72
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan
alat analisis Klassen Typology
pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat (Kuadran I), daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran II), daerah yang maju tetapi tertekan (Kuadran III), dan daerah yang relatif tertinggal (Kuadran IV). Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah (1995-1999), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional. Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju
73
pertumbuhan ekonomi nasional, namun PDRB perkapita kedua purovinsi tersebut lebih tinggi dibanding PDB per kapita nasional. Faktor yang menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta, terjadi karena krisis keuangan yang terjadi di tahun 1997. Hal tersebut karena struktur ekonomi di DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Dimana pada periode amatan perputaran uang di DKI Jakarta merupakan yang terbesar di seluruh Indonesia. Sehingga krisis ekonomi pada tahun tersebut membuat DKI Jakarta menjadi daerah yang memiliki laju pertumbuhan sebesar 17,49, yang merupakan terkecil ke dua setelah Jawa Barat. Selain itu, proses pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan resesi yang serius di DKI Jakarta pada tahun tersebut, salah satunya disebabkan oleh penurunan penanaman modal yang diakibatkan krisis keuangan 1997. Hal ini sangat berpengaruh terhadap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kemampuan DKI Jakarta untuk menghasilkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Harrod-Domar dimana peranan investasi atau penanaman modal sangatlah penting dalam pertumbuhan ekonomi.52 Sementara itu 15 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, dan NTT berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III). Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di 15 provinsi tersebut lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan PDRB per kapita masing-masing provinsi lebih rendah daripada PDB
52
Sadono Sukirno, op cit, h. 256-257.
74
per kapita nasional. Sisanya, sebanyak tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku menempati posisi sebagai daerah relatif tertinggal. Kondisi ini menunjukkan tidak ada satupun provinsi, apabila di lihat dari kedua sisi yaitu laju pertumbuhan dan besaran PDRB per kapita, yang lebih tinggi dari nasional. Tipologi Klassen Indonesia 12
Keterangan: Kuadran Kuadra III n III
10
Kuadran I
Pertumbuhan Ekonomi
8
6
4
2
0 0
5
10
15
20
25
30
-2
-4
-6
Kuadran Kuadra n IV IV
Kuadran II PDRB per Kapita
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah NTB NTT Maluku Irian Jaya
Gambar 5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun 1995-1999 Pada periode sebelum otonomi daerah (1995-1999), Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan daerah yang termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal, hal tersebut dikarenakan laju pertumbuhan kedua provinsi tersebut pada tahun 1998 sangat kecil dan laju pertumbuhan ekonomi di tiga provinsi tersebut merupakan yang terkecil jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Sehingga
75
rata-rata laju pertumbuhan di ketiga provinsi tersebut masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di kedua provinsi ini masih dibawah PDB per kapita nasional. Walaupun nilai PDRB di kedua provinsi ini relatif besar akan tetapi karena jumlah penduduk di ketiga provinsi ini juga relatif sangat banyak jika dibanding daerah lain, menyebabkan nilai PDRB per kapita di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih dibawah PDB per kapita nasional. Sedangkan di Provinsi Maluku, walaupun di tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi relatif besar, akan tetapi di tahun 1999 laju pertumbuhan Maluku merupakan yang terendah jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia yaitu 27,02. Sehingga rata-rata laju pertumbuhan pada periode amatan di provinsi Maluku masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di daearah ini juga relatif rendah sehingga masih berada di bawah PDB per kapita Indonesia.
5.2. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia setelah otonomi daerah. Pada pembahasan ini terdapat tujuh provinsi baru yang merupakan salah satu produk dari otonomi daerah. Ke tujuh provinsi tersebut antara lain, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Irian Jaya yang menjadi dua Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu secara tidak langsung salah satu faktor dalam perubahan
76
klasifikasi daerah pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah adalah hal tersebut. Klasifikasi provinsi pada pariode setelah otonomi daerah (2006-2010) dapat dilihat pada Gambar 5.2. Terdapat dua provinsi yang termasuk sebagai daerah cepat maju dan daerah cepat tumbuh (Kuadran I) yaitu Provinsi Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sebelum otonomi daerah masuk ke klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I), namun setelah otonomi daerah provinsi tersebut masuk kuadran ketiga yang merupakan daerah yang berkembang cepat. Sedangkan Provinsi Kalimantan Barat dan Riau yang sebelum otonomi daerah masuk dalam kuadran pertama, namun setelah otonomi daerah masuk dalam kuaran empat yang merupakan daerah yang relatif tertinggal. Perubahan klafisikasi pada kuadran satu sebelum otonomi daerah kemungkinan terjadi karena pada saat krisis 1998 banyak daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa dan khususnya DKI Jakarta mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi yang relatif kurang maju pada umumnya adalah daerah-dearah pertanian, misalnya Kalimantan, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini yang membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.53 Sedangkan daerah yang sebelum otonomi daerah (1995-1999), termasuk ke dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada periode setelah otonomi daerah (2006-
53
Tulus Tambunan, op cit, h. 147.
77
2010) menjadi masuk ke kuadran dua maupun kuadran yang lain, kemungkinan terjadi karena dampak dari membaiknya perekonomian dan nilai tukar rupiah yang relatif sudah stabil.
Tipologi Klassen Indonesia 12
Kuadran III
Kuadran I
Kuadran IV
Kuadran II
10
Pertumbuhan Ekonomi
8
6
4
2
0 0
10
20
-2
-4
PDRB per Kapita
30
40
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Gambar 5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun 2006-2010 Sementara Provinsi yang berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan (Kuadran II) adalah Kalimantan Timur dan Kepulauan Bangka Belitung yang sebelum otonomi daerah termasuk ke dalam porovinsi Sumatera Selatan.
78
Sedangkan provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat. Sementara provinsi yang mengalami peningkatan kuadran yaitu, Provinsi Jawa Barat yang sebelum otonomi daerah termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV), setelah otonomi daerah bergeser ke kelompok daerah berkembang cepat (Kuadran III). Sisanya adalah Provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, setelah otonomi daerah jumlahnya mengalami peningkatan dari hanya tiga menjadi sepuluh provinsi. Daerah yang termasuk dalam kuadran ke empat antara lain, Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DIY, Jawa Tengah, NTT, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa di sepuluh provinsi tersebut posisi laju pertumbuhan PDRB dan besarnya angka PDRB per kapita lebih kecil dari laju pertumbuhan dan besarnya angka PDB per kapita Indonesia. Berdasarkan Gambar 5.1 maupun 5.2 menunjukkan bahwa perbandingan laju pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapita baik sebelum otonomi daerah maupun setelah otonomi daerah dari pembentukan PDRB masing-masing provinsi terhadap laju pertumbuhan ekonomi maupun PDB per kapita Indonesia memiliki sebaran dan distribusi yang tidak merata. Sebelum otonomi daerah, provinsi lebih banyak mengelompok atau berada di klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan daerah berkembang cepat (Kuadran III),
79
sedangkan setelah otonomi daerah, provinsi lebih banyak berada di klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) dan daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa setelah otonomi daerah, ketimpangan dalam laju pertumbumbuhan dan PDRB per kapita antar provinsi cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah daerah yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit dibanding setelah otonomi daerah. Hal tersebut seharusnya mendapat perhatian yang lebih. Karena, seperti yang telah diungkapkan oleh Rauf dimana otonomi daerah memungkinkan terjadi dampak positif maupun negatif yang memiliki peluang sama besar. Karena otonomi daerah yang dilandaskan terhadap nilai-nilai kebebasan, sehingga aspirasi terhadap ketidak merataan dalam kebijakan pembangunan dapat memicu terjadinya konflik.54 Aspirasi ini menginginkan kesempatan bagi daerah kaya untuk memanfaatkan kekayaannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini didukung juga pernyataan Tadjoeddin dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal.55 Dari kedua pernyataan tersebut pada prinsipnya berupa penjaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimum bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa menghambat potensi pertumbuhan masing-masing daerah.
54 55
Maswadi Rauf, op cit, h. 162. Tadjoeddin et al, op cit, h. 7-8.
80
5.3. Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. 5.3.1 Indeks Williamson di DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson atau CVw yang kecil menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik, dan sebaliknya jika nilai CVw besar menggambarkan tingkat ketimpangan yang tinggi atau pemerataan yang lebih buruk. Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan pusat bisnis, industri, dan perputaran uang yang tinggi di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi di antar kabupaten/kota di DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria yang ada, ketimpangan antar daerah berada pada taraf rendah bila nilai Indeks Williamson < 0,35, ketimpangan taraf sedang bila nilai Indeks Williamson antara 0,35-0,50 dan ketimpangan taraf tinggi bila nilai Indeks Williamson >0,50. Setelah dilakukan perhitungan, sebelum otonomi daerah di tahun 1993-1999 nilai Indeks Williamson di Provinsi DKI Jakarta berada pada taraf tinggi. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson tanpa migas selama tahun 1993-2010 di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.1.
81
Tabel 5.1 Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun
IW
Tahun
IW
1993
0,547
2000
0,623
1994
0,558
2001
0,672
1995
0,564
2002
0,697
1996
0,559
2003
0,766
1997
0,578
2004
0,756
1998
0,624
2005
0,777
1999
0,633
2006
0,780
2007
0,804
2008
0,815
2009
0,830
2010
0,834
Rata-rata
0,759
Rata-rata
0,580
Sumber: BPS, diolah
Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 19931999 berada pada taraf tinggi dengan rata-rata sebesar 0,580. Pada tahun 1998 merupakan tahun dengan ketimpangan tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah yaitu 0,633. Hal ini terjadi karena strategi kebijakan pembangunan pada saat itu masih terfokus di DKI Jakarta dan terlalu mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Membuat DKI Jakarta menjadi pusat aktivitas perekonomian dan pusat perputaran uang terbesar di Indonesia. Sehingga krisis keuangan pada tahun tersebut memberikan dampak buruk bagi perekonomian dan peningkatan ketimpangan di DKI Jakarta. Sedangkan pada periode setelah otonomi daerah, kecenderungan indeks Williamson tiap tahunnya menunjukkan ketimpangan yang relatif meningkat
82
setiap tahunnya mulai tahun 2000 sebesar 0,623 menjadi 0,672 pada tahun 2001. Kemudian terjadi peningkatan kembali sebesar 0,697 tahun 2002 menjadi 0,766 tahun 2003. Kemudian di tahun 2004 turun menjadi 0,756 dan di tahun-tahun selanjutnya kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2010 sebesar 0,834. Dengan melihat nilai rata-rata ketimpangan baik sebelum maupun setelah otonomi daerah mengindikasikan adanya ketimpangan yang tinggi antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta. Seperti diketahui dengan terpusatnya segala aktivitas ekonomi dan bisnis di DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap PDRB di wilayah tersebut maupun Provinsi DKI Jakarta secara keseluruhan. Dimana PDRB per kapita yang dimiliki oleh DKI Jakarta jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini yang mengindikasikan menjadi penyebab tingginya tingkat ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta yang dicerminkan dengan tingginya nilai indeks williamson yang dihasilkan. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki potensi yang besar, kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah
ketimpangan antar daerah
meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerah masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Tingkat
83
ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi daerah berangsur-angsur turun. 5.3.2 Indeks Williamson di Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan di luar DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan di DKI Jakarta, yaitu menggunakan indeks Williamson. Akan tetapi perhitungan indeks Williamson di luar DKI Jakarta bukan menggunakan data kabupaten/kota akan tetapi mengunakan data provinsi. Hal tersebut dikarenakan perhitungan ini untuk menganalisis ketimpangan antar provinsi di Indonesia tanpa DKI Jakarta. Adapun hasil perhitungan indeks Williamson tanpa migas selama tahun 1993-2010 di luar DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Williamson Provinsi di Indonesia berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Luar DKI Jakarta Tahun 1993-2010 Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun
IW
Tahun
IW
1993
0,309
2000
0,324
1994
0,305
2001
0,308
1995
0,307
2002
0,333
1996
0,303
2003
0,361
1997
0,307
2004
0,350
1998
0,342
2005
0,350
1999
0,336
2006
0,351
2007
0,339
2008
0,335
2009
0,327
2010
0,336
Rata-rata
0,337
Rata-rata Sumber: BPS, diolah
0,315
84
Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa sebelum otonomi daerah 1993-1999 indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berkisar antara 0,303 sampai 0,342, dangan rata-rata sebesar 0,315. Pada periode ini ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 0,342, kemungkinan kenaikan tersebut disebabkan oleh dampak krisis moneter pada tahun 1997. Hal tesebut menandakan bahwa ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta tergolong rendah. Dengan melihat rendahnya nilai ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta, mengindikasikan bahwa pembangunan di DKI Jakarta sebelum otonomi daerah memberikan peran yang cukup besar terhadap ketimpangan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjafrizal yang dalam studinya ingin menganalisis pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar, karena struktur ekonomi DKI Jakarta yang sangat berbeda dengan provinsi lain. Dimana terdapat konsetrasi kegiatan ekonomi yang yang tinggi di wilayah tersebut. Sehingga mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah.56 Pada awal otonomi daerah diberlakukan, yaitu pada tahun 2000 indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berada di angka 0,324 dan mengalami penurunan di tahun 2001 menjadi 0,308. Tahun 2002 indeks ketimpangan
mengalami
peningkatan
sebesar
0,025
yang
menandakan
ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. Tahun 2003, nilai indeks ketimpangan kembali menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 0,361 yang menandakan ketimpangan pendapatan kembali meningkat. Sedangkan di
56
Sjafrizal, op cit, h. 113.
85
tahun 2004 hingga 2006 relatif stabil di angka 0,350 yang menandakan mulai tahun 2003 hingga 2006 ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada di taraf sedang. Tahun 2007 nilai indeks Williamson kembali turun menjadi 0,339, 0,335 dan 0,327 di tahun 2008 dan 2009. Sedangkan di tahun 2010 kembali mengalami kenaikan menjadi 0,336 pada Tahun 2010. Pada Tabel 5.2, menunjukkan bahwa di luar DKI Jakarta nilai rata-rata indeks Williamson, setelah otonomi daerah lebih tinggi dibanding sebelum otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah sebesar 0,315 dan setelah otonomi daerah sebesar 0,337. Walaupun demikian nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan nilai rata-rata indeks Williamson DKI Jakarta yaitu 0,580 sebelum otonomi daerah dan 0,759 setelah otonomi daerah. Perlu dingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam studi Williamson bahwa indeks ini sensitif terhadap ukuran wilayah yang digunakan.57 Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang digunakan berbeda, maka hal ini akan berpengaruh pada hasil perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati-hati bila pembahasan menyangkut dengan perbandingan indeks ketimpangan antar wilayah dimana ukuran wilayahnya berbeda satu sama lainnya.
5.4 Analisis Trend Ketimpangan Pendapatan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan dalam suatu wilayah dapat dilihat dalam bentuk grafis. Hasil perhitungan nilai indeks Williamson sebelum dan setelah otonomi daerah di DKI Jakarata berada pada rentang 0,547-0,834. Berdasarkan Gambar 5.1 pada tahun 1993-1997, trend ketimpangan DKI Jakarta mengalami kenaikan yang 57
Ibid, h. 108.
86
relatif kecil. Selanjutnya peningkatan trend yang relatif besar terjadi pada Tahun 1998 hingga mencapai 0,624. Pada Tahun 1999 indeks Williamson DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan menjadi 0,633 yang merupakan angka terbesar dalam periode sebelum otonomi daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada akhrir tahun 1997, dengan cepat menggangu stabilitas ekonomi di DKI Jakarta. Berdasarkan analisis pada Tahun 2000 walaupun berada pada ketimpangan taraf tinggi, trend ketimpangan di DKI Jakarta mengalami penurunan. Akan tetapi di tahun-tahun berikuntnya trend ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan. Pada Tahun 2001,2002, dan 2003 kembali mengalami peningkatan masing-masing menjadi 0,672, 0,697, dan 0,766. Pada tahun 2004 kembali mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 0,010 dan mulai Tahun 2005 tiap tahunnya mengalami peningkatan hingga Tahun 2010. Trend ketimpangan pada periode analisis tertinggi terjadi di Tahun 2010 yaitu sebesar 0,834. Naik turunnya ketimpangan di suatu wilayah disebabkan oleh PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Kenaikan atau penurunan yang tidak merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan ketimpangan yang semakin tinggi antar wilayah. Selanjutnya, trend ketimpangan anatr provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah berada pada rentang 0,303-0,361. Pada tahun 1993 hingga 1997 trend ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan dan penurunan kecil, yaitu pada rentang 0,303 sampai 0,309. Selanjutnya pada Tahun 1998, trend ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan yang relatif tinggi menjadi 0,342 yang
87
merupakan angka tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah. Pada tahun 1999 mengalami penurunan yang relatif kecil menjadi 0,336. Pada tahun 2000 dan 2001 kembali mengalami penurunan menjadi 0,324 dan 0,308. Selanjutnya peningkatan trend kembali merangkak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada tahun 2002 trend ketimpangan kembali mengalami peningkatan dan berlanjut pada Tahun 2003 yang merupakan ketimpangan tertinggi pada periode analisis, yaitu sebesar 0,361. Sedangkan di tahun 2004 trend ketimpangan di luar DKI Jakarta kembali mengalami penurunan dan tidak berubah di angka 0,350 di Tahun 2005. Pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan relatif kecil yaitu 0,351 dan di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan hingga tahun 2009, sebelum kemudian mengalami peningkatan di Tahun 2010 menjadi 0,336. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan maupun penurunan pada nilai PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta. Kenaikan atau penurunan yang merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan pemerataan antar wilayah.
Trend Ketimpangan DKI Jakarta 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
Trend Ketimpangan Luar DKI Jakarta 0,38 0,36 0,34 0,32 0,3 0,28
Indeks Williamson
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0,26 Indeks Williamson
Sumber: BPS, diolah
Gambar 5.3 Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.
88
Dari gambar 5.1 dapat dilihat perbandingan antara trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa ketimpangan antar wilayah sebelum dan setelah otonomi daerah, DKI Jakarta lebih besar dibanding di luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan di DKI Jakarta sebelum maupun setelah otonomi daerah cenderung mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Sedangkan Trend ketimpangan antar wilayah di Luar DKI Jakarta lebih berfluktuatif jika disbanding di DKI Jakarta. Selanjutnya rata-rata ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta berada di taraf tinggi, sedangkan rata-rata ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada pada taraf rendah.