V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian yang dibahas pada bab ini dimulai dengan bagaimana penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNKL saat ini. Bahasan selanjutnya yaitu hasil identifikasi stakeholders serta bagaimana kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem TNKL dan program pengelolaan TNKL, kemudian bagaimana nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders berperan dalam pengelolaan TNKL. Selanjutnya diuraikan juga tentang penyusunan strategi pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. 5.1. Penerapan Prinsip Co-management dalam Pengelolaan TNKL pada Saat Ini Dalam rangka menyusun strategi pengelolaan TNKL, perlu diketahui terlebih dahulu sejauh mana penerapan prinsip co-management dijalankan dalam pengelolaan TNKL. Pengelolaan kawasan konservasi terutama taman nasional melalui pendekatan co-management ditentukan oleh beberapa faktor penting yang sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing taman nasional. Untuk penelitian ini khusus mengkaji sejauhmana prinsip dasar comanagement telah diterapkan dalam pengelolaan TNKL pada saat ini. Prinsip dasar yang dimaksud yaitu partisipasi komunitas lokal, pengakuan terhadap hak masyarakat adat, ada proses negosiasi, kejelasan hak dan tangggung jawab komunitas lokal dengan BTNKL, serta ada konsensus yang disepakati stakeholders inti. Penerapan prinsip dasar co-management di Desa Saga dan Wologai Tengah dalam pengelolaan TNKL pada saat ini dijelaskan seperti uraian di bawah ini. 5.1.1. Partisipasi komunitas lokal Partisipasi komunitas lokal sebagai salah satu prinsip dasar comanagement dianalisis penerapannya dalam pengelolaan TNKL pada kondisi sekarang. Gambar 11 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKL di Desa Wologai Tengah tergolong tinggi, sedangkan di Desa Saga memperlihatkan partisipasi yang sedang. Partisipasi masyarakat yang tinggi di Desa Wologai Tengah mengindikasikan bahwa penerapan prinsip comanagement dalam pengelolaan TNKL pada saat ini baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Wologai Tengah merasa turut dilibatkan dalam pengelolaan TNKL terutama pada program
50 pembinaan partisipasi masyarakat. Masyarakat Wologai Tengah terlibat dalam kegiatan antara lain pembangunan camping ground dan areal pemancingan, pemanfaatan air bersih, pengembangan lebah madu, serta pembangunan hutan adat. Mereka ikut terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan camping ground. Pengelolaan areal perkemahan tersebut dapat meningkatkan pendapatan mereka dengan berjualan dan menyewakan tenda. Pengembangan lebah madu yang difasilitasi oleh BTNKL telah menunjukkan hasil yang menguntungkan bagi masyarakat. Menurut masyarakat Desa Wologai Tengah, kegiatan yang merusak taman nasional akan merugikan masyarakat sendiri terkait dengan fungsi ekosistem alam sebagai penyangga kehidupan dari kemungkinan bencana tanah longsor, erosi ataupun hilangnya sumber air masyarakat.
Partisipasi Komunitas Lokal Desa Wologai Tengah belum dilibatkan tidak memberikan pendapat
telah dilibatkan
10%
Desa Saga 60%
27%
13%
63%
27%
Gambar 11 Persentase pendapat responden tentang partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan TNKL. Sementara itu, hanya sebagian masyarakat Desa Saga yang merasa telah dilibatkan dalam pengelolaan TNKL. Mereka beranggapan bahwa hak masyarakat adat belum sepenuhnya diakui oleh pihak BTNKL, terutama terkait pengakuan hak kelola lahan nenek moyangnya yang terdapat dalam kawasan TNKL. Namun, sebagian masyarakat merasa ikut dilibatkan dalam kegiatan pengamanan bersama dan kegiatan pelatihan. Tingginya persentase masyarakat Desa Saga yang berpendapat bahwa pengelolaan TNKL saat ini belum melibatkan masyarakat di sekitar kawasan, memberikan indikator bahwa partisipasi masyarakat setempat masih rendah. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat Saga yang merasa belum dilibatkan diantaranya bahwa keberadaan TNKL menyebabkan masyarakat kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan hak kelola lahan yang diwariskan turun temurun, serta akan terjadi kelangkaan
51 lahan untuk anak cucu mereka di masa yang akan datang. Hal tersebut di atas memberikan gambaran bahwa partisipasi masyarakat Saga masih pada tahap dialog dan dapat dikatakan sebagai proses menuju co-management sebab masih berpeluang untuk menimbulkan konflik sebagai akibat dari kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang belum terakomodir. Jumbe
and
Angelson
(2007)
menyebutkan
bahwa
tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap hutan akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, seperti yang terjadi di Desa Wologai Tengah. Namun pada situasi yang kompleks, seperti di Desa Saga, maka ketergantungan terhadap hutan belum tentu menyebabkan tingginya partisipasi. Hal ini mungkin disebabkan proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan tersebut masih bersifat top down. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pengelolaan secara co-management
harus dapat memenuhi kebutuhan aktual bagi
masyarakat serta memberikan insentif (Jumbe & Angelson 2007; Nuggehalli & Prokopy 2009), seperti pengembangan lebah madu dan pengelolaan camping ground. Terkait hal tersebut maka dapat disebutkan bahwa penerapan prinsip comanagement berdasarkan partisipasi masyarakat di Desa Wologai Tengah sudah pada kategori tinggi, sedangkan di Desa Saga masih dalam kategori sedang. 5.1.2. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat Salah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis sejauh mana penerapannya adalah pengakuan terhadap hak masyarakat adat terutama mengenai lahan masyarakat adat. Gambar 12 menunjukkan bahwa dalam pengelolaan TNKL, telah ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang bermukim di Desa Wologai Tengah, dengan presentase masyarakat yang menyatakan bahwa telah ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat di desa tersebut tergolong tinggi. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat di Desa Wologai Tengah memberikan dampak positif terhadap kelestarian fungsi ekosistem TNKL, dengan tidak adanya kegiatan perambahan kawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Wologai Tengah turut menjaga fungsi ekosistem kawasan dengan menjaganya dari gangguan pihak lain. Hal ini menurut responden disebabkan oleh pengakuan pihak BTNKL terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, disamping itu pihak BTNKL juga melakukan perbaikan atas hak masyarakat lokal, seperti memberikan kelonggaran untuk mengambil air bersih dari dalam kawasan.
52
Pengakuan terhadap Hak Masyarakat Adat Desa Wologai Tengah belum diakui 0 tidak memberikan pendapat 13%
Desa Saga
57%
13%
telah ada pengakuan
87%
30%
Gambar 12 Persentase pendapat responden tentang pengakuan terhadap hak masyarakat dalam pengelolaan TNKL. Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik akan menunjukkan
hasil
yang
baik
dimana
produktivitas
tercapai
tanpa
menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Hal ini berbeda dengan kondisi di Desa Saga yaitu persentase responden yang menganggap hak masyarakat adat belum diakui oleh pihak BTNKL tergolong tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan berbagai usulan dan pendapat yang diajukan oleh masyarakat setiap penyuluhan dan koordinasi yang dilaksanakan oleh pihak BTNKL. Mereka mengusulkan perlunya pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas sebagian lahan yang berada dalam kawasan TNKL. Berdasarkan dokumen yang ada, sekitar tahun 2002 telah dilakukan kesepakatan/perjanjian adat tidak tertulis antara Bupati Ende dengan masyarakat Saga, yang dikenal dengan istilah torajaji. Isi kesepakatan tersebut adalah petani kopi dalam kawasan TNKL diperkenankan untuk memanen hasil kopi yang telah ada sejak kesepakatan dibuat, tetapi tidak diperkenankan untuk meremajakan atau memeliharanya. Namun, seiring perkembangan waktu, petani kopi tetap melaksanakan peremajaan dan pemeliharaan kopi tersebut serta memperluas lahan kopi, dan bahkan beberapa warga lainnya ikut merambah kawasan. Oleh karena itu, masyarakat sering memperjuangkan haknya melalui forum pertemuan di tingkat desa agar dapat diakui. Namun, hingga saat ini belum ada pengakuan secara resmi terhadap hak masyarakat adat untuk memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah adatnya yang terdapat di dalam kawasan. Pengakuan hak merupakan
implikasi
yang belum dari
kebijakan
diperoleh masyarakat sentralistik
sehingga
Desa Saga, kepentingan
53 pengelolaan kawasan tidak searah dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Akibatnya terjadi ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pihak BTNKL dengan komunitas lokal yang bermukim di sekitar kawasan. Sasaran yang tidak sejalan inilah yang membutuhkan suatu pendekatan agar kepentingan dan kebutuhan stakeholders dapat disinergikan untuk menghindari terjadinya konflik yang dapat berimplikasi negatif terhadap kelestarian taman nasional. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian ekosistem TNKL dan sekitarnya maka pengakuan terhadap hak masyarakat yang bermukim di Desa Saga seyogyanya diberikan oleh pihak BTNKL. Hal ini sesuai dengan pendapat Borrini-Feyerabend et al. (2000) yang menyebutkan bahwa salah satu penerapan co-management adalah masing-masing pihak membagi dengan adil fungsi manajemen, kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu wilayah tertentu atau seperangkat sumberdaya alam. 5.1.3. Proses negosiasi Prinsip dasar co-management lainnya yang dianalisis adalah sejauhmana proses-proses negosiasi diterapkan. Negosiasi merupakan salah satu faktor kunci untuk mencapai kompromi atau kesepakatan atas konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan terkait dengan fungsi ekosistem dan sumberdaya alam. Gambar 13 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan TNKL, pelaksanaan negosiasi di Desa Wologai Tengah cukup
tinggi, sementara di Desa Saga
sedang. Keberhasilan proses negosiasi di Desa Wologai Tengah dikarenakan keterlibatan aktif ketua adat/mosalaki Wologai dan kepala desa. Proses
negosiasi
di
Desa
Wologai
Tengah
untuk
membentuk
kesepakatan dilakukan dengan cara melibatkan tokoh-tokoh adat dan kepala desa, terkait hak-hak yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Dalam proses ini terjadi keseimbangan kepentingan para stakeholders, dimana masing-masing pihak mencoba untuk memahami kepentingan dan kebutuhan pihak lainnya, sehingga diperoleh kesepakatan mengenai pengelolaan TNKL. Mosalaki dan kepala desa memahami kepentingan BTNKL dalam menjaga kelestarian fungsi ekosistem TNKL. BTNKL memahami kepentingan masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan wawancara dengan pihak BTNKL disebutkan bahwa dalam hal ini pihaknya lebih mementingkan proses ketimbang hasil jangka pendek, walaupun hal itu ditempuh dengan proses yang cukup lama. Berdasarkan proses tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa proses negosiasi telah memenuhi syarat dari prinsip dasar co-
54 management, dimana stakeholders duduk bersama untuk membicarakan konflik kepentingan diantara stakeholders dengan satu pemahaman saling memberi dan menerima untuk mencapai kesepakatan.
Proses Negosiasi Desa Wologai Tengah belum dilaksanakan
10%
tidak memberikan pendapat 3%
telah dilaksanakan
Desa Saga
43%
20%
87%
37%
Gambar 13 Persentase pendapat responden tentang proses negosiasi dalam pengelolaan TNKL. Sementara itu, sebanyak 37% responden masyarakat Saga mengatakan bahwa telah dilakukan negosiasi dengan pihak BTNKL, sedangkan sebanyak 43% belum. Jumlah yang cukup berimbang antara yang merasa telah dilakukan negosiasi dan yang belum menunjukkan bahwa penerapan co-management masih pada tahap awal dari keseluruhan proses co-management. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pihak BTNKL telah berupaya untuk menjalin komunikasi dengan stakeholders namun hasilnya belum menyentuh substansi kepentingan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat Desa Saga. Beberapa responden mengemukakan bahwa sebagian masyarakat belum dilibatkan dalam proses negosiasi pada kegiatan pengelolaan. Sementara itu untuk menerapkan pengelolaan co-management, perlu memperhatikan keterwakilan bermacammacam suara dan kepentingan stakeholders (Borrini-Feyerabend et al. 2004). Selain itu, masing-masing pihak hendaknya bersedia untuk bernegosiasi, saling percaya (Borrini-Feyerabend et al. 2000; Zachrisson 2008), dan prosesnya lebih difokuskan pada bagaimana tugas-tugas pengelolaan diorganisasikan pada fungsi, dibanding pada struktur formal dalam sistem (Carlsson & Berkes 2005). 5.1.4. Kejelasan hak dan tangggung jawab komunitas lokal dengan BTNKL Penerapan prinsip co-management lainnya yang dianalisis penerapannya dalam penelitian ini adalah kejelasan hak dan tanggung jawab komunitas lokal dengan BTNKL. Gambar 14 menunjukkan bahwa 74% masyarakat yang
55 menyatakan bahwa hak dan tanggung jawab stakeholders dalam pengelolaan TNKL di Desa Wologai Tengah telah jelas dan diatur dalam konsensus yang tidak tertulis. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat melaksanakan kegiatan pengamanan kawasan walaupun mereka tidak terlibat dan tergabung dalam keanggotaan Pam Swakarsa. Tanggung jawab yang diperlihatkan oleh masyarakat Wologai Tengah tersebut memberikan gambaran bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengamanan merupakan implikasi dari kejelasan hak yang diberikan kepada masyarakat, yaitu mereka berhak memanfaatkan sumber air bersih dari dalam kawasan, serta mengelola camping ground dan kolam pemancingan yang pembangunannya difasilitasi oleh pihak BTNKL dan pemda. Keterlibatan masyarakat tersebut akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para stakeholders saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya termasuk informasi maupun tenaga yang dimilikinya. pengelolaan
Hal ini
merupakan salah satu sasaran yang diharapkan dalam
kawasan
dengan
pendekatan
co-management
agar
fungsi
ekosistem kawasan TNKL dapat terjaga. Sementara itu peran pemerintah baik BTNKL maupun dinas pemda terkait ikut membantu mengembangkan potensi desa seperti bantuan pengembangan camping ground dan areal pemancingan, serta pengembangan usaha lebah madu dan beberapa bentuk pelatihan.
KejelasanHakdan Tanggung Jawab Desa Wologai Tengah belum ada kejelasan 3% tidak memberikan pendapat ada kejelasan
Desa Saga
40%
23%
20%
74%
40%
Gambar 14 Persentase pendapat responden tentang kejelasan hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan TNKL. Selanjutnya, terkait dengan kejelasan hak dan tanggung jawab stakeholders sebagai salah satu prinsip co-management dalam pengelolaan TNKL di Desa Saga terlihat sebanyak 40% responden menyatakan telah ada
56 kejelasan dan 40% lainnya menyatakan belum ada kejelasan dalam kegiatan pengelolaan. Jumlah yang berimbang tersebut menunjukkan bahwa peluang konflik kepentingan antara masyarakat setempat dengan pihak BTNKL masih mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa konsep co-management sudah diterapkan namun masih belum mencapai tingkat saling percaya antar stakeholders. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat merasa belum dilibatkan dalam setiap kegiatan pengelolaan karena ada keraguan terhadap program pengelolaan TNKL. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengelolaan secara comanagement hendaknya BTNKL tidak mengkontrol secara penuh pengelolaan kawasan, namun juga tidak membiarkan dan tidak melakukan intervensi dan kontribusi sama sekali terhadap pengelolaan. Posisi di tengah, dimana terjadi pembagian tugas dan tanggung jawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders, hendaknya dilaksanakan dengan tahap-tahap pengelolaan (Borrini-Fayerabend
et
al.
2004)
yaitu
mempersiapkan
kemitraan,
mengembangkan kesepakatan, serta melaksanakan dan mereview kesepakatan. 5.1.5. Konsensus yang disepakati stakeholders inti Penerapan prinsip co-management selanjutnya yang dianalisis dalam penelitian ini adalah konsensus yang disepakati. Gambar 15 menunjukkan bahwa di dalam pengelolaan TNKL, telah ada konsensus yang disepakati antara masyarakat
Desa
Wologai
Tengah
dengan
pihak
BTNKL.
Persentase
masyarakat yang menyatakan bahwa telah ada konsensus/kesepakatan yang disepakati bersama antara masyarakat dengan pihak BTNKL sebanyak 53% dan pernyataan masyarakat tersebut berada pada kategori tinggi. Pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat tentang keberadaan konsensus/kesepakatan di Desa Wologai Tengah didukung oleh pernyataan tokoh adat Wologai yang mengemukakan bahwa masyarakat berkewajiban menjaga keamanan kawasan TNKL, sedangkan pihak pemerintah membantu pengembangan ekonomi masyarakat dalam hal pembiayaan, serta pihak lembaga adat menyediakan sebidang tanah ulayatnya untuk pengembangan ekonomi tersebut berupa lokasi pembangunan camping ground dan area kolam pemancingan. Sementara itu responden di Desa Saga yang menyebutkan telah ada konsensus sebanyak 37% sedangkan yang menyebutkan belum ada konsensus sebanyak 40%. Kondisi yang berimbang tersebut dimungkinkan karena beberapa masyarakat beranggapan bahwa kesepakatan torajaji yang dibuat pada tahun 2002 telah memuaskannya, karena selain demi kelestarian kawasan dan
57 keberlangsungan fungsi ekosistem, beberapa masyarakat telah dilibatkan dalam beberapa kegiatan pengelolaan bersama TNKL. Namun bagi masyarakat yang kurang puas dengan kesepakatan tersebut, selain karena desakan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga karena merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan sehingga tetap menginginkan dilakukan kesepakatan ulang.
Konsensusyang Disepakati Desa Wologai Tengah belum ada konsensus tidak memberikan pendapat telah ada konsensus
17%
Desa Saga
40%
23%
30%
37%
53%
Gambar 15 Persentase pendapat responden disepakati dalam pengelolaan TNKL.
tentang
konsensus
yang
Berdasarkan hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa pengelolaan TNKL di Desa Saga merupakan proses co-management yang masih pada tahap awal. Oleh karena itu konsensus yang disepakati bersama akan ditemukan seiring dengan penerapan prinsip belajar dan adaptasi sosial, komunikasi yang intensif antar stakeholders inti, serta prinsip saling percaya (Berkes 2009) untuk melakukan pengelolaan secara bersama dan demi kepentingan bersama. 5.2. Stakeholders, Kepentingan (interest) dan Aspirasi Berdasarkan hasil kajian pada subbab 5.1., diketahui bahwa penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNKL di Desa Saga masih pada kategori sedang, sedangkan di Desa Wologai Tengah pada kategori baik. Untuk itu perlu suatu strategi pengelolaan yang dapat mempertahankan penerapan prinsip co-management di Desa Wologai Tengah, serta bagaimana meningkatkan penerapan prinsip co-management di Desa Saga. Namun terlebih dahulu perlu diketahui siapa saja stakeholders yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan TNKL, serta bagaimana kepentingan dan aspirasinya.
58 5.2.1. Identifikasi stakeholders Hasil identifikasi stakeholders menggunakan wawancara mendalam dengan teknik snowball menunjukkan bahwa stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan TNKL pada lokasi penelitian sebanyak 15 stakeholders (Tabel 8). Keterlibatan stakeholders tersebut dikarenakan dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi suatu kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan TNKL. Tabel 8 Stakeholders pengelolaan TNKL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stakeholders Petani kopi dalam kawasan Masyarakat Saga Lembaga Adat Saga Kepala Desa Saga Masyarakat Wologai Tengah Lembaga Adat Wologai Kepala Desa Wologai Tengah BTNKL BAPPEDA Dishutbun Disbudpar Unflor Yayasan Tani Membangun (Yastim) Swisscontact Tananua Flores
Keterangan Dipengaruhi Dipengaruhi Mempengaruhi/dipengaruhi Mempengaruhi/dipengaruhi Dipengaruhi Mempengaruhi/dipengaruhi Mempengaruhi/dipengaruhi Mempengaruhi Mempengaruhi Mempengaruhi Mempengaruhi Mempengaruhi /dipengaruhi Dipengaruhi Dipengaruhi Mempengaruhi/dipengaruhi
Masyarakat sebagai stakeholders terdiri dari penduduk lokal desa penelitian yang berdomisili di sekitar TNKL yaitu masyarakat Desa Saga dan Wologai Tengah, serta petani kopi yang memiliki kebun di dalam kawasan TNKL. Sebagai stakeholders, masyarakat dan petani kopi akan dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan TNKL. Disamping itu, tempat tinggalnya berdekatan dengan kawasan hutan dan secara emosional, baik dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sangat bergantung dan dipengaruhi oleh keberadaan TNKL. Data statistik (BPS 2009b) menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat bermata pencaharian petani yaitu di Desa Saga sejumlah 135 dari total 166 rumah tangga, serta Desa Wologai Tengah sejumlah 132 dari total 150 rumah tangga. Ketergantungan masyarakat yang tinggi kepada hutan, disebabkan penduduk di sekitar hutan adalah miskin, yaitu pendapatan per kapita bervariasi antara 150-250 kg beras/kapita (BTNK 2008b). Widada et al. (2006) menyebutkan bahwa indikator
59 kemiskinan secara kualitatif dapat dilihat antara lain dari aspek kebutuhan masyarakat sekitar hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sekedar untuk bisa mempertahankan hidup; tidak adanya jaminan masa depan, karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga; serta ketrampilan berusaha dan berwiraswasta sangat rendah dan tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. Oleh karena itu, masyarakat yang merupakan stakeholders inti dalam pengelolaan kawasan TNKL sangat bergantung pada sumberdaya kawasan TNKL dan berkepentingan untuk menambah penghasilan dan meningkatkan kesejahteraannya dengan bergantung pada kawasan. Data sekunder menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan oleh masyarakat di sekitar TNKL adalah 3,94 ha/KK, namun lahan tergarap hanya 2 ha/KK atau setengahnya dari luas penguasaan lahan (BTNK 2008b). Hasil wawancara mendalam dengan informan di lokasi penelitian menyebutkan bahwa petani kopi dalam kawasan memiliki lahan di desa, sekitar tempat tinggalnya. Namun, mereka membutuhkan lahan yang sesuai untuk tanaman kopi. Letak lokasi yang sesuai untuk tanaman kopi biasanya di sekitar cekungan/lembah yang lembab dan subur di dalam kawasan TNKL. Kepala desa dan lembaga adat juga berkepentingan dalam pengelolaan TNKL yaitu menjaga stabilitas sosial dan peningkatan kesejahteraan warganya. Peran dan posisi tersebut menyebabkan stakeholders ini dapat mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan TNKL. Kepala desa dan lembaga adat, yang secara emosional merasa dekat dengan keberadaan TNKL, juga memiliki pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang tinggi terhadap TNKL. Selain itu, lembaga adat juga berkepentingan dalam melaksanakan kewenangan dan aturan-aturan adat pada wilayah ulayatnya. Pelanggaran terhadap aturan adat akan dikenai sanksi adat. Untuk itu pengelolaan TNKL terkait juga dengan pengaruh dan keterlibatan kepala desa dan lembaga adat, baik di Desa Saga maupun di Wologai Tengah. Penanggung jawab pengelolaan TNKL saat ini berada pada institusi BTNKL sehingga pengelolaan secara umum tidak bisa terlepaskan dari stakeholders ini. Walaupun kantor BTNKL terletak cukup jauh dari kawasan TNKL, yaitu di kota Ende, namun sebagaimana tupoksi yang diembannya, maka stakeholders ini memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian ekosistem TNKL. Selain itu, pengelolaan setiap kegiatan yang berhubungan dengan program pemerintah
60 daerah berada pada instansi terkait, yaitu BAPPEDA, Disbudpar, serta Dishutbun. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memiliki misi antara lain mengembangkan
usaha
pariwisata
dan
meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat di bidang kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar 2009). Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga memiliki misi antara lain mewujudkan keamanan
hutan
secara
berkelanjutan
dari
kerusakan-kerusakan
yang
disebabkan oleh manusia (Dishutbun 2009). Hal di atas menyebabkan stakeholders pemerintah sangat mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan TNKL. Oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi antara ketiga intansi kabupaten tersebut di atas dengan BTNKL, selaku pengelola kawasan konservasi di bawah pemerintah pusat. Universitas Flores sebagai wahana pendidikan tinggi di Kabupaten Ende merupakan stakeholders yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan TNKL. Unflor memiliki kepentingan dalam melaksanakan pendidikan lingkungan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat. Pada lingkup penelitian ini, Unflor berkepentingan dalam mengembangkan pengetahuan masyarakat di bidang pertanian, sehingga masyarakat tidak terlalu bergantung pada keberadaan sumberdaya dalam kawasan TNKL. Hal ini telah disebutkan dalam perjanjian kerjasama antara Unflor dengan BTNKL yang bersepakat untuk melakukan kegiatan pembelajaran, penelitian,
dan
pengabdian
kepada
masyarakat
di
bidang
konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta melakukan pengembangan, perencanaan, dan memperkuat kerangka kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan prosedur operasional yang berkaitan dengan sistem
pengelolaan,
dengan
memperhatikan
kebutuhan,
aspirasi,
dan
pengetahuan asli masyarakat setempat melalui keterlibatan lembaga adat dan masyarakat (masyarakat lokal) dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi (BTNK 2009a). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang turut berperan dalam pengelolaan TNKL antara lain Yastim, Swisscontact dan Tananua Flores. Ketiga LSM tersebut melaksanakan kegiatannya di bidang pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan. Secara khusus, Swisscontact berupaya meningkatkan hasil pertanian masyarakat terutama jenis komoditas kakao, sedangkan Yayasan Tananua Flores lebih pada penguatan hak-hak masyarakat terhadap sumberdaya alam dan advokasi kebijakan daerah dalam
61 pengelolaan tanah, air, dan hutan. Pelibatan LSM (Yastim dan Swisscontact) dalam pengelolaan TNKL yaitu untuk
mengupayakan dan mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNKL sekaligus mencarikan alternatif solusi dengan mengembangkan dan mengintensifkan usaha pertanian dan perkebunan di luar kawasan TNKL di sekitar desa. Pelibatan Yayasan Tananua
Flores
lebih
kearah
penguatan
kapasitas
masyarakat
serta
penyampaian informasi perlindungan dan peningkatan kesadaran fungsi kawasan konservasi. Oleh karena itu Swisscontact dan Yastim merupakan LSM yang dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan TNKL, sedangkan Tananua Flores dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan TNKL. 5.2.2. Kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders Pengelolaan TNKL, dalam pelaksanaannya melibatkan stakeholders atau pihak yang berkepentingan dan terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholders tersebut merupakan bagian dari sistem pengelolaan taman nasional yang masing-masing memiliki kepentingan (interest) dan aspirasi tersendiri terhadap sistem atau mekanisme pengelolaan TNKL. Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa terdapat beberapa kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders yang sinergi ataupun tidak sinergi dengan fungsi ekosistem TNKL dan program pengelolaan TNKL.
62 Tabel 9
Fungsi Ekosistem
StakeNo holders 1
2
3
4
5
6
7
PTK
MS
LS
KS
MW
LW
KW
Kepentingan (interest) stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem dan program pengelolaan TNKL Kepentingan (Interest) R
H
P
- Menanam kopi dalam kawasan, tidak dilarang oleh pihak BTNKL - Meningkatkan kapasitas dan ketrampilan untuk alternatif pendapatan
+
-
+ +/
Pemenuhan kebutuhan air sehari-hari Peningkatan kesejahteraan Perlindungan sumberdaya dan budaya lokal Kebebasan melakukan kegiatan/ ritual adat Menginginkan lahan untuk berkebun dalam kawasan (klaim kepemilikan lahan) - Informasi yang akurat berkenaan dengan pembangunan dan program pada wilayah desa bersangkutan - Pelatihan pertanian dan pelatihan ketrampilan lainnya - Perluasan lapangan kerja - Kebebasan melakukan ritual adat, termasuk pengambilan kayu untuk pembangunan rumah adat - Keterlibatan pengambilan keputusan dalam pengelolaan TNKL - Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat - Mendapatkan informasi pengelolaan kawasan
I
C +
Program Pengelolaan P1 P2 P3 P4
+/ +/ +/ +/ + +
+ + +
+ +
+
+
+
+ + +/
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+ +
- Pemenuhan kebutuhan air sehari-hari - Peningkatan kesejahteraan - Mengembangkan jalur tracking menuju danau Kelimutu - Pengembangan berbagai upaya dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat - Informasi yang akurat berkenaan dengan pembangunan dan program pada wilayah desa
+ +/
-
+ +
- Menjaga stabilitas keamanan wilayah - Peningkatan kesejahteraan warga - Mendapatkan informasi pembangunan kawasan
+
- Menjaga stabilitas keamanan wilayah - Pengembangan potensi desa - Mendapatkan informasi pembangunan kawasan
Kebebasan melakukan ritual adat Pengakuan hak adat Peningkatan kesejahteraan warga Pengenalan informasi pembangunan kawasan
+
+ + +
+
+
+ +
+ +
+ +
+ +
+ + + +
+ +
63 Lanjutan Tabel 9. 8
9
BTN - Tercapainya visi dan misi pengelolaan - Keberlanjutan pembiayaan pengelolaan TNKL - Adanya suatu mekanisme komunikasi antar stakeholders yang dilaksanakan secara rutin - Koordinasi rencana dalam pengelolaan - Mekanisme yang lebih baik berkenaan dengan penyebaran informasi tentang konservasi TNKL ke masyarakat dan stakeholders lainnya - Mekanisme komunikasi antar stakeholders yang dilaksanakan secara rutin BPD - Melaksanakan visi misi Bupati periode 2009 – 2014 - Keseimbangan fungsi ekosistem TNKL - Kontribusi ekonomi taman nasional bagi pembangunan daerah - Perluasan lapangan kerja
+ +
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+ +
10 DHB - Meningkatkan kesadaran masyarakat dan institusi lain akan pentingnya fungsi kawasan lindung terutama ekosistem TNKL - Penyebaran informasi pengelolaan hutan kepada masyarakat
+
+
11 DBP - Meningkatkan PAD dari sektor pariwisata pada wilayah pengembangan desa adat - Menyebarkan informasi tentang kegiatan pariwisata kepada stakeholders dan masyarakat luas - Mengembangkan program berkenaan dengan kepariwisataan TNKL
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
12 UF
- Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat - Pengembangan keilmuan terkait pengelolaan pertanian di sekitar taman nasional - Pemberian Informasi berkenaan dengan pengembangan kapasitas desa
+ +
13 YT
- Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam bidang pertanian
+
14 SC
- Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat - Pemberian informasi terkait pengembangan kakao
+
15 TF
- Peningkatan kesejahteraan masyarakat - Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat - Penguatan hak-hak masyarakat terhadap SDA dan advokasi kebijakan daerah dalam pengelolaan tanah, air, dan hutan
+ +/ +/ +/ +/ +/
Keterangan: PTK: Petani kopi dalam kawasan; MS: Masyarakat Saga; LS: Lembaga Adat Saga; KS: Kepala Desa Saga; MW: Masyarakat Wologai Tengah; LW: Lembaga Adat Wologai; KW: Kepala Desa Wologai Tengah; BTN: BTNKL; BPD: Bappeda; DHB: Dishutbun; DBP: Disbudpar; UF: Unflor; YT: Yastim; SC: Swisscontact; TF: Tananua Flores; R: fungsi regulasi; H: fungsi habitat; P: fungsi produksi; I: fungsi informasi; C: Carrier function; P1: program rehabilitasi kawasan; P2: program pengembangan wisata alam; P3: program perlindungan dan pengamanan kawasan; P4: program pembinaan partisipasi masyarakat; (+) adalah kepentingan stakeholders sinergi dengan fungsi ekosistem TNKL/ program pengelolaan; () adalah kepentingan stakeholders tidak sinergi dengan fungsi ekosistem TNKL/ program pengelolaan; () tidak terkait.
64 Tabel 10 Aspirasi stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem dan program pengelolaan TNKL No 1
2
3
4
5
R
H
P
I
C
Program Pengelolaan P1 P2 P3 P4
PTK - Pengakuan lahan masyarakat dalam kawasan - Pihak BTNKL menyediakan pelatihan pertanian dan pelatihan ketrampilan lainnya - Penguatan kelembagaan lokal - Bantuan peningkatan usaha ekonomi masyarakat
+
+
MS
- Kebebasan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari - Pihak BTNKL menyediakan pelatihan pertanian dan pelatihan ketrampilan lainnya - Bantuan peningkatan usaha ekonomi masyarakat - Pemberdayaan desa penyangga - Penguatan kelembagaan lokal
+
- Akses untuk mendapatkan kayu adat - Komunikasi yang baik antar berbagai instansi - Keterlibatan dalam pengambilan keputusan - Penguatan kelembagaan adat
Stakeholders
LS
KS
MW
Aspirasi
- Koordinasi yang lebih intensif dan kontinyu - Bantuan peningkatan usaha ekonomi masyarakat - Keterlibatan pengambilan keputusan dalam pengelolaan TNKL - Penguatan kelembagaan adat - Pembentukan wadah/ forum stakeholders dan membuat aturan kesepakatan - Pengamanan kawasan bersama masyarakat - Diperbolehkan mengambil air dari dalam kawasan - Program pelatihan yang menunjang kebutuhan masyarakat - Program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan nyata di desa - Bantuan peningkatan usaha ekonomi masyarakat - Kemungkinan pengembangan jalur track wisata menuju danau kelimutu yang dimulai dari lokasi camping ground
Fungsi Ekosistem
+ + +
+
+
+ + + + +
+/ +/
+
+
+ +
+ + +
+
+
+
+
+
+ +/
+ + + + +
+/ +/
+
+
6
LW
- Komunikasi yang baik antar instansi
+
7
KW
- Koordinasi yang baik antara pihak BTNKL dengan masyarakat - Pelaksanaan pelatihan untuk peningkatan SDM masyarakat - Pengamanan kawasan bersama masyarakat
+ + +
+
+
+
+
+
65
Lanjutan Tabel 10. 8
BTN -
-
-
Sosialisasi program Koordinasi rencana antar lembaga Penguatan kelembagaan lokal Upaya menumbuhkan kreatifitas masyarakat dengan kegiatan di luar kawasan TNKL, melalui berbagai kegiatan pelatihan Penyebaran informasi program kerja kepada stakeholders terutama kepada pemerintah daerah. Pengamanan kawasan bersama masyarakat Pembentukan wadah/ forum stakeholders dan membuat aturan kesepakatan Peranserta masyarakat dalam menjaga keutuhan taman nasional
9
BPD - Pelaksanaan program-program pembangunan di segala bidang - Pemberian bantuan bagi desa penyangga
10
DHB - Mekanisme komunikasi antar stakeholders berkenaan dengan sosialisasi program kerja - Pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat sebagai alternatif peningkatan pendapat masyarakat - Pengembangan desa penyangga
11
12
13 14
15
DBP - Fasilitas wisata yang baik - Terbukanya lapangan kerja sebagai implikasi pariwisata - Tetap terpeliharanya nilai-nilai budaya setempat termasuk bangunan adat yang ada - Terjalin komunikasi antar stakeholders berkenaan dengan sosialisasi program kerja UF
YT SC
TF
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ + + +
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+ +
+
+
- Membentuk wadah stakeholders - Menjalin kerjasama antar institusi - Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat - Menjalin kerjasama antar institusi - Melaksanakan pelatihan pertanian - Keberlanjutan pengembangan potensi perkebunan rakyat seperti kakao - Melakukan pelatihan dan fasilitasi pengembangan kakao rakyat -
+
Pemberdayaan masyarakat Penyuluhan dan pelatihan Penguatan kelembagaan adat Koordinasi dengan institusi terkait
Keterangan: PTK: Petani kopi dalam kawasan; MS: Masyarakat Saga; LS: Lembaga Adat Saga; KS: Kepala Desa Saga; MW: Masyarakat Wologai Tengah; LW: Lembaga Adat Wologai; KW: Kepala Desa Wologai Tengah; BTN: BTNKL; BPD: Bappeda; DHB: Dishutbun; DBP: Disbudpar; UF: Unflor; YT: Yastim; SC: Swisscontact; TF: Tananua Flores; R: fungsi regulasi; H: fungsi habitat; P: fungsi produksi; I: fungsi informasi; C: Carrier function; P1: program rehabilitasi kawasan; P2: program pengembangan wisata alam; P3: program perlindungan dan pengamanan kawasan; P4: program pembinaan partisipasi masyarakat; (+) adalah aspirasi stakeholders sinergi dengan fungsi ekosistem TNKL/ program pengelolaan; () adalah aspirasi stakeholders tidak sinergi dengan fungsi ekosistem TNKL/ program pengelolaan; () tidak terkait.
+
+
+
+ + + + +
66 Terkait dengan hasil dari analisis kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders tersebut, pada prinsipnya masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang bersifat spesifik. Hal ini berhubungan dengan kewenangan, otoritas, peran, manfaat yang diinginkan dan tanggung jawab yang terdapat pada masing-masing stakeholders terkait pengelolaan TNKL. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar stakeholders sangat berkepentingan dalam koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dan keterbukaan informasi dalam pengelolaan TNKL, serta peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat (Tabel 11). Tabel 11 Rekapitulasi hasil analisis kepentingan/aspirasi stakeholders No
Kepentingan/aspirasi
Stakeholders
1
Koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dan keterbukaan informasi dalam pengelolaan
MS, LS, KS, MW, LW, KW, BTN, DHB, DBP, UF, SC
2
Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat
PTK, MS, LS, MW, LW, KW, YT, SC, TF
3
Distribusi manfaat TNKL
MS, MW, BPD, UF, TF
4
Pengembangan desa penyangga
MS, MW, LS, LW
5
Kontribusi ekonomi TNKL bagi pembangunan daerah
KS, MW, BPD, DBP
6
Perluasan lapangan kerja
MS, BPD, MW
7
Pendidikan lingkungan bagi stakeholders
MS, BTN, UF
8
Perencanaan bersama stakeholders inti
KS, LS, BTN
9
Keseimbangan fungsi ekosistem TNKL
BTN, BPD
10
Peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan TNKL Keberlanjutan pembiayaan pengelolaan TNKL
BTN, DHB
11
BTN
Keterangan: PTK: Petani kopi dalam kawasan; MS: Masyarakat Saga; LS: Lembaga Adat Saga; KS: Kepala Desa Saga; MW: Masyarakat Wologai Tengah; LW: Lembaga Adat Wologai; KW: Kepala Desa Wologai Tengah; BTN: BTNKL; BPD: Bappeda; DHB: Dishutbun; DBP: Disbudpar; UF: Unflor; YT: Yastim; SC: Swisscontact; TF: Tananua Flores
Stakeholders pemerintah (BTNKL, BAPPEDA, Disbudpar, serta Dishutbun) memiliki kewenangan regulasi dan menentukan kebijakan kegiatan konservasi dan pembangunan wilayah. Kewenangan ini tidak dimiliki stakeholders dari Unflor, LSM, kepala desa, lembaga adat, maupun masyarakat. Hal ini menyebabkan
posisi
stakeholders
kalangan
pemerintah
sangat
kuat
67 dibandingkan dengan stakeholders lain dalam konteks regulasi dan kebijakan wilayah. Secara kebijakan
spesifik,
yang
BTNKL
memadukan
memiliki kewenangan kegiatan
dalam
pengelolaaan
menentukan
konservasi
dengan
pengembangan wilayah di kawasan TNKL. Dengan demikian BTNKL harus mengkomunikasikan model pengelolaan wilayah yang tidak mengganggu fungsifungsi ekosistem TNKL. Sementara itu, stakeholders dinas merupakan pihak yang berkepentingan dan memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah sekitar TNKL. Dalam penelitian ini diketahui bahwa pemerintah daerah sangat mendukung pengelolaan TNKL. Namun demikian koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik. Dalam hal ini kebijakan pembangunan daerah yang tidak diintegrasikan dengan tujuan konservasi akan menjadi sumber tekanan bagi kawasan TNKL yang berakibat pada degradasi kawasan. Lembaga swadaya masyarakat yang melakukan kegiatannya di sekitar lokasi penelitian ini adalah Yastim, Swisscontact dan Tananua Flores. Yayasan Tananua Flores merupakan organisasi mandiri yang didirikan sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian terhadap kemiskinan masyarakat pedesaan pada khususnya, sekaligus prihatin atas rusaknya lingkungan di Kabupaten Ende pada umumnya. Kegiatan Tananua Flores antara lain melakukan penguatan kelembagaan adat, meningkatkan kearifan lokal, penguatan komunitas adat, penguatan hak-hak masyarakat akan sumberdaya alam, serta advokasi kebijakan daerah dalam pengelolaan tanah, air, hutan dan kawasan TNKL. Kepentingan Tananua Flores tersebut bisa berdampak terhadap sinergi atau tidak
sinerginya
dengan
pengelolaan
TNKL.
Pemahaman
yang
lebih
mengutamakan kepentingan peningkatan ekonomi sesaat tanpa memperhatikan keberlanjutannya bagi generasi mendatang akan berdampak buruk terhadap pengelolaan TNKL. Sementara itu Yastim dan Swisscontact bergerak di bidang pengembangan potensi pertanian masyarakat desa. Kepentingan kedua LSM tersebut cukup sinergi dengan upaya BTNKL dalam mengupayakan intensifikasi pertanian di luar kawasan hutan. Dengan demikian peran LSM dalam memediasi dan mengkomunikasikan
informasi
serta
menjembatani
masyarakat
stakeholders lainnya (terutama pemerintah) sangat penting.
dengan
68 Stakeholders dari kalangan masyarakat (petani kopi dalam kawasan dan masyarakat di sekitar kawasan) memiliki kebutuhan untuk melakukan kegiatan langsung pada kawasan TNKL. Dengan demikian dampak pembangunan secara langsung dirasakan oleh stakeholders ini. Dengan mengakomodasi kebutuhan dan aspirasinya, masyarakat lokal sebenarnya dapat mendukung perlindungan ekosistem taman nasional (Castillo et al. 2005 dalam Adiprasetyo 2010). Oleh karenanya pengelolaan kawasan TNKL harus seminimal mungkin menimbulkan dampak
negatif
dan
seoptimal
mungkin
menghasilkan
dampak
positif.
Keterlibatan stakeholders masyarakat sekitar dalam pengelolaan yaitu dapat berperan sebagai penyangga sosial yang turut menjaga kelestarian kawasan jika manfaat pengelolaan TNKL dirasakan oleh mereka. Petani kopi dalam kawasan memiliki kepentingan (interest) yang tinggi yaitu untuk meningkatkan pendapatan dengan berladang/berkebun tanaman kopi dalam kawasan. Masyarakat Saga yang mengklaim mempunyai kepemilikan lahan dalam kawasan, juga berkeinginan untuk mengelola/membuka kebun kopi baru. Begitu juga dengan lembaga adat Saga yang berkepentingan dalam menjalankan ritual adatnya yaitu dengan mengambil kayu dari dalam kawasan demi untuk pembangunan rumah adat. Kebutuhan stakeholders tersebut tidak sejalan dengan fungsi ekosistem TNKL. Akses masyarakat ke dalam kawasan dimungkinkan
akan
mengganggu
fungsi
habitat
ekosistem
TNKL
bagi
kelangsungan hidup berbagai flora-fauna yang ada di dalamnya. Sementara itu masyarakat Wologai Tengah memiliki kepentingan (interest) terkait dengan kebutuhan ketersediaan air bersih untuk keperluan air minum dan kebutuhan sehari-hari yang diambil dari dalam kawasan. Selain itu, masyarakat Wologai Tengah juga berkeinginan untuk mengembangkan wisata minat khusus berupa tracking wisata ke puncak kelimutu, yang terintegrasi dengan lokasi camping ground yang mulai berkembang. Kepentingan stakeholders tersebut tidak bertentangan dengan fungsi ekosistem TNKL dan dapat sinergi dengan upaya-upaya pengelolaan kawasan ke depan. Wells and Sharma (1998) dalam Adiprasetyo (2010) menyebutkan bahwa dua aspek yang terbukti penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan taman nasional yaitu (1) rekonsiliasi antara kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional, dan (2) rekonsiliasi peluang ekonomi pemanfaatan taman nasional, seperti pariwisata alam dengan dampak ekologi yang mungkin timbul dari pemanfaatan tersebut.
69 Secara umum, kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders BTNKL, pemerintah daerah, Unflor, kepala desa, LSM dan lembaga adat Wologai telah sinergi dengan fungsi ekosistem dan program pengelolaan TNKL. Namun, kepentingan (interest) dan aspirasi petani kopi, masyarakat Saga dan lembaga adat Saga yang tidak sinergi dengan program pengelolaan TNKL adalah sebagai berikut: 1) Pengambilan kayu untuk pembangunan rumah adat Masyarakat adat Lio yang telah bertahun-tahun mendiami daerah di sekitar kawasan TNKL, memiliki ikatan batin yang kuat dengan keberadaan kawasan gunung Kelimutu. Ikatan batin ini juga terlihat ketika ritual adat pembangunan rumah adat/keda kanga akan dilaksanakan. Masyarakat adat Lio mempercayai bahwa untuk membangun rumah adat/keda kanga, kebutuhan kayu akan diambil dari dalam kawasan TNKL melalui mimpi sang ketua adat/Mosalaki. Pihak BTNKL telah berupaya melakukan penanaman kayu adat di sekitar lahan masyarakat, namun jenis kayu adat ini perlu pemeliharaan yang intensif. Selain itu, kayu adat yang jumlahnya masih terbatas dan kecil, maka belum bisa ditebang. Hal ini menuntut perhatian pihak BTNKL untuk memberikan alternatif bagi masyarakat adat dalam mendapatkan kayu adat tersebut. 2) Kebutuhan lahan untuk berkebun dan klaim kepemilikan atas sebagian lahan dalam kawasan Hasil penelitian memberikan informasi bahwa sebagian masyarakat Saga dan
petani
kopi
dalam
kawasan
mengklaim
kepemilikan
lahan
serta
menginginkan agar mereka diijinkan mengelola kebun kopi dalam kawasan. Kopi merupakan komoditas pertanian yang memberikan hasil sangat baik di daerah Saga. Petani kopi dalam kawasan mempunyai lahan kebun di luar kawasan TNKL, namun tidak sesuai dan tidak cukup subur untuk ditanami kopi. Hal ini menyebabkan mereka tetap bertahan untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan kopi di daerah-daerah yang subur dan sesuai untuk tanaman kopi di dalam kawasan TNKL. Kegiatan perambahan kawasan TNKL dimungkinkan akan mengganggu keutuhan dan kelestarian fungsi ekosistem kawasan. Luas kawasan TNKL hanya 5.356,5 ha, sehingga perambahan kawasan yang beberapa hektar pun dapat mengganggu kelestarian kawasan, serta memungkinkan berdampak pada fungsi Danau Kelimutu dan beberapa jenis flora dan fauna dalam kawasan TNKL.
70 Berkenaan dengan kompleksitas berbagai kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders tersebut di atas, maka konsep co-management dalam pengelolaan TNKL perlu diterapkan untuk menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Hal ini disebutkan oleh Carlsson and Berkes (2005) bahwa dalam penerapan co-management terdapat beberapa kompleksitas antara lain dalam hal tata pemerintahan, kondisi masyarakat, dan sistem penguasaan. Hal tersebut mestinya menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun perencanaan strategi pengelolaan TNKL ke depan. 5.3. Nilai Penting (Importance) dan Pengaruh Stakeholders 5.3.1. Nilai penting (importance) stakeholders Untuk
melihat
besarnya
nilai
penting
(importance)
masing-masing
stakeholders terhadap pengelolaan TNKL, maka perlu diketahui informasi terhadap beberapa aspek nilai penting (importance) stakeholders terhadap fungsi-fungsi ekosistem yaitu regulasi, habitat, produksi, informasi dan carrier. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan interpretasi terhadap masingmasing kategori nilai penting (importance) stakeholders sehingga menghasilkan nilai tinggi sampai rendah. Ilustrasi pada Tabel 12 memperlihatkan bahwa nilai penting (importance) yang tinggi berada pada stakeholders masyarakat (petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga, dan masyarakat Wologai Tengah), lembaga adat, kepala desa, Tananua Flores, Disbudpar dan BTNKL. Hal ini mengindikasikan bahwa stakeholders tersebut memiliki relevansi yang besar terhadap keberhasilan pelestarian fungsi-fungsi ekosistem TNKL dibandingkan dengan
stakeholders
lainnya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan BTNKL merupakan instansi pemerintah yang memiliki kesamaan kepentingan yaitu mengembangkan pariwisata dan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Bagi Disbudpar, pengembangan pariwisata di TNKL yang dikaitkan dengan wisata budaya dan atraksi wisata lainnya, secara tidak langsung akan meningkatkan PAD dan kesejahteraan masyarakat Ende. Hal ini sesuai dengan misi pembangunan daerah yaitu menumbuhkembangkan budaya lokal untuk mendukung pariwisata. Kepentingan Disbudpar, selain karena tupoksinya, juga didukung oleh adanya jejaring kerja dengan instansi pariwisata kabupaten yang berada di Pulau Flores. Kendala yang dihadapi Disbudpar yaitu keterbatasan anggaran kegiatan. Alokasi
71 anggaran untuk Disbudpar dengan sumber dana APBD Kabupaten Ende pada tahun 2006 – 2008 berkisar 1,1 milyar – 1,6 milyar rupiah (Disbudpar 2009). Tabel 12 Nilai penting (importance) stakeholders pengelolaan TNKL No
Fungsi ekosistem kawasan TNKL
Stakeholders
Regulasi Habitat Produksi Informasi Carrier
Jumlah
1
Petani kopi dalam kawasan
5
1
5
5
4
20
2
Masyarakat Saga
5
1
5
5
4
20
3
Lembaga Adat Saga
5
1
4
4
4
18
4
Kepala Desa Saga
5
1
3
4
3
16
5
Masyarakat Wologai Tengah
5
2
3
5
3
18
6
Lembaga Adat Wologai
5
2
1
5
2
15
7
Kepala Desa Wologai Tengah
5
2
1
5
3
16
8
BTNKL
5
5
2
5
3
20
9
BAPPEDA
1
1
1
1
1
5
10 Dishutbun
3
3
1
1
1
9
11 Disbudpar
2
1
1
5
3
12
12 Unflor
1
1
2
4
1
9
13 Yastim
1
1
1
1
1
5
14 Swisscontact
1
1
1
1
1
5
15 Tananua Flores
1
1
4
3
4
13
Bagi BTNKL, pengembangan pariwisata alam merupakan tugas yang diembannya yaitu melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional (Dephut 2007), disamping upaya untuk peningkatan PNBP dari sektor jasa lingkungan. Disamping itu, berkembangnya paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi save it, study it dan use it telah menyebabkan cara pengelolaan kawasan taman nasional menjadi lebih terbuka dengan keterlibatan stakeholders terkait. Kepentingan BTNKL tersebut juga didukung oleh ketersediaan anggaran, kapasitas petugas dan komitmen pengelolaan dengan visi pengembangan ekowisata
berbasis
budaya
setempat
untuk
menunjang
kesejahteraan
masyarakat. Adapun stakeholders dengan tingkat relevansi yang rendah terhadap keberhasilan pelestarian fungsi ekosistem TNKL yaitu Swisscontact, Yastim, Unflor, BAPPEDA, dan Dishutbun. Salah satu misi pembangunan Dishutbun
72 adalah mewujudkan keamanan hutan secara berkelanjutan dari kerusakankerusakan yang disebabkan oleh manusia. Sebagaimana misi tersebut, mestinya Dishutbun memiliki kepentingan yang tinggi terhadap program pengelolaan TNKL. Nilai penting (importance) yang rendah dari Dishutbun, mungkin dikarenakan anggaran kegiatan yang terbatas. Alokasi anggaran Dishutbun dengan sumber dana APBD Kabupaten Ende pada tahun 2008 sebesar 1,8 milyar rupiah (Dishutbun 2009). Minimnya anggaran tersebut menyebabkan prioritas alokasi kegiatan dinas kabupaten diarahkan pada sasaran strategis di daerah lain, yang tidak ditujukan pada pengelolaan daerah di lokasi penelitian. Jumlah anggaran tersebut dialokasikan untuk kegiatan di seluruh wilayah Kabupaten Ende, sehingga untuk melaksanakan kegiatan bidang kehutanan di sekitar taman nasional, pihak pemda cenderung menyerahkannya kepada pihak BTNKL. 5.3.2. Pengaruh stakeholders Untuk melihat besarnya tingkat pengaruh masing-masing stakeholders terhadap pengelolaan TNKL, maka perlu diketahui informasi terhadap kekuatan stakeholders dalam mempengaruhi pengelolaan TNKL selama ini. Pengaruh merupakan kekuatan stakeholders tertentu untuk mempengaruhi stakeholders lainnya
karena
kekuatan
uang/kekayaan,
opini,
informasi,
massa,
peraturan/sanksi, atau kepemimpinan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan interpretasi terhadap pengaruh stakeholders menurut instrumen kekuatannya, yaitu condign power, compensatory power, conditioning power, serta sumber kekuatannya yaitu personalitas dan properti, serta faktor organisasi. Tabel 13 menunjukkan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan TNKL relatif disumbangkan oleh BTNKL, instansi pemerintah daerah, Tananua Flores, Swisscontact, Unflor, lembaga adat, dan kepala desa. BTNKL memiliki pengaruh yang tinggi, terkait dengan kemampuannya memaksa dan mempengaruhi masyarakat atau stakeholders lainnya dengan kekuatan anggaran yang memadai serta peraturan perundangan yang dilaksanakannya. Pengaruh BTNKL nampak pada kemampuannya dalam memberikan upah, bantuan desa penyangga, atau penghargaan lainnya seperti mengirim warga desa untuk mengikuti pelatihan di Kupang atau kota lainnya. Sementara itu, instansi pemerintah daerah memiliki pengaruh karena faktor organisasi yaitu sebagai penentu kebijakan di level pemerintah kabupaten.
73 Tabel 13 Pengaruh stakeholders pengelolaan TNKL Instrumen kekuatan
No
Stakeholders
CompenCondign satory
Conditioning
Sumber kekuatan Jumlah PersonOrganisasi ality
1
Petani kopi dalam kawasan
1
1
1
1
1
5
2
Masyarakat Saga
1
1
1
1
1
5
3
Lembaga Adat Saga
1
3
3
3
5
15
4
Kepala Desa Saga
2
4
3
4
5
18
5
Masyarakat Wologai Tengah
1
1
1
1
1
5
6
Lembaga Adat Wologai
4
4
3
5
5
21
7
Kepala Desa Wologai Tengah
4
4
4
5
4
21
8
BTNKL
4
5
4
5
5
23
9
BAPPEDA
3
3
3
5
5
19
10 Dishutbun
1
1
3
4
5
14
11 Disbudpar
2
4
3
4
5
18
12 Unflor
2
3
4
2
2
13
13 Yastim
1
1
2
2
1
7
14 Swisscontact
1
3
3
3
4
14
15 Tananua Flores
1
3
4
3
4
15
Swisscontact berpengaruh tinggi karena ketersediaan anggaran yang besar, serta kemampuan anggotanya dalam memberikan pendidikan atau propaganda, serta jejaring kerja yang cukup luas. Swisscontact selain membantu pengamatan kemungkinan pengembangan pertanian dan perkebunan, juga berpengaruh karena memberi alternatif kegiatan petani kopi dan masyarakat agar keluar dari kawasan TNKL. Sementara itu, Tananua Flores berpengaruh karena terkait bidang kegiatan yang meliputi upaya peningkatan kapasitas masyarakat, advokasi kebijakan daerah, dan penguatan hak-hak masyarakat terkait keberadaan sumberdaya alam. Pengaruh Tananua Flores lainnya yaitu dapat memberikan ancaman kepada pihak BTNKL terkait propaganda, provokasi kepada masyarakat dan jejaring kerja yang dimilikinya. Kepala desa dan lembaga adat berpengaruh karena memiliki karisma, kepribadian dan kemampuannya memberi sanksi bagi masyarakat yang menentang proyek/kegiatan yang telah direncanakan. Lembaga adat memiliki pengaruh
yang
tinggi
pada
instrumen
pengaruh
condign
power
dan
compensatory power yaitu dalam memberikan sebidang tanah pada warganya
74 sebagai ana halo fai walu (BTNK 2009b). Informan menyebutkan bahwa lembaga adat Wologai telah memberikan sebidang lahan untuk pengembangan lokasi camping ground dan area pemancingan, disamping kamampuannya memberikan sanksi adat kepada warganya. Sementara itu, Kepala Desa Wologai Tengah memiliki pengaruh yang tinggi melalui sumber kekuatannya yaitu oleh karena karisma dan posisinya. Kepala Desa Wologai Tengah pernah menjadi juara pertama kepala desa berprestasi se-propinsi NTT pada tahun 2008. 5.3.3. Klasifikasi stakeholders Nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders pada Tabel 12 dan 13, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk gambar dengan menempatkan posisi masing-masing stakeholders ke dalam empat kategori. Gambar 16 menunjukkan posisi masing-masing stakeholders tersebut dalam konteks keberhasilan pengelolaan TNKL.
ig g )E nit
Petani kopi dlm kaws.
C N A T R O P M I( Subjects G N IT N E P I A LI N ha d n er Crowd rendah
Key players
Masy. Saga Masy. Wologai Tgh
BTNKL
Lembaga Adat Saga Kades Saga
Lembaga Adat Wologai Disbuspar
Tananua Flores
Unflor
Yastim
Dishutbun
Swisscontact
PENGARUH
Kades Wologai Tgh
BAPPEDA
Context setters tinggi
Gambar 16 Ilustrasi posisi stakeholders pengelolaan TNKL berdasarkan nilai penting (importance) dan pengaruh. Pada Gambar 16 terlihat bahwa posisi kategori I (subjects) ditempati oleh petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga, dan masyarakat Wologai Tengah. Pada kategori ini menunjukkan bahwa ketiga stakeholders tersebut memiliki nilai penting (importance) yang tinggi terhadap keberhasilan pelestarian fungsi
75 ekosistem TNKL, namun memiliki pengaruh yang rendah. Artinya, ketiga stakeholders ini merupakan stakeholders yang penting namun memerlukan pemberdayaan agar dapat berpartisipasi dalam pengelolaan TNKL. Pemberdayaan bagi stakeholders pada posisi subjects dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pada setiap tahapan pengelolaan, serta melakukan penguatan kapasitas SDM. Rishi et al. (2008) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan motivasi masyarakat lokal agar terlibat dalam pengelolaan dan kegiatan konservasi, sebagaimana tingginya tingkat kepentingan stakehoders tersebut,
yaitu
dengan
mengupayakan
penguatan
pemenuhan
prioritas
kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan mempertahankan hidup (survival needs) dan kebutuhan perasaan aman (security needs). Kebutuhan dasar masyarakat lokal tersebut adalah pangan, papan, dan kesehatan. Petani kopi dalam kawasan dan masyarakat Saga memiliki kepentingan yang tidak mendukung tujuan pengelolaan TNKL. Petani kopi telah jelas-jelas melakukan perambahan kawasan, sedangkan masyarakat Saga mengklaim kepemilikan lahan dalam kawasan serta berkeinginan untuk menggarap lahan tersebut untuk kebutuhan berkebun. Hal ini perlu menjadi perhatian pihak BTNKL, terkait pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Untuk itu upaya pemberian bantuan desa penyangga bisa menjadi alternatif solusi untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap lahan dalam kawasan. Namun demikian, pemberian bantuan tersebut harus dikomunikasikan secara buttom up dengan masyarakat sehingga benar-benar menjadi bantuan yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. Sementara itu nilai penting (importance) masyarakat Wologai Tengah yang tinggi, serta kepentingannya yang tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan TNKL harus diapresiasi. Kepentingan untuk membuka jalur track wisata, selayaknya diakomodir dalam perencanaan pengelolaan BTNKL ke depan, yaitu dengan melibatkan masyarakat Wologai Tengah dalam tahapan pengelolaan mulai dari pengamatan, perencanaan hingga implementasinya. Selanjutnya, ketegori II (key players) merupakan kelompok yang paling kritis karena memilliki nilai penting (importance) dan pengaruh yang tinggi. Dalam konteks penelitian, kategori II ditempati oleh stakeholders BTNKL, lembaga adat, kepala desa, Disbudpar dan Tananua Flores. Stakeholders ini memiliki posisi yang sangat penting sehingga perlu dilibatkan dalam pengelolaan sebagai koalisi dan perlu untuk mempertahankan komitmennya dalam pengelolaan. Lembaga
76 adat Saga mempunyai kepentingan yang kurang sinergi dengan tujuan pengelolaan TNKL, yaitu keinginan untuk mengambil kayu dari dalam kawasan untuk pembangunan rumah adat/keda kanga. Hal ini jika dibiarkan akan mengganggu perlindungan kawasan TNKL karena akan berdampak pada keinginan untuk melakukan hal yang sama oleh lembaga adat dari kelompokkelompok adat di desa-desa lainnya yang berada di sekitar TNKL. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian pihak BTNKL untuk mengupayakan berbagai alternatif kemungkinan mengurangi ketergantungan terhadap kayu dari TNKL dengan membuat hutan adat yang berada di luar kawasan TNKL. Pada tahap awal sebelum pohon dalam hutan adat tersebut siap ditebang, BTNKL masih perlu mencari alternatif lainnya, misalnya dengan pemberian bantuan untuk mencari kayu di luar kawasan TNKL. Kategori III (context setters) ditempati oleh lembaga Dishutbun, BAPPEDA, Unflor, serta Swisscontact. Dalam penelitian terlihat stakeholders tersebut memiliki nilai penting (importance) yang rendah, namun pengaruhnya cukup kuat dalam mempengaruhi pengelolaan TNKL. Pemerintah daerah melalui dinas terkait, memiliki otoritas yang tinggi sehubungan dengan perumusan kebijakan dan pengembangan wilayah di Ende. Unflor dan Swisscontact berperan sehubungan dengan kemampuannya dalam memainkan peran intermediasi, penyebaran informasi dan menjalankan fungsi koordinasi. Hal ini menjadi perhatian karena stakeholders pada kategori III (context setters) tersebut berperan
dalam
merumuskan
kebijakan
dan
menjembatani
perumusan
keputusan dan opini yang berkembang di kawasan TNKL. Stakeholders tersebut juga perlu dikelola untuk dimintai saran pendapat (konsultasi) ataupun hanya sekedar penyampaian ijin dan pemberitahuan akan dilaksanakannya suatu kegiatan. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak menjadi sumber kendala yang dapat menggagalkan pelaksanaan program pengelolaan TNKL. Kategori IV (crowd) ditempati oleh Yastim, yaitu stakeholders yang memiliki nilai penting (importance) dan pengaruh yang rendah. Sebenarnya, stakeholders pada kategori IV (crowd) dapat diabaikan dalam pengelolaan TNKL, tetapi oleh karena
LSM
ini
berupaya
meningkatkan
kesejahteraan
dan
kapasitas
masyarakat dari sektor pertanian, maka perannya perlu mendapatkan perhatian, yaitu agar turut membantu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNKL. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak menjadi sumber kendala
77 yang dapat menggagalkan pelaksanaan kegiatan pengelolaan TNKL, mengingat wilayah kerja LSM ini berada di desa-desa sekitar TNKL. Bentuk dan posisi nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Reed et al. 2009), sehingga hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan pengelolaan TNKL ke depan. Disamping itu, dimungkinkan juga munculnya stakeholders baru yang belum teridentifikasi pada penelitian ini, terkait dengan dinamika sosial yang terus berkembang di lokasi penelitian. 5.4. Pengolahan Elemen-elemen Strategi Pengelolaan TNKL dengan Teknik ISM Berdasarkan kajian pada subbab 5.1., perlu suatu strategi pengelolaan yang dapat mempertahankan penerapan prinsip co-management di Desa Wologai Tengah, serta bagaimana meningkatkan penerapan prinsip comanagement di Desa Saga. Penyusunan strategi pengelolaan didasarkan pada resolusi konflik yang terjadi di TNKL, utamanya di Desa Saga. Selain itu, ketentuan co-management dalam penelitian ini mengikuti Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Analisis strategi pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management menggunakan teknik ISM dengan menentukan kelompok elemen pengelolaan yang terdiri dari elemen lembaga dan pelaku yang terlibat, elemen kebutuhan dari program, elemen kendala utama, elemen tujuan, dan elemen kegiatan yang
diperlukan. Masing-masing elemen memiliki beberapa sub elemen yang diperoleh berdasarkan kajian sebelumnya, pendapat pakar dan studi pustaka. 5.4.1. Lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management Berdasarkan analisis nilai penting dan pengaruh stakeholders (subbab 5.3.) terdapat 14 stakeholders kunci yang mempengaruhi pengelolaan TNKL. Stakeholders
tersebut
kemudian
dinilai
oleh
pakar
untuk
mengetahui
stakeholders mana yang perlu menjadi prioritas perhatian untuk dikelola terlebih dahulu dalam pengelolaan TNKL sehubungan dengan penerapan prinsip comanagement. Keempatbelas stakeholders sebagai sub elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL yaitu (1) petani kopi dalam kawasan, (2) masyarakat Saga, (3) masyarakat Wologai Tengah, (4) lembaga adat Saga, (5) lembaga adat Wologai, (6) Kepala Desa Saga, (7) Kepala Desa
78 Wologai Tengah, (8) BTNKL, (9) BAPPEDA, (10) Dishutbun, (11) Disbudpar, (12) Unflor, (13) Swisscontact, dan (14) Tananua Flores. Gambar 17 menunjukkan bahwa sub elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management yaitu petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga, masyarakat Wologai Tengah, BTNKL, lembaga adat Saga, dan lembaga adat Wologai, terletak pada sektor IV independent yang merupakan sub elemen lembaga dan pelaku yang sangat berpengaruh dan mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Sub elemen lembaga pada sektor ini memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap lembaga lainnya. Sementara itu sub elemen Kepala Desa Saga, Kepala Desa Wologai Tengah, BAPPEDA, Dishutbun, Disbudpar, Unflor, dan Tananua Flores, terletak pada sektor II dependent yang merupakan sub elemen bergantung terhadap lembaga lainnya dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan TNKL secara comanagement. Dengan kata lain apabila beberapa sub elemen lembaga lainnya seperti tersebut di atas ikut dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan TNKL maka lembaga ini menjadi penting terhadap keberhasilan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management.
1, 2, 3, 8
4, 5 6, 7 11, 12,14
9, 10 13
DEPENDENCE
Gambar 17
Posisi sub elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management pada Grafik Driver Power – Dependence.
Sub elemen yang terletak pada sektor I autonomus adalah Swisscontact. Sub elemen yang berada pada sektor I merupakan sub elemen yang tidak terkait
79 dengan sistem, walaupun terdapat hubungan dengan sub elemen lembaga lainnya. Model struktur elemen lembaga dan pelaku yang terlibat sebagaimana hasil ISM (Gambar 18) terdiri dari 5 tingkat. Petani kopi dalam kawasan, BTNKL, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah merupakan elemen kunci lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL. Keempat stakeholders tersebut disebut sebagai stakeholders inti pengelolaan TNKL karena menjadi penggerak utama dan mempengaruhi stakeholders pada tingkat di bawahnya, terkait dengan pelaksanaan co-management dalam pengelolaan TNKL.
Level 1
Level 2
BAPPEDA
Tananua Flores Unflor
Level 3
Kepala desa Wologai Tengah
Level 4
Lembaga adat Saga
Level 5
Dishutbun
Masyarakat Saga Petani kopi dalam kawasan
Disbudpar
Kepala desa Saga
Lembaga adat Wologai
Masyarakat Wologai Tengah BTNKL
Gambar 18 Diagram model struktural dari elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan comanagement. Hasil pengelompokan ini (Gambar 17 dan 18) memberikan makna bahwa petani kopi dalam kawasan, BTNKL, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah merupakan peubah bebas (independet) yang mempengaruhi pelaku dan lembaga lembaga adat, kepala desa, Disbudpar, Unflor, Tananua Flores, BAPPEDA, dan Dishutbun. Kemitraan antara stakeholders inti yaitu BTNKL,
80 masyarakat sekitar TNKL dan petani kopi dalam kawasan, merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam pengelolaan dengan pendekatan co-management. Petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah bertempat
tinggal
berdekatan
dengan
kawasan
TNKL
serta
memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan TNKL. Oleh karena itu mereka menjadi prioritas bermitra dengan BTNKL untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan sesuai dengan kesepakatan yang disusun bersama. Disamping itu, untuk mencapai pengelolaan bersama maka BTNKL sebagai stakeholders inti juga perlu mengubah struktur, budaya organisasi, sikap, keahlian dan program kerja, demi pengelolaan kawasan bersama. Kesediaan komponen masyarakat untuk bermitra dalam pengelolaan harus didukung oleh partisipasi lembaga adat. Lembaga adat memiliki keterikatan nilainilai adat dan budaya dengan TNKL, sehingga keterlibatan lembaga adat akan mendukung masyarakat untuk berpartisipasi menjaga kelestarian fungsi ekosistem TNKL. Pelaku yang menjadi prioritas selanjutnya yaitu kepala desa. Kepala desa sebagai pemimpin masyarakat di tingkat desa berkepentingan menjaga stabilitas keamanan wilayah dan juga kebijakan kepala desa perlu disinergikan dengan aturan adat. Hal ini sesuai dengan pendapat BorriniFeyerabend et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pemimpin lokal, dalam hal ini tokoh adat dan kepala desa, dapat mendorong peningkatan kapasitas dalam hal sikap warganya untuk membangun motivasi dan kesediaan untuk beraksi dalam pengelolaan bersama. Ketigabelas
pelaku
dan
lembaga
mencerminkan
keadaan
bahwa
pengelolaan TNKL membutuhkan keterlibatan dan peran banyak stakeholders mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat lokal dan adat, LSM, maupun perguruan tinggi. Hal ini karena banyaknya aspek pengelolaan yang sebenarnya tidak dapat ditangani hanya oleh BTNKL saja melainkan harus melibatkan lembaga lain jika tujuan pengelolaan ingin dicapai sesuai dengan yang diharapkan bersama. Hal ini semakin memberikan indikasi bahwa pendekatan co-management dalam pengelolaan TNKL sangat diperlukan. Untuk mengetahui bentuk dan tingkat keterlibatan ketigabelas stakeholders yang mungkin dilaksanakan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan comanagement, maka dilakukan analisis menggunakan matrik partisipasi (Tabel 14). Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan TNKL dianalisis dari tingkat yang terendah yaitu hanya sekedar mendapatkan informasi, kemudian
81 konsultasi/perundingan yaitu stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada stakeholders yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat keterlibatan stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan dimana setiap stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama, sampai dengan stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam siklus pengelolaan, sedangkan pihak luar memfasilitasi mereka. Tabel 14 Strategi keterlibatan stakeholders dalam siklus pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management Siklus pengelolaan
Tingkat partisipasi Konsultasi/ perundingan
Kemitraan
Kontrol
Identifikasi/ pengamatan
LW, TF
PTK, MS, MW, LS
BTN
Perencanaan
BPD,DHB, DBP, UF, KS, KW
PTK, MS, MW, BTN, LS, LW, TF
Informasi
Pelaksanaan
BPD,DHB
TF, UF
PTK, MS, MW, BTN, LS,LW, DBP, KS, KW
Pemantauan dan evaluasi
BPD, DHB
DBP, KS, KW, UF, TF
PTK, MS, MW, LS,LW,
BTN
Keterangan: PTK: Petani kopi dalam kawasan; MS: Masyarakat Saga; LS: Lembaga Adat Saga; KS: Kepala Desa Saga; MW: Masyarakat Wologai Tengah; LW: Lembaga Adat Wologai; KW: Kepala Desa Wologai Tengah; BTN: BTNKL; BPD: Bappeda; DHB: Dishutbun; DBP: Disbudpar; UF: Unflor; TF: Tananua Flores
Strategi
yang
disusun
yaitu
masyarakat
dilibatkan
sebagai
mitra
pengelolaan. Masyarakat, walaupun merupakan stakeholders yang cukup homogen, namun terdapat beragam kepentingan dan kebutuhan. Pada suatu saat mereka akan satu suara, namun diwaktu yang berbeda mereka bisa banyak suara. Oleh karena itu, stakeholders masyarakat yang terdiri dari petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah, perlu dilibatkan sebagai mitra pengelolaan yaitu dengan meningkatkan kapasitas dalam hal keterwakilannya dalam pengambilan keputusan dan penentuan tindakan pada setiap tahapan pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi konflik kepentingan antara pihak BTNKL dengan masyarakat, dan bahkan antar masyarakat sendiri. Carlsson and Berkes (2005) menyebutkan bahwa salah satu kompleksitas dalam pengelolaan secara co-management adalah kompleksitas masyarakat. Hal ini menyebabkan pengelolaan TNKL tidak
82 dapat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat mengingat beragamnya kepentingan serta ego antar kelompok masyarakat dan lembaga adat di lokasi penelitian. BTNKL memegang kontrol secara penuh terhadap keputusan dan tindakan pada tahap identifikasi/pengamatan pengelolaan, serta pemantauan dan evaluasi pengelolaan. Hal ini dikarenakan kepentingan BTNKL untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem TNKL disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, sehingga diharapkan pengelolaan TNKL akan berkelanjutan. Sementara itu pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, BTNKL terlibat sebagai mitra yang duduk bersama stakeholders lainnya dalam menentukan keputusan dan tindakan pengelolaan ke depan. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengelolaan secara co-management hendaknya BTNKL tidak mengkontrol secara penuh pengelolaan kawasan, namun juga tidak membiarkan dan tidak melakukan intervensi dan kontribusi sama sekali terhadap pengelolaan. Borrini-Fayerabend et al. (2004) menyebutkan bahwa posisi pemerintah adalah di tengah, dimana terjadi pembagian tugas dan tanggung jawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders. Lembaga adat Saga sebagaimana masyarakat perlu dilibatkan sebagai mitra dalam setiap tahapan pengelolaaan. Hal ini dikarenakan kepentingan mereka yang tinggi terkait kebutuhan kayu dalam kawasan. Sementara itu lembaga adat Wologai, Kepala Desa Saga dan Wologai Tengah perlu dilibatkan dalam konsultasi dan kemitraan terkait kepentingannya dalam menjaga stabilitas keamanan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Stakeholders pemerintah daerah (BAPPEDA, Dishutbun, dan Disbudpar) Unflor, dan Tananua Flores dilibatkan dalam penyampaian informasi dan konsultasi baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dilibatkan dalam kemitraan pengelolaan terkait pengembangan kegiatan kepariwisataan alam dan budaya di sekitar TNKL. Sementara itu Tananua Flores dilibatkan untuk konsultasi pada tahap identifikasi/pengamatan kemungkinan alternatif pengembangan usaha ekonomi masyarakat agar tidak bergantung terhadap kawasan TNKL. 5.4.2. Kebutuhan dari program pengelolaan TNKL Berdasarkan kajian pada sub subbab 5.2.2., diketahui bahwa terdapat 11 kepentingan/aspirasi yang dibutuhkan stakeholders dalam program pengelolaan TNKL. Kesebelas kebutuhan tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan teknik
83 ISM untuk menentukan kebutuhan mana yang paling prioritas untuk dikelola terlebih dahulu karena pengaruhnya terhadap kebutuhan lainnya. Elemen kebutuhan terhadap program pengelolaan TNKL secara comanagement terdiri dari 11 sub elemen yaitu (1) keseimbangan fungsi ekosistem TNKL, (2) distribusi manfaat TNKL secara berkeadilan, (3) peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan TNKL, (4) koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders
dalam
pengelolaan,
(5)
keberlanjutan
pembiayaan
pengelolaan TNKL, (6) pendidikan lingkungan bagi stakeholders, (7) peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat sekitar, (8) perluasan lapangan kerja, (9) pengembangan desa penyangga, dan (10) kontribusi ekonomi TNKL bagi pembangunan daerah, dan (11) perencanaan bersama stakeholders inti. Kesebelas sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik ISM untuk mendapatkan elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-management (Gambar 19 dan 20).
4 11 6 2, 9
8 7 5
1
10
3
DEPENDENCE
Gambar 19
Posisi sub elemen kebutuhan dari program pada Grafik Driver Power – Dependence.
Berdasarkan hasil analisis seperti gambar tersebut di atas memperlihatkan bahwa sub elemen koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dalam pengelolaan, pendidikan lingkungan bagi stakeholders, dan perencanaan bersama stakeholders inti, terletak pada sektor IV yang merupakan peubah independent yaitu sub elemen kebutuhan yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-
84 management dan memiliki ketergantungan (dependent) yang rendah terhadap sub elemen kebutuhan pengelolaan lainnya. Hal ini sesuai dengan kepentingan dan aspirasi sebagian besar stakeholders yang menghendaki koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders yang baik dan kontinyu, serta peningkatan pengetahuan masyarakat. Sementara itu, sub elemen distribusi manfaat TNKL secara berkeadilan serta pengembangan desa penyangga, terletak pada sektor III yang merupakan sub elemen pengait (lingkage) dari sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang besar terhadap suksesnya pengelolaan TNKL tetapi memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula. Setiap tindakan terhadap kebutuhan pengelolaan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya pengelolaan TNKL dan sebaliknya jika sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Adapun sub elemen keseimbangan fungsi ekosistem TNKL, peran serta masyarakat dalam menjaga
keutuhan
TNKL,
peningkatan
kesejahteraan
dan
pendapatan
masyarakat sekitar, perluasan lapangan kerja, dan kontribusi ekonomi TNKL bagi pembangunan daerah, terletak pada sektor II yang merupakan sub elemen yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan sub elemen lainnya. Sementara itu sub elemen keberlanjutan pembiayaan pengelolaan TNKL terletak pada sektor I autonomus merupakan sub elemen yang tidak terkait dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit. Model struktur elemen kebutuhan sebagaimana Gambar 20 terdiri dari 5 tingkat. Koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dalam pengelolaan merupakan elemen kunci kebutuhan. Sub elemen ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen pada tingkat di bawahnya. Ketika kebutuhan terhadap koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dalam pengelolaan yang dilanjutkan dengan pendidikan lingkungan bagi stakeholders serta perencanaan bersama stakeholders inti telah terpenuhi, maka akan dapat membantu pemenuhan distribusi manfaat TNKL secara berkeadilan. Kebutuhan tersebut juga untuk memenuhi pengembangan desa penyangga. Ketika kebutuhan tersebut di atas telah terpenuhi maka pemenuhan kebutuhan selanjutnya yang akan tercapai yaitu peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat sekitar dan perluasan lapangan kerja. Dampak selanjutnya yaitu kebutuhan terhadap peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan TNKL,
85 kontribusi TNKL bagi pembangunan daerah, serta keseimbangan fungsi ekosistem TNKL akan terwujud.
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Kontribusi ekonomi TNKL bagi pembangunan daerah
Keseimbangan fungsi ekosistem TNKL
Peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan TNKL
Peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat sekitar
Distribusi manfaat TNKL secara berkeadilan
Pendidikan lingkungan bagi stakeholders
Perluasan lapangan kerja
Pengembangan desa penyangga
Perencanaan bersama stakeholders inti
Koordinasi rencana antar lembaga/ stakeholders dalam pengelolaan
Level 5
Gambar 20 Diagram model struktural dari elemen kebutuhan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Elemen kunci kebutuhan program dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan
co-management
lembaga/stakeholders.
yaitu
Kebutuhan
perlunya
koordinasi
terhadap
rencana
koordinasi
antar antar
lembaga/stakeholders dirasa sangat penting. Hal ini dikarenakan koordinasi merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak/stakeholders. Perubahan situasi/lingkungan yang begitu cepat, menuntut interaksi antar stakeholders yang semakin cepat pula. Terkait dengan perencanaan kegiatan pengelolaan TNKL, koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar
lembaga/stakeholders
untuk
mengkonfirmasi
sejumlah
data
detail
sumberdaya untuk mencapai tujuan pengelolaan TNKL. Perencanaan yang tidak sinergi dengan kepentingan lembaga lainnya akan menyebabkan kegagalan program.
86 Disamping
itu,
pelaksanaan
pendidikan
lingkungan
dengan
mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial secara seimbang perlu bagi stakeholders yaitu pejabat (seperti kepala desa dan pihak BTNKL), dan juga lembaga adat dan masyarakat. Pendidikan lingkungan ini bermanfaat untuk mempromosikan
sikap
pro-lingkungan
serta
mengurangi
konflik
antara
masyarakat setempat dengan kawasan konservasi (Liu et al. 2010). Mbile et al. (2005)
juga
menyatakan
bahwa
sistem
pengelolaan
perlu
menjaga
keseimbangan pemanfaatan dengan daya dukung dan menjamin partisipasi masyarakat lokal secara dinamis untuk mendukung pembangunan ekonomi. 5.4.3. Kendala utama dalam pengelolaan TNKL secara co-management Dalam rangka memenuhi elemen kebutuhan dari program pengelolaan TNKL sebagaimana sub subbab 5.4.2. terdapat berbagai kendala untuk menerapkan prinsip co-management. Sebanyak 10 sub elemen kendala utama yang dihasilkan berdasarkan hasil observasi, analisis kepentingan stakeholders dan diskusi pakar dianalisis menggunakan teknik ISM untuk menentukan kendala utama mana yang prioritas untuk diatasi karena mempengaruhi sub elemen kendala lainnya. Berbagai kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan TNKL secara co-management, yaitu (1) kurangnya komitmen internal BTNKL, (2) paradigma preservationist pihak BTNKL, (3) ketidakpercayaan masyarakat terhadap program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah/pihak BTNKL, (4) belum jelasnya kesepakatan dalam pengelolaan antara masyarakat dengan pihak BTNKL, (5) belum adanya komitmen dalam pengelolaan bersama, (6) ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya dalam kawasan TNKL, (7) rendahnya kapasitas SDM masyarakat setempat, (8) lemahnya peran pemda terkait alokasi anggaran, (9) keengganan pemerintah/pihak BTNKL untuk berbagi hak dan tanggung jawab pengelolaan, dan (10) kurangnya koordinasi antar stakeholders inti. Hasil analisis dengan menggunakan teknik ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala utama pada tiga sektor masing-masing sektor I, II dan IV seperti terlihat pada Gambar 21. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sub elemen kendala kurangnya komitmen internal BTNKL, rendahnya kapasitas SDM masyarakat setempat, lemahnya peran pemda terkait alokasi anggaran, dan kurangnya koordinasi antar stakeholders inti, terletak pada sektor IV yang merupakan peubah independent, yaitu sub elemen yang sangat berpengaruh
87 pada pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-management. Sub elemen tersebut merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang besar dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen kendala lainnya. Sub elemen pada sektor II terdiri dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah/pihak BTNKL, belum jelasnya kesepakatan dalam pengelolaan antara masyarakat dengan pihak BTNKL, ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya dalam kawasan TNKL, belum adanya komitmen dalam pengelolaan bersama, serta keengganan pemerintah/pihak BTNKL untuk berbagi hak dan tanggung jawab pengelolaan, merupakan peubah dependent, yang berarti sub elemen tersebut terpengaruh oleh sub elemen lain dalam pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-management.
1, 10
8 7 5, 6 2 3, 4, 9
DEPENDENCE
Gambar 21 Posisi sub elemen kendala utama dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management pada Grafik Driver Power – Dependence. Sub elemen paradigma preservationist pihak BTNKL berada pada sektor I autonomus yang merupakan sub elemen yang tidak terkait dengan sistem. Walaupun demikian, sub elemen kendala tersebut mungkin dapat mempengaruhi kendala utama lainnya. Model struktur elemen kendala utama sebagaimana Gambar 22 terdiri dari 5 tingkat. Kurangnya koordinasi internal BTNKL serta kurangnya koordinasi antar stakeholders inti merupakan elemen kunci kendala utama.
Sub elemen ini
menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen pada tingkat di bawahnya.
88
Belum jelasnya kesepakatan dalam pengelolaan antara masyarakat dengan pengelola Level 1
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap program/ kegiatan yang dilaksanakan oleh pengelola
Level 2
Keengganan pengelola untuk berbagi hak dan tanggung jawab pengelolaan
Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya dalam kawasan TNKL
Belum adanya komitmen dalam pengelolaan bersama
Level 3
Rendahnya kapasitas SDM masyarakat setempat
Level 4
Lemahnya peran pemda terkait alokasi anggaran
Level 5
Kurangnya komitmen internal pengelola
Kurangnya koordinasi antar stakeholders inti
Gambar 22 Diagram model struktural dari elemen kendala utama dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Berdasarkan hasil pengolahan dengan teknik ISM terhadap elemen kendala utama, terdapat elemen kunci yaitu kurangnya komitmen internal BTNKL maupun kurangnya koordinasi antara komunitas lokal dengan BTNKL. Sebagai sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh stakeholders, namun sebagai sebuah proses riil, koordinasi cenderung menjadi slogan yang mudah diucapkan namun sulit diimplementasikan dan menjadi penyebab bagi kegagalan berbagai institusi dalam melaksanakan tupoksinya. Koordinasi merupakan sistem yang
kompleks
dan
melibatkan
berbagai
pihak
karena
perubahan
situasi/lingkungan yang begitu cepat, menuntut interaksi antar stakeholders yang semakin cepat pula. Kegagalan dalam koordinasi disebabkan karena kegagalan di dalam membangun tujuan organisasi (Moekayat 1994, dalam Karyana 2007). Koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasi sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai tujuan.
89 Berdasarkan hasil wawancara, pelaksanaan koordinasi oleh pihak BTNKL telah sering dilakukan. Dalam rangka koordinasi internal, pelaksanaan rapat rutin bulanan maupun pertemuan dalam rangka pemantapan sebelum suatu kegiatan dilaksanakan, telah dilaksanakan oleh pihak BTNKL. Begitu juga dengan rapatrapat koordinasi dengan stakeholders terkait, yang dimulai dengan penyusunan rencana kegiatan di tingkat desa hingga di kabupaten. Namun, koordinasi yang dilakukan terhadap masyarakat sekitar TNKL sebagai stakeholders inti masih kurang. Koordinasi yang telah dilakukan, nampaknya belum menyentuh substansi dari tujuan pelaksanaan kegiatannya. Pemahaman yang muncul menganggap bahwa power sharing yang diterapkan merupakan hasil akhir dari suatu pengelolaan kawasan, padahal mestinya hal tersebut baru merupakan titik awal suatu proses co-management dalam sistem pengelolaan TNKL. Disamping itu, terkait lemahnya peran pemerintah daerah dalam alokasi anggaran untuk kegiatan pemberdayaan desa sekitar TNKL, perlu didukung dengan pendanaan dari pihak BTNKL. Koordinasi yang diterapkan bersama stakeholders termasuk dinas terkait akan menguntungkan sistem pengelolaan TNKL ke depan, termasuk dukungan nyata dari pemerintah daerah dalam hal arahan kebijakan pemberdayaan desa. 5.4.4. Tujuan dari pengelolaan dengan pendekatan co-management Dalam rangka memenuhi elemen kebutuhan dalam pengelolaan TNKL sebagaimana sub subbab 5.4.2. penetapan tujuan pengelolaan TNKL perlu ditentukan agar upaya co-management dapat dilaksanakan dengan baik. Sebanyak 12 sub elemen tujuan yang dihasilkan berdasarkan observasi, studi pustaka dan diskusi pakar dianalisis menggunakan teknik ISM untuk menentukan tujuan mana yang akan ditetapkan dalam pengelolaan secara co-management karena mempengaruhi sub elemen tujuan lainnya. Elemen tujuan pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-management terdiri dari 12 sub elemen yaitu (1) menjaga fungsi ekosistem kawasan, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar TNKL, (3) menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya, (4) menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis, (5) meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti, (6) meningkatkan potensi kemitraan, (7) meningkatkan partisipasi masyarakat, (8) meningkatkan sistem perlindungan TNKL, (9) meningkatkan kapasitas SDM, (10) menjembatani perbedaan pandangan dan
90 nilai-nilai
lokal,
(11)
menjaga
stabilitas
keamanan
wilayah,
dan
(12)
meminimalkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah/pihak BTNKL. Hasil analisis dengan menggunakan teknik ISM terhadap pendapat pakar untuk elemen tujuan pengelolaan disajikan pada Gambar 23 dan 24. Gambar 23 menunjukkan bahwa sub elemen menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis, meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti, meningkatkan
potensi
kemitraan,
meningkatkan
partisipasi
masyarakat,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar TNKL, dan menjembatani perbedaan pandangan dan nilai-nilai lokal, merupakan peubah independent, yang berarti memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap tujuan pengelolaan
TNKL
dengan
pendekatan
co-management
dan
memiliki
ketergantungan (dependent) yang rendah terhadap sub elemen tujuan pengelolaan lainnya. Sub elemen menjaga fungsi ekosistem kawasan, meningkatkan sistem perlindungan TNKL, meningkatkan kapasitas SDM, menjaga stabilitas keamanan wilayah, dan meminimalkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah/pihak BTNKL, merupakan peubah dependent, yang berarti sub elemen tersebut terpengaruh oleh sub elemen tujuan lainnya.
4, 5, 6, 7
2, 10
8, 9, 12 11 1
3
DEPENDENCE
Gambar 23
Posisi sub elemen tujuan pada Grafik Driver Power – Dependence.
Pada sektor I autonomus, sub elemen menjamin terpeliharanya keberadaan dan potensi budaya merupakan sub elemen yang tidak terkait dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit.
91 Tujuan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management agar berkelanjutan juga harus didukung dengan upaya peningkatan kapasitas sumberdaya masyarakat setempat. Kapasitas, yang meliputi sikap, pengetahuan, keahlian, informasi, sumberdaya dan pengakuan sosial (Borrinni-Feyerabend et al. 2004), merupakan kemampuan untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran (outputs) dan hasil (outcomes). Kapasitas masyarakat merupakan kemampuan
dalam
memecahkan
permasalahan
yang
dihadapi
dan
menyesuaikan dengan lingkungannya. Dengan demikian, salah satu proses agar masyarakat mampu secara cepat untuk beradaptasi maka dapat ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan potensi kemitraan, partisipasi masyarakat, komunikasi yang baik, serta menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis. Komunikasi
tersebut
tidak
hanya
sekedar
menyampaikan
informasi,
meningkatkan kesadaran, dan melakukan pelatihan saja, namun yang terpenting adalah pembelajaran interaktif (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Pembelajaran interaktif berupaya membangun dialog dengan cara berhadapan secara langsung
antara
pandangan-pandangan
yang
berbeda
sehingga
dapat
mengatasi kesenjangan atau membantu mengelola konflik. Model struktur elemen tujuan pengelolaan sebagaimana Gambar 24 terdiri
dari
4
tingkat.
Menciptakan
mekanisme
pembelajaran
dialogis,
meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti, meningkatkan potensi kemitraan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat, merupakan elemen kunci tujuan pengelolaan TNKL. Sub elemen ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen pada tingkat di bawahnya, hingga tercapai tujuan menjaga fungsi ekosistem kawasan.
92
Level 1
Level 2
Menjaga fungsi ekosistem kawasan
Meminimalkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah/ pengelola
Menjaga stabilitas keamanan wilayah Meningkatkan sistem perlindungan TNKL
Meningkatkan kapasitas SDM
Level 3
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar TNKL
Meningkatkan partisipasi masyarakat Level 4
Menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis
Menjembatani perbedaan pandangan dan nilai-nilai lokal
Meningkatkan potensi kemitraan Meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti
Gambar 24 Diagram model struktural dari elemen tujuan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. 5.4.5. Kegiatan yang diperlukan Fisher et al. (2001) menyebutkan bahwa strategi merupakan serangkaian langkah yang saling terkait secara logis ke arah seluruh tujuan, yang dapat diuji dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi. Terkait definisi tersebut maka berdasarkan kajian kepentingan dan aspirasi (sub subbab 5.2.2.) dan hasil analisis ISM terhadap kebutuhan pengelolaan (sub subbab 5.4.2.), kendala utama (sub subbab 5.4.3.) dan tujuan pengelolaan (sub subbab 5.4.4.), maka perlu dianalisis serangkaian langkah apa saja yang sesuai untuk dilaksanakan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Penyusunan serangkaian langkah tersebut didasarkan pada resolusi konflik yang terjadi di TNKL, utamanya di Desa Saga. Adapun ketentuan co-management dalam penyusunan strategi pengelolaan pada penelitian ini mengikuti Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Analisis kegiatan dilakukan dengan mengkaitkan
program
pengelolaan
BTNKL
dan
jenis
kegiatan
sesuai
P.19/Menhut-II/2004, dengan kepentingan/aspirasi stakeholders, kebutuhan,
93 kendala utama dan tujuan pengelolaan sebagai elemen kunci dalam pengelolaan TNKL (Tabel 15). Tabel 15 Analisis kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan TNKL secara comanagement Program pengelolaan TNKL/ Jenis kegiatan
No
A
Rehabilitasi kawasan 1. Pembibitan jenis endemik 2. Pengkayaan jenis dalam kawasan
B
Pengembangan wisata alam 3. Pelatihan pemandu wisata 4. Pengembangan interpretasi wisata 5. Pengembangan track wisata
C
D
E
Perlindungan dan pengamanan kawasan 6. Pembinaan PAM Swakarsa 7. Pengamanan dan perlindungan kawasan bersama masyarakat Pembinaan partisipasi masyarakat 8. Pengembangan sistem distribusi air dari dalam kawasan 9. Pemberian bantuan usaha ekonomi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat 10. Peningkatan ketrampilan masyarakat melalui pelatihan 11. Penguatan kelembagaan lokal dan adat 12. Pengembangan hutan adat 13. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan TNKL melalui penyuluhan Program terkait 14. Pertemuan antar stakeholders inti 15. Sosialisasi program 16. Pembentukan wadah/forum stakeholders 17. Pembuatan aturan/kesepakatan stakeholders
Kepentingan Kebutuhan Kendala Tujuan dan aspirasi dalam utama pengelolaan stakeholders pengelolaan
Berdasarkan Tabel 15 disimpulkan bahwa sub elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management terdiri dari 11 sub elemen kegiatan yaitu (1) pengembangan track wisata, (2) pemberian bantuan
usaha
ekonomi
masyarakat
untuk
peningkatan
kesejahteraan
94 masyarakat, (3) peningkatan keterampilan masyarakat melalui pelatihan, (4) penguatan kelembagaan lokal dan adat, (5) peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan TNKL melalui penyuluhan, (6) pertemuan antar stakeholders inti, (7) sosialisasi program, (8) pembentukan wadah/forum stakeholders, (9) pembuatan aturan/kesepakatan stakeholders, (10) pengamanan dan perlindungan kawasan bersama masyarakat, dan (11) pengembangan sistem distribusi air dari dalam kawasan. Pengelompokan sub elemen kegiatan yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam sektor independent, lingkage, dan dependent terdapat pada Gambar 25.
6 8, 9 2 5 7
3, 4 10 1
11 D EPEN D EN C E
Gambar 25 Posisi sub elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management pada Grafik Driver Power – Dependence. Gambar 25 menunjukkan bahwa sub elemen pemberian bantuan usaha ekonomi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertemuan antar stakeholders inti,
pembentukan wadah/forum stakeholders, pembuatan
aturan/kesepakatan stakeholders, dan peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan TNKL melalui penyuluhan, merupakan peubah independent yang berarti memiliki kekuatan penggerak terbesar terhadap pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Sub elemen sosialisasi program, merupakan variabel lingkage, yang berarti harus dikaji secara cermat karena hubungan sub elemen tersebut dengan sub elemen kegiatan lainnya tidak stabil. Setiap perubahan pada sub elemen ini berdampak besar terhadap keberhasilan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management, yang bisa mensukseskan atau bahkan menggagalkan program pengelolaan. Sub elemen pengembangan track wisata, peningkatan keterampilan masyarakat melalui
95 pelatihan,
penguatan
kelembagaan
lokal
dan
adat,
pengamanan
dan
perlindungan kawasan bersama masyarakat, serta pengembangan sistem distribusi air dari dalam kawasan, merupakan peubah dependent yang berarti kegiatan-kegiatan ini merupakan akibat dari kegiatan sebelumnya. Model struktur elemen kegiatan yang diperlukan sebagaimana Gambar 26 terdiri dari 7 tingkat. Pertemuan antar stakeholders inti merupakan elemen kunci kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan TNKL. Sub elemen ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen kegiatan pada level di bawahnya. Oleh karena itu, strategi pengelolaan untuk penyelesaian konflik merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan berdasarkan urutan level yang dimulai dari level 7. Level 7 sampai level 4 merupakan kondisi yang dibutuhkan, sedangkan level 3 sampai level 1 merupakan kondisi ketercukupan. Kondisi yang dibutuhkan (necessary condition) yaitu jenis kegiatan yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan konflik melalui pendekatan co-managemment, dengan tahapan kegiatan yang berurutan. Kondisi ketercukupan (sufficient condition) yaitu jenis kegiatan yang akan disesuaikan dengan situasi dan dinamika yang berkembang selama pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebelumnya. Kondisi yang dibutuhkan (necessary condition) sebagaimana Gambar 26 merupakan rangkaian jenis kegiatan yang dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) Pertemuan antar stakeholders inti Implikasi dari bentuk berbagi peran dan tanggung jawab dalam sistem comanagement adalah pemerintah, dalam hal ini pihak BTNKL, mengakui otoritas
masyarakat
untuk
mengelola
sumberdaya
dalam
kawasan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman
Zonasi
Taman
Nasional,
dalam
zona
tradisional
dimungkinkan memberikan akses terbatas kepada masyarakat untuk pemanfaatan kawasan. Namun demikian hal tersebut harus dilakukan dengan membangun kesepakatan-kesepakatan bersama melalui pertemuan antar stakeholders inti.
96
Level 1
Pengembangan track wisata
Pengembangan sistem distribusi air dari dalam kawasan
Level 2
Pengamanan dan perlindungan kawasan bersama masyarakat
Level 3
Peningkatan keterampilan masyarakat melalui pelatihan
Penguatan kelembagaan lokal dan adat
Level 4
Sosialisasi program
Level 5
Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan TNKL melalui penyuluhan
Level 6
Pembentukan wadah/ forum stakeholders
Pembuatan aturan/ kesepakatan stakeholders
Pemberian bantuan usaha ekonomi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Pertemuan antar stakeholders inti
Level 7
Gambar 26 Diagram model struktural dari elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management Hal yang harus menjadi pertimbangan dalam pertemuan tersebut adalah adanya persamaan informasi dan persepsi, terpenuhinya unsur keterwakilan stakeholders, serta dilaksanakan sedini mungkin dan sesering mungkin. Dengan demikian, maka diharapkan semakin cepat semua kepentingan terakomodir akan semakin baik pula hasilnya. Partisipasi sejumlah pihak dalam proses pengambilan keputusan akan memberikan rasa kepemilikan dari sumberdaya yang ada dalam TNKL. Oleh karena itu, yang perlu menjadi perhatian adalah keterwakilan masing-masing stakeholders pada pertemuan antar stakeholders inti. Keterwakilan ini memungkinkan
semua
stakeholders
secara
efektif
berbicara
untuk
kepentingan mereka dan bertanggung jawab kepada kelompok mereka. Pertemuan antar stakeholders inti dengan berbagai unsur yang cukup
97 terwakili akan menghasilkan legitimasi atas kesepakatan dan keputusan yang diambil. Dalam rangka persamaan persepsi dan informasi, stakeholders perlu memahami bahwa kawasan TNKL merupakan suatu sistem yang saling terkait dengan daerah di sekitarnya, sehingga harus dikelola agar berkelanjutan. Pengelolaan tersebut tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi semata, namun juga faktor ekologi dan sosial. Secara ekologis, kawasan TNKL yang dulunya berupa padang semak belukar dan saat ini telah menjadi hutan, merupakan daerah tangkapan air yang mampu menyediakan air bagi kelangsungan hidup berbagai makhluk di bawahnya. Selain itu karakteristik kawasan dengan topografi yang bergunung-gunung serta pada satu sisi terjal dan curam, sangat rawan terhadap erosi. Dari aspek sosial, nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Lio adalah mbelo rho (melihat dulu hasilnya). Jika salah satu desa diberikan akses pemanfaatan ke dalam kawasan, maka masyarakat di desa lainnya juga akan menuntut hal yang sama. Jika hal ini terjadi, maka kelestarian kawasan TNKL sebagai suatu sistem yang saling terkait dengan daerah di sekitarnya akan terpengaruh, sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi kawasan yang akan mengganggu kehidupan masyarakat itu sendiri. 2) Pemberian bantuan usaha kesejahteraan masyarakat
ekonomi
masyarakat
untuk
peningkatan
Pada pertemuan antar stakeholders inti, masyarakat dapat mengusulkan berbagai bantuan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Bantuan yang diusulkan merupakan bantuan yang betul-betul dibutuhkan dan dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, bantuan tersebut harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk turut serta menjaga kelestarian TNKL. Pemberian bantuan bukan untuk membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program bantuan. Tujuan akhir pemberian bantuan adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan
diri
ke
arah
kehidupan
yang
lebih
baik
secara
pembuatan
aturan
berkesinambungan. 3) Pembentukan wadah/forum kesepakatan stakeholders
stakeholders
dan
Dalam rangka menyelesaikan konflik, perlu dilakukan pembentukan forum stakeholders. Dalam forum stakeholders, semua anggotanya harus saling menghargai, saling mempercayai, mau menjalin komunikasi yang baik, dan
98 mempunyai akses yang sama. Antar stakeholders tidak hanya saling menghargai tetapi juga dapat memahami dan menghargai misi, tujuan dan peraturannya masing-masing. Komunikasi yang terus-menerus dengan frekuensi yang sering, serta pemantauan kemajuan akan membangun hubungan
yang
saling
memberikan
pengakuan,
kepercayaan
dan
penghargaan serta meningkatkan kapasitas setiap stakeholders untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama. Dalam forum stakeholders, masing-masing angggotanya harus dijamin mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi serta mendapatkan akses terhadap informasi yang relevan. Forum stakeholders yang terbentuk akan mengarah pada pembuatan aturan/kesepakatan stakeholders serta penyusunan berbagai program dan usulan rencana kegiatan. Kesepakatan yang telah ada sebelumnya namun belum memuaskan beberapa kelompok masyarakat dapat dievaluasi dalam forum ini, sehingga tersusun kesepakatan baru yang benar-benar diakui dan menguntungkan bagi semua stakeholders. 4) Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan TNKL melalui penyuluhan Masyarakat yang sudah tidak bergantung kepada kawasan oleh pemberian bantuan, perlu ditingkatkan kesadaran dan kepeduliannya terhadap TNKL. Penekanan kegiatan penyuluhan adalah menyamakan pemahaman dan persepsi bahwa kawasan TNKL merupakan suatu sistem yang saling terkait dengan daerah di sekitarnya. Kerusakan pada sebagian kawasan dalam TNKL akan berdampak pada daerah sekitarnya. Oleh karena itu tujuan penyuluhan tidak hanya untuk mengamankan TNKL dari kerusakan, melainkan juga untuk terus menerus menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat, agar berpartisipasi dalam pembangunan kawasan TNKL secara lestari. Hal yang juga menjadi perhatian adalah kapasitas penyuluh. Penyuluh sedini mungkin harus membangun kepercayaan dan kemitraan, serta memahami konteks lokal. Membangun kepercayaan dan kemitraan yang baik dengan stakeholders, utamanya masyarakat, merupakan langkah utama agar masyarakat mau berbagi pandangan secara bebas dan mau secara sukarela menerima informasi dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian kawasan TNKL.
99 5) Sosialisasi program Program yang telah disepakati perlu disosialisasikan. Sosialisasi program dimaksudkan untuk menyamakan persepsi dan penafsiran stakeholders atas program yang telah disepakati bersama berdasarkan kepentingan dan aspirasinya, agar tetap pada kesepakatan. Oleh karena itu sosialisasi program perlu dilakukan dengan hati-hati karena kegiatan ini dapat mensukseskan atau bahkan menggagalkan program pengelolaan. Seiring berjalannya kegiatan pengelolaan TNKL pada Level 7 sampai 4 sebagaimana tersebut di atas, juga memungkinkan dilaksanakan jenis kegiatan lainnya. Jenis kegiatan tersebut akan berkembang seiring dengan interaksi antar stakeholders, pelaksanaan komunikasi dan pembelajaran antar stakeholders, serta tindakan bersama yang menghasilkan perubahan atau penyesuaian kegiatan pengelolaan sebagaimana prinsip-prinsip co-management yang adaptif. 5.4.6. Strategi pengelolaan Hasil identifikasi elemen kunci dari masing-masing elemen strategi pengelolaan secara keseluruhan disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil pengolahan
teknik
ISM
terhadap
kelima
elemen
yang
mempengaruhi
pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management dapat disimpulkan bahwa
lembaga
dan
pelaku
yang
sangat
mempengaruhi
keberhasilan
pengelolaan TNKL adalah masyarakat sekitar TNKL dan pihak BTNKL. Petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah bertempat
tinggal
berdekatan
dengan
kawasan
TNKL
serta
memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan TNKL. Oleh karena itu mereka menjadi prioritas bermitra dengan BTNKL untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan sesuai dengan kesepakatan yang disusun bersama. Disamping itu, untuk mencapai pengelolaan bersama maka BTNKL sebagai stakeholders inti juga perlu mengubah struktur, budaya organisasi, sikap, keahlian dan program kerja, demi pengelolaan kawasan bersama. Kebutuhan dari program pengelolaan TNKL melalui pendekatan comanagement yaitu perlunya koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dalam pengelolaan. Kebutuhan terhadap koordinasi antar lembaga/stakeholders dirasa sangat penting. Hal ini dikarenakan koordinasi merupakan sistem yang kompleks
dan
melibatkan
berbagai
pihak/stakeholders.
Perubahan
situasi/lingkungan yang begitu cepat, menuntut interaksi antar stakeholders yang
100 semakin cepat pula. Terkait dengan perencanaan kegiatan pengelolaan TNKL, koordinasi
membutuhkan
pertukaran
informasi
yang
intensif
antar
lembaga/stakeholders untuk mengkonfirmasi sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai tujuan pengelolaan TNKL. Perencanaan yang tidak sinergi dengan kepentingan pelaku dan lembaga lainnya akan menyebabkan kegagalan program. Tabel 16. Elemen kunci strategi pengelolaan TNKL melaui pendekatan comanagement No
Elemen
Elemen Kunci
1
Lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL
Masyarakat sekitar TNKL, petani kopi dalam kawasan dan BTNKL
2
Kebutuhan dari program pengelolaan TNKL
Koordinasi rencana antar lembaga/stakeholders dalam pengelolaan
3
Kendala utama dalam pengelolaan TNKL secara co-management
Kurangnya komitmen internal pengelola dan kurangnya koordinasi antar stakeholders dalam pelaksanaan rencana pengelolaan TNKL
4
Tujuan dari pengelolaan dengan pendekatan comanagement
Menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis, meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti, meningkatkan potensi kemitraan dan partisipasi masyarakat
5
Kegiatan yang diperlukan
Pertemuan antar stakeholders inti
Kendala utama yang perlu diantisipasi dalam pengelolaan TNKL dengan pendekatan co-management yaitu kurangnya komitmen internal pengelola dan kurangnya
koordinasi
antar
stakeholders
dalam
implementasi
rencana
pengelolaan TNKL. Berdasarkan hasil penelitian ini, pelaksanaan koordinasi oleh pengelola telah sering dilakukan. Dalam rangka koordinasi internal, pelaksanaan rapat rutin bulanan maupun pertemuan dalam rangka pemantapan sebelum suatu kegiatan dilaksanakan, telah diakomodir oleh pengelola. Begitu juga dengan rapat-rapat koordinasi dengan stakeholders terkait, yang dimulai dengan penyusunan rencana kegiatan di tingkat desa hingga di kabupaten. Namun, nampaknya koordinasi tersebut belum menyentuh substansi dari tujuan kegiatannya. Pemahaman yang muncul mengganggap bahwa power sharing yang diterapkan merupakan hasil akhir dari suatu pengelolaan kawasan, padahal mestinya hal tersebut baru merupakan titik awal suatu proses co-management
101 dalam sistem pengelolaan TNKL. Disamping itu, terkait lemahnya peran pemda dalam alokasi anggaran untuk kegiatan pemberdayaan desa sekitar TNKL, perlu didukung dengan pendanaan dari pihak BTNKL. Koordinasi yang diterapkan bersama stakeholders termasuk dinas terkait akan menguntungkan sistem pengelolaan TNKL ke depan, termasuk dukungan nyata dari pemerintah daerah dalam hal arahan kebijakan pemberdayaan desa. Tujuan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management adalah menciptakan mekanisme pembelajaran dialogis, meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar stakeholders inti, meningkatkan potensi kemitraan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Tujuan pengelolaan tersebut perlu diwujudkan dengan kegiatan pertemuan antara komunitas lokal dengan pihak BTNKL yang dilakukan sedini mungkin dan sesering mungkin. Kegiatan pertemuan antar stakleholders inti tersebut bisa dimulai dengan mengintensifkan pertemuan petugas lapangan dengan masyarakat dalam posisi yang seimbang, dimana petugas dapat menyampaikan informasi-informasi terkait pengelolaan TNKL dan masyarakat juga dapat menyampaikan kebutuhan serta upaya yang sedang dan akan dilakukannya.
Pada pertemuan tersebut, masyarakat juga
dapat mengusulkan bantuan yang betul-betul dibutuhkan dan dirasakan oleh masyarakat. Pemberian bantuan bukan untuk membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program bantuan. Tujuan akhir pemberian bantuan adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pembentukan wadah/forum stakeholders juga turut memberikan pemahaman bahwa pengelolaan dapat dilakukan secara bersama-sama. Forum tersebut secara tegas melibatkan stakeholders, utamanya adalah BTNKL, masyarakat sekitar TNKL dan petani kopi dalam kawasan. Pembentukan wadah/forum stakeholders juga merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikendaki. Tujuan penguatan kelembagaan ini secara umum adalah untuk mencapai derajat pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar TNKL yang lebih tinggi dengan alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh BTNKL dan semua kelompok masyarakat secara adil.