V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU) 1. Hirarki Perkotaan di KBU Akibat kedekatannya dengan Kota Bandung yang berdasarkan Pola Dasar Pengembangan Jawa Barat dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat 2010 ditetapkan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan Utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala nasional, maka KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah. Sebagai bagian dari pusat satuan wilayah pengembangan (SWP) Bandung, maka secara lokal, wilayah KBU tersusun atas kota-kota dengan hirarki yang berorientasi pada hirarki tertinggi (orde pertama) yakni Kota Bandung, dengan hirarki yang lebih rendah yakni sebagai pusat pelayanan skala lokal. Meskipun dalam arahan kebijakan Pemerintah Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 bahwa penentuan pusat pertumbuhan wilayah ini selain didasarkan pada kecenderungan kegiatan sosial ekonomi, juga mempertimbangkan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan tersebut, namun Kota Bandung sebagai kota orde pertama memiliki pengaruh seluas SWP, sehingga tidak terhindarkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU. Sebenarnya hal ini telah disadari oleh perencana Kota Bandung sejak Zaman kolonial Hindia Belanda, sehingga Kota Bandung yang lahir pada tahun 1906 pada masa Pemerintah Hindia Belanda bukan dibangun sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi dirancang sebagai tempat permukiman dan peristirahatan (buitenzorg) kaum kolonial dengan menggunakan konsep “Garden City”. Konsep ini pertama kali diformulasikan oleh Ebenezer Howard yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Konsep “Garden City” tersebut memiliki karakteristik utama (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998b, hal. I-2) yaitu kontrol terhadap seluruh pemilikan lahan, desain yang seksama terhadap keseluruhan
98
kota dan tersedianya lahan-lahan pertanian permanen di sekeliling kota sebagai penyangga (green belt). Berdasarkan kosep “garden city” ini, maka keberadaan lahan pertanian yang ada di KBU semestinya mendapat dukungan dari berbagai lembaga, guna keberlanjutan Kota Bandung itu sendiri. Akan tetapi dengan perkembangan kebijaksanaan seperti di atas dan perkembangan penduduk berdampak pada pertumbuhan kota sejak berdirinya. Menurut BAPPEDA Tk I Provinsi Jawa Barat (1998b, hal. I-4), Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan wilayah dan terakhir kali diperluas pada tahun 1987 melalui Peraturan Pemerintah Propinsi Jawa Barat No. 16/1987 menjadi 17.000 ha. Selanjutnya dikatakan bahwa kecenderungan yang terjadi di KBU pada mulanya diawali oleh pembangunan hotelrestoran Bumi Sangkuriang serta perluasan lingkungan kampus ITB yang diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala besar serta fasilitas perkotaan lainnya yang berlangsung dengan cepat sehingga sukar dikendalikan. Wilayah Kota Bandung yang termasuk KBU telah tumbuh menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Di pihak lain Pemerintah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi (setelah pisah dari Kabupaten Bandung), juga memberlakukan wilayahnya di KBU sebagai pusat-pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan hal itu, maka pertimbangan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan sebagai kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Barat diindikasikan telah diabaikan. Berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, atas dasar simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatannya, telah di wilayah KBU telah ditetapkan pusat-pusat pertumbuhan berikut (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a, hal. IV-17): 1. Berdasarkan RUTR Kota Bandung, pusat sekunder di wilayah yang termasuk KBU, ditetapkan (1) Kelurahan Sarijadi (Kecamatan Sukasari) dan (2) Kelurahan Sadangserang (Kecamatan Coblong) 2. Berdasarkan RUTRD Kabupaten Bandung (sebelum dipecah menjadi Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat), telah ditetapkan orde sistem kota-kota yang termasuk KBU berikut:
99
- Orde I - 0 yang dirancang memiliki kemiripan dengan kota Bandung, untuk Kecamatan Cimahi Tengah, Cimahi Utara, Parongpong dan Kecamatan Cileunyi. - Orde II - B, meliputi Kecamatan Padalarang - Orde III - A, meliputi Kecamatan Lembang - Orde III – B, meliputi kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Ngamprah. Secara lebih rinci terkait dengan skala pelayanan dan fungsi kota dari masingmasing tingkat hirarki kota tersebut dapat dilihat pada Tabel 25 dan hirarki kota-kota yang ada di KBU, dapat digambarkan secara skematis seperti pada Gambar 17. Tabel 25. Hirarki Struktur Kota Kabupaten Bandung Di Wilayah KBU Berdasarkan RUTR Kab. Bandung Hirarki Kota Orde I-0
Orde II-B
Orde III-A
Orde III-B
Fungsi Kota Keterangan A B C D Lokal Cileunyi * * * * Limpahan peralihan sebagian Kota Bandung Kecamatan Parongpong * * Cimahi * * Utara Lokal Cimahi * * Tengah Lokal Padalarang * * * * Membantu pelayanan Kota Soreang (Ibu Kota Kab. Bandung) Lokal Lembang * * + * Kota yang diprioritaskan pertumbuhannya berkembang pesat, sehingga dapat berfungsi sebagai “Vounter Magnet” Lokal Cikalong * * + * Pusat pelayanan Wetan Cisarua * * + * Ngamprah * * * Skala pelayanan
Nama Kota
Keterangan: A: Pusat pelayahan wilayah belakang (hinterland service) B: Pusat komunikasi antar wilayah (inter regional communication) C: Pusat kegiatan industri (good processing/manufacturing) Untuk Kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Lembang dikembangkan “agroindstri” dan “home industry” penunjang parawisata D: Pusat permukiman (residental subcentre) E: Ibu Kota Kab. Pembantu *: Peningkatan fungsi yang sudah ada +: Pengembangan fungsi baru Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a
100
III-A III-B
I-0
III-B III-B
Lembang Cisarua Parongpong Ngamprah Cikalong Wetan II-B
Padalarang
I-0
Cimahi
I
Kota Bandung
I-0
Cileunyi
Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a
Gambar 17. Hirarki kota-kota yang ada di KBU Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung (1993) dan Kab. Bandung (1992) Namun Bappeda Tk I Provinsi Jawa Barat (1998a) memandang pusat-pusat kota tersebut perlu penyesuaian lagi, terutama terhadap kota-kota yang difungsikan sebagai kawasan konservasi (kawasan lindung) agar perkembanganya tidak semakin meluas dan mengganggu fungsi lindung KBU. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, kemudian Bappeda Tk I Propinsi Jawa Barat pada tahun 1998 menetapkan struktur tata ruang KBU yang dibentuk berdasarkan simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatan yang ada, yang secara skematis terlihat seperti pada Gambar 18. Ada beberapa alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam menetapkan hirarki kota-kota di KBU, seperti disajikan pada tabel berikut:
101
Tabel 26. Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki Kota-Kota di KBU No. (1)
Kota Kecamatan (2)
Penetapan Hirarki Kota (3)
Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (4)
1.
Kota Kecamatan Padalarang
Peningkatan dari kota orde II-B menjadi orde I-0
Tingginya investasi di sektor perumahan dan adanya keinginan pemerintah untuk menjadikan Kota Padalarang sebagai daerah perkotaan dengan otonomi sendiri, maka diperkirakan akan berkembang pesat. Untuk itu Kota Padalarang ini ditetapkan sebagai kota penyangga yang mempunyai kemiripan dengan Kota Bandung.
2.
Kota Kecamatan Cikalong Wetan
Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde III-A
Mempunyai kecenderungan untuk berkembang akibat adanya kegiatan perkebunan dan adanya akses Padalarang – Purwakarta, sehingga untuk mengantisipasi perkembangan kegiatan perkotaan di Kota Kecamatan Cikalong Wetan tanpa membahayakan fungsi kawasan konservasi yang ada.
3.
Kota Kecamatan Cisarua
Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde II-B
Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup pesat sebagai akibat adanya pembangunan permukiman oleh para developer dan berfungsi sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian bagi daerah sekitarnya dan sebagai pusat pelayanan beberapa kecamatan yang ada di sekitarnya dengan tingkat pertumbuhan sedang.
4.
Kota Kecamatan Parongpong
Penurunan dari orde kota I – 0 menjadi III – A
Semula ditetapkan sebagai penyangga yang memiliki kemiripan dengan Kota Bandung, namun untuk menghindari perkembangan kota meluas hingga ke kawasan konsevasi sehingga perlu diturunkan fungsinya hanya sebagai pusat pelayanan lokal dengan pertumbuhan cepat
5.
Kota Kecamatan Lembang
Peningkatan dari orde kota III-A menjadi II-B
Mengalami tingkat pertumbuhan yag cukup pesat dan berfungsi sebagai pusat pelayanan, yaitu sebagai pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian bagi kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, sehingga fungsinya perlu dinaikan menjadi pusar pelayanan kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, dengan tingkat pertumbuhan sedang.
102
Tabel 26 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
(4)
6.
Kota Kecamatan Cimenyan
Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B
Lokasinya berdekatan dengan kawasan lindung dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya mempunyai kegiatan utama di bidang pertanian, yaitu dalam melayani kegiatan yang mendukung pertanian dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang.
7.
Kota Kecamatan Cilengkrang
Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B
Wilayahnya berdekatan dengan Kecamatan Cileunyi dan Cibiru (Kota Bandung), dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya ada aktivitas pertanian yang dilayani, dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang dan perkembangannya dibatasi pada kegiatan yang mendukung pertanian
Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a
III-A III-A
III-B III-B
II-B III-B III-A Lembang Cisarua
Cimenyan
Parongpong Cilengkrang
Ngamprah Cikalong Wetan I-0
I
I-0
Cimahi Padalarang
Kota Bandung
I-0
Cileunyi
Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a
Gambar 18. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1998)
103
Perbedaan di atas, dapat juga dipandang sebagai bentuk perkembangan, dimana pada saat penyusunan RUTRD Kabupaten Bandung pada tahun 1992 dan RTRW Kota Bandung tahun 1993 masih teridentifikasi 9 pusat pertumbuhan, kemudian pada tahun 1998 saat menyusun Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara telah teridentifikasi 11 pusat pertumbuhan. Dengan telah ditetapkannya kebijakan tersebut, ditinjau dari penggunaan lahan berdampak pada perkembangan fisik wilayah KBU cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kompleks perumahan (real estate) dan berkembangnya sarana dan prasarana wisata. Menurut Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) perkembangan fisik tersebut ditunjang oleh adanya penguasaan tanah yang relatif mudah, pemandangan yang cukup indah, dan berbagai aspek lainnya yang mendorong berkembangnya KBU. Dilihat dari kegiatan perkotaan, wilayah perencanaan merupaan kawasan permukiman
dengan
kegiatan
penunjang
seperti
perdagangan,
pendidikan,
pemerintahan, jasa dan kegiatan lainnya. Menurut Sinulingga (2005), fasilitas pelayanan, jangkauan pelayanan, jumlah penduduk, infrastrutur dan jenis kegiatan ekonomi merupakan dasar dalam penetapan hirarki kota dalam satu SWP. Dalam perkembangannya, pusat-pusat pertumbuhan yang telah diidentifikasi pada tahun 1992 dan 1998 di atas, pada saat sekarang telah mengalami perkembangan yang berbeda kaitannya dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Pusat-pusat pelayanan yang ada di KBU pada saat sekarang dapat diuraikan sebagai berikut.
104
Tabel 27. Orde Kota di KBU Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Nama Kota
Kedudukan
(1) Lembang
(2) Pusat pelayanan sosial ekonomi, pemerintahan dan pelayanan umum
Kepadatan Jangkauan penduduk per Pelayahan ha (3) (4) Luas 11 jiwa mencakup Nasional
Fasilitas Pelayanan
Cimahi (Cimahi Tengah, Cimahi Utara)
Kota Bandung (Sukajadi,S ukasari, Cidadap, Coblong ,Cicendo)
Pusat pelayanan sosisalekonomi, ibu kota Kota Cimahi dan pusat pelayanan umum
Luas Cimahi mencakup Tengah: 166 nasional jiwa Cimahi Utara: 97 jiwa
Pelayanan subdistrik
Luas Sukajadi mencakup (193), nasional Sukasari (119), Cidadap (65), Coblong (108), Cicendo (166)
(5) Peguruan Tinggi: KOWAD, Sespim POLRI, SESKO-AU, DODIK Pusat Penelitian Pertanian; Pusat per-dagangan Hotel penunjang pariwisata Pusat perdagang-an; Rumah Sakit Umum (2) RS Jiwa (1) Pusat Pe-merintahan dan Per-kantoran Komplek militer dan pusat pendidikan militer Pusat per-dagangan PT: ITB, UNPAD, UPI, NHI, STT Telkom, Politeknik ITB, Politeknik Swiss, Univ. Maranatha, Rumah Sakit Umum (4 ) Rumah sakit spesial (3)
Hirarki Kota
Infra-struktur
Kegiatan
(6) Jaringan jalan kolektor primer (Subang – Bandung)
(7) Industri besar (15); industri sedang (2)
(8) Orde-II
Akses primer
Cimahi Teng: industri besar (16), idustri sedang (1) Cimahi Utara: Industri besar (36)
Orde-II
Akses primer
Orde-I
105
Tabel 27 (lanjutan) Kepadatan Jangkauan penduduk Pelayahan per ha (3) (4) Lokal Arcamanik (70) Cicadas (111) Ujung Berung (93) Lokal Cibiru (61) Cileunyi (95)
Nama Kota
Kedudukan
(1) Kota Bandung (Arcamanik , Cicadas dan Ujung Berung)
(2) Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan
Kota Bandung (Cibiru); Kab. Bandung (Cileunyi)
Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan
Kota Bandung (Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul) Kab. Bandung (Ngamprah dan Padalarang)
Pusat pelayanan Lokal umum dan pemerintah kecamatan
Ibu Kota Kab. Bandung Barat
Lokal
Fasilitas Pelayanan
Cibeu nying Kaler (154) Cileunyi (307)
Hirarki Kota
Infra-struktur
Kegiatan
(5) Pusat perdagang-an (2) RS Umum (1) Puskesmas (5) Terminal Bis Antar Kota dan Antar Prop Terminal Angkot
(6) Akses primer
(7) Arca-manik: idustri besar-sedang (16) Cica-das: Industri besar- sedang (3) Ujung Berung (23)
SMA (4) Pusat perdagang-an (1) RS Umum (1) Puskesmas (1) Terminal Bis (1) Terminal Angkot (1) Pasar (1) SMA (6) Puskesmas (3) Pasar (1)
Akses primer
Cibiru: idustri besarsedang (10) Cileu-nyi: Industri besar (5)
Ngam-prah SMA (2) (29) Puskesmas (1) Pada Pasar (1) larang (24)
Akses Primer
Akses Primer
(8) Orde-II
Orde-II
Orde-III
Ngam-prah: besar (16)
idustri Orde- III
106
Tabel 27 (lanjutan) Nama Kota
Kedudukan
Kepadatan Jangkauan penduduk Pelayahan per ha (3) (4) Lokal Cisarua (12) Parongpong (21)
(1) (2) Kab. Ibukota Bandung Kecamatan (Cisarua dan Parongpong ) Kab. Ibukota Lokal Bandung kecamatan (Cilengkran g) Kab. Ibukota Lokal Bandung Kecamatan (Cikalong Wetan) Kab. Ibukota Lokal Bandung kecamatan (Cimenyan) Sumber: Hasil Pengolahan
Fasilitas Pelayanan
(5) Perguruan Tinggi (5) SMA (13) RS Umum (1) RS Jiwa (1) Puskesmas (5)
Infra-struktur (6) Akses sekunder dan Akses Tersier
11 jiwa
Perguruan Tinggi (1) SMA ((2) Pasar (1)
Akses Tersier
6 jiwa
SMA (1) Puskesmas (1) Pasar (1)
Akses primer
41 jiwa)
SMA (14) RS Umum (1) Puskesmas (5)
Akses Tersier
Kegiatan
Hirarki Kota
(7) (8) Parong-pong: industri Orde-III besar (1)
Order- III
Industri besar (4)
Orde-IV
Orde- IV
107
Berdasarkan perkembangan faslitas pelayanan dan infrastruktu saat sekarang tersebut, secara skematis hirarki kota di KBU menjadi seperti tersaji pada Gambar 19. Lembang (11) Cisarua (12) Cilengkrang (11)
II Parongpong (21) Cikalong Wetan (6)
IV
III
Cimenyan (41)
IV
III Ngamprah (29) Padalarang (24)
IV
II
Cimahi Tengah (166) Cimahi Utara (97)
I
Sukasari (119) Cidadap (65) Sukajadi (193) Coblong (108) Cicendo (166)
III Cibeunying Kaler (154) Cibeunying Kidul (307)
II
Arcamanik (170) Cicadas (111) Ujung Berung (93)
II
Cibiru (61) Cileunyi (95)
Keterangan:
: Akses primer : Akses sekunder : Akses tersier ( ) : Kepadatan penduduk (Gambar bersifat skematis, dan tidak skalamatik/proporsional) Sumber: Hasil Pengolahan
Gambar 19. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur Melihat gambar tersebut, menunjukkan pada saat sekarang telah mengalami perkembangan beberapa pusat pertumbuhan yang diindikasikan pada tahun 1992 dan 1998, dan
munculnya orde-orde kota baru yang merupakan
ekses dari
berkembangnya Kota Bandung menuju Kota Metropolitan. Di wilayah Kabupaten Bandung Barat yakni Kota Kecamatan Parongpong dan Kota Kecamatan Cisarua menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan lokal yang melayani seluruh desa-desa yang ada di dua kecamatan tersebut, dengan fungsi primernya sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian dengan akses tersier ke Kota Bandung dan Kota Cimahi tanpa melalui Lembang. Sementara fungsi
108
sekundernya adalah sebagai pusat perguruan tinggi, pusat kesehatan jiwa, pusat pemerintahan kecamatan dan komplek militer. Sementara Kota Kecamatan Lembang berkembang menjadi pusat pelayanan tersendiri dengan fungsi primernya adalah pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian. Sedangkan fungsi sekundernya adalah pusat perdagangan, pusat perguruan tinggi dan pusat penelitian, daerah tujuan wisata dan pusat pemerintahan kecamatan dan perkantoran. Dengan lokasinya yang stretegis yang dilalui jaringan kolektor primer (Bandung-Lembang-Subang) dan dari macam kegiatannya yang cukup beragam, sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan umum. Sedangkan Kecamatan Ngamprah menuju penyatuan dengan Kecamatan Padalarang dengan akses tersier dan keduanya berhubungan dengan akses primer langsung ke Kota Cimahi. Penyatuan ini juga didorong oleh telah ditetapkannya Kecamatan Ngamprah sebagai ibukota Kabupaten Bandung Barat (pecahan dari Kabupaten Bandung Induk). Sementara itu Kecamatan Cikalong Wetan menjadi pusat pelayanan lokal dengan perkembangan yang dibatasi oleh kawasan lindung dan lahan perkebunan, sehingga memiliki hirarki yang rendah (orde-IV) dengan akses dibatasi ke Kota Padalarang. Di Kota Cimahi, Kota Kecamatan Cimahi Tengah dan Kota Kecamatan Cimahi Utara menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan umum terutama setelah menjadi Ibu Kota Cimahi, namun demikian tetap dipengaruhi oleh Kota Bandung dengan akses primer. Dilihat dari fungsi kegiatannya Kota Cimahi merupakan fungsi primer dalam peranannya sebagai pusat kegiatan perdagangan regional, pusat industri dan sebagainya. Kemudian kalau dilihat dari fungsi sekundernya dapat diidentifikasi sebagai lokasi perguruan tinggi, pusat kesehatan, pusat pemerintahan dan perkantoran, serta komplek militer. Di Kota Bandung, beberapa pusat kota yaitu Kecamatan Sukasari, Cidadap, Sukajadi, Coblong dan Cicendo dengan pelayanan yang jumlah kondisi dan jenis kegiatannya dapat dikatakan merupakan pusat pelayanan subdistrik, karena dilihat dari jangkauan pelayanannya sudah cukup luas, termasuk salah satu orientasi orde kota lainnya. Sedangkan Kecamatan Arcamanik, Cicadas dan Ujung Berung memiliki
109
fungsi primer pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi orde kota lainnya yang lebih rendah. Sementara itu Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul yang merupakan bagian Kota Bandung sebelah Utara, hanya digunakan sebagai pusat pelayanan lokal untuk penduduk di kelurahan yang ada di 2 kecamatan tersebut dan difokuskan sebagai pusat pelayanan lngkungan dengan bentuk peningkatan fungsi dan kondisi. Selanjutnya Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul menjadi orientasi Kota Cimenyan yang fungsi primernya adalah pusat pelayanan kegiatan pertanian. Wilayah Kota Bandung bagian Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung telah tumbuh menjadi satu kesatuan pusat kegiatan yakni Cibiru dan Cileunyi. Dengan letaknya yang strategis dengan akses jalan tol dan akses primer, kedua kota ini menjadi pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi kota orde lainnya yang lebih rendah yakni Kecamatan Cilengkrang yang berkembang sebagai pusat pelayanan kegiatan pertanian dengan skala pelayanan lokal. 2. Sistem Penggunaan Lahan Kota a. Penetapan Zona Perkotaan dan Zona Perumahan Untuk mengetahui kegiatan dominan di masing-masing pusat pertumbuhan dalam SWP Bandung secara lokal di wilayah KBU, maka diperlukan suatu analisis pergerakan orang dalam sistem transportasi. Elemen-elemen sistem transportasi yang terkait dalam penetapan zona perkotaan dan perumahan, meliputi: (1) Pelaku perjalanan yang menyangkut perilaku, jumlah, fluktuasi perjalanan yang diakibatkan oleh aktivitas terhadap kegiatan ruang kota. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian tentang bangkitan perjalanan baik kondisi eksisting maupun tahun perencanaan dapat digunakan untuk menganalisis struktur ruang yang dibentuk, terutama dari sistem perumahan maupun perkotaan. (2) Prasarana transportasi, baik berupa sistem jaringan jalan (road system), jaringan bebas hambatan (toll system), sistem jaringan kereta api dengan kajian secara menyeluruh, dan yang terkait. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian ini dapat digunakan untuk melihat penyebaran kegiatan perkotaan dan perumahan serta perubahannya.
110
(3) Sistem sarana transportasi, meliputi jenis moda, fasilitas pendukung diperlukan untuk menganalisis pergeseran permukiman dari pusat perkotaan ke luar kota berdasarkan tingkat kelajuan para pekerja. (4) Manajemen tranportasi yang terkait dengan pengaturan terminal, rute angkutan umum, jenis moda angkutan umum, arah pergerakan kendaraan umum, pribadi dan barang; digunaan untuk menganalisis penyebaran aglomerasi penduduk/ permukiman. Dalam kaitan dengan penetapan identifikasi pemanfaatan untuk kegiatan perkotaan (perkantoran, perdagangan, jasa, pendidikan dll) dan untuk kegiatan perumahan, akan digunakan analisis pola bangkitan perjalanan dan sistem jaringan jalan untuk wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung yang masuk wilayah KBU. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Bangkitan pergerakan (trip generation) merupakan perkiraan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan yang dicirikan oleh jumlah arus lalu lintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu (Tamin, 2000). Satuan jumlah dari jenis lalulintas disimbulkan SMP. Tingginya angka produksi perjalanan dibandingkan tarikan di suatu zona menandakan pemanfaatan lahan lebih dominan untuk kegiatan perumahan, sebaliknya angka tarikan perjalanan yang tinggi menunjukkan kegiatan perkotaan lebih dominan sehingga menarik perjalanan dari beberapa zona lainnya. Analisis produksi dan tarikan secara internal/lokal untuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menggunakan hasil analisis sekunder hasil penelitian LPM-ITB (1997) dan proyeksi dari Bappeda Prop. Jabar (1998), kemudian ditetapkan aktivitas tata guna lahannya seperti terlihat pada Tebel 28 dan Tabel 29. Penggunaan angka relatif dalam penentuan tata guna lahan perumahan dan perkotaan secara internal/lokal, hanya menunjukkan aktivitas yang mendominasi pada tata guna lahan tersebut, artinya jika di suatu lokasi mempunyai dominasi aktivitas kegiatan perumahan bukan berarti bahwa di lokasi tersebut tidak terdapat kegiatan
111
perkotaan atau sebaliknya. Angka relatif tersebut digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan secara internal. Untuk memberikan gambaran angka absolut bangkitan (asal) dan tarikan (tujuan) pada guna lahan perkotaan dan perumahan di Amerika Serikat dan Inggris seperti tersaji pada Tabel 30. Tabel 28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung Zona/ Kota No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Asal
1997 Aktivitas Tujuan Tata Guna Lahan 2457 Perumahan 2457 Perumahan 2181 Perumahan 5439 Perkotaan 2181 Perkotaan 2355 Perumahan 2529 Perkotaan 4521 Perkotaan 5409 Perkotaan 6240 Perkotaan 2745 Perkotaan 8028 Perkotaan 2373 Perumahan
Isola 2748 Ledeng 2748 Ciumbuleuit 2256 Dago 5325 Hegarmanah 1968 Gegerkalong 2730 Sukarasa 2472 Sarijadi 4368 Sukawarna 5268 Sukagalih 2559 Cipedes 1959 Sukaraja 7608 Husein 2604 Sastranegara 14 Sukabungah 1677 1383 15 Pasteur 2130 1644 16 Cipaganti 2703 1686 17 Lebaksiliwangi 4377 2337 18 Sekeloa 5526 5532 19 Lebakgede 4326 2262 20 Cigadung 4284 1872 21 Sadangserang 4257 1485 22 Sukaluyu 4341 2010 23 Neglasari 4341 1920 24 Sukapada 2460 3330 25 Pasirlayung 2295 3912 26 Padasuka 2448 3267 27 Cikutra 2460 3330 28 Cicadas 2430 5049 29 Ujungberung 5157 5769 30 Cisurupan 4989 5820 31 Cigending 4233 5427 32 Pasirendah 2295 3912 Jumlah Asal & Tujuan 111342 110862 Jumlah Total Perjalanan 222204
Perumahan Perumahan Perumahan Perumahan Perkotaan Perumahan Perumahan Perumahan Perumahan Perumahan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perumahan
2010 Asal 2880 2745 2478 5715 1874 2757 2975 5226 6456 3164 1994 10248 2311
Tujuan 3750 3560 3535 11054 3070 3548 4526 7947 13514 8047 5808 15372 3286
1707 2978 1952 2708 2502 2782 3914 3875 6017 9086 3875 3714 4686 3024 4668 2079 3927 3331 4155 3322 2629 5295 2773 6833 2606 5091 2358 5863 2115 7921 11268 10412 10461 8270 11382 6380 3122 7412 136940 187393 324333
Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan
Aktivitas Tata Guna Lahan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perumahan Perkotaan Perumahan Perumahan Perumahan Perumahan Perumahan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perumahan Perumahan Perumahan Perkotaan Perkotaan
112
Tabel 29. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Kab. Bandung (SMP/jam) 1997 No Zona/Kecamatan
Asal
Tujuan
Aktivitas Asal Tata Guna Lahan
2010 Aktivitas Tujuan Tata Guna Lahan 5715 Perumahan 18224 Perkotaan 4358 Perumahan 7040 Perumahan 8786 Perumahan 1940 Perumahan 3249 Pasar pertanian 26707 Perkotaan 9497 Perumahan 84292 Perkotaan 8554 Perumahan
1 Cikalong Wetan 1422 1443 Pasar 11841 2 Padalarang 1290 1431 Perkotaan 14034 3 Ngamprah 1290 1431 Perkotaan 14034 4 Cisarua 1359 1509 Pasar pertanian 33805 5 Lembang 1359 1509 Pasar pertanian 19082 6 Cimenyan 4923 4890 Pasar pertanian 8579 7 Cilengkrang 4923 4890 Pasar pertanian 3125 8 Cileunyi 4287 4695 Perkotaan 19456 9 Parompong 1998 1899 Perumahan 12548 10 Cimahi Tengah 8292 8508 Perkotaan 55793 11 Cimahi Utara 4503 4392 Perumahan 8774 Jumlah asal dan 35646 36597 Pasar Pertanian 201071 178362 Perumahan tujuan Jumlah total 72243 379433 perjalanan Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan
Tabel 30. Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris Deskripsi aktivitas tata guna lahan Perkotaan 1. Pasar Swalayan 2. Pertokoan 3. Pusat pertokoan 4. Restoran siap santap 5. Restoran 6. Gedung perkantoran 7. Rumah sakit 8. Perpustakaan 9. Daerah industri Perumahan 1. Permukiman di luar kota 2. Permukiman di batas kota 3. Unit rumah 4. Flat tinggi Sumber: Tamin (2000)
Tarikan pergerakan per ha
Bangkitan pergerakan per ha
13600 8500 3800 59500 6000 1300 1800 4500 500
-
-
150 315 400 500
Berdasarkan data pada Tabel 28 dan Tabel 29 di atas, menunjukkan untuk wilayah Kota Bandung, pada tahun 1997 dari 32 zona/kecamatan terdapat 14 zona/kecamatan yang merupakan zona asal perjalanan dengan dominasi aktivitas kegiatan perumahan dan 28 zona sebagai tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas
113
kegiatan perkotaan. Ke-empat belas zona kegiatan permukiman tersebut merupakan zona wilayah Kota Bandung yang berada di bagian Utara atau berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Namun pada tahun 2010, KBU diindikasikan telah mengalami perubahan, dimana dari 32 zona yang ada di KBU sebanyak 23 zona merupakan zona tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas perkotaaan, sisanya sebanyak 9 zona dominasi oleh aktivitas perumahan. Zona yang mengalami perubahan dari perumahan menjadi perkotaan adalah Isola, Ledeng, Ciumbuleuit, Gegerkalong, Husen Sastranegara, Sukabungah, Pasteur, Cipaganti. Zona yang tetap didominasi aktivitas perkotaan adalah Dago, Hegarmanah, Sukarasa, Sarijadi, Sukawarna, Sukagalih, Cipedes, Sukaraja, Sekeloa, Sukapada, Pasirlayung, Padasuka, Cikutra, Cicadas, dan Pasirendah. Sementara dari dominasi aktivitas perkotaan yang berubah didominasi aktivitas perumahan adalah Ujungberung, Cisurupan dan Cigending. Zona yang tetap didominasi aktivitas perumahan adalah Lebakgede, Cigadung, Sadangserang, Sukaluyu, dan Neglasari. Sementara itu keseluruhan Zona/Kecamatan KBU pada wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi pada tahun 1997, dari 11 kecamatan sebanyak 9 kota kecamatan di KBU merupakan tujuan perjalanan yang diindikasikan oleh dominasi aktivitas pasar lokal, pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian, serta kawasan perkotaan dan perkantoran; sedangkan yang merupakan asal mobilitas hanya kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cimahi Utara. Kemudian berdasarkan prediksi dan pengecekan tahun 2008, aktivitas di KBU diindikasikan telah mengalami perubahan dimana dari 11 kota kecamatan sebanyak 8 kota kecamatan telah menjadi kawasan asal perjalanan atau dominasi kegiatannya berubah menjadi perumahan. Adapun kecamatan yang mengalami perubahan dari tujuan perjalanan menjadi asal perjalanan adalah Kecamatan Cikalong Wetan, Ngamprah, Cisarua, Lembang, dan Cimenyan. Hal ini berarti bahwa perkembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut lebih lambat dibanding dengan perkembangan perumahan baik yang dibangun oleh pengembang (melalui perijinan) maupun dilakukan secara alami oleh masing-masing keluarga.
114
Dengan adanya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi yang semakin didominasi oleh aktivitas perkotaan, maka wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat mendapatkan limpahan penduduk dengan tumbuhnya penggunaan lahan perumahan. Perubahan-perubahan penggunaan lahan tersebut umumnya terjadi di dekat pusat pertumbuhan yakni di kota kecamatan. Aktivitas beberapa kota kecamatan yang semula didominasi oleh aktivitas penggunaan lahan perkotaan, pada saat sekarang telah didominasi perumahan, sehingga struktur kawasan kota kecamatan tersebut sebagian besar merupakan kawasan perumahan. Sedangkan perubahan zona perumahan menjadi perkotaan pada umumnya terjadi di Kota Bandung, seiring dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kota Bandung sebagai subdistrik, sehingga subdistrik tersebut mendapatkan limpahan pertumbuhan kota dari pusat pertumbuhan sekitarnya dengan tumbuhnya industri jasa. Ringkasan pergeseran perubahan penggunaan lahan perumahan dan perkotaan di Kota Bandung ke Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat seperti tersaji pada tabel berikut. Tabel 31. Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU Aktivitas Utama Guna Lahan Perumahan Perkotaan Pasar Lokal Pasar Pertanian
Kota Bandung Tahun 1997 Tahun 2010 Jml Jml % % Zona/kec Zona/kec 18 44 9 28 14 56 23 72 -
Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi Tahun 1997 Tahun 2010 Jml Jml % % Zona/kec Zona/kec 2 18 7 64 4 36 3 27 1 9 0 0 4 36 1 9
Sebagai gambaran perkembangan perumahan dan pertumbuhan kota dapat dilihat dari perkembangan ijin lokasi sebagaimana rekapitulasi berikut. Tabel 32. Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha) Kabupaten/ Kota (1) Kota Bandung Cibiru Sukajadi Sukasari
Perumahan (2) 174 50 6
Industri Jasa (3) 32 24 0
Resort Pariwisata (4)
Villa Real Estate (5) -
Bangunan gedung (6)
Jumlah -
(7) 206 50 24 7
115
Tabel 32 (lanjutan) (1) Cidadap Coblong Cicendo Kab. Bandung Cimenyan Lembang Parongpong Cisarua Ngamprah Cileunyi Cilengkrang Cikalong Wetan Cimahi Utara
(2)
(3) 85 33 2475 68 10 476 1.511 146 30 200 35
(4) 3 3 1 -
(5)
593 323 269 1 -
(6)
540 412 128 -
55 10 23 21 -
(7) 88 36 1 3,663 391 701 628 21 1.511 146 30 200 35
KBU 2649 32 593 540 55 3,869 Sumber: BPN Kota Bandung (2001), BPN Kabupaten Bandung (2001), dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat (2004) 90
R
80 70
Jumlah ijin
60 R 50 40
R
30
I
20 R
10 I P VG
R
P VG
I P VG
I
P VG
I
P VG
R I P VG
Cibiru
Sukajadi
Sukasari
Cidadap
Coblong
kecamatan
Gambar 20. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung
Cicendo
116
R
1600 1400 Jumlah ijin
1200 1000 800 V R
600 400 200 R 0
P
P V GR
G
P
V
GR
PVG
R P VG
R P V GR
PVG
P V GR
PVG
kecamatan
Gambar 21. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung Sistem Jaringan Jalan Sistem jaringan jalan sangat menentukan perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi areal perumahan dan perkotaan. Kapasitas jaringan jalan utama merupakan faktor yang menjadi bahan pertimbangan orang untuk melakukan pilihan dalam penggunaan lahan ke arah yang lebih intensif. Kepadatan lalu lintas jaringan jalan tersebut dihitung dalam nilai VCR (Volume – Capacity Ratio). Tingkat kepadatan berhubungan dengan jenis kegiatan di sepanjang jalan tersebut, dimana nilai VCR-nya masuk kategori kritis, menunjukkan bahwa aktivitas perkotaan dan perumahan yang mendominasi lintasan jalan tersebut, sebaliknya nilai VCR-nya rendah menunjukkan lintas sepanjang jalan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau guna lahannya berupa guna lahan pertanian dan kehutanan. Berdasarkan hasil perhitungan estimasi Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) untuk kurun waktu 2010, dengan asumsi tidak ada penambahan jaringan jalan baru, kapasitas jalan utama di KBU yakni ruas jalan Setiabudi, Surya Sumantri, Sukajadi, Cihampelas, Ir.H.Juanda, Dipati Ukur, Terusan Pateur, Pasteur, KPH Mustopa
117
sampai Cileunyi akan melebihi kapasitas jalan dengan nilai VCR di atas 1. Kegiatankegiatan yang dominan di sepanjang jalan tersebut adalah perkotaan dan perumahan kota. Sedangkan untuk kabupaten Bandung yakni Jalan Cikalong Wetan – Cipeundeuy, Cimahi – Cisarua, Cisarua – Lembang, Panorama (Setiabudi) – Grand Hotel (Lembang), dan Cihanjuang – Ciwaruga telah melebihi kapasitas yang ada, dimana kegiatan dominan di sepanjang jalan tersebut adalah pasar lokal dan perumahan. Secara rinci estimasi VCR Jaringan Jalan Utama KBU di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dapat dilihat pada Tabel 33. Kegiatan dominan di sepanjang jalan utama tersebut yakni aktivitas perkotaan dan perumahan mencerminkan salah satu unsur morfologi kota di KBU sebagaimana yang disampaikan Hebert (1973) dalam Yunus (2005) bahwa morfologi kota tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun perdagangan/industri dan juga bangunan-bangunan individual. Sementara itu Smailes (1955) dalam Yunus (2005) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe-tipe bangunan. Penyebaran penggunaan lahan di KBU di atas, dimana pada KBU di luar Kota Bandung, telah menunjukkan kenampakkan kekotaan dan areal batas kota (built up area) jauh melampaui batas administrasi kota Bandung. Berdasarkan eksistensi batas fisik kota berada jauh dari batas administrasi kota (spill urban area) tersebut, maka kondisi Kota Bandung sebagai pusat Kota KBU dinamakan “under bounded city”. Pada kondisi kenampakan kekotaan dan areal batas kota yang jauh melampaui batas administrasi kota memungkinkan munculnya beberapa permasalahan d pengaturan wilayah. Wewenang pemerintah Kota Bandung untuk merencanakan wilayahnya hanya terbatas pada daerah yang terletak di dalam batas administrasi pemerintahan kota. Sementara itu untuk daerah kekotaan yang terletak di luar batas Kota Bandung menjadi wewenang pemerintah daerah yang lain yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Perbedaan ini terlihat dari arah kebijakan tata ruang yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya.
118
Tabel 33. Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU No. Nama Jalan (1) (2) I Kb Bandung Barat dan Kb Bandung 1. Cikalong Wetan – Cipeundeuy 2. Cimahi – Cisarua 3. Cisarua – Lembang 4. Lembang – Maribaya 5. Panorama – Grand Hotel 6. Cisarua – Situ Lembang 7. Patrol – Palintang 8. Sentral – Ciwaruga 9. Padalarang – Sp Cisarua 10. Cihanjuang – Cisarua 11. Cihideung – Ciwaruga 12. Cihanjuang – Ciwaruga 13. Cileunyi – Palintang 14. Padasuka – Cimenyan II Kota Bandung 1. Setiabudi (UPI ke atas) 2. Setiabudi (UPI ke bawah 3. Gegerkalong 4. Surya Sumantri 5. Sukajadi 6. Cipaganti 7. Cihampelas 8. Ciumbuleuit 9. Siliwangi 10. Tamansari 11. Ir. H. Juanda (bawah simpang) 12. Ir.H. Juanda (atas simpang) 13. Dipatiukur
VCR Tahun 2010 (3)
Kategori (4)
Zona Kegiatan Utama (5)
≥ 1.0 ≥ 1.0 ≥ 1.0 0 – 0.5 ≥ 1.0 0 – 0.5 0 – 0.5 0 – 0.5 0.5 – 0.8 0.5 – 0.8 0 – 0.5 ≥ 1.0 0 – 0.5 0 – 0.5
Kritis Kritis Kritis Stabil Kritis Stabil Stabil Stabil Stabil Stabil Stabil Kritis Stabil Stabil
Perumahan perdesaan/pasar Perumahan kota/pasar/industri Perumahan/Pasar/ pemerintahan Pertanian/wisata Perumahan/perhotelan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan Perumahan Pertanian/perumahan perdesaan Pertanian/perumahan perdesaan
> 2.0 1.0 - 2.0 0.8 – 1.0 > 2.0 > 2.0 0.8 – 1.0 > 2.0 0.8 – 1.0 > 2.0 0 – 0.8 > 2.0 0.8 – 1.0 > 2.0
Kritis Kritis Tidak stabil Kritis Kritis Tidak stabil Kritis Tidak stabil Kritis Tidak stabil Kritis Tidak stabil Kritis
Perumahan Perkotaan Perumahan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perumahan kota/perkotaan Perumahan kota/perkotaan Perumahan kota/perkotaan Perkotaan Perumahan/perkotaan Perkotaan
119
Tabel 33 (lanjutan) No. Nama Jalan
VCR Tahun 2010
Kategori
Zona Kegiatan Utama
(1) 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
(3) >2.0 1.0 – 2.0 0.8 – 1.0 > 2.0 > 2.0 > 2.0 > 2.0
(4) Kritis Kritis Tidak stabil Kritis Kritis Kritis Kritis
(5) Perkotaan Perumahan/perkotaan Perkotaan Perkotaan/perumahan Perumahan/perkotaan Perumahan/perkotaan Perumahan/perkotaan
(2) Terusan Pasteur Pasteur Surapati KPH Mustopa Raya Sindanglaya Raya Ujungberung Raya Cibiru
Keterangan: VCR = Volume – Capacity Ratio Nilai VCR < 0.85: stabil; 0.85 < VCR < 1.0: tidak stabil; VCR > 1.0 kritis *) asumsi tanpa penambahan perubahan sistem jaringan jalan Sumber: Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998)
120
Perembetan kenampakkan kekotaan (urban sprawl) dari Kota Bandung yang masuk KBU ke wilayah KBU Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi disebabkan meningkatnya penduduk kota Bandung maupun aktivitasnya. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota dengan cara pengambil alih lahan non urban oleh penggunaan lahan urban (invasion) di daerah pinggiran kota atau telah terjadi pengusiran (explusion) guna lahan non-urban oleh guna lahan urban. Melihat gejala perembetan kenampakan kota di KBU yang mengikuti jalur utama transportasi seperti di atas, maka perluasan areal kekotaan (urban sprawl) di KBU
masuk
kategori
perembetan
memanjang
(ribbon
development/lineair
development/ axial development). Menurut Yunus (2005), pada kondisi ini daerah sepanjang
rute
transportasi
utama
merupakan
tekanan
paling
berat
dari
perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit. Karakteristiknya adalah makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk melakukan kegiatan non-pertanian, serta makin padatnya bangunan, sehingga mempengaruhi kegatan pertanian. Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan yang menyebar di KBU yang dihubungkan satu sama lain oleh jalan utama seperti yang diuraikan pada sub bab di atas dan jenis perembetan yang masuk kategori “ribbon development”, maka model bentuk kota di KBU dengan pusatnya Kota Bandung adalah model stellar atau radial dengan jalur yang tidak merata ke semua arah. Pada masing-masing lidah terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Pada bagian-bagian yang menjorok ke dalam tumbuh permukiman yang dibangun mandiri oleh masyarakat atau oleh pengembang. Di luar permukiman tersebut, pada kondisi topografis adalah curam pada umumnya ditanami tanaman menahun (pohon-pohonan), tetapi pada kondisi tanahnya relatif datar ditanami oleh tanaman semusim berupa sayuran dan palawija.
121
b. Deferensiasi Zona Guna Lahan KBU Dengan kondisi perembetan yang masuk kategori “ribbon development” dan bentuk kotanya adalah stellar, maka deferensiasi penggunaan lahan di KBU bertitik tolak dari dua pusat pertumbuhan di masing-masing jalan utama. Hal ini sesuai karakteristik kota yang berbentuk stellar, pada masing-masing lidah akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Dalam kondisi kota berbentuk stelar, maka model konseptual deferensiasi penggunaan lahan tidak sepenuhnya berlaku, dan model segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) tidak tunggal lagi melainkan triple yaitu model segitiga penggunaan lahan kota-desa, model segitiga penggunaan lahan desakota dan berlanjut menjadi model penggunaan kota-desa, di setiap jalan utama. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Yunus (2005) bahwa keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan, peraturan-peraturan zoning, spekuliasi lahan adalah beberapa contoh unsur-unsur penyebab terjadinya distorsi model ideal tersebut. Adapun kondisi struktural deferensiasi zona guna lahan berdasarkan ciri penggunaan lahan kekotaan dan kedesaan di setiap kabupaten yang desa-desanya masuk KBU, sebagaimana tabel berikut. Tabel.34. Deferensiasi Zona Guna Lahan Setiap Kabupaten/Kota KBU Kabupaten/Kota Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Kota Cimahi Kota Bandung
Rural Area 23,91% 11,11% 0,00% 0,00%
Rural Fringe 43,48% 44,44% 0,00% 12,90%
Urral Fringe 13,04% 33,33% 25,00% 35,48%
Urban Fringe 15,22% 11,11% 62,50% 22,58%
Urban Area 4,35% 0,00% 12,50% 29,03%
Jml Desa/Kel 46 9 8 31
Berdasarkan data pada tabel di atas, dari 46 desa di Kabupaten Bandung Barat yang masuk wilayah KBU didominasi desa kategori Rural Fringe yakni sebanyak 23 desa (43%), kemudian Rural Area sebanyak 11 desa (24%), Urban Fringe sebanyak 7 desa (15%) dan Urban Area sebanyak 2 desa (4%). Untuk Kabupaten Bandung dari 9 desa yang masuk KBU didominasi kategori Rural Fringe sebanyak 4 desa (44%), Urral Fringe 3 desa (33%), Urban Fringe 1 desa (11%), dan Rural Area 1 desa (11%).
122
Untuk Kota Cimahi dari 8 kelurahan yang masuk KBU didominasi Urban Fringe 5 kelurahan (62,5%), kemudian Urral Fringe 2 desa (25%), dan Urban Area 1 kelurahan (12,5%). Sedangkan untuk Kota Bandung dari 31 kelurahan yang masuk KBU didominasi oleh Urral Fringe 11 kelurahan (35,5%), Urban Area 9 kelurahan (29%), Urban Fringe 7 kelurahan (22,6%), dan Rurral Fringe 4 kelurahan (12,9%). c. Transformasi Penggunan Lahan di KBU Berdasarkan struktur diferensial zona penggunaan lahan di atas, penggunaan lahan di KBU memiliki tingkat transformasi lahan atau baik lambat maupun cepat akan mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi lahan permukiman. Kondisi tingkat transformasi lahan tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat bahwa penggunaan lahan di KBU diarahkan sebagai kawasan lindung. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004 telah melakukan evaluasi arahan penggunaan lahan yang menunjukkan kesesuaian mulai dari sawah irigasi teknis, tegalan/ladang, kebun campuran, tanaman sayuran, hingga hutan sejenis dan hutan lebat. Namun penggunaan lahan tersebut memiliki tingkat transformasi yang berbeda tergantung keberadaanya di zona guna lahan. Maka berdasarkan keberadaan guna lahan dalam zona guna lahan, dimana tingkat ransformasi struktur penggunaan lahan untuk masing-masing zona guna lahan sangat lambat jika berada di rural area dan sangat cepat jika berada di urban area, maka tingkat transformasi penggunaan lahan dii KBU seperti tabel berikut: Tabel 35. Tingkat Transformasi Struktur Penggunaan Lahan di KBU Penggunaan lahan Sawah Irigasi Tegalan/ Ladang Kebun Campuran Tanaman sayuran Perkebunan (Kina dan Karet) Hutan campuran Hutan Sejenis
Sangat lambat 5,56% 7,14% 9,09% 18,18% 75,00%
Lambat
Sedang
27,78% 57,14% 27,27% 45,45% 25,00%
27,78% 31,48% 21,43% 14,29% 36,36% 22,73% 22,73% 9,09% 0,00% 0,00%
25,00% 37,50% 37,50% 28,57% 57,14% 14,29%
Cepat
0,00% 0,00%
Sangat Cepat
Jml desa/kel
7,41% 0,00% 4,55% 4,55% 0,00%
54 14 22 22 4
0,00% 0,00%
8 14
123
Berdasarkan tabel di atas, desa/kelurahan yang masih memiliki penggunaan lahan sawah irigasi berada di 54 desa/kelurahan, tegalan/ladang berada di 14 desa/kelurahan, kebun sayuran di 22 desa/kelurahan, tanaman sayuran di 22 desa/kelurahan, perkebunan (kina dan karet) di 4 desa, hutan campuran di 8 desa dan hutan sejenis (produksi) di 14 desa/kelurahan. Keberadaan penggunaan lahan tersebut akan menentukan tingkat transformasi penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan sangat cepat apabila berada di zona urban area dan sangat lambat jika penggunaan lahan tersebut berada di zona ural area. Penggunaan lahan sawah irigasi yang berada di 54 desa memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sangat cepat sebesar 7,41%, cepat 31,48%, sedang 27,78%, lambat 27,78% dan sangat lambat 5,56%. Kemudian lahan tegalan/ladang yang berada di 14 desa/kelurahan memiliki tingkat transformasi struktur penggunahan lahan cepat sebanyak 42,9%, sedang 36,36%, lambat 27,27%, dan sangat lambat 7,14%. Sementara itu penggunaan lahan kebun campuran, yang berada di 22 desa/kelurahan, memiliki tingkat transformasi strktur penggunaan sangat cepat 4,55%, cepat 22,73%, sedang 36,36%, lambat 27,27% dan sangat lambat 9,09%. Penggunaan lahan tanaman sayuran yang berada di 22 desa/kelurahan memiliki tingkat stransformasi struktur penggunaan lahan yang sangat cepat 4,55%, cepat 9,09%, sedang 27,73%, lambat 45,45% dan sangat lambat 18,18%. Untuk penggunaan lahan perkebunan (karet dan kina) masih cukup aman yakni berada di 4 desa yang memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan lambat 25% dan sangat lambat 75%. Sedangkan hutan campuran berada di 8 desa dengan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sedang. Dan untuk penggunaan hutan sejenis (tanaman) yang berada di 14 desa memiliki tingkat struktur penggunaan lahan sedang 14,29%, lambat 57,14% dan sangat lambat 28,57%. Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan lahan di KBU berada di zona yang memiliki tingkat transpormasi guna lahan sedang sampai sangat cepat. Dalam kondisi tingkat transformasi tersebut, maka transformasi struktur penggunaan lahan KBU akan terjadi, baik dalam waktu cepat maupun lambat. Menurut Sadyohutomo (2008), terjadinya transformasi penggunaan lahan di kawasan lindung tersebut
124
disebabkan oleh belum adanya peraturan yang tegas mengenai pengavelingan (subdivision) yang dilakukan oleh perorangan. Akibatnya, perubahan penggunaan tanah menjadi tidak terkendali dan cenderung menimbulkan tata lingkungan yang tidak teratur, serta terjadinya fragmentasi lahan pertanian oleh permukiman yang dibangun oleh masyarakat secara mandiri. B. Nilai Jasa Lingkungan di Kawasan Bandung Utara Sebagai acuan kelayakan pemberian insentif baik model PDR dan PES adalah nilai manfaat hidrologis. Dengan proporsi KBU sebesar 72,44% ditetapkan sebagai kawasan lindung dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya, maka fungsi utama KBU adalah melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Salah satu fungsinya adalah untuk pengaturan tata air (hidrologis) bagi kawasan bawahannya yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, menjaga kesehatan DAS Citarum, penyedia air bagi kebutuhan rumah tangga dan penyedia jasa wisata. Dengan telah munculnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU, maka tekanan terhadap fungsi utama kawasan semakin besar, terutama terjadi perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh perbedaan nilai lahan pertanian dengan nilai harapan tanahnya. Persoalannya adalah bahwa sebagian lahan di KBU adalah lahan milik. Dipihak lain harga komoditas pertanian yang dihasilkan lahan tidak mencerminkan nilai lingkungan. Oleh karena itu dalam mengatasi persoalan tersebut diperlukan mekanisme ekonomi untuk mendorong pemilik dan pengguna lahan melakukan upaya sesuai dengan arahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Penilaian jasa lingkungan yang telah disumbangkan pemilik dan pengguna lahan merupakan dasar pemberian besaran dan lokasi pemberian insentif. Jasa lingkungan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah manfaat hidrologis. Dari hasil survei di lapangan terhadap 128 responden, cara memperoleh air hampir seimbang yakni dari mata air/sungai langsung (27,34%), sumur tanpa pompa (21,88%), sumur dengan pompa (25%) dan PAM/ledeng (25,78%). Ada kecenderungan bahwa cara memperoleh air dipengaruhi oleh zona guna lahan,
125
dimana zona lahan rural area memperoleh air dengan cara langsung dari mata air/ sungai baik dengan cara mendatangi langsung atau disalurkan melalui selang, zona pertengahan menggunakan sumur tanpa pompa maupun dipompa serta di urban area menggunakan PAM/ledeng. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi besarnya konsumsi air adalah biaya pengadaan air (x1), jumlah anggota keluarga (x3) dan zona guna lahan (x5), sedangkan variabel jumlah pendapatan (x2), cara memperoleh air (x4) dan hirarki kota (x6) tidak berpengaruh secara nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah y = 26,590 – 0,018 x1 + 52,082x3 + 13,476 x5 dengan r2 sebesar 75,5% dan p value sebesar 0.000. Hasil analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan model regresi ini, biaya pengadaan air, jumlah anggota keluarga dan zona guna lahan secara siginifikan menentukan besarnya penggunaan air dan kebutuhan air untuk rumah tangga. Dengan model regresi seperti tersebut, maka dengan rerata jumlah keluarga (x3) sebanyak 4,8 orang dan zona guna lahan (x5) sebesar 3,3, maka model regresi di atas menjadi y = 321,0544 – 0,018 x1. Dengan asumsi bahwa air untuk rumah tangga di KBU masih melimpah sehingga sumberdaya air memiliki karakteristik nonrivalrous yang mana tingkat konsumsi air minum seseorang tidak mempengaruhi kesempatan orang lain untuk mengkonsumsi air minum, maka dengan jumlah rumah tangga penduduk di KBU sebanyak 412,681 KK memiliki nilai surplus konsumen manfaat air untuk rumah tangga di KBU sebesar Rp83 575 472 613 per tahun. Dengan dengan luas areal KBU seluas 38 548,35 ha, maka jasa lingkungan yang diberikan oleh KBU sebagai kawasan lindung adalah sebesar Rp21 680 331 per ha per tahun (Tabel 36). Untuk mengetahui kehilangan manfaat hidrologis ke depan dilakukan discounting. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih rerata BI rate dengan re-rata inflasi setiap bulan selama tahun 2009. Adapun re-rata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,50%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa
126
pakai bangunan. Dengan demikian nilai jasa hidrologi bagi RT saat sekarang (NPV Jasa hidrologi) maksimal adalah sebesar Rp423 398 459 per ha. Nilai jasa hidrologi ini dijadikan dasar kelayakan pemberian insentif baik melalui PDR maupun PES. Tabel 36. Nilai Surplus konsumen dan nilai jasa hidrologis KBU Komponen
Nilai sampel (Rp/KK/th)
(1) (2) Kesediaan 2.790.845,40 berkorban Nilai yang 765.695,23 dikorbankan Surplus 2.025.150,16 Konsumen Keterangan: (4) = (2) x (3) (6) = (4//(5)
Nilai Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha/th) (3) (4) (5) (6) 412.681 1.151.728.870.026,40 38.548,35 29 877 514
Populasi Nilai Total (Rp/th) KK
Luas KBU (ha)
412.681
315.987.874.870,79 38.548,35
8 197 183
412.681
835.740.995.155,61 38.548,35
21 680 331
Karena setiap guna lahan memiliki fungsi hidrologi yang berbeda, maka nilai jasa setiap guna lahan akan berbeda tergantung dari masukan air dari air hujan di guna lahan tersebut. Dengan asumsi besarnya koefisien infiltrasi sama dengan (1 – C), dimana (C) adalah re-rata koefisein larian air hujan, maka berdasarkan data dari Asdak (2007) yang mengutip data dari Horn dan Schwab (1965), dan U.S Forest Service (1980), digunakan besarnya re-rata nilai koefisien larian setiap penutupan lahan (guna lahan) yakni lahan hutan lebat (0,05), hutan sejenis (0,10), ladang (0,25), tanaman sayuran (0,38) dan lahan permukiman (0,8). Berdasarkan nilai koefisien larian tersebut dapat ditentukan bobot infiltrasi yang akan digunakan untuk menghitung jasa masing-masing guna lahan dalam menghasilkan manfaat air bagi RT, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 37 dan Gambar 22. Berdasarkan data pada tabel tersebut, NPV jasa hidrologi yang disediakan lahan di KBU untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga di dalam dan daerah bawahannya sebesar Rp1 872 237 894 900, untuk waktu yang tidak terhingga. Mengingat besarnya manfaat hidrologi di KBU, maka hilangnya daerah resapan di KBU, akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya pencegahan supaya tidak terjadi perubahan guna lahan menjadi
127
lahan permukiman, yang akan mengurangi potensi manfaat hidrologi dari lahan di KBU bagi kebutuhan air rumah tangga. Tabel 37. NPV jasa hidrologis setiap guna lahan di KBU Penggunaan Lahan
Hutan PPA Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Perkebunan Tegalan dan Kebun Campuran Pertanian non tanaman keras (sayuran) Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya Jumlah
Koef larian (C)
Luas (ha)
Koef masukan (1-C)
NPV Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha)
Bobot
Nilai jasa hidrologi Tiap Penggunaan Lahan (Rp)
2561,25 7244,32 1814,20
0,05 0,05 0,10
0,95 0,95 0,90
15,40% 15,40% 14,59%
65 191 011 65 191 011 61 759 905
166 970 476 168 472 264 542 671 112 044 819 430
3838,90
0,10
0,90
14,59%
61 759 905
237 090 098 838
2164,00 9605,20
0,10 0,25
0,90 0,75
14,59% 12,16%
61 759 905 51 466 587
133 648 434 157 494 346 865 282
3487,20
0,38
0,62
10,05%
42 545 712
148 365 407 757
7833,28
0,80
0,20
3,24%
13 724 423
107 507 250 597
6,17
100,00%
38548,3 5 Pertanian non tanaman keras 8%
Tegalan dan Kebun Campuran 26%
Perkebunan 7%
Hutan PPA 9%
1 872 237 894 900
Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya 6% Hutan Lindung 25%
Hutan Produksi Terbatas 13%
Hutan Produksi Tetap 6%
Gambar 22. Proporsi Jasa Hidrologis Dari Setiap Guna Lahan di KBU
128
C. Nilai Lahan Milik di KBU 1. Nilai Lahan Berdasarkan NJOP Mengacu pada UU No. 12 Tahun 1985 dan perubahannya UU No. 12 Tahun 1994, dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (sales value = NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu (seperti DKI Jakarta) ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Berdasarkan ketentuan di atas, maka nilai pajak bumi dan bangunan dapat digunakan untuk menentukan nilai jual tanah, sebagai bentuk nilai guna lahan berdasarkan kelompok atau klasifikasi kelas dan bangunan. Nilai pajak bumi dan bangunan memberikan gambaran pula tentang kebijakan terkait dengan intervensi pemerintah ke dalam pasar tanah. Dengan penetapan PBB ini dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan penerapan insentif dan disinsentif dalam zoning lahan. Diferensiasi
penggunaan
lahan
yang
diuraikan
terdahulu
telah
mempertimbangkan keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan (growing points), peraturan zoning, sehingga gambaran nilai guna lahan di setiap kategori guna lahan tersebut dapat dilihat dari kelas PBB. Berdasarkan hasil pencatatan di beberapa sub zona di KBU digambarkan NJOP terendah dan tertinggi di desa yang dilayani setip pusat pertumbuhan (kota) dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan data pada Tabel 38, hirarki kota orde II, orde-III dan ordeIV merupakan orde dalam pengaruh orde-I Kota Bandung, memiliki NJOP pada setiap kelasnya berbeda. Untuk pusat pertumbuhan Cikalong Wetan (orde-IV) yang memiliki lokasi terjauh dari built-up area kota Bandung (28 km) yang dihubungkan arteri primer dan jalan negara di pusat kotanya memiliki nilai NJOP sebesar Rp200 000 per m2, namun daerah hinterlandnya menunjukkan kelas tanah yang masuk kelas lahan desa, dengan nilai lahan terendah Rp10 000/m2 dan nilai tertinggi Rp20 000/m2. Sementara itu dalam hirarki kota yang sama (Orde-IV) yakni Kecamatan Cimenyan memiliki nilai lahan di pusat kota Rp464 000/m2
129
dengan daerah hinterlandnya memiliki nilai terendah Rp10 000/m2 dan nilai tertinggi Rp200 000/m2. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh jarak dari built-up area Kota Bandung, dimana Kota Cimenyan hanya berkisar 4,5 km. Selain itu di Cimenyan telah tumbuh menjadi daerah perumahan sebanyak 68 izin, dan resort pariwisata sebanyak 323 izin, sedangkan di Cikalong Wetan hanya dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai pusat pasar lokal dan adanya 200 izin perumahan Untuk orde – III, menunjukan nilai lahan yang ekstrim yakni sebesar Rp2 013 000 per m2 untuk pusat Kota Parongpong, sementara untuk kota Cisarua dan Ngamprah dengan nilai Rp128 000/m2 dan Rp285 000/m2. Tingginya nilai tanah di Parongpong, lebih disebabkan oleh banyaknya daerah terbangun yakni perumahan (476 izin), resort pariwisata (1 izin), villa real estate (128 izin), dan bangunan gedung (23 izin), serta kedekatannya dengan built-up area kota Bandung. Sedangkan di Cisarua hanya terdapat 21 izin bangunan gedung serta sebagai pusat pelayanan kota kecamatan dan pasar lokal, dan di Kota Ngamprah sebanyak 1511 izin. Namun demikian dari ketiga pusat pertumbuhan tersebut, masih memiliki daerah hinterland-nya nilai tanah kelas desa yakni Rp10 000/m2, sedangkan nilai lahan hinterland tertinggi berada di Parongpong sebesar Rp464 000/m2, kemudian Cisarua Rp82 000/m2 dan Ngamprah Rp48 000/m2. 2. Nilai Lahan Berdasarkan Harga Jual Setempat Berdasarkan hasil wawancara terhadap 38 responden, guna lahan tempat bekerja penduduk dalam kegiatan pertanian di KBU adalah guna lahan sawah, kebun sayuran, tegalan, pekarangan, serta kawasan hutan perhutani. Untuk mengetahui curva sewa lahan pertanian, maka guna lahan pekarangan dan guna lahan hutan tidak dimasukkan pada kategori guna lahan pertanian. tetapi masingmasing dimasukkan dalam guna lahan permukiman dan guna lahan hutan. Sedangkan lahan permukiman dimaksud adalah lahan yang telah siap dibangun atau sudah berdiri bangunan di atasnya.
130
Tabel 38. NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU Nama Kota/ Kec Cikalong Wetan Cisarua Parongpong Ngamprah Cimahi Utara Lembang Cimenyan
Hirarki Kota Orde-IV Orde-III Orde-III Orde-III Orde-II Orde-II Orde-IV
Jarak dari built up- area Kota Bandung (km) 28 7,2 5,8 6,7 8,7 8,6 4,5
Fungsi NJOP Pusat Jalan Kota utama (Rp/m2) AP AT AT AT AT AP AT
200.000 128.000 2.013.000 285.000 464.000 464.000 464.000
Kelas Pajak Bumi Daerah Hinterland Terendah A37 A37 A37 A37 A32 A37 A37
NJOP Tertinggi (Rp/m2) 10.000 A35 10.000 A29 10.000 A21 10.000 A32 48.000 A22 10.000 A24 10.000 A26
NJOP (Rp/m2) 20.000 82.000 464.000 48.000 394.000 285.000 200.000
131
Berdasarkan analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2)
tidak
berpengaruh nyata. Model regresi linier yang dihasilkan adalah y = 232765,05 – 1830,494x1 dengan r2 sebesar 81,3% dan p value sebesar 0.000. Sedangkan variabel yang mempengaruhi nilai tanah untuk permukiman adalah kategor zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2), jarak dari jalan (x3), jarak dari sungai (x4), jarak dari mata air (x5), jarak dari hutan (x6) dan topografi (x7) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah y = 486161,990-3210,089x1 dengan r2 sebesar 78,7% dan p value sebesar 0.000. Adapun sebaran nilai jual setempat hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 39 dan Gambar 23. Tabel 39. Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU Zona Lahan
Nilai Lahan (Rp/m2)
Urban area Urban fringe Urral fringe Rural fringe Rural Area
Harga Jual Lahan Permukiman (Rp/m2) 486 162 – 454 061 454 061 – 357 758 357 758 – 293 557 293 557 – 197 254 197 254 – 165 153
% Lahan Rural 0 - 10 10 - 40 40 - 60 60 - 90 90 - 100
Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m2) 232 765 -214 460 214 460 – 159 545 159 545 – 122 935 122 935 – 68 021 68 021- 49 716
500.000 450.000 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0
10 20
30
40
50
60
70
80
90 100
Persen Guna Lahan Rural (%) Harga Jual Lahan Permukiman
Harga Jual Lahan Pertanian
Gambar 23. Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU Sementara itu Sutawijaya (2004) berdasarkan hasil penelitian di Kota Semarang menyimpulkan bahwa faktor kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota, lebar jalan, kondisi jalan, ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/
132
angkot, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan yang bebas banjir sangat berpengaruh terhadap nilai tanah untuk permukiman.
2. Berdasarkan Nilai Harapan Tanah Pertanian Nilai harapan tanah didasarkan pada nilai saat sekarang (NPV) produktivitas tanah pertanian dihitung berdasarkan profit dari budi daya tanaman pertanian. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih re-rata BI rate dengan re-rata inflasi setiap bulan selama tahun 2009. Adapun rerata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,5%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa pakai bangunan. Besarnya bunga riil dan waktu tersebut sebagai dasar perhitungan NHT dengan menghitung NPV yang akan dijadikan patokan menilai besarnya insentif atau disinsentif dalam menahan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Sebagai gambaran luas tanam dan rata-rata produksi pertanian dan ladang di di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40. Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU Pertanian
Ladang/Tegalan Re-rata Re-rata No Kecamatan Luas tanam Produksi Luas tanam (ha) Produksi (ha) (kwintal/ha) (kwintal/ha) I Kab.Bandung*) 104.078,0000 85,4200 79.070,2000 2.333,5500 1 Ngamprah 1.134,0000 86,9100 560,5000 816,6100 2 Cimenyan 448,0000 53,5400 4.422,0000 1.399,0500 3 Cikalong Wetan 3.842,0000 84,3700 7.040,0000 691,9000 4 Lembang 336,0000 42,2200 1.834,0500 1.324,6900 5 Cisarua 1.175,0000 73,6700 1.093,0000 1.771,2100 6 Parongpong 237,0000 8,9700 1.057,0070 1.932,1500 7 Cileunyi 1.448,0000 72,9200 399,0005 856,5800 8 Cilengkrang 644,0000 65,0700 1.275,0000 1.070,0000 II Kota Cimahi 212,0000 55,0500 234,0000 531,0700 9 Cimahi Utara 104,0000 56,3000 138,0000 533,8700 10 Cimahi Tengah 79,0000 59,3600 68,0000 256,1400 *) Sebelum pecah mennjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat Sumber: Hasil Pengolahan Kabupaten Bandung Dalam Angka 2002; Hasil Pengolahan Kota Cimahi Dalam Angka 2002 (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat, 2004)
133
Berdasarkan hasil analisis regresi menggunakan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai harapan tanah pertanian adalah kategori zona dimana lokasi tanah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2) tidak berpengaruh nyata, dengan model regresi y = 84411,263 – 341,166x1 dengan r2 sebesar 31,3% dan p value sebesar 0.000. Meskipun nilai itersepsi nya kecil, berdasarkan model regresi ini bisa dijelaskan bahwa semakin zona nya ke tingkat kekotaan (urban) maka semakin besar nilai harapan tanah pertanian dan semakin ke tingkat kedesaan (rural) semakin kecil nilai harapan tanahnya. Adapun NHT lahan pertanian yang ada di zona kekotaan sebesar Rp84 411 per m2 kemudian menurun sampai di zona kedesaan sebesar Rp50 295 per m2. Kondisi ini dapat dibaca bahwa semakin dekat lahan pertanian ke kota, dengan lahan garapannya yang semakin sempit dan banyak alternatif penggunaan lahannya, maka petani semakin rasional dengan menanam tanaman atau komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan di daerah kedesaan, dimana kepemilikan lahan masih luas, para petani belum terdorong untuk menanam tanaman yang bernilai lebih tinggi tetapi hanya menanam atau membudidayakan komoditas yang sudah biasa mereka lakukan. Dengan kelerengan kurva yang agak datar, berarti nilai produktivitas lahan pertanian antara lahan pertanian di kota dan di desa tidak jauh berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 41 dan Gambar 24. Tabel 41. Nilai Tanah Pertanian Berdasarkan NHT di KBU Zona Guna Lahan Urban Area Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Area
Persen Lahan Rural (%) 0 – 10 10 – 40 40 – 60 60 – 90 90 – 100
NHT (Rp/m2) 84 411 – 81 000 81 000 – 70 765 70 765 – 63 941 63 941 – 53 706 53 706 – 50 295
Nilai Lahan (Rp/m2)
134
100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Persen Guna Lahan Rural (%)
Gambar 24. Curva Nilai Harapan Tanah Pertanian di KBU 2. Nilai Bangunan Perumahan Konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa (Rusastra et al., 1997). Bahkan di luar Jawa kecenderungannya meningkat. Menurut Rusastra dan Budhi (1997) di Banjarmasin banyak terjadi koversi lahan sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Selanjutnya dikatakan Irawan et al (2000), keadaan ini dapat memicu konversi lebih luas lagi. Karena pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya konversi lahan sifatnya cenderung akseleratif.
Untuk mengetahui besarnya pertambahan nilai lahan menjadi bangunan, akan dihitung nilai rumah per satuan luas di setiap zona guna lahan. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi nilai bangunan adalah kategori zona dimana lokasi rumah berada (x1), sementara itu variabel hirarki kota (x2), bentuk rumah (x3), tipe rumah (x4), jarak dari jalan (x3 ), dan topografi (x6 ) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah Y = 3276509,126 – 31059,640x1 dengan r2 sebesar 94,0% dan p value sebesar 0.000. Berdasarkan model regresi ini dapat dijelaskan bahwa semakin zona nya mengarah ke tingkat kekotaan (urban area) maka nilai bangunan rumah semakin besar atau dengan kata lain bahwa semakin dekat jarak
135
lokasi rumah terhadap built-up area (pusat pertumbuhan), maka semakin besar nilai bangunan rumahnya. Guna lahan sawah di KBU yang umumnya sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah yang dibangun oleh masyarakat, sehingga areal garapan lahan sawah ± 1.294 m2 (0,1294 ha)
Guna lahan kebun sayuran di lahan kering yang umumnya juga sempit dan mulai terfragmentasi oleh rumah penduduk, sehingga areal garapan kebun sayur rata-rata 3.932 m2 (0,3932 ha)
Guna lahan tegalan dikelola kurang intensif dibandingkan usaha tanaman lainnya, tanpa pemeliharaan, umumnya dikombinasikan antara pohon, pisang dan rumput gajah. Selain itu, tegalan ini tempat mengambil rumput liar dan kayu bakar Rumput gajah ini umumnya di tanam secara tersendiri di tegalan atau dibawah tegakan pohon.
Gambar 25. Komoditas pertanian pada berbagai guna lahan di KBU Tabel 42. Nilai Bangunan Rumah di KBU Berdasarkan Zona Guna Lahan Zona Guna Lahan Urban Area Urban Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Area
Persen Lahan Rural (%) 0 – 10
Nilai bangunan (Rp/m2) 3 276 509 - 3 017 436
10 – 40
3 017 436 – 2 240 216
40 – 60
2 240 216 – 1 722 069
60 - 90
1 722 069 – 944 849
90 - 100
944 849 – 685 776
Nilai Bangunan (Rp/m2)
136
3500 3250 3000 2750 2500 2250 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 250 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Persentase Lahan Rural (%) Nilai bangunan
Gambar 26. Curva Bid-Rent Bangunan Rumah di KBU D. Nilai Lahan Hutan di KBU Berdasarkan Peta Fungsi Kawasan Hutan Bandung Utara Perum Perhutan Unit III Jawa Barat dan Banten, kawasan hutan di KBU yang dikelola Perum Perhutani seluas 12788,41 ha terbagi ke dalam hutan lindung seluas 9858,82 ha, hutan produksi terbatas seluas 2,32 ha, hutan produksi tetap seluas 101,09 ha dan hutan konservasi seluas 2802,18 ha. Secara lebih rinci sebaran jenis dan luas kawasan hutan di KBU yang dikelola Perum Perhutani dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 43. Luas Kawasan Hutan di KBU Fungsi Hutan No. Jenis Hutan 1. 2. 3. 4.
Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas (HPTb) Hutan Produksi Tetap (HPTt) Hutan Konservasi Jumlah
Berfungsi Hidrologis/ Konservasi (ha)
Tidak Berfungsi Hidrologis/Konservasi (ha)
Jumlah (ha)
9305,22 26,32
553,61 -
9858,82 26,32
101,09
-
101,09
2802,18
-
2802,18
12234,81
553,61
12788,41
Sumber: Peta Fungsi Hutan Kawasan Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten
137
Nilai lahan hutan dihitung berdasarkan atas nilai harapan tanah hutan produksi. Karena hutan produksi di KBU didominasi oleh jenis hutan pinus yang menghasilkan kayu dan getah dengan penanamannya melalui sistem tumpangsari, maka nilai harapan tanah hutan dihitung menggunakan tegakan pinus. 1. Produksi Getah Pinus Sebagai lokasi sampel dalam melakukan perhitungan perhitungan produksi getah pinus di hutan produksi adalah di Bagian Hutan Gunung Sanggarah BKPH Lembang di lokasi Lembang dan Cikole, atas dasar rencana sadapan tahun 2006 berdasarkan Surat Keputusan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Nomor: 345/Kpts/CAN/III/2005, tanggal 1 Agustus 2006 dengan rincian seperti pada Tabel 44. Tabel 44. Rencana Produksi Getah Pinus Setiap Daur Per ha Hutan Produksi di KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun 2006 Bagian Hutan/ BKPH
Anak Petak
Fungsi Hutan KU
Rencana sadapan tahun 2006 Taksiran Produksi Luas Jm Per Per (ha) Pohon Pohon ha
Gn. Sanggarah BKPH Padalarang -Cikalong Wetan 96b HP KU III 17,9 7625 29d2 HP KU VI 4,9 431 29i HP KU III 20,4 8690 29c HP KU IV 20 8515 jml HP 63,2 25261 Gn Keramat Cisalak Gn Karamat 9c HP KU IV 9,8 4112 11 HP KU VI 3 325 jml HP 12,8 4437 Total 76 29698 Sumber: Surat Keputusan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat 345/Kpts/CAN/III/2005, tanggal 1 Agustus 2006
2,4 6,6 2,1 2,9
Total
520 18090 520 2850 520 18290 520 24754 63984
2,8 3,9
520 11419 520 1256 12675 - 76659 dan Banten Nomor:
Berdasarkan data pada Tabel 44, produksi getah per pohon ditaksir berbeda. Dari data yang ada menunjukkan pula bahwa pohon pinus di hutan produksi di daerah tersebut disadap pertama kali pada kelas umur III atau umur 15 tahun, serta kelas umur tertinggi disadap pada KU VII atau umur pinus 35 tahun. Atas dasar data tersebut dan dengan menggunakan interpolasi, maka diperoleh
138
gambaran produksi getah tiap daur 15, 20, 25, 30, dan 35, di hutan produksi di KBU seperti pada Tabel 45 dan Gambar 27. Tabel 45 Re-rata Produksi Getah Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU Berdasarkan Rencana Sadapan Tahun 2006 Umur tahun 15 16 17 18 19 20 20 21 22 23 24 25 25 26 27 28 29 30 30 31 32 33 34 35
Produksi Getah (kg) dalam setahun Daur (tahun) 15th 20th 25th 30th 3028,86 1009,62 1009,62 1009,62 1056,48 1056,48 1056,48 1099,08 1099,08 1099,08 1145,94 1145,94 1145,94 1188,54 1188,54 1188,54 4941,60 69,60 69,60 1218,00 1218,00 1260,00 1260,00 1323,00 1323,00 1377,60 1377,60 1428,00 1428,00 7413,00 5506,80 381,24 408,24 421,20 457,92 492,48 3175,20
35th 1009,62 1056,48 1099,08 1145,94 1188,54 69,60 1218,00 1260,00 1323,00 1377,60 1428,00 5506,80 381,24 408,24 421,20 457,92 492,48 617,40 426,30 461,10 500,25 539,40 574,20 4019,40
Total 3028,86 10441,26 19588,86 23018,94 26981,79
Berdasarkan taksiran re-rata produksi getah pinus tersebut, pertambahan produktivitas tertinggi berada pada kisaran umur 20 tahun sampai 25 tahun tahun yaknis sebesar 9148 kg per ha. Dengan menggunakan prinsip hasil maksimum (maximum sustained yield), maka daur produksi terpilih adalah daur 25 tahun, karena pertambahan produksi getah tertinggi pada umur 25 tahun dan setelah umur 25 tahun pertambahan produksi getah terus menurun. Dengan dilakukan pelarangan penebangan hutan di KBU, maka dari aspek tujuan pengusahaan getah setelah 25 tahun tidak bisa dipertanggungjawabkan karena ada produksi getah yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, ada inefisiensi yang harus ditanggung oleh publik.
139
Produksi Getah Pinus (kg) Setiap Daur di Hutan Produksi 30000
25000
Produksi (kg)
20000
15000
10000
5000
0 15
16
17
18
19
20
21
22
23
24 25 26 27 Daur (tahun)
28
29
30
31
32
33
34
35
Gambar 27. Taksiran Produksi Getah pada setiap daur di Hutan Produksi KBU 2. Produksi Kayu Pinus Dengan melihat sebaran jumlah kayu di masing-masing kelas umur pada data pada Tabel 24 di atas, kegiatan penjarangan di hutan produksi KBU dilakukan secara tidak rutin yang disebabkan adanya larangan dilakukan penebangan pohon di KBU. Untuk melihat nilai harapan tanah dari produksi kayu, maka jumlah kayu dihitung dari jumlah pohon yang ada, dengan asumsi bahwa pengurangan jumlah pohon merupakan proses produksi. Berdasarkan hal tersebut maka jumlah produksi kayu pinus di hutan produksi KBU seperti terlihat pada Tabel 46 dan Gambar 28. Berdasarkan taksiran produksi kayu pada tabel dan gambar tersebut, pertambahan volume kayu tertinggi berada di kisaran umur 15 tahun sampai 20 tahun tahun sebesar 76 m3 per ha. Dengan menggunakan prinsip hasil maksimum (maximum sustained yield), maka daur produksi kayu terpilih adalah daur 20 tahun, karena pada umur tersebut pertambahan volume kayu tertinggi dan setelah
140
umur 20 tahun pertambahan volume kayu terus menurun. Dengan dilakukan pelarangan penebangan di hutan KBU, seperti halnya produksi getah, maka dari aspek tujuan pengusahaan kayu setelah 20 tahun tidak bisa dipertanggung jawabkan karena ada produksi kayu yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, ada inefisiensi yang harus ditanggung oleh publik. Tabel 46. Re-rata Produksi Kayu Setiap Daur Per ha di Hutan Produksi KBU No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Produksi Kayu (m3/ha) Daur (tahun) Umur (tahun) 15th 20th 25th 30th 35th 10 78,396 78,396 78,396 78,396 78,396 15 111,612 1,572 1,572 1,572 1,572 16 0 0 0 0 17 0 0 0 0 18 0 0 0 0 19 0 0 0 0 20 186,06 138,216 138,216 138,216 21 0 0 0 22 0 0 0 23 0 0 0 24 0 0 0 25 82,296 16,002 16,002 26 0 0 27 0 0 28 0 0 29 0 0 30 81,78 0 31 0 32 0 33 0 34 0 35 81,78 Jumlah 190,008 266,028 300,48 315,966 315,966
141
Produksi Kayu Pinus Di Hutan Produksi 400 350
Volume kayu (m3)
300 250 200 150 100 50 0 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Daur Produksi (tahun)
Gambar 28. Taksiran Produksi Kayu Pinus pada setiap daur di Hutan Produksi KBU 3. Nilai Harapan Tanah (NHT) Lahan Hutan Penggunaan prinsip hasil maksimum lestari (maximum sustained yield) di atas dari produksi getah pinus dan kayu pinus sulit diterapkan sebagai dasar pemberian insentif bagi penanam pohon, karena tegakan maksimum re-rata tidak identik dengan maksimum net benefit. Sementara penggunaan lahan milik akan memaksimalkan net benefit dari tanahnya. Untuk itu, maka dalam penentuan besarnya insentif (kompensasi) bagi penanam pohon melalui model PES akan digunakan Nilai Harapan Tanah (NHT) lahan hutan. NHT lahan hutan merupakan pendapatan bersih dari sebidang lahan hutan, yang dihitung secara discounting. Atau dengan kata lain NHT lahan hutan merupakan nilai pendapatan bersih saat sekarang (NPV) dari usaha penanaman kayu. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni re-rata selisih antara BI rate dengan tingkat inflasi selama tahun 2009, yakni 2,5%. Sedangkan komoditas yang diproduksi adalah getah dan kayu pinus, dengan daur sampai 35 tahun (KU VII). Dalam menghitung besaran NHT diasumsikan bahwa hutan produksi pinus di KBU adalah hutan normal, dimana hutan pinus di KBU yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten tersebut dibagi dalam petak-
142
petak. Hasil perhitungan NHT ini akan menentukan daur optimal dan besarnya NHT. Daur optimal tersebut akan dijadikan dasar dalam pemberian nilai insentif sebagai kompensasi atas tidak efisiennya produksi apabila dilarag ditebang setelah melampaui daur optimalnya. Besarnya nilai insentif dhitung dengan pengurangan nilai NHT daur tersebut dengan nilai NHT optimal. Sebagai dasar penentuan kelayakan pemberian insentif adalah kelebihan manfaat hidrologi atas pemberian insentif. Adapun pendapatan bersih dalam produksi kayu dan getah serta NHT hutan produksi pinus sampai KU VII di KBU dapat dilihat pada Tabel 47 dan Gambar 29 dan Gambar 30. Berdasarkan data pada tabel dan gambar tersebut, NHT tertinggi lahan hutan pinus berada pada daur 21 tahun sebesar Rp789 111 780
kemudian
menurun sampai daur 35 tahun menjadi sebesar Rp586 298 658. Hal ini berarti bahwa apabila pengelola hutan tidak diperbolehkan untuk menebang, maka pengelolaan hutan tersebut menjadi tidak efisien karena untuk memproduksi getah dan kayu pinus yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Sementara itu dengan tidak ditebangnya hutan, publik tetap mendapatkan manfaat hidrologis. Oleh karena itu publik harus memberi kompensasi kepada pengelola sebesar kehilangan keuntungan maksimal yang diperoleh pada daur 21 tahun, dimana tahun pelarangan ditebangnya itu dilakukan.
143
Tabel 47. Pendapatan Bersih dan Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Pinus di Kawasan Hutan Produksi KBU Daur (thn) (1)
Jenis Produk (2)
15 1 Getah 2 Kayu Jml 16 1 Getah 2 Kayu Jml 17 1 Getah 2 Kayu Jumlah 18 1 Getah 2 Kayu Jumlah 19 1 Getah 2 Kayu Jumlah 20 1 Getah 2 Kayu Jumlah 21 1 Getah 2 Kayu Jumlah 22 1 Getah 2 Kayu Jumlah
Eksploitasi (3)
Biaya Langsung (Rp/ha) Pengolahan (4)
4.140.215 10.133.800 14.274.015 5.847.565 10.939.080 16.786.645 7.599.048 11.749.960 19.349.008 9.422.249 12.560.840 21.983.089 11.289.583 13.371.720 24.661.303 14.789.645 14.182.600 28.972.245 16.623.695 14.550.088 31.173.783 19.017.070 14.917.576 33.934.646
2.438.232 0 2.438.232 3.364.143 0 3.364.143 4.317.489 0 4.317.489 5.315.415 0 5.315.415 6.340.776 0 6.340.776 8.405.214 0 8.405.214 9.520.944 0 9.520.944 10.738.104 0 10.738.104
Jumlah (5) 6.578.447 10.133.800 16.712.247 9.211.708 10.939.080 20.150.788 11.916.537 11.749.960 23.666.497 14.737.664 12.560.840 27.298.504 17.630.359 13.371.720 31.002.079 23.194.859 14.182.600 37.377.459 26.144.640 14.550.088 40.694.728 29.755.174 14.917.576 44.672.750
Pendapatan (Rp) (6) 8.468.699 27.797.542 36.266.241 11.684.667 34.161.485 45.846.152 14.995.918 41.289.385 56.285.303 18.462.013 44.493.785 62.955.797 22.023.395 47.698.185 69.721.579 29.193.803 50.904.096 80.097.898 33.069.064 53.477.138 86.546.202 37.296.622 55.032.536 92.329.158
Pendapatan bersih (Rp) (7) 1.890.252 17.663.742 19.553.994 2.472.959 23.222.405 25.695.364 3.079.381 29.539.425 32.618.806 3.724.349 31.932.945 35.657.293 4.393.036 34.326.465 38.719.500 5.998.944 36.721.496 42.720.439 6.924.425 38.927.050 45.851.474 7.541.448 40.114.960 47.656.408
NHTh (Rp) (8)
460.149.652
577.431.859
698.129.969
720.056.324
739.582.032
772.325.481
789.111.780
779.815.816
144
Tabel 47 (lanjutan) (1) (2) 23 1 Getah 2 Kayu Jumlah 24 1 Getah 2 Kayu Jumlah 25 1 Getah 2 Kayu Jumlah 26 1 Getah 2 Kayu Jumlah 27 1 Getah 2 Kayu Jumlah 28 1 Getah 2 Kayu Jumlah 29 1 Getah 2 Kayu Jumlah 30 1 Getah 2 Kayu Jumlah 31 1 Getah 2 Kayu Jumlah
(3) 21.231.024 15.285.064 36.516.088 23.493.929 15.652.552 39.146.481 27.763.825 16.020.040 43.783.865 28.650.197 16.185.117 44.835.314 29.480.624 16.350.301 45.830.926 30.481.681 16.515.485 46.997.167 31.516.305 16.680.669 48.196.974 33.294.983 16.845.853 50.140.837 34.553.120 16.845.853 51.398.973
(4) 11.978.931 0 11.978.931 13.250.187 0 13.250.187 15.769.032 0 15.769.032 15.877.707 0 15.877.707 16.258.505 0 16.258.505 16.745.369 0 16.745.369 17.253.098 0 17.253.098 18.223.349 0 18.223.349 18.734.604 0 18.734.604
(5) 33.209.955 15.285.064 48.495.019 36.744.116 15.652.552 52.396.668 43.532.857 16.020.040 59.552.897 44.527.904 16.185.117 60.713.021 45.739.129 16.350.301 62.089.430 47.227.050 16.515.485 63.742.535 48.769.403 16.680.669 65.450.072 51.518.332 16.845.853 68.364.185 53.287.724 16.845.853 70.133.577
(6) 41.606.383 56.587.934 98.194.317 46.021.833 58.143.332 104.165.164 54.770.529 59.698.730 114.469.259 56.034.016 60.373.841 116.407.857 57.356.637 61.072.985 118.429.622 59.047.661 61.772.128 120.819.789 60.811.156 62.471.272 123.282.428 64.181.124 63.173.664 127.354.788 65.956.866 63.173.664 129.130.530
(7) 8.396.428 41.302.870 49.699.298 9.277.717 42.490.780 51.768.496 11.237.672 43.678.690 54.916.362 11.506.112 44.188.724 55.694.836 11.617.509 44.722.683 56.340.192 11.820.611 45.256.643 57.077.254 12.041.754 45.790.602 57.832.356 12.662.792 46.327.811 58.990.603 12.669.142 46.327.811 58.996.953
(8)
775.117.232
770.785.617
765.098.699
758.624.616
736.661.257
717.138.952
699.014.111
685.940.314
660.326.811
145
Tabel 41 (lanjutan) (1) (2) 32 1 Getah 2 Kayu Jumlah 33 1 Getah 2 Kayu Jumlah 34 1 Getah 2 Kayu Jumlah 35 1 Getah 2 Kayu Jumlah
(3) 35.672.281 16.845.853 52.518.134 36.842.141 16.845.853 53.687.994 38.028.901 16.845.853 54.874.754 39.733.920 16.845.853 56.579.773
(4) 19.294.884 0 19.294.884 19.886.680 0 19.886.680 20.488.981 0 20.488.981 21.413.443 0 21.413.443
(5) 54.967.165 16.845.853 71.813.018 56.728.821 16.845.853 73.574.674 58.517.882 16.845.853 75.363.735 61.147.363 16.845.853 77.993.216
(6) 67.902.885 63.173.664 131.076.549 69.958.367 63.173.664 133.132.031 72.050.337 63.173.664 135.224.002 75.261.268 63.173.664 138.434.933
(7) 12.935.720 46.327.811 59.263.531 13.229.546 46.327.811 59.557.357 13.532.456 46.327.811 59.860.266 14.113.906 46.327.811 60.441.716
(8)
639.425.671
619.921.163
601.532.189
586.298.658
146
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu Getah Kayu
Thousands
Pendapatan bersih (Rp/ha)
Pendapatan bersih (Rp)
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Daur Produksi (tahun)
Gambar 29. Pendapatan Bersih Produk Kayu dan Getah Pinus di Hutan Produk di KBU
34
35
x 1000000
Nilai Harapan Tanah (Rp/ha)
147
900 800 700 600 500 400 300 200 100 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Daur Produksi Hutan (Tahun) NILAI HARAPAN TANAH
Gambar 30. Nilai Harapan Tanah (NHT) Hutan Produksi Pinus di KBU E. Penetapan Harga Insentif PDR dan PES di KBU Perbedaan mendasar antara PDR dan PES adalah terletak pada tujuan penerapannya, dimana PDR digunakan untuk mencegah terjadinya perubahan guna lahan private dan lahan negara dari tujuan konservasi maupun produksi pertanian dan kayu ke perumahan. Sedangkan PES digunakan untuk mendorong perilaku konservatif dari pemilik lahan atau pengguna lahan di lahan private atau lahan negara guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya. Berdasarkan distribusi guna lahan di KBU, atas dasar Surat Keputusan Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tertanggal 3 Nopember 1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara, komposisi status lahan di KBU didominasi oleh lahan milik yakni 54%, sedangkan lahan publik adalah 46%. Dipihak lain, berdasarkan kajian oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2004) dalam menyesuaikan dengan Perda No.2 Tahun 2003, kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi mencapai 87 % dari luas KBU. Dari kondisi tersebut di atas, maka mekanisme pemberian insentif di lahan milik (private) dengan fungsi kawasan budidaya digunakan metode PDR, sedangkan lahan milik dan publik dengan fungsi kawasan lindung digunakan metode PES. Dalam menghitung nilai lahan baik di tanah pertanian milik maupun tanah hutan digunakan metode Nilai Harapan Tanah (NHT), dan acuan kelayakan penerapan insentif PDR maupun PES adalah manfaat hidrologi.
148
Tabel 48. Komposisi Satus Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara No
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persen (%)
I Lahan Publik 1 Hutan PPA 2 Hutan Lindung 3 Hutan Produksi Tetap 4 Hutan Produksi Terbatas 5 Perkebunan
17.874 2.813 7.244 1.814 3.839 2.164
46 7 19 5 10 6
II 1 2 3
20.926 9.605 3.487 7.833 38.548
54 25 9 20 100
Lahan Milik Tegalan dan Kebun Campuran Pertanian non tanaman keras Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya Total
1. Pembelian Hak Membangun (PDR) di Lahan Pertanian Milik Langkah awal dalam penerapan PDR adalah menentukan nilai hak membangun. Menurut Wright and Skaggs (2002), nilai hak membangun adalah perbedaan antara nilai jual lahan pertanian jika penjualannya digunakan untuk membangun dan nilai penggunaan untuk kegiatan pertanian. Nilai penggunaan pertanian dan nilai pembangunan ditentukan melalui proses penilaian tradisional. Nilai hak membangun dapat berkisar dari 10% sampai lebih dari 90% dari harga pasar, tergantung pada tekanan pembangunan. Besarnya nilai PDR merupakan nilai insentif untuk menahan pemilik lahan dalam mengkonversi lahan tempat usahanya (lahan pertanian) menjadi perumahan atau bangunan lainnya atau dijual dan akan dijadikan permukiman baik bersifat perorangan maupun dibangun oleh pengembang. Pencegahan perubahan lahan pertanian selain untuk mempertahankan sumber pangan tetapi juga ditujukan guna mencegah terganggunya fungsi lindung dan konservasi. Dalam penelitian ini fungsi lindung dimaksud adalah manfaat hidrologis. Keuntungan yang diberikan dalam pembelian hak membangun adalah selain tetap terjaganya lahan pertanian sebagai produsen hasil pertanian, juga tetap terjaganya manfaat hidrologis. Dalam penelitian ini, besaran nilai hak membangun, dilakukan dengan menghitung selisih nilai jual lahan pertanian dengan NHT berdasarkan NPV. Tingkat tekanan pembangunan dicerminkan oleh zona penggunaan lahan. Dasar penentuan nilai insentif menggunakan NPV di lahan pertanian telah dilakukan banyak peneliti diantaranya yang dilaporkan Stocking dan Tengberg (1999) yakni
149
dengan cara membandingkan NPV atas biaya erosi dalam penerapan sistem penanaman dengan dan tanpa upaya konservasi, yang mana besarnya nilai insentif adalah besarnya selisih NPV atas biaya konservasi. Hal ini untuk melihat biaya erosi sebagai kehilangan “hasil”, atau keuntungan upaya konservasi sebagai yang “disimpan”. Adapun besarnya nilai hak membangun (PDR) di setiap zona guna lahan atas dasar nilai jual lahan pertanian dan lahan permukiman seperti terlihat pada Tabel 49 dan Gambar 31. Tabel 49. Nilai PDR Atas Dasar Harga Jual Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman Per m2 di KBU
Zona Guna Lahan
% Rural
Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m2)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
232.765 214.460 196.155 177.850 159.545 141.240 122.935 104.630 86.326 68.021 49.716
x 1000
Nilai Lahan (Rp/m2)
Urban Area Urban Area Urban Fringe Urban Fringe Urral Fringe Urral Fringe Urral Fringe Rural Fringe Rural Fringe Rural Area Rural Area
Harga Jual Lahan NHT Permukiman (Rp/m2) (Rp/m2) 486.162 454.061 421.960 389.859 357.758 325.658 293.557 261.456 229.355 197.254 165.153
84.411 81.000 77.588 74.176 70.765 67.353 63.941 60.530 57.118 53.706 50.295
Nilai PDR (Rp/m2) Atas Atas Harga Harga Jual Lahan Lahan Permukiman Pertanian 148.354 401.751 133.461 373.061 118.567 344.372 103.674 315.683 88.781 286.993 73.887 258.305 58.994 229.616 44.101 200.926 29.208 172.237 14.314 143.548 (579) 114.858
550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen Guna Lahan Rural (%) Harga Jual Lahan Permukiman
Harga Jual Lahan Pertanian
NHT
Gambar 31. Perbedaan Nilai Lahan Pertanian Atas dasar Harga Jual dan NHT Berdasarkan data pada Tabel 49 dan Gambar 31 tersebut, nilai PDR untuk mencegah terjadinya penjualan lahan pertanian dan dikonversi menjadi lahan
150
permukiman semakin berada di zona urban area dibutuhkan PDR yang semakin besar dan kemudian mengecil ke arah zona rural area. Besarnya nilai PDR atas dasar harga jual lahan pertanian di zona urban area sebesar Rp148 354/m2, kemudian menurun ke zona rural area sampai nilai PDR nol, sedangkan atas harga jual lahan permukiman nilai PDR di zona urban area sebesar Rp401 751/m2 menurun ke zona rural areal dengan nilai PDR di zona rural area sebesar Rp114 858/m2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penjualan lahan pertanian di zona kekotaan, pemilik lahan memiliki perkiraan bahwa lahannya akan digunakan untuk perumahan, perkantoran dan perhotelan atau tempat bisnis lainnya sehingga menjual lahannya dengan harga lebih besar dari NPV komoditas pertanian apabila dikelola secara terus menerus. Kemudian apabila lahan pertanian tersebut dikonversi menjadi lahan permukiman, maka nilai PDR semakin membesar. Kondisi tersebut menurut Nelson dan Duncan (1995) dalam Lovering at al (2001), di lahan pertanian yang ada di zona kota, pemilik lahan mengalami apa yang disebut impermanence syndrome yakni pemilik lahan mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun melalui penggantian pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 50. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian lain dan non pertanian adalah (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; dan (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Penelitian Sumaryanto dan Pasandaran (1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63% tersebut, 33% untuk pemukiman, 6%
151
untuk industri, 11% untuk prasarana dan 13% untuk lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan. Tabel 50. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan untuk Sawah dan Penggunaan lain di Jawa, Tahun 1990 – 1992. Perbandingan Penggunaan Lahan Rasio Land Rent 1. Sawah : Industri 1 : 500 2. Sawah : Perumahan 1 : 622 3. Sawah : Pariwisata 1 : 14 4. sawah : Hutan Produksi 1 : 2,6 Sumber: Nasoetion dan Winoto, 1996.
Peneliti Iriadi (1990) Riyani (1992) Kartika (1990) Lubis (1991)
Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996). Hal ini sejalan dengan hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan
Selatan, bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, dan skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama penelitian Syafa’at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Sementara menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR adalah kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR nya. Berdasarkan data pada Tabel 49, nilai NPV jasa hidrologi bagi RT adalah sebesar Rp423 398 459 per ha (lihat sub bab Nilai Jasa Lingkungan di KBU), maka tingkat efektivitas penggunaan PDR di setiap zona guna lahan dapat dilihat pada Tabel 51. Dari data pada Tabel 51, penerapan PDR di KBU hanya efektif jika diterapkan di zona rural area dan rural fringe. Dari seluas 7452 ha lahan pertanian di zona rural fringe memerlukan PDR sebesar Rp2 068 259 059 188 dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 389 079 586 332, secara efektif
152
mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis atas PDR yang dikeluarkan sebesar Rp320 820 527 145. Kemudian dari 6 565 ha lahan pertanian di zona rural area memerlukan PDR sebesar Rp457 687 904 893, dengan perolehan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 707 569 361 186, akan efektif mendapatkan kelebihan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp2 249 881 456 293. Sementara penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe menunjukkan sudah tidak efektif. Tabel 51. Efektivitas PDR di Setiap Zona Guna Lahan di KBU Zona Guna Luas Total Manfaat Efektivitas PDR Total PDR (Rp) Lahan (ha) Hodrologis (Rp) (Rp) urban area 840 41 758 725 422 12 547 681 494 (29 211 043 929) urban fringe 2.566 669 126 441 001 273 267 404 603 (395 859 036 398) urral fringe 3.502 1 183 991 283 555 754 506 997 514 (429 484 286 040) rural fringe 7.452 2 068 259 059 188 2 389 079 586 332 320 820 527 145 rural area 6.565 457 687 904 893 2 707 569 361 186 2 249 881 456 293 Total 20.926 4 420 823 414 059 6 136 971 031 129 1 716 147 617 070 Keterangan: *) luas x Rp423 398 459.
Kondisi tidak efektifnya penerapan PDR dan PES di zona urban area, urban fringe dan urral fringe disebabkan dua hal yakni terjadinya penilaian berlebihan (overvaluation) atas harga lahan dan masih rendahnya persepsi masyarakat atas manfaat hidrologi. Terjadinya overvaluation atas harga lahan di KBU yang jauh melampaui NHT nya, akan menyulitkan implementasi PDR. Menurut Nelson dan Duncan (1995), dalam kondisi overvaluation ini memerlukan kebijakan pemerintah pusat dan lokal melalui konsesi pajak dan utilisasi. Dalam kaitannya dengan menahan konversi lahan, maka diperlukan pengenaan pajak dan pembebanan disinsentif atas pembangunan perumahan di lahan pertanian atau lahan konservasi untuk menutupi kehilangan manfaat hidrologi akibat didirikan bangunan di atas lahan tersebut. Rendahnya persepsi masyarakat diindikasikan oleh rendahnya kesediaan membayar rumah tangga terhadap manfaat horologi yang diperolehnya. Dengan nilai manfaat sebesar Rp423 398 459 per ha, atau untuk setiap KK per tahun hanya menghargai Rp2 790 845 dengan korbanan sebesar Rp765 695, maka setiap hari setiap KK hanya menghargai air sebesar Rp7 646 (re-rata anggota KK 4,8 orang) atau Rp1 593 per orang, dengan hanya mau berkorban setiap hari sebesar Rp2 098 per KK atau Rp437 per orang. Padahal penggunaannya digunakan untuk
153
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yakni untuk air minum, masak, dan MCK. Selain rendahnya persepsi atas manfaat hidrologi, persepsi masyarakat juga rendah terhadap hasil pertanian, yang sepenuhnya menyerahkan harga hasil pertanian pada mekanisme pasar, sehingga pada saat panen raya harga jual hasil pertanian berupa sayur-sayuran dan padi menjadi jatuh, akibatnya petani terdorong menjual lahan tempat bekerjanya dan lahan tersebut umumnya dikonversi menjadi permukiman atau guna lahan lain. Rendahnya persepsi tersebut mencerminkan publik belum memiliki kesadaran terhadap kemungkinan kehilangan sumberdaya air dan sumber makanan dan buah-buahan, sehingga menilai harga air dan makanan sangat rendah. Rendahnya kesadaran publik tersebut, penyebab utama kesulitan implementasi PDR ke depan. Menurut Rielly (2000) berdasarkan pengalaman penggunaan PDR di Suffolk County AS, program PDR telah berkontribusi terhadap keberlanjutan pertanian melalui peningkatan daya tahan petani terhadap the “impermanence syndrome”, melalui peningkatan jumlah lahan yang dapat dilindungi, sehingga lahan terfragmentasi dapat dikurangi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa PDR telah mengubah cara pandang petani terkait dengan pembangunan, khususnya
dalam
menahan
gangguan
atas
meningkatnya
pembangunan
permukiman di sekitar lahannya. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, penerapan PDR di KBU hanya efektif di lahan pertanian dan kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan surplus manfaat hidrologis masing-masing sebesar Rp1 711 091 222 123 dan Rp407 681 197 151. Sedangkan untuk Kota Cimahi dan Kota Bandung penerapan PDR sudah tidak efektif lagi dalam mencegah perubahan guna lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi lahan permukiman (lihat Tabel 52). Efektifnya penerapan PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung disebabkan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural, sehingga nilai jual lahan pertanian tidak berbeda jauh dari NHTp nya, atau dengan kata lain perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang masuk wilayah KBU relatif lebih kecil dibanding Kota
154
Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU, sehingga fungsi hidrologisnya masih cukup tinggi. Tabel 52. Efektivitas Penerapan PDR di Setiap Kabupaten/Kota di KBU Kabupaten/Kota Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Kota Cimahi Kota Bandung Total
Luas Total Insentif Total Manfaat Efektivitas PDR Zona (Rp) Hidrologis (Rp) (Rp) (ha) 14686 3020 705 394 940 4731 796 617 063 1 711 091 222 123 2184 1111 2945
338 842 229 459 288 026 193 149 773 249 596.510
746 523 426 610 159 252 569 182 499 398 418 274
407 681 197 151 -128 773 623 968 -273 851 178 236
20926
4 420 823 414 059
6 136 971 031 129
1 716 147 617 070
Keuntungan penerapan program PDR yang lain adalah PDR menunjang keberadaan lahan pertanian secara permanen atas peningkatan pembangunan dan dengan dipertahankannya lahan pertanian maka dapat menyelamatkan ketahanan pangan, nilai habitat hidupan liar, serta nilai hidrologis (Rielly, 2000). Dalam mendukung kepermanenan lahan pertanian tersebut, maka dalam pendanaan PDR perlu didorong terjadinya cost-benefit sharing antar pemerintah yang ada di kabupaten/kota di KBU. Mengingat bahwa penduduk di wilayah Kota Cimahi dan Kota Bandung menerima surplus manfaat hidrologi dari Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost sharing dengan membantu pemberian insentif melalui pembelian hak membangun lahan pertanian yakni Kota Bandung atas PDR di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi atas PDR di Kabupaten Bandung Barat, sehingga lahan pertanian dan kawasan lindung milik guna mempertahankan ketahanan pangan dan nilai hodrologis di KBU. 2. Penetapan Besarnya PES Penanaman Pohon Dalam menentukan besarnya PES di setiap lokasi berbeda, dan lebih didasarkan pada kesepakatan antara pemilik lahan dengan pengguna/pemanfaat jasa lingkungan yang dihasilkan. Pagiola (2008) melaporkan bahwa penentuan nilai PES dalam jasa hidrologi yang dilakukan di Costa Rica melalui kesepakatan antara pemilik lahan dengan pengguna air seperti perusahaan pengguna air melalui bantuan Lembaga Non Pemerintah. Sedangkan menurut Gene (2007)
155
penentuan nilai PES dilakukan dengan analisis komparatif antara NPV pemilik dalam perlindungan hutan dengan pengusahaan pembalakan. Dalam penelitian ini, besarnya PES merupakan selisih keuntungan finansial pada daur optimal dengan keuntungan finansial yang diperoleh pada daur apabila pengelola lahan tetap mempertahankan hutannya untuk tidak ditebang, sebagai bentuk kompensasi atas opportunity cost dalam mendapatkan kesempatan memperoleh keuntungan melalui penggantian jenis hutan atau melakukan regenerasi sehingga produktivitas lahannya menjadi maksimal. Berdasarkan hal itu, maka besarnya kompensasi adalah selisih NHT tertinggi dengan NHT pada daur tersebut. Berdasarkan hitungan NHTh sebelumnya, menunjukkan bahwa NHT tertinggi terdapat pada daur optimum yakni 21 tahun senilai Rp789 111 780, maka besarnya PES masing-masing daur setelah daur optimum adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 53. Tabel 53. Besarnya PES Penanaman Pohon Daur (tahun) 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
NHT h maksimum (21 th) (Rp/ha) 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780 789 111 780
NHTh (Rp/ha) 779 815 816 775 117 232 770 785 617 765 098 699 758 624 616 736 661 257 717 138 952 699 014 111 685 940 314 660 326 811 639 425 671 619 921 163 601 532 189 586 298 658
Nilai PES (Rp/ha) 9 295 964 13 994 548 18 326 163 24 013 081 30 487 164 52 450 523 71 972 828 90 097 669 103 171 466 128 784 969 149 686 109 169 190 617 187 579 591 202 813 122
Nilai PES di kawasan lindung Kawasan lindung berfungsi lindung di KBU berdasarkan kriteria Keppres No.32 Tahun 1990 seluas 28.452,5 ha atau 73,81% dari luas keseluruhan KBU, yang meliputi hutan lindung dan hutan konservasi, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat dan kawasan rawan bencana (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2004). Berdasarkan jasa hidrologi yang
156
diperolehnya, maka efektivitas penerapan PES di kawasan lindung di KBU seperti tersaji pada Tabel 54 dan Gambar 33. Guna lahan kering pertanian dengan nilai produktivitas yang rendah merupakan guna lahan pertanian yang paling rawan dikonversi menjadi permukiman
Proses konversi lahan pertanian kering menjadi komplek perumahan, sebagai akibat perbedaan nilai guna lahan pertanian dengan permukiman yang memicu terjadinya penjualan dan perubahan guna lahan pertanian menjadi permukiman
Gambar 32. Proses Konversi Lahan Pertanian Menjadi Permukin di KBU Berdasarkan data pada Tabel 54 dan Gambar 33, menunjukkan bahwa efektivitas penerapan PES pada 28 452,50 ha kawasan lindung tertinggi pada jangka waktu sewa 26 tahun atau 5 tahun setelah daur optimumnya (21 tahun) dengan nilai total PES sebesar Rp867 436 019 497 dengan efektif memperoleh surplus manfaat hidrologis sebesar Rp11 114 677 395 761. Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan lindung tetapi surplus manfaat
Nilai Efektivitas x Millions
hidrologisnya terus menurun. 16.000.000 14.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Tahun Sewa (thn) Total PES (Rp)
Total NPV Jasa Hidrologis (Rp)
Efektivitas PES (Rp)
Gambar 33. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung
157
Tabel 54. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Lindung KBU Jangka waktu sewa (thn) (1)
Total Kawasan Lindung (ha)
Nilai PES per ha (Rp/ha)
Total PES (Rp)
(6)
Efektivitas PES (Rp)
(3)
22
28.452,50
9.295.964
264.493.423.050
372.566.701
10.600.454.063.409,70
10.335.960.640.359,60
23
28.452,50
13.994.548
398.179.884.018
385.160.039
10.958.766.021.104,00
10.560.586.137.086,00
24
28.452,50
18.326.163
521.425.141.827
397.446.223
11.308.338.662.757,10
10.786.913.520.929,60
25
28.452,50
24.013.081
683.232.176.539
409.432.744
11.649.385.142.418,50
10.966.152.965.879,90
26
28.452,50
30.487.164
867.436.019.497
421.126.910
11.982.113.415.259,00
11.114.677.395.761,90
27
28.452,50
52.450.523 1.492.348.491.970
432.535.853
12.306.726.364.371,60
10.814.377.872.401,20
28
28.452,50
71.972.828 2.047.806.883.676
443.666.529
12.623.421.924.481,50
10.575.615.040.805,60
29
28.452,50
90.097.669 2.563.503.922.503
454.525.725
12.932.393.202.637,50
10.368.889.280.134,20
30
28.452,50
103.171.465 2.935.486.118.809
465.120.063
13.233.828.595.960,50
10.298.342.477.151,10
31
28.452,50
128.784.969 3.664.254.334.625
475.456.002
13.527.911.906.519,40
9.863.657.571.894,92
32
28.452,50
149.686.109 4.258.944.013.431
485.539.845
13.814.822.453.406,20
9.555.878.439.975,08
33
28.452,50
169.190.617 4.813.896.019.876
495.377.741
14.094.735.182.076,20
9.280.839.162.199,80
34
28.452,50
187.579.591 5.337.108.299.228
504.975.688
14.367.820.771.022,60
9.030.712.471.794,83
35
28.452,50
514.339.539
14.634.245.735.848,30
8.863.705.393.490,69
5.770.540.342.358
(5)
Total NPV Jasa Hidrologis (Rp)
(2)
202.813.122
(4)
NPV Jasa Hidrologis (Rp/ha)
Keterangan*) Data Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat atas dasar Keppres No.22 Tahun 1990 (4) = (2) x (3) (6) = (2) x (5) (7) = (6) - (4)
(7)
158
Nilai PES di Hutan Produksi Agar Perhutani tetap mmelihara tegakan meskipun tidak diperbolehkan menebang tegakannya selama mungkin di hutan produksi di KBU, maka diperlukan pemberian kompensai berupa insentif sewa pohon. Dari total hutan produksi seluas 127,41 ha, maka efektivitas penerapan PES di setiap daur setelah
Efektivitas PES Rp x 1000.000
daur finansialnya optimum seperti terlihat pada Gambar 34 dan Tabel 55.
61.000 51.000 41.000 31.000 21.000 11.000 1.000 22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Tahun Sewa (thn) Total Sewa pohon (Rp)
Total NPV Jasa Hidrologis (Rp)
Efektivitas PES (Rp)
Gambar 34. Efektivitas Penerapan PES di Kawasan Hutan Produksi di KBU Berdasarkan data pada Gambar 34 dan Tabel 55, efektivitas penerapan PES pada hutan produksi seluas 127,41 ha yang dikelola KPH Bandung Utara, jika dilarang menebang tegakan di hutan produksi seluas 127,41 ha di KBU, tertinggi berada di tahun sewa 26 tahun dengan surplus manfaat hidrologis sebesar Rp49 771 410 139,50. Setelah tahun sewa 26 tahun, PES masih efektif diterapkan di kawasan hutan produksi KPH Bandung Utara tetapi surplus manfaat hidrologisnya semakin menurun. Penentuan nilai berdasarkan NPV untuk perubahan penggunaan lahan hutan produksi menjadi hutan lindung telah digunakan di the Reserva Forestal Golfo Dulce, Costa Rica. Berdasarkan nilai hopotetis Gene (2007) dalam menghitung profitabilitas perlindungan hutan untuk melawan profitabilitas pengusahaan pembalakan (logging) pada hutan tersebut, melalui penetapan harga PES sebesar $130/ha/tahun untuk waktu 5 tahun dan $75/ha/tahun untuk jangka 15 tahun disajikan pada Tabel 56.
159
Tabel 55. Efektivitas Penerapan PES di Hutan Produksi Peruhutani di KBU Jangka waktu sewa (thn) (1) 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Keterangan: (4) = (2) x (3) (6) = (2) x (5) (7) = (6) - (4)
Total Kawasan Hutan Lindung (ha) (2) 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41 127,41
Nilai PES (Rp/ha) (3) 9.295.964 13.994.548 18.326.163 24.013.081 30.487.164 52.450.523 71.972.828 90.097.669 103.171.465 128.784.969 149.686.109 169.190.617 187.579.591 202.813.122
Total PES (Rp)
(4) 1.184.398.806 1.783.045.392 2.334.936.379 3.059.506.603 3.884.369.502 6.682.721.074 9.170.057.993 11.479.343.986 13.145.076.404 16.408.492.919 19.071.507.135 21.556.576.466 23.899.515.628 25.840.419.823
NPV Jasa Hidrologis (Rp/ha) (5) 372.566.701 385.160.039 397.446.223 409.432.744 421.126.910 432.535.853 443.666.529 454.525.725 465.120.063 475.456.002 485.539.845 495.377.741 504.975.688 514.339.539
Total NPV Jasa Hidrologis (Rp) (6) 47.468.723.388,77 49.073.240.620,29 50.638.623.285,19 52.165.825.885,09 53.655.779.641,09 55.109.393.061,58 56.527.552.496,20 57.911.122.676,32 59.260.947.242,29 60.577.849.257,87 61.862.631.712,10 63.116.078.008,90 64.338.952.444,81 65.532.000.674,96
Efektivitas PES (Rp)
(7) 46.284.324.582,66 47.290.195.228,05 48.303.686.906,31 49.106.319.282,41 49.771.410.139,50 48.426.671.987,44 47.357.494.503,09 46.431.778.690,16 46.115.870.837,85 44.169.356.338,99 42.791.124.577,36 41.559.501.543,13 40.439.436.816,85 39.691.580.851,76
160
Tabel 56. Profitabilitas perlindungan hutan ketika PES tertinggi diberikan dalam melawan profitabilitas pembalakan kayu pada harga kayu tahun 2005 Luas (ha) 10 50 100 150 200 250 300
NPV, 5 tahun Logging Perlindungan hutan, PES =$130/ha/tahun 2108 20,126 42,649 65,172 87,695 110,218 132,741
2107 18,007 37,882 57,756 77,631 97,506 117,380
NPV, 5 tahun Logging Perlindungan hutan, PES =$130/ha/tahun 1741 22,087 47,644 71,810 98,387 123,820 149,254
2517 21,564 45,373 69,182 92,990 116,799 140,608
Sumber: Gene (2007)
Berdasarkan data pada Tabel 56, profitabilitas perlindungan hutan lebih rendah dibandingkan profitabilitas pengusahaan pembalakan kayu. Menurut Sinder et al (2003) dalam Gene (2007) apabila profitabilitas perlindungan hutan lebih rendah dibandingkan profitabilitas pembalakan kayu, maka PES skeptis dapat digunakan untuk meningkatkan konservasi di areal dimana alternatif penggunaan lahan diperoleh, dan menyatakan bahwa “sistem mungkin tidak cukup untuk melindungi lahan dalam pandangan ekonomi atau opportunity......” Namun di tempat lain PES efektif digunakan, seperti yang disampaikan Pagiola (2008), bahwa di Costa Rica telah terjadi kesepakatan antara pengguna lahan dan pengguna air dalam besaran PES dan pembiayaannya, seperti data pada Tabel 57. Tabel 57. Beberapa contoh kontrak provisi jasa air di Costa Rica melalui program PSA Perusahaan Tipe Pengguna
DAS/ Areal
(1) Energía Global
(2) Produsen listrik
Platanar S.A. CNFL
Produsen listrik Produsen listrik
(3) Río Volcán dan Río San Fernando Río Platanar Río Aranjuez Río Balsa
Areal yang dicakup oleh kontrak (ha)
Juml areal yang didaftarkan hingga akhir 2004 (ha) (4) (5) 2000 1493
750 354 4000
396 30 2424
6000
4567
Kontribusi thd pembayaran PES tk Partisipasi pengguna lahan (US$/ha/thn) (6) 12
Kontribusi terhadap Biaya adm FONAFIFO
(7) 0
15 5% dari pembayaran 40 $13/ha thn 1 40 $7/ha thn 2–5
161
Tabel 57 (lanjutan) (1)
(2)
(3) (4) (5) (6) (7) Río 900 501 40 Laguna Cote Florida Ice Bottler Río 1000 440 45a $29/ha thn & Farm Segundo 1 a Keterangan: untuk mengatasi biaya opportunity lokal yang tinggi, pembayaran oleh Florida Ice and Farm and Heredia ESPH diakumulasi, sehinga pengguna lahan dibayar US $67/ha/yr. Sumber: Pagiola (2008)
Berbeda dengan menentukan efektivitas penerapan PES dalam penelitian ini, Pagiola (2005) menyediakan kerangka analisis keefektifan program PES sebagaimana tersaji pada Gambar 35. Value of Environmental Services Trade-off
‘Win-Win’
PES B
PES
PES D
A
PES C On-Site Profit Trade-off ‘lose-lose’
Gambar 35. Kerangka Kerja Untuk Menganalisis Efisiensi PES (Pagiola, 2005 dalam Engie at al, 2008) Berdasarkan kerangka analisis keefektifan program tersebut, program PES ditujukan untuk mendorong penggunaan lahan yang secara pribadi tidak menguntungkan tetapi secara sosial diinginkan menjadi profitable untuk penggunaan lahan secara individu, sehingga mereka bersedia mengadopsi PES yang diilustrasikan pada kasus A. Beberapa pengalaman program PES yang tidak efisiensi dapat diidentifikasi sebagai berikut: a) Korbanan pembayaran yang tidak cukup untuk mempengaruhi adopsi penggunaan lahan yang secara sosial diinginkan (kasus B). b) Mempengaruhi adopsi penggunaan lahan yang secara sosial diinginkan, yang mensupply jasa lingkungan, tetapi biaya lebih tinggi dari nilai jasa (kasus C)
162
c) Pembayaran untuk adopsi praktek-praktek yang akan mengadopsi dengan berbagai cara (kasus D). Perbedaan penetapan efektivitas dari hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Pagiola (2008) terletak pada mekanisme penetapan efektivitas, yang mana hasil penelitian ini lebih memberikan alternatif kepada pemilik lahan dalam melakukan pemilihan jangka waktu lamanya tegakan pohon tidak ditebang, dan bagi publik mengetahui kemungkinan manfaat hidrologis yang akan diperoleh.
F. Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU 1. Gambaran Penggunaan PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Implementasi program PDR dan program PES dalam mencegah perubahan penggunaan lahan dan mendorong perilaku konservasi dalam pengelolaan lahan telah populer di berbagai negara. Implementasi PDR populer di Amerika Serikat, sementara PES populer di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah. Sedangkan di Indonesia, baik PDR maupun PES belum populer digunakan. Di Amerika Serikat program PDR merupakan salah satu upaya dalam rangka melindungi lahan pertanian, disamping upaya lainnya yakni zoning pertanian, distrik pertanian, pemecahan pajak pertanian, transfer of development rights, dan pembatasan pertumbuhan kota (Daniel, 1998). Menurut Pagiola (2008), program PSA telah populer di mata pemilik lahan di Costa Rica, dengan permintaan jauh melampaui batas ketersediaan pendanaan. Gambar 36 mengilustrasikan perkembangan daftar setiap tipe kontrak sejak 1998. Pada akhir tahun 2005, sekitar 270 000 ha terdaftar dalam program. Konservasi hutan merupakan kontrak yang lebih populer, mencakup areal hutan sekitar 91% sejak 1998, dan 95% terdaftar hingga akhir 2005. Hutan tanaman berkontribusi 5% dari total areal (4% pada akhir 2005) dan manajemen hutan berkelanjutan (sekarang dihentikan) untuk 4% dari total areal (1% pada akhir 2005), sedangkan kontrak agroforestry tidak tercatat secara signifikan. Program PDR dan PES belum populer diterapkan di Indonesia dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan, sementara penelitian terkait PDR dan PES juga masih terbatas. Enggel dan Palmer (2008) telah melakukan penelitian
163
tentang kemungkinan penggunaan PES dalam kegiatan logging sebagaimana konsep yang ditawarkan seperti pada Gambar 37.
Gambar 36. Total area di program PSA di Costa Rica (Pagiola, 2008)
WA (War of attrition)
Maximum logging profit (net of variable cost)
Community can enforce rightsLogging negotiation succeed Community receives negotiated
I Community cannot enforce rights->Logging takes place without community consent
I A Fixed logging cost
D
C
F
E II
II
NF (Negotiation failure)
Community wins potensial conflict Logging negotiations fail -> Fores conservation
B Unprofitable logging Community’s per-period valuation of standing forest
Gambar 37. Konsep PES dan hasil dari interaksi komunitas – perusahaan (Engel dan Palmer, 2008) Pada konsep Gambar 37 terdapat dua pembatas yang menghasilkan tiga potensial outcome hasil interaksi komunitas – perusahaan. Kemungkinan pertama, perusahaan dapat secara efektif mengontrol kapital dan sumberdaya hutan,
164
memproduksi kayu dengan tanpa melibatkan komunitas dan sedikit atau tidak memberikan imbalan pada komunitas (areal I). Kemungkinan kedua, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan dan ini akan menghasilkan suatu negosiasi yang menghasikan kesepakatan antara komunitas dan perusahaan (areal II). Kemungkinan ketiga, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan, tetapi valuasi tegakan hutan mungkin terlalu tinggi atau profit logging rendah, pada kondisi ini tidak ada kesepakatan antara komunitas dan perusahaan dalam menentukan outcome, sehingga negosiasi akan gagal (areal III).
2. Mekanisme Implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Penerapan PDR dan PES belum populer di Indonesia, dan di KBU belum diterapkan. Sebagai gambaran mekanisme implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan diadopsi dari hasil study literatur yakni PDR dari pengalaman di Amerika Serikat dan PES dari Costa Rica. Sebagaimana yang digambarkan Daniel (1998), mekanisme pelaksanaan PDR seperti terlihat pada Gambar 38. Selanjutnya Stein et al (2001) menyampaikan bahwa komunitas di AS telah melembagakan finansial publik yang dapat mendanai akusisi dan meniadakan hak-hak membangun dalam upaya melindungi
lahan-lahan
pertanian
supaya
lestari
sekaligus
memelihara
pemandangan indah, habitat hidupan liar, fungsi DAS, dan opportunitas rekreasi. Melalui program PDR, publik menyediakan pembayaran secara tunai bagi pemilik lahan atas nilai hak membangunnya setiap persil lahan. Pemilik lahan tetap menjadi pemilik lahan, tetapi dikompensasi untuk melepaskan hak untuk membangunnya sebagai real estate. Sedangkan kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya dari lahan dapat berkelanjutan. Untuk publik, program PDR memungkinkan banyak mengurangi biaya koservasi lahan, seperti biaya PDR lebih rendah daripada mengeluarkan hak pembayaran lahan, dan biaya berkaitan dengan manajemen berikutnya sisa lahan yang direspon pemilik lahan. Sementara itu menurut Pagiola (2008) mekanisme implementasi PES di Costa Rica dapat dijelaskan seperti Gambar 38. Mekanisme PES dimulai dengan pemilik lahan mengadakan kontrak dengan SINAC dan NGOs seperti FUNDECOR, FONAFIFO, dilanjutkan pemilik lahan menyampaikan rencana
165
pengelolaan hutan lestari yang dipersiapkan oleh rimbawan berlisensi (regante). Rencana tersebut menggambarkan usulan penggunaan lahan, dan mencakup informasi tentang tenure lahan dan kondisi fisik lahan meliputi topografi, tanah, iklim, drainase, penggunaan lahan aktual, dan kapasitas lahan dengan respek terhadap penggunaan lahan; rencana perlindungan hutan dari kebakaran, penebangan liar, dan pencurian, dan jadwal monitoring. Setelah rencana tersebut disetujui, pemilik lahan mulai melaksanakan rencana, dan menerima pembayaran. Pembayaran awal diperoleh pada saat kontrak ditandatangani, tetapi pembayaran tahunan selanjutnya dilakukan setelah dilakukan verifikasi atas kepatuhan dari kesepakatan (oleh regente, dengan melakukan audit secara sederhana). Kontrak penanaman kayu selama lima tahun dibayar dengan rincian sebagai berikut, 50% dibayar pada tahun awal kontrak, 20% dalam tahun kedua, 15% dalam tahun ketiga, 10% dalam tahun keempat, dan 5% dalam tahun kelima. Kontrak ini meminta peserta PES secara terus menerus melaksanakan kesepakatan penggunaan lahan untuk 15 tahun. Pemilik Lahan
Menerima uang tunai
Menjual hak membangun di lahannya
Pemerintah/ Private Land Trust
Aturan penggunaan lahan
Easement conservation pada lahan yang dijual
Pencatatan pd Akta kepemilikan lahan
Gambar 38. Mekanisme Pelaksanaan PDR Penetapan sistem monitoring dan verifikasi kontrak yang dipercaya adalah bagian penting daripada sistem pembayaran. Monitoring dilakukan terutama oleh agen yang bertanggungjawab atas perjanjian dengan petani yakni SINAC, FUNDEFOR, dan para regente, dengan aturan audit untuk memverifikasi akurasi
166
monitoring. Dengan dukungan finansial Economarket Project, FONAFIFO telah membentuk database untuk jejak kepatuhan. Peserta yang tidak patuh akan kehilangan pembayaran selanjutnya. Sedangkan para regente yang salah melakukan sertifikasi dapat kehilangan lisensinya. Secara ringkas mekanisme implementasi PES seperti pada Gambar 39.
Regente (Rimbawan Penilai)
Pemilik lahan/petani
Lembaga Publik
Kontrak
Membantu Penyusunan Rencana
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Lestari
Rencana yang disetujui Monitoring dan Audit
Pelaksanaan Kegiatan
Pembayaran PES tahun1, 2 dst
Gambar 39. Mekanisme Pelaksanaan PES
3. Kepentingan penerapan PDR dan PES di KBU Kondisi ketersediaan dan kebutuhan air di KBU mengalami ketidakseimbangan diindikasikan sudah lama. Sugiarto (1995), menyampaikan kondisi keseimbangan air bumi di wilayah pengembangan DAS Citarum Hulu yang masuk KBU sebagai berikut.
Wilayah Pengembangan Kota Bandung, kebutuhan air non pertanian mencapai 176,95 juta m3/tahun, setara 5,61 m3/detik, pelayanan oleh PDAM Bandung hanya memenuhi 12,3%, sedangkan ketersediaan air permukaan
167
dari debit andalan sungai terdekat yakni Sungai Cikapundung hanya 0,85m3/detik, sehingga pemenuhan air baku sangat kurang. Saat ini PDAM Bandung mendapatkan air baku dari S. Cisangkuy di Wilayah Banjar Soreang dengan debit 0,97 m3/detik, S. Cikapundung 0,25 m3/detik dan S. Cibeureum 0,04 m3/detik, kapasitas ini hanya memenuhi 23,64% dari kebutuhan air non pertanian. Abstraksi airbumi untuk WP Kota Bandung diestimasi sebesar 161,10 juta m3/tahun. Dengan ketersediaan airbumi dalam dangkal sebesar 54,59 juta m3/tahun, maka estimasi abstraksi airbumi dalam sebesar 106,51 juta m3/tahun.
Wilayah Pengembangan Lembang, kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 16,69 juta m3/tahun, kebutuhan industri 0,016 juta m3/tahun, maka kebutuhan air non pertanian 16,70 m3/tahun. Kebutuhan ini dipenuhi dengan ketersediaan mata air 2,52 juta m3/tahun sedangkan kekurangannya dipenuhi dari air permukaan. Ketersediaan air permukaan di wilayah ini cukup melimpah yakni 43,20 juta m3/tahun, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa S. Cikapundung juga sebagai sumber air baku untuk Kota Bandung. Pengembangan di wilayah ini akan mempengaruhi ketersediaan air baku bagi Kota Bandung. Kebutuhan untuk air pertanian sebesar 21,23 juta m3/tahun hanya dipenuhi dari air permukaan dengan sistem irigasi semi teknis dan tidak terjamin keandalannya karena tidak ada tandon yang mampu menampung air dalam jumlah yang cukup. Dengan ini pengelolaan DAS, penataan manajemen irigasi dan pola tanam yang cocok sangat perlu diharapkan pada DAS Cikapundung.
Wilayah Pengambangan Cimahi, merupakan WP tersempit tetapi mempunyai kepadatan dan aktivitas ekonomi yang tinggi. Kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 19,35 juta m3/tahun, dipenuhi PDAM sebesar 2,21 juta m3/tahun, berarti sebesar 17,14 juta m3/tahun setara 0,543 m3/detik dipenuhi dengan mengabstraksi airbumi dan memanfaatkan air permukaan (sungai) atau mata air. Kebutuhan industri sebesar 24,514 juta m3/tahun dan ini sepenuhnya dipenuhi dengan mengabstraksi air bumi. Dengan demikian kebutuhan air non pertanian sangat tergantung kepada ketersediaan air bumi dan hal ini tidak diharapkan berlangsung terus karena tidak berwawasan
168
lingkungan. Sedangkan ketersediaan air sungai hanya 1,83 juta m3/tahun, ini jauh dari memadai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa WP Cimahi adalah WP yang paling berpotensi mengalami kritis air. Berdasarkan kondisi pada tahun 1995 tersebut, maka total kebutuhan air tidak akan dapat dipenuhi oleh ketersediaan air permukaan saja atau air bumi saja, tetapi mungkin dipenuhi dari keduanya dengan penggunaan konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya terpadu. Dengan laju pembangunan di wilayah KBU yang tinggi, maka kemungkinan terjadinya defisit ketersediaan air di tiga wilayah pengembangan tersebut dewasa ini sangat tinggi. Kondisi demikian, maka memerlukan upaya segera untuk menahan laju pembangunan dengan melakukan encegahan perubahan penggunaan lahan. Salah satu upaya adalah melalui mekanisme insentif ekonomi diantaranya menggunakan model PDR dan PES. 4. Kemungkinan penerapan PDR dan PES di KBU Berdasarkan hasil studi pustaka, keberhasilan penerapan PDR di Amerika Serikat didasarkan pada kondisi (1) telah tumbuhnya kesadaran publik akan hilangnya makanan, daging dan serat sehingga merasa perlu melindungi petani dan lahannya; (2) berkembangnya kelembagaan finansial publik mendanai mencegah pembangunan di lahan pertanian; (3) adanya mekanisme referendum dalam menentukan pendanaan dan menghimpun dana publik; (4) kesadaran bayar pajak yang tinggi dan pengalokasian yang jelas untuk kegiatan PDR; tumbuhnya lembaga yang dipercayai masyarakat dan pemerintah seperti land trust yang memfasilitasi petani dalam menjual haknya dan proses penilaian (easement); dan proses legislasi dan penganggaran dari pemerintah yang efektif dan efisien. Sementara itu keberhasilan penerapan PES di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah didasarkan pada kondisi (1) dukungan regulasi pemerintah dalam mendorong kegiatan konservasi melalui pemberian insentif; (2) kesadaran dan pengguna jasa lingkungan seperti perusahaan listrik, perhotelan, pariwisata dan perkebunan dalam mendukung upaya konservasi; (3) dana jasa lingkungan dikembalikan pada kegiatan konservasi secara akuntabel; dan (4) berjalannya mekanisme kontrak pengelola kawasan konservasi dengan pengguna jasa lingkungan
169
Berdasarkan kondisi yang mendukung penerapan PDR dan PES di atas, untuk mengetahui kemungkinan penerapan di KBU yang berada di 4 wilayah pemerintah kabupaten/kota yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi, hanya akan dilihat dari aspek dukungan kebijakan dan dukungan sumber dana dari APBD ke empat kabupaten/kota tersebut.
Dukungan Arah Kebijakan Terkait KBU KBU merupakan kawasan lintas administrasi, berada di Bagian Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Dengan demikian, berkaitan dengan arahan pemanfaatan lahan, minimal KBU mengacu pada produk tata ruang sebagai berikut:
Undang-Undang Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara, yang disusun Bappeda Propinsi Jawa Barat tahun 1998.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2012
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung (Perda No. 12 Tahun 2001)
Kebijakan Operasional RUTR Kawasan Bandung Utara.
170
Gambar 40. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Propinsi Jawa Barat
171
Gambar 41. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Kabupaten Bandung (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) Pada dasarnya KBU ini sudah mendapat perhatian sejak tahun 1982, sehingga arahan pemanfaatan lahannya tidak hanya dari keempat produk tata ruang di atas yang telah diacu. Kebijakan, peraturan dan perundangan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan KBU terdapat 32 buah. Secara kronologis perkembangan kebijakan yang terkait dengan KBU dan tingkat efektivitas implementasinya dapat diuraikan sebagaimana tabel berikut.
172
Tabel 58. Perkembangan Kebijaksanaan Terkait Dengan Pemanfaatan Lahan di KBU dan Tingkat Efektivitas Implementasinya No. (1) 1.
2.
Kebijaksanaan, Peraturan Perundangan (2) SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624Bappeda/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
SK Gubernur KDH Tk. I Propinsi Jawa Barat No.640/SK. 1625Bappeda/1982 tentang Pemberian Ijin Pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
Tujuan
Substansi Pokok
(3) Melindungi daerah imbuhan dalam rangka melestarikan potensi sumberdaya air, khususnya air tanah dalam bagi kepentingan PDAM Kabupaten dan Kotamadya Bandung
(4) a) Ketinggian 750950 m dpl dibatasi perkembangannya, ketinggian > 950 m dpl akan dihutankan/ dihijaukan kembali; b) Penggolongan wilayah didasarkan pada kemiring-an lapangan; c) Alokasi kemiringan lahan: 60% pertanian tanaman keras seperti perkebunan karet, kopi, teh dan kina 25% hutan lindung 15% non pertanian tanaman keras, terma-suk permukiman kota dan pariwisata d) Lampiran peta dengan skala 1 : 50.000
Sebagai tindak lanjut dari SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624Bappeda /1982 tentang Peruntukan Lahan di
Instruksi Gubernur Jawa Barat kepada Pembantu Gubernur V, Walikotamadya Bandung dan Bupati Kab. Bandung untuk mengambil langkah-langkah pe-ngamanan, pengawasan serta meningkatkan
Tingkat Implementasi dan Permasalahan Pokok (5) Tidak efektif karena: Peruntukan lahan hanya dibatasi oleh kemiringan lereng, tidak didasarkan pada faktor fisik lain seperti kepekaan tanah terhadap erosi dan kondisi hidrologi serta faktor sosial ekonomi Pembagian wilayah hanya didasarkan pada peta skala 1: 50.000, sehingga tidak detil. Akibatnya pada saat itu: Masih adanya kawasan hutan produksi sekitar 6000 ha dengan sistem tebang habis; Terdapat kawasan hutan produksi milik Perhutani dengan kelerengan lebih 40% sekitar 15000 ha, yang seharusnya sbg hutan lindung Instruksi ini lebih bersifat “command and control”, kurang mampu mendorong masyarakat dan para Birokrat secara sadar melakukan kegiatan pembangunan sesuai dengan fungsi kawasan. Kurang efektifnya kebijakan
173
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
3.
SK Gubernur KDH Tk. I Propinsi Jawa Barat No. 146/SK. 1626Bappeda/1982 tentang Perpanjang-an Tugas serta Penyempurnaan Ke-anggotaan Kelompok Kerja (POKJA) Penyusunan Rencana Terperinci Pengem-bangan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
4.
KEPPRES RI No. 32/ 1990 tetang Pengelolaan Kawasan Lindung
(3) Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
(4) koordinasi dan seleksi dalam pemberian ijin pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara Sebagai Tim POKJA ini tindak lanjut terdiri dari: dari SK BAPPEDA Gubernur Propinsi TK I KDH Tk I Jawa Barat Jawa Barat Dinas PU Tk I No.181.1 SK Jabar 1624 Direktorat Bappeda/198 Geologi dan Tata 2 tentang Lingkungan Peruntukan (GTL) Lahan di ITB Wilayah Inti Universitas Bandung Padjadjaran Raya Bagian Biro Hukum Utara; dengan Setwilda Tk. I mem-bentuk Jabar tim Direktorat multidisiplin Agraria Propinsi yang Jawa Barat diharapkan BKSP Bandung mampu Raya melakukan BAPPEDA TK II kajian yang Kabu-paten menyeluruh Bandung dan dan terpadu BAPPEDA TK II mengenai Kota Bandung berbagai Lembaga aspek Penelitian APDN penataan Bandung ruang (Tim POKJA) Mencegah timbulnya kerusakan kualitas lingkungan hidup
Pembagian Kawasan Lindung menjadi 4 kategori yaitu: 1. Kawasan yang melindungi kawasan bawahannya 2. Kawasan perlindungan setempat
(5) tercermin masih diterbitkannya ijin lokasi pembangunan perumahan seluas 2.900 ha.
POKJA ini hanya bertugas selama proses penyusunan rencana saja, sedangkan tahap operasional dan imple-mentasi rencana diserahkan kepada pihak Pemerintah Propinsi DT I Jabar serta Pemerintah Kab. Bandung dan Pemerintah Kotamadya Bandung. Tim Pokja ini juga tidak melibatkan unsur masyarakat, baik itu LSM maupun tokoh masyarakat. Akibatnya kegiatan pengen-dalian pemanfaatan ruang sesuai arahan Tim POKJA tidak berjalan efektif dan akibatnya arah pemanfaatan ruang hanya disesuaikan dengan kepentingan Pemerintahan masing-masing. Tidak dapat diimplementasikan secara utuh karena belum dijabarkan lebih lanjut kedalam Peraturan Daerah Tingkat I dan Peraturan Daerah Tingkat II, yang disesuaikan dengan karakteristik KBU
174
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
(4) 3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya 4. Kawasan Rawan Bencana Kaitan dengan Kawasan Bandung Utara adalah rencana pengembangan jalur lingkar Utara yang menghubungkan Lembang dengan Kota Cileunyi.
5.
Rencana Umum Tata Ruang Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung tahun 1992
Penjabaran lebih lanjut dari Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat
6.
Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
Dasar hukum tertinggi bagi Penyusunan Rencana Penataan Ruang di Indonesia
Penyempurnaan pokok-pokok rencana penataan ruang di Indonesia yang disesuaikan dengan dinamika pembangunan bidang fisik, ekonomi dan sosial
7.
Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Perkotaan Bandung Utara Tahun 1993
Penjabaran lebih lanjut dari Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Sebagai revisi dari Rencana Induk Kota (RIK) Bandung 2005
Pembatasan pengembangan fisik di Wilayah Bandung Utara untuk ketinggian > 750 m dpl; Rencana melakukan penghijauan di Wilayah Bandung Utara dan DAS Citarum Hulu.
(5)
Dengan dibukanya Lembang dengan Cileunyi (jalan lingkar Utara), maka kawasan di sepanjang jalur tersebut akan berpotensi untuk berkem-bang, padahal jalur tersebut termasuk dalam wilayah penyangga bagi Kota Bandung dimana perkemba-ngannya harus dibatasi secara ketat. Petunjuk teknis UU ini pada saat itu masih menggunakan Permendagri No. 2/1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota dan Kepmendagri No. 59/ 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Permendagri No.2/ 1987. Fokus perumusan rencana masih pada permasalahan perkotaan; Belum mengacu kepada UUTR No. 24/1992.
175
Tabel 58 (lanjutan) (1) 8.
(2) Peraturan Pemerintah RI No. 51/1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
9.
Paket Deregulasi Oktober 1993 (PAKTO 93)
10. Surat Edaran Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 593/ 4335Bappeda/1993 perihal Pengendalian Penggunaan Laha di Kawasan Bandung Utara
(3) Dasar hukum bagi studi AMDAL Regional sebagai tindaklanjut dari KEPPRES No. 32/1990
(4) Studi mengenai dampak penting usaha atau kegiatan yang direcanakan dalam suatu hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah dengan rencana umum tata ruang daerah dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instnasi/dinas Meningkatka Mempermudah n peranserta proses dan swasta dalam prosedur ijin investasi lokasi dengan pembangunan memperpendek , terutama jalur birokrasi; dalam hal Ijin lokasi pembiayaan diberikan dalam waktu selambatlambatnya 14 hari setelah diberikannya ijin prinsip. Sebagai salah Instruksi Gubernur satu langkah Jawa Barat kepada dalam Kakanwil BPN menganPropinsi Jawa Barat tisipasi untuk pengaruh memerintahkan pemKepala Kantor berlakuan Pertanahan Kab. PAKTO 93; Bandung dan Kota Memperkuku Bandung agar untuk h ketegasan sementara tidak SK Gubernur melaksanakan KDH Tk I pemberian ijin Jawa Barat lokasi pembangunan No.181.1 SK di Wilayah Inti 1624Bandung Raya Bappeda bagian Utara, /1982 sebelum dilakukan penelitian rinci/ detil oleh BAPPEDA Prop. Tingkat I Jawa Barat.
(5) Studi ini kurang efektif karena masih dianggap baik oleh Birokrat maupun Pelaksana sebagai syarat administrasi perijinan, bukan dijadikan landasn dalam pengendalian dampak lingkungan yang dilakukan.
Karena kurang konsistennya terhadap ketentuan yang ada, maka telah terjadi lonjakan permohonan ijin lokasi pembangunan di Kawasan Bandung Utara.
Disamping karena desakan pertumbuhan dan perkembangan Metropolitan juga karena kurangnya koordinasi antar Pemerintah dan instansi, Perkembangan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara tetap sangat pesat.
176
Tabel 58 (lanjutan) (1) 11.
12.
(2) Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. B1073/MENLH/ 6/1994 perihal Teknis Penyusunan Studi AMDAL Regional Kawasan Bandung Utara
(3) Tujuan Umum: Melin-dungi/ menjaga kualitas lingkungan hidup Tujuan Khusus: Persiapan penyusunan studi
(4) Teknis penyusunan studi AMDAL Regional Kawasan Bandung Utara dikoordinir oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat melalui BAPPEDA Propinsi Jawa Barat dan diniliai oleh Komisi AMDAL Regional
Surat Edaran Gub. Jabar No. 593.82/ 1174Bappeda/1994 perihal Permohonan Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah di Kawasan Bandung Utara
Sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi pengaruh pemberlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624Bappeda/198 2
Proses dan prosedur yang harus diikuti adalah: a) Pemberian ijin lokasi b) Pengesahan Site Plan Penelitian yang dipersyaratkan pada ijin lokasi dipenuhi dan menjadi acuan untuk penyusunan Site Plan Site Plan disahkan Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi BAPPEDA Propinsi Jawa Barat. c) Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan: Mengacu pada site plan Teknis dan desain bangunan harus dikaji terlebih dahulu
(5) Meskipun sudah dilaksanakan studi AMDAL Regional kecenderungan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara terus menerus meningkat’ hal ini menunjukkan bahwa studi AMDAL masih dipandang sebagai syarat administrasi kegiatan pembangunan fisik. Proses dan prosedur yang cukup panjang ini dalam upaya pengendalian pembangunan fisik tidak membuat terhentinya proses permintaan ijin lokasi dan proses pembangunan, khususnya yang diajukan oleh developer, terlihat dari perkembangan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara yang telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan karena dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, khususnya sumber daya air dan peneropongan bintang Boscha. Permintaan ijin lokasi ini banyak yang berada di kawasan konservasi yaitu di
177
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
(4)
13.
Surat Edaran Gub. Jabar No. 660/ 4244/ Bappeda/1994 tgl 31 Oktober 1994 tentang Pengamanan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
Sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi pengaruh pemberlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624Bappeda/1982
14.
Peraturan Daerah Tk. II Kabupaten Bandung No.49/1995 tentang Rencana Tata Ruang Kota Lembang Tahun 1994 – 2004
Merupakan penjabaran dari RTRW Pro. Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi perkembangan fisik di Kec.Lembang
Menginstruksikan kepada Bupati Kab. Bandung dan Walikotamadya Bandung untuk:Tidak memberikan ijin untuk sementara atau kegiatan lainnya di Wilayah Inti Bandung Utara; Memberikan persetujuan atas site plan setelah studi ANDAL disetujui Gubernur KDH Tk. I Prop. Jawa Barat; Melakukan pengawasan dan pengendalian pembangunan Melakukan tindakan atas pelanggaan Memberikan laporan berkala 1 bulan sekali kepada Gubernur KDH Tk. I Jabar dengan tembusan kepada Ketua Bappeda Prop. Jawa Barat. Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kecamatan Lembang sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000
(5) kawasan rawan gerakan tanah, aliran lahar Gn. Tangkuban Perahu, resapan air dan areal sempadan sungai dan sempadan mata air. Dari sebanyak 109 ijin lokasi yang sudah diberikan hanya ijin yang dilengkapi studi AMDAL. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas kebijakan pengendalian pemberian ijin masih rendah.
Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini. Skala peta dianggap masih terlalu kecil, shg informasi yang tersaji belum lengkap/detil.
178
Tabel 58 (lanjutan) (1) 15.
16.
17.
18.
(2) RUTR Kotif Cimahi (Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung)
(3) Merupakan penjabaran dari RTRW Prop. Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi perkembanga n fisik di Kotif Cimahi. RUTR Merupakan Padalarang penjabaran (Peraturan dari RTRW Daerah Tingkat II Prop. Jawa Kabupaten Barat dan Bandung) RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi perkembangan fisik di Kec. Padalarang. Surat Menteri Tujuan Negara umum: Lingkungan Melindungi/ Hidup RI No.Bmenjaga 582/MENELH/ kualitas 04/1995 perihal lingkungan Persiapan hidup Pelaksanaan Tujuan Studi AMDAL khusus: PerBagi Kawasan siapan Bandung Utara. penyusunan studi AMDAL Regional KBU Surat Menteri Tujuan Negara umum: Lingkungan Melindungi/ Hidup RI No.Bmenjaga 755/MENELH/ kualitas 05/1995 perihal lingkungan Ketentuan hidup AMDAL Bagi Tujuan Kawasan khusus: PerBandung Utara. siapan
(4) Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kotif Cimahi sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000
Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kecamatan Padalarang sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000
1) AMDAL Regional perlu disusun oleh seluruh pemrakarsa yang merencanakan pembangunan di KBU; 2) Wilayah studi
(5) Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini. Skala peta dianggap masih terlalu kecil, sehingga informasi yang tersaji belum lengkap/detil. Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini. Skala peta dianggap masih terlalu kecil, sehingga informasi yang tersaji belum lengkap/detil.
179
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
19.
SK Gubernur KDH Tk, I Propinsi Jawa Barat No. 616/SK.1619Huk/1995 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanggulangan Air Cekungan Bandung
(3) penyusunan studi AMDAL Regional KBU
(4) AMDAL Regional mencakup kawasan dalam batasan yang telah ditetapkan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624-Bappeda/ 1982; 3) Selama studi AMDAL Regional KBU masih dalam proses penyusunan; 4) pemrakarsa pembangunan di kawasan ini harus menangguhkan kegiatan pembangunannya; 5) Hasil studi AMDAL Regional ini menjadi salah satu ketentuan teknis pembangunan selanjutnya. Tidak lanjut Tim t terdiri dari: Surat MNHL Pengarah: RI No.B-755/ 1. Ketua MENELH/ BAPPEDA Jawa 05/1995 Barat. perihal 2. Kakanwil Dep Ketentuan PU Jawa Barat AMDAL POKJA: Bagi KBU. 1. Ketua: Ka. Dinas Persiapan PU Pengairan studi PenangTk.I gulangan 2. Wakil: Ka. Dinas Kelangkaan Pertambangan Air Cekungan Tk. I Bandung 3. Sekretaris: Kasudin Eksploitasi dan
(5)
Tim POKJA hanya aktif pada saat pelaksanaan penyusunan studi Penanggulangan Kelangkaan Air Cekungan Bandung.
180
Tabel 58 (lanjutan) (1)
20.
(2)
Studi Penanggulangan Kelangkaan Air Cekungan Bandung Tahun 1996
(3)
Tindak lanjut SK Gubernur KDH Tk, I Propinsi Jawa Barat No. 616/SK.1619Huk/1995 tentang Pembentukan Pokja Penanggulang an Air Cekungan Bandung
(4) Pemeliharaan Dinas PU Pengairan Tk.I Jawa Barat 4. Anggota: a. Kabid Fisik dan Prasarana BAPPEDA Tk. I Jawa Barat b. Ka Biro LH Setwilda Tk I c. Unsur Direktorat GTL d. Unsur Dinas Pertambangan Tk I e. Unsur Dinas Perindustrian Tk. I f. Unsur Dinas PU Tk I g. Unsur Kanwil PU Propinsi h. Unsur Kanwil Perindustrian Propinsi i. Unsur Ahli Geologi Lingkungan j. Unsur Pemanfaat Air Hasil studi menemukan dan merekomendasikan: a) Pembangunan terorganisir dalam skala besar masih diijinkan pada ketinggian > 900 m dpl; b) Penetapan zona konservasi air tanah dalam;
(5)
Masih sebatas studi saja, produknya tidak dijadikan produk hukum atau kebijakan dalam bentuk peraturan daerah, sehingga tidak memberikan dampak terhadap pengendalian pembangunan KBU.
181
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
21.
Surat Edaran Gub. Jabar No. 912/ 333/ Bappeda/1996 perihal Penanganan Kegiatan Pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara
Sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi pengaruh pemberlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624Bappeda/1982
(4) c) Pemanfaatan air tanah dalam bagi kegiatan industri dibatasi dan digantikan oleh air permukaan. Instruksi Gubernur kepada Bupati Kabupaten Bandung dan Walikotamadya Bandung agar: a) Tidak memberikan ijin baru baik berskala besar (developer) atau individu, kecuali apabila rencaa pembangunan tersebut mempunyai kepentingan nasional dan dilaksanakan oleh Pemerintah; b) Kegiatan pembangunan yang telah memperoleh maupun yang sedang diproses ijin pembangunannya serta yang sedang dalam taraf membangun dan sudah dibangun diharuskan: Diteliti lebih detail mengenai keberadaan lokasi disesuaikan dengan pembagian ekosistem A, B dan C;
(5)
182
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
22.
Peraturan Daerah Tk. I Jawa Barat No. 2/1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Jawa Barat
23 .
Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Regional Bandung Utara yang disusun pada tahun 1997
(3)
Merupakan penjabaran lebih lanjut dari KEPPRES No. 32/1990
(4) Masingmasing diharuskan memenuhi persyaratan AMDAL. Pelaksanaan pembangunan harus diberhentikan terlebih dahulu sebelum memperoleh hasil kajian lebih lanjut. Kriteria penentuan atau klasifikasi masing-masing kawasan lebih diperinci secara kuantitas
Menghasilka Inti dari hasil n pedoman AMDAL ini adalah: pengendalian 1. Kajian terhadap pembakondisi ngunan dan lingkungan dan perkemperkembangan bangan di lingkungan KBU; KBU 2. Telaah dan proyeksi terhadap rencana pembangunan lingkungan KBU; 3. Telaan dan proyeksi atas tekanan perkembangan Metropolitan Bandung 4. Kajian kemampuan lembaga;
(5)
Besaran masingmasing kriteria belum spesifik; Kriteria penentuan atau klasifikasi masing-masing kawasan yang terperinci secara kuantitas yang ada baru untuk fisik, sosial ekonomi belum. Belum selesai disusun, sementara tuntutan kebutuhan terhadap adanya solusi terhadap permasalahan lingkungan di Bandung Utara dirasakan semakin mendesak. Hal ini selain menunjukkan kompleksitas permasalahan dan banyaknya kepentingan berbagai pihak, juga masih kurang seriusnya Pemerintah Propinsi dalam menangani masalah KBU.
183
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
24.
Metropolitan Bandung Utara Development Project (MBUDP), disusun mulai tahun 1994 dan revisi terakhir selesai tahun 1997
Mempersiapkan proyek/ program pembangunan perkotaan untuk Wilayah Metropolitan Bandung
25.
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 650/1704/Bap tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang, 14 Agustus 2004
Merupakan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang
(4) 5. Penyusuan panduan pengelolaan lingkungan Bandung Utara; 6. Penyusunan panduan peningkatan lembaga terkait. 1. Membatasi ekspansi pertumbuhan di Bandung Utara (daerah konservasi) dengan pengaturan pembatasan infrastruktur; 2. Membatasi prasarana transportasi untuk melindungi dan melestarikan sumber daya air; 3. Prioritas air bersih untuk Kawasan Bandung Utara: 4. Kota Bandung di Ujungberung dan Cibeunying; 5. Kabupaten Bandung di Padalarang, Lembang, Cimahi dan Cileunyi. SE ini berisi: Melaksanakan pengamatan yang meliputi monitoring dan evaluasi; Tindakkan penertiban; Melaksanakan penyesuaian Melaksanakan rehabilitasi dan konservasi lahan.
(5)
Karena titik fokus studi ini masih pada program/proyek pembangunan prasarana dan sarana fisik untuk wilayah perkotaan saja, maka dampak secara langsung dalam pengendalian pertumbuhan Kawasan Bandung Utara kuramng terasa.
Kurang efektif karena mekanisme perijina tetap menjadi kewenangan Bupati/ Walikota
184
Tabel 58 (lanjutan) (1) 26
(2) Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No.650/2530/PR LH tentang Penertiban Pemanfaatan Ruang, 18 Agustus 2004
27
Peraturan Daerah No. 14 Tahun 1998 tentang Bangunan di Wilayah Kodya DT II Bandung
28
Perda No.2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung
(3) Merupakan upaya dalam mengendalika n ijin pemanfaatan ruang
(4) Surat edaran ini berisi: Tidak memberikan ijin pemanfaatan ruang Meninjau kembali ijin pemanfaatan ruang yang sudah diterbitkan Melaksanakan Surat Edaran No. 650/1704/Bap Peraturan ini memuat ketentuan administrasi, ketentuan arsitektur, ketentuan teknis bangunan, persyaratan keamanan bangunan, infrastruktur bangunan, pelaksanaan pembangunan, rumah susun, pembangunan rumah sederhana, pedoman teknis pembangunan rumah sangat sederhana, grais sempadan jalan, pengairan dan sungai Mewujudkan Kebijakan ini visi Kota diantaranya memuat Bandung tentang: sebagai Kota Mengembangkan Pendidikan, kawasan lindung Pusat minimal 10% dari Pemerintahan, luas lahan; jasa Pengendalian keuangan, dan pemanfaatan jasa ruang pelayanan. diselenggarakan melalui perijinan, pengawasan dan penertiban;
(5)
Kebijakan ini tidak menyinggung sebagian wilayahnya merupakan bagian KBU; Pengendalian pemanfaatan ruang tidak memuat dalam upaya mendorong masyarakat untuk menggunakan
185
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
29
Perda Kab. Bandung No. 23 Tahun 2001 tentang Perubahan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 RTRW Kabupaten Bandung
Memaksimalk an pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya sesuai dengan fungsinya
30
Peraturan Daerah No.23 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Cimahi
Dengan keterbatasan wilayah Kota Cimahi Memaksimalkan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya sesuai dengan fungsinya
(4) Pengenaan sanksi yang sesuai/tepat/ efektif untuk setiap pelanggaran rencana tata ruang.
(5) lahannya sesuai dengan fungsinya secara sukarela, tapi lebih bersifat sistem command and control; Pengenaan sanksi yang tidak jelas; Akibatnya tidak mendukung KBU Kebijakan ini Sudah cukup baik, diantaranya memuat namun tidak tentang: mendorong pemilik lahan milik Dengan jelas melakukan upaya mempertegas konservasi sehingga kawasan lindung dan non budidaya penerapannya tidak efektif sebagai kawasan konservasi Pengelolaan kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahnya; kawasan perlindungan setempat dan kawasan suaka alam hayati dan cagar alam, kawasan hutan pelestarian, dan pengelolaan kawasan rawan bencana. Membagi Kawasan yang pemanfaatan ruang memberikan di wilayah Kota perlindungan Cimahi menjadi 11 kawasan di jenis pemanfaatan bawahannya yaitu hutan tersebut konservasi/lindung, dialokasikan di perlindungan luar kawasan setempat/ sempadan konservasi KBU, sungai, perumahan, tetapi justru CBD, kawasan dialokasikan industri dan sebagai kawasan pegudangan, perumahan. kawasan wisata/ Kondisi tersebut, rekreasi air, menunjukkan
186
Tabel 58 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
31
Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
Dasar hukum tertinggi bagi Penyusunan Rencana Penataan Ruang di Indonesia, pengganti UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
32
Perda No. 54 Tahun 2008 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-20013
Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera
(4) kawasan militer, kawasan perdagangan dan jasa, fasilitas pendidikan, taman, RTH, TPU, komplek stasiun kereta api, dan TPA sampah. Penyempurnaan dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992
Pemerintah Jawa Barat merencanakan kawasan lindung seluas 45 % dari luas wilayah daratan pada tahun 2010. Rencana pencapaian tersebut ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Barat 2010 Perda No. 2 Tahun 2003, hasil revisi RTRWP sebelumnya yang ditetapkan melalui Perda No. 3 Tahun 1994. Dalam RTRW tahun 1994
(5) kebijakan Kota Cimahi tidak mendukung KBU
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Sudah mencantumkan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif, diharapkan dapat mendorong penerapan di KBU Mendukung perkembangan kawasan konservasi KBU, dengan penetapan kawasan lindung 45%. Belum mengacu pada UndangUndang No. 26/2007, sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
187
Berdasarkan hasil analisis kebijakan di atas, kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di KBU, masih bersifat normatif dan legalistik, melalui mekanisme perijinan pembangunan yang tidak diikuti mekanisme pemberian insentif. Kondisi ini telah menyebabkan kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang KBU, mengingat sekitar 54% merupakan lahan milik (private), khususnya dalam mengarahkan pengguna lahan (land user) untuk tidak melakukan konversi guna lahan berfungsi lindung (seperti mengkonversi penggunaan tanaman keras menjadi perumahan) maupun untuk berperilaku konservasi dalam pengelolaan lahannya. Menurut Zhang dan Laband (2004), seperti halnya upaya-upaya reforestasi lahan milik di Amerika Serikat, regulasi kawasan lindung lebih cenderung berbentuk command and control dalam mengarahkan perilaku pengguna lahan, sehingga siapa yang diatur harus mengikuti regulasi dan sekaligus ia membayar pengeluaran (biaya transaksi seperti kertas kerja dan inspeksi, dan biaya penghijauan). Pada akhirnya regulasi tersebut berimplikasi pada kelayakan finansial pemilik lahan. Dampak ekonomi dari regulasi kawasan lindung ini terutama berkaitan dengan perubahan keuntungan ekonomi bagi pemilik lahan baik margin intensif maupun margin extensif pada operasi penggunaan lahannya. Kedua margin inilah yang sebenarnya mendorong terjadinya perubahan dalam memutuskan guna lahannya. Margin extensive akan mengarahkan lahan ditransfer dari penggunaan lahan dengan nilai terendah ke penggunaan lahan dengan nilai tertinggi. Sementara margin intensive akan mengarahkan penggunaan lahan pada penggunaan lahan yang memiliki biaya terendah. Akibatnya implementasi regulasi kawasan lindung ini menjadi tidak efektif. Dalam mengimbangi hal tersebut maka diperlukan mekanisme ekonomi yakni pemberian insentif ekonomi. Selain itu, kebijakan yang dibuat di atas tidak mempertimbangkan faktor lokasi KBU sendiri yang memiliki kedekatan terhadap pusat-pusat pertumbuhan, sehingga keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan private yang cenderung pada harga tertinggi yakni permukiman. Penerapan zonasi pun dalam kebijakan tersebut belum diterapkan. Dengan terbitnya UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berisi indikasi arahan peraturan zonasi,
188
arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi, telah memberi peluang kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan yang lebih mendorong pemilik lahan private secara voluntery melalui mekanisme insentif ekonomi dan pembagian zonasi kawasan. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, telah diatur mengenai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif yang meliputi bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif (pasal 170 sampai dengan pasal 181). Dalam pengaturannya dijelaskan tentang bentuk insentif berupa fiskal dan non fiskal, pemberian insentif dari pemerintah kepada pemerintah daerah, insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya, dan insentif/disinsentif dari pemerintah/pemerintah daerah kepada masyarakat. Pemberian insentif dari pemerintah kepada pemerintah daerah (pasal 172) berupa subsidi silang, kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan pemerintah, penyediaan sarana dan prasarana di daerah, pemberian komensasi, penghargaan dan fasilitas, dan atau publikasi atau promosi daerah. Pemberian insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya berupa pemberian kompensasi dari pemerintah daerah penerima manfaat kepada pemerintah daerah pemberi manfaat atas manfaat yang diterima oleh daerah penerima manfaat. Sedangkan pemberian insentif dari pemerintah/pemerintah daerah kepa masyarakat berupa pemberian keringanan pajak, pemberian kompensasi, pengurangan retibusi, imbalan, sewa ruang, urun saham, penyediaan sarana/prasarana, dan kemudahan perizinan. Pengenaan disinsentif merupakan kebalikan dari pengenaan insentif dalam pemanfaatan ruang. Namun kelemahan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 15/2010 tersebut dalam implementasi PDR dan PES adalah sebagai berikut:
Peranan pemerintah masih dominan dalam pengendalian penggunaan lahan;
Belum memberikan tempat untuk mendorong inisiasi masyarakat dalam berpartisipasi dalam penerapan mekanisme insentif;
Sumber dana masih mengandalkan anggaran pemerintah, belum menggali secara maksimal sumberdana dari masyarakat;
Belum ada mekanisme masyarakat dalam memutuskan terkait dengan kawasan lindung misalnya mekanisme referendum;
189
Belum mengatur peniadaan mekanisme pembelian hak membangun dalam suatu lahan dan pembelian jasa lingkungan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dari aspek kebijakan pemerintah,
masih belum memberikan landasan yang kuat dalam penerapan PDR dan PES dalam pemberian insentif di KBU. Namun demikian, UU No.26/2007 dan PP No.15/2010 tersebut dapat menjadi acuan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan review atas kebijakan RTRW masing-masing, serta melakukan inovasi yang kondusif dalam mencegah perubahan guna lahan di KBU. Dukungan Dana APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di KBU Komitmen pemerintah dalam mencegah perubahan guna lahan di KBU akan tercermin dari Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota. Adapun kebijakan APBD di 3 kabupaten/kota tahun anggaran 2008 yakni APBD Kabupaten Bandung, APBD Kota Bandung dan APBD Kota Cimahi, seperti diuraikan berikut. Kebijakan Umum APBD Kota Bandung TA 2008 Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kota Bandung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung yang ditetapkan tanggal 8 Oktober 2008 dengan Nomor :
910 / 2493 – Bapp 910 / 628 – DPRD
terdapat 9 program pembangunan Kota Bandung yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2008, terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengelolaan KBU, senilai Rp87 631 298 814 seperti terlihat pada tabel berikut ini.
190
Tabel 59. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Bandung TA 2008 No
Program Kegiatan
(1) (2) 1 Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya 2 Program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumberdaya air lainnya 3 Program pengendalian banjir 4 Program peningkatan kualitas dan penertiban bangun bangunan 5 Program pengendalian pemanfaatan ruang
6 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
Sasaran Program/Kegiatan (3) Terehabilitasinya/terpelih aranya: jaringan irigasi/saluran penggelontoran kota; bangunan air/bendung
Target (4)
Terkendalinya kawasan daerah tangkapan air/mata air, sungai dan anak sungai.
Tertanggulanginya sungai dan anak sungai pasca bencana alam banjir/longsor Meningkatnya jumlah bangunan yang memiliki IMB
2150 m2
Meningkatnya ketertiban pemanfaatan ruang: terciptanya penyusunan dan penetapan peraturan daerah tentang RDTRK dan IPPT, meningkatnya peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang dan tersedianya Perda tentang RDTR Meningkatnya kualitas dan kuantitas penataan dan pemeliharaan RTH Kota Bandung Meningkatnya upayaupaya pencegahan pengalihan RTH dan mengembalikan secara bertahap fungsi RTH yang beralih fungsi Terwujudnya proporsi RTH
100%
SKPD
Pagu Indikatif (Rp)
(5) Dinas Pengaira n
(6) 1 943 080 000
Dinas Pengaira n
1 384 000 000
Dinas Pengaira n
1 734 178 814
Dinas Banguna n
66 745 495 000
Dinas Tata Kota
Dinas Pertaman an dan Pemaka man
879 700 000
11 225 000 000
191
Tabel 59 (lanjutan) (1) (2) 7 Program pengendalian pencermaran dan perusakan lingkungan hidup 8 Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam
(3) Meningkatnya kualitas air sungai
9 Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup
Meningkatnya kualitas informasi dan terciptanya sistem informasi lingkungan yang mudah diakses Bertambahnya pengetahuan masyarakat dalam bidang pengelolaan lingkungan Meningkatnya kapasistas masyarakat lingkungan
Terjaganya sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (suistanable)
Total APBD Terkait Lingkungan
(4) 30%
(5) BPLH
(6) 2 135 000 000
Sumber daya air tanah kawasa n Kota Bandun g 1 sistem informa si
BPLH
775 000 000
BPLH
809 845 000
100 orang, 30 kader
BPLH
5 sekolah
BPLH
87 631 298 814
Sumber: KU APBD Kota Bandung TA 2008
Berdasarkan data pada tabel di atas, komitmen pemerintah Kota Bandung terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah terlihat, namun lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengendalikan kawasan lindung dan tidak mendorong masyarakat secara sukarela melakukan upaya-upaya konservasi melalui pemberian insentif untuk mencegah perubahan lahan pertanian maupun tidak mendorong menanam pohon di lahannya, dan pengembangan RTH hanya di lakukan di lahan publik. Dengan memiliki anggaran sebesar Rp87 631 298 814 tersebut sebenarnya dapat dijadikan sumber dana dalam penerapan PDR maupun pemberian insentif
192
penanaman pohon di lahan milik pertanian di KBU yang termasuk wilayah Pemerintah Kota Bandung secara bertahap. Implementasi PDR untuk lahan milik di KBU seluas 2945 ha yang termasuk wilayah Kota Bandung, yang digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp773 249 596,510 (lihat Tabel 50) melalui pembelian hak membangun pemilik lahan secara bertahap, maka selama 20 tahun Pemerintah Kota Bandung memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp499 398 418 274. Atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung di KBU yang masuk wilayah Kota Bandung, selama 22 tahun sebesar Rp9 295 964 per ha, maka akan berkontribusi dalam mempertahankan total manfaat hidrologi sebesar Rp10 623 206 824 441,79 dari kawasan lindung seluas 28.452,50 ha. Kemudian Pemerintah Kota Bandung pun belum memiliki dana subsidi silang bagi daerah hulu sebagai sumber air minum yakni wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Padahal dana subsidi silang tersebut diperlukan guna mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di – upland – yakni masyarakat Kabupaten Bandung dan Kabupate bandung Barat yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yakni masyarakat Kota Bandung yang memikul biaya. Dana tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong Pemda Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat untuk tetap mempertahankan sebagian besar ruangnya menjadi kawasan lindung, dengan berkontribusi dalam membantu pembelian hak membangun maupun membantu memberi uang sewa bagi penanam pohon di lahan milik.
Kebijakan Umum APBD Kota Cimahi TA 2008 Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor: 4 Tahun 2008 tanggal 14 April 2008, program tekait dengan pengelolaan lingkungan hidup berada pada SKPD Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Tata Kota senilai Rp18 957 456 150.
193
Tabel 60. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Cimahi TA 2008 No (1) 1
2
3
Program Kegiatan (2) Program Pengembangan Kinerja Pengelonaan Persampahan
Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
Program perlindungan dan konservasi sumberdaya alam
Kegiatan
SKPD
Pagu Indikatif (Rp) (5) 1 160 000 000
(3) 1 Penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan persampahan
(4) Dinas Lingkungan Hidup (LH)
2 Peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana persampahan 3 Pengembangan teknologi pengolahan persampahan 4 Bimbingan teknis dan persampahan 5 Peningkatan kemampuan aparat pengelolaan persampahan 6 Kerjasama pengelolaan sampah antar daerah 7 Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan Jumlah 1 Koordinasi penilaian kota sehat/Adipura
Dinas LH
90 000 000
Dinas LH
225 000 000
Dinas LH
100 000 000
Dinas LH
100 000 000
Dinas LH
300 000 000
Dinas LH
100 000 000
Dinas LH
2 075 000 000 670 472 000
2 Program pemantauan kualitas lingkungan 3 Kegiatan pengelolaan B3 dan limbah B3 4 Kegiatan pengkajian dampak lingkungan 5 Kegiatan pengembangan produksi ramah lingkungan 6 Kegiatan koordinasi penyusunan AMDAL 7 Kegiatan peran serta masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup Jumlah 1 Konservasi sumberdaya air dan pengendalian sumbersumber air 2 Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan 3 Kegiatan peningkatan konservasi daerah tangkapan air dan sumber-sumber air
Dinas LH
870 000 000
Dinas LH
275 000 000
Dinas LH
100 000 000
Dinas LH
85 000 000
Dinas LH
200 000 000
Dinas LH
200 000 000
Dinas LH
2 400 472 000 400 000 000
Dinas LH
500 000 000
Dinas LH
1 700 000 000
194
Tabel 60 (lanjutan) (1)
4
5
6
(2)
Program Peningkatan kualitas dan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Program Peningkatan pengendalian polusi Program pengelolaan RTH
(3) 4 Kegiatan konservasi energi bahan bakar ke tenaga surya Jumlah
(4) Dinas LH
(5) 65 000 000
Dinas LH
2 665 000 000 350 000 000
1 Kegiatan pengujian emisi kendaraan bermotor
Dinas LH
740 000 000
1 Kegiatan penataan ruang terbuka hijau
Dinas LH
700 000 000
2 Kegiatan pemeliharaan ruang terbuka hijau
Dinas LH
500 000 000
Jumlah 7
8
9
Program Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya
Program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumberdaya air lainnya Program lingkungan sehat perumahan
1 Kegiatan pelaksanaan normalisasi saluran sungai
1 200 000 000 Dinas Tata Kota
1 756 137 725
2 Kegiatan rehabilitasi/ Dinas Tata pemeliharaan jaringan irigasi Kota
335 913 600
3 Kegiatan rehabilitasi/ pemeliharaan normalisasi saluran sungai Jumlah 1 Pengembangan embung dan bangunan penampung air lainnya
Dinas Tata Kota
279 726 350
1 Kegiatan penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar terutama bagi masyarakat miskin
Dinas Tata Kota
Dinas Tata Kota
Total
2 371 777 675 3 945 482 550
3 209 723 925
18 957 456 150
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor: 4 Tahun 2008
Dari kondisi anggaran Kota Cimahi, komitmen pemerintah Kota Cimahi dalam mempertahankan lahan produksi pertanian untuk tidak dikonversi belum
195
nampak, tetapi dalam pengelolaan lingkungan hidup sudah nampak. Namun demikian dana APBD untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengelola lingkungan hidup dan belum dalam kerangka mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka prospek untuk implementasi PDR dengan membeli hak membangun di lahan pertanian belum mendapatkan dukungan dari APBD Kota Cimahi. Namun apabila sebagian dari anggaran di dua SKPD tersebut digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp288 026 193 149 (lihat Tabel 50) melalui pembelian hak membangun pemilik lahan seluas 1.111 ha di KBU secara bertahap, maka Kota Cimahi memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp159 252 569 182. Atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung milik untuk tetap menjaga sumber daya air tanah Kota Cimahi. Seperti halnya Pemda Kota Bandung, Pemerintah Kota Cimahi pun belum memiliki dana subsidi silang bagi daerah hulu sebagai sumber air minum yakni wilayah Kabupaten Bandung Barat. Padahal dana subsidi silang tersebut diperlukan guna mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di – upland – yakni masyarakat Kabupaten bandung Barat yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yakni Kota Cimahi yang memikul biaya. Dana tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong Pemda Kabupaten Bandung Barat untuk tetap mempertahankan sebagian besar ruangnya menjadi kawasan lindung.
Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung TA 2008 Berdasarkan Rencana Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008, bahwa program tekait dengan rencana penataan ruang, pengelolaan lingkungan hidup dan masalah pertanian dan kehutanan berada pada tiga SKPD yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan senilai Rp23 709 633 650, dengan rincian sebagai berikut.
196
Tabel 61. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kabupaten Bandung TA 2008 No
Program Kegiatan
(1) 1
(2) Program Perencanaan Tata Ruang 2 Program perencanaan prasarana wilayah dan sumberdaya alam Program 3 rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam 4 Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
5 Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam,
Kegiatan (3)
(4) BAPPEDA
Pagu Indikatif (Rp) (5) 950 031 300
BAPPEDA
321 458 250
SKPD
BAPPEDA 182.060.100
1 Koordinasi penilaian Kota Sehat/Adipura 2 Pemantauan kualitas lingkungan 3 Pengawasan pelaksanaan kebijakan bidang lingkungan hidup 4 Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian 5 Monitoring, evaluasi dan pelaporan Jumlah 1 Konservasi Sumberdaya Air dan Pengendalian Kerusakan SumberSumber Air 2 Peningkatan konervasi daerah tangkapan air dan sumber-sumber air
BPLH
54 000 000
BPLH
574 950 000
BPLH
135 000 000
BPLH
100 000 000
BPLH
35 505 000
BPLH
899 455 000 155 00 000
BPLH
200 000 000
197
Tabel 61 (lanjutan) (1)
(2)
(3) (4) 3 Pengelolaan BPLH keanekaragaman hayati dan ekosistem Jumlah BPLH
6 Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup 7 Program peningkatan pengendalian polusi 8 Program Peningkatan 1 Penanganan ketahanan pangan pasca panen dan pertanian/perkebunan pengolahan hasil pertanian 2 Pengembangan intensifikasi tanaman padi, palawija 3 Pengembangan pertanian pada lahan kering
4 Penyusunan database potensi produk pangan
(5) 35 000 000
390 000 000 100 000 000
BPLH
425 000 000
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
258 170 000
604 885 000
96 650 000
122 238 000
Jumlah 1 081 943 000 9 Program rehabilitasi 1 900 000 000 hutan dan lahan 10 Program Dinas Sumber 13 539 146 000 Pengembangan dan Daya Air, pengelolaan jaringan Pertambangan irigasi. Rawa dan dan Energi jaringan pengairan lainnya 11 Program Dinas Sumber 3 920 540 000 pengembangan, Daya Air, pengelolaan dan Pertambangan konservasi sungai, dan Energi danau dan SDA lainnya Total 23 709 633 650 Sumber: Rencana Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tentang Perubahan APBD TA 2008
198
Dari kondisi anggaran Kabupaten Bandung, komitmen pemerintah Kabupaten Bandung terkait dengan mempertahankan lahan produksi pertanian untuk tidak dikonversi belum muncul, tetapi dalam pengelolaan lingkungan sudah terlihat. Namun dana APBD untuk kegiatan pengelolaan lingkungan lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengelola lingkungan hidup dan belum mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka prospek implementasi PDR dengan membeli hak membangun di lahan pertanian belum mendapatkan dukungan dari APBD Kabupaten Bandung. Namun apabila sebagian dari anggaran di tiga SKPD tersebut digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp338 842 229 439 (lihat Tabel 50) melalui pembelian hak membangun pemilik lahan seluas 2.184 ha di KBU secara bertahap, maka Kabupaten Bandung memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp746 523 426 182, dan memiliki surplus sebesar Rp407 681 197 151. atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung milik untuk tetap menjaga sumber daya air tanah dan DAS sehat Kabupaten Bandung. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung akan berdampak pada ketersediaan sumber air bagi daerah bawahannya yakni Kota Bandung.