25
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani
Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian 800–2500m dpl. Vegetasi penyusun ekosistem tersebut bervariasi berdasarkan ketinggian. Pada beberapa ketinggian tertentu jenis-jenis seperti pandan (Pandanus tectorius), goak (Ficus spp), bak-bakan (Engelhardia spicata), cemara gunung (Casuarina jughuhniana) membentuk kelompok vegetasi yang khas. Data hasil pengukuran faktor fisik berdasarkan pengamatan lapangan dari bulan Maret–April 2012 disajikan dalam Tabel 3, dan hasil uji analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB disajikan dalam Tabel 4, data lengkap hasil pengamatan dan output statistik deskriptifnya disertakan dalam Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 12.
Tabel 3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Lokasi Morel Lokasi Pembanding MinimumMinimum- X Maksimum X Maksimum
Variabel
Suhu (oC)
18,83+0,27
18,52-19,60
18,59+0,24
18,23-19,40
Kelembaban udara (%)
87,14+1,99
83,00-90,50
89,09+1,66
85,50-92,00
Intensitas cahaya (lux)
541,43+45,039
490,00-620,00
916,67+32,38
850,00-980,00
3,46+0,79 1,50-4,50 3,69+0,56 3,00-4,50
Kelembaban tanah (skala 1-10) Ketinggian tempat (m) Kemiringan (%)
1584,64+10,59 1572,00-1609,00 1772,09+53,25 1676,00-1846,00
28,50+17,06 7,94-54,00 Arah Lereng/Aspect ( ) 124,81+123,62 4,00-360,00 Keterangan : X = Rata-rata dan standar deviasi Minimum- Maximum = Nilai maksimum minimum o
29,53+12,22
8,06-50,32
69,61+117,28
0,00-340,50
Tabel 3 memperlihatkan bahwa variasi suhu udara pada lantai hutan
ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 18,83+0,27oC, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 18,59+0,24oC . Suhu udara pada tempat terbuka pada waktu yang sama
26
sebesar 27,00+0,69oC. Suhu udara di tempat terbuka tersebut merupakan suhu udara yang diukur di pos pengamatan hujan terdekat yaitu Pos Kediri, Lombok Tengah. Suhu udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel lebih tinggi dibandingkan variasi suhu pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara pada lantai hutan baik lokasi ditemukannya morel maupun tidak, lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini sesuai dengan gradien suhu vertikal atau lapse rate bahwa kenaikan tiap 100m ketinggian tempat akan menurunkan suhu sebesar +0,65oC.
Tabel 4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No
Variabel
Lokasi Morel
Lokasi Pembanding
1
Jenis tanah
Mediteran coklat
Mediteran coklat
2
Tekstur tanah (% pasir debu liat)
3 4
Kadar C tanah (%) Kadar N tanah (%) Rasio C/N
Pasir 37,83% debu 40,11% Liat 22,06% (Berlempung halus) 7,30 0,60 12,16
Pasir 50,08% debu 20,01% liat 29,91% (Lempung liat berpasir) 10,98 0,79 13,84
Kadar P tanah (ppm) Kadar Ca (me/100g) pH tanah
12,53 10,22 7
17,27 11,55 7
5 5 6 7
Berdasarkan uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (nilai p=0,006 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05) antara suhu udara rata-rata pada lantai hutan lokasi ditemukannya morel dengan suhu rata-rata pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel maupun suhu rata-rata pada tempat terbuka. Perbedaan variasi suhu lebih jelas terlihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian suhu udara minimal sebesar 18,53oC dan suhu udara maksimal sebesar 19,6oC pada lokasi ditemukannya morel dari 14 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 18,23oC dan suhu udara maksimal sebesar 19,40oC pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel dari 21 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 25oC dan suhu udara maksimal 28,3oC pada tempat terbuka pada waktu yang sama. Menurut sebuah studi di Australia (Stott & Mohammed 2004) pertumbuhan miselia merupakan fungsi dari suhu. Sclerotia M. esculenta dapat diproduksi pada suhu 5–30oC, dan suhu optimum
27
produksi antara 20–25oC. Primordia baru akan terbentuk pada suhu antara 10- 25oC. Pada studi yang lain, suhu udara pada masa inisiasi primordia M. rotunda sampai menjadi ukuran utuh sekitar 5–16oC (Pilz et al. 2007). Pada keadaan suhu udara di atas 16oC juga dapat terjadi pertumbuhan tersebut tetapi menghambat pembentukan primordia baru.
Suhu(⁰C)
Lokasi Morel
Lokasi Pembanding
20 19,5 19 18,5 18 17,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot
Gambar 8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian.
Sebuah studi morel di habitat alam Hutan Missouri, Amerika Serikat selama 5 tahun menyatakan bahwa suhu udara lantai hutan
pada habitat
M. esculenta saat musim berbuah antara 0,3–31,8oC (Mihail et al. 2007). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada suhu 15–24oC (Singh et al. 2004). Suhu dalam hal ini merupakan faktor penting dalam pertumbuhan morel atau jamur pada umumnya (Cooke 1979). Dalam kaitannya dengan suhu, jamur bertoleransi dan tumbuh secara optimum pada suhu tertentu. Kebanyakan jamur termasuk mesofili yang tumbuh pada suhu 10–40oC, dan tumbuh optimum pada suhu antara 25–35oC (Cooke 1979). Kebanyakan jamur memiliki suhu minimum untuk tidak tumbuh dan batasan suhu maksimum untuk tidak aktif. Dalam penelitian ini didapatkan rentang suhu 18,53–19,6oC, dapat dikatakan bahwa suhu tersebut merupakan suhu optimum dalam pertumbuhan tubuh buah morel Rinjani. Akan tetapi tidak bisa
28
dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk (2000), tidak semua primordia yang terbentuk akan masak/maturasi menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara
di lokasi lain pada
o
ketinggian yang berbeda sebesar 18,23–19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik (Levene’s test). Dalam hal ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain, karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik. Hasil perhitungan korelasi Pearson (Lampiran 11) antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355. Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya <0,5 tetapi korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian Mihail et al. (2007) tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi. Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas morel terhadap faktor lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 87,14+1,99%, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 89,09+1,66%. Kelembaban udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi
29
ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai kelembaban udara yang lebih rendah. Lokasi Morel
Lokasi Pembanding
93 92 91
Kelembaban(%)
90 89 88 87 86 85 84 83 82 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot
Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian.
Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel sebesar 83,00% dan maksimal sebesar 90,50%. Kelembaban udara minimal dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50% dan 92,00%. Output uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) nilai p=0,004 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi lain yang tidak ditemukan morel.
30
Kerapatan tajuk dapat menjadi penghalang seberapa besar intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan, termasuk suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban tanah. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara pada suatu waktu. Kelembaban udara menjadi faktor penting yang menentukan besaran kandungan air di dalam tanah. Air bersama suhu merupakan faktor penting pemicu dan kondisi yang dibutuhkan untuk inisiasi tubuh buah dan maturasinya. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson (taraf kepercayaan 99%) sebesar –0,434 (Lampiran 11). Korelasi bersifat negatif dan lemah karena nilainya <0,5. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan semakin besar kelembaban udara semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh, pada rentang nilai kelembaban. Hasil ini sama seperti yang dikerjakan dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), tumbuhnya tubuh buah M. esculenta berkorelasi negatif dengan kelembaban udara. Koleksi morel dalam sebuah studi di Wellington, Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa produksi tubuh buah M. elata di habitat alam ditemukan pada rentang kelembaban sekitar 75–80% (Barness & Wilson 1998). Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada kelembaban antara 68–86% (Singh et al. 2004). Lebih detail dijelaskan bahwa masing-masing spesies tumbuh pada kelembaban tertentu pada saat yang sama. M. esculenta tumbuh pada kelembaban udara sekitar 68% sedangkan M. hybrida membutuhkan kelembaban udara sekitar 86% pada lokasi lain pada waktu yang sama. Seperti halnya suhu tiap jenis morel merespon kelembaban udara pada rentang tertentu untuk pertumbuhan tubuh buahnya. Kelembaban udara lantai hutan merupakan salah satu faktor abiotik yang menentukan pertumbuhan morel. Primordia awal lebih banyak mati dan tidak menjadi tubuh buah dewasa ketika kelembaban terlalu rendah atau terlalu basah (Volk, 2000). Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan curah hujan. Curah hujan merupakan faktor utama perimbangan kadar air di lantai hutan maupun di dalam tanah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun
31 makrofungi lain (Gates 2009, Geho 2007, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al.
2010). Peran hujan penting dalam mempengaruhi kadar air dalam tanah dan udara dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah makrofungi. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan pada tempat terbuka jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa morel akan memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kondisi kering. Morel
Suhu(oC)/Curahhujan(mm)/Jumlahmorel
30 25 20 15 10 5 0
17‐18/03/2012
Hujan tempat terbuka
Suhu lantai hutan
Suhu tempat terbuka
25‐26/03/2012 04‐08/04/2012
15‐18/04/2012 25‐29/04/2012 Periode pengamatan bulan Maret‐April 2012
Gambar 10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka.
Efek curah hujan dan jumlah hari hujan terhadap keterjumpaan jumlah tubuh buah morel dapat lebih terlihat jika dibangkitkan data time series tahunan curah hujan tempat terbuka dan curah hujan di bawah tegakan. Dalam sebuah studi, Mihail et al. (2007) membuktikan bahwa curah hujan (>10mm) berkorelasi positif terhadap kelimpahan morel (M. esculenta). Dalam studi lain Masaphy (2011) juga menyebutkan bahwa tubuh buah morel secara temporal dikontrol oleh curah hujan. Dalam penelitian tersebut disebutkan tubuh buah M. conica dan M. elata ditemukan muncul pada bulan Februari setelah terjadi beberapa hari hujan dengan curah hujan tinggi diikuti beberapa hari tanpa hujan. Gelombang kedua munculnya tubuh buah M. conica dan M. elata terjadi lagi pada bulan Maret setelahnya ketika terjadi curah hujan tinggi dalam beberapa hari diikuti beberapa
32
hari tanpa hujan. Fenomena ini seperti fenomena munculnya tubuh buah morel Rinjani. Jika dikaitkan dengan curah hujan dan suhu lantai hutan, fenomena munculnya morel Rinjani seperti dalam Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 11 Profil curah hujan dan suhu udara dikaitkan dengan musim morel.
Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Pada kondisi tersebut jumlah curah hujan dan suhu udara semakin menurun dan menjadi konstan untuk beberapa waktu. Pada kondisi tersebut dapat dikatakan morel memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kering. Fakta ini sama seperti yang dikerjakan Mihail et al. (2007) pada pengamatan fenologi berbuah M. esculenta maupun Masaphy (2011) dalam pengamatan fenologi berbuah M. conica dan M. elata tersebut. Pembentukan tubuh buah morel akan terinisiasi pada saat curah hujan berangsur-angsur sedikit sampai konstan tidak ada hujan. Curah hujan mempengaruhi jumlah air dalam tanah. Pada saat jumlah air dalam tanah
33 berangsur-angsur menurun atau tanah mulai kehilangan kelembabannya, tubuh
buah mulai diproduksi (Geho 2007, Masaphy 2011, Pilz et al. 2007). Tubuh buah akan berhenti diproduksi ketika kondisi tanah kering konstan. Oleh karena itu musim tumbuh morel hanya berlangsung singkat beberapa periode waktu. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 11, fenologi berbuah morel Rinjani hanya sekitar 3 bulan. Pada pengamatan sebelumnya musim berbuah morel Rinjani sekitar bulan April–Juni, sedangkan dalam penelitian ini berbuah sekitar Maret– Mei. Pergeseran waktu tersebut dapat terjadi karena perubahan kondisi fisik iklim mikro pada habitat
morel Rinjani atau perubahan iklim global yang
mempengaruhi iklim mikro secara tidak langsung. Pilz et al. (2007) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan pH tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi berbuah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan tubuh buah morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan. Faktor fisik lain dalam penelitian ini adalah intensitas cahaya matahari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan selama penelitian pada lokasi morel rata-rata 541,43+45,039lux dengan rentang antara 490,00-620,00lux. Intensitas cahaya matahari pada lokasi tidak ditemukan morel rata-rata 916,67+32,38lux antara 850,00-980,00lux. Intensitas cahaya matahari pada tempat terbuka di atas 2000lux. Gambar 12 memperlihatkan perbedaan intensitas cahaya pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang tidak ditemukan morel secara visual. Berdasarkan uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) membuktikan perbedaan yang nyata (taraf kepercayaan 95%) antara intensitas cahaya pada lokasi habitat morel dengan lokasi bukan habitat morel. Perbedaan yang jelas antara intensitas cahaya matahari pada kedua lokasi diduga karena kerapatan pohon di lokasi habitat morel lebih rapat dibandingkan dengan lokasi bukan
34
habitat morel sehingga jumlah cahaya yang diterima lantai hutan lebih rendah pada lokasi habitat morel. Berdasarkan perhitungan analisis vegetasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2), densitas pohon pada lokasi habitat morel sebesar 78,23m2/ha, sedangkan densitas pohon pada lokasi bukan habitat morel lebih rendah sebesar 47,47m2/ha. Lokasi Morel
Lokasi Pembanding
1050
Lux
1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot
Gambar 12 Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian.
Jamur pada umumnya membutuhkan kisaran intensitas cahaya matahari tertentu dalam pertumbuhan tubuh buah. Asnah (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Tangkahan, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Tampubolon (2010) menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Bukit Lawang, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Menurut Zhanxi (2004), intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhan tubuh buah jamur adalah 200 lux. Barness & Wilson (1998) menemukan M. elata di Wellington, Amerika Serikat tumbuh pada intensitas cahaya pada kisaran 10–250lux. Setiap spesies membutuhkan kisaran intensitas cahaya yang berbeda untuk pertumbuhan tubuh buah. Peranan cahaya matahari telah dibuktikan oleh banyak para ahli mikologi dalam inisiasi dan proses pematangan tubuh buah pada banyak spesies makrofungi (Kaul 1997).
35 Pertumbuhan batang atau pembentukan spora sangat dipengaruhi oleh cahaya
matahari. Menurut hasil uji korelasi Pearson antara intensitas cahaya dan jumlah tubuh buah sebesar -0,883 (Lampiran 11). Korelasi bersifat sangat kuat karena >0,5 dan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Korelasi bernilai negatif yang menandakan semakin besar intensitas cahaya semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam kisaran intensitas cahaya di atas. Hasil ini sesuai dengan Asnah (2010) dan Tampubolon (2010) bahwa intensitas cahaya berkorelasi negatif dengan jumlah tubuh buah jamur makroskopis yang ditelitinya. Stott & Mohammed (2004) menyebutkan bahwa intensitas cahaya matahari dimungkinkan menjadi pemicu kondisi terproduksinya tubuh buah M. esculenta. Kelembaban tanah
pada lokasi morel pada skala rata-rata 3,46+0,79
dengan kisaran antara 1,50–4,50 (kering sampai sedang). Sedangkan kelembaban tanah pada lokasi pembanding pada skala rata-rata 3,69+0,56 dengan kisaran 3,00–4,50 (sedang). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tubuh buah morel atau pun jamur makroskopis lain yang ditemukan, membutuhkan tanah lapisan atas sebagai subtratnya dengan kondisi kelembaban cukup kering sampai sedang. Hasil uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi sama dalam tingkat kelembaban tanah. Uji korelasi Pearson juga menghasilkan tidak ada korelasi nyata antara kelembaban tanah dengan jumlah tubuh buah morel. Hal ini berbeda dengan studi yang dikerjakan Singh et al. (2004) atau Mihail et al. (2007), bahwa kelembaban tanah merupakan faktor penting nyata berpengaruh terhadap tumbuhnya tubuh buah sama halnya dengan kelembaban udara di lantai hutan. M. esculenta membutuhkan kelembaban tanah yang cukup sekitar 68- 72,8% (sedang sampai basah) untuk pertumbuhan tubuh buahnya sedangkan M. hybrida membutuhkan paling tidak kelembaban tanah sekitar 86% (basah). Perbedaan spesies dan lokasi dan ketelitian alat (alat pengukur kelembaban manual) diduga menyebabkan perbedaan hasil. Faktor-faktor fisiografis yang
terkait dengan tempat tumbuh adalah
ketinggian tempat, kemiringan dan arah lereng (aspect). Morel Rinjani ditemukan pada ketinggian tempat berkisar antara 1572–1609m dpl (Gambar 13). Menurut pengamatan sebelumnya morel Rinjani tidak pernah ditemukan pada lokasi di
36
bawah atau di atas lokasi pengamatan tersebut (Rianto et al. 2011). Lokasi lain yang dipilih sebagai pembanding komponen habitat morel merupakan lokasi yang berada pada ketinggian antara 1676–1846m dpl. Lokasi tersebut merupakan habitat makrofungi spesies lain seperti Coltricia cinnamomea, Coprinus sp2 dan Clavaria vermicularis (Lampiran 12). Spesies-spesies lain yang juga ditemukan seperti Coltricia perennis, Marasmius sp2, Inocybe sp, Hygrocybe miniata, Hygrocybe sp, Clavulinopsis fusiformis, Coprinus sp, tetapi frekuensi dan jumlahnya tidak sebanyak 3 spesies yang disebut sebelumnya. Sehingga penempatan plot dipilih pada lokasi ditemukannya tubuh buah Coltricia cinnamomea, Coprinus sp2 dan Clavaria vermicularis. Semua spesies tersebut adalah jamur tanah kecuali Coltricia perennis yang tumbuh di kayu/ranting lapuk. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson sebesar –0,754 antara ketinggian tempat dengan jumlah tubuh buah morel menunjukkan bahwa korelasi bersifat kuat dan nyata pada taraf kepercayaan 99% (Lampiran 11). Korelasi bernilai negatif yang berarti semakin tinggi ketinggian tempat semakin sedikit jumlah tubuh buah yang tumbuh, dalam kisaran ketinggian tempat.
Tabel 5 Variabel kemiringan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Arah Lereng 0-90⁰
Frekuensi Lokasi Morel Pembanding 8 17
Persentase Lokasi Morel Pembanding 57,14 80,95
Junlah Individu Lokasi Morel Pembanding 41 158
90-180⁰
3
1
21,43
4,76
11
18
180-270⁰ 270-360⁰
0 3
0 3
0 21,43
0 14,29
0 17
0 35
14
21
69
211
Kemiringan 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45%
Frekuensi Lokasi Morel Pembanding 1 0 3 3 5 2
2 7 8 4
14
21
Persentase Lokasi Morel Pembanding 7,14 0 21,43 21,43 35,71 14,28
9,52 33,33 38,09 19,05
Junlah Individu Lokasi Morel Pembanding 4 0 18 13 25 9
9 79 79 44
69
211
37
Variasi kemiringan dan arah lereng tidak jauh berbeda antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi pembanding. Variasi kemiringan lokasi ditemukannya morel antara 7,94–54,00% dan antara 8,06–50,32% pada lokasi pembanding. Arah lereng antara 4,00–360,00o pada lokasi morel dan 0,00– 340,50o pada lokasi pembanding. Menurut hasil uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kedua lokasi tidak berbeda nyata baik kemiringan dan arah lereng. Jika melihat prosentasinya (Tabel 5) sebagian besar morel (57,14%) maupun jamur makroskopis lain (80,95%) ditemukan pada arah lereng 0-90o atau berada pada arah Utara-Timur, searah dengan arah matahari terbit. Pada faktor kemiringan, tubuh buah morel Rinjani ditemukan merata pada semua rentang kemiringan sedangkan jamur makroskopis lain pada lokasi pembanding ditemukan lebih banyak pada kemiringan agak curam sampai curam (15–25% dan 25–45%).
Gambar 13 Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat.
Hal tersebut seperti hasil yang dikerjakan Yang (2004) dalam penelitiannya tentang distribusi Tricholoma matsutake di China dikaitkan dengan faktor lingkungan, bahwa T. matsutake di alam lebih banyak ditemukan lebih
38
banyak pada arah lereng utara dan kemiringan 11–20%. Lebih lanjut disebutkan bahwa faktor fisiografis seperti ketinggian tempat, kemiringan dan aspect mempengaruhi distribusi jamur makroskopis secara tidak langsung yaitu dalam mempengaruhi iklim mikro. Akan tetapi, belum ada laporan studi yang membuktikan bahwa tubuh buah morel berkaitan secara nyata terhadap faktor fisiografis.
Tabel 6 Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata dan M. esculenta/M. hybrida No
Variabel
1
Tekstur tanah
2
Kadar C tanah (%)
3
Kadar N tanah (%)
4
Kadar P tanah (ppm) Kadar Ca (me/100g)
5 6
pH tanah
Morel Rinjani
M. elata
Berlempung halus
M. esculenta/ M. hybrida Lempung berpasir 3,2-7,9 (tinggi-sangat tinggi) 0,2-0,4 (sedang)
Lempung 2,2-11 (sedang- 6,30-8,81 (sangat sangat tinggi) tinggi) 0,54-0,70 (tinggi) 0,11-0,5 (rendah- sedang) 9,2-15,9 ppm (rendah) 5 ppm (rendah) 0,2-0,9% (rendah) 9,77-10,97 (me/100g) (sedang) 7 (netral)
7,8-23 (me/100g) (sedang-sangat tinggi) 5,4-6 (asam)
2,0-6,4 ppm (sedang) 5,8-7,0 (asam-netral)
Hasil pengamatan variabel tanah disajikan dalam Tabel 4. Lokasi
ditemukannya morel merupakan lokasi dengan kadar C/N, P dan Ca yang lebih rendah daripada lokasi pembanding. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lokasi morel lebih rendah daripada lokasi pembanding. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penelitian sejenis (Tabel 6) (Singh et al. 2004, Barness & Wilson 1998) kandungan hara pada lokasi habitat morel sudah termasuk tinggi, atau memang morel tidak membutuhkan kadar hara yang terlalu tinggi seperti pada lokasi bukan habitat morel. Singh et al. (2004) juga membandingkan kandungan hara lain pada lokasi lain, bahwa lokasi habitat morel memiliki kandungan hara lebih tinggi dari pada lokasi yang bukan habitat morel. Akan tetapi kandungan hara M. esculenta/M. hybrida pada penelitian Sigh tersebut jika dibandingkan dengan kandungan hara tanah tempat tumbuh tubuh buah morel Rinjani lebih rendah untuk kadar C, N, P, maupun kadar Ca. Artinya morel Rinjani membutuhkan hara makro yang lebih tinggi dibandingkan M. esculenta/M. hybrida berdasar penelitian Singh et al. (2004) tersebut. Dalam
39
penelitian lain M. elata menunjukkan variasi kebutuhan hara makro yang lebih lebar dalam pertumbuhan tubuh buahnya (Tabel 6)(Barness & Wilson 1998). Pilz et al. (2007) menyebutkan bahwa kandungan hara merupakan kondisi yang memudahkan peristiwa berbuah morel secara masal. Kandungan hara makro dan mikro yang cukup dimungkinkan menjadi faktor penentu induksi berbuah morel. Akan tetapi seberapa optimum kadar hara dalam tanah terutama yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tubuh buah morel belum ada penelitian yang membuktikan. Menurut beberapa studi morel di habitat alam, morel tumbuh pada tanah dengan porositas dan aerasi yang cukup tinggi atau adanya kandungan fraksi pasir yang cukup dominan (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Dalam penelitian ini dibuktikan dengan adanya kandungan pasir dan debu (37,83% dan 40,11%) lebih banyak dibandingkan dengan fraksi liat 22,06%. Dalam penelitian lain tubuh buah M. esculenta dan M. angusticeps tumbuh pada tanah dengan fraksi pasir yang lebih banyak dari pada fraksi liat dan debu (Singh et al. 2004) Nilai pH tanah pada lokasi habitat morel dan lokasi bukan habitat morel menunjukkan hasil sama sebesar 7 (netral). pH tanah membatasi sebaran morel dalam pertumbuhan tubuh buahnya. Banyak penelitian melaporkan kisaran pH tanah dalam habitat morel di alam antara 5–7 atau morel tumbuh dalam tanah yang bersifat asam sampai netral (Barness & Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004). Laporan studi yang melaporkan morel dapat tumbuh pada pH yang bersifat basa sangat sedikit. Berdasarkan Tabel 6, tubuh buah M. esculenta/M. hybrida tumbuh pada pH tanah dengan pH bersifat asam-netral, sedangkan M. elata ditemukan pada pH lebih asam. Kemampuan tubuh buah morel bertoleransi terhadap pH tanah bersifat spesifik tergantung lokasi dan spesies (Pilz et al. 2007). Faktor-faktor lingkungan tidak serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel. Faktor-faktor lingkungan secara simultan membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain (Odum 1993). Untuk masalah ini akan dibahas dalam analisis multivariat bahasan selanjutnya.
40
5.2 Faktor Vegetasi
Analisis vegetasi dikerjakan pada lokasi ditemukannya morel Rinjani dan lokasi lain ditemukannya jamur-jamur dengan musim produksi tubuh buah yang sama dengan morel Rinjani. Analisis vegetasi dikerjakan pada pohon berdiameter >10 cm untuk melihat spesies-spesies pohon yang berperan terhadap faktor-faktor tempat tumbuh. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh dilokasi ditemukannya morel Rinjani dan 18 spesies pohon yang tumbuh di lokasi tidak ditemukan morel Rinjani. Pohon yang tumbuh di habitat morel Rinjani 19 spesies, 5 spesies diantaranya merupakan pohon dengan INP lebih dari 15%. Pada lokasi tidak ditemukan morel Rinjani dari 18 spesies tersebut, 7 spesies pohon mempunyai INP lebih dari 15%. Menurut Sutisna (1981) suatu spesies pohon dapat dikatakan berperan jika mempunyai INP lebih dari 15%.
Tabel 7 Analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No
Spesies
Lokasi Plot
INP (%) LM LBM 64,09 52,00
LM √
LBM √
Syzygium polyanthum (jukut)
√
√
49,56
37,17
Engelhardia spicata (bak-bakan) Weinmannia sp. (sarangan) Uropyhllum macrophyllum (kasol) Piper sp. (saes) Glochidion sericum (nyam)
–
–
√ √ √ √
√ √ – √ –
35,76 30,76 23,57 13,87
36,74 18,29 14,42 36,31 –
8 9
Ardisia sp. (niar) Bischoffia javanica (prabu)
√ –
√ √
11,51 –
23,70 21,84
10 11
Myrica javanica (kesambik) Dilenia sp. (dilenia)
√ √
–
–
√
10,61 8,58
6,93
12 13
Melastoma decempidum (lencing) Rapanea hasselttii (durenan)
√ √
√ √
8,09 8,01
12,50 14,86
14 15
Chionanthus oliganthus (reke) Adinandra javanica (kesambian)
√ √
– –
7,19 7,19
– –
16 17
Ardisia sp2. (lempeni) Chisocheton sp (ombar)
– √
√ –
18
Astronia papetaria (kunyitan)
√
–
1
Anomianthus auritus (klak)
2 3 4 5 6 7
– 4,12
4,17 –
3,99
–
41
Tabel 7 Lanjutan No 19
Spesies Syzygium sp. (jambuan) Mollatus sp (temek) Adinandra javanica (kesambian)
Lokasi Plot LM LBM – √
INP (%) LM LBM – 3,75
22 23 24
Gomphandra sp. (tangonan) Ardisia sp3. (uing)
– – – –
Ficus sp. (ara)
√
25
Mallotus moluccanus (seropan)
√
26 27
Neonauclea sp. (arisan) Neonauclea sp. (poan)
√
– –
–
√
3,25 –
√
–
3,09
20 21
28 Arthrophllum javanicum (dangaran) Keterangan : LM = Lokasi ditemukan morel LBM = Lokasi tidak ditemukan morel
√ √ √ √ –
– – – –
3,70 3,46 3,46 3,46
– – –
3,44 3,34
3,22
–
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP yang sama besar pada kedua lokasi (Tabel 3 dan Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa faktor tempat tumbuh morel atau ketiga jamur lain yang diamati sebagian besar dipengaruhi spesies-spesies tersebut yang merupakan pohon penyusun dominan. Secara keseluruhan komposisi spesies pohon penyusun yang ada di lokasi morel Rinjani hampir sama dengan lokasi pembanding. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa ada spesies-spesies pohon dengan INP besar yang ditemukan pada lokasi morel Rinjani tetapi tidak ditemukan pada lokasi pembanding dan sebaliknya. Spesies Glochidion sericum tidak ditemukan pada lokasi pembanding, juga Engelhardia spicata dan Bischoffia javanica tidak ditemukan pada lokasi morel Rinjani. Hasil perhitungan Indeks Shannon-Wiener (Lampiran 3 dan Lampiran 4) juga menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu H’= 2,46 pada lokasi morel Rinjani dan H’= 2,52 pada lokasi pembanding. Uji t statistik Indeks Shannon- Wiener (Lampiran 5) dikerjakan untuk membuktikan apakah nilai tersebut sama atau tidak. Hasil uji t statistik indeks Shannon menunjukkan bahwa t hitung lebih kecil dari pada t tabel. Dari hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dengan lokasi
42
pembanding. Dengan kata lain tidak ada tingkat perbedaan keanearagaman spesies pohon antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi tidak ditemukan morel. Berdasarkan perhitungan indeks kesamaan Morisita-Horn (Lampiran 6) didapatkan nilai sebesar 83,40% atau tingkat kesamaan komunitas antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding cukup besar. Berdasarkan uji korelasi Pearson (Lampiran 11), kerapatan pohon berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tubuh buah morel Rinjani (taraf kepercayaaan 99%). Hal ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa jumlah tubuh morel berkorelasi terhadap suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh kerapatan pohon.
5.3 Faktor Dominan Komponen Ekologi
Hasil pengujian normalitas (Lampiran 7) menunjukkan bahwa nilai Skewness-Kurtosis masih berada diantara -2 dan +2. Berdasarkan histogram distribusi data terlihat sebaran data mempunyai kurva yang dapat dianggap berbentuk lonceng atau data berdistribusi normal. Deteksi normalitas berdasarkan terlihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model regresi memenuhi asumsi normalitas. Hasil analisis regresi berganda menggunakan metode Enter (Lampiran 9) menunjukkan nilai VIF semua variabel lebih besar dari 1 dan di bawah nilai 10. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi kolinearitas di antara variabel- variabel yang diujikan . Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel, hanya variabel intensitas cahaya matahari yang berpengaruh secara nyata terhadap jumlah tubuh buah morel yang ditemukan. Dengan nilai F hitung sebesar 14,652 dan nilai p=0,000 (lebih kecil dari taraf nyata 0,05), variabel intensitas cahaya berpengaruh pada jumlah individu morel pada taraf kepercayaan 95%. Output analisis regresi linear berganda dengan metode Stepwise menghasilkan output yang sama (Lampiran 9 dan Lampiran 10). Berdasarkan hasil tersebut persamaan regresi yang didapatkan sebagai berikut :
43 Model tersebut hanya berlaku pada kisaran data yang ada, yaitu intensitas
cahaya pada kisaran 490,00-620,00 lux. Berdasarkan nilai galat kuadrat jumlah yang lebih kecil dari pada standar deviasi variabel intensitas cahaya matahari dan nilai R sebesar 0,890 maka dapat dikatakan bahwa model regresi ini cukup bagus dalam memprediksi jumlah individu morel atau sekitar 89,0% jumlah tubuh buah morel yang ditemukan dapat ditentukan oleh intensitas cahaya, sedangkan sisanya 21,0% ditentukan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Namun variabel-variabel lain meskipun tidak terbukti nyata dalam menentukan jumlah tubuh buah morel yang ditemukan, pada penelitian ini, variabel-variabel lain tersebut tetap mempunyai pengaruh. Variabel-variabel lingkungan di habitat alam dapat secara sendiri atau secara simultan mempengaruhi suatu spesies (Odum 1993). Koefisien korelasi negatif menandakan bahwa semakin besar intensitas cahaya matahari yang diterima lantai hutan semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam batasan intensitas cahaya. Koefisien regresi 0,014 di atas menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan intensitas cahaya akan menurunkan jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh sebesar 0,014.
5.4 Kondisi Morel Rinjani
Awal produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun 2012 ini berdasarkan pengamatan lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini tubuh buah dijumpai pada minggu ketiga bulan Maret sedangkan pada tahun sebelumnya baru dapat dijumpai pada Minggu kedua bulan April (Rianto et al. 2011) dengan masa hidup tubuh buah antara 15-20 hari (Gambar 14). Kejadian ini dapat dimungkinkan oleh fenomena curah hujan yang berbeda tiap tahunnya yang menyebabkan perbedaan awal munculnya tubuh buah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun makrofungi lain (Geho 2007, Gates 2009, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran curah hujan penting dalam mempengaruhi iklim mikro suatu tempat terutama kadar air dalam tanah dan udara yang penting dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah morel. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa hidup tubuh buah morel Rinjani antara 15–20 hari. Perhitungan ini berdasarkan pada penemuan primordia
44
morel ukuran 2,5cm (tanggal 5 April) sampai diamati dalam keadaan mengering (tanggal 26 April). Tidak semua primordia yang diamati tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Masa hidup morel dapat berbeda-beda tergantung lokasi dan spesies. M. esculenta dan M. deliciosa di wilayah dengan iklim empat musim memiliki masa hidup tubuh buah 16–21 hari (Pilz et al. 2007). Black morel memiliki masa hidup tubuh buah sekitar 21 hari (Geho 2007). Barnes & Wilson (1998) menyatakan secara umum morel memiliki fase makroskopis/tubuh buah antara 22–27 hari.
(a) 05/04/2012 (b) 26/04/2012 (c) 16/04/2012
Gambar 14 Fase hidup tubuh buah morel Rinjani.
Pengukuran morfologi dilakukan pada tubuh buah morel stadium muda dan dewasa pada masing-masing plot ditemukannya morel. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut ditambahkan deskripsi yang telah dikerjakan sebelumnya (Rianto et al. 2011), sebagai berikut : Tubuh buah : Berbentuk khas morel kerucut yang memanjang (conical), seperti spons yang bertangkai. Ukuran pada primordia <2,5cm x <1cm x <1cm. Ukuran pada tubuh buah dewasa 4,4–8,8cm x 1,5–4,9cm x 2–4cm. Tubuh buah berongga ketika dibelah (Gambar 15). Tudung : Ukuran 4-6cm x 2-4cm x 2-4cm. Warna tudung primordia berwarna abu-abu, tubuh buah dewasa berwarna lebih putih. Batang : Berbentuk seperti pentung (club-shaped), membesar di bagian pangkal. Ukuran 2–4cm x 1–2cm x 1–2cm. Warna kuning cerah pada primordia,
45
warna lebih putih pada tubuh buah dewasa. Warna semakin kuning pucat atau coklat tua pada tudung dan batang pada tubuh buah yang sudah tua.
Berdasarkan morfologi ini menurut Rianto et al. (2011) morel Rinjani lebih merujuk pada M. deliciosa yang termasuk kelompok morel putih (white morel). Akan tetapi, penamaan bisa saja salah karena M. deliciosa diidentifikasi tumbuh di wilayah beriklim sedang/subtropis. Menurut banyak ahli mikologi penamaan yang tepat untuk spesies jamur adalah dengan uji spora atau DNA.
Gambar 15 Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani.
5.5 Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia
Morel merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomi tinggi dan sangat
enak untuk dikonsumsi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Morel telah menjadi komoditas yang mahal untuk ukuran bahan makanan di negara-negara barat. Pengambilan morel di alam telah mendatangkan penghasilan yang cukup nyata bagi masyarakat sekitar hutan sedangkan produksi secara budidaya belum bisa dikerjakan dalam skala besar. Morel juga dikategorikan sebagai jamur yang paling dicari oleh para mushroomer (sebutan bagi penggemar mushroom) ketika berburu jamur di hutan di negara-negara barat. Pengambilan sumberdaya jamur di kawasan TNGR oleh masyarakat sekitar dilakukan bersama hasil hasil hutan lainnya seperti pakis, rumput atau buah-buahan hutan. Akan tetapi pengambilan tersebut hanya pada ketinggian bawah dan hanya spesies jamur yang umum diketahui dan diperjualbelikan di
46
pasar lokal seperti jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur kuping (Auricularia auricula) jamur kuping putih (Tremella fusiformis) dan jamur rayap (Termytomyces spp,ada 3 spesies jamur rayap di TNGR). Keberadaan morel hanya diketahui oleh pengunjung pendaki terutama wisatawan mancanegara sehingga ancaman bagi morel Rinjani adalah pengunjung baik karena pengambilan atau ketidaksengajaan terinjak secara fisik mengingat lokasi tumbuhnya berada di kanan kiri jalur pendakian Senaru dan sangat dekat dengan pos peristirahatan yang biasa dipergunakan untuk bermalam. Gambar 16 memperlihatkan morel Rinjani yang tumbuh di jalur pendakian, visibel untuk diambil dan rentan untuk terinjak secara fisik. Lokasi tumbuh ini tidak banyak bergeser tiap tahun musim tumbuhnya.
Gambar 16 Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian.
5.6 Strategi Konservasi Morel Rinjani
Berdasarkan faktor ekologi hasil penelitian dapat dirancang strategi konservasi morel Rinjani sebagai berikut :
47
5.6.1 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu
Perbanyakan secara insitu mengacu pada PP No. 7 tahun 1999 pasal 8 ayat
1 sebagai bagian upaya penyelamatan spesies di dalam habitatnya. Perbanyakan morel Rinjani secara insitu dikerjakan pada lokasi-lokasi yang mempunyai karakter ekologi yang sama dengan lokasi ditemukannya morel Rinjani. Perbanyakan dikerjakan dengan alasan eksistensi spesises morel karena potensi nilai ekonomi dan lokasi habitatnya yang sekarang merupakan jalur intensif pendakian. Perbanyakan dapat dikerjakan dengan mengambil sclerotium untuk ditanam ditempat lain baik agar menghasilkan tubuh buah. Syarat-syarat ekologi disesuaikan dengan hasil penelitian. Berdasarkan ketinggian tempat, perbanyakan morel insitu dapat dikerjakan pada lokasi yang mempunyai ketinggian tempat antara 1572–1609m dpl sesuai hasil penelitian. Gambar 17 menunjukkan lokasi- lokasi dengan ketinggian tempat antara 1500–1650m dpl baik di kawasan TNGR maupun kawasan hutan lain. Lokasi yang memungkinkan adalah di bagian utara, barat dan selatan G. Rinjani seperti Gambar 17 karena karakter iklim lokasi-lokasi tersebut sama dengan lokasi morel saat ini. Penentuan lokasi yang tepat dan mudah untuk diakses dilakukan dengan cek lapangan.
Gambar 17 Rencana perbanyakan morel insitu.
48
Perbanyakan morel secara insitu merupakan cara tepat dan cepat penyelamatan spesies morel mengingat persen keberhasilan budidaya di laboratorium/ lingkungan terkontrol sangat kecil dibandingkan trial error perbanyakan tubuh buah morel di habitat aslinya. Isolat morel pada banyak percobaan berhasil didapatkan hanya tingkat keberhasilannya menjadi tubuh buah tidak seperti isolat-isolat jamur edible lain. Oleh karena itu perdagangan morel sampai saat ini masih mengandalkan pengambilan dari alam. Keberhasilan insitu dapat dimungkinkan ketika 3 faktor utama petumbuhan morel diketahui yaitu prakondisi, pemicu inisiasi dan pendukung pertumbuhan tubuh buah (Pilz et al. 2007). Penelitian ini hanya menjawab faktor pertama yaitu kondisi yang memungkinkan morel tumbuh pada lokasinya saat ini, karena secara statistik memiliki karakteristik yang berbeda terutama faktor fisik. Penelitian ini hanya sedikit menjawab faktor kedua, bahwa pemicu inisiasi morel Rinjani karena menurunnya curah hujan, suhu dan kelembaban di lantai hutan. Seberapa besar penurununan belum dapat dijawab karena berdasarkan multivariat suhu dan kelembaban tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tubuh buah morel. Hal ini diduga karena jumlah data yang kurang karena keterbatasan waktu dan biaya, untuk pendekatan populasi yang sebenarnya. Hal ini dapat diatasi dengan monitoring secara berkala termasuk dengan memasukkan variabel curah hujan yang sampai di lantai hutan. Faktor yang ketiga berupa kondisi yang terus- menerus mendukung pertumbuhan morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan juga dapat diidentifikasi berdasarkan monitoring berkala tersebut.
5.6.2 Monitoring Populasi
Monitoring populasi dikerjakan untuk melihat produktivitas morel.
Monitoring populasi dikerjakan untuk menumpulkan data seri/ time series untuk memantau kecenderungan populasi dan kelimpahan morel. Monitoring dapat dikerjakan selama 5 tahun untuk menilai bagaimana produktivitasnya, untuk dibandingkan dengan spesies morel lain bagaimana potensi pemanfaatan langsung. Monitoring dapat dikerjakan dengan membuat plot permanen pada lokasi tempat tumbuh morel. Kecenderungan populasi dan kelimpahan morel (dengan dukungan bukti statistik) akan penting bagi pengelolaan morel lebih
49 lanjut. Informasi monitoring sangat dibutuhkan dalam budidaya eksitu untuk
tujuan komersil.
5.6.3 Pengawasan Pengunjung
Monitoring pengunjung juga perlu dilakukan baik morel atau sumberdaya
lain. Pada kenyataannya pengambilan langsung sumberdaya seperti pakis, jamur, tanaman hias atau sumberdaya lain dari kawasan masih sering terjadi dan terus menerus karena masih tingginya ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan. Secara teori, pihak pengelola seharusnya tidak mengijinkan segala sumberdaya keluar dari kawasan dalam bentuk dan tujuan apapun sesuai amanat Undang-undang No.5 Tahun 1990 pasal 21. Pemanfaatan seharusnya bersifat tidak langsung. Akan tetapi karena praktek-praktek ini telah ada bahkan sebelum dibentuk taman nasional, pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah. Pengelolaan sebaiknya dilakukan dengan meregulasi cara-cara pemanenan dan mengusahakan teknik pembudidayakan yang dapat diaplikasikan ke masayarakat lokal. Identifikasi masyarakat lokal yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya kawasan termasuk jamur perlu dilakukan sebagai bagian dari pengaturan pemanenan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengatur eksistensi sumberdaya dan keberlajutan pemanfaatan di masa mendatang serta meminimalisir pihak-pihak lain yang akan mengambil kesempatan di luar masyarakat lokal. Monitoring pengunjung juga dilakukan dalam rangka pengamanan dan perlindungan sumberdaya secara umum. Pengecekan terhadap barang-barang bawaan pengunjung ketika keluar masuk kawasan seharusnya dikerjakan untuk meminimalisir pengambilan langsung sumberdaya. Hal yang ditakutkan adalah pencurian sumberdaya oleh peneliti asing tanpa ijin khusus penelitian. Karena dengan semakin canggihnya teknologi sampel plasma nutfah mungkin hanya akan sebesar kotak korek api bahkan lebih kecil.
5.6.3 Budidaya Eksitu
Budidaya eksitu menjadi tujuan konservasi morel jangka panjang
mengingat keberhasilan budidaya morel dalam lingkungan terkontrol sangat kecil. Teknik budidaya eksitu morel telah lama dikerjakan di negara-negara barat. Akan
50
tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Budidaya eksitu belum dapat diproduksi dalam skala besar mengingat biaya produksi dan persen keberhasilan pertumbuhan morel. Produktivitas morel di alam juga masih melimpah meskipun musimnya tergolong sempit hanya beberapa waktu/ bulan sehingga masyarakat di India atau Amerika Utara atau belahan bumi lain lebih menyukai pengambilan langsung dari alam (Pilz et al. 2007). Budidaya eksitu morel rinjani dapat dikerjakan ketika data dasar tersebut telah ada. Budidaya eksitu selain untuk tujuan eksistensi spesies morel Rinjani, juga demi tujuan yang lebih besar yaitu mengurangi ketergantungan langsung masyarakat terhadap sumberdaya hutan baik jamur maupun sumberdaya lain. Teknik budidaya yang aplikatif bagi masyarakat dapat dirumuskan kemudian.