V HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan analisis dilaksanakan sesuai dengan metodologi penelitian, dilakukan dalam 4 tahap sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap pertama menguraikan hasil identifikasi dinamika kawasan permukiman dan sistem metropolitan DKI Jakarta. Tahap kedua menjabarkan kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dengan metode MDS-Rapsettlement. Tahap ketiga menjelaskan hasil analisis berupa faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Pada tahap keempat menguraikan pemilihan skenario dan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman.
5.1 Dinamika Perkembangan Kawasan Permukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta dan DAS Cisadane Dalam Bab Pendahuluan telah disebutkan bahwa banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan di pinggiran kota karena kelangkaan lahan, urbanisasi, peningkatan biaya akomodasi, investasi ekonomi dan tawaran permukiman baru yang terintegrasi dengan infrastruktur dan lapangan pekerjaan alternatif di luar kota inti. Misalnya, dalam kurun 1995-2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah ke daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Pembangunan prasarana wilayah khususnya transportasi seperti jalan tol akan mempercepat pengembangan daerah-daerah di pinggiran Jakarta. Dalam hal ini di kawasan kabupaten Tangerang bagian selatan berkembang pesat setelah dibangunnya jalan tol Jakarta-Serpong pada tahun 1990-1995. Pertambahan penduduk di daerah penyangga tersebut akan meningkatkan pengembangan kawasan permukiman. Sebagai contoh, pengembangan kawasan permukiman skala besar yang dikenal sebagai kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) di kecamatan Serpong berkembang pesat sejak dibangun pada tahun 1989. Perkembangan di BSD ini berdampak pada pengembangan kawasan permukiman di kota-kota kecil di sekitarnya seperti kawasan permukiman di Cisauk. Jadi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta. Perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta dapat dijabarkan dalam dinamika dan sistem metropolitan yang antara lain berupa
80
perkembangan penduduk, hirarki sistem perkotaan, dan peta pemangku kepentingan pengembangan kawasan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2006 dalam laporan perihal Metropolitan di Indonesia Bab V halaman 131 dengan referensi Mamas-Komalasari membagi kawasan metropolitan DKI Jakarta dalam 3 wilayah yaitu Core untuk DKI Jakarta yang meliputi 5 wilayah (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur), outer zone yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi, dan inner zone yang mencakup Kota Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi (Ditjen. Penataan Ruang, Dep. PU, 2006). Perkembangan perumahan di metropolitan DKI Jakarta dari tahun 2000 sampai tahun 2010, dengan data-data dari Sensus Penduduk tahun 2000 dan 2010 dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 2005, menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara bervariasi seperti tertera pada Tabel 19. Secara wilayah terjadi perkembangan perumahan dari tahun 2000 ke tahun 2005 yang relatif kecil dan terjadi perkembangan perumahan yang cukup besar dari tahun 2005 ke 2010. Tabel 19 Perkembangan Perumahan di Metropolitan DKI Jakarta Kawasan
Th 2000 (Unit)
Th 2005 (Unit)
% perbedaan
Th 2010 (Unit)
% perbedaan
JABODETABEK
5,458,428
5,844,013
7.06
6,648,576
13.77
Core Jakarta Pusat
2,116,199 204,786
2,206,582 226,062
4.27 10.39
2,503,476 234,979
13.45 3.94
Jakarta Timur
588,762
610,438
3.68
690,598
13.13
Jakarta Selatan
450,386
497,658
10.50
532,886
7.08
Jakarta Barat
494,234
516,568
4.52
608,342
17.77
Jakarta Utara Outer zone
378,031
355,856
-5.87
436,671
22.71
Kab. Bogor
2,111,981 838,854
2,215,584 913,648
4.91 8.92
2,532,670 955,694
14.31 4.60
Kab. Bekasi
531,416
508,400
-4.33
566,469
11.42
Kab. Tangerang
741,711
793,536
6.99
1,010,507
27.34
1,230,248
1,421,847
15.57
1,612,430
13.40
Kota Bogor
170,748
221,720
29.85
233,975
5.53
Kota Bekasi
439,540
485,776
10.52
599,029
23.31
Kota Tangerang
339,542
367,055
8.10
475,277
29.48
Kota Depok
280,418
347,296
23.85
304,149
-12.42
Inner zone
Sumber : Sensus Penduduk 2000, 2010, SUPAS 2005
81
5.1.1
Perkembangan Penduduk Metropolitan DKI Jakarta Perkembangan
jumlah
penduduk
masih
dapat
digunakan
untuk
mengindikasikan perkembangan kawasan permukiman (Kuswartojo et al., 2005). Sensus dan Survei penduduk oleh BPS menggambarkan perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta dari tahun 1990 s/d 2010 dimana jumlah penduduk DKI Jakarta sempat menurun sementara jumlah penduduk daerah penyangga seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi cenderung naik secara signifikan seperti terlihat pada Tabel 20. Kepadatan penduduk secara umum cenderung meningkat baik untuk Jabodetabek, Inner Zone maupun Outer Zone. Tabel 20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta Kawasan
Jumlah Penduduk (juta jiwa)
Luas (Km2)
1990
4,129.2
17.09 20.15 22.08 23.55 27.89
1995
2000
2005
2010
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1990
1995
2000
2005
2010
4,139
4,880
5,347
5,703
6,754
Core
662.0
8.22
9.11
8.34
8.80
9.57 12,417
13,761
12,598
13,293
14,456
Jakarta Selatan
145.7
2.03
2.04
1.78
2.00
2.06 13,933
14,001
12,217
13,727
14,139
JABO DETABEK
Jakarta T imur
187.7
2.01
2.38
2.35
2.39
2.69 10,709
12,680
12,520
12,733
14,331
Jakarta Pusat
48.3
1.16
0.98
0.87
0.88
0.90 24,017
20,290
18,012
18,219
18,634
Jakarta Barat
126.2
1.67
2.15
1.90
2.09
2.28 13,233
17,036
15,055
16,561
18,067
Jakarta Utara
154.1
1.35
1.56
1.44
1.44
1.64
8,761
10,123
9,345
9,345
10,642
O ute r Zone
2,173.8
5.43
7.27
9.44
9.05 11.52
2,498
3,344
4,343
4,163
5,299
Kab. Bogor
820.3
2.28
2.48
3.58
3.82
4.77
2,779
3,023
4,364
4,657
5,815
Kab. Bekasi
606.1
1.42
2.14
2.71
1.98
2.63
2,343
3,531
4,471
3,267
4,339
747.4
1.73
2.65
3.15
3.25
4.12
Kab. T angerang Inne r Zone
1,293.4
3.44
3.77
4.30
5.70
6.80
2,315
3,546
4,215
4,348
5,512
2,660
2,915
3,325
4,407
5,257
Kota Bogor
118.5
1.73
2.22
1.83
0.89
0.95
14,599
18,734
15,443
7,511
8,017
Kota Bekasi
437.9
0.68
0.62
0.62
1.99
2.33
1,553
1,416
1,416
4,544
5,321
Kota T angerang
536.8
1.03
0.93
0.96
1.45
1.79
1,919
1,732
1,788
2,701
3,335
Kota Depok
200.2
0.89
1.37
1.73
-
-
4,446
6,843
8,641
-
-
Sumber: Sensus penduduk 1990, 2000, 2010 dan survei penduduk 1995, 2005
Kondisi yang spesifik terjadi antara tahun 1995–2000 dan antara tahun 2000–2005 seperti terlihat pada Gambar 19. Pada kurun waktu 1995–2000 pertambahan penduduk di outer zone meningkat pesat yang disebabkan al. karena
maraknya
pembangunan
perumahan
skala
besar
di
kawasan
metropolitan DKI Jakarta seperti perumahan kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai), perumahan Lippo Karawaci, perumahan Citra Raya dan perumahan Alam Sutera di Tangerang, perumahan Lippo Cikarang di Bekasi, perumahan Kota Wisata di Cibubur, dan lain-lain. Banyak penduduk dari kota-kota besar
82
yang pindah meningalkan kota asalnya menuju ke komplek perumahanperumahan tersebut yang lokasinya berada di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. Sementara itu antara tahun 2000 – 2005 penduduk outer zone menunjukkan penurunan. Setelah dicermati, hal ini disebabkan oleh terbentuknya kota Bekasi pada tahun 1998 sehingga pencatatan penduduknya masuk dalam klasifikasi inner zone. Pada tahun 2010 perkembangan penduduk di ketiga wilayah tersebut menunjukkan trend yang menaik dengan perincian wilayah core naik sedikit, wilayah inner zone naik sedang, dan wilayah outer zone naik cukup tajam. Jumlah (juta)
Cisauk
Gambar 19 Grafik perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta 5.1.2
Cisauk dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta Dokumen arah perkembangan Jawa Barat 1991 – 1994 menyebutkan Jakarta
sebagai Pusat Wilayah. Kota Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai Pusat Utama, LeuwiLiang, Jonggol, Rumpin, Serpong, Balaraja, Teluk Naga, Sukatani, Setu dan Cikarang sebagai pusat kota kedua. Dalam setting ini, Cisauk karena tidak diterakan sebagai perkotaan kemungkinan diidentifikasikan sebagai perdesaan. Hirarki dalam sistem perkotaan ditunjukkan dengan adanya pusat kegiatan yang dikelilingi oleh beberapa sub pusat kegiatan. Sementara sub pusat kegiatan tersebut juga dikelilingi oleh beberapa pusat kegiatan lokal. Hirarki perkotaan menurut dokumen NUDS (National Urban Development Strategy) Tahun 2000
83
menunjukkan bahwa DKI Jakarta sebagai PKN (Pusat Kegiatan Nasional) dengan Tangerang, Bogor, dan Bekasi sebagai PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) yang juga merupakan kota penyangga DKI Jakarta. Disamping itu terdapat Depok dan Ciputat sebagai PKL (Pusat Kegiatan Lokal) akan tetapi mempunyai akses ke DKI Jakarta. Serpong sebagai PKL dengan akses ke Tangerang akan tetapi mempunyai akses langsung ke DKI Jakarta berupa jalan Tol (Jakarta-Serpong). Cisauk berinduk ke Serpong dan merupakan kawasan perdesaan (Gambar 20). DKI Jakarta Tangerang
PKL
PKN
PKW
PKW Bekasi
Serpong
Tiga Raksa
PKL
PKL
Bogor
PKL Ciputat
Depok
PKW
Cisauk (Perdesaan)
Gambar 20 Hirarki metropolitan DKI Jakarta menurut NUDS Th. 2000 Diluar penetapan, pengaturan dan stimulasi yang dilakukan pemerintah, perkembangan kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta sebagian besar didorong oleh inisiatif dan investasi pemangku kepentingan swasta. Tabel 21 dan Grafik 21 menggambarkan perkembangan jumlah kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta periode 1990 sampai dengan 2010. Pada periode 19902000, perkembangan yang terjadi belum pesat. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada tahun 2005 yang disebabkan oleh demand yang tinggi dan didukung oleh pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan di Jabodetabek. Pada tahun 2010 perkembangannya menurun disebabkan oleh mulai terbatasnya lahan permukiman yang tersedia dan ramainya pembangunan rumah susun sehubungan dengan program pembangunan 1000 tower rumah susun yang dicanangkan oleh pemerintah. Tabel 22 menunjukan luas kawasan permukiman skala besar di Bodetabek pada 2010.
84
Tabel 21 Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta periode 1990 – 2010 Kawasan
1990 27 8 12
1995 90 23 43
2000 192 49 100
2005 489 106 276
2010 613 127 348
Kab. Bogor
2
10
31
109
137
Kab. Bekasi
3
14
36
106
138
JABODETABEK
Core Outer Zone
Kab. Tangerang
7
19
33
61
73
Inner Zone
7
24
43
107
138
Kota Bogor
1
4
9
23
29
Kota Bekasi
2
8
16
36
48
Kota Tangerang
2
6
8
13
16
Kota Depok
2
6
10
35
45
Sumber : Direktori REI dan APERSI Tahun 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010.
700 600 500 JABODETABEK
400
Core 300
Outer Zone Inner Zone
200 100 0 1990
1995
2000
2005
2010
Gambar 21 Grafik Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta Tahun 1990 - 2010 Penelitian ini perlu membahas keberadaan kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai) mengingat kedekatan fisik, keterkaitan sistem fungsi – hirarki terhadap obyek studi Cisauk dan indikasi perkembangan dimasa yang akan datang. Dibangun sejak 1989, BSD dengan luas total sekitar 6,000 Ha, dan populasi antara 600,000 – 800,000 orang, terdiri dari sekitar 135,000 unit hunian berlokasi di kecamatan Serpong, pada saat ini tengah direncanakan BSD tahap ke II dan ke III, yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk. Pembangunan BSD
85
dilatar belakangi antara lain oleh permasalahan urbanisasi yang tinggi di Jabodetabek, tuntutan akan permukiman, sarana dan prasarana yang memadai, masalah pembangunan perumahan secara sporadis, kebijakan pemerintah dalam pengembangan wilayah dan kota, dan pembangunan skala besar. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah2 perkotaan yg semakin kompleks khususnya di kota2 besar /metropolitan menuju permukiman ideal adalah dengan cara mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam skala kota sesuai dengan amanat UU NO.4 Th.1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya mengenai arahan pembangunan perumahan dan permukiman. Dasar pemilihan lokasi BSD adalah memperhatikan arahan pengembangan Jabodetabek, Serpong sebagai wilayah pengembangan, lokasi yang strategis dan jarak yang ideal (7 km ke Tol Jakarta-Merak dan 13.1 km ke Tol Jakarta Serpong), jaringan infrastruktur eksisting (sungai, jalan regional, kereta api, gas, jalur tegangan tinggi) sebagai modal eksisting kawasan, kepadatan penduduk rendah (10 jiwa/ha), daya dukung lahan (nonproduktif/ex.perkebunan karet, sawah tadah hujan/ nonirigasi teknis). Tabel 22 Luas Kawasan Permukiman Skala Besar di Bodetabek tahun 2010 NO
PERMUKIMAN
LOKASI
LUAS (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BSD City Lippo Cikarang Delta Mas Citra Raya Bintaro Raya Grand Wisata Bukit Sentul Lippo Karawaci Citra Indah Gading Serpong Kota Modern Alam Sutera
Tangerang Bekasi Bekasi Tangerang Tangerang Bekasi Bogor Tangerang Bogor Tangerang Tangerang Tangerang
6,000 5,500 3,000 2,500 2,320 2,000 2,000 1,500 1,200 800 770 700
KETERANGAN
Sumber : Direktori REI Tahun 2010
Secara lebih spesifik pembangunan kota mandiri BSD bertujuan (1) menciptakan
pusat
pertumbuhan
baru
di
Jabodetabek/
Tangerang,
(2) mengurangi beban kota Jakarta, (3) lingkungan kota baru yang hidup dan berkembang, tertata, terkendali, berorientasi lingkungan, lengkap, dan modern. Pembangunan permukiman di BSD ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai pola pengembangan hunian berimbang (standar-medium-exelent) 6:3:1
86
yang terdiri dari hunian standart (21250) sebanyak 1,911 unit (7.69%). Sampai dengan saat sekarang pengembangan hunian BSD City telah terbangun 24,852 unit dan terhuni 23,689 unit (95.32%). Pada saat ini sedang dilaksanakan pengembangan BSD tahap ke II yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk bagian utara (lihat Gambar 22).
Cisauk
Setu
Gambar 22 Rencana pengembangan BSD Terkait dengan pengeloloaan kawasan, khususnya kawasan permukiman di BSD, peran Pemerintah Daerah sebagai regulator, pengawas, dan seharusnya juga sebagai pengelola fasos dan fasum yang sudah diserahterimakan. Dengan BSD mengelola kawasan, terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan khususnya pada area dan prasarana BSD. Sebagai contoh, untuk standar lingkungan yang ditetapkan untuk kelompok sasaran tertentu, penanganan oleh Pemda dianggap masih belum memadai dengan keterbatasan yang ada. Untuk itu pengembang
cenderung
untuk
mengelola
sendiri
dengan
memperoloeh
pendapatan dari Iuran Pengelolaan Kawasan Lingkungan (IPKL). Kemungkinan konflik kepentingan lain adalah jika lahan yang diserahkan sebagai fasos dan
87
fasum kemudian dibangun oleh Pemda atau oleh Pemda diserahkan ke pihak lain, masalah implementasi kualitas dan standar pembangunan yang akan dilakukan menjadi tidak sinkron. Hal lain adalah perlunya keseimbangan kepentingan umum yang non eksklusif oleh Pemda, sementara pengembang lebih berorientasi dan bermotif pada keuntungan. Hirarki perkotaan metropolitan DKI Jakarta berdasarkan dokumen NUDS (National Urban Development Strategy) Tahun 2000 disebutkan bahwa Serpong, Ciputat, Depok sebagai PKL dan Cisauk sebagai daerah pedesaan (NUDS, 2000). Berdasarkan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Metropolitan DKI Jakarta/Jabodetabek Punjur dapat diilustrasikan dalam Gambar 23 dimana terdapat 1 (satu) PKN yaitu DKI Jakarta, dikelilingi oleh 4 (empat) PKW yaitu kota Tangerang, kota Depok, kota Bogor, dan kota Bekasi. Kota Tangerang sebagai PKW dikelilingi beberapa PKL seperti Tigaraksa, Balaraja dan Serpong. Kawasan permukiman di Cisauk dalam hal ini merupakan kawasan perdesaan.
Tangerang
PKN PKW
PKW
Serpong
Bekasi
PKL PKL
PKW
Tiga Raksa Cisauk (Perdesaan)
DKI Jakarta
Tangsel
PKW Depok
Bogor PKW
Gambar 23 Hirarki metropolitan DKI Jakarta sesuai Perpres 54/Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur Kondisi fungsional di lapangan pada pengamatan tahun 2010 (lihat Gambar 24) menunjukkan bahwa dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta terdapat PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) baru berupa kawasan permukiman skala besar yaitu kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai) tahap I yang didukung oleh akses langsung ke Jakarta berupa jalan TOL Jakarta-Serpong dan jaringan kereta api Rangkasbitung - Jakarta. PKL (Pusat Kegiatan Lokal) Serpong dan Cisauk keduanya berinduk ke PKW baru tersebut melalui jalan akses baru ke Tangerang atau ke Jakarta. Kecamatan Cisauk yang semula berkondisi perdesaan berubah
88
menuju ke perkotaan. Kondisi ini akan menjadi lebih eksis mengingat jalur kereta api tersebut menjadi rel ganda (double track) dan pengembangan jalan TOL tersebut ke Balaraja dan selanjutnya menuju ke bandara International Soekarno – Hatta. Tangerang
PKL
DKI Jakarta
PKN
PKW
PKW
BSD (tahap I) PKW
Tiga Raksa
Bekasi PKW
PKL Cisauk (perdesaan menuju perkotaan)
Tangsel
PKW Depok
Bogor PKW
Serpong
Gambar 24 Hirarki fungsional metropolitan DKI Jakarta Tahun 2010 Dengan asumsi bahwa BSD tahap II akan dilaksanakan antara kurun waktu 10 sampai dengan 20 tahun, maka dapat diindikasikan keberadaan Cisauk dalam hirarki sistem perkotaan Jakarta dimasa 10 tahun yang akan datang adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 25.
Tangerang
PKL
PKN PKW
PKW
BSD (tahap I-II)
Bekasi
PKW
Tiga Raksa
PKW PKL Cisauk (perdesaan menuju perkotaan)
DKI Jakarta
PKW
Tangsel Depok
Bogor PKW
Serpong
Gambar 25 Indikasi hirarki metropolitan DKI Jakarta Tahun 2020 Memperhatikan arah dan besaran rencana pengembangan BSD, maka diperkirakan kedepan peran dan posisi Cisauk masih akan tetap eksis karena sebagian besar wilayahnya tidak termasuk dalam rencana pengembangan tersebut.
89
Agar kawasan permukiman di Cisauk tersebut dapat berkembang secara berkelanjutan, maka perlu dilakukan kerjasama yang sinergis antara pemerintah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan permukiman fungsional di Cisauk (lihat Gambar 26). 5.1.3 Cisauk dalam ekosistem DAS Cisadane Hal yang lazim dalam pengelolaan DAS di Indonesia adalah adanya fragmentasi kegiatan pengeloloaan DAS antar Kementerian Utama dan lembaga bukan Kementerian. Konsekuensinya adalah adanya pembagian wewenang. Kecenderungan fragmentasi pengelolaan DAS semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah dimana Pemda ingin mendapatkan kendali yang lebih besar dalam pengelolaan sumberdaya air yang berada dalam jurisdiksi wilayah administrasinya dengan motivasi untuk mendapatkan kendali pemanfaatan sumberdaya air yang lebih besar disamping sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administratif dan kurang memperhatikan batas-batas ekosistem alamiah. Kejadian banjir, tanah longsor, erosi, dan pencemaran air berlangsung menurut batas-batas ekosistem alamiah tersebut. Pada suatu daerah aliran sungai (DAS) banyak institusi yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Masing-masing institusi merasa berhak melakukan pengelolaan, menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing. Akibatnya terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaannya. Sebagai contoh, pengelolaan di daerah hulu melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri. Sementara di daerah tengah dan hilir melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum terkait dengan irigasi. Beberapa Kementerian juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan DAS antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Dalam kaitan hubungan kawasan permukiman di Cisauk dengan DAS Cisadane, perlu diusahakan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di Cisauk tidak mengganggu keberlanjutan DAS Cisadane karena akan berdampak pada bagian hilir DAS tersebut.
90
Gambar 26 Pengembangan Fungsional Kawasan Permukiman di Cisauk
5.2
Status Keberlanjutan Kawasan Untuk mendapatkan data-data primer yang diperlukan, penelitian ini
melibatkan sejumlah responden dan nara sumber di Cisauk dan di luar Cisauk melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Memperhatikan karakteristik yang ada, responden dibagi dalam empat kategori, yaitu: penduduk, pengusaha, pemerintah, dan akademisi/ ahli. Responden penduduk berasal dari komplek perumahan dan perkampungan dan dipilih yang berusia produktif (17 tahun – 55 tahun) sejumlah 190 orang. Responden pengusaha diwakili oleh pengembang sebanyak 10 orang dan responden pemerintah berasal dari aparat desa, Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, dan provinsi Banten sejumlah 16 orang. Responden akademisi atau ahli di bidang perkotaan, sumberdaya alam, pemerintahan, transportasi, dan lingkungan sebanyak 24 orang. Sebagaian dari para ahli ini, sebanyak 10 orang, dianalisis persepsinya dengan menggunakan metode AHP untuk mendapatkan struktur hirarki pengambilan keputusan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Tabulasi data-data hasil kuesioner responden tertera pada Lampiran 5.
91
Keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah dapat diketahui dari indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai dimensi. Pada penelitian ini indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan oleh Munasinghe (1993). Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan indikator keberlanjutan kawasan dari berbagai referensi dan preferensi pakar. Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi (Perrings, 1991). Keberlanjutan dimensi sosial adalah terjaganya stabilitas sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak (UNEP et al., 1991). Keberlanjutan dimensi ekonomi adalah pendapatan yang dapat diciptakan secara maksimum dari modal yang minimal dengan manfaat yang optimal (Maler, 1990). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlement). Teknik Rapsettlement adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan permukiman berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapsettlement setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi Rapsettlement dibentuk oleh dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Rapsettlement didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MDS. Analisis terhadap status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan metode MDS (Multidimensional Scalling) menghasilkan nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman. Secara multidimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 55.93% pada skala keberlanjutan 0 − 100% (lihat Gambar 27). Status keberlanjutan kawasan permukiman tersebut diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 26 atribut yang tercakup dalam tiga dimensi (ekologi, sosial, dan ekonomi) seperti tersebut dalam Tabel 6, 7 dan 8, termasuk kedalam kategori cukup berkelanjutan.
92
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di kawasan permukiman
di Cisauk
selama ini cukup
memperhatikan aspek-aspek sosial, dan ekonomi akan tetapi masih kurang memperhatikan aspek ekologi secara terpadu. Untuk mengetahui dimensi pengembangan yang masih lemah dan memerlukan perhatian maka dilakukan analisis MDS pada setiap dimensi. Analisis dilakukan untuk menentukan indeks keberlanjutan dan atribut yang paling sensitif dalam pengembangan kawasan permukiman. 55.93% Buruk
Baik
0%
50 %
100 %
Gambar 27 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi aktual pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah/ wilayah tentu memiliki prioritas dimensi apa yang menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah bagaimana agar supaya setiap dimensi tersebut berada dalam kategori ”baik” status keberlanjutannya. Parameter statistik yang diperoleh dari analisis MDS yang berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi adalah nilai stress dan r2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi
maupun
multidimensi.
Stress
adalah
skor
yang
menyatakan
ketidaktepatan pengukuran (lack-of-fit measurement). Semakin tinggi ’stress’ semakin tinggi ketidaktepatan (fit). R kuadrat (R square) adalah indeks korelasi pangkat dua yang menyatakan proporsi varians data asli yang dapat dijelaskan oleh MDS. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi yang sebenarnya). Hasil analisis dua parameter statistik MDS pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 23.
93
Tabel 23 Hasil analisis dua parameter statistik MDS Nilai Statistik
Multi Dimensi
Stress 2
r
Jumlah iterasi
Ekologi
Sosial
Ekonomi
0.14
0.14
0.14
0.14
0.95
0.95
0.95
0.95
2
2
2
2
Dari Tabel 23 tersebut, terlihat bahwa untuk kondisi multidimensi dan setiap dimensi memiliki nilai stress 0.14 (<0.25). Hal ini menunjukkan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Nilai koefisien determinasi (r2) menunjukkan hasil 0.95 (mendekati 1). Berbeda dengan stress, nilai koefisien determinasi (r2) menunjukkan hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi tersebut semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian kedua parameter (nilai stress dan r2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk sudah cukup baik dalam menerangkan ketiga dimensi yang dianalisis. Tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masing-masing dimensi diuji dengan menggunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi atau model matematis. Proses untuk mendapatkan solusi tersebut telah melalui perhitungan yang berulang-ulang. Analisis ini sangat berguna dalam menganalisis kawasan permukiman guna melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau data yang hilang, dan nilai ’stress’ yang terlalu tinggi. Analisis Monte Carlo yang dilakukan beberapa kali ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total (multi dimensi) maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk
94
pada tingkat kepercayaan 95% memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan (< 5%) antara hasil analisis dengan metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan bahwa: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang dalam keadaan stabil; 4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa analisis dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Tabel 24 Hasil analisis keberlanjutan kawasan permukiman saat ini Hasil MDS (%)
Monte Carlo (%)
Perbedaan (%)
Kawasan Permukiman
55.93
55.65
0.28
Status Indeks Dimensi Ekologi
45.35
45.01
0.34
Dimensi Sosial
57.61
57.29
0.32
Dimensi Ekonomi
64.82
64.65
0.17
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 28. Dengan menggunakan metode analisis prospektif
dapat
diketahui
atribut-atribut
yang
sangat
sensitif
dalam
mempengaruhi nilai keberlanjutan kawasan dari masing-masing dimensi. Untuk dimensi ekologi, hasil analisis menunjukkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 45.35% pada skala keberlanjutan 0 −100%. Jika dibandingkan dengan nilai kawasan permukiman yang bersifat multidimensi maka nilai indeks aspek ekologi berada dibawah nilai kawasan permukiman dan termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Terdapat empat atribut yang sangat sensitif dalam mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: alih fungsi lahan pertanian produktif, penambangan pasir dan batu, drainase sebagai pengendali genangan atau banjir, dan kondisi Sub DAS Cisadane (lihat Gambar 29). Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan keempat atribut tersebut.
95
Tingkat alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman dan perdagangan cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan peralihan fungsi lahan cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kawasan permukiman, perdagangan yang dibangun di kawasan tersebut. Perkembangan kawasan permukiman tersebut cenderung terpusat di jalur utama (Serpong dengan Rumpin-Bogor) sehingga beban jaringan jalan utama tersebut cukup tinggi.
EKOLOGI 100 80
45,35
60 40
57,61
20 0
EKONOMI 64,82
SOSIAL
Gambar 28 Diagram layang-layang nilai Kawasan Permukiman Kegiatan penambangan pasir dan batu (bahan galian C) di kawasan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan alat berat sehingga lebih eksploitatif dan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa penambangan pasir dan batu yang
dilaksanakan
di
kawasan
tersebut
dilaksanakan
dengan
kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan ini dari aspek ekologi kurang berkelanjutan yang terlihat dari kondisi jalan-jalan yang dilewati truk-truk pengangkut pasir dalam kondisi rusak cukup parah. Sementara itu, polusi debu di sepanjang jalan tersebut juga cukup tinggi sehingga dapat mengganggu pernafasan dan mengurangi jarak pandang yang dapat mengganggu keselamatan lalu lintas. Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan kegiatan penambangan pasir dan batu ini (galian C) adalah untuk memenuhi kebutuhan material galian C sehingga kegiatan ini tetap dipertahankan dengan pengaturan sebagai berikut: 1) tidak memperluas wilayah eksploitasi, 2) ijin-ijin
96
lokasi pertambangan tidak diperpanjang dengan alternatif kebutuhan material bahan galian C dapat dipenuhi dari luar kabupaten Tangerang, 3) segera dilakukan reklamasi bagi kawasan eks pertambangan, 4) untuk kawasan eks pertambangan, jika memungkinkan dapat dilakukan pembebasan lahan oleh pemkab Tangerang. Kondisi jaringan drainase di kawasan tersebut walaupun kondisi teknisnya kurang baik yang kebanyakan berupa saluran alami dari tanah dengan dimensi relatif kecil, tetapi karena didukung oleh tanah yang berkontur dan banyaknya resapan air yang berupa ruang terbuka dan situ-situ bekas galian pasir, maka tidak terjadi genangan atau banjir. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kondisi drainase cukup baik karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa daerah tersebut jarang terjadi banjir. Namun sebenarnya jika diamati lebih lanjut misalnya drainase di cluster perumahan, maka akan diketahui bahwa belum terjadi sinkronisaasi prasarana antar cluster permukiman.
Leverage of Attributes DIMENSI EKOLOGI
1.59
Drainase (pengendalian banjir)
Air minum (kualitas, kuantitas, w aktu)
1.10
Jalan akses (kualitas)
1.31 1.05
Attribute
Persampahan (pengelolaan)
1.67
Penambangan pasir dan batu
Alih f ungsi lahan pertanian produktif (luasan, w aktu)
1.83
DAS Cisadane (run-of f , manajemen
1.72 1.27
Sanitasi Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau/RTH (luasan)
1.31 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi ekologi Kondisi Sub DAS Cisadane saat ini menurut instansi terkait seperti BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kab.Bogor, berada dalam kondisi yang kritis dimana kerusakan mencapai 34% pada 9 Nov 2010. Hal ini disebabkan antara lain oleh penebangan liar hutan (khususnya di daerah hulu), limbah domestik dan industri.
97
Pencemaran yang terjadi juga telah melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air, dimana pada kondisi normal kadar COD pada air sungai sebesar 10 mg/L dan BOD 2 mg/L (Anonim, 2001). Namun sebagian besar responden menganggap kondisi DAS tersebut berada dalam kondisi cukup baik karena jarang sekali terjadi banjir, tanah longsor, dan cadangan air juga cukup tersedia. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial adalah sebesar 57.61% pada skala keberlanjutan 0 − 100% dan tergolong cukup berkelanjutan. Terdapat empat atribut yang sangat sensitif (>1.5) dalam mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: kohesi sosial, perkembangan penduduk, pemberdayaan masyarakat, dan tingkat pendidikan penghuni (lihat Gambar 30).
Leverage of Attributes DIMENSI SOSIAL
1.512
Tingkat pendidikan penghuni 1.104
Konflik sosial
1.805
Kohesi sosial 0,687
Attribute
Kriminalitas
0.976
Prasarana pendidikan
1.556
Prasarana kesehatan
1.723
Perkembangan penduduk 1.115
Fasilitas umum
1.609
Pemberdayaan masyarakat 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi sosial Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan kempat atribut tersebut. Frekuensi konflik yang terjadi di kawasan permukiman baik antar sesama warga atau dengan warga sekitar kawasan relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa cukup terjadi kohesi sosial di masyarakat. Dalam ekosistem DAS, faktor penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan adalah mengenai perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang banyak di suatu daerah
98
mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk kelestarian sumberdaya lahan. Asumsinya adalah bahwa suatu daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak cenderung akan mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah penduduk sedikit. Hal ini disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi untuk daerah yang penduduknya lebih banyak. Disamping jumlah penduduk, kepadatan penduduk juga penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan Sub DAS Cisadane. Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan
penduduk
terhadap
lahan
yang
akhirnya
akan
mempengaruhi
keberlanjutan kawasan permukimannya. Perkembangan penduduk di Cisauk yang rata-rata sebesar 4.13 % tahun menunjukkan
pertumbuhan
yang
pesat.
Namun
perkembangan
tersebut
terkonsentrasi di 3 desa yaitu Suradita, Cisauk, dan Cibogo dengan pola searah dengan jalan raya Cisauk.
Hal ini akan menambah kepadatan penduduk di
kawasan tersebut yang akan meningkatkan aliran permukaan (run-off), timbulan sampah dan tekanan terhadap lahan. Sementara itu, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa industri seperti kulit, kain, kertas, dan logam yang mempunyai potensi resiko kerusakan lingkungan lebih besar apabila limbahnya tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut perlu diperhatikan perkembangannya Pemberdayaan
masyarakat
juga
merupakan
faktor
yang
sensitif
mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman. Pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menekan angka kemiskinan. Penduduk yang miskin mempunyai potensi sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Sebagai contoh rusaknya hutan karena pohon-pohonnya yang ditebangi oleh warga untuk dijadikan kayu bakar dan lahan pertanian. Oleh karena itu, untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena potensial merusak lingkungan. Tingginya rumah tangga yang tergolong miskin di disebabkan sebagian masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsisten atau sebagai buruh kasar. Keterbatasan ekonomi masyarakat tersebut bila tidak mendapatkan perhatian yang memadai akan dapat menyebabkan
99
terjadinya kerusakan lingkungan. Pada wilayah yang penduduknya banyak yang miskin,
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup,
masyarakatnya
cenderung
memanfaatkan sumberdaya yang ada secara berlebihan sehingga bila tidak dibatasi akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian perlu adanya program peningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama pada desa-desa yang proporsi rumah tangga miskin tergolong tinggi. Suatu kawasan dengan proporsi penduduk miskin tinggi akan mempunyai resiko kerusakan lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan dengan penduduk miskin lebih rendah. Program pengentasan kemiskinan tersebut secara tidak langsung akan dapat membantu mengendalikan/membatasi pemanfaatan lahan secara berlebihan. Dengan demikian kerusakan lingkungan akan dapat dikurangi. Tingkat pendidikan penghuni akan berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Penduduk putus sekolah baik SD maupun SLTP mengindikasikan
kondisi
perekonomian
yang
kurang
bagus.
Kondisi
perekonomian yang kurang bagus disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor alam yang dalam hal ini faktor lahan. Faktor lahan yang dimaksudkan adalah kondisi fisik lahan yang tidak menguntungkan untuk kegiatan pertanian, padahal sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Dengan kondisi fisik lahan yang demikian menyebabkan masyarakat petani terpuruk dalam kemiskinan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan sebagian daerah berupa lahan kritis dan kekurangan air. Pada musim penghujan memang ada sawah yang dapat ditanami padi namun hanya sekali dalam setahun. Pada musim kemarau lahan ditanami jagung dengan hasil yang kurang menguntungkan. Di bagian wilayah yang proporsi lahan terbangunnya tergolong tinggi, menunjukkan bahwa tekanan terhadap lahan pertanian pada wilayah tersebut juga tinggi. Kondisi tersebut perlu segera dibenahi dengan melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap alih fungsi lahan pertanian ke lahan yang terbangun. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah sebesar 64.82% pada skala keberlanjutan 0 − 100%. Jika dibandingkan dengan nilai dimensi ekologi dan sosial, nilai indeks dimensi ekonomi berada diatas nilai indeks kedua dimensi tersebut dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Ada tiga
100
atribut yang sangat sensitif (nilai >1.5) mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: perkembangan sarana dan prasarana ekonomi, peningkatan nilai ekonomi lahan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (lihat Gambar 31). Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan ketiga atribut tersebut. Perkembangan prasarana ekonomi seperti jalan akses, pasar, terminal, dan lain-lain akan mempengaruhi kegiatan ekonomi, investasi dan lapangan kerja di kawasan tersebut dan pada gilirannya diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan meningkatkan daya belinya. Dengan meningkatnya daya beli akan meningkatkan perputaran roda ekonomi di daerah tersebut. Perkembangan prasarana ekonomi dan meningkatnya kegiatan ekonomi akan menyebabkan daerah tersebut menjadi berkembang dan pada saatnya akan meningkatkan nilai lahan di kawasan tersebut.
Leverage of Attributes DIMENSI EKONOMI Penyerapan tenaga kerja
0.77
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
1.53
Attribute
Peningkatan pendapatan asli daerah
0.96
Tingkat penghasilan penghuni
1.09
Nilai ekonomi perumahan
1.08 1.69
Nilai ekonomi lahan
1.26
Keuntungan/profit Perkembangan sarana ekonomi (10 thn terakhir)
1.82 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi Dari hasil analisis didapatkan sebelas atribut yang sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, yaitu: 1. Alih fungsi lahan pertanian produktif 2. Penambangan pasir dan batu 3. Drainase sebagai pengendali banjir
101
4. Kondisi Sub DAS Cisadane 5. Kohesi sosial masyarakat 6. Pemberdayaan masyarakat 7. Tingkat pendidikan masyarakat 8. Perkembangan penduduk dan penyebarannya 9. Perkembangan sarana dan prasarana 10. Peningkatan nilai ekonomi lahan 11. Peningkatan kesejahteraan masyarakat Atribut-atribut menentukan
faktor
yang
sensitif
kunci
tersebut
selanjutnya
pengembangan
kawasan
dianalisis
untuk
permukiman
yang
berkelanjutan. Penentuan faktor kunci ini dilakukan dengan melibatkan stakeholders dan pakar. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat empat faktor pengungkit yang sensitif mempengaruhi pengembangan kawasan permukiman yang
berkelanjutan
yaitu:
1)
alih
fungsi
lahan
pertanian
produktif,
2) perkembangan penduduk, 3) kohesi sosial, dan 4) perkembangan sarana dan prasarana. Selain ke empat faktor tersebut, faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor
yang
mempunyai
pengaruh
yang
kuat
walaupun
mempunyai
ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. (lihat Gambar 32). Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Sistem yang Dikaji 2.00 1.80
DAS Cisa da ne (runoff)
Perkem ba nga n penduduk 1.60 1.40
Alih fungsi la ha n perta nia n
Pengaruh
1.20
Perkem ba nga n sa ra na ekonomi
Kohesi sosia l
1.00 0.80
Pena m ba ngan pa sir & Ba tu
Dra ina se
0.60
Pem berda ya an m a sya rakat
0.40 Tingka t pendidika n penghuni
0.20
Nila i ekonom i la ha n Peningka ta n keseja htera an m a sya rakat
0.00 0.00
.
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 32 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk
102
5.3 Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholders 5.3.1
Peta pemangku kepentingan perkembangan kawasan permukiman Pemangku kepentingan yang terkait dalam pengembangan kawasan
permukiman tersebut pada dasarnya dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok yaitu: masyarakat (setempat), pemerintah (Daerah dan Pusat), perguruan tinggi/ ahli/ LSM, dan swasta (antara lain pengembang). Pola hubungan antar pemangku kepentingan tersebut dalam sistem metropolitan DKI Jakarta baik di tingkat pusat, provinsi, dan lokal untuk aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dapat digambarkan seperti pada Gambar 33. Mekanisme dan norma pengembangan kawasan metropolitan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah berupa produk-produk hukum seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, sedangkan perhatian stakeholders terhadap aspek ekologis, sosial, dan ekonomi tertera pada Tabel 25. Pemerintah Pusat
Masyarakat Perg Tinggi & Pakar
Pemerintah Daerah
LSM
Pemerintah Daerah
Sosial Sistem Metropolitan Jkt
Ekologi
Swasta/ CSR
LSM Masyarakat
Pemerintah Pusat
Ekonomi
Masyarakat
BUMN KLH
Pemerintah Pusat
PU
Swasta BPJT
Investor Tol
PU Pemerintah Daerah
Keterangan: Pengembang LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat KLH = Kementerian Lingkungan Hidup PU = Kementerian Pekerjaan Umum BPJT = Badan Pengatur Jalan Tol; Perhub = Kementerian Perhubungan
Perhubungan
Gambar 33 Diagram Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman di metropolitan DKI Jakarta Diagram keterkaitan pemangku kepentingan dari dimensi keberlanjutan dalam sistem metropolitan DKI Jakarta dapat dikelompokkan dalam 3 (aspek) aspek, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Dalam aspek ekologi melibatkan pemangku kepentingan dari masyarakat, pemerintah pusat (antara lain KLH,
103
Kementerian PU, Kementerian BUMN) dan pemerintah daerah (antara lain BPLHD, Dinas PU, PDAM), perguruan tinggi/pakar/LSM. Dalam aspek sosial, pelaku-pelaku yang terkait adalah masyarakat, pemerintah (daerah dan pusat), dan pihak swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Sementara dari aspek ekonomi pemangku kepentingan yang terkait adalah masyarakat (lokal, provinsi dan nasional)dan LSM, pemerintah daerah dan pemerintah pusat (antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, BPJT), dan swasta (investor dan pengelola tol). Jadi secara keseluruhan pemangku kepentingan yang terkait dengan sistem metropolitan DKI Jakarta merupakan penjabaran dari 4 (empat) kelompok yaitu masyarakat, pemerintah, swasta, dan akademisi/pakar/LSM. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, perhatian stakeholders terhadap aspek ekologi, sosial, dan ekonomi cukup bervariasi. Pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) mempunyai perhatian yang hampir sama terhadap ke tiga aspek tersebut. Masyarakat mempunyai perhatian yang cukup besar ke aspek sosial dan ekonomi sementara untuk aspek ekologi sedang. Swasta mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap masalah ekonomi dalam hal ini untuk mendapatkan profit yang sebesar-besarnya dan perhatiannya dalam aspek sosial dan ekologi masuk kategori sedang. Perguruan tinggi/ pakar/ LSM mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap aspek ekologi dan sosial dan kepedulian yang sedang terhadap aspek ekonomi. Peran pemangku kepentingan pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 26. Pemerintah dalam hal ini mempunyai peran banyak karena bisa sebagai regulator dan researcher. Sementara masyarakat perannya sebagai penerima manfaat dan dampak. Swasta banyak berperan sebagai operator dan akademisi, pakar, LSM berperan sebagai pengamat dan pemberi masukan. Tabel 25 Perhatian Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman No
Pemangku Kepentingan
Ekologi
Aspek Sosial
Ekonomi
1
Pemerintah (Nas, Prov, Kab)
v
v
v
2
Masyarakat/ LSM
v
vv
vv
3 4
Swasta Perguruan Tinggi/ Pakar
v vv
v vv
vv v
Keterangan : v =perhatian sedang; vv = perhatian besar.
104
Tabel 26 Peran Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman Aspek No
Pemangku kepentingan
Regulator
Operator
User
Research & Development
1
Pemerintah
v
-
-
v
2 3 4
Masyarakat /LSM Swasta Perguruan Tinggi/ Pakar
-
v -
v v -
v
5.3.2
Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholders Permasalahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman saat ini antara
lain: (1) kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang ditetapkan sebenarnya sudah cukup memadai dengan adanya kebijakan mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal, namun kondisi politik, sosial saat ini seperti otonomi, desentralisasi, transparansi, reformasi menyebabkan koordinasi dan pengendalian harus dilakukan dengan ekstra intensif, (2) kekuatan mekanisme pasar masih cukup mempengaruhi perkembangan permukiman di pinggiran kota, (3) perlunya keterpaduan program secara kontinu berdasarkan perencanaan pembangunan yang telah disepakati bersama, (4) kurang melibatkan stakeholders secara substansial. Wawancara dengan stakeholders menghasilkan informasi bahwa dalam rangka pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang, faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan pada perumusan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah: (1) perlunya pelibatan semua stakeholders (pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan akademisi) secara substansial dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi, (2) perlunya keterpaduan program secara kontinu berdasarkan perencanaan pembangunan yang telah disepakati bersama, dan (3) perlunya menganalisis keunggulan atau karakteristik kawasan. Penentuan faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman di Cisauk juga memperhatikan kebutuhan para stakeholders terhadap kondisi masa depan yang diinginkan. Dalam mengidentifikasi kebutuhan para stakeholders dimulai dengan mengenali permasalahan pengembangan kawasan permukiman
105
saat ini. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui permasalahan dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah: 1.
Prasarana dan sarana dasar yang terbatas;
2.
Kondisi jalan yang rusak;
3.
Lapangan pekerjaan yang terbatas;
4.
Ketersediaan air yang tidak stabil;
5.
Akses masyarakat terhadap lembaga keuangan rendah;
6.
Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tidak sesuai kebutuhan
7.
Penambangan pasir yang kurang ramah lingkungan;
8.
Jaringan prasarana dan sarana belum terintegrasi dengan baik;
9.
Pengembangan wilayah yang tidak merata;
10.
Pengolahan sampah yang belum optimal;
11.
Pembuangan limbah yang tidak sesuai ketentuan;
12.
Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi non pertanian;
13.
Kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat;
14.
Kondisi Sub DAS Cisadane yang kritis;
15.
Pendidikan masyarakat yang rendah;
16.
Kurangnya persepsi masyarakat dan aparat terhadap lingkungan;
17. Banyaknya masyarakat yang menganggur. Selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan masing-masing stakeholders di masa mendatang. Stakeholders dikelompokkan kedalam empat kategori yakni pemerintah, masyarakat/LSM, pengusaha, akademisi/ pakar. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholders tertera pada Tabel 27 dan potensi konflik kepentingan tertera pada Tabel 28. Tabel 27 Kebutuhan stakeholders dalam pengembangan kawasan permukiman No
Stakeholders
Kebutuhan
1.
Pemerintah
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertumbuhan ekonomi kawasan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal Peningkatan pendapatan asli daerah Peningkatan produktivitas masyarakat Pelestarian lingkungan
2.
Masyarakat
1. Kemudahan administratif atau birokratif
106 Tabel 27 (lanjutan) No
Kebutuhan
Stakeholders 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sarana dan prasarana lingkungan yang memadai Peningkatan pendapatan dan lapangan kerja Lingkungan yang aman dan nyaman Kemudahan aksesibilitas Peningkatan kualitas SDM Ketersediaan pasar yang terjangkau Pelayanan sosial dan ekonomi yang terjangkau
3.
Pengusaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kemudahan adminitratif Sarana dan prasarana usaha yang memadai Penegakan regulasi Keamanan investasi Ketersediaan bahan baku produksi Ketersediaan pasar Ketersediaan tenaga kerja terampil Perpajakan yang jelas Ketersediaan teknologi yang memadai
4.
LSM, akademisi dan pakar
1. 2. 3. 4.
Kelestarian lingkungan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Peningkatan kualitas SDM Pengembangan ilmu pengetahuan
Tabel 28 Konflik kepentingan antara stakeholders di daerah penelitian Stakeholders
Pemerintah Masyarakat
Akademisi
Swasta
Keterangan
Pemerintah Masyarakat/LSM
x
Akademisi/Pakar
-
-
Swasta
x
x
x = terjadi konflik kepentingan -
Dari permasalahan pengembangan kawasan permukiman dan kebutuhan stakeholders dimasa mendatang dapat diformulasikan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan permukiman secara berkelanjutan. Dalam hal ini terdapat 13 (tiga belas) faktor yang teridentifikasi yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana, (2) kemudahan akses ke lembaga keuangan, (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat, (4) pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, (5) pendapatan asli daerah, (6) pelestarian
lingkungan,
(7) lingkungan
yang
aman
dan
nyaman,
107
(8) peningkatan kualitas SDM, (9) pelayanan sosial dan ekonomi yang terjangkau, (10) peningkaan teknologi dan ilmu pengetahuan, (11) penegakan regulasi, (12) ketersediaan bahan baku, dan (13) perkembangan penduduk. Beberapa konflik kepentingan terjadi di daerah penelitian antar pemangku kepentingan. Pertama, perihal kegiatan penambangan pasir. Pemerintah daerah menginginkan kegiatan tersebut dihentikan karena mengganggu keberlanjutan lingkungan, seperti sering rusaknya jalan-jalan akses, polusi debu, dan lubang bekas galian yang tidak direklamasi atau direvegetasi.
Pihak swasta dan
masyarakat keberatan kegiatan tersebut dihentikan karena dapat menggerakkan roda perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan. Solusi yang terjadi adalah tidak
dikeluarkan
ijin
penambangan
baru
atau
memperluas
kawasan
penambangan. Untuk kebutuhan material pasir diharapkan dapat dipenuhi dari daerah lain. Rusaknya jalan dan polusi debu oleh aktivitas swasta dalam penambangan pasir mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. Isu mendasar yang terjadi di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu yang merupakan daerah pinggiran metropolitan DKI Jakarta salah satunya adalah besarnya tekanan aktifitas non pertanian terhadap lahan pertanian. Alih fungsi lahan yang terjadi selama ini adalah dari lahan pertanian menjadi non pertanian dan bukan sebaliknya. Hal ini tentu dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan pada gilirannya dapat mengancam ketahanan pangan. Hal yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan ini adalah margin yang didapatkan dari usaha pertanian relatif kecil dibandingkan usaha dari sektor lain (non pertanian) dan terlihat bahwa masyarakat petani tingkat kesejahteraanya masih rendah, sehingga jika ada kebutuhan mendesak maka ia akan menjual barang miliknya termasuk lahan. Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi ini adalah pengaruh hedonisme budaya metropolitan yang terlihat dari gaya hidup yang cenderung konsumtif, seperti mobil, televisi, handphone, komputer. Karena keinginan untuk memiliki mobil, misalnya, si petani akan melepas aset miliknya termasuk lahan yang luasnya tidak seberapa. Setelah itu tidak begitu tahu bagaimana kelangsungan hidup selanjutnya. Misalnya si petani masih bisa
108
bertahan terhadap godaan barang-barang konsumtif, akan tetapi bagaimana dengan anak-anaknya, cucu-cucunya.
5.4 Faktor-faktor Kunci Pengembangan Kawasan Permukiman Skenario pengembangan kawasan permukiman diformulasikan berdasarkan faktor-faktor
kunci
keberlanjutan
pengembangan
kawasan
permukiman.
Sementara faktor-faktor paling berpengaruh ini dihasilkan dari analisis faktorfaktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman. Faktor-faktor ini didapatkan dari hasil analisis MDS-Rapsettlement yang menggambarkan kondisi keberlanjutan saat ini dan hasil analisis prospektif kebutuhan stakeholders yang merupakan gambaran kondisi yang diinginkan dimasa mendatang. Faktor-faktor yang paling berpengaruh tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam menyusun skenario pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk. Dari analisis diperoleh 5 (lima) faktor-faktor kunci pengembangan kawasan permukiman, yaitu: (1) alih fungsi lahan, (2) sarana dan prasarana dasar, (3) kohesi sosial, (4) perkembangan penduduk, dan (5) kondisi sub DAS Cisadane.
5.5 Skenario Pengembangan Kawasan Permukiman Uraian kemungkinan perubahan kondisi dari masing-masing faktor paling berpengaruh dalam pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang memiliki jumlah kemungkinan yang berbeda. Faktor alih fungsi lahan memiliki tiga kemungkinan kondisi, yaitu: 1) menurun karena menurunnya daya beli, 2) tetap seperti kapasitas yang ada saat ini, dan 3) bertambah karena naiknya daya beli. Faktor sarana dan prasarana dasar memiliki empat kemungkinan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena lesunya pasar properti, 2) tetap seperti kondisi saat ini, 3) meningkat tetapi tidak signifikan, dan 4) naik secara signifikan karena didukung investor atau pemerintah. Pada faktor kohesi sosial terdapat tiga kemungkinan perubahan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena makin besarnya gap sosial, 2) tetap seperti kondisi saat ini dengan penyuluhan yang cukup, dan 3) meningkat karena intensifnya penyuluhan. Untuk faktor kondisi Sub DAS Cisadane terdapat empat kemungkinan perubahan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena kurangnya program pemeliharaan, 2)
109
tetap karena adanya program pemeliharaan yang cukup, 3) meningkat karena meningkatnya program pemeliharaan DAS, dan 4) meningkat optimal karena meningkatnya program pemeliharaan DAS dan persepsi stakeholders. Faktor perkembangan penduduk mempunyai tiga kemungkinan perubahan di masa mendatang, yakni: 1) menurun terutama karena karena adanya penduduk yang pindah lebih besar dari pada yang datang dan kelahiran, 2) tetap karena penduduk yang pindah jumlahnya relatif sama dengan yang datang dan kelahiran, 3) meningkat karena penduduk yang pindah lebih kecil dari penduduk yang datang dan kelahiran. Uraian dari kemungkinan perubahan kondisi dari masingmasing faktor tertera pada Tabel 29. Tabel 29 Prospektif faktor paling berpengaruh pengembangan kawasan No
Faktor Kunci Utama
Keadaan (state) masa depan faktor A 1A Meningkat
B 1B Tetap
C 1C Menurun
2A Menurun
2B Tetap
2C Meningkat
1.
Alih fungsi lahan
2.
Sarana dan prasarana dasar
3.
Kohesi sosial
3A Memburuk
3B Tetap
3C Meningkat
4.
Kondisi Sub DAS Cisadane
4A Menurun
4B Tetap
4C Meningkat
5.
Perkembangan penduduk dan penyebarannya
5A Menurun
5B Tetap
5C Meningkat
D
2D Meningkat optimal
4D Meningkat optimal
Berdasarkan hasil identifikasi bagaimana faktor-faktor paling berpengaruh dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor dan memeriksa perubahan yang tidak dapat terjadi bersamaan (incompatible), maka perubahan faktor yang dapat terjadi bersamaan merupakan skenario-skenario pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ketersediaan sumberdaya yang bisa dikerahkan, maka didapat tiga skenario strategi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten yaitu: pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pesimis mengandung pengertian bahwa kegiatan pengembangan kawasan permukiman
110
dilakukan apa adanya sambil mengadakan perbaikan ala kadarnya. Skenario moderat dimaksudkan bahwa pelaksanaan kegiatan pengembangan permukiman dilakukan perbaikan-perbaikan tetapi belum maksimum. Skenario optimis adalah bahwa kegiatan pengembangan kawasan permukiman dilakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengerahkan seluruh sumberdaya secara optimal. Dalam operasionalnya, skenario ini disusun dengan memasangkan berbagai kondisi (state) setiap faktor yang mungkin terjadi dimasa mendatang dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Definisi dari masing-masing strategi tersebut tertera pada Tabel 30. Tabel 30 Definisi dari masing-masing skenario pengembangan kawasan permukiman No
Skenario
Definisi
1.
Pesimis (1A), (2B),( 3B), (4B), (5B)
a. b. c. d. e.
Alih fungsi lahan meningkat Sarana dan prasarana dasar tetap Kohesi sosial tetap Kondisi Sub DAS Cisadane tetap Jumlah penduduk tetap
2.
Moderat (1B),( 2C), (3B), (4C), (5C)
a. b. c. d. e.
Alih fungsi lahan tetap tetapi terarah Sarana dan prasarana dasar meningkat Kohesi sosial tetap Kondisi Sub DAS Cisadane meningkat Jumlah penduduk meningkat
3.
Optimis (1C), (2D), ( 3C), (4D), (5C)
a. Alih fungsi lahan menurun b. Sarana dan prasarana dasar meningkat optimal c. Kohesi sosial membaik d. Kondisi Sub DAS Cisadane meningkat e. Jumlah penduduk meningkat
Untuk mendukung pengambilan keputusan dalam masalah pengembangan kawasan permukiman yang kompleks, dilakukan analisis dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan nara sumber para ahli atau pejabat bidang perkotaan, permukiman, pemerintahan, dan lingkungan. Dengan menggunakan AHP, masalah pengembangan kawasan permukiman disusun dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga dapat segera dilakukan pengambilan keputusan. Menurut Saaty (1993), hirarki disusun dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, diikuti dengan level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir berupa alternatif.
111
Dari pendapat para nara sumber dan ahli diketahui bahwa prioritas tujuan yang perlu dicapai adalah tujuan menjaga kelestarian lingkungan dengan nilai hasil analisis sebesar 0.356. Kemudian prioritas faktor atau aspek pengembangan kawasan permukiman dari hasil analisis adalah faktor lingkungan dengan nilai 0.427. Untuk aktor yang paling bepengaruh dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini adalah pihak swasta yang dalam hal ini pengembang dengan nilai 0.432. Selanjutnya, untuk alternatif skenario terpilih atau prioritas adalah skenario moderat dengan nilai 0.483. Hasil analisis dengan metode AHP terlihat pada Gambar 34.
FOKUS
TUJUAN
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk
PERLUASAN LAPANGAN PEKERJAAN
KELESTARIAN LINGKUNGAN (0.356)
PENGEMBANGAN WILAYAH (0.283)
(0.136)
FAKTOR
AKTOR
ALTERNATIF
LINGKUNGAN (0.427)
PEMERINTAH (0.244)
OPTIMIS (0.379)
SOSIAL (0.211)
MASYARAKAT (0.216)
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH (0.225)
EKONOMI (0.362)
PENGEMBANG (0.432)
MODERAT (0.483)
AKADEMISI (0.108)
PESIMIS (0.138)
Gambar 34 Struktur hirarki pengambilan keputusan skenario kebijakan dalam rangka pengembangan pemukiman berkelanjutan Dalam hal ini, AHP juga menguji konsistensi penilaian yang ditunjukkan dengan parameter Consistency Ratio (CR), sehingga bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan
112
bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang. Dari hasil analisis AHP dalam Lampiran 3, didapatkan nilai CR untuk preferensi gabungan dengan nilai rata-rata sebesar 0.010583. Sesuai dengan standard, nilai CR tidak boleh lebih dari 0.10. Dengan demikian nilai CR yang didapat karena masih dibawah 0.10 maka penilaian kriteria telah dilakukan dengan konsisten. Kondisi dari skenario tersebut kemudian dilakukan analisis prospektif untuk mengetahui status keberlanjutannya di masa mendatang. Dari kondisi ke 5 (lima) faktor paling berpengaruh pada skenario, diperoleh beberapa atribut dimensi yang juga meningkat sejalan dengan perubahan di setiap faktor. Peningkatan faktor alih fungsi lahan akan mempengaruhi keadaan atribut tingkat pemanfaatan lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, pengendalian banjir, pengelolaan persampahan, luas ruang terbuka, fasilitas umum, fasilitas pendidikan dan kesehatan, peningkatan pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Peningkatan faktor sarana dan prasarana dasar akan mempengaruhi keadaan atribut peningkatan jalan akses, air minum, drainase, persampahan, air limbah, alih fungsi lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, penambangan pasir, ruang terbuka hijau, kohesi sosial, prasarana kesehatan, pendidikan, fasilitas umum dan sosial, tenaga kerja, pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan. Peningkatan faktor kohesi sosial akan mempengaruhi keadaan atribut konflik sosial, kriminalitas, dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan faktor kondisi Sub DAS Cisadane akan mempengaruhi keadaan atribut kualitas dan kuantitas air minum, pengendalian banjir, nilai ekonomi lahan, peningkatan pendapatan asli daerah, perkembangan sarana dan prasarana dasar. Peningkatan faktor jumlah penduduk akan mempengaruhi keadaan hampir semua atribut seperti, pengendalian banjir, kualitas dan kuantitas air minum, jalan akses, persampahan, penambangan pasir, alih fungsi lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, ruang terbuka hijau, konflik sosial, kohesi sosial, kriminalitas, prasarana kesehatan dan pendidikan, fasilitas umum dan sosial, pemberdayaan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, kesejahteraan masyarakat, pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan, perkembangan sarana dan prasarana dasar. Hasil analisis dengan menggunakan MDS-Rapsettlement menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk di masa mendatang
113
pada skenario moderat mencapai 61.31%. Nilai ini telah meningkatkan indeks keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk sebesar 5.36% dari indeks keberlanjutan sekarang seperti terlihat pada Gambar 35.
Buruk
61.31%
0%
Baik
50 %
100 %
Gambar 35 Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan kawasan permukiman menurut skenario moderat Nilai Indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten setiap dimensi menurut skenario moderat dapat divisualisasikan seperti terlihat pada Gambar 36. Grafik tersebut menunjukkan bahwa semua dimensi mencapai nilai cukup berkelanjutan. Dimensi ekologi mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi aktual. Dimensi sosial juga meningkat indeks keberlanjutannnya. Demikian juga dimensi ekonomi juga mengalami peningkatan indeks kebelanjutan.
MDS PROSPEKTIF Ekologi 100 80
57.07
60 40 20
0
59.7
Sosial
67.91
Ekonomi
Gambar 36 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan prospektif menurut skenario moderat Perbandingan indeks keberlanjutan masing-masing dimensi untuk kondisi saat ini dibandingkan dengan kondisi prospektif hasil skenario moderat adalah
114
seperti tertera pada Tabel 31 dan Gambar 37. Dalam hal ini terlihat bahwa indeks keberlanjutan untuk kawasan secara multi dimensi maupun masing-masing dimensi berdasarkan skenario moderat pengembangan kawasan permukiman menunjukkan kenaikan. Kenaikan terbesar terjadi pada dimensi ekologi sebesar 11.72% dan kenaikan terkecil terjadi pada dimensi sosial sebesar 1.35%. Kondisi ini dirasa cocok mengingat kondisi aktual saat sekarang tingkat keberlanjutan dimensi ekologi kurang berkelanjutan sementara kondisi dimensi sosial sudah cukup berkelanjutan. Dimensi ekonomi juga mengalami kenaikan keberlanjutan sebesar 3.09%. Tabel 31 Perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario Saat ini (%)
Skenario Moderat (%)
No
Dimensi
Selisih (%)
1.
Kawasan Permukiman
55.93
61.31
5.38
2.
Ekologi
45.35
57.07
11.72
3.
Sosial
57.61
58.96
1.35
4.
Ekonomi
64.82
67.91
3.09
MDS AKTUAL & PROSPEKTIF Ekologi 100 80 57.07 60 45.35 40 20 0
Sosial
59.7
67.91
57.61
64.82
Ekonomi
Gambar 37 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario
115
5.6 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dirumuskan dengan memperhatikan kondisi eksternal dan internal yang mempengaruhi kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Arahan kebijakan ini pada dasarnya
dilaksanakan dengan mekanisme insentif dan
disinsentif. Insentif diberikan terhadap kegiatan yang dilaksanakan sesuai ketentuan, ingin dipertahankan dan atau didorong keberadaannya sementara disinsentif dikenakan terhadap kegiatan yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif ini dilakukan secara berjenjang oleh instansi yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan permukiman menjadi dasar pengembangan kawasan permukiman seperti UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan, UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No.80 Tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba, Peraturan Menteri Dalam Negeri no.1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau. Sementara kebijakan yang terkait langsung dengan kawasan permukiman di Cisauk diantaranya adalah: Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang, RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Permukiman di Daerah), Perda No.4/1997 tentang RDTR Kota Serpong, Rencana Rinci Kasiba Cisauk, Rencana Master Plan Pengembang, Perda tentang Penambangan Bahan Galian C. Berdasarkan berbagai kondisi dan kebijakan yang ada dapat dikatakan bahwa kebijakan yang melandasi pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman termasuk di Cisauk cukup komprehensif mulai dari skala nasional kewilayahan, sektoral dan tingkat lokal. Dalam pelaksanaan memerlukan koordinasi dan pelibatan stakeholders secara intensif.
116
Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan
masing-masing
pemerintah
daerah.
Tuntutan
otonomisasi
mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang terkendali. UU RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management/IWRM). Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air, termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: (1) memberikan
manfaat
kepada
publik
secara
efektif
dan
efisien,
(2)
mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, (3) keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta (4) transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin
117
terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air. Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002–2011 merupakan acuan operasional kebijakan lokal. Walaupun skalanya lokal, akan tetapi sebenarnya kebijakan ini sudah memperhatikan kebijakan-kebijakan diatasnya, antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten, Kebijakan Pengembangan Kawasan Jabodetabekjur, dan Rencana Pembangunan Sektoral yang dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra). Untuk mengadopsi
dinamika
perkembangan
masyarakat,
perubahan
kebijakan,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain dilakukan revisi RTRW tersebut pada tahun 2006 sehingga diharapkan RTRW tersebut akan dapat bersinergi dengan perkembangan di tiap wilayah dalam berbagai aspek. Hasil dari revisi ini berupa
prioritas
pembangunan
dan
indikasi
program
yang
telah
mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis terkini, ketersediaan dana, kesiapan SDM, tingkat kepentingan, dan ketersediaan waktu. Kawasan strategis merupakan kawasan yang perlu mendapatkan prioritas pengembangan karena realisasi program pada kawasan ini akan berimplikasi kuat dalam pembentukan struktur tata ruang dan rencana pemanfaatan ruang wilayah. Diantara kawasan strategis tersebut adalah terdapat 3 (tiga) pusat wilayah pengembangan (WP), salah satunya Serpong yang berkembang menjadi pusat permukiman. Selanjutnya Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial.
118
Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dilakukan dengan pendekatan integrasi antara analisis retrospektif dengan analisis prospektif. Analisis
kebijakan
retrospektif
dilakukan
terhadap
hasil
pelaksanaan
pengembangan kebijakan di masa lalu yakni hasil pelaksanaan perda, pengembangan kawasan siap bangun, lingkungan hunian berimbang, penentuan subsidi dan batas minimal tipe rumah yang dibangun, dan hasil kebijakan ditingkat lokal. Analisis prospektif dilakukan untuk memberi masukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan saat ini dan akan dilaksanakan antara lain kebijakan pengembangan kawasan siap bangun, dan revisi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Tengerang. Untuk
menilai
keberlanjutan
dari
sistem
pengembangan
kawasan
permukiman saat ini yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan di masa lalu, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan kawasan permukiman dengan menggunakan metode multidimensional scalling (MDS). Indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Ketiga dimensi
tersebut
secara
simultan
akan
mempengaruhi
keberlanjutan
pengembangan kawasan permukiman. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria sendiri yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian pustaka dan preferensi pakar. Pengisian kondisi kawasan pada setiap atribut dilakukan oleh stakeholders. Hasil analisis MDS adalah status keberlanjutan pengembangan kawasan untuk setiap dimensi dan faktor-faktor pengungkit keberlanjjutan pengembangan kawasan permukiman. Faktor-faktor pengungkit ini kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman menggunakan metode prospektif. Faktor kunci hasil analisis prospektif ini akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap pencapaian tujuan pengembangan kawasan permukiman. Dalam kerangka pengembangan kawasan permukiman, kebutuhan yang didasarkan
atas
preferensi
stakeholders
dalam
pengembangan
kawasan
permukiman di masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengembangan kawasan permukiman. Dengan menggunakan metode analisis
119
prospektif dirumuskan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholders serta faktor dominan atau faktor kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem pengembangan kawasan permukiman. Penggabungan antara faktor kunci keberhasilan pengembangan kawasan permukiman dengan faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholders merupakan gambaran faktor kunci pengembangan kawasan permukiman berdasarkan kondisi masa lalu dan kebutuhan masa depan. Untuk menemukan faktor kunci utama pengembangan kawasan dalam rangka menemukan skenario pengembangan kawasan dilakukan dengan analisis prospektif. Skenario ini merupakan gambaran alternatif kondisi masa depan dari setiap faktor kunci utama. Penyusunan skenario pengembangan kawasan permukiman melibatkan semua pihak terutama stakeholders utama dan pakar. Kemudian dilakukan pembobotan terhadap setiap skenario sehingga diperoleh urutan prioritas skenario. Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh sistem pengembangan kawasan permukiman. Skenario terpilih kemudian disimulasikan untuk menilai prospek keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang dengan menggunakan analisis MDS. Hasil simulasi ini memberikan informasi bahwa faktor
kunci
yang
diperoleh
dapat
memberikan
kondisi
keberlanjutan
pengembangan kawasan yang lebih baik. Intervensi yang dapat memberikan kinerja paling optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan memperhatikan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ditetapkan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Masukan-masukan kebijakan pengembangan kawasan merupakan gambaran hal-hal mendasar yang terjadi dan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan arahan kebijakan. Secara skematis, masukan dan tahapan dalam penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dapat dilihat pada Tabel 32 dan Gambar 38.
120
Tabel 32 Masukan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman NO
1
FAKTOR
ISU dan PERMASALAHAN
- Demand kawasan permukiman meningkat - Perlindungan pemanfaatan ruang: lahan pertanian Alih fungsi lahan produktif, RTH pertanian produktif - Margin pertanian lebih kecil dibanding sektor lain - Transportasi berupa dukungan infrastruktur
2
Sarana dan prasarana dasar
3
Kohesi sosial
4
Kondisi Sub DAS Cisadane
5
Perkembangan penduduk dan penyebarannya
- Keseimbangan demand – supply - Kondisi prasarana yang kurang sinkron, rusak
ASPEK-ASPEK ARAHAN KEBIJAKAN - Disinsentif perpajakan untuk lahan non pertanian, perijinan (prinsip, lokasi, IMB,dll), - Insentif lahan pertanian: benih, pupuk, teknologi, peralatan
- Insentif peningkatan land rent, pendampingan inovasi pertanian perkotaan (urban farming) - Disinsentif AMDAL, perpajakan
- Disinsentif dengan AMDAL
- Koordinasi dan program sinkronisasi. Disinsentif kepada pelaku penyebab kerusakan, seperti retribusi, tidak ada ijin baru atau perluasan penambangan pasir - Potensi konflik - Mengurangi potensi konflik: penduduk asli penciptaan lap pekerjaan, (umumnya pertanian, pemberdayaan masyarakat, event-event informal) dengan kebersamaan pendatang (jasa, formal) - Kondisi dan fungsi - Insentif penanaman pohon, sumur (air baku, media resapan limbah, pengendalian - Disinsentif terhadap limbah domestik banjir) DAS dan industri cenderung menurun - Perencanaan terpadu dari hulu sampai hilir - Jumlah penduduk - Disinsentif perijinan yang ketat meningkat - Penyebaran tidak - Insentif dengan program merata pengembangan prasarana, disinsentif perpajakan
Kawasan permukiman di Cisauk sejak ditetapkan adanya Kawasan Siap Bangun (Kasiba) pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, kondisinya secara keseluruhan tidak banyak berbeda. Kondisi prasarana seperti jalan akses regional masih dalam keadaan rusak parah dengan udara yang berdebu karena dilewati truk-truk pengangkut pasir dan batu. Prasarana lingkungan antar kawasan permukiman seperti drainase penyalur genangan, jalan akses lingkungan masih belum terjadi sinkronisasi. Pengelolaan persampahan masih belum dilakukan
121
dengan manajemen yang baik. DAS dan sungai Cisadane berada dalam kondisi yang cukup kritis akibat aktifitas domestik dan industri. Perkembangan kawasan tidak merata dari desa-desa di Cisauk dan penambangan pasir dilakukan secara kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman
Anggaran - APBN/D - Investasi swasta,CSR - Partisipasi masyarakat
-UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman -UU No.26/ 2007 tentang Penataan Ruang -UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah -UU No. 32/ 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup -UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air -UU No.41/ 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan -UU No.5/1960 tentang Peraturan Pokok Agraria -UU No.38/2004 tentang Jalan -UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
Dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta
Sistem Sub DAS Cisadane
Status Kebelanjutan Kawasan Permukiman Kawasan Ekologi Sosial Ekonomi (55.93%) (45.35%) (57.61%) (64.82%) Prospektif Faktor Pengungkit Keberlanjutan (5 faktor)
Faktor-faktor Paling Berpengaruh: Alih fungsi lahan, pengembangan sarana dan prasarana, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan kondisi sub DAS Cisadane
Simulasi Skenario Pengembangan Kawasan (61.31%)
Ekologi (57.07%)
Sosial (58.96%)
Ekonomi (67.91%)
Arahan Kebijakan (Terwujudnya kawasan permukiman yang lebih berkelanjutan melalui skenario moderat)
Gambar 38 Tahapan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman
Kelembagaan - Pemerintah - Swasta - Masyarakat - Akademisi
122
Analisis terhadap keberlanjutan kawasan permukiman secara multi dimensi menunjukkan bahwa saat ini kondisinya cukup berkelanjutan. Analisis untuk masing-masing dimensi menunjukkan bahwa untuk dimensi sosial dan ekonomi kondisinya cukup berkelanjutan tetapi dari dimensi ekologi tergolong kurang berkelanjutan. Untuk itu, arahan kebijakan perlu lebih memperhatikan peningkatan keberlanjutan dimensi ekologi tersebut. Faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini adalah tingkat alih fungsi lahan, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk. Faktor sub DAS Cisadane merupakan
faktor
dengan
pengaruh
yang
kuat
walaupun
mempunyai
ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Skenario pengembangan kawasan permukiman yang terpilih adalah skenario moderat. Berdasarkan hasil tersebut arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan menurut skenario moderat yang secara operasional kebijakan ini dilaksanakan dengan mengendalikan alih fungsi lahan yang optimal, menyediakan sarana dan prasarana dasar yang memadai, menjaga kohesi sosial yang kondusif, menjaga kondisi Sub DAS Cisadane, mengendalikan perkembangan penduduk dan penyebarannya. Guna mewujudkan kondisi tersebut maka kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan melalui tahapan pencapaian kondisi setiap faktor paling berpengaruh. Isu, permasalahan, dan arahan kebijakan untuk masing-masing faktor yang paling berpengaruh tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan pertanian produktif Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian merupakan salah satu isu mendasar di kawasan permukiman di Cisauk. Peralihan fungsi lahan pertanian ini cukup besar kemungkinannya sebagaimana dikemukakan oleh Irawan (2005) bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti permukiman dan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan lahan
123
kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yanag sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan atau pegunungan. Sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka perubahan alokasi sumber daya, khususnya sumber daya lahan sulit dihindari Memperhatikan alih fungsi lahan yang terjadi dan mempertimbangkan kondisi sebagian besar masyarakat yang mata pencahariannya sebagai petani dengan taraf kehidupan yang masih rendah, maka perlu dilakukan perlindungan dan keberpihakan terhadap petani yang termarjinalkan oleh sistem kebijakan publik yang ada. Hal ini dilakukan antara lain dengan jalan memberikan insentif untuk meningkatkan land rent pertanian, seperti subsidi input, stimulan prasarana, dan pendampingan. Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumber daya lahan atau dengan kata lain sebagai hasil bersih (output) dikurangi dengan biaya (input) dan pajak lahan. Kebijakan insentif ini diharapkan dapat menekan biaya produksi sehingga petani mendapatkan margin yang mencukupi untuk menunjang kehidupan dan pada akhirnya tidak gampang melepas lahannya untuk pemanfaatan non pertanian. Mengingat perkembangan pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian yang kurang terkendali ini dapat memberikan dampak negatif ke masyarakat petani dan lingkungan, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, terancamnya kemandirian pangan, dan keberlanjutan sub DAS Cisadane, maka kegiatan alih fungsi lahan ini perlu dikendalikan dan dibatasi dengan pengenaan disinsentif. Lahan merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kawasan permukiman. Ketersediaan lahan di kedua kecamatan tersebut masih mencukupi untuk pengembangan kawasan permukiman kedepan dilihat dari ruang terbuka yang masih tersedia yang luasnya lebih dari 50 persen dari total luas wilayah. Yang perlu diperhatikan adalah jenis lahan yang akan dimanfaatkan dan kesesuaian peruntukan yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Pola pengembangan lahan tidak semata-mata mengikuti pola jaringan prasarana yang
124
ada akan tetapi seyogyanya juga memperhatikan struktur, efisiensi dan keseimbangan
perkembangan
kawasan.
Jangan
sampai
suatu
kawasan
berkembang pesat tetapi kawasan yang lain masih belum berkembang. Pemanfaatan lain yang perlu diperhatikan adalah pemanfaatan lahan untuk bahan galian C berupa material pasir di beberapa tempat di Cisauk. Material ini dibutuhkan untuk pengembangan kawasan permukiman di Cisauk maupun daerah sekitarnya. Sayangnya pelaksanaan penambangan pasir ini dilakukan dengan kurang
memperhatikan keberlanjutan lingkungan
misalnya penambangan
dilakukan dengan alat berat dan bekas penambangan dibiarkan begitu saja berupa situ yang dalam tanpa dilakukan reklamasi atau revegetasi. Sementara jalan-jalan yang dilewati truk-truk pengangkut pasir tersebut menjadi rusak parah dan berdebu.
Kebijakan
pemerintah
daerah
yang
tidak
mengeluarkan
ijin
penambangan baru dinilai sudah tepat. Selanjutnya yang perlu dicari pemecahannya adalah bagaimana menciptakan mekanisme insentif dan disinsentif yang tepat bagi pihak-pihak yang memanfaatkan jalan-jalan tersebut yang mengakibatkan kerusakan jalan tersebut dan jalan keluar terhadap lahan bekas galian pasir yang ditinggalkan begitu saja. Pemanfaatan lahan yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah pemanfaatan lahan untuk siapa. Jika pemanfaatan tersebut diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, maka aspek ekonomi dalam hal ini faktor permintaan (demand) dan pasokan (supply) akan mendominasi perkembangan tersebut. Kemungkinan lahan tersebut akan dikembangkan untuk kawasan permukiman untuk golongan masyarakat menengah atas yang mampu menyerap pasar sementara masyarakat golongan menengah kebawah akan semakin termarjinalkan jika tidak ada intervensi pemerintah. Kemungkinan lain adalah pemanfaatan lahan untuk industri manufaktur atau perdagangan. Mengacu pada skenario moderat, maka kegiatan pemanfaatan lahan ini masih akan berlangsung akan tetapi lebih terkendali. Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan adalah pengembangan kawasan permukiman kedepan tidak dilakukan di area pertanian produktif, sempadan sungai, jaringan rel KA, dan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Agar lahan pertanian tidak mudah dialih fungsikan, perlu diberikan insentif untuk menaikkan land rent pertanian antara
125
lain dengan subsidi input seperti pengenaan pajak yang lebih ringan terhadap lahan
pertanian,
bantuan
benih,
pupuk,
peralatan,
teknologi,
kegiatan
pendampingan termasuk kemungkinan adaptasi dari pertanian perdesaan ke pertanian perkotaan (urban farming) sesuai dengan permintaan pasar terdekat misalnya BSD. Untuk lahan-lahan non pertanian perlu dikenakan kebijakan disinsentif, antara lain dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi, biaya perijinan yang maksimal, persyaratan penyediaan ruang terbuka yang maksimal (30%) oleh swasta. Untuk meningkatkan ketersediaan lahan permukiman, pemerintah daerah perlu membebaskan lahan-lahan bekas galian pasir milik swasta untuk kemudian dilakukan reklamasi dan penataan lain sesuai dengan perencanaan. 2. Pengembangan prasarana dan sarana dasar Faktor pengembangan prasarana dan sarana dasar merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk. Prasarana dan sarana dasar di Cisauk tersebut adalah jalan tol, jalan akses, jaringan kereta api, jaringan listrik, jaringan telpon, jaringan air minum, drainase, persampahan, ruang terbuka hijau, fasos dan fasum. Dengan dibukanya jalan tol ruas Jakarta–Serpong pada tahun 2005 maka perkembangan kawasan permukiman di Serpong dan sekitarnya menjadi pesat terlihat dengan adanya pengembangan kawasan permukiman skala besar seperti kota mandiri BSD, Citra Raya, Alam Sutera, dan lain-lain. Rencananya jalan Tol tersebut akan dilanjutkan pembangunannya untuk ruas Serpong–Balaraja melewati Cisauk bagian utara dan selanjutnya menuju ke Bandara International Soekarno-Hatta. Hal ini akan meningkatkan aksesibilitas arus orang dan barang dan diperkirakan akan menambah kecepatan perkembangan kawasan permukiman di Cisauk dan di sekitarnya. Yang perlu diantisipasi antara lain terjadinya konsentrasi atau bottle neck lalu lintas yang akan menyebabkan kemacetan dan akan mengakibatkan inefisiensi dan kerugian lain. Jalan arteri di Cisauk saat sekarang sepanjang kurang lebih 18 km, dirasa masih belum mencukupi kebutuhan. Saat sekarang kondisi jalan arteri utama berada dalam keadaan rusak parah dan berdebu akibat sering dilewati truk-truk yang mengangkut pasir. Jaringan jalan tersebut lebih banyak terkonsentrasi di jalur Serpong–Rumpin Bogor dan sekitarnya sementara di kawasan yang agak
126
jauh dari jalan utama tersebut ketersediaan dan kondisi jalan masih belum memadai. Sudah ada rencana pengembangan jalan berdasarkan Rencana Rinci Kasiba di desa Suradita dan sebagian Dangdang termasuk jaringan jalannya tetapi hal ini belum mencakup daerah Cisauk yang lain dan implementasinya perlu dimonitor agar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Perhatian juga perlu dilakukan terhadap sinkronisasi jalan-jalan termasuk salurannya antar cluster permukiman. Kawasan Cisauk dilewati sungai Cisadane yang membagi kawasan sebelah timur dan sebelah barat sungai Cisadane. Terdapat perbedaan perkembangan permukiman dimana kawasan sebelah timur berkembang pesat sementara kawasan sebelah barat kurang berkembang. Pada tahun 2009 telah dibangun jembatan yang cukup lebar berikut jalan aksesnya yang menghubungkan desa Suradita dan desa Muncul sehingga diperkirakan perkembangan kawasan di sekitar jalan tersebut dan kawasan sebelah barat sungai Cisadane akan berkembang lebih cepat. Dengan berkembangnya kawasan tersebut perlu diantisipasi dampak yang kemungkinan terjadi seperti meningkatnya volume dan konsentrasi lalu lintas yang dapat menyebabkan kemacetan. Kereta api merupakan salah satu moda transportasi andalan masyarakat Cisauk untuk ke Jakarta dan sebaliknya. Pada saat sekarang sarana tersebut sudah mempunyai jaringan rel ganda akan tetapi intensitas perjalanan masih terbatas dan gerbong yang ada masih kurang representatif. Demikian juga kondisi sarana stasiun kereta api di Cisauk masih kurang representatif dengan kapasitas dan sarana pendukung yang terbatas. Prasarana dan sarana lain yang penting adalah air minum, drainase, pengelolaan persampahan, terminal, pasar, sarana budaya dan olah raga. Saat sekarang masyarakat di Cisauk umumnya memanfaatkan air tanah untuk keperluan air bersih dan beli air mineral untuk air minum. PDAM kabupaten Tangerang mempunyai sarana intake pengambilan air baku Sungai Cisadane di Cisauk akan tetapi belum berproduksi melayani masyarakat Cisauk. Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kondisi air tanah di kawasan permukiman di Cisauk (lihat Lampiran 1) memperlihatkan bahwa BOD
127
dan COD yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium-Cd, deterjen, timah hitam-Pb, air raksa (Hg), arsen-As dan fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Sudah terdapat sarana pemilahan dan pengolahan persampahan di desa Cisauk yang menghasilkan barang untuk dipakai lagi (reuse) dan diolah lagi (recycle) serta menghasilkan pupuk organik. Akan tetapi kapasitas fasilitas ini masih terbatas sehingga belum bisa melayani seluruh wilayah Cisauk. Jadi masih diperlukan tempat pembuangan akhir yang masih terkendala dengan penyediaan lokasi. Prasarana lain yang diperlukan di Cisauk adalah terminal dan pasar. Sementara ini untuk kedua prasarana itu masih bergabung dengan yang ada di Serpong, sehingga apabila masyarakat di Cisauk mau belanja kebutuhan seharihari harus menempuh jarak yang relatif cukup jauh. Agar lebih efisien dan mendukung perkembangan kawasan perlu dibangun terminal dan pasar di wilayah Cisauk. Pada saat sekarang di Cisauk masih belum tersedia prasarana sosial budaya seperti stadion atau lapangan olah raga dan gedung pertemuan. Kedua prasarana tersebut diperlukan untuk mendukung aktifitas warga disamping juga untuk meningkatkan kesehatan dan komunikasi antar warga. Dari uraian-uraian isu dan permasalahan prasarana dan sarana diatas, arahan kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah adalah membatasi kegiatan penambangan pasir dan
memfasilitasi perbaikan lahan bekas
penambangannya, memperbaiki kondisi jalan-jalan yang rusak, mengarahkan pengembangan jalan baru atau peningkatan kualitas ke daerah-daerah yang masih belum berkembang seperti di desa Dangdang dan Mekarsari, sinkronisasi prasarana lingkungan antar cluster perumahan, peningkatan kapasitas pengolahan sampah yang ada dan atau penyediaan tempat pembuangan akhir persampahan, koordinasi dengan PDAM Kabupaten Tangerang peningkatan pelayanan air minum, koordinasi dengan PT. KAI untuk peningkatan pelayanan jasa kereta api, membangun koneksi antar moda, mengupayakan pembangunan lapangan olah raga, gedung pertemuan, pasar dan terminal kendaraan angkutan umum.
128
3. Kohesi sosial Perkembangan kawasan permukiman yang cukup pesat di Cisauk menyebabkan banyaknya penduduk dari daerah lain yang pindah dan bermukim di Cisauk. Meskipun tidak terekspose, di Cisauk terdapat golongan penduduk asli (lahir atau turun temurun di Cisauk) dan penduduk pendatang. Kedua golongan ini mempunyai karakteristik yang cukup berbeda. Penduduk asli pada umumnya mata pencahariannya bertani dan sektor informal dengan kondisi sosial ekonominya terbatas, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan bergerak di sektor sektor formal dan non pertanian seperti jasa, perdagangan, atau industri dengan keadaan sosial-ekonominya lebih baik. Kondisi toleransi di Cisauk cukup baik sehingga sampai sekarang tidak pernah terjadi konflik antar kedua golongan penduduk tersebut. Untuk dapat mempertahankan kondisi yang cukup baik ini, perlu diketahui potensi konflik yang sehingga bisa diambil langkah-langkah yang tepat. Dari pengamatan, potensi konflik tersebut antara lain terputusnya koneksi sistem prasarana yang merugikan kluster atau kampung tertentu, perbedaan nilai dan norma dalam gaya hidup sehari-hari antara penduduk asli dengan pendatang, dan kemiskinan dan pengangguran. Potensi konflik juga dapat berasal dari sisi lokal dan eksternal. Dari sisi lokal, potensi konflik dapat muncul antara kawasan kampung penduduk asli, kawasan kumuh buruh, dan permukiman formal menengah, sementara dari sisi eksternal bisa berasal dari kota mandiri BSD seperti kehilangan identitas, marginalisasi pelayanan, dan lain-lain. Kejadian kriminalitas juga relatif jarang terjadi di Cisauk. Namun sikap hatihati dan terus waspada harus tetap dijaga agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan.
Keamanan
merupakan
aspek yang sering
ditawarkan oleh
pengembang kawasan permukiman antara lain dengan sistem cluster. Namun perlu diusahakan adalah tercipta keamanan namun masih terjadi komunikasi yang intensif diantara masyarakat tersebut sehingga kriminalitas dapat dieliminir. Pemberdayaan
masyarakat
juga
merupakan
faktor
yang
sensitif
mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman. Pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menekan angka kemiskinan. Penduduk yang miskin berpotensi sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, rusaknya hutan karena pohon-pohonnya ditebangi oleh warga untuk dijadikan kayu bakar dan lahan
129
pertanian. Oleh karena itu, untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena berpotensi merusak lingkungan. Tingginya
rumah
tangga
yang
tergolong
miskin
disebabkan
sebagian
masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsisten atau sebagai buruh kasar. Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian dari aspek sosial adalah pengaruh gaya hidup metropolitan. Adanya masyarakat pendatang dari masyarakat perkotaan dengan gaya hidup modern yang cenderung konsumtif, maka hal ini akan mempengaruhi gaya hidup penduduk asli yang belum tentu sesuai dengan budaya setempat. Adanya keinginan untuk memiliki barang elektronik, misalnya, mengakibatkan si petani akan melepas aset miliknya termasuk lahan yang luasnya tidak seberapa. Masyarakat yang dulunya hidup bertani tidak lagi memiliki tanah sehingga menjadi buruh tani atau berganti mata pencaharian. Si petani masih bisa bertahan terhadap godaan barang-barang konsumtif tersebut, akan tetapi bagaimana dengan anak-anaknya. Anak-anak muda dengan ketrampilan yang kurang memadai tergiring bekerja di pabrikpabrik dengan pendapatan yang minim. Komplek perumahan terbentang di sekeliling kampung. Perubahan-perubahan ini membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Berada di tengah kemegahan kawasan permukiman akan menyebabkan warga pada umumnya akan diliputi perasaan inferioritas. Identitas diri dan budaya mereka dari hari kehari semakin tidak jelas. Arahan kebijakan untuk aspek sosial adalah perlunya peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi, kesehatan, jenjang pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat, penyediaan prasarana yang secara seimbang dapat menjangkau kawasan permukiman yang ada dan sinkronisasi prasarana lingkungan antar kluster perumahan. 4. Perkembangan penduduk Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana. Kekurangan ketersediaan prasarana dan sarana akan menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan. Sementara itu, terjadinya konsentrasi penduduk akan meningkatkan volume lalu lintas yang jika tidak
130
diantisipasi dengan baik berpotensi menimbulkan kemacetan lalulintas. Perlu dilakukan pengendalian perkembangan penduduk dan pengaturan penyebarannya secara berimbang. Dengan
berkembangnya
kawasan
permukiman
di
Cisauk
akan
mengakibatkan pertambahan penduduk baik karena pertumbuhan alami maupun urbanisasi. Penduduk pendatang umumnya bekerja di sektor non pertanian dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif lebih baik. Hal ini akan dapat menyebabkan terbentuknya komunitas dan budaya baru yang belum tentu cocok dengan budaya lokal. Selama ini memang tidak terjadi masalah kerawanan sosial. Namun perlu terus dimonitor dan diusahakan agar kedepan jika perkembangan sudah semakin meningkat kohesi sosial tetap bisa dipertahankan. Dalam ekosistem DAS, faktor penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan adalah mengenai jumlah penduduk. Jumlah penduduk disuatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk kelestarian sumberdaya lahan. Asumsinya adalah bahwa suatu daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak cenderung akan mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah penduduk sedikit. Hal ini disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi untuk daerah yang penduduknya lebih banyak. Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Perkembangan penduduk di kecamatan Cisauk yang rata-rata sebesar 4.13 % per tahun menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Namun perkembangan tersebut terkonsentrasi di 3 desa yaitu Suradita, Cisauk, dan Cibogo dengan pola searah dengan jalan raya Cisauk.
Hal ini akan menambah kepadatan penduduk di
kawasan tersebut yang akan meningkatkan aliran permukaan (run-off), sedimentasi, timbulan sampah dan tekanan terhadap lahan. Sementara itu, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa industri seperti kulit, kain, kertas, dan logam yang mempunyai potensi resiko kerusakan lingkungan lebih besar apabila limbahnya tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut perlu diwaspadai dan dikendalikan.
131
Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemerintah adalah mengendalikan perkembangan penduduk dan mengatur penyebarannya agar terjadi keseimbangan perkembangan kawasan sesuai potensi yang ada dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya. 5. Kondisi Sub DAS Cisadane Faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Untuk itu perlu diidentifikasi kondisi, permasalahan dan hal-hal terkait sub DAS Cisadane yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dan sebaliknya. Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu Sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun termasuk ± 15.45% pemukiman. Memperhatikan kondisi tersebut, konsep perencanaan dan pengelolaan kawasan Cisauk yang masuk kedalam DAS Sungai Cisadane wilayah tengah harus menyeluruh dan terpadu serta berwawasan lingkungan. Pengelolaan DAS Sungai Cisadane seperti halnya sungai-sungai yang lain saat ini terkendala
132
sulitnya koordinasi dalam mengelola DAS tersebut. Pengelolaan DAS dilakukan oleh beberapa instansi antara lain Kementerian Kehutanan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga walaupun sering dikemukakan bahwa pengelolaan DAS harus berdasarkan prinsip one river, one plan, one management tetapi pada kenyataannya koordinasi tersebut sangat sulit dilakukan. Hal lain adalah diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah secara penuh. Dikhawatirkan karena alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan dari sumber daya alam maka akan terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi dimana sumberdaya tersebut dieksploitasi namun juga akan berimbas ke daerah lain, contohnya penebangan hutan akan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir. Aspek Sub DAS Cisadane yang terkait dengan air adalah menyangkut kualitas dan kuantitas. Masalah pencemaran terkait dengan kualitas air sedangkan banjir, kekeringan terkait dengan kuantitas air. Sumber pencemaran Sungai Cisadane berasal dari berbagai limbah rumah tangga, limbah pertanian terutama limbah pestisida dan limbah organik dan sisa pupuk kimia. Semua jenis limbah tersebut menyebabkan pencemaran air sungai yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air sungai. Hubungan permukiman di Cisauk dengan sungai Cisadane cukup signifikan. Kawasan permukiman menggunakan sungai Cisadane sebagai tempat penyaluran (sebagian) drainase, air limbah, dan sampah. Disamping itu permukiman mengambil air baku, penambangan pasir dari sungai Cisadane. Sampai dengan tahun 2010, kawasan permukiman di Cisauk belum pernah mengalami banjir karena topografi lahan yang cukup tinggi dan banyak kawasan resapan air berupa sawah dan situ-situ bekas penggalian pasir. Menurut pengamatan, yang perlu mendapatkan perhatian adalah limbah yang dibuang ke sungai baik domestik maupun industri harus sesuai dengan ketentuan. Untuk mengurangi aliran permukaan (run-off) termasuk kandungan sedimentasinya, perlu dilakukan perbaikan drainase yang masih alami dan pembuatan sumur-sumur resapan
133
terutama di kawasan permukiman yang padat. Monitoring dan sosialisasi ke masyarakat dan aparat terkait perlu lebih diintensifkan. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang disebutkan bahwa sub DAS Cisadane merupakan sumber air baku bagi Kabupaten Tangerang dan Kota/Kabupaten disekitarnya, sebagai media buangan air limbah, dan sistem drainase dan penanganan banjir di Kabupaten Tangerang dan sekitarnya sehingga DAS ini perlu diprioritaskan dalam pembangunannya. Dari berbagai permasalahan dan pertimbangan diatas, maka arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemegang otoritas kebijakan terkait sub DAS Cisadane adalah: (1) pemberian insentif terhadap kegitan-kegiatan untuk mengurangi volume aliran permukaan yang mengandung sedimentasi seperti penerapan tindakan konservasi tanah, perbaikan drainase, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, dan mempertahankan hutan yang ada, (2) pengenaan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan domestik dan industri yang mencemari air sungai Cisadane. Sesuai dengan perjalanan waktu, perkembangan pembangunan tidak selamanya berjalan linier seperti yang direncanakan. Dinamika masyarakat, perubahan kebijakan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai faktor lain seringkali menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian dan perubahan, Perencanaan membutuhkan pemantauan dan evaluasi sehingga mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu kaji ulang atau revisi perencanaan diperlukan yang dimaksudkan untuk menguji kembali kesahihan data, informasi, serta asumsi-asumsi yang mendasari penyusunan perencanaan. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang yang disusun dengan perspektif ke masa depan untuk jangka waktu 10 tahun, maka arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman ini juga perlu ditinjau kembali secara periodik maksimal dalam jangka waktu 10 tahun. Tabel 33 menunjukkan pengaruh dari faktor-faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan permukiman dilihat dalam dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi yang ditunjukkan oleh atribut masing-masing dimensi yang terpengaruh maupun yang tidak terpengaruh oleh arahan kebijakan dari masing-masing faktor pengungkit tersebut.
134
Tabel 33 Pengaruh faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan Dimensi Faktor
Alih fungsi lahan
Prasarana dan sarana
Kohesi sosial
Dimensi Ekologi
- Meningkatnya - Meningkatnya keberlanjutan sub DAS pemberdayaan masyarakat Cisadane - Meningkatnya pendidikan - Meningkatnya ketersediaan penghuni RTH - Terkendalinya alih fungsi lahan pertanian - Terkendalinya keg. penambangan pasir - Tercukupi dan terpeliharanya prasarana dan sarana -
-
Perkembangan - Terkendalinya alih fungsi lahan penduduk
Sub DAS Cisadane
Dimensi Sosial
- Meningkatnya keberlanjutan sub DAS Cisadane - Terjaganya lahan-lahan bervegetasi - Terkendalinya banjir
Dimensi Ekonomi - Meningkatnya keuntungan petani - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat - Terserapnya tenaga kerja
Meningkatnya - Meningkatnya nilai pemberdayaan masyarakat ekonomi rumah dan lahan Meningkatnya kohesi sosial - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Tercukupi dan terpeliharanya sarana lingkungan
- Meningkatnya kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat - Menurunnya potensi konflik, kriminalitas
-
- Terjaganya kohesi sosial
- Berkembangnya kawasan secara berimbang
-
-