V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Manfaat Kegiatan Magang Kegiatan magang di LPPOM MUI selama 4 bulan (7 Februari - 7 Juni) pada divisi Sosialisasi dan Informasi LPPOM MUI. Kegiatan yang dilakukan antara lain: 1. Mengikuti pelatihan dan diskusi mengenai halal Pelatihan yang diadakan pada tanggal 24 Mei 2011 ini berupa pelatihan bagi calon auditor internal perusahaan yang ingin mempelajari ataupun menyusun manual halal. Pada pelatihan ini, penulis mempelajari mengenai peranan penting sistem jaminan halal dalam proses sertifikasi halal. Materi pelatihan berisi pemahaman dasar sistem jaminan halal, syarat menjadi auditor, identifikasi bahan baku dan proses, penentuan titik kritis kehalalan produk, pengambilan keputusan dan penilaian status halal suatu produk yang diproduksi. Penulis juga membuat rancangan manual halal (bagian hasil identifikasi titik kritis keharaman bahan dan tindakan pencegahannya) dengan kasus penerapan di industri yogurt (Lampiran 3). 2. Membuat media presentasi tentang halal Pembuatan slide presentasi halal berupa materi edukasi halal sejak dini bagi anak-anak usia TK dan pelajar SMP. Isi slide secara garis besar menerangkan tentang definisi halal, perintah halal dalam AlQuran, hikmah dibalik mengkonsumsi makanan halal, contoh sederhana bahan pangan halal, difinisi haram, hikmah dibalik mengkonsumsi zat haram, dan permainan tebak gambar hewan halalharam. Sementara itu, isi slide presentasi halal bagi masyarakat umum memiliki cakupan materi yang lebih luas lagi, yaitu peranan LPPOM MUI, gambaran sederhana proses sertifikasi halal dan tips memilih produk olahan yang berlogo halal. Contoh slide presentasi dengan sasaran anak-anak usia SMP dengan judul “Gaul Bersama Halal” dapat dilihat pada lampiran 4. 3. Pemahaman Titik Kritis Bahan pada Produk untuk Panduan Auditor Penulis mempelajari pembuatan matriks titik kritis dari berbagai bahan dan produk seperti antioksidan, asam sitrat, bahan anti gumpal, bakery mix, produk daging, pengemulsi, enzim, perisa (flavor), gelatin, kecap, minyak dan lemak, minyak esensial, oleoresin, monosodium glutamat, pati dan turunannya, pemanis, pengawet, pengembangan metode analisis halal, pengental dan penstabil, penyembelihan, pewarna, produk turunan protein, produk bioteknologi, ragi roti, ribotide, sanitasi peralatan, saos, susu dan turunannya, taurin, dan vitamin. Suplemen bacaan mengenai titik kritis bahan dan produk dapat membantu memberikan gambaran bagi penulis mengenai tugas audit yang akan dilakukan oleh auditor halal. Setiap topik bahan dan produk terdapat penjelasan mengenai deskripsi singkat, klasifikasi dan sumber, cara produksi, titik kritis, aplikasi dan standar approval. Selain itu, diuraikan pula mengenai pengembangan metode analisis pencemaran daging serta sanitasi dalam industri pangan. 4. Pembuatan artikel titik kritis keharaman masakan siap saji (Jepang dan Amerika) dan Klapertaart Langkah yang digunakan dalam pembuatan artikel ini adalah mempelajari bahan baku yang digunakan pada pembuatan masakan Jepang dan Klapertaart. Selain itu, penulis juga mempelajari proses produksi dari kedua makanan tersebut. Suplemen bahan bacaan titik kritis dari beberapa produk tersebut memberikan gambaran pembuatan artikel titik kritis sehingga selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun titik kritis masakan Jepang dan Klapertaart. Lampiran artikel yang terlampir dalam lampiran 5a-5c. 5. Melakukan survei produk pangan
19
Data yang dikumpulkan berupa jenis produk, merek produk, nama produsen, asal produk (dalam negeri/luar negeri), jenis izin edar (MD,ML,PIRT), jenis logo halal (MUI, LN), jenis sertifikat halal (MUI, LN), dan tanggal kadaluarsa. Lampiran formulir survei terlampir pada lampiran 6. 6. Melakukan persiapan dan partisipasi kegiatan yang diselenggarakan Divisi Sosialisasi dan Promosi LPPOM MUI a. Berpartisipasi dalam kegiatan Halal Food Goes to School yang merupakan program seminar halal dan kompetisi memasak di sekolah menengah atas se-kota Bogor. Kegiatan ini bertujuan untuk menjadikan generasi muda khususnya usia TK sampai SMU dan sederajat peduli halal dan selalu mengonsumsi makanan dan minuman yang halal. b. Berpartisipasi dalam kegiatan seminar sehari Horeca (Hotel, Restoran dan Catering) dengan tema “Ketersediaan Kuliner Halal dalam Menyukseskan Visit Indonesia 2011” pada tanggal 6 April 2011, Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta. Persiapan yang dilakukan berupa pembuatan daftar hotel, restoran, dan usaha catering. Penulis juga terlibat langsung sebagai pembawa acara (master of ceremony) pada seminar tersebut. Pembuatan daftar ini bertujuan sebagai referensi alamat dan gambaran usaha pangan yang ada di Jabodetabek dan kota-kota besar di pulau Jawa, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Daftar tersebut terdiri dari nama usaha pangan dan alamat usaha. Daftar ini digunakan untuk sosialisasi rumah makan, restoran dan catering dalam mengupayakan produksi pangan halal. Saat ini telah terkumpul sebanyak 1000 usaha pangan dengan rincian: 1.Jabodetabek: 600 nama dan alamat usaha pangan 2.Bandung: 200 nama dan alamat usaha pangan 3.Yogyakarta: 80 nama dan usaha pangan 4.Semarang: 80 nama dan usaha pangan 5.Surabaya: 80 nama dan usaha pangan Seminar tersebut dihadiri oleh Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, dan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Firmansyah Rahim, MM, turut hadir sebagai pembicara adalah Bapak Riyanto Sofjan selaku wakil ketua umum PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), Ketua umum APJI (Asosiasi Perusahaan Jasa boga Indonesia) RA. Hj. Ning Sudjito, ST. dan Ketua ASITA (Asosiasi Pengusaha Biro Perjalanan Wisata) Drs. Mahidin A. Desky, SH, MH. Seminar tersebut menyampaikan bahwa sertifikasi halal adalah jaminan dari kehalalan produk karena halal adalah salah satu kepuasan konsumen untuk konsumen terutama umat Islam. Perlunya edukasi tentang pangan, halal dan produksi halal. Salah satunya dengan sosialisasi halal dalam rangka meningkatkan kesadaran halal di masyarakat dan pelaku usaha, dalam hal ini pelaku usaha kuliner. Halal harus dimulai dari negara yang merupakan konsumen halal terbesar sehingga diharapkan Indonesia yang seharusnya menjadi pusat halal dunia. Permasalahan tentang pangan halal tidak hanya menjadi pemikiran lembaga tertentu saja melainkan seluruh lembaga yang terkait. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata menyampaikan kendati halal belum dapat dijadikan kewajiban karena Indonesia memiliki banyak agama dan keyakinan, namun saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa kehalalan tidak hanya aspek yang diperhatikan bagi wisatawan domestik tetapi juga bagi wisatawan mancanegara. Beberapa upaya yang dilakukan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata untuk menunjang kegiatan halal di Indonesia antara lain: a. Penyusunan standar usaha hotel b. Penyusunan standar usaha restoran c. Penyusunan standar usaha jasa boga
20
d. Penyusunan standar usaha jasa makanan dan minuman (rumah makan, café dan bar) (Keempat standar tersebut rencananya akan rampung tahun 2011) e. Penyusunan standar usaha lain yang memiliki fasilitas penyediaan makanan dan minuman dalam usahanya, dan f. Optimalisasi hubungan kementerian dengan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), APJI (Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia), ACPI (Association of Culinary Professionals Indonesia), dan IFBEC (Indonesian Food and Beverage Executive Association). 7. Berpartisipasi dalam kegiatan diskusi strategis menyambut kebijakan CAFTA (China – ASEAN Free Trade Area) pada tanggal 10 Mei 2011, Hotel Bidakara, Jakarta. Persiapan yang dilakukan berupa membantu administrasi surat dan keterlibatan langsung sebagai pembawa acara (master of ceremony). Seminar tersebut bertemakan 'Strategi dan Langkah Pemerintah dalam Menghadapi ACFTA. Selain dihadiri oleh Ketua Umum MUI, KH Amidan dan Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, turut hadir sebagai pembicara adalah Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Gusmadi Bustami, SH dan Dra. Kustantinah, Apt. M.App.Sc selaku Kepala BPOM. Seminar tersebut memaparkan bahwa di era perdagangan bebas semua produk ekspor dan impor era mengadapi banyak tantangan dan hambatan, termasuk produk halal. Sertifikasi Halal LPPOM MUI saat ini telah dinilai banyak negara sebagai sertifikasi yang “high level”. Sehingga dengan pengakuan tersebut jika produk-produk dibekali dengan sertifikat halal tentunya dapat bersaing tidak hanya dalam era perdagangan ACFTA melainkan juga perdagangan dunia. Dalam diskusi tersebut Direktur LPPOM MUI meminta produsen halal harus cermat dalam memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menyambut kebijakan ACFTA. Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Gusmadi Bustami mengatakan bahwa untuk dapat bersaing di ACFTA, pemerintah harus lebih kompak dengan LPPOM MUI. Pihaknya, dalam hal ini Kementrian Perdagangan mendukung kiprah LPPOM MUI dalam sertifikasi halal. 8. Berpartisipasi dalam kegiatan Indonesia Halal Expo (INDHEX) 2011 pada tanggal 24-26 Juni 2011. Secara umum, manfaat kegiatan praktik magang di LPPOM MUI, yaitu penulis dapat merasakan langsung bekerja pada suatu lembaga yang berhubungan dengan regulasi halal, mengetahui prosesproses kerja yang terdapat di divisi sosialisasi dan informasi LPPOM MUI. Proses kerja yang dimaksud adalah mengolah dan mencari informasi perkembangan halal dan kedisiplinan kerja. Selain itu, penulis juga dapat mengaplikasikan kemampuan praktik yang diperoleh di perkuliahan ke dunia kerja. Secara khusus, praktik magang di LPPOM MUI memberikan gambaran kepada penulis mengenai pentingnya keamanan pangan terutama aspek kehalalan dalam mengkonsumsi bahan pangan. Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia, tetapi juga menyangkut kepedulian individu (Saptarini 2005). Jaminan akan keamanan pangan adalah hak asasi konsumen karena pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dalam kehidupan manusia. Keterampilan berkomunikasi diperlukan untuk menyampaikan informasi produk halal dalam rangka mendukung upaya LPPOM MUI dalam menentramkan umat Islam. Dengan adanya edukasi halal yang terus-menerus dilakukan diharapkan target sasaran dapat memahami bagaimana cara memilih dan mengelola produk tersebut. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan kemampuan produsen pangan (UKM / IRT khususnya) dalam menghasilkan pangan yang lebih baik mutunya dan lebih aman untuk dikonsumsi atas dasar kesadarannya terhadap keamanan pangan, bagaimana meningkatkan kesadaran konsumen akan keamanan pangan sehingga mereka dapat
21
menggunakan haknya dalam m m memperoleh pangan yang lebih baik m mutunya dan leebih aman untuuk d dikonsumsi serrta bagaimana menyebarkan ppesan keamanaan pangan yangg tepat seluas mungkin m melallui b berbagai cara promosi p ke seluuruh negeri (Faardiaz 2004).
B. Hasil Pengkajian Topik B T Khussus B Penyem B.1 mbelihan da an Pengeluarran Darah (Exanguina ( asi/Bledding) Salah sattu syarat prosees penyembelihhan yang dilakkukan secara Islam, yaitu deengan memotonng jjalan pernafasaan (trakea), salluran pencernaaan (oesophagu us), dan pembuuluh darah (veena jugularis dan d a arteri carotis). Proses pengeluaran darah inni harus dilakukkan dengan seempurna dan daarah yang keluuar t tersebut harus segera dibersihhkan karena m menurut Ribot (22006), darah aadalah salah sattu media tumbuuh y yang baik bag gi mikroorganiisme. Hal ini dilakukan agaar kebersihan ddan sanitasi kaarkas yang akkan d dihasilkan tetaap terjaga. Anaatomi hewan ddarat dan saluraan yang harus diputus dalam m penyembelihhan s secara Islam diisajikan dalam Gambar 3.
Trachea Oeesophagus Arrteri carotids Veena jugularis
Gambar 3. Anatomi A hewann darat dan tigaa saluran yang harus diputus sesuai s penyem mbelihan secaraa Islam m (LPPOM MU UI 2011)
2 22
Sebanyak 60% dari total volume darah dapat dikeluarkan dari praktik penyembelihan yang baik, sementara itu, sebanyak 10% darah akan tertinggal di jaringan otot hewan dan 20-25 % darah berada pada organ hewan tersebut (Piske 1982; Hedrick et al. 1994; Swatland 2000 diacu dalam Roca 2002). Menurut Warris (1977) diacu dalam Roca (2002) bahwa efisiensi perdarahan dapat dianggap sebagai suatu persyaratan penting dalam penyembelihan untuk memperoleh produk daging berkualitas tinggi. Hikmah dari pengeluaran darah ini adalah meminimalisir kandungan hemoglobin yang tertinggal di dalam hewan ternak. Beberapa hasil penelitian tentang protein heme khususnya hemoglobin ini diketahui dapat meningkatkan produksi produk oksidasi lemak dalam tubuh. Hewan yang tidak disembelih atau hewan yang sakit menyebabkan darah tidak keluar secara sempurna. Darah banyak tertinggal dalam karkas, sehingga membuat daging berwarna gelap. Razali et al. (2007b) mengemukakan mengenai pendataan nilai biologis yang merupakan suatu cara yang penting untuk dapat membedakan daging yang berasal dari daging ayam bangkai yang berasal dari ayam lemas disembelih dan ayam yang telah mati beberapa waktu kemudian disembelih dan dibandingkan dnegan daging yang berasal dari hasil penyembelihan yang halal atau benar. Darah yang tertinggal pada pembuluh pada ayam dengan kondisi kesehatan yang tidak baik disajikan dalam Gambar 4.
Keterangan : (tanda panah) pada AHS (ayam sehat hidup disembelih) tidak mengalami kongesti darah sedangkan pada ALS (ayam lemas disembelih) dan AMS (ayam mati disembelih) dipenuhi oleh darah (bar) = 50 µm Gambar 4. Penampakan pembuluh darah arteri (atas) dan vena (bawah) (Razali et al. 2007b) Berdasarkan pengamatan terhadap sistem vaskular baik pada otot dada maupun pada otot paha AHS dapat dikatakan bahwa pembuluh darah arteri dan vena tampak kosong dari darah. Ini membuktikan bahwa sebagian besar darah telah keluar dari tubuh setelah proses pemotongan. Berbeda halnya dengan pembuluh darah arteri dan vena yang terdapat pada AMS dan ALS, sebagian besar rongganya dipenuhi oleh darah yang tertahan (Gambar 4). Retensi darah di dalam sistem sirkulasi menyebabkan gambaran pembuluh vena pada AMS dan ALS terlihat membengkak jika dibandingkan dengan pembuluh darah vena pada AHS, sedangkan pada ayam yang disembelih secara benar memperlihatkan pembuluh darah vena telah kosong sehingga tampak memipih (AHS bawah) (Razali et al. 2007b).
23
Adanya darah yang banyak tertinggal pada pembuluh vena dan arteri yang ditemukan pada hewan bangkai ini tidak baik bila dikonsumsi. Hal ini dikarenakan konsumsi darah telah diteliti dapat meningkatkan risiko timbulnya kanker. Protein-heme dalam bentuk hemoglobin (yang terdapat pada darah) lebih cepat menuju kolon dibandingkan dalam bentuk mioglobin (Pierre et al. 2004). Oleh karena itu, dari segi kesehatan, konsumsi daging bangkai yang selain mengandung mikroba dalam jumlah tinggi, daging bangkai juga mengandung darah yang dapat memicu timbulnya kanker. Adanya darah yang tertinggal diasumsikan dapat menyebabkan daging cepat membusuk, karena darah merupakan medium yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada hewan yang mengalami perlakukan yang buruk (stres atau sakit) sebelum disembelih, dagingnya akan memiliki kadar glikogen daging rendah dan asam laktat rendah. Kedua hal tersebut dapat menurunkan mutu daging, terutama karena pH, keempukan, dan aroma menjadi berkurang. Bakteri usus juga dapat memasuki jaringan daging melalui peredaran darah, sehingga daging terkontaminasi mikroba usus yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Girindra 2008). Menurut Ribot (2006) bakteri yang tidak diinginkan seperti patogen ataupun mikroba pembusuk mungkin dapat dengan mudah tumbuh dalam media darah. Faktanya darah memang seperti media dengan set nutrisi yang cukup baik atau mudah mengalami kontaminasi mikroba (Carretero dan Parês 2000). Darah dapat membawa bakteri patogen yang sebagian besar berasal dari saluran cerna (usus). Beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada sampel darah yang diambil dengan teknik pengaliran darah secara terbuka adalah Salmonella, Escherichia coli enteropatoghenic, Shigella dan Yersinia enterolitica (Ribot 2006). Menurut WHO (2011a) gejala infeksi Salmonella biasanya muncul 12-72 jam setelah infeksi. Gejala tersebut termasuk demam, sakit perut, diare, mual dan muntah. Gejala tertelan Yersinia adalah demam, sakit perut, dan diare yang sering berdarah (CDC 2005). Shigella adalah genus bakteri yang merupakan penyebab utama diare dan disentri darah (WHO 2011b). Berdasarkan kandungan mikroba yang mungkin ditemukan dalam produk darah, terlihat bahwa produk ini memiliki dampak peningkatan risiko terhadap kesehatan. Rata-rata dari jenis mikroba yang ditemukan merupakan mikroba yang berasal dari saluran cerna yang terbawa saat pengeluaran darah (bleeding) pada penyembelihan. Mikroba ini tergolong sebagai patogen, sehingga bila mengalami pengolahan yang tidak sesuai dan kemudian dikonsumsi, hal ini dapat menyebabkan penyakit. Metode penyembelihan yang diatur oleh syariat Islam terbukti memberikan hasil yang terbaik. Penyembelihan dalam Islam mengharuskan hewan dalam keadaan hidup dan tidak disiksa. Menurut Warris (2000) diacu dalam Adzitey (2011), hewan yang mengalami penanganan yang kasar sebelum penyembelihan akan tampak memar, bercak darah, cacat kulit dan patah tulang pada karkasnya. Adanya bercak darah mengakibatkan penampakan daging yang kurang baik dan dapat menjadi salah satu celah bagi mikroorganisme untuk tumbuh. Selain itu, dari segi keamanan batin, proses penyembelihan yang sempurna akan menghasilkan daging yang halal. Sedangkan, dari segi mutu daging, pengeluaran darah secara tuntas dapat menghasilkan daging yang bermutu baik, tidak mudah rusak dan tidak mudah busuk.
24
B.2 Kajian Daging Bangkai Pembahasan yang dilakukan dalam mengidentikasi hikmah keharaman daging bangkai adalah dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada daging yang berasal dari hewan mati dengan penyebab tertentu (stres dan penyakit). Landasan dasar hipotesis ini dikarenakan menurut Girindra (2008), yakni sebelum hewan disembelih harus diistirahatkan dan tidak boleh dibunuh secara kejam. Hewan yang cukup istirahat sebelum disembelih memberikan daging yang enak, tahan lama dalam penyimpanan dan mudah diproses lebih lanjut. Menurut Qardhawi (2005) definisi daging bangkai dirinci menjadi lima bagian, yaitu AlMunkhaniqah, Al-Mauqudzah, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah, dan Maa akalas sabu. AlMunkhaniqah adalah binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga binatang tersebut mati. Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya. Al-Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati, yaitu binatang yang jatuh dalam sumur. Sementara itu, An-Nathihah, yaitu binatang yang baku hantam antara satu dengan lain, sehingga mati. Daging bangkai dengan kategori Maa akalas sabu, yaitu binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati. Pengertian bangkai dalam Islam sebagaimana yang telah disebutkan, dapat memberikan gambaran bahwa hewan tersebut mengalami penderitaan sebelum mati. Penderitaan yang dialami hewan sebelum disembelih haruslah seminimal mungkin. Hal ini dikarenakan pengeluaran darah yang sempurna hanya akan terjadi jika kondisi hewan benar-benar sehat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keluarnya darah, diantaranya, kondisi kesehatan hewan, pemingsanan, dan penyembelihan (semakin lama jarak jarak antara pemingsanan dan penyembelihan maka semakin sedikit darah yang keluar), kerusakan medulla oblongata (otak) dan tidak cukupnya energi kontraksi dari otot (berdasarkan kandungan glikogen) (Girindra 2008). Kasus mengenai daging bangkai yang ditemukan di Indonesia, yakni mengenai penjualan ayam daging bangkai atau dikenal dengan ayam tiren (mati kemaren) di pasar tradisional. Kematian ayam dapat mencapai 10% dari kuantitas ayam yang siap dipotong tiap harinya (Nareswari 2006). Perbedaan karakteristik sensori karkas ayam normal dan karkas ayam bangkai (berasal dari hewan dengan kondisi kesehatan yang buruk) disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan kenampakan fisik antara ayam normal dan ayam bangkai Karakteristik Ayam Normal Ayam Bangkai Kaku, bulu kusan dan mudah Sebelum pemotongan Bergerak aktif, bulu tidak kusam lepas Sesudah pemotongan Darah keluar sempurna Darah tidak keluar sempurna Leher Bekas pemotongan tidak rata Bekas pemotongan rata Paruh dan jengger terlihat bersih dan Paruh terlihat lebam, jengger Kepala kering merah pucat dan basah Cerah, mengkilap, tanpa bercak Warna merah pucat, terdapat Dada darah, kenyal bercak Cerah, tidak ada luka memar dan Warna merah, terdapat memar Penggung bercak darah pada kulit pada kulit Hati berwarna merah kehitaman, Cerah tidak ada sisa darah pada hati Viscera (organ) terdapat sisa darah, usus terlihat maupun usus kebiruan (Bintoro et al. 2006)
25
Kajian daging bangkai dibatasi pada daging yang berasal dari hewan dengan kondisi kesehatan dan penanganan yang buruk sehingga mati sebelum disembelih dan merupakan daging yang memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan daging normal dari aspek warna dan bau. Penelitian yang dilakukan Razali et al. (2007a) ditujukan untuk mengumpulkan data biologis, yaitu warna CIE L*a*b* terhadap daging dada dan daging paha ayam sehat yang disembelih secara halal (AHS), yang berasal dari daging bangkai (AMS), dan yang berasal dari ayam lemah atau stres (ALS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecerahan (L *) daging dada yang berasal dari AHS lebih tinggi pada angka kecerahan (L *) daging dada AMS dan daging dada ALS. Hasil yang demikian memberikan suatu pertanda kepada konsumen bahwa gambaran kecerahan masih menjadi suatu indikator yang kadangkala sulit untuk dijadikan sebagai acuan untuk membedakan daging dada yang berasal dari ayam sehat dan ayam bangkai. Menurut Petracci et al. (2004), nilai kecerahan (L *) dapat digunakan sebagai suatu indikator kualitas daging dada ayam untuk menilai kejadian daging dengan karakteristik pale soft exudative (PSE) dan untuk tujuan pengolahan lebih lanjut. Walaupun demikian, kecerahan otot dada sangat bergantung pada sifat fungsional otot dan stres antemortem di samping usia dan spesies hewan. Nilai kecerahan (L* dan kemerahan (a*) yang terukur pada daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam dapat dijadikan suatu cara untuk membedakan antara daging ayam yang berasal dari daging bangkai atau bukan. Sementara itu, nilai kekuningan (b*) tidak dapat dijadikan pembeda antara daging dari ayam daging bangkai dan bukan dari daging bangkai. Perbedaan terhadap nilai warna pada daging ayam segar dan daging ayam bangkai diduga karena proses pengeluaran darah pada saat pemotongan ayam bangkai tidak sempurna, hampir tidak ada darah yang keluar dari tubuh. Darah menjadi beku dan terkumpul dalam otot ayam bangkai. Menurut Zhang et al (2005) daging yang memiliki pH tinggi akan memiliki nilai L (lightness), a, b, hue,dan chroma yang rendah dibandingkan dengan daging dengan pH normal. Nilai L,a, b, hue dan chroma yang rendah diartikan sebagai warna daging yang lebih gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Boulianne dan King (1998) yang menyatakan bahwa pada proses pengeluaran darah yang tidak sempurna saat pemotongan akan menghasilkan karkas yang mempunyai suatu penampilan karakteristik yang menunjukkan warna gelap. Boulianne dan King (1998) juga menyebutkan bahwa secara hipotesis, pendarahan akan mempengaruhi total konsentrasi pigmen akhir karena timbulnya mioglobin. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Eskin et al. (1990) yang menyatakan bahwa jika seekor unggas dengan kondisi jantung yang tidak normal (abnormal) disembelih, maka pengeluaran darah pada saat penyembelihan tidak akan berlangsung sempurna dan hal ini menyebabkan suatu peningkatan jumlah mioglobin sehingga akan menghasilkan karkas yang berwarna gelap. Gambaran nilai warna merupakan suatu cara yang ditempuh untuk dapat membedakan daging yang berasal dari ayam daging bangkai dan yang berasal dari hasil penyembelihan yang halal atau benar. Pembedaan nilai warna ini diharapkan konsumen dapat memiliki suatu penilaian tertentu terhadap daging ayam yang dibeli. Daging ayam bangkai (ayam tiren) berasal dari ayam yang telah mengalami kematian sebelum disembelih. Kematian ini dapat diakibatkan stress ataupun sakit. Hal ini mengakibatkan kadar glikogen rendah sehingga asam laktat yang terbentuk menjadi berkurang. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan glikogen habis, bakteri tetap tumbuh terus. Menurut Bintoro et al. (2006) total mikroba pada daging ayam bangkai lebih tinggi dibandingkan ayam normal. Hasil penelitian total mikroba pada daging ayam bangkai yang dibandingkan dengan daging ayam segar disajikan dalam Tabel 4.
26
Tabel 4. Rata-rata total mikroba pada daging ayam segar dan daging ayam bangkai Rata-rata total mikroba Standar SNI 3924: 2009 Sampel (kol/g) (TPC) kol/g Daging ayam segar 3.3 x 105 a Mentah: 1.0 x 106 Daging ayam bangkai 8.9 x 107 b *huruf ab pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01) Bintoro et al. 2006 Selain jumlah koloni bakteri yang dikemukakan di atas, di dalam daging bangkai juga dapat ditemukan bakteri C.botulinum. Menurut Tabbu (2000) bakteri Clostridium botulinum tipe C tersebar luas di alam, terutama di daerah yang padat peternakan ayam atau daerah yang banyak dihuni oleh unggas liar. Bakteri tersebut dapat tumbuh dengan baik di dalam saluran pencernaan ayam dan dapat digolongkan sebagai parasit obligat. Spora dari organisme tersebut biasanya ditemukan di dalam kandang dan lingkungan sekitar lokasi peternakan. Daging bangkai unggas dan larva lalat yang berasal dari bahan yang membusuk dapat mengandung toksin tersebut. Bakteri Clostridium botulinum tersebar luas di usus, maka daging bangkai ayam akan memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Akan tetapi, bakteri Clostridium botulinum tidak ditularkan secara horizontal dari ayam ke ayam. Botulisme telah dilaporkan dari berbagai negara pada ayam ataupun unggas liar. Botulisme dapat ditemukan pada ayam pedaging dan itik. Penyakit ini jarang ditemukan pada peternakan ayam komersial yang dikelola dengan manajemen yang baik. Di Indonesia, penyakit ini sangat jarang dilaporkan, namun hal ini mungkin karena diagnosisnya relatif sulit. Persebaran botulisme pada hewan dan manusia disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Botulisme pada hewan dan manusia Wilayah dengan frekuensi Tipe Target Sumber tertinggi Sayuran yang dikalengkan, A Manusia Amerika Serikat, Eropa, Jepang buah, daging, dan ikan Manusia, kuda, sapi, Daging (biasanya babi), B Amerika Serikat, Eropa domba makanan ternak Sapi, domba, kuda, Larva lalat, sayuran busuk, Amerika Utara, Amerika Selatan, C-α anjing, unggas, kurabangkai Afrika bagian Selatan, Australia kura D Sapi, kuda, unggas Bangkai Afrika bagian Selatan, Australia Amerika Serikat, Kanada, Jepang, E Manusia, ikan Ikan dan produk perikanan Eropa Utara, Rusia F Manusia Pasta hati (liver paste) Denmark G Manusia Tanah Argentina, Swiss Jones et al. (1997) Intoksikasi botulisme pada sapi berasal dari karkas yang terkontaminasi bahan pangan. Hewan berukuran kecil dan unggas membawa C.botulinum tipe D sebagai organisme yang terdapat secara alami pada saluran cerna dan jumlahnya meningkat saat hewan tersebut mati dan menjadi bangkai (Jones et al. 1997).
27
C Kajian Daging Ban ngkai Ikan dan Belalan ng C Kajian Daging Ban C.1 ngkai Ikan Ikan merrupakan bahann pangan yangg memiliki keeunggulan darii segi kandungan protein dan d llemak yang dipperlukan oleh tubuh. t Protein ikan menyediakan lebih kurrang 2/3 dari keebutuhan proteein h hewani yang diperlukan d man nusia. Kandunggan protein ikaan relatif besarr yaitu antara 15-25% tiap 100 g gram daging ikan. i Selain itu protein ikaan terdiri dari asam-asam aamino yang haampir semuannya d diperlukan oleh h manusia. Pro otein ikan banyyak mengandunng asam aminoo esensial dan kandungan k asaam a amino ini sang gat bervariasi tergantung t padda jenis ikan. Secara S umum kandungan asaam amino dalaam d daging ikan kaya akan lisin l tetapi kkurang akan kandungan trriptofan. Prottein ikan dappat d diklasifikasika an menjadi prootein miofibril,, sarkoplasma dan stroma. K Komposisi ketiiga jenis proteein p pada daging ik kan terdiri darii 65-75% mioffibril, 20-30% sarkoplasma, dan 1-3% strooma (Samsundaari 2 2007). Kandungan lemak padaa daging ikan bberwarna merah h lebih tinggi dari d pada daginng ikan berwarrna p putih, tetapi pada p daging ikkan berwarna merah kandunngan proteinnyya lebih sedikkit dibandingkkan d dengan ikan beerwarna putih. Lemak ikan banyak menganndung asam lem mak tidak jenuh dan jenis asaam l lemak tidak jeenuh yang paliing banyak addalah asam linoleat, linoleat dan arachidon nat. Ketiga jennis a asam lemak inii merupakan assam lemak essensial (Juniantto 2003). Beberapaa pendapat menngemukakan bahwa ikan tidaak memiliki 3 ssaluran sepertii hewan mamallia d darat yang wajib untuk diputuus saat disembbelih. Anatomi ikan disajikan dalam Gambaar 5.
Gam mbar 5. Anatom mi ikan m insang, kulit, dan ginnjal. Aliran darrah Pengangkkutan sisa metaabolisme pada ikan dibuang melalui ddari jantung keeluar melalui aorta a ventral m menuju insang. Tiap lembaraan insang terdiiri dari sepasanng f filamen, dan tiiap filamen meengandung bannyak lapisan tippis (lamela). B Bila ikan tidak berada b dalam air a m maka bagi ikann berarti mediaa perantara perrtukaran udaraa juga tidak adaa. Oleh karenaa itu, keadaan ini i d dianggap kecuukupan oksigennya menjaddi berkurang. Keadaan ini juga menyeb babkan gerakkan m membuka dan menutup tutupp insang semaakin cepat. Mennurut Ramadhani (2010), keadaan seperti ini i a akan menyebaabkan kematiaan pada ikan. Pada kondisi ini darah akaan bergerak daan berkumpul di i insang. Pada filam men terdapat pembuluh p daraah yang memilliki banyak kaapiler sehinggaa memungkinkkan t terjadinya difuusi udara. Olehh karena itu, P Praktik pembersihan ikan dari darah dan orggan dilakukan di d daerah sekitar kepala diangggap telah cukuup membersihkkan sebagian bbesar bagian dari d ikan. Prakttik p pembersihan ik kan yang umum m dilakukan diidaerah sekitar kepaladisajikaan dalam Gambbar 6.
2 28
Gambar 6. Peemotongan bag gian kepala ikann b bersaranng pada permuukaan tubuh, innsang dan di ddalam perut (E Eskin et al.19900). Semula bakteri K Kerusakan mikkrobiologis muulai intensif seetelah proses riigor-mortis seleesai. Akhir fasse rigor saat haasil p penguraian maakin banyak, kegiatan baktteri pembusukk mulai meninngkat. Aktivitaas bakteri dappat berbagai perubbahan biokimiia dan perubah m menyebabkan han fisik yang pada akhirnyaa menjurus paada k kerusakan secaara menyeluruuh yang disebuut sebagai kebbusukan (Eskin et al. 1990)). Bakteri yanng s semula hanya berada di inssang, isi perutt, dan kulit ikkan mulai massuk ke otot dan memecahkkan s senyawa-senya awa sumber en nergi seperti protein, p lemak,, dan karbohiddrat menjadi seenyawa-senyaw wa p pembusuk berrupa indol, skaatol, amonia, asam sulfida, dan lain-lain.. Kerusakan mikrobiologis m i ini m merupakan yan ng dianggap paling bertangggung jawab dalam d pembusuukan ikan, baiik segar maupuun o olahan. Tingkaat kerusakan ikan yang diseebabkan oleh bakteri b lebih pparah daripada kerusakan yanng d diakibatkan oleeh enzim (Gram m dan Dalgaarrd 2002). Aktivitass bakteri ini tidak hanya berrakibat pada keebusukan dagiing ikan namuun juga berakibbat t terhadap pemb bentukan senyaawa alergi, yaaitu histamin. Pembentukan P histamin dapaat terjadi melallui d cara,yaitu autolisis dan aktivitas baakteri. Jumlahh histamin yanng dihasilkan melalui dua m aktivittas e enzim selama proses autoliisis lebih renddah dibandingkkan dengan hhistamin yang dihasilkan olleh a aktivitas bakteeri selama prosses pembusukaan berlangsungg. Pada kondissi optimum jum mlah maksimuum h histamin yang dapat diprodu uksi melalui pproses autolisis tidak dapat melebihi 10-115 mg/100 graam d daging ikan (Kimata ( 1961)). Pembentukaan histamin berbeda b untukk setiap spesiees ikan, hal ini i t tergantung padda kandungan histidin, banyyaknya bakterri yang menunnjang pertumbu uhan dan reakksi m mikroba serta dipengaruhi d oleh temperatur lingkungan. Kasus keeracunan histaamin pertama kali disebabkan oleh ikann dari jenis scombridae dan d s scomberesocid dae (Poernomoo 2010). Ikan tuna, tenggiri,, tongkol, dan kembung term masuk ke dalaam j jenis ini, karen nanya histaminn sering pula disebut racun scombroid attau scombrotoxxin (Lehane dan d O Olley 1999). Kelompok K ikann ini memang dikenal memppunyai kandunngan asam amiino histidin yanng s sangat tinggi. Namun, N kemud dian ditemukann kandungan histamin h pada jeenis ikan lainnnya seperti sarddin a atau lemuru, pilchard p (sejennis sardin), marlin, m ekor ku uning bahkan salmon Austraalia. Kandunggan h histidin bebas yang tinggi paada daging ikann tuna yang meenyebabkan HF FP (Histamine Fish Poisoninng) b biasanya dapatt mencapai 10,000 mg/kg hisstidin bebas. Daging ikan yanng menyebabkaan HFP biasannya m mempunyai niilai pH 6 (Dalggaard et al. 20008). Histamin n dapat dihasilkan oleh bakteeri Lactobacilllus ( (Lehane dan Olley O 1999). Shhalaby (1996) m menyatakan beeberapa level kkeamanan toksiik histamin yanng t terkandung dallam produk peerikanan, yaitu pada konsentrrasi histamin < 5 mg/100 g dinyatakan d am man u untuk dikonsum msi, pada taraff 5 - 20 mg/1000 g (bisa tokssik ataupun tidak toksik), padda taraf 20 - 100 m mg/100 g (kemungkinan to oksik), dan padda taraf > 100 mg/100 g ((toksik dan tiddak aman untuuk
2 29
dikonsumsi). Pembentukan histamin dapat dihindari dengan tidak membiarkan ikan berada dalam suhu ruang terlalu lama sebelum diolah atau menyimpannya dalam suhu pendingin (Poernomo 2010). Asumsi berikutnya yang digunakan dalam meninjau hikmah dibalik kehalalan daging bangkai ikan adalah melalui kandungan hemoglobin yang tertinggal pada ikan yang tidak disembelih. Salah satu keutamaan yang terkandung dalam ikan adalah kandungan Hb yang rendah. Hasil penelitian Sakai et al. (2006) pada Tabel 6. menunjukkan bahwa pendarahan dapat mengurangi kandungan Hb dalam jaringan otot ikan dan penurunan ini berakibat terhadap penekanan terjadinya oksidasi lemak di jaringan otot ikan. Penurunan oksidasi pada jaringan lemak ini tampak pada produk hasil oksidasi yang dideteksi, yaitu malonaldehida (MA) dan hidroksiheksenal (HHE). Hasil juga menunjukkan tidak terdeteksinya produk oksidasi hidroksiheksenal pada ikan yang dikeluarkan darahnya pada proses pembersihan (Sakai et al. 2006). Hasil penelitian Sakai et al. (2006) menunjukkan kandungan Hb yang rendah pada daging ikan tuna yang disajikan pada Tabel 6 : Tabel 6. Analisis Hb dan produk oksidasinya pada daging tuna (skipjack) Perlakuan Hb (hari ke-0) Malonaldehida hari ke-0 Hidroksiheksenal (mg/g) (MA) (µmol/kg) hari ke-0 (HHE) (nmol/kg) Kontrol 1.01 ± 0.19 1.25 ± 0.20 0.20 ± 0.03 Dikeluarkan darahnya 0.07 ± 0.05 * 1.18 ± 0.24 Tidak terdeteksi (bleeding) *Berbeda nyata dengan kontrol pada taraf (p < 0,05) (Sakai et al. 2006) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu asumsi dasar bahwa daging bangkai ikan (mati segar) berada dalam kondisi dapat diterima dilihat dari kandungan Hb yang tertinggal pada daging (tanpa pembersihan) ataupun pada kemungkinan pembentukan produk oksidasi lemak yang dihasilkan dari Hb yang tertinggal pada jaringan tersebut. Perhitungan kasar mengenai kemungkinan kandungan heme yang terkandung pada darah ikan laut (tuna), ikan air tawar (ikan nila), dan hewan darat (sapi,ayam, domba) pada Tabel 7 menunjukkan bahwa spesies ikan (baik ikan laut amaupun ikan air tawar) memiliki kandungan Hb yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan Hb pada hewan darat. Data estimasi kandungan Hb pada hewan didasarkan pada total volume darah (ml/kg bobot) dan kandungan Hb (g/dl darah) yang besarnya dapat bervariasi tergantung pada bobot hewan yang dijadikan acuan. Tinjauan mengenai status kehalalan bangkai ikan menunjukkan bahwa kendati di dalam daging ikan (hewan tidak diwajibkan untuk disembelih) mengandung hemoglobin, namun jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan hewan darat seperti sapi ataupun domba (Tabel 7). Jensen (2001) juga mengemukakan bahwa hemoglobin ikan lebih sensitif terhadap autooksidasi dibandingkan dengan hemoglobin mamalia. Penelitian Aranda et al.(2009) mengemukakan bahwa hemoglobin pada ikan dapat mengautooksidasi dan melepaskan hemin 50 sampai 100 kali lipat lebih cepat dari hemoglobin sapi. Hal inilah yang menjadi dugaan bahwa hampir sebagian besar aktivitas hemoglobin yang terkandung dalam ikan akan menyebabkan kerusakan (oksidasi) lipid pada jaringan hewan tersebut berbeda dengan aktivitas hemoglobin sapi yang lebih lambat menyebabkan kerusakan (oksidasi) lipid pada jaringan hewan tersebut sehingga potensi hemoglobin sapi untuk terus beraktivitas (menyebabkan oksidasi lipid) akan tetap ada saat dikonsumsi manusia. Perbandingan kandungan Hb pada daging ikan dan hewan ternak disajikan dalam Tabel 7.
30
Tabel 7. Perbandingan kandungan Hb antara ikan dan hewan ternak lainnya Total volume darah Asumsi bobot Kandungan Hb Estimasi (ml/kg bobot) (kg/ekor) (g/dl darah) kandungan Hb (g/ekor) Ikan Tuna 46.7 ± 2.2 (Brill et al. 2 12.3 ± 0.09 maks. 11.5 1998) (Lowe et al. 2000) Ikan Nila Dianggap sama 0.8 5.05 - 8.33 (Salasia et maks. 3.1 dengan ikan tuna* al. 2001) Sapi 64 – 82 (Roca 2002) 100 9.02 - 10.14 maks. 831.5 (Shrikhande et al. 2008) Ayam 60 (Morton et al. 1.5 9 - 31 (Morton et al. maks. 27.9 1993) 1993) Domba 60 (Morton et al. 20 10-12 (Morton et al. 120 – 144 1993) 1993) * Data sulit ditemukan (Perhitungan estimasi kandungan Hb terlampir dalam Lampiran 7) Jenis Hewan
Selain kandungan hemoglobin, hal yang membedakan keutamaan ikan dibandingkan hewan darat adalah toksisitas histamin. Umumnya, kasus keracunan histamin terjadi pada sebagian kecil ikan, yaitu ikan yang mengandung histidin dalam jumlah tinggi seperti tuna, tongkol dan kembung. Selain itu, pada manusia tersedia sistem pertahanan tubuh terhadap toksik histamin yang dapat terdapat pada ikan. Hal ini dikarenakan secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan sebagai fungsi normal sistem tubuh. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun jika mengandung banyak histamin maka akan bersifat toksik (Poernomo 2010) . Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamin oksidase (DAO) dan Histamin Nmethyl transferase (HMT) yang akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et al. 2002). Menurut Nurlaila dan Hadi (2008), sel kanker memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan sel-sel normal dalam tubuh, yaitu sel kanker tak mengenal program kematian sel yang dikenal dengan nama apoptosis. Apoptosis sangat dibutuhkan untuk mengatur jumlah sel yang dibutuhkan dalam tubuh kita. Bila telah melewati masa hidupnya, sel-sel normal (nonkanker) akan mati dengan sendirinya tanpa ada efek peradangan (inflamasi). Sel kanker berbeda dengan karakteristik tersebut. Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstra seluler. Komunikasi ekstra seluler diperlukan untuk menjalin koordinasi antar sel sehingga mereka dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan tersebut dan tumbuh di atas jaringan lain. Sel kanker memiliki kemampuan yang baik dalam memperbanyak dirinya sendiri (proliferasi) meski seharusnya ia sudah tak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang seharusnya. Penyakit kanker merupakan penyakit yang timbul akibat adanya akumulasi atau penumpukan kerusakan-kerusakan sel tertentu dari tubuh. Adanya akumulasi kerusakan inilah yang juga menyebabkan gejala awal timbulnya kanker tidak mudah diamati dalam waktu singkat seperti halnya keracunan histamin yang gejalanya muncul setelah 2-8 jam mengkonsumsi produk ikan (Poernomo
31
2010) yang mengandung toksik tersebut. Perbedaan risiko antara akibat yang ditimbulkan dari hemoglobin yang diasosiasikan dengan risiko kanker dan histamin, terlihat bahwa pada kondisi tertentu (ikan yang mati dalam kondisi segar dan baik), diasumsikan keracunan histamin lebih rendah potensi bahayanya dibandingkan dengan keberadaan hemoglobin. Hemoglobin diketahui dapat menyebabkan luka pada sel dan berakibat pada peningkatan risiko timbulnya kanker (Pierre et al. 2004; Pierre et al 2006; Ishikawa et al.2010).
32
C.2 Kajian Daging Bangkai Belalang Terdapat dua jenis belalang yang umumnya dikonsumsi di pulau Jawa, Indonesia, yaitu belalang bertanduk pendek dan belalang beras. Belalang bertanduk pendek (Valanga nigricornis burmeister, atau dikenal dengan nama lokal belalang kayu) mudah ditemukan di perkebunan karet, persawahan dan perkebunan pohon jati pada akhir musim hujan. Sementara itu, belalang beras (Patanga succinta L., atau dikenal dengan nama lokal belalang Patanga) ditemukan di dataran rendah (0-600 meter), semak belukar, ladang jagung dan persawahan pada awal musim kemarau. Umumnya, penduduk yang bertempat tinggal di wilayah pegunungan ataupun dataran rendah, mengkonsumsi belalang sebagai lauk untuk memenuhi kebutuhan protein. Keistimewaan belalang terlihat dari kandungan gizinya. Belalang diteliti memiliki kandungan protein dan mineral yang cukup baik. Menurut penelitian yang dilakukan Lukitawati (1991), belalang merupakan spesies yang rendah lemak dan tinggi protein dibandingkan dengan daging sapi, domba, babi, atau ayam yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai gizi belalang (Patanga succineta L.) dan beberapa hewan ternak Protein Lemak Fe Ca P Energia a a a (%) (%) (mg) (mg) (mg) (Kkal) Sapi 15.8 b 24.3b 7.2 171 (*tanpa lemak) 150 20a Domba 14.6 b 30.5 b b Babi 13.0 33.3 b -tanpa lemak 14.1 35 2.1 8 151 376 -dengan lemak 11.9 45 1.8 7 117 475 Unggas 20.5 b 4.3 b 1.2 11 214 110 b b Patanga succineta L. 24.4 1.5 -ukuran besara 14.3 3.3 3 27.5 150.2 95.7 -ukuran kecila 20.6 6.1 5 35.2 238.4 152.9 Keterangan : a = per 100 g bobot; Nutrition Division (1978) dalam FAO (2010) b = Lukiwati (1991) dalam FAO (2010) Hewan
Penelitian Nnjida dan Isidahomen (2011) mengenai efek pemberian ransum belalang terhadap kelinci menunjukkan bahwa protein yang terkandung dalam ransum belalang mampu digunakan oleh kelinci dengan baik. Pengamatan terhadap organ internal (ginjal dan hati) pada kelinci menunjukkan bahwa ransum belalang tidak menyebabkan toksisitas saat mengkonsumsinya. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya pembengkakan organ selama mengkonsumsi ransum belalang. Pembengkakan organ dapat terjadi akibat beban kerja organ terlalu berat untuk mengelurkan toksik yang terkandung dalam darah, sehingga dapat dikatakan bahwa pembengkakan organ merupakan salah satu indikator toksisitas suatu zat. Belalang tidak memiliki hemoglobin di dalam darahnya. Transportasi oksigen di dalam tubuh belalang adalah fungsi sistem pernapasan dan dipisahkan dari sistem peredaran darah. Oleh karena itu, berdasarkan kandungan heme yang tidak ditemukan pada belalang, diasumsikan bahwa kecilnya resiko timbulnya kanker akibat konsumsi daging bangkai belalang. Keistimewaan lain dari belalang adalah belalang yang mati tidak mengalami pembusukan melainkan mengalami pelayuan dan mengering. Walaupun belum ada penelitian yang dapat menjelaskan hal ini, namun Glaser (1918) menemukan bahwa darah belalang merupakan substansi
33
istimewa yang dapat mengeliminasi keberadaan mikroba di dalamnya. Glaser (1918) juga mengemukakan bahwa darah belalang memiliki sistem imun yang baik sehingga dapat menunjang hidupnya. Hemosit pada serangga (termasuk belalang) memiliki kemampuan fagositosit, yakni kemampuan memakan bakteri dan berperan penting dalam pengeluaran sel atau jaringan yang mati (Borror et al. 1992) Beberapa keistimewaan belalang ini dapat di suatu hikmah bahwa belalang merupakan bahan pangan yang tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi kelinci secara in vivo. Kendati setiap makanan yang mengandung sedikit serangga dianggap tercemar dan tidak sehat bagi konsumsi manusia, namun bagi ribuan jenis hewan (termasuk beberapa primata), serangga merupakan barang utama dan tunggal untuk menu mereka. Hal ini berarti bahwa serangga (belalang) mempunyai nilai makanan yang penting (Borror et al. 1992).
34
D. Kajian Darah D D Pemanffaatan Dara D.1 ah Pemanfaaatan produk daarah tidak hanyya sebatas pad da produk prim mer yang dikonnsumsi langsunng sseperti marus ataupun sosiis darah. Berm mula pada tahhun 1970-an dan 1980-an, beberapa haasil p penelitian diteerbitkan untuk melaporkan aatribut menarikk (nilai gizi daan sifat fungsional) dari frakksi d darah. Hal yanng mendasari penelitian menggenai karakteristik sifat fungssional produk turunan t darah ini i a adalah ketersediaan limbah darah d yang tiddak termanfaatkkan dalam jum mlah banyak (Nakamura ( et al. a 1984; Reys et al. 1980) sertaa adanya kanduungan gizi yangg cukup baik ppada darah (Shaahidi et al. 19884; O Oekerman dan n Caldironi 19882). Pemanfaataan darah di berrbagai bidang disajikan d pada Gambar 7.
-
Pupuk Miineral enhancerr Prootein Plasma
-
-
Seerum darah : Albumin Globulin Fibrinogen
Pemanfaatan: Peng gemulsi Pensstabil Pem mbentuk Gel Peng gental
Paakan Ternak - Tepung Daraah - Suplemen
-
Laboratorium Mediaa Kultur (agar darah) - Bovvine serum albuumin (BSA untukk uji protein) -
-
Medis Trannfusi darah - D Darah ular (jamu)
Formulasi kosmetik
Pangan - Marus (darah beku) : Inndonesia - Lawar : Bali, B Indonesiaa - Dideh - Saren - Sosis Darrah - Puding Darah D - Sup darah beku (Canh tiết= =bahasa Vietnaam) - Kue Daraah Babi (Taiwaan) - Anggur Ular U (Vietnam)) Gambarr 7. Pohon indu ustri darah
Marus merupakan m prodduk darah yanng dipadatkan dengan penam mbahan garam m. Protein darrah t tersebut akan menggumpal dan direbus sehingga pennampakannnya menyerupai organ o hati sappi. S Sementara itu, terdapat sosiss yang bahan baku b utamanyaa dapat berasal dari darah. Prroduk ini dikennal p dengan seebutan sosis daarah (blood sauusages) (Marceello dan Robinsson 2004). pula
3 35
Kini, beberapa peneliti mulai mengkarakterisasi dan mengidentifikasi produk turunan darah yang dapat dimanfaatkan pada produk pangan. Darah bahkan telah diteliti mampu memberikan atau mensubsitusi suatu bahan agar memberikan sifat fungsional yang diinginkan pada produk. Perubahan darah menjadi produk turunannya ini perlu diwaspadai karena berasal dari substansi haram. Beberapa contoh sifat fungsional yang diteliti meliputi kapasitas emulsi, aktivitas emulsi, kestabilan buih, kemampuan membentuk buih (whippability) dan nilai PER (Protein Efficiency Ratio). Ironisnya, hingga saat ini masih sulit untuk membedakan produk turunan darah ini bila berperan sebagai bahan yang memiliki sifat fungsional (misal pengemulsi). Hasil riset mengenai produk turunan darah ini memberikan gambaran bahwa saat ini yang perlu diwaspadai dari produk emulsi daging adalah tidak hanya bahan baku yang digunakan melainkan bahan tambahan (aditif) yang ditambahkan ke dalamnya. Bentuk produk turunan darah seperti protein plasma darah ialah bentuk protein plasma yang serupa dengan protein plasma dari kedelai ataupun telur (Nakamura et al. 1984). Kendati belum dapat dibedakan dari segi penampakan ataupun sifat fisikokimia, namun, pasti terdapat perbedaan baik itu atom ataupun isotop dari protein plasma darah tersebut dengan protein plasma dari sumber yang halal.
36
D Evaluassi Nilai Biollogis Darah D.2 Marus (ddalam bahasa Indonesia) I adaalah darah cairr yang dibekukkan. Jika darahh yang mengaalir dditampung dallam sebuah wadah w kemudiian dibekukan beberapa saaat, maka daraah tersebut akkan m menjadi beku. Jika sudah meembeku maka darah d ini siap untuk u dimasakk, seperti halny ya hati dan lim mpa ( (Yaqub 2008)). Tindakan peengolahan darrah dengan tu ujuan konsumssi manusia inni didorong olleh k kebutuhan akann bahan pangaan dengan sifat--sifat tertentu yang y diinginkaan dengan hargga yang murah. Walaupun n terdapat kem miripan secara fisik antara marus m dan hati,, namun ternyaata juga terdappat p perbedaan anttara hati dan darah beku, yyaitu bentuk zat z besi (Fe) yyang dikandun ng pada produuk t tersebut. Bentuuk Fe pada baahan pangan teerdapat dalam tiga bentuk, yyaitu ferittin, hemosiderin, h d dan p protein heme (Torres ( et al. 1986). 1 Organ hhati menyimpaan Fe dalam beentuk ferittin (V Valenzuela et al. a 2 2009) yang biooavabilitasnya lebih rendah ddibanding Fe-hheme (Torres et al. 1986). Selain itu, menurrut V Valenzuela et al. (2009) haati memiliki total t Fe yang tinggi namunn kandungan Fe-heme F rendaah, s sebaliknya darrah mengandun ng total Fe dan Fe-heme yangg tinggi. Meskipunn belum ada penelitian p menggenai efek kessehatan dalam mengkonsumssi marus, namuun t telah banyak riset r serupa yang y dilakukann terhadap prooduk yang meengandung hem moglobin sepeerti d daging merah ataupun a sosis darah d (blood saausages). Conttoh produk darrah yang bered dar di masyarakkat d disajikan pada Gambar 8.
(aa) (b) Gam mbar 8. Produkk Darah Beku (a) ( Blood puddding atau Blackk Pudding (b) Marus M Kandungan hemoglobin baikk pada daging merah K m ataupun produk darah dapat berperann sebagai pemiicu g genotoksik hid droperoksida asam a lemak yyang berakibatt pada akumullasi kerusakan n DNA pada sel s k kolon. Hemoglobin juga dikketahui dapat m menginduksi proliferasi sel kkanker melaluii pelepasan RO OS ( (reactive oxygeen species) (Leee et al. 2006) Di beberaapa negara Eroopa Utara, massyarakatnya mengkonsumsi m ddarah dalam ju umlah besar. Hal H i ternyata daapat menyebabbkan terjangkittnya penyakit Haemosidrosis ini H s, penyakit yanng menyebabkkan f fungsi ginjal menurun, m karenna adanya daraah yang tidak tercerna t akibatt saluran-saluraannya tersumbat. S Selain itu, ketiika produk daraah telah sampaai ke dalam usuus manusia maaka akan terjaddi interaksi antaara p produk darah dengan d bakterii, parasit dan vvirus yang muungkin ada di ssaluran pencerrnaan. Reaksi ini i d dapat menimbu ulkan produksii gas amoniak yang beracun apabila terseraap ke dalam saaluran darah. Hal H i dapat meng ini gakibatkan penuurunan fungsi hati (Zaid 1997). Penelitiann Valenzuela et e al. (2009), yyaitu menganaii jejak radioisootop 55Fe yang ditemukan lebbih d 70% dari bagian besi beerada dalam beentuk hemogloobin darah dann sisanya 30% ditemukan paada dari
3 37
organ yang merupakan tempat penyimpanan Fe seperti hati, limpa, dan ginjal dan dalam molekul mioglobin dalam otot. Jejak isotop 55Fe ini membuktikan bahwa dalam darah terkandung Fe yang memiliki kemungkinan korelasi dengan keberadaan hemoglobin. Beberapa riset telah mengemukakan bahwa mengkonsumsi daging merah diasosiasikan dengan peningkatan risiko timbulnya kanker kolon (Ishikawa et al. 2010), kanker kolorektal (Cross et al. 2006; Bastide et al. 2011) kanker endometrial (Kallianpur et al. 2010), dan kanker payudara (Kallianpur et al. 2008). Hal ini terkait dengan tingkat konsumsi dan kandungan heme dalam daging merah (Pierre et al. 2004; Ishikawa et al. 2010; Bastide et al. 2011). Pierre et al. (2004) juga mengemukakan adanya kemiripan struktur antara mioglobin (hemoglobin yang terikat pada jaringan otot) dan hemoglobin. Bastide et al. (2011) menyebutkan adanya efek katalitik heme pada pembentukan komponen N-nitroso dan peroksida lemak yang berkontribusi terhadap perkembangan kanker kolorektal. Kanker kolorektal merupakan jenis kanker yang paling sering terjadi di seluruh dunia (Jenab 2010). Frekuensi kejadian timbulnya kanker kolorektal di dunia disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Peringkat kejadian kanker kolorektal di seluruh dunia Peringkat Negara Kejadian tiap 100,000 penduduk 1 Jerman 156.2 2 Hongaria 152.8 3 Jepang 151.2 4 Republik Ceko 149.8 5 Norwegia 144.1 6 New Zealand 138.2 7 Denmark 136.2 8 Itali 132.1 9 Swiss 129.4 10 Austria 128.6 International Agency for Research on Cancer (2008) Di Eropa, setiap tahunnya, sebanyak 400,000 orang didiagnosa terkena kanker ini dan sebanyak 212,000 orang diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Tabel 9 menunjukkan bahwa negara Jerman merupakan peringkat 1 atau jumlah terbanyak kejadian kanker kolorektal. Hal ini dinyatakan oleh Seltmann (2009) bahwa setiap tahunnya di Jerman terdapat 73,000 kasus timbulnya kanker tersebut dan sebanyak 40% penderita meninggal dalam waktu tidak lebih dari lima tahun setelah didiagnosis penyakit tersebut. Beberapa penyebab timbulnya kanker kolorektal adalah gaya hidup dan pola makan yang salah. Faktor yang mempengaruhi peningkatan kanker kolorektal dari segi pola makan adalah tingginya asupan makanan yang mengandung energi tinggi, alkohol, daging merah dan turunannya, serta kurangnya konsumsi serat, kalsium, susu dan bawang putih (Jenab 2010). Komponen pada daging yang diketahui dapat memicu peningkatan risiko kanker kolorektal adalah lemak, heme-besi, dan heterosiklik amin (Larsson et al. 2005). Penelitian yang dilakukan Pierre et al. (2004) dilakukan dalam kondisi asupan rendah kalsium. Hal ini dikarenakan menurut Bastide et al. (2011) mineral kalsium dapat mencegah sitotoksitas yang disebabkan heme (heme-induced cytotoxicity), mencegah hiperproliferasi epitel kolon dan mencegah timbulnya senyawa kimia penyebab karsinogenesis (chemically-induced carcinogenesis). Asupan kalsium sebesar 130 mmol/kg adalah konsentrasi terbaik untuk mencegah proliferasi sel kolon dan
38
mencegah pembentukan ACF (Abberant Crypt Foci) oleh heme. Penelitian Allam et al. (2010) mengemukakan konsumsi pangan yang mengandung 100 µmol/g garam kalsium karbonat dapat mengikat heme secara in vitro, mengurangi sitotoksisitas cairan fekal, mengurangi nilai TBARS dan tanpa menyebabkan efek samping terhadap peningkatan kanker kolon. Sosis darah diketahui mengandung komponen darah (heme-besi) sebagai salah satu bahan bakunya. Penelitian Larrson et al. (2005) mengemukakan bahwa wanita yang mengkonsumsi puding darah rata-rata dua kali dalam satu bulan memiliki peningkatan risiko kanker dibandingkan dengan wanita yang jarang atau tidak pernah mengkonsumsi puding darah (p< 0.05). Penelitian Valenzuela et al.(2009) mengenai keberadaan heme melalui jejak isotop, juga dapat membawa pada suatu gambaran efek pengkonsumsian produk darah yang memiliki kandungan heme lebih tinggi dibanding organ ataupun jaringan otot hewan terhadap peningkatan produksi produk oksidasi pada tubuh. Hasil penelitian inilah yang kemudian dijadikan dasar bahwa kandungan heme yang juga terdapat dalam darah akan berkontribusi terhadap peningkatan produksi peroksida lemak dalam tubuh. Gambar 9 menunjukkan bahwa mayoritas negara berpenduduk muslim memiliki kejadian kanker kolorektal (0.1 - 11,0 / 100,000 kejadian) lima kali lebih rendah dibandingkan negara Jerman (39.0 – 59.0 / 100,000 kejadian) yang merupakan negara dengan jumlah kejadian kanker kolorektal tertinggi di dunia (International Agency for Research on Cancer 2008). Pemetaan kejadian kanker kolorektal yang terjadi di seluruh dunia disajikan dalam Gambar 9.
Gambar 9. Pemetaan kejadian kanker kolorektal (pada pria) di seluruh dunia (GLOBOCAN 2002 dalam Mohr et al. 2005) Perbandingan jumlah kejadian kanker kolorektal di negara Jerman dan di Negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim dapat memberikan gambaran kasar mengenai pola makan yang diterapkan di negara tersebut. Negara Jerman merupakan salah satu negara yang mengkonsumsi produk darah, yaitu blutwurst (sosis darah) sementara bagi penduduk muslim, produk darah
39
merupakan zat yang diharamkan untuk dikonsumsi. Pembahasan mengenai kajian darah ini akan dibatasi pada interaksi protein-heme dalam bentuk produk hemoglobin (puding darah) yang berasal dari darah yang mengalir dan diharamkan dalam Islam, terhadap pembentukan produk oksidasi lemak pada jaringan hewan percobaan secara in vivo. Penelitian Pierre et al. (2004) menunjukkan efek heme terhadap produksi produk oksidasi lemak di cairan feses sebagai indicator awal terjadinya kanker kolon. Penelitian menggunakan 5 jenis ransum sebagai variabel, yaitu ransum kontrol, ransum daging ayam, ransum daging sapi, ransum hemoglobin, dan ransum black pudding. Penggunaan ransum daging ayam dimaksudkan untuk melihat perbedaan pengaruh heme yang terdapat pada daging putih (daging ayam) dengan daging merah (daging sapi), hemoglobin ataupun puding darah (black pudding). Menurut Bastide et al. (2011) kandungan heme yang terkandung pada daging merah (dalam bentuk mioglobin) 12 kali lebih besar dibandingkan kandungan heme pada daging putih. Sementara itu, ransum hemoglobin digunakan sebagai pembanding efek ransum hemoglobin yang terikat dalam jaringan (daging merah). Kedua ransum ini memiliki jumlah asupan heme yang sama, namun heme yang terdeteksi pada cairan feses tikus yang diberi ransum hemoglobin memiliki kandungan yang lebih tinggi dibandingkan yang diberi ransum daging merah. Hal ini menunjukkan Fe-Heme dalam bentuk hemoglobin mencapai kolon lebih baik dibanding Fe-Heme dalam bentuk mioglobin (daging merah). Tabel 10 menunjukkan efek ransum meat-based pada tikus setelah 77 hari setelah diinjeksi dengan azoksimetana. Senyawa azoksimetana merupakan senyawa oksidasi, dalam kasus ini, penggunaannya ditujukan untuk melihat hasil produk oksidasi yang dihasilkan oleh ransum secara cepat diamati dalam 77 hari. Penggunaan ransum kontrol dimaksudkan untuk melihat efek oksidasi tubuh dari ransum yang tidak diberi penambahan heme. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pH cairan fekal pada tikus yang terutama mengkonsumsi produk heme (daging sapi, hemoglobin dan black pudding). Peningkatan pH pada kolon ini tidak serta merta menggambarkan indikator terjadinya kanker. Kolon memiliki pH basa (sekitar pH 7.2), apabila kolon terlalu basa hal ini mengindikasikan banyak protein tidak terserap yang berasal dari heme (mioglobin; hemoglobin). Namun, kondisi terlalu basa pada kolon dapat mengindikasikan konsentrasi toksik dalam tubuh meningkat dan tersedianya energi untuk sel kanker. Tabel 10. Efek ransum meat-based pada tikus setelah 77 hari setelah diinjeksi dengan azoksimetana Ransum TBARS di Heme di cairan 1 Asupan heme Heme di cairan feses, pH cairan feses feses1 Feses1 MDAEq (µmol / hari) (µmol/gram) (µmol/L) (µmol/L) (pH) a a a a 0 0 40 ± 15 7.85 ± 0.03 a Kontrol 0 a a a a Daging ayam 0 0 0 69 ± 16 8.02 ± 0.03 b Daging Sapi 3.0 ± 0.4 b 0.5 ± 0.2 b 19 ± 7 b 138 ± 17 b 8.17 ± 0.03 c b c c b Hemoglobin 2.9 ± 0.4 0.9 ± 0.3 52 ± 47 195 ± 96 8.13 ± 0.03 c c d d c Black Pudding 87.0 ± 8.0 23.6 ± 8.6 1097 ± 484 975 ± 229 8.30 ± 0.06 d 1 Data yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma dan diuji melalui ANOVA (p<0,05) abcd Data pada kolom yang sama merupakan data berbeda nyata pada p < 0,05 (Pierre et al. 2004) Hasil penelitian Pierre et al. (2004) menunjukkan heme-protein dalam bentuk hemoglobin (ransum hemoglobin dan ransum puding darah) mencapai kolon lebih cepat dibanding protein-heme dalam bentuk mioglobin (ransum daging). Hal ini dapat dijadikan hikmah dibalik pengharaman darah yang mengalir. Ransum daging ayam memberikan kontribusi terhadap nilai TBARS pada cairan feses.
40
Hal ini diduga bukan akibat kandungan heme melainkan adanya kandungan asam arakidonat (ARA 1g/kg) dan niasin yang cukup tinggi pada daging ayam bila dibandingkan dengan keempat jenis ransum lainnya. Kandungan niasin pada diet daging ayam dapat mencapai 12 kali dari RDA (Recommended Daily Allowance). Penelitian menurut Morrow et al. (1992) kandungan niasin yang tinggi dapat menstimulasi pelepasan histamine dan sintesis prostalglandin. Sintesis prostalglandin ini yang kemudian menyebabkan terbentuknya TBARS pada cairan feses tikus yang diberi ransum daging ayam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pierre et al. (2004) menunjukkan bahwa pengukuran MDA pada sampel tikus yang diberi ransum puding darah (black pudding) atau tikus yang diberi ransum tinggi heme sebesar 975 (µmol/L) atau 7x lebih besar dibanding MDA sampel tikus yang diberi ransum daging sapi. Radikal bebas di dalam tubuh juga mempengaruhi kadar malonaldehida (MDA) yang dapat ditemukan di organ hati. Pengukuran kadar MDA (malonaldehida) dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif akibat peroksidasi lemak. Stress oksidatif yang tinggi menunjukkan bahwa kadar MDA (malonaldehida) juga tinggi. Larsson et al. (2005) menyebutkan konsentrasi heme-besi yang tinggi setelah mengkonsumsi puding darah meningkatkan produksi radikal bebas pada kolon dan rektum yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko kanker. Penelitian yang dilakukan Pierre et al. (2006) menunjukkan bahwa eksresi DHN-MA (Dihydroxynonane Mercapturic Acid) pada tikus percobaan meningkat seiring dengan pemberian ransum kaya heme. Efek ransum heme terhadap kandungan DHN-MA pada urin (Pierre et al. 2006) yang terlihat bahwa konsumsi daging merah yang ditambah dengan sosis darah menghasilkan produk DHN-MA yang paling tinggi diantara sampel-sampel disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Efek ransum heme terhadap kandungan DHN-MA pada urin Ransum Heme Fe (mg/hari) DHN-MA di urin (mg/hari) (ng/24jam) Daging merah (60g/hari) 55.0 9.9 1,719 Daging merah (120g/hari) 110.0 11.2 1,974 Daging merah + pasta hati (liver pate) (50g) 80.0 17.7 1,957 Daging merah + sosis darah (70g) 205.0 17.7 4,147 Daging merah + Fe inorganik 55.0 44.9 1,726 (Pierre et al. 2006) Produksi DHN-MA diasosiasikan dengan timbulnya perosidasi lemak dalam tubuh misalnya 4hidroksinonenal. Senyawa 4-hidorksinonenal berikatan secara kovalen dengan sistein, histidin, dan lisin. Hemoglobin (pada sosis darah) dan mioglobin (daging merah) merupakan substansi yang kaya akan histidin. Senyawa 4-hidroksinonenal ini juga berikatan dengan residu histidin pada protein-heme yang dapat meningkatkan status oksidasi lemak. Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa variabel sosis darah sebesar 70 gram mengakibatkan peningkatan beban konsumsi heme menjadi dua kali lebih besar dibanding konsumsi daging merah saja. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Pierre et al. (2004) bahwa protein-heme dalam bentuk hemoglobin (yang terdapat pada darah) lebih cepat menuju kolon dibandingkan dalam bentuk mioglobin. Efek pembentukan DHN-MA oleh ransum daging merah yang ditambah dengan sosis darah juga menunjukkan produksi DHN-MA yang paling tinggi dibanding keempat ransum lainnya. Produk ini juga merupakan agen sitotoksik dan genotoksik. DHN-MA ini merupakan tanda (marker) bila terjadi stres oksidatif melalui perubahan fungsi sel dan pembentukan pencantelan eksosiklik DNA (Pierre et al. 2006; Cross et al. 2006).
41
D.3 Mekanisme Heme Studi yang dilakukan pada tikus percobaan menunjukan bahwa pemberian protein heme menimbulkan luka (preneoplastic lesion) di kolon (usus besar). Luka ini diduga akibat adanya reaksi oksidasi dalam kolon. Penelitian yang dilakukan Ishikawa et al. (2010) bertujuan untuk meneliti pengaruh heme terhadap penyebab kerusakan DNA dan proliferasi sel epitel usus besar melalui pembentukan hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh heme oksigenase (HO). Pengkonsumsian daging merah dan sosis darah (makanan yang mengandung heme) berkorelasi terhadap pembentukan produk metabolit peroksida lemak. Mekanisme yang terjadi menurut Kapralov et al. (2009) adalah aktivitas peroksida hemoglobin (Hb) akan tersimpan dan terikat dengan haptoglobin (Hp) sehingga terbentuklah kompleks Hb-Hp melalui ikatan silang (cross linking). Kompleks Hb-Hp ini mengagregat dan menelan agen pereduksi seperti nitrat oksida dan askorbat. Makrofag sebagai sistem perlindungan tubuh akan menelan kompleks Hb-Hp ini. Hal ini akan berakibat pada aktivasi produksi superoksida dan menimbulkan stres oksidatif intraseluler (mendeplesikan glutathione endogen dan merangsang peroksidasi lipid). Penelanan kompleks Hb-Hp ini justru menyebabkan sitotoksisitas untuk makrofag. Mekanisme oleh Kapralov et al. (2009) menunjukkan bahwa dalam kondisi peradangan berat dan stres oksidatif menyebabkan pengagregatan aktivitas peroksidase kompleks HbHp sehingga dapat menyebabkan disfungsi makrofag dan vasokonstriksi mikrovaskuler yang sering terlihat penyakit hemolitik. Kemampuan redoks yang terdapat pada besi, dapat menjadikannya racun dalam tubuh bila zat besi hadir dalam jumlah yang berlebihan. Keberadaan zat besi dalam jumlah tinggi dan jika tidak terkontrol, dapatmenyebabkan kerusakan sel sebagai akibat dari peroksidasi lipid, oksidasi DNA, dan merusak protein (Chua et al 2010). Mekanisme pembentukan sel kanker pada usus besar yang diakibatkan dapat dilihat pada Gambar 10 (Chua et al. 2010) :
Heme-Fe
Heme-Fe
Gambar 10. Mekanisme pembentukan sel kanker pada usus besar (dimodifikasi) Darah yang merupakan protein terkonjugasi logam yang terdiri dari protein heme dan logam besi (Fe) yang merupakan bentuk Fe dengan keterserapan (bioavaibility) yang mudah diserap tubuh. Dalam jumlah yang berlebihan, kedua substansi ini merupakan spesies oksigen yang reaktif (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan DNA. Kerusakan DNA ini menyebabkan sel mengalami mutasi tingkat gen, yang merupakan tahap awal (inisiasi) terjadinya sel kanker. Sel yang mengalami mutasi
42
umumnya menekan kemampuan sel dalam berapoptosis akibatnya sel-sel yang bertahan ini terus mengalami mutasi dan membentuk koloni (membesar; mengagregat). Koloni sel kanker membutuhkan asupan nutrisi dari tubuh sehingga pembuluh darah yang berada di sekitarnya mulai terbentuk (angiogenesis).
43
E. Hasil Wawancara E.1 Analisa Tingkat Pengetahuan dan Kepedulian Halal Tingkat pengetahuan halal konsumen terhadap pangan halal dan thayyib responden dapat diketahui dari jawaban yang diberikan responden atas pertanyaan yang diajukan pada kuesioner, yaitu pertanyaan poin B nomor 1 sampai 5 (Lampiran 2). Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan halal meliputi pengertian halal dan produk-produk yang haram dalam Islam. Sementara pertanyaan untuk melihat kepedulian konsumen mencakup tentang pengetahuan tentang peraturan peredaran daging halal dan keperluan dalam pengawasan peredarannya terungkap pada pertnyaan bagian B nomor 4 sampai 5 (Lampiran 2). Hasil analisa tingkat pengetahuan dan kepedulian pedagang daging di Pasar Bogor terhadap pangan halal berada pada kategori baik (Lampiran 8). Hal yang mempengaruhi keadaan tersebut ialah factor budaya. Menurut Kotler dan Amstrong (2001), faktor budaya mempunyai pengaruh yang luas dan mendalam terhadap perilaku, mencakup budaya (kultur, sub budaya, dan kelas sosial). Budaya adalah susunan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari anggota suatu masyarakat dari keluarga dan institusi penting lainnya. Setiap perilaku konsumen dikendalikan oleh berbagai sistem nilai dan norma budaya yang berlaku pada suatu daerah. Dalam hal ini, pedagang daging berada di pasar umum yang merupakan pasar terbesar di kota Bogor dan kota Bogor merupakan daerah dengan penduduk muslim (BPS 2010). Responden menganut agama Islam yang merupakan syarat yang diajukan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara. Sebanyak 4 dari 9 responden mendapatkan nilai salah (nol) pada pertanyaan nomor 3 (Lampiran 2), yaitu mengenai hukum pencampuran barang haram dengan barang yang halal. Keempat responden tersebut memilih pilihan syubhat (meragukan). Hal ini kemudian dapat menjadi suatu masalah yang harus diwaspadai karena salah satu kasus yang dianggap peneliti berada dalam kategori tersebut adalah pencampuran daging sapi dan daging babi hutan. Hasil wawancara lepas menunjukkan responden yang menjawab bagian daging dan harga merupakan pertimbangan konsumen saat memilih daging di kiosnya. Sementara itu, terdapat variasi jawaban mengenai daging halal, diantaranya adalah daging yang berasal dari hewan yang disembelih sesuai dengan syariat Islam (menyebut nama Allah) dan tidak disiksa terlebih dahulu, daging yang diperoleh dari rumah pemotongan hewan (RPH), dan daging yang berasal dari hewan yang halal. Responden menjawab pembelian hewan hidup dan menyaksikan penyembelihan sebagai salah satu cara menjamin produk daging yang diperdagangkan. Selain itu, juga terdapat jawaban responden mengenai cara menjamin kehalalan produk dagingnya dengan membelinya langsung dari RPH. Rumah Pemotongan Hewan termasuk ke dalam salah satu jawaban yang diutarakan oleh responden baik untuk pertanyaan mengenai daging halal dan cara menjaminnya. RPH menjadi tempat yang dipercaya oleh responden dalam hal penyediaan daging untuk dijual bebas. Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu unit usaha yang sangat penting dalam menjaga kehalalan pangan yang beredar di masyarakat. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan teknologi, banyak sekali RPH yang memanfaatkan peralatan modern dalam pelaksanaan proses penyembelihan hewan, sehingga muncul beragam model penyembelihan dan penanganan yang menimbulkan pertanyaan terkait dengan kesesuaian pelaksanaan penyembelihan tersebut dengan hukum Islam. Pada proses penanganan di dalam RPH terdapat salah satu tahap yang cukup kritis ditinjau dari segi kehalalan, yaitu proses penyembelihan hewan. Proses tersebut sangat menentukan halal atau tidaknya daging atau bagian lain dari hewan (lemak, tulang, jeroan, dan lainnya) yang dihasilkan (LPPOM MUI 2011).
44
Hasil wawancara mengenai cara untuk mengetahui daging sapi yang dioplos dengan daging babi hutan, terdapat variasi jawaban yang dikemukakan oleh responden, yaitu warna daging babi hutan lebih pucat dan permukaannya lebih mengkilap dibandingkan dengan daging sapi. Sebanyak 2 dari 9 responden mengaku tidak tahu perbedaan antara daging babi hutan dan daging sapi. Hal ini dikarenakan kejadian pemalsuan daging sapi dengan daging babi hutan belum pernah ditemukan dan belum pernah terjadi di pasar Bogor. Menurut (Wahid 2007) daging babi memiliki warna merah pucat dengan lemak yang lunak dan mudah mencair pada suhu ruang, serta berwarna putih jernih. Hal ini sedikit berbeda dengan daging babi hutan atau celeng yang memiliki tekstur lebih kasar dan warna lebih gelap, sehingga sepintas lalu daging celeng mirip dengan daging sapi. Namun, daging celeng masih memiliki aroma bau khas babi yang kuat yang dapat digunakan konsumen untuk mengidentifikasinya. Menurut Marchiori dan Felicio (2003) menyebutkan bahwa daging babi hutan memiliki warna lebih merah dan lebih gelap dibandingkan dengan daging babi (p<0.05). Gambaran sementara dari jawaban yang dikemukakan oleh responden menyebabkan peneliti berasumsi bahwa responden tidak mengetahui cirri daging sapi yang dipalsukan dengan daging babi hutan. Hal ini dikarenakan ciri visual yang dikemukan berbeda dengan literatur. Rata-rata responden telah berjualan daging sejak tahun 1970-an dan 1980-an namun tidak menjadi jaminan bahwa tingkat pengetahuan dan pengalaman mengenai daging sapi dapat pula diterapkan dalam membedakan daging babi hutan. Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan ialah perbaikan sistem pasar dengan mengelola sistem satu pintu bagi barang daging yang masuk atau yang diperjualbelikan, pengawasan secara berkala, pelaksanaan inspeksi mendadak, penyebarluasan informasi daging halal, dan motivasi dari pedagang daging itu sendiri untuk secara jujur menyediakan daging yang halal bagi masyarakat.
45