EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA TANGERANG SELATAN
IMANIAR PUTRI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Imaniar Putri NIM A44100060
ABSTRAK IMANIAR PUTRI. Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh ALINDA FM ZAIN. Aktivitas yang terjadi di lanskap perkotaan menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Kota Tangerang Selatan merupakan kota penyangga bagi Jakarta karena lokasinya memiliki berbagai permasalahan yang belum terselesaikan. Kota hijau atau kota berkelanjutan adalah kota yang diintegrasikan dengan lingkungan lokal yang menggunakan metode keberlanjutan dalam memproduksi energi, daur ulang air, membuang sampah, dan mengurangi polusi terhadap air, lahan, dan udara. Penelitian ini bertujuan memberi penilaian terhadap lanskap kawasan perkotaan khususnya di Kota Tangerang Selatan dalam menerapkan konsep kota hijau dengan melihat peran dari pemerintah, pengembang swasta, dan masyarakat serta mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode survey lapang mengacu pada Asian Green City Index. Terdapat delapan kategori keberlanjutan dengan hasil evaluasi berupa kinerja Kota dalam menerapkan kota hijau adalah Energy and CO2 (42.40%), Land use and buildings (49.17%), Transport (51.15%), Waste (38.80%), Water (51.75%), Sanitation (47.96%), Air Quality (69%), dan Environmental Governance (66.9%). Hasil keseluruhan Kota Tangerang Selatan dalam menerapkan kota hijau adalah 52.15% dan kedudukan Kota Tangerang Selatan dalam tabel performa ada di rentang rata-rata. Tingkat kebahagiaan masyarakat diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara. Tingkat kebahagiaan masyarakat yaitu 40% sangat bahagia, 55% bahagia, dan 5% kurang bahagia. Kata kunci: asian green city index, kebahagiaan, keberlanjutan, kota hijau, lanskap perkotaan
ABSTRACT IMANIAR PUTRI. Evaluation of Green City Concept Implementation in South Tangerang City. Supervised by ALINDA FM ZAIN The activity of the urban landscape caused many environmental problems. South Tangerang City as a buffer zone of Jakarta has problems that can’t be solved yet. Green city or called as sustainable city is the city that integrated with local environment which use sustainable methods to produce energy, recycle water, dispose of waste, and reduce general pollution of water, land, and the air. This research was aimed to give evaluation towards urban landscape especially South Tangerang City in implementing green city concept by observing the role of government, developer, and society as well as measuring the happiness index of society. The methods used in the research was a survey method reffered to Asian Green City Index. There are eight categories of sustainability. The result of evaluation for each categories were Energy and CO2 (42.40%), Land use and buildings (49.17%), Transport (51.15%), Waste (38.80%), Water (51.75%), Sanitation (47.96%), Air Quality (69%), and Environmental Governance (66.9%). The overall result for South Tangerang City in applying green city was 52.15% and in the performance table the city were placed in average. The happiness index of society was derived from questionnaire and interview. Index of happiness in South Tangerang City were 40% very happy, 55% happy, and 5% less happy. Key words: asian green city index, evaluation, green city, happiness, sustainable, urban landscape
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmuah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA TANGERANG SELATAN
IMANIAR PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah mengenai konsep Kota Hijau, dengan judul Evaluasi Penerapan Konsep Kota Hijau di Kota Tangerang Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Alinda FM Zain, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan dan penyelesaian penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir Qodarian Pramukanto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak pengarahan selama mengikuti perkuliahan, serta kepada keluarga terutama mama, papa, dan adik yang telah memberikan banyak dukungan, teman–teman penulis, serta dinas–dinas dan instansi di Kota Tangerang Selatan yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data, serta seluruh pihak yang telah memberikan doa, bantuan serta dukungannya. Penulis menyadari penelitian ini jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan pihak lain yang memerlukan. Atas segala kekurangan, penulis memohon saran dan kritik yang membangun agar penulisan kedepannya dapat lebih baik.
Bogor, Agustus 2014 Imaniar Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
PENDAHULUAN
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pikir Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Permasalahan Kawasan Perkotaan
3
Kota Berkelanjutan
3
Kota Hijau
4
Green City Index
4
Energi dan CO2
4
Penggunaan Lahan dan Kepadatan
5
Transportasi
5
Sampah
5
Air
6
Sanitasi
6
Udara
6
Kebijakan Lingkungan
7
Kebahagiaan
7
METODOLOGI
8
Lokasi dan Waktu Penelitian
8
Batasan Penelitian
8
Alat dan Bahan Penelitian
9
Metode Penelitian
9
Inventarisasi
9
Analisis
12
Evaluasi
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Profil Wilayah Kota Tangerang Selatan
16
Kondisi Fisik dan Lingkungan
16
Topografi
16
Hidrologi
16
Iklim
17
Demografi
17
Sosial Masyarakat
17
Perekonomian
18
Penggunaan Lahan
18
Rencana Tata Ruang Wilayah
18
Inventarisasi
18
Aspek Kuantitatif
19
Aspek Kualitatif
19
Analisis
21
Energy and CO2
21
Land use and buildings
27
Transport
32
Waste
39
Water
44
Sanitation
50
Air Quality
52
Environmental Governance
57
Evaluasi
61
Index of Happiness
65
Green Initiatives
66
SIMPULAN DAN SARAN
70
Simpulan
70
Saran
70
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
74
RIWAYAT HIDUP
81
DAFTAR TABEL 1 Alat dan bahan penelitian 2 Data yang dibutuhkan 3 Proporsi jumlah responden 4 Baku mutu tiap indikator pada aspek kuantitatif 5 Asian Green City Index 6 Contoh performa kota 7 Luas wilayah berdasarkan kecamatan 8 Data aspek kuantitatif 9 Data aspek kualitatif 10 Aspek kuantitatif Energy and CO2 11 Aspek kualitatif Energy and CO2 12 Aspek kuantitatif Land use and buildings 13 Aspek kualitatif Land use and buildings 14 Aspek kuantitatif Transport 15 Aspek kualitatif Transport 16 Aspek kuantitatif Waste 17 Aspek kualitatif Waste 18 Aspek kuantitatif Water 19 Aspek kualitatif Water 20 Aspek kuantitatif Sanitation 21 Aspek kualitatif Sanitation 22 Aspek kuantitatif Air Quality 23 Aspek kualitatif Air Quality 24 Aspek kualitatif Environmental Governance 25 Evaluasi penerapan konsep Kota Hijau berdasarkan Asian City Index 26 Kinerja Kota Tangerang Selatan
9 9 12 13 14 15 16 19 20 22 23 27 29 32 33 39 40 44 46 50 51 53 55 57 Green 61 65
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian 2 Lokasi penelitian 3 Pengisian kuesioner 4 Solar cell Kebayoran Park Bintaro 5 Jalur pejalan kaki di BSD dan Bintaro 6 Jalur pejalan kaki di luar kawasan Pengembang 7 Jalur sepeda di Bintaro dan Alam sutera 8 Median jalan 9 Ruang terbuka hijau 10 Rusunawa Situ Gintung 11 Icon pengembang swasta 12 Stasiun Serpong dan Stasiun Jurangmangu 13 Angkutan perkotaan Kota Tangerang Selatan 14 In-Trans Alam Sutera 15 Trans Bintaro dan BSD 16 Roda Niaga Ciputat-Lebak bulus dan Kalideres-Serpong 17 Jalan tergenang dan perbaikan jalan 18 Parkir Stasiun Pondok Ranji dan Stasiun Serpong 19 Jembatan penyebrangan BSD 20 Penumpukan sampah 21 Pengolahan sampah di TPA Cipeucang 22 ITF Pondok Aren 23 TPST 3R-KSM Griya Resik 24 Produk daur ulang 25 Kegiatan Bank Sampah Melati Bersih 26 Sumur resapan 27 Polder di kawasan Bintaro Jaya 28 Situ Parigi dan gerakan bersih Situ Bungur 29 Lubang resapan biopori 30 Perbaikan kebocoran pipa 31 Penutupan permukaan daun oleh debu 32 Penanaman pohon 33 CFD Bintaro dan Serpong
2 8 15 24 24 25 25 26 28 31 31 34 34 34 35 35 37 37 38 40 41 41 43 43 44 47 47 48 49 49 53 56 56
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian 2 Batasan skoring 3 Kriteria penerapan
74 77 77
PENDAHULUAN
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Banten dan merupakan kota pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga Provinsi DKI Jakarta, selain sebagai daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Intervensi pengembang-pengembang besar seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Alam Sutera, Bintaro Jaya dan sebagainya menyumbang peran dalam meningkatnya laju pertumbuhan di Kota Tangerang Selatan. Kenaikan laju pertumbuhan yang tinggi diikuti pula dengan laju urbanisasi. Laju urbanisasi ditandai dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga muncullah berbagai permasalahan seperti meningkatnya polusi, menumpuknya sampah, kemacetan, banjir, krisis air bersih serta lingkungan perkotaan belum tertata baik. Berbagai permasalahan lingkungan yang dihadapi dunia memunculkan suatu konsep baru untuk mengatasi permasalahan iklim dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan panduan kota hijau 2013, Kota hijau merupakan suatu konsep yang sedang dicanangkan di seluruh dunia agar setiap daerah bertanggung jawab memberi kontribusi terhadap penurunan emisi karbon untuk mengurangi pemanasan global. Kota hijau merupakan kota yang ramah lingkungan dalam pengefektifan dan efisiensi sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mengsinergikan lingkungan alami dan buatan yang mengacu pada perencanaan dan perancangan kota dan berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Kota hijau merupakan suatu konsep untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan. Asian Green City Index merupakan rangkaian penelitian yang diselenggarakan oleh Economist Intelligence Unit (EIU) dalam menilai status 22 kota di Asia berdasarkan berbagai kriteria yang disesuaikan dengan kondisi Asia. Hasil penelitian yang disampaikan berupa indeks beserta green initiatives dari setiap kota. Hasil tersebut dapat membantu kota-kota di Asia untuk saling belajar menuju kota yang berkelanjutan agar menjadi lebih baik lagi dalam menghadapi tantangan lingkungan saat ini. Kota Tangerang Selatan sebagai kota baru, memerlukan aturan untuk mengembangkan kotanya agar tetap berada dalam koridor berkelanjutan. Kota yang berkelanjutan dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduknya dengan kata lain tingkat kebahagiaan masyarakat memiliki keterkaitan dengan kinerja kota dalam menerapkan konsep kota hijau. Semakin “hijau” kota, semakin bahagia masyarakat. Evaluasi terhadap penerapan konsep kota hijau di Kota Tangerang Selatan mengacu pada Asian Green City Index perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja kota dalam koridor berkelanjutan dan sejauh mana upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, pengembang swasta, dan masyarakat mewujudkan kota yang berkelanjutan serta kaitannya terhadap tingkat kebahagiaan masyarakat.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan, 1. mengidentifikasi kondisi umum dan kinerja Kota Tangerang Selatan berdasarkan 8 kategori kota hijau menurut Asian Green City Index; 2. menganalisis kondisi umum dan kinerja Kota Tangerang Selatan berdasarkan 8 kategori kota hijau menurut Asian Green City Index; 3. mengevaluasi penerapan konsep kota hijau di Kota Tangerang Selatan; dan 4. mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Tangerang Selatan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi bagi pemerintah, masyarakat, serta pengembang swasta untuk meningkatkan kinerja kota dalam menerapkan konsep kota hijau agar Kota Tangerang Selatan tidak hanya sebagai daerah penyangga bagi Ibukota DKI Jakarta namun juga sebagai kota berkelanjutan yang berbasis lingkungan dan ekologis. Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir penelitian (Gambar 1) dimulai dari melihat kondisi umum serta upaya kota dalam mencapai kota hijau. Lalu dilakukan analisis berdasarkan 8 kategori kota hijau berdasarkan Asian Green City index serta mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat .
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Kawasan Perkotaan Menurut Fuhr (1999) urbanisasi merupakan peningkatan jumlah penduduk pada suatu kota yang terjadi secara dramatis dalam dekade terakhir atau dengan kata lain suatu kondisi perubahan penggunaan lahan. Kondisi lingkungan yang semakin kritis dan memburuk disebabkan semakin cepatnya pertumbuhan dan pengembangan kota tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kemudian meningkatkan terjadinya masalah kesehatan akibat ketidakcukupan air bersih, sanitasi, drainase, dan pelayanan persampahan, rendahnya atau buruknya pengolahan limbah industri dan domestik, dan polusi udara. Hal penting yang mendasari terjadinya polusi adalah ketidaktepatan penggunaan lahan, kurangnya transportasi publik yang nyaman, kemacetan dan kecelakaan. Urbanisasi juga mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam dan pengelolaan kota yang menyebabkan terjadinya tekanan lingkungan seperti menipisnya sumberdaya air dan hutan serta terjadinya konversi lahan. Pengembangan tersebut cenderung memperburuk masalah polusi udara dan air pada kawasan perkotaan.
Kota Berkelanjutan Asas kota berkelanjutan di Indonesia berdasarkan hasil lokakarya Urban and Regional Development Institute dan Indonesia Decentralized Environment and Resource Management (Kuswartodjo 2006) adalah kota yang : 1. memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang dan pelaksanaan bersifat jangka pendek; 2. mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan upaya perwujudan keadailan sosial, kelestarian lingkungan, partisipasi masyarakat serta keragaman budaya; 3. mengembangkan dan mempererat kerjasama antar pemangku kepentingan, antar sektor dan antar daerah; 4. memelihara, mengembangkan, dan menggunakan secara bijak sumberdaya lokal serta mengurangi secara bertahap ketergantungan akan sumberdaya dari luar maupun sumberdaya yang tak tergantikan; 5. meminimilkan tapak ekologis yang ditimbulkan oleh kota serta meningkatkan daya dukung ekologis lokal; 6. menerapkan manajemen kependudukan yang berkeadilan sosial disertai dengan pengembangan kesadaran masyarakat akan pola konsumsi dan gaya hidup yang ramah lingkungan; 7. memberikan rasa aman bagi warganya dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak publik; 8. penataan hukum yang didukung oleh komitmen dan konsistensi dari aparat penegak hukum; dan 9. mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi terciptanya masyarakat belajar yang dicirikan dengan adanya perbaikan yang menerus.
4 Kota Hijau Kota hijau merupakan kota yang memiliki kualitas udara dan kualitas air yang baik, kota yang memiliki taman dan jalur yang nyaman, kota yang sigap dalam mengatasi permasalahan seperti bencana alam dan penyebaran penyakit, serta kota yang mendukung publik berperilaku “hijau” seperti menggunakan transportasi umum dan menyebabkan dampak yang relatif kecil bagi lingkungan (Kahn ME 2006). Kota hijau dibangun dengan memanfaatkan keunggulan Indonesia, yaitu iklim tropis beserta keunikan ekosistem dan budaya yang dimilikinya. Optimalisasi sumberdaya manusia, teknologi, dan jasa ekosistem memungkinkan kota dikelola secara cerdas dan berlanjut. Kota dibangun dengan memanfaatkan ruang publik yang lebih alami dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan penduduknya. Kota harus layak terhadap pejalan kaki, pengguna sepeda, manula, penyandang cacat, serta anak-anak. Implementasi Kota hijau harus berorientasi terhadap infrastruktur yang sudah ada, bukan semata pada upaya mendirikan bangunan-bangunan baru. Kota tersebut harus berwawasan global namun sekaligus dapat mempertahankan kearifan lokalnya (Joga 2013). Green City Index Green City Index merupakan rangkaian penelitian yang diselenggarakan oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Lembaga ini memfokuskan terhadap isuisu kritis dari keberlanjutan suatu lingkungan perkotaan. Green City Index memiliki beberapa kategori yaitu Energy and CO2, Land use and buildings, Transport, Water, Waste, Sanitation, Air Quality, dan Environmental Governance yang kemudian terbagi lagi menjadi 29 indikator dengan 14 indikator merupakan tipe data kualitatif dan 15 indikator merupakan tipe data kuantitatif. Rangkaian penelitian oleh EIU telah dimulai sejak tahun 2009 dan telah menilai lebih dari 120 kota di Eropa, Amerika Latin, Asia, Amerika Utara & Afrika serta tujuh kota di Australian dan Selandia Baru. Hasil penelitian menampilkan keseluruhan pengalaman kota-kota secara detil dalam mencapai kota yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. Asian Green City Index merupakan rangkaian penelitian yang dilakukan di 22 kota di Asia. Indikator yang digunakan menyesuaikan dengan kondisi umum wilayah Asia. Energi dan CO2 Konsumsi energi berbanding lurus dengan emisi CO2 yang dihasilkan Kota. Semakin tinggi konsumsi energi, semakin tinggi pula emisi yang dihasilkan. Emisi CO2 dari aktifitas pemukiman dibagi menjadi 2 yaitu emisi CO2 primer dan sekunder atau biasa disebut carbon footprint. Carbon footprint primer adalah emisi CO2 yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar di rumah tangga. Sedangkan carbon footprint sekunder adalah emisi CO2 yang dihasilkan dari penggunaan alat – alat listrik di rumah tangga (Wicaksono 2011). Menurut Suhendi (2006), sektor rumah tangga/domestik merupakan sumber emisi yang signifikan di Indonesia. Emisi dihasilkan dari penggunaan peralatan yang menggunakan listrik dan bahan bakar (minyak tanah, gas cair, gas kota) untuk keperluan rumah tangga. Emisi CO2 diperoleh dari perkalian antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan faktor emisi. Faktor – faktor yang
5 mempengaruhi konsumsi energi domestik adalah jumlah anggota keluarga, tingkat kesejahteraan, ukuran rumah, iklim, dan budaya. Dalam mereduksi emisi CO2 dapat dilakukan dengan mengurangi konsumsi energi pada bangunan rumah baru, mengurangi konsumsi energi pada bangunan rumah lama, dan pemakaian bahan bakar dengan intensitas CO2 yang rendah baik pada bangunan baru maupun lama. Penggunaan Lahan dan Kepadatan Menurut Litman (2014), pola pengembangan penggunaan lahan merujuk pada aktivitas manusia pada permukaan bumi yang terdiri atas lokasi, tipe dan desain infrastuktur seperti jalan dan bangunan. Pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh bermacam-macam, baik dari segi ekonomi maupun dari segi sosial dan lingkungan. Setidaknya dibutuhkan permukaan yang kedap air seperti (bangunan dan perkerasan) per kapita, ruang terbuka (kebun, kawasan pertanian, dan habitat alami), serta beberapa ruang tersebut bisa diakses dengan mudah. Penggunaan lahan terdiri atas dua kategori yaitu kawasan terbangun dan ruang terbuka. Kawasan terbangun terdiri atas perumahan, area komersil (pertokoan dan perkantoran), institusi (sekolah), area industri, brownfields (fasilitas yang tidak terpakai), dan fasilitas transportasi (jalan, jalur, arena parkir, dll). Sedangkan ruang terbuka terdiri atas taman, kawasan pertanian, hutan, lahan rumput, lahan yang belum dikembangkan, dan garis pantai. Kepadatan mengacu pada orang, pekerjaan, atau rumah tangga per unit dari suatu area (hektar, km2). Kepadatan dapat diukur secara terpisah maupun secara keseluruhan. Kepadatan secara umum tergabung dalam beberapa faktor penggunaan lahan seperti sifat konsentris kota, pencampuran, penghubung jalan, dan keberagaman angkutan, serta manajemen parkir yang efisien. Beberapa hal tersebut disebut compact development. Transportasi Transportasi adalah suatu kegiatan untuk memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain baik dengan atau tanpa sarana. Pemindahan ini harus menempuh suatu jalur perpindahan atau lintasan yang mungkin telah disiapkan oleh alam seperti sungai, laut, udara, dan jalur lintasan hasil kerja pemikiran manusia, misalnya jalan raya, jalan rel, dan pipa. Angkutan kota terdiri dari angkutan bus, bus mini, mikrolet, taksi, dokar, becak, bemo, dan ojek. Fungsi dari transportasi bagi masyarakat untuk mempermudah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, adanya transportasi umum dapat menjadi alternatif dari penggunaan kendaraan pribadi, namun di beberapa kota, jumlah angkutan umum yang terlalu banyak melebihi kebutuhan dapat memunculkan persoalan baru bagi transportasi kota. Terjadinya kemacetan lalu lintas dapat diakibatkan meningkatnya jumlah angkutan umum dengan jaringan trayek yang tumpang tindih serta jaringan jalan yang terbatas (Setijowarno dan Frazila 2003). Sampah Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Sampah dapat berasal dari rumah tangga, rumah sakit, industri, dan lain lain. Sampah dapat menjadi sumber penyakit yang dapat ditulari melalui hewan tertentu (Widyati dan Yuliarsih 2002). Hal-hal yang dapat diakibatkan oleh sampah selain menimbulkan penyakit yaitu menyebabkan polusi udara serta
6 menurunkan kualitas visual lanskap. Jika terjadi penumpukan sampah pada suatu titik tertentu menyebabkan ketidaknyamanan pada lingkungan sekitar sehingga harus dilakukan pengangkutan sampah serta pengolahan sampah yang tepat. Air Air merupakan substansi yang secara alami berada di bumi dalam 3 bentuk fisik diantaranya gas, cair, dan padat serta selalu mengalami pergerakan. Air memiliki sifat kimia yang unik dan bentuk fisik yang membuat air sangat diperlukan dalam kehidupan. Ketersediaan air di bumi untuk minum atau kegiatan pertanian hanya sebanyak 1%, sementara sebanyak 97% merupakan air asin yang berada di samudra, dan hanya sebanyak 3% yang merupakan freshwater. Sebanyak 68% dari freshwater berada di icecaps Antartika dan Greenland, 30% berada di tanah, dan 0.3% terdapat di permukaan seperti danau dan sungai. Lebih dari satu juta orang di seluruh dunia mengalami kesulitan akses untuk memperoleh air minum (Shakhashiri 2011). Jenis air yang dikonsumsi masyarakat terbagi atas tiga kategori berdasarkan tingkatan air yang serupa dalam mengembangkan sanitasi. Ketiga kategori tersebut adalah unimproved sumber air minum, improved sumber air minum, dan penyediaan air menggunakan saluran pipa untuk penduduk, lahan, maupun halaman. Sanitasi Sanitasi merupakan upaya pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Manfaat yang diperoleh jika sanitasi lingkungan terjaga adalah dapat mencegah penyakit menular, mencegah kecelakaan, mencegah timbulnya bau yang tidak sedap, menghindari pencemaran, dan lingkungan menjadi bersih, sehat, dan nyaman. Kota yang hijau bukan hanya kota yang memiliki infrastruktur, teknologi, maupun sarana & prasarana yang ramah lingkungan, namun juga memiliki masyarakat yang sehat dan memiliki perilaku hidup yang bersih (Widyati dan Yuliarsih 2002). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Udara Udara merupakan komponen alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga kualitasnya harus dipelihara dan ditingkatkan agar tetap berjalan sesuai fungsinya yaitu untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencemaran udara adalah masuknya zat, energi, atau komponen lain kedalam udara akibat kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu udara ambien hingga pada tingkat tertentu. Pencemaran udara dapat dikurangi dengan melakukan pengendalian baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh masyarakat (PP No.41 tahun 1999). Dalam suatu kota, kualitas udara yang baik akan memberikan dampak positif terhadap masyarakatnya. Sebagai lapisan atmosfir paling bawah, lapisan ini memiliki peran yang sangat penting bagi makhluk hidup di bumi.
7 Kebijakan Lingkungan Hampir seluruh kota memiliki lembaga atau badan resmi di pemerintahan dalam menentukan kebijakan lingkungan. Pembagian kewenangan antara hukum dan kekurangan ahli administrasi dalam menerapkan kebijakan menjadi tantangan saat ini. Pengawasan lingkungan dan penyediaan bagi publik untuk mengakses informasi lingkungan sangat penting terutama untuk wilayah dengan banyak jumlah penduduk. Keterlibatan masyarakat dan organisasi non pemerintah dalam mengelola dan mengawasi lingkungan dapat mempermudah tugas pemerintah dalam menjaga lingkungan (Denig 2011). Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang terbuka, transparan, dapat dipertanggungjawabkan oleh lembaga publik, khususnya mengacu pada efisiensi pelayanan publik, penegakan hukum berdasarkan peraturan, sektor peradilan yang efektif, menghargai hak perorangan, free press, dan struktur kelembagaan yang plural. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang baik adalah hal yang penting untuk mengurangi kemiskinan dalam pengembangan berkelanjutan. Walaupun begitu pelaksanaan kebijakan lingkungan (termasuk perjanjian multilateral), dan pengukuran kinerja lingkungan lainnya masih lemah dalam pengembangan dan peralihan pada suatu kota/negara. Saat ini muncul penekanan bahwa kebijakan pemerintah memiliki pengaruh yang kuat pada lingkungan. Penegakan hukum, hak masyarakat untuk mengakses informasi, partisipasi masyarakat dan persamaan akses dalam keadilan adalah dasar untuk mengurangi kemiskinan dan pengembangan berkelanjutan. Kebijakan lingkungan didesain dalam konteks politik. Pada beberapa kasus, kebijakan lingkungan mengukur kepentingan manusia dalam prinsip hukum seperti penegakan hukum, tranparansi dan partisipasi publik, persamaan atau lebih penting dibandingkan kebijakan lingkungan itu sendiri untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa solusi dari permasalahan lingkungan tidak cukup dengan memberlakukan pengembangan berkelanjutan saja, terdapat perhatian yang cukup tinggi kepada kebijakan pemerintah dalam mengelola tantangan lingkungan dan dampaknya (Ekbom et al. 2012). Kebahagiaan Kebahagiaan merupakan suatu aspirasi dari tingkah laku manusia dan dapat diukur menggunakan pendekatan sosial. Berdasarkan The Greater Well Being Vicotria Survey Tahun 2009, kebahagiaan merupakan bagian penting dari kesejahteraan sosial. Faktor-faktor yang menyumbang dalam kesejahteraan adalah kesehatan mental dan fisik, keseimbangan waktu, kemampuan bersosialisasi dan bermasyarakat, standar materi, budaya, kualitas pelaksanaan kebijakan, dan kualitas lingkungan. Kebahagiaan dapat diukur secara obyektif dan subyektif. Kebahagiaan secara obyektif dilakukan dengan melihat data seperti GDP, harapan hidup, kemampuan membaca, kematian, dan tingkat pendidikan sedangkan secara subyektif dilakukan dengan survey dan pengumpulan data yang terdiri atas jenis yang berbeda (Nitschke J 2008).
8
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan Penelitian dilakukan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten (Gambar 2). Sejak tahun 2008 Kota Tangerang Selatan resmi memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan merupakan kota satelit dan gerbang inti utama Kota Jakarta. Penelitian dilakukan selama enam bulan yaitu pada bulan Februari - Juli 2014.
Gambar 2 Lokasi penelitian Sumber: RTRW 2011-2031 Batasan Penelitian Batasan dari penelitian ini adalah melihat seberapa “hijau” Kota Tangerang Selatan berdasarkan 8 kategori kota hijau menurut Asian Green City Index untuk dijadikan bahan evaluasi dan melihat pengaruh pemerintah, pengembang swasta, dan masyarakat dalam mewujudkan kota hijau serta mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat di Kota Tangerang Selatan.
9 Alat dan Bahan Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan peralatan berupa hardware dan software. Tabel 1 menunjukan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapang, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung dalam penyusunan skripsi yang berasal dari studi literatur. Alat Kamera Bahan Bahan Pustaka Kuesioner
Tabel 1 Alat dan bahan penelitian Kegunaan Menggambil gambar Kegunaan Studi literatur Panduan dalam mengetahui data kualitatif dan persepsi masyarakat
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey lapang. Metode ini digunakan untuk melihat sudah sejauh mana upaya suatu kota, baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah, masyarakat, maupun pengembang swasta dalam mewujudkan kota hijau berdasarkan 8 kategori Asian Green City Index (AGCI). Tahapan penelitian terdiri atas tahap pengumpulan data atau Inventarisasi, analisis, dan evaluasi. Berikut penjelasan dari tahapan penelitian yang dilakukan. Inventarisasi Inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung ke lapang serta wawancara dengan dinas maupun instansi terkait sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka/literatur terkait informasi yang berkenaan dengan kondisi tapak dan faktor-faktor yang dapat dijadikan indikator dalam mengevaluasi konsep kota hijau. Pengisian kuesioner dan wawancara juga dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai Kota Tangerang Selatan serta mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Kota Tangerang Selatan. Adapun data yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Data yang dibutuhkan Jenis Data Bentuk Sumber Data Letak, luas, batas sekunder RTRW Kota tapak, hidrologi, iklim, Tangerang Selatan, tata guna lahan, Bappeda, BLHD demografi Index of happiness sekunder Masyarakat Kota masyarakat Tangerang Selatan
Cara Pengambilan pencitraan satelit, studi pustaka kuesioner, wawancara
10 Tabel 2 Data yang dibutuhkan (lanjutan) Jenis Data Aspek Kuantitatif Energy and CO2 Emisi CO2 Konsumsi Energi Land use and buildings Kepadatan penduduk Jumlah RTH Transport Panjang jaringan transportasi Waste Jumlah Sampah yang dihasilkan Jumlah sampah dikumpulkan Water Konsumsi air Kebocoran sistem air Sanitation Akses masyarakat terhadap sanitasi Pengelolaan limbah cair Air Quality Tingkat NO2 /hari Tingkat SO2 /hari Tingkat PM10 /hari Aspek Kualitatif Energy and CO2 Kebijakan energi bersih Kebijakan mengatasi perubahan iklim
Bentuk Data
Sumber
Cara Pengambilan
sekunder
BLHD, PLN, Pengembang swasta,
studi pustaka
sekunder
Bappeda, BLHD, DKPP,
studi pustaka
sekunder
Dinas perhubungan, Pengembang swasta,
studi pustaka
sekunder
DKPP, Pengembang swasta
studi pustaka
sekunder
PDAM, Dinas Industri & Perdagangan, Pengembang swasta BLHD, BAPPEDA, Pengembang swasta
studi pustaka
sekunder
BLHD
studi pustaka
primer, sekunder
BLHD, PLN, Pengembang swasta, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
sekunder
studi pustaka
11 Tabel 2 Data yang dibutuhkan (lanjutan) Jenis Data Land use and buildings Kebijakan “EcoBuilding” Kebijakaan penggunaan lahan Transport Kebijakan menciptakan transportasi massa Kebijakan mengurangi kemacetan Waste Kebijakan mengurangi dampak sampah Kebijakan 3R Water Kebijakan meningkatkan kualitas air Kebijakan mengenai keberlanjutan air Sanitation Kebijakan kebersihan lingkungan Air Quality Kebijakan kebersihan udara Environmental Governance Pengelolaan lingkungan Pengawasan lingkungan Partisipasi publik
Bentuk Data primer, sekunder
Sumber
Cara Pengambilan
Bappeda, BLHD, DKPP, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
primer, sekunder
Dinas perhubungan, Pengembang swasta, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
primer, sekunder
DKPP, Pengembang swasta, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
primer, sekunder
PDAM, Dinas Industri & Perdagangan, Pengembang swasta, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
primer, sekunder
BLHD, BAPPEDA, Pengembang swasta, RTRW
survey, wawancara, studi pustaka
primer, sekunder
BLHD
primer, sekunder
BLHD
survey, wawancara, studi pustaka survey, wawancara, studi pustaka
12 Index of happiness masyarakat diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan Webster’s New Collegiate Dictionary, kuesioner merupakan sekumpulan pertanyaan yang harus diisi oleh sejumlah orang tertentu untuk memperoleh data. Dalam menentukan jumlah responden, konsep yang digunakan adalah konsep Slovin. Menurut Setiawan (2007), konsep Slovin digunakan untuk menentukan ukuran sampel jika penelitian bertujuan menduga proporsi populasi. Berikut ditampilkan hasil perhitungan dalam menentukan jumlah responden di Kota Tangerang Selatan menggunakan rumus Slovin,
n merupakan ukuran sampel, N adalah ukuran populasi penduduk pada suatu kota, dan d merupakan galat pendugaan atau bisa disebut dengan tingkat eror yang dapat ditolerir. Galat pendugaan yang ditetapkan dalam menentukan sampel kuesioner di Kota Tangerang Selatan adalah 10% (0.1) sehingga diperoleh perhitungan sebagai berikut,
Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling atau cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi (Mustafa 2000). Proporsi jumlah responden di Kota Tangerang Selatan ditentukan untuk mewakili sejumlah populasi pada wilayah tertentu (area sampling). Semakin banyak jumlah penduduk tiap kecamatan, kesempatan untuk dipilih semakin besar begitu juga sebaliknya. Jumlah responden pada tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Proporsi jumlah responden Kecamatan Serpong Serpong Utara Setu Pamulang Ciputat Ciputat Timur Pondok Aren Jumlah *b=(a/c)*n
Jumlah Penduduka 128 747 113 552 63 ,737 186 744 171 ,574 291 265 274 425 1 230 044c
Jumlah Respondenb 10.46 = 11 9.23 = 9 5.18 = 5 15.18 = 15 13.94 = 14 23.67 = 24 22.3 = 22 100n
Analisis Tahapan analisis dimulai dengan melakukan pembobotan berdasarkan 2 aspek pada 8 kategori Asian Green City Index. Pembobotan pada Aspek kuantitatif menggunakan teknik normalisasi dengan nilai penerapan berada diantara nilai 0 – 1. Perhitungan yang digunakan adalah zero – max / min-max approximation. Terdapat 2 jenis data pada aspek kuantitatif yaitu data dengan ketentuan memiliki bobot semakin rendah jika mendekati baku mutu dan data
13 dengan ketentuan memiliki bobot semakin tinggi jika mendekati baku mutu. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut, a. Data dengan ketentuan memiliki bobot yang semakin rendah atau semakin buruk jika mendekati baku mutu ( )
(
)
b. Data dengan ketentuan memiliki bobot semakin tinggi atau semakin hijau jika mendekati baku mutu ( )
(
)
c. Data yang memiliki nilai minimal-maksimal dan memiliki bobot semakin tinggi atau semakin hijau jika mendekati baku mutu ( )
(
)
d. Data yang memiliki nilai minimal-maksimal dan memiliki bobot semakin rendah atau semakin buruk jika mendekati baku mutu ( )
(
)
Keluaran yang dihasilkan pada tahapan ini adalah pembobotan dari setiap indikator Asian Green City Index berdasarkan baku mutu yang telah ditetapkan (Tabel 4). Ketika nilai yang diperoleh melewati baku mutu yang ada maka bobot mengikuti nilai penerapan terendah (0) atau nilai penerapan tertinggi (1). Tabel 4 Baku mutu tiap indikator pada aspek kuantitatif Kategori Energy and CO2
Indikator Baku Mutu Emisi CO2 ≤245 410.27 Ton CO2(a) Konsumsi Energi ≤900 kwh/orang(b) Land use and Kepadatan Penduduk ≤10 000 org/km2(c) buildings Jumlah Ruang terbuka hijau ≥30%(d) Transport Jaringan Transportasi ≥0.30 km/km2(c) Waste Jumlah sampah dihasilkan ≤3075.11m3/hari(e) Jumlah sampah terkumpul ≥70%(f) Water Konsumsi Air ≤60-126.9 lt/org/hri(g) Kebocoran Sistem air ≤45%(c) Sanitation Akses terhadap sanitasi ≥20% - 100%(c) Pengelolaan limbah cair ≥10% - 100%(c) Air Quality Tingkat NO2/hari ≤150 μg / Nm3/hari(h) Tingkat SO2/hari ≤365 μg / Nm3/hari(h) Tingkat PM10/hari ≤150 μg / Nm3/hari(h) (a) (b) Sumber: Mentri ESDM 2013 dan hasil perhitungan, Mentri ESDM 2013-konsumsi energi Indonesia, (c)AGCI, (d)UU No. 26/2007, (e) SNI 19-3964-1994, (f) Permen PU No. 14/2010, (g) Standar PU (h) PP No. 41/1999
Analisis pada aspek kualitatif dilakukan secara deskriptif dan dilakukan pembobotan untuk mengukur seberapa jauh upaya yang telah dilakukan suatu kota dalam menerapkan konsep kota hijau. Pembobotan pada aspek kualitatif menggunakan metode skoring dengan kriteria sebagai berikut: 0= tidak ada aturan tidak ada penerapan 1= ada aturan belum ada penerapan/ belum ada aturan ada penerapan 2= Ada aturan dengan penerapan ≤ 50% 3= ada aturan dengan penerapan > 50%
14 Penentuan penerapan pada skor 2 dan 3 menggunakan kriteria seperti terlihat pada Lampiran 3. Hasil skoring kemudian akan dikalikan dengan bobot masing-masing indikator. Perhitungan skoring dapat dilihat sebagai berikut, ( )
(
)
Evaluasi Tabel 5 merupakan kategori dan indikator Asian Green City Index beserta bobot masing-masing indikator dan perhitungan yang digunakan. Tabel 5 Asian Green City Index Kategori Energy and CO2 Land use and buildings Transport
Waste
Water
Sanitation
Air Quality
Env. Governance
Indikator Emisi CO2 Konsumsi Energi Kebijakan energi bersih Kebijakan mengatasi perubahan iklim Kepadatan penduduk Jumlah ruang terbuka hijau (RTH) Kebijakan Eco Building Kebijakan penggunaan lahan Panjang jaringan transportasi publik Kebijakan menciptakan angkutan umum perkotaan Kebijakan mengurangi kemacetan Jumlah sampah dihasilkan Jumlah sampah dikumpulkan Kebijakan mengurangi dampak sampah Kebijakan 3R Konsumsi air Kebocoran sistem air Kebijakan meningkatkan kualitas air Kebijakan keberlanjutan air Akses masyarakat terhadap sanitasi Pengelolaan limbah cair Kebijakan sanitasi Tingkat NO2/hari Tingkat SO2/hari Tingkat PM10/hari Kebijakan udara bersih Pengelolaan lingkungan Pengawasan lingkungan Partisipasi publik
Tipe data Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kualitatif
Bobot 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 33% 33%
P* a a s s a
Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
33% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% 33% 33% 33% 25% 25% 25% 25% 33% 33% 33%
s a b s s d a
b s s b s
s s c c s a a a s s s s
*P = Perhitungan/rumus yang digunakan dalam pembobotan (lihat rumus halaman 13 poin a,b,c,d) s = Teknik skoring Hasil dari pembobotan dari setiap indikator akan disusun kedalam tabel performa yang diadaptasi dari Asian Green City Index. Tabel performa terdiri atas lima tingkatan. Setiap kategori memiliki hasil perhitungan berupa persentase nilai penerapannya. Persentase tiap kategori dikelompokkan ke dalam 5 tingkatan seperti terdapat pada Tabel 6.
15 Tabel 6 Contoh performa kota Kategori
Sangat di bawah ratarata 0-20%
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di Atas rata-rata
20-40%
40-60%
60-80%
Energy and CO2 Land use and buildings Transport Waste Water Sanitation Air Quality Environmental Governance Hasil Keseluruhan
Sangat Di atas ratarata 80-100%
Dalam tahap evaluasi juga dilakukan pengukuran Index of Happiness masyarakat Kota Tangerang Selatan. Menurut Powell dan Connaway (2004), wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan pada lingkungan informal (Gambar 3) karena suasana informal yang diciptakan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya respon bias. Tingkat kebahagiaan masyarakat diketahui melalui persepsi masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.
Gambar 3 Pengisian kuesioner Skala yang digunakan untuk melihat persepsi masyarakat adalah skala likert. Skala yang digunakan pada penelitian adalah 1 – 3 dengan ketentuan yaitu 1 tidak setuju, 2 kurang setuju, dan 3 setuju. Terdapat 20 pertanyaan pada kuesioner (Lampiran 1) sehingga diperoleh nilai minimum sebesar 20 dan skala maksimum sebesar 60. Interval skala kemudian diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut,
Tingkat kebahagiaan masyarakat yang diukur memiliki keterkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan sekitar. Berikut merupakan pengelompokan tingkatan/skala dalam penilaian Index of Happiness atau tingkat kebahagiaan masyarakat, 1) kurang bahagia (20.00 – 33.3); 2) bahagia (33.4 – 46.7); dan 3) sangat bahagia (46.8 – 60.00).
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Wilayah Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang terletak di Provinsi Banten. Sejak tahun 2008, Kota Tangerang Selatan resmi memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang. Secara geografis Kota Tangerang Selatan berada diantara 6º39’ - 6º47’ Lintang Selatan dan 160º14’ - 160º22’ Bujur Timur. Secara administartif, Kota Tangerang Selatan memiliki luas 147.19 km2 terdiri atas 7 Kecamatan, 49 Kelurahan, dan 5 desa. Persentase wilayah berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7. Kota Tangerang Selatan memiliki batas administrasi yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kota Tangerang dan DKI Jakarta, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Depok dan DKI Jakarta, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Tabel 7 Luas wilayah berdasarkan kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7
Luas (km2) 14.50 24.04 26.82 18.38 15.43 29.88 17.84 147.19
Kecamatan Setu Serpong Pamulang Ciputat Ciputat Timur Pondok Aren Serpong Utara Jumlah
Persentase 10.06 16.33 18.22 12.49 10.48 20.30 12.12 100
Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan Kondisi Fisik dan Lingkungan Topografi Kondisi topografi di Kota Tangerang Selatan sebagian besar merupakan dataran rendah, topografi relatif datar dengan kemiringan tanah rata-rata 0-3% dan ketinggian wilayah 0 – 25 m dpl. Pembagian kemiringan terdiri atas dua yaitu kemiringan antara 0-3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong, dan Kecamatan Serpong Utara sedangkan untuk kemiringan antara 3-8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu. Hidrologi Sistem hidrologi Kota Tangerang Selatan terdiri atas 2 yaitu air tanah dan air permukaan. Aliran air permukaan yang terdapat di wilayah ini adalah aliran sungai Cisadane, Sungai Angke, dan sebagian wilayah dilewati Sungai Pesanggrahan. Terdapat saluran-saluran alam yang dialiri air sepanjang tahun sebagai penampung drainase lokal. Namun, saluran semacam ini cenderung meluap pada musim hujan. Kondisi air tanah di Kota Tangerang Selatan memiliki
17 kualitas yang cukup baik sehingga banyak penduduk masih menggunakannya sebagai air bersih. Debit air tanah dangkal di Kota Tangerang Selatan berkisar antara 3 – 10 Liter/detik/km2. Air tanah ini cenderung diambil secara berlebihan di sepanjang jalan-jalan utama terutama oleh industri/pabrik. Rata-rata kedalaman air tanah di pemukiman warga adalah 5 – 10 meter. Selain itu kawasan-kawasan perumahan baru yang dikembangkan oleh pengembang swasta menggunakan pompa deepwell. Iklim Data iklim berupa temperatur udara, kelembaban udara, intensitas matahari, banyaknya curah hujan, dan kecepatan angin diambil dari Stasiun Geofisika Kelas I Tangerang. Tahun 2009, temperatur udara rata-rata di Kota Tangerang Selatan berada di antara 23.74ºC – 32.68ºC . Kelembaban udara rata-rata sebesar 79% dan intensitas matahari sebesar 53.8% (BMKG dalam MPSS 2013). Berdasarkan hasil pengukuran pada 4 (empat) stasiun pengukur air hujan, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Februari sebesar 1211.5 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari di Kecamatan Setu sebesar 392.5 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan September sebesar 11.4 mm. Demografi Jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013 mengalami penurunan dibanding tahun 2012. Pada tahun 2012 jumlah penduduk mencapai mencapai 1 355 926 jiwa dengan jumlah penduduk perempuan sebesar 671 771 jiwa dan laki-laki sebesar 684 155 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Pondok Aren dengan jumlah penduduk sebesar 319 301 jiwa (23%) dan Kecamatan Setu merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu 69 898 jiwa (5%). Pada tahun 2013 jumlah penduduk 1 230 044 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 602 584 jiwa dan perempuan 627 445 jiwa. Meskipun mengalami penurunan di wilayah kecamatan Serpong dan Serpong Utara sebesar 0.23 %, tetapi menurut Airin Rachmi Diani selaku Walikota Tangerang Selatan dalam Tempo menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan meningkat sebesar 17.5% dibanding tahun 2008 yang hanya berjumlah sekitar 1.1 juta jiwa. Sosial Masyarakat Sebagian besar penduduk Kota Tangerang Selatan beragama Islam dengan persentase sebesar 89.55%, penduduk beragama Kristen 5.66%, Katolik sebesar 3.48%, Hindu sebesar 0.26%, Budha sebesar 0.99%, Konghucu 0.03%, dan penganut kepercayaan 0.03%. Beragam mata pencaharian penduduk di Kota Tangerang Selatan terbagi atas 15.44% memiliki pekerjaan utama di sektor jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan, 0.45% di sektor pertanian, perkebunan, dan perkantoran, 4.74% di sektor industri, 13.14% di sektor perdagangan, rumah dan jasa akomodasi, dan lainnya 13.8%.
18 Perekonomian Kota Tangerang Selatan sebagai kota baru dengan letak strategis memiliki pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat. Hal ini terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dilihat dari 3 sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran, dan pendapatan. Komposisi data nilai tambah ketiganya dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan, dan sumber pendapatan. Berdasarkan BPS Kota Tangerang Selatan tahun 2012, pada tahun 2011 PDRB Kota Tangerang Selatan atas dasar harga berlaku mencapai sekitar 13 290.62 milyar rupiah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 meningkat sebesar 8.84% atau nilai PDRB mencapai 5 853.76 milyar rupiah. Beberapa tahun terakhir peranan sektor pertanian terus menurun dan peranan sektor berbasis jasa meningkat. Pada tahun 2011, sumbangan tertinggi adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran (30.78%), sektor pengangkutan dan komunikasi (15.06%), sektor industri pengolahan (14.86%), sektor jasa (14.83%), sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (12.06%), serta pertambangan dan penggalian (0.02%). Penggunaan Lahan Saat ini, Kota Tangerang Selatan memiliki lahan sawah sebesar 170 Ha yang berarti mencakup hanya 1.15% dari luas keseluruhan kota. Sementara itu, untuk lahan perkebunan memiliki luas 118.55 Ha atau mencakup 0.8% dari luas Kota Tangerang Selatan. Peruntukan lainnya berupa non pertanian, lahan kering, dan lainnya. Kota Tangerang Selatan memiliki 5 hutan kota yaitu Hutan Kota BSD, Hutan Kota Taman Tekno, Hutan Kota Graha Raya, Hutan Kota Situ Gintung, dan Hutan Kota Jombang. Rencana Tata Ruang Wilayah Berdasarkan Peraturan Daerah No.15 tahun 2011-2013, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang Selatan menjadi pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota, perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah, serta keserasian antar sektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penetapan ruang kawasan strategis kota, dan penyusunan rencana detail tata ruang Kota Tangerang Selatan. Inventarisasi Dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan diperlukan beberapa indikator yang harus dipenuhi suatu kota. Asian Green City Index (AGCI) merupakan salah satu metode untuk menentukan kinerja kota, masihkah dalam koridor “hijau” atau tidak. Terdapat 8 kategori keberlanjutan dalam menentukan status kota yaitu Energy and CO2, Land use and buildings, Transport, Waste, Water, Sanitation, Air Quality, dan Environmental Governance. Dalam AGCI, 8 kategori tersebut dibagi lagi menjadi dua aspek yaitu aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Tujuh kategori yaitu Energy and CO2, Land use and buildings,
19 Transport, Waste, Water, Sanitation dan Air Quality memiliki kedua aspek tersebut dan satu kategori yaitu Environmental Governance hanya memiliki aspek kualitatif saja. Aspek Kuantitatif Data yang terdapat dalam aspek kuantitatif merupakan data terukur dari kondisi umum di Kota Tangerang Selatan dan dapat menjadi acuan untuk menentukan upaya yang harus dilakukan jika kondisi umum di Kota Tangerang Selatan mendekati koridor tidak “hijau”. Tabel 8 merupakan data aspek kuantitatif dari tujuh kategori menurut Asian Green City Index yaitu Energy and CO2, Land use and buildings, Transport, Waste, Water, Sanitation, dan Air Quality yang diperoleh di Kota Tangerang Selatan. Tabel 8 Data aspek kuantitatif Kategori Energy and CO2 Land use and buildings Transport Waste
Water
Sanitation
Air Quality
Indikator Emisi CO2 Konsumsi Energi Kepadatan Penduduk Jumlah ruang terbuka hijau Jaringan Transportasi Publik Jumlah sampah yang dihasilkan Jumlah sampah yang dikumpulkan Konsumsi Air Kebocoran Sistem air Akses masyarakat terhadap sanitasi Pengelolaan limbah cair Tingkat NO2/hari Tingkat SO2/hari Tingkat PM10/hari
Hasil 178 255.56 Ton CO2 653.72 kwh/org 8357 org/km2
Tahun 2014
Sumber PLN
2014 2013
PLN BLHD
5 471 245 m2 = 37% 0.15 km/km2
2013
DKP, BLHD
2013
DISHUB
2767 m3/hari
2013
BLHD
444.73 m3/hari
2013
DKPP
94.21 liter/org/hari 10.14%
2012 2010
PDAM TKR PDAM TKR
93.9%
2013
BLHD
7.7%
2013
BAPPEDA
73.28 µg/Nm3/hari 63.98 µg/Nm3/hari 24.12 µg/Nm3/hari
2013 2013 2013
BLHD BLHD BLHD
Aspek Kualitatif Data pada aspek kualitatif merupakan data deskriptif mengenai upayaupaya yang dilakukan di Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Kota Tangerang Selatan. Upaya-upaya tersebut ada yang sudah mulai diterapkan, penerapannya sudah cukup baik, masih berupa rencana atau baru diterapkan dengan penerapan yang masih sedikit, dan sudah diterapkan meskipun belum masuk dalam peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan. Upaya yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 9.
20 Tabel 9 Data aspek kualitatif Kategori Energy and CO2
Land use and buildings
Transport
Indikator Kebijakan energi bersih
Kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim Kebijakan “Eco building” Kebijakan penggunaan lahan
Kebijakan menciptakan angkutan umum perkotaan
Kebijakan mengurangi kemacetan Waste
Water
Kebijakan mengurangi dampak sampah kebijakan 3R
Kebijakan dalam meningkatkan kualitas air
Kebijakan mengenai keberlanjutan air
Upaya Sosialisasi listrik pintar Penggunaan PJU solar Cell Pengembangan sistem energi grid Penggunaan token Pembuatan jalur sepeda Pembuatan jalur pejalan kaki Penyusunan Instruksi Walikota No.2 tahun 2012 Penanaman pohon
Penerapan Eco Building pada perumahan Revitalisasi Situ Peningkatan RTH Penyusunan Perda mengenai IMB Rehabilitasi saluran air/drainase Pengembangan konsep vertikal Mixed Used Development Mengembangkan sistem kereta api Pembuatan terminal dalam kota dan batas kota Pembuatan halte Pengembangan sistem angkutan massa berbasis jalan dalam kota Pengembangan sistem angkutan massa berbasis jalan yang terintegrasi Integrasi moda transportasi umum dengan angkutan lainnya Transit Oriented development Menjaga kualitas jalan Membangun sistem park & ride Pengawasan terhadap angkutan umum Pembuatan jembatan penyebrangan Pengolahan sampah di TPA Waste to energy Pembangunan TPST 3R Pembangunan Bank Sampah Memfasilitasi pemasaran produk daur ulang Pembuatan sumur resapan Pembuatan polder Instalasi pengolahan air Revitalisasi situ Fitoremediasi Pemantauan kualitas air Zoning sistem Program biopori Perbaikan pipa yang bocor Perbaikan meteran air Penggantian pipa sambungan yang korosif
21 Tabel 9 Data aspek kualitatif (lanjutan) Kategori Sanitation
Indikator Kebijakan sanitasi
Air Quality
Kebijakan dalam menciptakan udara bersih
Environmental Governance
Pengelolaan lingkungan
Pemantauan Lingkungan
Partisipasi Publik
Upaya Pembangunan MCK umum Pengembangan sistem pengolahan air limbah Pelatihan bagi pengurus KSM pengelola SANIMAS berupa pelatihan di bidang teknis, keuangan, dan manajerial Penanaman pohon Car free day Uji emisi pemantauan kualitas udara Uji emisi kendaraan bermotor Penyusunan Perda No 13 tahun 2012 Penyusunan Perwal No 8 Penyusunan UPL/UKL Penyusunan Perda no 14 tahun 2011 Penyusunan RDTR Penyusunan Perda no 3 tahun 2013 tentang pengolahan sampah Penyusunan Perda tentang penyelenggaraan kawasan pemukiman Penyusunan buku laporan-data SLHD Pendampingan bank sampah Pendampingan TPST 3R Penyusunan masterplan TPA Cipeucang Penyusunan memorandum program sektor sanitasi Penilaian Cluster Green (untuk perumahan) Organisasi peduli lingkungan (LSM, KSM, LPM) Laskar lingkungan Iuran pemeliharaan rutin Adipura Adiwiyata Penghargaan langit biru
Analisis Kondisi umum dan upaya yang telah diperoleh pada tahap inventarisasi akan dianalisis berdasarkan Asian Green City Index. Analisis dilakukan secara deskriptif dan dilakukan pembobotan tiap indikator pada aspek kuantitatif dan kualitatif. Analisis terhadap 8 kategori akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab berikut. Energy and CO2 Analisis Aspek Kuantitatif Energy and CO2 Konsumsi listrik di Kota Tangerang Selatan untuk area pelayanan Serpong, Serpong Utara, dan Setu adalah 653.72 kwh/orang. Emisi CO2 yang dihasilkan dari penggunaan listrik adalah 178 255.56 Ton CO2. Jumlah konsumsi energi
22 dan emisi CO2 beserta bobot berdasarkan Asian Green City Index dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Aspek kuantitatif Energy and CO2 Kategori Indikator Energy and Konsumsi Energi CO2 Emisi CO2
Hasil 653.72 kwh/orang
Baku Mutu ≤900 kwh/orang
Bobot 7%
178 255.56 Ton CO2
≤245 410.27 Ton CO2
6.75%
Konsumsi Energi Listrik merupakan konsumsi energi terbesar yang digunakan rumah tangga. Menurut Kepala Niaga Perusahaan Listrik Negara (PLN) Serpong (2014), untuk konsumsi listrik tidak mungkin dilakukan pembatasan karena penyediaan listrik oleh PLN mengikuti permintaan dan kebutuhan pelanggan sehingga penggunaan standar/baku mutu menggunakan Konsumsi energi Indonesia menurut Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral (ESDM) tahun 2013. Bobot yang diperoleh Kota Tangerang Selatan pada konsumsi energi diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut, (
(
)
)
Menurut data statistik PLN, terdapat sebanyak 17 686 pelanggan yang menggunakan daya 2200 watt, 22 924 pelanggan menggunakan daya 1300 watt, dan 7885 pelanggan menggunakan daya 450 watt. Berdasarkan analisis, penggunaan daya yang semakin besar akan menyebabkan semakin tingginya penggunaan listrik. Pengguna dengan daya listrik yang besar biasanya kurang mempertimbangkan penggunaan listriknya karena banyaknya konsumsi listrik yang digunakan tidak akan berpengaruh. Namun pengguna dengan daya listrik yang lebih kecil akan mempertimbangkan penggunaan listriknya karena semakin banyak menggunakan listrik bisa menyebabkan putus aliran listrik sementara. Emisi CO2 Emisi CO2 diperoleh dari perkalian antara konsumsi energi dengan faktor emisi. Dalam menentukan standar/baku untuk Emisi CO2 digunakan rata-rata konsumsi energi Indonesia berdasarkan data dari Kementrian ESDM sebesar 900 kwh/orang yang dikalikan dengan faktor emisi (0.891 kg CO2) dan jumlah penduduk area pelayanan di Kota Tangerang Selatan sehingga diperoleh baku mutu sebesar 245 410.27 Ton CO2. Pembobotan diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut, (
)
(
)
Emisi CO2 yang dihasilkan hampir mendekati baku mutu sehingga bobot yang diperoleh untuk indikator ini cukup kecil. Hal ini disebabkan konsumsi energi di Kota Tangerang Selatan cukup tinggi sehingga mempengaruhi emisi CO2 yang dihasilkan karena konsumsi energi yang semakin tinggi meningkatkan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan suatu kota (Kementrian ESDM). Emisi CO2 telah dianggap sebagai faktor utama dalam perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi masalah mendesak di dunia. Masalah energi sangat
23 melibatkan aspek sosial dan ekonomi sehingga perlu adanya integrasi ilmu pengetahuan alam dan sosial dalam mengurangi penggunaan karbon (Yao 2010). Analisis Aspek Kualitatif Energy and CO2 Dalam menghadapi perubahan iklim dan menciptakan energi bersih, dilakukan berbagai upaya baik oleh pemerintah, pengembang swasta, dan masyarakat. Analisis upaya yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Aspek kualitatif Energy and CO2 Indikator
Upaya 0
Kebijakan energi bersih (25%)
Kebijakan mengatasi perubahan iklim (25%)
Sosialisasi listrik pintar Penggunaan PJU Solar cell Mengembangkan sistem energi grid (gardu distribusi) Pembuatan jalur sepeda Pembuatan jalur pejalan kaki Pembuatan Instruksi Walikota No.2 Tahun 2012 Penggunaan token Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2 10
Penanaman pohon
Total skor Bobot nilai
3
2
Kebijakan Energi Bersih Listrik pintar merupakan suatu program pelayanan dari PLN untuk pelanggan dalam mengelola konsumsi listrik melalui meter elektronik prabayar. Sosialisasi dilakukan secara langsung tatap muka dengan petugas atau masyarakat dan dengan publikasi informasi mengenai listrik pintar di website sehingga informasi mengenai listrik pintar mudah diakses. Pemberian brosur kepada masyarakat yang akan membayar listrik, menambah daya, maupun yang akan memasang listrik merupakan salah satu bentuk sosialisasi pihak penyalur listrik agar masyarakat beralih menggunakan listrik prabayar. Penggunaan token di Kota Tangerang Selatan khususnya area pelayanan serpong masih terbilang sedikit. Berdasarkan data statistik PLN tahun 2014 dari 74 504 pelanggan, baru 19 066 atau sebanyak 25% pelanggan yang menggunakan sistem pascabayar (T). Padahal penggunaan sistem ini merupakan salah satu upaya untuk menekan penggunaan listrik yang berlebihan, selain penggunaannya lebih praktis, pelanggan dapat mengatur dan mengecek sendiri kebutuhan listriknya. Teknologi solar cell bersama dengan teknologi angin dan kekuatan air mampu menyuplai seluruh kebutuhan umat manusia akan energi pada tahun 2030 (Jacobson 2009). Teknologi solar cell merupakan sebuah hamparan semi
24 konduktor yang dapat menyerap photon dari sinar matahari dan mengkonversi menjadi listrik. solar cell banyak digunakan untuk berbagai aplikasi salah satunya pada lampu penerangan. Penggunaan teknologi solar cell sebagai sumber energi dengan Lampu light emitting diode pada penerangan umum dapat menghemat penggunaan listrik hingga 80% (Widiatmoko 2012). Meskipun penggunaan penerangan jalan umum (PJU) di Kota Tangerang Selatan sebagian besar masih menggunakan energi konvensional namun penggunaan PJU solar cell telah diterapkan pada beberapa kawasan pemerintahan, seperti Dinas Tata Kota Tangerang Selatan di Jalan Puspitek, selain itu sepanjang jalan kawasan perumahan baru di BSD sudah menggunakan PJU solar cell dan di Kebayoran Park Bintaro telah dipasang lampu penerangan taman menggunakan teknologi solar cell (Gambar 4).
Gambar 4 Solar cell Kebayoran Park Bintaro Berdasarkan Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan (1992), jalur sepeda dan jalur pejalan kaki adalah bagian dari jalan yang disediakan untuk pengguna sepeda dan pejalan kaki yang biasanya dibuat sejajar dengan lalu lintas dan harus terpisah dari jalur lalu lintas dengan menggunakan struktur fisik seperti kerebatan rel penahan (kanstin). Pembuatan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki merupakan upaya mewujudkan energi bersih, pembuatan jalur yang nyaman akan meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan sepeda dan berjalan kaki. Semakin banyak masyarakat yang beralih menggunakan sepeda dan berjalan kaki, semakin banyak pula energi yang dapat dihemat. Ketersediaan jalur pejalan kaki di Kota Tangerang Selatan terutama di luar wilayah pengembang sangat minim selain itu kondisi yang rusak, ukuran yang tidak ideal, penggunaan oleh pedagang kaki lima (PKL) dan sebagai tempat parkir menjadikan keberadaan jalur pejalan kaki menjadi kurang efektif. Jalur pejalan kaki di kawasan pengembang (Gambar 5) memiliki kondisi yang lebih baik dibanding jalur pejalan kaki diluar kawasan pengembang (Gambar 6).
Gambar 5 Jalur pejalan kaki di BSD dan Bintaro
25
Gambar 6 Jalur pejalan kaki di luar kawasan Pengembang Pengembang swasta telah berupaya dalam menciptakan jalur sepeda yang aman dan nyaman terutama di kawasan Bintaro, jalur sepeda terpisah dengan jalan raya sehingga pengguna merasa aman ketika bersepeda. Selain itu, terdapat fasilitas berupa halte pemberhentian bagi pengguna sepeda. Pada kawasan BSD, jalur sepeda masih menyatu dengan jalan raya yang hanya dibedakan dengan warna. Meski belum menyeluruh, kawasan pengembang seperti Alam Sutera mulai membuat jalur sepeda (Gambar 7) sejak akhir April tahun 2014.
Gambar 7 Jalur sepeda di Bintaro dan Alam sutera Penyediaan listrik di Indonesia terbagi atas tiga wilayah interkoneksi yaitu Paiton (Surabaya), Muara Karang (Pluit), dan Suralaya (Bali). Ketiga wilayah tersebut merupakan pembangkit listrik untuk area Sumatera, Jawa, dan Bali. Interkoneksi berarti ketika terjadi gangguan pada satu pembangkit listrik, pasokan listrik dapat digantikan sementara oleh dua pembangkit listrik lainnya. Mekanisme penyediaan listrik pada suatu kota dimulai dari pembangkit yang ditransmisikan melalui SUTET sebesar 500 kv menjadi GITET yang kemudian ditransmisikan kembali menjadi Gardu Induk sebesar 150 kv, ditransmisikan lagi menjadi Gardu Distribusi sebesar 20 kv yang akhirnya didistribusikan kepada pelanggan. Pihak PLN diluar ketiga wilayah tersebut hanya sebagai pihak penyalur listrik di suatu wilayah sehingga dalam menghemat maupun mengurangi penggunaan listrik yang berlebihan diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, serta pihak penyalur listrik. Dalam RTRW Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2031 pasal 27 yaitu, pengadaan gardu distrisbusi di seluruh wilayah kota merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak penyalur listrik untuk mencegah terjadinya kehilangan listrik dalam proses transmisi. Sistem energi grid atau gardu distribusi dengan tegangan 20 Kilovolt merupakan sistem penyaluran listrik langsung kepada pelanggan. Jumlah gardu distribusi untuk area pelayanan Serpong, Serpong Utara, dan Setu sudah mencapai 220 gardu tersebar. Selain itu, pembuatan Instruksi Walikota No.2 Tahun 2012 tentang penghematan bahan bakar minyak, listrik, dan air merupakan salah
26 satu upaya yang dilakukan untuk memonitoring dan mengevaluasi penggunaan energi di Kota Tangerang Selatan. Kebijakan dalam Mengatasi Perubahan Iklim Penanaman pohon merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam mengurangi emisi CO2 terutama pada titik-titik yang padat kendaraan. Penanaman pohon pada median dan pinggir jalan bisa mengurangi polusi udara yang timbul dari kendaraan. Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah melakukan penanaman 20 000 pohon di ujung tol rawa buntu, penanaman pohon di median jalan, dan pinggir jalan. Jenis tanaman yang digunakan sebagian besar sudah berdasarkan penggunaan misalnya untuk mengurangi dampak polusi. Meski begitu penanaman pohon masih belum menyeluruh karena masih ada daerah padat kendaraan yang belum ditanami pohon. Selain itu pada median jalan terlihat pohon ditanam menggunakan media (pot) dan ukuran median jalan yang terlalu kecil (Gambar 8).
Gambar 8 Median jalan Berkurangnya CO2 di udara oleh pohon dan tanaman bisa terjadi karena pohon dan tanaman lainnya melakukan fotosintesis atau proses pembuatan makanan dengan CO2 di atmosfir, air, cahaya matahari dan sedikit elemen yang terkandung dalam tanah. Prosesnya menghasilkan gas berupa oksigen yang dibutuhkan manusia untuk bernafas. Manfaat pohon lainnya adalah dapat menangkap atau menjerap partikel pencemar (debu, abu, serbuk sari, dan asap) yang dapat membahayakan sistem pernapasan manusia, menyerap CO2 dan gas berbahaya dan mengubahnya menjadi oksigen, dan menghasilkan oksigen untuk 18 orang setiap harinya per acre. Kehilangan pohon di kawasan perkotaan selain dapat menyebabkan terjadinya urban heat island akibat hilangnya naungan dan evaporasi juga dapat menyebabkan hilangnya penyerap karbon dan penjerap polusi udara terbaik (Maryland DNR). Suhu dapat dikurangi dengan melakukan pengurangan jumlah permukaan perkerasan yaitu dengan meningkatkan jumlah permukaan hijau (green surface). Setiap 10% peningkatkan green surface dapat menurunkan suhu hingga 10ºC. terdapat hubungan yang kuat antara mengurangi suhu dengan kepadatan penanaman. Penanaman pohon dapat meningkatkan kenyamanan pada ruang luar. Bayangan di bawah pohon dapat menurunkan suhu 5-20ºC, hal ini disebabkan pohon dapat mengurangi cahaya matahari langsung menyentuh tanah dan evapotranspirasi terjadi melalui daun (Roo 2011).
27 Land use and buildings
Analisis Aspek Kuantitatif Land use and buildings Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka kemungkinan terjadinya urban sprawl akan semakin tinggi pula sehingga perencanaan dan pengembangan kota harus dilakukan secara tepat dalam menampung jumlah penduduk yang banyak tanpa menyebabkan permasalahan lingkungan. Kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013 mencapai 8357 orang/km2 dan untuk jumlah ruang terbuka hijau di Kota Tangerang Selatan sebesar 37% dari luas wilayah yang terdiri atas taman kota, ruang terbuka biru (RTB), saluran air, hutan kota, dan area rekreasi. Kepadatan penduduk dan jumlah ruang terbuka hijau dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Aspek kuantitatif Land use and buildings Kategori Land use and buildings
Indikator Kepadatan penduduk (25%) Jumlah ruang terbuka hijau (25%)
Hasil 8357 org/km2 5 471 245 m2 : 37%
Baku Mutu ≤10 000* org/Km2 ≥30%**
Bobot 4.12% 25%
Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Selatan memiliki kepadatan penduduk sebesar 8357 2 org/km . Kota Tangerang Selatan dapat dikatakan sebagai kota dengan kepadatan penduduk tinggi, hal ini terlihat dari hasil perhitungan yang hampir mendekati baku mutu kepadatan penduduk menurut Asian Green City Index. Pada Asian Green City Index, baku mutu untuk indikator kepadatan penduduk adalah 10 000 orang/km2 sehingga diperoleh perhitungan sebagai berikut, (
)
(
)
Nilai ini menjelaskan bahwa Kota Tangerang Selatan merupakan kota dengan penduduk yang cukup padat karena kepadatan penduduk hampir mencapai baku mutu. Jika tidak ada penanganan dari berbagai pihak, tidak dapat dihindari terjadinya urban sprawl. Urban sprawl atau peluberan kawasan merupakan berkembangnya kawasan perkotaan secara menyebar melebihi wilayah geografisnya, memenuhi kawasan terpencil di pinggir kota (www.pearlandish.org). Kota Tangerang Selatan sebagai kota baru, saat ini sudah termasuk dalam klasifikasi Kota Metropolis. Kota Metropolis berarti Kota Tangerang Selatan merupakan kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa yaitu mencapai 1 230 044 jiwa. Jumlah penduduk yang tinggi memang memiliki manfaat dalam menambah pendapatan daerah kota akan tetapi dampak lain yang bisa ditimbulkan dari kota metropolis ini adalah kurang berfungsinya kota sebagai katalisator pembangunan wilayah, kertimpangan kota semakin parah, dan tertinggalnya kota-kota menengah dan kota kecil (Rum 2011). Banyaknya intervensi pengembang swasta di Kota Tangerang Selatan memunculkan konsep berbeda-beda di tiap area. Beberapa pengembang swasta berlomba-lomba dalam mengembangkan konsep “green” dan memaksimalkan jumlah orang yang dapat ditampung dalam perencanaan dan perancangan wilayahnya. Masuknya pengembang swasta memunculkan konsep
28 Mixed Used dan konsep vertikal di Kota Tangerang Selatan untuk menekan dampak negatif dari tingginya kepadatan penduduk. Wilayah yang tidak dimasuki pengembang swasta masih memiliki pola penyebaran yang horizontal, kepadatan ditunjukan dengan jarak antar rumah yang berdempet-dempetan dan tidak beraturan termasuk rumah-rumah yang berada tepat di pinggir jalan. Jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008, manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah) dan manfaat tidak langsung yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). Tujuan penyelenggaraan RTH adalah menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, dan meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. Kota Tangerang Selatan memiliki RTH (Gambar 9) yang tersebar sepanjang sempadan sungai dan pada taman/hutan kota baik yang dibuat oleh pemerintah daerah maupun oleh swasta. Selain meningkatkan kualitas visual kota, ruang terbuka hijau berfungsi untuk menyerap air hujan. Pemilihan vegetasi yang tepat dapat mengurangi polusi udara yang ditimbulkan oleh asap kendaraan, kegiatan rumah tangga, hingga industri. Vegetasi tersebut dapat menyerap dan menjerap polusi. Sejak tahun 2011, Kota Tangerang Selatan terus berupaya dalam meningkatkan RTH. Dalam rentang waktu 3 tahun, RTH di Kota Tangerang Selatan telah meningkat hingga 12%, yaitu 9% pada tahun 2011, 18% pada tahun 2012, dan 21% pada tahun 2013. Jumlah RTH hingga tahun 2014 meningkat hingga mencapai 37%. RTH di Kota Tangerang Selatan terdiri atas taman kota seluas 2 367 800 m2, hutan kota seluas 1 283 700 m2, area rekreasi seluas 20 500 m2, ruang terbuka biru (situ) seluas 958 200 m2, dan saluran air seluas 656 545 m2.
Gambar 9 Ruang terbuka hijau Mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan RTB, sungai, drainase, serta area lindung lainnya yang dapat diakses oleh masyarakat. Jumlah RTH di Kota Tangerang Selatan cukup tinggi yaitu sebesar 5 471 245 m2 dan target RTH
29 seharusnya di Kota Tangerang Selatan adalah 4 415 700 m2 sehingga diperoleh perhitungan sebagai berikut, ( (
) )
Total RTH di Kota Tangerang Selatan adalah 5 471 245 m2. Hasil yang diperoleh adalah 1.23 melebihi rentang maksimum bobot yaitu 0-1 sehingga untuk ruang terbuka hijau memiliki bobot sebesar 25%. Tingginya tingkat RTH tidak lepas dari campur tangan pengembang yang terus berkomitmen dalam penataan dan perencanaan wilayahnya masih mempertimbangkan keberadaan RTH. Meski memiliki persentase RTH yang tinggi namun untuk kebutuhan ruang terbuka tiap orang masih sebesar 4.44 m2 per orang. Setidaknya dengan jumlah penduduk mencapai 1.2 juta jiwa diperlukan minimal 42 m2 per orang (adaptasi perhitungan Kementrian PU). Analisis Aspek Kualitatif Land use and buildings Menurut Hastuti dan Sulistyarso (2012), peningkatan kualitas kota dapat dilakukan dengan membentuk RTH pada kawasan perkotaan. Pembentukan RTH di perkotaan antara lain meningkatkan mutu lingkungan perkotaan agar lebih nyaman, segar, indah, dan bersih sehingga dapat menciptakan keseimbangan lingkungan alam yang berguna untuk masyarakat. Upaya yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Aspek kualitatif Land use and buildings Indikator
Upaya 0
Kebijakan “Eco Penerapan Eco building” (25%) perumahan Total skor Bobot nilai Kebijakan penggunaan lahan (25%)
Building
pada
Revitalisasi situ Peningkatan RTH Rehabilitasi saluran air/drainase Konsep vertikal Mixed Used Development Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
1 7
Kebijakan “Eco Building” Penerapan Eco Building di Kota Tangerang Selatan sudah masuk dalam oleh pengembang. Pada kawasan BSD, sasaran untuk perumahan yang baru dibangun tahun 2010. Konsep Eco Building baru diterapkan dan direncanakan oleh beberapa pengembang swasta seperti Bintaro Jaya dan BSD. Tipe dan konsep dari Eco Building yang diadaptasi oleh pengembang terutama di kawasan Bintaro Jaya yaitu, 1. health care (penggunaan cat tidak beracun, pemanfaatan biotank, penggunaan grease trap, optimalisasi penggunaan vegetasi);
30 2. earth care (pemilihan bahan bangunan, pemilihan material carport, biopori, roof garden); dan 3. energy care (optimalisasi pencahayaan & sirkulasi udara, penggunaan elemen air, sistem gravitasi roof tank, alumunium foil, dan pohon peneduh). Meskipun pengembang swasta memiliki komitmen dalam menerapkan konsep Eco Building akan tetapi jika pengguna tidak ikut berpartisipasi dalam memelihara, konsep tersebut akan percuma. Contohnya untuk roof garden, pengembang di Bintaro membangun roof garden di setiap perumahan namun ketika di cek, pemilik rumah tidak melakukan perawatan pada roof garden miliknya sehingga kondisinya tidak bisa disebut sebagai roof garden lagi, beberapa pengguna mengubahnya menjadi perkerasan. Padahal dalam pembangunan roof garden membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Contoh lainnya yaitu dalam pembuatan biopori, pengembang tidak ingin kalau masyarakat tidak ikut berpartisipasi sehingga pengembang hanya menyediakan alat untuk membuat biopori pada setiap rumah dan membiarkan pemilik rumah bertanggung jawab terhadap pembuatan dan perawatan lubang biopori. Lubang biopori membutuhkan perawatan yang baik karena jika tidak, dapat menyebabkan penggenangan air yang bisa menjadi sarang nyamuk. Konsep eco building yang dikembangkan oleh BSD disebut Eco-property. Hal paling utama yang dilakukan adalah dengan menghadirkan banyak pepohonan di kawasan komersial dan perumahan. Pembangunan kawasan tersebut mengacu pada panduan Green Council. Kebijakan Penggunaan Lahan Revitalisasi situ merupakan suatu proses yang dilakukan dalam mengembalikan fungsi situ yang telah rusak atau luasnya menyusut. Revitalisasi bertujuan meningkatkan tangkapan air yang dapat meminimalisasi terjadi banjir. Hingga saat ini Kota Tangerang Selatan sudah mengajukan usulan dan sudah disetujui oleh Dirjen Sumberdaya Air Kementrian Pekerjaan Umum mengenai revitalisasi Situ Legoso, Situ Ciledug, dan Situ Sasak Tinggi. Rencananya pada tahun berjalan (2014) revitalisasi Situ Legoso akan dilaksanakan. Revitalisasi Situ Ciledug dan Situ Sasak Tinggi telah dilakukan pada tahun 2012 sehingga sudah dapat menampung debit air yang lebih tinggi pada musim penghujan. Selain itu situ yang telah direvitalisasi dapat memberikan nilai tambah misalnya menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat sekitar. Rehabilitasi saluran air merupakan kegiatan pemulihan dengan cara memperbaiki saluran air agar kembali sesuai dengan fungsi awalnya. Rehabilitasi juga dapat dilakukan dengan memperlebar maupun memperdalam saluran air. Rehabilitasi saluran air bertujuan mengendalikan terjadinya banjir. Saat ini pemerintah Kota Tangerang Selatan telah melakukan rehabilitasi saluran air yang ada di Kelurahan Serua Indah, Ciputat, Pondok Betung, Pondok Cabe Udik, Pondok Kacang Barat, Kademangan, Muncul, dan Buaran. Konsep vertikal merupakan konsep perencanaan ke atas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan hunian yang terbatas. Konsep ini merupakan upaya yang dilakukan dalam menekan kepadatan penduduk agar tidak terjadi urban sprawl. Konsep ini tertuang dalam pembangunan rumah susun dan apartemen. Saat ini pihak pengembang Bintaro Jaya akan membangun sebuah apartemen di sebelah Bintaro Ex-change. Selain itu, Rusunawa Situ Gintung (Gambar 10) sudah dibuka untuk umum sejak tahun 2013 namun tercatat hingga maret 2013
31 dari kapasitas 74 kamar baru terisi 20 kamar. Hal ini disebabkan akses masih sulit menuju rusunawa tersebut.
Gambar 10 Rusunawa Situ Gintung Sumber: google.com Mixed Use Development merupakan suatu pengembangan produk properti yang terdiri dari produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Konsep Mixed used menjawab kebutuhan optimalisasi lahan dalam pengembangan produk properti (Panduan Kota Hijau). Mixed used memungkinkan suatu penggunaan lahan berupa perumahan, komersial, dan industrial berada pada satu lokasi yang terintegrasi dan terfasilitasi oleh transportasi berupa angkutan umum, jalur sepeda dan pejalan kaki, dan meningkatnya potensi ketetanggaan. Mixed used development dapat meningkatkan vitalitas ekonomi selain itu dapat memunculkan rasa aman karena meningkatnya jumlah orang di jalan dan ruang terbuka (www.healthyplaces.org.au). Mixed used merupakan suatu pendekatan penggunaan dan pengembangan lahan yang mulai dikembangkan di United States sejak tahun 1960. Pada tahun 1990, mixed used development dilengkapi berbagai fitur atau fasilitas sehingga disebut “smart growth” atau “new urbanism”. Fasilitas tersebut meliputi kawasan pejalan kaki, jaringan jalan yang saling terhubung, akomodasi seluruh mode transportasi, dan hubungan positif antara bangunan dan jalan, penekanan pada desain bangunan, dan penggunaan lahan yang lebih efisien (Colorado Springs Mixed Use Development Design Manual).
Gambar 11 Icon pengembang swasta Sumber: google.com Pemerintah Kota Tangerang Selatan memberi kesempatan pada investor untuk menanamkan modal dan mengembangkan wilayah Kota Tangerang Selatan sehingga sudah terdapat konsep mixed used development di Kota Tangerang Selatan yang dikembangkan oleh swasta (Gambar 11) yaitu BSD City (Sinarmas Land), Alam Sutera (Alam Sutera Realty), dan Bintaro Jaya (Jaya Real property). BSD City (Sinarmas Land) didirikan pada tahun 1989 memiliki konsep yang mengintegrasikan antara kebutuhan rumah yang nyaman, ruang bisnis, belanja, pendidikan, dan rekreasi untuk memberikan lingkungan yang sehat dan lebih baik untuk hidup (www.bsdcity.com). Bintaro (PT Jaya Real Property Tbk) merupakan
32 salah satu pengembang di Kota Tangerang Selatan selain BSD dengan konsep pengembangan kawasan pemukiman yang terpadu dan berkesinambungan dengan beragam produk untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Konsep yang diusung adalah kawasan mandiri seluas 2000 ha dengan berbagai produk perumahan dan komersial yang didukung oleh fasilitas pendidikan, rekreasi, pelayanan kesehatan serta jaringan transportasi yang terintegrasi dan terhubung dengan seluruh bagian Jabodetabek. Alam Sutera Realty Tbk merupakan anak perusahaan dari grup Argo Manunggal yang bergerak di bidang properti, didirikan pada tahun 1993 dan memiliki konsep yang sama seperti kedua pengembang yang yaitu menawarkan konsep pemukiman kasawan yang terpadu. Transport
Analisis Aspek Kuantitatif Transport Rata-rata panjang jaringan transportasi publik di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Aspek kuantitatif Transport Kategori Transport
Indikator Panjang jaringan transportasi publik (33%)
Hasil 0.15 km/km2
Baku Mutu ≥0.3 Km/Km2
Bobot 16.15 %
Panjang Jaringan Transportasi Publik Dalam mengembangkan sistem transportasi, Kota Tangerang Selatan telah menggunakan angkutan berbasis transportasi masa. Hal ini dapat terlihat dalam RTRW Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2031. Transportasi masa yang dikembangkan berupa angkutan kota (angkot), bis, dan jalur kereta api 2 jalur. Total panjang lintasan angkutan umum perkotaan 524 km (24 trayek) dengan ratarata 0.15 km/km2. Perhitungan dapat dilihat sebagai berikut, (
)
Hal yang mendasari permasalahan antara penyedia jasa angkutan dan pengguna angkutan adalah, penyedia angkutan ingin menyediakan jaringan transportasi sependek mungkin untuk menekan biaya produksi dan pengguna ingin menggunakan jaringan transportasi dengan jarak sejauh mungkin untuk mengurangi waktu/biaya perjalanan (Van Nes 1999). Nilai 0.15 km/km2 berarti bahwa setiap panjang lintasan 0.15 km terdapat angkutan umum yang berbeda melintasi jalur yang sama atau terjadi overlap yaitu terdapat 2-3 trayek pada panjang lintasan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan tidak efektifnya keberadaan angkutan umum dan kemacetan jika jumlah angkutan umum terus meningkat. Selain itu, perilaku supir angkutan umum yang menunggu penumpang dimana saja dalam waktu yang lama (ngetem) dan panjang lintasan yang pendek menyebabkan masyarakat menghindari untuk menggunakan angkutan umum dan lebih memilih menggunakan kendaraan beroda dua (motor) karena lebih efektif.
33 Analisis Aspek Kualitatif Transport Kota yang nyaman memiliki kualitas transportasi yang baik dan mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi. Kota Tangerang Selatan sebagai kota satelit harus mampu menciptakan transportasi yang nyaman dan dapat mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat. Upaya yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Aspek kualitatif Transport Indikator
Upaya 0
Kebijakan dalam menciptakan angkutan umum perkotaan (33%)
Kebijakan dalam mengurangi kemacetan (33%)
Mengembangkan sistem kereta api Pembuatan terminal dalam kota dan batas kota Pembuatan halte Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan dalam kota Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang terintegrasi Integrasi moda transportasi umum dengan angkutan lainnya Transit Oriented Development Total skor Bobot nilai Menjaga kualitas jalan Membangun sistem Park & Ride Pengawasan terhadap angkutan umum yang ngetem Pembuatan jembatan penyebrangan Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
10 7
Kebijakan dalam Menciptakan Angkutan Umum Perkotaan Kota berkelanjutan adalah kota yang menghasilkan sampah paling sedikit dan paling banyak melakukan konservasi. Hal terpenting adalah menciptakan sistem untuk menghubungkan orang-orang dengan sumber pekerjaannya seperti bis dan kereta api dibanding menggantikannya dengan sistem single atau penggunaan kendaraan pribadi. Dalam skala nasional, manfaat pengembangan kereta api menurut PT KAI adalah menekan kerusakan jalan raya sehingga menghemat keuangan negara, menekan kepadatan lalu lintas sehingga meminimalkan pemborosan konsumsi BBM, minimalisasi biaya angkutan dan distribusi logistik nasional, dan optimasi kapasitas angkut. Kota Tangerang Selatan hingga saat ini sudah memiliki 5 stasiun kereta api yaitu, Stasiun Serpong, Stasiun Jurangmangu (Gambar 12), Stasiun Rawa Buntu, Stasiun Sudimara, dan Stasiun Pondok Ranji. Meskipun stasiun belum terdapat di seluruh kecamatan dan belum terintegrasi dengan angkutan umum namun sistem kereta api sudah menggunakan sistem dua jalur dan memiliki
34 tempat parkir di setiap stasiun. Integrasi moda transportasi umum dengan angkutan lainnya seperti kereta api dengan bis belum diterapkan secara menyeluruh dan baru merupakan suatu rencana. Di luar area Stasiun Kereta Api Serpong terdapat bis pusaka jurusan Tangerang dan Bogor namun tidak ada terminal khusus untuk kendaraan tersebut parkir sehingga untuk mengangkut penumpang supir angkutan tersebut berhenti di pinggir jalan.
Gambar 12 Stasiun Serpong dan Stasiun Jurangmangu Koordinasi yang dilakukan antara pihak pengembang dengan Dinas Perhubungan untuk menciptakan angkutan perkotaan yaitu dalam hal perizinan. Meskipun memiliki konsep tersendiri, pengadaan transportasi oleh pengembang tidak boleh lepas dari koridor Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan. Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan dalam kota (Gambar 13) seperti tertera dalam RTRW Kota Tangerang Selatan meliputi koridor Ciputat-Pamulang–Setu, koridor Pamulang-Pondok Aren–Serpong, dan koridor Ciputat-Pondok Aren sudah diterapkan di Kota Tangerang Selatan. Koridor yang menghubungkan antara koridor dalam kota terutama di kawasan pengembang swasta terlihat dengan adanya angkutan In-Trans di kawasan Alam Sutera, dan In-Trans di kawasan Bintaro. In-Trans di wilayah Alam Sutera (Gambar 14) memiliki armada sebanyak 4 buah.
Gambar 13 Angkutan perkotaan Kota Tangerang Selatan
Gambar 14 In-Trans Alam Sutera Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang terintegrasi dengan sistem angkutan umum masal Jabodetabekpunjur meliputi koridor Serpong – Tangerang, koridor Serpong – Bogor, koridor Setu - Ciputat - Lebak
35 Bulus, koridor BSD - Ratu Plaza, koridor BSD - Pasar Baru, koridor BSD Mangga Dua, dan koridor Bintaro – Ratu Plaza sudah diterapkan di Kota Tangerang Selatan. Angkutan perkotaan umum yang disediakan oleh pengembang swasta yaitu Trans Bintaro (Gambar 15) yang mulai beroperasi pada 20 April 2014 dan Trans BSD. X-Trans yang diberlakukan oleh pengembang swasta merupakan layanan angkutan umum yang memiliki slogan point to point atau ontime shuttle yaitu konsep keberangkatan tepat waktu tanpa melihat jumlah penumpang yang ada. Hal ini terlihat dari jadwal keberangkatan setiap 20 menit sekali. Jadwal operasi Trans Bintaro dimulai dari pukul 05.45 hingga 19.10 sedangkan Trans BSD dimulai dari pukul 05.30 hingga 18.50. Jika konsep ontime shuttle dikembangkan pada seluruh jenis angkutan perkotaan, bukan tidak mungkin masyarakat akan beralih menggunakan angkutan umum. Selain X-Trans terdapat jenis angkutan dengan ukuran sedikit lebih besar dibanding angkutan kota lainnya yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan yaitu roda niaga (Gambar 16). Selain itu, jarak tempuh jenis angkutan ini jauh lebih panjang dibandingkan angkutan perkotaan lainnya.
Gambar 15 Trans Bintaro dan BSD
Gambar 16 Roda niaga Ciputat-Lebak bulus dan Kalideres-Serpong Sumber: google.com Dalam meningkatkan dan mengembangkan transportasi masa sebagai alternatif dari penggunaan kendaraan pribadi, Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan telah merencanakan beberapa program diantaranya, pengadaan halte, pengembangan dan peningkatan sarana prasarana transportasi publik yang terpadu dan terkendali. Pekerjaan pengadaan halte di Kota Tangerang Selatan baru akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2014. Saat ini, keberadaan dan penggunaan halte belum menyeluruh di Kota Tangerang Selatan. Terminal merupakan gagasan dari kementrian perhubungan, agar suatu kota dapat terhubung dengan mudah dengan kota lain. Terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum yaitu tempat untuk naik turun penumpang dan atau bongkar
36 muat barang, untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat pemberhentian intra dan antarmoda transportasi. Penyelenggaraan terminal berperan menunjang tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang aman, cepat, teratur serta biaya yang terjangkau oleh masyarakat (Setijowarno, Frazila 2003). Saat ini, Kota Tangerang Selatan baru memiliki dua terminal kendaraan penumpang umum yaitu Terminal Pondok Cabe dan Terminal BSD. Penentuan tipe terminal dilihat dari jenis layanan, ketersediaan sarana dan prasarana, serta luas lahan. Berdasarkan anggaran dan rencana induk lalu lintas angkutan jalan tahun 2014 baru akan dilakukan rehabilitasi Terminal Pondok Cabe yang merupakan terminal tipe A. Terminal Pondok Cabe merupakan lahan terminal yang terlantar selama 13 Tahun. Larangan pengoperasian bus antarkota di Terminal Lebak Bulus terkait pembangunan MRT membuat Terminal Pondok Cabe kembali dilirik sebagai alternatif tempat parkir bus. Berdasarkan panduan kota hijau Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti Busway/Buss Rapid Transportation (BRT), Kereta api kota/Mass Rapid Transportation (MRT), Kereta api ringan/Light Rapid Transportation (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan kaki/sepeda sehingga dengan demikian perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Tempat perhentian angkutan umum mempunyai kepadatan yang relatif tinggi dan biasanya dilengkapi dengan fasilitas parkir, khususnya parkir sepeda. TOD di Kota Tangerang Selatan baru merupakan rencana. Kebijakan dalam Mengurangi Kemacetan Menjaga kualitas jalan merupakan upaya dalam mengurangi kemacetan. Menjaga kualitas jalan dilakukan dengan melakukan pembagian penggunaan jalan menurut bobot kendaraan dan jenis jalan, pengawasan dan pemberian sanksi pada pengguna jalan yang tidak seharusnya, melakukan pelebaran drainase ketika terjadi pelebaran jalan, serta memperbaiki jalan yang rusak. Memperbaiki jalan yang rusak selain sebagai upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas juga merupakan upaya dalam mengurangi kemacetan. Jalan dengan kondisi yang baik akan memperlancar arus lalu lintas. Jika jalanan rusak, arus lalu lintas kendaraan akan tersendat dan menyebabkan kemacetan. Selain perbaikan jalan yang rusak, perbaikan saluran air juga perlu dilakukan karena jika jalan sudah diperbaiki dan saluran air masih tersumbat, air akan menggenang di jalan yang menyebabkan jalan akan rusak kembali. Upaya perbaikan sudah dilakukan namun belum menyeluruh dan terdapat pengerjaan perbaikan jalan yang tersendat (Gambar 17). Hingga saat ini masih ada kendaraan berukuran besar melewati jalan yang tidak seharusnya seperti yang terjadi di Jalan Raya Serpong, hal ini selain menyebabkan kemacetan juga dapat mengurangi umur jalan. Pengawasan dan pemberian sanksi belum tegas dilakukan, masih ada petugas yang melakukan pungutan liar terhadap supir sehingga masih saja ada kendaraan berukuran besar melewati jalur yang tidak seharusnya. Mengatasi hal ini, kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan akan memberi sanksi tegas pada pegawai yang melakukan pungutan liar dan akan melakukan rotasi pegawai.
37
Gambar 17 Jalan tergenang dan perbaikan jalan Park & ride merupakan suatu skema yang dikembangkan pada awal tahun 70-an sebagai upaya dalam mengurangi kemacetan lalulintas dengan menfasilitasi orang-orang untuk menggunakan bis atau kendaraan umum lain yang lebih ramah lingkungan (Council for Protection of Rural England-CPRE). Park & ride adalah sistem yang memungkinkan pengguna memarkirkan kendaraan pribadinya kemudian melanjutkan menggunakan angkutan umum seperti kereta dan bis. Park & ride dapat mengurangi terjadinya kemacetan akibat penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan. Jika transportasi nyaman, tempat parkir disediakan, bukan tidak mungkin masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding menggunakan kendaraan pribadi. Selain lebih hemat tenaga, biaya yang dikeluarkan pun dapat ditekan. Saat ini sistem park & ride baru terdapat pada stasiun kereta api (Gambar 18) dan dapat mengakomodasi 2 jenis kendaraan seperti mobil dan motor. Selain itu keberadaan tanaman penaung/pergola belum menyeluruh dan tempat parkir belum bisa menampung seluruh kendaraan pengguna kereta api contohnya pada Stasiun Sudimara dan Rawa Buntu, masih terlihat kendaraan parkir di luar area stasiun.
Gambar 18 Parkir Stasiun Pondok Ranji dan Stasiun Serpong Sumber: google.com Upaya yang telah dilakukan Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan mengurangi kemacetan adalah membatasi jumlah armada angkutan umum dengan melarang penambahan armada angkutan umum kecuali untuk revitalisasi. Saat ini sudah terdapat 2103 angkutan umum di Kota Tangerang Selatan namun masih ada daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum. Selain itu masih ada beberapa trayek angkutan umum yang membatasi waktu operasional sampai jam 17.00 sehingga di wilayah tertentu terjadi kesulitan akses pada malam hari. Jika tidak menggunakan kendaraan pribadi, alternatif yang digunakan adalah menggunakan ojek atau taksi. Upaya lain yang dilakukan untuk mengurangi kemacetan adalah dengan melakukan pengawasan terhadap angkutan umum yang “ngetem”, pengawasan dilakukan oleh petugas lapangan pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat pagi
38 dan sore hari. Tindakan yang dilakukan dapat secara persuasif dan tegas. Persuasif berarti dalam memperlancar arus lalu lintas, petugas lapang hanya memberi teguran saja. Tindakan tegas dilakukan ketika tindakan persuasif tidak efektif pada angkutan umum yang dimaksud dengan cara memberhentikan kendaraan dan memeriksa kelengkapan surat. Jika surat tidak lengkap maka akan dilakukan penilangan terhadap kendaraan tersebut. Kenyataannya di lapang, hal ini belum efektif. Demi mengejar setoran harian, masih banyak angkutan umum yang ngetem sembarangan tanpa memperhatikan tindakannya menyebabkan kemacetan dan petugas lapang belum bisa secara tegas menindaklanjuti tindakan pengemudi angkutan umum tersebut. Pembuatan jembatan penyebrangan (Gambar 19) merupakan upaya dalam mengurangi kemacetan karena dapat meminimalisasi terganggunya aktivitas kendaraan akibat aktivitas manusia. Saat ini keberadaan jembatan penyebrangan belum secara menyeluruh di Kota Tangerang Selatan. Terdapat 20 jembatan penyebrangan di Kota Tangerang Selatan yaitu 17 jembatan penyebrangan terletak di Kecamatan Serpong dan Serpong Utara, 1 di Ciputat, dan 2 di Bintaro Jaya (BPS 2013). Jembatan penyebrangan memiliki kondisi yang cukup baik akan tetapi kurang dapat digunakan pada malam hari karena minimnya ketersediaan lampu penerangan. Penggunaan jembatan penyebrangan pada beberapa titik sudah efektif, artinya pengguna selalu menggunakan jembatan penyebrangan untuk menyebrang contohnya jembatan penyebrangan di Kecamatan Serpong dan Serpong Utara. Meski sebagian besar jembatan penyebrangan berfungsi dengan baik namun kesadaran akan kebersihan jembatan penyebrangan kurang diperhatikan, contohnya terlihat banyak sampah berserakan di jembatan penyebrangan BSD.
Gambar 19 Jembatan penyebrangan BSD Dalam memenuhi fungsi jalan, Dinas Perhubungan yang memiliki kewenangan dalam menentukan titik rambu lalu lintas, marka jalan, halte, serta pengembangan jalan yang terpola. Hal ini juga merupakan upaya dalam mengatur lalu lintas untuk mengurangi kemacetan yang terjadi di Kota Tangerang Selatan. Manajemen rekayasa lalu lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. Saat ini Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan telah melakukan manajemen rekayasa lalu lintas pada empat lokasi.
39 Waste
Analisis Aspek Kuantitatif Waste Sampah yang tidak bisa ditangani dengan bijak dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi kota dari segi kesehatan maupun kualitas visual kota. Kondisi sampah di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Aspek kuantitatif Waste Kategori Waste
Indikator Jumlah sampah yang dihasilkan Jumlah sampah yang dikumpulkan
Hasil 2767.60 m3/hari 16%
Baku Mutu ≤3,075.11 m3/hari ≥70%
Bobot 2.75% 5.5%
Jumlah Sampah yang Dihasilkan Jumlah sampah yang dihasilkan Kota Tangerang Selatan adalah 2767.60 m3/hari. Jumlah tersebut masih terbilang tinggi karena hampir mendekati baku mutu yang telah ditetapkan. Baku mutu diperoleh dari perhitungan timbulan sampah menurut SNI 19-3964-1994. Asumsi tiap orang menghasilkan 2.5 liter per hari sehingga dengan jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan 1,230,044 diperoleh baku mutu sebesar 3075.11 m3/hari. Adapun perhitungan dapat dilihat sebagai berikut. (
)
Nilai tersebut menjelaskan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan Kota Tangerang Selatan masih tinggi hal ini bisa diakibatkan belum dilakukanya pengolahan secara maksimal untuk menekan jumlah sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga seperti pemilahan sampah yang dapat di daur ulang dan tidak dapat dapat di daur ulang serta belum seluruh masyarakat mendaur ulang sampahnya. Terdapat beberapa kendala seperti ketersediaan waktu, niat, dan keterampilan dalam mendaur ulang sampah. Jumlah Sampah yang Dikumpulkan Jumlah armada pengangkut sampah yang dimiliki Dinas Kebersihan, pertamanan, dan pemakaman (DKPP) Kota Tangerang Selatan berjumlah 64 armada dengan jumlah kendaraan pick up sebanyak 35 dan Amroll sebanyak 29. Sepanjang tahun 2013 efektifitas pengangkutan sampah oleh DKPP hanya 13% atau 360.73 m3 per hari. Pada tahun 2014, efektifitas pengangkutan sampah oleh DKPP meningkat menjadi 557.22 m3 per hari di bulan Januari dan 609,43 m3 per hari pada bulan Februari. Kurangnya armada pengangkut sampah serta jumlah SDM pengelola sampah di Kota Tangerang Selatan menyebabkan terjadinya penumpukan sampah (Gambar 20) di beberapa titik tertentu. Pengembang swasta seperti Bintaro, mengangkut sendiri sampahnya. Kurang lebih ada 12 armada pengangkut sampah dengan kapasitas 8 m3 per armada per harinya sehingga dalam satu hari dapat mengangkut 84 m3 sampah di kawasan Bintaro.
40
Gambar 20 Penumpukan sampah Persentase jumlah sampah yang dikumpulkan Kota Tangerang Selatan diperoleh dari hasil bagi antara jumlah sampah yang dikumpulkan (444 m3) dengan jumlah sampah yang dihasilkan (2767 m3) sehingga diperoleh persentase sebesar 16%. Bobot jumlah sampah yang dikumpulkan diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut,
Nilai ini membuktikan bahwa masih rendahnya tingkat pelayanan Kota Tangerang Selatan dalam pengangkutan sampah. Menurut buku data SLHD tahun 2013, DKPP telah melayani pengangkutan sampah sebanyak 173 469 rumah tangga, sedangkan sebanyak 60 632 rumah tangga masih belum bisa terlayani atau masih melakukan penimbunan sampah. Kesadaran masyarakat dalam mengumpulkan sampah juga masih dikatakan rendah serta kebiasaan membuang sampah sembarangan masih dilakukan. Terlihat dari penyumbatan oleh sampah pada drainase tertutup dipinggir jalan yang kemudian menyebabkan tergenangnya air. Analisis Aspek Kualitatif Waste Dalam mengatasi masalah persampahan di Kota Tangerang Selatan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Upaya tersebut dapat dilihat dalam Tabel 17. Tabel 17 Aspek kualitatif Waste Indikator
Upaya
Kebijakan mengurangi dampak sampah (25%) Kebijakan 3R (25%)
Pengolahan sampah di TPA Waste to Energy Total skor Bobot nilai
0
TPST 3R Pemasaran produk daur ulang Bank sampah Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
4 5
Kebijakan Mengurangi Dampak Sampah Keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) di Kota Tangerang Selatan dapat mengurangi terjadinya timbunan sampah di beberapa lokasi. Berdasarkan
41 Undang-undang No.18 tahun 2007 TPA harus memiliki luas minimal 8 hektar, luas TPA Cipeucang saat ini baru 5.16 hektar. Selain itu harus memiliki aksesibilitas yang baik, saluran drainase, tempat pengolahan atau kolam penampungan air lindi, dan tidak menyebabkan dampak pada lingkungan sekitar (bau). Terdapat dua tempat pengolahan sampah yang ada di Kota Tangerang Selatan yaitu TPA Cipeucang (Gambar 21) dan intermediate treatment facility (ITF) Pondok aren. TPA Cipeucang berada di Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu. Metode pengelolaan sampah menggunakan metode sanitary landfill untuk mengurangi potensi gangguan (bau) yang timbul. TPA Cipeucang sudah dilengkapi dengan prasarana jalan yang memadai, prasarana drainase yang berfungsi mengendalikan atau memperkecil limpasan air hujan yang masuk ke timbunan sampah, dan fasilitas penanganan lindi. Proses penanganan air lindi di TPA Cipeucang menggunakan unit proses anaerobik, unit proses fakultatif, dan unit proses maturasi. Meski sudah menggunakan sistem sanitary landfill akan tetapi belum mampu mengurangi dampak bagi lingkungan sekitar, masih tercium bau dari tempat pembuangan akhir. Hal ini mungkin disebabkan jumlah tanah urugan yang digunakan untuk menimbun sampah tidak sebanding dengan sampah yang ada di TPA.
Gambar 21 Pengolahan sampah di TPA Cipeucang Sumber: DKPP Kota Tangerang Selatan ITF merupakan suatu proyek pengolahan persampahan perkotaan dengan menggunakan sistem tertutup. Sampah organik yang dikumpulkan akan disimpan dalam suatu bunker. Sampah yang sudah diolah kemudian akan menjadi pupuk organik dan gas yang dapat dimanfaatkan. ITF Pondok Aren (Gambar 22) merupakan tempat pengolahan sampah yang baru dibangun pada tahun 2013 dan merupakan proyek percontohan di Indonesia. Adanya ITF diharapkan dapat memperpanjang umur TPA Cipeucang karena bisa menampung sampah organik hingga 6 – 7 ton setiap harinya. Pada tahun 2014, rencananya ITF ini akan mulai dijalankan.
Gambar 22 ITF Pondok Aren Sumber: Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Teknologi Waste to energy merupakan suatu teknologi yang bisa mengkonversi sampah menjadi berbagai bentuk bahan bakar sebagai penyedia
42 energi. Meski begitu, mengubah sampah menjadi energi memerlukan biaya yang cukup besar dan terbatas pada jenis sampah yang dapat digunakan secara efisien, hanya beberapa yang memiliki nilai ekonomi saat ini. Terdapat 3 alternatif teknologi yang dapat digunakan yaitu secara fisik, suhu, dan secara biologis (Lux researh 2007). Waste to energy di Kota Tangerang Selatan baru merupakan rencana dan sedang dikembangkan di Kota Tangerang Selatan. ITF sendiri akan menerapkannya pada proses pengolahan sampah. Meski masih sangat sedikit, beberapa pengurus TPST 3R ada yang sudah mengetahui dan mensosialisasikan cara mengubah sampah organik ini menjadi gas yang bisa digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti pengganti LPG. Kebijakan 3R (reduce, reuse, recycle) Dalam meningkatkan akses pelayanan persampahan, Pemerintah Kota Tangerang Selatan melakukan pengadaan alat-alat seperti bak amrol dan tong sampah namun dari target 55 buah sejak tahun 2010-2014, baru terpenuhi sebanyak 11. Penyediaan tempat sampah yang ideal seharusnya terdapat pada jarak 50 m (Xavier et al. 2011). Panjang jalan Kota Tangerang Selatan adalah 539 707.49 m, dengan asumsi tiap 50 m harus tersedia tempat sampah, jumlah tempat sampah yang harus ada di Kota Tangerang Selatan adalah sekitar 10 000 tempat sampah. Pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu 3R (TPST 3R) merupakan salah satu upaya meningkatkan pengelolaan persampahan di Kota Tangerang Selatan. Adanya TPST 3R di setiap kelurahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan sampah. Selain itu, adanya TPST 3R dapat memperpanjang umur TPA Cipeucang sebagai tempat pemrosesan sampah terakhir di Kota Tangerang Selatan karena sampah yang masuk ke TPA merupakan sampah residu yaitu sampah yang tidak bisa diolah dan berbahaya jika dibakar. Hingga tahun 2012 telah terbangun sebanyak 25 TPST 3R dan pada tahun 2013 dibangun 15 lokasi baru sehingga total TPST 3R yang dimiliki Kota Tangerang Selatan ada 40. Jika melihat RTRW Kota Tangerang Selatan, jumlah tersebut masih kurang 14 TPST 3R karena penyediaan TPST 3R direncanakan ada pada tiap kelurahan. TPST 3R tersebut dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang telah diberikan pelatihan mengenai teknis, keuangan, dan manajerial. Dalam mendukung kelancaran operasional TPST 3R, disediakan juga peralatan pendukung seperti alat pencacah, pengayak, dan gerobak motor sampah. KSM merupakan kelompok masyarakat yang bergerak dalam organisasi sosial, kepengurusan merupakan tanggung jawab setiap rukun tetangga (RT). Hibah yang diterima untuk pengelolaan KSM dari Dinas Tata Kota sebesar 534 juta. Hibah tersebut kemudian dibangun menjadi TPST 3R. Pelatihan bagi pengurus KSM pengelola TPST 3R dilakukan untuk memberi keterampilan bagi pengurus mengenai cara pengolahan sampah yang seharusnya di TPST 3R. Pelatihan baru dilakukan sebanyak 15 kali tersebar di 7 kecamatan. KSM Griya Resik (GR) merupakan TPST 3R percontohan dan merupakan pilot project dari berkembangnya TPST 3R di Kota Tangerang Selatan. Komitmen pengurus, kepala RT, dan masyarakat yang tinggi untuk menyelesaikan permasalahan sampah menjadikan KSM GR (Gambar 23) masih tetap ada hingga sekarang. KSM GR sudah berdiri selama lima tahun dengan jumlah pengurus 9 orang, operator 2 orang, dan pernah mendapat kunjungan dari Jerman dan
43 Australia. Pengangkutan sampah dilakukan setiap hari. Dalam merangkul warga, pihak pengurus selalu melakukan sosialisasi rutin setiap tiga bulan sekali namun kegiatan seperti pengajian dapat menjadi media dalam melakukan sosialisasi. Meskipun telah dilakukan sosialisasi, masih saja ada warga yang tidak memilah sampahnya. Padahal pemilahan sampah di rumah tangga dapat mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Kurang lebih baru sekitar 60% dari 350 rumah tangga yang memilah sampahnya.
Gambar 23 TPST 3R-KSM Griya Resik Alat-alat yang terdapat di KSM GR adalah pencacah kompos, pencacah organik, pengayak, dan motor roda tiga. Bentuk tanggung jawab dan kerjasama KSM GR dengan RT dan RW yaitu memberikan laporan kepada warga mengenai biaya pemasukan dan pengeluaran (transparan) karena sebagian besar biaya pengelolaan berasal dari iuran warga yaitu Rp 12 000 /bulan/kk. Dalam memilih operator pun, KSM GR melakukan seleksi terlebih dahulu selain itu KSM GR memiliki konsultan yang mengawasi yaitu konsultan bina sosial ekonomi terpadu. Timbal balik yang diperoleh pemerintah adalah jumlah sampah residu yang masuk ke TPA ± 20%. Pengadaan mesin pengolah sampah organik di Kota Tangerang Selatan ditujukan bagi KSM yang melakukan pengolahan sampah di TPST 3R. Hingga saat ini pengadaan mesin pengolah sampah organik di Kota Tangerang Selatan sudah tersebar sebanyak 40 buah tersebar di 40 kelurahan. Saat ini yang aktif mengerjakan kerajinan daur ulang sampah adalah Bank Sampah Melati Bersih Villa Inti Persada, Pamulang Timur. Dalam memasarkan produk kerajinan tangan daur ulang sampah, pihak Melati Bersih sudah menjalin kerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dengan keikutsertaan dalam setiap kegiatan pameran yang ada. Kendala yang dihadapi adalah animo masyarakat masih rendah untuk membeli produk kerajinan daur ulang (Gambar 24), selain itu harga produk masih terbilang tinggi sehingga diperlukan dukungan dan sinergitas dari berbagai pihak, termasuk kebijakan dari pemerintah dan anggota legislatif.
Gambar 24 Produk daur ulang Sumber: Bank Sampah Melati Bersih
44 Bank sampah merupakan suatu wadah penampungan sementara dari masyarakat untuk mengumpulkan sampah yang masih memiliki nilai pakai. Sampah yang terkumpul di bank sampah akan dijual kepada pengepul dan uang penjualan diberikan kepada warga sesuai dengan tabungan sampah mereka. Sejak tahun 2002 hingga Juni 2014 jumlah bank sampah di Kota Tangerang Selatan menurut BLHD terdapat 88 bank sampah dari target pembangunan 1000 bank sampah di Kota Tangerang Selatan. Terdapat beberapa komunitas yang membina sejumlah bank sampah di Kota Tangerang Selatan yaitu Melati Bersih, Airaditas, dan pemerintah daerah.
Gambar 25 Kegiatan Bank Sampah Melati Bersih Sumber: Bank Sampah Melati Bersih Bank Sampah Melati Bersih merupakan bank sampah yang berada di bawah naungan Yayasan Bunga Melati Indonesia yang didirikan di Pamulang pada Tahun 2002. Melati Bersih merupakan lembaga pemberdayaan masyarakat yang bersifat nirlaba dan merupakan suatu gerakan untuk mengajak, memotivasi, dan mengedukasi masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkunganya melalui wadah bank sampah. Hingga saat ini terdapat 26 bank sampah di bawah binaan melati bersih. Melati Bersih memiliki tanggung jawab dalam memonitor bank sampah binaanya, termasuk data nasabah, jumlah sampah yang tertimbang, serta membantu dalam memecahkan permasalahan. Water
Analisis Aspek Kuantitatif Water Air merupakan kebutuhan mendasar bagi makhluk hidup. Manusia menggunakan air untuk minum, mandi, masak, mencuci, dan lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2006 mengatur tentang Standar Kebutuhan Pokok Air Minum adalah kebutuhan air sebesar 10 meter kubik/kepala keluarga/bulan atau 60 liter/orang/hari dan konsumsi air bersih berdasarkan keperluan menurut Departemen Pekerjaan Umum adalah 126.9 liter/orang/hari sehingga untuk baku mutu ditetapkan baku mutu minimal adalah 60 liter/orang/hari dan baku mutu maksimal adalah 126.9 liter/orang/hari. Konsumsi air dan kebocoran sistem air dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Aspek kuantitatif Water Kategori Water
Indikator Hasil Konsumsi air 94.21 liter/org/hari (25%) Kebocoran sistem 10.14% air (25%)
Baku Mutu Bobot 60 – 126.9 12.25% liter/org/hari ≤45% 19.5%.
45 Dalam konsumsi air, Kota Tangerang Selatan menggunakan dua sumber yaitu air tanah dan air permukaan oleh perusahaan daerah air minum (PDAM). Pemanfaatan air tanah di Kota Tangerang Selatan dibagi berdasarkan 5 kelompok, yaitu sosial/non niaga, niaga kecil, industri kecil & menengah, niaga besar, dan industri besar. Terjadinya pengambilan air tanah oleh kelompok tersebut disebabkan wilayah pelayanan PDAM masih sangat terbatas dan belum bisa menjangkau seluruh lokasi perusahaan, industri, dan pemukiman. Selain itu tarif menggunakan air tanah masih lebih murah dibanding menggunakan PDAM yaitu 2630 m3 (DISPERINDAG 2013). Tarif air PDAM yang berlaku saat ini untuk kategori R1 pengambilan 0-30 m3 adalah 2900/m3. Pengambilan air tanah terkadang tidak terkontrol, masih ada masyarakat yang mengambil air tanah tanpa memiliki izin dan tidak membayar berdasarkan harga air baku yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Penggunaan air tanah yang berlebihan nantinya dapat menyebabkan krisis air tanah dan mengganggu keseimbangan alam. Sehingga diharapkan adanya teknologi pengolahan air permukaan di seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan dan tidak hanya mengandalkan dari air tanah. Konsumsi Air Diketahui jumlah konsumsi air oleh PDAM Tirta Kerta Raharja (TKR) yang terdapat di Kota Tangerang Selatan adalah 94.21 liter/org/hari dengan baku mutu 60 liter/orang/hari hingga 126.9 liter/orang/hari sehingga untuk mengetahui persentase penggunaan air dilakukan perhitungan sebagai berikut, (
)
(
)
Nilai ini menunjukan tingkat konsumsi air di Kota Tangerang Selatan masih dalam batas normal. Dalam memenuhi konsumsi air di Kota Tangerang Selatan sebagian besar pengembang swasta seperti BSD, Alam Sutera, Bintaro, dan lainnya di Kota Tangerang Selatan sudah menggunakan air permukaan (PDAM) dan menghindari penggunaan air tanah untuk penyediaan air di wilayahnya. PDAM TKR menjalin kerjasama untuk curah dengan mitra kerja swasta yaitu PT. BSD City, PT Alfa Goldland Realty, dan PT Jaya Real Property. Kerjasama curah, berarti pengembang hanya bertindak sebagai penyalur air kepada warga karena belum memiliki pengolahan air. Pengolahan yang dilakukan pengembang berupa sistem pengendapan dengan menampung air yang kemudian disalurkan kepada pelanggan. Kebocoran Sistem Air Tingkat kehilangan air oleh PDAM TKR mengalami penurunan dari 22% di tahun 2009 menjadi 10.4% di tahun 2010 (PDAM TKR). Hal ini menunjukkan keseriusan pihak PDAM dalam mengatasi kehilangan air yang terjadi menjadi di bawah ambang batas yang diperbolehkan. Tingkat kehilangan air/kebocoran sistem air yang diperbolehkan menurut Asian Green City Index adalah 45% sehingga diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut, (
)
(
)
46 Nilai ini menunjukan bahwa tingkat kebocoran masih di bawah baku mutu. Kebocoran yang terjadi biasanya disebabkan rusaknya meteran air sehingga penggunaan air oleh masyarakat tidak terukur, beban yang terlalu tinggi pada pipa, dan kemungkinan terjadi penyumbatan pada pipa (PDAM TKR). Analisis Aspek Kualitatif Water Air merupakan elemen penting yang menunjang kehidupan manusia. Air yang semakin tercemar dan penggunaan yang tidak efisien dapat menyebabkan terjadinya krisis air bersih. Dalam meningkatkan kualitas air dan keberlanjutan air yang efisien, Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan perusahaan penyedia air telah melakukan berbagai upaya. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Aspek kualitatif Water Indikator
Upaya 0
Kebijakan dalam meningkatkan kualitas air (25%)
Kebijakan mengenai keberlanjutan air (25%)
Pembuatan sumur resapan Pembuatan polder Instalasi pengolahan air Revitalisasi situ Fitoremediasi Pemantauan kualitas air Total skor Bobot nilai Program biopori Zoning sistem Perbaikan pipa yang bocor Perbaikan meteran air Penggantian pipa sambungan yang korosif Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
9
5
Kebijakan Meningkatkan Kualitas Air Pembukaan lahan untuk perkebunan, pengembangan kawasan perkotaan, dan lahan kosong membawa substansial yang dapat meningkatkan jumlah pengendapan di sungai. Pengendapan ini terdiri atas nutrien dan bahan kimia yang bisa mengkontaminasi manusia, persediaan air, dan mengganggu habitat air seperti ikan (tempat bertelur dan berlindung ketika musim kemarau panjang). Hal yang paling mendasar dari akibat yang ditimbulkan adalah menurunnya kualitas air (Price dan Lovett 2002). Kualitas air bergantung pada kekuatan dari aliran arus dan perpaduan antara air permukaan dan air tanah. Kegiatan pengerukan tanah dan perlakuan lainnya pada tanah dapat mengubah sistem hidrologi, dalam hal ini mengurangi kemampuan dalam mengalirkan polutan. Meningkatkan kualitas air tidak cukup hanya dengan menghilangkan limbah dan ketersediaan CSO di air namun juga dapat dilakukan pengerukan atau pembuatan lubang-lubang udara (Bloomberg 2008).
47 Pembuatan sumur resapan (Gambar 26) berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh dari atap rumah maupun permukaan kedap lainnya. Manfaat sumur resapan yaitu sebagai cadangan air bersih, mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah/mengurangi terjadinya banjir, mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah, mengurangi erosi dan sedimentasi sehingga menghindari terjadinya keruh pada air, menahan intrusi air laut, mencegah penurunan tanah, dan dapat mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah sehingga kualitas air tanah dapat meningkat (Kementrian Lingkungan Hidup-KLH). Pemerintah Kota Tangerang Selatan memiliki target 30 000 sumur resapan namun karena minimnya lahan dan harga lahan yang semakin tinggi, hingga Maret 2013 pemerintah Kota Tangerang Selatan baru bisa membangun 125 sumur resapan dari 7 Kecamatan.
Gambar 26 Sumur resapan Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh embankment/ timbunan atau tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan, yang berarti tidak ada kontak dengan air dari daerah luar selain yang dialirkan melalui perangkat manual (Widiyanto 2010). Polder di kawasan perumahan Bintaro Jaya (Gambar 27) berfungsi sebagai tempat penampungan air sementara dari limbah rumah tangga melalui saluran/pipa yang terdapat di samping polder. Ketika terjadi over flow, akan langsung dialirkan ke sungai. Pihak pengembang kawasan bintaro (PKB) merencanakan akan melakukan fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang secara biologi yang memanfaatkan tumbuhan atau mikroorganisme yang dapat berasosiasi untuk mengurangi polutan lingkungan baik pada air, tanah dan udara yang diakibatkan oleh logam atau bahan organik. Tanaman yang bisa digunakan adalah eceng gondok akan tetapi hingga saat ini belum terlihat adanya penanaman eceng gondok di polder yang terlihat hanya semak-semak yang tumbuh liar dan pihak PKB belum memiliki teknologi untuk mengolah air yang ada di polder sebelum dialirkan ke sungai.
Gambar 27 Polder di kawasan Bintaro Jaya
48 Berdasarkan RTRW tahun 2010-2030, akan diadakan empat unit Instalasi pengolahan air (IPA) yaitu di Kecamatan Pondok Aren, Ciputat Timur, Pamulang, dan Serpong. Hingga saat ini baru terdapat satu IPA di Serpong dengan kapasitas produksi air sebanyak 3000 liter/detik namun. Selain itu berdasarkan data PDAM TKR tahun 2012, sebagian besar IPA digunakan untuk melayani kebutuhan air Jakarta yaitu sekitar 80%. Pemantauan kualitas air sungai di Kota Tangerang Selatan dilakukan di beberapa titik sampel oleh BLHD. Pada tahun 2013 pemantauan kualitas air sungai dilakukan 26 sampel meliputi Sungai Kranggan, Cisalak, Cirompong, Jaletreng, Kali Angke, Kali Baru, Kali Ciledug, Kedaung, Kali Pesanggrahan, dan Kali Legoso. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air sungai oleh BLHD diperoleh hasil bahwa sumber pencemar utama di sungaisungai disebabkan oleh aktivitas domestik dan hanya sedikit pengaruh dari kegiatan industri. Pemantauan kualitas air situ belum dilakukan namun ketika dilakukan pemantauan di 9 situ yang ada di Kota Tangerang Selatan, secara visual kondisi situ mengalami kerusakan dan pencemaran. Kerusakan berupa semakin menyusutnya luas situ, tertutupnya perairan situ oleh gulma air, dan tidak terawatnya sempadan situ. Pencemaran terjadi karena adanya buangan dari daerah pemukiman dan perumahan di sekitar situ (SLHD 2013). Bersih-bersih situ merupakan kegiatan menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan situ. Kegiatan bersih-bersih situ tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan namun juga koordinasi dengan LSM dan warga. Pada bulan Juni 2014 telah dilakukan kegiatan membersihkan Situ Parigi. Terlihat kondisi situ Parigi dipenuhi sampah (Gambar 28). Selain Situ Parigi, kegiatan bersih-bersih situ ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 di beberapa situ seperti Situ Ciledug, Situ Gintung, Situ Sasak Tinggi, Situ Rawa Kutuk, dan Situ Bungur. Gerakan bersih situ merupakan kegiatan dalam menjaga ekosistem di kawasan alami untuk menghindari kesan kumuh di sekeliling situ.
Gambar 28 Situ Parigi dan gerakan bersih Situ Bungur Sumber: Detaktangsel.com Kebijakan Mengenai Keberlanjutan Air Kualitas air merupakan istilah yang menyatakan kemampuan air untuk tetap berlanjut dalam berbagai penggunaan dan berbagai proses. Berbagai penggunaan tersebut membutuhkan syarat secara fisik, kimia, atau biologis. Contohnya baku mutu pada konsentrasi air untuk dapat dikonsumsi atau pembatasan pada suhu dan pH pada air (Meybeck et al. 1996 ). Program biopori (Gambar 29) merupakan program kerja Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Tangerang Selatan dalam mencegah terjadinya banjir dan menyerap air saat intensitas hujan tinggi. Program pembangunan biopori oleh BLHD yaitu membangun 10 000 biopori sudah masuk ke dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tahun 2011-
49 2016. Hingga saat ini BLHD bersama pihak kelurahan telah membangun sekitar 2000 lubang biopori tersebar di seluruh wilayah kota. Selain menggandeng pihak kelurahan, BLHD juga mengajak mahasiswa yang melakukan KKN di Kota Tangerang Selatan untuk berperan aktif dalam membuat lubang biopori. Selain pemerintah, pihak pengembang seperti Bintaro mendukung tersedianya lubang resapan biopori di setiap rumah meskipun pengelolaan berada di tangan pemilik. Menurut Brata R Kamir, Lubang resapan biopori merupakan metode resapan air untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.
Gambar 29 Lubang resapan biopori Sumber: Pemerintah Kota Tangerang Selatan Zoning sistem bertujuan mempermudah upaya pendeteksian terhadap kemungkinan terjadinya kehilangan air. Menurut Suhanda, zoning sistem mampu menghitung besar tekanan air pada suatu kawasan. Sejak tahun 2010 PDAM TKR sudah menerapakan zoning sistem dan melakukan perbaikan kebocoran di beberapa wilayah (Gambar 30). Kebocoran terjadi akibat beberapa faktor seperti turbulensi air yang terisi udara dalam pipa, posisi pipa yang tidak simetris, adanya tekanan dari permukaan akibat banyaknya kendaraan yang melintas, serta kebocoran yang disebabkan terkena peralatan pekerjaan galian kabel PLN. Lama pengerjaan perbaikan kebocoran yang dilakukan pihak PDAM TKR bergantung kepada tingkat kesulitan. Contohnya ketika kebocoran terjadi akibat tergencetnya pipa oleh beton jembatan saluran air, pelaksanaan perbaikan kebocoran cukup lama karena tingkat kesulitannya tinggi, sehingga pasokan air pada pelanggan menjadi terhambat. Selain perbaikan kebocoran, dilakukan juga perbaikan meteran air yang rusak seperti yang pernah terjadi di kawasan Bintaro.
Gambar 30 Perbaikan kebocoran pipa Sumber: PDAM TKR Kerusakan meteran air menyebabkan pengambilan air yang tidak terkontrol akan tetapi hal itu tidak disebut sebagai kegiatan pencurian air oleh pengguna karena merupakan kelalaian petugas sehingga dilakukan perbaikan seperti yang dilakukan di kawasan Bintaro.
50 Sanitation
Analisis Aspek Kuantitatif Sanitation Sebagai kota baru dengan penduduk lebih dari satu juta jiwa harus memiliki akses yang baik terhadap sanitasi karena kualitas masyarakat/komunitas dilihat dari sistem sanitasinya (Navaratne et al. 2011), setidaknya masyarakat harus memiliki tempat pembuangan limbah sendiri (jamban) di tempat tinggalnya. Akses masyarakat terhadap sanitasi dan pengelolaan limbah cair dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Aspek kuantitatif Sanitation Kategori Sanitation
Indikator Akses Masyarakat terhadap sanitasi (33%) Pengelolaan Limbah Cair (33%)
Hasil 93.9%
Baku Mutu ≥20%-100%
Bobot 30.36%
31%
≥10%-100%
7.7%
Akses Masyarakat Terhadap Sanitasi Jumlah masyarakat yang memiliki akses terhadap jamban pribadi adalah sebanyak 93.9% dan sebanyak 6.1% masyarakat belum memiliki akses terhadap jamban atau jamban belum memenuhi standar dan masih melakukan BABs. Hasil perhitungan bobot akses masyarakat terhadap sanitasi berdasarkan Asian Green City Index dapat dilihat sebagai berikut, (
)
Nilai ini menunjukan akses masyarakat terhadap sanitasi sudah cukup baik. Hampir seluruh rumah tangga di Kota Tangerang Selatan memiliki akses langsung terhadap sanitasi. Meski begitu berdasarkan Buku Data SLHD, dari total jumlah rumah tangga sebanyak 234 101, sebanyak 145 823 (62.3%) rumah tangga telah memiliki tempat buang air besar yang baik. Sedangkan sisanya sebanyak 88 278 (37.7%) tidak memiliki tempat buang air besar yang baik atau tidak memiliki tangki septik sebagai pengolahan air buangannya. Tangki septik adalah ruang yang dibuat dari beton, PVC atau plastik, untuk menyimpan atau memberi perlakuan pada blackwater dan greywater dengan cara diendapkan dan proses anaerobik untuk mengurangi kepadatan limbah dan organik. Pengelolaan Limbah Cair Limbah cair yang dihasilkan di Kota Tangerang Selatan sebagian besar berasal dari limbah domestik dan sumber pencemar tertinggi adalah limbah domestik (SLHD 2013). Pengelolaan limbah cair domestik Kota Tangerang Selatan baru dilakukan pada skala rumah tangga yaitu dengan penggunaan tangki septik. Perkiraan jumlah limbah cair yang dihasilkan Kota Tangerang Selatan dalam skala rumah tangga adalah 53 936 870.40 m3 dan limbah yang dikelola menggunakan tangki septik adalah 33 676 454.46 m3 sehingga persentase limbah yang dikelola secara setempat adalah sebesar 62%. Pengolahan limbah cair dibagi atas dua yaitu pengolahan limbah setempat dan pengolahan limbah cair lainnya (kegiatan komersil dan industri). Jika pengolahan limbah setempat sebesar 62%,
51 pengolahan limbah cair baru memenuhi satu bagian dengan persentase tiap bagian adalah 50% sehingga dari 62% pengolahan limbah cair baru mencakup sebesar 31%. (
)
Nilai ini menunjukan bahwa penduduk Kota Tangerang Selatan sudah memiliki kesadaran untuk mengelola limbahnya pada tingkat dasar yaitu menggunakan tangki septik. Pengelolaan limbah lainnya belum dilakukan sehingga kondisi air di Kota Selatan masih tercemar akibat limbah yang dihasilkan baik dari domestik maupun dari sebagian kegiatan industri. Padahal, sanitasi berupa pengolahan limbah cair memiliki peran yang penting terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Limbah yang dialirkan ke sungai atau saluran air lainnya tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan polusi pada air tanah, anak sungai, dan sungai yang secara negatif memiliki pengaruh pada masyarakat yang bergantung pada air tersebut (Navaratne et al. 2011). Analisis Aspek Kualitatif Sebagai kota satelit dengan jumlah penduduk yang banyak, seharusnya Kota Tangerang Selatan memiliki kualitas yang baik dalam hal sanitasi. Kebijakan yang tertuang dalam RTRW harus bisa diterapkan oleh seluruh pihak di Kota Tangerang Selatan. Kebijakan sanitasi di Kota Tangerang Selatan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam hal kesehatan dan pengolahan limbah dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Aspek kualitatif Sanitation Indikator
Upaya 0
Kebijakan sanitasi (33%)
Pembangunan MCK umum Pengembangan sistem pengolahan air limbah Pelatihan bagi pengelola SANIMAS Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
3
Kebijakan Sanitasi Capaian tingkat pelayanan sanitasi tahun 2013 dalam hal air limbah, baru terealisasi sebanyak 2% dari rencana tahun 2013 adalah 11%. Program tersebut diantara pembangunan MCK umum, pembangunan sarana pengolahan air limbah, dan pelatihan bagi pengurus KSM. Pembangunan sistem pengolahan air limbah seperti yang tertera dalam RTRW Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2031 yaitu sistem pengolahan limbah terpusat menggunakan instalasi pengolahan air limbah secara terpusat di seluruh wilayah kota, sistem pengolahan limbah setempat secara individual yaitu tangki septik yang tersebar di seluruh wilayah kota, sistem pengolahan limbah secara komunal berbasis masyarakat (meliputi pengembangan IPLT Cipeucang, pembangunan IPLT baru, dan pengembangan jaringan air
52 limbah komunal di kawasan perumahan skala besar), dan sistem pengolahan limbah cair lainnya seperti industri, rumah sakit, dan kegiatan komersial lainnya. Instalasi pengolahan air limbah secara terpusat di Kota Tangerang Selatan masih merupakan rencana dan baru dilakukan kajian mengenai limbah oleh BLHD. Sistem pengolahan limbah setempat secara individual menggunakan tangki septik sudah cukup baik di Kota Tangerang Selatan meski belum secara menyeluruh tersebar di seluruh wilayah kota seperti telah disebutkan sebelumnya. Sistem pengolahan limbah secara komunal berbasis masyarakat masih mengalami banyak kendala diantaranya belum dilakukan kajian mengenai masyarakat yang akan mengelola, terdapat rencana untuk diserahkan kepada unit pengelolaan terpadu (UPT), namun masih dalam tahap kajian sehingga belum bisa ditentukan manfaatnya bagi UPT maupun pemerintah daerah. Pembangunan sarana pengolahan limbah baru yang direncakan sebanyak 10 unit baru terbangun sebanyak 1 unit dan belum berjalan efektif. Sistem pengolahan limbah cair lainnya seperti industri, rumah sakit, dan kegiatan komersial lainnya berdasarkan buku data SLHD tahun 2013 belum ada perusahaan maupun industri atau rumah sakit yang mengantongi izin untuk mengelola limbah B3. Meski begitu pada tahun 2013 sudah terdapat 147 perusahaan yang mengurus upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pengawasan lingkungan hidup (UPL) serta sebanyak 111 perusahaan telah diawasi kelengkapan UKL dan UPL oleh BLHD Kota Tangerang Selatan. Dalam meningkatkan akses terhadap sanitasi, pemerintah Kota Tangerang Selatan telah membangun MCK umum sebanyak 4 buah dari target hingga tahun 2013 sebanyak 25 buah. Jumlah ini masih sangat kurang dari target yang ditetapkan, hal ini mungkin disebabkan kurangnya pembiayaan atau adanya alokasi terhadap pembangunan lain yang lebih penting. Pelatihan bagi pengurus KSM pengelola SANIMAS berupa pelatihan di bidang teknis, keuangan, dan manajerial pun telah dilakukan meski jumlahnya masih sangat sedikit, dari 7 kecamatan di Kota Tangerang Selatan baru dilakukan sebanyak 2 kali pelatihan. Air Quality
Analisis Aspek Kuantitatif Air Quality Udara yang bersih memiliki dampak positif bagi masyarakat dari segi kesehatan dan kenyamanan. Dalam menentukan kualitas udara di Kota Tangerang Selatan, Badan Lingkungan Hidup dan Daerah (BLHD) melakukan pemantauan di beberapa titik yang tersebar di seluruh kecamatan. Berdasarkan hasil pemantauan yang telah dilakukan BLHD, kualitas udara di Kota Tangerang Selatan masih berada dalam koridor aman. Terlihat dari keberlimpahan SO2, NO2, dan PM10 di udara yang masih di bawah baku mutu (Tabel 22). Senyawa-senyawa tersebut berasal dari hasil pembakaran baik oleh mesin pabrik maupun oleh mesin kendaraan. Meskipun keberlimpahan senyawa SO2, NO2, dan PM10 masih berada dalam ambang batas akan tetapi Kota Tangerang Selatan belum bisa dikatakan bebas dari polusi. Hal lain yang kurang diperhatikan adalah keberlimpahan hidrokarbon dan partikel debu di udara. Partikel udara memiliki ukuran yang berbeda-beda, ukuran 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas. Keberlimpahan debu di Kota Tangerang Selatan
53 mencapai 113.45 µg/Nm3/hari. Meski masih di bawah ambang batas yaitu 230 µg/Nm3/hari, ukurannya yang relatif lebih besar dibandingkan PM menyebabkan gangguan fisik seperti terganggunya pemandangan, merusak tumbuhan karena menutup pori-pori tumbuhan (Gambar 31), serta menyebabkan iritasi pada mata dan gangguan pernapasan.
Gambar 31 Penutupan permukaan daun oleh debu Hidrokarbon merupakan golongan senyawa yang terdapat di alam sebagai minyak bumi. Metana merupakan molekul terpendek dan teringan dari hidrokarbon. Hidrokarbon merupakan polutan yang terdapat dalam bensin yang tak terbakar, cairan pencuci kering, zat pelarut industri, dan berbagai jenis kombinasi lain. Hidrokarbon yang bereaksi dengan unsur/senyawa lain dapat menimbulkan asap kabut maupun menyebabkan leukimia. Hidrokarbon merupakan polutan primer karena dilepaskan ke udara secara langsung (Prameswari 2007). Perkiraan sumber hidrkorabon berasal dari transportasi. Daerah tersebut merupakan daerah padat transportasi. Pada beberapa lokasi kandungan hidrokarbon ada yang melewati maupun mendekati ambang batas seperti di Kecamatan Serpong, Taman Tekno, depan UIN, dan depan Taman Kiat. Tabel 22 Aspek kuantitatif Air Quality Kategori Air Quality
Indikator NO2 SO2 PM10
Hasil 73.28 µg/Nm3/hari 63.98 µg/Nm3/hari 24.12 µg/Nm3/hari
Baku Mutu ≤150 μg / Nm3/hari ≤365 μg / Nm3/hari ≤150 μg / Nm3/hari
Bobot 13% 20.31% 20.98%
NO2 (Nitrogen Dioksida) NO2 merupakan gas yang terbentuk akibat pembakaran bahan bakar. Hal ini dihasilkan dari tempat pembuangan asap/uap pada kendaraan dan uap yang berasal dari pembakaran bahan bakar minyak, kerosin, propane, gas alam/kayu. Penggunaan alat-alat sperti kompor gas, pemanas portable, cerobong asap, dan pengering pakaian mungkin menghasilkan gas ini. Saat gas NO2 menyatu dengan air, dapat membentuk asam nitrit yang dapat bereaksi menjadi hujan asam. NO2 juga merupakan penyebab utama terjadinya kabut asap (Wisconsin Division of Public Health). Jumlah NO2 yang terdapat di Kota Tangerang Selatan adalah 73.28 µg/Nm3/hari dengan baku mutu 150 μg/Nm3/hari sehingga untuk mengetahui keberlimpahan senyawa ini di udara, dilakukan penghitungan sebagai berikut, (
)
(
)
54 SO2 (Sulfur Dioksida) SO2 atau sulfur dioksida merupakan senyawa yang memiliki karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar di udara. Sepertiga jumlah sulfur yang terdapat di atmosfir merupakan hasil kegiatan manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2, dua pertiga lagi berasal dari sumber-sumber alam seperti vulkano. Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia biasanya tidak merata, sedangkan pencemaran yang berasal dari sumber alam distribusinya lebih merata. Menurut Thompson (2011), dampak dari kandungan SO2 yang terlalu tinggi di udara (>1.50 ppm) dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada paru-paru, merupakan salah satu penyebab penyakit pernapasan, kemungkingan penyebab terjadinya perubahan pertahanan pada saluran paru-paru, dan dapat memperburuk keadaan penyakit kardiovaskular yang sudah diderita. Diketahui jumlah SO2 yang terdapat di Kota Tangerang Selatan adalah 63.98 µg/Nm3/hari dengan baku mutu 365 μg/Nm3/hari sehingga untuk mengetahui keberlimpahan senyawa ini di udara, dilakukan penghitungan dengan membagi tingkat SO2 di udara dengan baku mutu yang diperoleh sebagai berikut, (
)
(
)
Particulate Matter Particulate matter (PM) adalah salah satu dari enam jenis polutan yang merugikan bagi kesehatan manusia. PM merupakan campuran dari partikel padat dan cair yang menyatu di udara. Partikel ini berasal dari berbagai sumber, seperti proses industri, kendaraan, dan terbentuk karena transfomasi emisi gas. PM terdiri atas dua partikel yaitu partikel kasar (PM10) dan partikel halus (PM2,5). PM10 merupakan partikel kasar yang memiliki diameter antara 2.5 µ m dan 10 µ m. PM10 terbentuk akibat gangguan mekanis seperti kegiatan penghancuran, pengasahan, dan penggoresan suatu permukaan. Selain itu PM10 juga dapat terbentuk akibat evaporasi dari semprotan, dan suspense debu (Fierro 2000). Berdasarkan PIMA COUNTY Department of Environment Quality, PM10 berasal dari asap, debu dari pabrik, aktivitas pertanian, dan jalan, serta jamur, spora, dan serbuk sari yang terbawa oleh angin. PM10 dapat menempuh jarak hingga 30 mil dan dapat bertahan di udara selama satu menit hingga satu jam. Bahaya dari PM adalah partikel dapat masuk ketika proses respirasi berlangsung yang kemudian melewati saluran pernapasan (paru-paru dan jalur udara). Selama proses berlangsung, partikel dapat menempel di salah satu sisi jalur udara atau bergerak menuju saluran yang lebih dalam (paru-paru). Berdasarkan buku data SLHD tahun 2013, luas lahan sawah di Kota Tangerang Selatan sebesar 1.70 Ha (1.15%) sehingga sebagian besar PM10 yang terdapat di Kota Tangerang Selatan berasal dari kegiatan industri dan kendaraan. Jumlah PM10 di Kota Tangerang Selatan 24.12 µg/Nm3/hari dengan baku mutu berdasarkan PP No.41 Tahun 1999 yaitu 150 µg/Nm3/hari sehingga diperoleh perhitungan sebagai berikut, (
)
(
)
55 Pada musim kering konsentrasi PM10 akan lebih tinggi dibandingkan pada musim basah (Hariadi 2010). Konsentrasi PM10 yang rendah di Kota Tangerang Selatan mungkin disebabkan waktu pengamatan dilakukan pada bulan Februari tahun 2013 yaitu bulan dengan curah hujan tertinggi (1211.5mm) di Kota Tangerang Selatan. Analisis Aspek Kualitatif Air Quality Kualitas udara merupakan hal yang penting. Jika udara tercemar, akan mengganggu aktivitas. Senyawa pencemar di udara juga dapat mengurangi tingkat konsentrasi dan membuat jenuh sehingga harus dilakukan berbagai upaya untuk menghindari/mengurangi terjadinya pencemaran udara. Dalam mengurangi dampak akibat pencemaran udara, pemerintah, pengembang, dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya. Upaya tersebut-dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Aspek kualitatif Air Quality Indikator Upaya 0 Kebijakan dalam Penanaman pohon menciptakan Car free day udara bersih Uji emisi pemantauan kualitas (25%) udara Uji emisi kendaraan bermotor Total skor Bobot nilai
Skoring 1 2
3
7
Kebijakan dalam Menciptakan Udara Bersih Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Tangerang Selatan dan pengembang swasta dalam meningkatkan kualitas udara yaitu melakukan penanaman pohon (Gambar 32) di berbagai lokasi yang padat kendaraan. Seperti di ujung Tol Rawa Buntu, di median Jalan Juanda, dan bantaran bendungan Situ Gintung. Tanaman yang digunakan adalah kenari, ketel, buni, dan tanaman hortikultur. Selain itu untuk mengatasi meningkatnya polusi di udara, BLHD rutin melakukan pemantauan udara pada beberapa titik sehingga ketika udara sudah melewati baku mutu, pemerintah dapat menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah semakin meningkatnya polusi udara. Car free day (CFD) merupakan salah satu program yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan maupun oleh pihak pengembang swasta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar, meningkatkan kreativitas dan eksistensi masyarakat, sebagai sarana sosialisasi dan berolahraga, promosi, menikmati akhir pekan bersama keluarga, serta memenuhi hak tiap penduduk dalam mendapatkan udara bersih. Walaupun belum dikembangkan di seluruh wilayah, saat ini pemerintah Kota Tangerang Selatan berkomitmen untuk mengadakan program ini setiap bulan sekali, dimulai dari German Center hingga BSD Junction. Selain pemerintah, pengembang swasta seperti Bintaro Jaya juga rutin mengadakan CFD (Gambar 33) setiap bulannya, berbagai atraksi seni dilakukan untuk memeriahkan acara dan meningkatkan keterlibatan masyarakat.
56 Menurut Hariadi (2010), pada CFD di Jalan Thamrin Jakarta terjadi penurunan jumlah konsentrasi polutan dibandingkan hari kerja yaitu sebesar 38% untuk PM10, 63% untuk CO, dan 71% untuk NO.
Gambar 32 Penanaman pohon Sumber: BLHD Kota Tangerang Selatan
Gambar 33 CFD Bintaro dan Serpong Uji emisi kendaraan bermotor merupakan realisasi dari kegiatan pemantauan kualitas udara yang berkesinambungan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan Juni dan November pada beberapa titik lokasi. Pada tahun 2010 uji emisi dilakukan di Lapangan Parkir Gedung Walikota Tangerang Selatan dan Jl. Siliwangi pamulang. Tahun 2012 titik uji emisi menjadi tiga titik yaitu di Jalan Raya Pahlawan Seribu, Jalan Raya BTC Bintaro, dan halaman pemerintah Kota Tangerang Selatan, Pamulang. Pada Tahun 2014, uji emisi gratis bagi kendaraan dilakukan pada tiga titik yaitu Serpong, Bintaro, dan Pamulang. Meski begitu, belum ada sanksi tegas bagi kendaraan yang melewati batas emisi yang ditetapkan, baru berupa peringatan untuk segera melakukan servis terhadap kendaraan dengan emisi mendekati atau melebihi baku mutu. Uji emisi pemantauan kualitas udara pada tahun 2013 dilakukan di empat belas titik yaitu di Jalan Raya Serpong, Jalan Raya Alam Sutra, Jalan Pahlawan Seribu, depan kantor Kelurahan Muncul, Jalan Raya Puspitek, Kawasan SMAN 9 Ciputat, Lapangan Kantor WaliKota Tangerang Selatan Pamulang, hal kantor Kecamatan Pondok Aren, hal kantor Kecamatan Ciputat, hal kantor Kelurahan Jombang, depan UIN Syarif Hidayatullah, Jalan M Toha, kompleks perdagangan BTC, Kawasan lapangan terbang Pondok Cabe, dan kawasan persampahan Cipeucang. Uji emisi pemantauan kualitas udara di Kota Tangerang Selatan rutin di lakukan setiap tahun.
57 Environmental Governance
Analisis Aspek Kualitatif Tabel 24 Aspek kualitatif Environmental Governance Indikator Upaya Skoring 0 1 2 Pengelolaan Penyusunan Perda No 13 tahun 2012 lingkungan Penyusunan Perwal No 8 (33%) Penyusunan UPL/UKL Penyusunan perda no 14 tahun 2011 Penyusunan RDTR Penyusunan perda no 3 tahun 2013 tentang pengolahan sampah Penyusunan perda tentang penyelenggaraan kawasan pemukiman Total skor 15 Bobot nilai Pemantauan Lingkungan (33%)
Partisipasi masyarakat (33%)
Penyusunan buku laporan-data SLHD Pendampingan Bank Sampah Pendampingan TPST 3R Penyusunan masterplan TPA Cipeucang Penyusunan memorandum program sektor sanitasi Penilaian Cluster Green (untuk perumahan) Total skor Bobot nilai Organisasi peduli lingkungan (LSM, KSM, LPM) Laskar lingkungan Iuran pemeliharaan rutin Adipura Adiwiyata Penghargaan langit biru Total skor Bobot nilai
3
10 14
Pengelolaan Lingkungan Penyusunan Perda No.13 Tahun 2012 Mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan panduan dalam melakukan pengelolaan bagi pemerintah, masyarakat, maupun organisasi lingkungan di Kota Tangerang Selatan. Peraturan daerah ini sudah dapat diakses oleh masyarakat dalam bentuk website dan sudah dilakukan sosialisasi melalui buku laporan SLHD. Penyusunan Perwal No.8
58 Tahun 2012 tentang Standar Operasional Prosedur Penilaian Pengelolaan Lingkungan Hidup di tingkat Kota Tangerang Selatan belum bisa diakses oleh publik secara umum melalui website meski sudah melakukan sosialisasi melalui buku laporan SLHD. Penyusunan Perda No.14 Tahun 2011 mengenai Penyelenggaraan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah disosialisasikan kepada masyarakat khususnya yang akan mendirikan suatu bangunan di Kota Tangerang Selatan. Penyusunan IMB sendiri merupakan suatu upaya Pemerintah Kota dalam mengontrol pengembangan kawasan perkotaan. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengaju, jika salah satu syarat tidak dipenuhi, tidak akan memperoleh persetujuan dari Walikota Tangerang Selatan. Pihak Badan Perizinan dan Pelayanan Terpadu (BP2T) Kota Tangerang Selatan pun cukup tegas dalam menjalankan peraturan ini. Jika tidak memenuhi persyaratan IMB, Walikota tidak akan membiarkan BP2T mengeluarkan izin pembangunan kepada perseorangan maupun perusahaan. Dalam RTRW Kota Tangerang Selatan terdapat suatu aturan untuk menyusun rencana dasar tata ruang (RDTR) maksimal tiga tahun setelah disahkannya RTRW. Hingga saat ini, RDTR belum disahkan. Padahal RDTR penting untuk menentukan arah pembangunan dari perencanaan yang telah ada. Penyusunan penyelenggaraan kawasan pemukiman baru merupakan rencana dan belum disahkan dan penyusunan Perda No.3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah belum bisa diakses oleh publik, sosialisasi masih kurang sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui. Pemantauan Lingkungan Pemantauan lingkungan merupakan upaya dari pemerintah, masyarakat, maupun pengembang dalam menjaga alam tetap lestari dan pelaksanaan program tetap berada pada koridornya. Upaya pemantauan di Kota Tangerang Selatan menekankan pada aspek publikasi dokumen atau laporan terhadap kinerja, penilaian pada aspek tertentu, dan pendampingan terhadap pelaksanaan suatu program. Contohnya penyusunan buku laporan-data status lingkungan hidup (SLHD), isi dari laporan SLHD adalah kinerja pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup atau laporan terhadap apa yang telah dikerjakan. SLHD Kota Tangerang Selatan belum bisa diakses secara umum atau belum tersedia di website namun dapat diminta langsung ke BLHD bagian info. Pendampingan bank sampah merupakan suatu kegiatan memantau dengan mendampingi kerja bank sampah binaan seperti yang dilakukan salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) Melati Bersih. Pendampingan dilakukan untuk memandu pekerjaan bank sampah binaan, jika memiliki kendala, LPM yang mendampingi dapat memberi bantuan dan solusi terhadap bank sampah tersebut. Sementara itu meskipun TPST 3R dikelola oleh KSM namun tetap harus didampingi oleh aparat pemerintahan misalnya DKPP agar ketika terjadi kendala aparat pemerintahan bisa memberi bantuan dan solusi kepada TPST 3R tersebut. Sejauh ini, TPST 3R masih kurang diperhatikan oleh pemerintah, contohnya TPST 3R Batan. Selain masih kurang peran pemerintah di TPST 3R tersebut, masyarakat belum kompak dan masih bersikap tak acuh. Padahal jika dilakukan pengolahan secara maksimal dapat menjadi solusi dalam memecahkan masalah persampahan di Kota Tangerang Selatan secara umum. Masterplan persampahan TPA Cipeucang merupakan suatu laporan rencana pengelolaan persampahan di TPA Cipeucang selama setahun. Tujuannya
59 menginformasikan kepada pemerintah maupun masyarakat Kota Tangerang Selatan tentang kinerja pengelolaan persampahan di Kota Tangerang Selatan. Penyusunan masterplan TPA Cipeucang tahun 2013 sudah dibuat, namun belum dapat diakses secara umum baik dari website maupun secara langsung. Memorandum program sektor sanitasi merupakan rencana pembangunan jangka menengah daerah (5 tahun) yang disusun untuk mengetahui kinerja di sektor sanitasi dan persampahan. Laporan ini berisi tentang target yang ingin dicapai selama lima tahun kedepan dan yang sudah dicapai hingga akhir tahun penyusunan sehingga dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah. Meski tidak dilakukan sosialisasi dan tidak dipublikasikan di website namun dapat diminta ke badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Penilaian cluster green merupakan salah satu program dari pengembang Bintaro Jaya setiap tahun untuk menentukan cluster yang memiliki predikat “Green”. Program ini bertujuan meningkatkan partisipasi warga perumahan untuk meningkatkan kesadaran dalam mengelola lingkungan. cluster yang memperoleh penghargaan akan diberikan award berupa uang tunai yang kemudian akan digunakan untuk membangun atau memperindah cluster-nya. Partisipasi Publik Partisipasi masyarakat terlihat dari terbentuknya organisasi peduli lingkungan seperti LSM PERMAHI , FK KOTAS, OKP Ganespa, LSM Lintas Pelaku, LSM Kompass, LSM Tangsel Hijau, Yayasan Melati Bersih, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Forum Silaturahmi UNC, dan sebagainya yang berperan dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan lingkungan seperti membersihkan situ, melakukan pengelolaan sampah (TPST 3R & bank sampah), dan memberikan laporan atas dugaan pencemaran & kerusakan. Laskar lingkungan adalah relawan lingkungan yang turut serta melakukan gerakan penghijauan. Laskar lingkungan juga merupakan relawan yang tumbuh dari kelurahan masing-masing yang telah menunjukan kerja nyata bagi lingkungan. Laskar lingkungan dibentuk oleh BLHD dengan merekrut orang-orang kecamatan, kelurahan, dan sudah dikukuhkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Hingga saat ini sudah ada tiga ratus orang yang tergabung dalam laskar lingkungan. Adanya laskar lingkungan sudah berperan aktif terhadap lingkungan, contohnya dalam hal kebersihan lingkungan, keamanan lingkungan, dan kenyamanan lingkungan. Iuran pemeliharaan rutin merupakan inisiatif dari pengembang maupun RT dalam mengelola dan memelihara lingkungan. Tujuannya agar masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Pada kawasan pengembang jumlah iuran pemeliharaan rutin telah ditentukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang akan dikelola sedangkan di RT maupun RW penentuan jumlah iuran pemeliharaan didasarkan atas hasil musyawarah dan kesanggupan warga. Adipura merupakan salah satu program prioritas dalam pengendalian pencemaran dari kegiatan domestik dan penghargaan bagi kota/kabupaten yang memiliki komitmen dalam mewujudkan kota bersih dan hijau (menlh.go.id). Kriteria penilaian adipura yaitu indikator kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan keteduhan kota dan indikator pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik) yang meliputi institusi, manajemen, dan daya tanggap. Pada tahun 2013 Kota Tangerang Selatan mendapatkan penghargaan adipura. Hal ini
60 menandakan bahwa Kota Tangerang Selatan sudah berupaya dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup cukup baik serta adanya koordinasi antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan tempat tinggal. Kriteria penilaian adipura oleh kementrian Lingkungan Hidup yaitu : 1. penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dalam kriteria fisik; 2. bobot antara fisik dan non fisik Kota Metropolitan & Besar : 75 % Fisik + 25 % Non Fisik; 3. khusus untuk kota metropolitan juga ditambahkan penilaian kualitas udara dan air sungai; 4. tidak ada lagi istilah titik pantau detail dan titik pantau wilayah, akan tetapi semua titik pantau kriteria yang dinilai sama. Penentuan titik pantau secara acak dan berbeda setiap tahunnya, akan tetapi dapat merepresentasikan kondisi seluruh kota; 5. titik pantau pada Pemantauan Tahap Ke-1 (P1) akan sama dengan yang akan dipantau pada Pemantauan Tahap Ke-2 (P2). Adapun Pemantauan Verifikasi (Pv) hanya mengambil titik pantau yang nilai antara P1 dan P2 sangat signifikan melampaui 3 s.d. 5 point; 6. piala adipura dapat diraih apabila nilai keseluruhan yaitu fisik dan non fisik dapat mencapai nilai 73 (tujuh puluh tiga). Sedangkan untuk sertifikat adipura (Best Effort) diberikan kepada daerah yang menunjukkan peningkatan nilai yang cukup signifikan dari P1, P2, dan Pv; 7. penghargaan lain yaitu plakat adipura diberikan kepada masing-masing komponen sarana dan prasarana kota terbersih misalnya terminal terbersih, taman kota terbersih, pasar terbersih, dan lainnya. Adiwiyata adalah salah satu program kementrian lingkungan hidup dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Penghargaan adiwiyata terhadap beberapa sekolah di Kota Tangerang Selatan seperti di SDN Islam Cikal harapan, SD Dharma Karya UT, dan SMAN 9 Tangerang Selatan serta merupakan bentuk evaluasi pemerintah dalam menilai upaya sekolah dalam melestarikan lingkungan hidup. Adapun kriteria dari penilaian adiwiyata adalah sebagai berikut: 1. pengembangan kebijakan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan 2. pengembangan kurikulum berbasis lingkungan, 3. pengembangan kegiatan berbasis partisipatif, 4. pengelolaan dan pengembangan sarana pendukung sekolah, dan 5. pengembangan budaya peduli lingkungan. Langit Biru merupakan program Kementrian Lingkungan Hidup dalam mengendalikan pencemaran emisi sumber bergerak melalui implementasi kebijakan secara terkoordinasi dan terpadu. Pengendalian pencemaran masih diprioritaskan pada kendaraan bermotor yaitu dengan melakukan uji emisi. Pada tahun 2013, Kota Tangerang Selatan mendapatkan penghargaan langit biru. Hal ini berarti kandungan pencemar di Kota Tangerang Selatan masih berada di bawah baku mutu dan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menciptakan udara bersih.
61 Evaluasi Tabel 25 Evaluasi penerapan konsep Kota Hijau berdasarkan Asian Green City Index Indikator Energy and CO2 Emisi CO2 (25%)
Tipe Data
Konsumsi Energi (25%)
Kuantitatif
Kebijakan energi bersih (25%)
Kualitatif
Kuantitatif
Kebijakan dalam Kualitatif mengatasi perubahan iklim (25%) Land use and buildings Kepadatan Kuantitatif Penduduk (25%)
Ruang Terbuka Hijau (25%)
Kuantitatif
Kebijakan Eco building (25%)
Kualitatif
Kebijakan Penggunaan Lahan (25%)
Kualitatif
Evaluasi
Bobot 42.40% Emisi CO2 yang dihasilkan Kota 6.75% Tangerang Selatan hampir mencapai baku mutu yang telah ditetapkan Konsumsi energi rata-rata perorang 7% hampir mendekati baku mutu sehingga perlu dilakukan sosialisasi mengenai penggunaan listrik yang hemat dan bijak Telah membuat fasilitas untuk 11.90% masyarakat seperti jalur sepeda dan jalur pejalan kaki, penggunaan token, sosialisasi listrik pintar, dan pengembangan gardu distribusi Sudah dilakukan penanaman pohon 16.75% pada titik-titik padat kendaraan walaupun belum secara menyeluruh 49.17% Kota Tangerang Selatan memiliki 4.12% kepadatan penduduk yang cukup tinggi sehingga harus dilakukan perencanaan yang tepat untuk menghindari terjadinya peluberan kawasan Meski memiliki kepadatan yang 25% tinggi, jumlah ruang terbuka hijau khususnya di kawasan pengembang dan beberapa titik kawasan non pengembang sudah cukup baik, yang harus dilakukan selanjutnya adalah peningkatan RTH pada median dan pinggir jalan Beberapa pengembang sudah 8.3% menerapkan konsep Eco building di huniannya, hal ini merupakan salah satu upaya agar lingkungan tetap nyaman dan lestari Telah dilakukan perbaikan dan 11.75% pencegahan kerusakan terhadap sumberdaya yang ada
62 Tabel 25 Evaluasi penerapan konsep Kota Hijau berdasarkan Asian Green City Index (lanjutan) Transport Panjang lintasan transportasi (33%)
Kuantitatif
Kebijakan dalam menciptakan angkutan umum perkotaan (33%)
Kualitatif
Kebijakan dalam mengurangi kemacetan (33%)
Kualitatif
Waste Jumlah sampah dihasilkan (25%)
Kuantitatif
Jumlah sampah dikumpulkan (25%)
Kuantitatif
Kebijakan mengurangi dampak sampah (25%)
Kualitatif
Kebijakan 3R
Kualitatif
51.15% Dalam RTRW sudah terpenuhi 16.5% pelayanan angkutan umum di beberapa wilayah, namun masih ada yang belum dilewati angkutan, terjadi overlap pada angkutan umum, dan adanya pembatasan waktu angkutan umum hingga sore hari Dalam menciptakan angkutan 15.51% umum perkotaan, pemerintah dan pengembang sudah melakukan upaya dengan mengembangkan angkutan kota, bis, In-trans, dan sistem kereta api. Meski begitu kekurangan terletak pada faislitas pendukung yang minim dan sistem angkutan yang belum tertata dan terkadang tidak efektif Telah dilakukan berbagai upaya 19.14% dalam mengurangi kemacetan seperti menjaga kualitas jalan, park & ride, dan sebagainya 38.80% Jumlah sampah yang dihasilkan di 2.75% Kota Tangerang Selatan masih cukup tinggi, hal ini karena belum adanya penerapan 3R secara menyeluruh pada tingkat rumah tangga/masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memilah dan mendaur ulang sampah Pelayanan sampah di Kota 5.5% Tangerang Selatan masih sangat kurang oleh DKPP, untuk mengatasi kurangnya pelayanan, pengembang swasta ikut berpartisipasi dengan menyediakan armada pengangkut sampah sendiri Sudah melakukan pengolahan 16.67% sampah secara pusat menggunakan sistem sanitary landfill, sudah mengenalkan penggunaan energi alternatif Sudah dikembangkan TPST 3R dan 13.88% bank sampah dalam tingkat RT/RW
63 Tabel 25 Evaluasi penerapan konsep Kota Hijau berdasarkan Asian Green City Index (lanjutan) Indikator Water Konsumsi air (25%)
Tipe Data
Kebocoran sistem air (25%)
Kuantitatif
Kebijakan dalam meningkatkan kualitas air (25%)
Kualitatif
Kuantitatif
Kebijakan Kualitatif mengenai keberlanjutan air (25%) Sanitation Akses masyarakat Kuantitatif terhadap sanitasi (33%)
Pengelolaan Kuantitatif limbah cair (33%)
Kebijakan sanitasi (33%)
Kualitatif
Evaluasi
Bobot 51.75% Tingkat konsumsi air di Kota 12.25% Tangerang Selatan masih dalam batas normal. Meski begitu masih terdapat konsumsi air yang tidak terdata oleh pemerintah. Misalnya penggunaan air tanah secara illegal. Penyediaan air oleh PDAM pun belum mencakup kebutuhan air masyarakat seluruhnya Tingkat kehilangan air di Kota 19.5% Tangerang Selatan masih dalam batas normal di bawah baku mutu yang telah ditetapkan Terdapat Program-program yang 12.5% telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas air di Kota Tangerang Selatan Telah dilakukan penanganan dalam 7.5% penggunaan air terutama dalam mengatasi kehilangan air yang terjadi 47.96% Akses masyarakat terhadap sanitasi 30.36% sudah cukup baik, hampir seluruh masyarakat di Kota Tangerang Selatan sudah memiliki akses terhadap sanitasi Saat ini pengolahan limbah cair di 7.7% Kota Tangerang Selatan baru sebatas pengelolaan skala rumah tangga dengan adanya tangki septik meski belum merata di seluruh wilayah Kebijakan dalam meningkatkan 9.99% sanitasi telah masuk dalam RTRW Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2031
64 Tabel 25 Evaluasi penerapan konsep Kota Hijau berdasarkan Asian Green City Index (Lanjutan) Indikator Air Quality NO2 (25%) SO2 (25%) PM10 (25%)
Tipe Data
Evaluasi
Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif
Keberlimpahan NO2. SO2, dan PM10 masih berada dalam batas normal di bawah baku mutu. Sebagian besar penyumbang polusi adalah kendaraan, selain menghasilkan ketiga senyawa tersebut, jumlah kendaraan menambah keberlimpahan hidrokarbon dan debu di udara. Dalam menciptakan udara bersih, sudah dilakukan upaya-upaya baik oleh pemerintah, pengembang, maupun masyarakat
Kebijakan dalam Kualitatif menciptakan udara bersih (25%) Environmental Governance Pengelolaan Kualitatif Lingkungan (33%)
Pemantauan Lingkungan (33%)
Kualitatif
Partisipasi Publik (33%)
Kualitatif
Hasil Keseluruhan
Bobot 69% 13% 20.31% 20.98%
14.5%
66.9% 23.43%
Pengelolaan lingkungan Kota Tangerang Selatan sudah mengacu pada peraturan daerah, meski dalam penerapan belum sempurna namun sudah memilik arahan untuk memperbaiki kinerja Pemantauan 19.14% lingkungan/pengawasan di Kota Tangerang Selatan sudah dilakukan secara rutin, meski belum secara menyeluruh pada segala aspek kota hijau Sudah ada partisipasi publik dalam 25.41% kebijakan lingkungan, baik dari segi pengelolaan dan pengawasan lingkungan. Publik turut serta dalam melestarikan lingkungan 52.15%
Berbagai pihak di Kota Tangerang Selatan telah melakukan upaya-upaya agar Kota Tangerang Selatan tetap berada di koridor berkelanjutan. Meski menemukan banyak kendala dan permasalahan, pihak-pihak tersebut terus meningkatkan kinerja dalam mencapai lingkungan yang berkelanjutan. Penerapan indikator Energy and CO2 (42.40%), Land use and buildings (49.17%), Transport (51.15%), Waste (38.80%), Water (51.75%), Sanitation (47.96%), Air Quality (69%), and Environmental Governance (66.9%). Persentase penerapan keseluruhan adalah 52.15% dan masuk kedalam kategori rata-rata. Nilai ini menunjukan bahwa kinerja Kota Tangerang Selatan dalam menerapkan konsep kota hijau sudah cukup baik. Beberapa upaya menuju kota berkelanjutan sudah mulai diterapkan dan bukan merupakan rencana saja. Pengelompokan kinerja
65 Kota Tangerang Selatan tiap kategori dalam menerapkan Kota Hijau berdasarkan Asian Green City Index dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Kinerja Kota Tangerang Selatan Kategori Sangat di Di bawah Rata-rata Di Atas Sangat bawah rata- rata-rata rata-rata Di atas rata rata-rata 0-20% 20-40% 40-60% 60-80% 80-100% Energy and CO2 Land use and buildings Transport Waste Water Sanitation Air Quality Environmental Governance Hasil Keseluruhan Index of Happiness Index of Happiness atau tingkat kebahagiaan masyarakat diperoleh melalui kuesioner dan wawancara langsung terhadap masyarakat. Sebanyak 40 responden menyatakan sangat bahagia, 55 responden menyatakan bahagia, dan 5 responden menyatakan kurang bahagia tinggal di Kota Tangerang Selatan. Index of Happiness masyarakat Kota Tangerang Selatan berada pada skala 44.45 dan masuk ke dalam kategori bahagia. Secara umum hal-hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kebahagiaan masyarakat adalah polusi udara yang terdapat pada beberapa titik (berdebu & berpasir), penumpukan sampah serta kurangnya tempat sampah, sulit menemukan trotoar dengan kondisi nyaman karena digunakan oleh pedagang kaki lima, penggunaan angkutan umum kurang efektif (ngetem) dan terkadang ugal-ugalan, kurangnya penerangan pada jalan, trotoar, dan jembatan penyebrangan, kemacetan, penyediaan air PDAM masih kurang serta tarif yang cukup mahal. Pada beberapa kecamatan keberadaan ruang terbuka hijau masih minim, terdapat genangan air, saluran drainase buruk, sanksi belum tegas. Selain itu, beberapa kecamatan masih gersang, air ada yang berlumpur dan berwarna kuning, dan partisipasi masyarakat masih kurang. Berdasarkan 100 responden, indikator yang memiliki nilai paling rendah atau tingkat kebahagiaan yang rendah adalah kategori Transport. Meskipun transportasi di Kota Tangerang Selatan sudah cukup baik yaitu dengan sudah tersedianya armada angkutan umum baik dalam kota maupun antar kota akan tetapi masih terjadi kemacetan terutama pada jam-jam sibuk (on peak). Banyak yang mengeluhkan bahwa kemacetan yang terjadi di Kota Tangerang Selatan disebabkan oleh jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki padahal merupakan area padat lalu lintas. Kapasitas jalan yang kurang bisa menampung jumlah kendaraan yang semakin banyak juga menjadi salah satu penyebab kemacetan di Kota
66 Tangerang Selatan. Selain itu ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi masih tinggi, hal ini disebabkan kondisi angkutan umum yang belum efektif. Banyaknya angkutan umum di Kota Tangerang Selatan tidak membuat masyarakat beralih menggunakan angkutan umum. Penyebabnya adalah supir angkutan umum cenderung menunggu penumpang dalam waktu yang cukup lama (ngetem) sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan motor karena dirasa lebih efektif. Perlu adanya sistem baru yang lebih terstruktur dalam pengaturan angkutan umum perkotaan. Misalnya dengan tidak adanya angkutan umum yang ngetem, penyediaan fasilitas berupa halte dan terminal agar angkutan umum tidak berhenti dan diberhentikan sembarangan, adanya integrasi antar tiap moda angkutan umum, serta yang paling penting adalah penegakkan hukum yang tegas terhadap masyarakat dan supir angkutan umum. Kategori kedua dengan nilai terendah yaitu Environmental Governance. Alasan yang mendasari adalah belum diberlakukan denda pada pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan yang ada. Misalnya membuang sampah sembarangan, ngetem, pengambilan air tanah secara ilegal, dan kurangnya pengawasan terhadap peraturan lingkungan. Sebagian masyarakat malah belum mengetahui peraturan lingkungan yang berlaku. Bahkan beberapa responden menanggap membuang sampah sembarangan sebagai hal yang wajar. Tingginya tingkat kebahagiaan masyarakat di Kota Tangerang Selatan dengan kinerja Kota yang masih di tingkat rata-rata dapat disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungannya. Masyarakat belum memiliki edukasi yang cukup (educated well) mengenai kota yang nyaman untuk ditinggali (liveable city) sehingga, pemerintah sebagai pembuat dan pelaksanan kebijakan perlu melakukan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk sosialisasi atau penyuluhan lingkungan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Adanya kegiatan-kegiatan lingkungan dan pemberian insentif terhadap masyarakat yang mengelola lingkungan dengan baik dapat mejadi salah satu wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat. Green Initiatives
Energy and CO2 Energi bersih dapat ditingkatkan dengan mengurangi penggunaan energi. Salah satunya dengan menyediakan jalur pejalan kaki dan sepeda yang nyaman. Dalam menciptakan lanskap kawasan jalan yang nyaman dapat dilakukan dengan menanaman pohon sepanjang jalur hijau jalan, baik pada jalur pejalan kaki maupun pada median jalan. Keberadaan tanaman penaung pada jalur pejalan kaki dan jalur sepeda dapat meningkatkan kenyamananan karena ranting-ranting daun mencegah sinar matahari menyentuh dan menghangatkan permukaan tanah (Roo 2011). Selain itu, penanaman pohon dapat mengatasi perubahan iklim dan memberikan nilai estetika bagi lanskap kawasan jalan. Kondisi seperti ini dapat menarik masyarakat untuk menggunakan sepeda atau berjalan kaki sehingga penggunaan energi dapat dikurangi. Perlu diperhatikan kontinuitas (tidak terputus) jalur pejalan kaki dan sepeda serta dimensi jalur agar nyaman bagi pengguna. Salah satu jenis pohon yang dapat digunakan di sekitar jalur pejalan kaki adalah
67 Tanjung (Mimusoph elengi) dengan karakteristik kerapatan sedang dan bentuk tajuk bulat. Menurut penelitian Kusminingrum 2008, kebutuhan penanaman pohon pada suatu area dapat dihitung menggunakan rumus,
0.5 Kg O2 adalah oksigen yang diperlukan manusia untuk bernafas dalam satu hari dan 1.2 Kg O2 adalah oksigen yang dihasilkan oleh satu pohon pelindung setiap hari, sehingga kebutuhan pohon di Kota Tangerang Selatan adalah,
= 512 518 Pohon Emisi CO2 dapat diturunkan dengan menggunakan transportasi umum dalam aktifitas sehari-hari, menggunakan alat-alat elektronik secara efektif, mematikan lampu jika tidak diperlukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu perlu adanya kebijakan untuk mengganti lampu pijar dengan Flourescent lighting untuk mengurangi konsumsi energi sebanyak 80% per lampu. Land use and buildings Menurut Lerner, salah satu cara dalam mencapai kota berkelanjutan yaitu, “live closer to your work, or bring your work closer to your home” untuk mengurangi kebutuhan berpindah. Mixed used development merupakan konsep yang efektif untuk menghadirkan konsep ini pada suatu kota karena mengintregrasikan antar berbagai aktivitas. Konsep vertikal dapat menjadi alternatif hunian yang dapat menekan kepadatan penduduk. Selain itu konsep vertikal dapat memberikan ruang yang lebih bagi ruang terbuka hijau. Namun, dalam mixed used development dan konsep vertikal perlu diperhatikan aksesibilitas antar satu tempat dengan tempat lainnya. Transport Efisiensi waktu perjalanan dapat diminimalisasi dengan tidak sering memberhentikan kendaraan sesering mungkin. Dalam hal ini, penyediaan fasilitas berupa halte dan pengawasan yang tegas pada angkutan umum yang berhenti sembarangan perlu diadakan. Selain itu pengembangan transportasi dengan kecepatan tinggi lebih dipilih oleh pengguna (Nicke 2005). Transportasi umum diharapkan dapat memainkan peran penting dalam mengurangi penggunaan energi, polusi udara, pemanasan global dan ketidakefisienan pengembangan pola lahan. Efisiensi transportasi publik dapat dilakukan menggunakan public transport tripbased. Tipe transportasi publik berikut terdiri atas 4 proses yaitu proses memulai perjalanan, perjalanan antara tiap halte, pemberhentian pengguna pada halte dan adanya proses mengakhiri perjalanan (Nash 2006). Menurut Black (2000), transportasi yang berlanjut adalah transportasi yang bergerak menggunakan bahan bakar dengan persediaan cukup hingga masa yang akan datang, menghasilkan polusi yang sedikit dari penggunaan bahan bakar, memiliki angka kecelakaan dan kerusakan yang rendah, dan dapat mengurangi terjadinya kemacetan. Litman (1999) menyatakan bahwa transportasi yang
68 berlanjut harus terintegrasi melalui perencanaan kota, memiliki berbagai tujuan seperti efisiensi ekonomi jangka panjang, persamaan, lingkungan dan pengembangan masyarakat sehingga perlu ditingkatkan integrasi antara tiap jenis angkutan umum. Misalnya antara kereta api dengan bis, kereta api dengan angkutan kota, bis dengan angkutan kota, dsb. Integrasi yang baik antar tiap jenis angkutan umum di Kota Tangerang Selatan dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu perjalanan dan biaya sehingga masyarakat akan beralih menggunakan kendaraan umum. Waste Solusi terbaik dalam mengelola sampah adalah menerapkan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dengan melakukan sosialisasi terlebih dulu pada seluruh lapisan masyarakat. Selain dapat mengurangi volum sampah, hal ini dapat membentuk perilaku masyarakat yang lebih ramah lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah. Reduce dapat dilakukan dengan memilih barang yang diperlukan bukan diinginkan, membeli barang berkualitas tinggi, meminimalkan penggunaan kemasan sekali pakai, dan membeli barang-barang lokal (Rahman 2014). Tempat pembuangan akhir (TPA) merupakan tempat penampungan sampah yang dihasilkan suatu kota, baik sampah organik maupun anorganik. TPA di Kota Tangerang Selatan sudah menggunakan sistem sanitary landfill. Meski begitu, masih ada dampak bau yang ditimbulkan akibat tidak sebanding antara jumlah tanah urugan dan sampah yang dihasilkan. Selain sanitary landfill, dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi dengan penggunaan tanaman aromatik seperti Sri Gading (Nycanthes arbotrithis), Kemuning (Murraya paniculata), Kaca Piring (Gardenia Jasminoides), dan sebagainya. Tanaman tersebut selain dapat mengurangi dampak bau yang ditimbulkan juga dapat menjadi barrier bagi bagi kawasan TPA agar tidak terlihat bad view pada TPA. Perlu dilakukan penambahan bank sampah dan TPST 3R di Kota Tangerang Selatan tersebar di seluruh kelurahan/RT/RW sehingga sampah yang masuk ke TPA benar-benar merupakan sampah residu yang tidak dapat diolah dan didaur ulang. Perbedaan TPST 3R dan bank sampah terletak pada pengolahan jenis sampah. pada TPST 3R cenderung diarahkan untuk mengelola sampah organik sedangkan pada bank sampah sampah yang dikelola adalah sampah anorganik. Dalam pengelolaan TPST 3R sebaiknya dibuat business plan. Selain memiliki keterampilan mengolah sampah menjadi kompos, pengelola juga harus memiliki kemampuan berwira usaha. Water Peningkatan kualitas air dan konservasi air dapat dilakukan dengan pembuatan sumur resapan dan biopori pada fasilitas umum dan area ruang terbuka hijau seperti di taman, hutan kota, dan sebagainya. namun, pembuatan lubang resapan biopori memerlukan pemeliharaan yang cukup intens sehingga diarahkan pembuatan biopori pada tingkat rumah tangga. Kebutuhan biopori diperoleh dari perhitungan yang dirumuskan oleh Tim Biopori IPB 2007 yaitu, (
(
)
)
69 Pembuatan sumur resapan perlu memperhatikan keadaan lingkungan setempat agar dapat berfungsi dengan baik tanpa menimbulkan dampak baru bagi kepentingan lainnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah jarak dengan bangunan lain seperti tangki septik, sumur air minum, jalan rumah, dan jalan umum. Jarak minimal sumur resapan dengan bangunan adalah 3m, dengan sumur air minum sejauh 10.5 m, aliran air 30 m, pipa air minum 3 m, jalan 1.5 m, dan pohon besar sejauh 3 m (Kusnaedi 2006). Sanitation Peletakan tangki septik harus memperhatikan jarak antar tiap rumah, agar tidak menjadi pencemar bagi sumber air yang dapat mudah menyebarkan penyakit. Jarak antara tangki septik dan sumber air minimal 10 meter. Perumahan dengan jarak sangat berdekatan sebaiknya menggunakan tangki septik komunal. Tangki septik harus dikosongkan setiap 2-5 tahun dan dilakukan pengecekan setiap tahun sekali untuk memastikan fungsinya masih maksimal karena tingkat akumulasi limbah lebih cepat dibanding tingkat dekomposisinya (Morel et al. 2008). Air Quality Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang memiliki konsep Mixed used development. Penggunaan sepeda dapat menjadi lebih efektif dan ramah lingkungan. Pengembangan jalur sepeda yang aman dan nyaman di seluruh wilayah kota perlu dilakukan agar masyarakat beralih menggunakan sepeda karena penggunaan kendaraan berbahan bakar menyumbang lebih dari 25% polusi di seluruh belahan dunia. Perlu adanya penggunaan kendaraan umum atau pengembangan sistem share a ride atau car pool di Kota Tangerang Selatan. Walaupun tidak dilakukan setiap hari (seminggu/dua minggu sekali), sistem tersebut dapat mengurangi kemacetan dan polusi. Pemeliharaan rutin terhadap kendaraan. Selain dapat memperpanjang umur kendaraan, dapat mengurangi emisi kendaraan lebih dari setengah jumlah emisi yang biasa dihasilkan kendaraan (Thompson 2011). Penanaman pohon dengan ukuran besar dan daun yang lebar efektif untuk membersihkan udara. Rata-rata pohon di kota dengan ukuran batang kurang lebih 30cm bisa menangkap sekitar 100 g PM10. Nilai 100 g PM10 setara dengan PM yang dihasilkan kendaraan pribadi sejauh 1500 km. Selain melakukan penanaman pohon, pembuataan roof garden dan vertical greenery juga berkontribusi dalam menyaring udara menjadi lebih bersih. Tipe tanaman yang efektif untuk menjerap, menyerap, dan mengurangi dampak dari polutan adalah daun tipe evergreen dengan permukaan lebar dan luas, mengkilap, datar atau daun tipe evergreen berjarum seperti pinus, cemara, dsb (Roo 2011). Selain pohon, penggunaan semak seperti Spathyphillum sp, Hymenocallis speciosa, dan jenis tanaman penutup tanah lainnya di jalur hijau jalan dapat membantu mengurangi polusi di udara.
70
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beberapa data yang diperlukan pada penelitian di Kota Tangerang Selatan belum terpublikasi dan terarsip dengan baik sehingga pengolahan data pada penelitian disesuaikan dengan data yang tersedia. Terdapat keterkaitan antara aspek kuantitatif (kondisi umum) dan aspek kualitatif (upaya) berdasarkan Asian Green City Index. Keterkaitan tersebut ditunjukkan ketika Kota Tangerang Selatan memiliki kondisi umum yang buruk pada suatu indikator, upaya yang dilakukan merupakan cara untuk mengubah atau meningkatkan kondisi umum yang semula buruk menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis, berbagai upaya menuju kota berkelanjutan di Kota Tangerang Selatan ada yang telah diterapkan dan sebagian lagi masih merupakan rencana. Kategori dengan upaya terbanyak yang telah diterapkan adalah Environmental Governance diikuti dengan kategori Transport, Energy and CO2, Water, Air Quality, Waste, dan, Land use and buildings. Kinerja Kota Tangerang Selatan dalam menerapkan konsep kota hijau adalah 52.15% dan masuk kedalam kategori rata-rata. Penerapan tertinggi ada pada kategori Air Quality (69%) diikuti kategori Environmental Governance (66.9%), Water (51.75%), Transport (51.15%), Land use and buildings (49.17%), Sanitation (47.96%), Energy and CO2 (42.40%), dan penerapan terendah pada kategori Waste (38.80%). Persentase tingkat Kebahagiaan masyarakat di Kota Tangerang Selatan 40% sangat bahagia, 55% bahagia, dan 5% kurang bahagia. Index of happiness di Kota Tangerang Selatan berada pada skala 44.45 dan masuk dalam kategori bahagia. Tingkat kebahagiaan masyarakat yang cukup tinggi bisa disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat akan lingkungan sekitarnya. Saran Kinerja Kota Tangerang Selatan dalam menerapkan konsep kota hijau dapat ditingkatkan dengan adanya peran serta pemerintah, pengembang swasta, dan masyarakat sebagai pengelola dan pengawas lingkungan. Dalam meningkatkan partisipasi masyarakat perlu adanya transparansi data, pengarsipan data yang baik, dan publikasi data di Kota Tangerang Selatan oleh Pemerintah maupun pengembang swasta. Hal ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui kondisi umum di Kota Tangerang Selatan dan menjadi lebih peduli terhadap lingkungannya. Perlu adanya penelitian lebih lanjut menggunakan analisis statistik untuk melihat keterkaitan antara kinerja kota dengan tingkat kebahagiaan masyarakat Kota Tangerang Selatan.
71
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota TangerangSelatan. 2013. Memorandum Program Sektor Sanitasi Kota Tangerang Selatan 2013 [Laporan] [BLHD] Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Tangerang Selatan. 2013. Status Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 [Buku Data] [BPS] Biro Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2013. Kota Tangerang Selatan dalam Angka Tahun 2013 [CPRE] Council for the Protection of Rural England. 1998. Park and Ride-Its Role in Local Transport Policy [Campaign Briefing] [DHFS] Wisconsion Division of Public Health. 2002. Nitrogen Dioxyde [DISHUB] Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan. 2013. Optimalisasi Kinerja Angkutan Umum Perkotaan Tahun 2014 [Laporan] [ESDM] Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral. 2013 [INDAG] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tangerang Selatan. 2014. Wajib Pajak Air Tanah Tahun 2014 [Laporan] [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Adipura [Internet]. [Diunduh pada 12 Mei 2014]. http://Menlh.go.id [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Adiwiyata [Internet]. [Diunduh pada 12 Mei 2014]. http://Menlh.go.id [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Langit Biru [Internet].[Diunduh pada 12 Mei 2014].http://Menlh.go.id [LM FEUI] Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2009. Analisis Angkutan Kereta Api dan Implikasinya pada BUMN Perkeretaapian Indonesia. [MDNR] Maryland Department of Natural Resource Forest. [Tahun tidak diketahui]. Trees Reduces Air Pollution [Penulis tidak diketahui]. Intermediate Treatment facility Pondok Aren [Internet]. [Diunduh pada 22 Juni 2014]. Tersedia pada: http://Bantenhits.com [Penulis tidak diketahui]. 2009. Mixed Land use. [Internet]. [Diunduh pada 27 Juli 2014]. Tersedia pada:http://healthyplaces.org.au [Penulis tidak diketahui]. 2013. Bahaya Debu bagi Kesehatan. [Internet]. [Diunduh pada 27 Juli 2014]. Tersedia pada: http://Tiraimagnet.com Direktorat Jenderal Binamarga. 1992. Standar Geometrik Perkotaan [Peraturan] Kementrian Pekerjaan Umum. 2013. Panduan Kota Hijau di Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang Black W. 2000. Socio-economic barriers to sustainable transport. Journal of Transport Geography. 8: 141-147 Bloomberg MR. 2008. Sustainable Stormwater Management Plan. New York: New York City Comprehensive Waterfront Plan. Colorado Springs Mixed Use Development Design Manual. 2009. Mixed use Deila. 2014. Tekan pencemaran udara, BLHD Tangsel uji emisi gratis[Internet]. [Diunduh pada 18 Juni 2014].http://kabar6.com Denig S. 2011. Asian Green City Index : Assessing The Environmental Performance of Asia’s Major Cities. Munich : Siemens AG Ekbom A, Drakenberg O, Winggvist GA, Slunge D, Sjostedt M. 2012. The Role
72 of Governance for Improved Environmental Outcomes. Swedia: Swedish Environmental Protection Agency Fierro M. 2000. Particulate matter Fuhr H. 1999. Urban Poverty and Urban Environmental Problem. Germany: UNDP-EC Technical Workshop [tidak publikasi] Hariadi H. 2010. Evaluasi dampak hari bebas kendaraan bermotor terhadap polutan berdasarkan konsentrasi dan faktor meteorologi di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Hastuti I, Sulistyarso H. 2012. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Nilai Emisi CO2 di Kawasan Industri Surabaya. J Teknik ITS edisi 1 Joga N. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Jacobson, MZ. 2009, Review of Solutions to Global Warming, Air Pollution, and Energy Security, Energy and Environmental Science. Kahn ME. 2006. Green Cities.Washington: Brookings Institution Press Kusminingrum N. 2008. Potensi Tanaman dalam Menyerap CO2 dan CO untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. J Pemukiman. 3(2): 95-105 Kusnaedi. 2006. Sumur Resapan untuk Pemukiman, Perkotaan, dan Pedesaan. Jakarta: Penebar Swadaya Kuswartodjo T. 2006. Asas Kota Berkelanjutan dan Penerapannya di Indonesia. J Tek Ling P3TL. 7(1): 1-6 Litman T.1999. Transportation Cost Analysis for Sustainability. Canada: Victoria Transport Policy Institute. Littman T. 2014. Evaluating Transportation Land Use Impacts. Amerika: Victoria Transport Policy Institute Lux Research Incorporation. 2007. Waste to energy. The Cleantech report Meybeck E, Kuusisto A, Makela, Malkki. 1996. Water Quality Monitoring-A Practical Guide ti the Design and Implementation of Freshwater Quality Studies and Monitoring Programmes. Bartram J, Balance R. UNEP/WHO Morel T, Luthi C, Morel E, Zurbregg C, Schertenlein R. 2008. Compendium of Sanitation Systems and Technologies. Water supply & Sanitation Collaborative Council : Eawag Aquatic Research Mustafa. 2000. Teknik Sampling[Internet]. [Diunduh pada 4 Februari 2014]. [Tersedia pada] http://home.unpar/hasan/sampling.doc Nash A. 2006. Design of Effective Public Transportation Systems. Swiss: Institute of Transportation Planning and Systems ETH Zurich Navaratne A, Tomasek T, Rand E. 2011. Green Guide to Water and Sanitation. Amerika: World Wildlide fund and American Red Cross Nitschke J. 2008. Happiness Vs HDI: The Correlation Between Life Expectancy, Literacy, GDP, and Happiness. Germany: Humboldt Universitat Zu Berlin Prameswari A. 2007. Pencemaran udara oleh hidrokarbon [Internet]. [Diunduh pada 17 Mei 2014]. http://dizzproperty.blogspot.com Peraturan daerah No.15 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031 Peraturan No.5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan PIMA County. Department of Environmental Quality. [Tahun tidak diketahui]. Particulate matter Powell RR, Connaway LS. 2004. Basic Research Methods for Librarians, Fourth
73 Edition. Amerika : Library Unlimited Price P, Lovett S. 2002. Improving Water Quality. Carnbera: Australian Gov Rahman FA.2014. Reduce, Reuse, Recycle: Alternatives for Waste Management. Mexico: NM State University Roo MD. 2011. The Green City Guidline. Belanda: Plant Publicity Holland Rum S. 2011. Bahan Ajar Kota [Internet].[Diunduh pada 7 Maret 2014]. [Tersedia pada] http://elisa1.ugm.ac.id Setijowarno D, Frazila RB. 2003. Pengantar Rekayasa Dasar Transportasi. Bandung (ID): UKS Shakhashiri. 2011. Chemichal of the week : Water [Internet]. [Diunduh pada 17 April 2014]. Tersedia pada: http://scifun.org SNI 19-3964-1994, Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Suhendi F. 2006. Keterkaitan Aktivitas Domestik dengan Emisi CO2. Pusat Litbang Pemukiman, Departemen Pekerjaan Umum. Thompson S. 2011. Air: Sulfur Dioxide. Oklahoma Department of Environmental Quality: Oklahoma Department of Libraries Van Nes, R. (1999) Design of multimodal transport systems: Setting the scene: Review of literature and basic concepts. TRAIL Studies in Transport Science Series, 99(3). Delft: Delft University Press Victoria Foundation. 2009. The Happiness Index Wicaksono AM. 2011. Studi Carbon Footprint Emisi Karbon dari Kegiatan Pemukiman Kota Surabaya Bagian Barat [skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November Widiatmoko Y. 2012. Prototype Pemanfaatan Solar Cell Sebagai Sumber Energi Pada Sistem Otomatisasi Lampu Penerangan Taman [artikel] Widyati R, Yuliarsih. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta (ID): Grasindo Xavier F, Warlina L, Widodo T. 2011. Evaluasi Penyelenggaraan Peraturan Daerah tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Majalah Ilmiah UNIKOM. 9(2):174 Yao T. 2010. Preface: Zero Carbon Energi Kyoto 2009. Germany: Springer Yusman H. 2013. BLHD tangsel uji emisi [Internet]. [Diunduh pada 18 juni 2014]. Tersedia pada:http://citratangsel.com
74
LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ____________________________________________________ KUESIONER INDEX OF HAPPINESS Dengan hormat, Saya Imaniar Putri, mahasiswa S1 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang sedang mengadakan penelitian mengenai EVALUASI PENERAPAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA TANGERANG SELATAN di bawah bimbingan Dr.Ir Alinda FM Zain, M.Sc. Dalam rangka menyelesaikan studi/tugas akhir ini, diperlukan dukungan serta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk mengisi kuesioner ini. Semua data yang terkumpul melalui kuesioner ini adalah untuk tujuan akademis.
Kami
akan
menjamin
kerahasiaan
data
yang
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari berikan sesuai dengan kode etik. Untuk itu Saya berharap pengisian kuesioner ini dapat dilakukan seobyektif mungkin tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Saya ucapkan terima kasih atas segala usaha dan waktu yang Anda luangkan dalam pengisian kuesioner ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : 2. Alamat (kecamatan) : 3. Jenis kelamin : 4. Usia : 5. Pendidikan terakhir : 6. Pekerjaan :
75 Lampiran 1 Kuesioner Penelitian (Lanjutan)
No.
1
2
3 4 5
6
7 8 9
10
11
12
13
14
Pernyataan Saya bahagia karena lingkungan sekitar saya bersih dan nyaman Saya bahagia karena kota ini bebas dari sampah (tidak ada penumpukan sampah) Saya bahagia karena mudah menemukan tempat sampah di kota ini Saya bahagia karena mudah menemukan taman di kota ini Saya bahagia karena taman di kota ini dapat digunakan pada siang dan malam hari Saya bahagia karena di kota ini masih memiliki taman yang indah & rapi. Saya bahagia karena kota ini sejuk dan memiliki banyak pohon Saya bahagia karena kota ini bebas dari kemacetan Saya bahagia karena mudah menemukan angkutan umum di kota ini Saya bahagia karena tarif angkutan umum cukup terjangkau (murah) Saya bahagia menggunakan angkutan umum di kota ini sehingga saya menggunakan angkutan umum setiap hari Saya bahagia karena mudah menemukan trotoar di kota ini Saya bahagia dan merasa aman berjalan kaki di kota ini (trotoar berukuran lebar, terdapat lampu pada malam hari) Saya bahagia dan merasa aman menggunakan sepeda di kota ini
Skala Penilaian Kurang Tidak Setuju Setuju Setuju (3) (2) (1)
Alasan (mohon diisi)
76 Lampiran 1 Kuesioner Penelitian (Lanjutan)
15
16
17
18
19
20
Saya bahagia karena dapat menghirup udara segar setiap hari Saya bahagia karena tidak perlu mengenakan masker saat keluar rumah Saya bahagia karena air bersih selalu tersedia di kota ini Saya bahagia karena dapat menggunakan air bersih setiap hari Saya bahagia karena peraturan lingkungan berjalan dengan tertib (diberlakukan denda) Saya bahagia karena dapat berpartisipasi langsung dalam mengatasi permasalahan lingkungan (buang sampah pada tempatnya dll)
77 Lampiran 2 Batasan skoring Skor 0
1
2 3
Keterangan Ada rencana belum ada penerapan Ada aturan belum ada penerapan/ belum ada aturan sudah ada penerapan
Batasan Sudah ada rencana yang terdapat dalam RTRW atau peraturan Daerah Sudah ada rencana namun belum diterapkan atau sudah diterapkan namun belum dicantumkan dalam RTRW atau Peraturan daerah Ada aturan dengan penerapan Batasan penentuan skor berdasarkan kriteria ≤50% (lihat Lampiran 3) Ada aturan dengan penerapan >50%
Lampiran 3 Kriteria penerapan Upaya Penanaman Pohon
Gardu distribusi
Pembuatan Jalur sepeda
Pembuatan Jalur Pejalan kaki
Peningkatan RTH Rehabilitasi Saluran air/drainase Mengembangkan sistem kereta api
1. 2. 3. 4. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Merata di seluruh wilayah kota Jenis tanaman sesuai dengan penggunaan Sudah dapat mengurangi dampak lingkungan Media tanam sesuai dengan jenis tanaman Sudah tersebar di kecamatan dan kelurahan Sudah menggunakan sistem sensor jarak jauh Sudah terdapat pada kawasan strategis Tidak terputus, menghubungkan satu tempat dengan tempat lain Fasilitas pendukung untuk bersepeda di beberapa/seluruh tempat Jalur terpisah dengan kendaraan bermotor Sudah terdapat pada kawasan strategis Tidak terputus, menghubungkan satu tempat dengan tempat lain Fasilitas pendukung pejalan kaki Jalur terpisah dengan kendaraan bermotor Sudah memenuhi target perencanaan = 30% RTH sudah merata di seluruh wilayah Sudah memenuhi kebutuhan RTH per orang Dapat menampung debit air lebih tinggi Sudah merata dilakukan pada saluran air yang rusak Stasiun Terdapat di seluruh kecamatan Terintegrasi dengan jenis angkutan umum Terdapat tempat parkir kendaraan Sudah menggunakan sistem dua jalur
Terpenuhi 1
1 1
1
1
1
2
78 Lampiran 3 Kriteria penerapan (lanjutan) Upaya Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan dalam kota
Pengembangan sistem angkutan massal berbasis jalan yang terintegrasi Menjaga kualitas jalan
Membangun sistem park & ride
1.
2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Pembuatan jembatan 1. penyebrangan 2. 3. 4. Pengolahan sampah di TPA
Membangun TPST 3R
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Saling terintegrasi dengan jenis angkutan lainnya maupun jalur pejalan kaki, tidak terputus Dapat diakses seluruh masyarakat (terjangkau, untuk dissable) Sudah tersebar dalam wilayah perencanaan Terdapat fasilitas berupa halte Saling terintegrasi dengan jenis angkutan lainnya, tidak terputus Dapat diakses seluruh masyarakat (terjangkau, untuk dissable) Sudah tersebar dalam wilayah perencanaan Terdapat fasilitas berupa halte, website, dll Pelebaran jalan = pelebaran drainase Pembagian jalan menurut bobot dan jenis jalan Melakukan perbaikan pada jalan yang rusak Pengawasan dan pemberian sanksi Terdapat di kawasan strategis kota (misal stasiun/terminal) Dapat mengakomodasi >2 jenis kendaraan Terdapat tanaman penaung / pergola pada tempat parkir Dapat menampung seluruh kendaraan pengguna (tidak ada yang parkir diluar kawasan) Terdapat di seluruh wilayah kota Kondisi baik Dapat digunakan pada malam hari (ada penerangan) Sudah efektif- menggunakan jembatan untuk menyebrang Menggunakan sistem sanitary landfiil Terdapat pengolahan air lindi Aksesibilitas baik Memiliki luas 8 ha (uu no 18 tahun 2007) Tersedia di seluruh kelurahan Dikelola oleh KSM/masyarakat Terdapat mesin pencacah dan kendaraan pengangkut sampah Memiliki mitra/menjalin kerjasama
Terpenuhi 1
1
1
2
1
3
2
79 Lampiran 3 Kriteria penerapan (lanjutan) Upaya Pemasaran produk daur ulang
1. 2. 3.
Pembuatan Sumur resapan
4. 1. 2.
Pembuatan Polder/kolam resapan
Instalasi pengolahan air
3. 4. 1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
Pemantauan kualitas air
1. 2. 3. 4.
Pengembangan sistem pengolahan air limbah Uji emisi Pemantauan kualitas udara
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Sudah ada koordinasi dengan pihak pemerintah Mengikuti event-event atau pameran kegiatan Sudah diketahui seluruh masyarakat (sudah umum) Memiliki daya jual yang tingi Sudah terdapat di seluruh wilayah kota dan memenuhi target kebutuhan kota Sudah bisa mengatasi permasalahan dan menjernihkan air Terletak pada lahan datar Terdapat pada fasilitas umum dibatasi dengan baik – air luar kawasan tidak boleh masuk tidak ada aliran permukaan bebas terdapat di seluruh wilayah kota dilengkapi bangunan pengendali untuk aliran air ke luar, dilakukan pengolahan sebelum dibuang, dan ditanami tanaman air penyerap polutan Dapat mencakup 50% pelayanan jumlah penduduk Instalasi pengolahan air di kecamatan setu, serpong utara, pamulang, ciputat timur Produksi 6000 l/d Penyediaan sumber menggunakan air permukaan dilakukan min setiap tahun dilakukan pada hili & hulur, on site (situ, sungai) publikasi hasil pemberian sanksi bagi pencemar khususnya industri Sistem pengelolahan limbah terpusat Sistem pengelolahan limbah Setempat Komunal berbasis masyarakat Limbah cair lainnya (kegiatan lainnya) Dilakukan pada beberapa titik lokasi Dilakukan minimal setahun sekali Hasil uji dipublikasikan Ada tindak lanjut ketika melewati atau hampir mencapai baku mutu
Terpenuhi 2
1
2
1
2
0
2
80 Lampiran 3 Tabel Kriteria (lanjutan) Upaya Uji emisi kendaraan bermotor
Penyusunan Perda
Penyusunan UPL/UKL
Penyusunan buku laporan-data SLHD
Penyusunan masterplan TPA Cipeucang, Penyusunan memorandum program sektor sanitasi Laskar lingkungan
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2.
Adipura
Adiwiyata
3. 4. 1. 2.
Penghargaan langit biru
3. 1. 2.
3. 4.
Kriteria Dilakukan pada beberapa titik lokasi Pemberian sanksi pada kendaraan yang melewati ambang batas Wajib bagi seluruh kendaraan Dilakukan minimal setahun sekali sudah disahkan sudah dapat diakses oleh masyarakat sudah disosialisasikan seluruh perusahaan wajib membuat dokumen UKL/UPL Pemerintah melakukan pengawasan Pemberian sanksi tegas sudah dipublikasikan sudah dapat diakses masyarakat sudah disosialisasikan disusun setiap tahun sudah dipublikasikan sudah dapat diakses masyarakat sudah disosialisasikan disusun setiap tahun sudah dipublikasikan sudah dapat diakses masyarakat sudah disosialisasikan disusun tiap rentang tahun tertentu Sudah tergorganisir dengan baik Sudah berperan nyata bagi lingkungan Sudah tersebar di seluruh wilayah kota Penilaian dilakukan secara rutin setiap tahun sekali Sudah ada partisipasi publik maupun organisasi lingkungan lainnya dalam hal pengelolaan dan pengawasan lingkungan Pernah memenuhi kriteria penilaian Hasil penilaian dipublikasikan Penilaian dilakukan secara rutin setiap tahun sekali Ada partisipasi dengan sekolah-sekolah di Kota Tangerang Selatan Hasil penilaian di publikasikan Penilaian dilakukan secara rutin setiap tahun sekali Sudah ada partisipasi publik maupun organisasi lingkungan lainnya dalam hal pengelolaan dan pengawasan lingkungan Pernah memenuhi kriteria penilaian Hasil penilaian dipublikasikan
Terpenuhi 2
1
3
1
1
3
3
2
3
81
RIWAYAT HIDUP
Imaniar Putri dilahirkan di Kawangkoan, Sulawesi Utara, tanggal 25 September 1992 sebagai anak pertama dari pasangan Ambar Hatmadi dan Yeni Sulianti. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1996 di TK Al-Mutazzam Manado, pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di SD Perguruan Islam Manado hingga tahun 2003, pada tahun 2003 – 2004 penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN 6 Manado. pada tahun 2004 penulis melanjutkan sekolah di SMP N 1 Manado dan pada Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Cianjur hingga lulus di Tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis juga merupakan penerima BIDIK MISI. Penulis pernah menjadi juara 1 menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Koran Kampus IPB tahun 2011. Pada tahun 2012 karya penulis masuk kategori dan dibukukan dalam sayembara mengarang cerpen oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi dan dalam Sayembara Cerita Mini Internasional. Sebagai pengurus organisasi mahasiswa daerah Cianjur (HIMAT), penulis pernah menjadi panitia buka bareng HIMAT 2011, panitia sosialisasi IPB di Cianjur pada tahun 2011, panitia IPB goes to Cianjur di tahun 2012, dan panitia Cianjur Grand University Day tahun 2012. Dalam lingkup jurusan, penulis pernah menjadi panitia ARL Shaum Station 2011, panitia masa perkenalan Departemen Arsitektur Lanskap tahun 2012, panitia Fieldtrip 2012, dan Panitia HPS angkatan 44 tahun 2013. Selain organisasi dan kepanitian, penulis pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Lanskap Kota dan Wilayah (ARL 303) di Departemen Arsitektur lanskap pada tahun 2014.