V HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil didapatkan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Data yang telah didapatkan kemudian diolah secara tabulasi menggunakan Microsoft Excel. Data yang diterima dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan rumus-rumus sederhana dalam Microsoft Excel. Pada tahun 2006 telah didistribusikan betina produktif sapi Brahman Cross sebanyak 1.836 ekor pada 9 propinsi, 25 kabupaten, 32 kelompok peternak yang menjadi cikal bakal VBC (Village Breeding Centre) (Achjadi (a), 2009). Pada tahun 2007, jumlah sapi yang didistribusikan bertambah menjadi 4000 ekor pada 15 propinsi, 41 kabupaten, dan 85 kelompok peternak. Pada tahun 2008 pemerintah mendistribusikan 1.946 ekor pada 8 propinsi yang meliputi 19 kabupaten. Pada bagian ini akan dibahas perkembangan ternak sapi Brahman Cross sesuai dengan pembagian regional oleh penulis, yaitu regional Sumatera (Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung), regional Jawa (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur), dan regional Kawasan Timur Indonesia (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo) Keterangan untuk semua tabel hasil: 1. Prop : Propinsi 2. Kab : Kabupaten 3. JIA : Jumlah Induk Awal 4. KA : Kelahiran Anak (J: Jantan, B: Betina) 5. Tot : Total Data 6. TR : Total Data yg diolah dengan Microsoft Excel 7. KT : Kematian Ternak (I: Induk, A: Anak) 8. PT : Penjualan Ternak (I: Induk, A: Anak) 9. BK : Beranak Kembali 10. JA : Jumlah Akhir 11. JR : Jumlah Akhir yg diolah dengan Microsoft Excel 12. SD : Selisih data asli dengan data diolah 13. % : Persentase 14. Yang diarsir abu-abu adalah yang data yang didapatkan tidak sesuai dengan penghitungan menggunakan Microsoft Excel.
31
Spesifikasi Teknis Bibit Sapi Bibit sapi Brahman Cross yang dibagikan kepada masyarakat diharapkan memenuhi standar Commercial Stock (CS) / bibit sebar. Adapun untuk sapi Brahman Cross belum ada SNI yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Petunjuk teknis pemilihan bibit sapi Brahman Cross sudah dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Republik Indonesia (Ditjennakkeswan, 2011) Standar Nasional Indonesia yang sudah diterbitkan adalah untuk Sapi Bali, (SNI 7355, 2008). Dalam standar pemilihan bibit sapi Brahman Cross, digunakan persyaratan kualitatif dan kuantitatif. Persyaratan kualitatif untuk sapi Brahman Cross ialah sebagai berikut. Bibit sapi Brahman betina memiliki warna putih pada leher dan bahu keabu-abuan, berpunuk, telinga lebar dan tergantung, kepala relatif ramping dan besar, bergelambir dari rahang sampai ke bagian ujung tulang dada bagian depan, kaki panjang dan besar, pantat bulat, dan tidak bertanduk. Bibit sapi Brahman Jantan tidak akan dibahas, akan tetapi dapat dilihat dalam lampiran. Sapi Brahman Cross yang dibagikan merupakan betina bunting yang di-inseminasi buatan sehingga data untuk pejantan yang digunakan semennya tidak ikut dilaporkan dalam evaluasi. Adapun bibit sapi Brahman Cross betina secara kuantitatif dilihat dari berat badan dan tinggi gumba minimum. Berat badan minimum yang harus dicapai sebelum sapi betina tersebut dikawinkan adalah seberat 350 kilo. Tinggi gumba minimum yang harus dicapai adalah 125 cm. Evaluasi dan data awal pembagian tidak menyatakan bahwa sapi yang dibagikan kepada peternak sesuai dengan petunjuk teknis bibit atau tidak. Asumsi umum yang bisa diambil dari tidak adanya pelaporan ialah standar yang diminta sudah tercapai sehingga sapi Brahman Cross ex-impor yang ada dapat dibuntingkan. Pembahasan mengenai perkembangan regional pembagian sapi Brahman Cross yang bunting dapat dilihat di halaman selanjutnya.
32
4.1.
Perkembangan Ternak Brahman Cross Regional Sumatera Regional Sumatera mendapatkan distribusi sapi Brahman Cross bunting
sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Pada tahun 2006, dibagikan ternak sapi betina bunting sebanyak 432 ekor kepada masyarakat di pulau Sumatera, tahun 2007 sebanyak 1.564 ekor, dan pada tahun 2008 sebanyak 632 ekor. Pulau Sumatera secara total mendapatkan 2.628 ekor. Pada tahun 2006 sapi Brahman Cross dibagikan kepada 6 kabupaten di 4 propinsi, yaitu Kabupaten Pesisir Selatan di Sumatera Barat, Kuantan Singingi di Riau, Musi Banyuasin dan BPTU Sembawa di Sumatera Selatan, serta Kabupaten Lampung Selatan dan Tulang Bawang di propinsi Lampung. Hasil pelaporan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2006 (Data 2008) Regional Sumatera PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2006 (Data 2008) Regional Sumatera KA KT PT No Prop JIA Tot TR BK JA JR SD J B I A I A 1 2
Sumbar Riau
96 48
26 23
44 22
70 45
70 45
11 2
7 5
0 0
0 0
0 9
155 91
148 86
7 5
3
SumSel
192
59
73
132
132
6
35
2
26
30
290
255
35
4
Lampung
96
50
34
84
84
6
11
0
0
6
174
163
11
Jumlah 432 Sumber: Diolah, 2012
158
173
331
331
25
58
2
26
45
710
652
58
Data
diatas
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2006 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari Dinas Peternakan pada tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 76,6%. Pedet yang dilahirkan 47,7% berjenis kelamin jantan dan 52,3% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 20062008 sebesar 5,8%. Tingkat kematian anak sekitar 17,5%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 10,4%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 58 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Kebuntingan merupakan penentu keputusan apakah sapi betina diberikan ke peternak ataupun tidak. Banyak laporan yang tidak menyebutkan sumber yang menyatakan asal sapi betina bunting yang dikirimkan ke berbagai daerah di 33
Indonesia. Faktor pengiriman yang tidak baik dan benar dapat juga menggugurkan kebuntingan sapi betina yang dikirim. Kelahiran pedet
yang sudah dinanti
peternak merupakan suatu
keberhasilan pemeliharaan oleh peternak terhadap sapi betina bunting. Pengetahuan tentang sapi mutlak diperlukan ketika seseorang ingin beternak. Penanganan pedet baru lahir sangat menentukan daya hidup pedet tersebut. Tingkat kelahiran di pulau Sumatera pada pembagian sapi indukan periode 2006 lebih rendah daripada pulau Jawa. Ada kemungkinan hal tersebut terjadi karena transportasi indukan yang jauh dari pulau Jawa. Secara genetis, peluang anakan jantan dan betina berbanding 1:1 (Arthur et al., 1989). Perbandingan pedet jantan dan betina yang lahir di pulau Sumatera hampir menyamai perbandingan tersebut. Pada tahun 2009, dilakukan monitoring dan evaluasi lanjutan untuk pembagian sapi periode tahun 2006 di pulau Sumatera. Data yang didapat menunjukkan adanya penambahan pedet di Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sumatera Barat mengindikasikan kesalahan pelaporan yang cukup besar. Kelahiran ternak yang mencapai 70 ekor pada evaluasi tahun 2008 menjadi hanya 40 ekor pada evaluasi tahun 2009. Bisa jadi evaluator tidak memeriksa catatan 2008 atau evaluator yang turun ke lapangan berbeda sehingga data yang didapatkan berubah. Tingkat kematian ternak di pulau Sumatera pembagian 2006 bertambah kecuali kematian induk di Riau dan kematian pedet di Sumatera Selatan dan Lampung. Kematian induk di daerah selain Riau mencapai 21 ekor dan kematian pedet mencapai 20 ekor. Evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 belum berhasil menekan tingkat kematian ternak di Pulau Sumatera. Perkembangan sapi di pulau Sumatera pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah. Kabupaten yang mendapatkan bantuan sapi adalah Simalungun (Sumatera Utara); Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru (Riau); Limapuluh Kota (Sumatera Barat); Batang Hari dan Kerinci (Jambi); Musi Banyuasin, OKI, Musi Rawas, OKU Timur, dan OKU (Sumatera Selatan); Muko-muko dan Rejang Lebong (Bengkulu); Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Tengah
34
(Lampung). Total pembagian sapi di pulau Sumatera periode 2007 adalah 1.564 ekor. Tabel 4. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2007 (Data 2008) Regional Sumatera PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2007 (Data 2008) Regional Sumatera KA KT No Propinsi JIA Tot TR BK JA JR SD J B I A 1 2 3 4
Sumut Riau Sumbar Jambi
98 148 300 147
26 45 53 42
34 67 51 56
60 112 104 98
60 112 104 98
1 1 6 4
17 27 5 13
10 13 0 20
157 259 398 241
140 232 393 228
17 27 5 13
5 6 7
SumSel Bengkulu Lampung
370 200 301
90 65 89
84 70 92
174 135 181
174 135 181
10 7 5
6 8 27
0 0 0
534 328 477
528 320 450
6 8 27
Jumlah 1564 Sumber: Diolah, 2012
410
454
864
864
34
103
43
2394
2291
103
Data
diatas
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2007 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 55,2%. Pedet yang dilahirkan 47,5% berjenis kelamin jantan dan 52,5% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 20072008 sebesar 2,2%. Tingkat kematian anak sekitar 11,9%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 2,7%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 103 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Persentase kelahiran di pulau Sumatera pada periode pembagian tahun 2007 merupakan tingkat kelahiran terendah diantara ketiga regional (Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia) akan tetapi tingkat kematian induk paling rendah diantara ketiga regional tersebut. Setelah melahirkan, diharapkan sapi-sapi indukan yang dibagikan bunting kembali. Sapi-sapi induk di pulau Sumatera memiliki persentase kebuntingan kembali yang sangat kecil dibandingkan pulaupulau lainnya. Tingkat kebuntingan kembali yang sangat rendah dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya malnutrisi, kemajiran, anestrus postpartum, silent heat, dan kegagalan inseminasi buatan (IB).
35
Malnutrisi pada sapi Brahman Cross yang dibagikan kepada masyarakat dapat disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat (peternak dan kelompok ternak) tentang angka kecukupan gizi sapi Brahman Cross. Sebagai sapi hasil persilangan antara Bos taurus dan Bos indicus, sapi Brahman Cross membutuhkan asupan mineral yang cukup tinggi dan tingkat pakan yang lebih baik daripada sapi-sapi lokal Indonesia. Kemajiran yang dialami sapi Brahman Cross post partus bisa disebabkan karena adanya infeksi bakteri yang terjadi didalam uterus. Proses kelahiran yang tidak normal, misalkan terjadinya retensio secundinae dapat menyebabkan infeksi yang menjalar kedalam uterus. Penanganan kemajiran pada sapi potong merupakan hal yang bisa dilakukan, akan tetapi membawa dampak negatif yang cukup besar. Ada peluang terjadinya infeksi berulang atau hilangnya kemampuan untuk bunting lagi. Adapun waktu yang diperlukan cukup lama, sehingga dalam program perbibitan, sapi-sapi yang mengalami kemajiran hendaknya di-culling atau tidak dimasukkan dalam program breeding lagi. Anestrus postpartum dapat disebabkan oleh malnutrisi (kekurangan pakan, baik secara umum atau nutrisi tertentu), abnormalitas ovarium (cystic ovary), dan faktor uterus (peradangan, dan pyometra) Silent heat dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian atau observasi yang tidak sesuai standar (2 kali sehari), stress panas (thermal stress), malnutrisi, dan lingkungan (McDonald’s, 1980). Kasus yang terjadi pada para peternak di lapangan adalah malnutrisi dan berahi yang tidak teramati. Kesibukan dan kurangnya pengetahuan peternak merupakan unsur utama terjadinya kasus ini. Nutrisi yang kurang merupakan alasan kedua terjadinya kasus silent heat. Pengetahuan peternak yang kurang tentang pemeliharaan secara umum, dan khususnya tentang pakan membuat sapi yang dibagikan mengalami malnutrisi. Jainudeen dan Hafez (1974) menyatakan bahwa tingkat energi memiliki efek yang cukup besar pada aktifitas ovarium. Kekurangan nutrisi menekan timbulnya estrus, dan efeknya lebih besar pada sapi dara yang sedang berkembang daripada sapi induk.
36
Defisiensi mineral atau vitamin dapat juga menyebabkan anestrus. Defisiensi phospor pada sapi gembala menyebabkan disfungsi ovari yang akhirnya dapat menyebabkan pubertas yang tehambat, tanda-tanda estrus yang tidak jelas, bahkan gangguan siklus estrus yang permanen. Defisiensi vitamin A atau E bisa menyebabkan siklus estrus yang tidak teratur atau anestrus. Repeat breeding dapat disebabkan oleh kegagalan fertilisasi dan mortalitas embrio tahap awal. Kegagalan reproduksi dapat ditentukan dari jarak antara inseminasi dan estrus berikutnya. Selang waktu antara inseminasi dan estrus yang sama dengan siklus estrus menunjukkan adanya kegagalan fertilisasi atau kematian
embrio
yang
sangat
dini.
Jarak
yang
diperpanjang
dapat
mengindikasikan adanya kematian embrio tahap akhir. Kegagalan reproduksi dapat juga didasari oleh kegagalan inseminasi buatan (transportasi atau kualitas sperma yang kurang baik, teknik dan waktu inseminasi, dan deteksi estrus yang kurang baik), ovum yang abnormal, atau abnormalitas saluran kelamin betina. Sapi brahman Cross yang dibagikan kepada para peternak merupakan sapi silangan yang secara genetik sudah tercampur dengan banyak ras. Keragaman genetik yang ada pada sapi Brahman Cross dapat pula menyebabkan adanya perubahan secara anatomis pada saluran reproduksi betina. Sebanyak 632 ekor sapi dibagikan di pulau Sumatera dari total jumlah sapi yang dibagikan pada tahun 2008 sebanyak 1.946 ekor. Sebagian besar daerah belum melaporkan kelahiran dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan karena evaluasi dan monitoring dilaksanakan pada awal tahun 2009. Perkembangan sapi di pulau Sumatera dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah. Tabel 5. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2008 (Data 2009) Regional Sumatera PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2008 (Data 2009) Regional Sumatera Kelahiran Anak Kematian Ternak Jumlah Induk No Propinsi Awal Anak % Induk % Anak % 1 Sumsel 2 Bengkulu 3 Lampung Jumlah/Ratarata Sumber: Diolah, 2012
102 80 450
9 3 199
8,8 3,8 44,2
1 0 7
1,0 0,0 1,6
0 0 35
0,0 0,0 17,6
632
211
33,4
8
1,3
35
16,6
37
Data
diatas
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2008 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada awal tahun 2009. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 33,4%. Pedet yang dilahirkan tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2007-2009 sebesar 1,3%. Tingkat kematian anak sekitar 16,6%. Pelbagai permasalahan yang ada di lapangan merupakan hal yang harus kita cari solusinya demi perbaikan program PSDSK 2014. Adapun permasalahan yang ditemukan adalah yang berkaitan dengan ternak secara langsung, seperti anestrus postpartum, silent heat, repeat breeding, tingkat kecacingan tinggi, malnutrisi, dan kemajiran. Tingkat kecacingan yang tinggi dapat disebabkan oleh tidak adanya penanggulangan kecacingan sebelum sapi dibagikan kepada masyarakat. pada pelaksanaannya, peternak dan kelompok ternak boleh jadi tidak mengetahui adanya kecacingan yang diderita oleh sapi peliharaannya. Wilayah dan teknik pencarian pakan yang tidak baik juga dapat mengakibatkan atau meningkatkan kondisi kecacingan pada ternak sapi. Permasalahan yang disebabkan oleh pemerintah, seperti kurangnya air tawar di daerah tertentu, tidak tersedianya semen Brahman, kesulitan mendapatkan straw, sapi kekurangan pakan, kurangnya pemahaman peternak terhadap reproduksi dan pemeliharaan, kandang tidak sesuai standar (rapat, pengap, kurang ventilasi, kotor, sempit, dan tidak ada umbaran), dan IB massal tanpa pemeriksaan estrus terlebih dahulu. Dalam perkembangannya, evaluasi dilaksanakan kembali pada tahun 2009. Data yang didapatkan menunjukkan adanya kelahiran ternak yang bertambah sejumlah 230 ekor. Ada kesalahan pelaporan yang menyatakan kelahiran hanya 102 ekor di Riau dan 104 ekor di Bengkulu. Hal ini berarti ada penurunan angka kelahiran sebanyak 41 ekor di kedua daerah tersebut. Penambahan kematian ternak induk sebanyak 80 ekor dan kematian pedet sebanyak 73 ekor terjadi di Sumatera. Ada perbaikan manajemen di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Tingkat kematian pedet tidak bertambah, yang berarti perbaikan dalam pemeliharaan pedet.
38
4.2.
Perkembangan Ternak Brahman Cross Regional Jawa Pulau Jawa merupakan regional kedua penerima bantuan ternak sapi
Brahman Cross bunting periode 2006-2008 untuk tujuan pemuliabiakan. Pada tahun 2006, sapi Brahman Cross sejumlah 1.404 ekor tersebar di 5 propinsi, yaitu Banten (Lebak), Jawa Barat (Ciamis, Sukabumi, Banjar, Bogor, Cianjur, dan Kuningan), Jawa Tengah (Grobogan, Banyumas, Banjarnegara, Tegal, Magelang, Kudus, dan Pati), DIY (Bantul dan Sleman), dan Jawa Timur (Jember, Probolinggo, dan Lumajang). Perkembangan sapi di pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah. Tabel 6. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2006 (Data 2008) Regional Jawa PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2006 (Data 2008) Regional Jawa No
Prop
JIA
1 2
Banten Jabar
3 4 5
Jateng DIY Jatim
KA
Tot
TR
J
B
96 384
41 110
29 159
70 269
588 144 192
260 64 75
222 67 84
Jumlah 1404 550 Sumber: Diolah, 2012
561
Data
diatas
KT
PT
BK
JA
JR
SD
0 15
0 62
165 581
142 490
23 91
4 0 0
60 6 0
61 48 5
950 266 335
877 259 318
73 7 17
9
81
176
2297
2086
211
I
A
I
A
70 269
1 67
23 76
0 5
482 131 159
482 131 159
56 3 16
73 7 17
1111
1111
143
196
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2006 di pulau Jawa. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 79,1%. Pedet yang dilahirkan 49,5% berjenis kelamin jantan dan 50,5% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2006-2008 sebesar 10,2%. Tingkat kematian anak sekitar 17,6%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 15,8%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 211 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Tingkat kematian anak di pulau Sumatera dan Jawa hanya berbeda 0,1%. Kematian anak yang cukup tinggi dapat disebabkan oleh diare, diare berdarah (enteritis haemorrhagica), dan masalah pernafasan (Achjadi (b), 2009). Kematian pedet yang cukup tinggi menyebabkan kerugian secara langsung kepada peternak
39
dan secara tidak langsung kepada perlambatan pertambahan populasi sapi potong dalam negeri. Kelahiran ternak pada evaluasi tahun 2009 bertambah cukup banyak, sejumlah 109 ekor. Akan tetapi ada pengurangan kelahiran ternak sebanyak 22 ekor terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kekurangan tersebut kemungkinan disebabkan oleh kesalahan pelaporan. Tingkat kematian ternak di pulau Jawa bertambah sejumlah 26 ekor induk dan 22 ekor pedet. Pengurangan kematian induk sebanyak 24 ekor dan pedet sebanyak 10 ekor tercatat di Jawa Barat, kesalahan pencatatan menjadi kendala utama evaluator di lapangan. Pada tahun 2007 diadakan kembali penyebaran ternak Brahman Cross bunting di Indonesia sebagai upaya dalam mencapai swasembada daging 2014. Penyebaran berkembang menjadi 3 kawasan, yaitu Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia (meliputi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo). Jumlah sapi Brahman Cross bunting yang dibagikan sejumlah 4.000 ekor. Pulau Jawa menerima sapi Brahman Cross sebanyak 1.737 ekor pada tahun 2007. Sapi yang diterima disebarkan di Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, dan Cirebon), Jawa Tengah (Klaten, Wonogiri, Purworejo, Boyolali, dan Purbalingga), Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul), dan Jawa Timur (Ngawi, Lamongan, Mojokerto, Probolinggo, dan Nganjuk). Data perkembangan sapi Brahman Cross di pulau Jawa periode tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2007 (Data 2008) Regional Jawa PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2007 (Data 2008) Regional Jawa No
Propinsi
JIA
KA
Tot
TR
J
B
495 498 50 694
185 153 27 235
181 152 14 234
366 305 41 469
Jumlah 1737 Sumber: Diolah, 2012
600
581
1181
1 2 3 4
Jabar Jateng DIY Jatim
Data
diatas
menunjukkan
KT
BK
JA
JR
SD
73 77 4 96
38 0 7 65
847 782 91 1147
774 705 87 1051
73 77 4 96
250
110
2867
2617
250
I
A
366 305 41 469
14 21 0 16
1181
51
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2007 di pulau Jawa. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh
40
petugas dari dinas peternakan pada periode triwulan 3 tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 67,9%. Pedet yang dilahirkan 50,8% berjenis kelamin jantan dan 49,8% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2007-2008 sebesar 2,9%. Tingkat kematian anak sekitar 21,1%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 6,3%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 250 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Regional Jawa merupakan regional yang memiliki tingkat kebuntingan kembali tertinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh daya dukung yang ada, seperti penyediaan semen dan kebiasaan peternak untuk mengamati berahi pada sapi. Persentase kematian anak merupakan kendala terbesar yang terjadi di regional Jawa. Kemungkinan besar permasalahan yang terjadi adalah malnutrisi pada pedet dikarenakan lahan pencarian rumput yang sudah menyempit dibandingkan dengan dua regional lainnya. Pendidikan pada peternak tentang pemeliharaan sapi Brahman Cross juga menjadi pertimbangan tentang terjadinya malnutrisi pada pedet di Jawa. Ketersediaan air bersih dan tawar bagi sapi jelas merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Pemilihan daerah penerima bantuan indukan sapi Brahman Cross dalam rangka pembentukan VBC (Village Breeding Centre) merupakan tanggungjawab pemerintah sepenuhnya. Pemilihan daerah yang salah merupakan keputusan yang tidak didasari pemikiran ilmiah. Permasalahan air tawar dan pakan di Pandeglang misalnya, menjadi pertanyaan apakah Dinas Peternakan Pandeglang memiliki kapabilitas untuk berpikir analitik dan ilmiah. Permasalahan kekurangan pakan pada sapi potong yang dibagikan ke peternak sebagian berasal dari kelalaian pemerintah dalam menganalisis daya dukung lingkungan. Tujuan yang baik apabila tidak didukung cara dan kapasitas analisis yang cukup justru dapat menjadikan prosesnya menjadi kacau dan harus diperbaiki dari awal. Kandang pemeliharaan sapi di masyarakat yang tidak sesuai dengan standar kandang sapi potong pada umumnya merupakan salah satu kelemahan pemerintah. Seharusnya pemerintah memberikan penyuluhan terhadap kelompok ternak tentang semua aspek pemeliharaan sapi brahman Cross. Penyiapan
41
peternak baik yang sudah memiliki pengalaman beternak ataupun belum merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam menyukseskan program aksi perbibitan nasional. Adanya kesalahan pihak pemerintah khususnya Dinas Peternakan merupakan aib bagi bidang keilmuan kita. Inseminator yang seharusnya mengerti kondisi sapi yang bisa dan tidak untuk dilakukan justru secara asal-asalan menginseminasi semua sapi di satu daerah tanpa dasar ilmiah. Perkara ini terjadi di kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Inseminator yang ada tanpa melakukan deteksi berahi langsung saja menginseminasi semua sapi yang ada. Pulau Jawa menjadi pilihan utama dalam melaksanakan program aksi perbibitan nasional, hal ini tampak pada jumlah sapi yang dibagikan lebih tinggi dari 2 kawasan lainnya. Pulau Jawa menerima sebanyak 1.030 ekor sapi Brahman Cross pada tahun 2008. Perkembangan yang terjadi dari pembagian sapi pada tahun 2008 di pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2008 (Data 2009) Regional Jawa PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2008 (Data 2009) Regional Jawa Kelahiran Anak Kematian Ternak Jumlah Induk No Propinsi Awal Anak % Induk % Anak % 1 Jateng 2 Jatim Jumlah/Ratarata Sumber: Diolah, 2012
Data
diatas
750 280
188 87
25,1 31,1
8 1
1,1 0,4
18 9
9,6 10,3
1030
275
26,7
9
0,9
27
9,8
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2008 di pulau Jawa. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada awal tahun 2009. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 26,7%. Pedet yang dilahirkan tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2008-2009 sebesar 0,9%. Tingkat kematian anak sekitar 9,8%. Peran pemerintah pusat dalam program pemanfaatan sapi betina produktif sangatlah jelas. Peran pertama adalah sebagai pemberi dana agar semua program bisa berjalan dengan baik. Peran kedua adalah sebagai pemantau agar kegiatan ini berjalan sesuai program swasembada daging sapi 2014.
42
Peran pemerintah daerah adalah sebagai pelaksana langsung program pemanfaatan sapi betina produktif ini. Pemerintah daerah adalah fasilitator yang seharusnya dapat membantu para peternak atau kelompok ternak untuk menjalankan program ini dengan baik. Peran para peternak tidak kalah penting dalam rangka suksesnya program ini. Peran utama justru berada pada mereka yang secara langsung memelihara sapi betina untuk menjadi indukan yang baik. Para peternak harus memiliki kemampuan untuk memelihara sapi pedaging dengan baik dan benar. Pada evaluasi tahun 2009, pertambahan jumlah kelahiran hanya terjadi di Jawa Tengah sebanyak 51 ekor dan Jawa Timur 54 ekor. Jawa Barat dan DIY tidak menunjukkan perkembangan ternak, dimungkinkan karena pemeliharaan indukan yang kurang baik sehingga tingkat kebuntingan kembali setelah melahirkan sangat rendah. Tingkat kematian ternak di Jawa Timur sangat tinggi, mencapai 42 ekor indukan dan 12 ekor pedet. Sekali lagi evaluasi tahun 2008 tidak menyumbangkan perbaikan yang berarti di bidang pemeliharaan sapi Brahman Cross. 4.3.
Perkembangan Ternak Brahman Cross Regional Kawasan Timur Indonesia Kawasan Timur Indonesia merupakan kawasan yang masih luas dan
sangat berpotensi menjadi kawasan peternakan. Lahan yang luas dan subur menjadikan kawasan tersebut kaya akan hijauan pakan ternak. Latar belakang tersebut mendorong pemerintah untuk menjadikan Kawasan Timur Indonesia sebagai penerima bantuan sapi Brahman Cross dalam program aksi perbibitan nasional. Pada tahun 2007, sebanyak 699 ekor sapi Brahman Cross bunting dibagikan ke 4 Propinsi yaitu Kalimantan Selatan (Tanah Laut dan HST), Sulawesi Selatan (Luwu Timur, Gowa, Bantaeng, Maros, dan Takalar), Sulawesi Tengah (Donggala), Gorontalo (Pahuwato). Data perkembangan disajikan pada Tabel 9. dibawah.
43
Tabel 9. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2007 (Data 2008) Regional Kawasan Timur Indonesia PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2007 (Data 2008) Regional Kawasan Timur Indonesia KA KT No Propinsi JIA Tot TR BK JA JR SD J B I A 1 2 3 4
Kalsel Sulsel Sulteng Gorontalo
204 336 109 50
60 87 29 20
71 92 33 22
131 179 62 42
131 179 62 42
4 22 5 1
15 33 18 1
15 21 0 0
331 493 166 91
316 460 148 90
15 33 18 1
699 Jumlah Sumber: Diolah, 2012
196
218
414
414
32
67
36
1081
1014
67
Data
diatas
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2007 di pulau-pulau wilayah Timur Indonesia. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada periode triwulan 3 tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 59,2%. Pedet yang dilahirkan 47,3% berjenis kelamin jantan dan52,7% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2007-2008 sebesar 4,6%. Tingkat kematian anak sekitar 16,2%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 5,2%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 67 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan nilai persentase kelahiran, kematian anak, dan kebuntingan kembali, regional Katimin (Kawasan Timur Indonesia) menempati nilai tengah. Tingkat kematian induk menjadi masalah utama karena nilainya paling tinggi dibandingkan regional-regional lainnya. Adapun yang diperkirakan menjadi penyebab utama kematian induk adalah kurangnya pakan yang diberikan sehingga induk ambruk setelah melahirkan. Selama ini masyarakat di kawasan Timur Indonesia lebih banyak memelihara sapi lokal (sapi Bali) yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap pakan yang bermutu rendah. Sapi Brahman Cross yang diharapkan dapat menjadi penambah penghasilan dan perbaikan gizi masyarakat ternyata membutuhkan prasyarat (requirement) pakan yang tinggi. Sekali lagi pendidikan kepada kelompok ternak dan pemilihan daerah ternak menjadi kunci penentu berhasil atau tidak program aksi perbibitan nasional ini.
44
Pada evaluasi yang dilaksanakan pada tahun 2009, hanya ada satu keganjilan yang terjadi, yaitu terjadi penurunan jumlah kelahiran anak yang ada di Kalimantan Selatan. Penambahan kelahiran hanya terjadi di Sulawesi Selatan sebanyak 55 ekor, sedangkan Sulawesi Tengah dan Gorontalo tidak mencatatkan adanya penambahan jumlah ternak. Tingkat kematian ternak, baik induk maupun anak bertambah, kecuali Sulawesi Tengah. Kematian yang cukup tinggi pada ternak bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak akan hewan ternaknya. Alasan-alasan seperti pakan dan lain sebagainya seharusnya bisa diantisipasi dari awal sehingga tingkat kematian bisa berkurang. Banyak laporan yang menyatakan bahwa ada kehilangan ataupun tidak tercatatnya kejadian-kejadian yang cukup penting. Pencatatan masih merupakan hal yang jarang dilakukan oleh masyarakat kita pada umumnya. Dalam program ini, seharusnya pemerintah mewajibkan adanya pencatatan yang selalu dipantau dalam jangka waktu tertentu. Kawasan Timur Indonesia menerima 284 ekor sapi Brahman Cross pada tahun 2008 yang dibagikan pada 3 propinsi yang berbeda. Kabupaten yang berbeda menjadi fokus utama pemerintah dalam menyebarluaskan program perbibitan.
Diharapkan
kabupaten-kabupaten
baru
penerima
sapi
dapat
menunjukkan kinerja yang baik sehingga program dapat berjalan lancar dan berkesinambungan. Perkembangan ternak di Kawasan Timur Indonesia dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah. Tabel 10. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2008 (Data 2009) Regional Kawasan Timur Indonesia PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2008 (Data 2009) Regional Kawasan Timur Indonesia Kelahiran Anak Kematian Ternak No Propinsi Jumlah Induk Awal Anak % Induk % Anak % 1 2 3
Kalsel Kaltim Sulteng
22 50 212
0 0 0
0,0 0,0 0,0
0 0 0
0,0 0,0 0,0
0 0 0
0,0 0,0 0,0
Jumlah Sumber: Diolah, 2012
284
0
0,0
0
0,0
0
0,0
Data
diatas
menunjukkan
perkembangan
ternak
Brahman
Cross
pembagian tahun 2008 di pulau-pulau kawasan Timur Indonesia. Pemeriksaan dan
45
pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada awal tahun 2009. Belum ada perkembangan ternak sama sekali pada pembagian ternak periode 2008, hal ini bisa saja terjadi karena memang belum ada sapi yang melahirkan (masih dalam masa kebuntingan). Permasalahan yang disebabkan oleh peternak, seperti penggantian ternak dengan jenis lain, penjualan ternak, alasan-alasan peternak (sapi tidak dapat bekerja di sawah, calon induk tidak sesuai kriteria, peternak merasa rugi), adanya kelompok palsu (hanya setor nama dan uang). Penggantian ternak Brahman Cross yang dibagikan kepada masyarakat dapat disebabkan oleh kebiasaan peternak yang sebelumnya telah memelihara sapi dengan ras yang berbeda. Sapi Brahman merupakan sapi yang cukup susah dikendalikan, apalagi sapi ex-impor dengan latar belakang sapi umbaran padang rumput yang terbiasa hidup berkoloni di alam bebas. Peternak yang mendapatkan sapi Brahman Cross menyatakan beberapa alasan yang dianggap memberatkan mereka dalam memelihara sapi Brahman. Alasan pertama, sapi brahman tidak bisa dijadikan sapi dwiguna yang menghasilkan daging dan dapat bekerja di sawah dalam membantu peternak. Alasan kedua adalah calon induk tidak sesuai kriteria, pembelian induk yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak memenuhi prosedur operasi standar yang telah ditetapkan. Beberapa alasan diatas menjadikan peternak merasa rugi dengan hadirnya program aksi perbibitan nasional yang tidak mengakomodir keinginan peternak. Adanya kelompok ternak palsu yang dijalankan hanya oleh segelintir orang, sedangkan yang lain hanya memasukkan nama dan dana. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila dihubungkan dengan tujuan program aksi perbibitan. Masyarakat yang diharapkan bisa menjadi pelopor pengembang sapi Brahman Cross ternyata hanya sebagai kedok penyelewengan uang negara. Analisa secara menyeluruh belum dapat dilakukan pada pembagian ternak periode 2008. Data yang terkumpul tidak cukup lengkap untuk dianalisa secara matang.
46
Dari hasil yang ada, didapatkan data yang tidak valid. Hal ini bisa dikarenakan data yang diambil bukan merupakan data primer, akan tetapi data yang ada di kelompok peternak penerima bantuan. Data yang diambil dapat pula hanya merupakan laporan lisan yang tidak memiliki bukti otentik. Pada tabel-tabel yang disajikan, daerah yang diarsir merupakan tanda yang menunjukkan bahwa data yang ditulis dalam laporan tidak sesuai dengan perhitungan yang menggunakan Mocrosoft Excel. Hal ini dapat terjadi karena kesalahan penghitungan manual ataupun salah memasukkan data. Nasib induk setelah lahir merupakan tanggungjawab kedua belah pihak dalam program ini. Pemerintah sebagai penyelenggara program wajib menjamin adanya ketersediaan sperma yang akan dipakai untuk inseminasi buatan indukinduk yang sudah melahirkan. Peternak wajib melakukan pemeliharaan yang baik dan sesuai prosedur. Setelah induk melahirkan, peternak wajib melaporkan hasilnya dan meminta bantuan untuk menjadikan induk tersebut bunting lagi. Secara garis besar, perbaikan terjadi di seluruh kawasan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lebih banyaknya penurunan tingkat kematian ternak. Perbaikan harus tetap dijalankan agar program perbibitan dapat terlaksana dengan baik dan menjadikan program ini sebagai program yang berdaya saing dalam program-program unggulan negara.
47