18
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah 1. Aktivitas Harian Aktivitas harian diamati dengan mengambil dua sampel kelompok. Kedua kelompok yang diamati memiliki struktur kelompok yang berbeda. Kelompok A memiliki tipe satu jantan-banyak betina (one male-multi female) dengan komposisi satu jantan dewasa, empat betina dewasa, satu betina pradewasa, satu remaja dan dua anak. Sedangkan kelompok B memiliki tipe semua jantan (all male bands) dengan komposisi dua jantan dewasa, dua jantan pradewasa, dan satu jantan remaja. Penentuan kelompok yang diamati berdasarkan pertimbangan kondisi topografi yang memungkinkan pengamat untuk mengamati kedua kelompok. Berdasarkan 609 jam 17 menit pengamatan pada kedua kelompok, aktivitas harian Rekrekan dimulai antara pukul 04:48-06:39 WIB dan berakhir pukul 17:23-18:13 WIB. Jenis aktivitas harian setiap hari relatif sama, namun lamanya aktifitas yang dilakukan bervariasi. Menurut Strier (2000), aktivitas harian primata merupakan respon terhadap perubahan panjang hari tahunan, temperatur, dan curah hujan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas harian Rekrekan lebih ditentukan oleh panjang hari tahunan dan kondisi cuaca. Distribusi aktifitas harian Rekrekan selama penelitian terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Distribusi perilaku harian Rekrekan.
19
Berdasarkan Gambar 4, alokasi waktu harian Rekrekan lebih banyak digunakan untuk istirahat sedangkan aktivitas makan dan berpindah mempunyai alokasi waktu yang lebih kecil. Hal ini merupakan bentuk
adaptasi
mengkonservasi
Rekrekan energi.
dalam
Faktor
lain
perilaku yang
hariannya
mempengaruhi
untuk yaitu
berhubungan dengan makanan. Makanan Rekrekan lebih didominasi oleh daun yang memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dalam proses pencernaannya membutuhkan waktu yang lama untuk memprosesnya menjadi energi. Aktifitas harian Rekrekan dimulai dengan aktivitas makan, karena biasanya Rekrekan bermalam pada pohon makanannya atau berada dekat dengan pohon makanannya. Pada saat awal aktivitas makan, jantan dewasa terlebih dahulu duduk di tajuk atas pohon pakan untuk mengawasi kondisi sekitarnya dan apabila kondisi telah aman jantan dewasa akan ikut makan bersama anggota kelompok yang lain. Setelah aktivitas makan, biasanya Rekrekan akan mulai melakukan pergerakan untuk mencari sumber makanan yang lain. Aktivitas berpindah pada Rekrekan lebih banyak menggunakan bagian tengah tajuk dan turun ke tanah apabila jalur pergerakan terputus karena fragmentasi. Ketika melakukan pergerakan Rekrekan cenderung menggunakan jalur yang sama dengan jenis primata lain seperti Lutung dan Owa Jawa. Apabila di jalur pergerakan terdapat primata lain, Rekrekan akan memilih diam terlebih dahulu atau merubah jalur pergerakannya. Hasil
pengamatan
dilapangan
didapatkan
bahwa
meloncat
(leaping) lebih banyak digunakan oleh Rekrekan dalam berpindah. Secara morfologi, genus Presbytis memiliki kaki belakang yang lebih panjang dibandingkan kaki depan dan tubuh yang memanjang serta lengan yang ramping sehingga karakteristik ini mendukung untuk melakukan leaping. Selain itu genus ini tersebar pada habitat yang memiliki kondisi tajuk yang tidak kontinyu sehingga leaping menjadi alternatif yang tepat terkait dengan penggunaan energi (Fleagle, 1988). Menurut Gebo et al. (1994), intensitas meloncat Colobus badius akan meningkat apabila terdapat ancaman dari luar seperti kehadiran manusia dan predator. Hal ini kemungkinan terjadi pada penelitian ini,
20
kondisi kelompok yang belum terhabituasi memungkinkan Rekrekan lebih banyak menggunakan tipe leaping dalam berpindah. Beberapa tipe Rekrekan dalam berpindah terdapat pada Gambar 5.
Sumber: Rinaldi (1985) dan Kartikasari (1986)
Gambar 5. Tipe berpindah Rekrekan.
Pergerakan kelompok A diinisiasi oleh individu jantan dengan individu betina dewasa memimpin pergerakan dan individu jantan berada dibelakang kelompok sedangkan pada kelompok B individu jantan dewasa dominan berperan sebagai inisiasi dan penentu arah pergerakan dengan jantan dewasa kedua memimpin pergerakan dan jantan dewasa dominan berada dibelakang kelompok. Strategi ini bertujuan untuk melindungi
individu
muda
dalam
kelompok
dari
predator
serta
dimaksudkan untuk proses belajar anggota kelompok muda dalam
21
mengenal, memetakan, dan mengetahui siklus phenologi jenis pohon pakan. Awal pergerakan kedua kelompok tidak selalu ditandai oleh panggilan keras (loud call). Pada kelompok B lebih sering teramati pergerakan diawali dengan suara “nguk” oleh jantan dewasa dominan untuk memanggil individu lain yang bergerak dengan arah berlainan. Adanya anggota kelompok yang tidak sekerabat atau sekeluarga menyebabkan tingkat kohesi antar individu kelompok rendah dan memungkinkan tipe suara ini lebih sering digunakan pada kelompok B. Aktivitas bersuara teramati ketika Rekrekan melakukan aktivitas pergerakan, makan, dan sosial. Menurut Delgado (2006), perilaku bersuara khususnya loud call berfungsi sebagai fungsi spasial antar kelompok, koordinasi sosial, dan seleksi sosial. Dalam kaitannya dengan fungsi spasial antar kelompok, menurut Mitani dan Stuht (1999), loud call merupakan adaptasi suara untuk meningkatkan pengakuan wilayah dalam jarak yang jauh. Aktivitas bersuara Rekrekan terbagi kedalam beberapa tipe suara dan penggunaannya diantaranya yaitu : a. “chek kek kek kek kek kek kek kik” Tipe suara ini disebut juga loud call, terjadi selama 2-3 detik. Saat dikeluarkan biasanya loud call didahului dengan meloncat (leaping). Suara ini dikeluarkan oleh jantan dewasa dan jantan pradewasa. Pada jantan pradewasa suara yang dikeluarkan belum sempurna. Tipe suara ini dikeluarkan ketika terdapat gangguan berupa kehadiran manusia atau predator dan saat kelompok berada atau bertemu dengan kelompok lain di tepi wilayah jelajahnya. Suara ini juga dikeluarkan pada saat terdapat pohon tumbang (Ruhiyat, 1983). b. “nguk/kruk” Tipe suara ini dikeluarkan oleh jantan dewasa, biasanya terjadi ketika saling terpisah antar anggota kelompok dan sebagai sinyal pergerakan. Tipe suara ini lebih banyak teramati pada kelompok B. c. “chek” Tipe suara ini merupakan suara tarikan nafas dari hidung. Dikeluarkan oleh individu jantan dan betina dewasa. Suara ini dilakukan pada saat ada ancaman dari luar misalnya kehadiran manusia atau predator.
22
d. “chek kek kek kek kek” Tipe suara ini hampir sama dengan loud call tetapi dalam durasi yang lebih pendek, antara 0,5-1 detik. Dikeluarkan oleh individu jantan dewasa, dilakukan ketika terdapat individu dari kelompok yang tertinggal dalam pergerakan dan ketika ancaman akibat manusia atau predator telah menjauh. Ketika individu jantan mengeluarkan tipe suara ini biasanya individu lain akan menyahuti dengan suara “wec chek kik” e. “nyiet” Tipe suara ini dikeluarkan oleh anak saat terpisah dengan induknya. Ketika tipe suara ini dilakukan seringkali disertai dengan meringis. Biasanya induk akan menyahuti dengan suara “nyieet” yang lebih melengking dan panjang. f. “nyieet” Tipe suara ini dikeluarkan oleh betina dewasa dan remaja. Pada betina dewasa, dilakukan ketika induk terpisah dengan anaknya. Sedangkan pada remaja suara ini dihasilkan pada saat berkumpul setelah pergerakan. Suara ini juga dikeluarkan pada saat kondisi telah aman dari bahaya dan biasanya dikeluarkan setelah merangkul individu lain. g. “ngeek” dan “ngeok” Tipe suara ini dikeluarkan oleh anak dan remaja pada saat terpisah dengan induknya atau dengan kelompoknya. Pada kelompok B, saat remaja mengeluarkan tipe suara ini biasanya akan disahuti dengan suara “nguk/kruk” oleh jantan dewasa. h. “ngek” Tipe suara ini teramati terjadi pada saat kelompok melakukan aktivitas makan. Suara ini dikeluarkan oleh individu remaja, pra remaja dan dewasa, biasanya disebabkan karena terjadi perebutan tempat makan. Menjelang siang hari, Rekrekan akan melakukan aktivitas istirahat. Saat cuaca cerah biasanya Rekrekan akan beristirahat lebih awal pada pukul 07:00-8:30 WIB dan akan beristirahat kembali pada pukul 11:0013:30 WIB. Sedangkan pada saat cuaca mendung, Rekrekan mulai beristirahat pada pukul 09:00-11:00 WIB dan akan beristirahat kembali
23
pukul 13:00-15:00 WIB. Rekrekan dalam aktivitas istirahat lebih memilih pohon dengan tajuk lebat dan berliana. Pemilihan ini dilakukan untuk menghindari adanya predator dan terlindung dari panas matahari. Beberapa sikap tubuh yang digunakan Rekrekan saat aktivitas istirahat terdapat pada Gambar 6.
Sumber: Kartikasari (1986) dan Bismark (1994)
Gambar 6. Sikap istirahat Rekrekan.
Hubungan sosial Rekrekan teramati ketika aktivitas makan, bergerak dan saat atau setelah beristirahat. Hubungan sosial yang dilakukan oleh Rekrekan terbagi menjadi tiga yaitu : a. Hubungan antara individu dalam kelompok Hubungan sosial antar individu dalam kelompok yang teramati diantaranya yaitu berkutu-kutuan (grooming). Grooming berfungsi untuk menghilangkan ektoparasit dan untuk mempererat hubungan antar individu dalam kelompok. Hasil pengamatan pada kelompok A grooming terjadi antara betina dewasa dengan jantan dewasa, betina dewasa dengan betina pradewasa, betina dewasa dengan remaja, dan betina dewasa dengan anak. Grooming antara betina dewasa dengan anak lebih banyak teramati. Hal yang sama juga terjadi pada Semnopithecus entellus yang lebih sering dan menggunakan waktu
24
yang lama pada saat grooming dengan kerabat terdekatnya (Borries, 1992). Hubungan sosial lain yang teramati yaitu berhubungan dengan perilaku kawin yaitu proses merayu untuk kawin (solicit mating), kawin (copulation), kawin semu (pseudocopulation), dan perilaku belajar. Pada kelompok A, perilaku kawin/kopulasi teramati selama ±5 detik dan diawali dengan loud call yang terus menerus oleh jantan. Sedangkan pada kelompok B tidak teramati adanya kopulasi karena semua anggota kelompok memiliki jenis kelamin jantan dan perilaku kawin hanya berupa proses belajar yang dilakukan oleh individu remaja terhadap jantan dewasa dan biasanya diawali dengan suara “nyiet” dan meringis. Solicit mating teramati pada saat Rekrekan melakukan aktivitas makan. Solicit mating dilakukan oleh betina dewasa dengan cara mengangkat ekor dan menunjukkan alat kelaminnya pada jantan, akan tetapi solicit mating yang teramati tidak terjadi proses kawin. Sedikit berbeda dengan Semnopithecus entellus, solicit mating seringkali dilakukan juga dengan menggelengkan kepala kepada jantan dan kemudian terjadi perilaku kawin (Newton, 1987). Hubungan sosial antar individu juga teramati pada betina dewasa dalam kaitannya dengan reproduksi adalah pseudocopulation yaitu individu betina seolah-olah berperan sebagai individu jantan dewasa melakukan perilaku kawin terhadap betina lain. Psedocopulation merupakan strategi reproduksi pada individu betina untuk menekan betina lain melakukan solicit mating terhadap jantan sehingga jantan tidak tergoda dan kawin dengan betina yang melakukan solicit mating. Perilaku sosial juga teramati setelah perilaku istirahat adalah bermain. Bermain lebih banyak dilakukan oleh remaja dan anak. Biasanya ditunjukkan dengan saling kejar, dorong atau berguling. Pada kelompok A, aktivitas bermain satu kali teramati dilakukan di tanah sedangkan kelompok B tidak pernah teramati bermain di tanah. Selain itu, perilaku sosial juga teramati pada saat makan berupa menjaga anak individu lain (infant-handling). Biasanya dilakukan oleh individu pradewasa terhadap anak individu lain.
25
b. Hubungan antar kelompok Hubungan antar kelompok ditunjukkan dengan aktivitas bersuara (loud call) di batas teritorinya dan akan terjadi konflik apabila kelompok saling bertemu di tepi wilayah jelajahnya. Selama pengamatan tercatat kelompok A satu kali konflik dengan kelompok lain sedangkan kelompok B tercatat tiga kali konflik dengan kelompok lain. Biasanya konflik terjadi di wilayah jelajah kelompok yang berada di perkebunan karet yang merupakan jenis yang memiliki kontribusi tinggi pada kedua kelompok. Menurut Korstjens et al. (2005), meningkatnya sifat agresif Colobus polykomos polykomos dengan kelompok lain disebabkan karena ketersediaan makanan di lokasi yang penting, keberadaan bayi/anak, sifat mau menerima pada betina terhadap betina lain dan selama
bulan-bulan
ketika
kelompok
mempertahankan
dan
mengkonsumsi biji dari Pentaclethra macrophylla. c. Hubungan dengan satwa lain Hubungan dengan satwa lain teramati baik bersifat agresif maupun toleran. Hubungan yang bersifat agresif tercatat dua kali terjadi dengan Owa Jawa (Hylobates moloch) pada saat keduanya bertemu di sekitar pohon buah dan ketika Owa Jawa berada dekat dengan kelompok Rekrekan yang sedang konflik dengan kelompok lain. Selain itu, dua kali konflik juga terjadi dengan Jelarang (Ratufa bicolor) dan Punai Gading (Treron vernans) saat kelompok makan buah Cangkok dan Mbulu serta teramati juga empat kali konflik dengan Elang Ular Bido (Spilornis cheela) dan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) saat Rekrekan beristirahat. Hubungan yang bersifat toleran teramati ketika Rekrekan bergerak dan makan bersama dengan Lutung (Trachypithecus auratus) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Sore hari biasanya Rekrekan akan melakukan aktivitas makan lagi kemudian akan bergerak menuju pohon tidur. Rekrekan memilih tempat tidur pada pohon tertinggi yang terletak di punggungan atau lembahan. Berdasarkan pengamatan, Rekrekan menggunakan lokasi dan pohon tidur yang sama dan seringkali bermalam berdekatan dengan Lutung apabila pohon tidur digunakan terlebih dahulu oleh Lutung dan Monyet Ekor Panjang. Pada kelompok A, selama pengamatan tidak teramati tidur
26
dalam satu pohon sedangkan kelompok B enam kali teramati tidur dalam satu pohon. Perbedaan cara tidur kedua kelompok dipengaruhi oleh ukuran kelompok dan ukuran tajuk pohon tidur yang ada di dalam wilayah jelajah kedua kelompok. 2. Wilayah Jelajah Panjang perjalanan harian dan wilayah jelajah pada sub famili Colobinae ditentukan oleh variasi faktor ekologi dan perilaku seperti curah hujan dan waktu penyinaran, konsumsi makanan, ketersediaan dan kelimpahan makanan, ukuran kelompok, struktur sosial, lokasi pohon tidur, dan kompetisi antar kelompok. Berdasarkan hasil analisis spasial, kelompok B melakukan perjalanan harian lebih jauh antara 694-1269 m sedangkan pada kelompok A perjalanan harian dilakukan antara 576-1146 m. Apabila dihubungkan dengan ukuran kelompok hasil ini bertentangan dengan Fashing (2001) pada Colobus guereza bahwa perjalanan harian akan meningkat seiring dengan ukuran kelompok. Pada penelitian ini, perjalanan harian lebih ditentukan oleh variasi makanan, distribusi dan kelimpahan makanan yang disukai seperti buah dan biji serta tingginya intensitas manusia di dalam wilayah jelajah kedua kelompok. Kelompok A memiliki luas wilayah jelajah sebesar 54,55 ha yang meliputi hutan sekunder, kebun masyarakat, dan perkebunan karet sedangkan kelompok B menempati wilayah yang kurang produktif dengan luas jelajah yang lebih kecil yaitu 48,16 ha meliputi semak belukar, hutan pinus, pemukiman, dan perkebunan karet. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok all male Semnopithecus entellus yang menempati habitat kurang produktif dengan keanekaragaman pohon pakan rendah dan tajuk yang lebih tidak kontinyu (Bennet dan Davies, 1994). Hasil luas wilayah jelajah Rekrekan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan wilayah jelajah Surili (Presbytis comata) dalam Ruhiyat (1983) di Kamojang dan Patenggang dengan luas wilayah jelajah antara 35-40 ha dan 14 ha dan luas wilayah jelajah Surili di hutan Haurbenteus dalam Sujatnika (1991) yaitu sebesar 12-15 ha. Sedangkan luas wilayah jelajah Rekrekan jauh lebih kecil bila dibandingkan wilayah jelajah Surili di Taman Nasional Gede-Pangrango yang memiliki luas wilayah jelajah antara 76-82 ha (Arifin, 1992). Perbedaan luas wilayah jelajah ini terjadi
27
karena adanya perbedaan kondisi ekologi dan tingkat gangguan manusia dari tiap lokasi penelitian. Kedua kelompok yang diamati mengalami tumpang tindih wilayah jelajah. Luas wilayah jelajah kedua kelompok mengalami tumpah tindih sebesar 2,49 ha. Tumpah tindih terjadi pada daerah yang terdapat pohon buah dan biji serta kedua kelompok menggunakan pohon tersebut sebagai pohon makanannya. Hal ini membuktikan bahwa buah dan biji merupakan komponen penting dalam ekologi makan Rekrekan berkaitan dengan pola penggunaan ruang secara horizontal pada Rekrekan. Wilayah jelajah kedua kelompok yang diamati dan overlapnya terdapat pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta wilayah jelajah kelompok yang diamati.
B. Perilaku Makan Aktivitas makan Rekrekan dapat dibedakan dalam tiga periode waktu berdasarkan kondisi cuaca. Saat cuaca cerah, Rekrekan akan melakukan aktivitas makan pada pukul 05:00-07:00 WIB kemudian istirahat lebih awal dan akan mulai makan kembali pada pukul 08.30-11.00 WIB dan sore hari menjelang tidur. Sedangkan pada saat cuaca mendung, Rekrekan akan makan dari bangun pagi sampai pukul 09:00 WIB kemudian akan beristirahat
28
sampai pukul 11:00 WIB. Rekrekan akan makan kembali pada pukul 11:0013:00 WIB dan pukul 15:00 WIB sampai menjelang tidur. Perbedaan pola waktu aktivitas makan Rekrekan dikarenakan adanya kebutuhan energi untuk menjaga suhu tubuh berhubungan dengan kondisi cuaca. Seperti halnya pada Colobus guereza yang melakukan aktivitas berjemur dan meminimalisir pergerakan untuk menjaga panas tubuhnya karena udara dingin (Dasilva, 1992). Aktivitas makan Rekrekan bervariasi menurut jenis dan bagian yang dimakan. Pada pagi hari Rekrekan lebih banyak melakukan aktivitas makan di pohon buah atau biji yang disukainya seperti Cangkok (Chisocheton divergens),
Karet
(Hevea
brasiliensis),
Songgolangit
(Arthrophyllum
javanicum), Mbulu (Ficus annulata), Aceh (Nephelium lappaceum), dan Bendo (Arthrocarpus elastica), sedangkan pada siang sampai sore hari makanan lebih di dominasi oleh daun muda. Menurut Clutton dan Brock (1977), konsumsi buah dan biji pada pagi hari dimaksudkan sebagai pengganti energi yang hilang pada malam hari. Akan tetapi menurut Davies (1991), pada Presbytis rubicunda tidak terjadi perbedaan antara konsumsi buah pada pagi hari dan siang hari. Bila dikaji dari kandungan nutrisinya, menurut Waterman dan Kool (1994), buah dan biji memiliki kadar tannin, protein dan serat yang rendah tetapi memiliki kandungan lemak dan karbohidrat yang tinggi sehingga lebih mudah dalam proses pencernaannya sehingga kekurangan energi lebih cepat terpenuhi. Hal ini kemungkinan menjadi dasar bagi Rekrekan dalam mengkonsumsi buah dan biji pada pagi hari dan strategi ini juga diduga berhubungan dengan kebutuhan energi untuk perjalanan hariannya. Aktivitas makan Rekrekan seringkali teramati makan bersama dengan Lutung di pohon Mbulu, Cangkok, dan Ares. Adanya perbedaan bagian yang dimakan dan toleransi pembagian tajuk memungkinkan tidak terjadi konflik antar keduanya, misalnya pada saat Rekrekan dan Lutung makan bersama di pohon cangkok, Rekrekan akan makan buah serta bijinya dan lebih memilih buah yang telah matang sedangkan Lutung lebih memilih makan kulit buah pada buah yang belum matang dan keduanya akan saling berbagi tajuk tempat makan. Menurut Bennet dan Davies (1994), hal ini terjadi karena adanya ciri morfologi lambung yang berbeda sehingga mempengaruhi strategi makan kedua genus ini.
29
1. Cara dan Sikap Makan Rekrekan menggunakan sikap dan cara makan bervariasi dalam aktivitas makannya. Menurut Gaber (1987), perbedaan dalam posisi berperilaku disebabkan oleh perubahan tahunan dalam makanan, perjalanan harian, strategi dalam mencari makan, pola perilaku, dan interaksi sosial. Cara dan sikap makan Rekrekan dalam mendapatkan makanan terdapat pada Gambar 8.
Sumber: Fleagle (1988) dan Bismark (1994)
Gambar 8. Cara makan Rekrekan.
Cara makan Rekrekan bervariasi berhubungan dengan letak atau posisi bagian yang dimakan di pohon, dukungan cabang tempat makan (ukuran, orientasi, dan kelenturan) serta tipe percabangan dari pohon pakan. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat dua cara makan yang digunakan. Pertama, Rekrekan akan menarik cabang dan memasukkan makanan ke mulut. Cara ini dilakukan Rekrekan saat makan makanan yang terletak di ujung percabangan dengan kelenturan cabang tinggi. Cara makan ini sering teramati pada saat Rekrekan makan bunga Sempu (Dillenia obovata) dan Walisongo (Schefflera grandiflora), pucuk kayu Karet (Hevea brasiliensis), dan saat makan buah dan biji Prempeng (Mallotus peltatus). Kedua, dengan cara mematahkan atau mengambil
30
satu persatu bagian makanan. Cara ini lebih umum digunakan saat Rekrekan makan. Cara makan ini juga lebih sering digunakan oleh remaja Macaca radiata (Dunbar dan Gadam, 2000). Rekrekan dalam mengeksploitasi makanannya lebih banyak menggunakan sikap duduk dibandingkan sikap menggantung. Pada kelompok A dari 83,38 jam pengamatan aktivitas makan, 83,15 jam menggunakan sikap duduk sedangkan sikap menggantung hanya 0,23 jam dan kelompok B mengalokasikan waktu makannya untuk sikap menggantung lebih besar yaitu 2,33 jam sedangkan sikap duduk sebesar 88,88 jam dari 91,21 jam aktivitas makan. Perbedaan alokasi waktu sikap makan yang digunakan oleh kedua kelompok berhubungan dengan total waktu pengamatan, kelimpahan jenis tumbuhan pakan yang harus diakses dengan posisi menggantung, dan distribusi makanan yang disukai. Menurut Gebo dan Chapman (1995), penggunaan posisi duduk yang tinggi dalam aktivitas makan Colobus guereza dan Colobus badius dipengaruhi oleh dukungan dari cabang tempat makan, ketinggian, dan penggunaan tajuk saat aktivitas makan. Sedangkan pada Alouatta seniculus penggunaan posisi duduk yang tinggi lebih dipengaruhi oleh kelimpahan buah (Youlatos 1998). Alokasi waktu posisi yang digunakan dalam aktivitas makan Rekrekan terdapat pada Gambar 9.
Gambar 9. Alokasi waktu sikap makan Rekrekan.
Rekrekan menjaga keseimbangan tubuhnya dalam sikap duduk dengan cara membagi tumpuan tubuh pada beberapa cabang secara
31
menyamping (lateral) dan seringkali teramati menggunakan ekor sebagai penumpu terutama ketika makan di percabangan pohon yang daya dukung terhadap massanya kecil. Menurut Dunbar dan Gadam (2000), strategi ini dimaksudkan untuk memperluas daya dukung cabang terhadap
berat
badan
Rekrekan
sehingga
dapat
meningkatkan
keseimbangan tubuhnya. Sikap menggantung hanya teramati pada saat Rekrekan makan buah dan biji Kembang (Cananga odorata) dan Bendo (Arthrocarpus elastica), pucuk kayu Karet (Hevea brasiliensis), dan daun muda Sembukan
(Paederia
scandens)
dan
Gorang
(Aralia
dasyphilla).
Penggunaan posisi mengantung lebih ditentukan oleh posisi bagian yang dimakan, pemilihan cabang penopang saat aktivitas makan dan kelenturannya. Hasil
pengamatan
menunjukkan
bahwa
tipe
tajuk
tidak
berpengaruh pada penggunaan sikap menggantung. Dari empat pohon dan satu herba yang diakses dengan sikap menggantung, tidak semua tumbuhan pakan memiliki arsitektur pohon yang sama. Arsitektur pohon yang sama hanya pada Karet (Hevea brasiliensis) dan Bendo (Arthrocarpus elastica) yaitu tipe Rauh sedangkan Kembang (Cananga odorata), Sembukan (Paederia scandens) dan Gorang (Aralia dasyphilla), masing masing memiliki tipe tajuk Roux, Stone, dan Chamberlain. Contoh sikap makan Rekrekan terdapat pada Gambar 10.
(a)
(b)
Gambar 10. Sikap makan Rekrekan; (a) menggantung; (b) duduk.
2. Penggunaan Ruang Makan Aktivitas
makan
Rekrekan
bervariasi
berdasarkan
ruang
makannya. Rekrekan melakukan aktitas makan mulai dari tanah sampai bagian tajuk atas pohon. Ketika kondisi ketersediaan makanan kurang
32
Rekrekan akan turun ke bagian bawah tajuk dan lapisan bawah hutan (understory). Distribusi penggunaan ruang pada sub famili Colobinae dipengaruhi oleh distribusi pakan secara vertikal, adanya predator dan tipe vegetasi (Li 2007; Solanki et al. 2008a). Alokasi waktu aktivitas makan Rekrekan berhubungan dengan penggunaan ruang vertikal pohon terdapat pada Gambar 11.
Gambar 11. Alokasi waktu penggunaan ruang vertikal pohon. Ket: pt: pangkal-tengah; tu: tengah-ujung; bt: bawah-tengah; bp: bawah-pinggir; tt: tengah-tengah; tp: tengah- pinggir; at: atas-tengah; ap: atas-pinggir
Berdasarkan Gambar 11, aktivitas makan kelompok A lebih banyak menggunakan ruang at dan hanya berbeda sedikit dengan waktu yang digunakan pada ruang tp dan ap. Biasanya kelompok A menggunakan ruang at pada saat makan buah dan atau biji, pucuk daun serta daun muda. Menurut Perica (2001) dan Houle et al. (2007), bagian atas tajuk memperoleh cahaya matahari untuk fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan bagian bawah tajuk sehingga bagian atas tajuk umumnya memiliki daun yang kaya nitrogen dan protein dan memiliki buah yang lebih melimpah, ukuran lebih besar dan memiliki kepadatan yang tinggi dibandingkan bagian bawah tajuk. Aktivitas makan kelompok B lebih banyak menggunakan ruang tp yaitu selama 24,11%. Kelompok B menggunakan ruang tp pada saat makan buah dan atau biji dan pucuk kayu. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Solanki et al. (2008a), pada Trachypithecus pileatus yang lebih banyak menggunakan bagian tepi tajuk saat aktivitas makannya karena
33
pada bagian tersebut memiliki kelimpahan daun muda yang tinggi yang menjadi makanan utama Trachypithecus pileatus. Aktivitas makan Rekrekan lebih banyak berada di tajuk pohon sebesar 96,48% dan hanya 3,52% berada di tanah. Perilaku makan di tanah dilakukan Rekrekan pada saat ketersediaan makanan di tajuk kurang. Rekrekan biasanya turun ke tanah pada lokasi yang tetap. Selama penelitian, Rekrekan teramati melakukan aktivitas makan di tanah pada saat makan buah dan biji Cangkok (Chisocheton divergens), biji Karet (Hevea brasiliensis), daun muda Uyah-uyahan (Mikania micrantha) dan tanah. Aktivitas makan di tanah dipengaruhi oleh keberadaan predator. Di lokasi penelitian predator terhadap Rekrekan yang dijumpai baik langsung maupun tak langsung terdiri dari Macan Tutul, Anjing Kampung, Elang Ular Bido dan Elang Brontok. Selama penelitian hanya teramati tiga kali Rekrekan konflik dengan Anjing Kampung saat makan di tanah. Ancaman yang rendah dari predator memberikan keuntungan yang besar bagi Rekrekan karena permukaan tanah memiliki kondisi yang kontinyu dan tidak terpisah bila dibandingkan dengan tajuk pohon sehingga lebih mudah dalam mengakses makanan dan dapat mengurangi energi yang dikeluarkan pada saat aktivitas makan. Faktor yang lain yang berpengaruh dalam aktivitas makan Rekrekan di tanah yaitu tipe vegetasi. Tipe vegetasi berpengaruh dalam ketersediaan dan kelimpahan pakan Rekrekan secara vertikal maupun horizontal dalam wilayah jelajahnya. Adanya siklus phenologi yang berbeda tiap jenis tumbuhan membatasi makanan yang disukai Rekrekan di pohon, sehingga Rekrekan akan mencari makanan yang berada di tajuk bagian bawah atau tanah. Pengaruh tipe vegetasi terhadap perilaku makan di tanah terjadi juga pada Rhinopithecus roxellana yang akan turun ke tanah untuk memakan lumut karena ketersediaan makanan di tajuk pohon kurang (Li, 2007). Aktivitas makan di tanah pada Rekrekan juga dipengaruhi oleh persaingan baik antar kelompok maupun antar jenis. Persaingan antar kelompok dan antar jenis akan mengurangi ketersediaan dan kelimpahan pakan di dalam habitatnya sehingga dibutuhkan alternatif makanan yang
34
lain. Aktivitas makan di tanah oleh Rekrekan merupakan salah satu adaptasi untuk mengatasi kekurangan makanan akibat persaingan.
(a)
(b)
Gambar 12. Aktivitas makan Rekrekan di tanah.
Rekrekan melakukan aktivitas makan dengan ketinggian yang bervariasi. Penggunaan ketinggian pada saat makan dipengaruhi oleh tipe vegetasi khususnya ketingggian pohon pakan dan distribusi dan kelimpahan makanan secara vertikal dan persaingan antar jenis. Alokasi penggunaan waktu Rekrekan dalam berbagai ketinggian terdapat pada Gambar 13.
Gambar 13. Alokasi waktu aktivitas makan Rekrekan pada berbagai ketinggian.
Berdasarkan Gambar 13, Kelompok A lebih banyak melakukan aktivitas makan pada selang ketinggian antara 6-10 m sedangkan kelompok B lebih banyak menggunakan ketinggian antara 0-5 m. Kelompok A menempati wilayah jelajah yang lebih didominasi oleh tiang dan pohon yang memiliki ketinggian antara 6-15 m sehingga sebaran
35
makanan utama berupa buah, biji, dan daun muda lebih banyak terdapat pada selang ketinggian ini. Sedangkan kelompok B sebagian besar wilayah jelajahnya berupa kebun karet dan hutan pinus. Habitat kebun karet memberikan kontribusi yang tinggi dalam makanan kelompok B akan tetapi tidak memberikan variasi makanan yang cukup. Untuk mendapatkan variasi makanan makanan yang cukup kelompok B lebih banyak berada di tajuk bawah hutan pinus untuk makan tumbuhan merambat dan pancang. Kedua kelompok memiliki proporsi yang kecil pada selang ketinggian antara 16-20 m karena dalam wilayah jelajah keduanya jarang terdapat pohon pakan yang memiliki ketinggian >16 m. Adanya
jenis
simpatrik
membatasi
penggunaan
ketinggian
Rekrekan pada saat makan. Di dalam wilayah jelajah kelompok A ditempati juga oleh tiga kelompok Lutung, satu kelompok Owa Jawa dan satu kelompok Monyet Ekor Panjang sedangkan kelompok B wilayah jelajah tumpang tindih dengan dua kelompok Lutung (satu individu soliter) dan satu kelompok Monyet Ekor Panjang. Kelompok A, makanan didominasi oleh daun muda dan biji, lebih banyak menggunakan tajuk bagian atas dan selang ketinggian antara 6-10 m sedangkan kelompok B makanan lebih didominasi oleh daun muda, lebih banyak memanfaatkan tengah tajuk dan selang ketinggian antara 0-5 m. Dibandingkan dengan jenis simpatrik lainnya menurut Kool (1993), Lutung lebih banyak makan daun muda dan sedikit buah dan lebih banyak berada di tajuk bagian atas dan Owa Jawa makanan lebih didominasi oleh buah dan lebih banyak memanfaatkan tajuk bagian atas sedangkan Monyet Ekor Panjang makanan lebih didominasi oleh buah dan lebih banyak aktivitas makan berada pada tajuk bagian bawah dan tanah. Perbedaaan ini menunjukkan pada jenis simpatrik terjadi adaptasi baik secara philogenetik maupun ekologinya sehingga berpengaruh dalam ekologi makannya termasuk pemilihan makanan dan penggunaan ketinggian. C. Makanan 1. Keanekaragaman Pohon Pakan Rekrekan menggunakan tumbuhan pakan yang bervariasi pada wilayah jelajahnya. Kelompok A, menggunakan 56 jenis dari 34 famili sebagai makanannya yang berasal dari 71,43% pohon, 7,14% liana, 7,14% herba memanjat, 3,57% perdu, 3,57% herba, 3,57% epifit, 1,79%
36
semak, dan 1,79% rumput (bambu) sedangkan kelompok B memiliki jumlah jenis pakan yang lebih sedikit yaitu 45 jenis dari 29 famili. Jenis yang yang dimakan berupa 48,89% pohon, 22,22% liana, 13,33% herba memanjat, 4,44% rumput (bambu), 2,22% semak, 2,22% perdu dan 2,22% epifit. Kedua kelompok makan 24 jenis tumbuhan pakan yang sama. 32 jenis tumbuhan pakan (57,14%) hanya dimakan oleh kelompok A dan 21 jenis tumbuhan pakan (46,67%) hanya dimakan oleh kelompok B. Menurut Stanford (1991), Kool (1993), Li et al. (2003), dan Solanki et al. (2008b) bahwa perbedaan jumlah jenis dan komposisi bagian yang dimakan disebabkan adanya perbedaan tipe habitat berhubungan dengan keberadaan dan ketersediaan makanan pada wilayah jelajahnya. Kedua kelompok menempati perkebunan karet sebagai wilayah jelajahnya. Pada wilayah ini keanekaragaman pohon pakan cenderung homogen, sehingga untuk mendapatkan variasi makanan, Rekrekan lebih tergantung pada keanekaragaman pohon pakan di hutan lindung, kebun masyarakat, dan hutan pinus. Kelompok A menempati habitat yang lebih produktif karena sebagian besar wilayah jelajahnya menempati hutan lindung dan kebun masyarakat
yang
lebih
beragam
jenis
tumbuhannya,
sedangkan
kelompok B menempati wilayah jelajah yang kurang produktif berupa hutan pinus dan kebun masyarakat. Di hutan pinus, kelompok B lebih banyak makan herba memanjat dan liana sehingga menyebabkan kelompok B memiliki persentase makanan dari liana yang lebih tinggi dibandingkan kelompok A. Berdasarkan Tabel 3, 15 jenis tumbuhan pakan yang dimakan oleh kelompok A dimakan juga oleh kelompok B akan tetapi hanya lima jenis yang memiliki kontribusi ≥1% terhadap kelompok B. Jenis tersebut yaitu Karet (Hevea brasiliensis), Pucung (Pangium edule), Iwil-iwil (Melochia
sp),
Sengon
(Paraserienthes
falcataria)
dan
Kembang
(Cananga odorata). Jenis tumbuhan pakan yang memberikan kontribusi ≥1% pada kedua kelompok terdapat pada Tabel 3.
37
Tabel 3. Jenis pohon pakan yang memberikan kontribusi ≥1% pada aktivitas makan Rekrekan. No
Nama lokal
Nama latin
1 2a 3 4 5 6 7 8 9 10 11 a 12 a 13 14 15 16 a 17 18 a 19 20 21a
Karet Cangkok Aceh Pakis galar Pucung Jambon Saga Celuruh Jengkol Mbulu Mbawang Kayu jaran Kebeg Sengon Iwil-iwil Sengon jawa Dedek merangan Kembang Prempeng Laban Walisongo
Hevea brasiliensis Chisocheton divergens Nephelium lappaceum Cyathea contaminans Pangium edule Acmena acuminafissima Adenanthera microsperma Pericamphylus glaucus Pithecellobium lobatum Ficus annulata Mangifera foetida Lannea grandis Ficus padana Paraserienthes falcataria Melochia sp. Albizia chinensis Vernonia arborea Cananga odorata Mallotus peltatus Vitex pubescens Schefflera grandiflora
Famili
% Waktu makan
(a) Kelompok A
(b) Kelompok B 1 Karet Hevea brasiliensis b Songgolangit 2 Arthrophyllum javanicum 3b Ares Parartocarpus venenosus 4 Bendo Arthrocarpus elastica 5 Samparkidang Merremia umbellata 6b Wesnu Kleinhovia hospita 7b Rambanan Unidentified 8 Pucung Pangium edule 9 Iwil-iwil Melochia sp. b Sembukan 10 Paederia scandens b Lenggukan 11 Ipomoea fistulosa 12 Kembang Cananga odorata b Wono alas Smilax sp. 13 14 Sengon Paraserienthes falcataria 15b Entotan Passiflora foetida Ket : a : jenis yang hanya dimakan kelompok A; b : jenis yang hanya dimakan kelompok B
Euphorbiaceae Meliaceae Sapindaceae Cyatheaceae Flacourticeae Myrtaceae Fabaceae Menispermaceae Mimosaceae Moraceae Anacardiaceae Anacardiaceae Moraceae Fabaceae Sterculiaceae Fabaceae Asteraceae Annonacae Moraceae Verbenaceae Araliaceae
27,28 8,38 7,32 6,77 5,98 4,79 4,32 4,01 3,02 2,64 2,25 1,78 1,72 1,63 1,60 1,46 1,44 1,43 1,40 1,40 1,17
Euphorbiaceae Araliaceae Moraceae Moraceae Convolvulaceae Sterculiaceae Vitaceae Flacourticeae Sterculiaceae Rosaceae Convolvulaceae Annonacae Smilacaceae Fabaceae Passifloraceae
26,14 13,36 11,51 11,45 5,54 4,05 3,67 2,55 1,92 1,73 1,52 1,49 1,21 1,20 1,00
Jenis tumbuhan pakan yang dimakan kedua kelompok lebih banyak dikontribusikan dari famili Moraceae yaitu 5 jenis. Umumnya pohon-pohon dari famili Moraceae memiliki ukuran pohon dan tajuk yang besar sehingga menghasilkan buah dan daun muda yang melimpah bagi Rekrekan. Selain itu, aktivitas makan pada pohon yang memiliki tajuk besar memungkinkan individu dalam kelompok makan secara kontinyu pada sumber makanan yang sama. Famili Moraceae juga memberikan kontribusi yang penting pada ekologi makan Trachypithecus auratus sondaicus dalam Kool (1993),
38
Colobus guereza dalam Fashing (2001) dan Trachypithecus pileatus dalam Solanki et al. (2008a). Lama waktu makan Rekrekan per jenis tumbuhan pakan tidak berhubungan dengan basal area dan kepadatan pohon per ha kecuali pada Karet (Hevea brasiliensis). Hal ini dikarenakan kedua kelompok menempati sebagian wilayah jelajah yang berupa perkebunan karet dan hampir semua bagian dari karet dimakan oleh Rekrekan. Berbeda dengan Rekrekan, menurut Gupta (2007) dan Soendjoto (2005), pada Trachypithecus phayrei dan Nasalis larvatus karet merupakan makanan yang penting karena hampir semua bagian jenis ini dimakan oleh kedua Colobinae akan tetapi karet tidak menjadi makanan utama kedua jenis tersebut. Hubungan antara basal area, kepadatan pohon per ha dan waktu makan terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Sepuluh pohon yang memiliki basal area tertinggi di wilayah jelajah kedua kelompok. Nama latin
Famili
Pohon/ ha
% Waktu makan
(a) Kelompok A Staphyleaceae Moraceae Euphorbiaceae Moraceae Dilleniaceae Myrtaceae Sapindaceae Moraceae Aceraceae Bombacaceae
34,03 17,69 13,09 3,93 2,47 2,11 2,28 1,62 1,66 1,52
5,56 3,70 71,30 9,26 2,78 19,44 3,70 12,96 1,85 11,11
0,00 0,00 27,28 0,04 0,40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
(b) Kelompok B Euphorbiaceae Pinaceae Moraceae Moraceae Sterculiaceae Euphorbiaceae Mimosaceae Verbenaceae Annonacae Myrtaceae
66,06 26,91 1,86 1,55 1,01 0,34 0,28 0,24 0,22 0,22
204,17 83,33 1,39 4,17 2,78 1,39 1,39 1,39 1,39 11,11
26,14 0,00 11,45 0,00 1,92 0,00 0,00 0,00 1,49 0,00
Turpinia sphaerocarpa Ficus benjamina Hevea brasiliensis Arthrocarpus elastica Dillenia obovata Barringtonia spicata Pometia pinnata Artocarpus heterophyllus Acer laurinum Durio zibethinus
Hevea brasiliensis Pinus merkusii Artocarpus elastica Ficus variegata Melochia sp. Acalypha grandis Parkia speciosa Geunsia pentandra Cananga odorata Syzygium attenuatum
% Basal area
Kelompok A menggunakan tiga jenis dari sepuluh jenis yang memiliki basal area tertinggi di wilayah jelajahnya sedangkan kelompok B lebih banyak dengan empat jenis. Dari tiga jenis yang dimakan oleh kelompok A, persentase waktu yang digunakan sebesar 27,72%
39
sedangkan kelompok B lebih tinggi dengan 41,00% waktu makan dari empat jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok melakukan pemilihan terhadap jenis dan bagian yang dimakan serta menunjukkan bahwa kelompok A lebih selektif terhadap makanannya dibandingkan dengan kelompok B. 2. Komposisi Makanan Komposisi makanan pada Rekrekan bervariasi berdasarkan proporsi waktu yang digunakan. Kedua kelompok relatif makan bagian makanan yang sama tetapi menggunakan proporsi waktu makan yang berbeda. Perbedaan komposisi bagian yang dimakan oleh kedua kelompok dipengaruhi oleh adanya perbedaan vegetasi, phenologi pohon pakan, kelimpahan dan ketersediaan makanan, serta kandungan nutrisi dan energi. Persentase proporsi waktu makan kedua kelompok berhubungan dengan bagian tumbuhan yang dimakan terdapat pada Gambar 14.
Gambar 14. Proporsi waktu bagian yang dimakan pada kedua kelompok.
Daun, baik dari daun muda maupun daun tua memiliki peranan penting pada makanan Rekrekan. Sub famili Colobinae memiliki struktur morfologi lambung yang kompleks serta proses pencernaan yang dibantu oleh bakteri mikroflora sehingga karakteristik ini menguntungkan bagi Colobinae dalam mencerna makanan berupa daun yang banyak mengandung serat. Pada kelompok A daun muda memiliki proporsi sebesar 31,02% sedangkan kelompok B lebih besar dengan 40,57%. Perbedaan ini selain dipengaruhi oleh kelimpahan daun muda juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan lain yang berupa biji dan buah.
40
Habitus tumbuhan pakan yang berkontribusi terhadap daun muda pada kedua kelompok bervariasi. Kelompok A mendapatkan daun muda dari 18 jenis yang memiliki habitus berupa pohon dan herba memanjat. Beberapa jenis tumbuhan yang memberikan kontribusi daun muda terbesar
terhadap
kelompok
A
diantaranya
yaitu
Karet
(Hevea
brasiliensis) sebesar 9,39%, Pakis galar (Cyathea contaminans) sebesar 6,76%, dan Celuruh (Pericamphylus glaucus) sebesar 3,95% sedangkan pada kelompok B daun muda diperoleh dari 28 jenis tumbuhan yang memiliki habitus yang lebih bervariasi baik berupa pohon, herba, liana dan herba memanjat. Beberapa jenis diantaranya yaitu Karet (Hevea brasiliensis) sebesar 8,76%, Samparkidang (Merremia umbellata) sebesar 4,23% dan Wesnu (Kleinhovia hospita) sebesar 3,69%. Kelompok
A
memiliki
proporsi
daun
tua
sebesar
4,86%,
dikontribusikan oleh tiga jenis pohon sedangkan kelompok B sebesar 3,10% dari tiga jenis berhabitus pohon dan herba memanjat. Karet, Pucung, Mberung dan Samparkidang merupakan jenis yang penting untuk ketersediaan daun tua kedua kelompok. Biasanya daun tua hanya dimakan bagian ujung atau pangkalnya kecuali pada Samparkidang. Menurut Waterman dan Kool (1994), daun tua mengandung serat yang tinggi sehingga lebih lama dalam proses pencernaannya. Selain itu, kandungan protein menurun sesuai dengan tingkat ketuaan daun sehingga kemungkinan Rekrekan memilih makanan berupa daun tua didasarkan pada perbandingan antara kandungan protein dan serat pada daun. Biji memiliki proporsi waktu makan yang tinggi pada Rekrekan. Menurut Waterman dan Kool (1994), biji mengandung nutrisi berupa karbohidrat dan lemak yang tinggi serta biji juga lebih mudah dicerna bila dibandingkan dengan daun muda. Selain itu, secara morfologi sub famili Colobinae memiliki morfologi gigi dan lambung serta sistem pencernaan yang sesuai untuk mencerna biji (Lucas dan Teaford 1994; Kay dan Davies 1994; Chivers 1994). Ketersediaan biji yang lebih bersifat temporal dan spasial menjadi faktor pembatas Rekrekan dalam mengkonsumsi biji. Kelompok A hanya menggunakan waktu makannya untuk biji sebesar 28,57%, diperoleh dari sepuluh jenis berhabitus pohon dan kelompok B lebih kecil sebesar
41
21,24% dari empat jenis berhabitus pohon. Beberapa jenis yang memberikan kontribusi makanan berupa biji terhadap kedua kelompok diantaranya yaitu Karet (Hevea brasiliensis), Saga (Adenanthera microsperma), dan Songgolangit (Arthrophyllum javanicum). Berdasarkan pengamatan, apabila biji tersedia, Rekrekan akan lebih memilih makanan berupa biji sebagai makanannya dibandingkan dengan dengan bagian tumbuhan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa Rekrekan lebih bersifat folivorous/frugivorous daripada folivorous. Konsumsi buah dan kombinasi antara buah dan biji kedua kelompok
memiliki
proporsi
makan
yang
besar.
Kelompok
A
menggunakan waktu makannya untuk buah sebesar 5,36% dari tujuh jenis dengan habitus pohon, liana, dan herba. Untuk buah dan biji, 21,22% berasal dari 12 jenis dengan habitus pohon dan herba memanjat. Pada kelompok B proporsi waktu makan untuk buah sebesar 12,52% dari enam jenis tumbuhan pakan dan untuk buah dan biji sebesar 13,13 % dari enam jenis dengan habitus herba memanjat dan pohon. Umumnya buah dan kombinasi buah dan biji yang dimakan oleh Rekrekan dalam kondisi telah matang dan berwarna cerah. Menurut Davies (1991), buah yang matang mengandung asam yang tinggi, apabila dikonsumsi dalam jumlah besar dapat menurunkan dan menetralkan pH lambung akibat meningkatnya produksi Volatile Fatty Acid sehingga dapat menyebabkan acidosis dan kematian. Untuk mengatasi pengaruh asam yang tinggi pada buah, Kool (1993) menyatakan bahwa sub famili Colobinae akan mengkonsumsi makanan yang proses fermentasinya lama seperti daun dan bunga. Menurut Gambar 13, terdapat perbedaan konsumsi buah disertai perbedaan konsumsi daun muda tetapi tidak terjadi pada biji serta buah dan biji. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi daun muda tidak tergantung pada konsumsi buah serta buah dan biji, tetapi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan buah serta buah dan biji dalam wilayah jelajah masing-masing kelompok. Kedua kelompok mengkonsumsi bunga berasal dari liana dan herba memanjat. Kelompok A memiliki proporsi yang besar dalam mengkonsumsi bunga (2,78%) dari dua jenis liana yaitu Walisongo (Schefflera
grandiflora)
dan
Oyodan
(Tetrastigma
lanceolarium)
42
sedangkan kelompok B hanya 0,42% dikontribusikan oleh dua jenis herba memanjat yaitu Entotan (Passiflora foetida) dan Kuau (Thunbergia Mcconkey
grandiflora).
et
al.
(2003)
menyatakan
bahwa
bunga
mengandung nutrisi berupa karbohidrat dan protein yang tinggi dan mengandung serat yang lebih rendah dibandingkan buah sehingga apabila tersedia bunga menjadi makanan yang penting bagi Rekrekan. Bagian lain yang dimakan oleh Rekrekan yaitu pucuk kayu, inti kayu, umbut, tanah, dan serangga. Karet menjadi satu-satunya jenis yang berkontribusi terhadap pucuk kayu (kelompok A 3,49%; kelompok B 5,95%). Inti kayu didapatkan dari tiga jenis berupa pohon dan dua jenis berupa liana. Kelompok A memiliki proporsi inti kayu sebesar 2,52% dari total waktu makan sedangkan kelompok B lebih kecil sebesar 2,08%. Kayu jaran (Lannea grandis) dan Walisongo (Schefflera grandiflora) serta Kuyam (Acalypha grandis) menjadi jenis yang penting untuk kelompok A dalam mengkontribusikan inti kayu, sedangkan Wono alas (Smilax sp) dan Wono ulo (Smilax macrocarpa) serta Songgolangit (Arthrophyllum javanicum) menjadi jenis yang penting bagi kelompok B. Kedua
kelompok
teramati
makan
umbut
Bambu
Apus
(Gigantochloa apus) dan Bambu Petung (Dendrocalamus asper). Kelompok B mengkonsumsi umbut lebih besar sebesar 0,64% dari total waktu makannya sedangkan kelompok A <0,01%. Perbedaan konsumsi umbut bambu pada kedua kelompok disebabkan karena adanya perbedaan
ketersediaan
dan
kelimpahan
serta
keanekaragaman
makanan pada wilayah jelajah keduanya. Insectivory teramati pada kelompok A sedangkan Geophagi teramati pada kelompok B. Kelompok A satu kali teramati makan larva serangga dari famili Formicidae. Menurut Srivastava (1991), insectivory dimaksudkan untuk mendapatkan protein hewani dan merupakan strategi dalam memaksimalkan sumber makanan. Sedangkan Geophagi tiga kali teramati pada kelompok B, kemungkinan geophagi dilakukan oleh kelompok B untuk mencegah gangguan pencernaan akibat konsumsi daging buah yang tinggi. Hasil analisis enam sampel feses, ditemukan 87,20% berupa serat daun, 10,00% biji, dan 2,40% bagian kayu. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun daun memiliki kandungan nutrisi yang tinggi tetapi dalam
43
proses pencernaannya daun lebih sulit dicerna dibandingkan bagian makanan yang lain. Sehingga untuk mendapatkan energi yang cukup dan proses pencernaan yang lebih mudah, Rekrekan mengalokasikan waktu makan yang besar pada makanan selain daun. Ditemukannya biji pada feses Rekrekan menunjukkan fungsi primata secara ekologi yaitu sebagai penyebar biji, sehingga dapat membantu dalam proses regenerasi hutan pada habitat yang ditempatinya. Hubungan antara bagian yang dimakan dan persentase waktu makan kedua kelompok terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Sepuluh jenis yang memberikan kontribusi terbesar pada kedua kelompok. Nama latin
Famili
Hevea brasiliensis Hevea brasiliensis Chisocheton divergens Nephelium lappaceum Acmena acuminafissima Adenanthera microsperma Pericamphylus glaucus Hevea brasiliensis Pangium edule Cyathea contaminans
(a) Kelompok A Euphorbiaceae Euphorbiaceae Meliaceae Sapindaceae Myrtaceae Fabaceae Menispermaceae Euphorbiaceae Flacourticeae Cyatheaceae
Bagian yang dimakan
% Waktu makan
Bi Dm Bb Bi Bb Bi Dm Pk Dm Pd
12,55 9,39 8,38 7,32 4,79 4,32 3,95 3,49 3,45 3,40
(b) Kelompok B Moraceae Ba Parartocarpus venenosus Moraceae Ba Arthrocarpus elastica Araliaceae Bi Arthrophyllum javanicum Euphorbiaceae Dm Hevea brasiliensis Euphorbiaceae Bi Hevea brasiliensis Euphorbiaceae Pk Hevea brasiliensis Convolvulaceae Dm Merremia umbellata Sterculiaceae Dm Kleinhovia hospita Unidentified Unidentified Dm Flacourticeae Dm Pangium edule Ket : Ba:buah; Bi:Biji; Pk:Pucuk kayu; Dm:Daun muda;Bb:Buah dan biji
11,51 11,46 10,85 9,62 9,32 5,95 4,63 4,05 3,59 1,95
3. Palatabilitas Pemilihan makanan pada Rekrekan ditentukan oleh ketersediaan dan kelimpahan tumbuhan pakan, ketersediaan bagian yang disukai pada tumbuhan pakan, dan perbedaan preferensi pada jenis tumbuhan pakan. Pengaruh
ketersediaan
dan
kelimpahan
tumbuhan
pakan
dalam
pemilihan makanan dapat terlihat dari perbedaan persentase waktu makan terhadap suatu jenis. Contohnya pada Samparkidang (Merremia umbellata), kelompok B memiliki persentase tinggi pada jenis ini yaitu
44
5,54% sedangkan kelompok A hanya 0,14% dari total waktu makannya. Tingginya konsumsi kelompok B terhadap jenis ini karena Samparkidang lebih tersedia dan relatif berlimpah di wilayah jelajah kelompok B sedangkan kelompok A memakan jenis ini hanya di daerah yang tumpang tindih dengan wilajah jelajah kelompok B. Kedua kelompok juga memiliki persentase waktu makan yang berbeda pada Bendo (Arthrocarpus elastica) dan Jengkol (Pithecellobium lobatum). Kelompok A memiliki persentase waktu makan pada Bendo sebesar 0,04% dan Jengkol sebesar 3,02% sedangkan kelompok B memiliki persentase keduanya masing-masing 11,45% dan 0,00%. Adanya
perbedaan
waktu
pengamatan
pada
kedua
kelompok
berpengaruh terhadap waktu makan kedua kelompok yang disebabkan siklus reproduksi dari kedua jenis tumbuhan pakan tersebut sehingga terjadi perbedaan ketersediaan makanan berupa buah dan biji. Pemilihan makanan juga dipengaruhi oleh preferensi kelompok pada jenis tumbuhan tertentu misalnya pada Wesnu (Kleinhovia hospita), Pring petung (Dendrocalamus asper), dan Rambanan. Ketiga jenis tersebut terdapat di wilayah jelajah kedua kelompok yang diamati. Kelompok A tidak pernah dijumpai makan bagian dari jenis tersebut sedangkan kelompok B makan dengan persentase waktu makan yang besar dan termasuk jenis yang memberikan kontribusi ≥1% terhadap kelompok B. Penentuan jenis tumbuhan yang disukai juga dapat dilakukan dengan menentukan rasio seleksi dari kedua kelompok berdasarkan waktu makan dan basal areanya. Dari 56 jenis tumbuhan yang dimakan oleh kelompok A, 21 jenis tercatat dalam plot analisis vegetasi, sedangkan pada kelompok B hanya enam jenis tumbuhan pakan yang tercatat dari 45 jenis tumbuhan yang dimakannya. Banyaknya tumbuhan pakan yang tidak terdapat dalam plot analisis vegetasi disebabkan karena jenis tumbuhan pakan yang jarang dan kondisi lokasi penelitian yang berbukit dan kelerengan yang curam memungkinkan beberapa bagian dari wilayah jelajah kedua kelompok tidak dapat dilakukan analisis vegetasi. Selain itu, beberapa jenis tumbuhan pakan memiliki habitus berupa liana dan herba memanjat sehingga tidak termasuk dalam
45
pengukuran. Rasio seleksi jenis tumbuhan pakan yang tercatat dalam plot analisis vegetasi terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Rasio seleksi Rekrekan terhadap tumbuhan pakan. Nama latin
% Waktu makan
Famili
% Basal area
Rasio seleksi
Chisocheton divergens Adenanthera microsperma Nephelium lappaceum Ficus grossularioides Albizia chinensis Erythrina lithosperma Pangium edule Vernonia arborea Vitex pubescens Lannea grandis Pithecellobium lobatum Hevea brasiliensis Paraserienthes falcataria Melochia sp. Cananga odorata Santiria oblongifolia Parkia speciosa Helicia javanica Dillenia obovata Ficus variegata Arthrocarpus elastica
(a) Kelompok A Meliaceae Fabaceae Sapindaceae Moraceae Fabaceae Papilionaceae Flacourticeae Asteraceae Verbenaceae Anacardiaceae Mimosaceae Euphorbiaceae Fabaceae Sterculiaceae Annonacae Burseraceae Fabaceae Proteaceae Dilleniaceae Moraceae Moraceae
8,38 4,32 7,32 0,88 1,46 0,22 5,98 1,44 1,40 1,78 3,01 27,28 1,63 1,60 1,43 0,28 0,14 0,04 0,40 0,08 0,04
0,69 0,38 0,80 0,11 0,22 0,04 1,23 0,34 0,39 0,55 1,06 13,09 0,92 1,02 1,21 0,39 0,23 0,21 2,47 0,62 3,93
12,14 11,36 9,18 8,33 6,51 5,20 4,88 4,23 3,54 3,25 2,85 2,08 1,77 1,57 1,18 0,72 0,61 0,19 0,16 0,13 0,01
Pangium edule Nephelium lappaceum Cananga odorata Arthrocarpus elastica Melochia sp. Hevea brasiliensis
(b) Kelompok B Flacourticeae Sapindaceae Annonacae Moraceae Sterculiaceae Euphorbiaceae
2,55 0,71 1,48 11,45 1,92 26,14
0,04 0,01 0,23 1,90 0,90 66,67
12,13 10,11 6,75 6,16 1,00 0,40
Berdasarkan perhitungan rasio seleksi, persentase rasio seleksi jenis tumbuhan pakan pada kedua kelompok berbeda. Jenis tumbuhan pakan kelompok B memiliki rasio seleksi lebih besar dibandingkan rasio seleksi tumbuhan pakan kelompok A, kecuali karet yang memiliki rasio lebih kecil. Kemungkinan ini terjadi karena kurangnya ketersediaan makanan yang disukai sehingga Rekrekan cenderung memilih jenis dan makanan yang memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan makanan kesukaannya tetapi memiliki kelimpahan yang tinggi. Berdasarkan Tabel 6, Cangkok (Chisocheton divergens), Saga (Adenanthera
microsperma),
dan
Aceh
(Nephelium
lappaceum)
merupakan tiga jenis yang memiliki rasio seleksi terbesar pada kelompok
46
A sedangkan B Pucung (Pangium edule), Aceh (Nephelium lappaceum), dan Kembang (Cananga odorata) menjadi jenis yang memiliki rasio seleksi terbesar pada kelompok B. Ketiga jenis yang memiliki rasio seleksi terbesar pada kelompok A berkontribusi terhadap buah dan biji sedangkan daun muda dan biji dikontribusikan pada kelompok B. Hal ini menunjukkan bahwa biji memiliki peran yang penting pada kedua kelompok. D. Habitat Habitat Rekrekan di lokasi penelitian terbagi menjadi enam tipe penutupan lahan yaitu berupa hutan sekunder bekas tebangan, hutan tanaman pinus, perkebunan karet, kebun masyarakat, sawah, dan pemukiman dengan ketinggian bervariasi antara 300-700 m d.p.l. dan topografi datar sampai sangat curam. Hutan lindung di lokasi penelitian merupakan hutan dataran rendah, sesuai dengan ciri-ciri yang diterangkan oleh Whitten et al. (1999) bahwa hutan dataran rendah dicirikan oleh keberadaaan jenis-jenis tertentu seperti Wesnu (Kleinhovia hospita), Putat (Barringtonia spicata), dan Bendo (Arthrocarpus elastica). Beberapa jenis pohon lain yang banyak terdapat di hutan lindung diantaranya yaitu Pucung (Pangium edule), Sapi (Pometia pinnata), Kembang (Cananga odorata), dan Beringin (Ficus benjamina) serta jenis-jenis bambu. Selain itu, akibat penebangan liar yang terjadi sekitar satu dekade yang lalu menimbulkan munculnya jenis-jenis pionir seperti Tutub (Macaranga tanarius), Kiyubug (Piper aduncum), dan Kebeg (Ficus padana). Berbeda dengan hutan lindung, hutan pinus, perkebunan karet, dan kebun masyarakat memiliki kondisi yang relatif seragam. Pengelolaan yang kurang intensif di hutan pinus menimbulan munculnya jenis-jenis liana dan herba memanjat seperi Dobos (Tetracera scandens), Uyah-uyahan (Mikania micrantha), dan Cissus sichynoides yang merupakan jenis-jenis yang berkontribusi penting bagi kelompok B. Sedangkan di perkebunan karet, jenis-jenis tumbuhan lain seperti Kebeg (Ficus padana), Prempeng (Mallotus peltatus), Ares (Parartocarpus venenosus), dan Pakis Galar (Cyathea contaminans) hanya terdapat di sekitar sungai di dalam perkebunan. Pada tipe penutupan lahan kebun masyarakat vegetasi didominasi oleh jenis pohon buah dan pohon komersil seperti Aceh (Nephelium lappaceum), Duren (Durio zibethinus), dan Sengon (Paraserienthes falcataria).
47
Habitat Rekrekan dilokasi penelitian tidak terhindar dari kerusakan. Pengambilan kayu bakar dan bambu untuk komersil menjadi penyebab utama semakin rusaknya habitat Rekrekan. Selain itu kerusakan habitat terutama hutan lindung disebabkan adanya pemanfaatan hutan lindung oleh masyarakat
untuk
menanam
kopi.
Masyarakat
umumnya
akan
menebang/meneras pohon yang menghalangi cahaya matahari untuk menjaga agar tanaman kopinya tetap tumbuh baik.
(a)
(b)
Gambar 15. Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat.
1. Struktur Vegetasi Kedua kelompok memiliki wilayah jelajah dengan struktur vegetasi vegetasi yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, di dalam wilayah jelajah kelompok A ditemukan 170 pohon/ha dengan luas bidang dasar 27,51 m2/ha sedangkan pada kelompok B ditemukan 301 pohon/ha dengan luas bidang dasar 20,62 m2/ha. Perbedaan nilai kerapatan pohon dan luas bidang dasar antara kedua kelompok berkaitan dengan penggunaan habitat dalam wilayah jelajah keduanya. Wilayah jelajah kelompok B menggunakan habitat berupa perkebunan karet dengan umur muda (73%) yang memiliki kerapatan pohon yang tinggi tetapi memiliki diameter yang kecil sedangkan wilayah jelajah kelompok A lebih besar menempati hutan lindung (62,86%) yang memiliki kerapatan antar pohon yang rendah tetapi berdiameter besar. Beberapa jenis yang memiliki luas bidang dasar besar pada kedua kelompok yaitu Beringin (Ficus benjamina), Bancet (Turpinia sphaerocarpa), Bendo (Arthrocarpus elastica), dan Putat (Barringtonia spicata). Habitat di wilayah jelajah kedua kelompok memiliki ketinggian pohon yang bervariasi. Sebagian besar pohon di wilayah jelajah kedua kelompok memiliki ketinggian antara 11-15 m, pada kelompok A sebesar
48
53,26% dari total 184 pohon pada plot contoh dan 53,00% dari total 217 pohon pada kelompok B. Distribusi ketinggian pohon pada wilayah jelajah kedua kelompok terdapat pada Gambar 16.
Gambar 16. Distribusi ketinggian pohon di dalam wilayah jelajah kedua kelompok.
Ketinggian
hasil
analisis
vegetasi
tidak
berkaitan
dengan
penggunaan ketinggian Rekrekan pada saat makan. Kedua kelompok memiliki persentase ketinggian pohon terbesar yang sama tetapi menggunakan ketinggian saat makan yang berbeda. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan ketinggian saat makan lebih dipengaruhi oleh sebaran makanan secara vertikal. Selain itu, hasil analisis vegetasi hanya mencakup sedikit pohon makanan sehingga ketinggian pohon hasil analisis vegetasi lebih banyak memberikan informasi tentang kondisi habitat Rekrekan dibandingkan penggunaan ketinggian saat Rekrekan makan. 2. Komposisi Vegetasi Hasil analisis vegetasi di wilayah jelajah kelompok A tercatat 47 jenis tumbuhan tingkat pohon, 24 jenis tumbuhan tingkat tiang, 36 jenis tumbuhan tingkat pancang, dan 84 jenis tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah. Tumbuhan tingkat pohon didominasi oleh Bancet (Turpinia sphaerocarpa) dengan INP=40,51%, Beringin (Ficus benjamina) dengan INP=23,57%, dan Putat (Barringtonia spicata) INP=12,00%. Tingkat tiang didominasi oleh Sengon (Paraserienthes falcataria) dengan INP=13,67%, Karet (Hevea brasiliensis) dengan INP=12,84%, dan Putat (Barringtonia spicata) dengan INP=11,24%. Tingkat pancang nilai INP
49
tertinggi terdapat pada Kopi (Coffea robusta) dengan nilai INP=66,59% kemudian Kendung (Helicia javanica) dengan nilai INP=18,13 kemudian Jurang (Villebrunea rubescens) dengan INP=9,65%, sedangkan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah nilai INP tertinggi yaitu Watwat (Selaginella plana) dengan INP=18,76%, kemudian Harendong (Clidemia hirta) dengan INP=17,63%, dan Setaria plicata dengan INP=11,68%. Kelompok B memiliki jumlah jenis yang lebih kecil dibandingkan kelompok A. Sembilan jenis pohon tercatat dalam plot analisis vegetasi di dalam wilayah jelajahnya. Nilai INP tertinggi tercatat pada Karet (Hevea brasiliensis) dengan INP=121,01%, Pinus (Pinus merkusii) dengan INP=81,70%, dan Gondang (Ficus variegata) dengan INP=11,99%. Tumbuhan tingkat tiang ditemukan 18 jenis. Jenis yang mendominasi yaitu Pinus (Pinus merkusii) dengan INP=74,41%, Mbagan (Syzygium attenuatum) dengan INP=23,26%, dan Pucung (Pangium edule) dengan INP=23,07%. Pada tumbuhan tingkat pancang 31 jenis ditemukan. Jenis yang mendominasi yaitu Putat (Barringtonia spicata) dengan INP=8,19%, Kiyubug (Piper aduncum) dengan INP=8,19%, dan Jambon (Acmena acuminatissima) dengan INP=8,19%. Sedangkan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, 42 jenis tercatat dalam plot. Jenis yang mendominasi yaitu Harendong (Clidemia hirta) dengan INP=15,31%, Globba leucantha dengan
INP=6,12%,
dan
Kembang
(Cananga
odorata)
dengan
INP=5,10%. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman, kelompok A memiliki nilai indeks keanekaragaman pada tingkat pohon sebesar 3,21, 3,02 pada tingkat tiang, 2,86 pada tingkat pancang, dan 3,83 pada tingkat semai dan tumbuhan bawah. Sedangkan pada kelompok B tingkat pohon memiliki indeks keanekaragaman sebesar 1,24, tingkat tiang sebesar 2,65, tingkat pancang sebesar 3,18 dan tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,20. Jumlah jenis yang ditemukan, jenis yang mendominasi, dan nilai indeks keanekaragaman kedua wilayah jelajah kelompok yang diamati menggambarkan kondisi habitat dari masing-masing kelompok. Menurut Yang et al. (2007), kondisi habitat akan berpengaruh terhadap perilaku makan primata berkaitan dengan ketersediaan dan keanekaragaman tumbuhan pakan. Jenis yang ditemukan dan keanekaragaman tumbuhan
50
yang tinggi kecuali pada tingkat pancang serta jumlah jenis tumbuhan yang lebih besar dibandingkan kelompok B menunjukkan bahwa kelompok A cenderung memiliki kondisi habitat yang lebih baik dibandingkan kelompok B. Kondisi habitat juga dipengaruhi oleh wilayah jelajah yang ditempati kedua kelompok. Kelompok A menempati wilayah jelajah yang lebih jauh dari pemukiman penduduk dan memiliki topografi yang curam sehingga pemanfaatan dan pengelolaan secara intensif lahan hutan untuk pertanian dan pengambilan kayu bakar lebih jarang dilakukan. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok B yang menempati wilayah jelajah yang mencakup dan lebih dekat daerah pemukiman dan memiliki topografi yang relatif datar, pengambilan kayu untuk kayu bakar dan penggunaan wilayah hutan untuk lahan pertanian lebih banyak dilakukan.