V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Sebelum Transformasi Sektor pertambangan memiliki peran yang sangat signifikan bagi pembentukan
nilai output Kabupaten Sumbawa Barat dengan nilai terbesar yakni Rp.11,218 triliun dari 34 sektor dalam Tabel input-output berdasarkan transaksi total atas dasar harga produsen tahun 2007 (Lampiran 2). Disebabkan karena seluruh output pertambangan yang berupa konsentrat diekspor untuk diolah kembali pada pabrik pengolahan diluar negeri maka nilai eksport pertambangan juga menempati peringkat terbesar dari seluruh sektor dimana nilainya sama dengan nilai output diatas. Sebagaimana telah disajikan pada Bab Pendahuluan, sektor pertambangan sangat dominan terhadap pembentukan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sumbawa Barat sejak tambang tembaga dan emas mulai beroperasi tahun 2000. Dominasi sektor pertambangan terhadap PDRB 2000-2006 diperlihatkan pada Tabel 23 dibawah ini. Tabel 23. Struktur Perekonomian dan Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006 Ratarata No 1.
Lapangan Usaha Pertanian
2000 3,23
2001 2,24
2002 2,73
2003 2,85
2004 1,81
2005 1,71
2006 1.75
2.36
2.
Pertambangan dan Penggalian Industri Penggolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan
92,30
94,17
93,28 92,71
95,24
95,26
95.03
94.00
0,24
0,18
0,20
0,23
0,15
0,14
0.14
0.18
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0.02
0.02
0,88
0,66
0,78
0,86
0,58
0,58
0.63
0.71
Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keu. Persewaan &Jasa Preusan Jasa-Jasa
1,54
1,20
1,40
1,58
1,02
1,05
1.11
1.27
0,87
0,64
0,81
0,87
0,58
0,65
0.69
0.73
0,21
0,15
0,18
0,20
0,14
0,14
0.15
0.17
0,70
0,53
0,60
0,67
0,46
0,45
0.48
0.56
PDRB Total (juta rp)
100
100
100
100
100
100
100
100
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sumber : data diolah, 2009
5.2.
Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Setelah Transformasi dari Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan
5.2.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat dengan dan Tanpa Pertambangan Setelah dilakukan simulasi dengan mengkonstruksi tabel input-ouput Sumbawa Barat
tahun 2007 dengan menjadikan tabel interregional input–output NTB 2005
sebagai proyeksi untuk perkembangan struktur perekonomian Sumbawa Barat mirip perkembangan perekonomian NTB dengan struktur sektor ekonomi yang sama jumlah dan detilnya maka diperoleh Tabel input output baru yang terdiri dari 20 sektor sebagai hasil simulasi. Lampiran 4 dan 5 adalah tabel input-output Sumbawa Barat dan NTB yang terdiri dari 20 sektor tahun 2009 sebagai hasil simulasi. Apabila tambang Newmont diasumsikan habis tahun 2009 maka sektor strategis yang dapat dikembangkan di Sumbawa Barat dari lima sektor dengan nilai terbesar secara berurutan yakni pertanian (33,60 %), perdagangan, hotel dan restoran (20,97 %), bangunan (17,16 %), jasa-jasa (14,17 %) serta pengangkutan dan komunikasi (10,05%). Tabel 24 menunjukkan perbandingan PDRB dengan dan tanpa tambang. Tabel 24. Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Kab. Sumbawa Barat ADHK 20002006 dan Simulasi Struktur Ekonomi (PDRB) 2009 dengan dan Tanpa Tambang
3,23
2,24
2,73
2,85
1,81
1,71
1.75
InputOutput Simulasi 2009 dengan Tambang (%) 1.68
Pertambangan dan Penggalian Industri Penggolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan
92,30
94,17
93,28
92,71
95,24
95,26
95.03
95.01
0,24
0,18
0,20
0,23
0,15
0,14
0.14
0.13
2.68
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0,02
0.02
0.04
0.80
0,88
0,66
0,78
0,86
0,58
0,58
0.63
0.86
17.16
Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keu. Persewaan &Jasa Preusan Jasa-Jasa
1,54
1,20
1,40
1,58
1,02
1,05
1.11
1.05
20.97
0,87
0,64
0,81
0,87
0,58
0,65
0.69
0.50
10.05
0,21
0,15
0,18
0,20
0,14
0,14
0.15
0.03
0.58
0,70
0,53
0,60
0,67
0,46
0,45
0.48
0.71
14.17
100
100
100
100
100
100
100
100
100
No Lapangan Usaha
1.
Pertanian
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
PDRB Total (juta rp)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
InputOutput Simulasi 2009 tanpa Tambang (%) 33.60
Sumber : PDRB dan Input-Output diolah, 2009
84
5.2.2. Keterkaitan Antar Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan Lainnya A.
Keterkaitan Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kebelakang yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 25 dibawah ini.
8 14 11 4 6 3 1 12 2 13 18 17 15 20 7 10 9 5 16 19
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Angkutan Darat Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Industri Tekstil Kehutanan Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Ranking
Tabel 25. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang
0.29 0.22 0.14 0.08 0.06 0.04 0.04 0.04 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
85
B.
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang (multiplier output) yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, jasajasa lainnya serta angkutan darat. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 26 dibawah ini.
8 14 11 4 6 3 1 12 2 13 18 17 20 15 7 10 9 5 16
20
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Jasa-jasa Lainnya Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Industri Tekstil Kehutanan Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan 19 Pertahanan
Indeks Keterkaitan Tidak langsung Kebelakang
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor
Rangking
Tabel 26. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kebelakang
0.08 0.07 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
86
C.
Keterkaitan Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat
mendorong penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kedepan ditunjukan pada Tabel 27.
1 6 11 4 13 2 3 15 8 17 10 20 7 12 5 18 14 9 16
20
Pertanian Padi Perikanan Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perdagangan Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Angkutan Darat Industri Makanan dan Minuman Komunikasi Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Bangunan Kehutanan Lembaga Keuangan Hotel dan Restoran Industri Tekstil Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan 19 Pertahanan
Indeks Keterkaitan Langsung kedepan
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sektor
Rangking
Tabel 27. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kedepan
0.25 0.21 0.13 0.13 0.08 0.06 0.05 0.03 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
87
D.
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi yang dapat mendorong
penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya serta perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada Tabel 28.
1 6 11 4 13 2 3 15 8 17 10 20 7 12 5 18 14 9 16 19
Pertanian Padi Perikanan Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Perdagangan Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Angkutan Darat Industri Makanan dan Minuman Komunikasi Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Pertambangan dan Penggalian Bangunan Kehutanan Lembaga Keuangan Hotel dan Restoran Industri Tekstil Angkutan Lainnya Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Indeks Keterkaitan Tidak Langsung kedepan
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Rangking
Tabel 28. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kedepan
0.07 0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
88
Ringkasan indeks keterkaitan langsung kebelakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, keterkaitan langsung kedepan, keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada lampiran 6.
5.2.3. Dampak Pengganda (multiplier effect) Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor non Pertambangan lainnya A.
Dampak Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan indeks pengganda pendapatan rumah tangga justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga ditunjukkan pada Tabel 29 dibawah ini.
8 14 9 11 4 10 6 3 1 2 20 16 12 13 17 18 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Hotel dan Restoran Industri Tekstil Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Industri Pengolahan Lainnya Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Angkutan Lainnya Bangunan Perdagangan Komunikasi Lembaga Keuangan Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Pendapatan RT (MUPRt)
No Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sektor
Ranking
Tabel 29. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga (MUPRt)
11.23 1.93 1.63 1.35 1.23 1.19 1.13 1.12 1.08 1.07 1.06 1.04 1.04 1.04 1.03 1.02 1.02 1.02 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
89
B.
Dampak Pengganda Surplus Usaha Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan indeks pengganda surplus usaha justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, lembaga keuangan, perdagangan, jasa-jasa lainnya, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda surplus usaha ditunjukkan pada Tabel 30 dibawah ini.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
8 9 14 11 10 4 6 12 3 1 2 16 18 13 20 17 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Industri Tekstil Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Pengolahan Lainnya Peternakan Perikanan Bangunan Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Angkutan Lainnya Lembaga Keuangan Perdagangan Jasa-jasa Lainnya Komunikasi Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Surplus Usaha (MuSuS)
Sektor
Rangking
No Sektor
Tabel 30. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Surplus Usaha (MUSuS)
6.20 2.44 1.92 1.46 1.23 1.22 1.15 1.11 1.11 1.10 1.07 1.04 1.03 1.02 1.02 1.02 1.02 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
90
C.
Dampak Pengganda Pendapatan Pajak Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian fiskal pemerintah Sumbawa Barat berdasarkan indeks pengganda pendapatan pajak justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti perikanan, peternakan, kehutanan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri tekstil, industri makanan dan minuman, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, jasa-jasa lainnya, bangunan, hotel dan restoran, angkutan lainnya, komunikasi, angkutan darat serta lembaga keuangan. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan pajak ditunjukkan pada Tabel 31.
Sektor
Multiplier Pendapatan Pajak (MuPPj)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No Sektor
Rangking
Tabel 31. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Pajak (MUPPj)
9 8 11 6 10 20 4 5 1 2 3 12 14 16 17 15 18 7 13 19
Industri Tekstil Industri Makanan dan Minuman Listrik, Gas dan Air Bersih Perikanan Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Peternakan Kehutanan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Perkebunan Bangunan Hotel dan Restoran Angkutan Lainnya Komunikasi Angkutan Darat Lembaga Keuangan Pertambangan dan Penggalian Perdagangan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
7.46 6.75 2.39 1.91 1.47 1.40 1.40 1.32 1.16 1.16 1.13 1.13 1.08 1.07 1.04 1.02 1.01 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
91
D.
Dampak Pengganda Nilai Tambah Total Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk memacu pertumbuhan perekonomian berdasarkan indeks pengganda nilai tambah total justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, angkutan lainnya, jasa-jasa lainnya, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 32.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
8 9 14 11 4 10 6 3 1 12 2 16 20 13 18 17 15 7 5 19
Industri Makanan dan Minuman Industri Tekstil Hotel dan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Peternakan Industri Pengolahan Lainnya Perikanan Perkebunan Pertanian Padi Bangunan Pertanian Pangan Lainnya Angkutan Lainnya Jasa-jasa Lainnya Perdagangan Lembaga Keuangan Komunikasi Angkutan Darat Pertambangan dan Penggalian Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Pengganda Nilai Tambah Total (MuNTT)
Sektor
Rangking
No Sektor
Tabel 32. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Nilai Tambah Total (MUNTT)
7.46 2.10 1.88 1.41 1.22 1.22 1.14 1.11 1.09 1.08 1.07 1.04 1.03 1.03 1.02 1.02 1.02 1.01 1.01 1.00
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009
92
D.
Dampak Pengganda Tenaga Kerja Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat berdasarkan indeks pengganda tenaga kerja untuk sektor terbarukan adalah peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan lainnya, hotel dan restoran, perdagangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, jasa-jasa lainnya, angkutan darat, komunikasi, lembaga keuangan dan industri tekstil. Sektor pertambangan memiliki indeks pengganda tenaga kerja pada rangking nomor dua karena selama masa operasi pertambangan banyak menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Sumbawa Barat maupun tenaga kerja dari luar Sumbawa Barat dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 4237 orang hingga tahun 2007. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 33.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No 8 7 10 14 13 11 12 4 20 15 6 17 3 1 2 18 9 16 5 19
Sektor Industri Makanan dan Minuman Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Lainnya Hotel dan Restoran Perdagangan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Peternakan Jasa-jasa Lainnya Angkutan Darat Perikanan Komunikasi Perkebunan Pertanian Padi Pertanian Pangan Lainnya Lembaga Keuangan Industri Tekstil Angkutan Lainnya Kehutanan Pemerintahan Umum dan Pertahanan
Multiplier TK
Ranking
Tabel 33. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Tenaga Kerja (MUTk)
12.160 2.003 1.629 1.491 1.487 1.294 1.263 1.222 1.199 1.177 1.135 1.125 1.108 1.081 1.059 1.056 1.010 1.000 1.000 1.000
Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 Ringkasan hasil analisis pengganda pendapatan rumah tangga, surplus usaha, pendapatan pajak, nilai tambah total dan tenaga kerja ditunjukkan pada lampiran 7.
93
5.2.4. Keunggulan Komparatif Wilayah Sektor-sektor yang merupakan unggulan komparatif wilayah Kabupaten Sumbawa Barat berdasarkan produksi komoditi pertanian dalam arti luas menurut analisis location quotient (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu menjustifikasi hasil temuan Input-Output sebagai prasyarat terjadinya transformasi struktur perekonomian dari pertambangan ke sektor yang dapat diperbaharui (renewable resources). Sektorsektor unggulan yang dapat dikembangkan didaerah tersebut dengan nilai LQ terbesar adalah produksi penangkapan ikan di danau (38,888), produksi budidaya ikan tambak (13,523), produksi penangkapan ikan di waduk/dam (4,986), peternakan (3,085), kedelai (3,187), jagung (1,605) dan padi (1,873) (Gambar 26)
Gambar 26. Grafik Location Quotient Produksi Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah Pengembangan sektor pertanian dalam arti luas yang mempunyai keunggulan komparatif berdasarkan produksi diatas pengembangannya juga didukung oleh ketersediaan lahan yang luas di Kabupaten Sumbawa Barat. Menurut analisis location quation (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu satuan masih terdapat lahan kritis dan luas tanamannya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Nilai LQ berdasarkan luas lahan di Kabupaten Sumbawa Barat secara berurutan adalah luas tanaman lainnya (3,972), luas lahan kritis (1,691), luas tanaman kedelai (1,525) dan luas tanaman padi (1,115) (Gambar 27) Pemusatan Penggunaan Luas Lahan di Kabupaten Sumbawa Barat menurut Location Quotient (LQ) 1.691
Luas La ha n Kri ti s
3.972
Luas Tanam La i nnya
1.525
Lua s Ta na m Kedel a i
1.115
Luas Tanam padi
0
1
2
3
4
5
Gambar 27. Grafik Location Quotient Luas Lahan Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah
94
5.3.
Peran Penganggaran untuk Memperbaiki Kinerja Pembangunan
5.3.1. Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah Analisis variabel penciri faktor untuk konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah menggunakan principal component analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukkan hasil PCA untuk pola asosiasi variabel indikator penciri faktor kinerja pembangunan. Tabel 34. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Pembangunan Simbol
Bidang
X1 Pangsa Keluarga Miskin X2 Laju PDRB X3 Produktifitas Penduduk X4 Produktifitas Wilayah X5 Pangsa PAD X7 PAD Perkapita X8 PAD Luas Wilayah X9 Tingkat Pengangguran Expl.Var Prp.Totl
Factor 1 -0.655 0.096 0.167 0.759 0.958 0.895 0.954 0.029 3.672 0.459 LnIdx_Kpem1 = Indeks Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan
Factor
Factor
2 -0.314 -0.072 0.869 0.186 -0.009 0.012 0.039 0.888 1.683 0.210
3 -0.142 0.943 -0.283 0.274 -0.057 -0.124 0.131 0.129 1.117 0.140
LnIdx_Kpem2 = Indeks Ketimpangan Partisipasi Ekonomi
LnIdx_Kpem3 = Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : data diolah, 2009 Cat : Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 34 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34 menerangkan bahwa faktor 1 untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) terdapat suatu pola bahwa jika pangsa keluarga miskin
menurun maka akan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kinerja pembangunan untuk produktifitas penduduk, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah. Terdapat pula suatu fenomena bahwa penurunan pangsa keluarga miskin juga disertai dengan peningkatan yang kecil dan tidak signifikan terhadap laju PDRB, produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran. Untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 1
95
(Tabel 34) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa jika produktifitas penduduk meningkat maka tingkat pengangguran juga meningkat. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas ekonomi pertambangan yang sifatnya terisolir (enclave) menghasilkan nilai output yang luar biasa besar sehingga seolah-olah meningkatkan produktifitas penduduk (X3). Padahal sebenarnya sebagian besar masyarakat
tidak
terserap
dalam
aktifitas
pertambangan.
Untuk
indeks
ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 2 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 3.
Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) ternyata berdiri sendiri tidak punya kaitan dengan 8 variabel kinerja pembangunan yang lain. Bahkan berkorelasi negatif atau justru menyebabkan penurunan variabel pangsa keluarga miskin, produktifitas penduduk, pangsa PAD dan PAD Perkapita. Ini dapat terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya mineral yang bersifat massif bersifat terisolir secara ekonomi (enclave), kecilnya penggunaan sumberdaya lokal sehingga menyebabkan kebocoran regional bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam. Untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 3 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 29 menunjukkan kinerja pembangunan Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT
96
Gambar 28. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 35. Kinerja Pembangunan Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi
Daerah
Tipologi I
Kabupaten Badung, Kota Denpasar
Tipologi II
Kabupaten Sumbawa Barat, Ngada
Tipologi III
Kabupaten Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao, Manggarai Barat, Kota Mataram, Bima, dan Kupang
Penciri Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3 Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3 Idx_Kpem1 Idx_Kpem2
Karakteristik Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi
Idx_Kpem3
Rendah
Sumber : data diolah, 2009 Penciri Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3
Karakteristik Kinerja pembangunan dimensi produktifitas wilayah, kapasitas fiskal dan kesejahteraan masyarakat Kinerja pembangunan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi Kinerja pembangunan laju pertumbuhan ekonomi
97
5.3.2. Konfigurasi Spasial Pola Penganggaran Untuk konfigurasi spasial kinerja penganggaran dilakukan dengan menganalisis variabel penciri faktor masing-masing indikator seperti yang akan dibahas secara detil dibawah ini. A.
Pola Penganggaran Perbidang. Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran perbidang ditunjukkan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Perbidang Simbol
Bidang
X80 X83 X88 X93 X97 Expl.Var Proporsi Total
Pendidikan dan Kebudayaan Permukiman Olahraga Pertambangan dan Energi Penanaman Modal
Factor (F1) 1 0.913 0.110 -0.239 -0.870 -0.089 1.668
Factor (F2) 2 -0.139 0.894 0.890 -0.031 0.067 1.616
Factor (F3) 3 0.104 0.200 -0.107 0.254 0.971 1.068
0.334
0.323
0.214
LnIdx_KpS1 LnIdx_KpS2
LnIdx_KpS3
Sumber : data diolah, 2009 Cat : - Marked loadings are > .700000 - Antar faktor tidak berkorelasi / ortogonalisasi - Indeks diversitas tidak masuk karena dianggap homogen Dari Tabel 1 menjelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 36 menerangkan bahwa faktor 1 untuk realisasi anggaran pembangunan per bidang di 34 kab/kota tiga Propinsi yang dianalisis yakni Bali, NTB dan NTT terdapat suatu pola pengalokasian penganggaran bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan berasosiasi dengan bidang pertambangan dan energi. Maknanya bahwa ketika APBD di fokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran untuk bidang pertambangan dan energi akan berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya. Alokasi anggaran bidang pertambangan secara umum di semua daerah yang dianalisis kecil karena investasi dibidang ini sifatnya padat modal, beresiko tinggi dan berada di daerah terpencil. Rasio keberhasilan eksplorasi umumnya dibawah 5%.
98
Dari hasil PCA juga diketahui bahwa pola penganggaran untuk bidang pertanian tidak muncul dalam analisis ini karena hampir homogen di setiap wilayah. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS1) untuk faktor 1 (Tabel 36) dengan karakteristik tinggi (Tabel 31). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran bidang pertambangan dan energi berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya, hal ini terjadi karena kedua bidang ini berasosiasi. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Namun peningkatan secara bersama pada kedua bidang tersebut menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan dan bidang olahraga dan bidang penanaman modal. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS2) untuk faktor 2 (Tabel 36) dengan karakteristik rendah (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pemukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Disebabkan anggaran kedua bidang tersebut meningkat secara bersamaan menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang olahraga serta bidang penanaman modal karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.
3.
Faktor 3 menerankan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang penanaman modal menyebabkan bidang ini berdiri sendiri, tidak berasosiasi dengan bidang-bidang lainnya bahkan berasosiasi negatif yang tinggi dengan bidang olah raga. Fokusing anggaran pada bidang penanaman modal juga mengakibatkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi. Dengan kata lain bidang penanaman modal melemahkan bidang lainnya. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja anggaran perbidang (KpS3) untuk faktor 3 (Tabel 36) dengan karakteristik sedang (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang penanaman modal maka berasosiasi negatif dengan bidang lainnya artinya ketika anggaran bidang penanaman modal ditingkatkan maka
99
terjadi penurunan anggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi karena bidang tersebut berasosiasi. Gambar 29 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perbidang di propinsi Bali, NTB dan NTT dan kinerja penganggaran bidang persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 28).
Gambar 29. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perbidang di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 37. Kinerja Penganggaran Bidang Persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Alor, Lembata, Timor Tengah Utara, Rote Ndao dan Manggarai Barat
Tipologi II
Kabupaten Sumba Timur
Tipologi III
Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jemrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Denpasar, Bima, Dompu, Lombok barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Mataram, Bima, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, dan Kota Kupang.
Penciri Idx_KpS1 Idx_KpS2 Idx_KpS3 Idx_KpS1 Idx_KpS2 Idx_KpS3 Idx_KpS1 Idx_KpS2
Karakteristik Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang
Idx_KpS3
Sedang
Sumber : data diolah, 2009
100
Keterangan Penciri Idx_KpS1 = Idx_KpS1 = Idx_KpS2 = Idx_KpS3 =
B.
Karakteristik Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Bidang Permukiman (+), olahraga (+) Bidang Penanaman Modal (+)
Pola Penganggaran terhadap Luas Wilayah Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran terhadap luas wilayah ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran terhadap Luas Wilayah Simbol X22 X23 X24 X25 X27 X28 X29 X30 X31 X33 X34 X38 X39 X40 X41 X42 X56 Expl.Var Proporsi Total
Bidang Administrasi Pemerintahan Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan Sosial Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup Kependudukan Pertanian Kepariwisataan Kehutanan dan Perkebunan Perindustrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan Rataan Perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah
Factor 1 0.946 0.989 0.975 0.897
Factor 2
Factor 3
Factor 4
0.920 0.897 0.946 0.958 0.959 0.986 0.849 0.763 0.978 0.916 -0.969 0.966 0.978 11.708
1.723
1.508
1.124
0.689
0.101
0.089
0.066
LnIdx_KpW1 LnIdx_KpW2 LnIdx_KpW3 LnIdx_KpW4n
Sumber : data diolah 2009 Cat : Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 38 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 38 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran terhadap luas wilayah, bidang-bidang yang berada di faktor 1 muncul secara bersamaan dari 34 kab/kota
101
yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Munculnya
bidang
kebudayaan, kependudukan,
sosial,
administrasi pekerjaan
pertanian,
pemerintahan, umum,
kepariwisataan,
kesehatan,
perhubungan, perindustrian
pendidikan
lingkungan dan
dan
hidup,
perdagangan,
perkoperasian dan rataan per luas lahan total APBD merupakan bidang-bidang yang menjadi fenomena perkotaan. Ini diakibatkan oleh akumulasi penduduk didaerah perkotaan dengan kompleksitas permasalahannya sehingga bidang tersebut berasosiasi dan muncul bersamaan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW1) untuk faktor 1 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan meningkatkan anggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, serta bidang perkoperasian maka akan terjadi penurunan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2.
Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola penganggaran di daerah yang dianalisis bahwa ketika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman atau ketika anggaran bidang permukiman meningkat maka anggaran bidang kehutanan dan perkebunan juga meningkat. Maknanya bahwa jika aktifitas permukiman meningkat maka ada kecenderungan untuk mengkonservasi kehutanan dan perkebunan kearah yang lebih baik dengan tujuan agar pasokan kebutuhan air tercukupi, pengendalian banjir dan kelestarian sumberdaya lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW2) untuk faktor 2 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang permukiman maka ada kecenderungan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan akan meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi.
3.
Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan berasosiasi negatif dengan bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan
102
hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian. Fokusing penganggaran pada bidang ketenagakerjaan justru menyebabkan penurunan pada bidang-bidang lainnya seperti bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, kepariwisataan, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal dan rataan per luas lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW3) untuk faktor 3 (Tabel 38) mempunyai karakteristik sedang (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan akan terjadi penurunan penganggaran bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian karena bidang-bidang tersebut berasosiasi negatif. 4.
Faktor 4 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran bidang penanaman modal mengalami penurunan maka bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan secara tajam. Dengan kata lain bidang penanaman modal dan bidang yang disebutkan diatas ada kecenderungan saling melemahkan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW4) untuk faktor 4 (Tabel 38) dengan karakteristik rendah (Tabel 39). Maknanya apabila penganggaran tidak difokuskan pada bidang penanaman modal oleh Pemda. Kab. Sumbawa Barat menyebabkan
penganggaran
bidang
tersebut
mengalami
penurunan
juga
menyebabkan penurunan penganggaran secara tajam untuk bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. Gambar 30 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja anggaran perluas wilayah di propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 39 kinerja penganggaran perluas wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT.
103
Gambar 30. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 39. Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT. Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah
Penciri Idx_Kpw1 Kabupaten Lombok Barat, Lombok Idx_Kpw2 Tengah, Kota Kupang, dan Rote Idx_Kpw3 Ndao Idx_Kpw4n Idx_Kpw1 Idx_Kpw2 Kota Denpasar, Mataram dan Bima Idx_Kpw3 Idx_Kpw4n Kabupaten Badung, Bangli, Idx_Kpw1 Jembrana, Idx_Kpw2 Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Idx_Kpw3 Bima, Dompu, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Ngada, Sikka, Idx_Kpw4n Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Manggarai Barat.
Karakteristik Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
104
Penciri
Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan pendidikan & kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan, Perkoperasian, dan Rataan perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah (+) Bidang Permukiman, Kehutanan dan perkebunan. pendidikan & kebudayaan (+) Bidang Ketenagakerjaan (+), Bidang Penanaman Modal (+)
Idx_Kpw1 =
Idx_Kpw2 = Idx_Kpw3 = Idx_Kpw4 =
C.
Pola Penganggaran Bidang Perkapita Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor
kinerja penganggaran bidang perkapita ditunjukkan pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita Simbol X1 X2 X7 X9 X12 X13 X15 X16 X18 X19 X20 X21 Expl.Var Prp.Totl
Bidang Administrasi Pemerintahan Kesehatan Pekerjaan Umum Lingkungan Hidup Pertanian Kepariwisataan* Perikanan Pertambangan dan energi Perindustrian dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan
Factor 1
Factor 2
Factor 3
Factor 4
0.744 0.707 0.911 0.975 0.877 0.845 0.879 0.779 0.858 0.951 0.871 0.806 6.133 1.830 1.859 1.211 0.472 0.141 0.143 0.093 LnIdx_Kp1 LnIdx_Kp2 LnIdx_Kp3 LnIdx_Kp4
Sumber : data diolah 2009 Marked loadings are > .700000 Dari Tabel 40 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1.
Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 40 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran bidang perkapita, terdapat suatu pola bahwa bidang-bidang yang berada di faktor 1 pada 34 kab/kota yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Fokusing penganggaran mengalami peningkatan dan muncul secara bersamaan untuk bidang
105
bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan dan ketenagakerjaan muncul secara bersamaan yang merupakan bidang yang menjadi fenomena daerah urban (perkotaan). Sebaliknya penganggaran mengalami penurunan untuk bidang lingkungan hidup dan perkoperasian. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp1) untuk faktor 1 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan serta ketenagakerjaan maka penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal akan mengalami penurunan hal ini disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2.
Faktor 2 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang perkoperasian maka bidang tersebut berdiri sendiri disertai dengan peningkatan penganggaran. Namun disisi lain anggaran untuk bidang bidang pekerjaan umum, kepariwisataan, pertambangan dan energi, penanaman modal dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan.
3.
Faktor 3 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang pertanian dan penanaman modal maka anggaran untuk kedua bidang tersebut akan meningkat secara bersamaan karena berasosiasi. Sebaliknya penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan, perikanan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp3) untuk faktor 3 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran pada bidang pertanian dan bidang penanaman modal maka penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan dan perikanan mengalami penurunan disebabkan bidang-bidang tersebut berasosiasi.
4.
Faktor 4 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri. Namun disisi lain anggaran untuk bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum,
106
pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) untuk faktor 4 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri, namun disertai penurunan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan ini disebabkan karena bidang tersebut berasosiasi.
Gambar 31. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Gambar 31 diatas menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perkapita di Propinsi
Bali, NTB dan NTT dan Tabel 41 menunjukkan kinerja
penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT.
107
Tabel 41. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Kota Denpasar, dan Kota Mataram Kabupaten Sumbawa Barat, Lembata, Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao Kabupaten Jemrana, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan Kota Bima, dan Kota Kupang
Penciri Idx_Kp1 Idx_Kp3 Idx_Kp4 Idx_Kp1 Idx_Kp3 Idx_Kp4 Idx_Kp1 Idx_Kp3
Karakteristik Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi
Idx_Kp4
Sedang
Sumber : data dioalah, 2009 Penciri Idx_Kp1 = Idx_Kp3 = Idx_Kp4 =
Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Kepariwisataan, Perikanan, Pertambangan dan Energi, Perindustrian dan Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Rataan Perkapita Total Anggaran Belanja Daerah (+) Bidang Pertanian, Penanaman modal (+), Bidang Lingkungan Hidup (+)
5.3.3. Hubungan Fungsional antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah A.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dilakukan dengan menganalisis aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah (Tabel 42) menggunakan analisis spatial durbin model.
108
Tabel 42. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat (Kpem1) Arah Pengaruh terhadap Kpem1 Kelompok
Simbol
LnIdx_Kpw1
Instrumen daerah sendiri
Keterangan Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian Dan Perdagangan, Perkoperasian (+)
LnIdx_Kpw3 Bidang Ketenagakerjaan/wilayah (+) LnIdx_Kpw4N
Bidang Kehutanan dan Perkebunan/wilayah (-)
LnIdx_KpS3 Bidang Penanaman Modal (+) LnIdx_KpS2
LnIdx_Kp3
Bidang Permukiman dan Olahraga/penduduk (+) Bidang Pertanian, Penanaman Modal/kapita (+)
LnIdx_Kp4 Bidang Lingkungan/penduduk (+) Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009
Parameter
Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+)
Menurun (-)
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Menurun (-)
Keterangan : Di duga dengan regresi berganda Nyata P-Level kurang dari 0,01 R= .96729249 R²= .93565476 Adjusted R²= .90767857 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 1 = 0.167472 + 0.948104 LnIdx_Kpw1 + 0.394375 LnIdx_Kpw3 - 0.547514 LnIdx_Kpw4N + 0.275889 LnIdx_KpS3 + 0.304150 LnIdx_Kp3 - 0.295638 LnIdx_Kp4 0.152587 LnIdx_Kpem3 + 0.115022 LnIdx_Kp1 - 0.108080 LnIdx_Kp2 + 0.110524 LnIdx_KpS2
Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah, secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut :
109
1.
Untuk bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota tersebut pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah (Gambar 32) dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW1) propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 43). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW1) dengan karakteristik rendah (Tabel 43)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana-IPB 2009
Gambar 32. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bdang Perwilayah (KpW1) Sumber : data diolah, 2009
110
Tabel 43. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kab. Klungkung, Kota Denpasar, Kota Mataram
Tipologi II
Kab. Badung
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data dioalah, 2009 2.
Untuk bidang ketenagakerjaan terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah ditunjukkan dengan Gambar 33 dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW3) Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 44). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW3) dengan karakteristik sedang (Tabel 38)
111
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 33. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Sumber : data diolah, 2009 Tabel 44. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram
Penciri Bidang Ketenagakerjaan
Bidang Ketenagakerjaan
Bidang Ketenagakerjaan
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
112
2.
Untuk bidang kehutanan dan perkebunan terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
3.
Untuk bidang penanaman modal terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan setiap sektor (21 sektor) masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
4.
Untuk bidang permukiman terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya kecil atau tidak strategis pengaruhnya dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
5.
Untuk bidang pertanian dan penanaman modal terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masingmasing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah.
6.
Untuk bidang lingkungan hidup terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam menurunkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah (Gambar 34) dan kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 45)
113
Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (Kp4) dengan karakteristik rendah (Tabel 45)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Gambar 34. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4) Sumber : data dioalah, 2009 Tabel 45. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita (Kp4) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Daerah Kab. Klungkung, Kota Denpasar, Kota Mataram,
Penciri Bidang Lingkungan hidup
Karakteristik Tingi
Tipologi II
Kab. Badung
Bidang Lingkungan hidup
Sedang
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Bidang Lingkungan hidup
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
114
B.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan untuk Dimensi Ketimpangan Partisipasi Ekonomi Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
Indeks ketimpangan partisipasi ekonomi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis spatial durbin model. Tabel 46 menunjukkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi. Tabel 46. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Ketimpangan Partisipasi Ekonomi (Kpem2) Arah Pengaruh terhadap Kpem2 Kelompok
Simbol LnIdx_Kp3 LnIdx_KpW4
Instrumen daerah sendiri Instrumen daerah terkait
Keterangan Bidang Pertanian, Penanaman Modal (+) Bidang Penanaman Modal/wilayah (-)
LnIdx_KpS3
WILnIdx_KpW2 WiLnIdx_KpS1
Bidang Penanaman Modal (+) Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan (+) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (+), Pertambangan dan Energi (-)
Parameter Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+) Meningkat (+) Meningkat (+)
Meningkat (+) Menurun (-)
Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model Keterangan : Di duga dengan regresi berganda R= .88338969 R²= .78037735 Adjusted R²= .69801885 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 2 = 2.653013 -0.918973 LnIdx_Kp3 + 0.125170 LnIdx_Kp1 + 0.277892 LnIdx_Kpem3 + 0.367217 LnIdx_Kpw4N - 0.384275 LnIdx_Kpem1n - 0.186569 LnIdx_KpS1 + 0.455305 WiLnIdx_Kpw2 - 0.488130 WiLnIdx_KpS1n
Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut : 1.
Untuk bidang pertanian dan penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun
115
kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas wilayah dan tingkat pengangguran Untuk bidang penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masingmasing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi. Gambar 35 dan kinerja penganggaran bidang perkapita Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 46). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW4) dengan karakteristik rendah (Tabel 47)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 35. Peta Konfiguras Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW4) Sumber : data diolah, 2009
116
Tabel 47. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW4) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I Tipologi II Tipologi III
Daerah Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kota Bima Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Lingkungan hidup Bidang Lingkungan hidup
Karakteristik Tinggi Sedang
Bidang Lingkungan hidup Rendah
Sumber : data diolah, 2009 2. Untuk bidang penanaman modal pola penganggaran didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan rataan penganggaran persektor masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Gambar 36) dan hubungan kinerja penganggaran bidang persektor (KpS3) Kab/Kota propinsi Bali. NTB dan NTT (Tabel 46)
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 36. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3) Sumber : data diolah, 2009
117
Tabel 48. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Persektor Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpS3) Tipologi Tipologi I
Tipologi II Tipologi III
Daerah Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kota Bima Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Penanaman Modal
Karakteristik
Bidang Penanaman Modal
Sedang
Bidang Penanaman Modal
Rendah
Tinggi
Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang per sektor
(KpS3) dengan
karakteristik rendah (Tabel 48) diatas. Sedangkan untuk pola penganggaran didaerah yang menjadi mitra dagang suatu daerah pada 34 Kab/Kota tiga propinsi Bali, NTB dan NTT yang mempengaruhi kinerja pembangunan untuk aspek produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran adalah sebagai berikut : 1.
Terdapat suatu pola apabila penganggaran bidang permukiman, kehutanan dan perkebunan dominan didaerah-daerah mitra dagang terhadap rataan luas wilayah masing-masing daerah pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri (Gambar 37) dan hubungan kinerja penganggaran bidang perluas wilayah Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 46).
118
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 37. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perkapita (KpW2) Sumber : data diolah, 2009 2.
Terdapat suatu pola apabila penganggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pertambangan dan energi menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri. Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) untuk penganggaran bidang perluas wilayah (KpW2) dengan karakteristik rendah (Tabel 49) dibawah ini.
119
Tabel 49. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Terhadap Luas Wilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpW2) Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kota Bima
Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kab. Badung, Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana Kab. Karangasem, Kab. Klungkung Kab. Tabanan, Kota Denpasar, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Timur Kab. Sumbawa, Kota Mataram, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah Bidang Permukiman, Kehutanan dan Perkebunan
Sumber : data diolah, 2009 3.
Sebaliknya ketika pola penganggaran bidang pertambangan dan energi dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan penganggaran bidang pendidikan dan kebudayaan menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran didaerah sendiri
C.
Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan untuk Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk
indeks laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya dianalisis dengan spatial durbin model. Tabel 50 menunjukkan indeks laju pertumbuhan ekonomi.
120
Tabel 50. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Laju Pertumbuhan Ekonomi (Kpem3)
Kelompok Simbol Instrumen daerah WiLnIdx_KpS1 terkait
LnIdx_KpW1 Instrumen daerah sendiri
Keterangan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (+), Pertambangan dan Energi (-) Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian (+)
Bidang Pertanian, Penanaman Modal (+) Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009 LnIdx_Kp3
Arah Pengaruh Terhadap Parameter Kpem 3 Nyata tidak elastis Meningkat (+)
Nyata tidak elastis Nyata tidak elastis
Meningkat (+)
Meningkat (+)
Keterangan : Di duga dengan regresi berganda R= .70393721 R²= .49552759 Adjusted R²= .30635044 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 3 = -1.23295 + 0.93851 WiLnIdx_KpS1n + 0.50905 LnIdx_Kpem2 - 0.93881 LnIdx_Kpem1 + 0.53498 LnIdx_Kpw1 + 0.64905 LnIdx_Kp3 - 0.11149 LnIdx_KpS3 - 0.74270 WiLnIdx_KpS3 - 0.37746 LnIdx_Kpw4N - 0.14230 LnIdx_Kp2
Hasil analisis pola penganggaran di 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT didaerah-daerah yang menjadi mitra dagang suatu daerah yang mempengaruhi kinerja pembangunan daerah sendiri untuk laju produk domestik regional bruto (PDRB) secara rinci adalah sebagai berikut : 1.
Terdapat suatu pola ketika penganggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pertambangan dan energi menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) didaerah sendiri (Gambar 38)
dan hubungan kinerja penganggaran
persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50).
121
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 38. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Persektor (KpS1) Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) untuk penganggaran bidang persektor (KpS1) yang menjadi mitra dagang daerah tersebut (KpS1) dengan karakteristik sedang (Tabel 51) dibawah ini. Tabel 51. Hubungan Kinerja Penganggaran Persektor Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram,
Penciri Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pertambangan dan Energi
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, dan Pertambangan Energi
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pertambangan dan Energi
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
122
2.
Sebaliknya ketika pola penganggaran untuk bidang pertambangan dan energi dominan didaerah-daerah mitra dagang sedangkan pola penganggaran bidang pendidikan dan kebudayaan menurun terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan setiap sektor (21 sektor) pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan laju produk domestik regional bruto (PDRB) didaerah sendiri. Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali,
NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek laju produk domestik regional bruto secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut : 1.
Untuk penganggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan,
sosial,
pekerjaan
pertanian,
umum,
kepariwisataan,
perhubungan, perindustrian
lingkungan dan
hidup,
perdagangan,
perkoperasian di daerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namum kecil atau tidak strategis meningkatkan laju PDRB (Gambar 39) dan hubungan kinerja penganggaran bidang perwilayah Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50).
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana – IPB 2009
Gambar 39. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Sumber : data diolah, 2009
123
Tabel 52. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (KpW1) Tipologi Tipologi I
Daerah Kota Denpasar, Kota Mataram,
Tipologi II
Kab. Badung,
Tipologi III
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar, Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat
Penciri Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian Bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, Pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan serta perkoperasian
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : diolah, 2009 2.
Untuk penganggaran bidang pertanian dan penanaman modal didaerah sendiri terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di bagi dengan jumlah penduduk (perkapita) pada masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis meningkatkan laju PDRB (Gambar 39) dan hubungan kinerja penganggaran bidang persektor Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 50)
124
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Gambar 40. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (Kp3) Sumber : data diolah, 2009 Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) untuk penganggaran bidang persektor (Kp3) dengan karakteristik rendah (Tabel 53) diatas. Tabel 53. Hubungan Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT (Kp3) Tipologi Tipologi I
Tipologi II
Tipologi III
Daerah Kab. Badung
Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat Kota Denpasar, Kota Mataram
Penciri Bidang Pertanian dan penanaman modal
Bidang Pertanian dan penanaman modal
Bidang Pertanian dan penanaman modal
Karakteristik Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber : data diolah, 2009
125
5.4.
Analisis Isi (content analisys) UU No. 11/67 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dengan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara
5.4.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Nilai Tambah dalam UU No. 11/1967 dan UU No. 4/2009 Pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya mineral belum menjadi wacana dalam UU 11/67, UU ini lahir jauh sebelum kerangka berfikir tentang pembangunan berkelanjutan menjadi wacana dunia tahun 90-an. Kerangka berfikir ini 1992 dalam konferensi tingkat tinggi bumi di Rio de Jeneiro disepakati oleh hampir 178 negara didunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program aksi dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai agenda 21, yaitu program aksi untuk pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang dapat diadopsi dan diadaptasi oleh negara industri maju maupun negara sedang berkembang, negara kaya maupun negara miskin (Agenda 21 Sektoral, 2000). Agenda 21 disusun berdasarkan laporan komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (WCED) diketuai oleh Gro Harlem Brutland yang berjudul “Masa Depan Kita Bersama” (Our Common Future) disetujui dalam sidang umum PBB pada tahun 1987 untuk ditindaklajuti. Lebih dari 40 tahun UU 11/1967 digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia. Menurut Sigit (2004) sepanjang kurun waktu 1967-1996 pertambangan Indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat. Melalui konsep KKP dan perjanjian karya pengusahaan batubara (PKP2B), tidak kurang dari 376 perusahaan telah mendapat ijin untuk menambang emas, perak, batubara serta mineral logam lainnya. Selama kurun waktu tesebut perusahaan pertambangan mendapat kemudahan regulasi dari pemerintah Indonesia, pemerintah memberikan perlakuan khusus (lex specialis) pada kontrak karya pertambangan dan conjuctive title pada kontraktor yaitu hak berkelanjutan untuk melaksanakan kegiatan sejak tahap survei, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan hasil usaha pertambangan sehingga dalam dunia pertambangan dikenal istiah a cradle to grave contract (dari sejak buaian hingga keliang lahat). Selama periode itu pula penanaman modal asing (PMA) diatur dengan UU 1/67, untuk bidang pertambangan mineral logam diatur dengan pola Kontrak Karya Pertambangan (KKP), sedang untuk bidang pertambangan batubara diatur dengan pola Perjanjian Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batubara disingkat PKP2B. Menurut Sembiring (2009), hak dan kewajiban pelaku usaha menyangkut nilai tambah (hanya diatur dalam kontrak), pemanfaat tenaga kerja setempat, kemitraan tenaga kerja lokal dan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat tidak diatur dalam
126
UU 11/67. Sedangkan didalam UU 4/2009 mengatur dengan jelas tentang nilai tambah yang mengharuskan pengolahan dan pemurnian hasil tambang didalam negeri, pemanfaatan tenaga kerja setempat, keikutsertaan pengusaha lokal dan penggunaan jasa pertambangan lokal. Beberapa butir perbandingan UU No. 11/67 dan UU No. 4/2009 tentang pelaku usaha dan nilai tambah yang mengutamakan kepentingan lokal dan nasional ditunjukkan pada Tabel 54. Tabel 54. Beberapa Butir Perbandingan UU No. 11/1967 dan UU Minerba No. 4/2009 No 1.
2.
UU No. 11/1967
UU Minerba No. 4/2009
Pelaku Usaha:
Pelaku Usaha:
1. Investor domestik (KP, SIPD, PKP2B) 2. Investor asing (KK, PKP2B) 3. Luas usaha pertambangan tidak dirinci
1. IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan pada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38) 2. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) diberikan pada penduduk setempat, naik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan atau koperasi (pasal 67), dengan luas terperinci (pasal 68) 3. IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha:
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha: 1. Keuangan: - KP, sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku - KK/PKP2B, tetap pada saat kontrak ditandatangani 2. Lingkungan (sedikit diatur) 3. Nilai tambah (hanya diatur didalam kontrak) 4. Pemanfaatan tenaga kerja setempat (tidak diatur) 5. Kemitraaan pengusaha lokal (tidak diatur) 6. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (tidak diatur)
1. Keuangan: membayar pendapatan negara dan daerah: Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133) 2. Lingkungan: - Good mining practices (pasal 95) - Reklamasi, pasca tambang dan konservasi yang telah direncanakan, beseta dana yang disediakan (pasal 96-100) 3. Nilai tambah. Pemegang IUP operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri (pasal 103-104) 4. Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat (pasal 106) 5. Saat tahap operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal (pasal 107) 6. Menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108) 7. Wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional seperti konsultasi dan perencanaan (pasal 124)
Sumber : Sembiring, 2009
127
5.4.2. Hubungan Temuan Penelitian dengan Analisis Isi UU No. 11/1967 dan UU No. 4/2009 Didalam UU No. 11/1967 tidak menyebutkan secara jelas tentang pembangunan berkelanjutan nasional maupun daerah sedangkan dalam UU No. 4/2009 pada bagian Menimbang point a menyebutkan “kegiatan usaha pertambangan dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan diluar panas bumi .… mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan sedangkan point b menyebutkan “bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, UndangUndang No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha pertambangan di Sumbawa Barat selama masa operasi dan pasca operasi melalui transformasi struktur ekonomi pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan untuk menentukan arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal sebagai antisipasi habisnya pertambangan haruslah menjadi prioritas pembangunan bagi daerah tersebut juga bagi daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia. Temuan hasil penelitian ini dengan simulasi model Leontif input-output Sumbawa Barat yang mencakup 1) arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek keterkaitan (lingkages) antar sektor dan; 2) arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek dampak pengganda (multiplier effect) 3) model spasial hubungan pola penganggaran dengan kinerja pembangunan (Lampiran ). Dari hasil tersebut selanjutnya dilakukan analisis isi tentang ada atau tidaknya transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam UU 11/1967 dan UU 4/2009. Hubungan antara temuan penelitian dengan analisis isi didiskripsikan sebagai berikut (lampiran 12) Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang dapat mendorong permintaan (demand driven) menurut indeks keterkaitan langsung kebelakang dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, demikian pula dengan arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong penawaran (supply driven) menurut indeks keterkaitan langsung kedepan dan keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan. Secara umum arah transformasi struktur yang merupakan keterkaitan (lingkages) antar
128
sektor diatur dalam UU No. 4/2009 pasal 3 ayat e yang berbunyi “dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masayarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Terdapat pula pengaturan secara umum dalam pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal aspek dampak pengganda (multiplier effect) secara umum diatur dalam Pasal 102 yang berbunyi: pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumberdaya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengelolaan dan pemurnian serta mineral dan batubara. Sebagai realisasi peningkatan nilai tambah dalam pasal 102, UU 4 /2009 mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah secara tersendiri, hal ini ditegaskan dalam pasal 103 ayat 3 yang berbunyi: ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pasal 103 diatur dengan peraturan pemerintah. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga diatur dalam UU No. 4/2009 Pasal 3 ayat
e
berbunyi:
dalam
rangka
mendukung
pembangunan
nasional
yang
berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masayarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan pengganda surplus usaha diatur dalam UU No. 4/2009 yakni: 1.
Pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal
2.
Pasal 107. Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada didaerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
129
3.
Pasal 124 ayat 1 pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/nasional
4.
Pasal 125 ayat 3 pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka
pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian fiskal pemerintah berdasarkan pengganda pendapatan pajak diatur secara umum dalam UU No. 4/2009 Pasal 106 yang berbunyi: pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Secara umum Pasal 106 UU No. 4/2009 juga mengatur arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk memacu pertumbuhan perekonomian berdasarkan pengganda nilai tambah total dan untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat berdasarkan dampak pengganda tenaga kerja. Arah transformasi pengembangan sektor ekonomi lokal sesuai dengan potensi daerah berdasarkan keunggulan komparatif wilayah diatur secara umum dalam UU No. 4/2009 pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain adalah pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Sedangkan arah transformasi penganggaran yang merupakan hubungan fungsional penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang merupakan bagi hasil SDA diatur dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Apabila dilihat dari perspektif penganggaran untuk melakukan transformasi ke sumberdaya lokal bagi Kab/Kota penghasil sumberdaya mineral, komposisi pembagian royalty yang hanya 32 % perlu dikaji ulang karena kurang memadai. Sebagaimana diketahui komposisi bagi hasil sumberdaya pertambangan (royalty) dalam UU 33/2004 saat ini adalah 20 % pemerintah pusat, 16 % pemerintah propinsi, 32 % pemerintah Kab/Kota penghasil dan 32 % Kab/Kota lainnya. Disisi lain, dalam konteks transformasi sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal, UU 33/2004 tidak secara rinci mengatur besarnya persentase belanja publik/pembangunan (belanja lansung) dan belanja rutin (belanja tidak langsung) bagi pemerintah Propinsi maupun Kab/Kota untuk pengembangan sektor terbarukan dan sektor strategis non tambang lainnya seperti infrastruktur, energi dan lain-lain. Dari sisi perencanaan pembangunan Sumbawa Barat, arah transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan yang merupakan potensi lokal untuk mengantisipasi habisnya pertambangan belum terlihat jelas
130
dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (2005-2010), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (2005-2025), perencanaan penganggaran (APBD) tahunan maupun peraturan daerah Kabupaten tersebut. 5.4.3. Performa Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sumbawa Barat Analisis isi juga dilakukan terhadap 45 peraturan daerah (Perda) Kabupaten Sumbawa Barat dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana kesiapan daerah tersebut mengantisipasi habisnya cadangan sumberdaya mineral dan menghadapi kehidupan pascatambang. Jika dikaitkan dengan transformasi struktur ekonomi dari berbasis pertambagan ke sumberdaya lokal terbarukan serta pengembagan sektor-sektor strategis lainnya sebagai pengganti tambang, diketahui bahwa peraturan perundangan yang dibuat oleh Pemkab Sumbawa Barat belum mengarah ke transformasi sumberdaya berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan. 5.4.4. Proses Perubahan Kebijakan dalam Pola Hubungan Stakeholder Hubungan (Relationship) antar stakehoder di Kabupaten Sumbawa Barat mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dan upaya menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency) pada masa pascatambang. Narasi Kebijakan: Kilas Balik 42 Tahun Pertambangan Indonesia Wacana dominan yang berkembang dan menjadi narasi kebijakan kelompok kepentingan pertambangan di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha pertambangan adalah: Pertama kebijakan eksploitasi sumberdaya mineral oleh industri pertambangan di Indonesia pada era orde baru dimulai sejak 1967 melalui undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua UU tersebut berlandaskan pada pasal 33 UUD 45 yang memberikan hak penguasaan pada negara (HPN) yang bermakna mengatur, mengurus dan menguasai atas sumberdaya alam (Saleng, 2004). Bahwa pertambangan adalah kebijakan yang diputuskan di tingkat
nasional, disetujui atau tidaknya
pertambangan untuk mineral dengan katagori strategis dan vital –menurut undang-undangtersebut tergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Bahkan pasal 3 UU 11/1967 secara tegas memberikan penggolangan atas bahan-bahan galian yakni strategis (golongan a), vital (golongan b) dan tidak termasuk golongan a dan b. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahan galian strategis dan vital pengelolaan dan perizinannya dikeluarkan oleh
131
pemerintah pusat sedangkan bahan galian non strategis dan non vital perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah propinsi berdasarkan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) dimuat dalam PP No. 32 tahun 1969. Dengan demikan karakteristik pertambangan untuk golongan srategis dan vital bercorak sentralistik, sektoral dan top down karena merupakan wewenang penuh dari pemerintah pusat yang sangat dominan terhadap bahan galian tersebut. Untuk golongan bahan galian strategis dan vital dalam pengelolaan sumberdaya mineral, merupakan kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak investor yang tertuang kontrak karya pertambangan (KKP). Karena KKP landasan hukumnya UUPP dan UUPMA mengakibatkan perumusan KKP hanya mengatur kepentingan dua pihak saja yakni pemerintah pusat yang mewakili negara dan kepentingan investor. Hal ini mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan dalam KKP tidak memberikan ruang partisipasi bagi pemerintah propinsi, kabupaten dan masyarakat lokal yang tinggal dekat dengan sumberdaya mineral. Undang-undang pertambangan tidak menyebutkan partisipasi dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam negosiasi-negosiasi kesepakatan kontrak antara pemerintah dan pihak investor. Kurang terakomodasinya kepentingan daerah dan masyarakat setempat dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan investasi pertambangan selama 40 tahun berdiri diatas pondasi yang rapuh (Agenda 21, 2001). Sebagai konsekuensi dari situasi tersebut ketika perusahaan pertambangan memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi sering terjadinya konflik antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan. Tidak dilibatkannya pemda dan masyarakat dalam perumusan kontrak karya pertambangan membuat ruang gerak dan pilihan-pilihan masyarakat untuk melakukan inovasi kebijakan menjadi terbatas. Karakter KKP yang demikian itu berlaku seragam bagi kebijakan sumberdaya mineral dengan katagori vital dan strategis selama 42 tahun perjalanan industri pertambangan di Indonesia. Karakter KKP yang demikian itu, terlihat pula pada kontrak karya Proyek Batu Hijau antara pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang ditandatangani 2 Desember 1987. PTNNT sebagai pemegang KKP di satu sisi dan pemerintah daerah dengan sistem perundang-undangan Pemda di sisi lain. Kedua, faktor yang juga turut mendominasi narasi kebijakan nasional industri pertambangan di Indonesia adalah argumentasi yang menekankan pentingnya investasi asing langsung (foreign direct invesment) (Todaro, 2006) yaitu (1) FDI pertambangan bertujuan untuk transfer pengetahuan dan teknologi. Perusahaan-perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang paling canggih mengenai proses produksi sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada negara-negara dunia ketiga (2) FDI sektor pertambangan mendorong pembangunan bagi negara tuan rumah (host country) (3) FDI sektor pertambangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten
132
penghasil (4) FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi dan keterampilan managemen yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, keterampilan dan pendanaan yang baru (5) memberikan kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi lokal seperti peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan PAD. Narasi kebijakan ini mendominasi FDI sektor tambang secara nasional dan juga bagi daerah penghasil. Ketiga, untuk konteks pembangunan daerah wacana yang berkembang tentang pentingnya pertambangan adalah pemerintah daerah akan menerima berbagai bentuk pendapatan dalam bentuk pajak dan non pajak (royalty). Selain itu pertambangan akan menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat, membuka lapangan usaha, memberikan dampak pengganda (multiplier effect) bagi masyarakat dan dibangunnya infrastruktur di daerah. Keempat, beberapa hasil riset membuktikan bahwa isu-isu lokal pertambangan masih terkooptasi dan belum menjadi mainstrem oleh dominannya narasi global tentang tambang yang telah disebutkan pada point sebelumnya. Isu–isu lokal yang belum terangkat kepermukaan adalah hilangnya aksessibilitas masyarakat setempat terhadap sumberdaya alam, tingginya kebocoran regional, rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal. Perspektif jangka panjang tentang pertambangan yang mempunyai umur tertentu dan suatu saat akan habis seolah hilang oleh pola pikir rabun dekat (myopic) pengambil kebijakan dan stakeholder karena terlena oleh keuntungan yang sifatnya sesaat dan jangka pendek. Diskripsi narasi global dan nasional tentang pertambangan hingga saat ini masih berlangsung,
menjadi
mainstrem,
sudah
mendapat
tempat
dan
keyakinan,
menyederhanakan kompleksitas situasi, terpisah dari diskursus sesungguhnya yang berkembang dilapangan. Dalam kasus pertambangan terlihat bahwa perdebatan global ikut bermain dalam konteks kebijakan lokal, sebaliknya aktifitas lokal termarginalisasi dalam narasi global yang dominan (IDS, 2006). Posisi riset ini yang akan dijadikan arusutama (mainstrem) dan debat kebijakan adalah terkait dengan judul penelitian adalah model pembangunan daerah berkelanjutan melalui transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan (Studi kasus tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PTNNT di Sumbawa Barat NTB) dengan mengacu pada tujuan penelitian. Dari hasil wawancara menunjukan bahwa pemangku kepentingan (stakeholder) di Sumbawa Barat yakni pemerintah KSB, DPRD Sumbawa Barat, PTNNT, NGO, lembaga riset, tokoh masyarakat hingga DESDM belum mengarah pada perdebatan (diskursus) dan naratif menghadapi habisnya tambang dan kehidupan pascatambang. Perdebatan tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi dari tambang ke sumberdaya lokal terbarukan
133
belum menjadi arusutama (mainstrem) perdebatan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder), meskipun secara internal institusi sangat mendukung dikembangkannya perdebatan dan wacana perlunya transformasi sumberdaya lokal selain tambang. Misalnya para pejabat Pemda Sumbawa Barat yang diwawancarai sependapat jika perlu kebijakan antisipasi habisnya tambang dan menghadapi pasca tambang dengan mengembangkan sumberdaya lokal (pertanian) yang ada didaerah tersebut. Namun wacana tersebut belum menjadi perdebatan (diskursus) dan narasi kebijakan antar pemangku kepentingan bahkan belum adanya sinergi stakeholder utama pembangunan yakni pemda Sumbawa Barat dan PTNNT. Kebijakan kedua institusi ini masih cenderung berjalan sendiri-sendiri bahkan berlawanan, hal ini terlihat belum adanya strategi bersama menghadapi habisnya tambang dan antisipasi kehidupan pascatambang. Hubungan antar stakeholder dalam diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 55. Tabel 55. Hasil analisis diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi
Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara
Pemkab Sumbawa Barat KMI
DPRD Sumbawa Barat KBT KMI
PT. Newmont Nusa Tenggara KTA
NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
KBT
KBT
KBT
KLT
KTA
KBT
KTA
KBT
KLT
KMI
KBT
KTA
KTA
KBT
KMI
KBT
KBT
KTA
KMI
KBT KMI
KTA KTA
NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM
KMI
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan : KMI = Kebijakan masih bersifat internal institusi KBT = Kebijakan belum tersosialisasikan / sebatas wacana KLT = Kebijakan belum terkait KTA = Kebijakan bersama tidak ada
134
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek diskursus dan narasi adalah:
Kesulitan:
1.
Transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan, alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan belum menjadi diskursus dan naratif pemangku kepentingan (stakeholder) di Sumbawa Barat mengantisipasi habisnya pertambangan
2.
kekhawatiran Sumbawa Barat menjadi kabupaten hantu (ghost regency) pasca tambang belum dianggap sebagai suatu yang membahayakan bagi masa depan Sumbawa Barat oleh pemangku kepentingan (stakeholder) ketika tambang habis. Bahkan stakeholder kunci pembangunan yakni Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara masih berjalan sendiri
Peluang dan Kesempatan Peluang dan kesempatan kearah transformasi struktur ekonomi, alokasi belanja
pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan, baru sebatas wacana secara internal institusi masing-masing stakeholder, khususnya bagi Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara sehingga perlu sebuah forum bersama yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mendiskusikan secara terbuka masa depan Sumbawa Barat pasca tambang Jaringan Kerja Aktor Dalam
investasi
pertambangan
sedikitnya
terdapat
empat
pihak
yang
berkepentingan, yaitu pemerintah republik Indonesia yang mewakili kepentingan negara, pemerintah daerah yang mewakili kepentingan daerah dimana investasi pertambangan berada, investor dan masyarakat setempat (Agenda 21, 2001). Selama 42 tahun lebih UU No. 11/1967 digunakan sebagai sumber pengaturan perizinan investasi pertambangan dalam negeri, sedang Kontrak Karya berisi pengaturan hak dan kewajiban investor dan Pemerintah Indonesia dalam proses investasi dan operasi pertambangan asing. Kedua sumber hukum investasi pertambangan ini dapat dikatakan tidak saling berkaitan, baik secara substansial maupun secara hukum. Ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya dapat dikatakan berdiri sendiri dalam arti tidak bersumber dari UU No. 11/1967. (Agenda 21, 2001). Meskipun kedua sumber hukum pertambangan ini tidak saling berkaitan, tetapi keduanya mempunyai ciri–ciri yang sama. Kesamaan pertama adalah bahwa keduanya sebagian besar berisikan pengaturan prosedur perizinan dalam aspek teknis dan ekonomis. Dengan perkataan lain kedua sumber hukum pertambangan ini tidak mengatur interaksi
135
antara pertambangan dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Kesamaan lain, keduanya lebih berorientasi pada usaha pertambangan dan bukan pada pengelolaan sumberdaya mineral (mineral resources management) (Agenda 21, 2001). Memaknai UU 11/67 dalam konteks jaringan kerja aktor, menempatkan tujuh (stakeholder) berada pada posisi diametral yakni pemerintah pusat dan investor di satu sisi versus pemerintah daerah dan masyarakat di sisi lain sehingga pertimbanganpertimbangan lokal dan kepentingan daerah dalam industri pertambangan di Indonesia kurang diperhatikan. Dengan demikian ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas dengan UU 11/67. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral di Sumbawa Barat atas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara dalam jangka menengah dan panjang adalah pertarungan konflik kepentingan antara eksekutif, legeslatif, perusahaan, ilmuwan, LSM dan pandangan masyarakat setempat. Transformasi mineral ke sumberdaya lain sulit diterima oleh kelompok yang berpandangan rabun dekat (miopic). Dari hasil wawancara menunjukkan jaringan kerja aktor belum bekerja dengan baik bahkan berjalan sendiri-sendiri, saling melemahkan atau berlawanan, terkecuali pada internal masing-masing institusi. Jaringan kerja aktor mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 56. Tabel 56. Jaringan kerja aktor mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara
Pemkab Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa Barat
RI
RL
PT. Newmont Nusa Tenggara BR
RI
NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
TR
TR
TR
RL
RL
RL
RL
RL
RL
RI
RL
KL
RL
RI
RI
RL
RL
BR
RI
RL
RL
RI
RL
NGO
RI
Sumber : hasil analisis, 2009
136
Keterangan : RI = Relasi internal institusi, RL = Relasi lemah, BR = Berlawanan, TR = Tidak ada relasi Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek jaringan kerja aktor adalah:
Kesulitan: Jaringan kerja aktor pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan belum
terbentuk
Peluang dan Kesempatan: Interaksi masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) sebenarnya relatif
intensif namun relasi aktor kearah kerjasama masih belum terarah dalam melihat masa depan Sumbawa Barat pasca tambang Politik dan Kepentingan Apa yang harus dilakukan untuk menghindari penyakit Belanda (ducth deases), kabupaten hantu (ghost regency) atau bencana pertambangan untuk mendesain pembangunan berkelanjutan bagi kabupaten Sumbawa Barat? dengan kata lain, apa yang salah dan bagaimana mengoreksinya. Sehingga diperlukan kebijakan transformasi pertambangan ke sektor-sektor selain tambang dengan basis sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) didaerah setempat untuk pembangunan berkelanjutan di Sumbawa Barat NTB. Politik/kepentingan yang dikembangkan adalah : a.
Memberikan
kesadaran
pada
pemerintah
daerah
dan
masyarakat
bahwa
pertambangan adalah sumberdaya yang tidak terbarukan (unrenewable resources), suatu saat pasti akan habis. Perolehan hasil dari tambang yang dinikmati oleh pemerintah daerah saat ini baik dalam bentuk royalty, pajak dan PAD hanya bersifat sementara dan jangka pendek. Untuk itu pemda dan masyarakat tidak perlu terlena dengan pertambangan karena sangat riskan jika menggantungkan masa depan pada pertambangan b.
Bagaimana mempengaruhi pemangku kepentingan (stakeholder) di kabupaten Sumbawa barat agar bersedia merumuskan kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya lokal terbarukan Untuk merumuskan politik kepentingan dalam transformasi sumberdaya mineral
maka harus dirumuskan terlebih dahulu siapa yang paling berkepentingan terhadap
137
transformasi tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan: 1) Masyarakat berkepentingan untuk hidup sejahtera dan layak pasca tambang 2) Pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan pembangunan wilayah dan menyediaan sumber-sumber ekonomi potensial bagi rakyatnya 3) PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai perusahaan multinasional berkepentingan meninggalkan nama baik di daerah tempat operasi. Meminimalisir stigma sebagai perusahaan yang penguras sumberdaya alam dan merusak lingkungan. Memandu proses tersebut, pemahaman pada politik, birokrasi dan kekuasaan dan kepentingan yang melatarbelakangi kebijakan. Menurut hasil wawancara, secara faktual dilapangan menunjukkan bahwa politik kepentingan masing-masing stakeholder masih berjalan sendiri-sendiri bahkan untuk stakeholder tertentu justru berlawanan dengan stakeholder lainnya dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) di Sumbawa Barat. Ringkasnya masing-masing stakeholder belum mempunyai kesamaan visi dan persepsi tentang masa depan Sumbawa Barat pascatambang. Hal ini dipridiksikan muncul akibat UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga terjadi bias kepentingan pada tataran implementasinya.
Politik
dan
kepentingan
masing-masing
stakeholder
dalam
mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 57. Tabel 57. Politik dan kepentingan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)
Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT.Newmont Nusa Tenggara NGO Lembaga Risett Tokoh Masyarakat DESDM
Pemkab Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa Barat
KK
KL KK
PT. Newmont Nusa Tenggara KB
NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
KL
KL
KL
KB
KL
KL
KL
KL
KL
KK
KL
KL
KL
KL
KK
KK KK
KK KK KK
KK KK KL KK
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan : KK = Kepentingan kuat, KL = Kepentingan lemah KB = Kepentingan berlawanan, TB = Tidak berkepentingan
138
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek politik dan kepentingan adalah:
Kesulitan: Kepentingan masing-masing aktor berbeda dalam melihat masa depan Sumbawa
Barat. Transformasi struktur ekonomi belum menjadi kepentingan bersama
Peluang dan Kesempatan: Forum-forum bersama, media masa dll perlu dimanfaatkan untuk mendiskusikan
transformasi struktur dan kesiapan kelembagaan pasca tambang Ruang Kebijakan Selanjutnya bagaimana agenda sumberdaya mineral yang tidak terbarukan di Sumbawa Barat dengan umur tambang yang tinggal 18 tahun lagi (2009-2027) dapat melahirkan debat kebijakan transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya terbarukan selain tambang dari suara-suara yang tersembunyi?. Bagaimana membuat ruang untuk ilmu pengetahuan, penggunaan media untuk mengekspresikan dan mempublikasikan keberatan-keberatan yang ada. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sektor lain belum menjadi mainstrem dalam kebijakan Pemda Sumbawa Barat dalam perumusan kebijakan APBD tahunan, Visi Misi Bupati, RPJMD dan RPJMP. Demikian juga perumusan program CSR PT. Newmont Nusa Tenggara masih perlu diarahlan untuk pembangunan berkelanjutan pasca tambang Konflik kebijakan tidak diselesaikan dengan pilihan teknis dan rasional saja antara beragam alternatif. Pembuatan kebijakan tetap pada realisme politik dan masyarakat, dan dari pengetahuan dan kekuasaan. Kebijakan di bangun atas keberhasilan peran serta aktoraktornya; ilmuan, donor, politisi, staf LSM, petani dan lainnya. Ruang kebijakan untuk memilih penyelesain yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal nampak tertutup oleh narasi dominan yang memarginalisasikan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya pengganti berbasis lokal terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan bagi daerah penghasil dengan kata kunci: bagaimana mempengaruhi aktor agar mau menjalankan kebijakan transformasi sumberdaya mineral atas tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara.
139
5.5.
Ringkasan Keterkaitan Model dan Aplikasi Hasil Penelitian
5.5.1. Temuan Penelitian
Hasil temuan penelitian menunjukkan keterkaitan tiga model analisis kuantitatif, satu variabel kendali dan aplikasi model. Tiga model kuantitatif adalah model Leontif Input-Output, model keunggulan komparatif wilayah (location quotient) dan model spasial hubungan fungsional pola penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan. Sedangkan variabel kendali adalah analisis isi peraturan perundangan yakni UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batuara (Minerba) serta peluang perubahan kebijakan untuk aplikasi model (lampiran 13). Temuan model Leontif input-output menghasilkan arah transformasi struktur pengembangan ekonomi lokal di Sumbawa Barat untuk aspek 1) keterkaitan (lingkage) antar sektor yakni keterkaitan langsung kebelakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, keterkaitan langsung kedepan serta keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan 2) dampak pengganda (multiplier effect) tiap sektor yakni pengganda pendapatan rumah tangga, pengganda pendapatan surplus usaha, pengganda pendapatan pajak, pengganda nilai tambah total dan pengganda tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rantai bisnis dan industri berbasis pertanian yang di dukung oleh air bersih dan pasokan energi listrik yang memadai adalah paling strategis untuk dijadikan arah pembangunan untuk percepatan proses transformasi struktur ekonomi menuju keberlanjutan dan kemandirian pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat. Basisbasis pertanian utama yang perlu dikembangkan adalah peternakan, perikanan, perkebunan serta tanaman pangan dan hortikultura. Termasuk bagian yang tak terpisahkan dari basis pertanian yang diperlu dikembangkan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, terutama untuk mendukung pengembangan sistem pasokan sumberdaya air dan energi listrik yang kompetitif. Pengembangan rantai bisnis dan industri berbasis pertanian tersebut dipridiksikan akan mampu mendorong 1) perkembangan rantai aktifitas ekonomi secara keseluruhan 2) laju pertumbuhan ekonomi 3) peningkatan kapasitas fiskal pemerintah 4) peningkatan daya tarik bisnis bagi dunia usaha 5) peningkatan serapan tenaga kerja dan 6) peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat.
140
Hasil temuan untuk keunggulan komparatif wilayah (model location quotient) di Sumbawa Barat memperkuat temuan model Leontif Input-Output. Hasil analisis location quotient menunjukkan bahwa Kabupaten tersebut merupakan tempat pemusatan beberapa komoditi pertanian dari aspek produksi seperti penangkapan ikan didanau, budidaya ikan tambak, penangkapan ikan waduk/dam, peternakan, kedelai, jagung dan padi. Pengembangan sektor pertanian dari aspek produksi layak dilakukan di Sumbawa Barat karena Kabupaten tersebut juga merupakan tempat pemusatan potensi lahan pertanian yang belum dimanfaatkan secara optimal baik untuk luas tanaman pertanian lainnya, lahan kritis, maupun potensi lahan untuk tanaman kedelai dan padi. Alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk pengembangan basis-basis pertanian utama tersebut sesuai dengan sebaran sumberdayanya diketahui mampu meningkatkan 1) laju pertumbuhan ekonomi 2) kapasitas fiskal pemerintah 3) kesejahteraan masyarakat dan 4) partisipasi ekonomi masyarakat. Walaupun demikian, intensitas pengaruh tersebut masih pada level belum elastis dengan indikasi bahwa transformasi struktur ekonomi dapat dipercepat melalui alokasi anggaran dan kerjasama penganggaran antar daerah untuk basis-basis pertanian utama tersebut, dimana level alokasi saat ini masih terlalu rendah dari level yang dibutuhkan. Secara lebih rinci penjelasan tiap dimensi adalah sebagai berikut: a.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dengan karaktersitik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
b.
Pola penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang kehutanan dan perkebunan untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
c.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap luas wilayah di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi laju pertumbuhan ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan.
141
d.
Pola penganggaran bidang pertanian terhadap jumlah penduduk di Sumbawa Barat adalah positif, nyata, tidak elastis meningkatkan dimensi laju pertumbuhan ekonomi dengan karakteristik penganggaran untuk Sumbawa Barat adalah rendah sehingga penganggaran untuk bidang pertanian untuk dimensi ini perlu ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sektor pertambangan sudah
menjadi wacana dalam UU No. 4/2009 tentang mineral dan batubara. Sedangkan arah transformasi struktur ekonomi untuk keterkaitan (lingkage) antar sektor secara umum diatur dalam pasal 3 dan pasal 8 UU tersebut. Untuk dampak pengganda (multiplier effect) pendapatan rumah tangga secara umum diatur dalam pasal 3, dampak pengganda surplus usaha secara umum diatur dalam pasal 8 ayat 1, pasal 107, pasal 124 ayat 1, pasal 125 ayat 3. Untuk dampak pengganda pendapatan pajak, dampak pengganda nilai tambah total dan dampak pengganda nilai tambah total secara umum diatur dalam pasal 106 UU No. 4/2009. Untuk penggunaan sumberdaya lokal setempat secara umum diatur dalam pasal 8 ayat 1 point h berbunyi: pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal. Sedangkan arah transformasi penganggaran yang merupakan hubungan fungsional penganggaran untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang merupakan bagi hasil SDA diatur dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Apabila dilihat dari perspektif penganggaran untuk melakukan transformasi ke sumberdaya lokal bagi Kab/Kota penghasil sumberdaya mineral, komposisi pembagian royalty yang hanya 32 % perlu dikaji ulang karena kurang memadai. Sebagaimana diketahui komposisi bagi hasil sumberdaya pertambangan (royalty) dalam UU 33/2004 saat ini adalah 20 % pemerintah pusat, 16 % pemerintah propinsi, 32 % pemerintah Kab/Kota penghasil dan 32 % Kab/Kota lainnya. Disisi lain, dalam konteks transformasi sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal, UU 33/2004 tidak secara rinci mengatur perbandingan besarnya persentase belanja publik/pembangunan (belanja lansung) dan belanja rutin (belanja tidak langsung) bagi pemerintah Propinsi maupun Kab/Kota untuk pengembangan sektor terbarukan dan sektor strategis non tambang lainnya seperti infrastruktur, energi dan lainlain. Peluang perubahan kebijakan untuk mengaplikasikan model yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai upaya mengarusutamakan transformasi struktur ekonomi
142
berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan, mengutamakan keunggulan komparatif wilayah, memprioritaskan arah penganggaran pada sektor-sektor terbarukan (pertanian dalam arti luas) sebagai pengganti tambang, peluangnya masih Kecil di Sumbawa Barat dari perspektif narasi, kepentingan dan jaringan kerja aktor antara pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan demikian proses transformasi struktur ekonomi belum mendapat dukungan dari sisi realitas perilaku stakeholder yang diindikasikan dengan belum berkembangnya kesadaran, komunikasi dan jaringan kerjasama. Yang tercakup kedalam para stakeholder tersebut adalah Departemen Energi Sumberdaya Mineral, Komisi VII DPR RI, Pemda Sumbawa Barat, DPRD Sumbawa Barat, PT. Newmont Nusa Tenggara, kalangan pendidikan dan akademisi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
5.5.2. Aplikasi Hasil Penelitian
Kegiatan yang dilakukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian ini kepada penggunan (user) dengan langkah-langkah dan kegiatan sebagai berikut: 1.
Kegiatan sosialisasi. Rencana kegiatan sosialisasi hasil penelitian adalah a. Pendekatan persuasif b. Publikasi ilmiah c. dialog dengan aktor kunci d. Seminar e. Diseminasi f. Focus Group Discusi (FGD) g. Lokakarya h. Sarasehan i. Workshop j. Wawancara
2.
Sasaran sosialisasi. a. Pemkab KSB b. DPRD KSB c. Bappeda NTB d. DESDM
143
e. PTNNT f. NGO g. Dunia Pendidikan h. Masyarakat i. Jurnal Ilmiah j. Media massa 3.
Kegunaan. a. Bagi pemda Sumbawa Barat: Memperbaikin arah dan strategi pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan b. Bagi pemerintah pusat: Memperbaiki arah dan strategi kebijakan nasional pertambangan c. Bagi PTNNT: Membuat perencanaan pasca tambang (dokumn tutup tambang)
4.
Aplikasi dalam Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Sumbawa Barat. a. Model transfomasi menjadi bahan rekomendasi untuk revisi RPJMD 20112025 b. Model transfomasi menjadi bahan rekomendasi dalam RPJMD 2011-2025 c. Mulai 2011-2015. APBD KSB diharapkan dapat diarahkan, difokuskan dan ditingkatkan pada penganggaran bidang bidang Pertanian dalam arti luas d. Mulai 2011-2015. APBD KSB diharapkan dapat diarahkan, difokuskan dan ditingkatkan pada penganggaran bidang bidang Pertanian dalam arti luas
5.
Peluang Aplikasi Model a.
Skenario optimis Pemkab Sumbawa Barat, DPRD dan PTNNT mengetahui bahwa: 1. Tambang sangat dominan terhadap struktur perekonomian Sumbawa Barat 2. Tambang adalah sumberdaya tidak terbarukan 3. Masa penggalian tambang akan berakhir 2016 dan tutup tambang 2027 4. Jika tambang habis ekonomi tambang sulit tergantikan oleh sektor lainnya serta munculnya berbagai masalah seperti pengangguran, royalty hilang dan dampak lainnya
144
b.
Skenario normal Operasi tambang berjalan apa adanya seperti saat ini sesuai mekanisme pasar tanpa perubahan arah kebijakan pembangunan dan penganggaran di Sumbawa Barat hingga tutup tambang tahun 2027
c.
Skenario pesimis Pemkab Sumbawa Barat, DPRD dan PTNNT tidak mengetahui bahwa: 1. Tambang sangat dominan terhadap struktur perekonomian Sumbawa Barat 2. Tambang adalah sumberdaya tidak terbarukan 3. Masa penggalian tambang akan berakhir 2016 dan tutup tambang 2027 4. Jika tambang habis ekonomi tambang sulit tergantikan oleh sektor lainnya serta munculnya berbagai masalah seperti pengangguran, royalty hilang dan dampak lainnya
6.
Rekomendasi
Perlu Peraturan Pemerintah tentang nilai tambah, mengutamakan tenaga kerja setempat, penggunaan barang dan jasa lokal hingga ketingkat Peraturan daerah (Perda)
Revisi RPJMD (2011-2015) dan RPJMP (2005-2025) Sumbawa Barat
Revisi pola dan fokus penganggaran APBD Sumbawa Barat mulai 2011-2015
145
Judul
Model Pembang unan Daerah Berkelan jutan Melalui Transfor masi Struktur Ekonomi Berbasis Pertamba ngan ke Sumberd aya Lokal Terbaruk an
Tujuan Umum
Tujuan Khusus Menganalisis transformasi stuktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan
Transforma si Struktur Ekonomi Berbasis Pertambang an ke Sumberday a Lokal Terbarukan
Menganalisis keterkaitan pola penganggaran (APBD) dan kinerja pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja pembangunan antar daerah
Indentifikasi permasalahn Investasi pertambangan dan perubahan kebijakan serta peluang perubahannya ditingkat pusat hingga daerah penelitian
Output Analisis
Arah transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya lokal terbarukan dan sektor non tambang lainnya Keunggulan komparatif wilayah meliputi produksi
Hubungan fungsional antara kinerja pembangunan dan Pola Pengalokasian Anggaran Antar Wilayah Ada atau tidak adanya peraturan perundangan yang mendukung transformasi struktur ekonomi mencakup keterkaitan antar sektor, dampak pengganda, penerimaan daerah, alokasi penganggaran dan peluang kearah perubahan kebijakan stakeholder didaerah
Metode Analisis
1. Membangun Tabel InputOutput Sumbawa Barat dengan sektor yang sama jumlah dan detilnya dengan Tabel InputOutput NTB 2. Keunggulan Komparatif Wilayah dengan analisis Location Quation (LQ)
Tiga analisis indikator: a. Multiple Regresion (untuk melihat pada daerah yang dianalisis/daerah tertentu) b. Spatial Autoregresion (Untuk melihat pengaruh variabel tujuan terhadap variabel keadaan. F(x) = Y, F(y) = X c. Spatial Durbin Model ( Untuk melihat pengaruh daerah lain/daerah yang bertetangga)
Analisis Isi dan IDS
Jenis Data
Data Sekunder : 1. Tabel InputOutput Interregional NTB 35 Sektor 2. Tabel InputOutput Sumbawa Barat 34 sektor 2007 3. Podes 2003 (produksi pertanian dan luas lahan)
Sumber Data
BPS Pusat dan BPS Sumbawa Barat
Logaritma Natural: 1. Indeks komposit kinerja pembangunan 2. Indeks komposit pola pengalokasian anggaran, 3. Data aliran barang antar kabupaten/kota
Hasil analisis: 1. Indeks komposit kinerja pembangunan dan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah 2. Indeks Komposit Pola Pengalokasian Anggaran dan peta konfigurasi spasial pola pengalokasian Anggaran
Data Sekunder: Peraturan Perundangan: 1. UU No. 11/1967 2. UU No. 4/2009 3. Perda KSB Data Primer: Kuisioner
DESDM, Pemda Sumbawa Barat
Gambar. Model Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan
146