V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Penawaran Wisata 5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi dan budayanya untuk pengembangan ekowisata. Potensi penawaran ekowisata HLGL yaitu obyek wisata yang memiliki daya tarik dan keunikannya, seperti potensi biofisik dan potensi budaya. Keindahan panorama alam, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistem yang beragam serta tantangan medan yang kerap manjadi daya tarik tersendiri, juga keragaman budaya masyarakat sekitar kawasan adalah aset potensial bagi kawasan HLGL untuk pengembangan ekowisata. Penawaran ekowisata merupakan suatu bentuk ekologi dan estetika alami dengan berbagai bentuk ekosistem yang dimiliki oleh suatu kawasan HLGL.
Potensi ini menjadi obyek wisata yang ditawarkan kepada
masyarakat umum (Tropenbos International Indonesia 2006). Pengamatan lapangan menunjukan bahwa bentuk estetika lanskap tersebut terdapat
di
kawasan
HLGL.
Ekosistem
hutan
hujan
tropis
dengan
keanekaragaman dan keunikan hayatinya menjadi faktor lanskap utama. Pohonpohon yang berdiri tegak dengan dedaunan yang rindang disertai dengan tumbuhan lumut di seluruh tubuh pepohonan maupun di permukaan batu-batuan, pesona angrek hitam hutan, keanekaragaman flora dan fauna, sungai dan air terjun yang ada di sekitarnya, komunitas suku etnik Paser dengan berbagai legenda budaya yang menyertainya merupakan daya tarik tersendiri untuk dikemas dan ditawarkan pada masyarakat umum. Secara letak geografis kawasan HLGL di apit oleh wilayah pemukiman penduduk dari berbagai kecamatan dan desa, baik dari sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan, dan sebelah barat. Letak yang demikian memungkinkan kawasan HLGL menjadi tempat jalur lalulintas hubungan antar masyarakat dari berbagai daerah tersebut. Kawasan HLGL dapat ditempuh dengan melalui empat pintu masuk yaitu Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Untuk masuk pintu Desa Swanslutung memiliki akses menuju puncak Gunung Lumut,
40 sedangkan pintu masuk tiga desa lainnya yaitu merupakan lokasi wisata alam, berupa air terjun, sungai, goa dan budaya masyarakat sekitar kawasan HLGL. 5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung Pintu masuk Swanslutung melalui Dusun Muluy yang masuk dalam Desa Swanslutung, Kecamatan Muara Komam yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan laut dari Balikpapan, Tanah Grogot, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan); dengan jenis kendaraan yang dapat digunakan yaitu kendaraan pribadi roda dua (motor) dan roda empat (mobil). Aksesibilitas menuju pintu masuk Swanslutung cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah berbatu. Pintu masuk Swanslutung yang memiliki akses terdekat dengan Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan. Swanslutung dapat ditempuh dengan kendaraan umum dari Balikpapan menuju pelabuhan Kariangau, pintu masuk ini melalui jalur BalikpapanKariangau-Penajam Paser Utara-Simpang Lombok dengan jarak tempuh ± 122 km atau ± 6 jam perjalanan.
Setelah Simpang Lombok, untuk menuju ke Desa
Swanslutung Dusun Muluy berjarak ± 58 km dari Simpang Lombok dengan waktu tempuh ± 1 jam perjalanan yang memiliki akses untuk menuju puncak Gunung Lumut dengan menggunakan kendaraan pribadi, ojek dan atau ikut numpang mobil RKR (PT. Rizky Kacida Reana) yang terkadang lewat, apabila menggunakan kendaraan pribadi melalui jalur yang sama Desa Swanslutung Dusun Muluy dengan jarak tempuh ± 180 km, maka memerlukan waktu ± 6 jam perjalanan. Swanslutung juga dapat dilalui untuk menuju Tanah Grogot maupun Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Tanah Grogot-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur yang ditempuh adalah (± 123 km, ± 5 jam) sedangkan Banjarmasin-Muara Komam-Batu Sopang-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur yang ditempuh adalah (± 325 km, ± 8 jam). Fasilitas yang tersedia di lokasi ini belum ada, terkecuali jalan perusahaan PT. RKR yang menghubungkan Simpang Lombok dengan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan satu buah rumah penduduk yang biasa disewakan apabila ada tamu yang berkunjung serta papan interpretasi masih sangat minimal untuk menuju kawasan yaitu hanya papan petunjuk masuk ke kawasan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan batas antara HLGL dengan
41 kawasan yang ada di sekitarnya. Perjalanan dari Simpang Lombok menuju Desa Swanslutung Dusun Muluy akan disuguhi pemandangan hamparan perkebunan kelapa sawit seluas ± 2.500 ha milik PTPN XIII yang telah ada sejak 1980-an, pertambangan batu bara PT. Kideco, serta gugusan pegunungan di sepanjang jalan menuju kawasan HLGL. Kawasan HLGL memiliki kondisi jalan pengerasan, tanah berbatu menuju lokasi mempunyai tantangan tersendiri bagi pengunjung yang menyenangi tantangan. Untuk menuju puncak gunung lumut dari Dusun Muluy sepanjang jalur tersebut, pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya sebagai berikut: a. Air Terjun Une Sumber daya alam pendukung di dalam kawasan HLGL adalah air terjun Une.
Masyarakat
Desa
Swanslutung
khususnya
Dusun
Muluy
sudah
menggunakan air terjun Une sebagai alat untuk pembangkit listrik mereka dari Turbin. Air terjun ini letaknya di kaki gunung lumut, memiliki suasana yang alami dengan bentang alam yang unik, ketinggiannya yang mencapai ± 5 meter dan airnya tidak langsung terjun melainkan menempel di permukaan batu, karena jatuh sambil menempel ini akan membentuk ukiran-ukiran pada permukaan batu yang dilalui dan cukup menarik untuk dilihat (Gambar 9).
Gambar 9 Air Terjun Une berada di kaki Gunung Lumut.
42 a. Sungai Anjur Sungai Anjur terdapat di depan Gunung Lumut, yang mengalir melintasi jalan menuju ke kawasan Gunung Lumut dan dikelilingi lingkungan hutan yang masih alami, maka pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer pegunungan disekitar sungai tersebut. Sungai ini memiliki luas ± 5 m dengan debit air sedang berarus tenang. c. Pemandangan Lepas Pemandangan alam lepas puncak Gunung Lumut, memperlihatkan suatu keindahan bentang alam, yang memiliki daya tarik wisata alam pegunungan dengan kondisi hutan yang masih alami dan lebat tidak saja menyebabkan kondisi udara yang sejuk, akan tetapi berpotensi juga sebagai arena petualangan yang terlihat seperti pada (Gambar 10).
A
B
Gambar 10 (a dan b) Pemandangan Puncak Gunung Lumut. a. Puncak Gunung Lumut Gunung Lumut berada dalam kawasan HLGL. Untuk mencapai Gunung Lumut, pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer. Dalam perjalanan dari Sungai Anjur menuju puncak Gunung Lumut, pengunjung akan menjumpai banyak hal seperti atraksi satwa liar berupa perjumpaan secara langsung maupun tidak langsung (jejak, suara, bekas cakaran, sisa makanan dan feses). Satwa liar yang dapat dijumpai diantaranya Owa kelawot, Babi hutan, Kijang (Payau), sarang Landak, Bajing ekor tegak, Beruang madu dan burung Enggang serta kupu-kupu. Sedangkan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di Gunung Lumut, Puak Empulu/Engkuning (Baccaurea tetandra Merr.), Mnspon
43 (Lithocarpus gracilis (Korth.) Soepadmo), dan Bnsiang (Ziziphus angustifolius (Miq.) Hatusima ex Steenis), juga tumbuhan hias jamur dan anggrek yang dapat dinikmati (Nurbandiah 2008). View yang ditawarkan sejauh mata memandang berupa gugusan pegunungan disertai atraksi satwa liar dan hembusan angin yang sejuk, serta suasana tenang. Kekhasan kawasan HLGL paling utama yang dimiliki adalah tumbuhan lumut yang tumbuh dengan subur dan lebat memenuhi pepohonan dan permukaan bebatuan yang sangat indah terdapat di puncak Gunung Lumut pengunjung dapat merasakan sejuknya hawa pegunungan dan hamparan pohon berdiameter kecil ± 15 m yang didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae berdiameter ± 50-150 cm dapat dinikmati mulai dari ketinggian ± 400-1100 mdpl, dimana pengunjung akan menemui pohon-pohon yang beragam ukuran dan jenisnya diseluruh tubuh pohon yang diselimuti lumut yang tebal.
Suasana
lembab dan minimnya intensitas cahaya matahari yang menembus lantai hutan serta hembusan angin kencang, semakin menambah kesan angker dan mistisnya Gunung Lumut. Tebal lumut yang mencapai ± 10-35 cm menyebabkan pohon berlumut mampu menyimpan air hujan, menghasilkan oksigen dalam jumlah yang banyak dan menambah kelembaban hutan puncak Gunung Lumut.
Konon,
dijumpai udang dan kepiting di dalam lumut. Perjalanan menuju Pundan Tengaran yang terletak pada ketinggian ± 1.100 mdpl. Semakin menuju Pundan Tengaran, semakin terasa hembusan angin yang semakin kencang dan dingin, disertai langit mendung seakan hendak hujan.
Cuaca selama pendakian Gunung Lumut, konon menurut masyarakat
susah ditebak.
Setiap pendaki disuguhkan pada cuaca Gunung Lumut yang
berbeda-beda selama pendakian, tergantung pada Sang Pengoasa Gunung Lumut yang disebut “Kepala Adat”. Jika “Kepala Adat” mengijinkan maka cuaca berarti baik. Pemandangan yang dapat dinikmati di puncak Gunung Lumut berupa hamparan hutan dengan pepohonan yang tertutup lumut tebal, dan dipenuhi oleh vegetasi yang lebat dan beranekaragam jenis tumbuh-tumbuhan dengan gugusan pegunungan yang tersusun rapi dan bernilai estetik. Serta adanya tanda titik puncak yang disemen. Konon, tanda titik puncak disemen karena di dalamnya
44 terdapat harta karun Dayak Paser yang telah ada sejak jaman nenek moyang. Belum ada fasilitas apapun yang ada di lokasi ini, selain jalan setapak. Puncak Gunung Lumut berada pada ketinggian ± 1.233 mdpl, perjalanan dari Sungai Anjur-puncak Gunung Lumut yang dapat ditempuh selama ± 11 jam perjalanan pergi-pulang, dapat dilihat pada (Gambar 11).
B
A
C Gambar 11 Pohon Puncak Gunung Lumut, (a,b) Batang yang telah diselimuti oleh lumut; (c) Dahan dan ranting pohon yang telah diselimuti oleh lumut (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah). 5.1.1.2 Pintu Masuk Tiwei Pintu masuk Tiwei terletak di Desa Tiwei, Kecamatan Long Ikis yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan laut dari Balikpapan dan Tanah Grogot menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju pintu masuk Tiwei cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah
45 berbatu. Apabila ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan menggunakan jalur Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Long Ikis-Desa Tiwei (± 108 km, ± 4 jam). Dari Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Long Ikis-Desa Tiwei (± 40 km, ± 2 jam). Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang
mudah
keluar-masuk
dari
pintu
masuk
Tiwei,
pasar,
warung
makanan/minuman, penjaja kerajinan tangan khas atau suvenir, jasa penyewaan rumah warga bagi tamu yang berkunjung, sepanjang jalur Tiwei pengunjung akan menikmati objek wisata alam yaitu: a. Air Terjun Tiwei Letaknya di Desa Tiwei, ± 3 km dan ± 1 jam perjalanan dari pusat desa merupakan obyek wisata yang favorit untuk berlibur, sambil menikmati pesona alam yang indah dan hawa yang sejuk. Di tempat ini tersedia warung makan untuk pengunjung, gazebo, serta tempat parkir.
Masyarakat di sekitarnya
memanfaatkan kawasan sebagai tempat mencari kayu bakar, tumbuhan obat dan tumbuhan hias.
Gambar 12 Air Terjun Tiwei 5.1.1.3 Pintu Masuk Rantau Layung Pintu masuk Rantau Layung melalui Rantau Buta yang dapat ditempuh melalui jalan sungai berjarak ± 6 km selama ± 3 jam perjalanan yang terletak di Kecamatan Batu Sopang merupakan pintu masuk yang dapat dijadikan pilihan yang tepat untuk memasuki Rantau Layung. Jalur Rantau Layung memiliki
46 nuansa petualangan di alam yang menantang, khas dan unik.
Suasana alam
sepanjang perjalanan sangat eksotik, berbagai atraksi satwaliar yang semakin menambah suasana pedalaman dengan nuansa petualangan yang menantang dan didominansi pohon Bangris (pohon penghasil madu alam) yang unik dan vegetasi Dipterocararpaceae yang menarik. Rantau Layung dapat ditempuh dengan melalui 3 jalur alternatif, yaitu dari Balikpapan, Tanah Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan menggunakan kendaraan pribadi roda dua dan roda empat. Rantau Layung bila ditempuh dari Bandara Sepinggan di Balikpapan melalui jalur BalikpapanKariangau-Penajam Paser Utara-Kuaro-Rantau Buta-Rantau Layung (± 264 km, ± 8 jam).
Tanah Grogot-Rantau Buta-Rantau Layung (± 67 km, ± 4 jam).
Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur Banjarmasin-Muara KomamBatu Sopang-Rantau Buta-Rantau Layung (± 242 km, ± 7 jam). Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk dari pintu masuk Rantau Layung yang ada berupa 6 unit perahu mesin (Long Boad) milik warga untuk disewakan dari Rantau Buta-Rantau Layung atau sebaliknya, serta satu buah rumah penduduk yang biasa disewakan apabila ada tamu yang berkunjung.
Sepanjang jalur Rantau Layung, pengunjung akan
menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya sebagai berikut: a. Air Terjun Nango Air Terjun Nango merupakan Objek wisata alam yang unik dan menarik juga memiliki kombinasi. obyek daya tarik ini merupakan wisata yang sangat indah dengan arus yang cukup deras dan terdapat kolam di bawahnya yang memiliki keeksotisan dapat dipadukan dengan muara di atasnya yang juga memiliki hulu di dalam goa, dengan ke dalaman ± 1,5 m serta dihiasi bebatuan yang berundak-undak dan ditutupi oleh lumut besar dan unik. Perjalanan menuju lokasi akan dijumpai ladang masyarakat, vegetasi hutan sekunder dan primer yang didominasi oleh tanaman Biwan, pohon Bangris tua (penghasil madu alam) yang merupakan pengalaman wisata alam yang sayang apabila terlewatkan. Air Terjun ini merupakan hilir dari Muara Nango, untuk mencapai muara sungai Nango pengunjung harus menaiki air terjun Nango dengan memanjat akar di samping air terjun untuk mencapai di atas Muara dan Goa Nango.
47 b. Muara Nango Muara Nango bercabang 2 (sepanjang ± 325 m) dengan mendekati hulu, aliran sungai semakin menyatu (sejauh ± 165 m ) dan berakhir di dalam liang atau goa. Muara Nango nampak bahwa air sungai keluar melalui sungai bawah tanah yang hulunya berada di dalam goa dengan jalan menanjak dan berbatu. Pemandangan yang dapat dinikmati berupa kelokan Muara Nango yang sangat indah seperti tempat pemandian bidadari, dengan air yang jernih serta banyaknya kubangan air mengalir. Sesampainya di hulu Sungai Nango, dapat dijumpai goa yang dinamakan Liang Sungai Nango dengan ketinggian ± 120 mdpl dengan kelerengan sangat curam (800). Goa ini berjarak ± 500 m dari air terjun Nango dan dapat ditempuh ± 1 jam perjalanan. Kekhasan Muara Sungai Nango terletak pada bebatuan yang berwarna abu-abu dan bertingkat-tingkat sehingga memberikan keunikan dan terlihat artistik, perjalanan menuju lokasi relatif lebih aman dan mudah melalui jalur Sungai Prayamliu yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh ± 5 km dengan waktu ± 3 jam perjalanan. Perjalanan melalui jalur darat relatif sulit karena harus melewati hutan dengan medan berat dan topografi bebatuan. Pada saat berjalan melewati Muara Sungai Nango, pengunjung akan melihat jernihnya air yang mengalir dan pohonpohon seperti Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit), Bkokal bawo (Saraca
declinata
(Jack)
Miq),
Jelutung
(Alstonia
angustiloba
Miq.),
Mangkolabo, Entab, dan Engkeliang berdiri tegak dan tumbuh diantara bebatuan dengan diameter sekitar 60-70 cm.
Pengunjung juga dapat mendengar suara
kicauan burung yang menambah keindahan alam di Muara Sungai Nango. c. Liang Nango Pemberian nama Liang Muara Sungai Nango karena liang tersebut berada di dalam kawasan Muara Sungai Nango. Untuk dapat masuk ke liang, harus memanjat mulut liang setinggi ± 1,5 meter. Terdapat dua lorong di dalam liang yaitu lorong pertama berbentuk vertikal dan lorong kedua berbentuk horizontal. Lorong pertama tidak dapat dilalui karena lorong vertikal dengan kemiringan 900 dan kondisi tanah liat yang remah. Lorong kedua memiliki panjang ± 20 m dari mulut liang, berupa lorong sempit berdiameter ± 1 m, dengan tanah liat yang telah mengalami patahan selebar ± 10 cm dan dalam ± 40 cm. Lorong hanya bisa
48 dilewati oleh satu per satu orang, dengan posisi jalan miring.
Fauna yang
ditemukan di dalam liang goa yaitu Laba-laba dan Lenawai kecil, serta pemandangan sungai Nango yang menarik, serta kicauan burung Enggang dan burung-burung kecil lainnya semakin menambah mantapnya berpetualang di alam bebas.
A
B
C
D
E
F
Gambar 13 Air Terjun, Muara dan Liang Sungai Nango: (a) Hulu Muara sungai nango, (b) Tengah Muara Sungai Nango, (c) Hilir Muara Sungai Nango/Puncak Air Terjun Sungai Nango, (d) Ornamen Liang berupa stalagtit/Mulut Lorong Liang yang sempit, (e dan f) Air Terjun Sungai Nango (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).
49 5.1.1.4 Pintu Masuk Kasungai Pintu masuk Kasungai terletak di Desa Kasungai, Kecamatan Batu Sopang yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan sungai dari Balikpapan, Tanah Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju pintu masuk Kasungai cukup mudah dengan kombinasi jalan aspal dan tanah berbatu. Kasungai bila ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan menggunakan jalur Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 257 km, ± 6 jam).
Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Batu Kajang-Desa
Kasungai (± 47 km, ± 2 jam). Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur Banjarmasin-Muara Komam-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 224 km, ± 6 jam). Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk dari pintu masuk Kasungai, warung makanan atau minuman, jasa penyewaan rumah warga bagi tamu yang berkunjung, serta adanya fasilitas listrik PLN juga lokasi yang dekat dengan pemancar signal hp, sehingga memudahkan komunikasi. Sepanjang jalur Kasungai pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya: a. Goa Tengkorak Desa Kasungai memiliki Goa Tengkorak yang merupakan tempat mengubur orang-orang penganut kepercayaan animisme sebelum masuknya pengaruh Agama Hindu dan Agama Islam di Kerajaan Paser, dengan jumlah tengkorak dalam goa ini berjumlah ± 35 buah, kondisi tengkorak yang beberapa sudah rusak dan tidak utuh lagi.
Goa Tengkorak berbentuk cekungan, yang
terletak di punggung bukit tebing batu dengan ketinggian ± 20 meter, dengan harus menaiki tangga kayu terlebih dahulu untuk mencapai goanya. Tengkorak manusia ini di dalamnya yang berasal dari zaman Kahariangan dan juga merupakan situs peninggalan sejarah nenek moyang, yang memiliki serambi goa yang dihiasi stalagtit dan stalagmit yang indah. Pemandangan yang dapat dinikmati dari Goa tengkorak adalah keindahan Gunung Loyang, Sungai Kesungai dan Sungai Semao. Selain itu juga dapat mendengar kicauan burung Gagak, Enggang, Elang dan burung-burung lainnya dan nuansa hutan sekunder pegunungan. Goa ini berjarak ± 700 meter dengan
50 waktu tempuh ± 30 menit. Untuk menuju lokasi dengan melewati dua jembatan dan dua sungai yaitu Sungai Semao dan Sungai Kesungai, pengunjung akan melihat kuburan masyarakat Kasungai yang sudah menganut ajaran Agama Islam. Goa Tengkorak ini berada di sekitar kawasan HLGL dan sudah dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser. Kondisi sekitar wilayah kawasan Goa Tengkorak cukup baik walaupun masih memerlukan perawatan dan pengawasan secara lebih kontinyu untuk memberikan kenyamanan kepada pengunjung.
B
A Gambar 14
C
Goa Tengkorak: (a) View yang dapat dinikmati dari tangga Goa Tengkorak, (b) Tangga menuju Goa Tengkorak (c) Tengkorak kepala dan tulang belulang di dalam goa.
b. Goa Loyang Goa Loyang mempunyai keindahan yang telah terlihat dari kejauhan dengan batu yang besar dengan pepohonan yang rindang, Goa Loyang tersebut merupakan hasil temuan masyarakat Desa Kasungai yang bernama Lojang. Keunikannya adalah ruangan pertama dari mulut goa berukuran besar dan menyerupai loyang terbalik. Untuk menuju goa harus menaiki tangga menuju mulut goa yang besar.
Saat berada di dalam goa pengunjung dapat melihat
ruangan yang besar seperti loyang yang terbalik. Ada dua jalur untuk berjalanjalan dengan beberapa pintu keluar, dengan menjelajahi goa yaitu jalur pertama menuju puncak gunung setinggi ± 110 mdpl dan jalur kedua yang merupakan kombinasi jalan hutan dan jalan dalam goa. Sejauh mata memandang, jalur pertama menyuguhkan pemandangan alam yang sangat luar biasa, seluruh wilayah Kecamatan Batu Sopang, komplek
51 pertambangan batu bara PT. Kideco dan sekitarnya dapat terlihat, beserta seluruh gugusan pegunungan yang eksotis.
Sedangkan jalur kedua menyajikan
penelusuran goa yang menantang dan unik.
Liang tanduk dan liang serawu
merupakan dua ruangan utama dalam goa. Fauna yang terdapat di dalam goa yaitu kelelawar, walet dan laba-laba. Sedangkan fauna yang dijumpai di sekitar goa antara lain burung Punai tanah, Terantang, Pipit, Teruak Gonggong, Engkutong, Enggang, Gagak dan Bubut. Goa ini berjarak ± 400 m dengan waktu tempuh ± 20 menit dari Desa Kasungai. Fasilitas yang tersedia antara lain akses menuju goa yang sudah diaspal dan dalam keadaan baik, loket karcis, tempat pertunjukan, kantin, gazebo dan tempat parkir. Goa Loyang ini juga sudah di kelolah oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser.
A Gambar 15
B
Goa Loyang: (a) Mulut Goa, (b) Lorong Goa yang sempit dan ornamen goa berupa stalaktit dan stalakmit serta kelelawar yang sedang terbang di dalam goa (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).
5.1.2 Daya Tarik Biologi 5.1.2.1 Flora HLGL memiliki flora yang langka dan endemik dapat menjadi obyek yang menarik bagi para pengunjung yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder, khususnya untuk tujuan pendidikan dan penelitian.
Hutan Lindung Gunung
Lumut juga memiliki kenekaragaman tanaman hias berupa berbagai jenis tanaman anggrek yang terlihat seperti pada Gambar 16.
52
A
B
C Gambar 16 (a,b dan c) Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (sumber foto:Mariana Zainun dan Nurbandiah). Flora yang menonjol dan sering ditemui pada hutan riparian (tepi sungai dan anak sungai) adalah Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq) dan Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit). Selain tanaman tersebut juga dapat ditemui Meranti (Shorea sp.), Bangris, Ulin (Eusideroxylon zwageri), Beringin/Nunuk (Ficus sp.), Mayas (Duabanga moluccana Blume), Benuang (Octomeles sumatrana), Bungur (Lagerstroemia sp.), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Sungkai (Peronema canescens Jack), Walur (Nauclea subdita Merr.), Nsom bulau (Mangifera torquenda Kosterm.), Nansang (Macaranga pruinosa (Miq.) Mull.Arg.), Nansang puyan (Macaranga pearsonii Merr.), Bangkorang (Leea indica (Burm.f.)), Lutung (Alstonia angustiloba Miq.), Ara (Poikilospermum sp.), Ara gendang (Ficus variegata Blume) Lutung Buis, Pelawan (Tristaniopsis whiteana), Bnsiang (Ziziphus angustifolius (Miq.) Hatusima ex Steenis).
53
A
B
C
E
D
F
G Gambar 17
Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq), (b) Meranti (Shorea sp.), (c) Gaharu (Aquilaria malaccensis), (d) Beringin/Nunuk (Ficus sp.), (e) Buah Walur (Nauclea subdita Merr.), (f) Bungur (Lagerstroemia sp.) dan (g) Bangris (Koompassia excelsa). (Sumber foto: Nurbandiah 2008).
54 Jenis pohon-pohon yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar HLGL antara lain dari kelompok Mangga (Mangifera sp.), Durian (Durio sp.), Rambutan (Nephelium sp.), Langsat (Lansium domesticum), Asam putar (Mangivera similis), Keranji (Dialium indum), Cempedak, Tarap dan Bukes. Tanaman herba yang sering digunakan sebagai bahan pangan oleh masyarakat adalah Ptien (Etlingera sp.) dapat dilihat pada Gambar 18 (Nurbandiah 2008). 5.1.2.2 Fauna HLGL memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi, berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat maupun pengamatan secara langsung terhadap keberadaan satwa yang pernah dan sering terlihat di kawasan HLGL, yaitu yang ditandai dengan penemuan jejak berupa jejak kaki, jejak cakaran pada pohon dan kayu, jejak feses dan bekas makanan yang telah dimakan oleh satwa pada jalur menuju kawasan HLGL (Simorangkir 2006). Perjalanan menuju Puncak HLGL, misalnya, pengunjung dapat melihat langsung Owa Kelawot. Selain itu, pengunjung dapat melihat Beruang Madu yang sedang bergelantungan, Enggang dan burung-burung kecil yang sedang berterbangan. Selain binatang-binatang tersebut, pengunjung juga dapat dengan mudah melihat langsung atau mendengar suara berbagai jenis burung, seperti contohnya burung Gagak Hutan (Corvus enca) yang sering di jumpai pada daerah aliran sungai, terutama disekitar Desa Rantau Layung. Burung lainnya yang sering terdengar suaranya saat pagi-siang hari dan dapat dilihat di sekitar kawasan HLGL baik dalam perjalanan menuju puncak Gunung Lumut dan di daerah-daerah menuju lokasi air terjun dan liang adalah Kuau raja (Argusianus argus), Srigunting batu (Dicrurus paradiseus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Rangkong gading (Rhinoplax vigil), Kucica hutan (Copsychus stricklandi), Takur tutut (Megalaima rafflesii), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Merbah cerukcuk (Picnonotus goiavier), Caladi batu (Meiglyptes tristis), Bubut alang-alang (Centropus bengalensis), dan Cinenen belukar (Orthotomus atrogularis). Selain burung-burung tersebut juga terdapat berbagai jenis kupu-kupu yang terlihat seperti pada Gambar 18 (Nurbandiah 2008).
55
A
B
C
D
E
F
Gambar 18 Kupu-kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) C. hypsea munjava, (b) G. doson evemonides, (c) Y. sabina javanica, (d) C. amelea bajadeta, (e) G. delesserti-delesserti (f) C. Elna. (Sumber foto: Nurbandiah). 5.1.3 Wisata Sosial-Budaya Selain potensi alam kawasan HLGL juga kaya akan wisata budaya dengan tetap menjaga pelestarian hutannya. Untuk menuju ke arah wisata, sangat dibutuhkan daya dukung komponen-komponen dan kondisi lingkungan di luar kawasan HLGL. Beberapa aspek daya dukung lokal di antaranya yang diyakini masyarakat lokal mempunyai nilai spiritual. Objek-objek yang dapat dijadikan wisata budaya adalah sebagai berikut: 5.1.3.1 Kearifan Lokal Bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat antara lain tidak menebang pohon, tidak mengambil sarang lebah. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat ini merupakan hal yang penting untuk pengembangan ekowisata dan kearifan lokal ini juga diwariskan secara turun termurun antara lain:
56 a. Masyarakat Adat Dusun Muluy Masyarakat yang berada disekitar kawasan HLGL memiliki kelompok kebudayaan yang khas dan menarik. Keunikan yang menjadi daya tarik wisata Dusun Muluy, masyarakat adat, diantaranya: 1. Dusun Muluy memiliki daerah adat bagi pengunjung yang tertarik untuk mengenal tentang wisata budaya. 2. Dusun Muluy memegang teguh adat istiadat peninggalan leluhur dan komitmen kuat terhadap falsafah hidup yang diwariskan oleh leluhur mereka. 3. Budaya dan Adat yang ada masih bersifat murni dan belum terkontaminasi oleh pengaruh dari luar. b. Kebudayaan Suku Dayak Paser Masyarakat Suku Dayak Paser tidak ingin disebut sebagai Suku Dayak, mereka menyebut dirinya sebagai Suku Paser. Dikarenakan masyarakat Paser telah dipengaruhi budaya Islam dan mayoritas beragama Islam. Selain itu, budaya ladang berpindah telah melekat sejak jaman nenek moyang. Urutan pengolahan lahan pertama kali degan membuka ladang, penebangan pohon-pohon penggangu dengan (nebas), pembakaran lahan, pembersihan lahan (manduk), dan penanaman padi (menugal), Masyarakat yakin, bahwa setelah 2-3 kali masa panen, tanah akan mengalami penurunan kualitas kesuburan dan membutuhkan waktu untuk memulihkannya. Kearifan tradisional yang dimiliki Suku Paser adalah memanfaatkan lahan pertanian sesuai kemampuan lahan yaitu lama masa pakai dan rotasi ladang selama ± 2-3 tahun. pembukaan ladang yang baru.
Maka selanjutnya akan dilakukan
Kegiatan pembukaan ladang dilakukan secara
bergotong-royong dan membutuhkan waktu antara ± 8-10 bulan. Kearifan tradisional ini telah diwariskan secara turun-temurun. 5.1.3.2 Musik dan Tarian Suku Paser dan Dayak Paser memiliki keanekaragaman musik dan taritarian tradisional. Musik dan tarian ini sering dibawahkan pada upacara-upacara adat seperti, perkawinan, kematian, penanaman padi menyambut tamu yang diiringi alat musik tradisional seperti gong, dan gitar dengan empat buah senar yang sering disebut sape.
57 a. Tari Dayak Paser Beberapa kegiatan seni dan budaya yang hidup di kalangan masyarakat, antara lain Tari Ronggeng Paser dan Teater Tradisional Paser atau Nalau. Selanjutnya adalah Tari Rembara, Tari Gintur, Gendang Agong, Upacara Adat Nulak Jakit, Petikan Gambus Irama Pesisir, Tari Jepen Muslim, Tari Jepen Daya Taka, Tari Singkir, Tari Belian Pengobatan, Petikan Muara Adang dan Irama Tengah Malam, Pesta Adat Kembo, Prosesi Kegiatan Upacara Belian atau Mamulio Ngadap Klusan, Upacara Adat Paser atau Nyambut Taun Nengkuat Longan Nansang dan Pesta Laut Mappanre Tasi yang digelar setiap tahun oleh warga yang tinggal di kawasan Pesisir, (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya 2008). b. Tari Ronggeng Tari Ronggeng adalah salah satu kesenian tradisional pesisir Kabupaten Paser yang termasuk dalam kelompok tari gembira (tari pergaulan). Tarian ini biasanya ditampilkan pada saat acara-acara resmi kerajaan yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada tamu-tamu yang hadir. Dalam tarian yang diiringi dengan lagu Ronggeng dan didominasi alat musik petik (Gambus), langkah alunan kaki dan lemah gemulainya sang penari menggerakkan selendang dan sapu tangannya seakan mengajak hadirin untuk menari dan bergembira bersama. c. Tari Rembara Tarian tradisional pedalaman Paser ini merupakan Tari Rembara yang disebut tari tradisional pedalaman Dayak Paser yang merupakan tari ritual atau tari yang ditampilkan saat upacara adat Paser, seperti Upacara Belian dan Upacara Nulak Jakit dan upacara adat lainnya maupun pada acara-acara resmi. Tarian ini biasanya dilakukan oleh beberapa gadis cantik yang membawa beberapa perlengkapan yang seakan-akan untuk diserahkan kepada Sang Pengoasa Jagat Raya. d. Tari Belian Pengobatan Tari Belian merupakan tarian adat Paser merupakan rangkaian dari Upacara tradisional Adat Belian pedalaman Dayak Paser yang merupakan tarian persembahan kepada Sang Pengoasa Jagat Raya. Tari Belian ada dua macam berdasarkan kepentingannya, yaitu Tari Belian untuk tujuan penyembuhan
58 penyakit dan pertunjukan untuk membayar hajat.
Tarian ini dilakukan oleh
seorang penari yang dipercaya mempunyai kemampuan mengobati penyakit seseorang, yang diikuti dengan alunan musik khas Paser. Sedangkan untuk tujuan pertunjukan, tari ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mengoasainya. Setiap upacara ini disertai dengan makan dan minum bersama. 5.1.3.3 Kerajinan Tangan Bagi masyarakat dayak paser kerajinan tangan Khas Dayak Paser yang dikenal paling bagus dan indah diantaranya: Anjat, Gawang, lanjung, nyiru (tampah), dan tempat pendulangan emas, yang memiliki pola dan corak yang unik dan juga jenis anyaman biasa tanpa corak yang juga bahannya terdiri dari rotan, bambu, antara lain: a. Kerajinan Tangan Khas Dayak Paser Masyarakat Suku Paser memiliki keterampilan membuat kerajinan tangan dari rotan. Keterampilan ini awalnya muncul karena adanya tuntutan kebutuhan akan peralatan berladang, untuk tempat membawa perbekalan dari rumah (makanan, minuman) dan tempat untuk menyimpan hasil ladang mereka. Bentuk dan ukuran jenis kerajinan tangan masih sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin banyaknya masyarakat luar yang berkunjung ke pemukiman masyarakat Suku Paser, maka terbukalah wawasan berpikir dan sikap kreatifnya.
Kerajinan tangan khas masyarakat Suku Paser lebih
beranekaragam dalam hal jenis, bentuk dan ukuran.
Tetapi tidak semua
masyarakat Dayak Paser mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan. Tentunya sangat berpotensi sekali apabila dikembangkan sebagai industri kerajinan masyarakat untuk mendukung pengembangan ekowisata sebagai kegiatan wisata di wilayah tersebut.
59
A
B
Gambar 19 Lanjung: (a) Proses pembuatan kerajinan lanjung masyarakat sekitar kawasan HLGL (b) Kerajinan Lanjung. 5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung Lumut a. Akomodasi Sarana akomodasi belum ada disebabkan karena belum dianggap menjadi hal yang penting untuk disediakan untuk saat ini, dalam rangka mendukung eksploitasi potensi HLGL sebagai obyek wisata minat khusus ekowisata alam pegunungan. Dari empat desa dengan tiga wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL, hanya terdapat 4 hotel wilayah kecamatan yang tersedia sarana akomodasi berupa hotel atau penginapan adalah Kecamatan Kuaro sebanyak 2 unit, Long Kali 1 unit dan Muara Komam 1 unit sedangkan yang berada di sekitar kawasan HLGL terdapat 1 buah rumah penduduk yang biasa disewakan ketika ada tamu yang berkunjung dan 7 rumah makan . b. Fasilitas Kondisi wisata akan berkembang apabila dilengkapi dengan fasilitas wisata untuk lebih menambah rasa dalam menikmati aktivitas wisata. Fasilitas wisata juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengunjung selama berwisata.
Semakin banyak fasilitas wisata yang disuguhkan tidak menjadi
patokan akan semakin banyaknya wisatawan.
Fasilitas yang khas unik dan
menarik serta bernuansa alamiah mampu menjadikan objek wisata tertentu menjadi prioritas pilihan dalam berwisata. Pada dewasa ini, masyarakat lebih menyukai wisata kembali ke alam (back to nature) yaitu wisata yang bernuansa alami atau dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini disebabkan rutinitas
60 keseharian yang sangat sibuk dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Fasilitas wisata yang umum terdapat di objek wisata adalah fasilitas restaurant, souvenir, gazebo, transportasi lokal, air bersih, mandi cuci dan kakus (MCK), puskesmas, listrik dan fasilitas pelayanan lainnya. c. Aksesibilitas Aksesibilitas menuju HLGL dapat dicapai melalui jalan darat dan laut, yaitu kendaraan roda dua atau roda empat. Dari Balikpapan-Bandara Sepinggan menuju HLGL, maka perjalanan melalui Pelabuhan Kariangau-Penajam Paser Utara. Aksesibilitas menuju kawasan HLGL dapat melalui Simpang Lombok menuju Dusun Muluy yang masuk dalam Desa Swanslutung untuk ke Gunung Lumut dan dapat juga melalui Desa Rantau Layung, Desa Kesungai dan Desa Tiwei, untuk mencapai kawasan HLGL harus melalui jalan perusahaan dan jalan setapak. Kawasan HLGL di dalam maupun sekitarnya dapat ditempuh melalui pemukiman masyarakat. Kawasan HLGL terdapat 1 dusun di dalamnya yaitu Dusun Muluy yang termasuk wilayah Desa Swanslutung dan 13 desa lainnya yang berada di sekitar kawasan HLGL. Desa Tiwei, Rantau Layung, Kasungai untuk menuju kekawasan HLGL memiliki kondisi jalan yang masih alami, berupa jalan tanah berbatu dan setapak. Lebar jalan bervariasi antara 30 cm-2 meter, dan seringkali dibuat jalan baru dengan cara membuka dan menebas semak-semak. Untuk memasuki kawasan HLGL dapat ditempuh hanya dengan 2 pintu masuk. Jalur bagian selatan ditempuh dengan berjalan kaki, sedangkan jalur utara dapat ditempuh melalui bekas jalan logging dan hanya dapat dicapai menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Kawasan HLGL, umumnya dapat menjumpai pemukiman atau ladang masyarakat, bahkan ada yang harus melewati jalan air (sungai) terlebih dahulu. Ada 2 jalan alternatif menuju kawasan HLGL, yaitu melalui jalan darat yang dipadukan dengan jalan sungai (Pelabuhan Kariangau di Penajam Paser Utara). HLGL dengan Ibu kota propinsi samarindah berjarak ± 392 km (jalan darat) atau ± 257 km (jalan darat-laut). Waktu yang ditempuh masing-masing jalur alternatif antara 6-8 jam. Kawasan HLGL dengan Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan berjarak ± 257 km (jalan darat) atau ± 157 km (jalan darat-laut).
61 d. Sarana dan Prasarana Pendukung Berbagai sarana dan prasarana pendukung yang telah ada di sekitar kawasan HLGL dalam rangka mendukung pengembangan kawasan tersebut sebagai satu tujuan obyek wisata, adalah sebagai berikut: 1. Transportasi Sarana transportasi merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk memperlancar mobilisasi penduduk dan ekonomi pada satu daerah, baik intra maupun extra. Untuk lingkungan kawasan HLGL maupun kota atau daerah sekitarnya, kondisi sarana transportasi yang telah ada adalah sebagai berikut: - Jalan Raya Kondisi sarana jalan raya pada desa-desa yang bersinggungan langsung dengan kawasan HLGL adalah berupa jalan raya pengerasan. Kondisi jalan raya antara desa maupun antar kecamatan yang berbatasan wilayah dengan kawasan HLGL, adalah berupa jalan raya aspal dan pengerasan. - Jenis Kendaraan darat (angkutan umum) Jenis kendaraan darat sebagai sarana angkutan umum yang digunakan oleh masyarakat di sekitar wilayah HLGL adalah mobil yang digunakan oleh perusahaan PT. Rezki Kacida Reana dan ojeg.
Sarana pendukung untuk
mobilisasi kendaraan angkutan darat berupa stasiun pengisian bahan bakar minyak, tersedia hanya 2 instalasi. - Pesawat Udara Akses memasuki kabupaten Paser melalui lalulintas udara belum tersedia. Mobilisasi manusia dari luar pulau Kalimantan menuju wilayah kabupaten Paser dengan menggunakan sarana transportasi udara, hanya dapat diakses melalui bandara Balikpapan (Ibukota Propinsi). - Angkutan penyeberangan laut dan sungai Sarana transportasi lain yang menghubungi desa-desa atau kecamatankecamatan di sekitar kawasan HLGL, juga menggunakan sarana Kapal feri, long boat atau speed boat untuk menyeberangi laut dan sungai.
Frekuensi
penyeberangan terjadi pada setiap hari, dengan diperkuat oleh armada speed boat, long boad dan armada Kapal feri.
62 2. Sarana Komunikasi Bahasa yang dominan digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat adalah bahasa Paser, disamping bahasa Indonesia, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dayak dan Jawa. Ketersediaan sarana telekomunikasi pada daerah-daerah pemukiman penduduk (kecamatan dan desa-desa) di sekitar kawasan HLGL belum memadai.
Tidak tersedianya jeringan telepon kabel,
telepon seluler, dan jeringan Internet. Juga tidak terjangkau oleh surat kabar. 3. Sarana Pasar dan Perdagangan Pasar yang dimiliki oleh masyarakat setempat bersifat pasar tradisional. Kegiatan pasar berlangsung setiap hari dan juga ada Sekali dalam seminggu, dan dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Meskipun demikian, sistim jual beli dengan cara barter masih berlaku. Aktivitas pasar tidak hanya dijalankan oleh penduduk setempat, namun juga didatangi oleh pedagangpedagang dari daerah tetangga. 5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan Masyarakat desa pada penelitian ini adalah penduduk desa yang bertempat tinggal disekitar kawasan HLGL dan penduduk yang memiliki akses terdekat menuju kawasan yaitu penduduk Desa Swanslutung (Dusun Muluy), Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Kasungai.
Pengamatan dilakukan terhadap
karateristik responden, persepsi responden, partisipasi responden serta saran dan harapan responden terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL. Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil wawancara terhadap 120 orang masyarakat yang tinggal di desa tersebut dengan masing-masing desa 30 orang pada empat desa yang dipilih sebagai sampel dan dijadikan sebagai responden. Maka diperoleh hasil sebagai berikut: 5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa Masyarakat desa sekitar lokasi yang menjadi sampel responden dalam penelitian ini terdiri dari 120 orang; 93 orang laki-laki (77,5%) dan 27 orang perempuan (22,5%).
Distribusi umur lebih dominan pada usia 17-35 tahun
(56,67%), usia 36-55 thn (36,67%) dan sisanya 6,67% merupakan kelompok lansia; Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah. Hal ini tercermin
63 dari tingkat pendidikan responden yakni tidak tamat SD (20,83%), tamat SD (62,5%), SLTP (11,67%) dan SLTA (5%). Sedangkan yang memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi tidak ada. Pekerjaan pokok responden umumnya adalah berladang atau berburu (48,33%), usaha makanan (10%), tukang perahu (5%), tukang ojek (17,5%) dan pekerjaaan lainnya (19,17%). Jenis pekerjaan ini terkait erat dengan tingkat pendidikan responden yang relatif rendah. Hal ini disebabkan sarana pendidikan yang tersedia untuk disetiap desa masih minim sehingga menyulitkan bagi masyarakat yang menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih baik. Disamping itu, beberapa responden diantaranya merupakan masyarakat transmigrasi yang juga memiliki tingkat pendidikan rendah. Sehingga sampai saat ini belum ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar. Uraian tentang karakteristik masyarakat yang menjadi sampel responden di sajikan dalam tabel 9. Tabel 9 Karakteristik responden masyarakat desa disekitar kawasan HLGL No.
Parameter
1
Responden
2
Umur
3
Pendidikan
4
Pekerjaan
Kriteria a. b. a. b. c. a. b. c. d. a. b. c.
5
d. e. a. b. c. d.
Laki-laki Perempuan 17-35 tahun 36-55 tahun 55 tahun keatas TTSD SD SLTP SLTA Berladang/berburu Usaha warung/jualan makanan Tukang perahu/punya perahu Tukang ojek Lainnya Paser Dayak Jawa lainnya
Bahasa yang dikuasai (bisa lebih dari satu jawaban Keterangan: 1 = Desa Swanslutung (n=30) 2 = Desa Tiwei (n=30) 3 = Desa Rantau Layung (n=30) 4 = Desa Kasungai (n=30)
1 25 5 15 11 4 10 18 2 0 20
Masyarakat Desa 2 3 22 21 8 9 21 15 8 14 1 1 5 7 23 9 5 0 2 0 11 18
Total
(%)
4 25 5 17 11 2 3 25 7 4 9
93 27 68 44 8 25 75 14 6 58
77,5 22,5 56,67 36,67 6,67 20,83 62,5 11,67 5 48,33
4
2
1
5
12
10
0 2 4 30 18 2 0
0 7 6 19 12 15 2
6 0 1 26 17 3 0
0 12 12 23 13 5 3
6 21 23 98 60 25 5
5 17,5 19,17 81,67 50 20,83 4,17
Semua masyarakat di keempat desa ini sangat mendukung rencana pengembangan ekowisata HLGL, dengan harapan bahwa dengan adanya pengembangan di kawasan HLGL maka aksesibilitas menuju kawasan kiranya
64 akan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait sehingga dapat menjadikan aksesibilitas menjadi lebih baik dan lebih lancar. Masyarakat juga mengharapkan dengan adanya pengembangan dan HLGL ini dikelola dengan baik, ini bisa memberikan lapangan pekerjaan pada mereka sehingga masyarakat sekitar tidak lagi tergantung akan hasil alam yang ada di HLGL. Sebagian besar masyarakat disekitar HLGL ini dapat bersosialisasi dengan baik, ini dibuktikan dengan awal kunjungan penelitian yang langsung mendapat sambutan sangat baik dan ramah serta penggunaan bahasa mereka hanya sebahagian saja yang bisa memahami bahasa Indonesia dan bahasa setempat yaitu bahasa Paser sebesar 81,67% selain bahasa setempat yaitu bahasa Dayak (50%), dan Jawa (20,83%) dan bahasa lainnya (4,17%) hal ini menunjukkan telah terjadi asimilasi penduduk. 5.1.4.2 Persepsi Responden Persepsi responden adalah pengetahuan dan pandangan mereka terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. Persepsi responden dapat diketahui dari pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kawasan HLGL sebagai hutan lindung, pengetahuan terhadap tujuan wisata yang akan berkunjung ke kawasan HLGL, Pemahaman terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL, keinginan terlibat langsung dalam pengembangan dan keinginan berpartisipasi lebih aktif dimasa mendatang di sajikan pada tabel 10. Tabel 10 Persepsi responden terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL No. 1. 2.
Pemahaman dilestarikan Pengetahuan HLGL
Parameter kawasan HLGL tentang
status
perlu
kawasan
3.
Kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
4.
Pengetahuan tentang konflik yang terjadi di kawasan HLGL
a. b. a. b. c. a. b. c. a. b.
Kriteria Ya Tidak Ya Tidak tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak
Jumlah 93 27 90 27 3 85 23 12 87 33
(%) 77,5 22,5 75 22,5 25 70,83 19,17 10 72,5 27,5
Sebagian besar masyarakat yang menjadi responden (75%) memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang status kawasan HLGL. Hal ini berkat adanya berbagai kegiatan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh pihak
65 pengelola bekerjasama dengan pihak-pihak terkait lainnya terhadap masyarakat sekitar kawasan. Sedangkan bagi masyarakat yang belum mengetahui dengan baik tentang manfaat dan status kawasan hendaknya dapat diberikan penyuluhan yang intensif. Rata-rata masyarakat yang ada di sekitar kawasan HLGL setuju (77,5%) apabila HLGL dilestarikan dan dikembangkan sebagai obyek wisata alam minat khusus ekowisata. Melihat kondisi ini tentunya merupaka modal dasar yang baik bagi pengembangan ekowisata di masa mendatang karena adanya persetujuan dan dukungan tersebut. Responden yang tidak tahu (22,5) adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengerti tentang ekowisata dan kepentingannya bagi mereka dimasa mendatang. Pengetahuan tentang status kawasan HLGL 75% mengetahui, sedangkan 22,5% mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 25%; kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL 70,83% mengatakan setuju 19,17% mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 10%; pengetahuan tentang konflik yang terjadi di kawasan HLGL 72,5% mengetahui 27,5% mengatakan tidak mengetahui. Namun masyarakat yang setuju dan mendukung juga belum semuanya dapat memahami tentang ekowisata yang sesungguhnya.
Sebagian besar
beranggapan bahwa pengembangan ekowisata yang dimaksud seperti halnya wisata pada umumnya yang akan mendatangkan banyak wisatawan untuk sekali berkunjung.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan
kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan HLGL dapat dikatakan cukup baik, meskipun untuk pemahaman ekowisata itu sendiri belum dimengerti dengan baik.
Oleh karena itu, diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat
setempat mengenai ekowisata dan pengembangannya, agar masyarakat tidak salah persepsi.
Disamping itu, menurut mereka dengan adanya wisata alam minat
khusus ekowisata nantinya di dalam kawasan, masyarakat berharap pemerintah dapat membuka akses yang lebih baik menuju kawasan, utamanya jalan transportasi karena selama ini mereka merasa sangat kesulitan dalam melakukan dalam berbagai kegiatan guna menunjang kehidupan sehari-hari. Berdasarkan persepsi dari kelompok responden di atas, maka dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat di sekitar kawasan HLGL telah memiliki
66 keterbukaan pikiran dan wawasan untuk mengelolah suatu potensi di daerahnya yang bernilai ekonomi. Lebih dari itu, mereka telah memahami dampak dari beban lingkungan HLGL yang akan terjadi, jika kawasan ini telah mengalami pengelolaan dan bernilai jual. Hal mana akan menarik semakin banyak pengunjung, yang daripadanya dapat memberikan tekanan kepada pergeseran kelestarian
lingkungan setempat.
Dengan demikian, mereka memberikan
pernyataan sebagai suatu bentuk alasan, dalam rangka mencegah degradasi fungsi kawasan HLGL. 5.1.4.3 Partisipasi Responden Tingkat partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dapat terlihat dari tingkat pengetahuan masyarakat sekitar mengenai lokasi-lokasi obyek wisata yang potensial di dalam kawasan dan peluang pekerjaan sampingan masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan wisata di masa mendatang. Selain itu juga dapat dilihat partisipasi dan keinginan responden untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan dan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL pada tabel 10. Partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan HLGL meliputi kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan 81,67% mengatakan bersedia, sedangkan 12 mengatakan tidak bersedia dan hanya 8,33% mengatakan tidak tahu; memiliki pekerjaan lain berhubungan dengan kawasan HLGL (selain pekerjaan utama) 16,67% berhubungan 83,33% mengatakan tidak; letak lokasi usaha dagang 12,5% areal pintu masuk kawasan, 25% sekitar pemukiman penduduk. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa masyarakat yang mengetahui secara mendetail tempat-tempat yang menarik untuk di kunjungi di dalam kawasan HLGL, sebagian besar mengetahui namun ada yang beberapa tempat saja (20,83%), ada juga yang mengetahui dengan baik (70,83%); dan selebihnya (8,33%) tidak tahu.
67 Tabel 11 Partisipasi responden terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan HLGL No.
Parameter
Kriteria
Jumlah
(%)
1.
Berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan HLGL
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
98 12 10
81,67 10 8,33
2.
Memiliki pekerjaan lain yang berhubungan dengan kawasan HLGL selain pekerjaan utama Letak lokasi usaha dagang
a. Ya b. Tidak
20 100
16,67 83,33
a. Areal pintu masuk kawasan b. Sekitar pemukiman penduduk
15
12,5
30 85 25 10
25 70,83 20,83 8,33
3.
4.
Pengetahuan mendetail tentang tempat-tempat menarik untuk dikunjungi sekitar kawasan HLGL
a. Ya b. Beberapa saja c. Tidak
Masyarakat yang mengetahui dengan baik tempat-tempat yang bagus untuk di kunjungi, biasanya penduduk yang dulunya mempunyai pekerjaan sebagai perambah hutan, pemburuh atau penebang kayu. Oleh karena itu, mereka dapat dengan mudah menunjukkan daerah mana saja di sekitar kawasan yang memiliki keindahan atau keunikan, dan dijalur mana saja kita dapat bertemu atau menemukan jejak-jejak satwa liar yang banyak terdapat di dalam kawasan. Sedangkan responden yang tidak mengetahui tempat-tempat bagus untuk dikunjungi, biasanya terdiri dari masyarakat yang mempunyai pekerjaan seharihari disekitar pemukiman penduduk, seperti supir, tukang ojek, dan usaha dagang. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu peluang dalam pengembangan ekowisata di masa yang akan datang. Jenis usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitarnya antara lain menjadi pemandu wisatawan yang akan berkunjung.
Sedangkan partisipasi atau peran serta
masyarakat sekitar kawasan terhadap kegiatan ekowisata di kawasan HLGL, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (70,83%) mengetahui secara jelas lokasi yang menarik untuk dikunjungi. 5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden Sedangkan saran masyarakat desa yang berada di sekitar kawasan HLGL mereka berharap dapat bersama-sama menjaga kelestarian HLGL dan dengan
68 adanya pengembangan ekowisata, masyarakat akan mendapatkan lapangan pekerjaan sehingga tidak lagi tergantung dengan hasil hutan alam. 5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan Wilayah kawasan HLGL sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, kawasan Hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat adat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Secara tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan HLGL. Keseluruhan masyarakat tersebut sangat tergantung
pada
keberadaan
wilayah
Hutan
Gunung
Lumut
untuk
keberlangsungan hidupnya. Batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung seperti sungai Pias, sungai Tiwei, sungai Muluy, Kesungai (Saragih 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wahyuni el al. 2004). Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat.
Kebutuhan
protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal disekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya baik dari wilayah hutan lindung maupun dari hutan disekitarnya (hutan adat) seperti kayu bakar, perumahan, pangan (sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam didalam dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan
69 kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut. Pada umumnya masyarakat desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan HLGL bekerja dalam bidang pertanian dengan pengrelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al. 2004). Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL. Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada saat gagal panen), menjadi tukang ojek dan buruh.
Oleh karena itu dapat
diharapkan bahwa dalam pengembangan ekowisata ini dapat memberikan keuntungan pada ekonomi setempat di segala tingkatan dan meningkatkan kesempatan
kerja
bagi
masyarakat
setempat
serta
mambantu
dalam
mempertahankan budaya dan tradisi masyarakat dalam kawasan HLGL dan sekitarnya. 5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar Kawasan Umumnya desa yang berada di dalam kawasan HLGL dimana tatanan kehidupan masyarakatnya masih relatif belum banyak terpengaruh oleh budaya luar dimana beberapa tradisi yang telah mengakar secara turun temurun masih dapat ditemukan di Desa Swanslutung Dusun Muluy. Dalam tradisi masyarakat terdapat kearifan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan seperti kelembagaan dalam pengaturan pemanfaatan hutan dan sungai, pengelolaan sawah, kebun dan ladang serta pengaturan ruang. Desadesa dikelilingi pegunungan dan dilewati aliran sungai dengan airnya yang jernih menjadikan desa ini memiliki suasana yang nyaman dan pemandangan yang indah. Hutan di sekeliling desa masih menyimpan berbagai tumbuhan dan satwa yang memiliki peran sebagai sistem penyangga kehidupan dan menjadi sumber plasma nutfah yang penting untuk berbagai pemanfaatan dan sumber ilmu pengetahuan.
70 Upaya pengembangan HLGL sebagai salah satu obyek wisata tentu tidak terlepas dari kondisi aktual yang ada serta permasalahan internal maupun esternal. Berbagai penelitian dan kajian terhadap potensi kawasan HLGL telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk survei yang dilakukan dalam penelitian ini. Interpretasi yang diberikan terhadap kawasan HLGL adalah bahwa kawasan ini memiliki keunikan dan berpotensi sebagai obyek wisata yang menjanjikan. Meskipun demikian teridentifikasi pula permasalahan-permasalahan yang dapat menjadi hambatan upaya pengelolaan kawasan HLGL menjadi suatu obyek wisata yang tetap menjaga keasliannya. Sebab disadari bahwa untuk menjadikan kawasan HLGL sebagai suatu obyek wisata yang tetap menghindari kerusakan lingkungannya, maka berbagai hambatan harus ditekan serendah mungkin. Hambatan yang merupakan kekurangan itu adalah, relatif rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang mendiami daerah di sekitar kawasan HLGL. Dari data partisipasi sekolah masyarakat yang bermukim disekitar kawasan HLGL diperoleh bahwa tahun 2007 sebanyak 83,51% anak usia SLTA yang tidak sekolah, sedangkan anak usia SLTP sebanyak 18,01%. Kondisi pendidikan ini menjadi penting untuk dikaji dan dikomentari oleh karena demi keberlanjutan strategi pengembangan ekowisata HLGL dapat dijadikan sebagai kawasan obyek wisata, perlu disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan HLGL berkaitan dengan promosi, pelaksanaan dan partisipasi pengawasan penggunaan kawasan HLGL sebagai obyek wisata. Dalam mana mekanisme ini lebih dominan menggunakan sarana komunikasi tertulis.
Lebih dari itu, masyarakat setempat siap berhubungan dengan
masyarakat pengunjung dari
berbagai latar belakang dan budaya yang
mendatangi daerah tersebut. Kemudian tradisi berladang mayoritas masyarakat yang mendiami daerah sekitar kawasan HLGL, merupakan masyarakat petani ladang. Profesi sebagai petani ladang yang dijalani secara turun temurun, serta tingginya jumlah anak usia SLTA yang tidak sekolah, menjadi ancaman lain untuk perambahan hutan sebagai lahan berladang. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang mengancam keberlangsungan kelestarian hutan kawasan HLGL. Ketika potensi kawasan HLGL telah dikemas sebagai salah satu tujuan wisata dan memiliki daya
71 tarik serta mendatangkan banyak pengunjung, maka berbagai tuntutan kebutuhan alam setempat patut disediakan. Misalnya makanan alamiah dari hasil ladang yang dianggap relatif bebas dari cemaran kimia. Tuntutan ini tentu memancing perluasan ladang untuk menyediakan sumber bahan makanan yang lebih banyak guna memenuhi kebutuhan pengunjung. Perluasan Ladang, juga menjadi faktor yang rawan terjadinya kebakaran hutan. Minimnya sarana transportasi dalam pengembangan suatu kawasan hutan lindung sebagai
areal wisata, membutuhkan sarana transportasi yang patut
memadai. Sarana transportasi diperlukan untuk tiga tujuan utama, yakni mobilisasi pengunjung, mobilisasi aktivitas perekonomian masyarakat setempat dan kepentingan pengawasan yang menjangkau seluruh kawasan. Kondisi sarana transportasi pada daerah-daerah di sekitar kawasan HLGL masih sangat minim. Jalan raya yang menghubungi desa-desa berupa jalan pengerasan, tanah berbatu dan jalan setapak. Kendaraan angkutan umum, masih menggunakan jasa pengendara sepeda motor (ojek) dengan tarif yang mahal dan tidak menentu. Sebagian besar penduduk juga melakukan perjalanan dengan memilih berjalan kaki. Untuk penyeberangan sungai tersedia sarana berupa kapal (long boat/johnson) berpenumpang kapasitas rendah. 5.2 Potensi Permintaan Wisata 5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan HLGL Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) belum dikenalkan dan dipasarkan secara khusus sebagai objek wisata di Kabupaten Paser. Oleh karenanya, jumlah pengunjung masih terbatas, yaitu masyarakat lokal dan para peneliti dengan tujuan wisata alam sederhana, pendidikan dan penelitian. Pengambilan data pengunjung untuk mengetahui pasar potensial bagi berbagai potensi wisata dalam HLGL. Dilakukan di 5 kawasan wisata dengan 100 jumlah responden (Tabel 12).
72 Tabel 12 Kawasan wisata sejenis HLGL Lokasi
Σ Pengunjung
Balikpapan Kabupaten Kutai Kertanegara Kabupaten Paser Kabupaten Paser Samarinda Total =
35 50 15 0 0 100
Obyek Wisata Hutan Lindung Sungai Wain Wisata Alam Bukit Bangkirai Tahura Lati Petangis Air Terjun Doyam Turu Desa Budaya Pampang
Pengunjung potensial kawasan HLGL juga dapat dilihat dari kepadatan penduduk pada kabupaten-kabupaten di sekitar Kabupaten Paser dengan membagi luas wilayahnya dengan jumlah penduduk. Semakin besar kepadatan penduduk, maka semakin banyak jumlah pengunjung potensial yang mengunjungi HLGL. Asumsinya bahwa jarak tempuh masing-masing kabupaten dengan kawasan wisata relatif dekat. Pengunjung potensial memiliki karakteristik tertentu dan merupakan
gambaran
permintaan
wisata.
Karakteristik
pengunjung
ini
menggambarkan karakteristik pasar wisata beserta produk wisata yang diinginkan. Karakteristik pasar wisata ini dapat digunakan untuk menentukan produk wisata yang akan ditawarkan serta bagaimana penawaran produk wisata dan manajemen pemasarannya yang tepat. Potensi permintaan wisata ini berdasarkan penelitian sebelumnya (Puspitasari 2008). 5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata Strategi pengembangan ekowisata HLGL, sebagai status kawasan hutan lindung, dilakukan dengan didahului kegiatan pengumpulan sejumlah data atau informasi
dilakukan
dengan
menggunakan
analisis
SWOT
(Strenghts,
Weaknesses, Opportunities, dan Threats). 5.3.1 Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan suatu analisis kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan strategi suatu kegiatan.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan dan peluang suatu kegiatan, yang secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2006).
73 Dampak kegiatan ekowisata terhadap masyarakat lokal dan kawasan HLGL dapat dianalisa dengan analisis SWOT, dapat digolongkan kedalam faktor eksternal (peluang dan ancaman) atau dapat dikatakan dampak secara langsung. Sedangkan dampak secara tidak langsung digolongkan kedalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan). Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Dengan menggunakan matrik internal dan esternal, maka dapat diberikan bobot dan rating pada parameter yang telah ditentukan, sehingga akan diperoleh nilai (skor). Nilai ini yang akan memberikan arahan tentang prospek kedepan untuk pengembangan ekowisata guna memperoleh konsep strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) manajemen unit analisisnya adalah Hutan Lindung oleh Dinas Kehutanan. Gunung Lumut sebagai salah satu kawasan hutan lindung di Indonesia mempunyai fungsi pokok seperti yang tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi pokoknya dimana hutan lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah. Selanjutnya, Pasal 26 Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah pemanfaatan untuk wisata alam terutama minat khusus (ekowisata) yang harus dilakukan secara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan. Saat ini HLGL sementara diusulkan oleh Dinas Kehutanan untuk perubahan status menjadi taman nasional.
Namun sampai saat dilakukan
penelitian masih tetap dengan status hutan lindung yang tetap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 24 Kpts/UM/I/1983. Kebijakan pemerintah Kabupaten Paser untuk merubah HLGL menjadi Taman Nasional diharapkan akan
74 memberi dukungan yang signifikan dalam memanfaatkan potensi wisata di kawasan HLGL. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan lembaga pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten Paser. Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Paser dalam skala makro di semua bidang kerja Kabupaten Paser termasuk bidang kehutanan. Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk program perencanaan daerah (Propeda) dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten.
Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang
menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan tujuan untuk menciptakan kesinergian dan agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan masing-masing instansi. Wewenang Bappeda berdasarkan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda Kabupaten Paser adalah sebagai lembaga koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor (Nooryashini et. Al., 2004). Sebagai unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai tugas pokok untuk mengelola kawasan hutan lindung. Struktur organisasi pengelolaan HLGL sampai saat ini masih berada di bawah Dinas Kehutanan yang berkedudukan di Kabupaten Paser dan secara langsung ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan sebagian tugas bidang perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan teknis yang telah ditetapkan. Dengan demikian pelaksanaan yang menjaga dalam mengelola HLGL untuk jaga wananya hanya dua orang. Sementara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mempunyai tugas membuat program mempromosikan dan mengelola potensi ekowisata di kawasan HLGL serta budaya masyarakat lokal di sekitar HLGL. Dinas ini secara teknis juga mengkordinasikan
pengelolaannya
dengan
mendukung program pengembangan ekowisata.
berbagai
stakeholder
untuk
75 Selanjutnya stakeholder seperti litbang, perguruan tinggi dan LSM seperti TBI-Indonesia dan Cifor mendukung pengembangan program dalam aspek penelitian dan pengembangan serta pendanaan dan manajemen pengelolaan. Dengan demikian, program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dapat lebih tepat sasaran terutama bagi wisatawan manca negara. Personil yang ikut dilibatkan dalam jalinan kemitraan tersebut yang terkait dengan HLGL dalam menggali potensi sumberdaya hutan (SDH) di dalam HLGL untuk pengembangan sumberdaya masyarakat (SDM). Dinas kebudayaan dan pariwisata memberikan informasi kepada khalayak. Bappeda dalam hal perencanaan program untuk mendukung ekowisata. Lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang), Unmul, CIFOR dan TBI (Tropenbos International Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra kelembagaan untuk mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal penelitian, pengembangan, sosialisasi maupun dukungan pendaanaan dan manajemen. Berdasarkan uraian sebelumnya, faktor supply, demand, dan faktor penunjang maka faktor-faktor tersebut dapat di identifikasi dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata HLGL maka: a. Kekuatan (Strengths) 1. Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika karena Hutan Lindung Gunung Lumut mempunyai keanekaragaman hayati berupa lumut yang tidak dimiliki di tempat lain dan mempunyai keindahan yang sangat luar biasa. 2. Terjalinnya kerjasama dengan mitra seperti lembaga penelitian dan pengembangan
(Litbang),
Unmul,
CIFOR
dan
TBI
(Tropenbos
International Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra kelembagaan untuk mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal penelitian, pengembangan, sosialisasi maupun dukungan pendanaan dan manajemen. 3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung oleh peraturan perundangundangan di tingkat nasional seperti undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi alam hayati dan ekosistemnya; Undang-undang nomor
76 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian dijabarkan di dalam kebijakan pemerintah daerah yang dijabarkan oleh instansi terkait. b. Kelemahan (Weaknesses) 1. Jumlah dan kualitas SDM Belum memadai karena keterampilan masyarakat sekitarnya masih kurang sehingga pengendalian potensi belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. 2. Terbatasnya sumber dana karena alokasi baik dari pusat maupun di daerah belum ada karena masih dalam tahap perencanaan. 3. Sarana dan prasarana kurang memadai berupa ketersediaan fasilitas dan pelayanan yang belum ada/masih sangat minim (toilet, tempat sampah, papan penunjuk arah, tempat informasih, tempat parkir, hotel dan restoran). 4. Data dan informasi potensi belum bisa diakses, dimana masih sulit untuk memperoleh informasi secara detail mengenai potensi yang dimiliki HLGL untuk promosi wisata. c. Peluang (Opportunities) 1. Adanya dukungan masyarakat berupa pemahaman, persepsi dan keinginan untuk berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL serta dukungan stakeholders lainnya seperti Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, dan lembaga donor. 2. Peluang peningkatan PAD yang berasal dari pajak dan retribusi yang bersumber dari kegiatan ekowisata bagi pemerintah setempat. 3. Minat masyarakat sudah mulai ada. 4. Program Disbudpar Kabupaten Paser memperkenalkan budaya masyarakat lokal. 5. Kesediaan mitra untuk membantu dalam pemasaran melalui pameran, forum seminar dan melalui biro perjalanan wisata baik tingkat lokal, nasional dan internasional. d. Ancaman (Threats) 1. Degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik obyek wisata berkurang yang diakibatkan berbagai kegiatan manusia yang sifatnya negatif terhadap alam sekitarnya.
77 2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat, sehingga sumberdaya hutan menjadi tempat eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi dengan tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan ekowisata tersebut. 4. Aksesibilitas jalan menuju ke dalam lokasi kawasan HLGL masih sulit, karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang sebagian kurang baik. 5.3.2 Matriks Internal-Eksternal Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi pengembangan ekowisata dengan melihat kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari kekuatan dan peluang, sedangkan dampak negatif berasal dari ancaman dan kelemahan. Masing-masing faktor dinilai berdasarkan tingkat kepentingan (bobot) dan nilainya seperti dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Faktor Internal
Faktor Internal 1. Kekuatan Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan mitra Kebijakan Pemda terhadap Konservasi Jumlah 2. Kelemahan Jumlah dan Kualitas SDM belum memadai Terbatasnya sumber dana Sarana dan prasarana kurang memadai Data dan informasi potensi belum bisa di akses Jumlah Total Rata-rata
Bobot
Rating
Skor
0.20
4
0.80
0.15 0.12 0.47
3 3
0.45 0.36 1.61
0.15 0.12 0.12
-4 -4 -3
-0.60 -0.48 -0.36
0.14 0.53 1.00
-4
-0.56 -2.00 -0.39
Pada Tabel 13, terlihat bahwa faktor startegis internal yang merupakan kekuatan memiliki skor 1,61. Jika diamati dari berbagai faktor yang terdapat di dalamnya berupa tingginya nilai potensi ekologis dan estetika berupa lumut yang khas dan unik yang dimiliki oleh Hutan Lindung Gunung Lumut dengan memiliki skor tertinggi (0,80); terjalinnya kerjasama dengan mitra yaitu Litbang dalam
78 bentuk pengembangan gaharu dan ulin, Cifor dalam bentuk penelitian tentang pengayaan jenis rotan metodenya dengan menggunakan manajemen kolaboratif, Unmul dalam bentuk penelitian dan TBI dalam bentuk penelitian biodiversity Assesment memiliki skor (0,45); Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung oleh peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah Kabupaten Paser memiliki skor (0,36). Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika akan dapat mengembangan ekowisata pada kawasan HLGL saat ini dan dimasa mendatang, maka wisata yang dijadikan modal untuk dapat dikembangkan di kawasan tersebut adalah minat khusus ekowisata. Sedangkan faktor strategi internal yang merupakan kelemahan memiliki skor (-2,00) yang di dalamnya berupa Jumlah dan kualitas SDM belum memadai karena kurangnya ketrampilan masyarakat setempat dengan memiliki skor (-0,60); terbatasnya sumber dana dari daerah untuk pengembangan ekowisata untuk Gunung Lumut belum ada memiliki skor (-0,48) sarana dan prasarana kurang memadai karena kurangnya ketersediaan fasilitas dan pelayanan di kawasan HLGL tersebut memiliki skor (-0,36), dengan nilai tertinggi yaitu data dan informasi potensi belum bisa di akses dikarenakan sulit untuk memperoleh hasil yang telah ditemukan di dalam kawasan HLGL memiliki skor (-0,56). Tabel 14 Faktor Eksternal
Faktor Eksternal 1. Peluang Dukungan stakeholder Peluang peningkatan PAD Minat masyarakat sudah mulai ada Program Disbudpar Kabupaten Paser "memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, internasional Jumlah 2. Ancaman Degradasi kualitas obyek daya tarik wisata serta sumber daya pendukungnya Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah Aksesibilitas kurang Jumlah Total Rata-rata
Bobot
Rating
Skor
0.20 0.15 0.10
4 4 3
0.80 0.60 0.30
0.08
3
0.24
0.07 0.60
3
0.21 2.15
0.15
-3
-0.45
0.08
-2
-0.16
0.10 0.07 0.40 1.00
-3 -3
-0.30 -0.21 -1.12 1.03
79 Pada Tabel 14, faktor strategis eksternal yang merupakan peluang HLGL dalam pengembangan ekowisata memiliki skor (2,15). Peluang yang bisa diandalkan yaitu dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata berupa pemahaman, persepsi, dan keinginan untuk berpartisipasi dan keterkaitan stakeholder seperti Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Donor, dengan skor tertinggi (0,80); yang membuka peluang peningkatan PAD memiliki skor (0,60); Minat masyarakat sudah mulai ada, memiliki skor (0,30); Program Disbudpar "memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" yang masih kurang tergali memiliki skor (0,24); sedangkan kesediaan mitra untuk membantu dalam pemasaran ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut melalui forum seminar baik tingkat lokal, nasional, internasional memiliki skor (0,21). Sedangkan faktor strategi eksternal yang berupa ancaman memiliki skor (-1,12); skor tertinggi degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik wisata serta sumber daya pendukungnya yaitu memiliki skor (-0,45); krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat memiliki skor (-0,16); Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi dengan tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan ekowisata memiliki skor (-0,30); Aksesibilitas jalan menuju kedalam lokasi kawasan HLGL masih sulit, karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang sebagian kurang baik memiliki skor (0,21). Hal ini sangat mengancam upaya pengembangan karena obyek-obyek wisata yang dimiliki HLGL merupakan modal untuk pengembangan ekowisata. 5.3.3 Posisi Strategi pada Matriks Grand Strategi Strategi dapat diperoleh dengan menggunakan Matriks Grand Strategy. Nilai (skor) yang diperoleh dari matriks internal-eksternal digunakan untuk menentukan strategi HLGL dalam pengembangan ekowisata. Dalam analisis SWOT, teknik menentukan strategi adalah melalui strategi silang dari data keempat faktor tersebut yaitu seperti tercantum pada Tabel 15.
80 Tabel 15 Formulasi strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL Internal
Eksternal Peluang (Opportunities = O) 1. Dukungan Stakeholder 2. Peluang peningkatan PAD 3. Minat masyarakat sudah mulai ada 4. Program Disbudpar Kabupaten Paser ”memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009” 5. Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, dan internasional Ancaman (Threats = T) 1. Degradasi kualitas obyek daya tarik wisata serta sumber daya pendukungnya 2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat 3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah 4. Aksesibilitas kurang
Kekuatan (Strengths = S) 1. Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika 2. Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan mitra 3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi Strategi S-O
Kelemahan (Weaknesses = W) 1. Jumlah dan Kualitas SDM belum memadai 2. Terbatasnya sumber dana 3. Sarana dan prasarana kurang memadai 4. Data dan informasi potensi belum bisa diakses
Strategi S-T
Strategi W-T
Strategi W-O 1. Membangun kapasitas pengelolaan HLGL 2. Menjalin kerjasama dengan mitra
Strategi pengembangan ekowisata yang dimaksud dalam analisis SWOT adalah memanfaatkan peluang (opportunities) dari kegiatan pengembangan ekowisata terhadap masyarakat lokal, namun secara bersamaan juga dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) yang terdapat di dalamnya. Nilai penjumlahan faktor internal menunjukkan antara kekuatan (1,61) dan kelemahan (-2,00) yaitu dengan memiliki total rata-rata -0,39 (negatif), berarti faktor kelemahan lebih dominan dibandingkan faktor kekuatan yang dimiliki. Sedangkan nilai penjumlahan faktor eksternal antara peluang (2,15) dan ancaman (-1,12) dengan memiliki total rata-rata 1,03 (positif). Nilai ini berarti antara peluang dan ancaman, faktor yang paling dominan adalah peluang.
81 Jadi posisi ordinat berada pada (-0,39 ; 1,03), sehingga posisi strategi berada pada sel 3. Artinya meskipun memiliki kelemahan pada faktor internal namun masih mempunyai peluang untuk lebih maju dalam pengembangan dimasa yang akan datang (Gambar 20).
Berbagai Peluang
Sel 3
Kelemahan Internal
1,03
Sel 1
Kekuatan Internal
- 0,39
Sel 4
Sel 2 Berbagai Ancaman
Gambar 20 Posisi strategi untuk pengembangan ekowisata di HLGL berada pada sel 3 dalam Matriks Grand Strategy. Dalam matriks grand strategy Gambar 20 menunjukkan bahwa posisi strategi Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dalam pengembangan ekowisata berada pada sel 3 (turn around). Strategi turn around adalah mendukung strategi dengan orientasi putar haluan. Bentuk strategi yang diajukan untuk mengurangi kelemahan dan memperbanyak peluang adalah membangun kapasitas institusi agar kelembagaan pengelolaan HLGL menjadi terbentuk. Selanjutnya menjalin kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam aspek penelitian dan pengembangan serta memberikan dukungan pendanaan dan manajemen sehingga dapat meningkatkan pelayanan pengunjung untuk menjadikan wisata minat khusus ekowisata di kawasan HLGL dengan tetap menjaga keasliannya. Bentuk strategi yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang untuk menjadikan kawasan HLGL sebagai kawasan ekowisata adalah kesempatan dan
82 peluang otonomi daerah dan berbagai sarana pendukung (media promosi) serta dukungan masyarakat untuk mempublikasikan dan menyusun tata kelola organisasi pengelolaan didalam kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata. 5.3.4 Rekomendasi Grand Kawasan HLGL
Strategy
Pengembangan
Ekowisata
pada
Dari hasil analisis berdasarkan Matriks Grand Strategy yang diperoleh, maka dapat dibuat suatu rekomendasi Grand Strategy untuk pengembangan potensi HLGL sebagai obyek ekowisata. Rekomendasi tersebut berisi tujuan, misi, serta sasaran. a. Tujuan Terkelolanya potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat sekitar di kawasan HLGL guna mewujudkan pengembangan ekowisata saat ini dan di masa mendatang sehingga dapat memberikan manfaat baik yang menguntungkan dari segi ekonomi dan berkelanjutan dari segi ekologis, dengan jalinan kerjasama berbagai pihak (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan masyarakat sekitarnya serta pihak terkait lainnya). b. Misi 1. Memberikan pemahaman kepada stakeholder tentang konsep pengembangan ekowisata sehingga dapat diterapkan untuk mengelola obyek ekowisata yang ada di Kabupaten Paser khususnya dan Propinsi Kalimantan Timur pada umumnya, dengan mempertimbangkan upaya perlindungan sumberdaya alam, pengembangan dan peningkatan ekonomi serta pemberdayaan masyarakat sekitarnya secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan acuan untuk memberikan gambaran dan pedoman kepada stakeholder (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta pihak terkait lainnya) dalam rencana pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. c. Sasaran 1.
Melakukan usaha pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL yang berbasis pada kemitraan antara Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta
83 pihak terkait lainnya sehingga tercipta pengelolaan obyek wisata yang optimal serta memberikan pelayanan yang profesional kepada wisatawan. 2. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang profesional mengenai konsep ekowisata terutama kepada masyarakat sekitarnya melalui pelatihan dan bimbingan. 3.
Mendorong pengembangan infrastruktur dan penyediaan fasilitas serta peningkatan pelayanan sebagai kebutuhan dasar bagi wisatawan.
4.
Melakukan promosi mengenai kegiatan ekowisata di kawasan HLGL pada tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, guna mendorong tingkat kunjungan wisatawan dan investor kekawasan HLGL.
5.
Meningkatkan peran serta kelompok yang terlibat didalam kegiatan ekowisata dan ikut bertanggungjawab apabila terjadi perubahan-perubahan ekologi,
serta
mengambil
langkah-langkah
yang
tepat
untuk
menanganinya. 5.3.5
Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada Kawasan HLGL Berdasarkan hasil Analisis SWOT yang dibuat pada Tabel 13 Maka
diajukan suatu rekomendasi program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL adalah sebagai berikut: A. Kapasitas pengelolaan HLGL berupa: 1. Penataan kelembagaan dan organisasi. 2. Pengembangan sarana dan prasarana, meliputi ketersediaan fasilitas dan pelayanan, perbaikan aksesibilitas menuju lokasi dan lainnya yang terkait dengan pengembangan ekowisata dimasa mendatang. 3. Pengembangan penelitian, diutamakan dengan menjalin kerjasama dengan Pendidikan Tinggi dan institusi/organisasi yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan, sehingga data-data mengenai potensi yang dimiliki HLGL lebih banyak dan akurat. 4. Peningkatan
sumberdaya
manusia
(SDM)
dengan
memberikan
pembinaan/pelatihan kepada pihak pengelola dan masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan mengenai potensi obyek wisata, pelayanan wisatawan, perawatan terhadap
84 fasilitas dan infrastruktur yang ada agar kegiatan wisata di kawasan HLGL di masa mendatang dapat berjalan secara optimal dan berkelanjutan. 5. Perencanaan paket ekowisata berupa: 1. Wisata pengamatan satwa liar, merupakan jenis wisata utama yang dapat dikembangkan karena dikawasan HLGL terdapat beberapa jenis satwa langka dan endemik seperti Beruang madu, Owa Kelawot. 2. Wisata Panorama Alam, merupakan kegiatan mengamati dan menikmati indahnya panorama alam yang terdapat disepanjang perjalanan menuju dan di dalam kawasan HLGL.
Beberapa jenis
berupa pemandangan hamparan sawah dan perkampungan penduduk, hamparan pegunungan dan lainnya. 3. Wisata sungai merupakan wisata perjalanan melalui sungai yang merupakan salah satu alat untuk menuju kekawasan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengamati dan menikmati banyak hal yang dijumpai sepanjang perjalanan, baik keindahan alam beserta kehadiran berbagai jenis burung dan satwa lainnya yang berada disekitar sungai dengan segala kebiasaannya. 4. Wisata air terjun memiliki suasana yang alami dengan bentang alam yang unik untuk dilihat dan dinikmati. 5. Goa memiliki kekhasan di dalam masih banyak lagi peninggalan sejarah seperti tenggorak dan tulang belulang, dengan dihiasi oleh stalagtit dan stalagmit goa yang begitu indah. 6. Wisata pedesaan merupakan wisata perkampungan di sekitar kawasan dengan, mengamati, mempelajari, menikmati keidupan tradisional masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya yang sulit dijumpai di perkotaan. B.
Kerjasama dengan mitra seperti: 1. Mempromosikan keanekaragama flora dan fauna beserta keunikannya 2. Perlu program pengembangan wilayah antar dinas terkait (Dinas Pariwisata dan Budaya, Dinas PU, Dinas Perhubungan) 3. Perlunya kegiatan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat lokal untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan dan cendramata yang
85 diperlukan dalam mendukung kegitan ekowisata.
Pendidikan dan
pelatihan diperlukan pula untuk mengarahkan masyarakat lokal mengurangi ketergantungan hidup melalui hasil-hasil hutan, tetapi memiliki alternatif hidup yang lain. (Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Dinas Sosial) 4. Pelestarian potensi seni budaya lokal (Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan) 5. Membuka pintu bagi masuknya investor yang berinvestasi di bidang ekowisata. Untuk mendukung rekomendasi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL, maka dalam pengembangan ekowisata di kawasan HLGL, strategi penting yang memungkinkan dapat dilaksanakannya pembangunan ekowisata disini adalah melalui kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk melaksanakan program ini serta dikembangkannya fasilitas dan program-pragram pendampingan masyarakat. Adapun dalam hal tatanan operasional untuk mencapai arah pengembangan ekowisata di kawasan HLGL diperlukan strategi pengembangan terhadap faktor-faktor yang diperlukan dalam pengembangan ekowisata, yaitu: a. Peningkatan pertanian dalam arti luas sebagai salah satu daya tarik ekowisata. Hal ini baik dilakukan revitalisasi pertanian dan perkebunan yang telah ada maupun dengan pengembangan model usaha pertanian baru yang dapat meningkatkan ekonomi rakyat.
Adapun tujuan yang ingin di capai dari
strategi ini adalah terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat setempat. b. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu melalui pengembangan dan melestarikan pemanfaatan berbagai pengetahuan dan tradisi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Pemetaan dan pengaturan ruang kelolah masyarakat ke dalam kawasan hutan menjadi bagian penting dalam strategi ini. Tujuan yang ingin dicapai dari strategi ini adalah terjaminnya kelestarian obyek dan daya tarik wisata dan terpeliharanya fungsi hutan sebagai fungsi penyangga kehidupan. c. Pelestarian sistem sosial dan budaya sebagai suatu lembaga pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah diakui dan dihormati oleh
86 masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai adalah terbagunnya kelembagaan
pengelolaan ekowisata yang diakui oleh masyarakat dan dapat menyerap aspirasi masyarakat serta sebagai alat kontrol terhadap budaya global yang masuk. d. Penyiapkan masyarakat untuk menerima kunjungan, pembentukan lingkungan tempat tinggal yang sehat dan nyaman, sikap masyarakat terhadap pendatang, dan komunikasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah terbentuknya lingkungan wisata yang dapat memberikan kepuasan bagi pengunjung. e. Strategi pengembangan aksesibilitas meliputi: 1. Mengusahakan terwujudnya akses jalur wisata di kawasan HLGL dengan daerah lainnya, terutama dengan wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. 2. Meningkatkan akses antara daerah-daerah yang berada di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). 3. Menata sistem petunjuk jalan/rambu lalu lintas yang mempermudah para pengunjung untuk mencapai obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan HLGL. f. Strategi pengembangan sarana-prasarana untuk menunjang kegiatan minat khusus ekowisata meliputi: 1. Perencanaan kebutuhan prasarana wisata: jalan, jembatan, telepon disesuaikan dengan arah pengembangan obyek dan daya tarik wisata. 2. Pemenuhan kebutuhan prasarana ekowisata secara bertahap diusahakan pada obyek-obyek dan daya tarik wisata unggulan.