51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Etnobotani Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] 1. Persepsi Masyarakat Dalam Pemanfaatan Sengkubak a. Pemanfaatan Sebagai Penyedap Rasa Alami Pemanfaatan sengkubak oleh komunitas lokal Dayak dan Melayu Sintang adalah sebagai penyedap rasa alami yakni untuk menambah rasa manis pada masakan. Pengetahuan tentang penyedap rasa dari sengkubak merupakan warisan nenek moyang dalam mengolah masakan. Etnis Dayak di Sintang yang melakukan pemanfaatan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah kelompok Dayak Siberuang, Sekujang, dan Desa. Pemanfaatan daun sengkubak sebagai penyedap rasa juga dilakukan oleh etnis Dayak Kenyah (etnis Dayak yang berada di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur), pemanfaatan sengkubak di katakan mempunyai tiga nilai yaitu makanan, ekonomi, dan tanam (Uluk et al. 2000). Komunitas lokal Dayak di Sabah, Malaysia juga menggunakan daun Pycnarrhena tumetacta sebagai penyedap rasa (Hoe & Siong 1999), komunitas Dayak Iban di Kalimantan Barat menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa (MacKinnon et al. 2000). Selain itu, pemanfaatan sengkubak sebagai penyedap rasa juga dilakukan oleh Dayak Ransa di Dusun Nanga Juoi Kecamatan Menukung, Melawi Kalimantan Barat (Caniago & Siebert 1998). b. Pemanfaatan Lain Pemanfaatan lain dari sengkubak adalah untuk pengobatan luar dan nilai magis. Pengetahuan mengenai manfaat sengkubak sebagai penyedap rasa, pengobatan, nilai magis adalah berbeda (χ2 = 12,59 dan χ2 (0,05;2) = 5,99) antara etnis Dayak dan Melayu. Masing-masing etnis mempunyai pengalaman dan kepercayaan tertentu yang mempengaruhi pengetahuannya terhadap manfaat sengkubak. Pengetahuan pemanfaatan sengkubak untuk manfaat lain (sebagai pengobatan dan nilai magis) masih terbatas pada sebagian komunitas tertentu, dalam arti pengetahuan tersebut belum diketahui dan dikenal secara luas.
52 Pemanfaatan sengkubak untuk pengobatan yang diketahui oleh komunitas lokal Melayu Sintang adalah bersifat pengobatan dari luar, seperti untuk “jaram” (istilah etnis Melayu untuk kompres menurunkan panas), “tapal” meletakkan hasil ramuan bahan-bahan campuran dengan daun Sengkubak yang telah ditumbuk untuk mengobati perut kembung dan batuk-batuk, pengobatan penyakit “demam merona” yaitu penyakit demam yang sudah lama tidak sembuh-sembuh. Komunitas Dayak Siberuang dan Dayak Sekujang mempunyai kepercayaan bahwa bahwa diantara buah sengkubak terdapat bagian yang disebut buntat, yang dipercaya mempunyai nilai spiritual/magis sebagai jimat. Etnis Dayak Siberuang dan Melayu Sintang percaya batang sengkubak dapat digunakan bersama kayu Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.) dan bawang merah sebagai penangkal, selain itu daun sengkubak bersama kayu Lukai juga dipercaya sebagai penangkal dan digunakan untuk “merabun” (kegiatan membakar bahanbahan/rempah untuk mengeluarkan asapnya yang dipercaya untuk mengusir makhluk halus. c. Bagian yang Digunakan Bagian yang umum digunakan dari sengkubak adalah daun. Bagian-bagian lain dari sengkubak yang dapat digunakan adalah batang dan buah. Pengetahuan mengenai manfaat terhadap bagian-bagian yang dapat digunakan (daun, batang, buah) dari sengkubak adalah berbeda nyata antara etnis Dayak dan Melayu (χ2 = 6,84 dan χ2
(0,05;2)
= 5,99). Hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya kepercayaan
bahwa buah dan batangnya mempunyai nilai magis, etnis Dayak Sekujang dan Siberuang Sintang percaya jika teras sengkubak yang berasal dari buah sengkubak merupakan jimat penawar, etnis Melayu Sintang mempunyai kepercayaan tentang batang sengkubak jika dibakar bersama kayu lukai dapat menyadarkan orang yang sedang kesurupan (tidak sadarkan diri karena gangguan makhluk halus). Pemanfaatan bagian-bagian dari sengkubak, komposisi dan cara mengolah disajikan pada Tabel 13.
53 Tabel 13 Komposisi dan pemanfaatan sengkubak oleh masyarakat di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Bagian yang digunakan Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Peranan
Takaran/ Komposisi
Cara pengolahan
Peruntukkan
Penyedap rasa
2-3 lembar/masakan
Diiris kecil-kecil/ Ditumbuk dan dicampur dengan sayuran
Memasak ikan dan beragam sayuran
Daun sengkubak Daun ribu-ribu Daun medang piawas Jintan hitam Ketumbar kasar
Semua bahan ditumbuk, ditapalkan atau disemburkan pada perut si sakit
Perut kembung disertai batuk-batuk
Daun sengkubak Daun kembang sepatu Bawang merah 1 biji Bawang putih 1 biji Daun sirih Kulit pinang (1 buah) Daun puring panjang kecil
Semua bahan dimasukkan ke dalam wadah berisi air diremas-remas ditambah sedikit cuka dan nasi dingin satu butir
Demam panas
Daun sengkubak Kulit bawang merah Kulit bawang putih Air beras Jintan hitam
Semua bahan dimasukkan kedalam wadah (bisa tempurung kelapa) Dibuat pada malam hari Diembunkan diluar rumah Digunakan setelah diembunkan untuk mandi bagi si sakit sampai sembuh Semua bahan dibakar asapnya untuk merabun
Demam merayu atau Demam merona (deman lama yang tidak sembuhsembuh)
Daun sengkubak di letakkan didalam kulit lukai dan diikat
Zimat atau penangkal makhluk halus
Pengobatan Tapal
Pengobatan Jaram (Kompres)
Pengobatan Untuk mandi
Nilai Magis Merabun (membuat asap untuk mengusir roh-roh jahat)
Daun sengkubak Kulit bawang merah Kulit bawang putih Kulit kayu lukai Daun jeruk nipis
Zimat
Daun sengkubak Kulit kayu Lukai
Anak bayi rewel (menangis tanpa sebab)
54 Tabel 13 Lanjutan Bagian yang digunakan Batang
Peranan
Obat keteguran (magis)
Takaran/ Komposisi Kayu (batang) sengkubak Kayu lukai Bawang merah
Cara pengolahan
Kayu sengkubak dibakar beserta kayu lukai, hasilnya digosok diujung bawang merah, kemudian digosokkan ke kuping orang yang mengalami “keteguran”atau kesurupan. Buah Nilai magis Buah atau bagian Buah disimpan dalam teras ”atau buntat” dompet Keterangan : Kayu Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.)
Peruntukkan
Orang yang mengalami sakit atau kesurupan akibat makhluk halus
Zimat ”Penawar”
Gambar 5 Teras sengkubak yang sudah disimpan selama ± 10 tahun oleh seorang warga Dusun Medang, Kec. Dedai Sintang, tahun 2007.
Gambar 6 Daun sengkubak diikat dalam kulit kayu Lukai untuk penangkal makhluk halus (kepercayaan sebagian etnis Melayu dan Dayak)
55 d. Cara Pengolahan dan Penyimpanan Cara pengolahan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak untuk memanfaatkan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah cukup bervariasi. Berbagai variasi mengolahnya mulai dari ditumbuk halus, diiris tipis-tipis, dan diremas-remas kemudian dituangkan ke dalam masakan. Takaran atau banyaknya daun sengkubak yang diperlukan untuk setiap masakan adalah 3-4 lembar atau sesuai selera. Pengetahuan cara mengolah sengkubak sebagai penyedap rasa (diremas, diiris-iris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis Dayak dan Melayu Sintang (χ2 = 6,84 dan χ2
(0,05;2)
= 5,99). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh
faktor kebiasaan dalam menggunakan sengkubak, nenek moyang etnis kedua suku mempunyai cara tersendiri dalam mengolah sengkubak, cara pengolahan tertentu tersebut telah di contoh oleh generasi saat ini. Teknis pengolahan agar dapat disimpan dan digunakan dalam waktu cukup lama yaitu : (a) Daun sengkubak yang baru di petik dibersihkan (b) Daun ditumbuk halus atau dipotong kecil-kecil (c) Hasil dari proses penumbukan atau potongan tersebut dikering anginkan (d) Serbuk daun sengkubak kemudian disimpan ke dalam wadah bersih (botol). Botol atau wadah yang berisi serbuk daun sengkubak di simpan untuk digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Teknis dan cara penyimpanan Sengkubak sebagai serbuk penyedap alami merupakan salah satu ide orisinil yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut. Cara mengolah yang bervariasi dimaksudkan untuk mendapatkan khasiat yang terdapat pada daun tersebut yaitu menambah rasa manis pada sayuran yang di masak dan menghilangkan rasa pahit yang biasa ditimbulkan dari sayur-sayur tertentu saat di masak. e.
Pergeseran Penggunaan Sengkubak Generasi muda dari kalangan etnis Dayak dan Melayu Sintang sebagian
besar saat ini sudah tidak mengetahui tentang penggunaan sengkubak. Hal ini terjadi karena proses alih pengetahuan penggunaan sengkubak dari orang tua ke generasi muda tidak berjalan dengan baik. Kondisi tersebut didukung oleh
56 adanya keadaan di mana generasi tua sudah mulai jarang menggunakan sengkubak sebanyak 63,33% responden menyatakan sudah jarang menggunakan sengkubak, selain itu kurang berusaha mewariskan pengetahuan penggunaan sengkubak kepada generasi mudanya. Frekuensi/tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa antara kedua etnis Dayak dan Melayu adalah tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (χ2 = 1,43 dan χ2(0,05;1) = 3,84). Frekuensi (seringnya) menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa oleh kedua etnis berdasarkan kelompok umur (umur produktif 15-54 tahun dan tidak produktif > 54 tahun) adalah berbeda nyata (χ2 = 5,62 dan χ2 (0,05;1) = 3,84) dalam arti bahwa kelompok umur produktif berbeda dengan tidak produktif dalam hal frekuensi menggunakan sengkubak. Hal ini disebabkan karena umur berkaitan dengan pengalaman yang dimiliki, umur > 54 tahun diasumsikan mempunyai pengalaman lebih dalam hal pengetahuan penggunaan sengkubak. Selain itu, bila dilihat dari tingkat pendidikan (tidak sekolah, SD, SMP, SMA/sederajat), maka frekuensi (seringnya) menggunakan sengkubak adalah tidak berbeda antara etnis Dayak dan Melayu Sintang (χ2 = 1,071 dan χ2(0,05;3) = 7,81). Responden yang memiliki pekerjaan sebagai tani, pedagang dan rumah tangga tidak berbeda nyata tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa baik pada etnis Dayak maupun Melayu Sintang (χ2 = 4,42 dan χ2 (0,05;2) = 5,99). Jika dilihat dari jarak antara pengguna sengkubak dengan tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa (dekat, agak jauh, jauh dari tempat tinggal), adalah tidak berbeda antara etnis Dayak dan Melayu (χ2 = 1,65 dan χ2 (0,05;2) = 5,99). Tingkat seringnya menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa tidak berbeda antara suku Dayak dan Melayu jika di lihat berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, asal etnis, jarak antara tempat tinggal pengguna sengkubak dengan tempat hidupnya sengkubak. Tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah berbeda jika di lihat berdasarkan kelompok umur responden (produktif dan non produktif). Pengalaman dan kebiasaan (adat) yang diwariskan oleh generasi sebelumnya dapat mempengaruhi dalam hal pemanfaatan sengkubak sehari-hari.
57 Semakin jarang penggunaan sengkubak di kalangan generasi tua juga dipicu oleh semakin sulitnya memperoleh sengkubak di lingkungan tempat tinggal, meningkatnya jumlah penyedap modern dalam berbagai bentuk dan kemasan, mendorong masyarakat menjadi lebih sering menggunakan penyedap modern dibanding sengkubak. Implikasi dari semua peristiwa tersebut adalah hilangnya pengetahuan tradisional
penggunaan sengkubak sebagai penyedap alami
terutama di kalangan generasi muda etnis Dayak dan Melayu. Namun demikian kearifan penggunaan sengkubak di kalangan etnis Dayak saat ini masih dapat disaksikan. Di Dusun Suak Desa Manis Raya Kecamatan Sepauk Sintang, sengkubak masih digunakan oleh sebagian besar warga dusun tersebut untuk keperluan memasak sehari-hari. Rata-rata di hutan karet alam campuran (mixed rubber plantation) milik warga, sengkubak masih dapat dijumpai. Sengkubak tetap di jaga keberadaannya karena adanya pemanfaatan yang intens oleh masyarakat. Regenerasi pengetahuan etnis Melayu dan Dayak terhadap sengkubak mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata umur responden yang dapat menjelaskan tentang sengkubak tergolong kelompok umur tua.
Dari
kelompok umur produktif yang berusia di bawah 30 tahun hanya 1 orang responden, yang berusia 31- 49 tahun 13 responden, dan yang berusia 50-54 terdapat 3 responden. Hal ini mengisyaratkan sulit menemukan responden yang dapat menjelaskan tentang sengkubak yang berusia muda < 30 tahun. Dalam hal ini pembagian kelompok umur produktif dan tidak produktif berdasarkan BPS Sintang (2006). Komposisi umur responden yang termasuk dalam kelompok umur produktif (15-54 tahun) sebesar 46,67% dan responden yang termasuk dalam kelompok umur tidak produktif (>54 tahun) sebesar 43,33%. 2. Budidaya Sengkubak oleh Masyarakat Pemanfaatan yang dilakukan terhadap sengkubak adalah dengan cara memanen langsung dari alam. Masyarakat masih menggantungkan hutan sekunder sebagai penyedia sengkubak. Kegiatan budidaya sengkubak belum banyak dilakukan hanya 16,67% responden yang mencoba menanam di lingkungan tempat tinggal. Pemanfaatan suatu spesies tumbuhan dari alam tanpa
58 diikuti tindakan budidaya lama-kelamaan akan mengancam kelestarian spesies tumbuhan tersebut. Sengkubak telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak maupun Melayu Sintang terutama yang tinggal di pedalaman, namun budidaya sengkubak belum menjadi bagian yang mengisi keseharian masyarakat. Selama ini responden mendapatkan sengkubak dengan cara memanen langsung dari hutan atau ladang karet alam campuran yang dimiliki (93,33% responden). Menurut responden, sengkubak sangat sulit dibudidayakan, karena pertumbuhannya sangat lambat, dan responden belum mengetahui cara budidaya yang tepat untuk spesies yang sering digunakan ini. Belum ada teknis budidaya lokal sengkubak baik dari etnis Dayak dan Melayu Sintang. Karena umumnya sengkubak sudah ada dan tumbuh secara liar di hutan sekitar tempat tinggal. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa dari semua responden, hanya 16,67% responden yang telah dan berusaha membudidayakan sengkubak yaitu dengan menanamnya di sekitar tempat tinggalnya. Sejak dahulu etnis Dayak dan Melayu di pedalaman Sintang memiliki ikatan yang kuat dengan hutan. Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan. Hutan tempat berburu, bila hendak berladang pohonpohon di hutan akan ditebang, bila hendak mengusahakan tanaman perkebunan orang Dayak cenderung memilih tanaman yang menyerupai tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan tersebut merupakan refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabadabad dengan hutan dan segala isinya (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Sengkubak merupakan salah satu wujud pengetahuan yang lahir dari hubungan etnis Dayak dan Melayu dengan hutan. Sejak dahulu masyarakat terbiasa memenuhi kebutuhan sengkubak dengan memanennya langsung dari hutan. Saat di mana hutan tidak mengalami penyempitan atau pengurangan lahan seperti yang terjadi saat ini, pemanenan langsung sengkubak dari hutan alam bukan menjadi permasalahan. Tetapi pengurangan lahan hutan secara luas demi memenuhi kebutuhan perluasan lahan perkebunan, pemukiman, pertanian lahan
59 kering, dan lain sebagainya menjadi realitas yang harus dipertimbangkan ke depan. Adanya realitas pengurangan wilayah hutan yang masih terus berlanjut, harus disikapi masyarakat pengguna sengkubak dengan harus turut memikirkan apakah tindakan mengandalkan sengkubak dari hutan alam masih dapat diharapkan. Budidaya sengkubak walaupun menurut penduduk sangat sulit menemukan keberhasilan, namun dengan teknik atau budidaya lokal yang sederhana harus terus-menerus dilakukan, bila tidak ingin kehilangan sengkubak di hutan alam. 3. Jenis Sengkubak a. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Dayak Sintang Secara umum masyarakat Dayak Sintang mengenal tumbuhan yang disebut sebagai sengkubak adalah suatu tumbuhan yang sering ditemukan dalam keadaan memanjat di antara pohon-pohon besar di hutan di mana daunnya sering digunakan untuk menambah rasa manis pada setiap jenis masakan. Penggunaan daun sengkubak merupakan tradisi dan pengetahuan leluhur yang dalam mengolah masakan. Tumbuhan yang disebut sengkubak untuk kepentingan tersebut adalah Pycnarrhena cauliflora. Sebagian komunitas etnis Dayak menganggap sengkubak di alam terdiri dari dua jenis, yaitu sengkubak laki-laki (Galearia filiformis) dan sengkubak perempuan (P. cauliflora). Komunitas tersebut juga menyatakan bahwa sengkubak perempuan atau sengkubak jenis yang berakar dan merambat adalah jenis yang umum dipakai sebagai penyedap rasa masakan, karena rasanya yang lebih enak, dibanding sengkubak laki-laki. Walaupun ada perbedaan pendapat diantara etnis Dayak tentang spesies sengkubak laki-laki yang dimaksud, dalam kesempatan ini pengenalan kelompok Dayak tentang kedua jenis sengkubak dimaksud disajikan dalam penjelasan berikut. (1). Sengkubak Perempuan [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Sengkubak perempuan adalah suatu spesies tumbuhan pemanjat (liana) yang mempunyai ciri (menurut etnis Dayak) yaitu adanya akar atau batang yang merambat (Gambar 7). Karena dianggap tumbuh dengan akar-akar yang
60 merambat dan menjalar untuk memunculkan cabang yang akan ditumbuhi daun dan bunga. Ujung dari cabang-cabang ini tumbuh terus ke atas hingga memanjat pohon-pohon yang ada disekitarnya. Batang atau akarnya sangat lentur sulit dipatahkan jika masih hijau. Daunnya terlihat mengkilat dari arah permukaan (Gambar 8). Di tempat yang subur daunnya dapat berukuran lebih besar dengan lebar dan panjang sekitar panjang 26 cm dan lebar 13 cm.
Gambar 7 Bentuk akar sengkubak perempuan (P. cauliflora) Keberadaa sengkubak perempuan menurut penduduk saat ini sudah sangat langka. Pembukaan lahan hutan bagi banyak penggunaan dan keperluan pembangunan telah menghilangkan banyak spesies-spesies baik yang sudah diketahui manfaatnya atau spesies yang belum diketahui manfaatnya hilang dari hutan,
termasuk
diantaranya sengkubak.
Menurut responden
pengguna
sengkubak, saat ini hanya hutan-hutan tertentu yang masih terdapat spesies tersebut.
Gambar 8 Bentuk daun sengkubak dengan permukaan licin
61 Ciri lainnya yang cukup penting adalah adanya pembungaan yang keluar dari batang sehingga disebut cauliflora (Mackinnon et al. 2000). Buah sengkubak muncul dari batang sengkubak (Gambar 9). Sebagian etnis Dayak Sekujang, dan Dayak Desa menganggap ada bagian diantara buah sengkubak yang dipercaya sebagai ”buntat atau teras” mengandung nilai magis. Buntat yaitu benda alam yang diperoleh atau ditemui dalam atau dengan keadaan tidak normal atau berbentuk aneh (Muslim & Frans dalam Florus et al. 1994). Buntat sengkubak dipercaya
sebagai
jimat
penawar
oleh
sebagian
orang
Dayak.
Bila
menggunakannya pada acara minum tuak, maka pada giliran minum orang berikutnya tuak tersebut akan terasa hambar (tuak adalah sejenis minuman beralkohol yang khas dibuat dari beras ketan yang di fermentasi, biasa dibuat oleh suku Dayak dan sering dihidangkan acara-acara gawai adat Dayak ).
Gambar 9 Buah sengkubak koleksi Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong. Anakan yang berasal dari biji tumbuh menjadi individu tunggal seperti anakan pohon lainnya, belum merambat. Setelah berumur dewasa untuk pertumbuhannya Sengkubak tumbuh berkembang merambat membuat cabangcabang baru, dan memanjat pohon-pohon yang ada disekitarnya. Anakan sengkubak dengan ciri seperti ini banyak ditemui pada hutan Pungkun Medang Kecamatn Dedai Sintang (Gambar 10). Lokasi hutan adat II Dusun Medang sering menjadi tempat warga kampung lain untuk mencari daun sengkubak.
62
Gambar 10 Anakan sengkubak yang ditemukan di hutan pungkun Medang
Gambar 11 Batang atau perpanjangan akar sengkubak tumbuh melilit di pohon dan batang yang berada didekat tempat tumbuhnya. (2). Sengkubak laki-laki [Galearia filiformis (BI.) Boerl.] Pohon kecil tinggi 5-12 m, batang 15-20 cm, kulit batangnya menunjukkan tanda-tanda adanya alkaloid (Heyne 1987). Sengkubak laki-laki yang dimaksud adalah sengkubak dengan ciri berkayu (berdiri), tumbuh tegak seperti individu lainnya, tidak memanjat pada pohon lain. Ciri yang sangat penting yaitu pada ujung cabang daun terdapat “malai” atau “serat” yang tumbuh menjuntai yang menjadi tempat tumbuhnya bunga dan buah (Gambar 12). Daun tumbuh berselang seling, agak tipis, belakang daun tidak licin dan agak kasap. Urat daun timbul tapi tidak sejelas sengkubak perempuan (P. cauliflora).
63
Gambar 12 Morfologi Galearia filiformis saat sesudah dan belum berbunga Penamaan sengkubak laki-laki oleh Dayak Sekujang dan Siberuang juga dikenal oleh sebagian etnis Dayak Desa (etnis Dayak yang bermukim di Kec. Dedai dan Kec. Kelam Permai) menyebutnya dengan nama “Kesepai”. Ujung pada pucuk daun pada saat baru tumbuh sering di makan binatang karena rasanya manis (Gambar 13). Jenis sengkubak laki-laki ini banyak dijumpai di hutan Kantuk Desa Paoh Benua Kecamatan Sepauk, diantaranya pada ladang karet alam milik warga Kantuk. Sengkubak laki-laki jarang digunakan untuk memasak. Penamaan dengan kata sengkubak dikarenakan bentuk daun dan rasa daun yang manis mirip dengan fungsi sengkubak perempuan, sehingga disebut sengkubak laki-laki. Dari segi rasa (taste) orang Dayak menyatakan sengkubak lebih manis daripada G. filiformis.
Gambar 13 Pucuk daun G. filiformis sering dimakan binatang di hutan b. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Melayu Secara umum sengkubak yang dikenal oleh seluruh responden etnis Melayu adalah sengkubak yang mempunyai fungsi sebagai penyedap rasa (Pycnarrhena
64 cauliflora). Namun khusus pada etnis Melayu di Kecamatan Sintang, sengkubak dikenal dalam tiga versi atau tiga spesies sengkubak. Ketiga spesies sengkubak yang dimaksud adalah sengkubak macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.), sengkubak rebung (Staurogyne elongata), dan sengkubak sayur (Pycnarrhena cauliflora.). (1). Sengkubak Macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.) E. cochinchinensis merupakan perdu bercabang banyak, di Jawa Tengah dikenal sebagai daun sambang darah dan ditanam sebagai tanaman hias. Getahnya mempunyai sifat-sifat beracun, lebih beracun dari getah E. agallocha LINN. Teysmannia (1910) dalam Heyne (1987) menemukan bahwa pada konsentrasi 1 : 500.000 getah dari E. cochinchinensis masih mematikan pada ikan. E. cochinchinensis di Sintang tumbuh di dataran rendah, pada lahan pekarangan ataupun pada lahan yang sekali-kali tergenang air. Di Jawa E. cochinchinensis
biasa digunakan sebagai obat. Menurut
Vordermen dalam Heyne (1987) E. cochinchinensis
digunakan untuk
pengobatan pendarahan setelah haid. Penggunaan ini berdasarkan ilmu simbolik (signaturenleer), menurut Boorsma dalam Heyne (1987), daunnya tidak bersifat racun. E. cochinchinensis yang dikenal oleh suku Melayu Sintang sebagai sengkubak macan adalah jenis tumbuhan perdu yang cukup menarik. Jenis ini lebih dikenal karena daunnya digunakan sebagai bahan penghancur darah oleh dukun-dukun etnis Melayu. Tidak ada penjelasan tentang penamaannya sebagai sengkubak macan, tetapi jenis sengkubak ini dipercaya oleh suku Melayu Sintang berguna untuk keperluan pengobatan. E. cochinchinensis ditanam dan dipelihara oleh tetua etnis Melayu Sintang yang mengerti dan memahami pengobatan (termasuk para dukun-dukun dan mantri). Spesies ini termasuk dalam famili Euphorbiaceae, jika dilihat dari kekerabatannya dengan sengkubak Dayak
dan
Melayu
sebagai
yang selama ini telah dikenal oleh etnis
sengkubak
(penyedap
alami),
maka
E.
cochinchinensis sama sekali tidak menunjukkan kesamaan baik dari segi penggunaan ataupun manfaat.
65 (1a). Morfologi E. cochinchinensis Ciri yang paling menonjol adalah warna daun yang berbeda-beda antara permukaan bagian depan dan belakang daun. Permukaan depan daun berwarna hijau tua, sedangkan belakang daun bewarna merah hati (Gambar 14).
Gambar 14 Warna bagian belakang daun Excoecaria cochinchinensis E. cochinchinensis merupakan tumbuhan cukup cantik untuk dijadikan tanaman hias karena warna daunnya yang cukup menarik (Gambar 15). Dari semua lokasi pengamatan, E. cochinchinensis tidak sekalipun ditemukan di jalurjalur pengamatan di enam lokasi pengamatan, melainkan hanya ditemukan tumbuh dipekarangan rumah responden yang didata.
Gambar 15 Morfologi Sengkubak macan versi suku Melayu Sintang (1b). Kegunaan E. cochinchinensis E. cochinchinensis diakui mempunyai manfaat sebagai bahan pengobatan yang berkaitan dengan
kelancaran peredaran darah saat haid. Kegunaan
sengkubak macan yang sering dimanfaatkan dukun-dukun (tabib) melayu untuk
66 pengobatan adalah sebagai penghancur darah dan obat saat haid yang sering menyebabkan rasa sakit. Penggunaan E. cochinchinensis disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Penggunaan E. cochinchinensis bagi pengobatan Bagian yang digunakan
Komposisi
Cara pengolahan
Kegunaan
3-4 lembar
Daun direbus, airnya diminum Semua bahan direbus airnya diminum
Penghancur darah (diminum saat haid) Haid sering sakit
Daun 3-4 lembar di tambah akar kuning (Fibraurea chloroleuca)
E. cochinchinensis juga dikenal oleh dukun atau etnis Dayak tidak sebagai sengkubak macan, tetapi dukun-dukun etnis Dayak menyebutnya daun pengobat muntah darah dan menggunakan daun E. cochinchinensis sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit muntah darah. (2). Sengkubak sayur (Pycnarrhena cauliflora) Sengkubak sayur atau sengkubak daun ubi merupakan spesies yang umum dikenal oleh generasi tua pada etnis Melayu, di mana daunnya sering digunakan sebagai penyedap rasa dalam sayuran. Pengenalan etnis Melayu terhadap sengkubak sayur memiliki kesamaan dengan etnis Dayak secara keseluruhan yang menganggap spesies tersebut adalah sengkubak yang biasa digunakan nenek moyang sebagai “penyedap rasa alami” . Kegunaan Sengkubak Sayur oleh etnis Melayu Pola penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang cukup menarik untuk dicermati. Pengetahuan yang dimiliki dalam menjadikan atau mengemas sengkubak sebagai penyedap rasa dan membuat sengkubak lebih praktis untuk digunakan cukup menarik. Penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang disajikan dalam Tabel 15. Sengkubak yang telah tersedia dalam wujud serbuk sangat praktis dan dapat digunakan dalam waktu yang lama untuk keperluan masak sehari-hari. Teknik penyimpanan sengkubak yang dilakukan oleh responden etnis Melayu tersebut cukup baik sebagai ide inovatif untuk pengembangan pemanfaatan sengkubak dimasa datang yang lebih praktis dan tahan lama.
67 Tabel 15 Penggunaan dan pengolahan sengkubak oleh etnis Melayu Bagian yang digunakan Daun segar
Cara pengolahan
Teknik penyimpanan Daun segar dalam jumlah Bubuk sengkubak lebih banyak ; yang sudah halus di Dibersihkan simpan dalam Ditumbuk hingga halus wadah bersih, Dianginkan (dikeringkan) seperti botol plastik (bekas botol agua kecil)
Kegunaan Sebagai serbuk penyadap rasa atau serbuk ”micin alami”
Walaupun sebagian besar etnis Melayu Sintang saat ini sudah sangat jarang menggunakan sengkubak, namun dari wawancara diketahu bahwa selalu ada keinginan untuk menggunakan sengkubak kembali sebagai penyedap rasa masakan. Sengkubak tetap menjadi bagian kekayaan pengetahuan budaya warisan nenek moyang yang dihargai dan tetap diinginkan dapat digunakan.
Gambar 16 Sengkubak melilit sebuah batang pohon, Lokasi hutan karet alam campuran Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang, 2007 (3). Sengkubak Rebung (Staurogyne elongata) S. elongata merupakan golongan terna, termasuk dalam famili Acanthaceae, batangnya lunak dan lemah, tumbuh dihutan-hutan rindang. Akarnya digunakan sebagai obat diureticum daunnya juga biasa digunakan sebagai obat (Heyne 1987). Menurut penduduk, S. elongata mudah tumbuh di tanah-tanah yang lembab, sedikit berair atau bahkan di hutan yang cukup lembab. Tanaman ini mudah ditanam di halaman rumah dengan kondisi tanah yang becek (Gambar 17). Masyarakat Melayu Sintang menggunakan S. elongata sebagai penyedap
68 dalam sayuran yang dimasak. S. elongata juga ditemukan di hutan adat I Sirang (desa Sirang Setambang, Kecamatan Sepauk Sintang). S. elongata sangat berbeda karakteristiknya dengan sengkubak (P. cauliflora). Pemberian nama depan oleh etnis Melayu Sintang sebagai sengkubak rebung, mungkin dikarenakan peranannya yang hampir sama yaitu dapat digunakan sebagai penambah rasa manis pada masakan. Bedanya penggunaan S. elongata dalam sayuran, lebih ditekankan pada penggunaan daunnya yang dapat di makan sebagai bahan sayur yang manis, sedangkan sengkubak daunnya tidak berfungsi sebagai sayur, tapi semata-mata di ambil sarinya sebagai penyedap rasa (to add sweet flavour).
Gambar 17 Sengkubak rebung, lokasi desa Baning Kota Sintang Pengetahuan penggunaan S. elongata sebagai penambah rasa manis pada masakan terutama pada sayuran, ternyata juga dilakukan oleh etnis Dayak. Namun etnis Dayak mengenal spesies ini dengan sebutan ”Bodoso” (etnis Dayak Sekujang, Desa Sirang Setambang). Cara penggunaan
S. elongata dalam
pengolahan masakan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Penggunaan S. elongata oleh Etnis Melayu Sintang Bagian yang digunakan Daun, terutama bagian yang muda
Takaran/ komposisi bahan
Cara pengolahan
Beberapa helai Sengkubak rebung (sesuai selera) digunakan terakhir, saat sayuran yang dimasak sudah hampir tanak (matang)
Kegunaan
Penambah rasa manis pada masakan (terutama sayuran)
Secara umum pengetahuan etnis Melayu maupun Dayak Sintang tentang kegunaan sengkubak adalah sama, yaitu sebagai penyedap rasa pada sayuran
69 atau ikan yang dimasak, dan dapat mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan jenis sayuran tertentu bila dimasak. Kegunaan lainnya adalah sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam pengobatan (lebih bersifat obat luar, seperti jaram), dan sengkubak dianggap mempunyai nilai magis dan dipercaya oleh sebagian etnis Dayak ataupun Melayu (Tabel 17). Tabel 17 Pengetahuan etnis Dayak dan Melayu terhadap sengkubak Sengkubak lakilaki Galearia filiformis
Sengkubak perempuan
Sengkubak macan
Pycnarrhena cauliflora
Exoecaria cochinchinensis
Pohon kecil Berkayu Daun tumbuh berselang-seling Ujung cabang daun tumbuh “malai” Bunga tumbuh pada malai Ukuran buah kecil diameter < 1 cm Daun penambah rasa manis pada masakan (jarang digunakan)
Tidak berkayu (berserat) Akar merambat Ujung cabang tumbuh merambat Bunga (buah) muncul dari batang Ukuran buah diameter bisa > 1 cm
-
-
Melayu Karakteristik
-
Perdu bercabang banyak Warna permukaan daun berbeda dg bagian belakang daun (bag depan hijau, belakang daun merah hati)
Terna Ukuran daun kecilkecil panjang x lebar (4 x 1) Bunga bewarna putih, ukuran sangat kecil.
Kegunaan
-
Tidak berkayu (berserat) Akar merambat Ujung cabang tumbuh merambat Bunga (buah) muncul dari batang Ukuran buah diameter bisa > 1 cm Daun penambah manis atau penghilan pahit pada sayuran Penangkal gangguan makhluk halus (daun sengkubak bersama kayu lukai) Obat : Daun untuk campuran jaram, demam merona batangnya untuk obat keteguran
Pengobatan Penghancur darah (haid sering sakit)
Dicampur sayuran (menambah manis)
Dayak Karakteristik
Kegunaan
Sengkubak rebung
Daun penambah manis atau penghilan pahit pada sayuran Penangkal gangguan makhluk halus (daun sengkubak bersama kayu lukai) Buah (buntat) atau “teras” untuk zimat penawar
Secara ekonomis sengkubak saat ini belum mempunyai nilai, karena manfaatnya belum dikenal secara luas (komunitas lokal) dan kandungan kimia
pada rasa
70 penting yang berguna bagi pengobatan belum diketahui. Namun bagi etnis Dayak dan Melayu yang telah mengenalnya sengkubak (P. cauliflora),
sengkubak
merupakan warisan pengetahuan nenek moyang yang perlu dilestarikan (100% responden menyatakan harapan ke depan sengkubak perlu dilestarikan). Bahkan, karena semakin sulitnya mendapatkan daun sengkubak, sehingga daunnya sering menjadi buah tangan bila hendak mengunjungi keluarga atau sanak famili di kampung yang lain. B. Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] 1. Kondisi Populasi Sengkubak a. Potensi dan Penyebaran Sengkubak Berdasarkan hasil inventarisasi pada formasi hutan sekunder di Kabupaten Sintang, diketahui sengkubak
mempunyai kerapatannya sebesar 14 ind/ha.
Potensi sengkubak tertinggi terdapat di hutan Medang sebesar 22 ind/ha, diikuti oleh hutan Sirang sebesar 17 ind/ha, selanjutnya berturut-turut hutan Suak I sebesar 10 ind/ha dan Suak II sebesar 9 ind/ha. Potensi yang cukup besar pada hutan Medang antara lain karena faktor-faktor lingkungan yang dibutuhkan sengkubak untuk perkembangan hidupnya cukup tersedia di hutan Medang. Menurut Gardner et al. (1991) kerapatan tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan faktor lingkungan utama yaitu penyinaran, kelembaban dan kesuburan tanah. Keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut merendahkan kerapatan tanaman. Frekuensi atau penyebaran Sengkubak di hutan Medang cukup merata yaitu sebesar 0,60. Penyebaran Sengkubak di hutan Sirang (0,24), hutan Suak I (0,28) dan Suak II (0,16) tergolong rendah yaitu < 50%. Penyebaran Sengkubak yang cukup tinggi di hutan Medang antara lain disebabkan oleh adanya faktor penyerbukan dan penyebaran biji buah Sengkubak. Data tentang frekuensi dan kerapatan Sengkubak disajikan pada Tabel 18.
71 Tabel 18 Kerapatan dan frekuensi Sengkubak (Miers.) Diels. di formasi hutan sekunder Kabupaten Sintang KalimantanBarat Parameter Persentase anakan (%) Frekuensi Kerapatan (ind/ha)
1 70,59 0,24 17
Lokasi Pengamatan 2 3 70 44,44 0,28 10
0,16 9
4 90,91
Total 275,94
Ratarata 68,98
0,60 22
1,28 58
0,32 14,5
Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II Suak, dan 4= Ht. adat II Medang
Menurut Fitter dan Hay (1991), aspek-aspek yang mempengaruhi dalam pertumbuhan vegetasi ada 3 (tiga) macam yaitu pengaruh langsung pada persediaan atau stok sumber daya, pengaruh tidak langsung yang dicapai melalui pergantian lingkungan fisik (lebih umum lingkungan kimiawi) dan penyebaran, seperti di dalam penyerbukan (penyebaran biji). Penyebaran Sengkubak yang cukup tinggi (>50%) di hutan Medang diduga karena adanya aktivitas penyebaran biji yang dilakukan oleh binatang. Menurut Peters (1994) sebagian besar tumbuhan tropis bergantung secara ekslusif pada satwa-satwa untuk memindahkan serbuk sarinya. Sebuah kajian yang dilakukan dalam sebuah petak kecil di hutan dataran rendah di Costa Rica menemukan bahwa 139 (96,4%) dari 143 spesies pohon yang disurvei dibantu penyerbukannya oleh satwa-satwa seperti serangga kecil, lalat, agas, kumbang, lebah dan kalong. Penyebaran biji memberikan paling tidak tiga keuntungan ekologis bagi tumbuhan. Sebutir biji yang tersebar mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk terbebas dari keadaan berdesak-desakan dan kematian yang selalu terjadi di bawah naungan pohon induk. Penyebaran juga mempunyai kesempatan bagi biji untuk menyebarkan spesies ke habitat-habitat baru (Peter 1994). Berdasarkan inventarisasi, sengkubak memiliki rata-rata tinggi batang sebesar 1,5 m dan rata-rata diameter batang sebesar 0,73 cm. Di lihat dari ratarata ukuran diameter dan tinggi batang sengkubak di formasi hutan sekunder tersebut memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, hal ini diduga disebabkan oleh komunitas yang terbentuk di hutan-hutan sekunder tergolong masih muda. Ratarata tinggi dan diameter batang
sengkubak pada formasi hutan sekunder di
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat di sajikan pada Tabel 19.
72 Tabel 19 Beberapa karakteristik botanis sengkubak di formasi hutan sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Karakteristik Kisaran tinggi batang (m) Rata-rata tinggi batang (m) Kisaran diameter (cm) Rata-rata diameter (cm)
1 0,33-8 1,68 0,4-3,2 0,4
Hutan sekunder 2 3 0,28-7 0,52-6 1,55 2,16 0,5-2,8 0,6-1,1 1,09 0,83
Rata-rata 4 0,35-2,07 0,61 0,4-1,2 0,6
1,5 0,73
Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II Suak, dan 4= Ht. adat II Medang
Rata-rata ukuran diameter sengkubak yang ditemukan menunjukkan sebagian besar Sengkubak yang ditemukan adalah golongan anakan, artinya terjadi regenerasi Sengkubak yang cukup baik di habitatnya (Gambar 18). Semakin tinggi kelas diameter Sengkubak maka jumlahnya semakin sedikit. Grafik yang memperlihatkan hubungan diameter dengan jumlah individu Sengkubak merupakan grafik ”J terbalik” yang memiliki pengertian bahwa keadaan populasi seperti tersebut adalah normal. Artinya dalam suatu komunitas yang baik individu muda harusnya lebih banyak dari dewasa, sehingga regenerasi tumbuhan berjalan.
40 Jumlah individu (ind/ha)
35 30 25 20 15 10 5 0 ≤ 0.5 0.6-1.0 1.1-1.5 1.6-2.0 2.1-2.5 2.6-3.0
> 3.0
Kelas diameter (cm)
Gambar 18 Hubungan diameter dengan jumlah individu sengkubak
73
Jumlah individu (N/ha)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 ≤1
1,01-3,0
3,01-5,0
> 5,0
Kelas tinggi batang P. cauliflora (m)
Gambar 19 Hubungan tinggi batang sengkubak dengan jumlah individunya (ind/ha) Demikian halnya dengan kelas tinggi sengkubak, bahwa semakin rendah kelas tinggi batangnya, maka semakin besar jumlah individu sengkubak ditemukan, demikian sebaliknya. Semakin tinggi kelas tinggi batang sengkubak, maka semakin sedikit jumlah individu sengkubak ditemukan. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa jika diasumsikan bahwa tinggi batang individu sengkubak anakan adalah < 1 m, maka hal tersebut sesuai dengan ”Grafik J terbalik” pada kelas diameter sengkubak di atas. b. Pola Sebaran Spasial Sengkubak (Pycnarrhena cauliflora) Pola sebaran spasial sengkubak yang ditunjukkan pada formasi hutan sekunder (selang kepercayaan 95%) di Kabupaten Sintang adalah cenderung mengelompok. Pada hutan adat I (Sirang), hutan karet alam campuran I dan II Dusun Suak pola sebarannya adalah mengelompok (clumped), kecuali pada hutan adat II Dusun Medang adalah seragam (uniform). Pola sebaran mengelompok atau seragam biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya kendala atau factor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan (Rosalina 1996). Menurut Ludwig dan Reynold (1988), pola mengelompok terjadi sebagai akibat karena individu mengelompok pada habitat yang sesuai dengan tuntutan hidupnya. Pola sebaran mengelompok menunjukkan keterkaitan mutual yaitu kehadiran suatu
74 individu dalam suatu unit areal menaikkan peluang individu lainnya pada unit areal yang sama. Data pola sebaran sengkubak pada formasi hutan sekunder di Kabupaten Sintang di sajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai standarisasi Indeks Morishita penyebaran spasial sengkubak Sengkubak Pada Hutan Adat I Sirang Hutan karet alam campuran I Suak Hutan karet alam campuran II Suak Hutan Adat II Medang
Penyebaran Id 4,9632
Mu 0,2751
Mc 1,9602
Ip 0,5652
Clumped
1,6667
-0,2888
2,7071
0,1953
Clumped
7,6389
-0,4499
2,9205
0,6068
Clumped
0,7576
0,4477
1,7316
-0,2195
Uniform
Pada hutan adat I Sirang, hutan karet alam campuran I dan II Suak sengkubak tersebar dengan pola mengelompok hal ini yang menunjukan bahwa jenis Sengkubak berkembang dan tumbuh baik pada tapak-tapak tertentu yang sesuai dengan tuntutan hidupnya, antara lain berhubungan dengan ketersediaan hara, cahaya, atau air. Selain itu pengelompokan terjadi berhubungan dengan keberhasilan perkembangan dan regenerasinya yang tidak jauh dari induknya. Pola penyebaran sengkubak yang seragam pada hutan adat II Dusun Medang diduga di sebabkan oleh adanya penguasaan yang menyeluruh terhadap hampir seluruh kawasan, dengan kata lain kebutuhan tertentu yang diperlukan sengkubak untuk tumbuh hampir merata pada seluruh kawasan. Hutan adat II Medang mempunyai topografi yang relatif datar dengan celah-celah penerimaan cahaya matahari
yang
hampir
merata.
Faktor-faktor
mempengaruhi terbentuknya pola sebaran
yang
telah
disebutkan
spasial. Faktor lain yang turut
mempengaruhi pola sebaran spasial adalah proses reproduksi dan regenerasi, kompetisi, dan kebutuhan hara. c. Asosiasi Antar spesies Asosiasi antar spesies merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat apakah ada asosiasi antara sengkubak (P.cauliflora) dengan spsesies lainnya. Dalam kesempatan ini digunakan hipotesis H0 adalah tidak terdapat asosiasi dan H1 terdapat asosiasi. Asosiasi sengkubak dengan spesies lain
75 ditemukan pada hutan adat I Dusun Sirang, yaitu adanya asosiasi dengan Ubah (Syzygium zeylanicum) pada tingkat pohon, dengan X2 hitung sebesar 4,4408 dan X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,375 (Jaccard Index) dan 0,545 (Dice Index). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)), yakni kedua spesies yaitu sengkubak dan S. zeylanicum lebih sering terdapat bersamasama daripada bebas satu sama lain. Bruenig (1998) menyatakan bahwa spesies yang jarang (rare spesies) biasanya berada pada kondisi tapak tertentu atau akan membentuk pola asosiasi tertentu. Pada hutan karet alam campuran II Dusun Suak asosiasi sengkubak dengan Nyatoh (Palaquium rostratum) pada tingkat tiang dengan X2 hitung sebesar 6,511 dan X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,400 (JI) dan 0,571 (DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Pada hutan karet alam campuran I Dusun Suak asosiasi sengkubak terjadi dengan karet (Hevea brasilliensis) pada tingkat pohon dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan 0,333 (DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Derajat asosiasinya, antara sengkubak dengan karet tergolong rendah (<0,50). Selain itu asosiasi juga terjadi pada keladan (Hopea dryobalanoides), dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan X20,05(1) adalah 3,841. Dengan derajat asosiasinya lebih tinggi dari asosiasi dengan karet yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Data asosiasi sengkubak dengan spesies lain disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon dan tiang. Asosiasi sengkubak dengan Spesies lain Syzygium zeylanicum
X2 Hitung (Chi-square)
X2 0.05;1)
Jaccard / Dice Index
Keterangan
4,44
3,84
0,37 / 0,54
Palaquium rostratum
6,51
3,84
0,40 / 0,57
Hevea brasilliensis
5,59
3,84
0,20 / 0,33
Hopea dryobalanoides
5,59
3,84
0,37 / 0,54
Tingkat pohon Hutan adat I Sirang Tingkat tiang Hutan karet alam campuran II Suak Tingkat pohon Hutan karet alam campuran I Suak Tingkat pohon Hutan karet alam campuran I Suak
76 Asosiasi positip dapat menunjukkan adanya kondisi yang baik terhadap satu spesies atau kedua spesies tersebut. Dalam lingkungan hutan yang heterogen, asosiasi dapat berasal dari suatu kesamaan adaptasi dan respon terhadap lingkungan dari beberapa spesies (Kusmana 1989). Asosiasi negatif yang terjadi pada pasangan spesies lainnya, kehadiran bersama individu-individu spesies yang berbeda dapat bersifat indikatif daripada interaksi yang bersifat menghancurkan atau merugikan terhadap satu atau dua spesies yang bersangkutan. Di dalam lingkungan yang heterogen asosiasi negatif dapat mencerminkan adaptasi atau respon daripada individu-individu spesies yang berbeda-beda terhadap faktor lingkungannya (Kusmana 1989). 2. Kondisi Habitat Sengkubak a. Karakteristik Fisik Habitat Berdasarkan pengukuran terhadap beberapa faktor fisik lingkungan di habitat sengkubak pada formasi hutan sekunder di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, diketahui bahwa rata-rata ketinggian tempat tumbuh (habitat) sengkubak adalah 72,36 m dpl. Berdasarkan data koleksi herbarium Sengkubak di LIPI Cibinong, pada wilayah Kalimantan, sengkubak ditemukan pada ketinggian 100-150 m dpl (Kalbar) dan 90-100 m dpl (Kalsel). Berdasarkan hasil survey lapang, sengkubak mempunyai karakteristik yang khas, terutama dalam hal tempat tumbuh. Sengkubak tidak dapat tumbuh di hutan-hutan yang lantai hutannya memiliki air yang tergenang, dan umumnya ditemukan tumbuh pada dataran rendah (lembah) hingga perbukitan kecil, namun tidak pada tanah rawa. Hasil pengamatan ini sesuai dengan informasi dari masyarakat (pengetahuan masyarakat) bahwa sengkubak tidak dapat tumbuh di hutan yang memiliki air tergenang. Dari kisaran ketinggian lokasi ditemukan dan rata-rata ketinggian lokasi ditemukan sengkubak, diketahui sengkubak dapat tumbuh pada ketinggian 24,4 m hingga 132,37 m. Walaupun berdasarkan ketinggian keempat lokasi tergolong dataran rendah, namun dari keempat lokasi tersebut bukan merupakan hutan rawa atau hutan yan memiliki air tergenang.
77
Jumlah individu (N/ha)
30 25
24
22
20 15
12
10 5 0 < 50
50-100
101-150
Kelas ketinggian tempat (m dpl)
Gambar 20 Jumlah individu Sengkubak (ind/ha) berdasarkan ketinggian tempat Gambar 20 menunjukkan ada kecenderungan bahwa jumlah sengkubak akan semakin berkurang dengan kenaikan tinggi tempat tumbuhnya (m dpl). Sengkubak paling banyak ditemukan pada lokasi dengan ketinggian <50 mdpl. Ragam kerapatan sengkubak yang bisa dijelaskan oleh ketinggian tempat ditemukannya sengkubak adalah sebesar (R2 = 33%) dengan persamaan Y = 22,4 – 0,109x (Pvalue =0,426). Ketebalan serasah pada tempat tumbuh sengkubak, tergolong cukup tebal, hal ini akan mempengaruhi kelembaban tanah pada habitat sengkubak (tempat tumbuhnya). Semakin tebal serasah, kelembaban tanah juga semakin tinggi. Ketebalan serasah ini juga akan mempengaruhi penyerapan air pada permukaan tanah (infiltrasi air). Air lebih mudah terserap sehingga tidak menggenangi tanah. Individu sengkubak cenderung berada pada tempat tumbuh dengan ketebalan serasah 6-15 cm, hal ini disebabkan karena dengan ketebalan serasah tersebut dapat menjaga kelembaban tanah yang diduga sesuai dengan kebutuhan hidup sengkubak. Jika dilihat dari rata- rata suhu dan kelembaban lingkungan tempat tumbuhnya sengkubak di kawasan hutan sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat adalah 28,68-32,9oC dan 82,8-89,8 %, hal ini menandakan sengkubak hidup pada iklim basah. Diagram yang menunjukkan rata-rata ketebalan serasah pada tempat ditemukannya sengkubak (P. caulifora) disajikan pada Gambar 21.
Jumlah individu ditemukan
78
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
17
16
13
6
≤ 5,0
6,0-10,0
11,0-15,0
16,0-20,0
5
>20,0
Kelas ketebalan serasah (cm)
Gambar 21 Hubungan ketebalan serasah dengan jumlah individu sengkubak Individu sengkubak cenderung berada pada tempat tumbuh dengan ketebalan serasah 6-15 cm, hal ini disebabkan karena dengan ketebalan serasah tersebut dapat menjaga kelembaban tanah yang diduga sesuai dengan kebutuhan hidup sengkubak. Data karakteristik fisik habitat sengkubak di hutan sekunder di Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel 22. Tabel 22
Beberapa karakteristik fisik sengkubak di formasi hutan sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Karakteristik
Kisaran ketinggian tempat tumbuh (m dpl) Rata-rata ketinggian ditemukan (m dpl) Kisaran ketebalan serasah tempat ditemukannya sengkubak (cm) Rata-rata Ketebalan serasah (cm) Rata-rata suhu lingkungan (oC) Rata-rata kelembaban (%)
27,7578,08 43,99
Hutan Hutan Karet alam campuran I Suak 26,23115,9 62,37
sekunder Hutan Karet alam campuran II Suak 61,61127,18 118,68
12-33
1,5-23
7-21,2
4-9,4
-
16,76
8,5
13,71
5,76
11,18
32,88 82,82
32 84
29,43 89,86
28,68 88,91
30,75 86,40
Hutan Adat I Sirang
Hutan adat II Medang 24,4132,37 64,38
Rata-rata
72.36
Jika dilihat dari kisaran rata-rata suhu dan kelembaban lingkungan tempat tumbuhnya sengkubak di kawasan hutan sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat adalah 28,68-32,9oC dan 82,8-89,8 %. Hal ini sesuai dengan
79 data BPS Kabupaten Sintang (2006), temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama lima tahun dari tahun 2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana ratarata temperatur udara terendah sebesar 22,45 oC dan temperatur udara tertinggi sebesar 35,7 oC. Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama tahun 2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata tahunan sebesar 86,9%. Hal-hal tersebut menandakan sengkubak hidup pada iklim basah. Menurut data BPS Sintang (2006), dinyatakan bahwa Sintang tergolong dalam daerah penghujan dengan intensitas tinggi, dan berdasarkan klasifikasi klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Sintang tergolong iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi (Iklim basah), dengan bulan basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3 bulan. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu sebesar 62,74 %. Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau rata-rata 274,78 mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama dipengaruhi oleh keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban udara yang cukup tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya mempengaruhi kecepatan angin. Selain itu, penyinaran matahari di Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d 71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS Kabupaten Sintang, 2006). Dengan kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa sengkubak selain hidup pada habitat dengan curah hujan dan kelembaban tinggi, juga berada pada daerah dengan penyinaran matahari yang cukup sepanjang tahun. Faktor-faktor lingkungan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam memiliki lokasi untuk melakukan budidaya sengkubak, terutama bila akan mengembangkannya di luar habitat alaminya. Karena seperti yang dikatakan oleh Gardner et al. (1991) faktor lingkungan utama adalah penyinaran, kelembaban dan kesuburan tanah, dan keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
80 b. Komposisi dan Dominasi Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak (1). Tingkat Semai Pada tingkat semai, ditemukan 69 spesies tumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan Hevea brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh semai dari spesies-spesies Hopea
dryobalanoides,
Syzygium
zeylanicum,
Artocarpus
integer,
Eleteriospermum tapos, Psychotria cf. sarmentosa BI, dan Litsea elliptica (Tabel 23). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, maka penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat semai terdapat 59 spesies pada hutan sekunder dan 63 spesies hutan primer. Hasil penelitian Antoko dan Kwatrina di kawasan wisata alam Granit Training Center (GTC) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) terdapat 51 spesies tumbuhan tingkat semai, sementara yang dilakukan Sukmana et al. (2002) pada daerah penyangga TNBT ditemukan 63 spesies tumbuhan tingkat semai. Selain itu, famili-famili yang mendominasi tingkat pertumbuhan semai pada habitat sengkubak disajikan pada Gambar 22.
Indeks Nilai Penting (%)
45 40 35 30 25 20 15 10 5
Eu ph or bi ac ea e M or D ac ip ea te ro e ca rp ac ea e M yr ta ce ae R ub ia ce ae La ur ac ea e Fa ba ce ae D ill e ni A ac ni so ea ph e yl le ac ea e Sa po ta ce ae
0
Famili
Gambar 22 Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP Pada habitat sengkubak, Hevea brasilliensis pada tingkat semai merupakan spesies dominan dengan INP tertinggi sebesar 25,99% di kawasan hutan
81 sekunder Sintang, dengan jumlah individu sebesar 5.300 ind/ha. Hopea dryobalanoides merupakan spesies dominan kedua (INP 16,31%) dengan jumlah individu sebesar 2.600 ind/ha, Syzygium zeylanicum merupakan spesies dominan ketiga (INP 15,20%) dengan jumlah individu sebesar 1250 ind/ha. Tabel 23 Lima spesies tumbuhan pada tingkat semai dengan INP tertinggi di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang Nama Lokal & Nama Ilmiah
Famili
KR (%)
FR (%)
INP (%)
I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak Karet Euphorbiaceae 39,77 21,91 61,67 (Hevea brasilliensis ) Engkerbang Rubiaceae 17,87 17,14 35,01 (Psychotria cf. sarmentosa BI.) Kepuak Moraceae (Artocarpus elasticus Reinw.) 8,65 5,71 14,36 Medang Lauraceae (Litsea elliptica Blume) 4,611 9,52 14,14 Keladan Dipterocarpaceae (Hopea dryobalanoides Miq.) 6,63 6,67 13,29 II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak Keladan Dipterocarpaceae 29,35 22,58 51,00 (Hopea dryobalanoides) Karet Euphorbiaceae 26,81 16,13 42,28 (Hevea brasilliensis ) Engkerbang Rubiaceae 5,44 8,25 13,68 (Psychotria cf. sarmentosa BI.) Ubah Myrtaceae 6,16 7,22 13,38 (Syzygium zeylanicum ) Medang Lauraceae 3,62 8,25 11,87 (Litsea elliptica) III. Hutan adat I Dusun Sirang Cempedak Moraceae 22,32 12,35 34,67 (Artocarpus integer ) Ubah Myrtaceae 11.61 14,82 26,42 (Syzygium zeylanicum) Gerantung Fabaceae 7.143 7,41 14,55 (Fordia splendidissima) Simpur Dilleniaceae 7.143 6,17 13,32 (Dillenia sp.) Ribu-ribu Anisophylleaceae 5,357 6,17 11,53 (Anisophyllea disticha ) IV. Hutan adat II Dusun Medang Kelampai Euphorbiaceae 40,08 13,56 53,64 (Eleteriospermum tapos) Ubah Myrtaceae 8,26 12,71 20,97 (Syzygium zeylanicum) Cempedak Moraceae 9,92 10,17 20,09 (Artocarpus integer ) Medang Lauraceae 6,61 9,32 15,93 (Litsea elliptica) Nyatuh Sapotaceae 3,31 5,08 8,39 (Palaquium rostratum ) Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi, DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting
82 (2). Tingkat Pancang Pada tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis masih merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi tingkat pancang. Selanjutnya diikuti oleh pancang dari spesies-spesies Horsfieldia irya, Litsea elliptica, Hopea dryobalanoides dan Symplocos cochincinensis (Tabel 24). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat pancang terdapat 60 spesies (hutan sekunder) dan 58 spesies (hutan primer). Penelitian lain, Kwatrina et al. (2003) di zona penyangga di Taman Nasional Bukit Tigapuluh pada tingkat belta (diameter 2-10 cm) terdapat 70 spesies tumbuhan. Sementara hasil penelitian Purwanto (2005) di Plot Permanen di Sungai Tappa, Jambi (hutan sekunder) terdapat sekitar 120 spesies pohon (diameter 2-10 cm). Famili-famili yang mendominasi tingkat pertumbuhan pancang disajikan pada Gambar 23.
Indeks Nilai Penting (%)
60 50 40 30 20 10 0
e e e e ae ae ae ae ae ae ae ea ea ea ea ac cac pac race cac iace iace race ace tace race i i r b r au plo card Rub Mo Ulm My urse or rist ca h L o m y p a r B M ipte Sy An Eu D
Famili
Gambar 23 Famili-famili dominan tingkat pancang berdasarkan INP
83 Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan yang memiliki INP tertinggi (41,84%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu sebesar 312 ind/ha (19,176%). Horsfieldia irya merupakan spesies dominan kedua dengan INP 21,46% dengan jumlah individu sebesar 104 ind/ha. Sedangkan Hopea dryobalanoides merupakan spesies dominan ketiga (13,92%) dengan jumlah individu sebesar 96 ind/ha. Tabel 24 Lima spesies tumbuhan pada tingkat Pancang dengan INP tertinggi di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang Nama lokal & nama ilmiah
Famili
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak 19,17 Karet Euphorbiaceae 26,21 21,05 66,44 (Hevea brasilliensis ) 8,67 Engkerbang Rubiaceae 6,80 7,39 22,83 Psychotria cf. sarmentosa BI.) 6,84 Medang bulai Ulmaceae 5,82 6,32 18,99 (Gironniera subaequalis Planch) Symplocaceae 4,85 5,26 5,31 15,41 Bar (Symplocos sp.) Symplocaceae 4,85 5,26 5,25 15,37 Jangau (Symplocos cochincinensis ) II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak Euphorbiaceae 18,58 15,152 10,08 43,84 Karet (Hevea brasilliensis ) Keladan Dipterocarpaceae 13,27 11,111 11,11 35,48 (Hopea dryobalanoides ) Kumpang Myristicaceae 8,85 9,091 15,40 33,37 (Horsfieldia irya) Symplocaceae 5,31 6,061 8,13 19,52 Jangau (Symplocos cochincinensis) Medang Lauraceae 5,31 6,061 3,49 14,85 (Litsea elliptica) III. Hutan Adat I Dusun Sirang Karet Euphorbiaceae 31,57 20,253 5,25 57,08 (Hevea brasilliensis ) Kumpang Myristicaceae 8,42 10,126 14,67 33,22 (Horsfieldia irya) Kemantan Anacardiaceae 7,36 8,860 14,54 30,77 (Mangifera foetida) Cempedak Moraceae 6,31 6,329 10,19 22,84 (Artocarpus integer) Medang Lauraceae 6,31 6,329 5,78 18,42 (Litsea elliptica) IV. Hutan Adat II Dusun Medang Euphorbiaceae 9,489 Kelampai 11,842 10,12 31,461 (Eleteriospermum tapos) Medang Lauraceae 7,895 5,839 8,38 22,114 (Litsea elliptica) Myristicaceae 5,839 Kumpang 5,263 8,16 19,260 (Horsfieldia irya) Ubah Myrtaceae 6,579 6,569 4,15 17,303 (Syzygium zeylanicum) Salak Burseraceae 5,263 3,650 7,30 16,217 (Dacryodes rugosa) Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi, DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting
84 (3). Tingkat Tiang Pada tingkat tiang ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi tingkat tiang. Selanjutnya diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya, Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Eleteriospermum tapos (Tabel 25). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat tiang terdapat 50 spesies pada hutan sekunder dan 57 spesies di hutan primer. Familifamili yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Gambar 24.
Indeks Nilai Penting (%)
80 70 60 50 40 30 20 10
Eu ph or bi a M cea yr e M t yr ace ist ae ic a M cea or e ac U ea e lm a La cea ur e ac Fa eae ba Ru cea e A biac p D oc ea e ip ter yna c oc e ar ae p V er ace be ae na Eb cea en e ac ea e
0
Famili
Gambar 24 Famili-famili dominan tingkat tiang berdasarkan INP Hevea brasilliensis merupakan spesies dominan yang memiliki INP tertinggi (59,36%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu sebesar 77 ind/ha (21,16%). Syzygium zeylanicum merupakan spesies dominan kedua dengan INP 20,84% dengan jumlah individu sebesar 14 ind/ha. Sedangkan Horsfieldia irya merupakan spesies dominan ketiga (10,90%) dengan jumlah individu sebesar 20 ind/ha.
85 Tabel 25
Lima spesies tumbuhan pada tingkat tiang dengan INP tertinggi di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama lokal & nama ilmiah
Famili
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
24,69
20,83
30,00
75,53
12,35
11,11
12,52
35,97
7,41
8,33
5,66
21,40
6,17
5,56
4,99
16,72
4,94
5,56
4,37
14,86
23,71
16,67
23,61
63,82
8,25
9,52
3,39
25,40
6,19
5,95
5,20
33,37
5,15
5,95
2,97
16,45
5,15
5,95
5,18
16,28
Euphorbiaceae
39,08
24,64
34,19
97,91
Lauraceae
9,19
11,59
8,09
28,88
Myristicaceae
9,19
10,14
7,96
27,29
Fabaceae
6,90
8,70
8,70
24,28
Myrtaceae
5,75
7,25
6,72
19,72
Euphorbiaceae
15,91
10,38
16,79
43,09
Myrtaceae
11,36
14,15
12,67
38,19
Moraceae
8,33
8,49
7,88
24,71
Rubiaceae
7,58
6,60
7,27
21,46
Ebenaceae
4,54
5,66
4,00
14,20
I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak Karet Euphorbiaceae (Hevea brasilliensis ) Medang bulai Ulmaceae (Gironniera subaequalis) Pelaik pipit Apocynaceae (Alstonia angustifolia) Keladan Dipterocarpaceae (Hopea dryobalanoides) Leban Verbenaceae (Vitex pubenscens) II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak Karet Euphorbiaceae (Hevea brasilliensis ) Keladan Dipterocarpaceae (Hopea dryobalanoides) Kumpang Myristicaceae (Horsfieldia irya) Jangau Symplocaceae (Symplocos cochincinensis) Medang Lauraceae (Litsea elliptica ) III. Hutan Adat I Dusun Sirang Karet (Hevea brasilliensis ) Medang (Litsea elliptica) Kumpang (Horsfieldia irya) Gerantung (Fordia splendidissima) Ubah (Syzygium zeylanicum ) IV. Hutan Adat II Dusun Medang Kelampai (Eleteriospermum tapos) Ubah (Syzygium zeylanicum) Cempedak (Artocarpus integer) Engkerbang (Psychotria cf. sarmentosa BI.) Kayu malam (Diospyros sp.)
Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi, DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting
(4). Tingkat Pohon Pada tingkat pohon (>20 cm) ditemukan 72 jenis tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis masih merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi
86 tingkat pohon. Selanjutnya diikuti oleh pohon dari spesies-spesies Litsea elliptica, Eleteriospermum tapos, Artocarpus elasticus, dan Artocarpus lanceifolius (Tabel 26). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat pohon terdapat 54 spesies pada hutan sekunder dan 64 spesies di hutan primer. Kwatrina et al. (2003), pada zona penyangga di TNBT pada tingkat pohon (>10 cm) terdapat 72 jenis tumbuhan. Dengan demikian keanekaragaman jenis pada tingkat pohon di lokasi penelitian di bandingkan dengan jumlah jenis tingkat pohon pada hutan sekunder tergolong tinggi tinggi. Famili-famili yang mendominasi tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada Gambar 25. 80
Indeks Nilai Penting (%)
70 60 50 40 30 20 10
ae M yr ta ce ae Fa ba ce M ae yr ist ic D ac ip ea ter e oc ar pa ce ae Fa ga ce ae
yn ac e
ea e A
po c
e
La ur ac
ac ea
M or
Eu ph or b
ia ce a
e
0
Famili
Gambar 25 Famili-famili dominan tingkat pohon berdasarkan INP Hevea brasilliensis pada tingkat pohon di habitat P. cauliflora merupakan jenis dominan yang memiliki INP tertinggi (58,27%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu sebesar 21 ind/ha (16,35%). Litsea elliptica merupakan jenis dominan kedua dengan INP 21,5% dengan jumlah individu sebesar
7
ind/ha
dengan
frekuensi
relatif
(FR
6,64%).
Selain
itu,
87 Eleteriospermum tapos merupakan jenis dominan ketiga (INP 16,70%) dengan jumlah individu sebesar 8 ind/ha (FR 5,05%). Tabel 26
Lima spesies tumbuhan pada tingkat pohon dengan INP tertinggi di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama lokal & nama ilmiah
Famili
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak 30,69 25,61 34,15 90,45 Karet Euphorbiaceae (Hevea brasilliensis ) Kepuak Moraceae 10.89 9,76 14,50 35,15 (Artocarpus elasticus) Pelaik pipit Apocynaceae 10,89 12,19 10,77 33,85 (Alstonia angustifolia ) Mentawak Moraceae 6,93 8,54 7,86 23,33 (Artocarpus lanceifolius ) Pelaik bukit Apocynaceae 5,94 6,10 6,40 18,43 (Alstonia scholaris) II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak Karet Euphorbiaceae 24,51 15,48 15,95 55,94 (Hevea brasilliensis ) 23,90 Keladan Dipterocarpaceae 4,90 4,76 14,23 (Hopea dryobalanoides ) 23,77 Medang Lauraceae 8,82 8,33 6,61 (Litsea elliptica) 23,56 Myrtaceae 6,86 8,33 8,37 Ubah (Syzyzgium zeylanicum ) 15,74 Kempili Fagaceae 3,92 4,76 7,05 (Quercus sp.) III. Hutan Adat I Dusun Sirang Karet Euphorbiaceae 33,33 24,32 29,04 86,70 (Hevea brasilliensis ) Cempedak Moraceae 13,33 14,86 11,09 39,42 (Artocarpus integer) Medang Lauraceae 11,11 12,16 11,89 35,17 (Litsea elliptica ) Kumpang Myristicaceae 8,89 8,11 9,12 26,22 (Horsfieldia irya) Kepuak Moraceae 6,67 8,11 6,61 21,38 (Artocarpus elasticus) IV. Hutan Adat II Dusun Medang Kelampai Euphorbiaceae 26,77 20,20 19,81 66,79 (Eleteriospermum tapos) Petai Fabaceae 9,45 9,09 15,63 34,17 (Parkia speciosa) Medang Lauraceae 6,299 6,06 14,56 26,92 (Litsea elliptica) Mentawak Moraceae 5,512 6,06 6,33 17,90 (Artocarpus lanceifolius) Ubah Myrtaceae 6,299 6,06 2,79 15,15 (Syyzgium zeylanicum) Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi, DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting
Menurut Smith (1977), yang dimaksud dengan spesies dominan adalah spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien daripada spesies lain dalam tempat yang sama. Crow et a.l (1994)
88 mengemukakan bahwa dominasi merupakan tipe keanekaragaman yang dicirikan oleh distribusi horisontal dan ukuran tumbuhan. Dominansi dari suatu spesies pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dapat memberi petunjuk daya survival suatu spesies dalam suatu komunitas hutan. Indeks nilai penting merupakan suatu bentuk gambaran struktur tegakan secara horizontal (Husch et al. 1982 dalam Kissinger 2002). Suatu jenis dikatakan berperan jika INP tingkat pancang dan anakan lebih dari 10% dan untuk tingkat pohon dan tiang sebesar 15%. Bila dikaitkan dengan suatu pengelolaan hutan, spesies yang selalu dominan pada tiap tingkatan vegetasi mempunyai peluang yang besar untuk tetap terjaga kelestariannya, seperti contoh : Hevea brasilliensis, Horsfieldia irya, Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Hopea dryobalanoides. Famili Euphorbiaceae merupakan famili yang selalu dominan pada keempat hutan sekunder tersebut, sejalan dengan hasil penelitian tersebut, menurut Newbery et al (1992) dalam Mackinnon et al. (2000) dikatakan bahwa Euphorbiaceae merupakan suku utama ke dua di hutan-hutan di Borneo, kadang-kadang lebih banyak terdapat daripada Dipterocarpaceae. Keempat lokasi kajian merupakan hutan sekunder di mana habitat tersebut telah mengalami perubahan. Suatu habitat yang telah mengalami perubahan akibat
adanya gangguan seperti penebangan, deforestrasi, hama penyakit,
kebakaran dan lain-lain, maka tumbuhan yang ada akan mengadakan reaksi untuk merubah lingkungan sehingga berada pada kondisi yang cocok bagi spesies yang telah ada atau lebih cocok pada individu-individu baru. Sehingga reaksi ini memegang peranan penting dalam pergantian spesies (Shukla & Chandel 1982 dalam Kusmana & Istomo 1995). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dominasi suatu spesies yang terjadi pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dalam suatu tipe hutan terbentuk melalui integrasi antara faktor kondisi spesies tumbuhan secara menyeluruh (pertumbuhan dan perkembangan, interaksi dengan tumbuhan lain, proses regenerasi, distribusi, dan lain-lain), kondisi lahan serta aktifitas yang terjadi pada tipe hutan yang bersangkutam. Keberadaan berbagai spesies pada lokasi kajian yang merupakan hutan sekunder, jika dikelola dengan baik selain dapat melestarikan sengkubak dan
89 habitatnya juga dapat melestarikan spesies-spesies yang telah diketahui nilai dan manfaatnya, misalnya spesies-spesies tumbuhan berkayu komersil, beragam tumbuhan obat, tumbuhan unik seperti Nephenthes sp., yang terdapat di kawasan hutan sekunder tersebut. Pengelolaan hutan-hutan tembawang (hutan karet alam campuran) oleh masyarakat dapat di arahkan sebagai tempat penelitian. Hal ini dapat menjadi alternatif dalam melestarikan tumbuhan bernilai ekonomis tinggi sekaligus dapat melestarikan ekosistem kawasan itu sendiri. Sehingga diharapkan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar jika dikelola dengan perencanaan yang benar dan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat (MacKinnon et al. 1993).
c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak Keanekaragaman
spesies
merupakan
suatu
karakteristik
tingkatan
komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto 1994). Konsep ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai ganggauan yang timbul. Secara kuantitatif keanekaragaman spesies tumbuhan dapat diukur berdasarkan indeks kekayaan, indeks keragaman spesies, indeks kesamaan komunitas dan indeks kemerataan yang menandakan adanya pembagian individu yang merata diantara jenis. Hasil analisis data terhadap kondisi kenekaragaman spesies tumbuhan di empat lokasi kajian (habitat sengkubak) disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat sengkubak Habitat Hutan Adat I Sirang Hutan karet alam campuran I Suak Hutan karet Alam campuran II Suak
Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon
N 112 94 87 90 347 103 81 101 276 113 97 102
S 21 24 18 17 24 31 29 23 25 32 36 32
Dmg 4,24 5,06 3,81 3,56 3,93 6,47 6,37 4,77 4,27 6,56 7,65 6,70
Indeks H’ 2,72 2,54 2,24 2,25 2,09 2,90 2,83 2,50 2,22 2,96 3,03 2,97
J’ 0,89 0,80 0,77 0,79 0,66 0,84 0,84 0,80 0,69 0,85 0,84 0,86
90 Tabel 26 Lanjutan Habitat Hutan Adat II Medang
Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon
N 242 152 132 127
S 34 45 38 33
Dmg 6,01 8,76 7,58 6,61
Indeks H’ 2,47 3,42 3,14 2,87
J’ 0,70 0,90 0,86 0,82
Keterangan : N = Jumlah individu pada suatu habitat S = Jumlah spesies tumbuhan pada suatu habitat Dmg = Indeks Diversitas Margalef H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener J’ = Indeks kemerataan Shannon (Evennes Shannon)
Untuk mengetahui tingkat keragaman spesies di lokasi kajian, digunakan kriteria indeks Shannon-Wienner. Kriteria nilai indeks keragaman spesies Shannon-Wienner (Barbour et al. 1987) yang digunakan adalah : jika H’<1 dikategorikan sangat rendah, 1
4 kategori sangat tinggi. Hutan adat I Sirang dan hutan karet alam campuran I Suak termasuk dalam kategori sedang, hutan karet alam campuran II Suak dan hutan adat II Medang memiliki keragaman spesies termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Keragaman spesies tinggi terdapat pada hutan karet alam campuran II Suak pada tingkat pertumbuhan tiang (3,03) dan pada hutan adat II Medang pada tingkat pertumbuhan pancang (3,42) dan tiang (3,14). Nilai keragaman tumbuhan secara keseluruhan terendah pada lokasi hutan Suak karet alam campuran I pada tingkat pertumbuhan semai sebesar 2,09 dan tertinggi adalah pada tingkat pertumbuhan pancang pada hutan Medang yaitu sebesar 3,42. Keragaman spesies yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa tingkat pertumbuhan tiang pada Suak II dan pancang serta tiang pada hutan Medang mempunyai
stabilitas
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
tingkat
pertumbuhan lainnya. Menurut Odum (1993) bahwa keragaman akan menjadi tinggi pada komunitas yang lebih tua dan rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Kestabilan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas yang tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula, sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan-
91 gangguan terhadap komponen-komponennya. Semakin tinggi nilai keragaman jenis di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga akan semakin tinggi. Diagram keragaman spesies pada semua tingkat pertumbuhan berdasarkan indeks Shannon-Wiener disajikan pada Gambar 26. 4 Indeks keragaman spesies
3.5 3 2.5 Ht. adat I Sirang
2
Ht. karet alam campuran I Suak Ht. karet alam campuran II Suak Ht. adat II Medang
1.5 1 0.5 0 Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tingkat Pertumbuhan spesies tumbuhan
Gambar 26 Indeks keragaman spesies pada habitat sengkubak Dari sudut pandang pengelolaan, tingginya keragaman spesies yang diperlihatkan oleh hutan-hutan tropis merupakan dua sisi yang berbeda. Pada sisi positif, terdapatnya sejumlah besar sumber daya tumbuhan yang tersedia. Sisi lainnya, akibat tingginya keragaman spesies, maka individu-individu biasanya terdapat dalam kepadatan yang sangat kecil. Apabila terdapat sejumlah besar spesies, maka tiap spesies hanya terwakili oleh beberapa individu saja (Peter 1994). Indeks kekayaan spesies merupakan suatu indeks yang memberikan penjelasan tentang harapan menemukan spesies pada suatu komunitas tertentu. Nilai kekayaan spesies dipengaruhi oleh banyaknya jumlah spesies dan jumlah individu yang terdapat dalam suatu komunitas. Secara keseluruhan nilai indeks tertinggi pada lokasi hutan Medang pada tingkat pertumbuhan pancang yaitu sebesar 8,76 dan terendah pada hutan Sirang pada tingkat pertumbuhan pohon yaitu sebesar 3,56. Hutan Medang memiliki nilai indeks kekayaan spesies tertinggi pada hampir semua tingkat pertumbuhannya, dan hutan Suak II
92 memiliki nilai indeks kekayaan tertinggi kedua setelah hutan Medang. Hutan Sirang memiliki kekayaan spesies terendah dari keempat lokasi kajian. Harapan menemukan spesies lebih tinggi pada hutan Medang. Hutan Medang memiliki jumlah spesies dan jumlah individu tertinggi dibanding ketiga lokasi lainnya, hal ini mempengaruhi nila indeks kekayaan spesiesnya menjadi lebih tinggi. Diagram yang menunjukkan indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak disajikan pada Gambar 27.
Indeks kekayaan (M argalef)
10 9 8 7 6 5
Ht. adat I Sirang Ht. karet alam campuran I Suak Ht. karet alam campuran II Suak Ht. adat II Medang
4 3 2 1 0 Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tingkat pertumbuhan spesies tumbuhan
Gambar 27 Indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak Nilai indeks kemerataan merupakan ukuran keseimbangan antara suatu komunitas satu dengan lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Ludwig & Reynolds 1988). Semakin tinggi nilai keanekaragaman spesies di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga akan semakin tinggi. Keseimbangan antara komunitas pada tingkat semai di hutan Sirang mempunyai keseimbangan komunitas tertinggi sebesar 0,89, pada tingkat pancang hutan Medang mempunyai keseimbangan komunitas tertinggi (0,90), tingkat tiang di hutan Medang mempunyai keseimbangan komunitas tertinggi (0,864), dan pada tingkat pohon keseimbangan komunitas tertinggi berada pada hutan Suak II yaitu sebesar 0,86 (Gambar 28). Keempat lokasi penelitian yang merupakan habitat sengkubak memiliki nilai keragaman spesies yang sedang hingga tinggi pada semua tingkat
93 pertumbuhan spesies (berkisar 2,09-3,14), kekayaan spesies yang tinggi pada tingkat pertumbuhan (berkisar 3,56-8,76) dan kemerataan spesies yang bervariasi pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai) hingga 0,90
Indeks K em era taan
pada tingkat pertumbuhan pancang.
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Hutan adat I (Sirang) Hutan karet alam campuran I (Suak I) Hutan karet alam campuran II (Suak II) Hutan adat II (Medang)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tingkat Pertumbuhan spesies tumbuhan
Gambar 28 Indeks kemerataan pada habitat sengkubak Variasi nilai indeks keanekaragaman pada berbagai tingkatan spesies tumbuhan (semai hingga pohon) yang terjadi merupakan sesuatu yang berhubungan
dengan
karakteristik
tempat
tumbuh
dan
aktivitas
yang
berhubungan di dalam komunitas hutan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Bruenig
(1995)
menyatakan
bahwa
keanekaragaman
spesies
berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Kissinger (2002) menyatakan bahwa aktivitas yang terjadi pada suatu hutan relatif berpengaruh terhadap kondisi keanekaragaman yang ditampilkan.
d. Kesamaan Komunitas Kesamaan komunitas ditunjukkan oleh index of similarity (IS), yaitu menggambarkan tingkat kesamaaan struktur dan komposisi spesies dari komunitas yang dibandingkan. Nilai berkisar antara 0% sampai dengan 100%, jika dua komunitas yang dibandingkan sama maka nilai IS mendekati 100% (1),
94 sedangkan jika dua komunitas yang dibandingkan berlainan maka nilai IS mendekati 0%. yang dimodifikasi oleh Bray and Curtis (1957) dalam Magurran (1988). Wilayah hutan Suak I dan Suak II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang cukup tinggi (IS>50%) pada semua tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan Suak I, Suak II dan hutan Medang dapat dikategorikan memiliki kesamaan komunitas rendah (IS<40%), kesamaan komunitas antara hutan Suak I dengan hutan Medang dan Suak II dengan hutan Medang dapat dikategorikan sedang pada tingkat pertumbuhan tiang (IS mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada lokasi tersebut kesamaan komunitasnya tergolong rendah (IS<40%). Data indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak (hutan sekunder) di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Habitat sengkubak Ht. Adat I Sirang – Ht. Karet alam campuran I Suak Ht. Adat I Sirang – Ht. Karet alam campuran II Suak Ht. Adat I Sirang – Ht. Adat II Medang Ht. Karet alam campuran I Suak – Ht. Karet alam campuran II Suak Ht. Karet alam campuran I Suak – Ht. Adat II Medang Ht. Karet alam campuran II Suak – Ht. Adat II Medang
Indeks kesamaan komunitas (Index of Similarity) Semai Pancang Tiang Pohon 0.24
0.24
0.39
0.21
0.20 0.22
0.23 0.23
0.35 0.39
0.15 0.15
0.53
0.51
0.62
0.51
0.27
0.33
0.47
0.40
0.35
0.36
0.48
0.33
3. Ancaman Kelestarian Sengkubak Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama tumbuhan obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan tumbuhan liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto (1991), mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di Indonesia sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar merupakan tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa budidaya untuk jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui tekniknya dan belum dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam.
95 Apabila laju pemungutan langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan tersebut tidak dapat dielakkan. Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal tersebut sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu
maupun
eksitu,
agar
tidak
terjadi
penurunan
populasi
dan
keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1991). Menurut BPS Sintang (2006), proporsi wilayah hutan di Sintang yang diperuntukkan untuk kepentingan hutan perlindungan dan pelestarian alam/taman nasional dan hutan lindung adalah 25,03% dari luas total hutan 3.227.900 ha. Sekitar 75% dari luas tersebut adalah untuk kepentingan hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, pertanian lahan kering dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Dari proporsi seperti ini, jelas peluang dibukanya hutan-hutan yang tersisa masih tinggi. Di sisi lain, dalam pengelolaan hutan umumnya liana kurang diperhatikan. Hal ini berimplikasi pada spesies seperti sengkubak, karena bila tidak dikenal dan diketahui manfaatnya secara luas maka sengkubak lama-kelamaan akan punah bersamaan dengan punahnya spesies yang belum dikenali lainnya. Berkurangnya habitat sengkubak merupakan ancaman terhadap kelestariannya. Hilangnya pengetahuan tradisional (umur respoden > 50 tahun sebesar 53,33%), pembukaan lahan-lahan hutan tembawang yang selama ini dikelola oleh masyarakat menjadi perkebunan sawit atau penggantian pola ladang karet alam menjadi hutan karet murni turut mengancam keberadaan habitat sengkubak di Kabupaten Sintang. Belum dilakukan budidaya sengkubak oleh masyarakat penggunanya menambah daftar panjang permasalahan yang mengancam kelestariannya.
96 Selain itu, informasi yang diperoleh dari pola sebaran spasial sengkubak pada formasi hutan sekunder diketahui bahwa sengkubak cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok (clumped). Individu dengan pola spasial mengelompok bila mendapat gangguan akan lebih cepat punah dibandingkan individu yang menyebar random (Kissinger 2002). Pengelompokkan yang terjadi memerlukan suatu bentuk habitat tertentu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola sebaran spasial seperti proses reproduksi dan regenerasi, kompetisi, topografi, kebutuhan hara dan cahaya merupakan variabel penting yang harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan hutan. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam manajemennya diantaranya adalah menjaga kelestarian pohon induk, mengurangi halangan bagi carrier dalam proses dispersal, mengurangi kompetisi, terpenuhinya kebutuhan hara dan cahaya. Intinya adalah bagaimana memadukan syarat-syarat pertumbuhan yang membatasi keberadaan suatu spesies. Sengkubak adalah salah satu bagian yang menjadi prioritas penyelamatan dalam kegiatan konservasi. Karena sengkubak adalah tumbuhan yang khas (khas dalam pemanfaatan), mempunyai potensi sebagai tanaman obat, mempunyai arti tersendiri di kehidupan masyarakat pedalaman Sintang (baik Melayu maupun Dayak), dan sengkubak juga hampir tidak dapat ditemukan di luar Kalimantan. Luas daerah sebarannya juga semakin semakin kecil, peluang punahnya akan tinggi jika hutan-hutan sekunder yang ada dan telah dikelola masyarakat selama ini beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau lain sebagainya. Sengkubak merupakan spesies yang diburu atau dipanen oleh manusia, jika perilaku pemanenan tidak memperhatikan aspek-aspek kelestariannya, maka spesies ini akan lebih cepat punah (Primack 1998). Penyebab utama hilangnya dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang ada berasal dari populasi manusia yang berkembang dengan cepat, dari cara manusia yang dengan cepat memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan sumber daya hayati dari bumi yang lebih banyak lagi. Mekanisme langsung dari kepunahan tersebut meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi habitat, invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang
97 berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim global, serta industri pertanian dan kehutanan (UNEF 1995). Lunturnya pengetahuan tradisional (erosi kebudayaan tradisional) yang memiliki pemahaman tersendiri terhadap alam menyebabkan kesalahan dalam penerapan pengetahuan yang dapat menyebabkan gagalnya pengembangan kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial. Hal ini dapat mendorong kesalahan yang fatal dalam membuat perencanaan pengelolaan hutan yang masih ada. Sengkubak pernah ditemukan di pulau Jawa yaitu Pulau Panaitan tahun 1951, Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Tulung Agung tahun 1914 (Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong 2007). Saat ini spesies tersebut hampir tidak pernah terindentifikasi dalam beberapa kegiatan inventarisasi di Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa karena tidak adanya pengenalan manfaat sengkubak di Pulau Jawa, cenderung membuat spesies tersebut menjadi kurang diperhatikan keberadaannya dan mempercepat kepunahan spesies tersebut. Negara-negara tetangga, antara lain Philipina, Malaysia, dan Australia telah melakukan pengujian bioaktif terhadap marga Pycnarrhena ini, dan Philipina telah menetapkan P. manillensis Vidal sebagai tumbuhan obat penting, dimana akar dan batangnya digunakan sebagai tonik, tepung akarnya untuk mengobati kolera (Anonim 2007). Malaysia telah melakukan hal yang sama terhadap marga Pynarrhena lainnya, diketahui
daun dari P. tumetacta mengandung protein
tinggi (Hoe & Siong 1999). 4. Implikasi Konservasi Sengkubak a. Meningkatkan Nilai Sengkubak Implikasi dari konservasi sengkubak yang pertama-tama dapat dilakukan adalah meningkatkan nilai tambah dari sengkubak, dalam arti mengetahui keunggulan lain yang dimiliki sengkubak selain peranannya sebagai penyedap rasa alami. Melakukan pengujian bahan bioaktif yang terkandung di dalam sengkubak, mulai dari akar, batang dan daun merupakan salah satu strategi yang penting dilakukan.
98 Nilai ekonomi sengkubak dapat ditingkatkan antara lain dengan mengetahui kandungan bioaktif sengkubak yang berperan untuk pengobatan. Karena sebagian besar spesies dari famili Manispermaceae seperti akar kuning [Arcangelisia flava (L.) Merr.], brotowali [Tinospora crispa (L.) Diels.] merupakan tumbuhan obat. Jika dikaitkan dengan anggota dari marga Pycnarrhena, diketahui bahwa sebagian besar bagian vegetatif dari marga Pycnarrhena mempunyai kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Sebagai contoh akar dan batang dari Pycnarrhena manillensis Vidal (Philipina) memiliki enam kandungan alkaloid yang terdiri dari 3 (tiga) non phenolic dan 3 (tiga) phenolic, tepung dari akar dan batangnya digunakan untuk mengobati penyakit kolera, akarnya dikatakan juga berperan sebagai tonik (Philippine Medical Plants 2007), batang dari Pycnarrhena ozantha diketahui mengandung bahan bioaktif yang penting bagi pengobatan penyakit tumor. Hal tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menduga bahwa sengkubak memiliki kandungan bioaktif yang bermanfaat dalam pengobatan Kegunaan dan kandungan kimia dari spesies Pycnarrhena lainnya disajikan dalam Tabel 29. Tabel 29 Kegunaan dan kandungan kimia genus Pycnarrhena (spesies lainnya) Spesies
P. ozantha
1)
P. novoguinensis 2) P. manillensis 3)
P. tumetacta 4)
Kandungan kimia
Asal Specimen
Peranan
4 bisbenzylisoquinoline alkaloids (+)-2-nortthalrugosine (+)-bisnorobamegine (+)-bisnorthalrugosine (+)-pycnazanthine Alkaloid jenis magnoflorine Enam jenis alkaloid : Pycnarrhine, ambaline, ambalininine (nonphenolic), pycnaminde, pycnarrhinine, pycnarrhenamine (phenolic). Akar mengandung cicatrizant, vulnerary, febrifuge dan emmenagogue. Protein tinggi
Papua Nugini
Obat tumor
Indonesia
Penghasil alkaloid Akar sebagai tonik, tepung dari akar obat kolera
Philipina
Malaysia
Bagian yang digunakan Batang
Batang dan akar
Penyedap Daun masakan Sumber : 1)Abouchacra, et al. (1987); Loder et al. (1972) , 2) Verpoorte, et al. (1982), 4) Hoe & Siong (1999) dan 3) Philippine Medical Plants (2007)
99 b. Konservasi Insitu dan Eksitu Melakukan konservasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber daya
alam
hayati
yang
pemanfaatannya
senantiasa
memperhitungkan
kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan
ekosistemnya,
sehingga
dapat
lebih
mendukung
upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut 1990). Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka strategi yang digunakan untuk mewujudkan
tujuan
konservasi
adalah
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sengkubak mempunyai peranan sebagai salah satu sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga melakukan konservasi terhadap sengkubak
berarti bukan hanya melakukan
perlindungan dan pengawetan saja tetapi juga melakukan pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu maupun eksitu, agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1991). Dalam melakukan cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan sistem penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut. Sesuai dengan pengertian tersebut maka tujuan pokok dari konservasi sengkubak khususnya dan tumbuhan lainnya sebagai sumber plasma nutfah perlu diarahkan pada usaha mempertahankan atau melindungi
proses
ekologi
serta
sistem
penyangga
kehidupan
dan
mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah serta menjamin pemanfaatan sumber daya alam.
100 Kegiatan pengawetan menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan yaitu melalui konservasi secara insitu dan konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan (Dephutbun 1999a). Konservasi sengkubak secara insitu dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan keberadaan hutan karet alam campuran atau hutan tembawang yang selama ini telah dikelola oleh masyarakat setempat, terutama etnis Dayak. Hal tersebut direkomendasikan karena hutanhutan tersebut merupakan habitat sengkubak. Di dalam hutan karet alam campuran terdapat beragam spesies tumbuhan, selain pohon karet alam sebagai komoditi utama, juga terdapat pohon-pohon penghasil buah (durian, rambutan, cempedak, terap), jenis pohon yang dapat dimanfaatkan kayunya seperti keladan, meranti, medang, ulin, beragam tumbuhan obat, spesies-spesies unik seperti aneka Nephenthes, dan anggrek. Pengelolaan hutan karet alam campuran yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, bukan hanya sengkubak yang lestari tapi banyak spesies yang sudah diketahui nilai dan manfaatnya turut terlindungi dan lestari dalam suatu komunitas hutan sekunder. Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan spesies di luar kawasan yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan spesies tumbuhan dan satwa liar. Kegiatan konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari kepunahan dari spesies tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Konservasi sengkubak secara eksitu dilakukan dengan mengembangkan kegiatan budidaya di luar habitat alaminya. Karena dengan membantu pelestarian di luar habitat alaminya, spesies ini dapat disediakan tidak jauh dari lingkungan tempat tinggal masyarakat penggunanya. Dengan demikian dapat memudahkan masyarakat untuk menggunakan bagi keperluan sehari-hari.
101 Pemanfaatan sengkubak dan kondisi habitat sengkubak yang masih tersisa, diketahui bahwa sebagian besar sengkubak yang dimanfaatkan masih bersifat liar dan masih langsung dipungut dari hutan. Semakin terbatasnya hutan yang masih terdapat sengkubak, hal ini harus segera diimbangi dengan tindakan budidaya. Tindakan budidaya sebaiknya sudah mulai diupayakan terhadap sengkubak, jika masyarakat beserta Pemda Kabupaten Sintang mempunyai keinginan untuk mengangkat dan mempertahankan keberadaan sengkubak sebagai salah satu tumbuhan khas yang mempunyai nilai khusus di masyarakat. Selain itu tindakan budidaya juga merupakan upaya untuk menjaga sumber plasma nutfah atau genetik. Konservasi eksitu dan insitu tidak dapat dilakukan oleh pemerintah tanpa dukungan dan partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dapat dimotivasi untuk tetap mempertahankan pengelolaan hutan karet alam yang telah dilakukan dan didorong untuk memperbanyak bibit sengkubak dan membudidayakan pula di lingkungan sekitar tempat tinggal (di luar habitat alami). Adanya kecenderungan penggantian pola perkebunan ke arah perkebunan kelapa sawit di Sintang, masyarakat
harus
melakukan
perhitungan
yang
matang,
dengan
mempertimbangkan aspek pelestarian bagi banyak spesies yang dapat dipertahankan (termasuk sengkubak). c. Pemanfaatan Sengkubak Secara Lestari Hampir setiap jenis eksploitasi sumber daya hutan tropis akan mengakibatkan dampak ekologis. Besarnya dampak secara tepat tergantung pada komposisi tumbuh-tumbuhan hutan, dan terutama pada spesies tertentu atau sumber daya yang dieksploitasi. Dampak awal pemungutan sumber daya tergantung pada jaringan tumbuhan tertentu yang dipungut. Pada Sengubak bagian umum yang dipungut adalah bagian vegetatifnya yaitu daun. Pemungutan dari struktur vegetatif menghasilkan salah satu dari dua dampak. Spesies tumbuhan mungkin mati dalam proses itu, atau dalam beberapa kasus tertentu, tumbuhan tersebut akan tetap hidup dan memudakan kembali bagian yang dipungut itu (Peter 1994). Contoh skenario yang sudah terkenal dampak yang pertama adalah rotan. Pemanfaatan yang dilakukan pada sengkubak
102 karena yang dipanen adalah bagian daun atau pucuk yang merupakan struktur vegetatif, maka yang terjadi kemudian adalah permudaan kembali pada bagian tersebut.
Jika
masyarakat
dalam
memanen
sengkubak
memperhatikan
kelangsungan pertumbuhannya, maka sesungguhnya pemanenan terhadap daun sengkubak dengan batas-batas yang wajar tidak akan menyebabkan masalah yang berarti. d. Meningkatkan Pengetahuan dalam Pembudidayaan Sengkubak Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut, hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Sudarmadji 2002). Dalam hal pengelolaan kawasan hutan, masyarakat etnis Dayak khususnya telah memiliki pengetahuan yang cukup baik. Namun dalam budidaya sengkubak, etnis Dayak dan Melayu Sintang belum memiliki teknik budidaya lokal yang dapat digunakan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama terhadap pembudidayaan sengkubak. 5. Pengelolaan Hutan oleh Etnis Dayak Pengelolaan hutan oleh masyarakat dayak merupakan suatu strategi konservasi yang dapat dilestarikan. Mengapa etnis Dayak, karena etnis Melayu saat ini lebih terkonsentrasi berada di pusat kota kabupaten atau kecamatan, etnis Dayak pada komunitas tertentu saat ini masih intens mengelola hutan karet alam campuran. Di samping diperoleh manfaat dari segi ekonomi yaitu hasil getah karet (kulat), hutan-hutan sekunder yang dikelola oleh etnis Dayak tersebut juga merupakan habitat sengkubak di Kabupaten Sintang. Sengkubak masih dapat bertahan dan lestari karena memiliki pengelola yang jelas yaitu masyarakat sekitar hutan. Hutan merupakan bagian yang penting bagi sebagian kehidupan suku Dayak pedalaman Sintang. Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi
103 kebutuhan sosialnya (ruang individu, keluarga dan masyarakat), kebutuhan spiritualnya (tempat keramat, tempat pemakaman dan rumah ibadah), kebutuhan ekonominya (hasil hutan, bahan baku dan kesempatan kerja) dan kebutuhan fisik masyarakat (makanan, bahan bakar, obat-obatan dan alat). Hutan merupakan sumber kebutuhan pokok dan ekonomi masyarakat, dari hasil menoreh karet di hutan karet alam, setiap bulan setiap keluarga suku Dayak Desa, Siberuang dan Sekujang Sintang dapat menghasilkan rata-rata 160 kg kulat (getah karet) atau setara dengan Rp. 1.120.000. Sebagian kebutuhan hidup dapat dipenuhi dengan mengelola hutan karet alam di samping kegiatan menanam padi di ladang yang tetap dilakukan untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Masyarakat Dayak mempunyai pandangan perspektif yang berbeda terhadap hutan. Hutan dianggap sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh pendahulu/nenek moyang yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut dapat dilacak kembali. Masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam pengelolaan hutan, ada sistem kepercayaan tradisional (norma, tabu, dan praktek tradisional yang disepakati) yang mendukung nilai dan membimbing sistem pengelolaan hutan yang dijalankan. Masyarakat memiliki pengetahuan yang luas terhadap hutan yang dikelola, masyarakat pengelola sangat paham peranan masing-masing pohon atau tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan yang dikelola. Sebagai contoh masyarakat mengerti jenis pohon kempas (Koompasia malaccensis) sebagai tempat bersarangnya lebah, pohon kempelas (Tetracera macrophylla) berguna sebagai bahan amplas tradisional, pohon rambai hutan (Sarcotheca macrophylla) buahnya digunakan masyarakat sebagai pembersih kuku. Adanya pemahaman terhadap kegunaan dari masing-masing komponen yang terdapat dalam hutan yang dikelola, hal tersebut membuat masyarakat sangat mengerti bagaimana memperlakukan hutan yang dikelola. Tindakan yang diambil dalam pengelolaan hutan didasarkan atas pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap masing-masing komponen hutan. Keunggulan lain dari teknologi asli masyarakat Dayak dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) adalah adanya pola-pola pemanfaatan yang tergantung pada banyak sumber, baik kayu maupun non kayu sehingga tidak menimbulkan tekanan pada salah satu spesies tertentu (Moniaga dalam Florus et al. 1994).
104