V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Luas Areal Hutan Mangrove di Sekitar Teluk Kendari
Dari hasil overlay tersebut diperoleh luasan areal inventarisasi vegetasi mangrove di Teluk Kendari yaitu seluas 67,51 ha. Luasan tersebut tersebar di sepanjang garis pantai Teluk Kendari dengan ketebalan yang bervariasi dari garis pantai yang berbatasan langsung dengan penggunaan lahan lainnya. Kelompok mangrove tersebut tersebar berkelompok di sekitar wilayah pesisir teluk antara lair1 di Kelurahan Lapulu Kecamatan Poasia dengan ketebalan mangrove 100-400 m dari garis pantai dengan panjang garis pantai sekitar 500 m yang berbatasan dengan lnuara sungai Anggoya, Kelurahan Kambu Kecamatan Poasia dengan ketebalan mangrove 100-200 m dari garis pantai dengan panjang garis pantai sekitar 300 m, selanjutnya di kelurahan Korumba Kecarnatan Mandonga terdapat kelompok mangrove dengan ketebalan 100-300 m dengan panjang garis pantai sekitar 400 m yang terletak diantara muara sungai Wanggu dan sungai Kadia dan kelompok mangrove yang berbatasan dengan muara sungai Kadia ke arah utara dengan ketebalan mangrove 100-300 m dengan panjang garis pantai sekitar 400 m dan kelompok mangrove yang terletak di Kelurahan Sodoha Kecarnatan Kendari dengan ketebalan mangrove 200 m dengan panjang garis pantai sekitar 300 m. Secara umum dapat dijelaskan (Gambar 6) bahwa areal mangrove di sekitar Teluk Kendari mulai dari Kecamatan Poasia sampai Kecamatan Kendari tersebar dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-400 m dari garis pantai dan terputus pada beberapa kelompok areal mangrove tersendiri.
i
INVENTARISASI MANGROVE
TELUK KENDARI DIAGRAM L W I PULA 1 : nmm
P t T V H I \ P ( LElM F-fu
w I D O W K K E H I A 'P
~RVs~RR*HaLOPHOrUwW( [--I [--I
JALAN UTAMA JALAN SCKUHDER
(yJ
CARIS PANTAI I S I M G A I
I-
BATAS KCCAMATAH
a
BATAS
MAHGROYE
JALUR SAMPLE
[
S A M P L E PLOT
SUMBER: 1. PETA RUPA 9 U M I INDONESIA, B ~ Y J R T A M A L .1131.
-
I
: SO.000
5.1
Kondisi tersebut disebabkan karena aktivitas ekonomi yang sangat tinggi di sepanjang Teluk Kendari yang menyebabkan konversi lahan hutan mangrove (industri , infiastruktur dan pertanian / pertambakan) serta penebangan mangrove untuk pemukiman penduduk.
5.2. Konversi Kawasan Jalur Hijau Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya
5.2.1. Luas Areal Konversi Hutan Mangrove
Dalam Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, diyatakan bahwa kawasan lindung adalah suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung sebagaimana dirnaksud dalam peraturan tersebut meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka dam dan cagar budaya dan kawasan rawan bencana dam. Dalam hubungannya dengan hutan mangrove, dalam Keppres No. 32 Tahun 1990 dijelaskan bahwa daerah pasang surut hutan mangrove yang berada pada cakupan sekitar 130 t adalah daerah konservasi, dimana t adalah beda tinggi pasmg surut. Demikian halnya dengan kawasan pesisir Teluk Kendari, khususnya pada daerah tapal kuda atau bagian barat dm bagian selatan dari kolam teluk. Kawasan tersebut yang pada tahun 1980 an masih merupakan kawasan mangrove. Perda Nomor 1 Tahun 1987 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten secara langsung memberikan perlindungan atau sifat konservasi pada areal ekosistem
55
hutan mangrove. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai suatu kawasan yang bebas bangunan atau dengan istilah kawasan jalur hijau. Luas cakupan yang terpengaruh pasang surut tersebut dan merupakan hutan mangrove mencakup -L 1137 Ha. Luas kawasan jalur hijau pada Teluk Kendari telah mengalami pengurangan yang sangat drastis dalarn kurun waktu 12 tahun sejak tahun 1987. Luasan kawasan konservasi atau jalur hijau yang merupakan habitat dari ekosistem hutan mangrove saat ini tersisa f 184 Ha dari luas f 1137 Ha. Berikut Tabel 8 memperlihatkan peruntukan lahan dari kawasan jalur hijau menjadi penggunaan yang lain.
Tabel 8. Penggunaan Lahan Kawasan Jalur Hijau
-
Penggunaan - Lahan
Luas Tahun 1987 (Ha)
Luas Tahun 1999 (Ha)
Perurnahan Tarnbak Lahan Kosong Jalur Hijau
-
-
1
-
291 180
1 1
1137
184
1
341
(%I 30,O 25,6
15,8 16,2
I
Total
1137
Sumber : Suhaeb (2000)
1137
I I
100
Hasil analisis spasial dengan cara turnpang susun menurut Suhaeb (2000) memperlihatkan banyaknya kegiatan penggunaan lahan yang memasuki kawasan konservasi jalur hijau. Kegiatan yang banyak merambah kawasan jalur hijau tersebut adalah kegiatan pembangunan pemukiman, pembukaan tarnbak, reklamasi dan pembukaan kebun. 56
5.2.2. Pemanfaatan Lahan Konversi Hutan Mangrove Hutan mangrove mempunyai peranan ekonomi yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan.
Sebagian besar penduduk
memdaatkan hutan mangrove sebagai sumber penghasilannya. Baik masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai nelayan maupun sebagai petani. Dari hasil survey di lapangan terdapat sembilan jenis sumberdaya dam yang banyak diusahakan penduduk yang bermukim di sekitar hutan mangrove. Kesembilan jenis usaha tersebut meliputi penangkapan ikan, udang, kepiting, pemanfaatan kayu bakau, nipah, tarnbak udang dan bandeng, perkebunan kelapa, perkebunan kakao dan perkebunan jambu mente. Penangkapan ikan dan udang yang dilakukan oleh nelayan umumnya menggunakan jaring, pancing dan perangkap. Penangkapan kepiting umumnya dilakukan nelayan sebagai pekerjaan tambahan. Penangkapan dilakukan dengan memasang semacarn perangkap yang diberi umpan dan diletakan di bawah pohon bakau lalu dibiarkan beberapa jam, dan kemudian dikumpulkan. Kepiting yang ditangkap nelayan adalah kepiting berukuran sedang sampai besar. Pemanfaatan kayu bakau untuk kayu bakar dan bahan bangunan rumah umumnya dilakukan hampir seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove. Ada yang mengambil sendiri di hutan mangrove dan ada yang membeli dari masyarakat yang mengumpulkannya Pemdaatan nipah saat ini dilakukan oleh masyarakat masih terbatas untuk pembuatan atap rumah. Pemanfaatan hutan mangrove untuk perkebunan kelapa telah lama dilakukan masyarakat sekitar wilayah pesisir maupun masyarakat pendatang. 57
Perkebunan kelapa di kawasan ini telah lama dilakukan oleh masyarakat pendatang tersebut, selanjutnya setelah kawasan ini berkembang, penduduk aslipun banyak yang ikut menanam kelapa di kawasan hutan mangrove ini. Demikian pula untuk perkebunan kakao dan jarnbu mete, ke dua komoditas tersebut sangat menarik perhatian para pendatang maupun penduduk asli karena harganya yang cukup tinggi. Tambak udang dan bandeng mempakan peluang usaha yang amat menjanjikan keuntungan yang tinggi bagi masyarakat, untuk itu maka banyak lahan di sekitar kawasan jalur hijau hutan mangrove yang terkonversi menjadi lahan pertambakan karena ke dua komoditas perikanan tersebut memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap sumberdaya dam hams dikelola dengan berwawasan lingkungan, maka dalam penerapan sistem pengelolaan hutan mangrove perlu memperhatikan beberapa prinsip, yaitu prinsip kesinambungan h g s i hutan mangrove, terpeliharanya jaring-jaring
kehidupan
ekosistem
hut.
mangrove,
terpeliharanya
keanekaragaman hayati, terkendalinya dampak negatif dan peningkatan dampak positif dwi peinbangunan hutan mangrove, dan kesadaran dari berbagai pihak atas kedudukan hutan mangrove sebagai "milik bersama". Sebagaimana diatur dalam Keppres No. 32 Tahun 1990 bahwa sesuai dengan fungsi kawasan, mangrove rakyat dapat dikembangkan menjadi hutan mangrove dengan fungsi perlindungan dan fungsi produksi. Fungsi perlindungan pada hakekatnya digunakan untuk melindungi kawasan pantai dari interusi air laut, perlindungan tambak rakyat di bagian belakang sabuk hijau dari terjangan 58
ombak laut, kendati demikian daerah tersebut masih dapat dimanfaatkan secara terbatas yaitu sebagai tempat mencari nener, benur dan hasil-hasil laut lainnya. Sedangkan b g s i produksi artinya pada daerah ini dapat dikembangkan untuk budidaya pertanian dan pertambakan. Hasil survey menunjukan bahwa kegiatan pertambakan dan pertanian (perkebunan) serta pemukiman sudah sangat mengkhawatirkan karena tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah konservasi yaitu bahwa pembukaan lahan hams dilakukan minimum berjarak 200 meter dari titik pasang tertinggi yang merupakan kawasan penyanggah guna menjaga kestabilan ekosistem mangrove baik sebagai penjaga sikuls makanan maupun sebagai tempat berlindung bagi turnbuhan dan satwa langka. Selain itu pengusahaan tambak disekitar kawasan sebagian besar tidak dimanfaatkan dan tanaman perkebunan (kelapa, kakao dan jambu mete) tingkat produktivitasnya sudah sangat rendah. Kegiatan pertanian (perkebunan) saat ini sudah tidak lagi menjadi pencaharian utarna karena selain produktivitas yang rendah karena tanarnan yang sudah tua juga karena ketidakpastian harga serta sistem usahatani yang masih konvensional.
5.3. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Keberadaan dan Alih Pemanfaatan Hutan Mangrove
Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat ditunjukan berdasarkan hasil wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner di beberapa kelompok profesi (Pegawai negeri, swasta dan petanilnelayan) terhadap keberadaan dan alih pemanfaatan hutan mangrove yang ditunjukan dengan indikator pengelolaan, sikap dan tanggapan terhadap hutan mangrove tersebut. 59
Berdasarkan hasil wawancara (Tabel 9) terhadap responden menunjukan bahwa masyarakat masih menginginkan keberadaan hutan mangrove tidak boleh dihilangkan dan perlu dijaga agar tetap lestari sebagai tempat untuk mencari naflkah bagi penduduk sekitarnya. Hal ini ditunjukan dari seluruh responden (100%) menjawab setuju. Namun pengetahuan responden masih rendah, ha1 ini ditunjukan dari sebagaian besar (90%) responden menjawab tidak tahu mengenai kawasan hutan mangrove sebagai kawasan yang dilindungi, selain itu ditunjukan pula dari sebagian besar (87,5%) responden menjawab tidak tahu mengenai kepemilikan hutan mangrove mengenai kepemiliican hutan mangrove karena mereka beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut tidak ada yang memiliki. Secara umum masyarakat di empat desa penelitian mempunyai sikap yang rendah terhadap keberadaan hutan mangrove hutan mangrove. Hal ini terlihat dari kecilnya persentase responden yang mengetahui manfaat serta fungsi hutang mangrove di daerahnya dan kurangnya tindakan mereka untuk mencegah kerusakan hutan mangrove. Hal ini menunjukan kurangnnya kepedulian masyarakat
terhadap
keberadaan
hutan
mangrove
walaupun
mereka
memanfaatkan hutan mangrove dalaii kehidupan sehari-harinya. Selain itu sikap yang tidak peduli terhadap keberadaan hutan mangrove ditunjukan dari tindakan yang akan dilakukan responden apabila ada seseorang yang mau merusak hutan mangrove adalah 65 % responden mendiamkannya dan 35% responden menyatakan tidak tahu (Tabel 9).
Tabel 9. Persentase Tingkat Pengetahuan dan Sikap Responden mengenai Keberadaan dan Alih Pemanfiatan Hutan mangrove di Wilayah Penelitian. 2001 Jumlah No. Pertanyaan Desa A B C D 40 Jurnlah Responden 10 10 10 10 (100%)
-
Pengetahuan 1.
2. 3.
Apakah Kawasan Mangrove merupakan kawasan yang dilindungi ? - Tahu - Tidak Tahu Siapakah Pemilik Hutan mangrove - Pemerintah - Tidak Tahu Hutan mangrove tersebut dijaga agar tetap lestari - Setuju - Tidak setuju
Sikap 4.
Tindakan yang akan dilakukan bila ada usaha untuk merusak hutan mamngrove - Mendiamkan - Memperingatkan - Melapor kepada pihak yang berwenang Tidak Tahu masyarakat Bolehkah memanfaatkan hutan mangrove dan kira-kin dalarn bentuk spa ? - Boleh, untuk mencari kayu bakar Boleh, untuk lahan pertanian Boleh, untuk sarana rekreasi Boleh, untuk mencari ikan dan satwa lainnya - Tidak boleh memanfiaatkan 6. Hutan mangrove dihilangkan / dirnusnahkan - Setuju - TidakSetuju Sumber : Diolah dari Data Primer, 200 1 Keterangan : B : Desa Surue Jaya A : Desa Bajo Indah D :Desa Rahan Douna C : Desa Andunouhu
-
--
Responden yang menyatakan mendiamkan saja terhadap tindakan yang &an dilakukan bila ada usaha seseorang yang mau merusak hutan mangrove karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan pengambilan kayu bakar yuang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan tarnbahan pendapatan bagi masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden di empat desa penelitian mengenai
bentuk
pemanfaatan
hutan
mangrove
menunjukan
bahwa
37,5%responden menjawab bahwa hutan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar, 35 % responden menyatakan bahwa hutan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sumber untuk mencari ikan dan satwa lainnya, sedangkan 2,5 % responden lainnya menyatakan bahwa hutan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi sedangkan sikap masyarakat terhadap alih pemanfaatan hutan mangrove menunjukan 25% responden berpendapat bahwa hutan mangrove dapat dirnanfaatkan sebagai lahan pertanian dan pertambakan. Hal ini menunjukan bahwa secara umum masyarakat masih menginginkan pem8nfaata.n sumberdaya hutan mangrove (75%) dalam bentdc penggunaan kayu bakar, ternpat mencari ikan dan satwa lainnya serta tempat untuk rekreasi dan 25 % menginginkan alih pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan pertanian dan pertambakan.
5.4. Struktur Komunitas Hutan Mangrove
5.4.1. Komposisi dan Potensi Tegakan
Berdasarkan hasil inventarisasi tingkat pohon, tingkat pancang dan tingkat semai di bagian pesisir pantai hutan rnngrove Teluk Kendari ditemukan 5 jenis
pohon mangrove, yaitu jenis Avicenia, sp, Rhizopora sp, Sonneratia, sp,
Bruguiera, sp dan Xylocarpus, sp (Tabel 10).
Tabel 10. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon, Pancang, dan Semai di Kawasan Hutan Mangrove di Teluk Kendari, 2001 -
-
No.
Pohon Jenis
KR
FR
DR
INP
H'
C
7
1
Avicenia, sp
47,5913
40,78 13
45,8820
134,2456
0,2541
0,2929
2
Rhizopora, sp
33,1415
36,9048
35,1506
101,1216
0,1310
0,3532
3
Sonneratia, sp
16,3286
2 1,7858
17,3535
52,86 1 1
0,0354
0,30 16
4.
Bruguiera, sp
22,805 1
21,3540
18,45 13
64,8962
0,0508
0,323 1
5.
Xylocarpus, sp
13,6364
20,0000
12,1060
45,7420
0,0232
0,2867
No. -
Pancang
Jenis
KR
FR
INP
C
H'
1.
Avicenia, sp
4 1,4828
3 1,8560
73,3702
0,155 1
0,3484
2.
Rhizopora, sp
34,8100
36,5483
71,3569
0,1290
0,3505
3.
Sonneratia, sp
19,8 128
24,6897
44,5367
0,1008
0,3267
4.
Bruguiera, sp
23,5624
24,0487
47,6048
0,0672
0,3 157
5.
Xylocarpus, sp
14,8867
22,8596
37,7463
0,3132
0,3132
No. -
.
Semai
Jenis
KR
F'R
INP
C
H'
1.
Avicenia, sp
40,7003
40,0444
80,7427
0,1794
0,3466
2.
Rhizopora, sp
37,3001
39,8991
77,2466
0,1574
0,3570
3.
Sonneratia, sp
33,9827
32,7197
15,3283
0,0293
0,0789
4.
Bruguiera, sp
32,8874
30,5688
63,4563
0,1840
0,3500
I
Sumber : Diolah Dari Data Primer, 2001
Berdasarkan hasil inventarisasi tingkat pohon, pancang dan semai di Kawasan Pesisir Pantai Teluk Kendari secara keseluruhan dapat diketahui besarnya nilai Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Dominansi Jenis (C) dan Indeks Keanekaragaman Jenis (H) seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Menurut Wirakusumah dan Sutisna, (1979) jenis pohon dikatakan dominan jika jenis tersebut terdapat di areal yang bersangkutan dalam jurnlah besar, tersebar merata ke seluruh areal dan berdiamater besar. Sehingga penetapan suatu jenis yang dominan dengan menggunakan dasar suatu nilai yang merupakan gabungan dari tiga nilai, yaitu : nilai kerapatan, nilai fiekuensi dan nilai dorninansi adalah sangat tepat.
Dari 5 jenis pohon mangrove yang ditemukan pada kawasan pesisir sekitar Teluk Kendari jenis Avicenia, sp merupakan vegetasi yang dominan dengan nilai penting 134,882 % untuk tingkat pohon, 73,3702% untuk tingkat pancang, dan 80: 7427 untuk tingkat semai .
5.4.2. Indeks Nilai Penting
Dari perhitungan komunitas pohon menunjukan bahwa jenis Avecenia, sp merupakan vegetasi yang memiliki nilai penting sebesar 134,2546 % d i i i t i oleh jenis Rhizopora, sp sebesar 10 1,1216 % kemudian diikuti oleh jenis Bruguiera, sp sebesar 64,8962 % dan jenis Sonneratia, sp sebesar 52,8611 % kemudian yang terakhir adalah jenis Xylocarpus,sp sebesar 45,7420 % (Garnbar 7).
Mangrove Teluk Kendari
Jenis Bakau
Garnbar 7. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon di Hutan Mangrove Teluk Kendari Kemudian berdasarkan perhitungan untuk komunitas pancang menunjukan bahwa jenis Avecenia, sp merupakan vegetasi yang memiliki nilai penting sebesar
7:3,3702 % diikuti oleh jenis Rhizopora,sp sebesar 71,3569 % kemudian diikuti oleh jenis Bruguiera, sp sebesar 47,6048 % dan jenis Sonneratia, sp sebesar
44,5367 % kemudian yang terakhir adalah jenis Xylocarpus,sp sebesar 37,7463 % (Gambar 8). Pada Ganlbar 9 berdasarkan hasil perhitungan komunitas semai menunjukan bahwa tingkat regenerasi yang akan datang pada kawasan pesisir pantai hutan mangrove Teluk Kendari yang akan datang akan lebih didominasi oleh jenis
Avicenia, sp dengan nilai penting sebesar 80,7427 % dengan nilai
kerapatan relatif sebesar 40,7003 % dan fiekuensi relatif sebesar 40,0444 %.
Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang di Hutan Mangrove Teluk Kendari
HRhizopora, sp C3 Sonneratia, sp Bruguiera, sp
I
II
Jenis Bakau
L
Gambar 8. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang di Hutan Mangrove Teluk Kendari
Indeks Nilai Penting Tingkat Semai di Hutan Mangrove Teluk Kendari
Ei Sonneratia, sp HBruguiera, sp
I
L
Jenis Bakau
I
I
Gambar 9. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai di Hutan Mangrove Teluk Kendari
Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai INP tertinggi di dalam lingkungan yang ditempati. Nilai INP tersebut merupakan suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan komunitasnya. Hasil penelitian yang dilakukan di hutan mangrove Teluk Kendari menunjukan bahwa jenis Avicenia, sp merupakan jenis yang dominan baik pada tingkat pohon, pancang dan semai. Hal ini disebabkan karena jenis ini berada pada hutan terdekat dengan laut sehingga ha1 ini banyak dimanfaatkan oleh petambak sebagai perllndungan terakhir dari hempasan ombak untuk melindungi tarnbak-tambak mereka agar pematangkonstruksi tambak tidak cepat rusak.
5.4.3. Indeks Keanekaragaman OH') dan Indeks Dominansi (C) Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon (H') dan Indeks Dominansi ( C ) terhadap vegetasi mangrove di kawasan pesisir pantai Teluk Kendari dapat
dilihat pada lampiran. Dari hasil perhitungan tersebut, nilai H' dan C pada masing-masing tingkat pohon, pancang dan semai dapat diringkas seperti pada Tabel 11. Pada hutan alam, penebangan dengan sistem TPTI dari pohon-pohon yang berdiameter 2 50 cm akan berpengaruh pada struktur tegakan clan komposisi yang meliputi keanekaragaman jenis, kerapatan, frekuensi dan dominansi. Struktur clan komposisi hutan sebelum ditebang akan mempengaruhi struktur dan komposisi hutan bekas tebangan. Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang maupun tingkat pohon berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada pase pohon tersebut beradaptasi dengan lingkungannya.
Setiap individu memiliki toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu, dimana dapat turnbuh optimal oleh karena itu pada umumnya penyebaran jeriis tumbuhan akan berbeda temtarna dalarn ha1 kehadiran dan ha1 kelimpahan. Jenis tumbuhan yang dominan mempakan jenis yang telah marnpu menyesuaikan diri terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada pada habitatnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Pada Tabel 11 dapat dijelaskan besamya nilai indeks keanekaragaman pada tingkat pohon sebesar 0,3115, tingkat pancang sebesar 0,3309 dan tingkat semai sebesar 0,3009. Nilai indeks dominansi mulai tingkat pohon, pancang dan
semai berkisar antara 0,0869 - 0,09872. Secara keseluruhan nilai indeks keanekragaman H' pada ekosistem hutan mangrove di pesisir pantai Teluk Kendari sebesar 0,3 126 dan nil& indeks dominansi C sebesar 0,0944.
Tabel 11 .Nilai Indeks Keanekaregaman (H') dan Indeks Dominansi(C) Vegetasi Mangrove di Kawasan Pesisir Teluk Kendari, 200 1 No. Tingkat Permudaan Nilai H' Nilai C 1.
Pohon
0,3115
0,09872
2.
Pancang
0,3309
0,09762
3.
Semai
0,2954
0,0869
-
Surnber : Diolah dari data Primer, 2001 Berdasarkan data pada Tabel 11 maka dapat dikatakan bahwa baik pada
tingkat pohon, pancang maupun semai tersebar merata untuk semua jenis yang ditemukan di hutan mangrove Teluk Kendari berdasarkan nilai Indeks dominansi jenis ( C ). Berdasarkan nilai indeks keaneragaman (H') hutan mangrove di Teluk
K.endari ternyata memiliki keanekaragaman yang rendah baik pada tingkat pohon, pancang dan semai.
5.5. Nilai Ekonomi Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
5.5.1. Manfaat Langsung (direct use value) Berdasarkan hasil survey terhadap manfmt dan fungsi ekosistem hutan mangrove di kawasan pantai Teluk Kendari, saat ini terdapat 5 jenis kegiatan pemanfaatan langsung yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu (1) potensi kayu mangrove sebagai bahan bangunan, (2) ranting kayu sebagai kayu bakar, (3) penangkapan udang, (4) penangkapan ikan dan (5) penangkapan kepiting.
Potensi Kayu Bangunan
Potensi kayu mangrove sebagai bahan bangunan dihitung berdasarkan j d a h volume pohon mangrove yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan tinggi b e b cabang pada inventarisasi hutan mangrove di Teluk Kendari dengan metode jdur diperoleh bahwa rata-rata volume pohon per plot (0,01 ha) dengan rata-ratajumlah pohon per plot sebanyak 12 pohon adalah sebesar 0,354 m3 ,dengan demikian total volume pohon yang terdapat di areal hutan mangrove (1 84 ha) 6.5 13,6 m3 dengan nilai volume pohon per ha sebesar 35,4 m3 per ha. Menurut Paryono (1999) diperoleh bahwa harga kayu mangrove di kawasan Segara Anakan rata-rata Rp. 50.000,- / m3 . Taksiran penilaian berdasarkan riap rata-rata tahunan tanman mangrove (1,77 m3 kakihun) dan harga jualnya. Berdasarkan data tersebut maka nilai potensi kayu
69
tersebut adalah Rp. 88.500,- /ha/tahun dengan asumsi umur ekonomis pohon mangrove selama 20 tahun (Badan Intag, 1986).
Kayu Bakar Ranting-ranting kayu mangrove masih merupakan salah satu alternatif sumber energi atau kayu bakar bagi sebagian masyarakat. Berdasarkan hasil survey menunjukan bahwa konsumsi kayu bakar per hari rata-rata sebanyak 2 ikat dengan harga jual rata-rata Rp. 25Olikat. Hasil perhitungan menunjukan bahwa konsumsi kayu bakar setiap minggu sebesar 0,035 m3per hektar yang diambil langsung dari ranting-ranting pohon mangrove, dengan demikian pengambilan kayu bakar untuk konsumsi selama setahun adalah sebesar 1,82 m3 , dengan nilai Rp 455,- per ha per tahun.
Penangkapan Ikan, Udang dan Kepiting Menurut Hidayat (1998) dalarn Paryono (1999), nil& manfitat ini dapat didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan dan udang serta kepiting di perairan sekitar hutan mangrove. Atas dasar hasil penelitian tersebut maka estimasi nilai manfaat langsung hutan mangrove berupa ikan, udang dan kepiting tersebut akan menggunakan data hasil tangkapan ikan d m udang laut pada tahun 2000 yang didaratkan di TPI Kotamadya Kendari yang terketak di sekitar Teluk Kendari. Hasil tangkapan ikan pada tahun 2000 di TPI tersebut adalah sebanyak 1.088.571 kg 1 tahun dengan nilai ekonomi Rp. 363.297.000 per tahun, sedangkan hasil tangkapan udang dan kepiting masing - masing adalah sebesar 110 kg udangl
tahun dan 960 kg kepiting 1 tahun dengan nilai masing-masing Rp. 110.000 per tahun dan Rp. 710.000 per tahun.
Dari hasil pendekatan seperti yang terlihat pada Tabel 12 tersebut dlperoleh nilai ekonomi manfaat langsung hutan mangrove yang bernilai sekitar Rp.364.205.955,- per tahun.
Tabel 12. Manfaat langsung ymg Dapat Diperoleh dari Hutan Mangrove di Kawasan Teluk Kendari ,2001 No. Jenis Komoditi
-
Produksi
Satuan
Nilai Total (Rp.)
1.
Potensi Kayu *
1,77 m3haltahun
Rp. 50.0001 m3
2.
Kayu Bakar *
1,82 m3lhaltahun
Rp. 250likat
3.
Ikan**
1.088.571 kg/tahun
Rp. 333,77 k g
4.
Udang**
1 10 kgltahun
Rp. 1000.-
110.000,-
5
Kepiting**
960 kg/tahun
Rp. 740,6
7 10.000,-
-
Total Manfaat
88.500,455,363.297.000,-
364.205.955,-
Sumber :DioM dari Data Primer dan Sekunder, 2001 Keterangan : * Data Primer
5.5.2.
** Data Sekunder
Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value)
Manfaat tak langsung yang amat penting dari ekosistem hutan mangrove dan terukur disini adalah besarnya peranan ekosistem hutan mangrove sebagai penjaga stabilitas siklus makanan di ekosistem hutan mangrove. Metode penghitungan yang dilakukan disini adalah dengan pendekatan tidak langsung yaitu metode penggantian.
Penaksiran nilai manfaat tak langsung tersebut digunakan pendekatan dengan nilai unsur hara dari serasah hutan mangrove hail penelitian Sukardjo (1995) di hutan mangrove Muara Angke-Kapuk Jakarta. Menurutnya, setiap hektar hutan mangrove menghasilkan guguran serasah sebanyak 13,08 tonltahun, atau sekitar 4,85 ton berat kering. Hasil analisis menunjukan bahwa serasah tersebut mengandung unsur hara Nitrogen (N) 10,5 kgka (* 23,33 kg pupuk urea), dan Posfor (P) 4,72 kgha (fl3,ll kg pupuk SP-36). Jika harga pupuk urea pada saat penelitian
Rp. 2.000,-kg dan SP-36 Rp. 3.000,-kg, maka manfaat tak langsung
ekosistem hutan mangrove sebagai penyedia unsur hara adalah Rp. 85.990,- per ha per tahun.
5.53. Manfaat Pilihan (Option Value) Manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di kawasan Teluk Kendari didekati dengan menggunakan nilai manfaat dari keanekaragaman
hayati
(biodiversity). Ruitenbeek (1991) mengemukakan bahwa nilai biodiversity hutan mangrove di Indonesia sebesar US%15lhaftahun. Dengan demikian nilai manfaat pilihrln ekosistem hutan mangrove di kawasan pantai Teluk Kendari dapat diperoleh dengan menghitung nilai tukar rata-rata pada saat penelitian Rp. 9.500,/US$ yaitu sebesar Rp.142.500,- per ha per tahun.
5.6. Analiiis Finansial Usaha Pada Lahan Konversi Hutan Mangrove Tambak Udang dan Bandeng Kegiatan usaha pertambakan di wilayah pesisir pantai Teluk Kendari pada umunlnya merupakan jenis usahatani polikultur, ha1 ini disebabkan karena masih
terbatasnya modal yang digunakan. Berdasarkan survey menunjukan bahwa kegiatan usaha pertambakan di kawasan pesisir pantai Teluk Kendari lebih banyak dikuasai oleh pihak lux yang melakukan investasi dari pada masyarakat yang tiilggal di kawasan tersebut, ha1 ini terbukti pada saat wawancara dengan masyarakat bahwa orang yang tinggal di sekitar tambak hanyalah buruh tambak yang digaji untuk menjaga dan memelihara tambak mereka. Para buruh tambak tersebut sebagian besar adalah pendatang yang berasal dari suku bugis, bebcrapa divltara mereka suda ada yang berpengalaman dalam menerapkan teknologi budidaya tambak. Pam investor tersebut biasanya memperoleh lahan untuk usaha tiunbak melalui 3 cara, yaitu (1) membeli lahan garapan masyarakat, (2) membeli tarlah timbul berupa hutan mangrove yang diakui sebagai lahan garapan
masyarakat, dan (3) mendapatkan lahan melalui apamt pemerintah. Berdasarkan tingkat teknologinya, budidaya tambak polikultur udang dan bandeng yang diusahakan tersebut sebagian besar dapat diitegorikan sebagai jerk usahatani tambak konvensional, hal ini disebabkan walaupun padat tebarnya sutidi cukup tinggi dan pemberian pakan buatan sudah mulai dilakukan tetapi pcngaturan air pada umumnya masih alami, konstruksi tambak masih sederhana sehingga volumekedalaman air tambak tidak t e r m , pemberian pakan belum teri~tur (baik jumlah, jenis maupuin caranya), demikian juga mengenai per~gendalianhama dan penyakit serta pengapuran. Arus biaya dan manfaat untuk analisis NPV usahatani tambak polikultur
u&mg windu dan bandeng dapat dilihat pada lampiran 4. Biaya variabel dan penerimaan untuk setiap tahunya selama 20 tahun dianggap sama, dengan asumsi bahwa teknologi yang digunakan selama periode waktu analisis dianggap sama 73
atau tidak berubah dengan nilai produksi berdasarkan asurnsi tingkat survival rate st:besar 50% untuk udang windu dan bandeng dengan berat masing-masing per ekor 30 gr untuk udang windu dengan harga Rp. 60.000/ekor dan 300 grlekor untuk ikan bandeng dengan harga Rp. 30001ekor. Pada penebaran yang dilakukan
atlalah 20.000 ekor benurhattahun dengan harga Rp.80 Iekor benur dan 3000 ekor nc:ner/ha/tahun dengan harga Rp. 60lekor nener. Asumsi tersebut digunakan karena keterbatasan metode dan data yang &\pat mengakomodasikan perubahan itu setiap tahunnya. Perbedaan nilai cash
flow yang terliat dalam arus biaya dan manfaat dalam lampiran 4. Disebabkan karena adanya biaya penggantian (replacemant cost) pada biaya invesatsi yang dikeluarkan untuk perbaikan pematang sebesar Rp. 200.000 setiap tahun, perbaikan caren (parit tambak) sebesar Rp. 100.000 setiap 2 tahun sekali dan perbaikan nunahjaga sebesar Rp. 100.000 setiap 1 tahun sekali. Hasil perhitungan NPV usahatani politltur tambak udang dan bandeng sistem konvensional seluas 291 ha yang diusahakan di sekitar kawasan pantai Teluk Kendari memberikan Nlai NPV sebesar Rp. 19.056.066,- per hektar atau sekitar Rp. 5.545.315.206,- pada discount factor 18%. Sedangkan pada discount factor sebesar 50% usaha tersebut mampu memberikan manfaat sebesar Rp. 7.176.779,- per hektar atau sekitar Rp. 2.088442.689,-. Dari hasil perhitungan teciebut menunjukan bahwa usaha tambak udang merupakan usaha yang memiliki N l i ~kelayakan yang tinggi dan sangat menguntungkan, maka tidak heran jika bar~yakpenduduk dan para pendatang yang tergiur untuk ikut terjun ke usaha pertambakan dengan keuntungan yang sangat menjanjikan.
Perkebunan Kelapa Rakyat Perkebunan kelapa rakyat pada ekosistem hutan mangrove di wilayah penelitian merupakan usaha yang telah lama dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pesisir pantai, hal ini disebabkan karena kelapa mt:rupakan komoditas rakyat yang dapat dijadikan kopra dan minyak kelapa sebagai tambahan pendapatan, karena usaha penangkapan ikan tidak dapat me:mberikan hasil yang optrimal. Perkembangan usaha ini makin lama relatif lanlban dari tahun ke tahun, mengingat semakin berkurangnya minat penduduk untuk membuka kebun baru, juga sebagian masyarakat mulai melirik usaha tanibak yang lebih memiliki nilai komoditi yang tinggi walaupun tidak terlalu luas. Jenis usaha perkebunan yang dikembangkan adalah sistem usaha ko~ivensionaldengan tahapan kegiatan, yaitu (1) tahap pertama pembukaan hutan (land clearing), pembuatan drainasi (blok), mengajir, membuat lubang, clan menanam kegiatan tersebut dilakukan pada awal tahun, (2) tahap kedua terdiri dari kegiatan penyisipan tanaman untuk mengganti tanaman yang m a k atau mati, penyiangan, perawatan tanaman (pemberian pupuk dan obat-obatan), (3) tahap ket~gameliputi kegiatan penyiangan, perawatan tanaman (pemberian pupuk dan obat-obatan) dan panenan. Usaha perkebunan kelapa rakyat ini pada umumnya bibit yang digunakan adalah varietas lokal (kelapa dalam) dengan kebutuhan bibit rata-rata per hektarnya adalah sekitar 156 pohon dengan penggunaan jarak tanam bewariasi tetapi umumnya menggunakan jarak 8 x 8 meter. Produktivitas rata-rata kelapa per pohon sebanyak 15 buah per pohon dengan harga rata-rata Rp. 300 per buah.
75
Berdasarkan h a i l perhitungan pada larnpiran 6, nilai NPV
untuk
usahatani konvensional kelapa rakyat di wilayah pesisir Teluk Kendari adalah sebesar Rp. 1.359.293 per hektar atau sekitar Rp. 63.886.771,- per kawasan (47 ha) dengan discount faktor IS%, sedangkan pada tingkat discount factor 50% nilai N W sebesar Rp. 535.616,- per hektar atau sekitar Rp. 25.173.952,- per kawasan (47 ha). Walaupun masih memiliki nilai positif pada discount factor 50% tarnpaknya usaha konvesional perkebunan kelapa rakyat tersebut tidak mampu bertahan lama karena tidak bisa memberikan hasil yang optimal. Perkebunan Jambu Mete Berdasarkan hasil survey terhadap usaha perkebunan jambu mete rakyat di sekitar wilayah pesisir Teluk Kendari, pada umumnya tanaman yang diusahakan adillah tanaman yang sudah berumur tua dengan tingkat produktivitas yang rendah, pa& saat ini usaha jambu mete tersebut tidak dapat lagi memberikan hasil yar~goptimal, sehingga masyarakat setempat sudah tidak lagi berharap dari hasil tersebut. Bibit yang digunakan petani jambu mete adala!!
varietas lokai dengan
kebutuhan bibit 250 pohon per hektar. Adapun jar& tanam yang digunakan sangat bervariasi, tetapi pada umumnya menggunakan jarak tanam 5 x 5 meter dengan pol.3 penanaman umumnya adalah monokultur. Produksi yang dihasilkan rata-rata sebesar 280 kglhaltahun dengan harga rata-rata mencapai Rp. 3.500,- per kg. Nilai konloditas ini sangat beduktuasi sehingga menyebabkan usaha perkebunan jambu mete tidak lagi menjadi komoditas yang bernilai tinggi dibandingkan dengan usaha pertambakan.
Hasil perhitungan pada lampiran 8 diperoleh nilai NPV per hektar sebesar Rp. 1.778.956,- atau sekitar Rp. 83.610.932,- untuk 47 hektar pada discount factor 18%. Sedangkan pada discount factor 50% diperoleh NPV Rp. 664.555,- per hekt,u atau sekitar Rp. 31.234.085,- untuk 47 hektar. Usaha perkebunan jambu mete ini masih bernilai positif pada discount factor 50% karena nilai komoditas yang cukup tinggi.
Perk.ebunanKakao Rakyat usaha perkebunan kakao merupakan salah satu usaha yang menjanjikan kareria memilii nilai komoditi yang tinggi bila dibandingkan dengan jambu mete, ha1 inilah yang menyebabkan usaha kakao ini masih bertahan di wilayah pesisir Telulc Kendari walaupun pada umumnya tanaman yang diusahakan sudah tidak lagi rnemiliki produktivitas yang tinggi. Hasil survey menunjukan bahwa varietas yang digunakan adalah verietas lokal dengan kebutuhan bibit per hektamya sekitar 1000 pohon. Jarak tanam yang digur~akanadalah 5 x 5 meter. Pada saat ini produktivitas rata-rata sebesar 326 kghltahun dengan harga rata-rata Rp. 5.000 per kg.. Berdasarkan analisis NPV pada lampiran 10 nilai NPV usahatani kakao rakyat per hektar sebesar Rp. 3.606.773 atau sekitar Rp. 169.5 18.33 1 per kawasan pada discount factor 18%. Sedangkan pada discount factor sebesar 50% nilai NPV per hcktar sebesar Rp. 1.363.845,- atau sekitar Rp. 64.100.715,- untuk 47 hektar. Tingginya nilai NPV usahatani kakao rakyat ini menyebabkan usahatmi ini miuih bertahan hingga sekarang sehingga merupakan komoditas yang menarik untuk dikembangkan.
Dari perhitungan nilai NPV masing-masing aktivitas pertanian yang telah dilikukan dengan mengkonversi hutan mangrove pada discount factor 18% secara sederhana dapat dijelaskan pada Tabel 13. Tabel 13. Perhitungan Nilai NPV Konversi Hutan Mangrove Untuk Masingmasing Aktivitas Pertanian, 2001 No. Aktivitas NPV (Rp./Ha)
1.
Tambak Udang dan Bandeng
Rp. 19.056.066,-
2.
Perkebunan Kelapa
Rp. 1.359.293,-
3.
Perkebunan Kakao
Rp. 3.606.773,-
4.
Perkebunan Jambu Mete
Rp. 1.778.956,-
Jumlah
Rp. 25.801.088,-
-
Sumber :Diolah Dari Data Primer, 2001
Pada Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa usaha tambak udang dan bandeng merniiliki nilai NPV tertinggi, ha1 ini disebabkan karena tingginya nilai jual konloditas perikanan tersebut sehingga faktor inilah yang menyebabkan kewndemgan yang tinggi untuk mengkonversi lahan mangrove tersebut. Selain itu usaha perkebunan kakao dan jambu mete masing-masing menempati urutan kedila dan ketiga tertinggi setelah usaha tambak udang dan bandeng, ha1 ini menunjukan bahwa komoditas kakao dan jambu mete merupakan komoditas yang menliliki nilai jual yang cukup tinggi sehingga menjadi jenis usaha yang menyebabkan kecendemgan dalam mengkonversi lahan mangrove. Sedangkan usaha kelapa menjadi usaha yang diinati oleh masyarakat setempat karena selain pemeliharaan yang mudah juga dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan mas:yarakat dengan usaha pembuatan kopra.
5.7. Profitabilitas Usaha di Lahan Konversi Bagi kelompok masyarakat miskin yang tinggal di daerah pantai yang tidilk memiliki lahan pertanian dan kesempatan kerja non pertanian yang belum berkembang, eksistensi hutan mangrove mempakan tumpuan utama hidup mereka. Lebih-lebih apabila hutan mangrove tersebut masih berstatus sebagai "common proper9 right or open access property right" (Sanim, 1994). Kondisi inil,ih yang menyebabkan peluang terjadinya konversi lahan menjadi sangat besar dan eksploitasi sumberdaya hutan mangrove menjadi tidak terkendali. Dari beberapa jenis usaha (Pertambakan udang dan bandeng, perkebunan kakao, kelapa dan jambu mete) yang dilakukan di atas lahan konversi hutan marlgrove temyata usaha tambak udang dan bandeng mampu memberikan ke~uitunganekonomi yang cukup tinggi walaupun usaha yang dilakukan hanya menggunakan tekonologi konvensional. Keuntungan yang diperoleh dapat dilihat dari nilai produksi dari usaha tambak udang dan bandeng sebesar Rp. 19.350.000,per 11a per tahun. Nilai produksi yang tinggi ini disebabkan karena tingginya harga jual komoditas perikaqan tersebut, walaupun produksi yang dihasilkan dengan
menggunakan teknologi konvensional tidak terlalu besar. Penggmaan teknologi konvensional ini ditinjau dari jumlah padat pefiebaran benur dan nener dan tekndogi pengaturan air yang masih sederhana. Keuntungan dengan usaha tambak yang dilakukan di daerah pantai karena mampu menekan biaya produksi dari segi pengaturan air juga adanya pakan alarni bagi udang dan bandeng tersebut. Selain usaha pertambakan ternyata usaha perkebunan kakao juga memberikan nilai produksi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan 2 jenis 79
usaha lainnya (kelapa dan jambu mete). Dengan menggunakan teknologi yang sed~zrhanausaha kakao ini menghasilkan nilai produksi sebesar Rp. 1.630.000,per ha per tahun. Komoditas kakao ini merupakan komoditas unggulan bagi
masyarakat di Sulawesi Tenggara sehingga mampu memberikan nilai jual yang cukup tinggi. Apabila dibandingkan dengan komoditas kakao usaha perkebunan jambu mete temyata merupakan komoditas andalan di Sulawesi Tenggara yang memiliki nila~jual yang cukup tinggi walaupun masih di bawah nilai jual komoditas kakao
dan perikanan (udang dan bandeng). Komoditas jambu mete ini memiliki nilai procluksi sebesar Rp.980.000,- per ha per tahun, walaupun lebih rendah dari usaha kakilo dan pertambakan, komoditas jambu mete ini merupakan usaha perkebunan yang banyak dijumpai di kawasan pesisir Teluk Kendari ha1 ini disebabkan karena komoditas jambu mete merupakan komoditas lokal yang telah lama diusahakan oleh masyarakat di Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan produk kacang mete. Komoditas kelapa banyak dijumpai di sekitar kawasan pesisir Teluk Kentiari selain karena merupakan komoditas rakyat juga karena hasil kopra dan minyak kelapa walaupun nilai produksi komoditas tersebut lebih rendah dari usaha lainnya di atas lahan konversi hutan mangrove. Varietas yang banyak ditanam adalah varietas lokal (kelapa dalam). Untuk lebih jelasnya secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Profitabilitas Usaha Pada Lahan Konversi Hutan Mangrove Untuk Masing-masing Aktivitas Pertanian, 2001 Nm3. Aktivitas Nilai Produksi (Rp./Hektar/Tahun) 1. 2.
3. 4. -
.
Tambak Udang dan Bandeng *
Rp. 19.350.000,-
Perkebunan Kelapa ****
Rp.
700.000,-
Perkebunan Kakao **
Rp.
1.630.000,-
Perkebunan Jambu Mete ***
Sunlber : Diolah Dari Data Primer, 2001 Ket * Profitabilitas Tertinggi, ** ke dua Tertinggi, Terendah
Rp.
***
980.000,-
ke dua terendah,
****
Profitabilitas
Pada Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa usaha tambak udang dan bandeng me~empatiurutan usaha yang memilii nilai produksi yang tertinggi, ha1 inilah yang menyebakan adanya keinginan masyarakat untuk mengkonversi hutan mangrove dan apabila tidak diikuti oleh aturan yang jelas dan sikap yang tegas dari Pemda setempat maka hutan mangrove di kawasan pesisir Teluk Kendari akan terancam punah sehingga menyebabkan dampak degradasi lingkungan seperti pendangkalan teluk, dan bahaya banjir. Selanjutnya usaha perkebunan kakao, jambu mete dan kelapa masih merupakan ancaman terhadap kelestarian kav~asanjalur hijau di pesisir Teluk Kendari yang akan mengakibatkan hilanganya zone penyangga bagi kawasan Teluk Kendari.
5.8. Alternatif Pola Pengelolaan Tambak - Mangrove Terpadu (Sykofishery) Sylvofishery adalah suatu rangkaian kegiatan terpadu antara usaha budidaya ikan dengan kegiatan pemeliharaan, pengelolaan, dan upaya pelestarian hutim bakau. Tujuan utama penerapan pola sylvofishery ini adalah untuk mencegah semakin meluasnya kerusakan hutan bakau, dan untuk mengembalikan serta melestarikan keberadaan ekosistem bakau dan jalur hijau pantai melalui 81
p:manfaatan
lahan daerah pantai sedemikian sehingga mampu memberikan
~rtanfaatyang maksimal bagi para petani pemilik lahan di daerah pantai dengan te knologi pemanfaatan lahan yang berwawasan lingkungan. Inti pelaksanaan kegiatan sylvofishery adalah penanaman tanaman bakau p,ida daerah pertambakan, sehingga dikenal beberapa model pola sylvofishery ying dapat dikembangkan (Anonim, 2000), yaitu : 1 Penanaman tanaman bakau pada darah sekitar pertambakanikawasan lindung
(Gambar 10). Pola ini dapat diterapkan pada &ah
pertambakan yang
langsung berbatasan langsung dengan muara sungailhamparan pantai. Fungsi utama tanaman bakau pada pola ini adalah untuk melindungi daerah pertambakan dari hembusan angin kencang dan gelombang ombak yang dapat merusak tanggul-tanggul tambak. 2. Penanaman
tanaman
bakau
pada
daerah
pertambakanlkawasan
budidayalkawasan penyangga. Terdapat beberapa model penanaman pada pola ini yang dapat dikembangkan, yaitu :
a Model empang parit tradisional Cara Pembuatan :
" Pola empang parit tradisional adalah pola empang parit dengan model tambak tradisional, dengan penanaman tanaman bakau dilaksanakan di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 meter tersebar merata di pelataran tambak. Jarak tanam dapat diperpendek menjadi 1 x 1 meter, dengan jumlah tanarnan tetap 2000 batangha, sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak (Gambar 11).
b.
Model Komplangan Cara Pembuatan : G-
Empang parit model komplangan mempakan penyempurnaan empang parit model tradisional. Penanaman bakau dilaksanakan secara terkonsentrasi pada satu area yang dipisahkan oleh pintu air dengan parit larea pemeliharaan ikan.
*
Pintu air diletakan pada parit dan pelataran tempat penanaman bakau, sehingga masuknya air pasang surut dapat diatur (Gambar 12). Model Empang Terbuka
c.
Cara Pembuatan : Bentuk ernpang parit model ernpang terbuka tidak jauh berbeda dengan bentuk empang parit model tradisional. Perbedaannya terletak pada pola penanaman tanaman bakau. Jika pada empang parit tradisional, penanaman dilaksanakan pada pelataran tambak, maka pada empang terbuka penanaman dilaksanakan pada pematangltanggul tambak (Gamhar 13). d.
Model Kao-Kao Cara Pembuatan :
*
Empang parit dengan model kao-kao adalah empang parit dengan penanaman bakau diletakkan pada guludan-guludan di tengah tambak. Lebar guludn 1 - 2 meter dengan jarak antara guludan 5 - 10 meter (tergantung lebar tambak).
*
Penanaman bakau dilaksanakan di sepanjang tepian guludan1Kao-Kao dengan jarak tanam 1 meter (Gambar 14). 83
Model Tasik Rejo
I .
Cara Pembuatan :
*
Penanaman bakau dilaksanakan pada sepanjang tepian parit yang berbentuk saluran tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Tanaman bakau ditanam secara rapat dengan jarak tanam 1 x 1 meter atau bahkan 50 x 50 cm. Tambak hanya berbentuk parit sedalam 1 meter yang juga b e h g s i sebagai tempat pemeliharaan ikan.
Pelataran tambak pada urnumnya dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semilsim, padi gogo dan palawija (Gambar 15).
Gmtbar
10.
Pola Pananaman Bakau Pada PertambakanIKawasan Lindung
Daerah
di
Sekik
a
b
b
Keterangan :
kIbbPd a. saluran air
b. TangguVpema tang tambak
c. Pintu air
(2 pintu masuk 1 pintu keluar)
.Tanaman bakau
a
Gambar 11 . Model Empang Parit Tradisional
a
Keterangan : a Saluran air b. Pintu air c. Empang pemeliaraan ikan
Giunbar 12. Model Komplangan
d. Areal bertegakan bakau x. Tanaman bakau
a Keterangan : a. Saluran air b. Pintu air c.Pelataran tambak
1. TangguVpema tang tambak x. tanaman bakau
Giunbar 13. Model Empang Terbuka
x. Tanaman bakau
Gambar 14. Model Kao-Kao
Ganlbar 15. Model Tasik Rejo
5.9. Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Kendari Sejalan dengan pembangunan ekonomi di Sulawesi Tenggara dan pertmbahan penduduk di kota Kendari khususnya di sekitar wilayah pesisir T e l ~ kKendari, temyata kebutuhan akan lahan seperti untuk pemukiman, pertmian, industri, dan pertambakan semakin meningkat sehingga menyebabkan konversi lahan di sekitar wilayah pesisir Teluk Kendari menjadi tidak terkontrol. Kegiatan konversi lahan tersebut pada akhimya telah menyebabkan penE:urangan areal hutan mangrove di pesisir Teluk Kendari dari luas total ha rnemjadi
+ 1137
+ 184 ha yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem di
wilqyah pantai Teluk Kendari. Penebangan dan pembukaan hutan akan men~pertinggi bahaya erosi air hujan dan pasang surut akibat berkurangnya pohcln-pohonan di lahan hutan bakau yang dapat menimbulkan pendangkalan estuui dan sungai, terjadinya gelombang yang cukup besar, dan sebagainya, dapat 87
me~igakibatkanberkurangnya makanan dan kesuburan sumberdaya perikanan, berlcurangnya perlindungan dan tempat yang aman dan sesuai dengan lingkungan perkembangbiakan dan pembesaran sebagian dari sumberdaya perikanan estuari. Dengan demikian, maka untuk menjamin kelangsungan kegiatan dalam bid;mg usaha produksi kayu mangrove (penebangan), serta kelestarian lahan bagi pengembangan produksi perikanan, perlu dilakukan suatu strategi dalam pengelolaan hutan mangrove dengan melakukan usaha-usaha terpadu yang tidak d i n g merugikan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip konse~asilahan yang merljaga keseimbangan ekosistem dalam upaya mempertahankan kelestarian sum berdaya di wilayah pesisir Teluk Kendari diperlukan 2 strategi pokok, yaitu : 1. Perlindungan terhadap sumberdaya hutan mangrove agar supaya dapat
dimanfaatkan secara maksimum dan berkelanjutan oleh masyarakat.
2. Meminimisasi kegiatan konversi lahan yang banyak digunakan untuk kegiatan pertambakan, pemukiman dan pertanian yang pada akhimya hanya akan mengeliminir sumberdaya hutan mangrove. Sebagai upaya penerapan strategi tersebut, maka diperlukan upaya-paya sebagai berikut :
1. Pembentukan kawasan prese~asi Kawasan ini hanya ditujukan untuk kegiatan pengembangul, penelitian dan ~endidikan. Wilayah ini adalah merupakan area perlindungan terhadap rumberdaya hayati yang bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman llayati dan fungsi-fimgsi ekologis sumberdaya hutan mangrove.
2. Pembentukan kawasan konse~asi G-
Kawasan ini mempakan suatu ekosistem yang marnpu menghasilkan bahan organik yang sangat penting peranannya untuk mempertahankan produktivitas perairanlkelestarian sumberdaya, juga dimaksudkan sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta pencegahan erosi dari ombak dan hempasan angin laut yang kuat.
Kawasan Konsewasi ini meliputi :
I. Kawasan hutan produksi G-
Pengusahaan hutan bakau sebagai hutan produksi terutama ditujukan untuk menghasilkan kayu sebagai bahan arang, kayu bakar dan hasil lainnya yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sistem silvikultur yang dipakai pada pengusahaan hutan bakau, berdasarkan SK Ditjen Kehutanan No. 60lKptsiDjN1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau, adalah sistem pohon induk. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan pohon induk sebagai bagian dari usaha peremajaan hutan. Disini dilakukan pemeliharaan yang meliputi : penjarangan, pembebasan, penanaman tambahan dan perlindungan hutan bakau. Dengan demikian, maka pada siklus tebmg berikutnya dapat diperoleh kembali tegakan hutan baru yang kurang lebih sama dengan hutan semula dan potensi surnberdaya alam lainnya dapat dipertahankan. Pemanfaatan kayu hanya diizinkan di daerah belakang green belt (300 m
- 400 m dari vegetasi pertama pinggir
pantai), karena di daerah tersebut masih merupakan daerah yang relatif labil dan sebagai penangkal erosi laut dan angin serta sebagai tempat
89
bertelur dan daerah asuhan bagi sumberdaya perikanan berdasarkan SK Ditjen Perikanan No. HI/4/2/18/1975 tanggal 22 November 1975. 2. Kawasan Rehabilitasi
*
Kawasan hutan mangrove yang telah terbuka atau telah rusak hams segera direhabilitasi melalui kegiatan pengayaan dan penanaman kembali. Tujuan dari kegiatan rehabilitasi adalah untuk memulihkan fungsi hutan mangrove sebagai ekosistem daerah pantai. Model dari rehabilitasi tergantung pada status dari kawasan tersebut. Rehabillitasi dilakukan dengan cara menanam kembali hutan mangrove yang telah rusak maupun pada pematang-pematang tambak yang dapat berfungsi sebagai jalur hijau serta rehabilitasi tambak-tambak yang telah rusak dan tidak berfungsi lagi yang dapat dilakukan melalui pola
agroforestry seperti wanamina (sylvofishery) sepanjang persyaratan teknis memenuhi. 2. Kawasan Pengembangan
*
Kawasan ini merupakan areal yang dapat dikembangkan untuk pertambakan dan pertanian serta lain-lain peruntukan dengan sistem tebang dibelakang jalur hijau (green belt) dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkannya baik dari segi ekologi, biologi dan sosial ekonomi. Kawasan ini masih m e ~ p a k a nareal yang terdapat di dalam hutan mangrove berdasarkan zona hutan mangrove sampai pada zona batas ke daratan berdasarkan pembagian zona hutan mangrove menurut Percival dan Womersley (1975) dan Hardjosentono (1981) sebagai berikut : 90
-
Zona Sonneratia
-
Zona Avicenia
-
Zona hutan Rhizopora
-
Zona hutan Bmguiera
-
Zona Ceriops
-
Zona Batas ke daratan
-
Asosiasi nipah
3. Kawasan Intensif Pembangunan
*
Kawasan ini berada pada daerah di luar zona hutan bakau seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Areal ini merupakan kawasan intensif pembangunan yang dapat digunakan untuk pertambakan, pertanian, pemukiman dan industri, namun pembatasan-pembatasan dalam bangunan dan kegiatan lainnya yang dapat merusak ekosistem estuaria perlu
dipertimbangkan
secara
sungguh-sungguh
di
dalam
perencanamnya.
Ekosistem
mangrove
yang
memiliki
fungsi-fungsi
ekologis
dan
ke;mekaragarnan hayati yang sangat tinggi adalah merupakan rantai penghubung ant:ara ekosistem pantai dan ekosistem daratan yang harus terus dilindungi dari kegiatan konversi yang tidak terkontrol dan pencemaran yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove. Berdasarkan data yang diperoleh d a i luasan 1137 ha hutan mangrove di kawasan pesisir Teluk Kendari yang tec;isa hanyalah 184 ha, yang berarti persentase luasan yang tersisa hanya mencapai 16,2 % dari total areal hutan mangrove sehingga dengan demikian
91
kegiatan konversi lahan di hutan mangrove Teluk Kendari telah mencapai 83,s % dari 1137 ha. Pembatasan mengenai areal mangrove yang h a s disisakan dari kegiatan konversi lahan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam dan terpadu yang tentu saja harus memperhatikan aspek ekologi, biologi dan sosial ekonomi yang tujuannya untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan pe~nbangunantersebut.