V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Rencana Pengembangan
5.1.1 Aspek Legal Aspek legal merupakan aspek yang dianalisis untuk menghasilkan batas kawasan perencanaan pengembangan riverfront city. Dalam hal ini, ada beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah Kota Jambi yang ditinjau untuk menentukan batas kawasan perencanaan pengembangan tersebut yang terkait masalah sungai dan garis sempadan sungai (GSS). A. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai pasal 5: 1) Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan dengan batas lahan sekurang-kurangnya 5 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul 2) Garis
sempadan
sungai
tidak
bertanggul
ditetapkan
berdasarkan
pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat yang berwenang 3) Garis sempadan sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul yang berada di wilayah perkotaan dan sepanjang jalan ditetapkan tersendiri oleh pejabat yang berwenang Ilustrasi PP No.35 Tahun 1991 tentang sungai pasal 5 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 GSS menurut PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai pasal 5
B. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW pasal 56 ayat 2 huruf B: 1) Daratan tepi sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 meter dari kaki tanggul sebelah luar 2) Daratan tepian sungai besar tidak bertanggul sebelah luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 meter dari tepian sungai
38
3) Daratan sepanjang anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan pemukiman dengan lebar paling sedikit 50 meter dari tepi sungai Ilustrasi PP No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN pasal 56 dapat dilihat pada Gambar 8-10.
Gambar 8 GSS menurut PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN pasal 56 ayat 2 huruf B (1)
Gambar 9 GSS menurut PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN pasal 56 ayat 2 huruf B (2)
Gambar 10 GSS menurut PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN pasal 56 ayat 2 huruf B (3)
C. Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 16 mengenai kriteria sempadan sungai 1) Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar permukiman
39
2) Untuk kawasan permukiman di luar sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk jalan inspeksi antara 10-15 meter Ilustrasi Kepres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 16 dapat dilihat pada Gambar 11-12.
Gambar 11 GSS menurut Kepres RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung pasal 16 (1)
Gambar 12 GSS menurut Kepres RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung pasal 16 (2)
D. Peraturan Menteri PU Nomor 63/PRT/1993 1) Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 5 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul 2) Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul Ilustrasi Permen PU No. 63/PRT/1993 dapat dilihat pada Gambar 13-14.
Gambar 13 GSS menurut Peraturan Menteri PU Nomor 63/PRT/1993 (1)
40
Gambar 14 GSS menurut Peraturan Menteri PU Nomor 63/PRT/1993 (2)
E. RTRW Kota Jambi 2010-2030 a) Garis sempadan Sungai Batanghari yang bertanggul ditetapkan sekurangkurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul b) Garis sempadan Sungai Batanghari tidak bertanggul ditetapkan sekurangkurangnya 100 meter dari tepian sungai Ilustrasi PP No.35 Tahun 1991 tentang sungai pasal 5 dapat dilihat pada Gambar 15-16.
Gambar 15 GSS menurut RTRW Kota Jambi 2010-2030 (1)
Gambar 16 GSS menurut RTRW Kota Jambi 2010-2030 (2)
41
Ditinjau dari aspek legal, GSS Batanghari berdasarkan RTRW Kota Jambi tahun 2010-2030 untuk GSS Batanghari tidak bertanggul mengacu pada adalah PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN pasal 56 ayat 2 dan Kepres RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 16. Sedangkan untuk GSS bertanggul mengacu pada Peraturan Menteri PU Nomor 63/PRT/1993. Dan dari hasil pengematan lapangan didapati bangunan yang tidak sesuai RTRW Kota Jambi yaitu adanya mall dan hotel yang fisik bangunannya hingga ke badan air sungai. Pada beberapa kawasan seperti Legok, Buluran Kenali dan Sijinjang didapati tepi sungai yang mengalami erosi tebing.GSS Batanghari bertanggul dan tidak bertanggul disajikan pada Gambar 17. Berdasarkan RTRW Kota Jambi tahun 2010-2030 hanya ada satu segmen yang memenuhi GSS tidak bertanggul yaitu Kelurahan Teluk Kenali (segmen 2). Sedangkan yang memenuhi GSS bertanggul yaitu pada Kelurahan Tengah, Jelmu, Mudung Laut, dan Arab Melayu (segmen 3), serta Tanjung Johor (segmen 4). Kondisi aktual di tiap segmen dari aspek legal dapat dilihat pada Tabel 11.
42
Segmen
Tabel 11 Kondisi aktual tiap segmen berdasarkan aspek legal RTRW Kota Jambi Tahun 2010-2030 Kelurahan
GSS Batanghari Bertanggul ( 3 m)
GSS Batanghari Tidak Bertanggul ( 100 m)
Kondisi Aktual
Tidak memenuhi
Jarak pemukiman penduduk bervariasi dari 10-50 m dari tepi sungai. Sempadan sungai dimanfaatkan penduduk setempat sebagai lahan berkebun, dan tempat melepaskan ternak seperti kambing dan ayam. Tepi sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk membuang/membakar sampah rumah tangga
2
Pasir Panjang, Tanjung Pasir, Tanjung Raden, Olak Kemang, dan Ulu Gedong
Tidak memenuhi
• Pasir Panjang, sepanjang sempadan pada daerah ini digunakan industri sawmill sekitar 500 m. Industri sawmill dimulai dari tepi sungai dengan lebar sekitar 20m. Sempadan sungai juga digunakan sebagai rumah penduduk dengan jarak 1-5 m dari tepi sungai, akses menuju jamban dan ada juga yang digunakan sebagai lapangan olahraga. • Tanjung Raden, Tanjung Pasir, Olak Kemang dan Ulu Gedong jarak pemukiman penduduk bervariasi dari 5 -50 m dari tepi sungai. Sempadan sungai dimanfaatkan penduduk setempat sebagai lahan berkebun, akses menuju jamban dan terminal ketek, dan tempat perbaikan perahu. Tepi sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk membuang/membakar sampah rumah tangga
2
Teluk Kenali
Memenuhi
1
Penyengat Rendah
2
Buluran Kenali dan Legok
3
Arab Melayu, Jelmu, Mudung Laut dan Tengah
3
Tahtul Yaman
Tidak memenuhi
Teluk Kenali memenuhi aspek legal karena jarak pemukiman penduduk lebih dari 100 m dari tepi sungai. Sempadan masih alami hanya ditumbuhi rumput dan semak-semak • Buluran Kenali, sempadan pada daerah ini digunakan sebagai rumah penduduk dimana jaraknya 3-20 m dari tepi sungai, akses ke jamban dan ke keramba ikan. Sempadan sungai juga digunakan untuk berkebun kelapa sawit. Tepi sungai dimanfaatkan masyarakat untuk membuang/membakar sampah rumah tangga. Berdasarkan hasil pengamatan tepi sungai pada kawasan ini telah mengalami erosi tebing • Legok, sempadan pada daerah ini digunakan sebagai rumah penduduk dimana jaraknya 3-20 m dari tepian sungai, lahan berkebun, akses ke jamban, keramba ikan dan terminal ketek . Berdasarkan hasil pengamatan tepi sungai pada kawasan ini juga telah mengalami erosi tebing Pada kawasan Arab Melayu, Jelmu, Mudung laut dan Tengah jarak pemukiman bervariasi dari 5-20 m dari tanggul. Tanggul yang dibuat oleh PU Prov. Jambi ini menggunakan konstruksi beton. Tepi sungai yang telah ditanggul dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai terminal ketek dan akses menuju jamban. Di sempadan sungai ini juga berdiri industri crumbrubber (PT Angkasa Raya)
Memenuhi
Tidak memenuhi
Sempadan sungai digunakan sebagai rumah penduduk dengan jarak pemukiman 1-5 m dari tepi sungai, akses ke jamban dan terminal ketek
43
Segmen
Lanjutan Tabel 11
RTRW Kota Jambi Tahun 2010-2030 Kelurahan
3
Pasar Jambi
3
Kasang
4
Tanjung Johor
GSS Batanghari Bertanggul ( 3 m)
GSS Batanghari Tidak Bertanggul ( 100 m)
Kondisi Aktual
Pasar Jambi merupakan pusat kota, daerah ini merupakan pusat perdagangan. Sempadan sungai digunakan sebagai aktivats komersial seperti ruko, pasar Angsi Duo, Ramayana mall, hotel Wiltop, kawasan rekreasi Tanggo Rajo, akses ke terminal ketek, pemukiman kumuh dibelakang pasar Angso Duo. Bahkan mall dan hotel menggunakan badan sungai sekitar 15 m
Tidak memenuhi
Tidak memenuhi
Sempadan sungai digunakan sebagai rumah penduduk yang berjarak 5-10 m dari tepi sungai, bermacam aktivitas komersial seperti ruko, dermaga pasir, dan kantor dan SPBU (Stasiun Pengisian Bahab Bakar Umum) PT Pertamina Sempadan sungai digunakan sebagai rumah penduduk dengan jarak pemukiman bervariasi dari 5-15 m dari kaki tanggul, akses ke jamban dan kramba ikan serta terminal ketek. Pada sempadan sungai juga berdiri dua industri crumberubber (PT. Djambi Waras dan PT. Remco Djambi)
Memenuhi
4
Sijinjang
Tidak memenuhi
Sijinjang, sempadan sungai digunakan sebagai rumah penduduk dengan jarak pemukiman bervariasi dari 5-50 m dari tepi sungai, SPBU (Stasiun Pengisian Bahab Bakar Umum) apung Pertamina, dok/perbaikan kapal berukuran sedang, akses menuju jamban. Tepi sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk membuang/membakar sampah rumah tangga, bahkan dimgunakan juga oleh pabrik crumbrubber untuk membuang limbah padatnya. Pada sempadan sungai juga berdiri dua industri crumberubber (PT Hok Tong dan PT Batanghari Tembesi) dan pengolahan pasir sungai.
4
P.Sijinjang
Memenuhi
Pulau yang masih alami tanpa penghuni
Sumber: Hasil survey (2011)
44
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2011 A. Teluk Kenali
B. Pasar Jambi
Gambar 17 GSS bertanggul (A) dan tidak bertanggul (B)
5.1.2 Aspek Ekologis Pengamatan dari apek ekologis dilakukan dengan menghitung nilai sinousitas sungai. Nilai sinousitas tiap segmen dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai sinousitas tiap segmen Segmen
1 2 3 4
Panjang Kelokan (km)
Panjang Tegak Lurus (km)
Nilai Sinousitas
Skor
5,150 5,223 3,435 5,201
2,395 4,105 2,367 2,357
2,150 1,272 1,451 2,206
3 1 1 3
Sumber: Hasil olahan data primer (2011)
Berdasarkan Tabel 12, nilai sinousitas segmen 1 dan 4 terkategori tinggi. Kelurahan Penyengat Rendah (segmen 1) masih memiliki daerah karakter sungai yang masih alami akan tetapi untuk Kelurahan Tanjung Johor (segmen 4) tingkat kealamiannya berkurang karena adanya tanggul pada seperempat kawasan tersebut. Segmen 2 dan segmen 3 mempunyai nilai sinousitas rendah akan tetapi pada Kelurahan Pasir Panjang hingga Ulu Gedong dan Teluk Kenali tingkat kealamiannya masih terjaga dikarenakan belum adanya tanggul. Nilai sinuositas sungai menggambarkan potensi sungai tersebut dalam mendukung kehidupan biota air maupun biota di bantarannya. Semakin tinggi nilai sinuositas sungai, maka semakin tinggi pula potensinya sebagai habitat dari vegetasi dan satwa yang semakin beragam. Potensi ini akan semakin baik jika didukung oleh penutupan lahan yang sesuai pada sempadannya. Sehingga, potensi sungai tersebut dapat terjaga keberlangsungannya. 45
Nilai sinuositas tinggi menandakan sungai tersebut memiliki karakter yang sangat alami. Untuk itu, segmen yang memiliki nilai sinuositas tinggi harus dilindungi agar karakter yang dimilikinya tidak rusak. Segmen sungai dengan nilai sinuositas tinggi dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Dimana kawasan ini dijadikan hutan kota agar karakter alaminya tetap bertahan dan kualitas lingkungan alaminya terjaga. Sedangkan segmen sungai dengan nilai sinuositas sedang dan rendah dapat dikembangkan menjadi taman-taman kota yang juga didominasi oleh tanaman dengan kepadatan yang lebih rendah. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan alaminya. 5.1.3 Aspek Biofisik 5.1.3.1 Kualitas air sungai Analisis kualitas air Sungai Batanghari yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup Kota Jambi periode Januari 2010 sampai dengan Desember 2010, dilakukan pada dua titik sampling yaitu di hulu sungai Kelurahan Legok dan Kelurahan Kasang pada bagian hilir Sungai Batanghari di wilayah Kota Jambi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa air Sungai Batanghari telah tercemar berat dan untuk beberapa parameter tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I dan II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil pengukuran kualitas air di hulu dan hilir dapat di lihat pada Lampiran 2 dan 3. Letaknya yang di hilir mengakibatkan Sungai Batanghari yang berada di Kota Jambi mengalami tingkat sedimentasi yang cukup tinggi dengan laju sedimentasi sebesar 24,71 mm/tahun dan termasuk dalam kelas sedimentasi jelek dengan skor 5 dengan koefisien limpasan (C) Sub DAS Batanghari hilir > 0,25 yang termasuk dalam kategori jelek (BPDAS, 2009). Penurunan kualitas Sungai Batanghari juga dapat dilihat dari kondisi makrozoobenthosnya yang memiliki indeks keanekaragaman (H) yang berkisar antara 0,37-1,521, keseragaman (E) yang berkisar antara 0,111-0,454 dan dominasi (D) yang berkisar antara 0,914-0,455 mengindikasikan perairan sungai Batanghari berada pada tingkat pencemaran sedang hingga berat (Susilawati, 2007). Kualitas Sungai Batanghari juga dipengaruhi oleh kondisi beberapa anak sungai yang bermuara di Sungai Batanghari. Di wilayah Kota Jambi, terdapat 7 (tujuh) sungai primer dengan kondisi dan permasalahan yang berbeda–beda, antara lain Sungai Kenali Kecil, Sungai Kenali Besar, Sungai Kambang, Sungai
46
Asam, Sungai Tembuku, Sungai Selincah, dan Sungai Teluk. Secara umum permasalahan yang ditimbulkan oleh anak sungai ini adalah masuknya beban pencemar ke Sungai Batanghari karena di sepanjang anak sungai dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat tinggal, MCK, keramba ikan, pembuangan sampah dan transportasi. Banyak alur anak sungai yang mengalami erosi dan pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah yang dibuang oleh masyarakat ke sungai.
Menurunnya kualitas Sungai Batanghari di Kota Jambi ini selain disebabkan oleh berbagai aktivitas yang telah ada di sepanjang sungai dan pengaruh dari (7) tujuh anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari,
juga disebabkan imbas dari kondisi lingkungan di hulu.
Permasalahan utama yang terjadi di hulu adalah
meningkatnya
deforestasi karena kegiatan logging, land clearing dan konversi lahan menjadi areal budidaya, terutama kebun sawit serta aktivitas penambangan tanpa izin
(PETI). Hasil studi tim JICA dalam BPDAS Batanghari (2009) eksploitasi hutan di DAS Batanghari selama periode 15 tahun berlangsung sangat dahsyat, dan diestimasi adalah karena kegiatan logging, land clearing dan konversi lahan menjadi areal budidaya, terutama kebun sawit. Proses deforestasi pada DAS Batanghari sudah terjadi dari tahun 1932, lalu tahun 1982 dan meningkat tajam hingga tahun 1996. Pada Tahun 1932, luas hutan masih lebih dari 4 juta Ha dan menurun sekitar 1,5 juta Ha hingga tahun 1982, kemudian penurunan ini semakin tidak tertahan, hingga tahun 1996 tersisa 2 juta Ha atau hutan sudah dikonversi 50% selama periode 63 tahun. Kerusakan hutan di DAS Batanghari semakin dahsyat terjadi sejak era otonomi daerah tahun 1999. Kerusakan yang dialami oleh daerah hulu ini menyebabkan erosi yang terjadi di DAS Batanghari juga semakin meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 13).
47
Tabel 13 Perkembangan luas hutan dan erosi yang terjadi di DAS Batanghari Tahun
Luas Hutan (Ha)
Luas Lahan Non Hutan (Ha)
Tanah tererosi (ton/tahun)
1932
4.052.406
402.993
604.939
1982
3.572.689
882.710
1.218.977
1996
1.921.962
2.533.433
3.331.901
Erosi Tahunan(ton/ha/thn) 0,02 Sumber: Tim Studi JICA (2002) dalam BPDAS (2009)
1,30
Jumlah tanah yang tererosi pada DAS Batanghari tahun 1932 hanya 604.939 ton/tahun, kemudian naik tajam menjadi 3.331.901 ton/tahun pada tahun 1996 (naik hingga 5,5 kali lipat). Dari tabel di atas dapat dihitung rata-rata deforestasi tahunan sebesar 126,978 ha (dianggap 125 ha/tahun), maka diestimasi jumlah hutan pada DAS Batanghari tahun 2011 menjadi seluas 46.969 ha (kurang 10% dari luas DAS), dengan laju erosi mencapai 5.891.900 ton. Adanya pembukaan lahan sawit dari 300.000 ha pada tahun 1999 menjadi 1 juta ha, diperkirakan akan menyumbangkan erosi menjadi lebih dari 3 kali lipat, dan menambah potensi dampak serius peningkatan sedimentasi pada sistem perairan Sungai Batanghari (Idris, 2003). Menurut Iswara (1999) dalam Idris (2003) bahwa konversi hutan alam menjadi kebun sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm, tetapi ditegaskan lagi bahwa keadaan akan kembali normal pada saat tanaman tersebut sebelum mencapai dewasa.
5.1.3.2 Fisik sempadan Keadaan fisik tiap segmen yang menggambarkan kualitas lingkungan alaminya dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 3 (tiga) kategori kualitas lingkungan alami di Sungai Batanghari Kota Jambi, yaitu kualitas lingkungan alami tinggi, sedang, dan rendah. Segmen Sungai Batanghari yang memiliki kualitas lingkungan alami tinggi adalah segmen 4 pada Pulau Sijinjang, segmen 2 (Kelurahan Teluk Kenali) dan segmen 1 (Kelurahan Penyengat Rendah). Kualitas lingkungan alami sedang berada pada segmen 2 (Kelurahan Pasir Panjang, Ulu Gedong, Tanjung Raden, Olak Kemang, Buluran Kenali dan Legok), segmen 3 (Kelurahan Arab Melayu, Tengah, Jelmu, Mudung Laut Tahtul Yaman) dan segmen 4 (Kelurahan Tanjung Johor dan Sijinjang). Sedangkan kualitas lingkungan alami rendah berada pada segmen 3 (Kelurahan Pasar Jambi dan Kasang). Sempadan pada tiap segmen banyak digunakan
48
masyarakat untuk berbagai aktivitas seperti penggunaan sempadan sebagai tempat inggal, industri, serta berbagai macam aktivitas komersial yang akhirnya mengurangi lahan terbuka hijau di kanan kiri sempadan Sungai Batanghari (Tabel 11). Perubahan tata guna lahan pada daerah sempadan ini sangat mempengaruhi badan air sungai yang berdampak pada turunnya kualitas air Sungai Batanghari, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Skor
Kelurahan
RTH (%)
Skor
Segmen
Tabel 14 Kualitas lingkungan alami tiap segmen Jenis Land Cover
1
Penyengat Rendah
50
3
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
5
2
Pasir Panjang, Ulu Gedong, Tanjung Raden, Olak Kemang dan Tanjung Pasir
45
2
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
4
2
Teluk Kenali
50
3
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
5
2
Buluran Kenali dan Legok
45
2
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
4
3
Arab Melayu, Tengah, Jelmu, Mudung Laut dan Tahtul Yaman
23
1
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
3
3
Pasar Jambi
20
1
Vegetasi tidak ada sampai jarang, dominasi ruang terbangun
1
2
3
Kasang
20
1
Vegetasi tidak ada sampai jarang, dominasi ruang terbangun
1
2
4
Sijinjang
40
2
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
4
4
Tanjung Johor
40
2
Dominasi ruang terbangun sebanding dengan vegetasi
2
4
4
P.Sijinjang
100
3
Vegetasi sangat rapat (dominan vegetasi), tidak ada bangunan atau ruang kosong lainnya
3
6
Total Skor
Sumber: Hasil olahan data Keterangan Total Skor : 1-2= Rendah; 3-4= Sedang; 5-6= Tinggi
Berdasarkan aspek legal, ekologi, dan biofisik maka pengembangan riverfront di Kota Jambi dapat dibagi dalan tiga zona pengembangan yaitu: A.
Zona Alami Kawasan yang dalam pengembangan riverfront city dibatasi untuk lahan
budidaya dimana dimaksudkan sebagai daerah konservasi dengan mengadakan greenbelt sepanjang sempadan sungai. Greenbelt direncanakan dengan ketebalan maksimum sesusai dengan kondisi sempadan sehingga dapat melindungi, memperbaiki dan meningkatkan kualitas alami sungai. Mengacu pada Binford dan Buchenau (1993) batas minimum ketebalan greenbelt 49
mencapai 30 m pada sisi kiri dan kanan sungai. Kesan alami batas garis sempadan sungai dengan menggunakan live stake bioengineering. Live stake adalah tipe konstruksi bioengineering konvensional yang hanya menggunakan elemen tanaman dari jenis yang dapat memperbanyak diri melalui batang. Berfungsi utama untuk mengontrol erosi permukaan dengan cara memfilter tanah terhadap arus air dan aliran permukaan, memperkuat tegangan partikel tanah, mengintersepsi air hujan, mempertahankan daya infiltrasi tanah, selain itu juga berfungsi sebagai penyerap polutan air dan penyaring sedimentasi (Gray dan Leiser, 1982). Live stake diaplikasikan di sepanjang tepian sungai pada daerah konservasi. Tanaman live stake bioengineering yang dipilih dengan kriteria: a) tahan pada kondisi ait tercemar; b) dapat menyerap/mentralisir zat-zat pencemar air; c) memiliki struktur perakaran yang dapat memperbaiki konsistensi tanah; d) dapat menambah kadar organik tanah; dan e) dapat beradaptasi saat air pasang dan surut. Pada umumnya tanaman yang digunakan adalah jenis rerumputan, rerumputan memiliki keuntungan untuk perlindungan tepi sungai karena memperlambat
dan
memperkecil
arus
air
sungai,
mudah
tumbuh,
pemeliharaannya sangat mudah, dan masa hidup yang panjang (Schiecehtl dan Stern, 1997). Jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai alternatif sesuai kriteria tersebut yaitu: Artemisia lacriflora (saga putih), Castanopsis stellata (kastania), Chrysothamnus nauseosus (semak kelinci), Salix repens (janda merana) dan Axonopus compressus (rumput gajah). Zona alami juga diperkuat dengan adanya pengadaan hutan kota, dapat pula ditambahkan pedistrian way/jogging track serta track sepeda agar keindahan sungai dapat dinikmati publik dan dapat menjadi daerah rekreasi alam. Lebar pedistrian way yang direncanakan tidak melibihi 2 meter (Breen dan Rigby,1994). Adapun vegetasi dalam hutan kota terdiri dari pepohonan, rumput, dan tanaman liar seperti semak, terna, liana, epifit, penutup lahan dan anakan, yang ditanam dengan jarak
tanam rapat tidak beraturan dengan strata dan
komposisi meniru komunitas hutan alam. Konservasi tanah dilakukan dengan menempatkan mulsa alami seperti kepingan katu, kerikil dan pecahan batu. Kriteria tanaman dan tumbuhan untuk zona konservasi yakni mampu memperbaiki fungsi sungai sebagai pengatur air (hidrologis), mencegah erosi, memperbaiki kualitas air, tanah dan udara, memperkaya keragaman hayati, dapat dijadikan habitat oleh satwa liar dan tahan terhadap polusi. Jenis tanaman dan tumbuhan yang dapat dipilih sebagai alternatif yang memenuhi kriteria
50
tersebut antara lain: a) jenis pohon, seperti: Cassia multijuga (kiutun), delonix regia (flamboyan), Filicium decipiens (kiara payung), Pterocarpus indicus (angsana) dan Eusidorxylon zwageri (bulian). Bulian merupakan tanaman endemik Jambi yang terancam punah; b) jenis perdu, seperti Allamanda cathartica (alamanda), Codieaum variegatum (puring); c) jenis semak, seperti Cyonodon dactylon (teki), Aspelinum nidus (sarang burung); d) jenis akuatik, seperti Cyperus alternifolius (rumput air) dan Azolla sp. (azola); e) jenis epifit, seperti Dendrophoe sp. (benalu), Platycerium willincki (tanduk rusa) (Pribadi, 1999). Pengembangan zona alami memiliki manfaat yang banyak selain dapat meningkatkan kualitas sungai juga dapat meningkatkan pendapatan baik masyarakat maupun daerah. Dimana pada kawasan ini dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan pendidikan, penelitian serta wisata yang lebih ditujukan ke arah ecotourism. B.
Zona Semi Alami Kawasan yang dalam pengembangan riverfront city sebagai kawasan
mixed-use yaitu pengembangan yang mengkombinasikan areal alami sebagai daerah konservasi dengan pemanfaatan lahan yang telah ada untuk kegiatan sehari-hari masyarakat. 1.
Kawasan alami Konservasi tepi sungai diaplikasikan menggunakan gabion wall atau live cribwall/kombinasi dinding krib dengan vegetasi. Live cribwall dan gabion wall adalah tipe konstruksi biongineering yang mengkombinasikan struktur perkerasan dan elemen vegetasi. Berfungsi sebagai pelindung tepi sungai berbentuk lereng terhadap bahaya erosi, memperbaiki struktur tanah dan pengatur arah arus pada badan sungai yang berkelok (Gray dan Leiser, 1982). Ketebalan daerah konservasi disesuaikan dengan kondisi tiap segmen. Vegetasi pada zona semi alami ini adalah vegetasi yang memiliki perakaran yang dapat menetralisir zat pencemar terutama polusi udara, perakaran tidak dangkal dan tidak muncul ke permukaan tanah, tidak menghasilkan buah yang besar dan menarik, sedikit menggugurkan daun, memiliki percabangan yang kuat, ketinggian dan besar tajuk tidak mengganggu sarana dan prasarana yang ada, dapat menjadi habitat burung dan menghasilkan aroma, mereduksi kebisingan dan debu. Alternatif tanaman yang dapat dipilih anatara lain Lagerstomia
51
indica (bungur), Cananga odorota (kenanga), Eugenia aromatica (euginia), Pithecelobium dulce (asam kranji), Ficus benjamina (beringin), Fagraea fragrans (tembusu), Gigantochloa apus (bambu tali) dan Bambussa sp. (bambu) (Pribadi, 1999). 2.
Kawasan penggunaan sehari-hari Kawasan ini merupakan kawasan yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk aktivitas sehari-hari. Pada kawasan ini dapat disediakan fasilitas yang memungkinkan pengguna dapat mengakses view sungai. Fasilitas yang disediakan pada daerah ini dalam bentuk pedistirian way, track bersepeda, amphitheater, taman kota yang dilengkapi sarana bermain anak, toko cendramata, cafe, dan fasilitas umum lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kekhasan tiap segmen yang dapat meningkatkan estetika, kenyamanan, keamanan dan suasana alami. Fasilitas penyeberangan sungai (terminal ketek) tetap dipertahankan namun perlu dilakukan penataan agar tidak merusak bantaran sungai dan berkesan estetik. Sarana tempat sampah diletakkan pada tempat-tempat strategis yang mudah dijangkau pengguna dan mobil pengangkut sampah.
C.
Zona multi pemanfaatan Kawasan yang dalam pengembangan riverfront city tetap dibiarkan
sebagaimana
peruntukkannya
saat
ini
yaitu
sebagai
kawasan
perdagangan/bisnis, transportasi, dan kegiatan perkotaan lainnya. Akan tetapi pengembangan zona ini harus tetap memperhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan sungai. Pada daerah ini diperlukan penanaman vegetasi pada lahan-lahan kosong di antara bangunan dan aplikasi green building. Penataan bangunan di sepanjang sungai dengan mengorientasikan bangunan ke arah sungai atau sebagai “halaman depan”. 5.1.4
Aspek Sosial Hasil penilaian responden menunjukkan bahwa tingkat kebersihan dan
kualitas air Sungai Batanghari saat ini sangat rendah. Menurut masyarakat menurunnya kualitas air sungai menurun karena industri di sekitar sungai membuang limbah cairnya ke badan sungai, kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai, dan pengerukan pasir sungai. Penilaian masyarakat terhadap fisik Sungai Batanghari saat ini tergolong rendah
52
dikarenakan pada beberapa kawasan belum di tanggul dan ada yang telah di tanggul. Pada kawasan yang belum ditanggul telah terjadi erosi tebing. Penilaian masyarakat terhadap fungsi Sungai Batanghari tertinggi adalah sebagai transportasi, tempat pembuangan sampah dan MCK. Tingginya nilai transportasi karena pada umumnya masyarakat masih menggunakan Sungai Batanghari sebagai sarana transportasi utama antara Kota Jambi dan Seberang Kota Jambi (Sekoja) meskipun telah ada jembatan yang menghubungkan kedua daerah ini. Transportasi sungai dipilih karena lebih murah dan aksesibilitasnya yang mudah dan cepat. Sungai terutama badan sungai masih digunakan sebagai masyarakat sebagai tempat pembuangan sampah terutama pada saat musim hujan dan MCK. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, ada dua alasan masyarakat menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan sampah mereka yaitu pertama karena kebiasaan dan kedua tidak sampainya pelayanan pengambilan sampah ke tempat mereka. Penggunaan badan sungai sebagai MCK masih ditemui sepanjang Sungai Batanghari yaitu adanya jamban apung pada semua segmen penelitian. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, kebiasaan MCK di sungai ini karena beberapa alasan antara lain belum mampu membuat jamban karena faktor ekonomi, belum mendapat pelayanan air bersih serta MCK umum dan terakhir adalah telah menjadi kebiasaan masyarakat. Nilai preferensi masyarakat terhadap Sungai Batanghari tertinggi adalah sungai yang bersih dan sebagai tempat wisata. Preferensi masyarakat yang tinggi terhadap sungai yang kembali bersih menunjukkan bahwa masyarakat masih mempunyai keinginan yang tinggi menjadikan Sungai Batanghari sebagai “halaman depan” serta memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Di Kota Jambi kawasan wisata yang telah ada dan berada dekat dengan sungai adalah kawasan wisata Tanggo Rajo. Dari hasil wawancara, masyarakat menginginkan adanya tempat wisata budaya dan religi. Persepsi dan preferensi masyarakat disajikan dalam Tabel 15. Kondisi ini menunjukkan dukungan masyarakat untuk mengembangkan Kota Jambi sebagai riverfront city.
53
Tabel 15 Persepsi dan preferensi masyarakat No Parameter 1. 2. 3.
1 (rendah) 46,5 34,5
Nilai Persepsi dan Preferensi (%) 2 3 4 (agak rendah) (biasa saja) (agak tinggi) 31 22,5 0 26,5 16,5 0
5 (tinggi) 0 22,5
6 9 5,5 43,5 10,5 21,5
12,5 30 4 27 20 27
81,5 48,5 0 22,5 40 51,5
0 9 9
16 9,5 9,5
76,5 81,5 81,5
0 30 16,5
0 0 0
100 70 83,5
Kualitas air sungai Fisik sungai Fungsi sungai: a. Transportasi 0 0 b. MCK 6 6,5 c. Bahan baku air minum 59,5 31 d. Wisata 0 7 e. Perikanan sungai 18 11,5 f. Perdagangan/bisnis 0 0 g. Tempat pembuangan sampah 0 7,5 4. Nilai budaya 0 0 5. Nilai sejarah 0 0 6. Preferensi terhadap sungai a. Sungai bersih 0 0 b. Fisik sungai membaik 0 0 c. Tempat wisata 0 0 Sumber: Hasil olahan data kuisioner (2011) n= 200 responden
Nilai budaya dan sejarah Sungai Batanghari bagi masyarakat sekitar sungai dianggap masih tinggi. Sehingga dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city nilai-nilai budaya dan sejarah harus dipertimbangkan. Karena nilai budaya dalam pengembangan kawasan riverfront city sangat penting guna menciptakan identitas lokal dan keunikan daerah setempat. Aspek budaya atau lanskap budaya yang mempunyai keunikan dan berpotensi untuk pelestarian dan pengembangan budaya adalah lanskap dengan dominasi penduduk asli Jambi (Melayu Jambi), yaitu kawasan Sekoja (Seberang Kota Jambi). Dalam RTRW Kota Jambi 2010-2030 kawasan Sekoja termasuk dalam BWK (Bagian Wilayah Kota) Jambi Kota-Seberang yang ditetapkan sebagai daerah cagar budaya. Sekoja dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Jambi pada abad XVIII, di pinggiran Sungai Batanghari. Wilayah Sekoja terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu kecamatan Danau Teluk dan Pelayangan. Potensi-potensi tersebut antara lain: 1)
Aktivitas berkaitan dengan kehidupan Masyarakat Kota Jambi khususnya Sekoja merupakan masyarakat asli Jambi yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam sehingga tata cara adat kebiasaan hidup sehari-hari mereka berdasarkan ajaran agama Islam. Di kawasan Sekoja banyak ditemui pondok-pondok pesantren berumur tua seperti Pesantren Nurul Iman, Pesantren As’ad dan masjid. Masjid Ikhsaniyyah atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Batu adalah masjid tertua di Provinsi Jambi. Masjid ini terletak di kawasan Olak Kemang, didirikan pada tahun 1880 oleh Sayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri yang
54
merupakan sultan yang berkuasa di daerah itu pada dekade akhir abad ke19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo. Aktivitas kehidupan masyarakat Sekoja juga sangat kental dengan tradisi keagamaan antara lain pengajian yasinan, wirid dan zikir, pembacaan burdah, barzanji, lailatul ijtima’, upacara nifsu sya’ban, makan bersama dalam satu nampan setelah Idul Fitri. Akan tetapi kualitas dan intentitas kegiatan ini pada masa sekarang sangat jauh berkurang, untuk kegiatan makan bersama dalam satu nampan setelah Idul Fitri masih dilakukan hingga saat ini. Rumah masyarakat Melayu Jambi identik dengan rumah panggung. Di kawasan Sekoja sebagain besar rumah masih berupa rumah panggung yang dibangun menggunakan kayu bahkan diantaranya telah berumur ratusan tahun. 2)
Aktivitas berkaitan dengan mata pencaharian Potensi kerajinan tangan sebagai hasil hand made seperti batik Jambi banyak diusahakan mayarakat di Olak Kemang, Jelmu, Mudung Laut, Kampung Tengah dan Arab Melayu. Kerajianan batik Jambi selain sebagai mata pencaharian masyarakat juga merupakan potensi budaya yang masih dilestarikan.
3)
Aktivitas berkaitan dengan upacara adat Aktivitas upacara adat masyarakat Sekoja juga sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Kegiatan yang berkaitan dengan tata cara adat sebagai sesuatu yang sakral dalam masyarakat Melayu Jambi antara lain upacara kelahiran (tradisi nginau, nuak dan nyukur bayi), sunatan, pernikahan dan kematian. Tetapi kualitas dan intensitas upacara adat ini pada masa sekarang sangat jauh berkurang.
4)
Aktivitas berkaitan dengan kesenian Kesenian masyarakat Sekoja juga bernafas Islam seperti kesenian hadra. Hadra dikenal masyarakat setempat sebagai musik tradisional yang Islami. Hadra biasanya digunakan dalam arak-arakan pengantin serta hajatan lain seperti cukuran anak, marhabah, dan menyambut tamu-tamu agung.
5)
Aktivitas berkaitan dengan kuliner Secara umum masyarakat Jambi memiliki kekhasan kuliner, seperti tempoyak, pindang Jambi dan bergo. Sedangkan kuliner masyarakat Sekoja
55
pada umumnya terpengaruh juga oleh kuliner Arab seperti gulai tape ikan dan malbi. 5.2
Analisis Stakeholders Pemangku kepentingan (stakeholders) didefinisikan sebagai individu,
masyarakat, atau organisasi yang secara potensial dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan (Race dan Millar, 2006; Groenendijk , 2003). Dengan kata lain, stakeholders mencakup pihak-pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dan memperoleh manfaat atau sebaliknya dari suatu proses pengambilan keputusan. Menurut Igbal dan Sumaryanto (2007), stakeholders adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif maupun negatif yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Menurut Eden dan Ackerman (1998) bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi. Peranan stakeholders
terhadap pengembangan Kota Jambi menuju
riverfront city dapat diketahui melalui analisis stakeholders. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007), dua kata kunci dalam analisis ini adalah kepentingan (interest) dan pengaruh (influence). Kepentingan merupakan hal yang cukup sulit untuk didefinisikan, namun esensinya dapat diperoleh melalui analisis sosial dan dokumen kelembagaan berdasasrkan tupoksi masing-masing stakeholders. Kepentingan yang dimaksud diantaranya terkait dengan ekspetasi, manfaat, sumberdaya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan hubungan (network). Pengaruh berkaitan dengan kekuasaan (power) terhadap kegiatan termasuk pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan sekaligus menangani dampak negatifnya. 5.2.1 Identifikasi Stakeholders Tahap pertama dari analisis stakeholders adalah identifikasi stakeholders. Colfer et al. (1999a, 1999b) menyebutkan bahwa untuk menentukan siapa yang perlu
dipertimbangkan
dalam
analisis
stakeholders
dilakukan
dengan
mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan. Hasil identifikasi stakeholders menggunakan wawancara mendalam dan berdasarkan
tupoksi
masing-masing
kelembagaan
menunjukkan
bahwa
stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan Sungai Batanghari pada lokasi penelitian sebanyak 21 stakeholders. Keterlibatan stakeholders tersebut 56
didasarkan pada hasil telaah dan pengkajian yang telah dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Batanghari (BPDAS Batanghari) (BPDAS, 2009) dan ditambah dengan hasil penelitian di lapangan. Hasil identifikasi stakeholders yang terkait dengan pengelolaan Kota Jambi menuju riverfront city diklasifikasikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok yakni pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan swasta. Masyarakat sebagai stakeholders terdiri dari penduduk lokal yang berdomisili di sepanjang sempadan Sungai Batanghari (segmen 1-4). Sebagai stakeholders, masyarakat akan dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan sungai. Disamping itu, tempat tinggal yang berdekatan dengan sungai dan secara emosional, baik dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sangat bergantung dan mempengaruhi sungai. Lembaga Adat Jambi (LAJ) juga berkepentingan dalam hal ini yaitu menjaga stabilitas sosial penyambung aspirasi masyarakat lokal Jambi. Lembaga adat memiliki pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang tinggi terhadap sungai. Peran dan posisi tersebut menyebabkan stakeholders ini dapat mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam perencanaan pengembangan Kota Jambi. Hasil wawancara mendalam dengan responden (Ketua adat Jambi) meskipun saat ini sudah tidak diberlakukan lagi sanksi-sanksi adat akan tetapi pendapat dan saran dari ketua adat Jambi masih didengarkan masyarakat. Stakeholders pemerintah baik pusat, provinsi dan kota sangat memiliki kepentingan yang terhadap kelestarian ekologis sungai yang merupakan bagian dari keberadaan Kota Jambi. Para stakeholders ini mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengembangan Kota Jambi. Universitas Jambi melalui Pusat Penelitian Manejemen Daerah Aliran Sungai Universitas Jambi (PPM-DAS Unja) sebagai perguruaan tinggi di Kota Jambi merupakan stakeholders yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengembangan kota. PPM DAS Unja memiliki kepentingan dalam melaksanakan pendidikan lingkungan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang turut berperan dalam pengelolaan sungai akan tetapi tidak secara langsung di Kota Jambi antara lain Warung Informasi Konservasi (Warsi) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
57
Ketiga LSM tersebut melaksanakan kegiatannya dibidang pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan advokasi pada catchmen area (hutan). Walhi dan Warsi merupakan LSM yang dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan sungai. Akan tetapi kedua LSM ini tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam pengelolaan sungai. Selanjutnya, stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sungai inilah yang memegang peranan penting dalam perencanaan pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city. Peranan masing-masing stakeholders dijabarkan lebih lanjut dalam konteks kepentingan (importance) dan pengaruh (influence). 5.2.2
Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders Kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dalam perencanaan
pengembangan Sungai Batanghari menuju riverfront city disajikan pada Tabel 16 dan 17, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk gambar dengan menempatkan posisi masing-masing stakeholders ke dalam empat kategori yaitu kelompok Subject (kuadran I),
kelompok Key Players (kuadran II), kelompok Context
Setters (kuadran III), kelompok Crowd (kuadran IV) yang disajikan dalam Gambar 18.
58
Tabel 16 Kepentingan (interest) stakeholders terkait dengan pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city No
Stakeholders
Perencana
1 2
BWSS VI BPDAS
4 4
3 4 5 6 7
BAPPEDA BAPPEDALDA Dinas Kehutanan Provinsi Dinas PU Dinas Pariwisata
5 3 1 2 3
8 9 10 11 12 13 14
BAPPEDA BLHD Dinas Tata Ruang dan Perumahan Dinas PU Dinas Perindag Dinas Pariwisata Dinas Perikanan
5 1 5 4 2 4 3
15
PPM DAS Universitas Jambi
2
16 17
Lembaga Adat Jambi Masyarakat
1 2
18 19
Walhi Warsi
2 2
20 21
Industri crumb rubber Industri saw mill
1 1
Pelaksana
Pemerintah Pusat 4 4 Pemerintah Provinsi 1 1 1 4 3 Pemerintah Kota 4 1 2 5 3 4 3 Perguruan Tinggi 2 Masyarakat 1 4 LSM 2 2 Swasta 4 4
Kepentingan Pemanfaatan Monitoring dan Evaluasi
Jumlah
1 1
4 4
4 4
17 17
1 1 1 1 4
4 4 1 2 3
1 2 1 1 4
13 11 5 10 17
3 1 1 4 5 5 4
5 5 5 4 3 3 3
4 4 3 3 3 4 4
21 12 16 20 16 20 17
3
4
3
14
1 5
3 2
4 3
10 16
2 2
4 4
4 4
14 14
5 5
1 1
3 3
14 14
Sumber: Hasil olahan data kuisioner (2011) n= 21 responden Keterangan: 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = biasa; 2 = agak rendah; 1 = rendah
59
Pemberdayaan Masyarakat
Tabel 17 Pengaruh stakeholders dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city Instrumen kekuatan No Stakeholders Condign
Compensatory
Sumber kekuatan Jumlah
Conditioning
Personality Organisasi
1
BWS VI Wilayah Sumatera
1
1
1
2
4
9
2
BPDAS
1
1
1
2
4
9
3
Bappeda Prov. Jambi
3
4
1
3
4
15
4
Bapedalda Prov. Jambi
1
1
1
2
4
9
5
Dinas Kehutanan Prov. Jambi
1
3
1
2
4
11
6
Dinas PU Prov. Jambi
1
2
1
2
4
10
7
Dinas Pariwisata Prov. Jambi
1
2
4
2
4
13
8
Bappeda Kota Jambi
5
5
4
3
5
22
9
BLHD Kota Jambi
1
2
2
2
2
9
Dinas Tata Ruang dan Perumahan 10 Kota Jambi
4
5
4
2
5
20
11 Dinas PU Kota Jambi
3
5
3
3
5
19
12 Dinas Perindag Kota Jambi
1
1
1
2
1
6
13 Dinas Pariwisata Kota Jambi
4
5
4
2
4
19
14 Dinas Perikanan Kota Jambi
1
1
1
2
4
9
15 PPM-DAS Universitas Jambi
1
1
4
2
4
12
16 Lembaga Adat Jambi
1
4
4
3
4
16
17 Masyarakat
1
2
3
2
2
10
18 Walhi
1
4
4
2
3
12
19 Warsi
1
4
4
2
3
12
20 Industri crumb rubber
1
3
4
1
1
10
21 Industri saw mill
1
3
4
1
1
10
Sumber: Hasil olahan data kuisioner (2011) n= 21 responden Keterangan: 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = biasa; 2 = agak rendah; 1 = rendah
Terkait dengan hasil dari analisis kepentingan (interest) stakeholders tersebut, pada prinsipnya masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang bersifat spesifik. Hal ini berhubungan dengan kewenangan, otoritas, peran, manfaat yang diinginkan dan tanggung jawab yang terdapat pada masingmasing stakeholders terkait pengembangan Kota Jambi berdasarkan tupoksi masing-masing kelembagaan.
60
tinggi
Subjects
KEPENTINGAN
Masyarakat
Key players BWS
BAPEDA Kota
BPDAS Industri swamill & crumbrubber BLHD Disperindag BAPEDALDA Dinas PPM-DAS Perikanan UNJA
Dinas Tata Ruang Kota Dinas PU Kota Dinas Pariwisata Kota Dinas Pariwisata Prov
Dishut Bappeda Prov
WARSI PU Prov
WALHI
rendah
Lembaga Adat Jambi
Context setters
Crowd rendah
PENGARUH
tinggi
Gambar 18 Posisi stakeholders dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city
Posisi pada kuadran I (Subjects) merupakan stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh rendah. Posisi Kuadran I ditempati oleh sepuluh stakeholders yaitu Balai Wilayah Sungai Sumatera VI (BWSS VI), BPDAS Batanghari, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Jambi, Dinas Perikanan Kota Jambi, Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah Prov. Jambi (BAPEDALDA), Balai Lingkungan Hidup Daerah Kota Jambi (BLHD), PPM-DAS Unja, masyarakat sekitar sempadan sungai, industri crumbrubber dan sawmill. Masyarakat sekitar sungai memiliki kepentingan tinggi terhadap sungai karena aktivitas sehari-harinya masih memanfaatkan sungai selain karena masyarakat asli Jambi sendiri adalah masyarakat yang berkembang
dimulai
dari
sungai
(budaya
sungai).
Sedangkan
industri
crumbrubber memiliki kepentingan dalam memanfaatkan air sungai dalam proses produksi dan sungai sebagai tempat akhir pembuangan limbah cairnya. Untuk sawmill memiliki kepentingan yang tinggi karena memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi pengiriman kayu melalui jalur sungai dan membuang limbah padatnya di sempadan sungai. PPM-DAS Unja memiliki ekspetasi dan komitmen yang tinggi terhadap Sungai Batanghari dalam rangka keberlanjutan 61
ekologis
sungai
melalui
penelitian-penelitian
yang
telah
dilakukannya.
Disperindag Kota Jambi memiliki kepentingan yang tinggi terhadap keberadaan industri
sepanjang
Sungai
Batanghari.
BPDAS,
BWSS
VI
merupakan
stakeholders pemerintah pusat yang mempunyai kepentingan tinggi dalam pengelolaan
DAS
Batanghari
yakni
dalam
perencanaan
pengelolaan
sumberdaya air dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung pada WS Batanghari. BAPEDALDA dan BLH Kota Jambi merupakan stakeholders pemerintah daerah dalam pengendalian dan pengawasan pencemaran dan kerusakan lingkungan dan penyelenggaraan pelayanan bidang lingkungan hidup. Akan tetapi sangat disayangkan pengaruh kedua instansi memiliki pengaruh yang kecil dalam memberikan sanksi terhadap kasus-kasus pelanggaran lingkungan hidup oleh karena itu tupoksi dari kedua instansi ini harus ditingkatkan agar mampu berpengaruh dalam pemberian izin dan pemberian sanksi yang menyangkut pelanggaran lingkungan. Pengaruh stakeholders seperti masyarakat, industri dan PPM DAS Unja ini rendah karena tidak mempunyai fungsi dan kewenangan dalam penentuan kebijakan dalam pengembangan Sungai Batanghari. Stakeholders ini dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Sedangkan pengaruh dari lembaga pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kota) masih lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga stakeholders tersebut karena memiliki kewenangan dalam perencanaan dan pengelolaan konservasi sungai akan tetapi bukan sebagai pengambil kebijakan. Stakeholders pada kuadran I merupakan stakeholders penting dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city. Oleh karena itu harus diberdayakan dengan berbagai cara terutama penguatan kelembagaan dan regulasi, hingga kompetensi teknis dan keterwakilannya dalam pengembangan. Posisi pada Kuadran II (Key Players) merupakan stakeholders yang paling kritis karena memiliki pengaruh dan kepentingan yang sama-sama tinggi. Posisi pada kuadran II ditempati oleh lima stakeholders yaitu Bappeda Kota Jambi, Dinas Tata Ruang Kota Jambi, PU Kota Jambi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jambi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. Jambi. Bappeda Kota Jambi memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city karena menentukan kebijakan bidang perencanaan pembangunan daerah, merumuskan kebijakan dan rencana teknis
62
dibidang
perencanaan
pembangunan,
koordinasi
perencanaan
pembangunan serta perencana anggaran dalam wilayah Kota Jambi. PU Kota Jambi berdasarkan peraturan Walikota Jambi Nomor 9 Tahun 2009 memiliki kepentingan tinggi dalam memanfaatkan Sungai Batanghari sebagai drainase Kota Jambi dan memiliki pengaruh yang besar sebagai pelaksana pembangunan teknis sungai dan kota, Dinas Tata Ruang berdasarkan peraturan Walikota Jambi Nomor 10 Tahun 2009 memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam menentukan perencanaan program penataan ruang wilayah Kota Jambi. Disparbud Kota dan Provinsi memiliki kepentingan tinggi dalam pemanfaatan sungai sebagai wisata air dan berpengaruh dalam mempromosikan wisata air yang ada di Kota Jambi. Stakeholders pada kuadran II merupakan stakeholders kunci dalam pengembangan Sungai Batanghari di Kota Jambi.
Oleh karena itu dalam
konteks pengembagan riverfront city kelima stakeholders ini harus saling berkoordinasi secara intensif dari tahap pra pengembangan hingga pasca pengembangan. Koordinasi kelima stakeholders ini diperlukan dalam hal menyamakan persepsi dan arah perencanaan pengembangan riverfront city dimana didalamnya tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainable) baik ekologis, sosial dan ekonomi. Posisi pada Kuadran III (Context setters) merupakan stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh tinggi. Posisi pada kuadran II ditempati oleh tiga stakeholders yaitu Bappeda Prov. Jambi, PU Prov. Jambi, dan Lembaga Adat Jambi. Dengan adanya otonomi daerah kepentingan provinsi di kota tidaklah tinggi akan tetapi pengaruh pemerintah provinsi khususnya yang terjadi di Jambi, pengaruh pemerintah provinsi masih sangat tinggi yakni dalam pemberian anggaran ke pemerintah kota. Selain itu keberadaan aset provinsi berupa kawasan sepanjang 1 km (daerah Tanggo Rajo) yang berada dalam wilayah administratif Kota Jambi menyebabkan pengaruh pemerintah provinsi masih dominan. Maka sebaiknya keberadaan aset pemerintah provinsi tersebut dihibahkan kepada pemerintah kota sehingga pemerintah kota dapat lebih mengatur secara mandiri penataan ruang kota. Kepentingan Lembaga Adat Jambi terhadap pengembangan Sungai Batanghari tidaklah tinggi tetapi keberadaannya sebagai representatif dari suara masyarakat lokal khususnya masyarakat asli Jambi yang pada umumnya bermukim di sepanjang sungai sangatlah tinggi. Tingkat pengaruh Lembaga Adat Jambi berada pada pembentukan opini dan informasi serta memiliki jejaring massa.
63
Kelompok stakeholders yang menempati kuadran III ini bermanfaat untuk perumusan atau menjembatani keputusan dan opini dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city. Dalam penelitian ini diketahui bahwa pemerintah provinsi sangat mendukung pengembangan Kota Jambi sebagai riverfront city dengan demikian koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik dengan stakeholders kunci (kuadran 2). Posisi pada Kuadran IV (Crowd) merupakan stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh rendah. Posisi pada kuadran IV dtempati oleh tiga stakeholders yaitu Dinas Kehutanan Prov Jambi, Warsi dan Walhi (LSM). Sebenarnya, stakeholders pada kategori crowd dapat diabaikan dalam pengembangan sungai, akan tetapi mengingat keberadaan Sungai Batanghari sebagai bagian dari DAS Batanghari dan penanganannya bersifat multistakeholders, maka keberdaan ketiga stakeholders ini tidak dapat diabaikan dan diperlukan koordinasi yang baik dimasa yang akan datang. Dalam hal ini, Dishut berfungsi dalam konservasi hutan dan LSM berupaya meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas masyarakat khususnya masyarakat di wilayah catchment area (hutan), maka perannya perlu mendapatkan perhatian, yaitu agar turut membantu mengurangi beban Sungai Batanghari di Kota Jambi yang merupakan hilir. Hal tersebut perlu dilakukan karena kerusakan pada daerah hulu akan mempengaruhi kualitas dan kondisi fisik pada daerah hilir. Bentuk dan posisi nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Reed et al. 2009), sehingga hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan pengembangan Kota Jambi kedepannya. Disamping itu, dimungkinkan juga munculnya stakeholders baru yang belum teridentifikasi pada penelitian ini, terkait dengan dinamika sosial yang terus berkembang di lokasi penelitian. Berdasarkan analisis kepentingan dan pengaruh tersebut ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan dalam pengembangan Sungai Batanghari menuju riverfront city yaitu jika dilakukan pengembangan diperlukan koordinasi dan kerjasama yang solid antar stakeholders seuai dengan peran dan fungsinya. Khususnya dalam pelaksanaannya pemerintah provinsi maupun kota sebaiknya melakukan beberapa pendekatan yang dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak tanpa mengurangi tingkat pengaruhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Asikin (2001) dalam pembangungan perlu di berdayakannya bentukbentuk partisipasi stakeholders. Derajat partisipasi ini dibedakan menjadi empat
64
tingkat yaitu: 1) Diseminasi informasi adalah aliran informasi satu arah kepada publik. Hal ini menyangkut kepentingan publik terhadap keberadaan sungai, seperti masyarakat, Perguruan Tinggi, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat; 2) Konsultasi merupakan pertukaran informasi dua arah antara kordinator pelaksana dan publik atau sebaliknya. Dalam pengembangan riverfront
ini
adalah kelompok kuadran I dan kuadran II atau sebaliknya. Key players harus menjalin komunikasi yang aktif dan membangun dengan subject yang memiliki kepentingan tinggi terhadap keberadaan sungai. Sehingga arah pengembangan riverfront city dapat mengakomodir kepentingan stakeholders kuadran II terutama dalam kelestarian ekologis Sungai Batanghari; 3) Kolaborasi merupakan pembagian hak dan kerjasama di dalam penetapan keputusan. Pada tahap ini stakeholders yang berada di kuadran II dan kuadran III. Pada tahap kolaborasi stakeholders terkait lebih menitikberatkan pada bentuk kewenangan yang diambil terkait pengembangan sungai, baik sistem perizinan maupun pengganggaran, serta arah pengembangan riverfront city yang akan dikembangkan di Kota Jambi; 4) Delegasi adalah pemberian kewenangan bagi pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya pada stakeholders. Stakeholders
yang berperan
dalam pendelegasian ini adalah kuadran III kepada kuadran II sesuai UU 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dalam pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seperti yang telah dilakukan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Jambi dalam pembangunan dam di Sungai Batanghari dimana pembangunan dam tersebut dilakukan oleh Dinas PU Provinsi Jambi kemudian pengelolaannya diserahkan kembali ke daerah dalam hal ini adalah PU Kota Jambi. Dalam konteks pengembangan riverfront city, pendelegasian seperti ini dapat dilakukan dengan syarat telah ada kejelasan dan kewenangan antar stakeholders terkait. 5.2.3
Persepsi dan Preferensi Stakeholders Hasil penilaian stakeholders
menunjukkan bahwa kualitas dan fisik
Sungai Batanghari sangat rendah diakibatkan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai, kurang berfungsinya IPAL crumbrubber dan sistem drainase kota. Rendahnya fisik sungai dikarenakan penataan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. Sedangkan pada fungsi sungai sebagai transportasi dan tempat pembuangan sampah masih tinggi. Fungsi sungai sebagai sarana transportasi masih menjadi pilihan utama
65
masyarakat Kota Jambi secara umum. Sungai dijadikan tempat pembuangan sampah menurut para stakeholders karena masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat, merupakan kebiasaan masyarakat yang sulit dihilangkan, dan juga kurang tegasnya sanksi yang diberlakukan. Akan tetapi persepsi fungsi sungai sebagai MCK menurut stakeholders dan masyarakat berbeda. Menurut stakeholders pemanfaatan sungai sebagai MCK oleh masyarakat saat ini masih rendah tetapi bagi masyarakat penggunaan sungai untuk MCK masih sangat tinggi. Nilai budaya dan sejarah Sungai Batanghari menurut para stakeholders masih sangat tinggi. Preferensi stakeholders terhadap Sungai Batanghari kedepan adalah Sungai Batanghari dapat lebih bersih dan fisik sungai menjadi lebih baik sehingga bisa menjadi tempat wisata. Tempat wisata yang diharapkan oleh para stakeholders adalah bentuk wisata air, religi, budaya dan kuliner. Dari hasil wawancara dengan Dinas Pariwisata Prov. Jambi kawasan Sekoja khususnya Kelurahan Tanjung Raden, Olak Kemang, Arab Melayu, Tengah, Jelmu, dan Mudung Laut telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan akan dikembangkan sebagai tempat wisata budaya dan religi. Persepsi dan preferensi stakeholders disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 18 Persepsi dan preferensi stakeholders No Parameter 1. 2. 3.
1 (rendah) 90 0
Nilai Persepsi dan Preferensi (%) 2 3 4 (agak rendah) (biasa saja) (agak tinggi) 10 0 0 0 0 60
5 (tinggi) 0 40
0 0 0 10 0 0 0
0 0 10 25 60 50 0
100 20 90 65 40 50 100
10 0 0
0 10 10
90 90 90
10 0 10
0 10 0
90 90 90
Kualitas air sungai Fisik sungai Fungsi sungai: a. Transportasi 0 0 b. MCK 50 30 c. Bahan baku air minum 0 0 d. Wisata 0 0 e. Perikanan sungai 0 0 f. Perdagangan/bisnis 0 0 g. Tempat pembuangan 0 0 sampah/limbah h. Akhir drainase kota 0 0 4. Nilai budaya 0 0 5. Nilai sejarah 0 0 6. Preferensi terhadap sungai a. Sungai bersih 0 0 b. Fisik sungai membaik 0 0 c. Tempat wisata 0 0 Sumber: Hasil olahan data kuisioner (2011) n= 20 responden
Preferensi stakeholders yang meninginkan Sungai Batanghari dapat lebih bersih dan fisik sungai menjadi lebih baik menunjukkan besarnya dukungan stakeholders mengembangkan Kota Jambi sebagai riverfront city. Sebagaimana
66
dalam RDTR Kota Jambi 2011-2029 isu pengembangan ke depan Kota Jambi adalah pengembangan waterfront city. 5.3
Analisis SWOT Berdasarkan hasil analisis SWOT yang didasarkan pada penilaian dari
aspek legal, biofisik, ekologis, sosial, dan persepsi serta preferensi stakeholders, maka pengembangan Kota Jambi sebagai riverfront di bagi dalam tiga zona pengembangan (Tabel 19), yaitu: 1)
Zona Alami Termasuk dalam zona alami adalah Kelurahan Penyengat Rendah, Teluk Kenali dan Pulau Sijinjang.
2)
Zona Semi Alami Termasuk dalam zona semi alami adalah Kelurahan Pasir Panjang, Ulu Gedong, Tanjung Raden, Olak Kemang, Tanjung Pasir, Buluran Kenali, Legok, Arab Melayu, Tengah, Jelmu, Mudung Laut, Tahtul Yaman, Tanjung Johor dan Sijinjang.
3)
Zona Multi Fungsi Termasuk dalam zona multi fungsi adalah Pasar Jambi dan Kasang.
67
Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
Penyengat Rendah/ segmen 1
Teluk Kenali/ segmen 2
68
Analisis S
W
• Nilai sinousitas terkategori tinggi (skor 3) • Kualitas lingkungan alami terkategori tinggi (skor 5) •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
• Masih adanya masyarakat yang menggunakan sungai sebagai halaman belakang (tempat sampah dan MCK) • Bangunan (rumah) tidak berorientasi ke sungai • Aspek legal tidak terpenuhi
• Kualitas lingkungan alami terkategori tinggi (skor 5) • Terpenuhinya aspek legal •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
• Nilai sinousitas terkategori rendah (skor 1) • Bangunan (rumah) tidak berorientasi ke sungai
O
Program pengembangan
T
• Penyengat •Persepsi dan Rendah preferensi merupakan hulu stakeholders bagi batas menunjukkan administrasi Kota dukungan dalam Jambi yang pengembangan berkembang riverfront city aktivitas PETI •Masuk dalam BWK Telanaipura dengan • Pembebasan lahan fungsi utama pemukiman, pendidikan, dan perkantoran (Bappeda Kota Jambi, 2010) • Presepsi dan • Pembebasan preferensi lahan stakeholders menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city • Masuk dalam BWK Telanaipura dengan fungsi utama pemukiman, pendidikan, dan perkantoran (Bappeda Kota Jambi, 2010)
Zona Alami: a. Penataan kawasan lebih alami dengan live stake bioengineering dan vegetasi sebagai hutan kota b. Penataan pedistrian way agar publik dapat menikmati pemandangan ke arah sungai. Lebar pedistrian way pada zona alami ini tidak lebih dari 1 m. c. Penataan bangunan sepanjang kawasan agar berorientasi ke arah sungai dan lebih ekologis d. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) e. Pengembangan Ekowisata • Penyediaan fasilitas yang berunsur ekologis untuk mendukung aktivitas ekowisata di kawasan ini • Penggunaan elemen lanskap yang ekologis dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata, serta mengelola kegiatan ekowisata tersebut
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
P.Sijinjang
69
Analisis S • Nilai sinousitas terkategori tinggi (skor 3) • Kualitas lingkungan alami terkategori tinggi (skor 5) • Terpenuhinya aspek legal •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
W Belum adanya rencana pemanfaatan/pe ngembangan terhadap P.Sijinjang
O Presepsi dan preferensi stakeholders menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
T
Program pengembangan Zona Alami: a. Penataan kawasan lebih alami dengan live stake bioengineering dan vegetasi sebagai hutan kota b. Pengembangan Ekowisata • Penyediaan fasilitas yang berunsur ekologis untuk mendukung aktivitas ekowisata di kawasan ini. • Penggunaan elemen lanskap yang ekologis dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat disekitar Kelurahan Sijinjang dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata, serta mengelola kegiatan wisata tersebut
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
Analisis S
Pasir • Kualitas Panjang, Ulu lingkungan alami Gedong, sedang (skor 4) Tanjung • Nilai budaya Raden, Olak yang tinggi Kemang dan • Kawasan Tanjung Pasir pendidikan agama •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
70
W
O
T
• Nilai sinousitas • Persepsi dan • Pembebasan lahan terkategori rendah preferensi • Adanya industri (skor 1) stakeholders sawmill yang menunjukkan sebaiknya di • Masih adanya dukungan dalam masyarakat yang relokasi pengembangan menggunakan riverfront city sungai sebagai halaman belakang • Masuk dalam BWK (tempat sampah Jambi Kota dan MCK) Seberang dengan fungsi utama • Bangunan (rumah) sebagai pemukiman tidak berorientasi ke dan wisata (Dinas sungai Tata Ruang dan • Aspek legal tidak Perumahan, 2010) terpenuhi
Program pengembangan Zona semi alami: a. Penataan kawasan lebih alami sebagai daerah konservasi dengan live cribb atau gabion wall bioengineering dan vegetasi sebagai taman kota. Pengadaan taman kota dapat dilakukan pada tiap kelurahan dengan luas 10-30% dari luas kawasan b. Penataan pedistrian way agar publik dapat menikmati pemandangan ke arah sungai. Lebar pedistrian way pada zona semi alami ini adalah 2 m sehingga dapat digunakan juga untuk bersepeda c. Penataan bangunan sepanjang kawasan agar berorientasi ke arah sungai dan lebih ekologis d. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) e. Relokasi industri sawmill ke kawasan industri yang telah ada diperencanaan RTRW Kota Jambi 2010-2030 yaitu ke Selincah f. Pengembangan wisata budaya dan religi • Penyediaan fasilitas yang mendukung wisata budaya dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata, serta mengelola kegiatan wisata tersebut • Pengembangan khusus yaitu menjadikan masjid Al-Ikhsanniyah sebagai landmark Sekoja • Pengadaan amphitheater sebagai tempat pertunjukkan budaya • Adanya restoran/cafe terapung • Penataan terminal ketek
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan /Segmen
Analisis S
W
O
T
Program pengembangan
Buluran Kenali dan Legok
• Kualitas lingkungan alami terkategori sedang (skor 4) • Bangunan (rumah) berorientasi ke sungai (Buluran Kenali) •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
• Nilai sinousitas • Presepsi dan • Ancaman erosi terkategori rendah preferensi tebing (skor 1) stakeholders • Pembebasan menunjukkan • Aspek legal tidak lahan dukungan dalam terpenuhi pengembangan • Pada kedua riverfront city kawasan ini • Masuk dalam BWK umumnya Telanaipura dengan masyarakat fungsi utama menggunakan pemukiman, sungai sebagai pendidikan, dan halaman belakang perkantoran (tempat sampah (Bappeda Kota dan MCK) Jambi, 2010) • Adanya budidaya ikan sungai
Zona semi alami: a. Penataan kawasan lebih alami sebagai daerah konservasi dengan live cribb atau gabion wall bioengineering dan vegetasi sebagai taman kota Pengadaan taman kota dapat dilakukan pada tiap kelurahan dengan luas 10-30% dari luas kawasan b. Penataan pedistrian way agar publik dapat menikmati pemandangan ke arah sungai. Lebar pedistrian way pada zona semi alami ini adalah 2 m sehingga dapat digunakan juga untuk bersepeda c. Penataan bangunan sepanjang kawasan agar berorientasi ke arah sungai dan lebih ekologis d. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) e. Pengembangan wisata budi daya ikan sungai • Penyediaan fasilitas yang mendukung wisata • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata serta mengelola kegiatan wisata tersebut • Adanya cafe/restoran terapung
Arab Melayu, Tengah, Jelmu, dan Mudung Laut
• Presepsi dan • Adanya pabrik • Kualitas lingkungan • Nilai sinousitas crumbrubber alami terkategori terkategori rendah preferensi stakeholders yang sebaiknya sedang (skor 3) (skor 1) menunjukkan direlokasi • Termasuk pada • Nilai budaya yang dukungan dalam daerah yang tinggi pengembangan padat penduduk • Kawasan pendidikan riverfront city agama • Masih adanya masyarakat yang • Masuk dalam BWK • Aspek legal Jambi Kota menggunakan terpenuhi Seberang dengan sungai sebagai • Bangunan (rumah) fungsi utama halaman belakang berorientasi ke sebagai pemukiman (tempat sampah sungai dan wisata (Dinas dan MCK) • Telah adanya balai Tata Ruang dan Kerajinan Rakyat Perumahan, 2010) Jambi (Selaras Pinang Masak)
a. Penataan kawasan lebih alami sebagai daerah konservasi dengan live cribb atau gabion wall bioengineering dan vegetasi sebagai taman kota b. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) c. Relokasi industri crumbrubber ke kawasan industri yang telah ada diperencanaan RTRW Kota Jambi 2010-2030 yaitu ke Selincah d. Pengembangan wisata budaya dan religi • Penyediaan fasilitas yang mendukung wisata budaya dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata serta mengelola kegiatan wisata tersebut • Pengadaan cafe/restoran terapung • Penataan terminal ketek • Pengadaan amphitheater sebagai tempat pertunjukkan budaya
71
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
Analisis S
• Nilai budaya yang tinggi • Kualitas lingkungan alami terkategori sedang (skor 3) •Persepsi dan preferensi masyarakat Tahtul Yaman menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
• Nilai sinousitas terkategori tinggi (skor 3) • Kualitas lingkungan alami terkategori sedang (skor 4) •Persepsi dan preferensi Tanjung Johor masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city •Adanya budi daya ikan sungai
72
W • Nilai sinousitas terkategori rendah (skor 1) • Aspek legal tidak terpenuhi • Bangunan (rumah) tidak berorientasi ke sungai • Masih adanya masyarakat yang menggunakan sungai sebagai halaman belakang (tempat sampah dan MCK) • Masih adanya masyarakat yang tinggal di rumah apung • Masih adanya masyarakat yang menggunakan sungai sebagai halaman belakang (tempat sampah dan MCK) • Masih adanya masyarakat yang tinggal di rumah apung
O
T
• Presepsi dan • Pembebasan preferensi lahan stakeholders menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city • Masuk dalam BWK Jambi Kota Seberang dengan fungsi utama sebagai pemukiman dan wisata (Dinas Tata Ruang dan Perumahan, 2010)
• Presepsi dan • Adanya pabrik preferensi crumbrubber stakeholders yang menunjukkan sebaiknya dukungan dalam direlokasi pengembangan • Pembebasan riverfront city lahan • Masuk dalam BWK Jambi Kota Seberang dengan fungsi utama sebagai pemukiman dan wisata (Dinas Tata Ruang dan Perumahan, 2010)
Program pengembangan
Zona semi alami: a. Penataan kawasan lebih alami sebagai daerah konservasi dengan live cribb atau gabion wall bioengineering dan vegetasi sebagai taman kota b. Penataan bangunan sepanjang kawasan agar berorientasi ke arah sungai dan lebih ekologis c. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) • Khusus untuk rumah apung dapat di tata lebih baik sehingga dapat menjadi objek wisata yanng menarik d. Pengembangan wisata budaya dan budi daya ikan sungai • Penyediaan fasilitas yang mendukung wisata budaya dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata, serta mengelola kegiatan wisata tersebut • Penataan terminal ketek e. Relokasi industri crumbrubber ke kawasan industri yang telah ada dalam RTRW Kota Jambi 2010-2030 yaitu ke Selincah
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
Sijinjang
73
Analisis S • Nilai sinousitas terkategori tinggi (skor 3) • Kualitas lingkungan alami terkategori sedang (skor 4) • Presepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
W • Aspek legal tidak terpenuhi • Masih adanya masyarakat yang menggunakan sungai sebagai halaman belakang (tempat sampah dan MCK) • Sempadan digunakan untuk dok kapal
O
T
• Presepsi dan • Adanya pabrik preferensi crumbrubber yang stakeholders sebaiknya direlokasi menunjukkan • Pembebasan lahan dukungan dalam • Ancaman erosi tebing pengembangan riverfront city • Masuk dalam BWK Jambi Timur-Selatan dengan fungsi utama kegiatan industri, perdagangan dan jasa, serta permukiman (Bappeda Kota Jambi, 2010)
Program pengembangan Zona semi alami: a. Penataan kawasan lebih alami sebagai daerah konservasi dengan live cribb atau gabion wall bioengineering dan vegetasi sebagai taman kota b. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) untuk skala lingkungan • Pengolahan sampah (skala lingkungan) c. Pengembangan dok kapal yang tetap memperhatikan daya dukung lingkungan a. Relokasi industri crumbrubber ke kawasan industri yang telah ada diperencanaan RTRW Kota Jambi 2010-2030 yaitu ke daerah Selincah d. Pengembangan wisata sesuai kekahasan setempat • Penyediaan fasilitas yang mendukung wisata dan berunsur edukasi • Melibatkan masyarakat setempat dalam menciptakan obyek dan atraksi wisata,serta mengelola kegiatan wisata tersebut
Lanjutan Tabel 19 Analisis SWOT pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city berdasarkan segmen Kelurahan/ Segmen
Pasar Jambi dan Kasang
74
Analisis S • Telah menjadi pusat kota, pusat perdagangan dan jasa • Telah adanya kawasan wisata Tanggo Rajo • Perumahan dinas Gubernur Jambi • Keberadaan Angso Duo •Persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan dukungan dalam pengembangan riverfront city
W • Nilai sinousitas terkategori rendah (skor 1) • Aspek legal tidak terpenuhi • Nilai kualitas lingkungan alami rendah (skor 2) • Bangunan yang menyalahi RTRW Kota Jambi
O
T
• Presepsi dan • Pengendalian dan preferensi penertiban stakeholders pemanfaatan menunjukkan sempadan sungai dukungan dalam pengembangan riverfront city • Masuk dalam BWK Angso Duo dengan fungsi utama Center Business District (Bappeda Kota Jambi, 2010) • Dalam RDTR Kota Jambi 2010-2030 Pasar Angso Duo akan direlokasi pada tempat yang tidak jauh dari tempat semula. Kemudian bekas pasar tersebut akan dijadikan RTH.
Program pengembangan Zona multi fungsi: a. Penataan kawasan agar lebih alami dengan penambahan vegetasi di antara bangunan b. Pengendalian dan penertiban terhadap bangunan yang tidak sesuai dengan RTRW c. Penataan bangunan sepanjang kawasan agar berorientasi ke arah sungai dan lebih ekologis d. Pemukiman dan bangunan komersil yang berkonsep zero waste dengan membuat fasilitas: • Pengolahan limbah cair (sewage water treatment) • Pengolahan sampah padat
5.4
Alternatif Strategi Pengembangan kota Jambi Menuju Riverfront City Menurut Dwidjowijoto (2007) bahwa isu pokok dalam analisis kebijakan
adalah menetapkan alternatif kebijakan. Berdasarkan penelitian menggunakan AHP maka alternatif kebijakan pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 19. Tabel 20 Hasil analisis AHP alternatif kebijakan pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city Elemen Bobot Prioritas Alternatif Kebijakan Peningkatan koordinasi antar stakeholders Pemberdayaan masyarakat Penegakan hukum beserta regulasinya Penyempurnaan database DAS Revitalisasi sungai Pengembangan kawasan industri hijau
0,247
1
0,239 0,179 0,120 0,108 0,106
2 3 4 5 6
0,293 0,218 0,190 0,190 0,109
1 2 2 3 4
Aspek Ekologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Teknologi
75
Kriteria
Pilihan
Strategi
76 Revitalisasi sungai (0,108)
Gambar 19 Peningkatan koordinasi antar stakeholders (0,247) Pemberdayaan masyarakat (0,239) Penegakan hukum (0,179) Penyempurnaan database DAS (0,120)
Kelembagaan (0,190)
Hasil AHP strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city
Penggunaan teknologi ramah lingkungan (0,055)
Meningkatnya informasi teknologi pengelolaan sungai (0,055)
Meningkatnya institusi pengelola DAS (0,047)
Ekonomi (0,190)
Terwujudnya kepastian hukum beserta regulasinya (0,047)
Terwujudnya sinkronisasi program antar stakeholders (0,095)
Meningkatnya PAD (0,047)
Sosial Budaya (0,218)
Meningkatnya pendapatan masyarakat (0,0142)
Terjadinya perubahan perilaku masyarakat (0,159)
Ekologi (0,293)
Terciptanya lapangan kerja (0,159)
Terpeliharanya budaya lokal (0,159)
Tersusunnya RTRW berwawasan lingkungan (0,0175)
Aspek
Menurunnya konsentrasi pencemar (0,059)
Meningkatnya kualitas dan daya dukung sungai (0,059)
Tujuan Alternatif Strategi Pengembangan Kota Jambi Menuju Riverfront City
Teknologi (0,109)
Pengembangan kawasan industri hijau (0,106)
5.4.1 Level Aspek dan Kriteria Hasil analisis AHP terhadap lima sub level aspek bahwa dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront, aspek ekologi merupakan prioritas dengan bobot tertinggi sebesar 0,293 (29,3%), aspek sosial 0,218 (21,8%), aspek ekonomi dan aspek kelembagaan memiliki bobot yang sama 0,190 (19%), dan terakhir adalah aspek teknologi dengan bobot sebesar 0,109 (10,9%). Nilai bobot masing-masing aspek disajikan pada Gambar 20.
Pendapat Pakar 30% 20% 10% 0%
Gambar 20 Prioritas masing-masing aspek dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city Tingginya nilai bobot aspek ekologi dibandingkan dengan aspek lainnya menunjukkan pengembangan
bahwa
aspek
ekologi
menjadi
perhatian
utama
dalam
riverfront city dan sangat penting dimasukkan kedalam
perencanaan pengembangan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan. Karena
aspek
ekologi merupakan
sistem
pendukung
kehidupan untuk
mempertahankan keberadaan makluk hidup dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi jangka panjang bagi manusia. Terpilihnya aspek ekologi sebagai prioritas utama dalam pengembangan riverfront city
mencerminkan bahwa
kegiatan pengembangan riverfront city ini merupakan bagian dari menjaga kelestarian ekosistem sungai dan merupakan bagian dari pembangunan yang berwawasan lingkungan. Aspek kedua yang berpengaruh dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city ini adalah aspek sosial. Aspek sosial sangat berpengaruh dalam pengembangan riverfront city ini karena pada dasarnya masyarakat Jambi 77
merupakan masyarakat yang aktivitas sehari-harinya masih sangat bergantung terhadap Sungai Batanghari. Dimana dalam pengembangan ini aspek sosial budaya terutama budaya air masyarakat dapat diakomodir sehingga tidak meninggalkan ciri khas masyarakat asli Jambi seperti keberadaan rumah apung dan rumah panggung. Aspek ketiga yang berpengaruh dalam pengembagan riverfront city ini adalah aspek kelembagaan dan ekonomi. Kelembagaan merupakan ujung tombak pengembangan riverfront city. Apabila kelembagaan/instansi yang terkait dalam pengelolaan Sungai Batanghari yang ada bekerjasama dengan koordinasi yang baik maka pengembangan riverfront city dapat dilakukan secara optimal. Kelembagaan berperan dalam hal perencanaan, monitoring dan mengevaluasi seluruh kegiatan yang akan dikembangkan agar berjalan sesuai dengan aturan hukum dan kaidah keberlanjutan terhadap sungai. Aspek ekonomi juga sangat penting dalam pengembangan riverfront city. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek ekologi, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan the living triangle. Ekologi/lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat mendukung. Oleh karena itu dalam pengembangan riverfront city aspek ekonomi harus tetap diperhatikan, dalam artian bahwa dengan pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city, ekonomi masyarakat dapat berkembang lebih baik yang tentunya akan memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah. Aspek keempat yang berpengaruh dalam pengembagan riverfront city ini adalah aspek teknologi. Dalam pengembangan riverfront city teknologi yang ramah lingkungan sangatlah penting. Teknologi ramah lingkungan akan sangat membantu dalam mepertahankan kualitas ekologis sungai. Penggunaan teknologi ramah lingkungan bukan hanya dalam pengembangan fisik sungai tetapi dapat juga dimanfaatkan oleh masyarakat. 5.4.2 Level Alternatif Riverfront City
Strategi
Pengembangan
Kota
Jambi
Menuju
Alternatif kebijakan (policy alternatif) adalah serangkaian tindakan yang memungkinkan untuk dilakukan yang dapat menyumbang pada pencapaian nilainilai dan pemecahan masalah kebijakan (Dunn 2003).
Berkaitan dengan
sasaran-sasaran yang ingin dicapai dari berbagai aspek dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city, maka terdapat beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan yakni: (1) peningkatan koordinasi antar stakeholders 78
(PKS); (2) pemberdayaan masyarakat (PM); (3) penegakan hukum beserta regulasinya (PH); (4) penyempurnaan database DAS (PDDAS); (5) revitalisasi sungai (RS); dan (6) pengembangan kawasan industri hijau (PKIH). Nilai bobot alternatif strategi pengembangan Sungai Batanghari menuju riverfront city disajikan pada Gambar 21.
Alternatif Strategi 25% 20% 15% 10% 5% 0% PKS
PM
PH
PDDAS
RS
PKIH
Gambar 21 Nilai bobot alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city Alternatif strategi pengembangan yang merupakan prioritas utama adalah peningkatan koordinasi antar stakeholders dengan bobot nilai sebesar 0,247 (24,7%), namun demikian berhubung bobot nilai antar alternatif strategi tidak berbeda jauh mengindikasikan bahwa semua alternatif tersebut penting dan saling terkait. 5.4.2.1 Peningkatan Koordinasi antar Stakeholders Alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city yang pertama adalah peningkatan koordinasi antar stakeholders. Koordinasi berasal dari kata bahasa Inggris coordination yang berarti being co-ordinate, yaitu adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar, yang dapat diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu. Koordinasi adalah bekerja bersama seerat-eratnya dibawah seorang pemimpin (Penjelasan UUD). Koordinasi kegiatan vertikal di daerah adalah upaya yang dilaksanakan oleh Kepala Wilayah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal, dan antara instansi vertikal dengan dinas daerah agar
79
tercapai hasil guna dan daya guna (PP. No. 6 th 1988). Menurut Basyuni (2009), koordinasi pada hakekatnya merupakan upaya memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama. Menurut Basyuni (2009), terdapat beberapa prinsip koordinasi, antara lain (1) mempunyai kesamaan persepsi, saling pengertian, hormat menghormati yang perlu dibina; (2) obyek sasaran yang menjadi acuan koordinasi harus diterima semua pihak; (3) mengorientasikan perilaku semua pihak pada sasaran secara terpadu; (4) merancang pertemuan berkala guna memonitor kemajuan dan penanganan masalah; (5) mendorong semangat kerjasama dan etos kerja semua pihak guna mengefektifkan kegiatan bersama; (6) mengarahkan serta negosiasi
agar
tindakan
tidak
menasehati
dan
menyimpang;
(7)
mengintensifkan pemecahan masalah penghambat koordinasi; (8) mengarahkan semua potensi sumber daya hanya kepada
sasaran
atau
tujuan;
(9)
menyempurnakan dan menyederhanakan sistem kerja bila diperlukan; (10) menginformasikan semua kebijakan dan mendengarkan pendapat semua pihak dalam membina kesamaan persepsi dari semua pihak. Peningkatan koordinasi antar stakeholders perlu ditingkatkan
agar
berbagai kepentingan dari masing-masing stakeholders dapat diakomodasi dalam pengembangan riverfront city. Bappeda Kota Jambi sangat berperan dalam mengkoordinasikan rencana pengembangan riverfront city kepada seluruh instansi yang terkait. Kerjasama dan koordinasi yang baik antara Bappeda Kota Jambi dengan Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Jambi sangat diperlukan agar dalam rencana tata ruang wilayah Kota Jambi arah pengembangan riverfront city dapat lebih terarah. Koordinasi juga harus tetap dilakukan dengan stakeholders di hulu seperti Dinas Kehutanan Prov. Jambi, BWSS VI, dan BPDAS. Koordinasi akan berjalan dengan baik jika kedua belah pihak menjalin komunikasi aktif dua arah dan menghilangkan ego sektoral. Peningkatan koordinasi antar stakeholders dalam pengembangan Kota Jambi sebagai riverfront city dapat mengacu pada pembentukan kelembagaan Rhine Riverfront. Bentuk kelembagaan stakeholders yang dilaksanakan dalam Rhine Riverfront adalah (a) adanya pertemuan tingkat Menteri; (b) pembentukan komisi untuk perlindungan Sungai Rhine (Steereing Commitee for International Commitee for Protected the Rhine/ICPR); (c) pembentukan komisi koordinator
80
ICPR; (d) pembentukan kelompok kerja (kualitas air, emisi dan banjir); (e) adanya
kelompok
ahli
dan
(f)
pembentukan
sekretariat.
Dari
bentuk
kelembagaan yang telah dijalankan pada pengelolaan Sunga Rhine maka dapat diaplikasikan untuk pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city dengan pembentukan panitia kerja khusus yang dapat dilihat pada Gambar 22.
Pertemuan tingkat Instansi
Walikota Jambi
Pembentukan Steering Commitee Jambi Riverfront City: • Penunjukan ketua program pengembangan • Pembagian tugas dan kewenangan • Pensinergian program kerja
Pembentukan Pertemuan tingkat Kadis kelompok kerja dan komisariat
Sosialisasi program/konsultasi publik
Bappeda Kota Jambi
• • • • •
Instansi/stakeholders terkait Akademisi LSM Masyarakat Swasta
• Masyarakat • Swasta
Gambar 22 Rencana koordinasi pengembangan Jambi riverfront city
5.4.2.2 Pemberdayaan Masyarakat Alternatif strategi Kota Jambi menuju riverfront city yang kedua adalah pemberdayaan
masyarakat.
Definisi
pemberdayaan
masyarakat
menurut
Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Kementerian Kehutanan (PJLWA Kemenhut) adalah segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat, untuk memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Menurut Awandana (2010), pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang
membangun
manusia
atau
masyarakat
melalui
pengembangan
kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.
81
Definisi
tersebut
menggambarkan
tiga
tujuan
utama
dalam
pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah adalah perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengorganisasian masyarakat merupakan suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Pemberdayaan berpartisipasi.
masyarakat
Program
bisa
pembangunan
berjalan yang
apabila
warganya
mengedepankan
ikut
partisipasi
masyarakat secara aktif dan kritis disebut dengan program pembangunan partisipatif (Nugroho, 2001). Program pembangunan partisipatif pada intinya adalah program pembangunan yang mengedepankan tanggung jawab bersama dengan porsi setimbang antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembangunan. Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Ketergantungan
masyarakat
terhadap
sumberdaya
air
khususnya
keberadaan Sungai Batanghari sangatlah tinggi. Sehingga diperlukan peran aktif masyarakat dalam lingkungannya secara baik secara swadaya dan mandiri. Dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan riverfront city, masyarakat merasa memiliki sehingga secara aktif turut menjaga keberadaan sungai dan berperan aktif dalam pengembangan riverfront city tersebut. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan antara lain kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan berperan serta aktif dalam memberikan saran dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Lembaga adat yang sudah ada seperti Lembaga Adat Jambi sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan.
5.4.2.3 Penegakan Hukum Beserta Regulasinya Alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city yang ketiga adalah penegakan hukum beserta regulasinya. Definisi penegakan hukum (law inforcement) secara luas menurut Hamzah (1997), meliputi kegiatan
82
preventif yang meliputi negosiasi, supervisi, penerangan dan nasehat) dan represif
yang meliputi mulai dari kegiatan penyelidikan, penyidikan sampai
penerapan sanksi baik administratif maupun hukum pidana. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan lingkungan. Urutan siklus pengaturan perencanaan kebijakan yakni : 1) perundang-undangan (legislation); 2) penentuan standar (standard setting); 3) pemberian izin (lizensing); 4) penerapan (implementation); dan penegakan hukum (law enforcement). Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum oleh masyarakat. Bila penegakan hukum oleh aparat
lemah,
masyarakat
akan
mempersepsikan
bahwa
hukum
di
lingkungannya tidak ada atau seolah berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan. Lemahnya penegakan hukum yang berhubungan dengan Sungai Batanghari ini dapat dilihat dari masih pelanggaran pemanfaatan sempadan, seperti pembangunan mall dan hotel hingga ke badan air yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Jambi serta lemahnya instansi daerah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup daerah untuk menindak industri yang membuang limbah cairnya diatas baku mutu. Penegakan hukum sangat diperlukan dalam pengembangan riverfront city.
Penegakan hukum ini diberlakukan terhadap
kegiatan-kegiatan pemanfaatan Sungai Batanghari baik dari hulu hingga hilir, sempadan sungai maupun badan sungai. Keberhasilan penegakan hukum dalam pengembangan riverfront city dipengaruhi oleh kemampuan penegak hukum dalam mengatasi hambatan dan kendala sebagai berikut: (1) hambatan dan kendala yang bersifat alamiah antara lain keragaman suku bangsa dan bahasa dapat menyebabkan persepsi hukum yang berbeda, (2) kesadaran hukum masyarakat masih rendah, (3) belum lengkapnya peraturan hukum terkait penataan ruang dan pemanfaatan lahan sepanjang sempadan sungai, (4) penegak hukum belum mantap, (5) masalah pembiayaan. 5.4.2.4 Penyempurnaan Database DAS Basis data (database) merupakan pengolahan data yang secara prinsip memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan data mentah. Lebih dari itu basis data adalah pusat sumber data yang caranya dipakai oleh banyak pemakai untuk berbagai aplikasi. Inti dari basis data adalah database management system 83
(DBMS) yang membolehkan pembuatan, modifikasi dan pembaharuan basis data, membangkitkan kembali data dan membangkiitkan laporan. Tujuan database yang efektif yaitu: 1) memastikan bahwa data dapat dipakai diantara pemakai untuk berbagai aplikasi; 2) memelihara data baik keakuratan maupun kekonsistenannya; 3) memastikan bahwa semua data yang diperlukan untuk aplikasi sekarang dan yang akan datang dapat tersedia dengan cepat; 4) membolehkan basis data untuk berkembang dan kebutuhan pemakai untuk berkembang;
dan
5)
membolehkan
pemakai
membangun
pandangan
personalnya. Database DAS merupakan bagian dari sistem informasi sumberdaya air (UU No.7 Tahun 2004). Sistem informasi sumber daya air (khususnya DAS) merupakan jaringan informasi sumberdaya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai jaringan institusi. Jaringan informasi ini harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang pengelolaan sungai. Sungai Batanghari yang merupakan bagian dari DAS Batanghari, membutuhkan database yang akurat dan kontinyu dalam rangka perancangan pengembangan riverfront city. Database DAS yang perlu disempurnakan dalam pengembangan riverfront city Sungai Batanghari antara lain kondisi hidrologis, hidrometereologis, hidrogeologis, prasarana dan teknologi. Dalam konteks pengembangan riverfront city, database mengenai tata ruang juga
sangat diperlukan. Menurut Idris (2006) diperlukan dua kegiatan
dalam penyempurnaan database tata ruang Kota Jambi beserta DAS Batanghari, yakni: 1) strukturisasi database tataguna tanah, dampak tata ruang (tataguna air, banjir, limbah, erosi, dll), pembagian wilayah, rencana solusi, sehingga data ini mudah digunakan untuk mengindikasikan hubungan yang ada dan pelibatan unit adm terkait; 2) operasional model analisis tata ruang yang mampu secara sistematis memelihara inventarisasi ruang yang dinamis beserta fungsinya bagi daerah yang bersangkutan. Dengan menggunakan proyeksi kebutuhan ruang sesuai peruntukannya (misalnya dengan memperhatikan konservasi beberapa wilayah khusus untuk fungsi tertentu) bagi total wilayah model ini akan merelokasikan ruang untuk kepentingan masa depan sesuai dengan rancangan khusus pengembangan tata ruang. Informasi strategis tentang potensi, opsi, dan interrelasi sangat penting untuk mendukung proses harmonisasi tata ruang.
84
5.4.2.5 Revitalisasi Sungai Secara umum stakeholders berpendapat bahwa revitalisasi/normalisasi Sungai Batanghari sangat mendesak untuk dilakukan. Revitalisasi sungai hal yang umum dilakukan dalam perbaikan kondisi sungai. Akan tetapi perlu diingat istilah revitalisasi/noralisasi kurang tepat untuk digunakan, karena sebenarnya sungai secara alami sudah normal. Secara alami sungai selalu merubah kondisi fisiknya sesuai dengan perubahan yang terjadi di sungai (Kodatie, et al. 2010). Kegiatan yang biasanya dilakukan dalan revitalisasi sungai antara lain pelurusan, pengerasan dinding sungai, pembuatan tanggul dan pengerukan serta penghilangan tumbuhan, lumpur, pasir, dan batuan di kiri kanan sungai akan dapat memberikan dampak negatif bagi ekologis sungai seperti hilangnya berbagai kemampuan dan potensi daerah ekoton dalam mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan bagi biota yang hidup di sungai. Hilangnya daerah ekoton akhirnya berdampak pada manusia sendiri karena terjadi banjir di hilir, erosi di dasar sungai yang menyebabkan longsor dan sedimentasi atau pendangkalan di hilir karena tererosinya material sepanjang sungai, serta terputusnya daur kehidupan pendukung ekosistem
(Haryani, 2006). Sebagai
contoh Sungai Kayamanya yang karena mengalami "normalisasi" dengan pembuatan dinding beton dan penghilangan batuan kecil dan tumbuhan di kirikanan sungai menyebabkan tempat berlindung anakan ikan sidat dari arus kuat dan tempat mencari makan hilang. Kegiatan revitalisasi sungai saat ini telah ditinggalkan oleh negara-negara
Eropa dalam pengembangan riverfront.
Melihat besarnya kerugian akibat hilangnya daerah ekoton, negara-negara maju mulai mengembalikan sungai dari pelurusan ke kondisi alamiahnya ke kelokan aslinya seperti sungai Rhine di Jerman yang pada abad ke-18 sampai ke-19 diluruskan sekarang kembali dibuat berkelok-kelok seperti aslinya dahulu. Program revitalisasi yang akan dilakukan pada Sungai Batanghari sebaiknya bukan memakai paradigma tersebut akan tetapi revitalisasi dalam konteks pengembangan Sungai Batanghari adalah mengembalikan kembali atau memperbaiki kondisi sungai dengan tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem sungai, maka hal yang harus dihindarkan dalam pengembangan ini adalah pembuatan tanggul permanen untuk mengatasi erosi. Keberadaan tanggul dapat digantikan dengan rekayasa teknik bioengineering yang ramah lingkungan seperti penggunaan live stake dan gabion wall yang mampu mengikuti kelokan sungai.
85
5.4.2.6 Pengembangan Kawasan Industri Hijau Menurut pada Keppres No.41 Tahun 1996 pengembangan kawasan industri yaitu kewenangan untuk menyiapkan dan mengembangkan kawasan industri, kewenangan di bidang perijinan, penyediaan lahan dan penerbitan hak pemilikan tanah, menetapkan lokasi kawasan industri, bentuk perusahaan kawasan industri, hak dan kewajiban perusahaan kawasan industri termasuk pengelolaan lingkungan. Kawasan industri hijau (Eco Industrial Park/EIP) merupakan evolusi dari konsep kawasan-kawasan industri yang sudah ada. Konsep kawasan industri yang selama ini hanyalah merupakan kumpulan-kumpulan yang hampir sama sekali tidak memiliki keterkaitan terutama dalam hal pengelolaan lingkungan, atau dengan kata lain, konsep kawasan industri tradisional tidak mengindahkan co-lokasi
(lo-casion)
dalam
pengembangannya.
Konsep
co-lokasi
mengembangkan cara baru untuk meraih sutau kesinergisan dan efisiensi yang lebih besar lagi dengan memperkuat prospek-prospek peningkatan nilai tambah dalam proses-proses industri yang diambil dari keuntungan yang diperoleh karena pengelompokan industri dalam suatu kawasan. Dua definisi penting untuk sebuah EIP menurut Lowe (2001), pertama bahwa sebuah EIP merupakan suatu komunitas bisnis yang bekerja sama satu sama lain dan serta melibatkan masyarakat di sekitarnya untuk lebih mengefesiensikan pemanfaatan sumber daya (informasi, material, air, energi, infrastruktur, dan habitat alam) secara bersama-sama, meningkatkan kualitas ekonomi dan lingkungan, serta meningkatkan sumber daya manusia bagi kepentingan bisnis dan juga masyarakat sekitarnya. Definisi kedua adalah bahwa EIP merupakan suatu sistem industri yang merencanakan adanya pertukaran material dan energi guna meminimalisasi penggunaan energi dan bahan baku, meminimalisasi sampah/limbah, dan membangun suatu ekonomi berkelanjutan, ekologi dan hubungan sosial. Keberadaan EIP sebaiknya menjadi pertimbangan Pemkot Jambi dalam RTRW Kota Jambi kedepan dalam mengantisipasi relokasi industri yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Dalam RTRW Kota Jambi tahun 2010-2030 kawasan Selincah ditetapkan sebagai kawasan strategis Pusat Industri Selincah yang dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan industri pengolahan skala besar di Kota Jambi dalam suatu kompleks yang terintegrasi dan memiliki konektivitas yang baik ke Bandara Sultan Thaha dan Pelabuhan Talang Duku.
86
Kawasan ini mencakup Kelurahan Payo Selincah dan sebagian Kelurahan Sijinjang dengan luas 698,49 Ha. Dalam perencanaan Pusat Industri Selincah oleh pemerintah Kota Jambi ini sebaiknya mengarah pada pembentukan EIP bukan hanya sebagai kawasan industri konvensional. Dengan konsep EIP banyak manfaat yang akan didapat seperti peningkatan PAD khususnya dari industri yang dilokasikan dalam satu kawasan, dan tentunya keberlangsungan ekologis sungai dapat terjamin di waktu yang akan datang. Mendisain sebuah Eco-Industrial Park (EIP) tidak terlepas dari usahausaha bagaimana mengintegrasikan EIP ini dengan masyarakat di sekitarnya, karena bagaimana pun masyarakat akan langsung merasakan dampak dari suatu kawasan industri. Selain itu, pengembangan sebuah kawasan juga akan memberikan suatu pertimbangan bagi pembangunan wilayah yang tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, penerapan sebuah EIP juga tidak lepas dari suatu usaha bagaimana untuk
menciptakan
suatu
masyarakat
yang
berkelanjutan
(sustainable
community). Definisi sustainable community fokus pada pendekatan sistem yang terintegrasi untuk jangka panjang, diantaranya isu-isu yang berhubungan dengan isu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Konsep ini memandang bahwa isu-isu yang berhubungan dengan ekonomi, lingkungan, dan sosial tersebut merupakan suatu yang terintegrasi dan memiliki hubungan saling kebergantungan. Yang berhubungan dengan isu-isu masalah ekonomi dalam sustainable community ini adalah bagaimana untuk menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang baik bagi komunitas, gaji yang baik, bisnis yang stabil, implementasi dan pengembangan teknologi yang sesuai, pengembangan bisnis dan lain-lain. Menurut Khanna (1999) dalam Fatah (2009), pembangunan berkelanjutan akan berimplikasi terjadinya keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Perencanaan pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan adanya trade off antara level produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying capacity), peningkatan kualitas hidup hanya dapat dilakukan jika pola dan level produksi-konsumsi memiliki kesesuaian
dengan
kapasitas
lingkungan
biofisik
dan
sosial.
Strategi
perencanaan EIP sebagai bagian dari perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan
informasi
yang
tepat
tentang
pilihan-pilihan
penggunaan
sumberdaya, teknologi, pola konsumsi, perubahan struktur sistem, tingkat
87
kualitas hidup yang diharapkan serta status lingkungan yang menjamin berkurangnya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Dari sudut pandang lingkungan, suatu masyarakat hanya dapat berkelanjutan dalam jangka panjang bila semua aktivitas yang dilakukan dalam komunitas tersebut tidak menurunkan kualitas lingkungannya atau terlalu banyak menghabiskan sumber daya yang sudah terbatas jumlahnya. Perhatian terhadap lingkungan disini diarahkan pada usaha-usaha untuk proteksi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, menjamin ekosistem dan habitat yang sehat, serta usaha-usaha yang berhubungan dengan pengurangan polusi terhadap air, udara, dan daratan; menyediakan ruang hijau yang cukup, rekreasi, dan bagi penggunaan lain; melakukan manajemen ekosistem serta melindungi keanekaragaman hayati; dan lain-lain. Isu-isu
sosial
dalam
sustainable
community
meliputi keterlibatan
masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan, kesehatan, hak kekayaan,
community
building,
kerohanian,
penegakan
hukum
untuk
kepentingan lingkungan, dan lain-lain. Sustainable community sangat terkait dalam usaha-usaha untuk mengembangkan suatu EIP. Sebab, bagaimana pun keterlibatan masyarakat pada suatu wilayah tidak hanya terbatas pada masalah partisipasi mendukung aktivitas-aktivitas industri yang positif, tetapi pada umumnya masyarakat sekitar industri juga merupakan pekerja yang langsung terlibat dalam aktivitas industri tersebut. Bahkan dalam beberapa studi, menunjukan bahwa perkembangan industri-industri suatu wilayah mendorong terwujudnya suatu sustainable community (Djayadiningrat, 2001).
88