), dan Tabel 20 (profil demografis responden). Terbentuk 13 gerombol yang menggambarkan jumlah ragam masyarakat penilai yang terbesar dibandingkan dengan bentuk RTH lain yang diteliti. Jumlah gerombol yang lebih besar yang didapatkan pada jalur hijau lintas kereta ini diduga mencerminkan kurang dikenal dan/atau kurang sesuai materi atau informasi yang disampaikan mengenai bentuk RTH ini, dan juga karena kurang intensifnya perhatian pemerintah daerah atau lembaga
112 penelitian untuk merancang bentuk dan struktur fisiknya dengan baik walaupun manfaat penyangganya cukup tinggi.
4 8
5 5
2
7
Skor KU II
9
13
12
0
1 1 111111111111111 111 11 11 111 1 1111111 111 1 11 1
4
2
6
2
1
3
10
11
-2 -8
-6
-4
-2
0
2
Skor KU I
Gambar 33. Posisi relatif antar gerombol responden pada jalur hijau lintas kereta Tabel 19. Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau lintas kereta Gerombol
Fungsi Ekonomi
1 (n=178) 2 (n=13) 3 (n=2 ) 4 (n=1 ) 5 (n=2 ) 6 (n=2 ) 7 (n=1 ) 8 (n=1 ) 9 (n=1) 10 (n=1) 11 (n=1) 12 (n=1) 13 (n=13)
1 750.00 1 000 000.00 375 000.00 375 000.00 300 000.00 625 000.00 2 250.00 35 000.00 62 500.00 875.00 125 000.00 375 000.00 125 000.00
Fungsi Biofisik 2 250.00 1 000 000.00 375 000.00 625 000.00 1 000 000.00 625 000.00 875 000.00 1 000 000.00 1 000 000.00 625.00 62 500.00 875 000.00 375 000.00
Fungsi Arsitektural 2 250.00 1 000 000.00 375 000.00 375 000.00 1 000 000.00 625 000.00 225 000.00 1 000 000.00 375 000.00 2 750.00 375 000.00 875 000.00 375 000.00
Fungsi Sosial 2 250.00 1 000 000.00 375 000.00 375 000.00 225 000.00 625 000.00 125 000.00 35 000.00 375 000.00 625 000.00 875 000.00 1 000 000.00 35 000.00
Total Nilai 9 187.50 4 000 000.00 1 500 000.00 1 750 000.00 2 525 000.00 2 500 000.00 1 227 250.00 2 070 000.00 1 812 500.00 629 250.00 1 437 500.00 3 125 000.00 910 000.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah median nilai WTC
Tabel 20. Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau lintas kereta Kriteria
Rincian
Jumlah G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
G10
G11
G12
G13
113 1. Responden 2. Jen Kelamin 3. Umur
4. Pendidikan
5. Profesi 6. Pendapatan
178
13
2
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
Laki-laki
102
6
2
0
1
1
1
0
0
1
1
0
1
Perempuan
76
7
0
1
1
1
0
1
1
0
0
1
0
< 15
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15 – 45
139
8
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
> 45
35
5
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SLTP
31
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SMU
72
4
2
0
1
2
0
0
1
1
1
0
0
PT
75
8
0
1
1
0
1
1
0
0
0
1
1
Tidak terkait lingkungan
124
6
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
1
Terkait dng lingkungan
54
7
2
1
1
1
1
1
0
1
1
0
0
Tidak berpendapatan
54
5
1
0
1
2
0
0
0
1
0
1
0
< 500.000
1
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
500.001 – 1.500.000
46
55
4
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1.500.001 – 2.500.000
11
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2.500.001 – 6000.000
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
> 6.000.000
5
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Data pada Tabel 19 dan Tabel 20 memperlihatkan gerombol yang memberikan penilaian yang terrendah (G1) dengan jumlah terbesar, serta gerombol penilai yang tertinggi (G2). Berdasarkan data pada Tabel 19 dan Tabel 20 didapatkan bahwa untuk jalur hijau lintas kereta, penilaian responden yang tertinggi terhadap:
€
fungsi ekonomi (G2), umumnya, diberikan oleh responden yang dewasa dan berpendidikan sedang-tinggi.
€
fungsi biofisik (G2, G5, G8, G9), umumnya, diberikan oleh responden yang didominasi oleh kelompok perempuan dewasa, berpendidikan menengah-tinggi, dan klasifikasi tingkat pendapatan rendah-sedang
€
fungsi arsitektural (G2, G5, G8), umumnya, diberikan oleh responden perempuan dewasa yang berpendidikan sedang-tinggi, terkait dengan bidang lingkungan
€
fungsi sosial (G2, G12) diberikan oleh responden perempuan yang berpendidikan tinggi dengan pengetahuan yang tidak terkait bidang lingkungan, serta tidak memiliki pendapatan.
Olahan data ini memperlihatkan bahwa penilaian yang tinggi terhadap jalur hijau lintas kereta diberikan oleh responden yang berpendidikan tinggi.
(e) Bentuk jalur hijau tepi sungai Ragam penilaian masyarakat kota penelitian terhadap jalur hijau tepi sungai dapat dilihat pada Gambar 34 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel
114 21 (profil besar penilaian yang diberikan responden), dan Tabel 22 (profil demografis responden). Sama seperti penilaian terhadap RTH simpul, pada jalur hijau tepi sungai ini juga membentuk hanya 2 (dua) gerombol responden, yaitu G1 penilaian yang terrendah yang berjumlah cukup banyak dan G2 penilaian tertinggi. Umumnya penilai rendah adalah gerombol laki-laki yang tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan dalam bidang lingkungan. Dua gerombol yang terbentuk menggambarkan relatif tidak banyaknya ragam penilaian masyarakat terhadap bentuk RTH ini. Jumlah gerombol yang lebih kecil mencerminkan intensifnya penyuluhan dan informasi yang disampaikan pada masyarakat mengenai bentuk jalur hijau tepi sungai/bantaran sungai yang telah memberikan tambahan pengetahuan dan pengertian pada warga kota tentang manfaat ketersediaan dan kelestarian RTH bantaran sungai ini.
2
1
1 2 2
2
Skor KU II
2
1
1
0
-1
1 1 1
-2
1 1
1
1 1 1 1 1 11 111111 11 111 1 11 111 11 1 1 11 1 1
1
1
1
1 1
1
-3 -6
-4
-2
0
2
Skor KU I
Gambar 34. Posisi relatif antar gerombol responden pada jalur hijau tepi sungai Tabel 21. Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi sungai Gerombol
Fungsi Ekonomi
1 (n=188) 2 (n=17)
2 250.00 1 000 000.00
Fungsi Biofisik 4 500.00 1 000 000.00
Fungsi Arsitektural 3 500.00 1 000 000.00
Fungsi Sosial 3 500.00 1 000 000.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah median nilai WTC
Tabel 22. Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi sungai Kriteria
Perincian
Jumlah
Total Nilai 14 750.00 4 000 000.00
115
1. Responden 2. Jenis Kelamin
G1 188 108 80 4 148 36 31 77 80 128 60 57 58 49 11 7 6
Laki-laki Perempuan < 15 15 – 45 > 45 SLTP SMU PT Tidak terkait lingkungan Terkait dengan lingkungan Tidak berpendapatan < 500.000 500.001 – 1.500.000 1.500.001 – 2.500.000 2.500.001 – 6000.000 > 6.000.000
3. Umur
4. Pendidikan
5. Profesi 6. Pendapatan
G2 17 8 9 0 12 5 1 7 9 7 10 8 1 5 2 0 1
(f) Bentuk jalur hijau tepi kota Gambar 35 (pengelompokan responden secara spasial), Tabel 23 (profil besar penilaian yang diberikan responden), dan Tabel 24 (profil demografis responden).
4
11 1
2
1
Skor KU II
1
1 11
0
2 2
2
1 2
-2
1 11 1 1 11 1111 1111 111 1111 11 11 11 111 1 1 1 1 1
11 1
3
-4 -6
-4
-2
0
2
Skor KU I
Gambar 35. Posisi relatif antar gerombol responden pada jalur hijau tepi kota Data Gambar 35 memperlihatkan penilaian masyarakat kota penelitian terhadap RTH yang berbentuk jalur hijau tepi kota yang merupakan bentuk jalur
116 hijau yang masih mendominasi kota ini dan yang masih tetap terpelihara dengan baik. Tiga gerombol yang terbentuk dari olahan data menggambarkan tidak banyaknya ragam penilaian masyarakat terhadap bentuk RTH ini. G1
merupakan
gerombol
masyarakat
yang
memberikan
penilaian yang rendah dengan jumlah responden yang tertinggi, dan G2 merupakan gerombol pemberi nilai yang tertinggi. Pemilah hasil penggerombolan G1 dengan G2 adalah dari keterkaitan latar belakang mereka (pekerjaan/profesi utama maupun pendidikan) dengan bidang lingkungan.
Tabel 23. Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi kota Gerombol
Fungsi Ekonomi
1 (n=185) 2 (n=19) 3 (n=1 )
2 750.00 1 000 000.00 1 000 000.00
Fungsi Biofisik 4 500.00 1 000 000.00 1 000 000.00
Fungsi Arsitektural 3 500.00 1 000 000.00 125 000.00
Fungsi Sosial 3 500.00 1 000 000.00 125 000.00
Total Nilai 18 000.00 4 000 000.00 2 250 000.00
Keterangan: Nilai dalam tabel adalah median nilai WTC
Tabel 24. Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi kota Kriteria
Rincian
1. Responden 2. Jenis Kelamin 3. Umur
Jumlah G1
G2
G3
Laki-laki
185 106
19 10
1 0
Perempuan < 15
79 4
9 0
1 0
15 – 45 > 45
146 35
13 6
1 0
SLTP
31
1
0
SMU
75
9
0
5. Profesi
PT Tidak terkait lingkungan
79 127
9 8
1 0
6. Pendapatan
Terkait dng lingkungan Tidak berpendapatan
58 56
11 9
1 0
< 500.000
57
1
1
500.001 – 1.500.000
48
6
0
1.500.001 – 2.500.000 2.500.001 – 6000.000
11 7
2 0
0 0
> 6.000.000
6
1
0
4. Pendidikan
117
Berdasarkan data pada Tabel 23 dan Tabel 24 didapatkan bahwa untuk jalur hijau tepi kota, penilaian responden cenderung menggabung antara penilaian untuk fungsi ekonomi dan fungsi biofisik (G2, G3), serta penilaian untuk fungsi arsitektural dan fungsi sosial (G2). Penggabungan antara fungsi sosial dan arsitektural merupakan penggabungan yang searah dan cenderung bermakna dan bertujuan sama yaitu untuk kenyamanan, baik fisik maupun sosial; tetapi penggabungan fungsi ekonomi dan biofisik merupakan penggabungan yang kontradiktif. Gabungan fungsi ekonomi dan fungsi ekologis atau fungsi biofisik ini mungkin dapat diterangkan dengan alternatif peruntukan lahan yang dapat dilakukan pada jalur hijau tepi kota ini, yaitu peruntukan lahan pertanian (untuk kepentingan ekonomi) atau peruntukan lahan hutan terutama bentuk penghijauan untuk konservasi atau untuk perlindungan tata air pada areal-areal tepi selatan kota penelitian (untuk kepentingan ekologis, biofisik). Dua pilihan penilaian terakhir ini bergabung, dan secara tidak langsung dan berjangka panjang, model gabungan fungsi-fungsi ini memiliki makna ekonomi; dan responden penilai gabungan ini memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan juga memiliki latar belakang pengetahuan dalam bidang lingkungan.
(g) Bahasan umum Jumlah gerombol penilai Dari hasil analisis gerombol seluruhnya diketahui bahwa, umumnya, sebagian besar masyarakat (>85%, G1) memberikan penilaian, penghargaan atau apresiasi yang rendah terutama pada fungsi ekonomi pada tiap bentuk ruang terbuka hijau (RTH) kota ini dan hanya ±15% yang memberikan penilaian yang sedang sampai dengan penilaian yang tinggi. Data ini menyatakan bahwa sebagian besar dari masyarakat kota penelitian ini, Kota Bogor, menilai empat fungsi yang dimiliki RTH dengan sangat rendah; dan hal ini dapat diinterpretasikan bahwa gerombol atau kelompok responden ini kurang menghargai atau tidak memiliki perhatian dan juga pengetahuan yang baik akan keberadaan RTH demikian juga pada tiap bentuk/rancangan/design dan fungsi yang dimilikinya. Kenyataan bahwa sebagian besar responden kurang dapat membedakan antar fungsi/manfaat/kepentingan dan antar bentuk /rancangan/design yang diteliti dan juga rendahnya penilaian terhadap hal-hal ini merupakan alasan kurangnya perhatian dan kepedulian sebagian besar masyarakat Bogor terhadap
118 eksistensi dan rancangan fungsional RTH kota. Hal ini akan berkonsekuensi pada rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) dan, selanjutnya, rendahnya partisipasi mereka untuk membangun dan melestarikan RTH kota ini. Dalam jangka waktu panjang dapat menurunkan kapasitas dan kualitas lingkungan kota, dan juga akan meningkatkan biaya pengelolaan kota, serta juga menurunkan kualitas budaya (dari heritage value yang bernilai tinggi yang dimiliki kota Bogor) dari kota tersebut. Program utama yang disarankan untuk mengatasi hal ini yaitu dengan merencanakan suatu tindakan penyuluhan tentang kepentingan dan manfaat akan keberadaan RTH serta juga spesifikasi dari tiap fungsi lingkungan (utama, tambahan) yang dimilikinya, dengan berbagai cara yang efektif (a.l. program pemasyarakatan RTH sehingga menjadi bagian dari lingkungan kehidupannya). Kategori responden responden yang sangat menghargai ketersediaan RTH dalam kota (±15%), yaitu yang didominasi oleh responden atau masyarakat yang berpendidikan tinggi disarankan untuk menjadi salah satu kelompok utama pendamping pemerintah kota atau penentu kondisi ruang-ruang kota khususnya RTH. Kelompok ini akan menjadi motor penggerak masyarakat kota pada tiap bagian kota terutama untuk meningfkatkan kesadaran dan kepedulian tentang manfaat RTH dalam mengendalikan keberlanjutan sistem perkotaan. Tabel 25 memperlihatkan kemungkinan terjadinya perbedaan gerombol responden pada tiap bentuk RTH yang diteliti akibat perbedaan aspek demografisnya. Jumlah gerombol yang tinggi memperlihatkan banyaknya bentuk pendapat, pilihan, atau penawaran terhadap bentuk-bentuk RTH tertentu, yang dimungkinkan karena responden sangat mengetahui atau sangat tidak mengetahui makna dan kepentingan dari bentuk dan fungsi yang ditawarkan/disuplai. Tabel 25. Jumlah gerombol responden penilai bentuk RTH kota Bentuk RTH Kota 1. Mengelompok a. Kawasan b. Simpul 2. Jalur a. Jalur hijau jalan raya b. Jalur hijau lintas kereta c. Jalur hijau tepi sungai d. Jalur hijau tepi kota
Jumlah Gerombol
Kemungkinan terbentuknya penggerombolan
ragam
jumlah
9 2
Dikenal bentuknya, informasi tidak jelas Sudah dikenal, terutama jenis taman-taman kota
7 13 2 3
Informasi yang banyak Kurang atau tidak ada informasi dan bahasan Sudah dikenal, banyak informasi Kurang dikenal, kurang informasi
119 Bentuk dan intensitas pemberian informasi/penyuluhan melalui berbagai bentuk media dan program mengenai bentuk dan fungsi RTH dalam wilayah perkotaan juga dapat menentukan jumlah gerombol yang terbentuk. Jumlah gerombol yang lebih besar, kemungkinan, mencerminkan kurang intensif atau kurang sesuainya informasi yang disampaikan pada masyarakat, dan yang sebaliknya terjadi pada jumlah gerombol yang lebih kecil. Untuk mendapatkan lingkungan kota yang baik, melalui penyediaan dan pelestarian RTH, diupayakan untuk memperkecil jumlah gerombol (memfokuskan pengetahuan dan juga menyamakan persepsi) terutama kearah pembentukan masyarakat yang akan menilai RTH dengan bentuk dan fungsi pada nilai yang diinginkan seperti pendukung perbaikan kualitas lingkungan alami kota, serta meningkatkan kapasitas sumberdaya alam dan lingkungan kotanya. Dengan kondisi seperti ini, dimana setiap warga masyarakat dapat menghargai akan peran dari keberadaan tanaman dan RTH sebagai bagian penting dari keberlanjutan sistem fisik perkotaan, akan mempermudah dan efektif dalam pengelolaan RTH ini sehingga kualitas lingkungan kota yang nyaman, sehat, dan indah dapat lebih ditingkatkan dan menjadi kenyataan.
Berdasarkan besar hasil penilaian yang diberikan oleh responden diketahui bahwa bentuk RTH simpul dan jalur hijau tepi sungai terlihat memiliki karakter penilaian yang agak berbeda dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya. Infor-masi, pengenalan, dan pengetahuan yang lebih sering, lebih baik dan mendalam terhadap dua bentuk RTH ini (yang direpresentasikan dengan taman-taman kota dan taman-taman di kawasan permukiman, bantaran-bantaran sungai) diduga merupakan pemilah penilaian yang lebih spesifik terhadap fungsi ini. Taman-taman kota merupakan suatu bentuk RTH yang sangat dikenal oleh masyarakat perkotaan karena informasi mengenai hal ini cukup intensif, demikian juga dengan penyuluhan dan informasi terhadap jalur hijau tepi sungai atau bantaran sungai yang dilakukan secara intensif telah memberikan pengetahuan pada warga kota tentang manfaat dari kedua bentuk RTH ini. Jumlah gerombol yang lebih besar yang didapatkan pada jalur hijau lintas kereta diduga mencerminkan kurang dikenal dan/atau kurang sesuai materi atau informasi yang disampaikan tentang bentuk RTH ini walaupun
120
manfaat perlin-dungan atau penyangganya cukup tinggi. Selain itu, juga karena kurang intensif-nya perhatian pemerintah atau lembaga penelitian lain untuk merancang struktur fisiknya dengan baik dan fungsional terhadap masyarakat dan wajah kota. RTH bentuk kawasan dan jalur hijau jalan raya merupakan dua bentuk RTH yang “bersinggungan” langsung dengan kehidupan penduduk dan yang dapat dinyatakan sebagai suatu bentuk informasi bentuk, fisik dan visual yang diterima secara langsung oleh mereka. Tetapi responden juga memiliki banyak ragam penilaian (sangat menghargai - menghargainya), yang diduga tergantung latar belakang kelompok masyarakat tersebut dan kepentingan penggunaannya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kota Bogor memberi penghargaan yang relatif sama terhadap tiap fungsi dan bentuk RTH kota ini, walaupun dari kemiripan demografis responden maka bentuk-bentuk RTH ini akan dinilai berbeda (subbab 5.1 dan 5.2). Bila diketahui bahwa fungsi dan bentuk fisik saling berkaitan (Crowe 1979; Forman dan Godron 1986; Lynch 1984; Purwono 1998) serta adanya bentuk tertentu untuk nilai manfaat dan fungsi (utama) RTH tertentu pada lokasi yang juga tertentu (Forman dan Godron 1986; Grahn 1991; Grey dan Deneke 1978: Lyle 1981; Pakpahan 1993; Purwono 1998; Sitawati et al. 1994) maka perencana dan pengelola ruang kota, atau lembaga yang terkait dengan lingkungan perkotaan disarankan untuk memberikan informasi dan penyuluhan yang lebih spesifik mengenai tiga hal ini (fungsi, bentuk, dan lokasi penghijauan kota) sehingga diharapkan setiap warga kota dapat mengetahui berbagai kepentingan dan manfaat RTH guna perbaikan dan juga peningkatan kapasitas dan kualitas lingkungan wilayah perkotaan. Selain dapat meningkatkan pengetahuan dan apresiasinya, diharapkan bahwa masyarakat akan dapat memberikan respons atau tindakan partisipasi yang positif terhadap ketersediaan dan kelestarian RTH pada tiap fungsi, tiap bentuk, dan tiap lokasi di bagian wilayah kota. Dampak positif selanjutnya yang dapat diharapkan adalah terjadinya kondisi kota yang mengarah pada terbentuknya suatu kota yang dapat memberi dan menghasilkan berbagai manfaat lingkungan yang positif terhadap penduduk (kenyamanan, kesehatan, keindahan, lainnya) dan lingkungan pembentuk kota (keamanan, keteraturan, lainnya), baik pada saat ini dan juga pada masa yang akan datang. Latar belakang demografis responden
121 Terdapat tiga faktor demografis pada masyarakat penilai yang cenderung mempengaruhi tingkat penilaian mereka terhadap RTH dalam kotanya. Berdasarkan hasil korelasi pada Tabel 12 diketahui bahwa faktor tingkat pendidikan berkorelasi nyata pada semua bentuk RTH yang diteliti dimana tingkat pendidikan yang tinggi berperan dengan tingginya penilaian atau penghargaan masyarakat terhadap RTH kota. Selanjutnya, hasil pada Tabel 13 sampai Tabel 24 menunjukkan bahwa latar belakang pengetahuan lingkungan atau latar belakang masyarakat yang terkait dengan bidang lingkungan (seperti bekerja pada lembaga-lembaga pertanian/kehutanan, pemerhati lingkungan/tanaman) memperlihatkan kecenderungan untuk meningkatkan penilaian mereka terhadap RTH. Pada bentuk-bentuk RTH tertentu, yaitu bentuk simpul (taman-taman kota), bentuk jalur hijau lintas kereta dan jalur hijau tepi sungai maka faktor gender (jenis kelamin) berperan dalam penilaian yang lebih tinggi. Dalam kasus gender ini terlihat kecenderungan dari kelompok perempuan untuk memberikan penilaian dan penghargaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok laki-laki untuk ketersediaan RTH dalam kota. Bila dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis korespondensi yang dilakukan terhadap faktor demografis yang berkorelasi (yaitu faktor-faktor pendidikan, dan latar belakang/pengetahuan lingkungan) dan juga atau terhadap faktor gender (jenis kelamin) terhadap besarnya penilaian atau nilai penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap keberadaan/ketersediaan RTH kota ini maka dapat diketahui adanya kecenderungan faktor tertentu terhadap besarnya nilai yang ditawarkan (Gambar 36). Dari hasil analisis ini dapat dilihat bahwa, umumnya, pada setiap bentuk RTH yang diteliti maka nilai RTH yang tertinggi (yang dinyatakan dengan E3, B3, Ar3, S3 untuk masing-masing fungsi ekonomi, fungsi biofisik, fungsi arsitektural, dan fungsi sosial) diberikan oleh responden yang memiliki ciri berpendidikan tinggi, memiliki latar belakang/pengetahuan dalam bidang yang terkait dengan lingkungan, dan dari kelompok wanita. Didapatkan hasil yang bertolak belakang dari hal ini, yaitu nilai RTH yang terendah (yang dinyatakan dengan E0, B0, Ar0, S0 untuk masing-masing fungsi ekonomi, fungsi biofisik, fungsi arsitektural, dan fungsi sosial) cenderung diberikan oleh kelompok responden yang memiliki ciri berpendidikan rendah, tidak memiliki latar belakang/pengetahuan dalam bidang yang terkait dengan lingkungan, dan dari kelompok laki-laki.
122 Dari berbagai analisis ini terlihat bahwa latar belakang pendidikan dan pengetahuan seseorang atau sekelompok orang akan mempengaruhi secara nyata pada putusan atau penawarannya terhadap nilai RTH, atau akan mempengaruhi tingkat perhatiannya terhadap kapasitas dan kualitas lingkungan kawasan perkotaan. Kualitas lingkungan kota, dalam kasus ini, adalah yang 2
LSLTPP1
λ2 = 0.7117 (16.18%)
1
Al1 S1 Ar1 WSMUP0E1 LSLTPP0LPTP0 WPTP0 WSLTPP0 LSMUP0 LSMUP1 LPTP1 WSMUP1
S0 E0 Al0 0 Ar0
Al2 S2 WPTP1 Ar2 -1
E2
Al3 S3 Ar3 E3
-2
-3 -4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.7979 (18.13%)
RTH Kawasan 1 S1 Ar1 Al1 LSLTPP0E1 WSLTPP0 WSMUP0 LPTP0 LSMUP0WPTP0 LSMUP1
λ2 = 0.7155 (16.26%)
0
Ar0 Al0E0 S0
LSLTPP1
LPTP1 Al2 Ar2 S2 WSMUP1 WPTP1 E2
-1
Ar3 S3 Al3
-2
E3
-3 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.8067 (18.33%)
RTH Simpul Keterangan kode fungsi dalam grafik: WTC fungsi ekonomi : E0 : wtc = Rp 0; E1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; E2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; E3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi biofisik : B0 : wtc = Rp 0; B1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; B2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; B3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi arsitektural : Ar0 : wtc = Rp 0; Ar1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; Ar2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; Ar3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi Sosial : S0 : wtc = Rp 0; S1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; S2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; S3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 Tambahan : Bila ditulis WTC0 berarti ada empat titik yang tepat berimpit yaitu titik E0, B0, Ar0, dan S0. Keterangan kode kelompok dalam grafik: L : laki-laki; W : wanita; SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SMU : Sekolah Menengah Umum; PT : perguruan tinggi P0 : pengetahuan tidak terkait dengan lingkungan; P1 : pengetahuan terkait dengan lingkungan Kode gabungan menyatakan responden dengan kategori seperti yang tertulis dalam kode gabungan. Misal : LSLTPP0: menyatakan responden laki-laki, berpendidikan SLTP yang pengetahuannya tidak terkait dengan lingkungan
123
(a) Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH kawasan dan simpul 1
LSLTPP1 Al1 Ar1 S1 E1 WPTP0
λ2 = 0.7514 (17.08%)
0
LSLTPP0 WSLTPP0 WSMUP0 LSMUP1 LPTP0 LSMUP0 LPTP1
WTP0
Al2 Ar2 S2 WPTP1 WSMUP1
-1
E2
-2
Ar3 Al3 S3 E3
-3 -4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.8130 (18.48% )
Jalur hijau jalan raya 1 S1 Al1 LSLTPP0 E1 WSMUP0 Ar1 LSMUP1 WSLTPP0 WPTP0 LPTP0 LPTP1 LSMUP0
λ2 = 0.7664 (17.42%)
0
Al2
Ar0 Al0 S0E0
Ar2 S2
LSLTPP1
WPTP1 E2 WSMUP1
-1
-2 Al3 S3 Ar3 -3 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.8199 (18.63%)
Jalur hijau lintas kereta Keterangan kode fungsi dalam grafik: WTC fungsi ekonomi : E0 : wtc = Rp 0; E1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; E2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; E3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi biofisik : B0 : wtc = Rp 0; B1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; B2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; B3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi arsitektural : Ar0 : wtc = Rp 0; Ar1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; Ar2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; Ar3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi Sosial : S0 : wtc = Rp 0; S1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; S2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; S3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 Tambahan : Bila ditulis WTC0 berarti ada empat titik yang tepat berimpit yaitu titik E0, B0, Ar0, dan S0. Keterangan kode kelompok dalam grafik: L : laki-laki; W : wanita; SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SMU : Sekolah Menengah Umum; PT : perguruan tinggi P0 : pengetahuan tidak terkait dengan lingkungan; P1 : pengetahuan terkait dengan lingkungan Kode gabungan menyatakan responden dengan kategori seperti yang tertulis dalam kode gabungan. Contoh: LSLTPP0: menyatakan responden laki-laki, berpendidikan SLTP yang pengetahuannya tidak terkait dengan lingkungan
124
(b) Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH jalur hijau jalan raya dan jalur hijau lintas kereta 1 S1 Ar1 Al1 WPTP0 E1 LSLTPP0 WSMUP0 WSLTPP0 LPTP0 LSMUP1 LSMUP0
λ2 = 0.7492 (17.03%)
0
WTP0
LSLTPP1
LPTP1 Al2 S2 Ar2 WSMUP1 WPTP1 E2
-1
-2
Ar3 Al3 S3 E3
-3 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.8282 (18.82% )
Jalur hijau tepi sungai 1
λ2 = 0.7495 (17.03%)
0
LSLTPP1
Al1 S1 Ar1 WSMUP0 WPTP0 E1 LSLTPP0 WSLTPP0 LPTP0 Al2 LPTP1 S2 LSMUP0 LSMUP1 Ar2 E2
WTP0
WPTP1 WSMUP1
-1
-2
Al3 S3 Ar3 E3
-3 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
λ1 = 0.8276 (18.81%)
Jalur hijau tepi kota Keterangan kode fungsi dalam grafik: WTC fungsi ekonomi : E0 : wtc = Rp 0; E1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; E2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; E3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi biofisik : B0 : wtc = Rp 0; B1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; B2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; B3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi arsitektural : Ar0 : wtc = Rp 0; Ar1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; Ar2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; Ar3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 WTC fungsi Sosial : S0 : wtc = Rp 0; S1 : 0 < wtc ≤ Rp 100.000; S2 : Rp 100.000 < wtc ≤ Rp 600.000; S3 : Rp 600.000 ≤ wtc ≤ Rp 1000.000 Tambahan : Bila ditulis WTC0 berarti ada empat titik yang tepat berimpit yaitu titik E0, B0, Ar0, dan S0. Keterangan kode kelompok dalam grafik: L : laki-laki; W : wanita; SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; SMU : Sekolah Menengah Umum; PT : perguruan tinggi P0 : pengetahuan tidak terkait dengan lingkungan; P1 : pengetahuan terkait dengan lingkungan Kode gabungan menyatakan responden dengan kategori seperti yang tertulis dalam kode gabungan. Contoh : LSLTPP0: menyatakan responden laki-laki, berpendidikan SLTP yang pengetahuannya tidak terkait dengan lingkungan
125
(c) Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH jalur hijau tepi sungai dan jalur hijau tepi kota Gambar 36. Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH dihasilkan dari keberadaan RTH tersebut dalam ruang-ruang kota. Gender atau jenis kelamin juga cenderung akan mempengaruhi keputusan atau penawaran ini, tetapi tambahan pendidikan dan/atau tambahan pengetahuan dalam bidang yang terkait dengan lingkungan, selanjutnya, cenderung akan mengubah keputusan/penawarannya ini. Kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi - yang dinyatakan dalam penelitian ini adalah kelompok dalam lingkup perguruan tinggi, memiliki pengetahuan atau berprofesi dalam bidang yang terkait dengan bidang lingkungan, dan dari kelompok perempuan cenderung akan memberikan penilaian, penghargaan dan apresiasi yang lebih tinggi untuk empat fungsi utama yang diteliti pada tiap bentuk RTH ini. Penghargaan yang tinggi dari gerombol perempuan dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Graves (1951) dan Santayana (1975), dimana kelompok ini lebih menyukai hal-hal yang terkait langsung dengan lingkungan kehidupan atau dengan lingkungan alam. Kelompok laki-laki cenderung untuk memberi penilaian yang rendah terhadap RTH, tetapi bila diikuti dengan adanya pengetahuan atau latar belakang bidang lingkungan maka kelompok ini akan memberikan penilaian yang lebih tinggi pada RTH. Dapat dinyatakan bahwa, selain faktor pendidikan, maka pengetahuan seseorang terhadap lingkungan akan dapat menjadi pendorong utama akan tingginya penghargaan pada ketersediaan RTH kota. Bila diketahui, bahwa kota penelitian yang cenderung di dominasi oleh lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang terkait dengan bidang hayati (yang merupakan wadah dari sebagian warga kota), merupakan pendukung kelestarian RTH dalam kota ini yang disebabkan oleh faktor latar belakang pengetahuan ini. Bila penilaian terhadap fungsi dan bentuk RTH kota yang dikaitkan dengan faktor demografis masyarakat kota ini dikaitkan dengan aspek penataan ruangruang kota, terutama yang umum dilakukan oleh para perencana tata ruang kota, maka kecenderungan pengelompokan dari tiga fungsi non-ekonomi (yaitu fungsifungsi biofisik, arsitektural dan sosial) dari RTH kota atau ruang-ruang terbuka (open spaces) kota lainnya, merupakan sesuatu model yang umum dilakukan
126 oleh para perencana luar ruang perkotaan. Diperlakukannya ruang-ruang kota sebagai suatu bentuk dari lembaga peradaban manusia atau wadah sosial untuk memenuhi kebutuhan praktis dan ekspresif warganya (Hester 1984; Rapoport 1969; Schmid 1979; Simonds 1983; Spirn 1993: Tuan 1977), menyebabkan nilai atau fungsi ekonomi dari RTH kota menjadi sering terabaikan. Pada perkembangan tata ruang kota, terutama di negara-negara yang telah maju tetapi memiliki lahan produktif (pertanian) dan lahan terbuka (open space) yang terbatas atau telah ”terdesak” dengan pembangunan sarana kota maka pilihan untuk menggabungkan semua fungsi ini (fungsi non ekonomi dan fungsi ekonomi) telah diintroduksikan. Gabungan semua faktor ini, tidak hanya untuk keindahan, kenyamanan, dan kesehatan warga dan kotanya tetapi juga berperan dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi warga. Pertanian kota (urban agriculture) merupakan salah satu bentuk RTH perkotaan yang banyak dilaksanakan, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang dan miskin.. Khusus untuk kota penelitian, juga dapat diintroduksikan model ini terutama berdasarkan pilihan masyarakat pada fungsi ekonomi yang tertinggi yaitu pada jalur hijau tepi sungai (Tabel 11). Bentuk rancangan/design RTH yang mengkombinasikan antara fungsi ekonomi serta bentuk hutan, keanekaragaman yang tinggi serta tidak monoton (data pada Gambar 25) pada tepi-tepi sungai utama dan anak-anak sungai dalam kota ini akan memberikan nilai alami dan kualitas lingkungan yang tinggi pada kota penelitian (atmosfer tropikal, natural urban performance). Preferensi bentuk RTH ini perlu untuk diaplikasikan mengingat perkembangan kota Bogor yang akan memiliki keterbatasan akan ruang terbuka terutama ruang terbuka hijau (RTH).
127
6. KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MERENCANA DAN MENGELOLA PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN RTH KOTA 6.1. Dasar Formulasi Kebijakan Publik Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dalam suatu wilayah perkotaan akan memberikan kontribusi manfaat lingkungan yang tinggi yaitu untuk mengendalikan dan meningkatkan kapasitas sumberdaya alam dan kualitas lingkungan wilayah kota tersebut serta meningkatkan kinerja dan kualitas masyarakat yang mendiaminya. Kontribusi manfaat lingkungan yang tinggi ini didapatkan terutama dari fungsi biofisik atau ekologis yang dimiliki RTH, dan manfaat positif lain yaitu kontribusi dari fungsi-fungsi arsitektural, sosial dan ekonomi yang diberikan RTH. Dua kelompok manfaat yang bersumber dari RTH kota ini dapat berfungsi dengan baik bila jumlah ketersediaan dan pendistribusian spasial serta rancangan teknis RTH dalam wilayah perkotaan tersebut diperhitungkan dengan baik yaitu perhitungan dari segi kapasitas fisik dan kualitas wilayah (lahan, lanskap atau bentang alam, lingkungan) kota dan perhitungan dari segi kebutuhan dan keinginan (preferensi) masyarakatnya. Ketersediaan dan pendistribusian RTH yang memadai dan efektif dalam suatu wilayah perkotaan, yang memberi gambaran tentang penataan dan perkembangan simbiotik dari hubungan manusia dan lingkungan kehidupannya, juga dapat menjadi penciri karakter fisik dan budaya, pembentuk citra kota (city image), serta identitas suatu kota (Gambar 37).
MASYARAKAT Kebutuhan Keinginan/preferensi
LAHAN & LANSKAP KOTA Kepekaan, kapasitas Kualitas, Natural amenity
PENGELOLAAN SDA & LINGKUNGAN KOTA RTH Fungsi, bentuk/struktur Lokasi/ruang Distribusi, konfigurasi
128
KARAKTER, WAJAH, IDENTITAS, DAN CITRA KOTA
Gambar 37. Formulasi dan elemen pengelolaan RTH di wilayah perkotaan Masyarakat kota, yang hidup dan mendinamisasi kondisi ekonomi dan sosial perkotaan, merupakan warga yang harus memiliki kualitas, integritas, serta produktivitas kerja yang tinggi. Salah satu faktor pendukung model masyarakat ini adalah lingkungan kota yang berkualitas (sehat, aman, nyaman, indah, berbudaya) sehingga masyarakat kota ini dapat hidup dan bekerja dengan baik. RTH kota merupakan bentuk sarana kota yang dapat secara efektif mendukung dan mengendalikan lingkungan kota kearah bentuk dan kualitas lingkungan yang yang lebih baik. Selain itu, RTH juga dapat untuk meminimalkan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan masyarakat dan wilayah kota.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 38. Contoh RTH sebagai elemen pembentuk lingkungan kota yang (a) nyaman, (b) aman, (c) indah, dan (d) berbudaya Untuk membangun RTH yang fungsional dan efektif dalam wilayah kota diperlukan model pengelolaan yang tidak hanya mempertimbangkan kondisi fisik kota saja tetapi juga mempertimbangkan permintaan dari masyarakat yang akan menikmati atau yang akan terpengaruhi kehidupannya. Model pengelolaan pembangunan RTH ini harus dapat mengakomodasikan berbagai harapan masyarakat, terutama, tentang kehidupan yang lebih baik dan berkualitas, berkeadilan, rasa memiliki yang kian meningkat, kebebasan mengekspresikan aspirasi kema-
129 nusiaannya, dan kepercayaan diri sebagai manusia dan bangsa. Berbagai harapan ini menuntut masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses dan penentuan arah pembangunan RTH, dan hal keikut sertaan masyarakat ini juga merupakan kunci strategis untuk membangun kebijakan publik yang mendukung perbaikan kapasitas dan kualitas lingkungan perkotaan. 6.2. Kondisi Faktual Kota Wilayah Kota Bogor, yang memiliki bentang alam yang indah (natural and scenic amenity) dan iklim mikro yang nyaman tetapi dengan luas lahan kota yang terbatas, cenderung semakin dipadati oleh struktur dan bangunan fisik pendukung berbagai kegiatan perkotaan. Berbagai struktur dan bangunan tersebut dibangun guna meningkatkan kegiatan perekonomian kota serta guna mendukung pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraannya Pembangunan fisik ini, baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat, umumnya dilakukan secara horizontal dengan cara mengkonversi lahan-lahan terbuka, lahan-lahan bervegetasi atau lahan alami lainnya baik yang berlokasi di dalam, di pusat kota ataupun yang berlokasi di tepi kota. Walaupun rasio antara ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang-ruang terbangun dalam kota penelitian ini masih dalam kategori nilai yang baik jika dilihat dari jumlah dan distribusi fisiknya dalam wilayah kota, per kapita, dan berdasarkan bentuk dan fungsi RTH yang ada saat ini tetapi pertimbangan untuk melestarikan RTH yang telah ada, untuk mengembangan serta pertimbangan untuk menyesuaikan RTH dengan kondisi lingkungan kota harus dilakukan. Bila tidak dilakukan upaya untuk mengendalikan terjadinya konversi lahan terbuka, lahan bervegetasi dan lahan alami ini maka akan terjadi ketidakseimbangan kebutuhan antara ruang terbuka dan ruang terbangun kota. Penurunan jumlah ruang-ruang terbuka, terutama ruang terbuka hijau (RTH) yang diketahui memiliki manfaat kualitas lingkungan, akan menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas dan kualitas lingkungan kota. Kejadian ini sering dirasakan dengan semakin berkurangnya kenyamanan dan keindahan kota, dan juga dengan peluang yang tinggi untuk terjadinya bahaya pada bentang alam atau lanskap (landscape hazards) kota seperti longsor pada tebing-tebing terjal. Karena itu, ketersediaan RTH dalam jumlah dan kualitas serta tata letak yang sesuai dengan kondisi wilayah kota perlu direncanakan dan dikelola dengan baik untuk mendapatkan manfaat lingkungan yang efektif dan optimal.
130 Dari kondisi riel wilayah kota penelitian yaitu kotamadya Bogor, dimana pada tiap tipe wilayah diasumsikan membutuhkan keberadaan RTH, umumnya memiliki tiga karakteristik yang sering tidak sejalan: (a) dari sisi keberlanjutan fisik wilayah kota, kota membutuhkan keberadaan vegetasi atau RTH untuk melindungi bagian wilayah atau kawasan-kawasan kota yang rawan dan rapuh (fragile) terhadap bahaya lingkungan (longsor, erosi, pencemaran) dan untuk peningkatan kualitas lingkungan alami kota yang bernilai tinggi (kenyamanan, keaneka ragaman hayati, keindahan alami dari perbukitan dan badan-badan air) melalui fungsi-fungsi biofisik atau ekologis yang dimilikinya. (b) dari sisi perekonomian kota, setiap wilayah kota membatasi kebutuhannya terhadap RTH karena kepentingan ekonomi perkotaan dari penggunaan lahannya (c) dari sisi masyarakat kota, mereka membutuhkan dan menginginkan keberadaan RTH karena kepentingan fisik (kesehatan, kenyamanan, keamanan nahaya lingkungan) dan sosial (rekreasi, edukasi, budaya). 6.3. Konsepsi Model Integratif Pengembangan RTH kota Pada umumnya, setiap bagian lahan kota memiliki 2 (dua) karakteristik yang kontradiktif, disatu sisi bagian dari lahan kota membatasi kebutuhannya terhadap RTH karena permasalahan yang terkait dengan ekonomi lahan tetapi disisi lain warga kota menginginkan manfaat dan dampak positif yang dihasilkan melalui bentuk dan fungsi yang dimiliki oleh RTH ini. Karena itu integrasi dari dua aspek ini harus dimasukkan dalam perencanaan pembangunannya tanpa “mengorbankan” kondisi lingkungan dan kehidupan wilayah perkotaan. Parameter bentuk dan fungsi yang akan digunakan dalam penentuan kebijakan publik ini sejalan dengan fungsi dan nilai yang diteliti yaitu fungsi biofisik, ekonomi, arsitektur, dan sosial, yang merupakan fungsi-fungsi yang umum digunakan dan dikembangkan oleh para perencana/perancang ruang luar/ lanskap kota dalam menata wadah/ruang/wilayah kota. Kempat fungsi ini, diasumsikan, mempunyai batasan yang signifikan, eksklusif, dan berpengaruh terhadap setiap proses pengambilan keputusan pada sisi penggunaan lahan serta sisi kebutuhan dan penilaian warga kota. Parameter bentuk dan fungsi RTH kota ini selanjutnya dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan kesesuaian ruang-ruang kota. Diharapkan melalui proses ini perwujudan wilayah/subwilayah
131 yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya serta yang mendukung kondisi lingkungan kota yang baik dapat terbentuk. Secara spasial, kaitan yang erat terjadi antara luas RTH suatu wilayah perkotaan dan dampak positif yang akan didapatkan dari fungsi biofisik, sehingga dari hal ini dapat dibuat asumsi dasar bahwa dampak ini berbanding lurus dengan luas RTH. Kendala permasalahan lain dalam pengembangan model ini adalah kondisi sumberdaya lahan itu sendiri yang dinyatakan dengan dan daya dukung lingkungan alam (ecological support system). RTH akan memberikan dampak positif bila areal penghijauan ini telah mencapai ambang batas minimal kondisi alamiah kawasan ditambah dengan minimal gangguan yang terjadi pada kawasan itu (Forman dan Godron 1986; Lyle 1985). Arti luas pada pengertian areal ini bukanlah akumulasi dari berbagai jumlah RTH tetapi satu luasan yang secara signifikan dapat memberikan dampak positif terhadap kapasitas dan kualitas lingkungan sekitarnya, yang dinyatakan sebagai konfigurasi RTH (Forman dan Godron 1986; Pakpahan 1993; Tim IPB 1993). . Bila prasyarat luas areal atau spasial dibutuhkan untuk membangun RTH maka akan timbul kendala non-alami yaitu keterkaitan fungsi-fungsi RTH (ekonomi, biofisik, arsitektural, dan sosial) dengan masalah ekonomi dari lahan perkotaan. Jika ditinjau dari fungsi dan manfaat ekonominya, tiap tipe subwilayah utama yang terdapat dalam wilayah perkotaan (perdagangan, perindustrian, permukiman), memiliki ciri dan perilaku ekonomi tersendiri, dimana kedua hal ini terkait dengan luas areal serta bentuk kegiatan pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaannya. Bila RTH hanya memiliki luas areal yang kecil maka efisiensi ekonomi sulit untuk dicapai karena biaya pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan akan lebih tinggi dari hasil produksinya. Karena itu, untuk meningkatkan efisiensi maka luas areal harus diperbesar dengan struktur fisik dan pengelolaan yang fungsional sehingga tidak hanya fungsi ekonomi yang dapat dicapai. Permasalahan kepemilikan lahan (land ownership), sewa lahan (land rent), dan fungsi lahan (land use), akan menjadi pembatas utama dalam model simulasi pembangunan RTH yang akan dikembangkan. Jika ditinjau dari manfaat ekonomi lahan kota, kendala lain yang dijumpai yaitu bahwa pada setiap kawasan yang terdapat dalam wilayah perkotaan (perkantoran, perdagangan, perindustrian, permukiman) memiliki ciri dan perilaku ekonomi tersendiri, dimana kedua hal ini terkait dengan luas areal yang dibangun serta berbagai bentuk kegiatan pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaannya.
132 Dengan asumsi bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat adalah sama pentingnya dengan apa yang dilakukannya dalam suatu ruang maka dimensi manusia, aspek fisik dan aspek estetik merupakan tiga faktor utama yang harus diperhatikan dalam mendesain ruang sosial. Aspek manusia menjadi penting dan menjadi tumpuan utama karena kedua aspek lainnya, dalam penelitian ini, dapat menjadi aspek kreatif dan struktural pendukungnya. Untuk dapat menjadikan fungsi sosial ini terjadi secara spasial, dalam bentuk RTH kota, maka berbagai faktor yang mempengaruhinya haruslah diperhitungkan. Penentuan luas dan struktur RTH berfungsi sosial ini harus memperhatikan sisi kebutuhan dan pilihan masyarakat . Fungsi sosial ini menekankan pada pembentukan ruang publik yang kreatif dan struktural untuk menjadi satu medium relasional sehingga akan terjadi komunikasi dan sosialisasi antar pengguna atau masyarakat dalam kota ini. Menurut Hester (1984), ada 4 faktor yang mempengaruhi penggunaan suatu ruang sehingga dapat berfungsi sosial, yaitu (1) kualitas dan ukuran dari ruang, (2) social make-up dari pengguna yang potensial, (3) faktor psikologis yang mempengaruhi preferensi, dan (4) aksesibilitas terhadap ruang, fasilitas, dan pelayanan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat Kota Bogor mempunyai preferensi dan keinginan atau pilihan tersendiri terhadap RTH kota dimana pilihan tertinggi adalah dalam bentuk RTH mengelompok yang relatif luas (kawasan) dengan fungsi non ekonomi (biofisik, arsitektural, dan sosial). Dalam hasil penelitian ini, juga, diketahui bahwa faktor pendidikan dan latar belakang pengetahuan lingkungan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi penghargaan dan apresiasinya terhadap RTH kota, dan kedua faktor ini diasumsikan penting dalam pembentukan RTH berfungsi sosial ini. Keragaman penghargaan yang diberikan pengguna, terutama yang berkualifikasi rendah dalam faktor sosial ekonomi, menuntut jumlah areal yang lebih luas dimana hal ini akan memberi peluang bagi mereka untuk menikmatinya karena akan mendapatkan pilihan-pilihan keinginan yang lebih banyak dan sesuai dengan keinginannya. Arsitektur merupakan seni dan teknik membangun ruang yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan ekspresif manusia. Fungsi arsitektur sangat terkait dengan pembentukan dan struktur ruang terutama dalam fungsinya untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan dan mengambil berbagai manfaat amenitiesnya (visual, natural, dan cultural). Dampak yang diharapkan
133 dari pembentukan ruang arsitektural ini yaitu terjadinya penyempurnaan perasaan dan persepsi serta pengalaman estetis pengguna terhadap lingkungannya dan juga dapat lebih memperjelas peranan dan hubungan sosial/kultural yang terkait dengan kondisi lingkungan (Catanese 1992; Lyle 1981; Tuan 1977). Pengakomodasian fungsi arsitektural pada RTH, yang bertujuan utama untuk meningkatkan kualitas ruang kota, yaitu melalui penataan struktur ruang dan elemen-elemen hijau alami secara fungsional dan estetik. Kenyamanan dari iklim mikro kota dan keindahan dari visual dan scenic amenity-nya yang didapatkan dari pengorganisasian ruang dan elemen hijau alami ini tidak hanya mengurangi kemonotonan dan kekakuan bangunan serta struktur kota tetapi diharapkan juga akan dapat meningkatkan kualitas estetika dari kota ini (McHarg 1995; Simonds 1983; Sitawati dkk 1994; Wagar 1984). Dalam kaitannya dengan proporsi RTH terhadap wilayah kota, tergantung dari penekanan aspek nilai yang akan diberikan oleh pengguna atau warga kota. Hasil penelitian demand side (kebutuhan dan keinginan pengguna) yang akan diakomodasikan pada RTH integratif ini adalah: (a) Bila fungsi ekonomi saja yang dikembangkan maka akan terjadi penurunan jumlah areal RTH sampai batas ekonomis sehingga akan cenderung menurunkan fungsi-fungsi lainnya dan akan berdampak akan gangguan dan kerusakan fisik dan wajah kota; (b) Bila hanya fungsi alami yang dikembangkan maka akan terjadi pertambahan areal RTH untuk mendapatkan manfaat alami yang tinggi sehingga determinan penentu bukan lagi kesejahteraan masyarakat tetapi daya dukung alamiahnya, (c) Bila hanya fungsi arsitektur dan fungsi sosial yang dikembangkan maka terdapat kecenderungan menurunnya fungsi biofisik walaupun keindahan dan keteraturan kota akan dapat dinikmati masyarakatnya. Untuk mendapatkan RTH Kota Bogor yang lestari maka empat fungsi ini dianjurkan untuk diintegrasikan untuk mendukung bentuk wilayah kota yang berwawasan lingkungan. Melalui optimasi nilai-nilai fungsional ini dibentuk suatu kondisi lingkungan wilayah kota yang memiliki RTH pilihan masyarakatnya dengan ciri-ciri: berkonfigurasi arsitektural alami, ruang publik akomodatif, dan memberi peluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota. Dalam mengkonstruksi RTH fungsional, secara fisik, ini maka struktur RTH ini menjadi suatu faktor yang penting mengingat bentuk RTH ini pada tiap fungsi
134 memiliki batasan dan persyaratan yang berbeda yang selanjutnya akan membentuk struktur fisik yang berbeda (Gambar 39 sampai dengan Gambar 42). Gambar 42 memperlihatkan model integratif dari empat faktor fungsi lingkungan RTH kota ini dalam membentuk RTH kotanya.
WILAYAH KOTA
BATASAN BIOFISIK ( ECOLOGICAL SUPPORT SYSTEM ) KENDALA EKONOMI SEWA LAHAN, KEPEMILIKAN LAHAN, PENGGUNAAN LAHAN RUANG TERBANGUN
RUANG TERBUKA HIJAU BATASAN : FUNGSI FISIK DAN KENYAMANAN FUNGSI ALAMIi
FUNGSI, STRUKTUR, LOKASI RTH KOTA
NILAI ALAMI /BIOFISIK
RASIO RT DAN RTH KONFIGURASI & KENYAMANAN FISIK RTH KOTA
Gambar 39. Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi biofisik WILAYAH KOTA
RUANG TERBANGUN
RUANG TERBUKA HIJAU BATASAN : (1) VISUAL & SPATIAL AMENITY (30-50%) (2) ESTETIKA (30-50%)
NILAI ARSITEKTUR DARI PENGGUNA
RASIO RT DAN RTH WAJAH ARSITEKTUR KOTA
FUNGSI, STRUKTUR RTH KOTA KEINDAHAN & KETERATURAN
135
Gambar 40. Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi arsitektur WILAYAH KOTA
KENDALA EKONOMI SEWA LAHAN, KEPEMILIKAN LAHAN, PENGGUNAAN LAHAN
RUANG TERBUKA HIJAU
RUANG TERBANGUN
BATASAN FUNGSI SOSIAL : (1) JUMLAH DAN KUALITAS RUANG (2) FAKTOR DEMOGRAFIS (3) FAKTOR PSIKOLOGIS
NILAI SOSIAL DARI PENGGUNA
FUNGSI, STRUKTUR, AKSESIBILITAS RTH KOTA
RASIO RT DAN RTH RTH SEBAGAI RUANG PUBLIK
Gambar 41. Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi sosial
WILAYAH KOTA
BATASAN EKONOMI (1) SEWA LAHAN, KEPEMILIKAN LAHAN, PENGGUNAAN LAHAN
(2) SUBWILAYAH PERDAGANGAN, PERINDUSTRIAN, PERMUKIMAN
RUANG TERBANGUN
RUANG TERBUKA HIJAU BATASAN : (1) FUNGSI EKONOMI LANGSUNG (2) FUNGSI EKONOMI TAK LANGSUNG
NILAI EKONOMI DARI PENGGUNA
RASIO RT DAN RTH
FUNGSI, STRUKTUR RTH KOTA YANG MANAGABLE & PROFITABLE
136
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Gambar 42. Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi ekonomi
137
138 6.4. Konsepsi Model Pembangunan RTH Kota berdasarkan Preferensi Masyarakat Dalam membangun suatu wilayah kota yang berwawasan lingkungan guna mencapai sasaran untuk mewujudkani konsep sistem kota yang berkelanjutan dengan kualitas dan kapasitas lingkungan kota yang baik maka dibutuhkan suatu model pembangunan dan pengembangan sarana alami publik dalam kota yang juga melibatkan peran-serta atau partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat, yang merupakan dasar dari suatu praksis pembangunan, diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang dinyatakan atau dinilai baik olehnya. Konsekuensi dari keikut sertaan ini yaitu masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam menentukan arah dan bentuk pembangunan ruang-ruang kota, termasuk arah dan penentuan dari ruang terbuka hijau (RTH) kotanya. Partisipasi dari masyarakat terhadap pembentukan atau pembangunan RTH ini diharapkan akan dapat meningkatnya rasa memiliki dari masyarakat terhadap ruang kota dan kotanya, dan selanjutnya akan mempermudah dan mengefektifkan pekerjaan pengelolaan oleh Pemerintah Kota Bogor. Melalui model simulasi yang dikembangkan, yang tertera pada Gambar 44, diharapkan dapat terbentuk suatu masyarakat yang tidak hanya berpartisipasi tetapi juga akan memperhatikan dan peduli (concern) terhadap kualitas lingkungan kotanya (ecosociety movement) dan, selanjutnya, peduli terhadap keberlanjutan atau kelestarian kotanya. Model ini
dikembangkan dengan pertimbangan pada kondisi riel suatu
wilayah perkotaan dan juga dimana pada tiap bagian dalam wilayah kota diasumsikan membutuhkan RTH. Kebutuhan akan pembangunan dan pengadaan RTH ini tidak hanya bermanfaat dalam pengendalian dan peningkatan kualitas dan kapasitas fisik wilayah kota tetapi juga akan bermanfaat dalam peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan dan sasaran dari penelitian ini maka penggunaan faktor-faktor bentuk dan fungsi ekonomi, biofisik, arsitektural, dan sosial yang diinginkan masyarakat kota dalam model pembangunan dan pengelolaan RTH ini akan memberikan pembeda masukan (input) dan proses. Keluaran (output) yang dihasilkan, selanjutnya akan dilihat bentuk dan tujuan kegunaannya dalam mendukung urban sustainable development melalui pembangunan RTH untuk mewujudkan wilayah perkotaan yang berwawasan lingkungan.
139 Berbagai prasyarat yang merupakan hasil penelitian, dan kendala untuk pengembangan fungsi lingkungan RTH ini dapat diantisipasi dengan membentuk suatu rencana/rancangan RTH kota yang terstruktur. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan optimasi nilai-nilai RTH ini dapat membentuk suatu kondisi lingkungan wilayah perkotaan, dalam kasus Kotamadya Bogor, yang memiliki RTH dengan ciri-ciri: konfigurasi arsitektural alami (fungsi arsitektural), menjadi ruang publik rekreatif (fungsi sosial), dan meningkatkan kualitas fisik lingkungan perkotaan kota (fungsi biofisik). Model yang dikembangkan ini bersifat statis karena terkait dengan masyarakat kota dan perkembangan kota secara fisik, yang relatif akan menggunakan biaya yang tinggi bila akan diubah. Pada model ini juga dimasukkan berbagai kendala umum, terutama kendala yang terdapat pada lahan perkotaan (sewa, pemilikan, tata guna lahan). 6.5. Konsepsi Model Kebijakan Publik untuk Rencana Pengelolaan RTH Kota yang Berbasis Masyarakat Dalam upaya pengelolaannya, RTH dikategorikan sebagai wilayah spasial bagi kepentingan 3 (tiga) pihak yaitu pihak-pihak pemerintah kota, warga kota atau masyarakat, dan pengusaha (Simonds 1983). Tiga pihak ini, yang merupakan stake holders di wilayah perkotaan, masing-masing memiliki peran, fungsi, potensi, dan kepentingan sendiri. Sinergi dari 4 (empat) hal ini membutuhkan suatu cara bekerja (rule of game) dan model organisasi tertentu yang disepakati bersama dan dinyatakan dalam suatu bentuk kebijakan publik yang terkait dengan bentuk kegiatan pengelolaan RTH kota yang diusulkan. Dalam tahapan pelaksanaan kegiatan pengelolaan RTH ini sering dijumpai kendala yang umum dari tiap pemegang peran utama di wilayah perkotaan ini. Bentuk-bentuk kendala yang umum dijumpai adalah : (a) kendala anggaran pembangunan dan teknis pengelolaan RTH pada sisi pemerintah, (b) kendala prioritas dan pilihan kebutuhan pada sisi masyarakat, dan (c) kendala margin keuntungan pada sisi pengusaha. Tiga kendala permasalahan utama yang dihadapi ini sering menimbulkan konflik kepentingan yang berdampak negatif terhadap luas dan kualitas RTH yang dibutuhkan atau yang harus disediakan dalam wilayah perkotaan, sehingga perlu suatu bentuk upaya untuk meminimumkan konflik yang terjadi. Upaya minimisasi konflik ini, antara lain melalui pemberian insentif tertentu.
140 Untuk kasus Kota Bogor maka contoh insentif yang diterima oleh pemerintah kota dapat berbentuk efisiensi kerja dan biaya pengelolaan RTH serta dalam wujud rancangan fisik keindahan RTH dan kenyamanan kota; insentif yang diterima oleh warga masyarakat adalah kondisi lingkungan kota yang nyaman, sehat, indah dan rekreatif; dan insentif yang diterima oleh pengusaha adalah lahan RTH sebagai media promosi atau lahan yang menguntungkan secara ekonomi baik yang berjangka pendek maupun panjang. Dalam upaya peningkatan kapasitas dan kualitas lingkungan kota secara efektif dan efisien, melalui pengelolaan RTH, direncanakan untuk juga memasukkan peran suatu lembaga netral dan yang dapat bekerja untuk kepentingan publik. Contoh dari lembaga ini antara lain adalah perguruan tinggi atau bentuk lembaga netral lainnya yang dapat bertindak sebagai motivator dan dinamisator yang mengintroduksikan dan menghasilkan berbagai teknik dan teknologi yang efektif dalam mengelola dan memantau berjalannya kelangsungan fungsi dan manfaat RTH kota, berdasarkan kendala yang dimiliki oleh kota. Disamping itu, berdasarkan hasil penelitian ini, upaya peningkatan kualitas lingkungan kota dapat diakselerasi melalui peran kelompok masyarakat yang berpendidikan relatif tinggi serta yang memiliki latar belakang pengetahuan mengenai lingkungan sebagai motor penggerak masyarakat yang bersifat inde penden untuk keikut-sertaan kelompok ini dalam mengendalikan dan pelestarian RTH kota. Gambar 45 memperlihatkan model yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan RTH di wilayah kota penelitian ini. Model ini mengakomodasikan peran-serta masyarakat sebagai individu dan masyarakat sebagai corporate penentu model pengelolaan yang akan dilakukan. Model ini bersifat dina-mik, dimana masukan dan perkembangan sosial ekonomi dari 3 (tiga) pemegang peran utama di wilayah perkotaan (pemerintah, masyarakat, pengusaha) serta perkembangan dan inovasi teknologi (yang dilakukan oleh lembaga publik yang netral) yang akan mempengaruhi keputusan terhadap bentuk pengelolaan yang akan dilaksanakan
141
WILAYAH MASUKAN
WILAYAH PERKOTAAN
WILAYAH PEDESAAN WARGA KOTA
LAHAN KOTA RUANG TERBUKA RUANG TERBUKA HIJAU
PROSES
Kawasan
Jalur hijau jalan raya
Simpul
Jalur hijau lintas kereta
Jalur hijau tepi sungai
Jalur hijau tepi kota
RUANG TERBANGUN SUB WILAYAH PERDAGANGAN SUB WILAYAH PERINDUSTRIAN SUB WILAYAH PEMUKIMAN
KEBUTUHAN
DEMOGRAFI PERSEPSI
PREFERENSI PENGALAMAN
MODEL TEORITIS
MODEL REALISTIS FUNGSI BIOFISIK
FUNGSI EKONOMI
FUNGSI ARSITEKTUR
Batasan & kendala fungsi alami
Batasan & kendala fungsi ekonomi secara langsung & tak langsung
Batasan & kendala fungsi sosial
NILAI BIOFISIK
NILAI EKONOMI
NILAI SOSIAL
NILAI ARSITEKTUR
STRUKTUR
STRUKTUR
STRUKTUR
STRUKTUR
FUNGSI SOSIAL
MODEL INTEGRATIF
KELUARAN
Batasan & kendala fungsi arsitektur
Kendala lahan : 1. Sewa lahan 2. Penggunaan lahan 3. Pemilikan lahan
NILAI LINGKUNGAN RTH KOTA STRUKTUR TERPADU RUANG TERBUKA HIJAU
TUJUAN
RASIO RT DAN RTH RUANG KOTA TERPADU
SASARAN
KEBIJAKAN PUBLIK : 1. PERENCANAAN & PENGELOLAAN RTH KOTA 2. URBAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT 3. PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERWAWASAN LINGKUNGAN
133
Gambar 43. Model perencanaan integratif RTH kota
112
KARAKTER FISIK RTH KOTA
FUNGSI
BENTUK
HASIL PENELITIAN
RTH PREFERENSI MASYARAKAT
KARAKTER DEMOGRAFIS SUBWILAYAH/LOKASI KOTA
KENDALA EKONOMI LAHAN PERKOTAAN SEWA, TATA GUNA, DAN PEMILIKAN LAHAN PENDIDIKAN
PENGETAHUAN TERKAIT LINGKUNGAN
KARAKTER DEMOGRAFIS RESPONDEN
GENDER
KARAKTER FISIK KAWASAN/SUBKAWASAN ♣ PERKANTORAN ♣ PERDAGANGAN ♣ PERINDUSTRIAN ♣ PERMUKIMAN
RENCANA/RANCANGAN BENTUK/STRUKTUR FISIK RTH KOTA BERBASIS PREFERENSI MASYARAKAT
137
Gambar 44. Konsepsi model perencanaan RTH kota berbasis preferensi masyarakat
113
Proses pengelolaan data & informasi
FUNGSI BIOFISIK (STRUKTUR BIOFISIK)
KONDISI DAN BENTUK FISIK
Tindakan perbaikan, sanksi & penghargaan
PENGELOLAAN KELEMBAGAAN RUANG TERBUKA HIJAU
RTH KOTA
FUNGSI ARSITEKTURAL (STRUKTUR ARSITEKTURAL) FUNGSI SOSIAL
Sistem Informasi RTH Lestari Sistem pengelolaan RTH Lestari
Pengawasan masyarakat
Sistem pengembangan berbasis masyarakat
(STRUKTUR REKREATIF)
FUNGSI EKONOMI
Peraturan dan kebijakan
(STRUKTUR EKONOMI)
DATA AWAL KONDISI FISIK DAN PENGELOLAAN RTH
Sistem pengawasan RTH kota
MASYARAKAT / LSM Pola pengembangan RTH berbasis masyarakat
Laporan masyarakat
PEMERINTAH DAERAH Pola pembangunan dan pengelolaan Ruang Kota
SWASTA / PENGUSAHA Pola penyediaan dan pengelolaan Lahan
Laporan masyarakat
INSTITUSI / LEMBAGA PENELITIAN Data kondisi fisik RTH
Laporan kondisi obyektif
Pola pengembangan teknologi RTH Pola pengembangan pengelolaan RTH Pola penyuluhan dan pelatihan pembangunan dan pengelolaan RTH
138
Gambar 45. Konsepsi model pengelolaan RTH kota berbasis masyarakat
7. KESIMPULAN DAN SARAN Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu sarana kota dan elemen alami pembentuk ruang kota yang harus tersedia dalam suatu wilayah perkotaan karena memiliki fungsi dan manfaat yang tinggi dalam mengendalikan dan meningkatkan kapasitas dan kualitas lingkungan wilayah perkotaan tersebut serta untuk meningkatkan kenyamanan, keamanan lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang menghuni kota tersebut. Untuk mendukung hal ini maka ketersediaan dan distribusi RTH fungsional dalam wilayah kota harus dapat menanggulangi permasalahan fisik dan lingkungan perkotaan tersebut, dan untuk mengelola dan melestarikan ketersediaan RTH tersebut maka masyarakat harus mengetahui dan memahami fungsi dan kemanfaatannya dalam ruang-ruang kota, terutama, melalui bentuk dan lokasi fungsionalnya. 7.1. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Kapasitas fisik dan kualitas lingkungan yang dibutuhkan untuk mewujudkan konsep sistem kota yang berkelanjutan menentukan ketersediaan bentuk, fungsi, serta pola distribusi dan konfigurasi RTH yang sesuai dengan dan mendukung kondisi fisik kota tersebut.
€
Kota penelitian memiliki lanskap atau bentang alam yang beragam (datar, berbukit, bertebing curam, aliran sungai) dan estetik tetapi lanskap kota ini peka terhadap perubahan-perubahan fisiknya. Awal perkembangan kota pada periode kolonial (Inggris dan Belanda), yang telah menambahkan berbagai bangunan, struktur dan fasilitas kota dalam konfigurasi kota ini, masih tetap mendukung jumlah dan distribusi RTH dalam kota. Hasil penelitian menyatakan RTH sebagai pengisi ruang-ruang kota penelitian ini diklasifikasikan baik karena kota ini masih memiliki dan mengelola RTH dengan karakter serta jumlah dan distribusi dalam skala wilayah (kota, kecamatan), rancangan arsitektur (bentuk, fungsi), kepemilikan lahan (publik, privat) dan rasio RTH per penduduk yang relatif baik, serta masih dipertahankannya konfigurasi utama RTH kota yang dibangun pada periode kolonial.
€
Bentuk jalur hijau, terutama jalur hijau tepi kota (urban green belt, urban forest belt) yang mendominasi RTH kota akan sangat bermanfaat untuk
140 mengendalikan kualitas lingkungan kota dan untuk kesejahteraan masyarakat kota penelitian. Walaupun diklasifikasikan cukup baik tetapi kondisi RTH ini berpeluang tinggi untuk menurun dalam jumlah, distribusi, dan kualitasnya. Hal ini terjadi karena kegiatan pembangunan perekonomian kota yang kurang memperhatikan permasalahan dan kepekaan alami dan lingkungan kota yang cenderung mendorong dilakukannya konversi lahan bervegetasi dan lahan-lahan marjinal (bertebing, bantaran sungai) menjadi lahan yang terbangun/non hijau karena terbatasnya luas lahan untuk pembangunan di wilayah kota ini. Bila hal ini tidak dikelola dan dikendalikan dengan baik maka akan berdampak terhadap penurunan kondisi dan kualitas lingkungan fisik kota. (b) Persepsi dan preferensi masyarakat menentukan kelestarian ketersediaan dan kualitas RTH dalam kota tersebut.
€
Penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat kota penelitian memiliki persepsi yang baik terhadap RTH yang tersedia dalam kota. Informasi dan pengalaman tentang lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diperoleh masyarakat dari ketersediaan dan pemanfaatan RTH yang telah terbentuk dan terdistribusi dengan baik dalam wilayah kota serta kemudahan akses ke dalam RTH tersebut telah membentuk persepsi yang baik pada masyarakat.
€
Kota menyediakan RTH sebagai salah satu bentuk sarana pelayanan publik untuk meningkatkan kenyamanan dan kesehatan lingkungan kota yang selanjutnya akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas dan kinerja masyarakat kotanya. Persepsi dan preferensi masyarakat yang baik terhadap ketersediaan RTH dapat mendukung program pembangunan dan pelestarian RTH ini, terutama bila preferensi masyarakat ini diakomodasikan dalam perencanaan dan pembangunan RTH dalam kota. Preferensi RTH tertinggi adalah RTH bentuk kawasan (RTH yang mengelompok dan berukuran luas), berfungsi ganda dengan ragam jenis tanaman yang tinggi.
€
Walaupun persepsi masyarakat kota ini terhadap RTH cukup tinggi dengan preferensi yang dinilai baik, tetapi keduanya tidak berkorelasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan dalam model ”nature” (model lingkungan alami) yang melatar belakangi kehidupan dari tiap individu atau kelompok masyarakat walaupun mereka memiliki penga-
141 laman yang sama.
Kemungkinan juga karena belum disadarinya makna
lingkungan dan belum dimilikinya motivasi perbaikan lingkungan melalui ketersediaan RTH dalam wilayah kota. (c) Pengetahuan masyarakat akan manfaat RTH, yang dinyatakan dalam bentuk dan fungsinya, akan mempengaruhi besar penilaiannya terhadap RTH kota tersebut. Bila masyarakat memberikan penilaian dan penghargaan yang tinggi terhadap RTH kota selanjutnya akan meningkatkan apresiasi mereka terhadap ketersediaan RTH, dalam jumlah dan kualitas, sehingga program kelestarian RTH untuk mendukung sistem kota yang berkelanjutan dapat terwujudkan.
€
Penilaian masyarakat terhadap fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk RTH kota yang diteliti tidak berbeda dan mereka cenderung belum dapat memilah antar fungsi dan antar bentuk RTH walaupun dapat merasakan manfaat keberadaannya. Walaupun tidak berbeda dalam penilaian, masyarakat cenderung mengelompokkan fungsi RTH kota ini menjadi fungsi ekonomi dan non-ekonomi, serta bentuk RTH yang berukuran luas dan tidak luas. Fungsi non ekonomi (biofisik, sosial, arsitektural) dan RTH yang berukuran luas (kawasan, jalur hijau tepi kota) memiliki nilai yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya.
€
Pemilahan nilai terhadap fungsi-fungsi RTH yang diteliti ini, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi, didukung karena kurang diketahuinya konsep pengembangan RTH untuk suatu kawasan perkotaan dimana konsep pengembangan RTH suatu kota (urban greenery) adalah untuk perbaikan kualitas lingkungan/biofisik kota, yang umumnya disamakan dengan konsep pengembangan pertamanan kota (urban park) yaitu untuk perbaikan ruang-ruang kota untuk keindahan dan berbagai fungsi sosial dan rekreatif lainnya. Ketidak-jelasan ini akan berpeluang tinggi dalam menurunkan tingkat kepedulian dan juga partisipasi spontan masyarakat untuk melestarikan keberadaan RTH dan memperbaiki bentuk dan fungsinya guna mengatasi permasalahan dan gangguan lingkungan yang dihadapi kawasan kota saat ini dan juga pada masa mendatang. Dampak negatif selanjutnya yaitu akan meningkatkan biaya pengelolaan kota dan memudahkan terjadinya konversi lahan dan fungsi RTH.
€
Faktor pendidikan secara nyata berperan dalam memberi penilaian atau penghargaan terhadap bentuk-bentuk RTH kota yang diteliti, dan faktor
142 latar belakang pekerjaan/profesi yang terkait dengan bidang lingkungan cenderung mendukung peningkatan nilai penghargaan terhadap RTH kota ini. (d) Untuk mengendalikan dan mempertahankan kualitas lingkungan kota yang baik, melalui kelestarian ketersediaan dan kualitas RTH, maka alternatif model pengelolaan RTH wilayah perkotaan yang harus dikembangkan sebagai salah satu bentuk kebijakan publik adalah jika didasarkan pada konfigurasi dan struktur fisik alami wilayah dan potensi gangguan terhadap lingkungan perkotaan, pengakomodasian RTH yang merupakan preferensi tertinggi yang diinginkan oleh masyarakat, serta peran serta masyarakat tersebut mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pemeliharaan. Dalam rekomendasi model pengelolaan ini maka pembagian peran stake holders yaitu masyarakat, pemerintah, pengusaha dan lembaga netral sebagai pemasok hasil riset/teknologi yang berorientasi pada kelestarian wilayah perkotaan dan kesejahteraan publik, merupakan tujuan utama. 7.2. Saran Beberapa saran yang diajukan untuk mewujudkan konsep sistem kota yang berkelanjutan ini: (1) Untuk wilayah kota penelitian (a) Untuk meningkatkan kelestarian dan kualitas lingkungan fisik melalui keberadaan RTH kota maka disarankan untuk mencegah penurunan jumlah ketersediaan RTH, mempertahankan jumlah dan rasio pendistribusian spasial dan per kebutuhan penduduk dalam skala kota dan kecamatan, serta meningkatkan kepemilikan semi publik. Hal ini mengingat akan kerawanan dan kepekaan sumberdaya alam, lingkungan dan konfigurasi alamiah atau lanskap kota (antara lain potensial dalam erosi, longsor, pencemaran, suhu meningkat), dan untuk upaya mempertahankan dan mempertegas konfigurasi RTH awal pendukung pola kota Bogor sebagai kota Tropisch Indies dan “Kota dalam Taman”. Perlu untuk mendefinisikan kembali dan membangun bentuk RTH fungsional sesuai dengan konfigurasi alami atau lanskap/bentang alam wilayah perkotaan, kebutuhan lokasi/tata ruang kota, permasalahan kualitas lingkungan yang terdapat dalam ruang atau bagian kota. (b) Bentuk dan luasan jalur hijau tepi kota (urban green belt) disarankan untuk dipertahankan dan dikendalikan penurunan jumlah dan kualitas lingkungan-
143 nya mengingat fungsi lingkungannya yang tinggi dalam mengendalikan dan meningkatkan kenyamanan kota (ameliorasi iklim, menurunkan suhu kota) dan berbagai manfaat ganda lainnya seperti memperbesar suplai areal rekreasi alam, areal produksi pertanian, areal konservasi air, dan juga sebagai penyangga perkembangan kota; disamping untuk memelihara bentuk konfigurasi awal kota (nilai kesejarahan atau nilai sosial budaya kota). (c) Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan yang dapat memberikan gambaran spasial yang tepat pada lokasi RTH fungsi biofisik.
Hasil ini
terutama berguna untuk dalam kaitannya dengan nilai (rent) lahan kota atau rencana tata ruang kota sehingga konversi lahan untuk RTH menjadi lahan non-vegetasi dapat diminimalkan.
Fungsi biofisik yang merupakan fungsi
perbaikan lingkungan utama yang melekat/intrinsik dari RTH ini perlu untuk diketahui mengingat keterkaitannya dengan lokasi, bentuk rancangan serta kondisi lingkungan tumbuhnya sehingga bentuk atau struktur RTH yang tidak sesuai, serta perubahan lokasi dan tempat tumbuh akan juga dapat mengurangi manfaat lingkungan RTH pada bagian kota penelitian tersebut. (d) Guna mendapatkan suatu wilayah kota dengan lingkungan yang lebih baik maka konsep atau persepsi pemilahan fungsi RTH berdasarkan fungsi ekonomi dan non-ekonomi pada masyarakat ini disarankan untuk diubah melalui berbagai metode komunikasi. Dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang menurun kualitasnya akibat pembangunan dan struktur kota yang berubah maka persepsi dan pola pikir masyarakat harus didasari dan berorientasi pada RTH berfungsi biofisik yang merupakan fungsi intrinsik/ utama dari RTH. Untuk mendukung hal ini maka dibutuhkan suatu bentuk pengelolaan RTH, terutama program penyuluhan terhadap masyarakat kota tentang manfaat dan bentuk RTH ini. Disamping untuk perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, maka pembentukan masyarakat peduli lingkungan (eco society) disarankan untuk dicakup dalam bentuk pengelolaan baru ini. (e) Hasil penelitian mendapatkan bahwa faktor pendidikan dan latar belakang pekerjaan/profesi yang terkait bidang lingkungan cenderung mendukung peningkatan nilai penghargaan terhadap RTH sehingga untuk upaya melestarikan RTH maka masyarakat edukatif dalam kelompok penilai tinggi dapat (i) untuk menjadi “motor penggerak” dan/atau menjadi pendamping pemerintah kota guna memandu masyarakat kota melalui berbagai metode,
144 bentuk intervensi dan materi penyuluhan yang efektif serta juga (ii) untuk menggerakkan wadah masyarakat peduli lingkungan (eco society). (f) Dalam upaya pembangunan dan pengelolaannya, RTH dikategorikan sebagai wilayah spasial bagi kepentingan tiga pihak yaitu pemerintah, warga kota atau masyarakat, dan pengusaha dimana masing-masing memiliki peran, fungsi, potensi, dan kepentingan sendiri. Dalam pembangunannya, sering dijumpai kendala dari tiap pemegang peran sehingga membutuhkan suatu “rule of game” yang disepakati bersama. Untuk meminimumkan konflik kepentingan disarankan untuk memasukkan peran suatu lembaga yang dapat bertindak sebagai motivator dan dinamisator yang mengintroduksikan beragam teknik dan teknologi yang efektif dalam mengendalikan, mengelola dan memelihara berjalannya fungsi-fungsi utama pada RTH kota yang diintroduksikan, seperti lembaga perguruan tinggi. Konsepsi model ini dikembangkan
sesuai
dengan
permasalahan
dan
konfigurasi
alami
lingkungan perkotaan, struktur/tata ruang yang dihadapi pada suatu bagian kota, dan perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan wilayah perkotaan (2) Aplikasi hasil penelitian untuk kota-kota lain Penggunaan hasil penelitian ini untuk kota-kota lainnya, yaitu pengembangan RTH berdasarkan preferensi dan penilaian masyarakatnya untuk kelestarian ketersediaannya, harus didasarkan pada konsep yang dihasilkan. Hal ini karena adanya perbedaan kondisi fisik dan sosial ekonomi yang terdapat antar kota, terutama yang berhubungan dengan : (a) Kondisi konfigurasi fisik alamiah kota (yaitu sumberdaya alam, lingkungan, dan lanskap wilayah) yang membutuhkan bentuk dan fungsi serta distribusi spasial RTH tertentu. Kondisi dan intensitas gangguan terhadap kualitas lingkungan wilayah kota juga menuntut jumlah dan kualitas RTH tertentu. (b) Persepsi dan preferensi masyarakat ikut menentukan kelestarian RTH kota, dan untuk menyamakan dan meningkatkan persepsinya kearah pengertian RTH yang baik perlu upaya penyuluhan dengan metode yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat di kota tersebut (c) Pengelolaan RTH kota, secara fisik, harus mengakomodasikan kondisi fisik alamiah kota, potensi gangguan lingkungan, serta preferensi masyarakatnya; dan secara administratif
145
DAFTAR PUSTAKA Afifi, A.A. dan V. Clark. 1984. Computer-Aided Multivariate Analysis. Lifetime Learning Publications, Belmont, California. Anonimous. 1990. The Interparliamentary Conference on The Global Environment (Legislative Strategy Papers), Washington D.C. 87 p. Anwar, A. 1994. Konsep Pengukuran Tingkat Kesejahteraan. Bahan Perkuliahan Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Studi PWD, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 22 hal. Arnold, H. F. 1980. Trees in Urban Design. van Nostrand Reinhold Company, New York. 168 p. Arsyad, R. D. dan S. N. Syahruddin. 1998. Conceptual Planning for Preserving Mozaic Type of Old Cityscape in Bogor, West Java, Indonesia. Proceding of 35th IFLA World Congress: Landscape Architecture Quest to the 21st Century, Bali Indonesia, 12-15 October 1998. Atmanto, W. P. 1995. Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kota (Studi Kasus di Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat, Kotamadya Semarang). (Tesis). Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Bappeda Kotamadya Bogor. 1996. Data Pokok Pembangunan Daerah (Tabulasi). Pemerintah Kotamadya Dati II Bogor, Bogor. Bernatzky, A. 1978. Tree Ecology and Preservation. Elsevier, Amsterdam. Bergstrom, J. C. 1990. Concepts and Measures of the Economic Value of Environmental Quality: a Review. Journal of Environmental Management (31): 215-228. Bidwell, R. G. S. 1974. Plant Physiology. Macmillan, New York. Bradshaw, A. D., D. A. Goode dan E. H. P. Thorp, 1986. Ecology and Design in Landscape. Blackwell, London.
146 Brockman, C. F. dan L. C. Meriem, 1973. Recreational Use of Wild Land. Mc Graw Hill Book, New York. Budiaty, N. 1993. Pelaku dan Jenis Vandalism di Kota Bogor. (Skripsi) Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cahyono, S. D.W. 1993. Eksistensi Pohon Kenari (Canarium commune Linn.) Sebagai Pohon Tepi Jalan di Kotamadya Bogor. (Skripsi). Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Carpenter, P. L., T. D. Walker dan F. O. Lanphear. 1975. Plants in The Landscape. W. H. Freeman and Co., San Francisco. Catanese, A. J. dan J. C. Snider. 1992. Perencanaan Kota. Erlangga, Jakarta. Clouston, B. 1977. Landscape Design With Plants. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Correll, M. R., J. H. Lillydahl dan L. D. Singell. 1978. The Effects of Greenbelts on Residential Property Values: Some Findings on Political Economy of Open Spaces. Land Economic 54.2. May 1978: p. 209-217. Crowe, S. 1981. Garden Design. Packard Publishing Limited. London. Departemen Dalam Negeri. 1988. INMENDAGRI Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Jakarta. 22 hal. Diamonds Jr., D. B. 1980. The Relationship Between Amenities and Urban Land Prices. Land Economics Vol. 56, No. 1 Febr. 1980: 21-32 Dicken, P. dan P. E. Lloyd. 1990. Location in Space: Theoritical Perspectives in Economic Geography. Harper Collins Publishers Inc., New York. Duell, R.W., 1979. Vegetation for Transportation Systems and Utility Corridors.. In Planning The Uses and Management of Land. Eds. M.T. Beatty, G.W. Petersen dan L.D. Swindale. ASA-CSSA and SSSA Publ., Madison Wisconsin. 581-610 hal.
147 Echelberger, H.E. dan J.A. Wagar, 1979. Non-commodity Values of Forests and Woodlands. In Planning The Uses and Management of Land. Eds. M.T. Beatty, G. W. Petersen dan L. D. Swindale. ASA-CSSA and SSSA Publ., Madison Wisconsin. 429-443 hal. Fahada, M. F. 1992. Studi Permintaan terhadap Manfaat Hidrologis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk Sektor Pertanian di Kabupaten Bogor. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Forman, R. T. T. dan M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons Inc., New York. Gold, S. M. 1977. Social and Economic Benefits of Trees in Cities. Journal of Fo-restry. Vol. 75 No. 2, Febr. 1977: 84-87. Graves, M. 1951. The Art of Color and Design. McGraw Hill Book, New York. Grahn, P. 1991. Landscapes in Our Minds: People’s Choice of Recreative Places in Towns. Landscape Research 16(1): 11-19. Grey, G.W. dan F.I. Deneke. 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons Inc., New York. Gross, M, D.J. Bucko, J.G. Fabos, dan J. H. Foster. 1984. Landscape Planning and Evaluation: A Combined Goal Oriented and Benefit/Loss Approach. University of Massachusetts, Amherst. Gunadi, S. 1998. PK-5, Lapangan Umum dan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Paradigma Baru Bagi Pembangunan Kota. Makalah dalam Seminar Peningkatan Kebutuhan dan Kualitas Ruang Luar Di Wilayah Perkotaan (31 Oktober 1998). ITS, Surabaya. 25 hal. Harris, R .W. , Clark J. R dan Matheny, N. P. 1999. Arboriculture: Integrated Management of Landscape Trees, Shurbs, and Vines. Prentice Hall, Inc. Hasan, C, 1989. Persepsi Pengunjung Terhadap Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor. (Skripsi) Jurusan Budi Daya Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
148 Herawati, M. 1992. Perlakuan Jumlah Baris dan Pola Tanam Kembang Sepatu (Hibiscuss spp.) dalam Fungsinya Mereduksi Kebisingan dan Aplikasinya dalam Pertamanan. (Skripsi) Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herlinawati, L. 1993. Studi Daya Dukung Biofisik Areal Rekreasi di Kebun Raya Bogor. (Skripsi) Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hester Jr., R. T., J. Edminston, I. S. Moore, dan N. J. Blazej. 1996. Road Kill Yields Big Wild : Resolving Cultural and Biological Diversity Conflicts in Urban Wilderness.. In 1996 Annual Meeting Proceedings. Eds. C. Wagner. ASLA, Washington D.C. 82-85 hal. Ibrahim, N. F. 1992. Studi Manfaat Hidrologi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk Sektor Rumah Tangga di Kabupaten Sukabumi. (Skripsi). Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Inoguchi, T., E. Newman, dan G. Paoletto, 1999. Introduction: Cities and the Environment Towards Eco-partnerships. United Nations University Press, Tokyo. p. 1-14. Janala, C. 1995. Studi Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta Berdasarkan Pendekatan Kebutuhan Oksigen. (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Jayadinata, J. T. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Penerbit ITB Bandung, Bandung. Jellicoe, G. dan S. Jellicoe. 1975. The Landscape of Man. Van Nostrand Reinhold Co., New York. Jolliffe, I. .T. 1986. Principal Component Analysis. Springer-Verlag, New York. Just, R. E., D. L. Hueth, dan A. Schmits. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
149 Knudson, H. D. 1989. Outdoor Recreation. Macmillan Co.,. New York. Kong, L.S. dan C.S. Eng. 1992. More Than A Garden City. Park and Recreation Department. Ministry of National Development, Singapore. Linawati. 1995. Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Kota. (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Lynch, K., 1982. Site Planning. The MIT Press, Massachusetts. Lyle, J. 1981. Design for Human Ecosystem. van Nostrand Reinhold, New York. Manly, B.F.J. 1986. Multivariate Statistical Methods: A Primer. Chapman and Hall Ltd., London. McHarg, I. 1992. Design With Nature. McGraw Hill, New York. McPherson, E. G. 1992. Accounting for Benefits and Costs of Urban Greenspace. Landscape and Urban Planning 22 (1992): 41-51. McPherson, E. G. 1996. Urban Forest Landscapes, How Greenery Saves Greenbacks.. In 1996 ASLA Annual Meeting Proceedings. Ed. C. Wagner. ASLA., Washington D. C. 27-29 hal. Miller, R. W. 1988. Urban Forestry Planning and Managing Urban Greenspace. Prentice Hall, New Jersey. More, T. A., T. Stevens dan P. G. Allen. 1988. Valuation of Urban Parks. Landscape and Urban Planning, 15 (1988) : 139-152. Morooka, F. 1993. The Role of Parks – From the Viewpoint of Recreation Needs. Proceedings in Park Dynamism. International Federation of Park and Recreation Administration, Asia Pacific Congress and Parks and Open Space Association of Japan May 11-15, 1993. p 75-77. Michigan State University. 1991. Valuing Environmental Benefits in Developing Economies. Proceedings of a Seminar Series, at MSU Febr-May 1990.
150 Nasution, A. I. 1995. Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Kelestarian Taman Lingkungan. (Skripsi). Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Nelson, A. C. 1988. An Empirical Note on How Regional Urban Containment Policy Influences an Interaction Between Greenbelt and Exurban Land Markets. J. Amer. Plann. Assoc. 54 (2) : 178-184. Nurdin, Y. 1999. Studi Pola dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau Kotamadya Bogor. . (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Nurisyah, S. 1996. Strategi Untuk Meningkatkan dan Melestarikan Keanekaragaman Flora dan Fauna di Kawasan Perkotaan (Makalah Kelas PSL 702). Program Pasca Sarjana , PSL IPB, Bogor. 116 p. Nurisyah, S., Q. Pramukanto, dan I. S. Fatimah. 1996. Perilaku Masyarakat Perkotaan dalam Menggunakan Taman-taman Kota. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Pakpahan, A. M. 1993. Penanaman Sejuta Pohon Untuk Membina Habitat Burung (Makalah Pembahas) Sarasehan tentang Penanaman Sejuta Pohon di Wilayah DKI Jakarta. Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam dan Majalah ASRI, Jakarta (4 - 5 Desember 1993). 131 hal. Pearce, D. dan S. Georgiou. 1994. Economic Values and The Environment in The Developing World (A Report to The United Nations Environment Programme, Nairobi, October 1994). Univ. of North Carolina, Chapel Hill. 160 p. Peiser, R. B. dan G. M. Schwann. 1993. The Private Value of Public Open Space within Subdivisions. J. of Architectural and Planning Research:10.2 (Summer, 1993). Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, 1996. Data Pokok Pembangunan Daerah. Pemda Kodya Dati II Bogor, Bogor. Desember 1996. 167 hal.
151 Porteous, D. 1977. Environment and Behaviour: Planning and Everyday Urban Life. Addison Wesley Publishing Company, Mass. Pribadi, R. M. 1999. Perencanaan Greenbelt Sepanjang Sungai (Dengan Strategi Identifikasi Tebal Koridor Hijau dan Manajemen Tapak- Studi Kasus Sungai Mookervart, Jakarta). (Skripsi) Jurusan Budi Daya Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purwono, E. 1998. Keberhasilan Ruang-ruang Publik di Kota. Makalah Penunjang dalam Seminar Peningkatan Kebutuhan dan Kualitas Ruang Luar Di Wilayah Perkotaan (31 Oktober 1998). ITS, Surabaya. 8 hal. Rachmawaty, H. 1995. Sejarah Perkembangan Lansekap Kota Bogor. (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Rapoport, A. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall Inc., New Jersey. Santayana, G. 1975. The Sense of Beauty. Dover Publications, Inc., New York. Savitri, L. A. 1991. Evaluasi Pemanfaatan dan Struktur Ruang Terbuka Hijau di Kotamadya Bogor (Skripsi). Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB Bogor. Schmid, J.A. 1979. Vegetation Types, Functions, and Constrains in Metropolitan Environments.. (In Planning The Uses and Management of Land. Eds. M.T. Beatty, G.W. Petersen, L.D. Swindale). ASA-CSSA- SSSA Publ. Madison, WI. 499-530 hal. Setiadarma, E. 1998. Strategi Desain Ruang Terbuka Daerah Perkotaan yang Berkelanjutan. . Makalah Penunjang dalam Seminar Peningkatan Kebutuhan dan Kualitas Ruang Luar Di Wilayah Perkotaan (31 Oktober 1998). ITS, Surabaya. 9 hal. Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture. McGraw Hill Book Co., New York. Simonds, J.O. 1994. Garden Cities 21: Creating A Liveable Urban Environment. Mc Graw Hill Book Co., New York.
152 Siswadi dan B. Suharjo. 1998. Analisis Eksplorasi Data Peubah Ganda. Jurusan Matematika FMIPA IPB, Bogor. Siswanto, A. 1998. Skeleton of Urbanism and Eco Design dalam Pengembangan Ruang Luar Perkotaan. Makalah Penunjang dalam Seminar Peningkatan Kebutuhan dan Kualitas Ruang Luar Di Wilayah Perkotaan (31 Oktober 1998). ITS, Surabaya. 8 hal. Sitawati J, Wiroatmodjo, Soedarsono, Nurisyah S. 1994. Kajian Tanaman Semak sebagai Elemen Lansekap dalam Pengaturan Suhu Ruang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Thurairaja, V. 1994. Coastal Resources Development Options in The Southeast Asia and The Pasific Regions: Economic Valuations in Mangrove Development. Marine Studies No. 79, November-December 1994. 1-13 hal. Tim Institut Pertanian Bogor. 1993. Studi Penentuan Kawasan Lindung Dikaitkan dengan Pembangunan Regional yang Berkelanjutan. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 152 p. Tuan, Y. F. 1977. Space and Place. Univ. of Minnesota Press, Minneapolis. Ven, V.D.C. 1987. Ruang dalam Arsitektur. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wagar, J. A. 1984. Using Vegetation to Control Sunlight and Shade on Windows. Land. Journ. 3: p 24-35. Waluyo, H. 1990. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Taman Lingkungan Kasus Taman Malabar Bogor. (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Ward, C. 1973. Vandalism. The Architectural Press, London. Watt, K.E.F. 1973. Principles of Environmental Science. McGraw Hill Book, New York. White, A.V.T. 1977. Guidelines for Field Studies in Environmental Perception. UNESCO, Paris.
153 Wibowo, S. 1987. Persepsi Pengunjung Tentang Lingkungan Rekreasi dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya: Studi di Taman Miniatur Indonesia Indah dan Kebun Raya Cibodas. (Tesis). PPS IPB, Bogor. Widjaja, I. 1991. Studi Sejarah dan Pelestarian Taman Kolonial Kota Bogor (Kasus Taman Kencana dan Taman Istana Bogor). (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Wulandari, A. 1993. Penilaian Terhadap Kondisi Fisik Pohon Tepi Jalan (Studi kasus: Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta). (Skripsi). Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Zion, R.L. 1968. Trees for Architecture and The Landscape. Van Nostrand Reinhold Book , New York. . Zube, E. H., R. O. Brush dan J. Gy. Fabos, 1974. Landscape Assessment: Values, Perceptions, and Resources. Dowden, Hutchinson and Ross, Inc. Pennsylvania.
LAMPIRAN
155
Lampiran 1: Struktur Administrasi Kota
BPD BP 7
DPRD
WALIKOTAMADYA IRWILKOD
BAPPEDA
SETKOTDA
ASISTEN TATA PRAJA TATA PEMERINTAH UMUM
HUKUM
HUMAS
ASISTEN ADM.PEMBANGUNAN PEM. DESA
PENYUSUNAN PROGR.
PEREKONOMIAN
UNIT PELAKSANA WILAYAH P.M.D
SOSPOL
CASIP
MAWIL HANSIP
CABANG DINAS TINGKAT I
KEUANGAN
KEPEGAWAIAN
ORGANISASI
PERLENGKAPAN
DINAS-DINAS DAERAH
PETERNAKAN
PEK. UMUM
PARIWISATA
PENDAPATAN
KESEHATAN
PENGELOLA PASAR
PERUMAHAN
UPTD TERMINAL
INSTANSI VERTIKAL/LPND
1. KANDEP PENERANGAN
UMUM
LINGK. HIDUP
SETWAN
UPD.PERPARKIRAN
UPD.PERPUSTAKAAN
PERTANIAN T.PANGAN
L.L.A.J.
CABANG DINAS
U.P.D/B.P
2. KANDEP KESEHATAN
PDK
P.D
BP.GELANGGANG O.R. & REMAJA
AIR MINUM
KANTOR DAERAH
BPR BANK PASAR
ARSIP DAERAH
P.D.E
3. KANDEP AGAMA 4. KANDEP PERINDAG 5. KANDEP KOPERASI 6. KANDEP TENAGA
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DETASEMEN PEMADAM KEBAKARAN
KERJA 7. KANDEP DIKBUD 8. BKKBN 9. KANTOR STATISTIK
KEC.TANAH SAREAL
KEC.BOGOR UTARA
KEC.BOGOR SELATAN
KEC.BOGOR TENGAH
KEC. BOGOR BARAT
155
1. CAB.DIN.PU CIPTA KARYA 2. CAB.DIN.PU BINA MARGA 3. CAB.DIN.PU PENGAIRAN 4. CAB.DIN. PENDAPATAN 5. CAB.DIN. TENAGA KERJA 6. CAB.DIN.SOSIAL 7. CAB.DIN.PER INDUSTRIAN
ASISTEN ADM.
156 Lampiran 2: Kuisioner Penelitian. A. Data Umum 1. Keadaan fisik dan administratif wilayah Kotamadya Bogor 2. Kependudukan B. Data RTH Kota 1. Bentuk, struktur, konfigurasi RTH kota 2. Rasio dan distribusi RTH kota per wilayah dan per penduduk 3. Fungsi dan manfaat serta pola penggunaan RTH bagi penduduk C. Data Responden 1. Identitas pribadi a. Nama b. Alamat c. Lama tinggal (tahun) d. Mata pencaharian utama 2. Karakter demografis (individual) a. Jenis kelamin b. Umur (tahun) c. Pendidikan terakhir d. Keterkaitan pekerjaan dan/atau pengetahuan dengan lingkungan e. Pendapatan (Rp.) 3. Persepsi terhadap RTH 4. Pengalaman yang terkait dengan RTH 5. Kepemilikan RTH 6. Preferensi terhadap bentuk dan struktur serta ragam RTH 7. Nilai manfaat lingkungan RTH (Rp.), yang diukur dari besar keinginan seseorang untuk menyumbangkan uang bila RTH ditiadakan (WTC, willingness to contribute) a. WTC untuk RTH kawasan b. WTC untuk RTH simpul c. WTC untuk jalur hijau jalan raya d. WTC untuk jalur hijau lintas kereta e. WTC untuk jalur hijau tepi sungai f.
WTC untuk jalur hijau tepi kota
157 Lampiran 3: Data RTH Kotamadya Bogor Tabel 3.a. Prakiraan luas dari tiap bentuk RTH kota Bogor, 1999. Bentuk RTH
Luas RTH (Ha)
(Total Ha)
1. Mengelompok
(%)
531.17
10.68
a. Kawasan
396.52
7.97
b. Simpul
134.65
2.71
2. Jalur
4 444.18
a. Jalur hijau jalan raya
89.32
160.62
3.23
b. Jalur hijau lintas kereta
12.64
0.25
c. Jalur hijau tepi sungai
51.90
1.04
d. Jalur hijau tepi kota
(Total %)
4 219.02
84.80
Luas RTH Kota Total
4 975.35
100.00
Keterangan: Diolah dari Nurdin (1999).
Tabel 3.b. Distribusi RTH kota berdasarkan wilayah administratif, 1999 Sub wilayah/ Kotamadya
Luas Kota/Kec. (ha)
Luas RTH (ha)
Rasio RTH terhadap luas kota luas kecamatan Rasio Peringkat Rasio Peringkat
1. Bogor Utara
1 772
789.06
6.66
4
44.53
3
2. Bogor Selatan
3 081
1 526.65
12.88
1
49.55
2
3. Bogor Tengah
813
161.92
1.37
6
19.92
6
4. Bogor Barat
3 285
1 040.42
8.78
3
31.67
5
5. Bogor Timur
1 015
398.04
3.36
5
34.21
4
6. Tanah Sareal
1 884
1 059.26
8.94
2
56.27
1
Kotamadya Bogor
11 850
4 975.35
41.99
Sumber : Nurdin (1999), planimetrik dan verifikasi di lapangan.
Tabel 3.c. Distribusi RTH kota berdasarkan bentuk fisik, 1999. Sub wilayah/ Kotamadya 1. Bogor Utara 2. Bogor Timur
Mengelompok (%)
Jalur hijau (%)
Kawasan
Simpul
Jalan raya
Lintas kereta
Tepi sungai
0
0.05
0.58
0
0.17
Total (%)
Tepi kota 15.06
15.86
0
0.47
0.88
0
0.12
6.54
8.00
3. Bogor Selatan
2.26
0.30
0.07
0.25
0.21
27.58
30.68
4. Bogor Tengah
2.38
0.30
0.48
0
0.10
0
3.25
5. Bogor Barat
3.33
1.00
0.06
0
0.30
16.23
20.91
6. Tanah Sareal
0
0.58
1.17
0
0.15
19.38
21.29
7.97
2.71
3.23
0.25
1.04
84.79
100.00
Kotamadya
Sumber : Nurdin (1999) dan verifikasi di lapangan
158 Tabel 3.d. Distribusi RTH kota berdasarkan fungsi, 1999 Sub wilayah/ Kotamadya
Fungsi RTH Biofisik
Arsitektural
Total (%)
Sosial
1. Bogor Utara
0.17
0.58
15.11
15.86
2. Bogor Timur
0.12
1.12
6.76
8.00
3. Bogor Selatan
0.21
0.63
29.85
30.68
4. Bogor Tengah
0.73
0.49
2.03
3.25
5. Bogor Barat
1.23
0.06
19.63
20.91
6. Tanah Sareal
0.15
1.17
19.96
21.29
Kotamadya Bogor (%)
2.61
4.05
93.34
100.00
Sumber : Nurdin (1999) dan verifikasi di lapangan.
Tabel 3.f. Ketersediaan RTH per penduduk di kota Bogor, 1999 Wilayah/ Subwilayah
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Wilayah (ha)
Luas
Kepadatan Rasio Peringkat Wilayah RTH RTH (Jiwa/ha) (m2/jiwa)
1. Bogor Utara
101 463
1 772
789.06
57
77.77
3
2. Bogor Selatan
132 695
3 081
1 525.65
43
115.05
1
3. Bogor Tengah
103 973
813
161.92
128
15.57
6
4. Bogor Barat
150 088
3 285
1 040.42
46
69.32
4
5. Bogor Timur
67 263
1 015
398.04
66
59.18
5
6. Tanah Sareal
119 719
1 884
1 059.26
64
88.48
2
Kotamadya Bogor
675 201
11 850
4 975.35
57
73.69
-
RTH (ha)
Sumber : Nurdin (1999), diolah kembali, dan verifikasi di lapangan.
Tabel 3.g. Distribusi RTH kota berdasarkan status pemilikan, 1999 Sub wilayah/ Kotamadya
Kepemilikan RTH Privat
Publik
Total
(ha)
(%)
(ha)
(%)
(ha)
1. Bogor Utara
752.00
15.11
37.06
0.74
789.06
15.86
2. Bogor Timur
337.30
6.78
60.74
1.22
398.04
8.00
3. Bogor Selatan
1 384.29
27.82
142.35
2.86
1 526.65
30.68
4. Bogor Tengah
97.03
1.95
64.89
1.30
161.92
3.25
1 021.13
20.52
19.29
0.39
1 040.42
20.91
973.44
19.57
85.82
1.72
1 059.26
21.29
4 565.18
91.76
410.16
8.24
4 975.35
100.00
5. Bogor Barat 6. Tanah Sareal Kotamadya Bogor
Sumber : Nurdin (1999) dan pengamatan di lapangan.
(%)
159 Lampiran 4: Nilai Eigen Tabel 4.a : Nilai eigen RTH kawasan Eigenvalue Proporsi Kumulatif
λ1
λ2
λ3
λ4
3.4805 0.870 0.870
0.2576 0.064 0.935
0.1722 0.043 0.978
0.0897 0.022 1.000
Tabel 4.b : Nilai eigen RTH simpul Eigenvalue Proporsi Kumulatif
λ1
λ2
λ3
λ4
3.5700 0.8930 0.8930
0.2193 0.0550 0.9470
0.1284 0.0320 0.9790
0.0822 0.0210 1.0000
Tabel 4.c: Nilai eigen jalur hijau jalan raya Eigenvalue Proporsi Kumulatif
λ1
λ2
λ3
λ4
3.6888 0.922 0.922
0.1866 0.047 0.969
0.0733 0.018 0.987
0.0513 0.013 1.000
Tabel 4.d : Nilai eigen jalur hijau lintas kereta λ1
λ2
λ3
λ4
Eigenvalue
3.7347
0.1793
0.0571
0.0289
Proporsi
0.9340
0.0450
0.0140
0.0070
Kumulatif
0.9340
0.9780
0.9930
1.0000
Tabel 4.e : Nilai eigen jalur hijau tepi sungai λ1
λ2
λ3
λ4
Eigenvalue
3.6481
0.2127
0.1129
0.0262
Proporsi
0.9120
0.0530
0.0280
0.0070
Kumulatif
0.9120
0.9650
0.9930
1.0000
Tabel 4.f : Nilai eigen jalur hijau tepi kota λ1
λ2
λ3
λ4
Eigenvalue
3.6942
0.1614
0.1028
0.0417
Proporsi
0.9240
0.0400
0.0260
0.0100
Kumulatif
0.9240
0.9640
0.9900
1.0000
160 Lampiran 5: Dendrogram tiap bentuk RTH kota
D is ta nc e 1.10
0.74
0.37
0.00
O bs e rva tio ns
Gambar 5.a. Dendrogram RTH kawasan
D is tanc e 1.40
0.93
0.47
0.00
O bs ervations
Gambar 5.b. Dendrogram RTH simpul
D is tanc e 1.17
0.78
0.39
0.00
O bs ervations
Gambar 5.c. Dendrogram jalur hijau jalan raya
161
D is ta nc e 1.55
1.03
0.52
0.00
O bs e rva tio ns
Gambar 5.d. Dendrogram jalur hijau lintas kereta
D is ta nc e 1.83
1.22
0.61
0.00
O bs e rva tio ns
Gambar 5.e. Dendrogram jalur hijau tepi sungai
D is ta nc e 2.85
1.90
0.95
0.00
O bs e rva tio ns
Gambar 5.f. Dendrogram jalur hijau tepi kota
162 Lampiran 6: Jarak Antar Gerombol pada Tiap Bentuk RTH Kota Tabel 6.a. Jarak antar gerombol pada RTH kawasan G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9
G1 0.0000 5.7754 4.0475 4.7183 2.1071 3.9275 4.5013 4.7541 4.0807
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
0.0000 1.7641 3.0979 4.3192 2.7954 1.3274 2.1105 1.9539
0.0000 2.2307 2.8670 2.0443 0.7724 1.4164 1.1114
0.0000 4.4809 4.2374 2.9002 0.9981 3.3409
0.0000 1.9285 2.9949 4.0693 2.3922
0.0000 1.6538 3.4592 0.9840
0.0000 1.9781 0.6897
0.0000 2.5054
Tabel 6.b. Jarak antar gerombol pada RTH simpul G1 0.0000 4.7858
G1 G2
G2 4.7858 0.0000
Tabel 6.c Jarak antar gerombol pada jalur hijau jalan raya G1 0.0000 6.3676 5.1051 3.8461 5.4931 5.5077 3.6241
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7
G2
G3
G4
G5
G6
G7
0.0000 3.2509 4.5600 2.1997 1.3043 3.7684
0.0000 1.6935 1.0706 1.9709 1.4820
0.0000 2.6130 3.2711 0.9336
0.0000 0.9734 2.0734
0.0000 2.5252
0.0000
Tabel 6.d. Jarak antar gerombol pada jalur hijau lintas kereta G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
G10
G11
G12
G1
0.0000
G2
7.2261
0.0000
G3
2.6359
4.5903
0.0000
G4
3.0804
4.2279
0.6804
0.0000
G5
5.0150
3.9598
3.1092
2.4309
0.0000
G6
4.4800
2.7462
1.8441
1.5493
2.6553
0.0000
G7
2.7414
5.6791
2.1194
1.8278
2.4566
3.2564
0.0000
G8
4.7899
5.1802
3.5149
2.9070
1.2205
3.6262
2.0486
0.0000
G9
3.5117
4.6388
1.9062
1.3239
1.5035
2.4035
1.0819
1.6098
0.0000
G10
1.6685
6.2497
1.9706
2.6329
5.0110
3.5966
3.3240
5.1901
3.6345
0.0000
G11
2.9082
4.8067
1.2909
1.8932
4.2756
2.2801
3.3521
4.7914
3.1882
1.4975
0.0000
G12
5.5530
1.7779
2.9421
2.4952
2.4541
1.1793
3.9050
3.6329
2.8789
4.7689
3.4533
0.0000
G13
1.7937
5.8739
1.5994
1.6673
3.2298
3.2156
1.0225
3.0359
1.7275
2.3357
2.6275
4.1141
163 Tabel 6.e Jarak antar gerombol pada jalur hijau tepi sungai G1 0.0000 6.0069
G1 G2
G2 6.0069 0.0000
Tabel 6.f Jarak antar gerombol pada jalur hijau tepi kota G1 G2 G3
G1 0.0000 6.1382 3.9564
G2 6.1382 0.0000 3.3245
G3 3.9564 3.3245 0.0000
164 Lampiran 7: Median Nilai RTH Kota Berdasarkan Rincian Faktor Demografis Utama Responden pada Tiap Bentuk RTH (n=205) Tabel 7.a. Median nilai RTH kawasan Faktor Demografis Responden
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
1. Umur (tahun) a. < 15 4 875.00 63 625.00 18 625.00 32 375.00 b. 15-45 7 500.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 c. >45 7 500.00 35 000.00 15 000.00 15 000.00 2. Gender: a. Laki-laki 6 000.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 b. Wanita 7 500.00 15 000.00 15 000.00 15 000.00 3. Pendidikan a. SLTP 2 500.00 2 875.00 3 625.00 3 375.00 b. SMU 6 000.00 7 500.00 7 500.00 7 500.00 c. PT 7 500.00 62 500.00 35 000.00 35 000.00 4. Profesi * a. Terkait lingkungan 7 500.00 62 500.00 35 000.00 35 000.00 b. Tidak terkait lingkungan 7 500.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya 7 500.00 35 000.00 15 000.00 15 000.00 b. < 500 ribu 4 500.00 4 500.00 4 500.00 4 500.00 c. 500 ribu-1.5 juta 7 500.00 11 250.00 7 500.00 11 250.00 d. 1.5-2.5 juta 2 750.00 125 000.00 35 000.00 35 000.00 e. 2.5-6.0 juta 2 750.00 62 500.00 87 500.00 35 000.00 f. > 6.0 juta 62 500.00 175 000.00 125 000.00 125 000.00 Keterangan: Profesi=Pengetahuan atau latar belakang responden yang terkait dengan bidang lingkungan
Tabel 7.b. Median nilai RTH simpul Faktor Demografis Responden 1. Umur (tahun) a. < 15 b. 15-45 c. >45 2. Gender: a. Laki-laki b. Wanita 3. Pendidikan a. SLTP b. SMU c. PT 4. Profesi * a. Terkait lingkungan b. Tidak terkait lingkungan 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya b. < 500 ribu c. 500 ribu-1.5 juta d. 1.5-2.5 juta e. 2.5-6.0 juta f. > 6.0 juta
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
2 500.00 3 125.00 7 500.00
2 875.00 4 500.00 15 000.00
2 875.00 4 500.00 15 000.00
2 875.00 6 000.00 15 000.00
2 750.00 4 500.00
4 500.00 7 500.00
4 500.00 7 500.00
4 500.00 7 500.00
2 000.00 2 500.00 7 500.00
2 250.00 2 750.00 15 000.00
2 250.00 3 500.00 15 000.00
2 000.00 4 500.00 15 000.00
4 500.00 4 500.00
7 500.00 7 500.00
7 500.00 4 500.00
7 500.00 4 500.00
4 500.00 2 250.00 3 625.00 1 750.00 7 500.00 87 500.00
7 500.00 2 750.00 4 500.00 125 000.00 15 000.00 175 000.00
7 500.00 3 500.00 4 500.00 35 000.00 15 000.00 87 500.00
7 500.00 4 500.00 7 500.00 35 000.00 15 000.00 87 500.00
165 Tabel 7.c. Median nilai jalur hijau jalan raya Faktor Demografis Responden
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
1. Umur (tahun) a. < 15 4 875.00 3 375.00 2 875.00 3 375.00 b. 15-45 3 500.00 6 000.00 6 000.00 4 500.00 c. >45 7 500.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 2. Gender: a. Laki-laki 2 250.00 4 500.00 4 500.00 4 500.00 b. Wanita 7 500.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 3. Pendidikan a. SLTP 1 750.00 2 250.00 2 875.00 2 000.00 b. SMU 2 750.00 3 500.00 3 500.00 3 125.00 c. PT 7 500.00 35 000.00 15 000.00 15 000.00 4. Profesi * a. Terkait lingkungan 2 750.00 7 500.00 7 500.00 6 000.00 b. Tidak terkait lingkungan 4 500.00 7 500.00 7 500.00 4 500.00 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya 7 500.00 7 500.00 7 500.00 15 000.00 b. < 500 ribu 1 750.00 2 250.00 3 500.00 2 250.00 c. 500 ribu-1.5 juta 2 750.00 6 000.00 4 500.00 6 000.00 d. 1.5-2.5 juta 875.00 87 500.00 35 000.00 35 000.00 e. 2.5-6.0 juta 7 500.00 15 000.00 15 000.00 15 000.00 f. > 6.0 juta 35 000.00 87 500.00 35 000.00 35 000.00 Keterangan: Profesi=Pengetahuan atau latar belakang responden yang terkait dengan bidang lingkungan
Tabel 7.d. Median nilai jalur hijau lintas kereta Faktor Demografis Responden
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
1. Umur (tahun) a. < 15 3 375.00 4 875.00 4 875.00 2 500.00 b. 15-45 2 250.00 3 500.00 3 125.00 3 125.00 c. >45 4 500.00 7 500.00 7 500.00 4 500.00 2. Gender: a. Laki-laki 1 750.00 2 250.00 2 250.00 2 250.00 b. Wanita 4 500.00 7 500.00 7 500.00 4 500.00 3. Pendidikan a. SLTP 1 250.00 1 500.00 1 500.00 1 500.00 b. SMU 2 250.00 2 750.00 2 750.00 2 750.00 c. PT 4 500.00 15 000.00 7 500.00 7 500.00 4. Profesi * a. Terkait lingkungan 2 250.00 4 500.00 4 000.00 3 375.00 b. Tidak terkait lingkungan 2 750.00 4 500.00 3 500.00 3 500.00 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya 4 500.00 4 500.00 4 500.00 4 500.00 b. < 500 ribu 1 750.00 1 750.00 1 750.00 1 750.00 c. 500 ribu-1.5 juta 3 625.00 4 500.00 4 000.00 4 000.00 d. 1.5-2.5 juta 875.00 87 500.00 87 500.00 87 500.00 e. 2.5-6.0 juta 2 250.00 7 500.00 4 500.00 2 250.00 f. > 6.0 juta 35 000.00 225 000.00 35 000.00 35 000.00 Keterangan: Profesi=Pengetahuan atau latar belakang responden yang terkait dengan bidang lingkungan
166 Tabel 7.e. Median nilai jalur hijau tepi sungai Faktor Demografis Responden 1. Umur (tahun) a. < 15 b. 15-45 c. >45
Fungsi Ekonomi 2 250.00 2 750.00 7 500.00
Fungsi Biofisik 2 000.00 4 500.00 15 000.00
Fungsi Arsitektural 1 750.00 4 500.00 15 000.00
Fungsi Sosial 2 000.00 4 500.00 15 000.00
2. Gender: a. Laki-laki 2 250.00 4 500.00 3 500.00 3 125.00 b. Wanita 4 500.00 7 500.00 4 500.00 4 500.00 3. Pendidikan a. SLTP 1 750.00 1 750.00 1 750.00 1 750.00 b. SMU 2 250.00 2 500.00 2 750.00 2 750.00 c. PT 7 500.00 15 000.00 15 000.00 15 000.00 4. Profesi * a. Terkait lingkungan 3 500.00 11 250.00 6 000.00 7 500.00 b. Tidak terkait lingkungan 2 750.00 4 500.00 2 750.00 3 500.00 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya 4 500.00 4 000.00 4 500.00 4 500.00 b. < 500 ribu 2 250.00 2 250.00 2 250.00 2 250.00 c. 500 ribu-1.5 juta 3 125.00 7 500.00 4 500.00 4 500.00 d. 1.5-2.5 juta 875.00 175 000.00 62 500.00 35 000.00 e. 2.5-6.0 juta 4 500.00 15 000.00 15 000.00 4 500.00 f. > 6.0 juta 87 500.00 225 000.00 87 500.00 87 500.00 Keterangan: Profesi=Pengetahuan atau latar belakang responden yang terkait dengan bidang lingkungan
Tabel 7.f. Median nilai jalur hijau tepi kota Faktor Demografis Responden
Fungsi Ekonomi
Fungsi Biofisik
Fungsi Arsitektural
Fungsi Sosial
1. Umur (tahun) a. < 15 4 875.00 4 875.00 4 875.00 8 625.00 b. 15-45 4 500.00 4 500.00 4 500.00 4 500.00 c. >45 7 500.00 35 000.00 7 500.00 15 000.00 2. Gender: a. Laki-laki 2 750.00 4 500.00 3 500.00 4 500.00 b. Wanita 7 500.00 7 500.00 7 500.00 7 500.00 3. Pendidikan a. SLTP 2 000.00 2 500.00 2 500.00 2 250.00 b. SMU 2 750.00 3 125.00 2 750.00 3 125.00 c. PT 7 500.00 35 000.00 15 000.00 15 000.00 4. Profesi * a. Terkait lingkungan 6 000.00 25 000.00 6 000.00 7 500.00 b. Tidak terkait lingkungan 4 500.00 4 500.00 4 500.00 4 500.00 5. Pendapatan (Rp.) a. Tidak punya 7 500.00 7 500.00 7 500.00 4 500.00 b. < 500 ribu 2 250.00 2 250.00 2 250.00 2 250.00 c. 500 ribu-1.5 juta 6 000.00 7 500.00 7 500.00 7 500.00 d. 1.5-2.5 juta 2 750.00 125 000.00 35 000.00 35 000.00 e. 2.5-6.0 juta 4 500.00 15 000.00 15 000.00 3 500.00 f. > 6.0 juta 35 000.00 225 000.00 62 500.00 62 500.00 Keterangan: Profesi=Pengetahuan atau latar belakang responden yang terkait dengan bidang lingkungan
167 Lampiran 8: Korelasi antara Nilai RTH berdasarkan Tipe, Persepsi dan Pengalaman Lingkungan Responden Nonparametric correlations (Spearman's correlations) Tipe RTH Kawasan Simpul Jalur hijau jalan raya Jalur hijau lintas Kereta Jalur hijau tepi sungai Green Belt Pengalaman Kawasan Simpul Jalur hijau jalan raya Jalur hijau lintas kereta Jalur hijau tepi sungai Green Belt Pengalaman n = 205
rho Coefficient Persepsi 0.118 0.078 0.101 0.100 0.101 0.102 0.214 Sig. (2-tailed) 0.092 0.266 0.149 0.153 0.151 0.145 0.002
Pengalaman 0.018 -0.013 -0.023 -0.013 0.002 0.041 1.000 0.800 0.856 0.742 0.849 0.975 0.561 .
Nonparametric correlations (Spearman's correlations) Tipe RTH
Green Belt
Kawasan Simpul JH jalan raya JH lintas kereta JH tepi sungai Green Belt
0.831 0.866 0.873 0.894 0.899 1.000
JH Jalan Raya 0.888 0.932 1.000 0.883 0.900 0.873
Kawasan Simpul JH jalan raya JH lintas kereta JH tepi sungai Green Belt Persepsi n = 205
.000 .000 .000 .000 .000 . .145
.000 .000 . .000 .000 .000 .149
rho Coefficient JH lintas kereta 0.815 0.870 0.883 1.000 0.876 0.894 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 . .000 .000 .153
Kawasan
Simpul
1.000 0.921 0.888 0.815 0.836 0.831
0.921 1.000 0.932 0.870 0.885 0.866
. .000 .000 .000 .000 .000 .092
.000 . .000 .000 .000 .000 .266