V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Analisis data panel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Analisis data panel dilakukan dengan menggunakan data 14 provinsi di Kawasan Barat Indonesia dan 12 provinsi di Kawasan Timur Indonesia pada kurun waktu 2000 sampai 2009. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effects model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect model. Pada tahap pertama, untuk membandingkan pooled model dengan fixed effects model digunakan uji Chow, sedangkan pada tahap kedua untuk membandingkan fixed effects model dengan random effect model digunakan uji Hausman. Berdasarkan hasil uji Chow, baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia secara signifikan Ho (pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Ini ditunjukkan dengan nilai p-value < 0,05. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Setelah dihasilkan fixed effects model pada langkah pertama, maka langkah selanjutnya membandingkan antara fixed effects model dan random effects model dengan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas. Hasil uji Hausman untuk kedua kawasan menunjukkan nilai p-value (probabilita) < 0,05, hal ini berarti persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah varian error harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama yang disebut dengan homoskedastisitas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Untuk mengatasi pelanggaran asumsi ini,
estimasi dilakukan dengan General Least Square (GLS). Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan dan nilai adjusted R2 yang lebih tinggi dibanding dengan fixed effect OLS. Selanjutnya, asumsi model bebas dari autokorelasi. Keputusan ada atau tidaknya autokorelasi dalam model dapat diketahui dari nilai Durbin-Watson. Hasil regresi menunjukkan nilai DW-Statistik < dL sehingga dapat disimpulkan terdapat autokorelasi positif dalam model. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan metode GLS dengan memberikan weights: White Cross Section. Hasil estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. Selain asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi, uji normalitas dilakukan dalam model. Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah residual mengikuti distribusi normal atau tidak. Hasil estimasi menunjukkan model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di kedua kawasan mempunyai nilai residual berdistribusi normal. Ini dapat diketahui dari nilai probabilita Jarque-Bera sebesar 0,800708 untuk model di Kawasan Barat Indonesia dan 0,204763 untuk model di Kawasan Timur Indonesia. Nilai probabilita Jarque-Bera lebih besar dari 0,05 sehingga dapat diperoleh kesimpulan nilai residual berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model dan metode yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan dengan metode fixed effect: white cross section. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya elastisitas dari setiap variabel bebas (independent variable) terhadap variabel tidak bebas (dependent variable). Variabel tidak bebas yaitu jumlah penduduk miskin, sedangkan variabel bebas meliputi jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMP, jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, jumlah penduduk lulusan setingkat diploma ke atas (PT), Upah Minimum Provinsi (UMP), PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2000, pengangguran, infrastruktur jalan dan listrik. Berikut disajikan hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia.
Tabel 8 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode 2000-2009 Variabel bebas C
Variabel tidak bebas: ln_jumlah penduduk miskin (LN_MISKIN) Kawasan Barat Indonesia Kawasan Timur Indonesia 0,843637
12,38942***
LN_PDDK
(3.686109) 0,872849**
(2.766154) -0,780270**
LN_TANI
(0.426018) 0,035444***
(0.367493) -0,053490***
LN_SMP
(0.003662) 0,229980***
(0.015188) 0,115384**
LN_SMU
(0.080141) -0,339294***
(0.047591) -0,210970***
LN_PT
(0.099039) -0,023392
(0.072550) 0,192987**
LN_UMP
(0.032179) -0,072261
(0.075118) -0,050989**
(0.057703) -0,086516***
(0.021405) -0,000232
LN_NGANGGUR
(0.024081) 0,149808**
(0.025145) 0,038834*
LN_JLN
(0.073225) -0,023815
(0.020383) -0,034814***
LN_LISTRIK
(0.022067) -0,071450
(0.008184) -0,172140**
(0.044989)
(0.080918)
0,991921 0,000000
0,984084 0,000000
LN_PDRBKPT
Adjusted R Square Prob (F-Statistik)
Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan standard error * : signifikan pada taraf nyata 10 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen *** : signifikan pada taraf nyata 1 persen
Hasil estimasi menunjukkan nilai probabilita F-statistik < 0,05 dan ini dapat diartikan bahwa variabel-variabel bebas pada model mampu menjelaskan keragaman jumlah penduduk miskin pada taraf nyata (α) 5 persen. Nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) untuk model di Kawasan Barat Indonesia diperoleh angka sebesar 0,991 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 99,1 persen variasi variabel endogen secara baik.
Sementara itu, nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) untuk model di Kawasan Timur Indonesia diperoleh angka sebesar 0,984 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 98,4 persen variasi variabel endogen secara baik. Berdasarkan hasil estimasi, terlihat bahwa ada kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, yaitu pengangguran. Pengangguran secara signifikan berpengaruh pada peningkatan jumlah penduduk miskin di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Pada Kawasan Barat Indonesia, tingkat elastisitas pengangguran sebesar 0,14 yang artinya peningkatan pengangguran sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin 0,14 persen, ceteris paribus. Sementara itu, tingkat elastisitas pengangguran di Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,03 yang berarti peningkatan pengangguran sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Antara
pengangguran
dengan
kemiskinan
memang
saling
terkait.
Pengangguran menjadi beban perekonomian, dimana mereka tidak menghasilkan pendapatan namun secara rutin mengeluarkan biaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhannya mereka menggunakan hasil kerja orang lain, sehingga mengurangi pendapatan perkapita. Jika pendapatan perkapita menurun akibatnya tingkat kesejahteraan juga menurun dan kemiskinan meningkat. Pengangguran akan berpengaruh pada nasib generasi berikutnya. Jika dalam suatu rumah tangga banyak anggota rumah tangga yang menganggur atau bekerja dengan gaji rendah, maka rumah tangga tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangganya secara layak dan memadai. Kondisi ini akan menggiring mereka hidup dalam kemiskinan. Kesulitan keuangan yang hadapi menyebabkan rumah tangga tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan bagi anak-anaknya. Akibatnya, anak-anak mereka hanya berpendidikan rendah dimana pada masa yang akan datang mereka akan kesulitan bersaing di dunia kerja. Pada akhirnya anak-anak dari rumah tangga tersebut akan bekerja dengan gaji yang rendah sehingga lingkaran kemiskinan sulit untuk diputuskan. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya,
antara lain: NAPS (1999), Sukirno (2004) dan Suparno (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan pengangguran menyebabkan peningkatan kemiskinan. Karena pengangguran menjadi penyebab kemiskinan, maka masalah pengangguran harus segera diatasi untuk mencegah semakin meningkatnya kemiskinan di kedua kawasan. Salah satu cara yang harus ditempuh untuk menurunkan pengangguran adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dengan peningkatan PDRB perkapita. Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tercipta akan memperbesar peluang para penganggur untuk bekerja sehingga tidak menganggur lagi. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB perkapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini didukung dengan hasil estimasi yang menunjukkan peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan baik di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Berdasarkan hasil regresi, PDRB perkapita secara signifikan memengaruhi penurunan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dengan nilai elastisitas sebesar -0,08 yang artinya setiap kenaikan PDRB perkapita 1 persen maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,08 persen, ceteris paribus. Pengaruh PDRB perkapita terhadap penurunan penduduk miskin relatif kecil karena faktor-faktor produksi yang belum terdistribusi dengan baik antara lain lahan dan aset produktif lainnya. Lahan dan aset produktif lainnya lebih banyak dikuasai oleh golongan masyarakat kaya sehingga keuntungan atau tambahan pendapatan lebih banyak dinikmati oleh mereka daripada masyarakat miskin. Maka dari itu, dalam menanggulangi kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih melibatkan peran serta masyarakat miskin agar lebih memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan bagi mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Abustan (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan PDRB per kapita akan berdampak pada penurunan kemiskinan. Berbeda dengan Kawasan Barat Indonesia, hasil estimasi pada Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan PDRB perkapita berdampak pada penurunan kemiskinan namun tidak signifikan. Hal ini diduga distribusi pendapatan yang tidak merata menyebabkan peningkatan PDRB perkapita tidak
terlalu berarti bagi penduduk miskin karena kenaikan pendapatan lebih banyak dirasakan oleh penduduk tidak miskin. Semakin tidak meratanya distribusi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia ditunjukkan dengan kenaikan indeks gini, dimana terlihat pada Gambar 12 indeks gini di Kawasan Timur Indonesia cenderung meningkat dan semakin lebih besar dibandingkan dengan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Kawasan Timur Indonesia relatif lebih besar daripada di Kawasan Barat Indonesia.
Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 12 Perkembangan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009. Selain indeks gini, tidak meratanya distribusi pendapatan dapat dilihat dari perbandingan antara PDRB perkapita per bulan dengan garis kemiskinan. PDRB perkapita per bulan diperoleh dengan cara PDRB perkapita per tahun dibagi duabelas bulan. Besarnya PDRB perkapita per bulan menunjukkan pengeluaran rata-rata setiap penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB perkapita menunjukkan rata-rata kesejahteraan penduduk meningkat, dan sebaliknya nilai PDRB per kapita yang rendah menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk masih rendah. Sementara itu, nilai garis kemiskinan menunjukkan besarnya biaya yang dibutuhkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Berikut disajikan perkembangan garis kemiskinan dan PDRB perkapita per bulan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2005-2009 (diolah).
Gambar 13 Perkembangan PDRB perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2005-2009. Pada periode 2005-2009 besarnya PDRB perkapita per bulan jauh lebih besar daripada garis kemiskinan baik di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk Indonesia sangat timpang, dimana dengan garis kemiskinan yang jauh dibawah PDRB perkapita per bulan ternyata penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat banyak (sekitar 32 juta jiwa). Ini berarti tingginya PDRB perkapita per bulan lebih banyak dimiliki oleh golongan penduduk berpenghasilan tinggi, sedangkan penduduk golongan penghasilan rendah tidak banyak mendapatkan manfaat dari peningkatan PDRB perkapita. Hal ini dapat dijadikan perhatian para pengambil kebijakan bahwa pertumbuhan ekonomi penting untuk ditingkatkan, namun pemerataan pendapatan juga perlu ditingkatkan agar kemiskinan tidak terus meningkat. Terdapat kesamaan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, yaitu dengan membangun infrastruktur. Dalam penelitian ini, variabel infrastruktur yang digunakan meliputi dua jenis yakni infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Kedua jenis infrastruktur tersebut merupakan infrastruktur dasar (basic infrastructure) yang ketersediaannya akan sangat membantu masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan dihitung berdasarkan panjang jalan per jumlah kendaraan. Pada Kawasan Barat Indonesia, pengaruh infrastruktur jalan terhadap kemiskinan secara statistik
tidak signifikan. Jika dilihat data infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia maka rasio antara panjang jalan dengan kendaraan semakin kecil dan akibatnya terjadi kemacetan. Kemacetan menyebabkan kelancaran mobilitas manusia dan barang terganggu sehingga efisiensi dari penggunaan jalan berkurang. Opportunity cost dari menggunakan jalan jadi semakin mahal, kemahalan yang ditanggung lebih dikarenakan waktu dan tenaga yang terkuras. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian yang serius karena kemacetan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 14 Perkembangan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia, 20002009. Berbeda dengan di Kawasan Timur Indonesia, infrastruktur jalan secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Nilai elastisitasnya sebesar -0,03 yang artinya jika terjadi kenaikan infrastruktur jalan (panjang jalan per jumlah kendaraan) sebesar 1 persen, maka akan menurunkan kemiskinan 0,03 persen, ceteris paribus. Agar kontribusi jalan terhadap peningkatan output dan penurunan kemiskinan semakin meningkat maka pemerintah perlu lebih menggiatkan pembangunan jalan terutama untuk daerah-daerah terpencil dan pedalaman yang biasanya menjadi kantong kemiskinan. Ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai di daerah-daerah tersebut merupakan prasyarat utama karena akan lebih memudahkan penduduk untuk akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, informasi dan pasar. Dengan kondisi jalan yang semakin baik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya kemiskinan akan semakin berkurang.
Jenis infrastruktur kedua adalah infrastruktur listrik. Dalam penelitian ini, infrastruktur listrik didefinisikan sebagai jumlah energi listrik yang terjual per rumah tangga. Pada Kawasan Barat Indonesia pengaruh infrastruktur listrik tidak signifikan dalam mempengaruhi kemiskinan. Hal ini dimungkinkan ketersediaan listrik bagi rumahtangga di Kawasan Barat Indonesia sudah cukup memadai sehingga peningkatannya hanya akan memberikan efek marginal yang kecil bagi penurunan penduduk miskin. Namun di Kawasan Timur Indonesia sebaliknya, infrastruktur listrik berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil estimasi, tingkat elastisitasnya -0,17 yang artinya setiap kenaikan energi listrik yang terjual per rumah tangga sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,17 persen, ceteris paribus. Listrik merupakan salah satu bentuk energi terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia, baik untuk kegiatan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, usaha, industri maupun kegiatan lainnya. Ketersediaan energi listrik sangat berguna untuk konsumsi rumahtangga antara lain sebagai sumber penerangan, sumber energi bagi sejumlah peralatan rumah tangga. Selain sebagai konsumsi rumah tangga, energi listrik sangat berperan meningkatkan efisiensi biaya produksi pada sektor industri pengolahan. Efisiensi biaya produksi akan berdampak positif pada perusahaan maupun masyarakat. Jika biaya produksi murah maka biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk proses produksi menjadi lebih sedikit sehingga perusahaan akan menetapkan harga barang produksinya juga murah. Harga barang yang murah akan meningkatkan daya beli masyarakat, kesejahteraan akan meningkat dan kemiskinan akan semakin turun. Pembangunan infrastruktur akan memudahkan para pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonomi, tidak terkecuali bagi para petani. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang masih mendominasi kegiatan perekonomian di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Keterkaitan pekerja pertanian dengan kemiskinan menunjukkan hasil yang berbeda antara Kawasan Barat dengan Timur Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja pertanian di Kawasan Barat Indonesia menjadi salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan kemiskinan. Ini artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang pro
poor di Kawasan Barat Indonesia tidak lagi terfokus pada penambahan pekerja sektor pertanian, namun lebih kepada pengolahan hasil-hasil pertanian. Berdasarkan hasil estimasi, elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah pekerja sektor pertanian yaitu 0,03 yang berarti peningkatan jumlah pekerja sektor pertanian 1 persen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif dari jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin mengindikasikan bahwa pembenahan kinerja sektor pertanian perlu dilakukan. Hasil estimasi ini sesuai dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor tradisional yang banyak dipengaruhi faktor alam, berteknologi rendah dan tenaga kerja yang melimpah dengan lahan yang semakin sempit sehingga produktivitasnya rendah. Suparno (2010) menyebutkan bahwa selama periode 2002-2008 manfaat pertumbuhan sektor pertanian lebih banyak dinikmati penduduk tidak miskin daripada penduduk miskin. Menurutnya, proses redistribusi pendapatan di sektor pertanian belum maksimal sehingga peningkatan ketidakmerataan pendapatan di sektor pertanian masih menyebabkan peningkatan tingkat kemiskinan. Selain itu, tingkat kemiskinan di sektor pertanian juga disebabkan oleh relatif rendahnya harga hasil produk pertanian. Hasil produk pertanian mempunyai nilai jual yang rendah di pasaran. Hasil pertanian sebagai bahan input bagi sektor lain dapat diperoleh dengan harga yang relatif murah, namun tidak demikian dengan harga output industri. Harga barang-barang konsumsi hasil industri senantiasa mengalami kenaikan sementara harga output pertanian relatif konstan. Akibatnya, pendapatan riil petani tidak menunjukkan peningkatan bahkan cenderung menurun. Semakin rendahnya pendapatan petani dapat dilihat dari nilai tukar petani yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pendapatan petani yang semakin rendah dapat diartikan bahwa petani makin tidak sejahtera. Berikut disajikan perkembangan nilai tukar petani Indonesia.
Tabel 9 Perkembangan nilai tukar petani (NTP) di Indonesia Tahun 1996-2008. Bulan (1)
1996 (2) 110,70 108,65 108,00 106,18 106,85 106,03 106,45 106,13 106,25 106,35 107,18 107,38 107,18
1999 (3) 109,40 109,48 110,08 110,25 110,98 105,80 106,28 104,60 103,50 104,30 103,95 102,63 106,77
Tahun 2002 (4) 119,93 120,83 118,45 118,78 119,83 116,15 116,43 114,48 116,63 118,15 125,45 127,28 119,37
2005 (5) 104,50 103,08 103,70 103,65 103,98 104,58 105,88 106,95 106,61 104,50 104,33 103,63 104,62
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata Sumber : Suparno (2010). Ket. pada tahun 1996-2002 (1993=100) dan pada tahun 2005-2008 (2003=100).
2008 (6) 108,67 108,38 106,13 106,18 100,16 100,64 101,71 102,00 101,69 99,20 98,36 98,99 102,68
Terdapat perbedaan pengaruh banyaknya pekerja pertanian terhadap kemiskinan di Kawasan Barat dengan Timur Indonesia. Jika di Kawasan Barat Indonesia peningkatan pekerja pertanian akan meningkatkan penduduk miskin, namun di Kawasan Timur Indonesia tidak demikian, peningkatan jumlah pekerja sektor pertanian justru akan menurunkan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi, nilai elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah pekerja pertanian di Kawasan Timur Indonesia sebesar -0,05 yang artinya peningkatan jumlah pekerja pertanian sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin 0,05 persen. Melihat pengaruh negatif dari jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin maka sektor pertanian menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhitungkan dalam mengambil kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Hasil pengamatan ini sesuai dengan teori pembangunan yang menyebutkan bahwa sektor pertanian merupakan penggerak pembangunan (engine of growth) baik dari segi penyedian bahan baku, kesempatan kerja, bahan pangan, serta sebagai daya beli bagi produk yang dihasilkan oleh sektor lain. Secara alamiah pembangunan harus didukung oleh berkembangnya sektor pertanian yang kuat baik segi penawaran maupun dari segi permintaan. Dengan kuatnya sektor pertanian dipandang dari sisi penawaran
maupun di sisi permintaan maka pertanian akan mampu mendukung dan membuat jalinan dengan sektor kegiatan ekonomi lain. Terjadinya perbedaan pengaruh jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia sangat logis. Jika dilihat data jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di kedua kawasan tersebut (Gambar 8), jumlah pekerja pertanian di Kawasan Barat Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan di Kawasan Timur Indonesia. Lahan pertanian yang semakin sempit di Kawasan Barat Indonesia akan semakin sulit menampung banyaknya pekerja pertanian, sehingga bertambahnya jumlah pekerja tidak lagi meningkatkan produk marginal tapi justru menurunkannya. Dampaknya adalah pendapatan perkapita pekerja pertanian semakin menurun, kesejahteraan menurun dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan. Pada Kawasan Timur Indonesia dengan luas wilayah mencapai 67 persen dari luas wilayah nasional tentu lahan pertanian masih terbentang luas. Kesempatan kerja di sektor pertanian masih terbuka lebar dan penambahan tenaga kerja akan meningkatkan produktivitasnya. Dengan fakta ini maka sangat rasional jika penambahan pekerja sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia akan meningkatkan produktivitas pertanian sehingga output pertanian meningkat, kesejahteraan petani meningkat dan kemiskinan menurun. Argumen di atas diperkuat dengan data PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Menurut Gambar 15 terlihat bahwa PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Tingginya PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia banyak ditopang oleh subsektor kehutanan dan perkebunan yang secara relatif mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan subsektor lainnya. Dari tahun 2000-2009 PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia cenderung meningkat, sedangkan di Kawasan Barat Indonesia cenderung menurun.
Sumber: BPS, Statistik Indonesia (diolah)
Gambar 15 PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009. Untuk meningkatkan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran penduduk. Pada Kawasan Barat Indonesia, nilai elastisitas jumlah penduduk sebesar 0,87 mempunyai arti setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,87 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis bahwa pertumbuhan jumlah penduduk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2008, Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah. Nilai elastisitas jumlah penduduk menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Barat Indonesia menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan. Luas Kawasan Barat Indonesia yang hanya sekitar
32,24 persen dari wilayah nasional dihuni oleh sekitar 80,65 persen penduduk. Banyaknya penduduk menyebabkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan semakin kuat, sementara lapangan kerja terbatas. Penduduk yang kalah dalam persaingan akan menganggur atau bekerja dengan pendapatan yang rendah, sehingga keduanya akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Selain itu, penduduk di Kawasan Barat Indonesia didominasi oleh penduduk non produktif, ini ditunjukkan dengan besarnya angka beban ketergantungan di Kawasan Barat Indonesia yang masih tinggi. Tingginya angka beban tanggungan akan mengurangi pendapatan per kapita yang diterima oleh setiap penduduk, sehingga berakibat pada tingginya angka kemiskinan. Sementara itu, variabel jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia mempunyai nilai elastisitas sebesar -0,78 yang artinya peningkatan jumlah penduduk 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,78 persen, ceteris paribus. Secara tradisional, pertumbuhan penduduk akan menyebabkan kenaikan tenaga kerja dan akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti: (1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan tenaga kerja dan akan meningkatkan jumlah output, dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik (Arsyad, 2010). Teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith (Dornbusch et.al, 2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian. Selanjutnya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan berlangsung sampai seluruh sumberdaya termanfaatkan. Seperti di Kawasan Barat Indonesia, nilai elastisitas jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia menjadi faktor utama untuk menurunkan angka kemiskinan. Teori pertumbuhan neoklasik yang dikenal dengan model pertumbuhan Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi karena
dipengaruhi secara positif oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) dan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi: 1. Diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersamasama. 2. Perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment). Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap jumlah penduduk miskin di Kawasan Timur Indonesia berbeda dengan di Kawasan Barat Indonesia. Jika pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia akan meningkatkan kemiskinan, namun di Kawasan Timur Indonesia justru sebaliknya. Jika dilihat angka kepadatan penduduk dari kedua kawasan tersebut, angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia jauh lebih rendah daripada di Kawasan Barat Indonesia. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia lebih dari 250 penduduk/km2, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia kurang dari 50 penduduk/km2.
Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 16 Perkembangan angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode 2000-2009. Penduduk dapat berperan optimal sebagai sumberdaya manusia yang berkualitas dalam usaha memajukan perekonomian dan menanggulangi kemiskinan jika diberikan bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan penduduk disajikan dalam tiga variabel, yaitu jumlah penduduk lulusan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP),
setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) dan setingkat Perguruan Tinggi (PT). Jumlah lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia mempunyai tingkat elastisitas sebesar 0,22 yang artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan SMP akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,22 persen, ceteris paribus. Pada Kawasan Timur Indonesia, elastisitasnya sebesar 0,11 berarti setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan SMP akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,11 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif lulusan SMP terhadap kemiskinan terjadi di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, dengan signifikansi taraf nyata(α) 0,05. Ini artinya bahwa kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap warga untuk menempuh pendidikan dasar 9 tahun belum optimal dalam menjawab permasalahan tingginya angka kemiskinan nasional. Selain itu, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar kesempatan kerja yang tersedia baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia tidak sesuai untuk tenaga kerja lulusan SMP. Penduduk yang lulus SMP sebaiknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebab jika tidak maka yang terjadi adalah penambahan pengangguran atau jika bekerja maka mereka biasanya bekerja sebagai pekerja kasar atau buruh serabutan dengan pendapatan yang relatif rendah. Pendapatan yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan secara layak sehingga jika hal ini terus terjadi maka akan menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. Berikut disajikan perkembangan jumlah pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
Sumber: Sakernas, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 17 Perkembangan angka pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun 2000-2009.
Berdasarkan Gambar 17 dapat dikemukakan bahwa jumlah pekerja lulusan SMP hampir sama antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Dilihat perkembangannya, jumlah pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia cenderung meningkat dari tahun 2000-2009. Pada Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2000-2007 cenderung meningkat, namun pada tahun 2008-2009 cenderung menurun. Dari kedua kawasan tersebut, jumlah pekerja lulusan SMP lebih dari 15 persen. Selanjutnya adalah jumlah lulusan SMU. Di Kawasan Barat Indonesia, tingkat elastisitas jumlah penduduk lulusan setingkat SMU terhadap jumlah penduduk miskin sebesar -0,33 artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan setingkat SMU akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,33 persen, ceteris paribus. Pada Kawasan Timur Indonesia, tingkat elastisitasnya sebesar 0,21 artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan setingkat SMU akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,21 persen, ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis dan teori pertumbuhan endogen. Pendidikan dapat meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
melalui
perannya
dalam
meningkatkan pengetahuan, keahlian dan ketrampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja dan meningkatkan output sehingga secara agregat perekonomian akan lebih maju. Secara teoritis peningkatan perekonomian akan memberikan manfaat bagi masyarakat, antara lain peningkatan kesempatan kerja, turunnya pengangguran, harga barang kebutuhan lebih murah dan semuanya ini akan meningkatkan kesejahteraan penduduk sehingga kemiskinan akan menurun. Jika tingkat pendidikan penduduk dikaitkan dengan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Barat Indonesia, maka sektor industri pengolahan menduduki posisi teratas. Kinerja sektor industri pengolahan memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang sulit didapatkan pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan setingkat SMU lebih cocok bekerja di sektor ini karena dari sisi pengetahuan dan ilmu yang didapat dari bangku sekolah cukup untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang bergerak di sektor industri pengolahan. Pihak perusahaan akan sulit menerima pegawai yang hanya lulus pendidikan dasar, sehingga semakin tinggi dominasi industri pengolahan dalam
perekonomian maka penduduk yang hanya lulus pendidikan dasar akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Ini didukung dengan hasil estimasi yang menunjukkan hasil semakin besar lulusan SMP maka kemiskinan justru akan meningkat.
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2000-2009 (diolah)
Gambar 18 Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Barat Indonesia, 2000-2009. Selanjutnya, secara umum perekonomian di Kawasan Timur Indonesia didominasi oleh sektor pertambangan dan pertanian. Kedua sektor ini mempunyai kontribusi tertinggi dan relatif stabil setiap tahunnya. Terlihat pada Gambar 18, sebagian besar sektor-sektor ekonomi mengalami peningkatan kontribusi dalam pembentukan PDRB kecuali sektor industri pengolahan. Pangsa industri pengolahan mengalami penurunan tajam pada periode 2000-2009. Penurunan pangsa ini diduga karena peningkatan pangsa sektor-sektor lainnya dalam pembentukan PDRB. Meskipun demikian output industri pengolahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk lebih meningkatkan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia, input tenaga kerja ahli dan terampil sangat dibutuhkan mengingat masih banyaknya lahan yang belum termanfaatkan. Lahan yang banyak dapat dijadikan modal untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk. Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan jumlah penduduk lulusan SMU akan membantu Kawasan Timur Indonesia dalam menurunkan kemiskinan.
Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 19 Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009 Beberapa ahli ekonomi mengembangkan teori pembangunan yang didasarkan pada
kapasitas produksi tenaga
manusia
di dalam
proses
pembangunan, dikenal dengan istilah Investment in Human Capital (Hidayat, 2003). Teori ini berpendapat bahwa cara yang paling efektif dan efisien dalam melakukan pembangunan nasional terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya. Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan formal merupakan instrumen penting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas yang tinggi. Menurut teori ini pertumbuhan dan pembangunan memiliki dua syarat, yaitu adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien, dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusia seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan teori human capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat, karena pendidikan dapat menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja. Elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap human capital relatif besar jika dibandingkan dengan variabel lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan pemerintah dengan mencanangkan wajib belajar 9 tahun belum cukup untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan level pendidikan sampai jenjang SMU dibutuhkan agar penduduk dapat memperoleh pekerjaan yang layak
dengan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehingga angka kemiskinan bisa turun. Tingkat pendidikan selanjutnya adalah jumlah penduduk lulusan setingkat PT. Pengaruh jumlah lulusan setingkat PT terhadap jumlah penduduk miskin tidak signifikan di Kawasan Barat Indonesia tetapi signifikan di Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan tanda koefisiennya, jumlah penduduk lulusan PT di Kawasan Barat Indonesia akan menurunkan kemiskinan, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia tidak, peningkatannya justru akan meningkatkan kemiskinan. Tingkat elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk lulusan setingkat PT sebesar 0,19 yang artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk lulusan setingkat PT akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,19 persen di Kawasan Timur Indonesia, ceteris paribus. Perbedaan terjadi antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dimungkinkan adanya perbedaan kesempatan kerja yang tersedia di kedua kawasan tersebut. Jika di Kawasan Barat Indonesia kesempatan kerja yang ada mampu menampung tenaga kerja lulusan PT dan bisa memberikan pendapatan yang layak bagi mereka. Namun di Kawasan Timur Indonesia mungkin tidak, banyaknya lulusan PT di Kawasan Timur Indonesia kurang termanfaatkan dengan baik di dunia kerja sehingga yang terjadi adalah timbulnya pengangguran terdidik atau jika mereka bekerja maka pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan bidang pendidikan yang telah mereka tempuh. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia seperti tertera pada Gambar 20.
Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2009 (diolah)
Gambar 20 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Tingkat Pendidikan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2009.
Berdasarkan Gambar 20, terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka paling kecil pada angkatan kerja berpendidikan kurang dari SD kemudian lebih tinggi di tingkat SD, SMP, dan SMU. Pada tingkat pendidikan perguruan tinggi angka pengangguran sedikit lebih rendah daripada tingkat pendidikan SMU. Kecenderungan ini terjadi baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia. Jika dibandingkan antara kedua kawasan tersebut, tingkat pengangguran di Kawasan Barat Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Timur Indonesia pada level pendidikan kurang dari SD sampai dengan level pendidikan SMU. Padatnya penduduk di Kawasan Barat Indonesia menjadikan kawasan ini mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja. Pesatnya pertambahan angkatan kerja jika tidak didukung dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai akan menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat. Pada level pendidikan PT tingkat pengangguran di Kawasan Barat Indonesia lebih rendah daripada di Kawasan Timur Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Kawasan Barat Indonesia lebih mampu memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja lulusan PT daripada di Kawasan Timur Indonesia. Pesatnya aktivitas ekonomi di sektor industri pengolahan di Kawasan Barat Indonesia akan memberikan peluang yang lebih besar bagi angkatan kerja lulusan PT untuk mendapatkan pekerjaan. Pada Kawasan Timur Indonesia, angkatan kerja lulusan PT akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Peluang untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi idola bagi para lulusan PT karena kesempatan kerja di bidang lainnya masih terbatas. Selain itu, pendapatan PNS di Kawasan Timur Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan di Kawasan Barat Indonesia karena beberapa tunjangan diberikan untuk menyesuaikan dengan tingkat harga kebutuhan pokok yang lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Tingginya pengangguran dan kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia tidak terlepas dari rendahnya upah yang diterima pekerja. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah daerah menetapkan besarnya upah minimum
yang dikenal dengan upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Berdasarkan hasil estimasi di Kawasan Barat Indonesia, UMP berpengaruh pada penurunan kemiskinan, namun tidak signifikan. Nilai upah minimum yang semakin meningkat kurang berarti bagi penambahan kesejahteraan pekerja jika nilai inflasi (IHK) juga meningkat. Secara nominal, pendapatan meningkat namun secara riil pendapatan pekerja belum tentu meningkat. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan tingkat upah tidak terlalu berpengaruh terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia.
Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah)
Gambar 21 Perkembangan upah minimum provinsi dan indeks harga konsumen di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun 2000-2009 Pada Kawasan Timur Indonesia, UMP secara signifikan mempengaruhi jumlah penduduk miskin dengan nilai elastisitas sebesar -0,05 artinya setiap kenaikan 1 persen UMP akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,05 persen, ceteris paribus. Jika dibandingkan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, baik secara riil maupun nominal tingkat upah minimum di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Ini dapat dilihat dari perkembangan upah minimum dan besarnya IHK di kedua wilayah tersebut. Angka IHK relatif sama perkembangannya, tetapi upah nominal di Kawasan Timur Indonesia meningkat lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia sehingga secara riil upah lebih tinggi di Kawasan Timur Indonesia daripada Kawasan Barat Indonesia.
Jika diasumsikan semua pekerja yang menerima UMP mempunyai rumahtangga maka besarnya UMP dibagi dengan rata-rata anggota rumah tangga disebut dengan rata-rata UMP perkapita per bulan. Dibandingkan dengan besarnya garis kemiskinan, rata-rata UMP perkapita per bulan jauh dibawah garis kemiskinan baik di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia seperti tertera pada Gambar 22. Peningkatan UMP akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan daya beli pekerja sehingga akan membantu
mereka
untuk
secara
layak
memenuhi
kebutuhan
dasar
rumahtangganya dan pada gilirannya akan menurunkan kemiskinan, khususnya penduduk miskin yang bekerja di sektor formal.
Sumber: BPS, berbagai publikasi, 2005-2009 (diolah)
Gambar 22 Perkembangan rata-rata UMP perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2005-2009. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Card dan Krueger (1994) serta Addison dan Blackburn (1999) yang menemukan hasil bahwa peningkatan upah minimum akan meningkatkan penduduk yang bekerja, menurunkan kemiskinan dan perekonomian akan membaik. Hal yang sama ditemukan oleh Matthew Chesnes (2001) dari penelitiannya mengenai pengaruh upah minimum terhadap kemiskinan di Amerika. Ia menyatakan bahwa upah minimum mempunyai pengaruh negatif terhadap kemiskinan. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa peningkatan UMP tidak selalu berdampak pada peningkatan kesejahteraan pekerja. UMP yang meningkat akan
menambah biaya produksi dari faktor produksi tenaga kerja sehingga untuk mempertahankan keuntungannya, perusahaan akan melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja. Pengurangan tenaga kerja akan berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran yang pada akhirnya akan menambah jumlah kemiskinan. Maka dari itu, dalam menentukan besaran UMP pemerintah harus berhati-hati agar tidak merugikan perusahaan maupun buruh.
5.2
Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan
(stakeholders) lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan harus disikapi dengan langkah bahwa setiap kebijakan hendaknya disesuaikan dengan akar masalah yang menjadi penyebab kemiskinan di setiap kawasan. Menurut hasil penelitian dibuktikan bahwa penyebab kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia berbeda. Berdasarkan perbedaan inilah maka kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus berbeda agar program-program yang diterapkan lebih efektif, fokus, terarah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat sehingga masalah kemiskinan dapat segera diatasi. 5.2.1 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Berdasarkan uraian faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, jumlah penduduk merupakan variabel dengan nilai elastisitas tertinggi dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Permasalahan kependudukan yang sampai saat ini masih ada adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata di setiap daerah. Penduduk di Kawasan Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa sudah sangat padat. Untuk mengatasi tingginya angka pertumbuhan penduduk, pencanangan program Keluarga Berencana (KB) sangat penting, mengingat pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Barat Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan UU no 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga berencana adalah suatu upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Program KB yang selama ini dilakukan oleh
pemerintah sudah cukup berhasil dimana peserta KB rata-rata diatas angka 60 persen (BPS 2009). Namun demikian, program ini dapat diperluas dengan lebih melibatkan keluarga miskin. Keluarga miskin yang mengikuti program KB dan mempunyai maksimal dua anak, diberikan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi kedua anaknya. Dengan cara ini maka keluarga miskin akan berfikir kembali untuk mempunyai banyak anak. Selain pertumbuhan penduduknya yang tinggi, penyebaran penduduk di Kawasan Barat Indonesia tidak merata di setiap provinsi. Hal ini dapat dilihat dari angka kepadatan penduduk yang timpang antar provinsi.
Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Gambar 23 Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia, 2009. Pada Kawasan Barat Indonesia, Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang sangat padat penduduk. Provinsi yang paling tinggi kepadatannya adalah DKI Jakarta, sedangkan yang paling jarang penduduk adalah Jambi. Berdasarkan fakta tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan program pemerataan penduduk yaitu transmigrasi. Menurut UU No. 15/1997, pengertian transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. Transmigrasi dilakukan dari provinsi yang padat penduduk ke provinsi yang jarang penduduk. Secara rata-rata, angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2009 sebesar 301,95
jiwa/km2. Bertolak dari angka tersebut, maka wilayah yang termasuk padat penduduk adalah provinsi-provinsi yang terletak di Pulau Jawa-Bali. Provinsi yang jarang penduduk meliputi provinsi-provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Jika migrasi dilakukan di Kawasan Barat Indonesia, maka penduduk dapat dimigrasikan dari Pulau Jawa-Bali ke Pulau Sumatera utamanya ke Provinsi Jambi, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Berhubungan dengan kebijakan ketransmigrasian, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengambil kebijakan untuk tidak menerima lagi transmigran nasional, namun masih melaksanakan transmigrasi lokal. Kebijakan tersebut didasarkan pada kondisi penduduk di Provinsi Lampung yang sudah padat dan pada masa sekarang ini Lampung sudah sebagai daerah pengirim transmigran. Kebijakan transmigrasi dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, akan terjadi pengurangan kepadatan penduduk, sehingga perekonomian yang tumbuh tidak habis digunakan untuk biaya konsumsi dan sebagian dari hasil perekonomian dapat digunakan untuk investasi. Perekonomian yang lebih baik dapat meningkatkan kesempatan kerja sehingga pengangguran dapat dikurangi. Dengan kesempatan kerja yang lebih banyak dan pengangguran yang berkurang maka kemiskinan juga akan berkurang. Pada daerah tujuan transmigrasi terjadi penambahan penduduk yang mempunyai dua keuntungan, yaitu penambahan jumlah tenaga kerja dan penambahan penduduk akan menciptakan pasar domestik. Secara teoritis, penambahan tenaga kerja akan menambah output. Secara agregat penambahan output akan meningkatkan perekonomian daerah. Perekonomian yang meningkat akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak sehingga pengangguran dapat dikurangi, kesejahteraan masyarakat meningkat dan kemiskinan dapat diatasi. Pemerintah sudah melakukan kebijakan transmigrasi sejak tahun 1905 kemudian dilanjutkan pada era orde lama, orde baru dan berlanjut hingga sekarang. Program transmigrasi telah banyak membantu dalam proses pembangunan. Meskipun begitu terdapat beberapa kelemahan, diantaranya:
pertama, kurang adanya inovasi dalam penyelanggaraan program transmigrasi dan kebijakan pembangunan nasional yang lebih menguntungkan Pulau Jawa menimbulkan ketimpangan wilayah antara Jawa dan Luar Jawa. Kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada arus balik ke pulau Jawa, bahkan penduduk dari luar Jawa pun tak jarang yang melakukan migrasi ke Pulau Jawa dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebh baik. Kedua, lokasi transmigrasi terlalu jauh dari fasilitas publik sehingga warganya dalam kondisi terisolir dan aksesibilitasnya rendah. Dampaknya para transmigran mengalami hambatan dalam memasarkan hasil panen, melanjutkan pendidikan, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Ketiga, secara administrasi kepemilikan lahan usaha warga transmigran belum jelas statusnya sehingga memicu sengketa gugatan masyarakat adat setempat. Keempat, sektor pertanian masih menjadi fokus pemerintah untuk mempekerjakan para transmigran. Kurangnya fasilitas dan dukungan dari sektor yang lain misalnya perdagangan, membuat para transmigran mengalami kesulitan untuk memperoleh barang input dan memasarkan hasil panennya. Kesulitan tersebut menyebabkan kinerja pertanian tidak efektif dan pada gilirannya membuat pendapatan para transmigran tidak menentu dan hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian program transmigrasi seolah-olah hanya memindahkan penduduk miskin dari daerah asal ke daerah tujuan. Menyikapi hal tersebut, kesiapan pemerintah dalam melaksanakan program transmigrasi sangat penting. Ketersediaan fasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan harus betul-betul dijamin oleh pemerintah. Pembangunan fasilitas layanan publik berupa pasar, gedung sekolah, puskesmas dan jarak ke rumah sakit yang tidak jauh sangat dibutuhkan. Tidak kalah pentingnya, admisnistrasi yang jelas tentang kepemilikan lahan sangat berguna agar peristiwa sengketa tanah bisa dihindarkan. Selain itu, lapangan kerja untuk para transmigran sebaiknya tidak hanya dipersiapkan untuk pertanian saja, namun diberikan pula kesempatan kerja di bidang yang lain seperti perdagangan, konstruksi, industri dan bidang lainnya. Terkait dengan sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia, hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja sektor pertanian berpengaruh pada
peningkatan
kemiskinan.
Kebijakan
yang
seharusnya
diambil
adalah
mengembangkan usaha berbasis pertanian (agroindustri). Pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi tingginya pengangguran. Usaha ini akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat beralih menjadi pekerja di usaha agroindustri. Dengan berkembangnya usaha tersebut, lapangan pekerjaan akan semakin bertambah dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Bagi petani, berkembangnya usaha agroindustri akan memudahkan mereka untuk memasarkan hasil panennya dan memacu semangat mereka untuk menghasilkan output yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya. Bagi pengusaha, hasil pertanian dan tenaga kerja yang banyak memudahkan mereka untuk mendapatkan input produksi sehingga akan menghasilkan output yang banyak. Output yang banyak akan menambah keuntungan bagi pengusaha dan meningkatkan kesejahteraannya. Bagi masyarakat, banyaknya output akan membuka kesempatan kerja yang lebih banyak bagi mereka sehingga penduduk yang tadinya menganggur dapat memperoleh pekerjaan. Lebih lanjut, output yang banyak akan menjadikan harga barang hasil produksi murah sehingga daya beli masyarakat meningkat, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan menurun. Dalam upaya menurunkan kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia menjadi salah satu penentu keberhasilannya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan keterampilan dan keahlian yang akan mempengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Menurut data BPS (2009), terdapat sekitar 28,63 persen penduduk di Kawasan Barat Indonesia yang hanya lulus setingkat SD dan 17,34 persen penduduk yang lulus setingkat SMP. Penduduk yang lulus setingkat SMU sekitar 19,24 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan jika dikaitkan dengan produktivitas kerja maka rendahnya pendidikan akan menyebabkan produktivitas juga rendah. Produktivitas yang rendah hanya akan dihargai dengan upah yang rendah sehingga kesejahteraan sulit untuk meningkat dan kemiskinan tidak kunjung berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyakya lulusan SMP akan meningkatkan kemiskinan, sedangkan banyaknya penduduk lulusan SMU akan menurunkan kemiskinan.
Menanggapi realita ini, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Ijazah pendidikan dasar belum cukup untuk melamar pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Kesempatan kerja bagi para lulusan pendidikan dasar terbatas, kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tidak tetap. Jika hal ini terus terjadi maka penderitaan penduduk miskin akan berlangsung lama. Akibat kurangnya pendidikan, tidak sedikit masyarakat miskin yang beranggapan bahwa menyekolahkan anak-anak tidak penting. Anak-anak mereka dipaksa untuk ikut bekerja membantu orang tuanya. Jika keadaan ini tidak segera diatasi maka kemiskinan ini akan diwariskan pada generasi selanjutnya. Langkah pemerintah untuk membantu penduduk miskin keluar dari kemiskinan salah satunya dengan memperbanyak beasiswa bagi masyarakat miskin sampai jenjang SMU agar membuka wawasan dan merubah pola pikir mereka ke arah yang lebih baik. Setelah lulus mereka dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Dengan bekal inilah mereka dapat meningkatkan produktivitas kerjanya, yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya sehingga rantai kemiskinan bisa terputus. Peningkatan pendidikan penduduk miskin selain menguntungkan mereka dari sisi peningkatan pendapatan, secara umum perekonomian akan mengalami pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membuka peluang
kerja
bagi
masyarakat
sehingga
mereka
dapat
meningkatkan
kesejahteraannya. Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi didekati dengan PDRB per kapita. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan. Peningkatan PDRB perkapita sebesar 1 persen akan menurunkan junlah penduduk miskin sebesar 0,08 persen dengan asumsi ceteris paribus. Agar peningkatan PDRB perkapita lebih dirasakan oleh penduduk miskin, maka kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah pertama, meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dimana sebagian besar penduduk miskin bekerja. Menurut BPS (2008), sebanyak 56,35 persen penduduk miskin
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian dapat dilakukan dengan mengurangi pekerja pertanian yang sudah sangat melimpah dan berupaya mengembangkan usaha agroindustri. Menurut Susilowati (2007), pengembangan usaha agroindustri makanan memiliki pengaruh yang baik dalam meningkatkan pemerataan pendapatan rumahtangga dan besar peranannya dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, usaha agroindustri nonmakanan akan berdampak pada peningkatan output, nilai tambah modal dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan kedua adalah mengupayakan peningkatan pendapatan penduduk miskin yang bekerja di luar sektor pertanian. Penduduk miskin yang berprofesi sebagai pengusaha kecil seringkali menghadapi kendala kurangnya modal untuk mengembangkan usaha mereka. Maka dari itu, kemudahan akses kredit ke lembaga keuangan sangat mereka butuhkan untuk mengembangkan usahanya. Usaha yang semakin berkembang dapat meningkatkan pendapatan dan kesehteraan mereka, sehingga hidup dalam kemiskinan tidak mereka alami lagi. Kebijakan ketiga, pemberian bekal pengetahuan dan keterampilan kepada angkatan kerja sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan kerja dapat diberikan melalui training, kursus-kursus dan percobaan-percobaan. Dengan memiliki bekal keterampilan, pekerja dapat meningkatkan produktivitasnya dan bagi pengusaha kecil, hasil dari pelatihan ini dapat dikembangkan dalam usaha mereka.
5.2.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Hasil estimasi menunjukkan bahwa penambahan jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia akan berpengaruh pada penurunan jumlah penduduk miskin. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru sehingga dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan pembangunan di Indonesia bagian timur. Penambahan penduduk dibutuhkan karena jika dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia, maka angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur
Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia. Sumberdaya manusia yang sedikit dan fasilitas publik yang belum memadai membuat sebagian besar daerah masih tertinggal dan sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan. Menurut data BPS (2009), Kawasan Timur Indonesia mempunyai luas wilayah sekitar 67,76 persen dari luas wilayah Indonesia namun hanya dihuni sekitar 19,35 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Berikut disajikan gambar angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia.
Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Gambar 24 Angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia, 2009. Terkait dengan kurangnya sumberdaya manusia di Kawasan Timur Indonesia, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat diwujudkan melalui program pemerataan kepadatan penduduk antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Pemerataan penduduk dapat dilakukan dengan cara transmigrasi dari Kawasan Barat Indonesia yang padat penduduk ke Kawasan Timur Indonesia yang jarang penduduk. Diantara duabelas provinsi yang ada di Kawasan Timur Indonesia, ada beberapa provinsi yang menolak untuk dijadikan daerah tujuan transmigrasi. Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya wilayah Lombok menolak untuk dijadikan daerah transmigrasi karena penduduknya sudah padat. Selain itu, Provinsi Papua juga menolak untuk dijadikan daerah tujuan transmigrasi nasional karena ada kekhawatiran dari penduduk asli akan semakin tersingkir keberadaannya jika penduduk pendatang semakin banyak. Namun demikian, Papua Barat masih mau menerima transmigran pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia.
Transmigrasi masih menjadi solusi yang relevan untuk dilaksanakan karena dapat menanggulangi pengangguran dan kemiskinan. Daerah transmigrasi menyediakan lapangan pekerjaan berupa usaha pertanian terutama bagi kelompok penganggur di perdesaan melalui penyediaan aset lahan pertanian, sarana produksi pertanian, pelatihan, pendampingan dan introduksi teknologi. Selanjutnya, memberikan fasilitas kepada eks Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) untuk mendapatkan tempat tinggal dan kesempatan kerja di kawasan transmigrasi. Terkait dengan masalah kemiskinan, program transmigrasi memfasilitasi perkembangan masyarakat melalui peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana, pemberian bantuan modal dana bergulir dan pendampingan khusus (lembaga keuangan mikro dan pengembangan usaha). Selanjutnya, memfasilitasi pemberdayaan masyarakat transmigrasi melalui pendampingan, penyediaan kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan, bantuan pangan) dan peningkatan kapasitas sosial dan ekonomi. Luasnya wilayah di Kawasan Timur Indonesia masih memberikan peluang kepada penduduknya untuk berusaha mencari penghasilan di sektor pertanian. Sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di Kawasan Timur Indonesia baik dari outputnya maupun tenaga kerjanya. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan pekerja sektor pertanian berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan akan turun. Program
transmigrasi
dapat
dijadikan
sarana
untuk
memajukan
pembangunan pertanian di Kawasan Timur Indonesia. Sektor pertanian memiliki peranan penting di dalam pembangunan karena sektor tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai sumber pendapatan masyarakat di perdesaan. Peningkatan investasi di sektor ini sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya. Ini berarti akan memberikan hasil pertanian yang lebih besar, harga produk pertanian yang lebih murah dan pendapatan tenaga kerja meningkat sehingga akan mengurangi sebagian besar penduduk miskin, khususnya yang tinggal di daerah perdesaan.
Menanggapi hal tersebut, ada beberapa kebijakan dapat dilakukan antara lain: pertama, meningkatkan produktivitas pertanian. Produktivitas pertanian dapat ditingkatkan dengan bermacam-macam cara, antara lain dengan menambah pekerja pertanian, menambah investasi, mengembangkan teknologi pertanian, pemberian penyuluhan kepada para petani, memberikan kemudahan dalam memperoleh modal dan penyediaan input pertanian dengan harga terjangkau. Untuk membantu petani meningkatkan kesejahteraannya maka kemudahan untuk memasarkan hasil panen dan kebijakan untuk mengatur harga output pertanian dari pemerintah sangat penting sehingga pada musim panen harga output tidak jatuh dan pada saat paceklik harga pangan tidak melonjak tinggi. Salah satu langkah untuk meningkatkan teknologi pertanian, pemerintah harus siap menyediakan fasilitas yang baik bagi ahli-ahli pertanian agar mereka dapat bekerja lebih optimal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian. Jika ini berhasil, maka keuntungan tidak hanya dirasakan oleh petani saja namun oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan teknologi tinggi diharapkan biaya bahan baku menjadi murah, keuntungan petani meningkat, upah buruh tani meningkat dan harga bahan pangan menjadi lebih murah. Jika harga murah maka daya beli masyarakat meningkat, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan dapat dikurangi. Selain meningkatkan produktivitas pertanian, daya saing produk juga harus ditingkatkan. Beberapa hasil perkebunan di Kawasan Timur Indonesia menjadi barang ekspor yang banyak disukai oleh negara lain, salah satunya adalah kakao. Kakao merupakan bahan dasar cokelat dan Pulau Sulawesi menjadi daerah penghasil cokelat terbesar di Indonesia. Deptan (2009) mencatat bahwa 65,67 persen produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari Pulau Sulawesi. Selain kakao, perkebunan sawit juga dihasilkan di Kawasan Timur Indonesia. Kalimantan Tengah merupakan wilayah penghasil sawit terbesar keempat setelah Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Selain tanaman perkebunan, sumberdaya laut menjadi kekayaan alam yang melimpah di Kawasan Timur Indonesia. Pengembangan budidaya laut mempunyai prospek yang baik bagi pengentasan kemiskinan terutama penduduk miskin yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Menurut Mardianto (2001), sektor pertanian menjadi sektor yang sangat berperan dalam pembentukan PDRB di Kawasan Timur Indonesia. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, sektor pertanian mampu memperkecil dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian Kawasan Timur Indonesia. Untuk lebih meningkatkan kinerja sektor pertanian, investasi sektor pertanian sangat diperlukan. Berdasarkan penelitiannya, investasi sektor pertanian memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap sub sektor pertanian. Dampak langsung maupun tidak langsung diterima oleh subsektor peternakan, perikanan dan kehutanan. Temuan berikutnya adalah komoditas andalan di Kawasan Timur Indonesia meliputi tanaman bahan makanan dan hortikultura, dimana kedua jenis komoditas ini mampu menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja yang tinggi. Fenomena kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia dapat dikatakan sebagai anomali dari faktor resource endowment, dimana kelimpahan sumberdaya alam yang seharusnya dapat menyediakan sumber kehidupan yang lebih baik bagi penduduknya namun sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Maka dari itu, intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama dalam membangun sumberdaya manusia yang berkualitas dan membangun infrastruktur yang memadai agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Menurut World Bank (1994), manfaat pembangunan infrastruktur sangat bsar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan keberlanjutan ekonomi. Semua manfaat itu bisa terwujud hanya jika infrastruktur tersebut mampu memenuhi permintaan secara efektif dan efisien dalam arti bisa memberikan pelayanan yang baik bagi seluruh masyarakat. Namun demikian, di negara berkembang sudah banyak investasi yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur akan tetapi kurang maksimal dalam penggunaannya. Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting untuk mendorong aktivitas ekonomi (Perkins, et al 2005 ; Seetanah, et al 2009).
Sementara itu, beberapa peneliti menyatakan bahwa infrastruktur sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan distribusi pendapatan antar wilayah (Akatsuka 1999; Calderon dan Serven 2004). Terkait dengan peran dominan sektor pertanian pada perekonomian, terdapat hubungan yang erat antara pembangunan infrastruktur dengan peningkatan nilai tambah sektor pertanian. Penelitian tersebut dilakukan oleh Antle dalam Felloni et.al (2001) dengan pendekatan fungsi produksi. Ada beberapa variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap pendapatan nasional bruto di sektor pertanian, antara lain lahan pertanian, masyarakat pertanian aktif, konsumsi pupuk kimia, jumlah (stok) hewan, produk nasional bruto dari industri transportasi dan komunikasi per unit lahan yang digunakan sebagai pendekatan infrastruktur. Dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah, maka diperlukan pengembangan kompetensi, intelektualitas dan kreativitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkannya, kebijakan yang dapat dilakukan adalah: pertama, memprioritaskan penduduk untuk menempuh pendidikan dasar dan dilanjutkan pada pendidikan menengah. Kedua, berupaya untuk meningkatkan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia dengan memperbanyak lapangan pekerjaan bagi penduduk lulusan PT. Menurut Sitepu (2007), dengan adanya kebijakan peningkatan investasi sumberdaya manusia untuk pendidikan, maka rasio kemiskian, indeks kesenjangan kemiskinan dan indeks intensitas kemiskian di seluruh segmen rumahtangga menurun. Lebih lanjut, dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia maka kesehatan masyarakat harus senantiasa diperhatikan karena peningkatan kesehatan masyarakat akan menurunkan kemiskinan. Terkait dengan kesejahteraan pekerja, pemerintah menetapkan upah minimum provinsi yang merupakan hasil kesepakatan antara pengusaha dan serikat buruh. Pengawasan pelaksanaan peraturan upah minimum provinsi harus dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran dari perusahaan dalam menggaji karyawannya. Bagi perusahaan yang tidak melaksanakan peraturan ini, maka pemberian sanksi wajib dilakukan.
Yudhoyono
(2004)
menyatakan
bahwa
kemiskinan
di
perdesaan
dipengaruhi secara nyata oleh upah. Selain upah, terdapat beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan antara lain pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan dummy reformasi. Sementara itu kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Penetapan UMP berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan pekerja, namun demikian ada kecenderungan peningkatan UMP akan meningkatkan jumlah pengangguran dan berdampak pada peningkatan kemiskinan. Secara signifikan pengangguran akan berpengaruh positif pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Seperti halnya di Kawasan Barat Indonesia, pengangguran dapat berkurang jika ketersediaan lapangan pekerjaan baru memadai dan cukup menampung angkatan kerja baru yang mulai masuk dunia kerja. Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi diperlukan agar permintaan tenaga kerja meningkat dan pengangguran bisa turun. Program transmigrasi perlu dilakukan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian di daerah tujuan transmigrasi, dan pada akhirnya pengangguran dapat diturunkan. Untuk memajukan pembangunan ekonomi, ketersediaan jalan dan listrik menjadi sangat vital. Jalan yang baik akan memudahkan mobilitas manusia dan arus barang dan jasa sehingga suatu daerah akan mudah untuk mengakses pelayanan publik. Selain itu, jalan akan meningkatkan keterbukaan suatu daerah dengan daerah lainnya sehingga akan mendorong terjalinnya kerjasama antar daerah, khususnya dalam meningkatkan perekonomian. Kemajuan ekonomi yang dicapai akan menurunkan kemiskinan di daerah tersebut. Muljono (2010) melakukan analisis dampak pembangunan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terhadap perekonomian dan distribusi pendapatan. Kesimpulan yang diperolehnya adalah pembangunan infrastruktur jalan mampu meningkatkan nilai tambah baik di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia. Komponen nilai tambah yang paling besar menerima manfaat dari pembangunan jalan adalah nilai tambah dari sumber penerimaan modal, tenaga kerja dan lahan. Selain itu, pembangunan infrastruktur jalan juga akan meningkatkan pendapatan rumah
tangga. Dampak pembangunan jalan lebih besar dirasakan Kawasan Barat Indonesia daripada Kawasan Timur Indonesia. Meskipun demikian, pembangunan jalan di Kawasan Timur Indonesia perlu untuk ditingkatkan demi kemajuan perekonomian dan pengentasan kemiskinan di kawasan tersebut. Listrik merupakan salah satu bentuk energi penting dalam perkembangan kehidupan manusia, baik untuk kegiatan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, usaha, industri maupun kegiatan lainnya. Ketersediaan energi listrik diatur oleh pemerintah baik pemakaian maupun harganya. Energi listrik tergolong energi yang relatif murah karena masih di subsidi pemerintah. Selain untuk keperluan rumah tangga, energi listrik menjadi input produksi yang sangat menentukan kelancaran kegiatan produksi. Kegiatan produksi yang lancar akan meningkatkan melancarkan kegiatan ekonomi sehingga akan dihasilkan perekonomian yang lebih maju. Peningkatan perekonomian akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dan pendapatan pekerja yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menurunkan kemiskinan. Terkait dengan pentingnya jalan dan listrik bagi kesejahteraan penduduk, maka kebijakan yang harus dilakukan adalah menyediakan infrastruktur jalan dan listrik yang memadai bagi seluruh daerah, terutama daerah-daerah yang masih terisolasi. Ketersediaan jalan akan meningkatkan aktivitas ekonomi daerah terpencil dan memudahkan penduduk untuk akses ke pelayanan pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya. Selain itu, banyaknya jalan-jalan yang dalam kondisi rusak perlu segera diperbaiki agar aktivitas ekonomi lancar. Dengan demikian daerah akan menjadi tidak terisolasi lagi dan penduduk dapat keluar dari belenggu kemiskinan. Menurut LPEM-PSEKP-PSP, 2004 (Usman et.al 2005), listrik dapat menciptakan efisiensi. Harga energi listrik yang tergolong murah dapat menghemat pengeluaran rumahtangga miskin untuk energi. Dari hasil penghematan ini rumahtangga miskin dapat menabung atau menambah belanja rumahtangga yang lain antara lain untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan ataupun kesehatan. Tingginya akses rumahtangga miskin terhadap pelayanan listrik, rumahtangga dapat melakukan aktivitas produksi dengan berbagai macam kegiatan produktif pada skala rumahtangga. Selain itu, ketersediaan listrik akan
memudahkan rumahtangga miskin untuk mendapatkan informasi melalui media elektronik seperti radio, televisi sehingga dapat memberikan pengaruh pola pikir ke arah yang lebih produktif dan lebih maju. Kendala geografis menyebabkan penyediaan listrik terhambat, untuk mengatasinya perlu dikembangkan teknologi untuk pembuatan listrik mandiri terutama di daerah-daerah yang sulit terjangkau listrik PLN. Pembuatan listrik mandiri dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di setiap daerah, misalnya aliran sungai atau waduk. Selain penyediaan infrastruktur jalan dan listrik, jenis infrastruktur yang lain seperti ketersediaan sarana pendidikan, kesehatan, dan telekomunikasi akan sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Hasil penelitian Abustan (2010) menunjukkan bahwa tingkat kesehatan kepala rumahtangga berpengaruh negatif terhadap kerentanan rumahtangga pada kemiskinan. Rumahtangga yang mempunyai penyakit kronis dan tidak produktif memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin daripada rumahtangga yang sehat. Dalam kondisi sakit, rumahtangga akan berupaya untuk berobat meskipun biaya yang ada kurang cukup untuk membayar biaya pengobatan. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi biaya pengobatan, antara lain dengan menjual aset rumahtangga atau meminjam pada pihak lain, yang semuanya itu akan mengurangi pendapatan rumahtangga sehingga rentan jatuh miskin. Pembangunan infrastruktur akan mendorong berbagai pihak untuk menanamkan modalnya di Kawasan Timur Indonesia. Akumulasi modal akan meningkatkan kegiatan perekonomian. Fungsi produksi Cob-Douglas menyususn bahwa penanaman modal sebagai salah satu faktor untuk meningkatkan output disamping tenaga kerja Menurutdata BKPM (2011), penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) di Kawasan Timur Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Kawasan Barat Indonesia. Pada bulan Januari-Maret 2011, besarnya PMDN dan PMA di Kawasan Timur Indonesia masing-masing sebesar Rp394,7 miliar dan Rp1144 miliar. Pada Kawasan Barat Indonesia besarnya PMDN dan PMA masing-masing sebesar Rp10.205,2 miliar dan Rp3.251,6 miliar.
Selanjutnya, agar penanggulangan kemiskinan berjalan dengan lancar dan efektif, peran pemerintah daerah sangat penting mengingat segala programprogram pembangunan selalu terkait dengan kebijakan yang diputuskan pemerintah daerah. Hasil penelitian Sumarto et. al (Papilaya 2006) menyebutkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik akan memberikan dampak positif pada upaya-upaya penanggulangan kemiskinan, namun sebaliknya tata kelola pemerintahan yang buruk akan menghambat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.