V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Degradasi Hutan di Sungai Merang Secara umum kondisi vegetasi di sepanjang Sungai
Merang adalah hutan
sekunder. Dalam penelitian ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada vegetasi, digunakan data Citra satelit Landsat Gambar 10 dan Gambar 11).
TM tahun 1989, 1999 dan 2002 (Gambar 9,
Berdasarkan hasil analisa interpretasi data dengan
software Arcview 2, didapatkan kondisi vegetasi yang telah terdegradasi. Hutan gambut primer yang hilang dari tahun 1989 hingga 2002 mencapai 90%, yaitu dari 87.521, 84 ha menjadi 8852.13 ha.
Degradasi tersebut terjadi karena penebangan
oleh HPH.
Dampak lanjutan dari HPH adalah timbulnya kebakaran hutan. Terbukanya hutan ini menyebabkan vegetasi lain
tumbuh
pesat seperti semak, belukar dan vegetasi
gelam. Berdasarkan data citra landsat tahun 1989 hingga 2002 di lokasi penelitian, telah terjadi perubahan besar hutan rawa gambut primer menjadi hutan sekunder. Menurut Murdiyarso et al. (2004) pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara
langsung akan merubah struktur dan
komposisi hutan gambut. Besarnya degradasi hutan menjadi daerah hutan sekunder dapat dilihat pada Tabel 5. Pola degradasi hutan ini dimulai
dari daerah tengah
Sungai Merang (Km ke 40-50), terus meluas hingga ke daerah hulu (selengkapnya pada Gambar 15, Gambar 16 dan Gambar 17). Tabel 5. Luasan hutan yang terdegradasi dari tahun 1989 hingga 2002 Area_89 (Ha) Hutan rawa gambut Primer 87521.84 Hutan rawa gambut bekas tebangan 96924.54 Hutan rawa gambut bekas kebakaran 4109.78 Belukar 759.58 Semak 16701.14 Hutan tanaman dan perkebunan 0.00 Hutan gelam 0.00 Padang Rumput 884.31 Mangrove 2657.57 Perladangan, sawah dan pemukiman 710.43 210269.19 Sumber: Hasil pengolahan peta citra landsat Legenda
Area_99 (Ha) 8852.13 119843.31 6278.25 45201.98 24446.57 0.00 309.22 1709.83 2657.57 970.32 210269.19
Area_02 (Ha) 8852.13 119843.31 5296.47 46171.97 24446.57 11.80 309.22 1709.83 2657.57 970.32 210269.19
41
390000
405000
420000
435000 9810000
9810000
375000
PETA VEGETASI SU NG AI ME RA N G PR OPIN SI SUMATR A SELATA N Ta hun 1 9 89 U
Se ka la : 1 : 350 .00 0 9795000
9795000 9780000
9780000
LEGENDA : Hu tan ra wa g ambu t Prime r Hu tan ra wa g ambu t b ekas te banga n Hu tan ra wa g ambu t b ekas ke ba ka ran B elu ka r S em ak Man grove P adang Rum pu t P erla da ng an, sawah d an pem ukim an Jalan sarad Jalan ut am a S ungai
9765000
9765000
375000
390000
405000
420000
435000
Gambar 15. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 1989 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat) 42 43
390000
405000
420000
435000 9810000
9810000
375000
PETA V EGETASI SUNGAI MERANG PROPINSI SUMATRA SELATAN Tahun 1999 U
Se ka la : 1 : 350 .00 0
9795 000
9795 000 9780000
9780000
L EG ENDA : H utan ra wa ga mb ut Prim er H utan ra wa ga mb ut b ekas t eb ang an H utan ra wa ga mb ut b ekas ke ba karan B eluka r S em ak Ma n grov e P ad ang Ru m pu t P erlada ng a n, sawa h d an p em ukim an Ja la n sara d Ja la n ut am a S un gai
9765000
9765000
375000
390000
405000
420000
435000
Gambar 16. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 1999 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat)
43
44
390000
405000
420000
435000 9810000
9810000
375000
PETA V EGETASI SUNGAI MERANG PROPINSI SUMATRA SELATAN Tahun 2002 U
Se ka la : 1 : 350 .00 0
9795000
9795000 9780000
9780000
L EG ENDA : H utan ra wa ga mb ut Prim er H utan ra wa ga mb ut b ekas t eb ang an H utan ra wa ga mb ut b ekas ke ba karan B eluka r S em ak Ma n grov e P ad ang Ru m pu t P erlada ng a n, sawa h d an p em ukim an Ja la n sara d Ja la n ut am a S un gai
9765000
9765000
375000
390000
405000
420000
435000
Gambar 17. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 2002 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat)
45
5.2
Vegetasi Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan sekurang-kurangnya 21 jenis
vegetasi ukuran pohon dan tiang. Jenis-jenis yang didapat merupakan jenis-jenis khas daerah gambut. Selengkapnya jenis-jenis yang didapat disajikan dalam Lampiran 1. Kondisi vegetasi dapat dilihat dari nilai Keanekaragaman jenis, Keseragaman jenis dan Dominansi jenis. Nilai keanekaragaman jenis vegetasi adalah 4,15. Nilai tersebut
termasuk dalam kategori keanekaragaman yang sedang karena
berada
pada kisaran nilai 3,219 < H’ < 9,657 Krebs (1989). Kondisi ini menunjukkan tingkat keanekaragaman individu sedang. Tingginya eksploitasi dapat pula dilihat dari indeks Keseragaman yang tinggi (0,61) dan nilai dominansi yang rendah (0,01). Tingkat keseragaman yang tinggi menjelaskan jumlah individu dari seluruh jenis yang ada cukup tinggi. Hal ini dapat menjelaskan bahwa spesies yang ada adalah spesies yang tersisa dari kegiatan HPH dan illegal logging. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis pohon dan tiang terbesar adalah pada jenis manggris (Koompasia maingay ex Benth) yaitu 25 individu/ha, kemudian punak (Tetramerista glabra Miq.) sebanyak 18 individu/ha, durian (Durio adans) sebanyak 16 individu/ha dan rengas (Gluta sp.) 10 individu/ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 18.
Kerapatan jenis pohon dan tiang
25 20 15 10 5
Jenis-jenis pohon
Terentang
Tenam / Mersawa
Tembesu
Rengas
Ramin
Punak
Meranti
Medang
Manggris
Mahang
Labu
Kelat
Kayu Arang
Jelutung
Gerunggang
Gelam
Durian
Darah Kero
Bintangur
Balam
0 Perupuk
nilai kerapan (pohon/ha)
30
pohon/ha
46
Gambar 18. Kerapatan jenis pohon dan tiang.
Pada penelitian ini didapatkan nilai kerapatan jenis pohon dan tiang
tertinggi
berada di plot 3, dengan nilai 417 individu/ha. Nilai terendah untuk kerapatan jenis pohon dan tiang
adalah 165 individuidu/ha yang merupakan nilai di plot 8. Nilai
kerapatan jenis pohon dan tiang
untuk kelas diameter 10-19,99 cm tertinggi di plot 14
dengan 190 individu/ha dan terendah di plot 11 dengan 40 individu/ha. Pada kelas diameter 20-29,99 cm nilai kerapatan jenis pohon dan tiang
tertinggi di plot 4 dengan
180 individuidu/ha dan terendah di plot 1 dengan 30 individu/ha. Di kelas diameter 3039,99 cm
nilai kerapatan jenis tertinggi
90 individu/ha tercatat di plot 3. Dua plot
mempunyai kerapatan jenis pohon dan tiang
0 individu/ha untuk diameter 30-39,99 cm
yaitu di plot 8 dan 13. Untuk kelas diameter 40 up kerapatan jenis pohon dan tiang tertinggi di plot 10 yakni 110 individu/ha dan nilai 0 individu/ha tercatat di plot 13 dan 14. Rata-rata, Kerapatan Jenis
pohon dan tiang
masing masing kelas diameter
mempunyai kecenderungan untuk mempunyai nilai tertinggi di kelas diameter 40 up. Kelas 10-19,99 cm mempunyai nilai sedikit lebih rendah. Kerapatan jenis pohon dan tiang
terendah ada di kelas diameter 30-39,99 cm. Kerapatan Jenis sedikit bertambah
di kelas diameter 20-29,99 cm. Keterangan selengkapnya lihat Gambar 19. Kerapatan jenis per kelas diameter
Kerapatan jenis (individu/ha)
100%
80%
40 up
60%
30-39,99 20-29,99 40%
10-19,99
20%
0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Plot pengamatan vegetasi
Gambar 19. Grafik kerapatan jenis perplot
47
Dominansi Nilai dominansi jenis pada seluruh areal penelitian terbesar adalah untuk pohon Manggris (K. maingay) 28 m 2/ha, Rengas (Gluta sp.) 10,74m 2/ha dan Jelutung (Dyera sp) 7,116 m2/ha. Nilai dominansi untuk seluruh jenis selengkapnya disajikan dalam Gambar 20.
Nilai dominansi Nilai dominansi (m2/ha)
35 30 25 20 15 10 5 0
jenis pohon
m2/ha
Gambar 20. Nilai dominansi jenis Nilai dominansi berdasarkan pengelompokkan diameter untuk setiap plot selengkapnya disajikan dalam Gambar 21. Nilai Dominansi terbesar adalah 52.31m 2/ha dan terendah 5.7 m 2/ha. Di kelas diameter 10-19,99 cm nilai dominansi tertinggi 3.109 m 2/ha di plot 14 dan terendah 0,770 tercatat di plot 11. Nilai dominansi terbesar untuk kelas diameter 20-29,99 cm adalah 8.46 m 2/ha di plot 4 dan terendah 1.9 di plot 7 dan 12.
Kelas 30-39,99 cm nilai dominansi tertinggi di plot 3 dengan nilai 7.85 m2/ha. Di
sedangkan di plot 8 dan 13 mencatat nilai penutupan 0 (Nol) m 2/ha. Di kelas 40 up penutupan terbesar di plot 10 dengan 42.8 m2/ha dan 2 plot mempunyai nilai penutupan 0 m 2/ha yaitu di plot 13 dan 14.
48
Nilai Dominansi per kelas diameter
100%
niai dominansi (m2/ha)
80%
40 up
60%
30-39,99 20-29,99 40%
10-19,99
20%
0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
plot pengamatan vegetasi
Gambar 21. Grafik dominansi setiap plot Frekuensi Jenis Frekuensi jenis pada seluruh areal penelitian terbesar ada pada jenis durian, manggris (K. maingay), punak (T.glabra), rengas (Gluta sp.) dan meranti (Shorea sp.). Jenis-jenis ini relatif lebih tersebar di semua plot pengamatan. Jenis yang ditemukan tidak berbeda jauh dengan dengan kerapatan jenis dan dominansi. memiliki sebaran yang relatif luas.
Kayu meranti
Frekunsi jenis selengkapnya disajikan dalam
Gambar 22. Frekuensi jenis terbesar terdapat pada plot 6, yaitu 20 jenis, sedangkan terendah pada plot 3 yaitu 5 jenis. Nilai frekuensi jenis total untuk ukuran diameter yang terbesar adalah pada diameter 10-19,99 cm , kemudian 20-29,99 cm , 40 up dan terakhir 3039,99 cm. Selengkapnya lihat Gambar 23.
49
Frekuensi Jenis
Frekuensi
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
frekuensi
Jenis
Gambar 22. Grafik frekuensi Jenis
Frekuensi jenis perkelas diameter 100%
frekuensi (jenis)
80% 40 up
60%
30-39,99 20-29,99
40%
10-19,99
20%
0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Plot pengamatan vegetasi
Gambar 23. Grafik frekuensi per plot
Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting pada seluruh areal penelitian untuk setiap jenis terbesar adalah manggris (K. maingay), punak (T. glabra), rengas (Gluta sp.) dan darah kero (Knema sp). Indeks nilai penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi
relatif.
Indeks nilai penting untuk setiap jenis
selengkapnya disajikan dalam Gambar 24. Indeks nilai penting untuk setiap plot berdasarkan ukuran diameter selengkapnya
pada Gambar 25. Indeks nilai penting
50
untuk kayu yang berukuran 40 up pada plot 13 dan 14 adalah nol, hal ini menunjukkan tingkat eksploitasi hutan yang tinggi dan kondisi hutan merupakan hutan sekunder
persentasi (100%)
Indeks Nilai Penting (INP)
KR FR DR
Jenis pohon
Gambar 24. Indeks Nilai Penting per jenis
Indeks Nilai penting 350 300
persentasi
250 200 40 up
150
30-39,99 20-29,99
100
10-19,99
50 0 1
2
3
4
5
6
7 8 nomor plot
9
10
11
12
13
14
Gambar 25. Indeks nilai penting per kelas diameter Indeks Nilai Penting terbesar adalah pada jenis manggris (K. maingay), punak (T.glabra), durian (D. Adans) dan rengas (Gluta sp) sedangkan berdasarkan nilai Indeks Nilai Penting untuk kelompok diameter per plot, secara umum kayu di atas diameter 40 cm sudah banyak berkurang karena ditebang (Lihat Gambar 26). Kayu ukuran 40 up, lebih banyak pada jenis punak (T.glabra) dan manggris (K. maingay)
jumlahnya
masing-masing 7 individu dan 17 individu dari 40 individu. Nilai INP kedua kayu ini
51
relatif tinggi, baik INP setiap jenis maupun berdasarkan kelompok dimater setiap plot. Disamping itu, kedua kayu memiliki nilai ekonomis namun
kurang disukai dalam
kegiatan illegal logging karena kayu ini tenggelam, sehingga sulit untuk distribusikan melalui sungai.
Gambar 26. Kayu tebangan di Sungai Merang dan kondisi vegetasi Selanjutnya adalah kayu rengas (Gluta sp.) yang ditemukan relatif banyak yaitu 6 individu untuk ukuran diameter 40 up. Jenis kayu ini memiliki nilai ekonomis namun memiliki getah yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit sehingga banyak yang tidak ditebang. Jenis kayu 40 up lainnya adalah sebanyak 3 individu, kemudian
durian (D.adans) dan jelutung (Dyera sp.)
Mahang (Macaranga montleyana), Medang (Litsea
sp), Balam (Palaquium sp.) dan Kelat (Eugenia sp.) sebanyak 1 individu. Selain kayu ukuran 40 up, jenis-jenis kayu ekonoms lainnya yang berukuran 10-19,99 cm hingga 40 up banyak tidak ditebang karena dijadikan patokan untuk batas bagi para penebang liar yang mempunyai
wilayah kekuasaan (kapling)
batas lain yang digunakan
masing-masing. Selain pohon,
adalah parit yang seluruhnya bermuara ke Sungai Merang.
Jumlah total parit sepanjang Sungai Merang mencapai 250 parit, sebelah kiri dan kanan Sungai Merang (Lihat Gambar 27). Semua kayu hasil tebangan disusun membentuk rakit, agar dapat ditarik dengan
kapal motor. Selain sebagai batas, parit berfungsi
untuk jalan keluarnya kayu dari tengah hutan.
52
Gambar 27. Parit dan pengangkutan kayu di Sungai Merang 5.3
Hubungan Vegetasi dengan Keanekaragaman Ikan Kegiatan illegal logging terpusat pada daerah yang masih tersisa kayu-kayu
ekonomis. Kawasan ini berada di sungai Merang sekitar km 40-50 hingga daerah hulu, km 70-an. Intensistas illegal logging di daerah tengah (km 40-50) hingga muara (km 0) relatif lebih sedikit. Disamping itu, daerah hulu memiliki hasil perikanan yang tinggi dibandingkan daerah tengah hingga muara. Daerah hulu berada dalam kawasan kubah gambut yaitu pada plot 1 s/d plot 7. Daerah ini dan mempunyai rata-rata jumlah jenis dan jumlah individu untuk vegetasi yang tinggi begitu pula dengan ikan yaitu pada stasiun 8 s/d stasiun 11(lihat Gambar 28dan Gambar 29). Jumlah rata-rata jenis dan jumlah individu vegetasi di daerah hulu yang tinggi ini berpengaruh pula pada nilai keanekaragaman ikan di daerah hulu.
Nilai
keanekaragaman ikan adalah sedang (kisaran nilai 1-1,2), dengan jumlah jenisnya adalah 16 – 22 jenis (lihat Gambar 22). Selanjutnya nilai rata-rata keanekaragaman di tengah (stasiun 4 s/d stasiun 7) dan di hilir menurun (stasiun 1 s/d stasiun 3), seiring dengan semakin berkurangnya vegetasi. Jumlah rata-rata jenis dan individu untuk vegetasi di daerah tengah (Plot 8 s/d plot 12) pada km 40-50 memiliki jumlah rata-rata jenis dan individu ikan (stasiun 5 s/d stasiun 7) lebih sedikit daripada daerah hulu. bila dibandingkan daerah tengah yaitu km 40-50 dan hilir sungai Merang yaitu km nol (lihat Gambar 28 dan Gambar 29). Jumlah rata-rata jenis dan individu untuk vegetasi (plot 13 dan plot 14) dan ikan (stasiun 1 s/d stasiun 4) di daerah hilir hingga muara relatif tidak jauh berbeda dengan daerah tengah (selengkapnya pada Gambar 28 dan Gambar 29). Daerah bekas
53
kebakaran hutan yang luas, mempunyai vegetasi yang relatif homogen yaitu gelam. Jenis gelam tumbuh karena hutan primer dan sekunder telah habis ditebang dan terbakar, sehingga daerah menjadi terbuka. Kayu gelam relatif bisa bertahan pada daerah terbuka, sehingga hanya tanaman ini yang dapat bertahan dan tumbuh secara meluas. Kayu ini dimanfaatkan untuk konstruksi awal bangunan dan bahan untuk arang. Daerah berkayu gelam berada mulai km 40 hingga km 20 (lokasi selengkapnya pada Gambar 2). Kondisi vegetasi yang homogen mengakibatkan biota penghuni daerah hutan gelam relatif lebih rendah dibandingkan hutan sekitarnya. Kondisi ini secara tidak langsung berkaitan pula dengan biota ikan disekitar daerah yang bervegetasi gelam. Nilai keanekaragaman ikan adalah rendah (kisaran nilai 0,6-0,85) dengan jumlah jenis ikan hanya 4 – 8 jenis (lihat Gambar 22). Daerah semak dan belukar berada dari km 20 hingga muara. Daerah ini di beberapa bagian ditepi sungai dimanfaatkan untuk pertanian oleh masyarakat setempat. Pada km 10 terdapat pangkalan perusahaan eksplorasi gas bumi namun sudah tidak ada lagi tahap konstruksi. Pengangkutan gas melalui pipa, sehingga tidak mengganggu aktivitas sepanjang sungai. Kegiatan perikanan masih tetap berlangsung di daerah tersebut hingga ke muara. Menurut Abidin et al. (1999) semak dan belukar terjadi karena hutan primer berubah menjadi hutan sekunder dan terjadi kebakaran. Selain itu, disepanjang Sungai Merang di beberapa tempat terjadi kebakaran secara sporadis, terutama di tepi sungai untuk membuka jalan bagi parit. Setelah kebakaran terjadi pertumbuhan hutan sekunder, dan bila terjadi kebakaran lagi, maka tinggal beberapa jenis saja yang bertahan yaitu herba, semak dan belukar. Nilai keanekaragaman ikan adalah rendah (kisaran nilai 0,04-0,6) dan jumlah jenis 2 – 4 jenis (lihat Gambar 30).
Rata-rata Jumlah jenis Vegetasi dan Ikan
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Hulu
Tengah
Hilir
Lokasi Sungai Merang jenis Vegetasi
jenis Ikan
Gambar 28. Grafik hubungan jumlah jenis vegetasi dengan jumlah jenis ikan
54
Rata-rata Jumlah Individu Vegetasi dan ikan
70 60 50 40 30 20 10 0 Hulu
Tengah
Hilir
Lokasi Sungai Merang Individu Vegetasi
Individu Ikan
Gambar 29. Grafik hubungan jumlah Individu vegetasi dengan jumlah individu ikan
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
stasiun pengamatan
Nilai keragaman ikan setiap stasiun
Gambar 30. Indeks keanekaragaman jenis ikan setiap stasiun
Jumlah jenis ikan di muara 12 jenis, lebih tinggi dari pada ikan di km 20 hingga 40. Hal ini disebabkan ikan Sungai Merang
sudah bercampur dengan ikan-ikan di
Sungai Lalan, yang masuk saat air tinggi atau air pasang. Dengan demikian stasiun satu tidak bisa dijadikan acuan untuk melihat ikan yang ada di Sungai Merang, karena sudah ada pengaruh dari ikan-ikan dari Sungai Lalan. Menurut Kottelat et al. (1993) keanekaragaman jenis, dari hulu ke hilir akan semakin besar. Hal ini didukung dengan dimensi sungai yang semakin besar dari hulu ke hilir. Dimensi sungai yang besar, memberi ruang yang lebih luas untuk ikan untuk hidup dan mencari makan. Kondisi yang sama terjadi pada Sungai Merang, dimana dimensinya semakin besar dari hulu ke hilir. Namun demikian, kondisi yang terjadi di
55
Sungai Merang justru sebaliknya, dimana keanekaragaman yang tinggi justru terjadi di daerah hulu (lihat Gambar 31). Hal ini berkaitan dengan rusaknya vegetasi sepanjang Sungai Merang dari tengah hingga muara. Vegetasi di daerah tengah hingga muara Sungai Merang adalah semak, belukar dan hutan gelam. Vegetasi selain sebagai habitat bagi ikan-ikan, juga merupakan tempat perlindungan telur dan ikan-ikan muda. Selain itu menurut Kottelat et al. (1993), banyak ikan yang bergantung pada daun tumbuhan, buah, biji-bijian yang hanyut ke air, bahkan serangga air pun menjadi sumber makanan bagi ikan. 140 120 100 80 60 40 20 0 Hulu
Tengah jenis Vegetasi
jenis Ikan
Hilir Debit
Gambar 31. Hubungan jumlah jenis vegetasi dan ikan dengan debit air Nilai keanekaragaman berkaitan erat dengan kestabilan ekosistem, hal ini berkaitan erat dengan kondisi kualitas air, yaitu pH dan kandungan oksigen terlarut yang rendah, serta pengaruh
vegetasi yang menaungi perairan.
Vegetasi salah
satunya berkaitan erat dengan perlindungan sungai dari sinar matahari, yang menyebabkan suhu meningkat. Kisaran suhu perairan yang ternaungi vegetasi lebat pada siang hari adalah 19 – 22 oC. Kisaran suhu di perairan yang terbuka pada siang hari adalah 29-30 oC.
Stasiun 1 hingga 7 memiliki nilai rendah, karena kondisi
lingkungan yang relatif tidak stabil, baik karena penutupan vegetasi yang kurang maupun pengaruh pasang surut. Pada Km 40- 50 dari muara merupakan batas terakhir pengaruh pasang surut air tawar di Sungai Merang atau daerah peralihan antara zona II dan III (pasang surut air tawar dan daerah yang tidak terkena pengaruh pasang surut).
56
Keseragaman dan Dominansi Ikan Nilai keseragaman berbanding terbalik dengan dominansi. Keseragaman jenis ikan di Sungai
Merang cukup tinggi. Keseragaman yang tinggi ini berarti jumlah
individu setiap jenis ikan yang terdapat dalam setiap stasiun pengamatan cukup tinggi. Hal ini berarti hampir tidak ada spesies yang mendominasi. Nilai keseragaman tinggi dimulai dari stasiun tiga hingga stasiun sebelas. Nilai keseragaman berfluktuasi, namun masih tetap berada dalam kisaran nilai yang tinggi. Nilai keseragaman di muara Sungai
Merang atau stasiun satu (muara) dan
stasiun dua (hilir) adalah rendah. Artinya jumlah individu setiap jenis di lokasi tersebut sedikit dan ada kecenderungan terdapat spesies tertentu yang mendominasi (selengkapnya pada Gambar 32. Keseragaman yang rendah atau dominansi yang tinggi ini diperkirakan dipengaruhi oleh ikan-ikan dari Sungai Lalan. 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
11
Stasiun Pengamatan Nilai Dominansi jenis ikan perstasiun
Nilai Keseragaman ikan perstasiun
Gambar 32 Indeks keseragaman dan dominansi setiap stasiun 5.4. Hubungan Degradasi Hutan dan Hasil Tangkapan Ikan 5.4.1. Regresi Linier Salah satu cara untuk melihat
pengaruh degradasi hutan terhadap
hasil
tangkapan ikan adalah melalui regresi linier. Data tersebut diperoleh dari tahun 1989 hingga 1999. Berdasarkan hasil perhitungan, degradasi hutan berpengaruh pada
57
jumlah tangkapan ikan. Bentuk persamaan regresinya adalah : Y= -27335.79844 + 1.0213X + å Dari hasil didapatkan bahwa besar koefisien korelasi antara luas hutan rawa gambut primer (dalam hektar) dengan jumlah tangkapan ikan nelayan (dalam kg) sebesar 0.517. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungannya tidak terlalu kuat. Hal ini dimungkinkan karena dari nilai koefisien determinasi (r2) yang didapatkan hanya sebesar 0.267289 atau sebesar 26.7289%. Artinya, banyaknya jumlah tangkapan ikan dipengaruhi oleh luas hutan rawa gambut hanya sebesar 26.7289%, sedangkan sebesar 73.2711% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungannya tidak terlalu kuat, artinya ada faktor lain yang cukup berpengaruh selain luasan hutan. Perhitungan selengkapnya disajikan dalam Lampiran 6. Kecilnya pengaruh luasan vegetasi terhadap hasil tangkapan ikan dikarenakan banyaknya suatu jenis dan besarnya berat hasil tangkapan ikan tidak selalu sebanding dengan besarnya luas tutupan vegetasi. Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis yang didapat dan ukuran ikan yang didapat. Sebagai contoh stasiun 3 (hilir) mempunyai perbandingan berat total ikan yang tinggi dbandingkan jumlah jenis, namun jumlah jenis yang didapat sedikit. Hal ini dikarenakan pada stasiun tersebut tertangkap ikan tapa dan ikan tapa yang ukurannya besar.
Pada stasiun lain seperti daerah hulu yaitu
stasiun 8, stasiun 9 dan stasiun 10 memiliki jumlah jenis yang tinggi dibandingkan berat total. Ketiga stasiun tersebut berada di daerah yang bervegetasi lebat (daerah hulu, km 50-70). Kondisi paling ideal adalah daerah hulu yaitu stasiun 11, karena jumlah jenis dan berat total memiliki sama-sama tinggi. Fenomena ini selengkapnya disajikan dalam Gambar 33
58
25
5000
20
3500 15
3000 2500
10
2000 1500
Jumlah Jenis ikan
Berat total ikan per stasiun (gr)
4500 4000
5
1000 500
0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
11
stasiun pengambilan contoh berat total ikan per stasiun
jumlah jenis ikan
Gambar 33. Perbandingan berat total ikan dengan jumlah jenis ikan. 5.4.2 Regresi Berganda Besarnya faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan selain penutupan vegetasi, dapat dilihat dari hubungan antara jumlah hasil tangkapan (Y) dengan jumlah individu suatu jenis (X1) dengan jumlah stasiun ditemukannya suatu jenis (X2). Dengan regresi berganda.
Perhitungan selengkapnya disajikan dalam Lampiran 7. Model
regresi adalah sebagai berikut :
Y = −5.606372 − 6.091849 X 1 + 225.10103 X 2 + ε Model persamaan di atas menunjukkan model hubungan antara X1 dan X2 dengan variabel Y, yang mengindikasikan pengaruh
total individu ikan dan jumlah
stasiun terhadap berat total ikan. Nilai -5,606372 merupakan nilai intersep dalam model regresi. Nilai tersebut menunjukkan berat total ikan ketika total individu bernilai nol atau ketika tidak ada ikan sama sekali, dan ketika nilai jumlah stasiun nol atau tidak ada stasiun. Nilai -6,091849 merupakan koefisien regresi untuk variabel total individu. Koefisien regresi ini mengindikasikan perubahan total berat ikan ketika nilai total individu dinaikan satu satuan nilai atau ketika ada penambahan ikan satu ekor. Perubahan tersebut dalam hal ini menurun, karena nilai koefisien ini bernilai negatif.
59
Nilai 225,10103 merupakan koefisien regresi untuk variabel jumlah stasiun. Koefisien regresi ini menunjukan rata-rata peningkatan total berat ke arah yang positif ketika jumlah stasiun naik satu satuan. Secara umum pengaruh jumlah individu suatu jenis (X1) dan jumlah stasiun ditemukan suatu jenis (X2) terhadap hasil tangkapan ikan (Y) kurang signifikan. Hal ini berdasarkan uji signifikasi, pengujian secara individual dan pengujian koefisien regresi (Lampiran 7). Selain itu, banyaknya suatu jenis yang di dapat di suatu stasiun tidak selalu mempunyai jumlah berat yang tinggi. 5.5 Hubungan Vegetasi Dengan Sebaran Ikan Sungai Merang 5.5.1
Uji Chi-Square
Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat beberapa ikan khas daerah gambut yang bervegetasi lebih rapat, diantaranya seperti seluang baro (Rasbora cephalotaenia), seluang kremasan (Rasbora Kalochroma), ikan elang (Datnoides microlepis) dan setumbuk banir (Luciocephalus pulcher). Dengan pendekatan uji Chi-Square, dilakukan pembuktian Hipotesis awal mengenai adanya zonasi penyebaran ikan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan selang kepercayaan 95%, maka asumsi awal tentang adanya zonasi ikan (Hipotesi nol /H0) ternyata ditolak, karena nilai perhitungan jauh lebih besar dari tabel. Hal ini menunjukkan adanya beberapa ikan yang mampu bertahan baik dilingkungan sungai yang dinaungi vegetasi lebat maupun yang terbuka. Jenis ikan tersebut diantarnya ikan-ikan dari famili Channidae (ikan gabus, serandang dan bujuk), ikan lele, ikan sepat, ikan betok dan ikan mingkung. Dengan semakin meluasnya kerusakan hutan, maka jenis-jenis ikan ini yang lebih mampu bertahan. Perhitungan selengkapnya di sajikan di Lampiran 8. 5.5.2
Ikan White Fish dan Black fish
Ikan di Sungai Merang ada
yang hidup secara luas baik di aliran sungai maupun
daerah rawa atau perairan yang relatif tergenang. Kondisi ini secara umum menurut Welcomme (1979),
dapat dibagi
dalam dua kelompok yang berbeda berdasarkan
tingkah laku dalam merespon kondisi khusus dari banjir sungai, yakni: 1. Kelompok pertama adalah ikan-ikan yang menghindari kondisi yang berat dari dataran banjir dengan pindah ke aliran sungai utama dan sering bergerak dengan banyak dalam sungai di luar areal banjir. Kelompok ini disebut whitefish misalnya
60
pada jenis Cyprinidae dan Siluroid. Beberapa jenis hanya terbatas pada alur sungai sepanjang waktu dan tidak pernah memasuki daerah banjir (Gambar 34). 2. Kelompok kedua adalah Blackfish yang resisten pada kondisi miskin oksigen. Gerakan ikan ini lebih terbatas dari ikan whitefish. Ikan-ikan ini secara berkala hidup di daerah banjiran selama musim kemarau dan jika bergerak ke sungai mereka berada di bawah pinggiran tanaman air atau di kolam yang terbentuk saat sungai kering.
Banyak dari siluroid masuk dalam kategori ini, bersama dengan
ophiocephalidae
(channidae), anabantidae, osteoglossidae, belontidae dan
Clariidae (Gambar 34). Pola pergerakkan ikan yang mengikuti musim ini berhubungan dengan pola ikan whitefish dan blackfish. Hal ini dibenarkan oleh
nelayan berdasarkan jumlah
hasil
tangkapan. Pada musim hujan ikan akan cenderung bergerak ke hulu sungai, atau daerah yang lebih tinggi. Pada musim kemarau, ikan akan cenderung bergerak ke hilir (Gambar 26). Menjelang musim kemarau, ikan akan cenderung mengumpul di empang atau lubuk. Ada sekitar tujuh lubuk di Sungai Merang, dari km 39 hingga km 72,5 semuanya adalah daerah ikan yang berlimpah, terutama sebelum tahun 2001. Sebagian besar ikan ovipar mempunyai waktu pemijahan (breeding) tertentu yang dilakukan tiap tahun secara teratur.
Dari beberapa ekor ikan betina yang
ditangkap, didapatkan telur dengan tingkat kematangan gonad antara 1 hingga 3. Dengan demikian pada
bulan Agustus hingga awal September merupakan masa
pemijahan karena musim kemarau mulai berakhir dan musim penghujan tiba. Bulan September adalah awal masuk musim hujan, sehingga permukaan air akan terus naik sepanjang musim hujan sehingga banyak rawa dan dataran banjir tergenang air.
Hal
ini membuat ikan akan tersebar cukup luas di dalam hutan. Pada saat yang bersamaan, ikan-ikan yang terjebak di rawa-rawa, akan dapat keluar. Kondisi ini merupakan saat yang paling ditunggu oleh orang bekarang (pencari ikan). Menurut Effendie (1997), banyak dari jenis ikan di daerah tropis yang memijah pada musim hujan. pemijahan
ini disesuaikan
dengan keadaan
Jadwal
yang menguntungkan terutama yang
berhubungan dengan persediaan makanan bagi anak-anaknya apabila anak ikan tadi mulai makan makanan yang diambil dari luar setelah persediaan kuning telur habis (Effendie,
1997).
61
Gambar 34. Pola pergerakan ikan di musim hujan dan musim kemarau 5.5.3.
Pola Sebaran Ikan Rimba Definisi ikan blackfish dan whitefish, tidak berlaku mutlak karena pada
kenyataannya sering kali dijumpai ikan lais dan seluang yang merupakan ikan whitefish berada di lebak atau rawa-rawa, yang merupakan wilayah ikan blackfish. Hal ini terjadi karena rawa gambut merupakan daerah tangkapan air yang luas bagi Sungai Merang, sehingga masih banyak ruang bagi ikan untuk bergerak. Selain penggolongan di atas, para nelayan menambahkan dengan jenis ikan rimba. Jenis ini adalah ikan yang biasa berada di vegetasi lebat sehingga perairan terasa teduh dan habitat tidak terkena sinar matahari secara langsung.
Jenis ikan whitefish yang tidak tahan dengan kondisi
perairan terbuka diantaranya adalah
seluang kremasan (Rasbora kalochroma),
perunggu janda (Nandus nebulosus) dan sianang (Mystus bimaculatus). Jenis ikan black fish yang termasuk ikan rimba diantaranya, tempalo (Betta anabantoides), kleso (Scleropages formosus), setumbuk banir (Luciocephalus pulcher) dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun mereka masuk dalam kelompok blackfish, namun bila kondisi perairan hutan rawa menjadi terbuka, tanpa naungan vegetasi (biasanya disebut lebak), ikan-ikan tersebut akan mati. Berbeda dengan ikan blackfish lainnya seperti selincah (Belontia hasselti), betok (Anabas testudienus), tembakang (Helostoma teminckii), lele (Clariidae) dan ikan-ikan famili Channidae (toman, bujuk, serandang), yang lebih tahan hidup di perairan tanpa naungan vegetasi. Sebagai pembanding, di
63
daerah Taman Nasional Berbak, khususnya Sungai Air Hitam Laut, lebih sering dijumpai ikan-ikan blackfish yang tahan dengan tanpa naungan vegetasi, yang berada di daerah bekas terbakar (Wardoyo, 2004). Berkaitan dengan keberadaan ikan rimba, menurut Wetzel, 1975 dalam Effendie 2000, cahaya matahari yang mencapai permukaan perairan sebagian diserap dan sebagian direfleksikan kembali. Pada perairan alami, sekitar 53% cahaya masuk mengalami transformasi menjadi panas dan sudah mulai mengalami penghilangan panas pada kedalaman satu meter dari permukaan. Dengan demikian rawa-rawa atau lebak yang rata-rata kedalamannya kurang dari 1 meter, bila tidak dinaungi oleh vegetasi, suhu perairan akan tinggi. Hal ini mengakibatkan tidak banyak jenis ikan yang mampu bertahan di rawa terbuka atau lebak tersebut dan ikan yang mampu bertahan biasanya berlindung di balik serasah gambut pada atau di sela-sela rerumputan. Daerah lebung atau lebak yang dalam, kedalaman
bisa mencapai lebih dari satu meter,
kemungkinan akan mempunyai lebih banyak ikan dibandingkan lebak. Ikan yang tahan pada kondisi vegetasi terbuka dengan suhu tinggi dan kandungan oksigen terlarut rendah dapat dilihat pada penyebaran beberapa jenis ikan seperti ikan-ikan dari famili Channidae (seperti ikan gabus, bujuk dan serandang), ikan dari famili Belontidae (tambakan, sepat, selincah dan tempalo) dan famili Anabantidae (ikan betok)
yang
hampir tersebar merata di seluruh perairan, dari hulu yang
bervegetasi lebih lebat hingga muara yang relatif lebih terbuka. Suhu udara di daerah bervegetasi lebat pada siang hari adalah 26-27 0C. Pada daerah yang terbuka, suhu berkisar antara 30-33 0C. Di perairan Sungai Merang yang dinaungi vegetasi lebat, suhu perairan pada kedalaman 10-30 cm adalah 210C sedangkan pada daerah yang terbuka suhu perairan mencapai 29-310C. Menurut Enrico et al. (1997) rumpang berpengaruh nyata terhadap iklim mikro. Semakin luas rumpang (daerah hutan yang terbuka), maka semakin tinggi suhu udara, suhu tanah dan intensitas cahaya.
5.6.
Hubungan Vegetasi, Kualitas Air dan Komunitas Ikan Kegiatan illegal logging tidak terpisahkan dengan pembuatan parit. Kegiatan
illegal logging dengan membangun parit, dapat menyebabkan penurunan kualitas air, akibat adanya erosi dan bahan-bahan organik yang masuk ke perairan. Selain itu, dengan semakin terbukanya ruang, suhu perairan akan meningkat dan akan semakin menurunkan kosentrasi oksigen terlarut di air. Erosi mengangkut tanah pucuk yaitu tanah lapisan atas yang subur (top soil) dan memindahkan ke tempat lain yang lebih 64
rendah.
Seiring dengan terangkutnya lapisan tanah pucuk tersebut, terangkut pula
unsur hara. Tanah-tanah baru yang terbentuk karena pengendapan dari tanah pucuk yang mengalami erosi ini disebut tanah alluvial (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendie 2003). Jumlah parit di sepanjang Sungai Merang mencapai 250 buah, dengan panjang parit berkisar antara 200 m hingga 5 km. Selain membangun parit, kegiatan pembakaran vegetasi di beberapa bagian badan sungai untuk memudahkan pembangunan parit dan keluar masuk kayu, mempengaruhi
kondisi kualitas air. Berdasarkan keterangan nelayan Sungai Merang,
ikan belida (Notopterus sp) setelah kebakaran tahun 1997, tidak lagi ditemukan di Sungai Merang.
Penyebab hilangnya ikan belida ini
diduga karena pengaruh dari
bahan-bahan sisa pembakaran, yang terekstraksi menjadi senyawa-senyawa tertentu dan terbawa ke perairan saat hujan. Menurut Dunham et al., (2003), kebakaran dapat mempunyai banyak pengaruh yang
khusus bagi ekosistem perairan. Pengaruh tersebut adalah terganggunya
kestabilan aliran air; perubahan kayu menjadi serasah dan tersebar dan tersimpan; peningkatan ketersediaan nutiren; tingginya penyebaran sediment; terhambatnya sinar matahari di perairan dan suhu perairan. Pengaruh langsung dari kebakaran secara umum meliputi iklim, topografi, geologi dan penggunaan lahan.
Kondisi habitat yang
terbatas dan spesifik atau terisolasi bila terganggu dengan kebakaran, maka peluang terjadinya kepunahan spesies akan besar. Jenis ikan yang spesifik dan membutuhkan beberapa habitat yang spesifik akan sangat rentan dengan terputusnya siklus hidup karena habitat yang mendukung siklus hidupnya hilang. Disamping itu, dengan adanya kebakaran maka kondisi habitat yang berubah akan mengundang ikan lain untuk masuk, khususnya ikan yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi. Parit selain membuat erosi dan sedimentasi, juga menimbulkan teroksidasinya pirit (FeS 2) yang ada di lahan gambut.
Besi atau Fe, hanya ditemukan di perairan
dengan kondisi anaerob dan suasana asam (Cole, 1988). Nilai pirit di Sungai Merang dapat dilihat dari kosentrasi besi (Fe)
yang tinggi yaitu 1-2 mg/liter, sedangkan
kosentrasi normal di perairan 0,05 -0,2 mg/liter. Pirit merupakan salah satu sumber besi di alam. Kadar ini cukup tinggi, karena pada kosentrasi diatas 1 mg/liter akan membahayakan organisme di perairan (Moore, 1991 dalam Effendie 2003). Kadar besi pada perairan yang teraerasi jarang yang bisa mencapai 0,3 mg/liter (Rump dan Krist, 1992 dalam Effendi 2003). Dengan adanya parit, okisidasi yang terjadi cukup tinggi, sehingga kadar besi meningkat. Lingkungan yang terbuka menjadikan
65
suasana perairan menjadi aerobik, sehingga akan terjadi oksidasi pirit menjadi asam sulfat. Rekasi tersebut menurut Wahyunto et al. (2005), adalah sebagai berikut : FeS2 + 14/4O 2 + 7/2HO 2 " Fe(OH) 3 + 2 (SO4) 2- + 4 H+ Pirit
okisgen
Besi –III
asam sulfat
Hasil reaksi terbentuknya asam sulfat mengakibatkan pH perairan sangat rendah (pH1,9 – 3,5).
Kosentrasi sulfat di Sungai Merang adalah 70 mg/liter (hulu), 261,51
mg/liter(tengah) dan 38,48 mg/liter (hilir).
Kosentrasi ini jauh
diatas batas normal
perairan tawar yaitu 2-80 mg/liter. Nilai sulfat terbesar ada dibagian tengah Sungai Merang, yang merupakan akumulasi dari hulu (1) dan hilir (3). Air dari hulu ini tertahan ketika terjadi pasang naik, dimana air naik dari hilir menuju hulu, bertemu di bagian tengah (Km 40-50). Dengan adanya kosentrasi sulfat yang tinggi akibat adanya oksidasi pirit karena aktivitas penebangan dan penggalian parit, maka akan berpengaruh terhadap komunitas ikan. Pengaruh tersebut berpengaruh secara langsung pada ikan dan secara tidak langsung melalui rantai makanan. Proses ini selengkapnya dijelaskan pada Gambar 35 berikut : Penebangan liar
Oksidasi pirit
Penggalian parit
Terbentuk asam sulfat
Komunitas plankton
Kualitas air Sungai Merang
pH perairan turun
Komunitas ikan Gambar 35. Proses pengaruh illegal logging pada perikanan
66
Analisis Peubah Kanonik Parameter kualitas air yaitu pH, DO, alkalinitas, kesadahan, daya hantar listrik dan unsur-unsur logam/ mineral memiliki nilai keanekaragaman data yang rendah dari hulu hingga hilir. Hal ini erat kaitannya dengan sifat dan karakteristik perairan gambut pada umumnya, yang memiliki pH, DO dan kesuburan yang rendah.
Parameter yang
berbeda nilainya dari hulu hingga hilir dan memiliki tingkat keanekaragaman data yang tinggi, adalah kecerahan, kekeruhan, debit, TSS dan COD. Kelima parameter ini dapat dikatakan memiliki nilai yang berbeda nyata. Dengan demikian, peubah kanonik air yang digunakan meliputi kelima parameter kualitas air tersebut. Proses peubah kanonik selengkapnya pada Gambar 36. Parameter komunitas ikan memiliki nilai yang bervariasi dari hulu hingga muara. Dengan demikian seluruh nilai berbeda nyata.
Parameter komunitas yaitu indeks
dominansi, tidak dimasukan dalam peubah kanonik. Indeks dominansi memiliki nilai yang berbanding terbalik dengan keseragaman. Dengan demikian indeks keseragaman sudah cukup mewakili. KARAKTERISTIK IKAN : JTI, JJ, BRT, ANK SRG
PEUBAH KANONIK : IKAN1,...., IKAN5
KARAKTERISTIK AIR : DBT, KEC, KRH, COD, TSS
PEUBAH KANONIK : AIR1,...., AIR5
Gambar 36. Penentuan peubah kanonik Keterangan : Peubah Kanonik komunitas Ikan : JTI = jumlah tangkapan Ikan; JJ = jumlah jenis; BRT = berat; ANK = keanekaragaman ikan; SRG = keseragaman Peubah Kanonik karakteristik (kualitas) air : DBT = debit; KEC = kecerahan; BRT = berat; COD; dan TSS Peubah asli untuk ikan dan air ditransformasi kedalam peubah kanonik dengan ketentuan :
67
1. PK ikan1, . . . , ikan5 merupakan kombinasi linear dari peubah asli ikan JTI, JJ, BRT, ANK, SRG. 2. PK air1, . . . , air5 merupakan kombinasi linear dari peubah asli air DBT, KEC, KRH, COD, TSS 3. PK ikan1, . . . , ikan5 bersifat saling orthogonal (tidak berkorelasi) 4. PK air1, . . . , air5 bersifat saling orthogonal (tidak berkorelasi) 5. Pasangan PK (ikan1, air1) menjelaskan keragaman data terbesar diikuti PK (ikan2, air2), dst Tahapan pertama adalah mencari korelasi antara pasangan peubah kanonik air dan peubah kanonik ikan. didapatkan nilai 78,09%.
Persentasi keragaman
dengan peubah kanonik
Nilai ini berarti hubungan korelasi
(perhitungan selengkapnya pada Lampiran 9, model 1).
tidak berbeda nyata
Dengan demikian model
pertama dari korelasi kanonik ini tidak berbeda nyata. Tahapan kedua adalah mengurangi peubah ikan yaitu berat (BRT). Berat dalam hal ini dianggap kurang mewakili. Hal ini dikarenakan beberapa jenis yang tertangkap memiliki ukuran yang berbeda-beda, tergantung usia ikan. Stasiun 3 (hilir), stasiun 6 (tengah) dan 8 (hulu) memiliki berat total hasil tangkapan yang tinggi, namun jumlah jenis dan keanekaragaman tinggi. Sebaliknya daerah hulu yaitu stasiun 8, 9 dan 10 yang bervegetasi relatif lebat,
memiliki jumlah jenis dan keanekaragaman yang tinggi,
namun berat total hasil tangkapan rendah (Gambar 33). Hal ini dikarenakan lebih banyak ikan muda yang terdapat di ketiga stasiun tersebut.
Dengan demikian peubah
kanonik ikan menjadi 4 sedangkan peubah kanonik air tetap 5 (selengkapnya pada Lampiran 9). Persentasi keanekaragaman didapatkan nilai 90,43%.
dengan peubah kanonik
Nilai ini berarti hubungan korelasi
(perhitungan selengkapnya pada Lampiran 9, model 2).
pada model 2 ini tidak berbeda nyata
Dengan demikian model
pertama dari korelasi kanonik ini tidak berbeda nyata. Tahapan yang ketiga atau model yang ketiga adalah pengurangan kembali jumlah peubah kanonik, baik peubah kanonik ikan maupun peubah kanonik air. Peubah kanonik ikan yang dikurangi adalah jumlah tangkapan ikan (JTI). Jumlah tangkapan ikan terkait dengan alat tangkap yang digunakan dan berat ikan yang didapat. Kondisi ini serupa dengan tahapan 2 atau model 2, yaitu selain faktor lingkungan juga faktor selektifitas penangkapan atau metoda sampling. Dengan demikian Peubah kanonik ikan yang tersisa adalah keanekaragaman (ANK), jumlah jenis (JJ) dan keseragaman (SRG). Peubah kanonik air yang dikurangi adalah COD dan TSS. Nilai korelasi peubah kanonik COD dan TSS ini dengan peubah 68
kanonik ikan adalah paling rendah. Dengan demikian, pada model ketiga ini tersisa 3 peubah kanonik. Peubah kanonik ikan yaitu jumlah jenis (JJ), keanekaragaman (ANK) dan keseragaman (SRG) sedangkan peubah kanonik air adalah debit (DBT), kecerahan (KEC) dan kekeruhan (KRH). Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Selengkapnya korelasi kanonik disajikan pada Tabel 6 hingga Tabel 8. Tabel 6. Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan peubah asil ikan Canonical Structure Correlations Between the
Karakteristik ikan and Their Canonical Variables
Tabel 7. Korelasi antara peubah kanonik air dengan peubah asil air Correlations Between the karakteristik air and Their Canonical Variables
DBT KEC KRH
DBT KEC KRH
air1
air2
air3
-0.9662 0.8945 -0.8872
0.0974 0.1134 0.4205
-0.2386 0.4324 -0.1898
Tabel 8. Korelasi antara peubah kanonik air dengan peubah asil pada ikan Correlations Between the Karakteristik ikan and the Canonical Variables of the karakteristik air air1
air2
air3
JJ ANK SRG
JJ ANK SRG
0.8339 0.8914 0.6916
0.2143 -0.1295 -0.2840
-0.0682 -0.0412 0.143
JJ ANK SRG
JJ ANK SRG
0.9036 0.9659 0.7495
0.3739 -0.2260 -0.4956
-0.2092 -0.1265 0.4390
Dari hasil tahap 3, maka dibuat hubungan regresi antara kedua peubah kanonik yaitu peubah kanonik ikan dan peubah kanonik air, pada setiap stasiun (Gambar 37 dan Gambar 38). Dari Gambar 37, dapat terlihat hubungannya bahwa dengan tingginya kecerahan, debit rendah, kekeruhan rendah maka jumlah jenis , Keanekakaragaman dan keseragaman ikan semakin tinggi. Pada stasiun 8, nilai peubah kanonik sedikit di luar batas regresi, artinya memiliki nilai peubah kanonik lebih tinggi untuk peubah kanonik ikan. Stasiun 8 dikenal sebagai daerah lubuk buntik. Daerah ini pada tahun 1996 merupakan kampung nelayan (10 KK) dan juga salah satu daerah yang melimpah hasil tangkapan ikan, dari seluruh daerah di Sungai Merang. (Bezuijen, 2002). Daerah 69
ini mempunyai arus yang tenang, cukup dalam dan banyak ditumbuhi tanaman rasau (Pandanus sp). Selain itu, daerah ini merupakan peralihan zona pasang surut dari zona 2 ke zona 3. Berdasarkan penjelasan diatas, yaitu melalui pendekatan peubah kanonik
dan
curah hujan dan sebaran ikan, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan Sungai Merang yang cenderung homogen dan pola penyebaran ikan yang ada banyak dipengaruhi oleh curah hujan.
R EGRES I IKAN-1 DEN GAN AIR-1 ikan1 = - 0.0000 + 0.9229 air1
Regression 95% C I
2
S R- Sq R- Sq( adj)
ikan1
1
0.405981 85.2% 83.5%
0
-1
-2 -1.0
-0.5
0.0
0.5 air1
1.0
1.5
2.0
Gambar 37. Hubungan antara kecerahan, debit dan kekeruhan (air1) dengan jumlah jenis, Kenekaragaman dan keseragaman ikan (ikan1).
70
UJI KENORMALAN UNTUK RESIDUAL 99
Mean StDev N AD P-Value
95 90
0.002567 1.045 11 0.293 0.536
80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-3
-2
-1
0 RESIDUA L
1
2
3
Gambar 38. Uji kenormalan menghasilkan p-value >0.05 maka residual model bisa dikatakan menyebar normal artinya model regresi valid. Menurut Kottelat et al. (1993), kepunahan spesies ikan di Indonesia, lebih banyak karena rusaknya ekosistem hutan. Pada daerah gambut di daerah Bengkalis, Riau menurut Tjakrawidjaya dan Haryono (2001), terjadi penurunan jumlah spesies yang cukup besar pada daerah yang dijadikan pertambangan dari semula hutan primer dan hutan sekunder. Hal serupa terjadi di lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Menurut Kartamihardja, (2002), setelah hutan gambut seluas 1 juta hektar hilang, maka hasil tangkapan ikan para nelayan berkurang hingga 60%. 5.7.
Hubungan Vegetasi dengan Alat Tangkap Ikan Alat tangkap ikan yang utama adalah bubu, temilar, sengilar, jaring, pancing tajur
dan pancing kecepek. Prioritas utama adalah ikan-ikan ekonomis, seperti tapa, baung, lele, bujuk, ruan, serandang dan kleso. Pemasangan alat tangkap ikan dilakukan di daerah yang dipenuhi tanaman air, baik rasau maupun bakung. Alat tangkap bubu, temilar dan alat tangkap trap lainnya sangat efektif di daerah yang bervegetasi. Jika tidak ada vegetasi, mereka membuat pagar untuk menggiring ikan masuk ke dalam bubu. Alat tangkap terbesar adalah lulung, yang terdapat di daerah lebung di sekitar km 39,4. Prinsipnya seperti bubu, yaitu ada semacam pagar atau injab untuk menggiring
71
ikan ke dalam lulung. Karena alat tangkap ini cukup besar, maka seringkali kura-kura dan labi-labi masuk ke alat tangkap ini. Alat tangkap yang digunakan selengkapnya disajikan dalam Gambar 39 sampai dengan Gambar 44 dan Lampiran 10. Ikan-ikan kecil yang ukurannya kurang dari 20 cm, banyak dijumpai di daerah sekitar tanaman air. Penggunaan tangkul atau menggunakan serok dengan berperahu secara perlahan adalah metode yang biasa digunakan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Jenis yang biasa tertangkap adalah seluang (Rasbora chepalotaenia), julungjulung (Dermogenys sp), seliur (Hemisilurus sp), lais muncung (Ceratoglanis sp), kili-kili (Ompok sp.) dan lain-lain. Ikan-ikan ini biasanya dimanfaatkan untuk konsumsi seharihari atau sebagai umpan pancing tajur. Hampir semua alat tangkap ikan yang digunakan nelayan efektif digunakan di daerah yang dipenuhi vegetasi bahkan alat tangkap yang merusak kelestarian ikan seperti setrum atau listrik (electric fishing) efektif di daerah bertanaman air. Perikanan merupakan salah satu mata pencarian penduduk di Desa Muara Merang. Kegiatan perikanan sudah lama dilakukan di daerah ini. Dengan demikian, jumlah ikan akan terus berkurang karena terus dieksploitasi. Penurunan jumlah hasil tangkapan ikan ini salah satunya dipengaruhi oleh penggunaan alat tangkap listrik oleh masyarakat secara luas. Alat tangkap listrik tidak boleh digunakan untuk menangkap ikan, karena akan mengancam kelestarian ikan sehingga secara hukum pun tidak diperbolehkan. Hasil tangkapan dari alat tangkap ini terdiri dari dua macam, yaitu hasil tangkapan utama dan hasil sampingan. Hasil tangkapan utama adalah semua jenis dan ukuran ikan yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan.
Semua ikan dewasa dan induk ikan
tertangkap dengan alat ini. Hasil sampingan saat pengoperasian alat ini yaitu larva ikan dan juvenile atau ikan-ikan muda.
Alat ini sangat efektif dalam menangkap ikan di
daerah yang dipenuhi tanaman air, karena ruang gerak ikan terbatas, sehingga mudah untuk menangkapnya. Jangkauan alat tangkap ini sekitar 1-2 meter. Tahun 2001, alat ini secara sembunyi-sembunyi digunakan, namun sejak Pengemin periode 2003 dan 2004, alat ini semakin sering dijumpai, tidak saja oleh pengemin namun masyarakat secara luas. Pada waktu pengamatan, dalam satu minggu kegiatan penyetruman bisa mencapai 2 kali. Dalam satu kali perjalanan, ikan yang dihasilkan dapat mencapai 3-4 kwintal, berbagai jenis dan ukuran. Jumlah tersebut tidak termasuk hasil sampingan berupa telur, larva dan juvenil yang mati serta ikan-ikan yang tidak terangkut. Namun demikian, pola tangkap dengan menggunakan listrik tidak memperhatikan musim hujan
72
atau kemarau serta pergerakan ikan, seperti yang dilakukan para nelayan tradisional terdahulu.
Dengan demikian penangkapan ikan dengan tidak memperhatikan pola
ruaya ikan setidaknya dapat mengurangi laju kecepatan eksploitasi ikan.
Gambar 39. Pemasangan alat tangkap di tanaman rasau
Gambar 41. Pancing tajur
Gambar 40. Jaring untuk ikan permukaan
73
Gambar 43. Tangkul ikan
Gambar 42. Sengilar
Gambar 44. Alat tangkap bubu dari rotan.
5.8. Sosial Ekonomi Perikanan Lelang Sungai adalah suatu mekanisme pemilikan sungai selama setahun untuk mengambil hasil perikanan. Mekanisme ini berjalan sejak zaman dahulu, sebelum ada sistem pemerintahan desa. Sungai yang dilelang bukan tempat transportasi masyarakat dan tidak banyak penduduk yang tinggal sepanjang sungai. Sungai tersebut biasanya bermuara ke sungai lain yang lebih besar, seperti misalnya sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Lalan.
Pada beberapa bagian sungai terdapat lubuk, yaitu
bagian yang terdalam dari sungai. Ada Beberapa lubuk di Sungai Merang, dimulai dari stasiun 8 (Daerah lubuk buntik) dan ada beberapa lagi ke arah hulu Sungai Merang. Sungai – sungai yang bermuara ke Sungai Lalan dahulu dilelang untuk usaha perikanan, namun sekarang tidak dilelang lagi untuk perikanan tapi diperuntukan untuk kegiatan illegal logging terutama sejak awal tahun 2001. Hasil produksi perikanan terus menurun, walaupun usaha penangkapan terus diupayakan dengan intensitas yang relative tidak berubah. Puncak kemrosotan hasil perikanan, terjadi pada tahun 2000, padahal usaha yang dilakukan memiliki intensitas yang lebih tinggi dari periode sebelumnya (Gambar 45). Setelah tahun itu, perikanan hanyalah kegiatan sambilan bagi pengemin. Sungai Merang adalah sungai terbesar diantara sungai yang berada di rawa gambut yang bermuara ke Sungai Lalan dan dahulu merupakan salah satu daerah lelang sungai untuk perikanan. Hasil dari usaha perkayuan atau illegal logging jauh lebih besar daripada perikanan. Berdasarkan keterangan Pegawai Pak Barowi, pemilik lelang tahun 2001 – 2003,
hasil tangkapan total ikan selama tahun 2002 adalah 12,5 pikul (kwintal)
74
termasuk di dalamnya 300 kg dari hasil tangkapan nelayan lain. Setengah dari hasil tangkapan mereka adalah ikan tapa (Wallago leeri). Bila rata-rata harga ikan perkilo adalah Rp 8000, maka hasil dari ikan pertahun adalah Rp 10.000.000. Selain hasil tangkapan sendiri, pemegang lelang memungut hasil tangkapan ikan dari orang lain yang menangkap ikan di Sungai Merang. Biaya per-kg adalah Rp 1000. Bila hasil tangkapan setahun sekitar 12 kwintal (pikul), maka hasil retribusi pertahunnya adalah Rp 1.250.000. Dengan demikian total hasil dari perikanan baik dari menangkap sendiri maupun reribusi usaha perikanan adalah Rp 11.250.000. Produk lain seperti kura-kura dan labi-labi tidak dipungut biaya, walaupun sebenarnya nilai jualnya lebih tinggi dari ikan, namun jumlahnya hanya sedikit.
Hasil ini jelas tidak mungkin untuk dapat
mengembalikan modal lelang sungai.
Perkiraan Hasil Perikanan di S. Merang 1975 -2004
120
Persentasi Hasil
100
80
60
40
20
0 1975-80
1981-84
1985-90
1990-97
1997-2000
th 2001
th 2002
th 2003
th 2004
Hasil tangkapan di S. Merang (Yield) Periode waktu (tahun) Gambar 45. Perkiraan hasil perikanan di ikan Sungai Merang Usaha penangkapan (effort) Jumlah KK yang menangkap ikan
75
Pemilik lelang mendapatkan hasil utama dari produksi kayu. Biaya setiap rakit kayu (terdiri dari 3 –4 balok, sepanjang 3 – 4,5 m) adalah Rp.3000. Diperkirakan ratarata rakit kayu yang keluar setiap hari dari tahun 2001 hingga 2003 adalah 300 rakit. Dengan demikian dalam satu tahun pendapatan kotor dari kayu diperkirakan mencapai Rp 328.500.000. Keuntungan dari hasil usaha
perikanan hanyalah 3,4% dari hasil
keuntungan usaha kayu. Dengan demikian, walaupun harga lelang sungai terus naik, dan hasil perikanan relatif tetap, lelang sungai terus diminati para pemodal. Pekerjaan di sektor perkayuan
membutuhkan banyak tenaga kerja. Hal ini
membuat masyarakat tertarik termasuk nelayan. Untuk membangun parit sedikitnya dibutuhkan 3 orang untuk menghasilkan panjang parit 10 m/hari. Selanjutnya untuk menebang, mengumpulkan dan mengantar ke sawmil, itupun membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Dengan tidak adanya proteksi usaha perikanan oleh pengemin dari gangguan illegal logging, membuat nelayan banyak yang beralih kerja ke sektor perkayuan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan illegal logging di Sungai
Merang
telah merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat, dalam hal ini
masyarakat terpaksa ikut meram bah hutan karena hasil perikanan terus menurun akibat illegal logging.
Disamping itu, mekanisme lelang sungai justru ikut memfasilitasi
kegiatan eksploitasi hasil hutan dan tidak lagi memfokuskan pada sektor perikanan.
76