V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Penilaian terhadap status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di
wilayah
perbatasan
Provinsi
Kalimantan
Barat
dilakukan
dengan
menggunakan analisis Rapid Appraisal Indeks Sustainable for Forestry Management (Rap-Insusforma). Analisis Rap -Insusforma akan menghasilkan nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan pada masing -masing dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan serta yang bersifat multidimensi. Masing-masing dimensi memiliki atribut yang mencerminkan status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai indeks yang dihasilkan meliputi nilai indeks status keberlanjutan mutlidimensi (ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) maupun nilai indeks keberlanjutan untuk masingmasing dimensi. Nilai indeks yang dihasilkan merupakan gambaran tentang kondisi pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan yang terjadi pada saat ini. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi yang dikaji. Atribut dari masing -masing dimensi yang sensitif mempengaruhi nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan akan digabung dengan faktor dari analisis kebutuhan guna merumuskan kebijakan dan skenario strategi dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada masa yang akan datang agar terjadi peningkatan nilai indeks pengelolaan dari kondisi saat ini.
5.1.1. Kondisi skor masing-masing atribut pada setiap dimensi Nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Provinsi kalimantan barat ditentukan berdasarkan skor untuk masing-masing atribut pada setiap dimensi sesuai dengan kondisi pengelolaan yang dilakukan pada saat ini dengan mengacu pada kriteria dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Nilai skor masingmasing atribut pada setiap dimensi pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 17.
83
Tabel 17. Kondisi nilai skor keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan. Dimensi dan Atribut Skor saat ini Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengeloaan hutan
(1) tersedia
2
0
(0)tidak tersedia; (1)tersedia tapi belum dipatuhi secara baik; (2) tersedia dan dipatuhi
Upaya perlindungan terhadap tempat-tempat yang rentan ekologis
(1) dilakukan
2
0
(0) tidak dilakukan; (1)dilakukan tapi belum secara maksimal; (2)dilakukan secara maksimal.
Tingkat kekayaan/keragaman biota
(2) sangat beragam
2
0
(0)sangat minim; (1)cukup beragam; (2)sangat beragam.
Upaya perlindungan terhadap biota langka
(1) dilakukan sebatas yang mendapat dukungan dana internasional
3
0
(0) tidak dilakukan; (1)dilakukan sebatas yang mendapat dukungan dana internasional; (2)dilakukan pada semua biota yang memiliki nilai ekonomi; (3) Dilakukan pada semua biota langka.
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
(2) setiap tahun sekali pada musim kemarau.
0
2
(0)tidak pernah; (1)terjadi pada saat musim kemarau panjang; (2) setiap tahun sekali pada musim kemarau.
Waktu suksesi hutan
(0) lambat
2
0
(0) lambat; (1) sedang; (2) cepat.
Program reboisasi hutan
(1) sedikit
3
0
(0)tidak ada; (1) ada sedikit; (2) sedang; (3)banyak
Kegiatan ladang berpindah
(3) banyak
0
3
(0)tidak ada; (1) ada sedikit; (2) sedang; (3) banyak
Diameter tebangan
(0) kecil
2
0
0) kecil; (1) sedang; (2) besar
Frekuensi kejadian banjir
(2) sering
0
2
(0) tidak pernah terjadi; (1) jarang terjadi; (2)sering
84
Dimensi Ekonomi Tingkat pengembalian dana reboisasi Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kalimanatan Barat Jenis produk hutan yang dipasarkan
(0) rendah
2
0
(2) tinggi
2
0
(1) bahan setengah jadi
3
0
(2) internasional (2) tinggi
2
0
0
2
(0) rendah
2
0
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
(2) keuntungan marginal
3
0
Mengacu pada analisis usaha: (0) rugi; (1) kembali modal (2) kuntungan marjinal; (3) untung besar.
(0) rendah
2
0
(0) rendah
2
0
(0) rendah; (1) s edang; (2) tinggi (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan
(1) rendah
3
0
Tingkat penyerapan tenaga kerja Pemahaman, kepedulaian, dan tanggung jawab masayarakat terhadap SDH Pola hubungan para stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya hutan Tingkat pendidikan masayarakat di sekitar hutan
(2) tinggi
2
0
(0) rendah
2
0
(1) saling menguntungkan
1
0
(0) dibawah rata-rata nasional
2
0
Jarak pemukiman dengan kawasan hutan Peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan
(0) dekat
2
0
(2) tinggi
2
0
(1) ada, tidak berjalan
3
0
(1) sedang
2
0
(1) sedang
2
0
Pasar produk Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan. Harga komoditi hasil hutan yang dipasarkan. Kelayakan usaha industri kehutanan
Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan Pemanfaatan sumberdaya hutan bukan kayu
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) bahan mentah; (1) bahan setengah jadi;(2) bahan jadi; (3) produk nilai ekonomi tinggi. (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
Dimensi Sosial Budaya
Dimensi Teknologi Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan Ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan.
(0) tidak punya sama sekali ; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) tidak saling menguntungkan; (1) saling menguntungkan (0) dibawah rata-rata nasional; (1) sama dengan rata-rata nasional; (2) di atas ratarata nasional. (0) dekat ; (1) sedang; (2) jauh (0) rendah; (1)sedang; (2) tinggi (0) tidak ada; (1) ada, tidak berjalan; (2)kurang optimal; (3) berjalan optimal (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) teknologi sederhana; (1) teknologi sedang; (2) teknologi tinggi
85
Ketersediaan teknologi informasi
(0) sangat minim
3
0
Ketersediaan basis data (data base) sumberdaya hutan Ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Standarisasi mutu produk hasil hutan
(0) tidak tersedia (0) tidak tersedia
1
0
1
0
(1) diterapkan hanya untuk produk tertentu saja
2
0
Penerapan sertifikasi produk hasil hutan (ekolabel)
(0) belum diterapkan
2
0
Pengolahan limbah kayu bekas tebangan
(0) rendah
2
0
Perjanjian kerjasama dengan negara tetangga Malaysia
(0) tidak ada
2
0
Mekanisme kerjasama lintas sektor dan antar daerah dalam pengelolaan SDH Frekuensi konflik
(0) tidak ada
1
0
(2) sering terjadi
0
2
Intensitas pelanggaran hokum (penebangan liar)
(2) sering terjadi
0
2
Ketersedian peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya hutan Ketersediaan hukum adat/agama
(1) sedikit
3
0
(1) cukup tersedia
2
0
Keberadaan aparat penegak hukum di lokasi
(1) kurang tersedia
3
0
Konsistensi penegakan hukum
(0) tidak konsisten
3
0
Singkronisasi kebijakan pusat dan daerah
(1) kurang sinkron
2
0
(0) sanga minim ; (1) cukup tersdia; (2) tersedia memadai; (3) tersedia dengan teknologi tinggi (0) tidak tersedia; (1) tersedia (0) tidak tersedia; (1) tersedia (0) belum diterapkan; (1) diterapkan hanya untuk produk tertentu saja ; (2) diterapkan pada semua produk (0) belum diterapkan; (1) diterapkan hanya untuk produk tertentu saja; (2) diterapkan pada semua produk (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
Hukum dan Kelembagaan (0) tidak ada; (1) ada tapi belum secara secara khsusus membahas sumberdaya hutan; (2) ada secara khusus. (0) tidak ada; (1) ada
(0)tidak pernah ada ; (1) jarang terjadi; (2)sering terjadi (0) tidak pernah ada ; (1) jarang terjadi ; (2)sering terjadi (0) tidak ada ; (1) ada sedikit ; (2) cukup banyak; (3) banyak (0) tidak ada ; (1) cukup tersedia ; (2) sangat lengkap (0) tidak ada ; (1) kurang tersedia ; (2) cukup tersedian; (3) sangat lengkap (0) tidak konsisten ; (1) cukup konsisten ; (2) konsisten ; (3) sangat konsisten (0) tidak singkron; (1) kurang sinkron; (2) sinkron.
86
Berdasarkan Tabel 17, berikut dijelaskan kondisi masing-masing atribut sesuai dengan nilai skor pada setiap dimensi, yaitu: a. Dimensi ekologi Tata ruang kawasan perbatasan Kalimantan Barat belum secara detail dijabarkan. Adanya perubahan struktur organisasi pemerintahan berupa peningkatan status beberapa kecamatan menjadi kabupaten baru (pemekaran) menuntut perubahan struktur pemerintahan yang ada. Pada saat ini telah dilakukan pengalokasian kawasan -kawasan prioritas (zonasi), tetapi kegiatan ekonomi relatif masih kecil. Kawasan konservasi, taman nasional, merupakan kawasan yang banyak mendapat perhatian. Hal tersebut juga dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti WWF, ITTO dan organisasi yang berbasis lingkungan. Walupun sudah ada zonasi peruntukan kawasan, zonazona potensial di kawasan perbatasan belum cukup berkembang . Hal ini diantaranya diakibatkan oleh: 1. Belum tertatanya kawasan pemukiman yang ada. 2. Belum tertatanya kawasan lindung dan wisata ekologi yang ada. 3. Belum tertatanya kawasan budidaya dan sektor primer lainnya. 4. Belum teralokasinya kawasan-kawasan bisnis, perdagangan, jasa, dan industri. 5. Belum tertatanya kawasan potensial di kawasan perbatasan. Selain itu belum lengkapnya penyusunan detail RTRW, RDTR dan Rencana
Kota
–
Ibukota
Kecamatan,
serta
perangkat
hukum
yang
pelaksanaannya masih menghambat pembangunan zona-zona potensial di kawasan perbatasan. Secara rinci zonasi kawasan wilayah perbatasan adalah sebagai berikut: 1) kawasan suaka alam seluas 1.088.269 ha (cagar alam, taman nasional, taman wisata alam), 2) hutan lindung seluas 1.491.619 ha, 3) hutan produksi seluas 1.089.856, 4) hutan produksi terbatas seluas 1.260.481 ha, dan 5) hutan produksi yang dapat di konversi seluas 173.217 ha. Upaya perlindungan terhadap kawasan-kawasan yang rentan bencana ekologis, seperti kawasan yang rentan terjadi bencana kebakaran hutan, tanah longsor, banjir dan lain-lain di kawasan perbatasan belum secara maksimal diperhatikan. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan perkebunan skala besar pada saat membuka lahan (land clearing). Di samping itu, pembukaan lahan di daerah resapan air dan DAS bagian hulu masih sering ditemukan, sehingga pada
87
musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi penurunan permukaan air sungai yang dapat mengganggu jalur trasportasi sungai. Tingkat keanekaragaman hayati di kawasan perbatasan relatif tinggi baik untuk tumbuhan (flora) maupun hewan (fauna). Dalam perspektif ekologi, semakin tinggi tingkat keanekaragaman hayati sutau ekosistem maka ekosistem tersebut relatif semakin stabil dan memiliki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Berdasarkan hasil Borneo Biodiversity Expedition to the Transboundary Conservation Area of Betung Kerihun National Park (Kapuas Hulu) and Lanjak Kentimau Wildlife Sanctuary (Sarawak) Tah un 2003, menunjukkan bahwa wilayah perbatasan memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Jenis keanekaragaman hayati yang ditemukan di wilayah perbatasan adalah sebagai berikut: • Pada kedua kawasan lindung tersebut diketemukan sejumlah tumbuhan yaitu Genera laxocarpus, Ardisa, Lepisanthes, Microtopis dan Jarandersonia. • Terdapat tumbuhan langka di TN Betung Kerihun yakni Cyrtranda mirabilis. • Diidentifikasi 62 jenis palem, 2 diantaranya jenis baru. • Kaya akan jenis dipterocarpaceae, terutama Lanjak Ketimau. • Tercatat 125 jenis ikan dari 12 famili (91 jenis ditemukan di Kalimantan Barat, 61 jenis di Sarawak), juga 2 jenis ikan dari genus Glaniopsis dan sejenis ikan Gastromyzon ditemukan pertama kali di Kalimantan. • Ditemukan 291 jenis burung dari 39 famili, dengan 20 jenis endemik dan
17
jenis migran, yang mewakili ± 70% avifauna hutan dataran rendah kalimantan. • Terdapat 41 jenis tumbuhan obat-obatan, 144 jenis tumbuhan yang menghasilkan bahan makanan, 38 jenis tumbuhan untuk upacara, 30 jenis tumbuhan untuk bahan bangunan dan 60 jenis tumbuhan untuk berbagai macam bangunan. • Ditemukan tumbuhan Hornstedtia sp yang digunakan untuk indikator bahwa areal bekas perladangan sudah bisa ditanami kembali. Ada beberapa biota langka yang dilindungi yang terdapat di kawasan perbatasan seperti Cyrtranda mirabilis, ikan arwana , orang hutan, dan lain -lain. Upaya perlindungan terhadap biota langka ini telah dilakukan dalam bentuk penangkaran satwa dan penetapan melalui undang -undang sebagai biota yang dilindungi, namun sering kali ditemukan penyelundupan dan perdagangan ilegal biota langka ke luar negeri yang melibatkan masyarakat lokal. Kebakaran hutan di Kalimantan Barat terjadi setiap tahun pada saat musim kemarau tiba. Pada tahun 2004, jumlah titik api (hotspot) di Kalimantan
88
barat mencapai 7.980 meningkat 100 persen lebih jika dibandingkan pada tahun 2003 yang hanya berjumlah 3.140 titik api. Jumlah titik api tertinggi ditemukan di Kabupaten Ketapang (2.660 titik api), kemudian disusul Kabupaten Sintang 1.876 titik api, dan Kabupaten Sanggau 1.516 titik api. Kebakaran hutan terjadi pada bulan Mei sampai September dan puncak tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang mencapai 5.728 titik api. Perincian jumlah titik api pada tahun 2004 di Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Jumlah titik api pada masing-masing kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2004 No. Kabupaten/ Tahun 2004 Kota Mei Juni Juli Agust Sept 1. Pontaianak 4 51 23 294 16 2. Sambas 9 34 15 65 3. Bengkayang 4 171 4 148 1 4. Landak 1 4 652 9 5. Sanggau 21 2 1.406 87 6. Sintang 2 35 9 1.444 365 7. Kapuas Hulu 5 64 24 290 8 8. Ketapang 10 32 10 1.413 1.195 9. Kota Pontianak 2 4 10 Kota Singkawang 8 1 14 56 420 88 5.728 1.685 Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Barat 2005.
Jumlah 388 123 28 666 1.516 1.876 391 2.660 6 26 7.980
Kebakaran hutan di wilayah Kalimantan Barat pada tahun 2004 terjadi di areal HPHTI dan lahan pertanian. Luas hutan yang terbakar seluas 256,80 ha, lahan perkebunan seluas 400,00 ha, dan lahan pertanian seluas 70,20 ha. Perincian luas areal kebakaran hutan pada musim kemarau tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Luas areal kebakaran hutan pada musim kemarau di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2004 No Kabupaten/ Pengguna Jenis Tanaman (Ha) Keterangan . Perusahaan an Lahan Hutan Kebun Lahan Jumla h 1. Sambas Pertanian - 40,95 40,95 2. Sanggau Perkebun 256,80 1,00 257,80 Hutan PT. an Tanaman Finantara - 300,00 200,00 500,00 Kelapa 3. Bengkayang Perkebun sawit PT. Ceria an 100,00 - 100,00 Prima - 128,25 128,25 Kelapa PT. Mitra sawit ISP. Lahan terbuka Jumlah 256,80 400,00 370,20 1.027 Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Barat 2005.
89
Di wilayah perbatasan, terutama di Kabupaten Kapuas Hulu secara keseluruhan merupakan daerah yang telah mengalami pengikisan dan semakin tua, yang ditandai dengan gradient sungai yang kecil dan berkelok-kelok. Morfologi daerah berbentuk wajan (kuali), terdiri dari dataran rendah/cekung yang terendam air. Dengan morfologi daerah yang demikian, sumberdaya hutan di wilayah perbatasan merupakan sumberdaya hutan gambut dan sering terendam air. Hutan gambut yang sering tergenang air karena berada di daerah sekitar aliran sungai menjadi faktor penghambat terjadinya suksesi hutan apabila terjadi penebangan kayu dan pembukaan lahan untuk pertanian atau perkebunan. Proses suksesi hutan pada jenis tanah podsolik merah kuning (PMK), brown forest litosol dan organosol, dan lahan gambut membutuhkan waktu yang relatif lebih lama jika d ibandingkan pada lahan podsolik hitam, lahan tidak bergambut, dan tidak tergenang air. Program penghijauan (program reboisasi) merupakan upaya yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dalam rangka menanggulangi kerusakan hutan terutama di wila yah perbatasan. Pada tahun 2004, kegiatan reboisasi melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Provinsi Kalimantan Barat seluas 7.300 ha. Kegiatan reboisasi yang dilakukan banyak mengalami kegagalan karena kurang melibatkan masyarakat setempat dan kegiatan tersebut hanya berlangsung sesaat, sehingga lahan kritis sebagai akibat kebakaran hutan, penebangan liar, ladang berpindah, dan perambahan hutan di Kalimantan Barat mencapai luas 2.364.158 ha berada dalam kawasan hutan, dan se luas 2.973.873 hektar yang berada di luar kawasan hutan (Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2005). b. Dimensi ekonomi Realisasi penerimaan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dari iuran dana reboisasi (DR) pada tahun 2004 kurang dari
10% dari jumlah yang
ditetapkan. Penerimaan iuran DR yang diterima pemerintah hanya sebesar 438.997,87 US dolar, sedangkan tunggakan DR mencapai 5.621.759,33 US dolar. Kondisi ini menggambarkan rendahnya komitmen dari HPH untuk secara bersama bertanggung jawab dalam memperbaiki sumberdaya hutan di wilayah Kalimantan Barat. Di wilayah perbatasan, kerusakan lingkungan ditandai dengan adanya kerusakan sumberdaya hutan yang diakibatkan pembakaran dan penebangan hutan terutama oleh HPH tanpa diikuti dengan kegiatan reboisasi. Hal ini
90
menyebabkan mulai punahnya beberapa unsur keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kerusakan lingkungan di kawasan ini ternyata tidak terbatas pada kerusakan sumberdaya hutan saja, namun telah terjadi kerusakan lingkungan laut, udara, dan sungai terutama akibat adanya kegiatan industri pengolahan hasil hutan yang pada umumnya lokasinya berada di sepanjang sungai. Mata pencaharian masyarakat di wilayah perbatasan lebih dari 80 persen adalah bertani. Kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara membuka hutan secara
berpindah-pindah
merupakan
budaya
turun-temurun
masyarakat
tradsional di wilayah perbatasan. Kegiatan pembersihan lahan dengan cara dibakar menjadi salah satu faktor penyebab utama seringnya terjadi kebakaran hutan di wilayah perbatasan. Kegiatan ladang berpindah yang dilakukan masyarakat di wilayah perbatasan
dan
pembersihan
lahan
dengan
cara
dibakar
tidak
saja
mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan berupa kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi kegiatan ini juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem hutan secara keseluruhan. Secara alamiah, hutan sebagai suatu ekosistem membentuk fungsi keseimbangan antar berbagai komponen hidup b ( iotik) dan komponen tidak hidup (abiotik ). Kegiatan ladang berpindah akan
merusak
keseimbangan ekosistem ini secara menyeluruh karena banyaknya komponen ekosistem yang rusak akibat kegiatan ladang berpindah. Distribusi persentase Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang memberikan gambaran struktur perekonomian di Provinsi Kalimantan Barat selama lima tahun terkahir dari tahun 1999 - 2004 dapat dikatakan tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Sektor pertanian masih tetap mejadi pemimpin (leading sector) dari sektor-sektor yang lainnya, dengan kontribusi rata-rata mencapai 50,08 persen. Peranan sektor pertanian yang dominan tersebut dalam struktur perkenomian Kalimantan Barat terutama didukung oleh sub sektor kehutanan yang memberikan kontribusi terbesar yaitu 24,18 persen; disusul oleh sub sektor tanaman pangan sebe sar 12,00 persen; diikuti oleh sub sektor perikanan yang memberikan kontribusi sebesar 7,24 persen. Untuk sub sektor tanaman perkebunan dan peternakan
masing-masing hanya
menyumbang sebesar 2,06 persen dan 2,26 persen terhadap sektor pertanian. Sektor kedua yang memberikan kontribusi
besar terhadap PDRB
tahun 2004 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 23,16 persen. Untuk sektor ini, penyumbang terbesar diberikan oleh
91
sub sektor perdagangan, yaitu sebesar 22,74 persen. Kontribusi terbesar ketiga diberikan oleh sektor jasa yaitu sebesar 8,99 persen, dengan peran terbesar diberikan oleh sub sektor pemerintahan umum, sedangkan untuk sektor-sektor yang lainnya hanya memberikan kontribusi kurang 8 persen. Ada tiga jenis produksi hasil sumberdaya hutan di wilayah Kalimantan Barat, yaitu kayu bulat, hasil hutan bukan kayu, dan kayu olahan. Pada tahun 2004, dihasilkan sebanyak 699.420,08 M3 kayu bulat dari empat jenis perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah . Menurut laporan Departemen Kehutanan (2003), sampai tahun 1980-an produk hasil hutan didominasi oleh kayu bulat. Industri perkayuan ini bergeser dominasinya ke industri kayu lapis, sejalan dengan kebijakan peningkatan industri hilir di dalam negeri mela lui pengurangan ekspor kayu bulat, sampai akhirnya pelarangan secara penuh ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kondisi ini telah memberikan implikasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang tinggi (bervariasi antara 1,3 – 2,4 juta ha per tahun). Tingkat kerusakan dan degradasi sumberdaya hutan yang relatif tinggi sangat terkait dengan (a) tidak berimbangnya porsi kegiatan pemanfaatan dengan kegiatan rehabilitasi hutan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan
yang
digariskan
pemerintah;
dan
(b)
pemanfaatan
yang
lebih
terkonsentrasi pada pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan lebih menitik beratkan pada pemanfaatan kayu dibanding pemanfaatan lainnya (sumber obat-obatan dan jasa lingkungan untuk ekowisata). Orientasi dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan selama ini sering dinilai sebagai ”hanya berorientasi kayu” (timber oriented ). Produksi hasil hutan bukan kayu di Kalimantan Barat dimanfaatkan baru sebatas
yang sudah
rotan, kayu gaharu (ramin buaya), dan damar,
sementara hasil hutan bukan kayu berupa obat-obatan dan jasa lingkungan masih belum mendapat perhatian dan belum didapat manfaat yang optimal. Pada Tabel 20 disajikan produksi hasil hutan bukan kayu di Kalimantan Barat pada tahun 2004.
92
Tabel 20. Produksi hasil hutan bukan kayu di Kalimantan Barat tahun 2004 No. Jenis Hasil Hutan Satuan 1. Rotan Lacak Ton 2. Rotan Cacing Ton 3. Rotan Semambu Batang 4. Rotan Manau Batang 5. Rotan Getah Ton 6. Rotan Hitam Ton 7. Kulit Kayu Ton 8. Damar Batu Ton 9. Serpihan Kayu Ramin Kg 10. Ramin Buaya Kg Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Barat 2005
Produksi 25 24 40.275 212.858 15 4 31 80 114.120 4.400
Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan provinsi Kalimantan Barat (2005), terdapat banyak manfaat lain dari sumberdaya hutan yang belum diperhitungkan secara maksimal termasuk dalam menentukan nilai akhir dari satu meter kubik kayu saat dipasarkan. Pasar kayu Indonesia telah gagal dalam menetapkan harga kayu. Harga kayu yang berlaku
di pasaran tidak
mencerminkan nilai kayu yang sesungguhnya. Keadaan ini menujukkan fakta empiris, bahwa telah terjadi kegagalan pasar untuk kayu Indonesia (market failure ) yang men yebabkan komoditi kayu itu sendiri dihargai sedemikian rendah (undervalued). Hasil sumberdaya hutan berupa kayu di Provinsi Kalimantan Barat masih merupakan komoditas ekspor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap komposisi nilai ekspor. Pada tahun 2004, nilai ekspor mencapai 259,781 juta US dolar. Negara tujuan ekspor adalah Jepang, China, Korea, Amerika Serikat, Singapura, Taiwan, dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa pasar komoditas hasil hutan kayu asal Kalimantan Barat sudah mencakup pasar internasional. Pada Tabel 21, Gambar 8 dan 9 dapat dilihat perkembangan dan komposisi nilai ekspor Kalimantan Barat pada tahun 2003 -2004. Tabel 21. Perkembangan nilai ekspor Kalimantan Barat tahun 2003 -2004. Komoditas Hasil hutan kayu Karet Industri lain Re-Ekspor Hasil hutan ikutan Hasil perikanan Non industri lain-lain Jumlah
Nilai Ekspor (US. $) 2003 2004 260,612 259,781 126,821 163,354 1,848 3,848 0,106 0,109 0,388 0,359 16,746 20,747 3,743 5,744 410,264 45,942
Perkembangan (%) -0,32 28,81 108,22 2,83 -7,47 23,89 53,46 10,64
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat, 2005.
93
300,000
260,612 259,781
250,000 200,000
Juta US
163,354
150,000
126,821
100,000 50,000 3,848 1,848
0 Hasil hutan kayu
2003
Karet
Industri lain
0 0 Re-ekspor
0 0
20,747 16,746
5,744 3,743
Hasil hutan Hasil perikanan Non industri ikutan lain
Komoditas
2004
Gambar 8.. Perkembangan nilai ekspor Kalimantan Barat Tahun 2003 -2004
0.109 0.359
21
6
4
163
Hasil hutan kayu Karet Industri lain Re-ekspor
260
Hasil hutan ikutan Hasil perikanan Non industri lain Gambar 9. Komposisi nilai ekspor Kalimantan Barat tahun 2004 dalam juta US .$
Nilai ekspor hasil hutan yang mendominasi komposisi nilai ekspor Kalimantan Barat ternyata belum memberikan manfaat secara signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Sektor pertanian
94
masih mendominasi sebagai mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah perbatasan. Hampir 80 persen usia kerja bekerja pada sektor pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan yang mencapai 53,08 persen. Kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah perbatasan masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masing-masing keluarga petani itu sendiri (Bappeda dan BPS Kalimantan Barat, 2004). c. Dimensi sosial-budaya Masyarakat di sekitar hutan, memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan berupa rotan dan hasil hutan bukan kayu lainnya, sedangkan hasil hutan kayu hanya dipergunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, hasil hutan kayu secara umum belum memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan keluarga masyarakat di sekitar wilayah hutan. Wilayah perbatasan merupakan daerah yang belum berkembang terutama untuk kegiatan ekonomi yang melibatkan masyarakat setempat. Hal tersebut dikarenakan produk-produk yang dihasilkan mempunyai daya saing yang rendah di satu sisi dan juga dukungan sarana dan prasarana yang terbatas di sisi lainnya yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di kawasan ini. Pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang rendah juga dipengaruhi oleh faktor rendahnya akses masyarakat lokal di sekitar hutan. Untuk dapat mengakses sumberdaya hutan diperlukan kemampuan berupa keterampilan dan modal kerja yang memadai serta sarana dan prasarana tansportasi. Sarana transportasi darat yang menghubungkan daerah -daerah di wilayah perbatasan terdapat lebih kurang sepanjang 520 kilometer. Dilihat dari kondisinya, maka jalan tersebut terdiri dari sekitar 290 kilometer jalan aspal, 30 kilometer jalan batu dan 200 kilometer jalan tanah. Arah jalan pada umumnya vertikal terhadap perbatasan, berbeda dengan jalan Serawak yang horizontal terhadap perbatasan. Jumlah kendaraan yang melakukan perjalanan keluarmasuk kawasan perbatasan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sarana dan prasarana pendidikan di wilayah perbatasan masih relatif minim. Fasilitas pendidikan formal berupa bangunan gedung sekolah untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) memang sudah tersebar pada setiap desa. Namun untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
95
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) apalagi Perguruan Tinggi (PT), akses penduduk usia sekolah terhadap fasilitas pendidikan formal tersebut masih cukup sulit. Rendahnya tingkat partisipasi sekolah masyarakat di wilayah perbatasan dipicu oleh peluang pekerjaan dari negara tetangga Malaysia sebagai buruh tani, buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Dengan pekerjaan tersebut diperoleh penghasilan berkisar antara 150 – 400 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp. 350.000-, - Rp. 950.000 -, per bulan. Gaji yang cukup besar tersebut menjadi daya tarik bagi anak usia sekolah lebih memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Secara umum tingkat pendidikan rata -rata masyarakat di wilayah perbatasan lebih rendah daripada tingkat pendidikan ratarata penduduk Provinsi Kalimantan Barat. Tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk di kawasan perbatasan umumnya juga masih rendah yakni 70,90 % penduduk usia kerja hanya berpendidikan sekolah dasar. Tingkat pendidikan penduduk yang rendah tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas sumberd aya manusia yang antara lain ditandai dengan besarnya angka pengangguran pada usia kerja. Kualitas sumberdaya manusia di daerah ini dapat dikatakan rendah karena sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan menjadi rendah. Hal ini dapat dipahami, karena masyarakat yang tidak memahami dampak dari kerusakan sumberdaya hutan akan secara otomatis memiliki tingkat kepedulian yang rendah untuk menjaga dan melestarikannya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang lingkungan akan timbul rasa tanggung jawab dan dapat memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif, bijak dan lestari. Di wilayah perbatasan, masyarakat lokal bermukim di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Masyarakat lokal yang membuka hutan untuk kegiatan usahatani ladang, kemudian menetap
dan membentuk perkampungan baru.
Penduduk yang tinggal bermukim di sekitar dan di dalam kawasan hutan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah memiliki kecenderungan untuk mengambil dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara tidak bijaksana. Kasus penebangan liar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan secara besarbesaran salah satunya dipicu oleh masyarakat yang menggantungkan
96
penghasilannya
kepada
sumberdaya
hutan
yang
berada
di
sekitar
pemukimannya. Seperti umumnya keadaan penduduk di Kalimantan, jumlah penduduk di kabupaten-kabupaten yang terletak di kawasan perbatasan relatif lebih kecil dengan tingkat pertumbuhan yang rendah. Penyebaran penduduk di sepanjang kawasan ini tidak merata. Pusat-pusat pemukiman masyarakat menyebar dalam kelompok-kelompok kecil dan tidak merata. Kondisi tersebut jika dikaitkan dengan adanya kebiasaan atau pola hidup berpindah-pindah
dari sebagain
penduduk membuat pembangunan menjadi mahal, pembukaan lahan baru, sulitnya interaksi sosial, dan perdagangan antar penduduk. Program pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh para pemegang HPH/HPHTI sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1997 dengan cara
melaksanakan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).
Namun, berdasarkan hasil evaluasi, kegiatan ini belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilaksanakan masih be rorientasi proyek dan bersifat sesaat. Sehingga keberlanjutan program dalam bentuk pembinaan yang berkelanjutan tidak dilaksanakan secara terus-menerus. Pada tahun 2004, para pemegang HPH/HPHTI di Provinsi Kalimantan Barat telah mengeluarkan dana unutk kegiatan ini sebesar 2.939.561.034 rupiah dengan kegiatan sebagaimana disajikan pada Tabel 22 Tabel 22. Realisasi kegiatan PMDH oleh HPH/HPHTI tahun 2004 Jenis Kegiatan Jumlah anggaran (Rupiah) Realisasi 1. Peningkatan pendapatan 1.269.110.61 2. Penyediaan sarana dan 654.755.805 3. prasarana 47.480.000 4. Pertanian menetap 160.611.000 5. Konservasi sumberdaya alam 807.60.868 Sosial budaya Jumlah 2.939.561.034 Sumber: Neraca Perusahaan HPH/HPHTI, 2004. No.
Kegiatan-kegiatan peningkatan pendapatan ma syarakat di sekitar hutan dilaksanakan dalam bentuk sebagai beikut: 1. Pembentukan lembaga usaha koperasi sebanyak tiga unit di dua lokasi, yaitu dua unit di Kabupaten sambas yang bertempat di desa tekam dan Kuningan, satu unit di Kabupaten Bengkayang yang bertempat di Desa seluas.
97
2. Pelatihan keterampilan anyaman rotan bagi anggota koperasi usaha masyarakat di sekitar hutan sebanyak 30 orang selama 20 hari di Unit latihan Kerja Industri di Pontianak yang diikuti peserta dari delapan kabupaten yang ada di provinsi Kalimantan Barat. 3. Bantuan sarana produksi dan bantuan modal usaha, berupa: a. Pengadaan koloni lebah madu sebanyak 330 kotak b. Bantuan modal usaha untuk tiga unit koperasi masing -masing sebesar 15.000.000 rupiah. 4. Pembuatan percontohan kebun rotan seluas 10 ha di Desa Seluas Kecamatan seluas Kabupaten Bengkayang.dengan jumlah bibit sebanyak 4.000 batang. 5. Monitoring dan evaluasi terhadap koperasi yang telah dibentuk dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 sebanyak 15 unit. Kegiatan ini bertujuan untuk
melihat
sudah
sejauh
mana
perkembangan
koperasi
dalam
menjalankan usahanya berdasarkan rencana yang telah disusun oleh masing -masing koperasi. 6. Pembangunan Model Unit Manajemen Hutan Meranti (PMUMHM). Kegiatan ini merupakan program prioritas Departemen Kehutanan yang diarahkan untuk membangun model unit manajeman hutan produksi yang memenuhi kaidah -kaidah pengelolaan hutan produksi lestari. 7. Pengembangan uji coba pengelolaan hutan alam produksi (mangrove) oleh masyarakat di batu ampar Kabupaten Pontianak tahun 2004. Kegiatan ini mengalami hambatan karena areal yang disediakan dengan ijin Bupati Pontianak seluas 6.000 ha ternyata 4.000 ha berada dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat lokal di kawasan perbatasan hidup berkelompok dan masih memegang teguh adat budaya setempat. Mereka memiliki berbagai aturan adat, baik yang menyangkut tata kehidupan bermasyarakat dan termasuk dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan. Para ketua adat menjadi tokoh panutan dan penentu setiap keputusan yang ditetapkan. Jika terjadi pelanggaran terhadap tata kehidupan bermasyarakat maka ketua adat yang menetapkan hukuman (denda). Ketua adat juga berperan dalam penentuan kawasan-kawasan yang boleh atau tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat setempat. Berbagai pelanggaran terhadap aturan atau norma yang disepakati lebih banyak
98
diselesaikan melalui hukum adat. Hukum adat di kawasan perbatasan masih memiliki kekuatan dan diakui oleh semua lapisan masyarakat. Berdasarkan data realisasi produksi kayu bulat tahun 2004 yang hanya mencapai lebih kurang dari 70 persen dari target yang ditetapkan berimplikasi pada tidak terpenuhinya kapasitas terpasang industri pengolahan kayu di Provinsi Kalimantan Barat. Beberapa industri pengolahan kayu terancam gulung tikar karena tidak tersedianya bahan baku berupa kayu bulat. Kondisi ini akan memberikan konsekuensi pada penurunan pendapatan industri pengolahan dan secara otomatis
juga akan menurunkan nilai keuntungan. jika bahan baku
industri pengolahan kayu terpenuhi sesuai dengan kapasitas industri terpasang, maka kegiatan usaha industri pengolahan kayu merupakan industri yang memiliki kelayakan finansial yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan nilai tambah (added value) yang diperoleh setelah kayu bulat mengalami proses pengolahan menjadi produksi kayu olahan memiliki nilai tinggi. Untuk fasilitas kelistrikan baru sekitar 50 persen penduduk yang mendapatkan pelayanan listrik. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dengan masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah mendapatkan pelayanan listrik. Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang hanya mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan Kalimantan Barat, sedangkan penduduk perbatasan di Serawak telah terpenuhi 100 persen fasilitas air bersihnya. d. Dimensi teknologi Jika dibandingkan dengan wilayah perbatasan negara tetangga Malaysia, maka terlihat adanya kesenjangan ekonomi. Kawasan perbatasan Kalimantan Barat yang kaya akan sumberdaya alam seharusnya merupakan kawasan yang maju dan sejahtera, namun kenyataannya menjadi tertinggal. Jika dicermati, terjadi aktivitas ekonomi yang cukup tinggi khususnya yang terkait dengan sumberdaya hutan khususnya kayu, tetapi karena proses produksinya tidak terjadi di Kalimantan Barat, daerah ini hanya memperoleh nilai tambah yang rendah. Pada Tabel 23 dapat dilihat perkembangan industri pengolahan hasil hutan di Kalimantan Barat. Industri pengolahan yang ada semuanya masih terbatas pada industri pengolahan hasil hutan kayu, sedangkan industri pengolahan hasil hutan non kayu belum ada sama sekali.
99
No .
1. 2.
Tabel 23. Perkembangan industri pengolahan kayu Di Provinsi Kalimantan Barat Jenis Industri Jumlah Kapasitas Unit Industri Hulu Industri Hilir Jenis Volume Jenis Olahan Volume Olahan (M3) (M3) Kayu Lapis. 17 Polywood 1479 Sawmill. 80 Sawn 844.832 449.85 Timber
3.
Dowell/Mouldi ng dan Wood Working. Particle Board Jumlah
4.
228
5 330
Dowell/Mouldi ng dan Wood Working.
487.50
Particle -Board
0 937.35
846.311
Dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, telah dilkukan pelatihan kepada instansi pemerintah dan kelompok masyarakat pada tahun 2004. Pada Tabel 24 dan 25 disajikan tenaga keamanan dan tenaga teknis bidang kehutanan yang tersedia di lokasi kawasan perbatasan yang memiliki kemampuan dalam hal pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan. Tabel 24. Potensi SDM terlatih bidang pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat No. Instansi Jenis Pelatihan Jumlah (orang) 1. Polisi Kehutanan Dinas Kehutanan Pelatihan Dasar Karhutla 115 provinsi dan kabupaten 2.
Organisai pemuda/LSM
Pelatihan Dasar Karhutla
60
3.
Korem 121 ABW (TNI-AD)
Pelatihan Dasar Karhutla
57
4.
Pemerintah Kabupaten Sintang (Poskolak)
Pelatihan Dasar Karhutla
60
5.
Kecamatan Ng Pinoh (Satlak)
Pelatihan Dasar Karhutla
40
6.
Perusahaan (HPH/HPHTI/Perkebunan).
115
7.
Dinas Kehutanan Provinsi (Posko Karhut) Poskolak, TNI-AD, LSM, dan masyarakat di Ketapang Poskolak, TNI-AD, LSM, dan masyarakat di Sintang Poskolak, TNI-AD, LSM, dan masyarakat di Sanggau Jumlah
Pelatihan Dasar Karhutla Deteksi dan peringatan dini Simulasi Protap Simulasi Protap
110
Simulasi Protap
108
8. 9.
Latihan Dasar Karhutla
120
140 1.028
100
\ No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. . 8.
Tabel 25. Jumlah tenaga Polisi Khusus Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Kalimantan Barat Unit Kerja PPNS Polisi Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimanatan Barat 17 31 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pontianak 2 103 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Landak 1 3 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sambas 11 32 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sanggau 10 32 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sintang 4 34 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kapuas 10 50 Hulu Dinas Kehutanan Kab. Pontianak Ketapang 7 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bengkayang Jumlah 92 347 Dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan, telah dilakukan
kampanye dan pencanangan pencegahan kebakaran hutan dan lahan oleh Gubernur Kalimantan Barat dengan cara; a. Mobilisasi sumberdaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan potensi yang ada (Badan pemadam Kebakaran/swasta, ABRI, anggota masyarakat, dan lain-lain). b. Sosialisa si dan penyuluhan melalui media elektronik dan cetak di 4 kabupaten. Ketersediaan sarana dan prasarana untuk pengamanan hutan menjadi faktor yang menentukan dalam pelaksanaan kegiatan pengamanan dan pengendalian hutan. Kondisi kawasan hutan perbatasan yang luas dan aksesibilitas jalan yang masih minim sementara teknologi informasi dan basis data sumberdaya hutan yang belum memadai menjadi kendala bagi petugas yang akan melakukan berbagai kegiatan pengamanan di kawasan perbatasan. Tabel 26. Keadaan sarana dan prasarana pengamanan hutan yang dimiliki Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat No. Jenis Sarana/Perlatan Jumlah (unit) Keterangan 1. Kendaraan roda dua 3 Baik/berfungsi 2. Senjata api -Laras panjang 200 110 tersimpan -Genggam 38 Terdistribusi 3. 4. 5.
Speed bot 40 PK Pos Jaga Alat Komunikasi
2 3 3
Baik/Berfungsi Baik/Berfungsi Baik/Berfungsi
101
Secara umum sampai saat ini ketersediaan teknologi dalam mengelola sumberdaya hutan di wilayah perbatasan masih rendah dan belum memadai jika dibandingkan dengan luas wilayah. e. Dimensi hukum dan kelembagaan Intensitas terjadinya pelanggaran hukum di wilayah perbatasan masih tinggi. Luasnya wilayah serta minimnya prasarana dan sarana serta jumlah personil aparat keamanan yang tidak memadai telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Untuk infrastruktur sosial dan keamanan, sudah seharusnya sedikit-demi sedikit diperbaiki untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Kerjasama pembangunan dengan Malaysia perlu dilakukan dalam rangka untuk mengefisienkan infrastruktur yang ada, terutama di kabupaten yang saat ini sudah dilewati jalan tembus ke Negara Bagian Serawak dan Sabah. Infrastruktur spesifik yang perlu dibangun di kawasan ini adalah infrastruktur komunikasi dan informasi. Dengan peluncuran program “internet desa” oleh negara tetangga maka pembangunan infrastruktur komunikasi perlu mendapat perhatian yang serius. Umumnya penduduk di kawasan perbatasan teridiri atas berbagai etnis. Heterogenitas etnis disertai kesenjangan ekonomi dan sosial akhir-akhir ini sering menimbulkan kecemburuan sosial yang jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai konflik. Permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini tidak teratasi karena masyarakat perbatasan masih banyak yang tidak mengetahui bagaimana menyalurkan keluhan
mereka kepada pemerintah.
Masyarakat, terutama suku yang tinggal di daerah perbatasan lebih suka menghindar ke pedalaman manakala wilayah mereka terdegradasi. Kesenjangan akibat selisih kurs valuta, sarana dan prasarana darat, laut dan udara, sarana komunikasi dan informasi dengan Malaysia, juga mengurangi tingkat rasa nasionalisme dan kesadaran politik masyarakat di wilayah perbatasan, sehingga orientasi mereka dalam aspek ekonomi dan perdagangan lebih condong ke Pemerintah Negara Malaysia daripada ke Pemerintah Republik Indonesia. Kecenderungan masyarakat di wilayah perbatasan yang lebih berorientasi ke Serawak baik dalam mencari pekerjaan maupun perdagangan mengakiba tkan nilai tambah justru diperoleh oleh negara tetangga. Di sisi lain, informasi perkembangan pembangunan melalui alat elektronik yang mereka terima sebagian besar melalui saluran TV Malaysia karena saluran TVRI belum cukup
102
mampu menjangkau daerah -daerah di wilayah perbatasan. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme dan rentannya kecemburuan sosial masyarakat. Permasalahan
di
bidang
politik
umumnya
berhubungan
dengan
rendahnya tingkat pemahaman terhadap aturan dan perundang -undangan yang berlaku. Partai politik belum dapat berperan secara optimal dalam pendidikan politik masyarakat perbatasan, lembaga legislatif juga belum secara optimal menyuarakan aspirasi rakyat perbatasan, adanya keinginan putra daerah menempati jabatan politik, belum siapnya masyarakat menghadapi otonomi daerah merupakan permasalahan bidang politik yang harus disikapi dengan arif dan memerlukan solusi. Umumnya berbagai kalangan berpendapat bahwa sebenarnya SDM lokal cukup memadai, namun belum secara maksimal diberdayakan. Di samping itu mereka setuju penempatan putra daerah pada jabatan politis asal memenuhi persyaratan dan memiliki kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Patok-patok perbatasan banyak yang hilang dan berpindah tempat sehingga dapat menyulitkan dalam menentukan garis perbatasan. Jumlah Pos perbatasan yang tidak memadai dan sangat tidak sebanding dengan panjangnya garis perbatasan menyebabkan sulitnya pengawasan pelintas batas ilegal di kawasan perbatasan. Di samping itu masih lemahnya koordinasi antar instansi di kawasan perbatasan (TNI, POLRI, Bea Cukai, Kehutanan, dan Immigrasi) menjadikan lambannya pembangunan di wilayah perbatan. Di sisi lain, rendahnya tingkat kesadaran hukum, disiplin, kerampilan masyarakat, kurangnya fasilitas pendukung bagi aparat dan tingginya tindak kriminalitas merupakan permasalahan tersendiri yang memerlukan perhatian.
103
5.1.2. Nilai Indeks status keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya
Hutan di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat. Nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan
perbatasan Kalimantan Barat dilakukan dengan metode multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan metode Rap-INSUSFORMA. Analisis RapINSUSFORMA akan menghasilkan status dan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Hasil analisis Rap-INSUSFORMA yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari lima dimensi yang dianalisis (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,85 pada skala sustainabilitas 0 – 100 (Gambar 10). Nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,85 yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 44 atribut tersebut termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kurang: 25 < Nilai indeks < 50). Untuk mengetahui dimensi pembangunan apa yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-INSUSFORMA pada setiap dimensi.
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 36.85
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 10 Analisis Rap-INSUSFORMA yang menunjukkan nilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalbar. Berdasarkan Gambar 11 nilai indeks kebe rlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 36,11 pada skala sustainabilitas 0 – 100. Jika dibandingkan dengan nilai indeks keberlanjutan yang bersifat multidimensi maka nilai indeks
104
dimensi ekologi berada di bawah nilai indeks multidimensi dan terma suk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kurang : 25 < Nilai indeks < 50).
RAPFISH Ordination
60
Other Distingishing Features
UP 40 36.11 20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
40
60
GOOD 100 120
80
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 11. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi.
Diameter Tebangan
4.41
Frekuensi terjadinya banjir
4.88
Kegiatan Ladang berpindah
5.06
Atribut
Program reboisasi hutan
0.10
Waktu Suksesi hutan
5.72
Frekwensi kebakaran hutan
5.49
Upaya perlindungan thd biota langka
8.47
Tingkat keanekaragaman biota
7.41
Upaya Perlindungan thdp tempat2 yg rentan ekologis
4.65
Ketersediaan Zonasi Untuk Berbagai Pengelolaan Hutan
5.02 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 12. Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
105
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 12, semua atribut dimensi ekologi memiliki tingkat sensitivitas yang relatif sama
dalam perannya terhadap nilai indeks
kebelanjutan. Namun dari ketujuh atribut pada dimensi ini, atribut upaya perlindungan terhadap biota langka (8,47), atribut tingkat keaneka ragaman biota (7,41), atribut kegiatan ladang berpindah (5,08), atribut waktu suksesi hutan (5,72), atribut frekwensi kejadian kebakaran hutan (5,49), dan atribut ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan sumberdaya hutan (5,02), merupakan atribut yang sangat penting dan berpengaruh terhadap nilai indeks yang dihasilkan. Kebakaran hutan yang selalu berulang setiap tahun selama dua dekade terakhir ini menimbulkan kerugian yang tidak sedikit mengingat sumberdaya hutan memiliki keterkaitan yang erat dengan kinerja perekonomian, kualitas ekologi, dan ketergantungan sosial. Sumberdaya
hutan
merupakan
salah
satu
tulang
punggung
perekonomian Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir (1994-2004), kontribusi sektor kehutanan terhadap produk dome stik bruto (PDB) mencapai rata -rata sebesar 1,53 %, dengan laju pertumbuhan pada periode yang sama rata -rata sebesar 0,73 %. Kontribusi tersebut dicapai melalui kegiatan eksploitasi hutan yang mengabaikan prinsip hutan lestari. Industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta M3 kayu tiap tahun untuk
memasok
industri penggergajian, kayu lapis, pulp dan kertas. Jumlah kebutuhan tersebut jauh lebih besar dari yang dapat diproduksi secara legal dari hutan alam dan HTI. Akibatnya, lebih dari setengah pasokan kayu di Indonesia sekarang diperoleh dari pembalakan illegal (FWI/GFW, 2001). Eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali ini akan mengganggu keseimbangan alam, salah satunya berupa peningkatan potensi kerawanan terhadap kebakaran hutan. Salah satu persoalan yang selalu menyertai kegiatan eksploitasi sumberdaya hutan adalah terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia ternyata merupakan sutau kejadian yang terus berulang dalam kurun waktu 20 tahun terkahir ini. Sejak kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1982/83 di Kalimantan Timur yang menghabiskan 3,5 juta ha hutan (KMNLH dan UNDP, 1998), intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya semakin luas. Kebakaran besar di Indonesia tercatat terjadi pada tahun 1987,
106
1991, 1994, dan 1997/1998 (Dennis, 1999). Kebakaran hutan terburuk terjadi pada tahun 1997 meliputi 25 provinsi dengan 75 juta orang terkena dampaknya (Bappenas, 1999). Berulangnya
kejadian
kebakaran
hutan
menjadi
ancaman
bagi
pembangunan yang berkelanjutan karena dampaknya terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian ekonomi berupa hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu), hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Secara tidak langsung, asap akibat kebakaran hutan akan berdampak pada kesehatan, kehilangan hari kerja dan sekolah, kehilangan fungsi ekologi, serta kerugian sektor pariwisata dan perhubungan. Secara ekologis, kebakaran pada hutan hujan tropis akan mengurangi fungsi hutan dalam menjaga kesuburan tanah, mengatur tata air dan iklim serta menjadi berkurangnya habitat fauna. Terjadinya kebakaran hutan mengakibatkan proses ekologi hutan berupa suksesi alam, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hodrologi dan pembentukan tanah akan terganggu. Dari dimensi sosial lebih difokuskan pada kerugian di tingkat makro, misalnya kerugian di sektor transportasi, pariwisata, dan industri kehutanan. Semua sektor tersebut dinilai lebih banyak pengaruhnya terhadap politik dan ekonomi dibandingkan keadaan petani miskin di sekitar hutan dan pedesaan, padahal ada 30 juta penduduk yang secara langsung mengandalkan hidupnya pada
sektor
kehutanan.
Secara
keseluruhan,
sekitar
100
juta
orang
menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk pedesaan di Indonesia bergantung pada ketersediaan kayu bakar, tanaman obat, makanan, dan pupuk organik dari sampah hutan, dan sekaligus sebagai sumber penghasilan. Dari sisi penegakan hukum, ganti rugi yang diterapkan pada para pelaku pembakaran hutan relatif rendah dan tidak didasarkan pada perhitungan dampak dari kebakaran hutan secara keseluruhan (sosial, ekonomi, dan ekologi). Sebagai contoh, pada kasus pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 1999, PT Adei Plantation hanya dikenakan denda 100 juta rupiah untuk 2.970 hektar areal hutan yang terbakar. Analisis dampak kebakaran hutan yang dilakukan selama ini lebih dititikberatkan pada sektor produksi, padahal, kebakaran hutan juga memiliki keterkaitan
dengan
pelaku
produksi
(rumah
tangga,
perusahaan,
dan
107
pemerintah) dan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) sehingga kerugian sungguhnya dari kebakaran hutan menjadi jauh lebih besar dan kompleks. Sudut pandang
yang parsial tersebut dapat menimbulkan kerancuan
kebijakan karena keterbatasan pemahaman mengenai dampak kebakaran hutan terhadap ekosistem dan perekonomian. Hal tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian tanggapan secara sosial, ekonomi, dan kelembagaan terhadap kebakaran hutan yang terjadi. Berbagai usulan kebijakan yang diajukan untuk menyelesaikan masalah kebakaran hutan hendaknya difokuskan pada dampak sesungguhnya yang akan ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Kondisi di ata s memunculkan beberapa pertanyaan yang mendasar seputar kebakaran hutan, yaitu seberapa jauh kebakaran hutan berdampak terhadap penurunan output tenaga kerja dan modal, seberapa besar dampak kebakaran hutan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tanga, perusahaan dan pemerintah, dan melalui jalur-jalur utama mana dampak kebakaran hutan tersebut terjadi. Nilai kerugian ekonomi total yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan mencapai Rp. 269 juta per hektar areal hutan terbakar. Kerugian ini diakibatkan oleh penurunan output produksi sebesar Rp. 128,61 juta, serta hilangnya pendapatan faktor produksi (factorial income ) dan pendapatan institusi masingmasing sebesar Rp. 62,94 juta dan Rp. 77, 44 juta untuk setiap hektar hutan yang terbakar. Dengan rata-rata luas kebakaran hutan sebesar 71.040 hektar tiap tahunnya, total kerugian sosial ekonomi akibat kebakaran hutan setiap tahunnya mencapai Rp. 19,11 triliun (Bappenas dan Usaid, 2000) Secara sosial, rumahtangga merupakan institusi yang paling terkena dampak dari terjadinya kebakaran hutan. Kerugian yang dirasakan rumahtangga, yaitu berupa penurunan pendapatan sebesar Rp. 45,48 juta per hektar areal hutan yang terbakar jaun lebih besar dari penurunan pendapatan yang dialami perusahaan dan pemerintah yang masing-masing hanya sebesar Rp. 20,42 juta dan Rp. 11,54 juta untuk setiap hektar areal hutan yang terbakar. Dari analisis jalur struktural disimpulkan bahwa jalur dampak kebakaran hutan (termasuk dampak kerusakan hutan lainnya) memiliki keterkaitan yang erat dengan faktor tenaga kerja di daerah pedesaan, modal berupa tanah dan modal pertanian lainnya, buruh tani, dan pengusaha kecil di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan di sektor kehutanan dengan sektor-sektor yang berbasiskan pertanian di pedesaan.
108
Implementasi sistem pengendalian kebakaran hutan di Indonesia selama ini lebih mengacu kepada pola yang cenderung bersifat reaktif, bukan antisipatif terhadap terjadinya bencana. Kebijakan pengendalian kebakaran hutan masih belum menyentuh akar permasalahannya. Hal ini disebabkan oleh strategi penanggulangan kebakaran hutan yang masih berfokus pada manajemen pemadaman dan tidak pada manajemen pencegahan. Selain itu, perangkat dan penegakan hukum di bidang lingkung an masih lemah untuk dapat menindak para pelaku penyebab kebakaran hutan. Untuk itu, perencanaan anggaran pencegahan yang efektif dan pemberian sanksi ganti rugi yang nilainya ditentukan sesuai besaran dampak (nilai kerugian) yang ditimbulkan akan sangat membantu dalam mengurangi potensi dan resiko kebakaran hutan. Penyediaan anggaran pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan perlu direncanakan dan dihitung dengan dasar yang jelas. Angka kerugian sosial ekonomi sesuai dengan hasil penelitian Kusmayadi (2004), yaitu sebesar Rp. 269 juta per hektar areal hutan yang terbakar dapat dijadikan dasar perhitungan untuk pengalokasian anggaran dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Jika alokasi anggaran pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan diasumsikan sebesar satu persen (berdasarkan pada kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB ± 1%) dan potensi kerugian yang dapat ditimbulkan pada tahun berikutnya, maka pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar 191,1 milyar rupiah setiap tahun. Dengan asumsi yang sama bahwa komponen biaya yang disediakan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan sebesar satu persen dari total kerugian yang ditimbulkan, perusahaan yang mendapat konsesi hutan perlu menyisihkan dana inte rnal perusahaan untuk pengendalian kebakaran hutan sebesar Rp. 2,69 juta untuk tiap hektar konsesi yang dimiliki. Nilai ini dapat pula digunakan sebagai dasar perhitungan dana jaminan kebakaran hutan yang dipungut pemerintah dari setiap hektar konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Apabila terjadi kebakaran hutan, dana yang dikelola
oleh
pemerintah ini dapat digunakan untuk kegiatan pemadaman kebakaran hutan maupun kegiatan penanaman kembali areal hutan pasca kebakaran. Nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan sebesar Rp. 269 juta tiap hektar akibat kejadian kebakaran hutan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penentuan besarnya ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku pembakaran
109
hutan. Selain itu, belum ada keputusan bersama antara Menteri Kehutanan dan menteri-menteri lain yang terkait dengan lingkungan hidup, yang isinya mengtur standar minimal besaran ganti rugi akibat kebakaran hutan. Gambar 13 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi lebih besar daripada nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan
lebih berkelanjutan (memberikan manfaat) dari
aspek ekonomi dari pada aspek ekologi. Namun manfaat ekonomi yang diperoleh saat ini masih bersifat jangka pendek karena sumberdaya hutan yang dieksploitasi belum diolah dengan menggunakan berbagai teknolgi, sehingga nilai tambah yang besar belum diperoleh untuk pertumbuhan ekonomi wilayah Kalimantan Barat. Nilai tambah yang lebih besar diperoleh Negara tetangga Malaysia. Perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut perlu dilakukan, agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat.
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20
53.17 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 13. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 14) terdapat empat atribut yang
sensitif mempengaruhi
besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi
110
ekonomi, yaitu: 1) ketergantungan konsumen terhadap sumberdaya hutan terutama kayu (9,63); 2) besarnya pasar produk (8,93); 3) tingkat pendapatan masyarakat (6,23); 4) harga komoditi hasil hutan (9,58).
Leverage of Attributes
3.89
Pemanfaatan sumberdaya hutan bukan kayu
6.23
Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan
1.49
Attribute
Kelayakan usaha industri kehutanan
Harga komoditi hasil hutan yang dipasarkan.
9.58
Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan.
9.63 8.93
Pasar produk
3.02
Jenis produk hutan yang dipasarkan Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kalimanatan Bara
5.15 2.38
Tingkat pengembalian dana reboisasi 0
2
4
6
8
10
12
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 14. Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Gambar 15 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosialbudaya sebesar 40,44. Nilai indeks tersebut
berada di bawah indeks
keberlanjutan dimensi ekologi maupun ekonomi dan termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi n ilai indeks tersebut.
111
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
40.44
Real Fisheries
BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
References
100
120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 15. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Berdasarkan hasil analisis leverage , terdapat tiga atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya. Leverage of Attributes
0.57 Peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan
3.12
Attribute
9.53 Tingkat pendidikan masayarakat di sekitar hutan
11.83 11.21
Pemahaman, kepedulaian, dan tanggung jawab masayarakat terhadap sumberdaya hutan
8.68 4.79
Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan
1.57 0
2
4
6
8
10
12
14
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 16. Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
112
Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya adalah sebagai berikut: 1) pola hubungan stakeholders(9,53); 2) tingkat pendidikan masyarakat (11,83); dan 3) jarak lokasi pemukiman penduduk dengan kawasan hutan (11,21). Gambar 17. menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi sebesar 23,17. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori buruk. Nilai ini sekaligus
mengindikasikan
masih
pengelolaan sumberdaya hutan di
rendahnya
aplikasi
teknologi
pada
wilayah perbatasan, padahal aplikasi
teknologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangat diperlukan baik teknologi pengolahan maupun berbagai teknologi yang diperlukan dalam rangka pengendalian dan penegamanan sumberdaya hutan. Agar nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 23.17 0
Real Fisheries
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 17. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Berdasarkan Gambar 18. terdapat
lima atribut yang perlu dikelola
dengan baik karena memberikan pengaruh yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, yaitu: 1) ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan (6,47); 2) standarisasi mutu produk (6,25); 3) tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan (5,00); 4) basis data sumberdaya hutan (4,61), dan 5) teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan (4,00).
113
Leverage of Attributes
2.55
Pengolahan limbah kayu bekas tebangan Penerapan sertifikasi produk hasil hutan (ekolabel)
3.58 6.25
Attribute
Standarisasi mutu produk hasil hutan Ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
4.00
Ketersediaan basis data (data base) sumberdaya hutan
4.61 3.61
Ketersediaan teknologi informasi
6.74
Ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan
5.00
Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 18. Peran masing -masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Gambar 19. menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan hanya sebesar 26,09 Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.. RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
BAD 0
GOOD 20
40
60
80
100
References 120
Anchors
26.09 -20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 19. Analisis Rap -INSUSFORMA yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
114
Berdasarkan Gambar 20 terdapat
empat atribut yang sensitif
mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: 1) ketersediaan hukum adat/agama (6,10); 2) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah dalam bidang kehutanan (3,66); 3) Intensitas pelanggaran hukum (illegal logging) (3,85), dan 4) frekuensi konflik (3,84). Leverage of Attributes
3.66
Singkronisasi kebijakan pusat dan daerah
1.61
Konsistensi penegakan hukum
3.33
Keberadaan aparat penegak hukum di lokasi
6.10
Attribute
Ketersediaan hukum adat/agama Ketersedian peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya hutan
3.39
Intensitas pelanggaran hokum (penebangan liar)
3.85
Frekuensi konflik
3.84
Mekanisme kerjasama lintas sektor dan antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan
3.55
Perjanjian kerjasama dengan negara tetangga Malaysia
3.18 0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 20. Peran masing -masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Analisis pada setiap dimensi (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) seperti disajikan pada Gambar 12,14, 16, 18, dan 20 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang rendah, kemudian disusul oleh dimensi hukum dan kelembagaan, sosial budaya, ekologi, dan yang paling tinggi adalah dimensi ekonomi. Berdasarkan indeks keberlanjutan setiap dimensi hasil analisis Rap-INSUSFORMA
dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun
dimensi yang termasuk kategori “baik” dan bahkan satu dimensi yang termasuk kategori “buruk”, yaitu dimensi teknologi.
115
Gambar 21 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah/negara tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak “cukup” status keberlanjutannya.
EKOLOGI
HUKUM DAN KELEMBAGAAN
26.09
100 90 80 70 60 50 36.11 40 30 20 10 0
EKONOMI
53.17
23.17 40.44
TEKNOLOGI
SOSIAL
Gambar 21. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Beberapa
parameter
statistik
yang
diperoleh
dari
analisis
Rap-INSUSFORMA dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 27 menyajikan nilai “stress” dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan
dimensi
yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).
116
Tabel 27. Hasil analisis Rap-INSUSFORMA untuk beberapa parameter statistik. Nilai Multi SosialTeknolo Hukum dan Ekologi Ekonomi Kelembaga Statistik Dimensi Budaya gi an Stress
0.12
0.13
0.13
0.13
0.14
0.14
0.96 R2 0.95 Jumlah 2 2 iterasi Sumber : Hasil analisis, 2006.
0.95
0.95
0.95
0.95
2
2
2
2
Berdasarkan Tabel 27, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai “stress”
yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa
nilai
“stress” pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25% (Fisheries. Com, 1999). Semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R 2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter
(nilai “stress” dan R2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang
digunakan pada
analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di
Kalimantan Barat relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi maupun masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number
berdasarkan teori statistika untuk
mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model ma tematis (EPA 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Analisis Montecarlo dalam analisis Rap -INSUSFORMA digunakan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masingmasing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS,
kesalahan
memasukkan data atau ada data yang hilang (missing data ), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Hasil akhir analisis Rap - INSUSFORMA berupa indeks keberlanjutan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi.
117
Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat pada selang kepercayaan 95% didapatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Tabel 28. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai INSUSFORMA dan masingmasing dimensi pada selang kepercayaan 95%. Hasil Monte Status Indeks Hasil MDS Perbedaan Carlo Multidimensi 36,85 36,44 0,41 Ekologi 36,11 36,44 0,33 Ekonomi 53,17 52,76 0,51 Sosial-Budaya 40,44 41,39 0,95 Teknologi 23,17 24,06 0,89 Hukum dan 26,09 27.18 1,09 Kelembagaan Sumber: Hasil Analisis, 2005. Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel
28
menunjukkan
bahwa
analisis
Rap -INSUSFORMA
dengan
menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa
metode
analisis
Rap-INSUSFORMA
Sustainability Forest Management) yang dilakukan
(Rapid
appraisal-Indeks
dalam kajian ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan sumberdaya hutan di suatu wilayah/daerah. Pada Gambar 22,23, 24, 25, 26, dan 27 dapat dilihat nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat berdasarkan hasil analsis Montecarlo.
118
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60
49.88
35.10
65.15
21.57
40
79.20
10.61
90.03 36.44
20
3.30
97.11
0.00
0
100.00
0
20
40
60
80
100
2.85
120
95.99
-20
9.45
88.47 20.04
-40
77.93 34.08
49.71
64.73
-60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 22. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 36,44.
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60
49.88
35.10
65.15
21.57
40
79.20
10.61
90.03 36.44
20
3.30
97.11
0.00
0
100.00
0
20
40
60
80
100
2.85
120
95.99
-20
9.45 -40
88.47 20.04
77.93 34.08
49.71
64.73
-60
Rap-insusforma
Fisheries Sustainability
Gambar 23 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 36,44.
119
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median)
60 55.54
39.70 40 Other Distingishing Features
71.53
24.49 11.74
20
85.49
3.17
95.14
52.76
0.83 0.00
0
100.00
0
20
40
60
80
100
3.39
-20
120
94.25 85.17
11.43 -40
24.66
71.33 55.85
40.01 -60
Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 24 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 52,76
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median)
60 51.32 51.51 31.62
72.04
Other Distingishing Features
40 15.48
89.12
20
97.53 41.39 0.00
0 0 -20
100.00 20
40
60
80
3.98
120
92.14 14.33
-40
100
84.65 69.51
30.95 51.45 51.66
-60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 25. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya sebesar 41,39
120
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median)
60 51.05 31.71
Other Distingishing Features
40
70.98
15.78
87.20
20
96.89 24.76 0.00
0 0
100.00 20
40
60
80
100 92.49
3.62 -20 13.35 -40
120
83.90 30.28 49.72 49.78
68.45
-60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 26. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi sebesar 24,76.
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median)
60 39.08 40 Other Distingishing Features
55.31
24.20
71.40
12.00 20
3.84
95.17
0.83 0.00
0 0 -20
85.24
100.00 20
3.70
27.18
40
60
80
120
94.10 11.79
-40
100
84.59 24.61
71.44 40.25
56.24
-60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 27 Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 27,18
121
5.2. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat. 5.2.1. Stakeholders assesment Penyusunan model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dilakukan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif mampu mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan, sehingga dapat dipersiapkan tindakan strategis masa depan untuk pencapaian skenario yang diinginkan. Hal tersebut dicapai dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berperan penting terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Berbagai kemungkinan keadaan di masa depan tersebut diformulasikan dalam bentuk
skenario
strategi.
Tahapan
dalam
analisis
prospektif,
yaitu:1)
mengidentifikasi faktor kunci/penentu di masa depan; 2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan 3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan sekaligus menentukan strategi prioritas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh para pelaku utama dan implikasinya bagi sistem yang dikaji. Untuk menemukan
faktor kunci/penentu dalam penyusunan model
pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat di masa yang akan datang dilakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama menentukan faktor kunci/penentu yang diperoleh dari analisis kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem yang dikaji melalui diskusi para pakar dengan bantuan kuesioner. Tahap kedua adalah menentukan faktor kunci/penentu yang berasal dari atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini (existing condition) pada setiap dimensi.
Selanjutnya pada tahap ketiga
menentukan faktor kunci/penentu yang dihasilkan dari kedua tahapan sebelumnya melalui kombinasi keduanya untuk memperoleh faktor kunci/penentu gabungan antara need analysis dan existing condition. Berdasarkan hasil identifikasi faktor dari responden, terdapat 23 faktor yang
perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan
sumberdaya hutan di
wilayah perbatasan, sebagaimana disajikan pada Tabel 29
122
Tabel 29. Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya hutan hasil analisis kebutuhan No. 1. 2.
Faktor Teknologi pengolahan hasil hutan Teknologi mitigasi bencana kebakaran
3.
Dana
4.
Peraturan perundangan bidang lingkungan hidup Peraturan perundangan bidang kehutanan Penegakan hukum
5. 6. 7. 8. 9.
Pemerintah pusat Kebijakan pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kerjasama lintas sektor dan antar daerah
10.
Kerjasama dengan Negara Malaysia
11.
Program reboisasi
12.
Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan Penataan dan pengukuhan kawasan Penyediaan lapangan kerja Rehabilitasi lahan dan tanah Kegiatan ladang berpindah Pengelolaan DAS
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
23.
Ketersediaan sarana dan prasarana Pemasaran Industri pariwisata alam Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Pengamanan hutan
Perilaku dan budaya masyarakat lokal
Keterangan Ketersediaan teknologi industri pengolahan hasil hutan di Kalimantan Barat Ketersediaan teknologi pencegahan (mitigasi) bencana kebakaran hutan yang tersedia dan dipasang di sekitar kawasan hutan. Ketersediaan alokasi dana untuk operasional pengelolaan kawasan hutan. Ketersediaan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ketersediaan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan sumberdaya hutan Penegakan hukum secara adil dan konsisten jika terjadi pelanggaran hukum Departemen Kehutanan Sinkronisasi kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten Koordinasi kerjasama antar sektor (misal: kerjasama dengan Dinas Pariwisata – Kimpraswil – Perhubungan) dan kerjasama antar kabupaten dalam satu kawasan Kerjasama dengan Pemeritah Malaysia dalam hal pemberantasan illegal loging, pemasaran hasil hutan, pariwisata, dan lain-lain. Program penanaman kembali hutan yang sudah mengalami kerusakan (setelah penebangan) Program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat di sekitar kawasan hutan. Penetapan dan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan peruntukkannya Penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Kegiatan yang dilakukan untuk rehabilitasi lahan dan tanah sehingga tidak mengalami degradasi (kerusakan). Kegiatan ladang yang dilakukan secara berpindah -pindah oleh masyarakat Pengelolaan DAS sebagai suatu ekosistem secara terpadu hulu-hilir Ketersediaan sarana dan prasarana untuk pengamanan kawasan hutan Pemasaran produk hasil hutan dengan harga yang layak. Pemanfaatan sumberdaya hutan (terutama kawasan hutan, flora dan fauna langka) sebagai obyek wisata. Pemanfatan sumberdaya hutan selain kayu, untuk kepentingan lain-lain. Kegiatan pengamanan hutan yang dilakukan oleh Polisi Hutan, masyarakat, pemerintah, LSM, dan semua pihak yang terkait. Perilaku dan budaya masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan.
123
5.2.2. Analisis I/D matrix dari hasil analisis kebutuhan berdasarkan stakeholders assesment Hasil analisis prospektif terhadap 23 faktor yang perlu mendapat perhatian berdasarkan analisis kebutuhan seperti yang disajikan pada gambar 28 menunjukkan ada 9 faktor yang berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem namun ketergantungan antar faktor tersebut rendah, yaitu 1) penegakan hukum, 2) pemberdayaan masyarakat disekitar hutan, 3) pengamanan hutan, 4) kegiatan ladang berpindah, 5) teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan, 6) pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,7) penataan dan pengukuhan hutan, 8) penyediaan lapangan kerja, 9) program reboisasi, dan 4 faktor yang berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem namun ketergantungan antar faktor tinggi, yaitu: 1) pemasaran, 2) kerjasama lintas sektor dan antar daerah, 3). Perilaku dan budaya masyarakat lokal, 4) kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
1.80 Pengamanan hutan
1.60 Penegakan hukum
1.40
Kegiatan ladang berpindah
Pemasaran
Teknologi mitigasi bencana kebakaran
Kerjasama lintas sektor dan antar daerah
1.20
Pemberdayaan masyarakat
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Penataan dan pengukuhan kawasan
Pengaruh
Program reboisasi
Perilaku dan budaya masyarakat Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
Penyediaan lapangan kerja
1.00 Pemerintah pusat Teknologi hasil hutan Sarana dan prasarana
Peraturan perundangan kehutanan
0.80
Kerjasama dengan Malaysia
Industri pariwisata alam
Dana Rehabilitasi lahan dan tanah
0.60
Pengelolaan DAS
0.40
Peraturan perundangan LH
0.20
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Ketergantungan
Gambar 28. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan berdasarkan hasil analisa kebutuhan berdasarkan stakeholders assessment
124
5.2.3. Analisis I/D matrix berdasarkan hasil indeks keberlanjutan menggunakan Rap-Insusforma. Berdasarkan analisis keberlanjutan terdapat 21 atribut yang sensitif sebagaimana disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Atribut Perlindungan biota langka Tingkat kenanekaragaman biota Waktu suksesi hutan Frekuensi kejadian kebakaran hutan Kegiatan ladang berpindah Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan Besarnya pasar produk hasil hutan Harga komoditas hasil hutan Tingkat pendapatan masyarakat.
10.
Pola hubungan stakeholders.
11.
Tingkat pendidikan masyarakat.
12.
Jarak pemukiman dengan kawasan hutan
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Ketersediaan teknologi pengolahan hasil hutan Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan Standarisasi mutu produk hasil hutan Basis data sumberdaya hutan Teknologi mitigasi bencana kebakaran Ketersediaan hukum adat/agama Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah Intensitas pelanggaran hukum (illegal loging) Frekuensi konflik
Keterangan Perlindungan terhadap semua biota langka agar tidak mengalami kepunahan. Tingkat keanekaragaman biota yang sangat tinggi akan menyebabkan keseimbangan ekosistem hutan. Waktu yang diperlukan untuk perubahan status hutan dari hutan tersier – sekunder – primer. Frekuensi kejadian kebakaran hutan yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan di Kalimantan Barat Kegiatan ladang yang dilakukan secara berpindah-pindah oleh masyarakat Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan yang tinggi. Tersedianya pasar produk hasil hutan, baik pasar lokal, nasional, regional, maupun internasional Harga komoditas hasil hutan yang layak sesuai dengan nilai yang sesungguhnya. Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya hutan Pola hubungan stakeholders yang saling menguntungan (tidak monopoli) akan mendukung perkembangan industri hasil hutan. Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang rendah akan berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya hu tan Pemukiman masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan akan menyebabkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Ketersediaan teknologi industri pengolahan hasil hutan di Kalimantan Barat Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan Standarisasi mutu produk hasil hutan (seperti: Ekolabel dan ISO 9000) Ketersediaan basis data sumberdaya hutan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Ketersediaan teknologi pencegahan (mitigasi) bencana kebakaran hutan yang dipasang di sekitar kawasan hutan Hukum adat/agama yang dapat dipergunakan untuk mendukung hukum formal. Keterpaduan pelaksanaan kebijakan pusat dan daerah dalam p engelolaan sumberdaya hutan. Intensitas pelanggaran hukum terutama illegal loging yang terjadi di kawasan perbatasan. Konflik kepentingan antar stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan
125
Hasil analisis prospektif terhadap 21 atribut yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan disajikan pada gambar 29. Berdasarkan Gambar 29 menunjukkan terdapat 5 faktor yang berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem dengan ketergantungan antar faktor tersebut rendah, yaitu: 1) perlindungan terhadap biota langka, 2) ketersediaan basis data, 3) teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan, 4) frekuensi kejadian kebakaran hutan, dan 5) kegiatan ladang berpindah, dan 5
faktor
yang
berpengaruh
besar
terhadap
pencapaian
sistem
namun
ketergantungan antar faktor tinggi, yaitu: 1 ) intensitas pelanggaran hukum, 2) pola hubungan stakeholders, 3) harga komoditas hasil hutan, 4) besarnya pasar produk hasil hutan, 5) tingkat pendidikan masyarakat.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.50
Pelanggaran hukum
2.00
1.50
Ketersediaan basis data
Perlindungan biota langka
Pengaruh
Pola hubungan stakeholder Pasar produk
Teknologi mitigasi bencana Harga komoditas hasil hutan
Frekuensi kebakaran hutan Kegiatan ladang berpindah
1.00 Singkronisasi kebijakan pusat-daerah Tingkat efisiensi
Tingkat pendidikan masyarakat Tingkat pendapatan masyarakat
Hukum adat/agama
Ketergantungan konsumen
Tingkat keanekaragaman hayati
Waktu suksesi hutan Ketersediaan teknologi pengolahan
0.50
Jarak pemukiman dengan kawasan hutan
Standarisasi mutu produk
Frekuensi konflik
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 29. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan berdasarkan analisis keberlanjutan
126
5.2.4. Analisis I/D matrix untuk integrasi hasil analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan. Pada tabel 31 disajikan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun
ketergantungan antar faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki
pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan berdasarkan analisis kebutuhan. Tabel 31. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan berdasarkan analisis kebutuhan. No.
Faktor
.1.
Kuadran 1 Penegakan hukum
2.
Pemberdayaan Masyarakat disekitar hutan
.3.
Pengamanan Hutan
4.
Kegiatan ladang berpindah
5.
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
6.
8.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Penataan dan pengukuhan hutan Penyediaan lapangan kerja
9.
Program reboisasi
7.
Keterangan
Penegakan hukum secara adil dan konsisten jika terjadi pelanggaran hukum Program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kegiatan pengamanan hutan yang dilakukan oleh Polisi Hutan, masyarakat, pemerintah, LSM, dan semua pihak yang terkait. Kegiatan ladang yang dilakukan secara berpindah -pindah oleh masyarakat Ketersediaan teknologi pencegahan (mitigasi) bencana kebakaran hutan yang dipasang di sekitar kawasan hutan. Pemanfatan sumberdaya hutan selain kayu, untuk kepentingan lain-lain. Penetapan dan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan peruntukkannya Penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Program penanaman kembali hutan yang sudah mengalami kerusakan (setelah penebangan)
Kuadran 2 10.
Pemasaran
11.
Kerjasama lintas sektor dan antar daerah
12.
Perilaku dan budaya masyarakat lokal Kebijakan pemerintah Provinsi dan Kabupaten
13
Pemasaran produk hasil hutan dengan harga yang layak. Koordinasi kerjasama antar sektor (misal: kerjasama dengan Dinas Pariwisata – Kimpraswil – Perhubungan) dan kerjasama antar kabupaten dalam satu kawasan Perilaku dan budaya masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan. Sinkronisasi kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten
127
Pada Tabel 32 disajikan hasil analisis faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan berdasarkan analisis keberlanjutan Tabel 32. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan berdasarkan analisis kebe rlanjutan. No.
Atribut Kuadran 1
1.
Perlindungan biota langka
2
Ketersediaan basis data sumberdaya hutan
3.
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
4.
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
5.
Kegiatan ladang berpindah
Keterangan Perlindungan terhadap semua biota langka yang dilindungi oleh undang-undang agar tidak mengalami kepunahan. Ketersediaan basis data sumberdaya hutan yang dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya hutan. Ketersediaan teknologi pencegahan (mitigasi) bencana kebakaran hutan yang dipasang di sekitar kawasan hutan Frekuensi kejadian kebakaran hutan yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan di Kalimantan Barat (terutama pada musim kemarau) Kegiatan ladang yang dilakukan secara berpindah-pindah oleh masyarakat
Kuadran 2 6.
Intensitas pelanggaran hukum (illegal loging)
7.
Pola hubungan stakeholders.
8. 9. 10.
Harga komoditas hasil hutan Besarnya pasar produk hasil hutan Tingkat pendidikan masyarakat.
Intensitas pelanggaran hukum terutama illegal loging yang terjadi di kawasan perbatasan yang menjadi penyebab utama kerusakan sumberdaya hutan. Pola hubungan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang saling menguntungan (tidak monopoli) akan mendukung perkembangan industri hasil hutan. Harga komoditas hasil hutan yang layak sesuai dengan nilai yang sesungguhnya. Tersedianya pasar produk hasil hutan, baik pasar lokal, nasional, regional, maupun internasional Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang rendah akan berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya hutan
Pada Tabel 33 disajikan keterangan faktor-faktor yang memiliki korelasi definisi dan memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar faktor rendah serta faktor-faktor yang memiliki pengaruh be sar dan ketergantungan antar faktor tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan berdasarkan analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan.
128
Tabel 33 Keterangan integrasi faktor-faktor yang memiliki korelasi dan pengaruh besar namun ke tergantungan antar faktor rendah serta faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi berdasarkan analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan No. 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
Berdasarkan Analisis Kebutuhan Faktor Keterangan Penegakan Penegakan hukum hukum secara adil dan konsisten. PemberdayProgram yang aan dilaksanakan untuk masyarakat meningkatkan kemandirian masyarakat. Pengaman-an hutan
Kegiatan ladang berpindah Teknologi mitigasi bencana kebakaran Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Penataan dan pengukuhan kawasan hutan. Penyediaan lapangan kerja Program reboisasi
Pemasaran 10.
11.
12.
13.
Kegiatan pengamanan hutan yang dilakukan oleh Polisi Hutan, pemerintah, LSM, dan pihak yang terkait. Kegiatan ladang yang dilakukan secara berpindah-pindah oleh masyarakat Ketersediaan teknologi pencegahan (mitigasi) bencana kebakaran hutan. Pemanfatan sumberdaya hutan selain kayu, untuk kepentingan lain-lain. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan peruntukkannya Penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan Program penanaman kembali hutan yang sudah mengalami kerusakan . Pemasaran produk hasil hutan dengan harga yang layak.
Kerjasama lintas sekto r dan antar daerah
Koordinasi kerjasama antar sektor dan kerjasama antar kabupaten dalam satu kawasan
Perilaku dan budaya masyarakat lokal Kebijakan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
Perilaku dan budaya masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan.
No. 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Berdasarkan Analisa Keberlanjutan Faktor Keterangan Intesitas Intensitas pelanggaran pelanggaran hukum yang terjadi di hukum kawasan perbatasan Tingkat pendidikan Tingkat masyarakat pendidikan berpengaruh terhadap masyarakat. pengelolaan sumberdaya hutan Frekuensi kejadian Frekuensi kebakaran hutan yang kejadian menyebabkan kebakaran kerusakan sumberdaya hutan hutan Kegiatan Kegiatan ladang yang ladang dilakukan secara berpindah berpindah-pindah oleh masyarakat Teknologi Ketersediaan teknologi mitigasi pencegahan (mitigasi) bencana bencana kebakaran hutan Tersedianya pasar Besarnya produk baik lokal, pasar produk nasional, regional, hasil hutan maupun internasional Perlindungan terhadap Perlindungan semua biota langka agar biota langka tidak mengalami kepunahan.
Ketersediaan basis data sumberdaya hutan Harga komoditas hasil hutan Pola hubungan stakeholders.
Ketersediaan basis data sumberdaya hutan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan Harga komoditas hasil hutan yang layak sesuai dengan nilai yang sesungguhnya. Pola hubungan stakeholders yang saling menguntungan akan mendukung perkembangan industri hasil hutan.
Sinkronisasi kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten
129
Berdasarkan hasil analisis tin gkat kepentingan antar faktor pada analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan (tahap pertama dan tahap kedua), maka diperoleh 14 faktor (9 faktor dari analisis kebutuhan dan 5 faktor dari analisis keberlanjutan) yang memiliki pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan antar faktor yang rendah. Selanjutnya faktor-faktor yang memiliki kesamaan digabungkan, sehingga faktor kunci/penentu gabungan menjadi 12 faktor seperti yang terlihat pada Tabel 34. Faktor-faktor tersebut selanjutnya dianalisis tingkat kepentingannya kembali menggunakan Program Prospektif, sebagaimana disajikan pada Gambar 30. Tabel 34. Faktor gabungan yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar faktor rendah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan diwilayah perbatasan berdasarkan analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan. No. Faktor Analisis kebutuhan No. Faktor Analisis keberlanjutan 1
Penegakan hukum
2 3
Pemberdayaan Masyarakat disekitar hutan Pengamanan Hutan
4
Kegiatan ladang berpindah
Kegiatan ladang berpindah
5
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
Teknologi mitigasi kebakaran hutan
6
8
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Penataan dan pengukuhan hutan Penyediaan lapangan kerja
9
Program reboisasi
7
bencana
10.
Perlindungan biota langka
11
Ketersediaan basis sumberdaya hutan
12.
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
data
Hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor sebagaimana disajikan pada Gambar 30 menunjukkan bahwa terdapat enam faktor yang berpengaruh besar terhadap keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya hutan di wilayah
perbatasan, yaitu: 1. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 2). Kegiatan ladang berpindah, 3. Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan, 4. Perlindungan biota
130
langka, 5. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan, dan 6). Ketersediaan basis data. Keenam faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan merupakan faktor penentu terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
1.40 Tekologi mitigasi bencana kebakaran hutan
Kegiatan ladang berpindah
1.20 Ketersediaan basis data
Perlindungan biota langka Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1.00
Program reboisasi
Pengaruh
Frekuensi kejadian kebakaran hutan
0.80
Pengamanan hutan
Penegakan hukum
Pemberdayaan masyarakat
0.60 Penyediaan lapangan kerja
0.40
0.20 -
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 30. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan berdasarkan need analysis dan analisis keberlanjutan Berdasarkan Gambar 30 terlihat bahwa dari faktor gabungan yang berpengaruh terhadap kinerja sistem setelah dianalisis diperoleh 5 faktor kunci yang
memiliki
pengaruh
tinggi
pada
kinerja
sistem
dengan
tingkat
ketergantungan faktor rendah (Kuadran 1) dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Dari analisis tersebut terlihat bahwa faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu merupakan faktor yang paling tinggi pengaruhnya terhadap kinerja sistem. Namun demikian, faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut belum dapat dikatakan sebagai faktor utama yang dapat digunakan sebagai solusi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan karena pemilihan faktor akan tergantung pada skenario yang terjadi dimasa depan. Skenario yang akan terjadi di masa depan dibangun berdasarkan kondisi
131
yang akan terjadi dari masing -masing faktor. Untuk memprediksi perubahan kondisi dari faktor penentu pada model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dilakukan Focus Group Discussion dengan responden pakar. Deskripsi keadaan masing-masing faktor kunci hasil analisis pengaruh langsung antar faktor dan perubahan yang akan terjadi sebagai berikut: 1. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Menurut laporan Departemen Kehutanan (2003), sampai tahun 1980-an produk hasil hutan didominasi oleh kayu bulat. Industri perkayuan ini bergeser dominasinya ke industri kayu lapis, sejalan dengan kebijakan peningkatan industri hilir di dalam negeri melalui pengurangan ekspor kayu bulat, sampai akhirnya pelarangan secara penuh ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kondisi ini telah memberikan implikasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang tinggi (bervariasi antara 1,3 – 2,4 juta ha per tahun). Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan lebih menitikberatkan pada pemanfaatan kayu dibanding pemanfaatan lainn ya (sumber obat-obatan, jasa lingkungan untuk ekowisata, penyedia air, dan penyerap karbon), dinilai sebagai ”hanya berorientasi kayu” (timber oriented ), sehingga manfaat lain dari sumberdaya hutan belum diperhitungkan secara maksimal termasuk dalam penetapan nilai akhir dari satu meter kubik kayu saat dipasarkan. Pasar kayu Indonesia telah gagal dalam menetapkan harga kayu. Harga kayu yang berlaku
di pasaran tidak mencerminkan nilai kayu yang
sesungguhnya. Keadaan ini menujukkan fakta empiris, bahwa telah terjadi kegagalan pasar untuk kayu Indonesia (market failure) yang menyebabkan komoditi kayu itu sendiri dihargai sedemikian rendah (undervalued). Pada masa yang akan datang terdapat empat
kemungkinan
pemanfaatan sumberdaya hutan, yaitu 1) tetap hanya beorientasi pada kayu sebagaimana yang terjadi saat ini, 2) Sudah ada peningkatan pemanfaatan hasil hutan non kayu 3) Sudah dikembangkan industri pariwisata alam, 4) fungsi hutan sebagai penyerap karbon, yang mulai mendapat perhatian dunia internasional dalam bentuk perdagangan karbon (carbon trade). 2. Kegiatan ladang berpindah Mata pencaharian masyarakat di wilayah perbatasan lebih dari 80 persen adalah bertani. Kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara membuka hutan secara
berpindah-pindah
merupakan
budaya
turun-temurun
masyarakat
132
tradisional di wilayah perbatasan. Kegiatan ladang berpindah dan pembersihan lahan dengan
cara dibakar menjadi
salah satu faktor
penyebab utama
seringnya terjadi kebakaran hutan di wilayah perbatasan. Kegiatan ladang berpindah yang dilakukan masyarakat di wilayah perbatasan dan pembersihan lahan dengan cara dibakar tidak saja mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan berupa kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi kegiatan ini juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem hutan secara keseluruhan, karena secara alamiah, hutan sebagai suatu ekosistem membentuk fungsi keseimbangan antar berbagai komponen hidup (biotik) dan komponen tidak hidup (abiotik ). Kegiatan ladang berpindah akan
merusak
keseimbangan ekosistem ini secara
menyeluruh karena banyaknya komponen ekosistem yang rusak akibat kegiatan ladang berpindah. Pada masa yang akan datang diprediksi 3 kemungkinan yang terjadi untuk kegiatan ladang berpindah yaitu; (1) Meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk dan tidak berjalannya program pemberdayaan masyarakat; (2) Tetap seperti kondisi saat ini namun dapat dikendalikan melalui regulasi pemerintah; (3) Menurun karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan sudah berjalan dengan baik. 3. Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan pelatihan kepada instansi pemerintah dan kelompok masyarakat. Namun jumlah tenaga keamanan dan tenaga teknis bidang kehutanan yang tersedia di lokasi kawasan perbatasan yang memiliki kemampuan dalam hal pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan masih sangat terbatas. Kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Barat terjadi setiap tahun pada saat musim kemarau tiba. Pada tahun 2004, jumlah titik api (hotspot) di Kalimantan barat mencapai 7.980 meningkat 100 % lebih jika dibandingkan pada tahun 2003 yang hanya berjumlah 3.140 titik api. Jumlah titik api tertinggi ditemukan di Kabupaten Ketapang (2.660 titik api), kemudian disusul Kabupaten Sintang 1.876 titik api, dan Kabupaten Sanggau 1.516 titik api. Kebakaran hutan terjadi pada bulan Mei sampai September dan puncak tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang mencapai 5.728 titik api. Tingginya frekwensi kejadian kebakaran hutan memerlukan teknolgi mitigasi bencana di seluruh kawasan hutan agar dapat dilakukan tindakan sesegera mungkin dalam mendeteksi sumber-sumber penyebab kebakaran
133
hutan dan meluasnya kejadian kebakaran hutan. Pada saat ini, teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan tersebut belum tersedia sama sekali. Padahal dengan tingkat kejadian kebakaran hutan yang sangat tinggi dan kerugian yang ditimbulkan besar, pemerintah perlu menyediakan teknoligi mitigasi bencana kebakaran hutan di kawasan -kawasan tertentu yang lebih rawan terjadi kebakaran hutan atau akan lebih baik jika teknologi terebut tersedia di seluruh kawasan hutan perbatasan Kalimantan Barat. Pada masa yang akan datang diprediksi ketersediaan teknologi mitigasi bencana ada 3 kemungkinan yang terjadi yaitu: (1) Tetap tidak tersedia seperti kondisi saat ini; (2) Tersedia tapi hanya pada kawasan tertentu; (3) Tersedia dan tersebar di seluruh kawasan hutan. 4. Perlindungan biota langka Indonesia dikaruniai hutan tropika basah terbesar kedua di dunia. Sekitar 78 persen dari luas daratan Indonesia tergolong sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri atas tujuh jenis wilayah biogeografi dengan keanekaragaman ekosistem mulai dari hutan pantai, hutan rawa, hutan mangrove, hutan dataran rendah, hutan savanna, hutan hujan pegunungan, dan hutan alpin. Dengan luasan yang hanya 1,3 persen dari total luas permukaan bumi, Indonesia setidaknya memiliki 10 persen dari seluruh jenis tumbuhan di dunia, 12 persen dari seluruh jenis mamalia, 16 persen dari seluruh jenis reptil dan amphibi, dan 17 persen dari seluruh jenis burung. Indonesia termasuk sebagai salah satu dari keenam negara yang memiliki kekayaan sumberdaya keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega-biodiversyti countries) (World Bank , 2000). Ada beberapa biota langka yang dilindungi yang terdapat di kawasan perbatasan seperti Cyrtranda mirabilis, ikan arwana , orang hutan, dan lain -lain. Upaya perlindungan terhadap biota langka ini telah dilakukan dalam bentuk penangkaran satwa dan penetapan melalui undang -undang sebagai biota yang dilindungi. Namun, masih seringkali ditemukan penyelundupan dan perdagangan ilegal biota langka ke luar negeri yang melibatkan masyarakat lokal. Pada saat ini upaya perlindungan terhadap biota langka masih terbatas pada satwa yang mendapat dukungan dana internasional, seperti orang hutan. Pada masa yang akan datang upaya perlindungan terhadap biota langka diprediksi terdapa 4 kemungkinan yang terjadi yaitu : (1) Upaya perlindungan hanya dilakukan terhadap biota langka yang mendapat dukungan dana
134
internasional saja; (2) Semua biota yang hanya memiliki nilai ekonomi saja; (3) Terhadap semua biota langka. 5. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan Berdasarkan perhitungan pada data peta digital, wilayah perbatasan mempunyai luas keseluruhan ± 2.490.491 Ha, yang terdiri dari Kawasan Konservasi (Taman Nasional/TN, Cagar Alam/CA, Taman Wisata Alam/TWA) seluas ± 846.422 Ha, Kawasan Lindung seluas ± 599.571 Ha, Kawasan Budidaya (Hutan Produksi/HP, Hutan Produksi Terbatas/HPT, Hutan Produksi yang dapat di Konversi/HPK) seluas ± 492.533 Ha, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ± 551.965 Ha. Permasalahan dalam penataan dan pengukuhan kawasan hutan di wilayah perbatasan
antara lain adalah
belum lengkapnya rencana-rencana
seperti RTRW, RDTR dan Rencana Kota – Ibukota Kecamatan, serta perangkat hukum yang pelaksanaannya masih menghambat pembangunan zona-zona potensial di kawasan perbatasan. Di masa yang akan datang diperlukan zonasi kawasan
dan
pembuatan tapal batas yang jelas dan permanen
serta
pembangunan pos pengamanan di sekitar kawasan hutan. Pada masa yang akan datang diprediksi upaya penataan dan pengukuhan kawasan hutan akan terjadi 4 kemungkinan yaitu; (1) Penataan dan pengukuhan hanya ditetapkan sebatas fungsi kawasannya saja; (2) Penataan dan penguku han ditetapkan dengan adanya tapal batas pada setiap kawasan; (3) Penataan dan pengukuhan sudah dilakukan dengan adanya tapal batas dan pos pengamanan; (4) Penataan dan pengukuhan sudah disertai dengan penegakaan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasan. 6. Ketersediaan basis data Basis data (data base)
sumberdaya hutan merupakan sesuatu yang
sangat diperlukan dalam menyusun perencanaan pengelolaan sumberdaya hutan. Basis data yang memuat berbagai informasi penting seperti, luas kawasan hutan, jenis biota, dominasi tegakan, dan lain-lain. Disamping sebagai dasar untuk
menyusun perencanaan, basis data
dapat dijadikan sebagai media
informasi kepada pihak lain yang membutuhkan. Ketersediaan basis data merupakan faktor yang memiliki pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem, namun faktor ini memiliki nilai ketergantungan antar faktor yang tinggi. Berdasarkan alasan tersebut maka faktor ketersediaan basis
135
data tidak dikategorikan sebagai faktor penentu dalam penyusunan rekomendasi, namun perlu diperhatikan sebagai faktor penentu dalam skenario. Pada masa yang akan datang ketersediaan basis data diprediksi terdapat 4 kemungkinan yang akan terjadi yaitu; (1) Tetap belum tersedia; (2) Sudah tersedia tetapi belum diperbaharui secara berkala; (3) Tersedia dan diperbaharui secara berkala; (4) Tersedia dan dapat diakses secara luas oleh semua pihak yang berkepentingan. Kemungkinan perubahan kondisi masing-masing faktor strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 35 Tabel 35 Perubahan kondisi faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah 1ssperbatasan Kalimantan Barat. No. 1.
Faktor Strategis Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
2.
Kegiatan ladang berpindah
3.
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
4.
Perlindungan biota langka
5.
Penetapan dan pengukuhan kawasan hutan
6.
Ketersediaan basis data
Keadaan (state ) masa depan faktor 1A Tetap Seperti sekarang
2A Meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk, program pemberdayaan masyarakat tidak berjalan 3A Tetap ( tidak tersedia)
4A Hanya biota yang mendapat dukungan dana internasional 5A Hanya ditetapkan fungsi kawasannya saja
6A Tetap (belum tersedia)
1B Pemanfaatan hasil hutan selain kayu meningkat 2B Tetap, dapat dikendalikan dengan adanya regulasi pemerintah
1C Adanya wisata alam
1D Perdagangan karbon (Carbon trade)
2C Menurun karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan yang berjalan dengan baik 3C Tersedia dan tersebar di seluruh kawasan hutan
2D
4B Semua biota yang memiliki nilai ekonomi
4C Semua biota langka
4D
5B Ada tapal batas pada setiap kawasan
5C Ada tapal batas dan Pos Pengamanan
6B Tersedia tapi data belum diperbaharui secara berkala
6C Tersedia dan diperbaharui secara berkala
5D Penegakan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasan 6D Tersedia dan dapat diakses secara luas oleh semua pihak yang berkepentingan
3B Tersedia tapi hanya pada kawasan tertentu saja
3D
136
Berdasarkan hasil diskusi pakar terlihat bahwa perubahan keadaan (state ) pada setiap faktor belum tentu terjadi bersamaan. Tabel 36 menunjukan keadaan dari faktor yang tidak mungkin terjadi bersamaan (mutual incompatible). Garis yang menghubungkan 2 keadaan pada faktor yang berbeda menunjukan bahwa keadaan tersebut tidak mungkin berada pada skenario yang sama. Tabel 36. Incompatible antar keadaan (state) dari keenam faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat jangka waktu 5 Tahun No. Faktor Keadaan (state) masa depan faktor Strategis 1A 1B 1C 1D Tetap Pemanfataan Adanya wisata Perdagangan 1. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
seperti sekarang
2A
2B
2C
2.
Kegiatan ladang berpindah
Meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk, program pemberdayaan masyarakat tidak berjalan
Tetap, dapat dikendalikan dengan adanya regulasi pemerintah
Menurun karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan yang berjalan dengan baik
3A
3B
3C
3.
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
Tetap ( tidak tersedia)
Tersedia tapi hanya pada kawasan tertentu saja
Tersedia dan tersebar di seluruh kawasan hutan
4C
4.
Perlindungan biota langka
5.
6.
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
Ketersediaan basis data
hasil hutan selain kayu meningkat
4A
4B
Hanya biota yang mendapat dukungan dana internasional
Semua biota yang memiliki nilai ekonomi
5A
5B
Hanya ditetapkan fungsi kawasannya saja
Ada tapal batas setiap kawasan
6A
6B
Tetap (belum tersedia)
Tersedia tapi data belum diperbaharui secara berkala
alam
karbon (Carbon trade)
Semua biota langka
5C
A da tapal batas dan Pos Pengamanan
6C Tersedia dan diperbaharui secara berkala
5D Penegakan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasan
6D Tersedia dan dapat diakses secara luas oleh semua pihak yang berkepentingan
Berdasarkan Tabel 36 diatas, disusun skenario yang kemungkinan terjadi di masa depan. Hasil diskusi dari pakar menyatakan 5 skenario yang mungkin
137
terjadi dalam waktu 5 tahun ke depan. Tabel 37 menyajikan skenario yang mungkin terjadi di masa depan. Tabel 37. Hasil analisis skenario strategi pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat No. Skenario Strategi Urutan Faktor 1. Menunggu kehancuran dan menuai 1A; 2A; 3A; 4A; 5A; 6A bencana. 2. Mencari peluang yang tidak 1B; 2A; 3A; 4A; 5B; 6B maksimal 3. Bertahan sambil mencari peluang 1B; 2A; 3B; 4B; 5B; 6A 4. Perbaikan secara menyeluruh dan 1C; 2B; 3B; 4B; 5B; 6C terpadu 5. Memanfaatkan hutan sebagai aset 1D; 2C; 3C; 4C; 5D; 6D masa depan Tabel 37 menunjukkan lima skenario yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Tabel 38 menyajikan keterangan masing-masing skenarion strategi tersebut. Tabel 38. Keterangan masing-masing skenario strategi pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat No. Skenario Keterangan 1. Menunggu (1A) pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tetap seperti sekarang. kehancuran dan menuai (2A) kegiatan ladang berpindah meningkat (3A) teknologi mitigasi bencana tidak tersedia/tetap, bencana.
2.
Mencari peluang yang tidak maksimal
(4A) perlindungan biota langka hanya terhadap biota yang mendapat dukungan dana internasional (5A) penataan dan pengukuhan kawasan hutan hanya ditetapkan fungsi kawasannya saja (6A) basis data tidak tersedia. Jika skenario ini terjadi, maka diprediksi sumberdaya hutan akan mengalami kerusakan sehingga akan terjadi bencana ekologis berupa banjir, kekeringan, pemanasan global, kepunahan flora dan fauna langka (kehilangan sumberdaya genetik/plasma nutfah). (1B) pemanfaatan hasil hutan selain kayu meningkat (2A) kegiatan ladang berpindah meningkat, (3A) Teknologi mitigasi bencana tidak tersedia/tetap (4A) perlindungan biota langka hanya terhadap biota yang mendapat dukungan dana internasional (5B) penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan disertai dengan tapal batas (6B) ketersediaan basis data tersedia tapi belum diperbaharui secara berkala. Jika skenario ini terjadi, maka diprediksi upaya untuk melestarikan sumberdaya hutan belum memperoleh hasil yang maksimal karena kayu masih dipandang sebagai komoditas hasil hutan utama yang memberikan manfaat ekonomi, walaupun dalam waktu yang bersamaan upaya untuk memanfaakan sumberdaya hutan selain kayu sudah dimulai
138
3.
Bertahan sambil mencari peluang
(1B) pemanfaatan hasil hutan selain kayu meningkat (2A) kegiatan ladang berpindah meningkat, (3B) teknologi mitigasi bencana tersedia tapi hanya haya pada kawasan tertentu (4B) perlindungan biota langka baru terbatas pada biota yang memiliki nilai ekonomi saja (5B) penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan disertai dengan tapal batas (6A) basis data tidak tersedia/tetap Jika skenario ini terjadi, maka diprediksi keberadaan SDH juga belum terjaga dengan baik, karena kebijakan yang diambil tidak didasari dengan ketersediaan basis data yang memadai.
4.
(1C) pengembangan wisata alam Perbaikan (2B) kegiatan ladang berpindah tetap ada tapi dapat secara dikendalikan dengan regulasi pemerintah menyeluruh
(3B) teknologi mitigasi bencana tersedia tapi hanya pa da kawasan tertentu (4B) perlindungan biota langka baru terbatas pada biota yang memiliki nilai ekonomi saja (5B) penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan (6C) basis data tersedia dan diperbaharuhi secara secara berkala Jika skenario ini terjadi, maka Dalam kondisi yang demikian upaya pelestarian sumberdaya hutan sudah dilakukan secara menyeluruh pada semua faktor dan kayu bukan lagi menjadi komoditas hasil hutan utama yang hanya memberikan manfaat ekonomi saja.
5.
Memanfaat kan hutan sebagai aset masa depan
(1D) perdagangan karbón (carbon trade) (2C) kegiatan ladang berpindah menurun karena program pemberdayaan masyarakat berjalan dengan baik (3C) teknologi mitigasi bencana tersedia dan tersebar diseluruh kawasn hutan (4C) perlindungan biota dilakukan pada semua biota langka (5D) penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah disertai dengan tapal batas dan pos pengemanan pada setiap kawasan hutan (6D) basis data tersedia dan dapat diakses dengan mudah oleh semua pihak yang membutuhkannya Jika skenario ini terjadi berarti sumberdaya hutan sudah dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan sehingga perlu dilestarikan agar generasi yang akan datang juga dapat menikmatinya.
139
Penentuan strategi prioritas dilakukan kembali oleh responden (pakar) yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan seperti yang terlihat pada tabel 39. Tabel 39. Responden Pakar Untuk Analisis Prospektif. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Responden Kepala Dinas Kehutanan di 2 Kabupaten wilayah perbatasan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Dosen Fakultas Ke hutanan Universitas Tanjungpura Pengusaha industri pengolahan kayu Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan LSM bidang kehutanan Petugas di wilayah perbatasan dengan Negara Malaysia Masyarakat di sekitar wilayah hutan Jumlah
Jumlah (orang) 2 1 3 5 1 2 1 2 17
Berdasarkan jawaban responden, sebanyak 38,27 % menjawab strategi perbaikan secara menyeluruh merupakan strategi prioritas utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Kemudian secara berturut-turut diikuti oleh strategi bertahan sambil mencari peluang (24,13%), mencari peluang yang tidak maksimal (21,76%), dan memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai aset masa depan (15,84%). Secara rinci urutan strategi berdasarkan skala prioritas dapat dilihat pada tabel 40. Tabel 40 . Persentase pendapat responden terhadap masing-masing skenario No. Skenario Strategi Persentase (%) Peringkat 1. Menunggu kehancuran dan menuai 0 5 bencana 2. Mencari peluang yang tidak maksimal 21,76 3 (skenario pesimis) 3. Bertahan sambil mencari peluang 24,13 2 (skenario moderat) 4. Perbaikan secara menyeluruh (skenario 38,27 1 Optimis) 5. Memanfaatkan sumberdaya hutan 15,84 4 sebagai aset masa depan Jumlah 100
140
Berdasarkan Tabel 40. maka terlihat bahwa meskipun pada awalnya pakar sepakat menyatakan terdapat 5 skenario yang akan terjadi, namun pada akhirnya terpilih 4 skenario. Dari 4 skenario terpilih, terlihat bahwa skenario perbaikan secara menyeluruh (Optimis) menempati peringkat 1 disusul skenario bertahan sambil mencari peluang (Moderat) dan skenario mencari peluang yang tidak maksimal (Pesimis). Skenario 4 memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai aset masa depan (skenario ideal) menduduki peringkat terakhir. Bila dilihat dari keadaan pada masing-masing faktor untuk tiap skenario terpilih, maka skenario 4 merupakan tujuan akhir dari pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Jika skenario 4 ini terjadi berarti sumberdaya hutan sudah dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang dapat memberikan man faat ekonomi, sosial, dan lingkungan sehingga perlu dilestarikan agar generasi yang akan datang juga dapat menikmatinya. Analisis keadaan terhadap terhadap skenario lainnya menunjukan bahwa skenario 4 akan terwujud melalui tercapainya skenario 1, 2 ataupun 3. Skenario 4 merupakan output yang diinginkan dari model pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis kondisi saat ini terlihat bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan kalimantan Barat secara multidimen si masuk dalam kategori kurang berkelanjutan. (hasil Rap-Insusforma menunjukan ke 5 dimensi belum mencapai tahap berkelanjutan yang baik). Hasil analisis prospektif menunjukan ke 5 faktor dominan yang perlu diperhatikan jika ingin mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Alternatif skenario yang muncul menunjukan bahwa skenario 4 (ideal) akan dicapai melalui skenario lainnya (1, 2, 3). Gambar 31 menunjukan alur skenario yang akan terjadi di masa depan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat.
141
Situasi saat ini
MDS
Faktor penggerak 1.Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 2.Kegiatan ladang berpindah 3.Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan 4.Perlindungan biota langka 5.Penataan dan pengukuhan kawasan hutan Prospektif
Skenario 1 Perbaikan menyeluruh (Optimis)
Skenario 2 Bertahan sambil mencari peluang (Moderat)
Skenario 4 Memanfaat akan SDH sebagai aset masa depan (Ideal)
Skenario 3 Mencari peluang yang tidak maksimal (Pesimis)
Gambar 31. Alur skenario berdasarkan state 5 tahun ke depan Berikut ini akan dijelaskan deskripsi, implikasi, serta cara pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan SKENARIO 1 : Perbaikan secara menyeluruh dan terpadu (Optimis) Tabel 41 menyajikan deskripsi keadaan 6 faktor dominan pada skenario optimis (skenario 1) Tabel 41. Deskripsi keadaan faktor penggerak untuk skenario 1 No 1 2 3
4 5
6
Faktor penggerak Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Kegiatan ladang berpindah Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka Penataan dan pengukuhan kawasan hutan Ketersediaan basis data
State pengembangan wisata alam kegiatan ladang berpindah tetap ada tapi dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah teknologi mitigasi bencana tersedia tapi hanya pada kawasan tertentu perlindungan biota langka baru terbatas pada biota yang memiliki nilai ekonomi saja penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan basis data tersedia dan diperbaharuhi secara secara berkala
142
Seperti telah diterangkan sebelumnya, hanya fakto r yang memiliki pengaruh tinggi pada kinerja sistem dengan ketergantungan antar faktor rendah yang menjadi faktor penggerak tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Tabel 41 menunjukan perubahan keadaan 5 faktor penggerak sebagai berikut : Faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sudah dikembangkan pemanfaatannya menjadi wisata alam., faktor kegiatan ladang berpindah walaupun tetap ada tetapi sudah dapat dikendalikan melalui melalui regulasi pemerintah. Upaya perlindungan biota langka sudah dilakukan walaupun baru terbatas pada biota langka yang memiliki nilai ekonomi saja. Faktor ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran sumberdaya hutan sudah tersedia walaupun masih dalam kawasan tertentu. Faktor penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan sudah ada tapal batas di setiap kawasan. Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian upaya pelestarian sumberdaya hutan sudah dilakukan relatif menyeluruh pada semua faktor. Kayu bukan lagi dipandang menjadi komoditas hasil hutan utama. Skenario ini merupakan skenario optimis yang menghasilkan kondisi dimana semua stakeholders sudah ikut berperan aktif guna tercapainya perbaikan secara menyeluruh dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing -masing atribut pengelolaan sumberdaya hutan seperti terlihat pada tabel 42. Tabel 42. Perubahan nilai skor faktor berpengaruh dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 1) Skor kondisi Skor pada No Faktor berpengaruh awal skenario 1 1 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 0 2 2
Kegiatan ladang berpindah
3
1
3
0
1
4
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka
1
2
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1
2
143
Perubahan nilai skor pada Tabel 42 skenario 1 akan berimplikasi terhadap dimensi keberlanjutan sebagai berikut: 1. Ekologi Skenario
akan berdampak positif terhadap dimensi ekologi di mana
perlindungan terhadap biota langka yang mendapatkan dana internasional maupun biota langka yang memiliki nilai ekonomi sudah dilakukan. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dengan adanya tapal batas di setiap kawasan serta sudah adanya pengembangan wisata alam dan juga dapat mengendalikan kegiatan ladang berpindah, sehingga kelestarian sumberdaya hutan dapat dijaga dan waktu suksesi hutan dapat lebih panjang. 2. Ekonomi Skenario 1 akan berdampak positif terhadap dimensi ekonomi. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang sudah dikembangkan menjadi wisata alam menunjukkan bahwa sumberdaya hutan pemanfaatannya tidak terfokus hanya pada hasil hutan kayu saja. Disisi lain, pengembangan wisata alam akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan serta sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 3. Sosial Budaya Skenario 1 akan berdampak positif terhadap dimensi sosial. Kegiatan ladang berpindah sudah dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah. Pena taan dan pengukuhan kawasan hutan telah dilakukan dan ditandai dengan adanya tapal batas di setiap kawasan. Hal ini menyebabkan jarak pemukiman dengan kawasan hutan dapat dijaga dan memudahkan pemerintah dalam mensosialisasikan peraturan ataupun teknologi dalam pengelolaan SDH. 4. Teknologi Skenario 1 akan berdampak positif terhadap dimensi teknologi. Tersedianya teknologi mitigasi bencana meskipun baru di kawasan tertentu diharapkan dapat mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran hutan pada setiap kawasan.
Terkendalinya kegiatan peladang berpindah akan dapat
memudahkan aksesibilitas pemerintah dalam mendiseminasikan teknologi pengolahan hasil hutan. 5. Hukum dan Kelembagaan Skenario 1 juga akan berdampak positif terhadap dimensi hukum dan kelembagaan. Dengan telah ditatanya kawasan sumberdaya hutan sesuai
144
dengan peruntukannya, dan dengan adanya tapal batas di setiap kawasan akan memudahkan konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum, sehingga intensitas pelanggaran hukum dapat dikurangi. Perubahan nilai skor pada atribut keberlanjutan akan dianalisis kembali dengan
Rap-Insusforma.
Perubahan
indeks
keberlanjutan
menunjukan
perubahan pada hasil model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan kalimantan Barat. SKENARIO 2 : Bertahan sambil mencari peluang (Skenario Moderat) Tabel 43 menyajikan deskripsi keadaan 6 faktor dominan pada skenario Moderat (skenario 2)
No 1 2 3
Tabel 43. Faktor penggerak dan state 5 tahun kedepan skenario 2 Faktor penggerak State pemanfaatan hasil hutan selain Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu kayu meningkat kegiatan ladang berpindah Kegiatan ladang berpindah meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk Teknologi mitigasi bencana kebakaran teknologi mitigasi bencana tersedia tapi hanya pada hutan kawasan tertentu
4
Perlindungan biota langka
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
6
Ketersediaan basis data
perlindungan biota langka baru terbatas pada biota yang memiliki nilai ekonomi saja penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan basis data tidak tersedia/tetap
Seperti telah diterangkan sebelumnya, hanya faktor yang memiliki pengaruh tinggi pada kinerja sistem dengan ketergantungan antar faktor rendah yang menjadi faktor penggerak tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Tabel 43 menunjukan perubahan keadaan 5 faktor penggerak sebagai berikut : Faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sudah mulai meningkat, faktor kegiatan ladang berpindah juga mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya penduduk. Upaya perlindungan biota langka sudah dilakukan walaupun baru terbatas pada biota langka yang memiliki nilai ekonomi saja.
145
Faktor ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran sumberdaya hutan sudah tersedia walaupun masih terbatas pada kawasan tertentu. Faktor penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan sudah ada tapal batas di setiap kawasan. Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian diprediksi keberadaan SDH belum terjaga dengan baik. Meskipun sudah ada perubahan state dari faktor pemanfaatan hasil hutan non kayu yang makin meningkat tetapi karena kegiatan peladang berpindah juga meningkat maka akan mengganggu keberadaan sumberdaya hutan dan berdampak pada dimensi dimensi lainnya. Skenario ini merupakan skenario moderat dimana pemerintah berperan aktif tapi tidak maksimal dalam memfasilitasi tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing -masing atribut pengelolaan sumberdaya hutan seperti terlihat pada tabel 44. Tabel 44. Perubahan nilai skor faktor berpengaruh dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 2) No
Faktor berpengaruh
Skor kondisi awal 0
Skor pada skenario 2 1
1
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
2
Kegiatan ladang berpindah
3
3
3
0
1
4
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka
1
2
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1
2
Perubahan nilai skor pada Tabel 44 skenario 2 akan berimplikasi terhadap dimensi keberlanjutan sebagai berikut: 1. Ekologi Terhadap dimensi ekologi skenario 2 akan berdampak positif tapi juga berdampak negatif. Upaya perlindungan terhadap biota lang ka baik biota langka yang mendapatkan dana internasional maupun biota langka yang memiliki nilai ekonomi secara tidak langsung akan berdampak baik terhadap keberadaan SDH di wilayah perbatasan. Begitu juga dengan faktor penataan dan pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan dengan baik akan
146
dapat menjaga keberadaan Namun
dengan
sumberdaya hutan di wilayah perbatasan.
meningkatnya
kegiatan
ladang
berpindah
karena
bertambahnya jumlah penduduk akan berdampak negatif terhadap dimensi ekologi, karena dapat mengancam kelestarian SDH. 2. Ekonomi Skenario 2 akan berdampak positif terhadap dimensi ekonomi. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang sudah meningkat akan memberikan peluang kepada
masyarakat
disekitar
kawasan
hutan
untuk
meningkatkan
pendapatannya sehingga masyarakat memiliki kesempatan kerja dan tidak akan terjerat dalam kemiskinan yang berkepanjangan. 3. Sosial Budaya Skenario 2 juga akan berdampak positif terhadap dimensi sosial. Dengan meningkatnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara tidak langsung juga akan mencegah terjadinya konflik sosial karena disitu tersedia peluang kesempatan kerja bagi masyarakat disekitar kawasan hutan. Hanya saja, karena kegiatan ladang berpindah juga meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, maka pada skenario 2 ini akan berdampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. 4. Teknologi Skenario 2 akan berdampak positif terhadap dimensi teknologi karena Dengan telah tersedianya teknologi mitigasi bencana meskipun baru di kawasan tertentu maka skenario 2 akan memberikan dampak positif terhadap dimensi teknologi. Ketersediaan teknologi mitigasi bencana akan dapat mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran hutan pada setiap kawasan. Sehingga kejadian rutin kebakaran hutan yang diringi dengan asap (smoke) setiap tahun di Kalimantan Barat bisa di eliminir. 5. Hukum dan Kelembagaan Skenario 2 juga akan berdampak positif terhadap dimensi hukum dan kelembagaan. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan sesuai dengan peruntukannya disamping akan dapat menjaga keberadaan
sumberdaya
hutan
di
wilayah
perbatasan
juga
akan
memudahkan pemerintah dan aparat untuk menegakkan hukum secara konsisten sehingga dapat mengurangi intensitas pelanggaran hukum.
147
Perubahan nilai skor pada atribut keberlanjutan akan dianalisis kembali dengan Rap -Insusforma (simulasi model). Perubahan indeks keberlanjutan menunjukan perubahan pada hasil model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan kalimantan Barat. SKENARIO 3 : M encari peluang yang tidak maksimal (Skenario Pesimis) Tabel 45 menyajikan deskripsi keadaan 6 faktor dominan pada skenario Pesimis (skenario 3)
No 1 2 3
Tabel 45. Faktor penggerak dan state 5 tahun kedepan skenario 3 Faktor penggerak State pemanfaatan hasil hutan selain Pemanfaatan has il hutan bukan kayu kayu meningkat kegiatan ladang berpindah Kegiatan ladang berpindah meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk Teknologi mitigasi bencana kebakaran teknologi mitigasi bencana tetap/tidak tersedia. hutan
4
Perlindungan biota langka
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
6
Ketersediaan basis data
perlindungan biota langka baru terbatas pada biota yang mendapat dukungan dana internasional. penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan basis data tersedia tapi belum diperbaharui secara berkala.
Skenario ini kondisinya lebih buruk dari skenario 2. Seperti telah diterangkan sebelumnya, hanya faktor yang memiliki pengaruh tinggi pada kinerja sistem dengan ketergantungan antar faktor rendah yang menjadi faktor penggerak tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Tabel 46 menunjukan perubahan keadaan 5 faktor penggerak sebagai berikut : Faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sudah dilakukan dan mulai meningkat, faktor kegiatan ladang berpindah juga mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya penduduk. Upaya perlindungan biota langka baru dilakukan sebatas pada biota langka yang mendapat dukungan dana internasional. Faktor ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran
148
sumberdaya hutan tetap/ tidak tersedia. Faktor penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan dan sudah ada tapal batas di setiap kawasan. Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian diprediksi keberadaan SDH belum terjaga dengan baik. Meskipun sudah ada pemanfaatan hasil hutan non kayu, namun kegiatan peladang berpindah yang meningkat serta tidak tersedianya teknologi mitigasi bencana akan merusak keberadaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan barat. Skenario ini merupakan skenario pesimis dimana pemerintah tidak berperan optimal dalam memfasilitasi tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing -masing atribut terhadap pengelolaan sumberdaya hutan seperti yang terlihat pada tabel 46. Tabel 46. Perubahan nilai skor faktor berpengaruh dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 3) Skor kondisi Skor pada No Faktor berpengaruh awal skenario 3 1 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 0 1 2
Kegiatan ladang berpindah
3
3
3
0
0
4
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka
1
1
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1
2
Perubahan nilai skor pada Tabel 47 akan berimplikasi terhadap dimensi keberlanjutan sebagai berikut: 1. Ekologi Skenario 3 akan berdampak negatif terhadap dimensi ekologi. Perlindungan terhadap biota langka meskipun sudah dilakukan namun masih tergantung pada biota langka yang hanya mendapat dukungan dana internasional saja. Kegiatan ladang berpindah yang meningkat karena bertambahnya jumlah penduduk dapat mengancam kelestarian SDH. Meskipun pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meningkat namun karena teknologi mitigasi bencana tidak tersedia maka waktu suksesi hutan menjadi lebih singkat dan frekwensi kebakaran hutan mungkin akan meningkat.
149
2. Ekonomi Skenario 3 berdampak positif terhadap dimensi ekonomi. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang meningkat akan memberikan peluang meningkatnya pendapatan masyarakat disekitar kawasan hutan, serta membuka peluang kesempatan kerja bagi masyarakat.. 3. Sosial Budaya Terhadap dimensi sosial budaya skenario 3 juga akan berdampak positif. Meningkatnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara tidak langsung akan dapat mengeleminir terjadinya konflik sosial karena disitu tersedia peluang kesempatan kerja bagi masyarakat disekitar kawasan hutan. Hanya saja, karena kegiatan ladang berpindah juga meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, maka pada skenario 3 ini akan berdampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. 4. Teknologi. Skenario 3 akan berdampak negatif terhadap dimensi teknologi. Tidak tersedianya teknologi mitigasi bencana menunjukan bahwa selama ini dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan faktor ketersediaan teknologi masih terabaikan. Dengan kondisi tidak tersedianya teknologi mitigasi bencana (tetap seperti kondisi saat ini) maka akan menimbulkan permasalahan dalam mendeteksi secara dini terjadinya bencana. 5. Hukum dan kelembagaan Skenario 3 berdampak negatif terhadap dimensi hukum dan kelembagaan. Meningkatnya kegiatan peladang berpindah dan tidak tersedianya teknologi mitigasi bencana bisa jadi akan memicu terjadinya pelanggaran hukum dan konflik sosial di masyarakat.. Perubahan nilai skor pada atribut keberlanjutan akan dianalisis kembali dengan Rap -Insusforma (simulasi model). Perubahan indeks keberlanjutan menunjukan perubahan pada hasil model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan kalimantan Barat.
150
SKENARIO 4 : Memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai aset masa depan (Skenario ideal) Tabel 47 menyajikan deskripsi keadaan 6 faktor dominan pada skenario ideal (skenario 4)
No 1 2
3
4 5
6
Tabel 47. Faktor penggerak dan state 5 tahun kedepan skenario 4 Faktor penggerak State pemanfaatan hasil hutan Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu melalui perdagangan karbon. (carbon trade) kegiatan ladang berpindah Kegiatan ladang berpindah menurun karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan sudah berjalan dengan baik. Teknologi mitigasi bencana kebakaran teknologi mitigasi bencana tersedia dan tersebar diseluruh hutan kawasan hutan perlindungan biota langka Perlindungan biota langka sudah dilakukan terhadap semua biota langka. penataan dan pengukuhan Penataan dan pengukuhan kawasan kawasan hutan sudah hutan ditegakkan secara adil dan konsisten sesuai batas dan fungsi kawasan. Ketersediaan basis data basis data tersedia dan dapat diakses secara luas oleh semua pihak yang berkepentingan. Seperti telah diterangkan sebelumnya, hanya faktor yang memiliki
pengaruh tinggi pada kinerja sistem dengan ketergantungan antar faktor rendah yang menjadi faktor penggerak tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Tabel 47 menunjukan perubahan keadaan 5 faktor penggerak sebagai berikut : Faktor pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sudah pemanfaatannya dengan melakaukan perdagangan carbon. Faktor kegiatan ladang berpindah sudah menurun karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan sudah berjalan dengan baik. Upaya perlindungan biota langka sudah dilakukan terhadap semua biota langka. Faktor ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran sumberdaya hutan sudah tersedia dan tersebar di seluruh kawasan. Faktor penataan dan pengukuhan kawasan hutan sudah
dilakukan
secara adil dan konsisten sesuai dengan batas dan fungsi kawasa.
151
Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian berarti sumberdaya hutan sudah dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan sehingga perlu dilestarikan agar generasi yang akan datang juga dapat menikmatinya. Skenario 4 merupakan skenario ideal dan menjadi tujuan akhir dari pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan barat. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, nilai skor untuk faktor penggerak telah mencapai nila cukup berkelanjutan. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing -masing atribut terhadap pengelolaan sumberdaya hutan seperti yang terlihat pada tabel 48. Tabel 48. Perubahan nilai skor faktor berpengaruh dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Ka limantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 4) Skor kondisi Skor pada No Faktor berpengaruh awal skenario 4 1 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 0 2 2
Kegiatan ladang berpindah
3
0
3
0
1
4
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka
1
3
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1
2
Perubahan nilai skor pada Tabel 48 akan berimplikasi terhadap dimensi keberlanjutan sebagai berikut: 1. Ekologi Skenario 4 akan berdampak sangat positif terhadap dimensi ekologi, dikarenakan perlindungan terhadap biota langka yang selama ini hanya terfokus pada perlindungan biota yang hanya mendapat dukungan dana internasional maupun biota langka yang memiliki nilai ekonomi, pada kondisi ini sudah dilakukan pada semua biota langka. Memanfaatkan sumberdaya hutan dengan menjual karbon (carbon trade) akan mendapatkan keuntungan ganda yaitu dapat melestarikan sumberdaya hutan yang dimiliki sehingga generasi akan datang juga dapat menikmati, juga akan mendapatkan sumberdana pembangunan. 2. Ekonomi Skenario 4 akan berdampak sangat positif terhadap dimensi ekonomi. Kegiatan ladang berpindah telah dapat dikendalikan dan sudah menurun
152
karena program pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan sudah berjalan dengan baik. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan se suai dengan peruntukannya dan dilaksanakan dengan penegakan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasan akan memberikan implikasi positif terhadap pembangunan ekonomi. Perdagangan carbon trade dapat dijadikan sebagai daya saing Indonesia sebagai negara tropika akan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia 3. Sosial budaya. Skenario 4 akan berdampak sangat positif terhadap dimensi sosial. Kegiatan ladang berpindah yang sudah menurun menunjukan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi sumberdaya hutan bagi generasi yang akan datang. Disisi lain, dengan telah dilakukan penataan dan pengukuhan kawasan hutan secara adil dan konsisten akan terjaga jarak pemukiman dengan kawasan hutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang sudah sampai pada keadaan menjual karbon akan dapat memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. 4. Teknologi. Skenario 4 akan berdampak positif terhadap dimensi teknologi karena telah terbangun teknologi mitigasi bencana yang tersebar di seluru h kawasan hutan, sehingga frekwensi terjadinya kebakaran dapat dikurangi. Dengan telah terkendalinya kegiatan ladang berpindah telah
dapat memudahkan
aksesibilitas pemerintah dalam mendiseminasikan teknologi pengolahan hasil hutan. 5. Hukum dan kelembagaan Skenario 4 berdampak sangat positif terhadap dimensi hukum dan kelembagaan. Penegakan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasan akan dapat menurunkan terjadinya gejolak sosial, pelanggaran hukum dan frekwensi konflik dimasyarakat. Perubahan nilai skor pada atribut keberlanjutan akan dianalisis kembali dengan Rap -Insusforma (simulasi model). Perubahan indeks keberlanjutan menunjukan perubahan pada hasil model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat.
153
5.2.5. Simulasi model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Rangkuman perubahan skor untuk ke 4 (empat) skenario disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Perubahan nilai skor faktor penggerak pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan No Faktor Penggerak Kondisi Skenario Skenario Skenario Skenario awal 1 2 3 4 1 2 3 4 5
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Kegiatan ladang berpindah Teknologi mitigasi bencana Perlindungan biota langka Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
0
2
1
1
2
3
1
3
3
0
0
1
1
0
1
1
2
2
1
2
1
2
2
2
3
Perubahan pada nilai skor atribut akan mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan. Berikut ini disampaikan hasil analisis keberlanjutan un tuk masingmasing skenario. a. Skenario 1 1. Simulasi perubahan nilai skor skenario 1 Pada tabel 50 terlihat disimulasikan perubahan dari nilai skor skenario optimis. Tabel 50. Simulasi perubahan nilai skor faktor penggerak pengelolaan sumberdaya hutan d i wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan untuk skenario 1 No Faktor Run Dimensi Atribut/Faktor Nilai/Skor Penggera simulasi k 1 Pemanfaa Ekonomi Pemanfaatan 0 2 tan hasil hasil hutan bukan (rendah) hutan kayu bukan kayu Akses masyarakat 1 Sosial 3 lokal terhadap (rendah) SDH Kegiatan ladang 3 2 Kegiatan Ekologi 1 ladang berpindah. (banyak) berpindah Jarak pemukiman dengan kawasan 0 Sosial 1 hutan (dekat)
154
3
Teknologi mitigasi bencana
Teknologi
Ekologi
4
5
Perlindungan biota langka
Ketersediaan Teknologi mitigasi bencana Frekwensi kebakaran hutan
Ekologi
Perlindungan biota langka
Sosial
Akses masyarakat terhadap SDH
Penataan dan pengukuhan kawasan Hukum hutan kelembagaan
Ekologi
Intensitas pelanggaran hukum Ketersediaan peraturan perundangundangan pengelolaan SDH Konsistensi penegakan hukum
Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan hutan
0 (Tidak tersedia)
1
2 (Terjadi setiap tahun saat musim kemarau 1 (dilakukan terhadap biota langka yang hanya didukung dana internasion al)
1
1 (rendah) 2 (sering terjadi)
3
1
2
2
1
(sedikit)
0
2
(tidak konsisten) 1
2
(tersedia tapi tidak dipatuhi)
2. Hasil simulasi perubahan nilai skor skenario 1 masing-masing dimensi Hasil simulasi masing-masing dimensi pada skenario 1 dapat dilihat pada Gambar 32, 33, 34, 35, 36 dan 37.
155
RAPFISH Ordination
60 52.12 Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
References 0
20
40
60
80
100
120
Anchors
-20
-40
-60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 32. Hasil simulasi Rap-Insusforma yang menunjukan nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekologi pada skenario 1
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20
0
Real Fisheries
63.84
BAD
0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 33. Hasil simulasi Rap-Insusforma yang menunjukan nilai indeks status keberlanjutan dimensi ekonomi pada skenario 1
156
RAPFISH Ordination 60 UP 40
20
0
Real Fisheries
58.96
BAD
0
20
40
GOOD
60
80
100
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 34. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pada skenario 1
RAPFISH Ordination
60
Other Distingishing Features
UP 40 20 BAD
0 0
Real Fisheries
43.39 20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 35. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pada skenario 1
157
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
42.09
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 36. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum & Kelembagaan pada skenario 1
RAPFISH Ordination
60 UP
Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries
52.94 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 37. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan multidimensi pada skenario 1
158
Hasil simulasi perhitungan indeks pada skenario 1 menunjukan adanya peningkatan indeks status keberlanjutan pada masing masing dimensi seperti terlihat pada Tabel 51. Tabel 51. Perubahan nilai Indeks keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 1) Nilai Indeks Nilai Indeks Perubahan No Dimensi saat ini jika skenario 1 (∆) terjadi 1 Ekologi 36,11 52,12 16,01 2
Ekonomi
53,17
63,84
10,67
3
Sosial Budaya
40,44
58,96
18,52
4
Teknologi
23,17
43,39
20,22
5
Hukum dan Kelembagaan
26,09
42,09
16
6
Multidimensi
36,85
52,93
16,08
3. Rekomendasi skenario 1 Berdasarkan tabel 51 terlihat adanya peningkatan indeks pada masingmasing dimensi yang pada akhirnya meningkatkan indeks multidimensi. Hal ini bera rti kinerja sistem meningkat tapi belum mencapai optimal (skenario 4). Untuk mencapai hasil yang diharapkan (ideal) maka rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut: a. Kegiatan ladang berpindah harus diturunkan dengan melaksanakan program pemberdayaan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan secara terencana. b. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan sesuai peruntukannya dengan adanya tapal batas ditingkatkan lagi dengan membangun pos pengamanan pada masing masing kawasan serta menegakkan hukum secara adil dan konsisten tentang batas dan fungsi kawasa. Penentuan rekomendasi tersebut secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 52 di bawah ini.
159
Tabel 52. Rekomendasi skenario 1 untuk bisa mencapai skenario 4 secara kuantitatif dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan Skor Rekomendasi No Faktor berpengaruh skenario 1 1 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 2 2 2
Kegiatan ladang berpindah
1
0
3
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan Perlindungan biota langka
1
1
2
2
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
2
3
4 5
b. Skenario 2
1. Simulasi perubahan nilai skor skenario 2 Pada tabel 53 terlihat disimulasikan perubahan dari nilai skor skenario moderat. Tabel 53. Simulasi perubahan nilai skor faktor penggerak pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan untuk skenario 2 No 1
Faktor Penggerak Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Dimensi
Atribut/Faktor
Ekonomi
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Sosial 2
Kegiatan ladang berpindah
Ekologi
Sosial 3
Teknologi mitigasi bencana
Teknologi
Ekologi
4
Perlindungan biota langka
Ekologi
Sosial
Nilai/Skor 0
Run simulasi 1
(rendah) 1 (rendah) 3 (banyak) 0 (dekat)
2
1
biota
0 (Tidak tersedia) 2 (Terjadi setiap tahun saat musim kemarau 1
Akses masyarakat terhadap SDH
(dilakukan terhadap biota langka yang hanya didukung dana internasional) 1 (rendah)
Akses masyarakat lokal terhadap SDH Kegiatan ladang berpindah. Jarak pemukiman dengan kawasan hutan Ketersediaan Teknologi mitigasi bencana. Frekwensi kebakaran hutan
Perlindungan langka
3
0
1
2
2
160
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
Intensitas pelanggaran hukum Ketersediaan peraturan perundangundangan pengelolaan SDH
Hukum kelembagaan
Konsistensi penegakan hukum
Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan hutan
Ekologi
2 (sering terjadi) 1
1 2
(sedikit) 0
2
(tidak konsisten) 1
2
(tersedia tapi tidak dipatuhi)
2. Hasil simulasi perubahan nilai skor skenario 2 masing-masing dimensi. Hasil simulasi masing-masing dimensi pada skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 38, 39, 40, 41, 42 dan 43.
RAPFISH Ordination 80
Other Distingishing Features
60
41.46 UP
40 Real Fisheries
20
References BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
Anchors
-20 -40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 38. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan ekologi pada skenario 2
161
RAPFISH Ordination
60 UP Other Distingishing Features
40
20 58.74
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 39. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan ekonomi pada skenario 2
RAPFISH Ordination
60 UP
Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries
52.63 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 40. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan sosial pada skenario 2
162
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
36.98
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 41. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan Teknologi pada skenario 2
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
40 40.34
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 42. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan Hukum & Kelembagaan pada skenario 2
163
RAPFISH Ordination
60 UP Other Distingishing Features
40
20
49.50 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Rap-insusforma Sustainability
Gambar 43 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan multidimensi pada skenario 2 Hasil simulasi perhitungan indeks pada skenario 2 menunjukan adanya peningkatan indeks keberlanjutan pada masing masing dimensi seperti terlihat pada Tabel 54 Tabel 54. Perubahan nilai Indeks keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 2) Nilai Indeks Nilai Indeks Perubahan No Dimensi saat ini jika skenario 2 (∆) terjadi 1 Ekologi 36,11 41,46 5,35 2
Ekonomi
53,17
58,74
5,57
3
Sosial Budaya
40,44
52.63
12,19
4
Teknologi
23,17
36,98
13,81
5
Hukum dan Kelembagaan
26,09
40,34
14,25
6
Multidimensi
36,85
49,50
12,65
3. Rekomendasi skenario 2 Skenario 2 merupakan skenario yang sebenarnya tidak diharapkan, namun mungkin terjadi di masa depan. Oleh karenanya apabila semua faktor kondisi mengarah pada terjadinya skenario 2, maka diperlukan tindakan strategis yang dapat mencegah terjadinya hal tersebut.
164
Berdasarkan tabel 62 terlihat adanya peningkatan indeks pada masingmasing dimensi yang pada akhirnya meningkatkan indeks multidimensi. Hal ini berarti kinerja sistem meningkat tapi peningkatannya lebih kecil dari peningkatan indeks pada skenario 1 dan belum mencapai optimal (skenario 4). Untuk mencapai hasil yang diharapkan (ideal) maka rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut: a. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu walaupun sudah meningkat perlu dikembangkan lagi kearah pengembangan wisata alam agar kelestarian keberadaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dapat lebih terjaga. b. Kegiatan ladang berpindah yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk harus dikendalikan dengan adanya regulasi pemerintah yang dijalankan dengan konsisten. c. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan perlu dilengkapi dengan adanya pos pengamanan di setiap kawasan. Penentuan rekomendasi secara kuantitatif pada skenario 2 dapat dilihat pada Tabel 55 dibawah ini. Tabel 55. Rekomendasi skenario 2 untuk bisa mencapai skenario 4 dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan Skor Rekomendasi No Faktor berpengaruh skenario 2 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1 1 2 2
Kegiatan ladang berpindah
3
0
3
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
1
1
4
Perlindungan biota langka
2
2
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
2
3
165
c. Skenario 3 1. Simulasi perubahan nilai skor skenario 3 Pada tabel 56 terlihat disimulasikan perubahan dari nilai skor skenario pesimis. Tabel 56 Simulasi perubahan nilai skor faktor penggerak pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan untuk skenario 3 No 1
2
3
Faktor Penggerak Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Dimensi
Atribut/Faktor
Ekonomi
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Sosial
Akses masyarakat lokal terhadap SDH
Kegiatan ladang berpindah
Ekologi
Teknologi mitigasi bencana
Teknologi
Kegiatan ladang berpindah. Jarak pemukiman dengan kawasan hutan Ketersediaan Teknologi mitigasi bencana. Frekwensi kebakaran hutan
Sosial
Ekologi
4
Perlindungan biota langka
Ekologi
Perlindungan biota langka
Akses masyarakat terhadap SDH Intensitas pelanggaran hukum Hukum Ketersediaan kelembaga peraturan perundangan undangan pengelolaan SDH Konsistensi penegakan hukum Sosial
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
Ekologi
Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan hutan
Nilai/Skor 0
Run simulasi 1
(rendah) 1 (rendah)
2
3 (banyak) 0 (dekat) 0 (Tidak tersedia) 2 (Terjadi setiap tahun saat musim kemarau 1 (dilakukan terhadap biota langka yang hanya didukung dana internasional) 1 (rendah) 2 (sering terjadi) 1
3 0 0
1
1
1 1 2
(sedikit) 0
1
(tidak konsisten) 1
1
(tersedia tapi tidak dipatuhi)
166
2. Hasil simulasi perubahan nilai skor skenario 3 masing -masing dimensi Hasil simulasi masing-masing dimensi pada skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 44, 45` 46, 47, 48 dan 49.
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
36.11 20 Real Fisheries BAD
0 0
GOOD 20
40
60
80
100
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 44 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi pada skenario 3
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20
54.80 0
Real Fisheries
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 45 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pada skenario 3
167
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries BAD
0 0
GOOD
41.28 20
40
60
80
100
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 46 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya pada skenario 3
RAPFISH Ordination
60
Other Distingishing Features
UP 40 20 Real Fisheries
23.17 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20 -40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 47 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pada skenario 3
168
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
4037.07
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 48 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi Hukum & Kelembagaan pada skenario 3
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
40.17
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 49 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan Multidimensi pada skenario 3
169
Hasil simulasi perhitungan indeks pada skenario 3 menunjukan adanya peningkatan indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan, tetapi tidak ada peningkatan pada dimensi ekologi dan teknologi. Secara jelas terlihat pada Tabel 58 Tabel 58 Perubahan nilai Indeks keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 3) Nilai Indeks Nilai Indeks Perubahan No Dimensi saat ini jika skenario 3 (∆) terjadi 1 Ekologi 36,11 36,11 2
Ekonomi
53,17
54,80
1,63
3
Sosial Budaya
40,44
41,28
0,84
4
Teknologi
23,17
23,17
-
5
Hukum dan Kelembagaan
26,09
37,07
10,98
6
Multidimensi
36,85
40,17
3,32
3. Rekomendasi skenario 3 Skenario 3 merupakan skenario yang sangat tidak diharapkan tapi mungkin terjadi dalam masa 5 tahun ke depan karena kondisinya lebih buruk dari skenario 2. Seandainya skenario ini terjadi maka perlu tindakan strategis untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Berdasarkan tabel 65 terlihat bahwa walaupun secara multidimensi terjadi peningkatan indeks keberlanjutan, namun peningkatan indeks tersebut tidak terjadi pada semua dimensi keberlanjutan, Hal ini berarti kinerja sistem ada yang meningkat dan ada kinerja sistem yang tidak meningkat. Peningkatan indeks keberlanjutan pada skenario 3 lebih kecil dari peningkatan indeks pada skenario 2 dan masih jauh untuk mencapai optimal (skenario 4). Untuk mencapai hasil yang diharapkan (ideal) maka rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut: a. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu walaupun sudah meningkat perlu dikembangkan lagi kearah pengembangan wisata alam agar keberadaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dapat lebih terjaga.
170
b. Kegiatan ladang berpindah harus dikendalikan dengan regulasi pemerintah yang dijalankan dengan konsisten. c. Pemerintah perlu membangun teknologi mitigasi bencana yang dimulai dari kawasan-kawasan tertentu kemudian dilanjutkan pada semua kawasan hutan. d. Perlindungan terhadap biota langka perlu ditingkatkan tidak hanya pada biota langka yang mendapat dukungan dana internasional, tetapi dilakukan pada semua biota langka yang memiliki nilai ekonomi. e. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan yang sudah dilakukan dan ada tapal batas disetiap kawasan perlu dilengkapi dengan adanya pos pengamanan di setiap kawasan. Penentuan rekomendasi secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 58 dibawah ini. Tabel 59 Rekomendasi skenario 3 untuk bisa mencapai skenario 4 dalam pengelolaan SDH di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan No 1
2
Faktor berpengaruh Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Kegiatan ladang berpindah
Skor skenario 3 1
Rekomendasi
3
0
2
3
Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan
0
1
4
Perlindungan biota langka
1
2
5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan
1
3
171
d. Skenario 4 1. Simulasi perubahan nilai skor skenario 4 Pada tabel 59 terlihat disimulasikan perubahan dari nilai skor skenario ideal. Tabel 59. Simulasi perubahan nilai skor faktor penggerak pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan untuk skenario 4 No 1
Faktor Penggerak Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Dimens i
Atribut/Faktor
Ekonomi
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Sosial 2
Kegiatan ladang berpindah
Ekologi
Sosial 3
Teknologi mitigasi bencana
Teknologi
Ekologi
4
Perlindungan biota langka
Ekologi
Sosial 5
Penataan dan pengukuhan kawasan hutan Hukum kelembagaan
Ekologi
Nilai/Skor
Run simulasi
0 (rendah)
2
Akses masyarakat lokal terhadap SDH
1 (rendah)
3
Kegiatan ladang berpindah. Jarak pemukiman dengan kawasan hutan Ketersediaan Teknologi mitigasi bencana
3 (banyak) 0 (dekat)
0
0 (Tidak tersedia)
1
Frekwensi kebakaran hutan Perlindungan langka
biota
Akses masyarakat terhadap SDH Intensitas pelanggaran hukum Ketersediaan peraturan perundang-undangan pengelolaan SDH Konsistensi penegakan hukum
Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan hutan
2 (Terjadi setiap tahun saat musim kemarau 1 (dilakukan terhadap biota langka yang hanya didukung dana internasional) 1 (rendah) 2 (sering terjadi) 1
2
1
3
3
1 3
(sedikit) 0
3
(tidak konsisten) 1 (tersedia tapi tidak dipatuhi)
1
172
2. Hasil simulasi perubahan nilai skor skenario 4 masing-masing dimensi Hasil simulasi masing-masing dimensi pada skenario 4 dapat dilihat pada Gambar 50. 51, 52, 53, 54 dan 55.
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 72.95
20
Real Fisheries 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 50 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi Ekologi skenario 4
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
60
80 79.01
GOOD 100 120
References Anchors
-20 -40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Rap-insusforma
Gambar 51 Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi Ekonomi skenario 4
173
RAPFISH Ordination 60 UP Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
GOOD 80.05 80 100 120
60
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 52.Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial skenario 4
RAPFISH Ordination
60 UP Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries
58.71 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 53. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi Teknologi skenario 4
174
RAPFISH Ordination
60
Other Distingishing Features
UP 40 20 Real Fisheries 0
BAD 0
20
40
60
80 71.18
-20
GOOD 100 120
References Anchors
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 54. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan dimensi Hukum & Kelembagaan skenario 4
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 20 Real Fisheries BAD
0 0
59.75 20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20 -40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Rap-insusforma
Gambar 55. Hasil simulasi Rap -Insusforma yang menunjukan nilai indeks keberlanjutan multidimensi skenario 4 Hasil simulasi perhitungan indeks pada skenario 4 menunjukan peningkatan indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan, tetapi tidak ada peningkatan pada dimensi ekologi dan teknologi. Secara jelas terlihat pada Tabel 60
175
Tabel 60. Perubahan nilai Indeks Status keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 5 tahun kedepan (skenario 4) Nilai Indeks Nilai Indeks Perubahan No Dimensi saat ini jika skenario 4 (∆) terjadi 1 Ekologi 36,11 72,94 36,83 2
Ekonomi
53,17
79,01
25,84
3
Sosial Budaya
40,44
80,05
39,61
4
Teknologi
23,17
58,70
27,53
5
Hukum dan Kelembagaan
26,09
71,18
45,09
6
Multidimensi
36,85
59,75
22,90
3. Rekomendasi skenario 4 Berdasarkan tabel 61 terlihat peningkatan indeks pada masing-masing dimensi yang pada akhirnya meningkatkan indeks multidimensi. Hal ini berarti kinerja sistem meningkat dan mencapai optimal (skenario 4). Yang merupakan tujuan akhir dari pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Namun demikian, secara multidimensi peningkatan indeks keberlanjutan baru mencapai nilai 59,75. Agar skenario 4 dapat berjalan dengan baik, maka dimasa yang akan datang ketika skenario 4 ini bisa terwujud, perlu dilakukan perluasan dari faktor-faktor penentu lainnya. sehingga indeks keberlanjutan dari pengelolaan SDH diharapkan dapat meningkat lagi. Simulasi empat skenario di atas dapat dirangkum dalam diagram hasil simulasi model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan barat seperti yang terlihat pada Gambar 56.
176
GAMBAR 56
177
Dari gambar 56 diatas, secara kuantitatif menunjukan bahwa hasil simulasi perhitungan indeks status keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan yang dilakukan pada masing-masing skenario (optimis, moderat, pesimis dan ideal) terjadi perubahan nilai indeks status keberlanjutan baik untuk masing-masing dimensi maupun secara multidimensi. Perbedaan nilai indeks multidimensi kondisi saat ini hingga mencapai kondisi ideal
adalah 22,90.
Perubahan indeks masing-masing dimensi dan skenario tersebut dapat dilihat secara jelas pada simulasi diagram layang - layang gambar 57 dan 58.
Ekologi 100 80 60
Hukum & Kelembagaan
40
Ekonomi
20 0
Teknologi
Sosial Budaya
Kondisi saat ini Skenario Pesimis Skenario Moderat Skenario Optimis Skenario Ideal
Gambar 57. Simulasi diagram layang-layang indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan pada Empat skenario
178
Kondisi saat ini Ekologi 100 80 60
36.11 40
Hukum & Kelembagaan
Ekonomi 53.17
20
26.09
Skenario 3 (Pesimis)
0
23.17 40.44
Ekologi 100
Teknologi
Sosial Budaya
Hukum & Kelembagaan
80 60 36.11 40 20 0
37.07
54.8
Ekonomi
23.17
Skenario 2 (Moderat)
41.28 Teknologi
Sosial Budaya
Ekologi 100 80 60 41.46
Hukum & Kelembagaan 40.34
40 20
Ekonomi 58.74
0
Skenario 1. (Optimis)
36.98
52.63
Teknologi
Sosial Budaya
Ekologi 100 80
52.12 60 Hukum & Kelembagaan 42.09
Skenario 4 (Ideal)
43.39
Ekologi 100 72.94 80 60 40
Hukum & 71.18 Kelembagaan
20 0
Teknologi
40 20 0
Ekonomi 63.84
58.96 Sosial Budaya
Ekonomi 79.01
58.7 Teknologi
80.05 Sosial Budaya
Gambar 58. Simulasi diagram layang-layang indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan masing-masing skenario
179
Dari gambar 56 dan 57 dan 58 diatas dapat dijelaskan kemungkinankemungkinan alternatif pelaksanaan masing -masing skenario sebagai berikut: a. Skenario 1 (skenario Optimis) Untuk mencapai skenario 1 disadari memang tidak mudah. Tidak mungkin bisa merubah secara drastis 5 faktor penggerak (driven factor) dalam waktu yang sangat singkat. Disisi lain di perlukan biaya yang sangat besar sementara kemampuan pembiayaan daerah sangat terbatas. b. Skenario 2 (Skenario Moderat) Untuk melaksanakan skenario 2 yang merupakan skenario moderat juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Tidak mungkin secara drastis pemerintah daerah bisa merubah 4 faktor penggerak dalam waktu yang singkat. Untuk mencapai tujuan skenario 2 ini juga dibutuhkan biaya yang besar. c. Skenario 3 (Skenario Pesimis) Walaupun skenario 3 merupakan skenario pesimis, namun skenario ini yang mungkin bisa dilakukan sebagai tahap awal dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan kalimantan Barat. Sebab dari sisi waktu (5 tahun) relatif mencukupi untuk dilaksanakan, kemudian dari sisi biaya juga relatif kecil karena faktor penggerak yang dirubah hanya 2 faktor saja. Sementara, walaupun hanya 2 faktor penggerak saja yang dirubah sudah menunjukan peningkatan dimensi berkelanjutan. Oleh karena itu, alternatif model operasional pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan
di
wilayah
perbatasan
Kalimantan
Barat
yang
paling
memungkinkan untuk dilaksanakan agar bisa menuju kondisi skenario ideal dapat disimulasikan dengan tahapan skenario seperti terlihat pada Gambar 59.
180
GAMBAR 59
181
5.3.
Model Konseptual dan Operasionalisasi Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat.
5.3.1. Model Konseptual Model konseptual pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dimulai dengan identifikasi aktor yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Aktor-aktor tersebut merupakan seluruh stakeholders yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Aktor terdiri dari: Pemerintah, pengusaha industri pengolahan kayu, LSM/pemerhati bidang kehutanan, masyarakat yang bermukim disekitar wilayah
perbatasan,
Perguruan
tinggi
serta
institusi
Badan
Persiapan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan (BP2KP). Setelah
aktor
teridentifikasi
maka
perlu
dilakukan
stakeholders
assessment dalam rangka mendapatkan kebutuhan setiap aktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Selain itu pada tahap ini dilakukan juga penilaian indeks keberlanjutan pada kondisi saat ini. Hasil integrasi antara analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan menunjukan faktor – faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Faktor ini di sebut sebagai “entry point” dalam model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Berdasarkan “entry point” yang didapatkan, dicari faktor penggerak/kunci yang akan menjadi dasar pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Alternatif
skenario
untuk
pencapaian
tujuan
merupakan
basis
usulan
rekomendasi. 5.3.2. Operasionalisasi Model Berdasarkan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini dilakukan identifikasi aktor – aktor yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Aktor-aktor tersebut adalah Pemerintah, pengusaha industri pengolahan kayu, LSM/pemerhati bidang kehutanan, masyarakat yang bermukim disekitar wilayah perbatasan, Perguruan tinggi serta institusi Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan (BP2KP). BP2KP tahap berikutnya adalah melakukan stakeholders assessment untuk menentukan kebutuhan masing -masing aktor dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan. Pada saat yang bersamaan, dilakukan analisis keberlanjutan secara
182
multidimensional ( dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan). Hasil dari analisis kebutuhan dan keberlanjutan menghasilkan 12 entry points untuk pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Ke 12 entry points tersebut adalah: penegakan hukum, pemberdayaan Masyarakat disekitar hutan, pengamanan Hutan, kegiatan ladang berpindah, teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, penataan dan pengukuhan hutan, penyediaan lapangan kerja, program reboisasi, perlindungan biota langka, ketersediaan basis data sumberdaya hutan, frekuensi kejadian kebakaran hutan. Berdasarkan
entry
points
yang
didapat,
akan
dipilih
faktor
penggerak/kunci dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Dalam kajian ini ke 5 faktor kunci tersebut adalah: 1) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 2). Kegiatan ladang berpindah, 3. Teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan, 4. Perlindungan biota langka, 5. Penataan dan pengukuhan kawasan hutan. Berdasarkan time frame yang dipilih (5 tahun ke depan) disimulasikan skenario yang akan terjadi dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan yang direpresentasikan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai aset masa depan. Skenario yang disimulasikan adalah skenario optimis, moderat dan pesimis. Rekomendasi yang dihasilkan akan
tergantung
pada
skenario
yang
terjadi.
Operasionalisasi
model
memungkinkan untuk dilaksanakan dengan terlebih dahulu dijabarkan secara rinci dalam bentuk petunjuk pelaksanaan (juklak) maupun petunjuk teknis (juknis). 5.3.3. Peran dan Tanggung jawab Stakeholders Stakeholders yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan merupakan aktor penentu dalam mewujudkan keberlanjutan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kaliman Barat. Ada 7 stakeholders dalam model ini yang masing -masing memiliki peran, tugas dan fungsi sebagai berikut: 1. Pemerintah Dari hasil snapshot kondisi existing sumberdaya hutan di wilayah perbatasan, peran, tugas dan fungsi pemerintah daerah tidak bisa lagi hanya sekedar memfasilitasi saja. Pemerintah harus secara tegas mengambil alih
183
pengelolaan sumberdaya hutan melalui penegakan hukum secara konsisten, melakukan action plan berbagai program pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan, melakukan penataan dan pengukuhan kawasan hutan sesuai peruntukannya serta menyiapkan peraturan – peraturan tentang pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih kongkrit, tegas dan membumi. Untuk mencapai tujuan ini maka koordinasi antar sektor perlu dibangun sehingga memiliki persepsi yang sama dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. 2. Pengusaha industri pengolahan Kayu. Para pengusaha perlu mencari alternatif usaha yang mengarah pada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sehingga tersedia lapangan kerja baru bagi masyarakat serta melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan aturan – aturan yang berlaku dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. 3. Masyarakat Masyarakat baik yang tinggal disekitar wilayah sumberdaya hutan maupun yang jauh dari lokasi hutan harus berperan aktif ikut mengamankan keberadaan sumberdaya hutan agar terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan diwilayah perbatasan Kalimantan Barat. 4. Perguruan Tinggi Perguruan tinggi harus berperan aktif memberikan kontribusi pemikiran melalui berbagai kajian akademis yang dinamis mengenai konsep pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat 5. LSM/Pemerhati bidang Kehutanan Elemen masyarakat baik itu lembaga swadaya masyarakat maupun pemerhati dibidang kehutanan memerankan diri sebagai mitra pemerintah sekaligus elemen fungsi kontrol sosial dengan memonitor serta memberikan masukan konstruktif atas jalannya pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. 6. Petugas di wilayah Perbatasan Aparat petugas yang berada di wilayah perbatasan harus secara tegas dan konsisten ikut mengamankan keberadaan sumberdaya hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
184
7. Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Peran dan fungsi BP2KP tidak boleh hanya dilakukan secara parsial dalam mempersiapkan pengelolaan kawasan perbatasan, tetapi harus komprehensif dan holistik pada semua sektor pembangunan dengan memperhatikan aspek-aspek kebrlanjutan baik itu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi maupun hukum dan kelembagaan Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan model konseptual dan Operasionalisasi Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat serta peran dan fungsi masingmasing stakeholders seperti yang terlihat pada Gambar 60.
185