STUDI PENENTUAN FUNGSI SABUK HIJAU KOTA DALAM MASALAH PEMBANGUNAN LINGKUNGAN PERKOTAAN DI SURAKARTA Eny Krisnawati Abstrak Perubahan kondisi lingkungan dapat berpengaruh buruk terhadap manusia. Hal ini tentunya bisa berdampak global pada lingkungan, khususnya bagi kesehatan masyarakat sendiri. Berbagai bentuk perusakan lingkungan, seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam, seperti bencana banjir, bencana kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, masalah sampah, dan meningkatnya kadar polusi udara merupakan masalah lingkungan yang tergolong bukan sepele. Sebab, tidak terselesaikannya atau berlarutlarutnya masalah lingkungan akan menghancurkan potensi pemenuhan generasi mendatang. Termasuk adanya kemerosotan kualitas lingkungan bisa berdampak buruk bagi kenyamanan lingkungan, khususnya bagi kehidupan manusia. Sabuk hijau kota merupakan pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan fungsi lainnya bagi kepentingan masyarakat perkotaan. Untuk itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi dapat pula berarti bahwa hutan kota dapat tersusun dari komponen hutan, dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota, seperti taman kota, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan. Kata kunci : sabuk hijau kota, lingkungan, fungsi hutan kota
1. PENDAHULUAN Dewasa ini pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan dari lahan (terutama lahan-lahan pertanian menjadi daerah terbangun) yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003). Hal-hal tersebut
diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek,termasuk aspek lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampungpenduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi gunalahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota,
38
tertutup oleh jalan, bangunan dan lainlain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka nonhijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial.Dalam hal ini, diperlukan pemikiran jauh ke depan, yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan berjangka pendek, dan perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehinggakonversi lahan dari pertanian produktif ataupun dari kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan. Surakarta sebagai kota yang berbudaya sangat menghormati etika namun telah membesar merambah wilayah pinggiran kota. Dengan me-reorientasi pembangunan kawasan Surakarta yang menyandarkan kembali pada pengembangan konsep sabuk hijau ini
dimungkinkan“melebur”-nya demarkasi wilayah administrasi ke dalam kerangka common green dimana tiap-tiap wilayah kota ikut berkontribusi secara proporsional. Besarnya kontribusi ini tentu dilakukan dengan mempertimbangan optimasi peran ekologis, fisik dan sosial-ekonomi dari tiap wilayah dalam lingkar sabuk hijau tersebut. Sebut saja, untuk sebagian wilayah Jakarta Selatan dan selatan Jakarta (seperti Depok dan sebagian kabupaten Bogor) peran ekologis sebagai daerah resapan (rechargement area), yang mengendalikan fungsi tata air perlu dijadikan dasar dalam mendifinisikan batas dan luasan wilayah yang difungsikan sebagai sabuk hijau. Dimana pada musim kemarau menjamin pasokan air tanah yang sinambung dan pengendali banjir di musim hujan. merupakan lahan kelas satu difungsikan kembali sebagai sabuk hijau lumbung padi dan produksi pertanian. Sedangkan sebagian wilayah Srakarta Utara, sebagai sabuk hijau dengan fungsi lindung, yang menjaga kesetimbangan tata air, daerah parkir air, pencegah merambahnya intrusi air laut yang sudah mencapai sepertiga daratan ibu kota, pencegah terjadinya subsidence (amblas) lebih dalam, serta berbagai fungsi lindung lain, seperti hutan lindung (hutan mangrove), cagar alam, sempadan sungai dan sempadan pantai. Semoga uraian dari pengalaman beberapa negara di atas dapat ditarik pelajaran, setidaknya bagi pemerintah kota Surakarta dan kota-kota di wilayah lainnya dalam rangka “mengencangkan” sabuk hijau lingkar kota. Dalam hal ini penulis mengidentifikasi Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan kerusakan, dan bagaimana peran Pemerintah Kota Surakarta dalam penetapan model
39
penataan hutan kota pada kawasan sabuk hijau Bantaran Sungai Pepe sebagai solusi terciptanya keseimbangan lingkungan 2. SABUK HIJAU PERKOTAAN KOTA DAN PERMASALAHANNYA Dikatakan oleh Radinal Mochtar, pembangunan perkotaan di Indonesia sangat berorientasi pada selera pimpinan daerah. Sebagai birokrat, pimpinan kerap kurang memiliki wawasan ekologi. Dalam kenyataannya, nuansa pembangunan dengan dasar keuntungan ekonomi semata sangatlah mendominasi. Wacana penyediaan ruang terbuka hijau kota yang dapat digunakan oleh masyarakat umum Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi social Amos Rapoport mengutip Jorge E. Hardoy yang menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota sebagai berikut : a. Ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan tempat, b. bersifat permanen, c. kepadatan minimum terhadap massa dan tempat d. struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata e. tempat di mana masyarakat tinggal dan bekerja f. fungsi perkotaan minimum yang diperinci, yang meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif atau pemerintahan, sebuah pusat militer, sebuah pusat keagamaan, atau sebuah pusat aktivitas intelektual bersama dengan k e l e mb a g a a n y a ng s a ma .
g. heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat. h. pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian di luar kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran yang lebih luas. i. pusat pelayanan (service) bagi daerah-daerah lingkungan setempat. j. pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada masa dan tempat itu. Sudah banyak orang mencoba mendefinisikan istilah ”sabuk hijau”. Tetapi menurut Amos Rapoport, sebagian besar definisi yang sudah sering disebutkan dan digolongkan sebagai definisi ’klasik’ bersifat etnosentris, yang berdasarkan pada kota Barat Modern. Misalnya salah satu definisi menyatakan : Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial2 3. PENGERTIAN RUANG TERBUKA HIJAU Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.
40
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalanjalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa
ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahanlahan pribadi.
Gambar1: Perubahan fungsi ruang terbuka hijau
4.
FUNGSI DAN MANFAAT RTH. RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi yang strategis. Fungsi RTH dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota. RTH fungsi ini merupakan perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi
41
lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Gambar 2: Perubahan Tutupan lahan DAS Bengawan Solo Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas : a. manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keinginan, dan b manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati. 5. ISSUE DAN TANTANGAN Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan
hidup perkotaan, bencana banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontraproduktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme. Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan 5.1.
Peran Penataan Ruang Perkotaan Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan Perencanaan tata ruang perkotaan perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasankawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Dengan demikian perencanaan tata ruang harus dimulai dengan pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun?
42
Gambar 3. Interaksi Tata Ruang & Transportasi
Sehingga rencana tata ruang perkotaan secara ekologis dan planologis terlebih dahulu mempertimbangkan komponenkomponen RTH maupun ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ruang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota sebagaimana tercantum dalam Gambar 8 dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan. 5.2. Struktur Sabuk Hijau Kota Struktur sabuk hijau kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam sehingga terbangun hutan kota yang berlapislapis dan berstrata baik secara vertikal maupun horizontal yang meniru hutan alam. Struktur sabuk hijau kota, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan kota. Dapat diklasifikasikan menjadi sabuk hijau kota yang : a. berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya. b. berstrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga
terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuhtumbuhan hutan alam Struktur sabuk hijau kota yang berstrata banyak dapat dilihat dalam penelitian penanggulangan masalah lingkungan kota yang berhubungan dengan suhu udara, kebisingan, debu dan kelembaban udara. Hasil analisis secara multidimensi dari lima jenis sabuk hijau kota, ternyata hutan kota yang berbentuk menyebar strata banyak paling efektif untuk menanggulangi masalah lingkungan kota sekitarnya. Fungsi dan manfaat sabuk hijau kota yang berbentuk menyebar ini akan menyebar pula., jika dibandingkan dengan fungsi dan peranan sabuk hijau kota yang berbentuk bergerombol. 6. KESIMPULAN Dalam setiap pelaksanaan pembangunan pembangunan dapat menimbulkan perubahan dan setiap perubahan akan selalu ada dampaknya terhadap lingkungan. Bagaimana perencanaan yang baik dan benar dalam lingkungan yang berubah
43
dengan cepat serta mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, artinya tidak merusak prinsip-prinsip ekologi. Kualitas lingkungan kota yang nyaman, sehat dan estetis dalam penyeimbangan lingkugan, kelembaban, pencemaran debu, kebisingan, estetika, kehadiran burung dengan adanya perencanaan sabuk hijau di sepanjang bantaran sungai menghadirkan hutan kota Bentuk dan struktur hutan kota berbeda, antara lain efektivitasnya untuk menanggulangi masalah lingkungan kota, pengembangan penghijauan kota yang mengarah kepada terbentuknya struktur ekologis ditinjau dari fungsi pelestarian lingkungan, fungsi lansekap dan fungsi estetika. Hutan kota merupakan unsur RTH yang secara ekologis melindungi kota dari masalah lingkungan. Selain untuk melepaskan kejenuhan, sabuk hijau yang berupa hutan kota pun dapat berfungsi untuk menghambat penurunan kualitas lingkungan di wilayah perkotaan, terutama yang diakibatkan oleh berbagai pencemaran yang dapat merusak lingkungan dan mengganggu tatanan kehidupan masyarakat perkotaan. Adapun pemahaman tentang peranan hutan kota tidaklah terlepas dari upaya memahami keunggulan vegetasi (baca; adanya tumbuh-tumbuhan) dalam rekayasa lingkungan, sekaligus mengenali pula sifat-sifat tumbuhan beserta bagianbagiannya dan bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan. Hutan kota merupakan pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan fungsi lainnya bagi
kepentingan masyarakat perkotaan. Untuk itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi dapat pula berarti bahwa hutan kota dapat tersusun dari komponen hutan, dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota, seperti taman kota, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan. Jadi, sabuk hijau kota adalah ruang terbuka hijau (green spaces) yang ditumbuhi oleh pohon-pohonan yang terdiri dari hutan yang ada di dalam atau di dekat kota, jalur hijau, pinggir jalan dan jalur pemisah jalan yang ditumbuhi pohon, pinggir jalan raya dan alat transportasi darat lainnya dan tempat-tempat rekreasi, seperti taman kota dan lapangan golf. Sedangkan lingkungan sendiri merupakan ruang yang ditempati makhluk hidup bersama benda hidup dan tak hidup. Erat kaitannya dengan lingkungan ini adalah ekosistem, di mana hutan kota merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem perkotaan dapat mengalami gangguan seiring dengan gangguan terhadap lingkungan hidup. Dalam menghadapi dunia teknologi yang semakin meningkat ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan pesatnya berbagai pembangunan di perkotaan telah banyak mengakibatkan kualitas lingkungan hidup di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, Semarang, Surabaya, tak terkecuali Kota Bandung, yang cenderung mengalami penurunan drastis. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya jumlah kepadatan penduduk, semakin berkurangnya kawasan bervegetasi yang menyebabkan meningkatnya runoff, luas resapan air di kota-kota besar berkurang hingga debit air yang masuk
44
ke sungai meningkat, sedangkan persediaan air tanah berkurang serta menambah kritisnya cadangan air tanah. Perencanaan sabuk hijau sepanjang bantaran yang merupakan elemen perkotaan merupakan salah satu cara guna t sebagai penghasil O2 untuk menekan kadar CO2 di dalam udara. Selain itu juga sebagai barrier getaran, dan bahkan penyerap polusi suara yang banyak dikeluhkan oleh penghuni metropolitan. Tidak bisa dikesampingkan pulaperanan ruang terbuka hijau secara visual, yang membantu menghadirkan suasana segar di tengah belantara beton perkotaan. Yang terakhir ini ditengaraidapat mengurangi lalu lintas kendaraanbermotor karena penduduk menjadi lebih bersedia berjalan kaki serta kurang berkehendak untuk keluar kota atau ke tempat hiburan(Frick & Setiawan, 2002).
7. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Dinata, Arda. 2005. Meningkatkan Kualitas Udara Bandung, Teropong. H. U Pikiran Rakyat 2. Dwita Hadi dan Bakti Setiawan. 1999. Perancangan Kota Ekologi. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Ti nggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 3. Chafid Fandeli, Kaharuddin dan Muklison. 2004. Perhutanan Kota. Yogyakarta : Fak. Kehutanan UGM. 4. Eko Budihardjo dan Sudanti. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung : Alumni.
5. Imansyah, Budi S, Hutan Kota Menghambat Pencemaran, H.U. Kompas, Mei 2005 6. Rapoport, Amos.”Tentang asalusul kebudayaan permukiman”. Karangan di : Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan, Bandung, hal.22. 7. Wirakusumah, S. 1987. Program Hutan Kota Untuk Jakarta. Makalah Seminar Hutan Kota DKI Jakarta, Jakarta 8. Yunus, Hadi Sabari. 2004. Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 9. Zahnd, Markus, 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta 10. Zoer’aini, D.I. 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Kota, Disertasi Pascasarjana IPB, Bogor 11. Zoer’aini, D.I. 2005. Tantangan Lingkungan & Lansekap Hutan Kota, Bumi Aksara, Jakarta Biodata Penulis : Eny Krisnawati, Alumnus S-I Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta (1988), S-2 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2006), dan pengajar Program Studi Arsitektur Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
45
46